Anda di halaman 1dari 180

i

ii
ILMU PENGETAHUAN
BUMI DAN ANTARIKSA

JILID I

iii
Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa

Penulis : Prof. Dr. Madlazim, M.Si. dan Drs. Supriyono, M.Sc., dan
Mukhayyarotin N.R. Jauhariyah, M.Pd.

Desain Cover : Mukhayyarotin N.R. Jauhariyah, M.Pd.

Ilustrasi/Lay Out : Mukhayyarotin N.R. Jauhariyah, M.Pd.

Penelaah : Dr. Wasis, M.Si. dan Eko Hariyono, M.Pd.

Editor : Dra. Hermin Budiningarti, M.Pd.

Desain cover menggunakan software TBS Cover Editor versi 2.2.4.262

iv
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga kami dapat menyelesaikan
buku materi Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) ini dengan baik. Buku materi
IPBA ini didesain sebagai salah satu bentuk media pembelajaran untuk mahasiswa yang
mempelari tentang Bumi dan antariksa. Buku materi ini menyediakan 3 (tiga) bab utama yang
terdiri dari Bumi, Sistem Tata Surya, serta Asteroid dan Komet. Bab I tentang Bumi
mengulas tentang interior bumi, hidrosfer, litoster, lempeng tektonik, atmosfer, medan
magnet bumi, dan kejadian-kejadian alam di bumi. Adapun Bab II tentang Sistem Tata Surya
mengulas tentang asal mula tata surya, anggota sistem tata surya, model skala sistem tata
surya, benda-benda astronomi kecil, planet, satelit, dan medium antar planet. Sedangkan Bab
III tentang Asteroid dan Komet membahas tentang orbit dan keadaan fisis asteroid, asteroid
dan permasalahan mekanika angkasa, penemuan komet, orbit dan sifat fisis komet, serta
kejadian luar angkasa yang menakjubkan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu dan
terlibat dalam pengembangan buku materi IPBA ini baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ucapan terima kasih terutama kami sampaikan kepada UNESA dan IDB 7 in 1
sebagai donor penelitian kami dalam pengembangan buku ajar ini.
Tiada gading yang tak retak. Tiada yang sempurna melainkan Yang Maha Sempurna.
Kritik dan saran yang membangun demi perbaikan buku materi IPBA ini senantiasa kami
harapkan. Akhir kata, semoga buku materi IPBA ini bermanfaat.

Penulis,

Agustus 2014

v
Daftar Isi
Bab I Bumi 1
1.1 Bagaimana Struktur Interior Bumi? 4
1.2 Bagaimana Penyebaran Hidrosfer dan Perannya dalam Kehidupan? 6
1.3 Lapisan Litosfer Terdiri dari Apa Saja? 12
1.4 Apakah Lempeng Tektonik Itu? 24
1.5 Bagaimana Atmosfer Membentuk Siklus Energi? 31
1.6 Bagaimana Bumi Menghasilkan Medan Magnet? 58
1.7 Kejadian-Kejadian Alam di Bumi 67

Bab II Sistem Tata Surya 103


2.1 Bagaimana Asal Mula Terbentuknya Tata Surya? 106
2.2 Sistem Tata Surya Beranggotakan Apa Saja? 110
2.3 Bagaimana Model Skala Sistem Tata Surya? 129
2.4 Apakah Benda-Benda Astronomi Kecil di Tata Surya Itu? 132
2.5 Planet Apa Sajakah yang Ada di Dalam Sistem Tata Surya? 135
2.6 Apa Itu Satelit? 138
2.7 Berupa Apakah Medium Antar Planet Dalam Sistem Tata Surya? 139

Bab III Asteroid dan Komet 141


3.1 Bagaimana Orbit dan Keadaan Fisis Asteroid? 144
3.2 Apakah Asteroid Itu? Bagaimanakah Permasalahan Mekanika Angkasa? 147
3.3 Bagaimana Komet Ditemukan? 148
3.4 Bagaimana Orbit dan Karakteristik Fisis Komet? 152
3.5 Kejadian Luar Angkasa yang Menakjubkan 160

vi
Bumi
Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa merupakan salah satu bidang
Ilmu Fisika yang mempelajari Bumi dan Antariksa. Pada Bab I ini akan
dibahas ilmu pengetahuan tentang Bumi. Materi Bumi ini akan
membahas tentang:

1. Interior Bumi, menjelaskan tentang struktur lapisan-lapisan bumi


yang terdiri dari kerak bumi (crust), mantel bumi (mantle), dan inti
bumi (core).
2. Hidrosfer, merupakan lapisan air di bumi yang meliputi sungai,
danau, laut, gletser, air tanah, dan uap air yang terdapat di udara.
3. Litosfer, merupakan lapisan batuan yang berada di dalam bumi.
4. Lempeng Tektonik, membahas tentang teori tektonik lempeng
yang menjelaskan sifat bumi yang dinamis serta membahas
tentang jenis-jenis pergeseran lempeng.
5. Atmosfer, merupakan lapisan udara yang menyelimuti bumi.
Dalam kajian ini akan dibahas lapisan-lapisan atmosfer dan siklus
energi di atmosfer.
6. Medan Magnet Bumi, menjelaskan tentang teori Dynamo medan
magnet bumi serta menjelaskan kedinamisan medan magnet bumi.
7. Kejadiann-Kejadia Alam di Bumi, menjelaskan tentang kejadian-
kejadian alam di bumi yang meliputi gunung api, gempa bumi, dan
tsunami.

 Ilustrasi di samping menunjukkan lapisan-lapisan di bawah


permukaan bumi. (Sumber: www.anneahira.com) 1
Halaman ini sengaja dikosongi

2
Bab I
Halaman insengaja dikosongi
Bumi

TUJUAN PERKULIAHAN:

Setelah melakukan
pembelajaran tentang Bumi,
mahasiswa dapat memahami
topik:

1.1 Interior Bumi

1.2 Hidrosfer

1.3 Litosfer

1.4 Lempeng Tektonik

1.5 Atmosfer

1.6 Medan Magnet Bumi

1.7 Kejadian-Kejadian Alam di


Bumi

Ilustrasi di atas menunjukkan struktur lapisan bumi yang terdiri dari inti bumi (core), mantel bumi
(mantle), dan kerak bumi (crust). (sumber ilustrasi: www.anneahira.com)

3
Bumi merupakan planet di dalam jagad raya ini yang dihuni oleh
manusia. Bumi sebagai benda ciptaan Tuhan memiliki karakteristik
tersendiri. Bumi bersifat dinamis layaknya kehidupan manusia yang
dinamis. Kedinamisan bumi dengan struktur yang dimilikinya
menyebabkan adanya gejala-gejala alam yang menjadi perhatian khusus
bagi penghuninya, manusia. Dalam kajian tentang bumi ini akan dibahas
lebih detail tentang interior bumi, hidrosfer, litosfer, lempeng tektonik,
atmosfer, medan magnet bumi dan kejadian-kejadian alam di bumi.

1.1 Bagaimana Struktur Interior Bumi?

Gambar 1.1 Struktur Interior Bumi (Trefil dan Hazen,


2010).

Bumi pada awalnya dianggap sebagai suatu struktur yang seragam.


Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan fakta-fakta tentang
fisik bumi yang berhasil dikumpulkan, didapatkan bahwa bumi terdiri
dari lapisan-lapisan batuan dengan komposisi mineral dan unsur kimia

4
yang berbeda-beda (Gambar 1.1). Lapisan-lapisan batuan bumi, yang
terdiri dari kerak bumi (crust), mantel bumi (mantle), dan inti bumi (core),
juga dibedakan berdasarkan sifat Fisika seperti wujud zat (cair atau padat)
dan seberapa kuat lapisan tersebut (Fariel et al, 1989; Trefil dan Hazen,
2010; Tarbuck dan Lutgens, 2012).

Kerak Bumi
Kerak bumi adalah lapisan terluar dari bumi (Montgomery, 1989).
Terdapat dua tipe kerak bumi, yaitu kerak benua dan kerak samudera.
Kerak samudera memiliki ketebalan sekitar 7 km, mengandung batuan
beku basal. Sedangkan kerak benua memiliki ketebalan rata-rata 35 km
bahkan dapat melebihi 70 km di beberapa daerah pegunungan. Tidak
seperti kerak samudera yang memiliki kandungan unsur kimia yang relatif
homogen, kerak benua mengandung beraneka jenis batuan yang
didominasi oleh batuan granit pada bagian teratas.
Kerak benua memiliki massa jenis rata-rata sebesar 2,7 g/cm3 dan
berumur sekitar 4 milyar tahun, sedangkan kerak samudera berusia lebih
muda (180 juta tahun atau kurang), dan memiliki massa jenis rata-rata
lebih besar daripada kerak benua, yaitu sekitar 3 g/cm3 (Tarbuck dan
Lutgens, 2012).

Mantel Bumi
Lebih dari 82 persen volume bumi adalah mantel bumi dengan
ketebalan hampir 2900 m. Batas antara kerak dan mantel bumi ditandai
oleh perubahan komposisi kimia batuan. Tipe batuan yang mendominasi
bagian terluar dari mantel bumi adalah peridotite, yang kaya akan logam
magnesium dan besi. Mantel bumi dibagi menjadi dua: mantel atas (upper
mantle) dan mantel bawah (lower mantle). Mantel atas dibedakan lagi
menjadi 2 bagian, bagian atas yaitu litosfer, dan bagian bawah berupa
astenosfer.
Litosfer sebenarnya mencakup kerak bumi dan bagian teratas dari
mantel bumi. Litosfer tersusun oleh batuan padat dan keras dengan suhu
yang relatif dingin, ketebalan litosfer sekitar 100 km. Di bawah litosfer,
terdapat bagian yang lebih lemah yaitu astenosfer yang memiliki ketebalan
250 km. Bagian atas dari astenosfer memiliki temperatur yang mampu
melelehkan sebagian kecil batuan penyusunnya. Zona yang sangat lemah
ini, menyebabkan litosfer dapat bergerak bebas. Kenyataan ini yang
diusung teori lempeng tektonik, bahwa litosfer mengapung, bergeser dan
bertumbukan satu sama lain di atas lapisan astenosfer yang lemah.
Sangat penting diketahui bahwa kekuatan batuan penyusun bumi
merupakan fungsi komposisi penyusun batuan, temperatur, dan tekanan
(Tarbuck dan Lutgens, 2012). Misalnya, batuan pada litosfer akan semakin
panas dan lentur seiring bertambahnya kedalaman. Pada kedalaman
tempat lapisan teratas astenosfer berada, sebagian batuan mencapai titik
lelehnya. Hal itulah yang menyebabkan astenosfer menjadi lemah.
Kedalaman 660 km hingga 2900 km dari permukaan bumi adalah
mantel bawah (lower mantle) yang bersifat padat karena kenaikan tekanan
(diakibatkan oleh berat batuan diatasnya), mantel bawah secara

5
berangsur-angsur bertambah keras seiring bertambahnya kedalaman. Di
samping keras, batuan di mantel bawah juga sangat panas.

Inti Bumi
Inti bumi berkomposisi Fe-Ni (Ferro-Nickel) dan dibedakan menjadi
dua daerah dengan sifat yang sangat berbeda, yaitu inti bumi bagian luar
(outer core) yang merupakan lapisan cair dengan ketebalan 2260 km, dan
inti bumi bagian dalam (inner core) dengan ketebalan 1216 km yang
walaupun bertemperatur sangat tinggi tetap padat karena tekanan yang
sangat besar (Tarbuck dan Lutgens, 2012).

1.2 Bagaimana Penyebaran Hidrosfer dan


Perannya dalam Kehidupan?
Hidrosfer merupakan lapisan air di bumi yang meliputi sungai, danau,
laut, gletser, air tanah, dan uap air yang terdapat di udara. Hidrosfer
berperan sangat penting bagi bumi. Melalui interaksinya dengan
atmosfer dan litosfer, hidrosfer memiliki siklus hidrologi yang berperan
dalam menjaga keseimbangan energi di alam. Proses fisis yang terjadi
melibatkan proses radiasi, perubahan wujud zat, dan sifat termal dari
hidrosfer itu sendiri. Selain itu, peran hidrosfer adalah memenuhi
kebutuhan air bersih dan air minum untuk manusia. Oleh sebab itu,
pengelolaan hidrosfer sebagai sumber mata air juga sangat penting agar
dapat dimanfaatkan dengan baik. Untuk memahami peranan hidrosfer
dengan baik, dapat dipahami pada penjelasan berikut ini.

Penyebaran Hidrosfer di Permukaan Bumi


Secara umum, total air yang tersimpan di bumi adalah 1,4 milyar
km3 (70% dari permukaan bumi). Penyebaran air ini dapat dijelaskan
pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Penyebaran air di bumi


Volume air Persentase dari
Penyimpan
(juta per kubik) jumlah keseluruhan
Samudera / Lautan 1370 97,25
Gunung Es dan Glasier 29 2,05
Air Tanah 9,5 0,68
Danau 0,125 0,01
Permukaan Tanah 0,065 0,005
Atmosfer 0,013 0,001
Sungai 0,0017 0,0001
Biosfer 0,0006 0,00004

6
Secara geologis, lapisan hidrosfer dapat dijumpai di beberapa bagian
bumi sebagai berikut:
a. Samudera
Samudera menutupi 71% bagian dari permukaan bumi. Karena
permukaan air yang begitu luas, maka samudera memiliki peranan
penting dalam penyerapan radiasi panas matahari, serta penyerap emisi
karbon terbesar yang dihasilkan dari pernapasan dan aktivitas makhluk
hidup. Hal inilah yang menjaga kestabilan suhu bumi agar tidak terlalu
panas ataupun dingin untuk ekosistem di dalamnya.
b. Air Permukaan
Air permukaan merupakan bagian dari permukaan bumi yang dialiri
oleh air, diantaranya danau, sungai, gunung es, dan air tanah. Bagian
ini merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air bagi manusia.
Misalnya digunakan untuk sumber air bersih dan air minum,
pembangkit listrik, dan irigasi pertanian.

Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi merupakan siklus air yang mengalami perubahan
wujud melalui beberapa proses fisis alamiah secara terus menerus. Siklus
inilah yang menghubungkan antara atmosfer, litosfer, dan hidrosfer.
Dilihat dari prosesnya, siklus hidrologi dapat dibagi menjadi tiga yaitu
siklus pendek, siklus sedang, dan siklus panjang. Pada prinsipnya tidak
ada perbedaan yang mendasar diantara tiga siklus tersebut. Ketiganya
sama-sama memiliki tahap evaporasi, kondensasi, presipitasi, dan
infiltrasi.

Gambar 1.2 Diagram siklus hidrologi menunjukkan transfer molekul air antara laut dan darat. Angka-angka dalam kurung
menunjukkan volume air yang siklus melalui daratan Amerika Serikat dalam jutaan meter kubik setiap hari (Trefil dan Hazen,
2010).

7
Siklus hidrologi diawali dengan penguapan air laut (evaporasi) dan
penguapan air dari jaringan tumbuhan (transpirasi) karena radiasi panas
matahari. Uap air bergerak ke atas karena tekanan yang lebih rendah. Uap
air yang mengumpul akan menjadi awan dan mengalami penjenuhan.
Penjenuhan dapat terjadi karena penambahan air, tumbukan, dan
kombinasinya. Kemudian awan berkondensasi dan mengubah uap air
menjadi butir air yang halus. Butir air yang halus yang telah mengalami
level di atas kondensasi, akan melepaskan kalor latennya dan jatuh ke
bumi menjadi hujan. Air hujan yang jatuh akan diserap kembali oleh
vegetasi di bumi (presipitasi) dan mengalir menjadi air sungai kemudian
dapat mengalir kembali ke lautan. Air hujan juga dapat diserap oleh tanah
melalui pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah (infiltrasi).
Dari air yang dievaporasi di lautan, 90% kembali ke lautan dan 10%
terbawa oleh angin dan jatuh menjadi air bawah tanah, air tanah, air
permukaan, dan air larian (yang mengalir ke daerah lebih rendah).

Air Tanah
Air tanah merupakan air yang terdapat di bawah permukaan bumi
pada pori-pori tanah, pasir, kerikil, dan batuan yang jenuh terisi air.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
mendefinisikan air tanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah
atau batuan di bawah permukaan tanah. Sedangkan menurut ahli lain, air
tanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam
ruang antar butir-butir tanah yang meresap ke dalam tanah dan bergabung
membentuk lapisan tanah yang disebut akuifer. Lapisan yang mudah
dilalui oleh air tanah disebut lapisan permeable, seperti lapisan yang
terdapat pada pasir atau kerikil, sedangkan lapisan yang sulit dilalui air
tanah disebut lapisan impermeable, seperti lapisan lempung atau tanah
liat. Lapisan yang dapat menangkap dan meloloskan air tanah disebut
akuifer. Macam-macam akuifer adalah sebagai berikut:
a. Akuifer Bebas (Unconfined Aquifer) yaitu lapisan lolos air yang hanya
sebagian terisi oleh air dan berada di atas lapisan kedap air.
Permukaan tanah pada akuifer ini disebut dengan water table, yaitu
permukaan air yang mempunyai tekanan hidrostatik sama dengan
atmosfer.
b. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer) yaitu akuifer yang seluruh
jumlah airnya dibatasi oleh lapisan kedap air, baik yang di atas
maupun di bawah, serta mempunyai tekanan jenuh lebih besar
daripada tekanan atmosfer.
c. Akuifer Semi Tertekan (Semi Confined Aquifer) yaitu akuifer yang
seluruhnya jenuh air, dimana bagian atasnya dibatasi oleh lapisan
semi lolos air dan di bagian bawahnya merupakan lapisan kedap air.
d. Akuifer Semi Bebas (Semi Unconfined Aquifer) yaitu akuifer yang
bagian bawahnya merupakan lapisan kedap air, sedangkan bagian
atasnya merupakan material berbutir halus, sehingga pada lapisan
penutupnya masih memungkinkan adanya gerakan air. Dengan

8
demikian akuifer ini merupakan peralihan antara akuifer bebas
dengan akuifer semi tertekan.

Berikut merupakan gambar lapisan tanah beserta bagian-bagiannya


yang telah dijelaskan pada paragraf di atas.

Gambar 1.3 Lapisan tanah dan bagian-bagiannya.

Akuifer mengandung air berasal dari proses siklus hidrologi seperti yang
telah dijelaskan pada kajian sebelumnya. Akuifer dapat menyimpan dan
meneruskan air dalam jumlah yang cukup. Air ini mengandung material-
material hasil kontak antara air hujan dan udara. Untuk lebih jelasnya
pengisian air dalam akuifer dapat dilihat pada Gambar 1.4.

Gambar 1.4 Precipitation – Runoff – Infiltration -


Aquifer Recharge – Evaporation – Transpiration.

Proses ini diawali dengan peresapan (precipitation) dari air hujan


yang jatuh ke permukaan bumi, kemudian air ini bergerak sepanjang
permukaan tanah dan mengalir ke tempat yang lebih rendah hingga
kemudian ke laut (runoff), selain itu air hujan juga dapat meresap ke dalam
tanah melalui pori-pori tanah (infiltration). Pada proses inilah pengisian
akuifer otomatis terjadi. Air disimpan di dalam tanah dan batuan-batuan
yang ada di bawahnya. Kemudian air tanah dan air permukaan akan
menguap (evaporation), serta air yang dimiliki tanaman juga dapat
menguap (transpiration) karena panas matahari dan siklus hidrologi
berputar secara kontinu.

9
Sifat-sifat Hidrolik Akuifer
a. Porositas
Porositas dapat diartikan sebagai perbandingan antara volume ruang
antar butir terhadap volume total batuan.
= × 100% (1.1)
Keterangan:
n = porositas
Vv = volume ruang
V = volume total batuan
Porositas juga dapat dinyatakan dalam ’acre-feet’, yang berarti volum yang dinyatakan sebagai luas
dalam ’acre’ dan ketebalan reservoir dalam kaki (feet).
Selain itu dikenal juga istilah porositas efektif, yaitu apabila bagian
rongga-rongga di dalam batuan berhubungan, sehingga dengan demikian
porositas efektif biasanya lebih kecil daripada rongga pori-pori total yang
biasanya berkisar dari 10 sampai 15 persen.
Porositas efektif (ne) adalah porositas batuan yang dapat melewatkan
fluida. Untuk menghitung porositas efektif dapat dipakai rumus Vp=V/ne,
dengan ne adalah porositas efektif, vp adalah kecepatan fluida di media
berpori dan v adalah kecepatan fluida total. Nilai dari porositas total
umumnya lebih besar atau sama dengan porositas efektif.

Gambar 1.5 Porositas antar batuan

Di lapangan bisa didapatkan perkiraan secara visual dengan menggunakan


peraga visual. Penentuan ini bersifat semi–kuantitatif dan dipergunakan suatu
skala sebagai berikut:
a. 0 – 5% dapat di abaikan (negligible)
b. 5 – 10 % buruk (poor)
c. 10 – 15% cukup (fair)
d. 15 – 20 % baik (good)
e. 20 – 25% sangat baik (very good)
f. 25% istimewa (excellent)

b. Konduktivitas Hidrolik
Konduktivitas hidrolik atau permeabilitas adalah sebuah koefisien
perbandingan yang menjelaskan tingkatan di mana air dapat bergerak
melalui media permeabel. Atau dengan kata lain sebuah koefisien yang

10
menggambarkan kecepatan air yang dapat melaju melalui media
permeabel dalam unit waktu dan unit gradien hidrolik.
Penentuan permeabilitas ini didasarkan pada percobaan Darcy, dan
mendapatkan hasil penentuan permeabilitas sebagai berikut:
=− (1.2)
3
dengan Q adalah debit air yang masuk (m /s), K adalah permeabilitas
(m/s), A adalah luas penampang (m2), L adalah panjang penampang (m),
ha adalah tinggi air awal (m), dan hb adalah tinggi air akhir (m).
Dari definisi di atas tidak dijelaskan hubungan antara permeabilitas
dan porositas. Memang sebetulnya tidak ada hubungan antara
permeabilitas dengan porositas. Batuan yang permeable selalu sarang
(porous), tetapi sebaliknya, batuan yang sarang belum tentu permeable.
Hal ini disebabkan karena batuan yang berporositas lebih tinggi belum
tentu pori-porinya berhubungan satu dengan yang lain. Juga sebaliknya
dapat dilihat, bahwa porositas tidak tergantung dari besar butir, dan
permeabilitas merupakan suatu fungsi yang langsung terhadap besar butir.

c. Transmisibilitas
Transmisibilitas merupakan kecepatan aliran di bawah satu unit
gradien hidrolik melalui sebuah penampang pada seluruh tebal jenuh suatu
akuifer. Rumus yang digunakan untuk menghitungnya adalah:
= . (1.3)
Keterangan:
T = Transmisivitas (m2/s)
K = Konduktivitas Hidrolik (m/s)
b = Tebal akuifer (m)

d. Storativitas
Storativitas adalah kemampuan atau kapasitas akuifer dalam
menyimpan dan melepaskan sejumlah volume air per unit area per unit
perubahan muka air. Untuk akuifer tidak tertekan, storativitas dapat
dihitung menggunakan rumus:
= +ℎ (1.4)
Keterangan:
S = storativitas
h = ketebalan akuifer yang penuh dengan air (m)
Ss = specific storage (m-1)
Sy = specific yield

e. Specific Storage dan Specific Yields


Specific Storage adalah volume air dari formasi yang penuh dengan
air yang tersimpan atau keluar dari penyimpanan karena adanya gaya
tekan dari akuifer dan gaya tekan dari air untuk setiap unit perubahan
muka air tanah. Specific storage dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
= ( + ) (1.5)
dengan:
Ss = specific storage

11
= massa jenis air (kg/m3)
= percepatan gravitasi (m/s2)
= kompresibilitas akuifer (m2/N)
= kompresibilitas air (m2/N)
= porositas
Specific yields adalah rasio dari volume air yang keluar dari batu
yang penuh air akibat gaya gravitasi terhadap volume total dari batuan.
Secara visual, pengertian specific yields dapat dilihat pada Gambar 1.6,
dimana kondisi A adalah ketika batu masih penuh dengan air dan B
adalah setelah air yang ada keluar akibat gravitasi. Satuan dari specific
yields adalah persen. Specific yields dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:

=∆ (1.6)
dengan:
Sy = specific yields
∆ = perubahan volume air dalam storage (m3)
∆ℎ = perubahan head (m)
= luas daerah aliran akuifer (m2)

Gambar 1.6 Specific Yields

1.3 Lapisan Litosfer Terdiri dari Apa Saja?

Gambar 1.7 Kerak (Crust), Mantel (Mantle), dan Inti (Core) (Lang,
2011).

