Anda di halaman 1dari 9

SISTEM KRISTAL

Dalam mempelajari dan mengenal bentuk kristal secara mendetail, perlu diadakan pengelompokkan yang
sistematis. Pengelompokkan itu didasarkan pada perbangdingan panjang, letak (posisi) dan jumlah serta
nilai sumbu tegaknya.

Bentuk kristal dibedakan berdasarkan sifat-sifat simetrinya (bidang simetri dan sumbu simetri) dibagi
menjadi tujuh sistem, yaitu : Isometrik, Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan
Triklin.

Dari tujuh sistem kristal dapat dikelompokkan menjadi 32 kelas kristal. Pengelompokkan ini berdasarkan
pada jumlah unsur simetri yang dimiliki oleh kristal tersebut. Sistem Isometrik terdiri dari lima kelas,
sistem Tetragonal mempunyai tujuh kelas, sistem Orthorhombik memiliki tiga kelas, Hexagonal tujuh kelas
dan Trigonal lima kelas. Selanjutnya Monoklin mempunyai tiga kelas dan Triklin dua kelas.

1. Sistem Isometrik
Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal kubus atau
kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan
perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b
= c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya
( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 1 Sistem Isometrik


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada
sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan
patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :

 Tetaoidal
 Gyroida
 Diploida
 Hextetrahedral
 Hexoctahedral

Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena, halite,
Fluorite (Pellant, chris: 1992)
2. Sistem Tetragonal
Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing
saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan,
dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang
artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki
sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya (
α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 2 Sistem Tetragonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai
1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan
patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas:

 Piramid
 Bipiramid
 Bisfenoid
 Trapezohedral
 Ditetragonal Piramid
 Skalenohedral
 Ditetragonal Bipiramid

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil, autunite, pyrolusite,
Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992)
3. Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu
lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu
a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih
pendek (umumnya lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a =
b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi
tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini
berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap
sumbu γ.
Gambar 3 Sistem Hexagonal
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada
sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan,
hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚
terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 7:

 Hexagonal Piramid
 Hexagonal Bipramid
 Dihexagonal Piramid
 Dihexagonal Bipiramid
 Trigonal Bipiramid
 Ditrigonal Bipiramid
 Hexagonal Trapezohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz, corundum,
hematite, calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977)
4. Sistem Trigonal
Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu Rhombohedral,
selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal Hexagonal. Demikian pula
cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk
bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua
titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang
artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan
sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem
ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.

Gambar 4 Sistem Trigonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada
sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan,
hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚
terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:

 Trigonal piramid
 Trigonal Trapezohedral
 Ditrigonal Piramid
 Ditrigonal Skalenohedral
 Rombohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini adalah tourmaline dan cinabar
(Mondadori, Arlondo. 1977)
5. Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak
lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu)
a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu
sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini,
ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).

Gambar 5 Sistem Orthorhombik


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran
panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:

 Bisfenoid
 Piramid
 Bipiramid

Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite, chrysoberyl,
aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992)
6. Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya.
Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak
lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya
sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c ,
yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.
Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan
β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).

Gambar 6 Sistem Monoklin


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran
panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas:

 Sfenoid
 Doma
 Prisma

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite, malachite, colemanite,
gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)
7. Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus.
Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠
c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama
lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut
α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.

Gambar 7 Sistem Triklin


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki perbandingan
sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada
sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk
sudut 80˚ terhadap c+.
Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:
 Pedial
 Pinakoidal

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite, anorthite, labradorite,
kaolinite, microcline dan anortoclase

PENGERTIAN MINERAL DAN IDENTIFIKASI MINERAL

Kata mineral sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, namun pengertiannya berbeda-
beda. Para ahli farmasi sering menyebut vitamin atau unsur yang terkandung dalam suatu obat
sebagai mineral. Para ahli pertambangan menyebut bahan tambang sebagai mineral.

Bagi mereka yang menekuni geologi atau mineralogi, yang disebut mineral adalah bahan alamiah
yang bersifat an-organik, biasanya berbentuk kristal, terdiri dari satu unsur dengan komposisi
kimia tetap dan memiliki sifat-sifat fisik tertentu. Dari definisi ini jelaslah bahwa dalam geologi,
batubara, minyak bumi endapan kersik dan mineral buatan manusia tidak dapat dikategorikan
sebagai mineral.

Mineral adalah suatu bahan atau unsur kimia, gabungan kimia atau suatu campuran dari gabungan-
gabungan kimia anorganis, sebagai hasil dari proses-proses fisis dan kimia khusus secara alami.
Mineral merupakan suatu bahan yang homogen dan mempunyai susunan atau rumus kimia
tertentu. Bila kondisi memungkinkan, mendapat suatu struktur yang sesuai, di mana ditentukan
bentuknya dari kristal dan sifat-sifat fisisnya.

