1.1.2 Etiologi
Penyebab edema paru, yaitu:
1. Kardiogenik
Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya payah jantung kiri dan
adanya kelainan pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja
semestinya seperti jantung memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat
lagi memompa. Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang
tinggi dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh
fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh
fungsi pompa jantung yang buruk, serangan-serangan jantung, atau klep-
klep jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi lebih dari
jumlah darah yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru.
Ini dapat menyebabkan cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong
keluar ke alveoli ketika tekanan membesar.
2. Non Kardiogenik
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, infark paru
c. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
1.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru dibagi menjadi dua yaitu:
1. Cardiogenic pulmonary edema
2. Non-cardiogenic pulmonary edema
1.1.5.2 Patofisiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular
terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruangan interstisial
sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta
permeabilitas membran kapiler. Cairan yang keluar dari sirkulasi ke ruang
alveolar terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Terdapat dua mekanisme
terjadinya edema paru yaitu:
1. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan `dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke
dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam
keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari
pembuluh darah ke ruangan interstisial
2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah
interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan
kemampuan dari interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat
jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran
limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui
dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Jika terjadi peningkatan
tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi
dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam
jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga
sebagai konsekuensi terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang kecil
dan pembuluh darah akan terkompresi.
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru
lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura
visceral yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler
endotel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik
di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan
vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
dan tekanan atrium kiri. Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat
yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan
pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri,
dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan
kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan
terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi
inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup. Apabila keadaan
berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstisial
diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstisial yang longgar
dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan
mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik).
Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat
antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di
daerah di interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di
lumen saluran nafas yang kecil. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan
perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan
dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada proses yang terus
berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru tersebut, proses
pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat
dan seringkali hiperkapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi
akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan
mengandung darah,. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru
semakin berkurang di bawah normal. Edema paru kardiogenik disebabkan
oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya edem paru
nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke
dalam interstisial paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik
memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih
permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma.
Tekanan Kapiler
Paru Meningkat
Penumpukan
Cairan di alveoli
Berkurangnya energi
Lemah
Intorelansi Aktivitas
1.1.8 Penatalaksanaan
Penanganan yang dapat dilakukan untuk edema paru yaitu:
1. Memberikan posisi setengah duduk.
2. Pemberian oksigen (40–50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat),
maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
4. Monitor tekanan darah dan EKG.
5. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon
dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau
sampai tekanan darah sistolik 85–90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi
yang adekuat ke organ-organ vital.
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit.
7. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
8. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik.
9. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
1.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan edema paru adalah:
1. Gagal Nafas
2. Hipoksia
1.2.6 Evaluasi
1. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan sindrom hipoventilasi
ditandai dengan dispnea (sesak nafas)
S : Pasien mengatakan sesak
O : Nadi cepat, Ronchi (+), Wheezing (+)
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi keperawatan 1-4
2. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolar-kapiler ditandai dengan dispnea
S : Pasien mengatakan sesak
O : Nadi cepat
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi keperawatan 1-4
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang proses penyakit ditandai dengan edema
S : Pasien mengatakan sesak
O : Nadi cepat
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi keperawatan 1-4
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum ditandai dengan
dispnea setelah beraktivitas
S : Pasien mengatakan lemas
O : Pasien tampak lemah
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi keperawatan 1-4
DAFTAR PUSTAKA
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) fifth edition. USA:
Mosby Inc an Affiliate of Elservier.
Smeltzer, S. & Bare, B. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.