12
Gambar 1.8 Lapisan litosfer bumi (geolitosfer.blogspot.com).

Lapisan litosfer Bumi terdiri dari 3 bagian yaitu kerak bumi, mantel bumi,
dan inti bumi. Pada mantel bumi dibedakan menjadi 2 lagi mantel atas dan
mantel bawah begitupun juga dengan inti bumi ada inti bawah dan inti
atas, keduanya dipisahkan oleh batas peralihan. Rapat massa, temperatur,
dan tekanan sebanding dengan kedalaman dari lapisan bumi.
Susunan interior bumi dapat diketahui berdasarkan sifat-sifat fisika
bumi (geofisika). Sebagaimana telah diketahui bahwa bumi memiliki
sifat-sifat fisik seperti adanya gaya tarik bumi (gravitasi bumi),
kemagnetan, kelistrikan, rambatan gelombang (seismik), dan sifat-sifat
yang lainnya. Seorang geofisikawan dapat menciptakan penampang bumi.
Ilmu gempa bumi terdahulu mempelajari tentang definisi dan kandungan
pada batas lempeng. Kemudian berkembang pada sifat mekanis
perbatasan lempeng, seperti perilaku material-material. Seperti air dan
minyak, keduanya memiliki sifat mekanis yang sama yaitu sama-sama
cairan. Namun pada suatu kasus, air dan es memiliki komposisi yang sama
tapi air merupakan cairan yang memiliki sifat mekanis yang jauh berbeda
dengan es yang berbentuk padat.

Gambar 1.9 Komposisi dan lapisan mekanis struktur bumi.

13
a. Kerak Bumi
Kerak bumi merupakan bagian terluar dari litosfer bumi yang terdiri
dari kerak samudera dan kerak benua yang tersusun dari batuan-batuan
yang padat dan memiliki ketebalan antara 15-40 km. Di bawah kerak
bumi terdapat lapisan peralihan MOHO yaitu lapisan yang membatasi
kerak dan mantel bumi yang memiliki ketebalan ± 500 km. Lapisan
terluar bumi dengan ketebalan yang paling rendah, yakni 70 km - 40 mil
ketebalan diatas laut dan 3 km – 2 mil ketebalan dibawah laut.

Gambar 1.10 Lapisan kerak bumi dan lapisan Mohorovičić

Mohorovičić atau ”Moho” adalah batas terbawah yang memisahkan


kerak bumi dengan mantle atas. Hal ini ditemukan oleh Andrija
Mohorovičić pada tahun 1909, dan Moho merupakan tanda dari
pergantian kecepatan gelombang seismik P.
Ada dua tipe dari kerak bumi yaitu kerak benua dan kerak lautan.
Kerak benua memiliki kerapatan rata-rata bebatuannya sekitar 2,7 g/cm3
dengan ketebalan sekitar 35-40 km dan tipe batuan pada lapisan ini
adalah batuan granit. Sedangkan kerak lautan memiliki kerapatan sekitar
3,0 g/cm3 dengan ketebalan skitar 7-10 km dan tipe batuan yang dominan
adalah batuan basal.
98% bagian dari kerak bumi terdiri atas 8 elemen. Oksigen
merupakan elemen terbesar yang ada di kerak bumi. Hal ini
menunjukkan bahwa pentingnya mineral silikat (SiO2) pada suatu unsur.
Seperti halnya atom yang besar, oksigen menempati 93% volume kerak
bumi. Dan untuk unsur yang lainnya memiliki presentase Besi (Fe) 30%,
Silikon (Si) 15%, Magnesium (Mg) 10%, dan unsur lainnya sebesar 10%.

Gambar 1.11 Kandungan mineral bumi.

14
b. Mantel Bumi
Mantel bumi merupakan bagian kedua dari lapisan litosfer bumi.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa lapisan mantel bumi dibedakan
menjadi dua. Lapisan atas memiliki ketebalan 40-400 km. Keadaan ini
dapat diketahui dari kecepatan sekunder dan primer yang rendah.
Kemudian lapisan peralihan yang memiliki ketebalan ±80 km. Lapisan
mantel bagian bawah memiliki ketebalan 900-2700 km. Lapisan mantel
ini adalah isi dari 67% massa bumi dan merupakan lapisan yang diisi oleh
material cair dan kental. Di bawah mantel bumi terdapat lapisan peralihan
Gutenberg yang terletak sekitar 2900 km dari permukaan bumi. Mantel
terdiri dari bebatuan yang sering disebut dengan peridotite yang memiliki
ketebalan antara 100-150 km, batuan ini cukup panas untuk mengalir. Ada
tiga bagian dari mantel yaitu bagian teratas, transisi, dan terendah.

c. Inti Bumi
Inti bumi merupakan lapisan ketiga dari litosfer dan merupakan inti
dari litosfer bumi. Inti luar memiliki kedalaman 2880-4980 km. Inti dalam
memiliki kedalaman lebih dari 5000 km. Inti dalam dan Inti luar
dipisahkan oleh lapisan peralihan Lehman.
Merupakan sebuah bola kaya zat besi dengan radius 3.471 km.
Memiliki dua komponen yang memiliki periaku berbeda terhadap
gelombang seismik.
1) Inti luar
Mengandung cairan besi, nikel, dan sulfur. Dengan ketebalan dari inti
luar sebesar 2.233 km dan mempunyai kerapatan -10 sampai -12 g/cm3.
2) Inti dalam
Mengandung padatan seperti besi (Parker, et all., 1996), namun
sesungguhnya adalah dari perpaduan besi-nikel (Bukowinski, 1976,
1979). Memiliki jarak ketebalan atau radius sebesar 1.220 km dengan
kerapatan -13 g/cm3 (Masters & Sharer, 1990) dan suhu sebesar
5.500oK (Stixrude dan Brown, 1998). Aliran pada inti bumi
mengandung medan magnet.

Model Penurunan Densitas Bumi


Variasi densitas terhadap kedalaman bumi dapat diturunkan secara
sederhana dengan menggunakan persamaan Adams-Williamson.
Persamaan ini diturunkan berdasarkan asumsi asumsi bahwa:
a. bumi terdiri dari lapisan lapisan tipis,
b. setiap lapisan mempunyai sifat homogen (tidak ada
perubahan fisis dalam arah lateral)
Dengan asumsi tersebut maka persamaan Adams-Williamson dapat
diturunkan seperti berikut:
Untuk tekanan ( ) dari + ke maka
=− ( ) ( ) (1.7)
dengan:
( ): percepatan gravitasi pada jari-jari r
( ): densitas pada jari-jari r

15
: ketebalan lapisan tipis
Dalam persamaan (1.7), tanda minus menunjukkan bahwa tekanan P
bertambah dengan berkurangnya jari-jari r
Diferensiasi persamaan (1.7) menghasilkan
=− ( ) ( ) (1.8)
dengan:
g(r) = (1.9)
: konstanta gravitasi bumi
: massa bumi sampai dengan radius r
Subtitusi persamaan (1.9) ke persamaan (1.8) menghasilkan
= ( )
=
= ( ) (1.10)
Dari persamaan modulus bulk ( ) berikut diperoleh:
= = (1.11)
/
dengan V = Volume
=

= =− =−
Sehingga persamaan (1.11) menjadi
− −
= = =
/ − /
= (1.12)
dengan
4
= −
3
4
= −
3
maka
= = = (1.13)
Subtitusi persamaan (1.13) ke persamaan (1.8) menjadi
= ρ(r)  = ρ(r)ϕ (1.14)
Keterangan:
α : vp (Kecepatan gelombang primer)
β : vs (Kecepatan gelombang sekunder)

Persamaan (1.14) dikenal sebagai persamaan Adams-Williamson yang


dapat digunakan untuk menurunkan kurva densitas sebagai fungsi dari
kedalaman. Untuk menggunakan persamaan ini maka terlebih dahulu
perlu diketahui harga densitas di permukaan bumi. Berdasarkan
persamaan (1.14), dapat diketahui bahwa besarnya densitas bumi akan
terus bertambah terhadap berkurangnya jari-jari Bumi. Dengan semakin

16
dalam atau mendekati pusat bumi maka densitasnya semakin besar
(Widiyantoro, 2007).

Model Termal Bumi


Bagian dalam (interior) Bumi merupakan bagian yang memiliki
temperatur yang tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya letusan
gunung api, sumber mata air panas, dan kondisi yang dirasakan oleh
pekerja tambang ketika masuk ke dalam bumi akan terasa panas. Panas
bumi itu terasa karena ada proses perpindahan panas atau proses transfer
panas bumi. Proses transfer panas bumi ada 3 macam yaitu:
a. Konduksi
Perpindahan energi termal melalui proses konduksi yaitu perpindahan
energi termal yang diikuti dengan pergerakan materi. Mekanisme
konduksi bergantung pada struktur molekul suatu benda. Logam
merupakan konduktor panas yang baik sebab mempunyai elektron
bergerak yang memfasilitasi transfer panas. Sebaliknya batuan merupakan
konduktor yang kurang baik karena batuan terdiri dari campuran beberapa
mineral.
b. Konveksi
Perpindahan panas oleh pergerakan suatu fluida (baik cair maupun
gas) disebut konveksi. Karena adanya pergerakan materi-materi, maka
konveksi merupakan proses transfer panas yang lebih efisien daripada
konduksi. Proses tektonik lempeng juga berhubungan dengan pergerakan
material di dalam mantel bumi. Oleh sebab itu, mantel bumi memiliki sifat
seperti fluida.
c. Radiasi
Suatu benda memancarkan energi dalam bentuk radiasi
elektromagnetik. Dua benda yang saling berhadapan akan mengalami
pertukaran energi dalam bentuk radiasi termal sampai temperatur kedua
benda sama. Jumlah transfer panas melalui proses radiasi hanya akan
signifikan jika benda yang beradiasi tersebut mempunyai temperatur
tinggi (Widiyantoro, 2007).

Sumber Panas Bumi


Sumber panas Bumi prinsipnya terbagi 2 kategori yaitu sumber panas
purba (primordial) dan panas yang disebabkan oleh peluruhan beberapa
isotop radioaktif dengan waktu paruh panjang.
a. Panas Primordial
Kajian panas primordial sangat bergantung pada hipotesa
pembentukan bumi. Yang termasuk panas primordial yaitu energi akresi,
kompresi adiabatik, energi pembentukan inti bumi dan peluruhan isotop
radioaktif dengan waktu paruh pendek. Energi akresi merupakan energi
yang berasal dari proses tumbukan yaitu perubahan energi kinetik menjadi
energi termal. Kompresi adiabatik merupakan penyebab penting kenaikan
temperatur internal bumi. Pada saat terjadi peristiwa akresi, bagian dalam
Bumi mengalami kompresi. Efek dari kompresi ini menyebabkan bagian
terdalam dari bumi menjadi lebih panas. Proses pembentukan inti bumi
terjadi bila benda dengan densitas yang besar akan turun ke pusat bumi

17
dan menimbulkan gesekan dengan materi di sekitarnya. Dari gesekan
tersebut timbullah energi termal. Di bumi terdapat isotop radioaktif
dengan waktu paruh yang relatif pendek yaitu Aluminium, Klorin dan
Besi. Ketiga isotop tersebut akan berkontribusi efektif menghasilkan
energi termal jika waktu paruhnya lebih panjang dari proses akresi.
b. Peluruhan isotop radioaktif dengan waktu paruh panjang
Sumber utama panas dalam Bumi berasal dari peluruhan isotop-
isotop dengan waktu paruh relatif panjang, terutama adalah isotop yang
keberadaannya cukup banyak dan waktu paruhnya sebanding dengan
umur bumi. Empat contoh utama yaitu 40K dengan waktu paruh 1,3 x 109
tahun, 232Th dengan waktu paruh 13,9 x 109 tahun, 235U dengan waktu
paruh 0,71 x 109 tahun, dan 238U dengan waktu paruh 4,5 x 109 tahun.
Panas Bumi diperkirakan sekitar 50%-80% berasal dari peluruhan
radioaktif. Sehingga panas primordial maksimal hanya 50%.

Penurunan Model Geotherm Sederhana


Temperatur dalam kolom batuan ditentukan oleh beberapa
parameter internal maupun eksternal. Parameter internal antara lain:
konduktivitas, spesifik panas, densitas, dan panas radioaktif. Sedangkan
parameter eksternal meliputi aliran panas dalam kolom batuan,
temperatur di permukaan dan laju material yang ditambahkan pada atau
dikurangkan dari puncak kolom (deposisi atau erosi).
Geotherm merupakan profil temperatur terhadap kedalaman bumi.
Jika kolom 1 dimensi dianggap tidak ada deposisi maupun erosi, dan
aliran panasnya konstan maka kolom tersebut lambat laun akan mencapai
keseimbangan termal yang temperatur di setiap titik tetap. Profil
temperatur kedalaman dalam kondisi ini disebut equilibrium geotherm.
Dalam kondisi setimbang maka:
=0
dan
=− (1.15)
dengan
T : temperatur
t : waktu
k : konduktivitas termal
A : luas area
∇ : operator Laplace
Untuk kasus 1-D persamaan di atas menjadi
=− (1.16)
Persamaan diferensial orde 2 di atas dapat diselesaikan dengan
memberikan 2 kondisi batas sebagai berikut. Diasumsikan bahwa di
permukaan z = 0 dan semakin ke bawah z semakin bertambah, sedangkan
kedua pasang kondisi batas tersebut adalah:
a. T = 0 pada z = 0
b. Aliran panas di permukaan pada z = 0 adalah
Q = −k = −Q (1.17)

18
Di sini Q bernilai negatif sebab panas diasumsikan mengalir ke atas
sedangkan z positif ke arah bawah. Integrasi dari persamaan (1.16) adalah
= − +c (1.18)
di mana merupakan konstanta integrasi. Oleh karena = pada z=0,
maka
= (1.19)
Subtitusi persamaan (1.19) ke (1.18) menjadi
=− + (1.20)
Integrasi kedua kali semua ruas persamaan (1.20) terhadap z menjadi
=− + + (1.21)
dengan merupakan kontanta integrasi. Melihat batas kondisi pada poin
a yaitu T = 0 pada z = 0 maka nilai = 0. Oleh karena itu temperatur
dalam kolom menjadi
T=− z + z (1.22)
Dari persamaan (1.22) dapat diketahui hubungan temperatur dengan
kedalaman adalah berbanding lurus. Semakin dalam tempat dari suatu
permukaan bumi maka temperaturnya semakin tinggi (Widiyantoro,
2007).

Prinsip Arus Konveksi dalam Fluida


Konveksi mantel bumi sering digambarkan dengan contoh bagaimana
sup mendidih di dalam suatu panci. Contoh ini merupakan contoh yang
baik karena merupakan gambaran dari model konveksi mantel. Konveksi
pada mantel bumi jauh lebih kompleks dibandingkan dengan contoh
tersebut. Kerumitan sistem mantel tersebut dikarenakan Bumi memiliki
bentuk yang sferik (seperti bola) yang pepat pada kutubnya dan sumber
pemanas yang tidak bersal dari inti bumi saja melainkan dari isotop
radioaktif yang terdapat di dalam mantel bumi (internal heating).
C’ A’

C A

D B

(a) (b)
Gambar 1.12 a) Gambaran terjadinya variasi densitas lateral yang diilustrasikan dengan pemanasan
fluida dalam kolom tabung b) Aliran konveksi pada fluida ketika tabung diangkat.

Syarat fundamental terjadinya konveksi dalam suatu fluida adalah


adanya variasi densitas secara lateral. Variasi densitas secara lateral ini

19
digambarkan oleh Gambar 1.12. Pada Gambar 1.12, bagian a
menggambarkan proses pemanasan suatu fluida dengan menggunakan
tabung yang memiliki 2 kolom yaitu kolom AB dan CD. Sumber
pemanas tepat di bawah B, maka fluida pada kolom AB akan mengalami
ekspansi yang lebih kuat daripada yang berada pada kolom CD (A’ lebih
tinggi dari C’). Hal ini menyebabkan tekanan di A lebih besar daripada
di C meskipun ketinggian kolom AB dan CD sama. Adanya perbedaan
ekspansi maka kolom A’B mempunyai volume yang lebih besar dari
kolom C’D dengan massa yang sama. Maka kolom A’B memiliki
densitas yang lebih rendah dari kolom C’D. Jika di A dibuat sebuah
lubang maka fluida akan keluar sehingga tekanan di B menurun. Jika
pada B dan D diberi lubang maka fluida akan mengalir dari D menuju ke
B. Apabila kedua kolom tabung ini diambil dan pemanasan tetap
berlangsung maka fluida akan mengalami sirkulasi akibat adanya
perbedaan densitas dalam arah lateral (lihat pada Gambar 1.12 b).
Penggambaran proses konveksi pada fluida yang lebih kompleks
yaitu pada pemanasan fluida dalam tangki dangkal yang merata dan
pendinginan pada permukaan fluida tersebut merata. Pemanasan yang
sangat kecil akan menghasilkan gradien temperatur secara vertikal yang
merata dan tidak diikuti oleh pergerakan fluida sehingga panas mengalir
ke atas dengan proses konduksi. Dalam kondisi ini, lapisan bagian bawah
lebih panas sehingga densitasnya lebih rendah tetapi tidak terjadi
konveksi karena tidak ada perubahan densitas secara horisontal.
Penambahan panas akan mengurangi densitas lapisan di bawah dan
menambah daya apung (bouyancy), sehingga ketidak-seragaman
(irregularity) densitas dalam lateral yang sedikit akan mengakibatkan
materi yang lebih ringan naik. Ketidak-seragaman ini terbentuk spontan
setelah pemanasan dan saat itulah konveksi mulai terjadi. Pola konveksi
ini memiliki sel berbentuk heksagonal. Kumpulan dari sel heksagonal ini
disebut dengan ’Sel Bernard’. Pola konveksinya disebut dengan pola
konveksi Bernard dimana fluida akan mengalami tiga tipe kelakuan saat
dipanaskan yaitu 1) sebelum konveksi terjadi, transfer panas berlangsung
secara konduksi; 2) sel Bernard terbentuk dan stabil; dan 3) terjadi
konveksi yang tidak teratur dan turbulen, setiap gerak dalam aliran fluida
di setiap titiknya berubah secara cepat baik besar maupun arahnya.
Penjelasan mengenai konsep konveksi secara kuantitatif dijelaskan
oleh Rayleigh yang menyatakan bahwa konveksi tidak bergantung pada
satu atau dua sifat fluida melainkan kombinasi dari beberapa sifat fluida.
Kombinasi dari beberapa sifat fluida dijadikan suatu kuantitas yang
disebut ”Rayleigh Number” (Ra). Kuantitas ini yang digunakan untuk
memprediksi kondisi konveksi yang akan terjadi. Berikut penjabaran
mengenai ”Rayleigh Number”.

Ra = (1.23)
Keterangan
= koefisien volume dari ekspansi termal (K-1)
∆ = perbedaan temperatur (K)
= percepatan gravitasi (m/detik2)
= kedalaman lapisan fluida (m)

20
= densitas (kg/m3)
= difusivitas termal (m2/detik)
= viskositas dinamik (Pa detik)
Berikut keterangan penting mengenai persamaan 1.23 (Widiyantoro,
2007):
a. Koefisien volume dari ekspansi termal ( ) adalah ekpansi dari suatu
benda dalam volume per derajat kenaikan temperatur dari benda relatif
terhadap volume awal, sehingga satuannya menjadi K-1. Mantel bumi
mempunyai nilai = ± 2 x 10-5 K-1 berarti kenaikan temperatur sebesar
1 K akan meningkatkan volume sebesar 2 x 10-5 x volume awal.
b. Kompresi suatu fluida menyebabkan penambahan suhu dengan
bertambahnya kedalaman. Hal ini disebut dengan gradien temperatur
adiabatik. Gradien ini akan bernilai konstan sebelum terjadinya
konveksi. Gradien temperatur untuk mantel bumi adalah 0,25 K/km.
Sehingga penambahan temperatur adiabatik dari batas mantel paling
atas ke batas mantel paling bawah sangat signifikan yaitu 750 K. Maka
pada kedalaman (z) tertentu
∆ = (sebenarnya) − (adiabatik).
c. Percepatan gravitasi g untuk seluruh mantel bumi dapat dianggap
konstan yaitu 10 m/detik2.
d. Kedalaman (z) dari lapisan fluida secara implisit menunjukkan volume
kolom fluida dari unit penampang dalam kondisi konveksi. Suku z3
mempunyai satuan m3.
e. Difusifitas termal ( ) dari suatu fluida ditentukan oleh konduktivitas
termal (k) dari fluida dibagi densitas dikalikan dengan kapasitas panas
spesifik (c).
= (1.24)
f. Viskositas dinamik dapat diterangkan dengan skema deformasi fluida
seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1.13.

Gambar 1.13 Deformasi dari suatu fluida digambarkan sebagai pergeseran


dari lapisan-lapisan yang membatasi fluida tersebut, lempeng yang di bawah
tetap diam sedangkan lempeng yang di atas bergeser. Sudut geser (θ)
merupakan ukuran dari viskositas dinamik untuk gaya (F) yang diberikan.

Dalam Gambar 1.13 terdapat lapisan fluida yang berada di antara dua
lempeng yang sejajar. Untuk menggeser lempeng yang di atas sejajar
dengan lempeng yang di bawah maka diperlukan F dalam arah x dan gaya
ini harus dipertahankan guna menjaga pergeseran lempeng yang di atas

21
berlanjut. Jika fluida dianggap sebagai lapisan-lapisan yang tipis maka
akan terjadi perubahan kecepatan yang rata dalam fluida tersebut yaitu
mulai dari nol tepat di atas lempeng yang diam sampai vmax tepat di
bawah lempeng yang bergeser di atas lapisan fluida tersebut. Gradien
kecepatan (∆ /∆ ) berbanding lurus dengan F dan berbanding terbalik
dengan luas penampang lempeng (A), sehingga

∞ (1.25)

Konstanta perbandingan ini didefinisikan sebagai viskositas dinamik ( )
dari fluida tersebut

= (1.26)

Karena gaya per satuan luas merupakan tekanan (P) maka persamaan
(1.26) menjadi

= (1.27)

Sehingga

= (1.28)

memiliki satuan Poise (P), dengan I P = 0,1 Pa detik

g. Dari persamaan ”Rayleigh Number”, terlihat bahwa fluida merupakan


parameter yang tidak berdimensi

Model-Model Konveksi Mantel


a. Model Satu Lapis

(a) (b)
Gambar 1.14 a) Model konveksi satu lapis (whole mantle convection)
b) Penggambaran sederhana model konveksi satu lapis.

Para ahli seismologi meyakini bahwa konveksi pada mantel bumi


merupakan konveksi satu lapis (whole mantle convection). Hal ini
didasari oleh observasi bahwa lempeng-lempeng besar mempunyai
dimensi horizontal antara 2000 km sampai 5000 km, bahkan lempeng
Samudera Pasifik mencapai sekitar 10.000 km. Konveksi yang
berhubungan dengan pergerakan lempeng ini diperkirakan mempunyai
dimensi vertikal yang sebanding dengan dimensi horisontalnya. Sel
konveksi ini dibatasi oleh lapisan dingin di atasnya (litosfer) dan lapisan

22
panas di bawahnya yang disebabkan oleh pemanasan dari inti bumi
(Gambar 1.14). Sistem lapisan ini disebut ’lapisan batas termal’ (thermal
boundary layers) (Widiyantoro, 2007).

b. Model Konveksi Dangkal

Gambar 1.15 Model konveksi mantel dangkal (Widiyantoro, 2007).