Bila kita perhatikan tabel 1, oksigen merupakan unsur terbanyak dalam kerak bumi. Karena itu,
batuan penyusun kerak bumi terutama tersusun dari oksigen. Dalam mineral, oksigen terikat kuat
dengan unsur lain seperti SiO2, Al2O3, FeO ataupun Fe2O3, MgO, CaO, Na2O, K2O, dan
sebagainya.

Senyawa antara Oksigen dan Silikon disebut Silika. Mineral yang mengandung silika disebut
Mineral Silika. Kebanyakan mineral silika juga mengandung satu atau lebih unsur lain. Kuarsa
adalah silika murni dengan rumus kimia SiO2.

Karena oksigen dan silikon merupakan unsur terbanyak dalam kerak bumi, maka mineral silikat
adalah kelompok mineral yang paling banyak menyusun batuan kerak bumi. Silika tetrahedron
adalah gabungan dari empat atom oksigen dengan satu atom silikon berbentuk piramid berisi
empat di mana oksigen menempati setiap sudutnya dan silikon berada di tengah-tengah. Rumusnya
adalah SiO4-4karena silikon bermuatan +4 dan empat ion oksigen bermuatan -8 (setiap oksigen
bermuatan -2). Berhubung silika tetrahedron bermuatan -4 maka masih dapat mengikat unsur lain
membentuk berbagai mineral silikat. Termasuk mineral silikat adalah felspar, muskovit, biotit,
piroksin, amfibol, olivin, garnet, augit, kaolinit, serpentin, kuarsa dan sebagainya.

Di samping kelompok silikat, kita kenal pula kelompok mineral karbonat, sulfida, sulfat dan
oksida. Mineral Karbonat adalah mineral yang mengandung (CO3)-2seperti kalsit, dolomit. Mineral
Sulfida adalah mineral yang mengandung S-2seperti galena, spalerit, dan kalpopirit. Mineral Sulfat
adalah mineral yang mengandung (SO4)-2 seperti gipsum dan anhidrid. Mineral Oksida adalah
mineral yang mengandung O-2 seperti hematit, megnetit, limonit dan bauksit.

Ada pula jenis mineral yang hanya tersusun dari satu unsur saja seperti emas, dan intan.

Cara mengidentifikasi mineral dapat dilakukan dengan memperhatikan sejumlah sifat kimia dan
sifat fisiknya. Untuk menentukan beberapa sifat unik mineral diperlukan alat-alat khusus dengan
teknik-teknik tertentu. Akan tetapi kebanyakan mineral penyusun batuan dapat dibedakan satu
sama lain hanya dengan pengamatan sederhana terhadap sifat-sifat fisiknya. Sifat-sifat fisik yang
biasanya diperhatikan adalah bidang belah, kekerasan, kilap, warna, streak dan bentuk kristal.
Untuk menguji kebenaran dari hasil identifikasi yang kita lakukan maka diperlukan tabel sifat-
sifat mineral.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh cara mengidentifikasi mineral pembentuk batuan
yang diambil dari bukunya Plummer dan Mc. Geary berjudulPhysical Geology (1985).

Cara 1: Digunakan bila mineral mempunyai bidang belah

Tentukan jumlah arah bidang belah dalam mineral:

a. Satu arah

Jika sempurna (Perfect) berarti mika. Kalau warnanya putih berarti Muskovit dan kalau hitam
maka mineral tersebut adalah biotit.

b. Dua arah

Saling tegak lurus atau hampir tegak lurus:

1) Bagus (Good) berarti felspar. Jika jalur-jalur nampak pada permukaan bidang belah berarti
Plagioklas; jika ungu berarti Ortoklas; jika putih atau abu-abu terang tanpa jalur-jalur berarti
Ortoklas atau Plagioklas.
2) Cukup bagus (Fair), warna gelap kehijauan sampai hitam berarti Piroksen (Augit).

c. Tiga arah

1) Jika ketiganya saling tegak lurus, sempurna (Perfect) berarti mineral Halit.

2) Ketiganya tidak saling tegak lurus, sempurna:

(a) Jika membuih bila ditetesi HCl berarti Kalsit.

(b) Jika hanya membuih kalau ditetesi HCl setelah dihaluskan berarti dolomit.

Cara 2: Digunakan bila tidak ada bidang belahnya

Bila lebih keras daripada kaca:

a. Kilapnya seperti kaca (Vitreous):

1) Warna hijau zaitun atau coklat berarti olivin.