Beberapa para ahli lain mengutarakan pendapat bahwa konveksi


hanya terjadi pada batas kedalaman sekitar 700 km saja. Para ahli geokimia
berpendapat bahwa konveksi mantel dangkal merupakan proses konveksi
yang hanya terjadi di mantel bumi bagian atas saja sesuai dengan
kedalaman seismisitas. Sedangkan mantel bumi bagian bawah dianggap
mempunyai viskositas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
viskositas mantel atas. Sehingga mantel bawah tidak mempunyai sifat
seperti fluida. Model geokimia menunjukkan bahwa tidak ada transfer
materi melewati batas mantel, yang terjadi hanya transfer panas. Model ini
mengindikasikan bahwa kerak continen terekstraksi dari mantel bumi
bagian atasnya saja (sampai kedalaman 700 km) (Widiyantoro, 2007).

c. Model Dua Lapis

Gambar 1.16 Model konveksi dua lapis (Widiyantoro, 2007).

Dalam konveksi model dua lapis, pengertian mengenai mantel bumi


bagian bawah memiliki viskositas yang sangat tinggi tidak berlaku lagi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mantel bawah dapat bersifat
23
seperti fluida. Oleh sebab itu terjadi rekonsiliasi bahwa konveksi mantel
dapat terjadi di dalam mantel bumi bagian atas dan bawah secara
terpisah. Hal ini berarti bahwa batas antara mantel atas dan bawah pada
kedalaman sekitar 700 km merupakan pemisah yang tidak dapat
ditembus oleh aliran konveksi baik yang berasal dari mantel atas maupun
mantel bawah (Widiyantoro, 2007).

d. Model Hybrid
Ilmuwan terus meneliti serta mengembangkan teori baru mengenai
model konveksi yang dialami oleh lempeng. Model konveksi yang
dimaksud adalah model konveksi hibrida. Dalam model konveksi ini
dijelaskan bahwa lempeng litosfer oseanik atau lempeng samudera yang
menunjam akan tertahan di batas mantel bumi bagian atas dan bagian
bawah di sekitar kedalaman 660 km yang diakibatkan oleh adanya
kontras viskositas antara mantel atas dan mantel bawah. Jika subduksi
lempeng litosfer terus berlangsung maka akan terjadi penumpukan massa
di sekitar kedalamn 660 km. Akibat gaya gravitasi maka sebagian massa
tersebut akan masuk ke mantel bawah dan ikut aliran konveksi di mantel
bawah. Dengan demikian terjadilah konveksi di seluruh mantel. Hal ini
berarti bahwa batas antar mantel atas dan mantel bawah bukan menjadi
penghalang (barrier) bagi slab litosfer untuk menembus mantel bawah,
tetapi bersifat menahan (resistive) terhadap laju slab tersebut
(Widiyantoro, 2007).

Gambar 1.17 Model konveksi hibrida (Widiyantoro, 2007).

1.4 Apakah Lempeng Tektonik itu?


Teori Lempeng Tektonik
Beberapa dekade yang lalu, revolusi pemahaman mengenai bumi dimulai
sejak kemunculan hipotesis tentang pergeseran benua (continental drift)
yang menyatakan bahwa benua bergerak. Ide ini kemudian berkembang
menjadi sebuah teori yang dikenal dengan teori lempeng tektonik. Teori
ini menyuguhkan model yang paling komprehensif bagi ahli geologi
untuk mempelajari aktivitas internal bumi.

24
Gambar 1.18 Pergeseran benua di
Bumi (Trevil & Hazen, 2010).

Gambar 1.18 menjelaskan tentang pergeseran benua di Bumi. Dua


ratus juta tahun yang lalu semua benua dikelompokkan menjadi super-
benua tunggal yang disebut Pangaea dan dunia hanya berisi satu laut
(atas). Benua kemudian bergeser jauh dari Pangaea, bergerak ke bagian
belakang piring untuk posisi mereka sekarang menempati (tengah).
Bagian bawah diagram menggambarkan geografi dunia 50 juta tahun dari
sekarang.
Secara garis besar lempeng tektonik bumi dibagi menjadi dua, yaitu
lempeng samudera (oceanic crust) dan lempeng benua (continental crust).
Lempeng samudera merupakan dasar laut yang memiliki ketebalan 5-8 km
dan memiliki komponen penyusun yaitu kaya akan lapisan basal.
Sedangkan lempeng benua merupakan daratan tempat tinggal makhluk
hidup yang kaya akan lapisan granit. Lempeng benua memiliki ketebalan
30-40 km. Dilihat dari komposisi penyusunnya, lempeng samudera
memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan lempeng
benua. Istilah geologi untuk lempeng samudera merupakan lapisan sima
dan lempeng benua merupakan lapisan sial (Jpb dkk, 2013).
Teori Tektonik Lempeng yaitu teori yang menjelaskan sifat bumi
yang dinamis. Teori ini menyatakan bahwa lempeng-lempeng yang ada di
kerak bumi saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Berdasarkan
teori lempeng tektonik, litosfer dipecah menjadi beberapa bagian yang
disebut dengan lempeng. Gambar 1.19 menunjukkan beberapa contoh
lempeng yang ada di Bumi. Lempeng Bumi bertindak seperti kulit yang
sangat keras dan kaku. lempeng-lempeng tektonik ini terus menerus
bergerak menumpang di atas astenosfer yang bersifat seperti fluida. Lebih

25
dari satu lusin lempeng terdapat di bumi dan yang terbesar adalah
lempeng pasifik (Tarbuck and Lutgens, 2012). Lempeng-lempeng ini
berjumlah 13 yaitu: (1) Lempeng Pasific, (2) Lempeng Euroasia, (3)
Lempeng India-Australia, (4) Lempeng Afrika, (5) Lempeng Amerika
Utara, (6) Lempeng Amerika selatan, (7) Lempeng Antartika, (8)
Lempeng Nasca, (9) Lempeng Arab, (10) Lempeng Karibia, (11)
Lempeng Philippines, (12) Lempeng Scotia, (13) Lempeng Cocos (Noor,
2011).

Gambar 1.19 Ilustrasi beberapa lempeng bumi (Trefil & Hazen, 2010).

Pergerakan Lempeng
Litosfer Bumi ini dibagi menjadi berbagai lempeng (Gambar 1.20).
Lempeng-lempeng tersebut bergerak dalam arah yang ditunjukkan oleh
anak panah dengan rata-rata sekitar sepersepuluh dari satu meter per
tahun. Litosfer menyelam ke dalam astenosfer yang mendasari zona
subduksi. Hal ini ditandai dengan garis tebal dengan segitiga,
membentuk Ring of Fire yang terkenal di sekitar tepi Pasifik dan Pelat
Nazca. Sebagian besar gempa bumi dan aktivitas vulkanik benua
terkonsentrasi di sepanjang zona subduksi.
Akibat arus konveksi pada mantel bumi, lempeng-lempeng yang
terapung di astenosfer secara terus menerus bergerak relatif satu sama
lain dengan sangat lambat (rata-rata 5 cm per tahun). Gerakan lempeng
yang disebabkan adanya arus konveksi menyebabkan lempeng tektonik
bumi bergerak secara dinamis selama milyaran tahun. Ada 3 tipe
pergerakan lempeng, yaitu: pergerakan lempeng konvergen, pergerakan
lempeng divergen, dan pergerakan lempeng transform (Tarbuck dan
Lutgens, 2012). Pergerakan lempeng erat kaitannya dengan
pembentukan struktur di permukaan bumi, salah satunya berupa gunung
api. Pergerakan lempeng tersebut menyebabkan adanya batas-batas

26
pertemuan lempeng. Batas-batas lempeng tersebut terdapat tiga macam
antara lain convergent boundaries, divergent boundaries dan transform
boundaries. Adanya batas lempeng menyebabkan timbulnya gejala alam
yang diamati dan dikaji antara lain: gempa bumi, aktivitas gunung berapi,
pembentukan gunung, dan pembentukan palung laut (Wallace, 1995).

Gambar 1.20 Pergerakan Lempeng Bumi (Lang, 2011).

Jenis Pergerakan Lempeng Tektonik


Lempeng tektonik dapat bergerak secara dinamis. Sesuai dengan
penjelasan sebelumya, pergerakan lempeng tektonik dipengaruhi oleh arus
konveksi yang terjadi di dalam mantel bumi. Pergerakan lempeng bumi
terjadi secara horizontal. Pergerakan antar lempeng tektonik tersebut akan
menciptakan suatu gesekan maupun benturan cukup keras. Pergerakan
lempeng tersebut menyebabkan adanya batas-batas pertemuan lempeng.
Batas-batas lempeng tersebut terdapat tiga macam antara lain convergent
boundaries, divergent boundaries dan transform boundaries.
a. Convergent Boundaries (Batas Konvergen)
Konvergensi, yaitu gerakan saling bertumbukan antar lempeng
tektonik. Zona atau tempat terjadinya tumbukan antara lempeng tektonik
benua dengan benua disebut zona konvergen. Pergerakan Lempeng
konvergen terjadi pada lempeng yang bergerak saling mendekati sampai
akhirnya bertumbukan dan menyebabkan salah satu dari lempeng masuk
(tersubduksi) ke dalam mantel, akibatnya terjadi pengurangan area dari
lempeng tersebut. Zona atau tempat terjadinya tumbukan antara lempeng
tektonik disebut zona konvergen. Terdapat 3 kombinasi dari zona
konvergen, yaitu:
1) Pertemuan antara dua lempeng samudera yang mengakibatkan salah
satu lempeng tersubduksi ke arah mantel.
2) Pertemuan antara lempeng samudera dan lempeng benua yang
mengakibatkan lempeng samudera tersubduksi ke arah mantel.
3) Pertemuan antara dua lempeng benua yang mengakibatkan terjadinya
lipatan yang semakin lama areanya semakin luas dan semakin tinggi.
Pada tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng benua, salah
satu lempeng benua menunjam lempeng benua yang lain. Sehingga

27
material lempeng benua yang tidak terlalu padat tidak cukup berat untuk
meleleh dan tenggelam masuk ke astenosfer. Wilayah di bagian yang
bertumbukan mengeras dan menebal. Aktivitas tersebut membentuk
deretan pegunungan non vulkanik (mountain range). Contoh tumbukan
antara lempeng benua India dengan lempeng benua Eurasia yaitu
terbentuknya pegunungan lipatan muda Himalaya yang merupakan
pegunungan tertinggi di dunia dengan puncak tertingginya, Mount
Everest. Contoh lain, tumbukan lempeng benua Italia dengan lempeng
benua Eropa yang menghasilkan terbentuknya Pegunungan Alpen.
Gambar 1.21 menunjukkan ilustrasi tumbukan antara lempeng benua
dengan lempeng benua.

Gambar 1.21 Tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng benua akan membentuk
pegunungan non vulkanik (Trefil dan Hazen, 2010).

Tumbukan antar lempeng benua dengan lempeng samudera terjadi


ketika suatu lempeng samudera menunjam ke bawah lempeng benua.
Lempeng ini masuk ke lapisan astenosfer yang suhunya lebih tinggi
sehingga meleleh. Aktivitas ini mengakibatkan pada lapisan atas litosfer
terbentuk deretan gunung berapi (volcanic mountain range). Sementara
di dasar laut tepat di bagian penunjaman, terbentuk parit samudera
(oceanic trench).
Zona berupa jalur tumbukan antar lempeng benua dengan lempeng
samudera disebut zona subduksi atau zona tunjam. Contoh tumbukan
antara lempeng benua Amerika dengan lempeng samudera Pasifik yang
menghasilkan terbentuknya Pegunungan Rocky dan Pegunungan Andes.
Gambar 1.22 menunjukkan ilustrasi tumbukan antara lempeng benua
dengan lempeng samudera.
Pada tumbukan lempeng samudera dengan lempeng samudera salah
satu lempeng samudera menunjam ke bawah lempeng samudera lainnya,
menyebabkan terbentuknya parit di dasar laut, dan deretan gunung berapi
yang sejajar terhadap parit di dasar laut. Puncak sebagian gunung berapi
ini ada yang timbul sampai kepermukaan, membentuk gugusan pulau
vulkanik (volcanic island chain). Contoh dari tumbukan ini adalah
terbentuknya pulau vulkanik Aleutian di Alaska. Pulau ini terbentuk dari
konvergensi antara lempeng samudera Pasifik dan lempeng samudera
Amerika Utara. Gambar 1.23 menunjukkan ilustrasi tumbukan antara
lempeng samudera dengan lempeng samudera (Trefil dan Hazen, 2010).

28
Gambar 1.22 Tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng
samudera akan membentuk pegunungan berapi di daratan dan parit
samudera di lautan (Trefil dan Hazen, 2010).

Gambar 1.23 Tumbukan antara lempeng samudera dengan lempeng


samudera akan membentuk gugusan pulau vulkanik (Trefil dan
Hazen, 2010).

b. Divergent Boundaries (Batas Divergen)


Divergensi yaitu gerakan saling menjauh antar lempeng tektonik
contohnya gerakan saling menjauh antara lempeng Afrika dengan
Amerika bagian selatan. Zona berupa jalur tempat berpisahnya lempeng-
lempeng tektonik disebut Zona Divergen (zona sebar pisah). Fenomena
yang terjadi, sebagai berikut: 1) Perenggangan lempeng yang disertai
pertumbukan kedua tepinya. 2) Pembentukan tanggul dasar samudera
(med ocean ridge) di sepanjang tempat perenggangan lempeng-lempeng
tersebut. 3) Aktivitas vulkanisme laut dalam yang menghasilkan lava basa
berstruktur bantal (lava bantal) dan hamparan leleran lava encer, dan 4)
Aktivitas gempa (Trefil dan Hazen, 2010).
Pergerakan Lempeng divergen terjadi pada lempeng-lempeng yang
bergerak saling menjauh. Pada zona divergen akan terbentuk permukaan
baru dan menyebabkan makin meluasnya area dari lempeng tersebut. Ada
2 jenis pergerakan lempeng divergen, yaitu:
1) Pergerakan lempeng divergen yang terjadi antara dua lempeng
samudera menyebabkan terbentuknya muka laut baru akibat magma
yang mengisi ruang kosong. Tempat perluasan area di dua batas
lempeng dengan tipe lempeng divergen biasa disebut seafloor
spreading atau spreading centre. Hampir semua pergerakan lempeng
divergen merupakan jenis ini.
2) Pergerakan lempeng divergen yang terjadi antara dua lempeng benua
menyebabkan terjadinya rekahan yang cukup besar pada daratan dan
rekahan itu menjadi terus meluas setiap tahunnya. Jenis ini jarang

29
ditemui. Contoh hasil pergerakan lempeng divergen jenis ini adalah
Great Rift Valley di Afrika Timur.

c. Transform Boundaries (Batas Transformasi)


Pergerakan Lempeng Transform adalah pergerakan antara dua
lempeng secara horisontal dan berlawanan arah. Zona berupa jalur
tempat bergesekan lempeng-lempeng tektonik disebut Zona Sesar
Mendatar (zona transform). Pada tipe ini tidak ada pembentukan lapisan
baru atau penyusupan yang dilakukan oleh salah satu lempeng terhadap
lainnya, contohnya adalah pergerakan lempeng transform antara dua
lempeng samudera yang disebabkan patahnya jalur seafloor spreading,
daerah tersebut biasa disebut sebagai Mid-Ocean Ridges, sedangkan
pertemuan antara dua lempeng benua untuk tipe ini terjadi akibat
pergeseran dua buah lapisan secara horisontal yang muncul hingga
permukaan, contohnya adalah patahan San Andreas di California yang
membentang sepanjang kurang lebih 1.200 km dari San Francisco di
utara sampai Los Angeles di selatan Amerika Serikat (Trefil dan Hazen,
2010).
Pergerakan benua dan dasar laut menurut para ahli disebabkan
adanya lempeng dalam kerak bumi (litosfer). Pergerakan lempeng bumi
disertai dengan kekuatan tektonik (internal force) yang berasal dari
mantel bumi yaitu arus konveksi. Oleh karena itu lempeng bumi disebut
sebagai lempeng tektonik bumi (Kious dkk, 1996).

Gambar 1.24 Sesar mendatar (Transform) (Trefil dan


Hazen, 2010)

Lempeng Tektonik di Indonesia


Wilayah Indonesia memiliki luas sekitar 5000 km2 yang memiliki
batas bujur 95° BT sampai 140° BT dan batas lintang 6° LU sampai 11°
LS. Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan secara tektonik terletak
pada posisi pertemuan tiga lempeng tektonik bumi yang aktif. Lempeng-
lempeng tektonik yang menyusun Indonesia antara lain: Lempeng
Samudera Hindia-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia.
Letak lempeng tektonik yang menyusun Indonesia terdiri dari sebelah
utara hingga utara disebut lempeng tektonik Eurasia. Lempeng tektonik
di sebelah selatan dibatasi dengan lempeng tektonik Samudera Hindia-
Australia, dan dibagian timur dibatasi dengan lempeng yang berbeda
yaitu lempeng tektonik Pasifik (Kious dkk, 1996).

30
Lempeng Eurasia dan Samudera Hindia-Australia merupakan jenis
lempeng yang memiliki batas konvergen. Lempeng Samudera Hindia-
Australia adalah lempeng yang menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Di
bagian timur Indonesia, terdapat pertemuan tiga lempeng tektonik
sekaligus, yaitu lempeng Philipina, Pasifik, dan Samudera Hindia-
Australia. Subduksi antara dua lempeng yaitu Lempeng Indo-Australia dan
Lempeng Eurasia menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi yaitu
Bukit Barisan di Pulau Sumatra dan deretan gunung berapi di sepanjang
Pulau Jawa, Bali dan Lombok, serta parit samudera yaitu Parit Jawa
(Sunda). Pergerakan antar lempeng tektonik tersebut akan menciptakan
suatu gesekan maupun benturan. Lempeng tektonik yang terus bergerak,
akan mengalami gesekan atau benturan yang cukup keras. Apabila hal ini
terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama maka terjadilah gempa,
tsunami, dan meningkatnya kenaikan magma ke permukaan. Oleh sebab
itu, gempa yang bersumber dari dasar Samudera Hindia, seringkali diikuti
oleh gejala-gejala alam seperti: tsunami dan peningkatan aktivitas gunung
berapi di sepanjang pulau Sumatra dan Jawa.
Adanya pertemuan tiga lempeng di Indonesia, mengakibatkan
Indonesia menjadi Negara Ring of Fire yang memiliki jalur gunung api
terbesar dan terbanyak. Pola penyebaran gunung api dan tipe aktivitas
kegunung apiannya menunjukkan jalur yang hampir sama dengan pola
penyebaran fokus gempa yaitu bergantung pada batas lempengnya.
Hubungan ini menunjukkan bahwa vulkanisme merupakan salah satu
produk penting sistem tektonik. Dampak dari sistem tektonik ini, berbagai
gejala alam sering terjadi di Indonesia. Dampak tersebut salah satunya
banyak di jumpai gunung api di bagian selatan Indonesia yang merupakan
hasil dari pergerakan lempeng Samudera Hindia-Australia dengan
lempeng Eurasian. Hal ini menunjukkan bahwa dalam ilmu fisika
kebumian, Indonesia merupakan tempat yang sangat menarik untuk
dipelajari dan diteliti (Kertapati, 2006).

1.5 Bagaimana Atmosfer Membentuk Siklus Energi?


Lapisan-Lapisan Atmosfer
Atmosfer menyelimuti seluruh permukaan bumi mulai dari ketinggian
0 meter sampai ketinggian yang sulit ditentukan dengan berat mencapai 6
milyar ton. Atmosfer terdiri atas banyak unsur gas seperti nitrogen 78%,
oksigen 21%, argon 0,93%, karbondioksida 0,03%, sisanya adalah gas-gas
lain seperti helium, ozon, hidrogen, kripton, metana, dan xenon
(Susilawati, 2000).
Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
atmosfer bumi adalah lapisan yang terbedakan oleh tekanan udara, massa
atmosfer, dan profil temperatur tiap lapisannya. Profil temperatur secara
vertikal dapat dibedakan menjadi lima lapisan yaitu troposfer, stratosfer,
mesosfer, termosfer (ionosfer), dan eksosfer.

31
Gambar 1.25 Lapisan-lapisan atmosfer (moklim.bdg.lapan.go.id)

Troposfer adalah lapisan yang berperan dalam peristiwa-peristiwa


seperti cuaca dan iklim, perubahan suhu, angin, tekanan, dan kelembaban
udara. Lapisan ini mengalami penurunan suhu sebesar 50-60C tiap
kenaikan 1000 meter dari permukaan laut. Bagian terendah lapisan ini
memiliki suhu tertinggi karena permukaan bumi menyerap radiasi panas
matahari dan mendistribusikannya ke udara. Pada lapisan ini terdapat gas
rumah kaca yang dapat memerangkap panas radiasi matahari.

Gambar 1.26 Lapisan ozon. Meskipun ozon ditemukan di mana-mana di atmosfer, bahkan
pada permukaan tanah, ozon terkonsentrasi di lapisan sekitar 20 mil di atas permukaan bumi.
Label di tengah adalah istilah standar yang digunakan ilmuwan untuk menggambarkan
berbagai tingkat atmosfer (Trefil & Hazen, 2010).

Lapisan di atas troposfer adalah stratosfer yang dibatasi oleh


tropopause. Pada lapisan ini terjadi inversi suhu. Suhu akan meninggi
seiring dengan ketinggian stratosfer. Hal ini terjadi karena pada lapisan
ini terdapat lapisan ozonosfer. Keberadaan lapisan ini sangat vital karena
berperan sebagai pelindung bumi dari sinar ultraungu. Lapisan
selanjutnya adalah mesosfer. Mesosfer memiliki karakteristik yang sama

32
dengan troposfer, yaitu temperatur merendah seiring bertambahnya
ketinggian. Temperatur terendahnya mencapai -810C (Susilawati, 2000),
Secara khusus, lapisan ini berfungsi untuk melindungi bumi dari jatuhnya
meteor.

Gambar 1.27 lapisan-lapisan atmosfer dan hubungannya dengan


tekanan dan temperatur (Lang, 2011).

Lapisan selanjutnya adalah termosfer (ionosfer). Lapisan ini


merupakan tempat terjadinya proses ionisasi gas N2 dan O2. Lapisan ini
memiliki suhu paling rendah kira-kira -1000C (Susilawati, 2000). Secara
khusus, lapisan ini berfungsi untuk memantulkan gelombang radio sebagai
alat komunikasi ke seluruh permukaan bumi. Lapisan terluar atmosfer
disebut eksosfer yang memiliki ketinggian lebih dari 700 km di atas
permukaan bumi. Semakin tinggi maka lapisan udara semakin tipis dan
berbatasan langsung dengan luar angkasa yang vakum.
Menurut LAPAN, lapisan atmosfer yang memiliki perbedaan
sepanjang area horizontal adalah troposfer. Temperatur dan tekanan udara
berbeda-beda di tiap wilayah di permukaan bumi. Perbedaan ini
menyebabkan perbedaan gejala cuaca dan iklim di permukaan bumi.
Gambar 1.27 menunjukkan hubungan antara ketinggian, tekanan, dan
temperatur. Tekanan atmosfer kita (skala kanan) menurun dengan
ketinggian (kiri skala, perhatikan bahwa baik tekanan dan skala ketinggian
bersifat logaritmik). Hal ini karena partikel lebih sedikit mampu mengatasi
gravitasi bumi dan mencapai ketinggian yang lebih tinggi. Suhu (skala
bawah) juga terus menurun saat ketinggian di troposfer, tetapi peningkatan
suhu di dua daerah yang lebih tinggi yang dipanaskan oleh matahari.
Kedua daerah tersebut adalah stratosfer, lapisan ozon dengan kritis, dan
ionosfer. Stratosfer terutama dipanaskan oleh radiasi ultraviolet dari
Matahari, dan ionosfer dibuat dan diatur oleh sinar-X Matahari dan radiasi
ultraviolet ekstrim.

33
Siklus Energi di Atmosfer
Matahari adalah sumber energi terbesar di bumi yang meradiasikan
energi panas dan cahaya yang sangat dibutuhkan untuk kehidupan di
bumi. Sebagian radiasi matahari diserap langsung di atmosfer, sebagian
lagi diteruskan menembus atmosfer diserap oleh permukaan bumi.
Atmosfer berperan penting untuk mengatur keseimbangan radiasi
matahari dan transfer panas (Leeder dan Arlucea, 2006). Atmosfer
menjaga keseimbangan energi radiasi matahari yang dipancarkan ke
bumi dan energi radiasi yang dipantulkan kembali oleh bumi ke angkasa
agar tercapai suhu yang sesuai untuk keberlangsungan kehidupan di
bumi.
Menurut Prastowo (2008), proses fisis radiasi matahari terdiri atas
penyerapan, pemantulan, dan pemancaran yang melibatkan gas-gas di
atmosfer, awan, dan permukaan bumi. Menurut Aguado (2007) sebagian
besar radiasi matahari diserap dan direfleksikan oleh atmosfer dan awan
untuk kembali ke angkasa sehingga hanya 45% energi radiasi yang
diterima bumi dan sejumlah 6% energi yang diterima permukaan bumi
akan dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang
panjang. Besarnya energi radiasi yang diterima bumi memengaruhi
temperatur global di bumi.

Gambar 1.28 Keseimbangan energi permukaan


(http://nevada.usgs.gov/water/et/measured.htm)

Radiasi netto (Q) diterima dan digunakan untuk proses-proses yang


terjadi dalam sistem bumi. Prastowo (2008) menjelaskan bahwa energi
radiasi yang diterima bumi sebagian besar digunakan untuk proses
evaporasi atau perubahan fasa air (Latent Heat, LE). Selain itu juga
digunakan dalam proses perubahan temperatur udara (Sensible Heat, H)
dan pemanasan di bawah permukaan tanah (Ground Heat, G).
Energi matahari yang memanaskan permukaan bumi menyebabkan
pemuaian udara sehingga udara menguap menjadi uap air dan bergerak
naik. Energi potensial yang dikandung oleh uap air akan dilepaskan ke
atmosfer dalam bentuk liquid water droplet atau disimpan kembali dalam
bentuk kristal es sebagai bahan pembentuk awan. Awan yang telah
terbentuk memiliki kemampuan untuk menyerap dan memantulkan
radiasi sinar matahari dari luar angkasa. Selain itu, awan juga menyerap
sebagian energi radiasi gelombang panjang hasil pemantulan sinar

34
matahari oleh permukaan bumi. Siklus atmosferik ini terjadi secara
berkesinambungan dan merupakan mesin utama penggerak cuaca
(Prastowo, 2008) dan iklim melalui pendistribusian kembali energi panas
(wikipedia).

Cuaca dan Iklim


Iklim merupakan kondisi rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang
cukup lama untuk satu wilayah geografis tertentu. Sistem iklim dunia
dipicu oleh hal yang sederhana, yaitu sinar matahari memberikan pancaran
sinar radiasi yang lebih banyak pada wilayah ekuator dibandingkan
wilayah lain khususnya wilayah kutub. Hal ini dikarenakan geometri bumi.
Sinar matahari menyapu wilayah yang lebih luas pada daerah kutub
sedemikian sehingga intensitas sinar matahari yang menyebabkan efek
pemanasan menjadi relatif lebih kecil dibandingkan dengan intensitas
yang diterima wilayah ekuator (Prastowo, 2012).
Selain menerima panas matahari dengan intensitas yang relatif lebih
kecil, daerah kutub juga melepaskan energi balik ke ruang angkasa relatif
lebih besar daripada daerah ekuator. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
daerah kutub banyak didominasi oleh permukaan salju dan selimut es
dengan reaktansi tinggi. Sebagai perbandingan, daerah ekuator yang
banyak didominasi hutan tropis relatif lebih banyak menyerap energi
matahari. Kombinasi kedua proses fisis tersebut menghasilkan situasi yang
paradoks, daerah tropis yang panas dan daerah kutub yang dingin. Situasi
seperti itu memicu transfer energi dalam bentuk panas dari daerah ekuator
ke wilayah kutub, baik kutub utara maupun selatan, melalui perpindahan
massa air dan udara. Perpindahan massa air dan udara itu sendiri
menyebabkan lahirnya cuaca. Kondisi rata-rata cuaca dalam jangka waktu
yang cukup lama untuk satu wilayah geografis tertentu biasa dikenal
dengan sebutan iklim.
Menurut Trewartha dan Horn (1995), iklim adalah suatu konsep
abstrak yang merupakan gabungan dari keadaan cuaca hari ke hari dan
elemen-elemen atmosfer dalam suatu area tertentu dalam waktu yang
panjang. Sedangkan cuaca adalah bentuk awal yang dihubungkan dengan
penafsiran dan pengertian akan kondisi fisisk udara pada waktu yang
singkat di suatu lokasi tertentu (Winarso, 2003).
Iklim adalah suatu sistem yang kompleks yang menghubungkan
antara atmosfer, permukaan tanah, lapisan es, samudera, sungai, dan
makhluk hidup. Semua komponen tersebut saling berinteraksi membentuk
suatu sistem iklim.

35
Gambar 1.29 Sistem iklim (sumber: http://zainuelabidien23.wordpress.com/perubahan-iklim/)

Cuaca dan iklim merupakan proses fisis dan dinamis yang kompleks
di atmosfer bumi. Kompleksitas tersebut dipengaruhi oleh rotasi bumi
pada porosnya dan revolusi bumi mengitari matahari. Dinamika bumi ini
menyebabkan intensitas radiasi matahari yang diterima bumi tidak
merata. Akibatnya secara alami, sistem atmosfer melakukan pemerataan
energi melalui sistem peredaran udara (Winarso, 2003).
Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan kombinasi dari variasi
unsur-unsur iklim yang terdiri dari radiasi matahari, temperatur udara,
kelembapan udara, awan, presipitasi, evaporasi, tekanan udara dan angin
(Winarso, 2003). Unsur-unsur tersebut berbeda dari waktu ke waktu dan
dari tempat ke tempat. Hal ini terjadi karena adanya pengendali iklim.
Menurut Lakitan (2002), pengendali iklim terdiri dari: (1) posisi relatif
bagian bumi terhadap garis edar matahari (posisi lintang), (2) keberadaan
lautan dan air permukaan, (3) pola arah angin, (4) rupa permukaan
daratan bumi, dan (5) kerapatan jenis vegetasi.
Perpaduan dan variasi antara proses di atas dengan unsur-unsur dan
faktor pengendali iklim inilah yang memengaruhi perbedaan iklim di
suatu wilayah. Eksploitasi lingkungan akibat aktivitas manusia yang
berhubungan langsung dengan pengubahan komposisi gas di atmosfer
akan meningkatkan variasi tersebut. Pada akhirnya variasi tersebut
memengaruhi keseimbangan energi di bumi yang berakibat pada
pemanasan global (global warming) dengan indikasi awalnya adalah
terjadi anomali temperatur di bumi. Keadaan seperti ini memicu
penyimpangan iklim yang mempercepat terjadinya perubahan iklim.

36
Gambar 1.30 Pola cuaca di Bumi (Lang, 2011).

Gambar 1.31 Jika Bumi tidak memutar, sirkulasi atmosfer akan berlangsung
dalam sel konveksi yang menciptakan angin ketinggian tinggi dari khatulistiwa
ke kutub, dan angin ketinggian rendah dari kutub ke khatulistiwa (Trefil dan
Hazen, 2010).

Pola cuaca di Bumi dijelaskan melalui Gambar 1.30. Melalui Gambar


1.30, dapat dijelaskan bahwa angin bertiup dari timur ke barat di sepanjang
wilayah ekuator Bumi, searah dengan arah putaran planet. Pada lintang
yang lebih tinggi, ada aliran ketinggian ekstrim yang bergerak dengan
kecepatan hingga 40 meter per detik ke arah yang berlawanan dengan
angin. Di belahan bumi utara ada siklon tekanan tinggi, dinotasikan
dengan H, dan tekanan rendah anti-siklon, L, berputar di searah jarum jam
dan berlawanan arah jarum jam arah, masing-masing, di belahan bumi
selatan siklon dan anti-siklon berputar dalam arah yang berlawanan.

37
Gambar 1.32 Konveksi atmosfer di Bumi berputar berlawanan
dengan arah putaran planet. Serangkaian sel sirkulasi udara
mirip pita berkembang (Trefil dan Hazen, 2010).

Pemanasan Global
Dalam Lundgren (1999) menyatakan bahwa radiasi matahari
merupakan energi utama yang mencapai permukan bumi. Prastowo
(2012) menyebutkan bahwa radiasi matahari sebagai sumber energi di
permukaan bumi mengontrol keseimbangan temperatur permukaan
bumi. Radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi, sekitar
duapertiga dari radiasi tersebut diserap oleh permukaan daratan dan
lautan. Kemudian sebagiannya dipantulkan balik ke angkasa dengan
berbagai berbagai proses.
Perubahan temperatur permukaan bumi dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang memberikan peranan dalam proses perubahan tersebut.
Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari faktor luar angkasa contohnya
radiasi matahari dan gerak orbit bumi terhadap matahari, perilaku
lingkungan alam seperti gunung berapi, serta aktivitas manusia (Cocks,
2009).
Kirkland (2010) dan Prastowo (2012) menyatakan bahwa proses
pemanasan permukaan bumi paling besar dipengaruhi oleh emisi gas
pembuangan perusahaan, kendaraan, dan aktifitas manusia. Emisi gas
tersebut meningkatkan kadar gas-gas tertentu yang ada di atmosfer.
Komponen gas yang ada di atmosfer disajikan dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Komposisi gas yang ada di atmosfer bumi
Komponen Gas  Gas dalam Volume
Nitrogen (N2) 78,084
Oksigen (O2) 20,9476
Argon (A) 0,934
Karbon Dioksida (CO2) 0,0314
Neon (Ne) 0,001818
Helium (He) 0,000524
Kripton (Kr) 0,000114
Xenon (Xe) 0,000087
Hidrogen (H2) 0,00005
Sumber: Lundgren (1999)

38
Selain gas-gas disebutkan, komponen gas dalam atmosfer juga
terdapat sejumlah gas ozon (O3), karbonmonoksida (CO), sulfur dioksida
(SO2), nitrogen oksida (N2O), ammonia (NH3), dan metana (CH4).
Konsentrasi gas-gas tersebut selalu mengalami perubahan sesuai dengan
aktivitas manusia. Semakin meningkatnya gas-gas rumah kaca, (CO2,
CH4, dan N2O) menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
yang akan membuat temperatur permukaan bumi semakin tinggi
(Prastowo, 2012).
Mekanisme peningkatan temperatur permukaan bumi adalah radiasi
energi matahari tiba di permukaan bumi dalam bentuk short-wave
radiation (SWR), dimana sebagian dari energi datang diradiasikan balik ke
angkasa dalam bentuk long-wave infrared radiation (LWR). Gas-gas
rumah kaca alamiah dalam bentuk uap air, CO2, CH4, N2O, dan O3
menyerap radiasi balik ini dan meradiasikan kembali ke permukaan bumi,
menghasilkan pemanasan yang menjamin kehidupan di permukaan bumi
(Gambar 1.33).

Gambar 1.33 Keseimbangan antara energi input shortwave radiation (SWR) dan
longwave radiation (LWR) dari matahari merupakan penentu pemanasan pemukaan
bumi (Sumber: IPCC WG1(2013: 126))

Perubahan Iklim
Perubahan iklim global dipicu ketidakseimbangan antara energi
radiasi matahari input yang diserap oleh bumi dan energi output yang
direfleksikan kembali ke angkasa (Prastowo, 2012). Hal tersebut dapat
meningkatkan temperatur permukaan bumi. Secara alami, pemanasan
permukaan bumi disebabkan adanya peningkatan gas rumah kaca yang ada
di atmosfer. Gas rumah kaca berfungsi agar temperatur bumi tetap hangat
sehingga kehidupan di bumi tetap berlangsung.
Dalam laporan penilaian dari Working group 1 the Intergovernmental
Panel on Climate Change (AR5 IPCC) tahun 2013, Prastowo (2012), dan
Kirkland (2010) menyatakan bahwa perubahan iklim sebagai akibat proses
pemanasan permukaan bumi paling besar dipengaruhi oleh berbagai
aktivitas manusia. Aktivitas industrialisasi dan transportasi mempunyai

39
efek emisi gas CO2. Emisi gas tersebut meningkatkan kadar gas rumah
kaca yang ada di atmosfer. Aktivitas manusia dalam menggunakan bahan
kimia secara berlebihan (misalnya gas CFC) untuk keperluan sehari-hari
dapat meningkatkan kadar CO2 dan merusak lapisan ozon di atmosfer.
Secara fisis, perubahan iklim dapat diketahui dan diukur dengan
mengetahui besaran-besaran dinamik yang menjadi indikator perubahan
iklim. Berdasarkan laporan penilaian dari IPCC tahun 2013, ada
beberapa indikator perubahan iklim, yaitu perubahan temperatur,
perubahan permukaan laut, perubahan konsentrasi karbon dan biokimia,
adanya kejadian-kejadian ekstrim, ketersediaan sumber energi dan panas,
perubahan siklus air dan kriosfer, dan perubahan sirkulasi dan cara
variabilitas. Berikut ini adalah uraian beberapa indikator yang ada di
IPCC tahun 2013.

a. Perubahan temperatur
Temperatur rata-rata permukaan bumi telah mengalami peningkatan
sejak akhir abad ke-19. Dalam tiga dekade terakhir ini, temperatur
permukaan bumi lebih panas dibandingkan dekade-dekade sebelumnya.
Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir ini temperatur permukaan bumi
merupakan yang paling tinggi. Temperatur rata-rata gabungan antara
permukaan tanah dan laut dalam kurun waktu 1880-2012 adalah 0.85
[0.65 to 1.06] °C, kemudian dalam kurun waktu 1901-2012 adalah sekitar
0.89 [0.69 to 1.08]°C dan dalam kurun waktu 1951-2012 adalah sekitar
0.72 [0.49 to 0.89] °C. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hadley Centre/Climatic Research Unit 4 (HadCRUT4) tentang kenaikan
temperatur rata-rata permukaan bumi dalam kurun waktu 1850 – 1900
dan 2003–2012 adalah 0.78 [0.72 to 0.85] °C.

Gambar 1.34 Perubahan temperatur rata-rata gabungan


antara permukaan tanah dan laut dari tahun 1850 – 2012
(IPCC WG1, 2013).

40
b. Perubahan tingkat permukaan laut (sea level)
Perubahan permukaan laut sangat dipengaruhi oleh meningkatnya
volume air karena pemanasan. Pemanasan menyebabkan densitas air laut
mengecil sehingga volume bertambah besar. Selain itu juga karena adanya
transfer air yang berada di daratan seperti air tanah dan gletser. Kenaikan
temperatur bumi menyebabkan gletser yang ada di kutub mencair sehingga
menambah volume air laut. Perubahan permukaan laut antara satu daratan
akan sangat berbeda dengan tingkat perubahan permukaan laut rata-rata
secara global. Hal tersebut dikarenakan adanya distribusi air laut,
pergerakan tanah, dan perubahan medan gravitasi bumi. Tingkat rata-rata
permukaan laut telah mengalami kenaikan 0,19 (0,17 -0,21) m ditentukan
dengan tren linear periode 1901-2010 berdasarkan data pasang surut dan
data satelit sejak tahun 1993.

Gambar 1.35 Perubahan level permukaan laut (warna yang berbeda


menunjukkan data set yang berbeda) (IPPC WG1, 2013)

c. Perubahan Konsentrasi Gas Karbon dan Biokimia


Konsentrasi gas-gas rumah kaca yaitu CO2, CH4, dan N2O di tahun
2011 telah meningkat dan melampaui konsentrasinya tahun 1750.
Produksi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi semen telah
mengalami peningkatan yang tajam, di tahun 2011 mencapai 390, 5 ppm(1)
dibandingkan tahun 1870 yang hanya mencapai 278 ppm. Sedangkan
peningkatan CH4 karena aktivitas manusia sejak era indutrialisasi
mencapai 1803 ppb(2) di tahun 2011 dari 722 pbb tahun 1750. Dalam kurun
waktu tahun 1970 sampai tahun 2004 gas rumah kaca telah meningkat 70
sejak sebelum era industrialisasi dari 28,7 menjadi 49 Gigatonnes of
carbon dioxide equivalents (GtCO2-eq)(3).

(1)
ppm = part per million
(2)
ppb = part per billion,(1 billion = 1000 million) adalah rasio jumlah molekul gas rumah kaca terhadap
total molekul di udara kering.
(3)
carbon dioxide equivalent (CO2-eq) didefinisikan sebagai sejumlah emisi CO2 yang menyebabkan radiasi
yang sama memaksa sebagai jumlah yang dipancarkan dari kaca tercampur gas atau campuran gas rumah
kaca tercampur, semua dikalikan dengan GWPs() masing masing untuk memperhitungkan waktu yang
berbeda mereka tetap berada di atmosfer.

41
Gambar 1.36 Perubahan CO2 di atmosfer di Maona Loa (merah) dan
di kutub selatan (hitam) (IPPC WG1, 2013).

d. Cuaca/Iklim Ekstrim
Dalam kurun waktu 1951 sampai 2010 adanya penurunan jumlah
cold day dan cold night namun ada peningkatan jumlah warm day dan
warm night. Sejak pertengahan abad ke-20 musim panas termasuk di
dalamnya gelombang panas (Heat waves) telah mengalami peningkatan
baik dari segi waktu yang semakin lama dan frekuensi. Di periode ini
yang mengalami peningkatan Heat waves sebagian besar di wilayah
Eropa, Asia dan Australia. Selain peningkatan jumlah warm day dan
warm night beberapa cuaca ekstrim lainnya adalah presipitasi yang tidak
normal karena kenaikan temperatur bumi, kekeringan, banjir, dan badai.

Dampak perubahan iklim terhadap curah hujan di Indonesia


Indonesia yang secara geografis terletak pada daerah rawan bencana
baik bencana geologis dan bencana berkaitan dengan perubahan iklim.
Perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi merupakan
keniscayaan sebagai akibat dari pemanasan global. Total keberadaan
emisi CO2 di atmosfer bumi saat ini terus meningkat dan akan terus
terjadi bahkan setelah abad ke-21. Artinya, perubahan iklim yang terjadi
akan terus berlangsung sampai abad-abad mendatang akibat besaran
peningkatan pemanasan permukaan rata-rata global (IPCC, 2013).

42
Gambar 1.37 Peta rentan perubahan iklim di Indonesia, Wilayah merah merupakan wilayah yang rentan
ketahanan pangan dan beresiko tinggi terkena dampak perubahan iklim sehingga perlu menjadi
prioritas utama (Dewan Nasional Perubahan Iklim; dnpi.go.id).

Dampak perubahan iklim terasa dalam berbagai bencana. Dampak


tersebut sangat mempengaruhi sistem Ketahanan Nasional Indonesia
dalam berbagai sektor, seperti di bidang pertanian, pengairan, energi,
kesehatan, pekerjaan umum, pariwisata, dan perhubungan. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang berpenduduk terbanyak ke-empat di
dunia. Oleh sebab itu, Indonesia merupakan satu di antara negara yang
paling rentan terhadap bencana (Djalante & Thomalla, 2012 dalam Sakya
& Mahardhika).
Mochamad (2013) menyatakan dalam laporannya bahwa perubahan
iklim mengakibatkan curah hujan dan pergantian iklim yang tidak stabil di
Indonesia. Kawasan selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan
sedangkan kawasan utara Indonesia mengalami peningkatan curah hujan.
IPCC (2007b) menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan salah satu
wilayah yang paling rentan terkena banjir, baik banjir dari air laut ataupun
banjir sungai. Peningkatan curah hujan dikarenakan peningkatan
temperatur permukaan daratan dan permukaan laut sehingga presipitasi di
atmosfer menjadi di atas normal. Kenaikan presipitasi meningkat 5-10
setiap kenaikan temperatur 1C. Banjir yang melanda kota-kota rawan
banjir di Indonesia seperti Jakarta disebabkan karena curah hujan yang
tinggi dan akhirnya mengganggu sistem transportasi dan perekonomian.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak tepat di garis
khatulistiwa dipengaruhi oleh berbagai ekstrimitas cuaca/iklim. Dalam hal
pangan, variasi curah hujan sangat mempengaruhi prakiraan musim tanam
dan panen, sistem distribusi pasokan benih, dan hasil panen. Pada

43
gilirannya menggerus sistem Ketahanan Pangan Nasional. Dalam
perspektif ini, informasi cuaca/iklim yang cepat, tepat, tersebar luas dan
terpahami dipercayai mampu meminimalisasi jumlah kerugian yang
terjadi (Sakya dan Mahardhika dalam Mochamad, 2013). Hasil
pemantauan yang dilakukan Departemen Pertanian pada tanaman padi
selama 10 tahun terakhir (1993-2002) menunjukkan angka rata-rata lahan
pertanian yang terkena kekeringan mencapai 220.380 ha dengan lahan
puso mencapai 43.434 ha karena curah hujan yang tidak menentu selama
kurun waktu tersebut.
Kumaresan dkk (2010) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa
dampak dari perubahan iklim adalah meningkatnya resiko terserang
penyakit karena curah hujan di atas normal yang mengakibatkan banjir
dan kenaikan permukaan air laut di wilayah-wilayah pesisir. Curah hujan
tinggi dan banjir di berbagai wilayah menyebabkan banjir yang dapat
memunculkan penyakit-penyakit endemis, seperti malaria, kolera, dan
penyakit diare. Di wilayah yang gagal panen, perubahan iklim
menyebabkan meningkatnya anak kekurangan gizi/gizi buruk sehingga
mengganggu pertumbuhan mereka.
Tabel 1.3 Tingkat Resiko Perubahan Iklim Berdasarkan Wilayah di Indonesia

Sumber: dnpi.go.id

Perubahan iklim juga memengaruhi keberagaman berbagai jenis


hayati, baik dalam proses konservasi maupun dalam ekosistem liar.
Perubahan temperatur dan presipitasi akibat perubahan iklim akan
berdampak pada ekosistem hutan (IPCC, 2007b). Purnomo dkk (2010)
yang mengutip laporan Firdaus (2008) mengenai populasi Badak Jawa
yang berada di Ujung Kulon, Jawa Barat. Pada awalnya Badak Jawa
dapat ditemukan di berbagai tempat di Asia tenggara, namun sekarang
hanya dapat ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon Jawa Barat,
Indonesia dan di Cat Loc Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Dalam
laporan tersebut, perubahan iklim dapat menjadi ancaman bagi populasi
Badak Jawa.

44
Dampak perubahan iklim terhadap curah hujan yang telah disebutkan
di awal merupakan sebagian kecil yang teridentifikasi. Namun, dampak
perubahan iklim terhadap curah hujan tersebut dapat memberikan efek
domino yang berdampak pada semua sektor yang ada di Indonesia. Efek
domino dalam ensiklopedia bebas didefinisikan sebagai reaksi berantai
yang terjadi ketika perubahan kecil menyebabkan perubahan yang sama di
dekatnya, yang kemudian menyebabkan perubahan lain yang serupa, dan
seterusnya dalam urutan linier. Dengan kata lain efek domino dari dampak
perubahan iklim terhadap curah hujan akan memberikan efek berantai di
semua bidang baik transportasi, energi, pangan, kesehatan, ekonomi, dan
sebagainya. Oleh sebab itu, perubahan iklim membutuhkan penanganan
yang serius dan komprehensif dari semua pihak melalui langkah-langkah
mitigasi dan beradaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Perubahan iklim selain mempunyai dampak negatif bagi kehidupan
manusia, juga mempunyai dampak positif antara lain:
a. potensi yang lebih tinggi pada hasil pertanian di daerah yang terletak
pada posisi lintang tengah;
b. potensi penambahan kayu global pada hutan yang dikelola dengan baik
dan benar;
c. peningkatan ketersediaan air untuk populasi pada beberapa wilayah
yang relatif kering, sebagai contoh di sebagian wilayah Asia Tenggara;
d. pengurangan angka kematian pada musim dingin pada bumi di belahan
lintang tengah dan lintang tinggi.

Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim


Dalam menghadapi perubahan iklim dibutuhkan kesiapan dan
kesigapan baik lokal, nasional, maupun internasional. Langkah-langkah
mitigasi untuk memperlambat laju perubahan iklim dan langkah-langkah
adaptasi untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim. Negara-negara
berkembang (Djalante & Thomalla, 2012; Kumaresan dkk, 2010; Mertz
dkk, 2009; Warner & Geest, 2013; Sakya & Mahardhika; dan Purnomo
dkk, 2011) memerlukan adaptasi perubahan iklim yang tinggi karena di
negara-negara berkembang mempunyai kemungkinan resiko kerentanan
yang lebih besar terhadap akibat perubahan iklim. Kerugian dan kerusakan
akibat perubahan iklim di beberapa negara disebabkan oleh kurangnya
kemampuan dalam beradaptasi.
Banyak organisasi dunia yang membahas dan berupaya menghasilkan
langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, seperti dalam
Working group 2 the Intergovernmental Panel on Climate Change (WG2
IPCC) tahun 2007, Conference of Parties (COP-19, di Durban, Afrika
selatan) dibentuk program kerjasama global dalam pelayanan iklim
(Global Framework for Climate Services-GFCS), National Adaptation
Program of Action (NAPA), dan sebagainya. Dari hasil-hasil perundingan
tersebut diperlukan sosialisasi kepada masyarakat luas. Langkah-langkah
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara tepat dapat dilaksanakan
untuk mengurangi kerugian dan kerusakan dengan melibatkan semua
komponen negara, baik dari pihak pengambil kebijakan dan masyarakat
luas.

45
a. Mitigasi terhadap perubahan iklim
Tabel 1.4 langkah mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan memperlambat perubahan iklim.

Sumber; IPCC WG3 (2007)

IPCC WG3 (2007) menjelaskan bahwa mitigasi perubahan iklim


merupakan upaya untuk mengurangi dan memperlambat laju perubahan
ikim yang disebabkan oleh pemanasan bumi. Mitigasi perubahan iklim
sangat dibutuhkan. Apabila perubahan iklim tidak dilakukan maka
diperkirakan bahwa emisi gas rumah kaca akan meningkat dari 9,7
GtCO2-eq menjadi 36.7 GtCO2-eq (25-90%) antara tahun 2000 sampai
tahun 2030. Mochamad (2013) menyatakan bahwa Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat dunia tidak bisa bebas dari komitmen untuk
berperan dalam mengurangi kegiatan yang menyebabkan pemanasan
global. Indonesia mempunyai kekayaan hutan dan lahan gambut yang
cukup luas untuk mampu mengurangi emisi gas rumah kaca yang
menyebabkan pemanasan bumi.

46
Berdasarkan IPPC WG3 2007 tentang mitigasi perubahan iklim
terdapat beberapa langkah mitigasi yang meliputi beberapa sektor, yaitu
persediaan energi, transportasi, bangunan, industri, pertanian, kehutanan,
dan pengelolaan sampah (Tabel 1.4).

b. Adaptasi terhadap perubahan iklim


Adaptasi perubahan iklim menurut IPCC WG3 (2007) adalah
penyesuaian secara alamiah maupun oleh sistem manusia dalam merespon
stimuli iklim aktual atau yang diperkirakan dan dampaknya, menjadi
ancaman yang moderat atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan.
Mochamad (2013) menyatakan bahwa adaptasi dibutuhkan dalam
merangkai ulang tindakan untuk mengurangi kerentanan terhadap bahaya
atau ancaman iklim secara umum dan tidak hanya berkaitan dengan
dampak perubahan iklim yang diakibatkan aktivitas manusia. Perhatian
masyarakat internasional dan nasional terhadap agenda adaptasi perubahan
iklim telah mengalami peningkatan seiring dampak yang ditimbulkan dan
dirasakan oleh hampir semua bangsa di dunia ini.
Perubahan iklim merupakan sebuah rintangan besar untuk
pengurangan kemiskinan berkelanjutan di seluruh dimensi-dimensinya.
Ancaman perubahan iklim terhadap pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) akan memperlambat pencapaian pembangunan
berkelanjutan, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mendorong
berkelanjutan, maka pembangunan harus secara tegas memasukkan
persoalan adaptasi perubahan iklim serta mendorong kemampuan
adaptasinya.
IPCC WG3 (2007) menyebutkan beberapa contoh adaptasi yang dapat
dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim yang telah dilakukan oleh
beberapa negara di dunia, yaitu membuat pertahanan di daerah pesisir
(Coastal defenses), pengelolaan air, irigasi, pengelolaan resiko bencana
alam, pembuatan asuransi, pengelolaan hasil panen, dan sebagainya.
Beberapa negara di dunia telah mulai melakukan adaptasi yang disarankan
para ahli yang dinaungi oleh organisasi tersebut. Negara-negara tersebut
adalah Maldeva dan Belanda membuat pertahanan di daerah pesisir untuk
mereduksi dampak kenaikan laut, dan Australia membuat pengelolaan air
dalam menhadapi banjir.
Kumaresan dkk (2010) memberikan beberapa saran dalam
menghadapai dan beradaptasi perubahan iklim yang dapat dilakukan
dalam skala nasional. Saran-saran yang diberikan adalah
a. Memperkuat bukti-bukti adanya perubahan iklim untuk membuat
kebijakan baru dengan menyediakan database di masa lalu dan saat ini.
b. Meningkatkan pengetahuan dan pelatihan dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat bahwa kelompok yang paling rentan menghadapi
perubahan iklim adalah anak-anak, lansia, dan orang miskin.
c. Tindakan selanjutnya adalah melaksanakan pengukuran tingkat
adaptasi. Adaptasi yang dilaksanakan meliputi beberapa proses mulai
merencanakan, mengimplementasikan, memonitoring, dan
mengevaluasi, kebijakan dan strategis dalam menghadapi perubahan
iklim.

47
d. Selain itu, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa dalam
melakukan adaptasi. Kontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca
dan mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan dunia luar
sangat dibutuhkan.
Djalante dan Thomalla (2012) memberikan tiga rekomendasi dalam
penurunan resiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Tiga rekomendasi tersebut adalah
a. ”Reorient the institutional structure of national government”.
Kerja sama, komunikasi yang efektif, dan pertukaran informasi dari
berbagai pihak pemegang kebijakan seperti Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), DNPI, dan Kementrian
Lingkungan Hidup (KLH) sangat dibutuhkan dalam memperkecil
resiko bencana. Adaptasi perubahan iklim didasarkan pada pihak-
pihak tersebut sebagai naungan dan pengukur kegiatan adaptasi
perubahan iklim dengan didukung oleh pihak-pihak non-pemerintah
dan organisasi lain seperti Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM).
b. ”Strengthen technical and financial support to local government”
Pemerintah daerah sebagai pemegang kebijakan di garis terdepan
dalam menghadapi dampak perubahan iklim harus bersikap tanggap
dan mengerti pentingnya penurunan resiko bencana dan adaptasi
terhadap perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim merupakan
beban pokok yang harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah
daerah, karena berhubungan dengan pengurangan tingkat kemiskinan,
sumber daya alam, pariwisata, dan sebagainya.
c. ”Recognise the importance of non-government organization (NGOs)
and community based initiatives”
Banyak organisasi non-pemerintah yang ikut serta dalam adaptasi
perubahan iklim dan penurunan bencana alam yang ada di Indonesia.
Dengan memanfaatkan informasi dan pengalaman leh organisasi-
organisasi tersebut akan sangat membantu proses adaptasi yang ada
Indonesia.

Pemanasan Global dan Anomali Temperatur


Pemanasan global adalah meningkatnya temperatur rata-rata
permukaan bumi akibat permukaan bumi menyerap energi radiasi
matahari secara berlebihan. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan gas
rumah kaca dan gas-gas pencemar yang dapat meningkatkan kapasitas
efek rumah kaca dan semakin menipisnya lapisan ozon.
Ketidaknormalan kedua sistem tersebut menyebabkan
ketidakseimbangan energi yang masuk dan keluar dari atmosfer bumi.
Anomali temperatur yang terjadi di bumi merupakan indikator utama
bahwa bumi menerima energi panas yang tidak seimbang.

48
Gambar 1.38 Grafik anomali temperatur global
(http://climate.nasa.gov/interactives/warming_world)

Menurut Rusbiantoro (2008), istilah anomali temperatur diartikan


sebagai penyimpangan temperatur bumi dari keadaan normalnya. Anomali
positif menunjukkan bahwa temperatur lebih tinggi daripada keadaan
normalnya. Anomali positif menunjukkan bahwa temperatur lebih tinggi
daripada keadaan normal sedangkan anomali negatif mengindikasikan
temperatur yang lebih rendah diabndingkan dengan keadaan normalnya.
Temperatur permukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Berdasarkan National Climate Data Center (NCDN), sejak tahun
1950, anomali temperatur global mengalami kenaikan secara kontinu
hingga mencapai 0,70C pada tahun 2000. Menurut Hansen (dalam
Rusbiantoro, 2008) menyatakan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi
sebesar 10C saja bisa memicu melelehnya lapisan es dunia.
Perbedaan suhu rata-rata permukaan daratan dan lautan yang semakin
besar hingga saat ini memengaruhi interaksi parameter-parameter dinamis
cuaca dan iklim dan memicu fenomena perubahan iklim (Sakya dan
Mahardika, 2011). Iklim memiliki kecenderungan untuk berubah yang
diakibatkan oleh faktor aktivitas manusia seperti urbanisasi, deforestasi,
transportasi, dan industrialisasi. Selain itu, perubahan iklim juga
disebabkan oleh faktor alam seperti pergeseran kontinen, letusan gunung
api, noda matahari, dan peristiwa El-Nino (Rusbiantoro, 2008).
Definisi perubahan iklim menurut Kementerian Lingkungan Hidup
(2001) adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan
distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai
sektor kehidupan manusia. Ketidakstabilan iklim ini ditandai oleh
beberapa respon fisis seperti peningkatan suhu udara rata-rata, pola cuaca
yang tidak terprediksi dan ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan,
perubahan siklus hidup hewan dan tumbuhan, pelelehan es di kutub serta
peningkatan suhu dan tinggi permukaan air laut
(http://www.epa.govclimatestudents/scientists/clue.html). Peristiwa itu
terjadi melalui proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang
dan secara berangsur-angsur.
Seringkali orang awam rancu dengan istilah pemanasan global dan
perubahan iklim. Sesungguhnya fenomena pemanasan global merupakan
bagian dari perubahan iklim karena parameter iklim tidak hanya
temperatur saja melainkan presipitasi, kondisi awan, angin, dan intensitas

49
radiasi matahari (Rusbiantoro, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa
penyebab utama dari fenomena ini bukan faktor alam melainkan aktivitas
manusia terutama aktivitas pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu
bara, minyak bumi yang hasilnya berupa bensin, minyak tanah, avtur,
pelumas oli) dan gas alam sejenisnya yang tidak dapat diperbarui.
Pembakaran tersebut mengakibatkan pelepasan karbondioksida (CO2)
dan gas lainnya yang dikenal dengan gas rumah kaca ke atmosfer bumi.
Ketika atmosfer semakin kaya dengan gas-gas tersebut, ia akan semakin
menjadi insulator yang menahan radiasi panas yang menyebabkan
permukaan bumi menjadi semakin panas.
Seluruh dunia saat ini merasakan perubahan iklim dengan musim
panas yang semakin panas dan musim hujan yang semakin pendek.
Selain itu, makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino)
di seluruh dunia dan atau meningkatnya suhu udara yang ekstrem di
berbagai tempat.

Bagaimana Green House Effect Terjadi?


Dalam perkembangan kehidupan di Bumi, terdapat beberapa efek
dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia di Bumi. Terjadinya
pencemaran lapisan udara dapat menyebabkan terjadinya efek rumah
kaca. Efek rumah kaca ini dipicu oleh meningkatnya kadar zat
karbondioksida dan zat-zat lain yang merugikan di dalam atmosfer bumi.
Banyaknya kadar karbondioksida dan metana dalam atmosfer Bumi
menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Gambar 1.67 menjelaskan
tentang efek rumah kaca. (a) panjang gelombang sinar tampak matahari
bisa masuk rumah hijau dan memanaskan isinya, tapi panjang gelombang
inframerah tidak dapat keluar. (b) Proses yang sama dapat memanaskan
permukaan planet jika atmosfernya mengandung gas rumah kaca seperti
CO2. (c) Konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi, yang diukur dalam inti es
Antartika, tetap kira-kira konstan sampai awal Revolusi Industri.
Rata-rata selama setahun untuk seluruh area permukaan bumi,
matahari meradiasikan energi sebesar 340 watt per meter persegi
melewati bagian atas atmosfer bumi. Sebagian besar energi yang
diradiasikan adalah cahaya tampah. Seandainya bumi tidak memiliki
atmosfer dan tidak ada energi panas yang dipantulkan kembali ke luar
angkasa, maka bumi berada dalam keadaan thermal equilibrium. Bumi
akan meradiasikan energi ke luar angkasa sebesar energi yang
diterimanya dari matahari. Berdasarkan persamaan Stefan-Boltzmann,
besarnya radiasi yang diemisikan oleh pemancar sempurna
(emisivitas=1) diberikan oleh persamaan sT4, dengan s adalah konstanta
Stefan-Boltzmann dan T adalah temperatur dari pemancar atau radiator.
Jadi, pada kondisi thermal equilibrium, permukaan bumi akan menerima
daya dengan besar 340 Wm-2. Jika hal ini terjadi maka suhu di permukaan
bumi adalah 278 K atau 50C. Suhu ini lebih dingin daripada suhu rata-
rata permukaan bumi berdasarkan pengamatan yang kira-kira sebesar
288 K atau 150C. Faktanya, radiasi matahari diserap oleh atmosfer, awan,
dan permukaan bumi merefleksikan kembali sekitar 30% dari radiasi
yang diterimanya. Hal ini menyebabkan radiasi yang diterima permukaan
bumi berkurang hingga mencapai 240 Wm-2. Dengan menggunakan

50
persamaan Stefan-Boltzmann, diperoleh temperatur bumi sebesar 255 K
atau -180C (Lindzen dan Emanuel). Penghitungan sederhana ini
menunjukkan bahwa tanpa GRK suhu di permukaan bumi menjadi sangat
ekstrim yaitu turun 330C dari suhu normal.

Gambar 1.39 Efek rumah kaca. Sama seperti energi matahari melewati kaca
rumah kaca dan terperangkap di dalam sebagai panas, atmosfer bertindak
sebagai rumah kaca untuk menghangatkan permukaan bumi (Trefil dan
Hazen, 2010).

Sistem atmosfer bumi memiliki gas rumah kaca (GRK) yang


berfungsi untuk memerangkap radiasi gelombang panjang hasil
pemantulan dari permukaan bumi. World Wide Fund (WWF) Indonesia
menyatakan bahwa GRK tersebut berperan sebagai panel-panel kaca yang
bertugas memerangkap energi radiasi matahari agar tidak lepas seluruhnya
ke luar angkasa. GRK dapat ditemukan pada lapisan atmosfer dengan
ketinggian 0-15 km. Sedangkan lapisan GRK terbentuk di ketinggian 6,2-
15 km. Proses terjadinya efek rumah kaca diawali dengan masuknya
radiasi matahari menuju atmosfer bumi, sinar tersebut melewati lapisan
gas rumah kaca. Setelah mencapai seluruh permukaan bumi, diserap oleh
tanah, air, tanaman dan ekosistem lainnya, radiasi gelombang pendek yang
telah menjadi gelombang panjang dipantulkan kembali oleh permukaan
bumi menuju atmosfer. Sebagian energi dikembalikan ke angkasa, tetapi
sebagian besar ditangkap oleh gas rumah kaca di atmosfer dan
dikembalikan ke angkasa, tetapi sebagian besar ditangkap oleh gas-gas
rumah kaca di atmosfer dan dipantulkan kembali ke bumi.
Peran gas rumah kaca akan berubah ketika konsentrasinya di atmosfer
berlebihan. GRK akan lebih banyak memerangkap panas yang
menyebabkan permukaan bumi menyerap terlalu banyak energi sehingga
menjadi lebih panas. Konsentrasi karbondioksida, metana, dan nitrogem
oksida mulai mengalami peningkatan signifikan mulai tahun 1750 sebagai
hasil dari aktivitas manusia yang menggunakan bahan bakar fosil untuk
transportasi, industri dan kebutuhan rumah tangga. Pada tahun sebelumnya

51
peningkatan CO2 masih rendah karena hanya disebabkan oleh faktor
alam seperti letusan gunung api dan siklus karbon yang terjadi secara
alami.
Menurut Aguado (2007), konsentrasi CO2 meningkat dengan laju 1,8
ppm (part per million) per tahun. Karbondioksida (CO2) adalah gas
rumah kaca anthropogenic yang paling penting karena sifatnya yang
mampu menyerap kuat radiasi inframerah. Pembakaran dari semua bahan
bakar yang mengandung karbon seperti gas alam, bensin, diesel, minyak
tanah, propana, anrang dan kayu akan menghasilkan CO2. Walaupun
lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi CO2 di atmosfer,
aktivitas manusia yang melepaskan CO2 jauh lebih cepat dari
kemampuan alam untuk menguranginya (http://id.wikipedia.org).

Gas-Gas Rumah Kaca


Berdasarkan laporan IPCC (2007) penyebab pemanasan global
adalah aktivitas manusia. Manusia dengan segala aktivitasnya memiliki
kontribusi sangat besar terhadap emisi gas rumah kaca di atmosfer.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gas rumah kaca (GRK)
bertanggung jawab atas pemanasan yang terjadi di bumi.
Gas-gas yang dikategorikan sebagai GRK adalah CO2, metana
(CH4), dinitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC, merupakan
kelompok gas), perfluorokarbon (PFC, merupakan kelompok gas), dan
sulfur heksafluorida (SF6). Dalam IPCC (2006) disebutkan GRK lain
seperti nitrogen trifluorida (NF3), trifluorometil sulfur pentafluorida
(SF5CF3), eter terhalogenasi, dan halokarbon lain. Gas-gas ini juga
menjadi acuan para Protocol Kyoto (1997). Selain gas-gas rumah kaca
yang telah disepakati pada Protocol Kyoto, para ilmuwan juga
menyebutkan bahwa uap air, ozon dan aerosol sebagai GRK. Uap air
adalah GRK terbanyak di atmosfer yang keberadaannya dipengaruhi oleh
siklus hidrologi khususnya proses evaporasi dan kondensasi. Ozon
adalah GRK yang secara alami dan kontinu terbentuk dan rusak di
atmosfer akibat reaksi kimia. Sedangkan aerosol adalah partikel padat
mikroskopik dan titik-titik air di udara yang terkumpul yang dapat
terbentuk secara alami dan akibat aktivitas manusia. Berikut ini adalah
tabel yang menunjukkan efektivitas GRK dalam memengaruhi efek
rumah kaca.

52
Tabel 1.5 GRK dan kontribusinya pada pemanasan global
Global
Waktu residu
Kontribusi warming
Gas Sumber Antropogenik Utama (lama waktu
(%) potential
tinggal)-tahun
(relative)
Karbondioksida Pembakaran bahan bakar fosil 100 tahunan 50 1
untuk transportasi, industri, dan
produksi energi listrik serta
pembakaran hutan.
Metana Penanaman padi, penimbunan 10 tahunan 13 21
sampah, peternakan, tanam
produksi bahan bakar fosil.
CFC R-12 Semprotan aerosol, pendingin, 60-100 tahunan 12 15.800
busa.
Ozon Pembakaran bahan bakar fosil Bulanan 7 2000
dan biomass.
Nitrogen Pembakaran bahan bakar fosil Harian 5 206
Oksida dan biomass.
Sumber: Killen (1996) dan (http://www.student_unimess/a.andano/global_warming)

Menurut Lindzen dan Emanuel, analisis terhadap gas-gas di atmosfer


tercatat bahwa gas karbondioksida dan metana memiliki konsentrasi yang
rendah pada saat zaman es dan berada pada konsentrasi yang stabil sejak
berakhirnya zaman glasial sampai pada permulaan revolusi industri. Gas-
gas rumah kaca berperan penting dalam efek rumah kaca sehingga
peningkatannya akan dikhawatirkan dan akan menjadi penyebab utama
terjadinya pemanasan global.

Gambar 1.40 Konsentrasi karbondioksida sekitar 8 km di atas permukaan bumi


pada Juli 2003. Distribusi regional masih bisa dilihat pada saat gas mencapai
ketinggian di pertengahan troposfer, dengan konsentrasi besar di bagian AS
dan Cina. Gambar ini diperoleh dari atmosfer inframerah Sounder Percobaan
kapal pesawat ruang angkasa aquo (NASA). (Lang, 2011)

53
Gambar 1.41 Distribusi global metana di bagian bawah atmosfer bumi, yang
dikenal sebagai troposfer. Gambar ini diambil dari atmosfer inframerah Sounder
Percobaan kapal pesawat ruang angkasa aquo pada bulan Agustus 2005. Gambar
tersebut akan membantu mengindentifikasi sumber panas perangkap gas rumah
kaca ini, serta variasi multi-tahun musiman dan transportasi di seluruh dunia.
(Lang, 2011)

Gambar 1.40 menunjukkan pemetaan kadar zat karbondioksida di


lapisan troposfer Bumi. Gambar 1.41 menunjukkan pemetaan kadar zat
methana di lapisan troposfer Bumi. Berdasarkan data oseanografi,
bertambahnya usia konsentrasi karbondioksida di dalam atmosfer Bumi
sebanding dengan usia Bumi. Jadi, setiap tahun terjadi peningkatan kadar
karbondioksida di udara dalam lapisan troposfer. Penjelasan tentang data
kadar karbondioksida dijelaskan dalam Gambar 1.42.

Gambar 1.42 Kenaikan kadar karbondioksida di


atmosfer Bumi (Lang, 2011).

Gambar 1.42 menggambarkan grafik kenaikan kadar karbon


dioksida di atmosfer Bumi. Konsentrasi bulanan rata-rata karbon
dioksida atmosfer (CO2) dalam part per million menurut volume (ppmv)
dari udara kering diplot terhadap kadar CO2 dalam beberapa tahun
diamati sejak tahun 1958 di Mauna Loa Observatory, Hawaii. Hal ini

54
menunjukkan bahwa jumlah atmosfer dari gas buang utama masyarakat
industri, karbon dioksida, telah meningkat terus selama lebih dari empat
puluh tahun. Fluktuasi naik dan turun ditumpangkan pada peningkatan
sistematis mencerminkan kenaikan musiman dan penurunan penyerapan
karbon dioksida oleh pohon dan vegetasi lainnya. Waktu musim panas
terendah disebabkan oleh penyerapan karbon dioksida oleh tanaman, dan
musim dingin tertinggi terjadi ketika daun jatuh dan beberapa gas
dikembalikan ke udara (Courtesy of Dave Keeling dan Tim Whorf,
lembaga Scripps Oseanografi dalam Lang, 2011).

Lapisan Ozon
Peristiwa lain yang menyebabkan pemanasan global adalah penipisan
lapisan ozon. Kira-kira 10% ozon di atmosfer terdapat pada lapisan
troposfer sebagai hasil reaksi dari gas-gas pencemar terutama yang
mengandung nitrogen dan hidrokarbon. Sedangkan 90% terbentuk secara
alami pada lapisan stratosfer. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi bumi
dari sinar ultraviolet yang memiliki panjang gelombang pendek sebesar
280-315 nm (http://id.wikipedia.org). Sinar ini berpotensi untuk merusak
kehidupan organisme yang ada di bumi.
Pembentukan ozon terjadi secara alami melalui mekaniske pemecahan
molekul O2 oleh sinar UV menghasilkan 2 atom oksigen. Atom oksigen
hasil belahan tersebut masing-masing akan bertumbukan dengan molekul
O2 dan membentuk molekul ozon (O3). Kumpulan molekul O3 membentuk
lapisan ozon pada ketinggian 50 km.

Gambar 1.43 Proses rusaknya lapisan ozon (sumber:


http://sovasakina.blogspot.com/ozon.html)

Lapisan ozon dapat berlubang atau mengalami kerusakan. Kerusakan


pada lapisan ini terjadi jika salah satu unsur oksigen yang menyusun
molekul ozon tergantikan oleh unsur lain yang bersifat pencemar seperti
klorofluorokarbon (CFC) seperti yang tampak pada Gambar 1.43.
Berdasarkan laporan NASA, lubang ozon di Antartika telah mencapai
29 km2. Penyebab rusaknya atau menipisnya lapisan ozon disebut bahan
perusak ozon (BPO). BPO yang bersifat paling merusak adalah CFC yang
diemisikan melalui berbagai kegiatan misalnya penggunaan AC, kulkas,
penyemprot ruangan, parfum, dll.