2) Berwarna kemerahan atau kristalnya equidimensional dengan 12 atau lebih permukaanmaka berarti
Garnet.

3) Berwarna terang berarti kuarsa.

b. Kilap metalik berwarna kuning berarti mineral pirit.


c. Kilapnya kotor seperti berlemak (Gresy), bertitik-titik hijau dan hitam berarti mineral Serpentin.

Bila lebih lunak daripada kaca, dalam batuan terlalu halus untuk dikenali butir-butirnya dan
mempunyai kilap seperti tanah berarti termasuk kelompok mineral lempung, misalnya Kaolin.

Adapun tabel sifat-sifat fisik mineral dapat dilihat di buku-buku Geologi atau Mineralogi.
Biasanya terdapat pada lampiran.

DERET BOWEN

Deret Bowen adalah deret yang memperlihatkan diferensiasi mineral hasil pembekuan
magma,berdasarkan pendinginan magma.Dalam susunan Deret Bowen ,temperatur pembentukan
kristal – kristal mineral makin rendah,makin ke bawah.Mineral dalam Deret Bowen biasanya
terbentuk pada batuan beku,karena batuan beku terbentuk dari hasil pembekuan magma.

Dalam magma,terdapat dua material dengan sifat yang berbeda,yaitu Volatil (bersifat
menguap),contohnya Karbondioksida,air,dan fraksi gas,seperti CH4,HCl,H2S,SO2,NH3 yang
menyebabkan magma dapat bergerak.Dan Non-Volatilyang merupakan material padat bersifat
basa yang dijumpai pada batuan beku.
Deret Bowen menyimpan dua poin penting,yaitu tentang temperatur terbentuknya mineral,dan
tentang sifat mineral yang terbentuk.Ketika magma bergerak menuju permukaan bumi,maka
temperaturnya berangsur turun,dan mulai membentuk mineral.Mineral yang pertamakali terbentuk
merupakan mineral – mineral yang bersifat basa,yang tersusun dari unsur-unsur
magnesium,ferrum dan kalsium,contohnya Olivin dan Piroksen,lalu selanjutnya terbentuk
mineral-mineral bersifat intermediet seperti hornblenda dan biotit,dan yang terakhir adalah
mineral-mineral bersifat asam yang mengandung banyak silika dan alumina,seperti muskovit dan
kuarsa.

Semakin ke bawah,dalam Deret Bowen,maka semakin tinggi derajat keasamannya dan semakin
terang warnanya,akibat kandungan silika yang semakin banyak.

Kebalikan dari Deret Bowen,disebut Deret Goldich.Deret Goldich berceritera mengenai tingkat
resistensi/kestabilan relatif mineral terhadap proses pelapukan.Semakin ke bawah (dalam Deret
Bowen),semakin sukan melapuk.Olivin,augit,dan plagioklas (mineral bagian atas)mengandung
banyak unsur Mg,Na,K,Ca yang mudah terlepas melalui pemecahan ikatan ionik dengan
oksigen,sedangkan mineral bagian bawah Deret Bowen mengandung banyak Si,Al,dan Ti yang
membentuk ikatan kovalen dengan oksigen sehingga pemecahan mineral lebih sulit ketimbang
dengan ikatan ionik dengan oksigen.

Deret Bowen dibagi menjadi dua bagian,yaitu seri reaksi kontinyu (sebelah kanan),dan
diskontinyu (sebelah kiri).Berikut ini deskripsinya:

Deret menerus (kontinyu) umumnya berisikan mineral-mineral felsik (berwarna terang).Awal


kristalisasi merupakan plagioklas yang kaya akan Ca dan di akhir Plagioklas yang kaya akan
Na.Selama reaksi,bahan sebelumnya akan terbawa hingga akhir reaksi dalam larutan padat.

Deret tak menerus (diskontinyu) berarti adalah deret pada seri olivin ke bawah yang diwakili oleh
mineral-mineral mafik yang berwarnagelap.Di awal pembentukan,terbentuk olivin (tetapi jika
magma jenuh oleh silika,maka yang pertama kali terbentuk adalah piroksen).Olivin dan Piroksen
merupakan pasangan Incongruent melting ,dimana pasca pembentukan olivin,sisa magma akan
bereaksi membentuk piroksen ,maka sering kali olivin dan piroksen terbentuk bersama-sama
(overlapping) dalam satu jenis batuan.Temperatur magma akan turun terus,hingga akhirnya
terbentuk biotit.

Deret menerus dan tak menerus bertemu pada mineral Potassium Feldspar,lalu ke mineral
muskovit,dan terakhir menuju mineral kuarsa.Mineral kuarsa merupakan mineral yang paling
resisten dibandingkan seluruh mineral dalam Deret Bowen.

Anda mungkin juga menyukai