55
Gambar 1.44 Daerah gelap menandai daerah
konsentrasi ozon lebih rendah selama Antartica-
lubang ozon (Trefil dan Hazen, 2010).

Menurut World Wide Fund Indonesia, rusaknya lapisan ozon dan


pemanasan global adalah dua hal yang berbeda tetapi berhubungan.
Pemanasan dan efek rumah kaca mengacu pada lapisan troposfer karena
GRK terakumulasi pada lapisan tersebut. Sedangkan lapisan ozon
mengacu pada hilangnya lapisan ozon di lapisan stratosfer.
Lapisan ozon memerangkap panas pada lapisan stratosfer, sehingga
apabila hilang maka stratosfer mendingin. Hal ini dapat
menyeimbangkan efek pemanasan dari gas lain yang memerangkap
panas. Akan tetapi pendinginan stratosfer menyebabkan kerusakan ozon
semakin parah. Hal ini lebih jauh menyebabkan perubahan iklim yang
berakibat pada perubahan pola cuaca. Apalagi jika konsentrasi GRK
meninggi yang menyebabkan panas terperangkap pada lapisan troposfer.
Hal ini menyebabkan stratosfer semakin dingin dan kerusakan ozon
semakin besar.
Namun, konsentrasi CO2 di atmosfer kian hari kian meningkat
sehingga lapisan ozon kian menipis. Gambar 1.45 menunjukkan hasil
pengamatan satelit mengenai lubang ozon.

Gambar 1.45 (a) pengamatan satelit konsentrasi ozon di atas Antartica yang ditampilkan di sini sebagai merah untuk
konsentrasi tertinggi dan terendah untuk violet. Sejak tahun 1970-an, sebuah lubang di lapisan ozon telah
berkembang di Kutub Selatan. (b) Meskipun penipisan ozon yang paling dramatis di atas Kutub Selatan, konsentrasi
ozon telah menurun di semua lintang (Seeds, 2007).

56
Faktor Internal Temperatur Permukaan Bumi
Lapisan rumah kaca di troposfer dan lapisan ozon di stratosfer bumi
memberikan pengaruh yang signiikan terhadap temperatur permukaan
bumi. Selain dipengaruhi oleh kedua lapisan tersebut, temperatur
permukaan juga dipengaruhi oleh faktor internal yang terdapat di
permukaan bumi sendiri yaitu tipe permukaan bumi.
Tipe permukaan bumi yang terkena sinar matahari langsung adalah
faktor terpenting. Hutan, padang rumput, permukaan laut, lapisan es,
gurun pasir, dan perkotaan akan mengabsorbsi, merefleksi, dan
meradiasikan kembali radiasi panas dengan kuantitas yang berbeda-beda.
Radiasi matahari yang jatuh pada permukaan putih es akan dipantulkan
dengan kuat kembali ke ruang angkasa sehingga menyebabkan suhu
minimal pada permukaan atas dan bagian bawah atmosfer. Sedangkan
radiasi matahari yang jatuh pada permukaan gurun pasir dengan tanah
yang hitam akan diabsorbsi seluruhnya sehingga memberikan kontribusi
yang signifikan pada pemanasan permukaan area tersebut. Kondisi awan
juga memengaruhi temperatur permukaan bumi dengan dua cara yaitu
mengurangi jumlah radiasi matahari yang akan mencapai permukaan bumi
dan mengurangi jumlah energi radiasi yang diemisikan ke luar angkasa.
Berikut ini adalah uraian tentang faktor-faktor internal yang memengaruhi
temperatur permukaan bumi, diantaranya:

a. Awan

Gambar 1.46 Bentuk awan (http://www.ucar.edu/learn/1_3_2_13t.htm)

Pada siang hari yang panas, biasanya terlihat awan kumulus putih
besar yang dapat membuat permukaan bumi menjadi teduh secara tiba-
tiba. Hal ini disebabkan karena bagian atas awan kumulus merefleksikan
radiasi matahari kembali ke angkasa sebelum mencapai bumi. Berdasarkan
ketinggian dan karakteristik optikalnya, awan dapat mendinginkan
sekaligus memanaskan bumi. Awan yang berukuran besar, tebal, dan
memiliki ketinggian yang relatif rendah seperti awan kumulonimbus, akan
merefleksikan radiasi matahari yang datang dan dengan demikian
mengurangi pemanasan permukaan bumi. Sedangkan awan yang tipis dan
memiliki ketinggian yang relatif tinggi seperti awan cirrus, akan
mengabsorbsi radiasi gelombang panjang yang bersifat panas dari
permukaan bumi yang dapat menaikkan temperatur permukaan bumi.

57
b. Albedo permukaan
Para ilmuwan mendefinisikan albedo adalah perbandingan antara
jumlah radiasi matahari yang dipantulkan dan yang diterima oleh
permukaan bumi. Albedo permukaan bumi bergantung pada warna
permukaan bumi. Albedo permukaan bumi ini berpengaruh besar pada
kemampuan permukaan untuk mengabsorbsi radiasi matahari.
Permukaan salju atau es adalah permukaan yang bersifat reflektif
sehingga dataran ini akan mengurangi pemanasan secara signifikan.
Sebaliknya permukaan tanah yang gelap bersifat absorbtif sehingga
berkontribusi untuk meningkatkan pemanasan. Semakin gelap warna
permukaan tanah, maka kemampuannya untuk menyerap panas akan
semakin besar.

c. Permukaan laut
Berbeda dengan daratan, lautan terlihat lebih gelap dan dianggap
memiliki daya serap radiasi panas yang lebih besar. Akan tetapi tidak
seperti daratan, lautan menyerap energi melalui siklus dinamis. Sebagian
radiasi matahari yang mengenai permukaan laut diubah dalam bentuk
aliran massa air, penguapan dan menembus permukaan laut untuk
kebutuhan energi makhluk laut. Air memiliki kapasitas untuk
menyimpan dan transport energi panas dalam jumlah yang besar. Di
samping itu, laut merupakan sumber CO2 yang penting bagi atmosfer dan
memiliki kemampuan untuk menyerap CO2 yang berhubungan dengan
temperatur permukaan laut. Oleh karena ukuran yang besar dan dalam,
laut menjadi komponen penting dalam menentukan iklim global dan
perubahan temperatur global rata-rata di masa yang akan datang.

d. Hutan
Seperti permukaan laut, hutan juga memiliki interaksi yang
kompleks dengan energi radiasi matahari. Jumlah radiasi matahari yang
diserap oleh vegetasi buatan bergantung pada tipe dan warna vegetasi,
usia hutan, dan kualitas perairan serta tumbuhan di dalamnya. Pada
umumnya, kehadiran tumbuhan menyebabkan penyerapan energi radiasi
matahari lebih tinggi karena tumbuhan memerlukan energi tersebut untuk
fotosintesis, sebagian energi dilepaskan untuk proses penguapan di daun
tumbuhan dan sebagian lagi diserap dan didistribusikan oleh kanopi
hutan.

1.6 Bagaimana Bumi Menghasilkan Medan Magnet?


Gambar 1.47 merupakan ilustrasi bumi yang memiliki dua inti. Pada
Gambar 1.47, mantel dan bagian kerak dipotong untuk menampilkan
ukuran relatif cairan bumi dan inti padat. Inti cairan luar sekitar 55 persen
dari radius Bumi, dan inti padat sedikit lebih kecil dari Bulan. Medan
magnet bumi diperkirakan akan dihasilkan dan dipertahankan dengan
menggerakkan arus dalam konduksi elektrik planet, fluida inti luar, yang
terdiri dari besi cair. Ahli Geofisika telah menemukan bahwa rute dari

58
kutub polar (utara-selatan) gelombang melalui interior bumi secara
bertahap bergeser ke arah timur karena inti berputar sedikit lebih cepat dari
seluruh planet ini. Rotasi cepat dari inti padat dapat membantu
menjelaskan bagaimana medan magnet bumi membalikkan polaritas.

Gambar 1.47 Bumi dengan dua inti menghasilkan medan


magnet (Lang, 2011).

Teori Dynamo Medan Magnet Bumi


Panas Bumi dan sifat maupun variabilitas dari medan magnet bumi
sangat menyarankan bahwa gagasan Bumi sebagai magnet batang berguna
tetapi tidak persis benar. Medan magnet bumi tidak datang dari magnet
batang yang terkubur di bawah permukaan. Namun inti bumi yang kaya
kandungan besi mungkin menawarkan penjelasan yang lain. Ingat bahwa
inti memiliki dua bagian: sebuah inti bagian dalam terbuat dari besi
sebagian besar solid dan bagian luar cairan besi bersama dengan nikel dan
beberapa unsur yang lebih ringan. Meskipun suhu inti yang tinggi
menghalangi sifat feromagnetik, panas dapat menciptakan arus dalam inti
luar yang bersifat cair. Arus ini sering disebut arus konveksi karena
melibatkan mekanisme perpindahan panas yang dikenal sebagai konveksi,
di mana gerakan fluida membawa panas dari satu tempat ke tempat lain.
Arus konveksi Bumi adalah bagian dari sarana yang planet mendingin.
Arus konveksi dalam mantel juga membantu menjelaskan lempeng
tektonik, dan arus dalam inti luar bahkan lebih kuat karena jauh lebih cair
daripada mantel.
Kebanyakan ahli geologi percaya bahwa asal-usul medan magnet
bumi adalah karena efek dinamo. Ide-ide tersebut telah ada sejak awal abad
ke-20, ketika ilmuwan Irlandia Sir Joseph Larmor (1857-1942)
mengusulkan teori dinamo untuk menjelaskan sifat magnetik tertentu dari
Matahari. Sebuah dinamo adalah mesin yang menghasilkan listrik dengan
berputarnya konduktor listrik dalam medan magnet yang kuat. Besi adalah
konduktor listrik yang efektif, dan gerak cepat karena arus konveksi,
bersama dengan rotasi planet ini, dapat mengatur semacam dinamo dalam
bumi.

59
Gambar 1.48 Pasangan konveksi efek dynamo dalam inti cair dengan
rotasi bumi untuk menghasilkan arus listrik yang dipercaya
bertanggungjawab untuk medan magnet Bumi (Seeds, 2007).

Proses ini menginduksi arus listrik, yang seperti Oersted temukan


untuk menciptakan medan magnet. Jika teori dinamo benar, panas bumi
sangat penting untuk medan magnet, karena panas menciptakan arus
konveksi untuk mendorong gerakan yang diperlukan konduktor. Tapi
timbul pertanyaan tentang teori ini. Dinamo menghasilkan arus listrik
yang pada gilirannya menghasilkan medan magnet, namun medan
magnet yang diperlukan di tempat pertama untuk dinamo menghasilkan
arus listrik. Jika arus konveksi dalam inti cair bertindak sebagai dinamo,
ahli geologi masih harus memperhitungkan medan magnet yang
diperlukan untuk dinamo untuk beroperasi.

Medan Magnet Bumi


Meskipun medan magnet bumi berguna, Bumi bukan hanya sebuah
magnet batang besar. Pergerakan kutub magnet menunjukkan proses
dinamis. Bumi adalah planet yang dinamis, dengan pergeseran lempeng
tektonik, konveksi mantel, dan inti luar cair. Pertanyaan penting lainnya
menyangkut usia ketika magnet bumi terbentuk? Ahli geologi mencoba
menjawab pertanyaan ini dengan mempelajari batuan kuno. Meskipun
usia batu kadang-kadang sulit untuk ditentukan, ahli geologi
mengumpulkan petunjuk dari posisi dan komposisi batuan, serta dari
atom radioaktif. Selama pembentukan batuan, seperti ketika batuan cair
dingin dan mengeras atau ketika sedimen bisa dipadatkan menjadi batuan
sedimen, kehadiran medan magnet dapat mempengaruhi orientasi batu
dan struktur, terutama jika mengandung bahkan sejumlah kecil zat
feromagnetik seperti besi.

60
Beberapa batuan tertua, dengan umur sekitar 2-3 milyar tahun,
menunjukkan bukti paparan medan magnet. Temuan ini menunjukkan
bahwa medan magnet bumi terbentuk awal sejarahnya. Baru-baru ini John
A. Tarduno, seorang peneliti di University of Rochester, dan rekan-
rekannya menganalisis sampel batuan 3,2 miliar tahun. Tarduno dan
rekan-rekannya melakukan pengukuran sulit magnet dalam batuan dengan
memanaskan kristal kecil dan mengamati medan magnet dengan bagian
yang sangat sensitif peralatan yang disebut perangkat interferensi kuantum
superkonduktor (SQUID).
Medan magnet bumi mendominasi ruang di sekitar Bumi dengan
membelokkan angin matahari dan menjebak partikel energi tinggi di sabuk
radiasi. Sekitar kutub magnet utara dan kutub magnet selatan, di mana
medan magnet memasuki atmosfer bumi, arus kuat dapat mengalir ke
bawah dan merangsang atom gas untuk memancarkan foton, yang
menghasilkan aurora. Warna yang dihasilkan sebagai atom yang berbeda
yang keluar.

Gambar 1.49 Magnetosfer dan aurora sebagai efek medan magnet bumi (Seeds, 2007).

Beberapa ilustrasi aurora sebagai efek medan magnet bumi


ditunjukkan oleh Gambar 1.50, Gambar 1.51, dan Gambar 1.52.

61
Gambar 1.50 Aurora senja (Lang, 2011).

Gambar 1.51 Aurora australis (Lang, 2011).

Gambar 1.52 Aurora oval (Lang, 2011).

62
Medan Geomagnetik dan Model Numerical Dynamo
Tabel 1.6. Sifat kasus model numerik.Models 1 dan 2 berkorespondensi dengan model sepenuhnya
yang dijelaskan dalam Aubert & Fournier (2011) . Definisi untuk parameter input panel kiri juga
dapat ditemukan dalam penelitian: Rayleigh nomor Raq, dan kental, magnetik dan termal nomor
Ekman E, Eη dan Eκ. Panel sebelah kanan memberikan nilai-nilai parameter output, sebagaimana
didefinisikan dalam pendahuluan: magnet Reynolds nomor Rm, yang Lehnert nomor λ, dan χ2
ukuran kesamaan morfologi ke bidang geomagnetik (Christensen et al 2010). Nilai-nilai bumi
diperkirakan di Christensen & Aubert (2006); Aubert et al (2009). Catatan: (c) aliran columnar,
(am) konservasi momentum sudut (lihat teks), dengan inti untuk mantel kopling gravitasi konstan
_τ/ρνD3 = 5 × 104 sebagaimana didefinisikan dalam Aubert & Dumberry (2011) (ν adalah
viskositas fluida), (ep) adanya patch fluks magnetik khatulistiwa polaritas normal pada batas luar,
(wdep) adanya patch fluks khatulistiwa ke arah barat - melayang polaritas normal pada batas luar, (
ich ) heterogen rilis apung pada batas inner -core dengan puncak ke puncak besarnya di 80 persen
dari fluks homogen apung, (misalnya) adanya hemispherical, eksentrik pilin kolumnar. Tanda tanya
mengacu pada fitur yang menduga, tetapi tidak secara langsung diamati dalam inti Bumi

Model numerical dynamo dipecahkan oleh Boussinesq untuk


konveksi dan induksi magnetik dalam pendekatan magnetohidrodinamik
dalam kulit bola berputar cepat antara jari-jari ri dan ro dengan Bumi yang
sekarang memiliki aspek rasio inti ri / ro = 0,35. Sebuah deskripsi fisik
lengkap dapat ditemukan di Aubert et al (2009) dan Aubert & Fournier
(2011) dimana pelaksanaan numerik menggunakan Parody - JA (Dormy et
al, 1998; Aubert et al, 2008). Empat kasus telah dihitung (Tabel 1.6).
Model 1 dan 2 berasal dari Aubert & Fournier (2011) dan menggunakan
batas-batas kaku dan isolasi elektrik. Model 3 mirip model 2, namun
memiliki batas tegangan luar bebas, sebuah aksial putar (dengan
konduktivitas yang sama sebagai inti luar) tunduk pada torsi kekentalan
dan magnetik dari inti luar, dan torsi gravitasi dari mantel dengan rumusan
– Γ (Ω − Ω ), di mana Ωic dan Ωm masing-masing adalah tingkat rotasi
inti dalam dan mantel, dan kopling konstanta Γτ seperti yang dijelaskan
dalam Aubert & Dumberry (2011). Total (inti, inti luar dan mantel )
momentum sudut yang dibentuk (mantel juga berotasi secara aksial di
bawah pengaruh torsi gravitasi yang berlawanan dari inti). Model 4 mirip
model 2 tetapi memiliki keheterogenan, membujur secara hemispherical
oleh fluks apung pada batas inti dalam, di samping daya apung fluks
homogen. Konfigurasi ini mensimulasikan konsekuensi dinamis (Olson &
Deguen, 2012) dari ketidakstabilan translasi inti (Alboussiere et al, 2010;
Monnereau et al, 2010). Rincian lebih lanjut tentang model numerik akan
disajikan dalam Tabel 1.6.
Model 2 dan 3 muncul untuk memberikan variasi sekuler yang sangat
mirip dengan pengamatan geomagnetik, termasuk sinyal khatulistiwa
penting (dengan pergeseran ke arah barat dalam kasus model 3). Kesamaan
yang baik ini juga dibuktikan dengan membandingkan medan magnet dan
variasi spektrum sekuler model untuk bidang geomagnetik (Gambar 1.53),
meskipun sekuler variasi spektrum petunjuk untuk skala besar Model

63
(l=1,2) sedikit underpowered sehubungan dengan dengan skala yang
lebih kecil jika dibandingkan dengan data geomagnetik. Sebaliknya,
model 1 dan 4 menunjukkan kurang mirip morfologi medan magnet
Bumi seperti yang dibuktikan oleh nilai-nilai χ2 lebih besar pada Tabel
1.6. Dinamika medan magnet Equatorial tidak hadir dari model 1, dan
sangat berkurang dalam model 4 sehubungan dengan kehomogenitasan
Model 2 (tidak ditampilkan). Perlu dicatat bahwa akhirnya tidak ada
medan magnet simulasi pembalikan polaritas yang hadir. Hal ini tidak
dianggap sebagai masalah mengingat rentang waktu dan analisis yang
difokuskan di sini.

Gambar 1.53 Aliran permukaan inti berdasar eksperimen 2

Sementara medan kecepatan dalam model 1 secara signifikan


menyimpang dari aliran columnar, snapshot dari model 2-4 menunjukkan
perilaku yang cukup columnar, dengan penyimpangan lokal di bawah
pengaruh angin magnetik dan termal. Pengamatan ini dan nilai-nilai
jumlah Lehnert dilaporkan dalam Tabel 1.6 yang kompatibel dengan
kondisi λ ≤ 3 × 10-2 diusulkan oleh Jault (2008) untuk kehadiran aliran
kolumnar dalam dinamo numerik. Berbeda dengan model-model lain,
model 3 menghasilkan aliran zonal ke barat khatulistiwa pada posisi di
bawah batas luar. Perlu akhirnya dicatat bahwa tidak ada model 1-3
spontan menghasilkan gyres columnar eksentrik, sedangkan model 4
tidak.

64
Gambar 1.54 Potongan melintang dari rata-rata
waktu dan rata-rata aliran azimut (warna biru)
dalam model 2 dan 3.

Gambar 1.55 Model langsung dan kebalikan dari hasil aliran dari inti dalam lengkung apung.

Inversi untuk permukaan arus inti dibatasi oleh dinamo numerik (numerical
dynamo)
Hasil inversi dalam dua tahap: pertama, aliran bawah lapisan batas
Hydromagnetic dekat dengan batas inti-mantel (aliran dekat permukaan)
diperoleh dengan membalik versi linierisasi dari persamaan induksi beku-
flux non-linear. Langkah kedua adalah estimasi linear (Aubert & Fournier
2011) dari aliran yang mendalam dari aliran dekat-permukaan, mengambil
keuntungan dari kopling linear yang kuat yang ada antara kedua karena
pengaruh gaya Coriolis. Formulasi dua langkah ini berbeda dengan
pendekatan langkah yang dilakukan dalam Aubert & Fournier (2011)
karena kebutuhan untuk menangani non-linearitas dari masalah aliran inti.
Hal ini juga harus dicatat bahwa, berbeda dengan pendekatan quasi-
geostropik, itu tidak selalu melibatkan penegak kaku aliran kolumnar di
kedalaman.

a. Aliran permukaan
Persamaan induksi magnetohidrodinamik ditulis sebagai
=∇ ( )+ ∇ (1.38)
di mana t adalah waktu, B medan magnet dan u medan kecepatan. Dalam
proses mencari solusi yang paling mungkin diberikan data dan statistik,
inversi matriks Kalman meminimalkan fungsional akan dihasilkan
rumusan

( )= − − + ′ (1.39)
Inversi mendekati keseimbangan kontribusi masing-masing koefisien
harmonik dalam J. Dengan demikian diharapkan bahwa benar untuk data
(Δd ≈ 1), deviasi dari model waktu sebelumnya rata-rata menjadi Δm ≈ √

65
Nd / Nm Δd <1 sejak model ekspansi harmonik bola melebihi dari data
sekitar faktor 10.

b. Aliran dalam
Setelah diperoleh aliran terbalik dekat permukaan, estimasi linear
dari aliran dalam yang sesuai akan mudah didapatkan. Menggunakan
kecepatan vektor 3-D
= [ ̃ ( ), … , ̃ ( ), ̃ ( ), … , ̃ ( )] (1.40)
dengan superscript T menunjukkan transpos, dengan mengumpulkan
nilai-nilai statistik toroidal terpusat dan potensial lingkaran dari medan
kecepatan u pada node dari numerik grid diskrit (82 tingkat radial yang
digunakan). Masalah dapat ditulis
= (1.41)
dengan rE adalah jari-jari dasar lapisan batas Hydromagnetic dan H
disebut operator observasi, yang berisi partikel dalam sel di mana
kuantitas yang diamati, dan nol sebaliknya. Masalah ini sangat
diperlukan lagi diselesaikan di bawah kendala model numerik dinamo
sebelumnya matriks kovariansi P korelasi lintas semua aliran komponen
(Aubert & Fournier 2011).
= (1.42)
dengan matriks Kalman gain

= ′( ) (1.43)
Matriks P dihitung dengan menggunakan prosedur yang sama seperti
untuk PFS (yang merupakan bagian dari P), dan resolusi spektral yang
sama. Strukturnya adalah sangat mirip dengan struktur yang sudah
dijelaskan secara rinci pada Gambar 1.54,

Gambar 1.56 blok-diagonal dengan kopling tidak ada yang berbeda antara nilai m tetapi
kopling signifikan antara nilai l berdekatan dalam suatu blok m, dan juga percobaan kopling
antara bulat dan istilah toroidal. Setelah potensial lingkaran dan toroidal ditentukan
sepanjang kulit, medan kecepatan u dengan mudah dapat ditentukan setelah menghitung
potensial poloidal Plm (r) melalui slm (r) = ∂ [rplm (r)] / r ∂ r.

66
1.7 Kejadian-Kejadian Alam di Bumi
1.7.1 Gunung Api
Gunung api (Gambar 1.57) merupakan sistem saluran batuan pijar
(magma), abu, dan gas-gas, yang memanjang dari dalam hingga permukan
bumi, serta struktur-struktur yang dibangun di sekitar saluran oleh material
hasil erupsi (Montgomery, 1989). Material yang terdapat pada gunung api
adalah sebagai berikut:
a. Magma
Magma merupakan batu-batuan cair yang terletak di bawah permukaan
bumi.
b. Lava
Magma naik ke permukaan karena perbedaan densitas magma terhadap
batuan di sekitarnya. Densitas magma yang lebih rendah
mendorongnya naik ke permukaan. Magma yang tererupsi keluar
permukaan disebut lava. Magma keluar membentuk lava yang dapat
mengalir menuruni lereng gunung hingga tempat yang jauh di lembah,
magma bisa juga keluar dan berdiam di sekitar puncak gunung api dan
membentuk kubah lava (dome).

Gambar 1.57 Contoh anatomi gunung api (Tarbuck dan Lutgens, 2012).

c. Material Piroklastik
Material piroklastik adalah material gunung api yang terlempar saat
terjadinya erupsi. Material tersebut memiliki diameter yang bervariasi,
mulai debu yang sangat halus (kurang dari 2 mm) hingga serpihan yang
massanya dapat mencapai beberapa ton.
d. Gas
Magma mengandung sejumlah gas-gas yang terlarut akibat tekanan
tinggi. Kandungan gas dalam magma bervariasi antara 1-6%. Walaupun
presentasenya kecil, jumlah total gas yang dikeluarkan erupsi gunung
api bisa mencapai ribuan ton perhari

67
Lempeng Tektonik dan Vulkanisme
Sejak beberapa dekade yang lalu para geolog telah menyadari bahwa
distribusi global dari keberadaan gunung api tidak acak. Distribusi
gunung api tersebut berkaitan erat dengan pergerakan lempeng-lempeng
bumi sebagai berikut: (1) sepanjang batas lempeng konvergen, (2)
sepanjang batas lempeng divergen, (3) di dalam area lempeng.

Gambar 1.58 Gunung berapi terbentuk di atas zona


subduksi ketika lempeng yang dipanaskan meleleh
sebagian. Magma panas naik melalui atasnya kerak
untuk membentuk rantai kepulauan vulkanik (Trefil
dan Hazen, 2010).

Vulkanisme pada Zona Konvergen


Pada zona konvergen antara dua lempeng samudera (Gambar 1.59),
lempeng samudera yang satu menjorok masuk (tersubduksi) ke lapisan
mantel bumi di bawah lempeng samudera yang lain. Kandungan volatil
(terutama air) pada lempeng samudera yang masuk ke dalam mantel
memicu penurunan titik leleh batuan di sekitarnya sehingga batuan
meleleh menghasilkan magma berkomposisi basalt. Akibat aktivitas ini,
banyak ditemui deretan gunung api pada batas dua lempeng samudera,
yang dikenal dengan island arc. Gunung api yang terbentuk dapat berada
di dalam laut, ataupun dapat muncul ke permukaan laut, yang dikenal
dengan istilah pulau archipelago.

68
Gambar 1.59 vulkanisme pada zona konvergen antara dua lempeng samudera
(http://geohazard.community.uaf.edu/)

Pada zona konvergen antara lempeng benua dan lempeng samudera


(Gambar 1.60), lempeng samudera tersubduksi ke lapisan mantel bumi di
bawah lempeng benua menghasilkan deretan gunung api dengan
mekanisme yang sama dengan aktivitas pada zona konvergen dari dua
lempeng samudera, jajaran gunung api yang dihasilkan diberi nama
continental arc. Perbedaannya adalah lempeng benua memiliki komposisi
batuan dengan kandungan silika yang tinggi, sehingga magma yang
mulanya berkomposisi basalt dan encer, seiring perjalanannya ke
permukaan bumi berubah menjadi memiliki kandungan silika yang tinggi
sehingga menjadi kental. Karena daerah sekitar samudera pasifik hampir
seluruhnya berada pada zona konvergen ini, wajar jika terdapat banyak
sekali deretan gunung api yang dikenal sebagai ring of fire pada daerah
tersebut.

Gambar 1.60 Vulkanisme pada zona konvergen antara lempeng samudera dan lempeng
benua (http://geohazard.community.uaf.edu/)

69
Vulkanisme pada Zona Divergen

Gambar 1.61 Vulkanisme pada zona divergen (http://www.koboijonggol.blogspot.com/)

Pada zona divergen (Gambar 1.61), celah yang disebabkan oleh


menjauhnya dua lempeng mengakibatkan batuan pada mantel bumi
terdorong untuk naik mengisi celah. Dalam perjalan menuju celah,
semakin ke atas, tekanan yang dikenakan pada batuan mantel semakin
berkurang, sehingga batuan dapat meleleh menjadi magma tanpa
penambahan panas. Proses ini dikenal dengan decompression melting.
Magma ini kemudian naik ke permukaan. Zona divergen sering kali
dibentuk oleh saling menjauhnya lempeng samudera sehingga
vulkanisme pada zona divergen sering kali terjadi di bawah laut dan
menyebabkan perluasan dasar laut (seafloor spreading) oleh magma
yang terbuat dari batuan basalt. Walaupun vulkanisme pada zona
divergen kebanyakan terjadi di bawah samudera, namun ada pula yang
terjadi di daratan akibat menjauhnya dua lempeng benua yang
menyebabkan timbulnya lembah rekahan (rift valley). Contohnya adalah
east african rift.

70
Vulkanisme di Dalam Area Lempeng
Tidak semua aktivitas vulkanik terjadi di daerah perbatasan lempeng.
Ada beberapa aktivitas vulkanik yang terjadi di dalam area lempeng,
misalnya di kepulauan Hawaii. Hal ini terjadi akibat adanya daerah yang
areanya relatif kecil dengan temperatur jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah di sekitarnya. Daerah tersebut dikenal dengan hotspot
(Tarbuck dan Lutgens, 2012). Sumber energi panas lokal di daerah hotspot
akan mempertahankan aktivitas vulkanik dalam waktu yang sangat lama.
Batuan yang berada di wilayah hotspot akan bersuhu lebih tinggi dan
bergerak naik ke permukaan dan meleleh membentuk magma. Magma
yang lebih ringan dari batuan padat di sekitarnya akan terus bergerak naik
hingga akhirnya dapat keluar ke permukaan bumi dan membentuk struktur
gunung api. Pergerakan lempeng akan menggeser gunung api yang telah
terbentuk di atas area hotspot sehingga menghilangkan sumber magma
pada gunung api tersebut, namun, gunung api baru akan tumbuh di atas
hotspot, dan siklus tersebut terjadi berulang-ulang (Gambar 1.62). Proses
vulkanik tumbuh dan mati ini terjadi sepanjang jutaan tahun dan
meninggalkan jejak panjang seperti pulau-pulau dan gunung-gunung
vulkanik.

Gambar 1.62 vulkanisme dalam area lempeng (http://www. thewatchers.adorraeli.com/)

Bentuk Gunung Api dan Karakteristik Erupsi


Aktivitas vulkanik berawal dari rekahan pada kerak bumi sehingga
magma naik ke permukaan. Biasanya, lintasan magma terlokalisasi dalam
saluran berbentuk pipa yang berakhir pada lubang di permukaan yang
disebut vent. Erupsi menghasilkan lava, material piroklastik, atau
gabungan keduanya, dengan kandungan gas mempengaruhi karakteristik
erupsi dan tingkat viskositas magma nantinya akan menentukan struktur
berbentuk kerucut yang disebut gunung api. Karena itu, perlu dibahas
terlebih dahulu mengenai magma dan gas pada gunung api.

Faktor Pembentuk Magma


Magma merupakan batu-batuan cair yang terletak di bawah
permukaan bumi. Menurut Tarbuck dan Lutgens (2012), faktor yang
mempengaruhi pembentukan magma adalah:
a. Temperatur
Cara termudah bagi bumi untuk menghasilkan magma dari batuan
padat adalah memberikan temperatur di atas titik leleh batuan. Semakin

71
ke dalam, temperatur bumi semakin tinggi. Lebih dari 90% magma
dihasilkan ketika temperatur batuan semakin meningkat.
b. Tekanan
Jika temperatur adalah satu-satunya faktor yang mempengaruhi
pelelehan batuan, maka bumi hanya sebuah bola pijar yang dilapisi
kulit padat yang tipis. Namun kenyataannya tidak demikian, karena
tekanan juga meningkat seiring penambahan kedalaman.
Batuan akan meleleh pada temperatur yang lebih tinggi jika
tekanannya semakin dinaikkan. Dengan kata lain, tekanan
meningkatkan titik leleh batuan. Semakin ke dalam tekanan bumi
semakin besar. Pada suatu daerah tertentu, semakin ke atas, penurunan
tekanan terjadi dengan sangat tajam. Hal ini memicu terjadinya
pelelehan dekompresi (decompression melting). Decompression
melting terjadi ketika batuan padat yang panas naik menuju zona
convective upwelling, dengan demikian berpindah pada daerah
dengan tekanan lebih rendah. Proses tersebut memungkinkan batuan
menjadi magma akibat penurunan titik lelehnya. Penurunan tekanan
yang tajam berperan penting dalam pembentukan magma pada zona
divergen.
c. Volatil
Faktor penting lain yang mempengaruhi pembentukan magma
adalah volatil. Air dan volatil lainnya seperti CO2 menyebabkan
batuan dapat meleleh pada temperatur yang lebih rendah. Batuan
basah akan lebih mudah meleleh daripada batuan kering pada suhu
yang sama. Volatil memiliki peranan penting dalam pembentukan
magma pada zona konvergen.
Secara singkat, ada 3 cara pembentukan magma: (1) kenaikan
temperatur melebihi titik leleh batuan. (2) penurunan tekanan yang
menghasilkan decompression melting. (3) keberadaan volatil (terutama
air) yang menurunkan titik leleh batuan.

Viskositas Magma
Viskositas magma dipengaruhi oleh temperatur. Semakin tinggi
temperatur maka viskositasnya akan semakin rendah, seperti
memanaskan sirup yang akan membuatnya semakin cair. Faktor penting
lain yang menentukan viskositas magma adalah komposisinya. Jenis-
jenis batuan beku memiliki kandungan silika (SiO2) yang bervariasi:
batuan beku mafic seperti basal memiliki kandungan silika skitar 50%,
sedangkan batuan beku felsic seperti granit dan rhyolit mengandung lebih
dari 70% silika. Viskositas magma berhubungan dengan kandungan
silika batuan pembuatnya. Semakin tinggi silikanya, maka semakin
kental magma yang dihasilkan. Semakin kental magma, lava semakin
susah bergerak.

Aktivitas Gas pada Gunung Api


Magma mengandung sejumlah gas-gas, yang terlarut akibat tekanan
tinggi. Kandungan gas dalam magma bervariasi antara 1-6 %. Walaupun
presentasenya kecil, jumlah total gas yang dikeluarkan melalui aktivitasi
gunung api bisa mencapai ribuan ton perhari. Ketika magma bergerak

72
naik, tekanan akan berkurang sehingga gas-gas berupaya untuk
melepaskan diri dari cairan magma, membentuk gelembung-gelembung
kecil. Pada magma yang encer, dengan berkurangnya tekanan, gas mampu
memuai dengan sangat cepat hingga ratusan kali volume awalnya. Pada
beberapa kasus, gas berhasil mendorong lava encer tersebut ratusan meter
ke udara, membentuk pancuran lava (lava fountain). Sebaliknya, pada
magma yang kental, erupsi menghasilkan awan dan debu panas ke
angkasa. Karena magma kental, sebagian gas tidak mampu melepaskan
diri dari magma. Sedangkan magma terus menekan batuan di
sekelilingnya sehingga ketika tekanannya melebihi kekuatan batuan di
sekitarnya, maka batuan akan mengalami longsor, membentuk banyak
debu dan bebatuan di atas magma. Hingga akhirnya pada jarak dekat
dengan permukaan, batuan tersebut terlempar dari gunung api dan gas-gas
mampu melepaskan diri sambil membawa debu ke angkasa.
Menurut Tarbuck dan Lutgens (2012), ada 3 bentuk gunung berapi,
yaitu shield volcanoes (gunung api perisai), cinder cones (kerucut), dan
stratovolcanoes.

a. Shield Volcanoes
Shield Volcanoes dibentuk oleh akumulasi lava cair bersifat basalt
dan mengalir dengan kemiringan yang landai yang kemudian membeku
dan menghasilkan bentuk seperti perisai (Gambar 1.63). Gunung api ini
tidak menghasilkan letusan yang besar karena magma yang dikeluarkan
memiliki sifat encer. Magma basalt dengan viskositas rendah ini biasa
muncul di daerah hotspot tengah samudera dan zona divergen.
Kebanyakan Shield Volcanoes terdapat di dasar samudera. Beberapa
membentuk island arc.

Gambar 1.63 Shield volcanoes (mail.colonial.net).

b. Cinder cones
Cinder cones (Gambar 1.64) merupakan jenis gunung api dengan
kemiringan 30-40 derajat, terbentuk dari abu dan pecahan kecil batuan
vulkanik yang menyebar di sekeliling gunung. Sebagian besar gunung
jenis ini membentuk mangkuk atau disebut juga kawah (crater) di
puncaknya. Jarang yang tingginya di atas 500 meter dari tanah di
sekitarnya.

73
Gambar 1.64 cinder cones (www.travelsworlds.com)

c. Stratovolcanoes
Stratovolcanoes (Gambar 1.65) merupakan bentuk gunung api yang
potensi bahayanya paling besar. Berbentuk seperti kerucut dengan sisi
yang curam, tipe gunung api ini terbentuk oleh letusan besar berulang
kali yang terdiri dari aliran lava dan aliran piroklastik. Letusan besar
terjadi karena komposisi magma yang sangat kental. Magma rhyolitic
yang kaya dengan silika terdistribusi pada daerah lempeng benua
terutama pada zona subduksi. Stratovolcanoes banyak ditemui di daerah
ring of fire.

Gambar 1.65 Stratovolcanoes (centralamericanvolcanoes.weebly.com).

Aliran Lava
Aliran lava sering kali ditemui ketika gunung api bererupsi.
Aliran lava bukan hanya sekedar fenomena ilmiah yang menarik untuk
dikaji, namun juga fenomena yang memiliki dampak langsung terhadap
makhluk hidup terutama yang bertempat tinggal di sekitar wilayah
gunung api. Aliran lava berbahaya karena segala sesuatu yang berada di
lintasan lava akan terkepung dan terbakar oleh suhu lava yang sangat
tinggi. Aliran lava dapat merenggut nyawa manusia dan hewan, merusak
properti, memblokir jalur transportasi, dan merusak lahan pertanian.
Salah satu karakteristik aliran lava yang menarik untuk dipelajari
adalah laju alirannya. Laju aliran lava dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Yaitu kandungan kristal dalam lava, temperatur lava, dan sudut
kemiringan lintasan lava (Umass Geo sciences).

Kandungan kristal dalam lava


Kandungan kristal dalam lava, terutama silika (SiO2) mempengaruhi
viskositas lava. Pada felsic lava terdapat sejumlah jaringan dari silika
tetrahedra yang menahan laju aliran dikarenakan ikatannya yang sangat

74
kuat. Sebaliknya, pada mafic lava memiliki sedikit sekali jaringan silika
tetrahedra sehingga aliran lava mudah terjadi. Implikasi dari mengalirnya
felsic lava adalah terbentuknya lava yang tebal. Sebaliknya,
kecenderungan dari mafic lava yang mengalir dengan lebih cepat adalah
terbentuknya lava yang tipis.
Aliran lava bukan cairan sederhana, tapi mengandung fenokris dan
gelembung gas. Akibatnya lava tidak berperilaku sebagai fluida
Newtonian. Lava memiliki nilai ambang batas yang harus dilampaui
sebelum lava dapat mengalir. Karakteristik lava yang demikian
dikategorikan dalam fluida Bingham. Viskositas lava dapat dihitung
seperti Gambar 1.66.

Gambar 1.66 Penghitungan viskositas fluida Bingham (Umass Geo sciences).

Temperatur lava
Temperatur dapat mengurangi viskositas lava. Seperti memanaskan
sirup dapat membuatnya semakin encer. Dengan demikian semakin tinggi
temperatur, laju aliran lava akan semakin besar. Gambar 1.67
menunjukkan grafik bagaimana temperatur dan komposisi penyusun lava
berpengaruh terhadap viskositas lava.

Gambar 1.67 grafik pengaruh temperatur dan jenis batuan penyusun lava terhadap
viskositas lava (Umass Geo sciences).

75
Sudut kemiringan lintasan lava

Gambar 1.68 Pergerakan lava menuruni lintasan berkemiringan α (Umass Geo sciences).

Semakin curam lintasan lava, maka semakin cepat lava mengalir.


Hal ini disebabkan semakin curam lintasan lava, maka semakin besar
angka komponen gaya gravitasi yang dapat menarik magma menuruni
lintasannya. Ilustrasi aliran magma menuruni suatu lintasan dengan sudut
tertentu terdapat pada Gambar 1.68.
Dikutip dari Edwards et al (2006), laju aliran lava dapat dirumuskan
dengan persamaan yang dikenal dengan persamaan Jeffrey sebagai
berikut:
laju aliran lava (V) = ρgt2 sin(α)/3η (1.29)
dengan:
ρ = massa jenis
g = percepatan gravitasi (980.6 cm/sec2)
t = ketebalan (cm)
η = viskositas
α = slope

Dampak Gunung Api


Keberadaan gunung api memang layaknya dua sisi mata uang koin.
Di satu sisi membuat daerah yang memiliki gunung api menjadi rawan
bencana letusan gunung api. Sedangkan dilain sisi, begitu banyak berkah
dari keberadaan gunung api. Dampak negatif dari gunung api banyak
dirasakan ketika aktivitas gunung api meningkat, saat erupsi, dan pasca
erupsi, di antaranya merenggut korban jiwa, merusak lahan pertanian,
mengganggu pernapasan, dan mengganggu transportasi. Namun
keberadaan gunung api juga memberi banyak dampak positif, seperti
potensi energi geotermal, penyedia pasir untuk bahan bangunan,
penyedia mineral tambang seperti emas perak, dan marmer,
menyuburkan area yang awalnya tertutup debu vulkanik, dan potensi
pariwisata.

76
1.7.2 Gempa Bumi
Interior Bumi
Bumi terdiri dari beberapa lapisan pembentuk bumi, yaitu terdiri atas
kerak bumi dan inti bumi. Sementara di antara keduanya terdapat litosfer,
dimana benua dan lautan terdapat di atas litosfer. Arus-arus konveksi
dalam lapisan mantel teratas merupakan gaya-gaya utama yang
mengontrol terjadinya gerakan-gerakan lempeng dan oleh karena itu
merupakan latar belakang terjadinya gempa bumi (Santosa, 2008). Pada
bagian dalam litosfer terdapat cairan yang begitu panas dengan sifat panas
yang merambat. Cairan tersebut merambat ke bagian atas litosfer hingga
mengalami pendinginan di permukaan kulit bumi yaitu di lautan sehingga
akan membentuk kerak lautan muda yang nantinya akan menggeser kerak
lautan sebelumnya ke dalam benua dan mengakibatkan menunjam ke
dalam mantel. Akibatnya, terjadi perputaran lapisan mantel yang sangat
lambat yang disebabkan oleh konveksi.
Pergerakan yang lambat akan mengakibatkan gerakan yang sangat
besar antar lempengan-lempengan di bumi. Karena pada saat kedua
lempeng saling bertumbukan, lempeng kulit bumi lautan akan menembus
lempeng benua yang lain. Lempeng-lempeng yang menembus ke dalam
mantel maka disebut sebagai zona subduksi. Komponen-komponen pada
zona subduksi yaitu palung, cekung busur muka, struktur tinggian, jalur
busur gunung api, dan cekungan busur belakang. Ketika lempeng
samudera dan lempeng samudera saling bertemu akan menghasilkan suatu
rangkaian busur gunung api (volcanic arc) yang arahnya sejajar dengan
palung (trench). Salah satu akibat dari tumbukan antar lempeng samudera
dan lempeng benua adalah terbentuknya kepulauan Indonesia. Lempeng-
lempeng tektonik yang bertemu di wilayah Indonesia meliputi lempeng
Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Zona subduksi
adalah zona aktif gempa bumi sehingga lajur gempa bumi di Indonesia
membentang sepanjang tidak kurang dari 5.600 km mulai dari Andaman
sampai ke Busur Banda Timur (Nugroho, Widiantoro, dan Ibrahim; 2007).
Zona subduksi yang berada di wilayah Indonesia yaitu hampir seluruh
bagiannya, dari sepanjang selatan pulau Sumatra hingga ke selatan Pulau
Jawa, kemudian Nusa Tenggara hingga ke Maluku, yang merupakan
wilayah rawan terjadi gempa bumi karena tumbukan antar lempeng.

77
Gambar 1.38 Komponen-komponen pada zona subduksi (lempeng samudera dan
lempeng benua): palung (trech), struktur tinggian (structural high), cekungan
busur muka (forearc basin), jalur busur gunung api (volcanic arc), dan cekungan
busur belakang (backarc basin) (Noor, 2009).

Gempa Bumi
Gempa bumi dapat didefinisikan bergetarnya permukaan tanah
karena pelepasan energi secara tiba-tiba akibat dari pecah/slipnya massa
batuan di lapisan kerak bumi (Widodo, 2012). Gempa bumi dapat
dibedakan dari penyebabnya seperti gempa runtuhan, gempa vulkanik,
gempa ledakan, dan gempa tektonik. Kajian teori ini lebih membahas
gempa tektonik yaitu gempa yang disebabkan oleh gerakan lempeng
tektonik. Gempa bumi dapat diukur dengan alat seismometer atau alat
seismograf, alat ini dapat mencatat getaran yang ada di bumi dan
ditempatkan di berbagai titik yang rawan gempa. Skala magnitudo dari
gempa bumi adalah Richter yang berkisar 1-10. Skala lain yaitu MMI
(Intensitas modifikasi mercalli) yang diukur berdasarkan kerusakan
gempa dan memiliki skala 1-12. Penyebaran pusat gempa tektonik ini
erat kaitannya dengan batas-batas lempeng.
Seismologi merupakan ilmu geofisika yang mempelajari tentang
gempa bumi. Seismologi berasal dari dua kata Yunani, seismos berarti
getaran dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Ilmu ini mengkaji hal-
hal yang berkaitan dengan gempa bumi. Secara sederhana seismologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari fenomena getaran di dalam
bumi, atau ilmu mengenai gempa bumi (Sukanta, 2010). Seismologi
digunakan dalam rekayasa struktural untuk membantu dalam desain
bangunan tahan gempa dan prospeksi mineral dan eksplorasi minyak dan
gas alam (Aki, 1980; Richards,1980). Menurut BMKG, gempa bumi
adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan secara tiba-tiba yang
ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi. Gempa bumi
terjadi karena patahnya atau bergesernya lempeng tektonik. Gempa bumi
sangat dipengaruhi oleh pergerakan batuan dan lempeng pada sesar.
Sesar adalah celah pada kerak bumi yang terletak pada perbatasan antara
dua lempeng tektonik.

Proses Terjadinya Gempa Bumi


Gempa bumi yang terjadi ada banyak jenisnya, secara umum ada
gempa bumi tektonik dan vulkanik, namun gempa bumi tektonik

78
mendominasi kejadian gempa. Proses terjadinya gempa bumi tektonik
dikelompokkan ke dalam teori pergeseran sesar dan teori kekenyalan
elastisitas.
Teori pergeseran sesar dimulai pada pergerakan interior bumi saat
gaya konveksi mantel yang menekan kerak bumi. Karena kerak sifatnya
rapuh, maka mengakibatkan pergeseran pada sesar. Dari pergeseran sesar,
muncullah gempa bumi berupa aliran energi yang merambat ke
permukaan. Sedangkan pada teori kekenyalan elastisitas terjadi pada saat
gempa yang disebabkan oleh pergeseran atau patahan pada sesar baik itu
sesar naik atau sesar turun. Patahan terjadi karena batuan mengalami
tekanan terus-menerus. Apabila batuan sudah mulai jenuh, maka batuan
akan patah untuk melepaskan energi dari tekanan dan tarikan tersebut.
Pada saat menerima tekanan maka akan terbengkok tapi saat mendapat
tarikan akan kembali seperti semula. Hal itu yang disebut dengan teori
kekenyalan elatisitas.

Gambar 1.39 Pergeseran lempeng di Bumi. Magma, gunung berapi,


dan gempa bumi yang dihasilkan pada zona subduksi (atas) di mana
lempeng samudera padat didorong di bawah lempeng benua yang
lebih ringan. Ketika benua pada dua lempeng bergerak memenuhi
permukaan, gunung baru yang dihasilkan (tengah). Dalam beberapa
situasi, lempeng depan dapat terganggu dan gerakan lempeng dapat
berhenti. Kedua benua kemudian menjadi satu bersama-sama
membentuk lempeng yang lebih besar, dan zona subduksi baru
dapat dibentuk di tempat lain (bawah) (Lang, 2011).

79
Dinamika bumi memungkinkan terjadinya gempa bumi. Di seluruh
dunia tidak kurang dari 8000 kejadian gempa bumi terjadi tiap hari,
dengan skala kecil yaitu kurang dari Magnitud 2 sampai skala besar
dengan kekuatan sekitar Magnitud 9.5 yang secara statistik hanya terjadi
satu kali dalam 20 tahun di dunia. Dari kejadian gempa bumi dunia,
kurang lebih 10% nya terjadi di Indonesia. Dinamika bumi digambarkan
dengan pergerakan lempeng-lempeng yang menyusun kerak bumi.
Pergerakan lempeng samudera terjadi karena ada proses naiknya magma
ke permukaan (sea-floor spreading) secara terus menerus dari dalam
kulit bumi di zona pemekaran samudera. Proses ini mendorong lempeng
samudera yang mengapung pada lapisan yang bersifat padat tetapi sangat
panas dan dapat mengalir secara perlahan. Pada saat lempeng samudera
menyusup ke bawah lempeng benua terjadi gesekan yang menghambat
proses penyusupan (Gambar 1.39).
Perlambatan gerak penyusupan tersebut menyebabkan adanya
akumulasi energi di zona subduksi dan zona patahan. Akibatnya, pada
zona tersebut akan terjadi tekanan, tarikan, dan geseran. Pergerakan
lempeng-lempeng di dunia memungkinkan adanya interaksi antara
lempeng yang satu dengan lainnya. Gempa terjadi bukan karena
tumbukan dua lempeng, seperti diibaratkan dua mobil saling bertabrakan
yang asalnya saling jauh kemudian bertabrakan (terjadi crash). Untuk
zona subduksi, gempa terjadi karena interaksi antar dua lempeng yang
saling menekan sehingga terakumulasi energi yang cukup besar. Gempa
itu sendiri terjadi karena kondisi batuan pada lempeng ataupun litosfer
patah.
Mengapa batuan dapat patah? Mekanisme patahan yang terjadi dapat
dijelaskan bahwa batuan tadi mengalami tekanan ataupun tarikan secara
terus menerus, apabila elastisitas batuan sudah jenuh, maka batuan akan
patah untuk melepaskan energi dari tekanan dan tarikan tersebut. Saat
menerima tekanan, batuan akan terbengkokkan dan setelah melepaskan
tekanannya batuan akan kembali ke bentuk semula, ini dikenal dengan
’Elastic Rebound Theory’. Pelepasan energi tekanan yang sudah
tertumpuk ini terjadi selama kurun waktu tertentu (Scolz, 2004). Gempa
yang terjadi di zona subduksi akibat patahan pada lapisan batuan atau
litosfer ini dapat berupa gempa dangkal (shallow earthquake), menengah
(intermediate earthquake), dan dalam (deep earthquake). Berdasarkan
hasil penelitian para peneliti kebumian, disimpulkan bahwa hampir 95
persen lebih gempa bumi alamiah yang cukup besar terjadi di daerah
batas pertemuan antar lempeng yang menyusun kerak bumi dan di
daerah patahan (fault).
Tahapan gempa bumi dapat di jelaskan seperti berikut ini:
a. Tahap pertama, dua lempeng saling bertumbukan di zona subduksi
terjadi tegangan geser.
b. Tahap kedua, lempeng yang berada di atas mulai mengalami tekukan
sehingga terbentuk bukit di atasnya sementara itu tegangan geser terus
bertambah. Pada tahap ini kecepatan gelombang seismik menurun.
c. Tahap ketiga, terjadi retakan-retakan pada batuan dan mencapai batas
keseimbangan. Pada tahap ini gelombang seismik meningkat lagi.

80
d. Tahap keempat, terjadilah gempa bumi akibat dari batuan yang pecah,
Slip atau batuan yang terkunci menjadi terlepas dan sejumlah energi
akan dilepaskan. Kemudian energi ini akan merambat ke segala arah
dalam bentuk gelombang longitudinal (gelombang P) dan gelombang
transversal (gelombang S) rambatan gelombang ini yang akan
menghancurkan bangunan-bangunan di atasnya

Gambar 1.40 Gelombang P, Gelombang S, dan bentuk gelombang yang direkan oleh
seismograf (Seeds, 2007).

e. Tahap kelima, terjadi keseimbangan baru pada saat selesai gempa bumi.
Pada saat terjadi gempa bumi, energi gempa tersebut merambat dalam
bentuk gelombang seismik (Gambar 1.41). Gelombang P dan S
memberikan petunjuk untuk interior bumi. Bahwa tidak ada gelombang S
langsung mencapai sisi jauh menunjukkan bahwa inti bumi cair. Ukuran
gelombang bayangan S memberitahu ukuran inti luar. Energi gelombang
seismik akibat adanya gempa bumi merambat dengan jangkauan tertentu.
Gelombang seismik sebagai bentuk rambatan energi gempa ini dapat
direkam menggunakan alat yang disebut seismograf. Gambat 1.42
menunjukkan salah satu bentuk gelombang seismik pada saat gempa bumi
di Meksiko.

Gambar 1.41 Perambatan gelombang seismik melalui interior


Bumi saat terjadi gempa bumi (Seeds, 2007).

81
Gambar 1.42 Sebuah seismograf di utara Kanada merekam gelombang
seismik dari gempa bumi di Meksiko. Getaran pertama, gelombang P, tiba
11 menit setelah gempa, tetapi gelombang S butuh waktu 20 menit untuk
melakukan perjalanan (Lang, 2011).

Struktur internal bumi ditentukan oleh kecepatan yang berbeda-beda


dari gelombang gempa (Gambar 1.43). Ada dua jenis gelombang yang
berjalan melalui Bumi. Gelombang tersebut dikenal sebagai kompresi
gelombang P (atau gelombang "dorong dan tarik") dan gelombang geser
S (atau gelombang "goyang"). Gelombang P bergerak hampir dua kali
lebih cepat daripada gelombang S, dan gelombang P melewati fluida inti
luar, yang tidak bisa dilakukan gelombang S. Batas antara mantel dan inti
ditandai dengan penurunan terjal dalam kecepatan gelombang P pada
kedalaman sekitar 2.890 kilometer. Gelombang S tidak merambat
melampaui batas ini. Inti luar cair dipisahkan dari inti padat pada radius
1.220 kilometer di mana gelombang P mengalami peningkatan
kecepatan.

Gambar 1.43 Struktur Lapisan Bumi (Lang, 2011)

82
Kecepatan rambat gelombang seismik dapat mengungkapkan suhu di
dalam bumi. Gambar 1.44 menyajikan kombinasi model teoritis dan
observasi kecepatan gelombang seismik yang mengungkapkan suhu di
dalam bumi.

Gambar 1.44 Model teoritis dikombinasikan dengan observasi kecepatan


gelombang seismik mengungkapkan suhu di dalam bumi (garis biru). Titik
leleh bahan (garis merah) ditentukan oleh komposisi dan oleh tekanan. Dalam
mantel dan inti bagian dalam, titik leleh yang lebih tinggi dari suhu yang ada,
dan bahan tersebut tidak cair (Seeds, 2007).

Patahan Akibat Gempa Bumi


Zona patahan (fault) memungkinkan satu blok batuan bergerak relatif
terhadap blok yang lainnya. Pergerakannya bisa relatif turun yang disebut
patahan turun (normal fault), relatif naik disebut patahan naik (thrust fault
atau reverse fault), ataupun bergerak relatif mendatar/geser disebut
patahan geser (strike fault).
Patahan ini dapat dibayangkan sebagai satu bidang miring imaginer
yang memisahkan dua blok lapisan batuan. Blok yang ada di bagian bawah
patahan disebut sebagai foot wall (alas patahan) dan blok yang ada di
bagian atas patahan disebut sebagai hanging wall (atap patahan). Fault
scarp (bidang miring imaginer) adalah permukaan dari bidang patahan.
Pada patahan turun (Normal Fault), bagian hanging wall akan
bergerak relatif turun terhadap foot wall nya. Susunan dari poros utama
tegasannya menunjukkan arah tegasan yang terbesar adalah vertikal.
Patahan turun memiliki sudut kemiringan yang dapat mendekati vertikal.

Gambar 1.45 Patahan turun (normal fault).

Patahan naik (Reverse Fault), menurut teori dasar sama halnya dengan
patahan turun, tapi untuk patahan naik ini bagian hanging wall-nya relatif
bergerak naik terhadap bagian foot wall nya. Salah satu ciri

83
patahan naik adalah sudut kemiringan dari patahan itu termasuk kecil.
Kemiringan daripada bidang patahan akan mempunyai sudut kurang dari
0 0
45 (thrust fault). Patahan naik dengan kemiringan yang kecil (<10 )
disebut over thrust fault.

Gambar 1.46 Patahan naik (reverse fault).

Sudut kemiringan bisa berbeda untuk kedua patahan ini karena


diperlukan satu gaya/energi yang memungkinkan dua blok ini bergerak
satu sama lain. Gaya/energi untuk menimbulkan satu blok bergerak
relatif turun terhadap blok yang lainnya mungkin tidak sebesar
gaya/energi untuk menggerakkan satu blok relatif naik terhadap blok
yang lainnya.
Patahan mendatar/geser (Strike Fault), dibagi menjadi dua bagian
yaitu: patahan mendatar mengiri (satu blok bergerak relatif ke kiri
terhadap blok yang lainnya) dan patahan mendatar menganan (satu blok
bergerak relatif ke kanan terhadap blok yang lainnya). Patahan mendatar
merupakan suatu jenis pergeseran dengan gerak yang dominan adalah
gerak horisontal. Hal ini berarti bahwa yang disebut sebagai patahan
mendatar dalam jumlah terbatas juga masih mempunyai komponen
pergerakan yang vertikal. Patahan jenis ini umumnya dijumpai di daerah-
daerah yang mengalami perlipatan dan patahan naik.

Gambar 1.47 Patahan mendatar/geser (strike fault).

Kerusakan patahan dapat saja terjadi meski dengan gempa bumi


kecil, tetapi, secara umum, kemungkinan dari pengamatan di atas
permukaan berkurang seiring dengan menurunnya magnitudo gempa.
Kaitan yang dekat antara patahan dan gempa bumi telah lama disadari,
meskipun sifat dasar dari kaitan ini belum bisa dimengerti sampai saat
ini.

84
Siklus Gempa Bumi
Kecenderungan kejadian gempa bumi semakin meningkat selama
49 tahun terakhir. Bahkan setelah gempa bumi tahun 2004 peningkatan
kejadian gempa bumi semakin tajam. Hal ini diduga disebabkan oleh
proses pencapaian keseimbangan energi yang dialami oleh lempeng,
sehingga terjadi gempa bumi-gempa bumi susulan yang berkelanjutan
sampai terjadi keseimbangan energi (Madlazim, 2010).
Siklus gempa bumi (earthquake cycle) didefinisikan sebagai
perulangan gempa. Satu siklus dari gempa bumi ini biasanya berlangsung
dalam kurun waktu puluhan sampai ratusan tahun (Scolz, 2004).
Dari satu siklus gempa bumi (earthquake cycle), potensi gempa bumi
di suatu daerah dapat diketahui. Hal ini akan membantu meningkatkan
proses mitigasi, minimal saat terjadi kembali gempa bumi susulan dalam
selang beberapa waktu selanjutnya. Siklus gempa bumi tidak sepenuhnya
berjalan sesuai dengan perhitungan, hal ini dipengaruhi oleh sifat fisis dari
struktur di dalam permukaan bumi, dan kompleksitas kejadian gempa
bumi itu sendiri (Scolz, 2004).
Bentuk analisis tahapan gempa bumi dilakukan dengan cara melihat
dan meneliti fenomena-fenomena yang menyertai tahapan gempa bumi
seperti deformasi, seismisitas, informasi pengukuran geofisika
(reseistivitas elektik, pengamatan muka, dan temperatur air tanah),
penelitian stratigrafi batuan atau terumbu karang, dan lain-lain [Mori
(2004), Vigny (2004; 2005), Ando (2005), Natawidjaja (2004)].
Belum ditemukan teknologi yang mampu dengan tepat menentukan
kapan, di mana, dan berapa besar kekuatan gempa bumi akan terjadi.
Sampai sekarang manusia terus berusaha mempelajari perilaku gempa
untuk mengetahui siklus gempa bumi sehingga potensi kejadiannya di
suatu daerah dapat diketahui sebagai nilai tambah dalam upaya mitigasi
atau kerekayasaan. Peluang terjadinya gempa sesuai dengan siklus gempa
tidak selalu tepat sesuai dengan perhitungan model yang dibuat. Minimal
saat telah mencapai interval waktu perulangannya, upaya mitigasi mulai
ditingkatkan untuk mereduksi implikasi-implikasi negatif yang
diakibatkan dari kejadian gempa bumi.
Saat ini cara yang sederhana untuk memahami kejadian gempa adalah
dengan mempelajari tahapan mekanisme gempa. Tahapan mekanisme
gempa terjadi dalam satu siklus, yaitu interseismic, preseismic, coseismic,
postseismic, dan slow slip event (Andreas, 2005).
Tahap interseismic adalah tahap awal dari suatu siklus gempa bumi.
Pada tahap ini, energi dari dalam bumi menggerakkan lempeng, dan energi
mulai terakumulasi di bagian-bagian lempeng tempat biasanya terjadi
gempa bumi (batas antar lempeng dan patahan). Sesaat sebelum gempa
bumi terjadi dinamakan tahap preseismic. Ketika terjadinya gempa bumi
utama dinamakan tahapan coseismic. Saat sisa-sisa energi gempa terlepas
secara perlahan dan terjadi dalam kurun waktu yang lama hingga kondisi
kembali ke tahap kesetimbangan baru dinamakan tahap postseismic. Tahap
ini menghasilkan deformasi secara permanen mencapai ukuran kurang dari
satu meter atau bahkan lebih dari satu meter saat terjadi gempa besar.
Tahap ini dapat berlanjut selama periode mingguan, bulanan, dan tahunan.
Slow slip event atau lebih dikenal

85
dengan istilah silent earthquake merupakan fenomena pergerakan atau
slip pada kerak bumi yang tidak menyebabkan gempa bumi. Gempa
bumi ini terjadi dalam waktu yang amat lambat, beberapa hari hingga
beberapa minggu.
Dikenal istilah yang biasa dipakai dalam kegempaaan yaitu
mainshock dan aftershock. Aftershock adalah gempa bumi susulan yang
mengikuti guncangan gempa bumi terbesar (utama) dari rangkaian
gempa bumi. Gempa bumi ini lebih kecil dari gempa utama (mainshock)
dan terjadi di sepanjang rupture (robekan) dari gempa utama
(mainshock). Umumnya, semakin besar gempa utama, makin besar dan
makin banyak gempa susulan. Saat terjadi gempa tektonik dangkal (kira-
kira <100 km), maka akan selalu diikuti oleh terjadinya dislokasi.
Dislokasi ini mengganggu keseimbangan medium sekelilingnya. Gempa
susulan (aftershock) merupakan proses stabilisasi medan stress ke
keseimbangan yang baru setelah pelepasan energi atau stress drop yang
besar pada gempa utama, sehingga dengan sendirinya akan muncul
gempa-gempa lain yang merupakan proses pembentukan keseimbangan
baru.

Gempa Bumi di Indonesia


Indonesia secara tataan geologis terletak pada pertemuan tiga
lempeng yaitu Lempeng Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng
Pasifik. Dinamika lempeng-lempeng tersebut membentuk zona subduksi
dan zona patahan yang merupakan zona sumber gempa bumi.
Pada dasarnya sebaran sumber gempa bumi terdapat hampir di
seluruh wilayah Kepulauan Indonesia, baik dalam skala kecil hingga
skala besar yang merusak. Hanya di Pulau Kalimantan sumber gempa
bumi tidak ditemukan, walaupun masih terdapat goncangan yang berasal
dari sumber gempa bumi yang berada di wilayah Laut Jawa dan selat
Makassar. Gambar 1.48 menunjukkan sebaran gempa bumi yang terjadi
di Indonesia.

Gambar 1.48 Sebaran Gempa Bumi di Indonesia.

Indonesia yang merupakan wilayah rawan gempa dan memiliki


beberapa jenis gempa bumi, antara lain:

86
a. Gempa tektonik
Gempa yang disebabkan oleh adanya tumbukan atau pergeseran
lempengan tektonik. Apabila pergeseran lempeng benua dan lempeng
samudera terjadi di lautan dengan gempa yang besar namun kedalaman
yang dangkal maka dapat menimbulkan tsunami.
b. Gempa vulkanik
Gempa yang disebabkan oleh aktivitas gunung api yang ditandai
dengan naiknya magma karena mendapat tekanan dari dalam tanah
akibat pergeseran lempeng tektonik.
c. Gempa runtuhan
Gempa yang disebabkan karena runtuhnya gua, biasa terjadi di daerah
kapur dan daerah pertambangan.
Ada beberapa persamaan antara gempa tektonik dan gempa vulkanik.
Mekanisme terjadinya gempa vulkanik disebabkan oleh naiknya magma
ke permukaan yang diakibatkan oleh pergeseran lempeng yang memaksa
aktivitas magma naik. Sama halnya dengan terjadinya gempa bumi
tektonik yang disebabkan oleh pergeseran lempeng.

Zona subduksi di Sumatera tercatat sebagai zona subduksi aktif di


Indonesia.

Gambar 1.49 Subduksi di Pulau Sumatera (Mubyarto, 2008)

87
Desakan Lempeng Samudera Indo-Australia ini ikut menyeret
lempeng benua melesak ke dalam, sehingga pulau-pulau (Kepulauan
Mentawai) yang melekat di atasnya ikut terseret ke bawah dan mendekati
Sumatera ke arah timur laut (Gambar 1.49A).
Selama puluhan sampai ratusan tahun, tekanan Lempeng Samudera
Indo-Australia ini akan terus meningkat sampai melampaui kekuatan
batuan, sehingga batuan di bawah pulau-pulau akan pecah dan bergeser
secara tiba-tiba, dan terjadilah gempa bumi. Sebagai gambaran, batuan
di bawah pulau-pulau ini berlaku seperti pegas yang ditekan perlahan-
lahan. Ketika kekuatan batuan sudah terlampaui sehingga pecah, maka
tekanan itu dilepaskan secara tiba-tiba dan pulau-pulau akan melentur
balik ke arah atas dan barat daya, bagai pegas, lalu menimbulkan gempa
bumi besar (Gambar 1.49B).
Pelentingan tubuh batuan yang terjadi di bawah pulau-pulau akan
menggerakkan air laut. Saat pulau-pulau terangkat, air laut menyusut
menjauhi pantai seperti yang disaksikan di beberapa lokasi pinggir laut.
Kemudian kembali lagi menjadi gelombang besar yang dikenal dengan
sebutan tsunami. Tsunami bisa setinggi beberapa sentimeter, namun
dapat juga setinggi puluhan meter.

Bagaimana Parameter Terjadinya Gempa Bumi?


a. Waktu Terjadinya Gempa (Origin Time)
Saat terjadi gempa bumi, terbawa energi yang dirambatkan baik
pada permukaan bumi maupun di dalam permukaan bumi. Pada saat
gelombang P merambat terlebih dahulu pada satuan waktu itulah yang
disebut dengan waktu terjadinya gempa, yang kemudian disusul oleh
gelombang S.

b. Sumber Gempa Bumi


Sumber dari gempa bumi adalah suatu titik yang menjadi pusat
terjadinya gempa bumi. Hiposenter adalah lokasi fisik dari sumber
gempa yang diberikan dalam longitude, latitude dan kedalaman di
bawah permukaan. Hiposenter dapat ditentukan bersamaan dengan
waktu awal gempa yang ditentukan oleh waktu datangnya gempa pada
gempa pertama. Proyeksi dari hiposenter terhadap permukaan bumi
yang dinyatakan dalam latitude dan longitude merupakan episenter.
Dalam menentukan episenter harus diketahui pula travel time gempa
bumi. Travel time adalah waktu yang dibutuhkan gelombang P dan S
untuk sampai ke sumber gempa (episenter). Hiposenter dipengaruhi
oleh letak geografis dan kedalamannya sementara episenter hanya
dipengaruhi oleh letak geografis permukaan.
Kuat lemahnya gempa bumi yang terjadi dipengaruhi oleh
kedalaman pusat gempa (hiposenter). Ada beberapa kriteria gempa
bumi yang dipengaruhi oleh kedalaman sumber gempa. Pada
kedalaman (0-70 km) akan terjadi gempa bumi dangkal, sedangkan
pada kedalaman (70-300 km) terjadi gempa bumi menengah, dan pada
kedalaman lebih dari 300 km akan terjadi gempa bumi dalam.

88
Gambar 1.50 Lokasi hiposenter dan episenter (G.H. Girty, 2009).

c. Kekuatan Gempa Bumi


Mekanisme dalam mempelajari gempa bumi, salah satunya
berhubungan dengan ukuran kekuatan gempa bumi atau yang disebut
magnitudo Gempa Bumi. Magnitudo merupakan salah satu parameter
yang digunakan untuk mengambil tindakan setelah terjadi gempa bumi.
Magnitudo didefinisikan sebagai suatu besaran skala yang
merepresentasikan besarnya kekuatan atau energi seismik yang dilepaskan
oleh sebuah gempa (Sukanta, 2010). Besar nilai magnitudo ditentukan oleh
besar kecilnya amplitudo gelombang gempa bumi.
Skala magnitudo suatu gempa dapat dinyatakan dengan Skala Ritcher
(SR). Untuk dapat menentukan besar magnitudo dengan tepat, harus
diperoleh besar nilai amplitudo maksimum dan jarak episenter pada
permukaan bumi. Magnitudo sangat penting untuk pengklasifikasian
kunatitatif dan penanganan statistik kejadian gempa untuk menaksir
aktifitas dan bencana seismik.
Bentuk umum dari skala magnitudo didasarkan pada amplitudo
perpindahan tanah dan periode, persamaan dapat dituliskan :
M = log + s (, h) + C + C (1.30)
dengan:
M = Magnitudo
A = Amplitudo gerakan gelombang seismik (mm)
T = Periode gelombang (s)
 = jarak pusat gempa atau episenter
h = kedalaman gempa (km)
Cs, CR= faktor koreksi yang bergantung pada kondisi
lokal dan regional daerah
Ada beberapa jenis magnitudo yang dikembangkan oleh para ahli,
antara lain adalah:
1) Magnitudo Lokal (ML)
Magnitudo lokal dikembangkan oleh Ricther, bahwa deskripsi
gempa haruslah objektif. Ia mengobservasi bahwa logaritmik gerakan
tanah maksimum (amplitudo maksimum komponen horisontal)
meluruh terhadap jarak sepanjang suatu kurva, kurva tersebut paralel
dengan semua gempa (Afnimar, 2009). Kedalaman gempa-gempa pada
magnitudo lokal dengan jarak episenter 30 sampai 600 km.
= log − 2.48 + 2.78 log  (1.31)

89
dengan
A = Amplitudo displacement (10-6 m)
 = jarak (km)
2) Magnitudo gelombang permukaan (Ms)
Skala magnitudo gelombang permukaan diperoleh dari hasil
pengukuran gelombang permukaan. Pada magnitudo gelombang
permukaan terjadi pada episenter dengan kedalaman lebih dari 600
km, seismogram perioda panjang dari gempa dangkal didominasi oleh
gelombang permukaan, dengan amplitudo dipengaruhi oleh
kedalaman gempa bumi dan biasanya memerlukan perioda 20 s.
Amplitudo gelombang permukaan sangat bergantung pada jarak
episenter () dan kedalaman sumber gempa bumi (h). Magnitudo ini
dihitung dengan formula :
= log + 1.66 log  + 2.0 (1.32)
dengan
A20=amplitudo gelombang permukaan berperioda 20 s (10-6 m)
 = jarak (km)
3) Magnitudo gelombang badan (MB)
Magnitudo yang didasarkan pada amplitudo gelombang badan
(gelombang P dan S). Magnitudo ini digunakan untuk gempa bumi
jauh baik dangkal maupun yang dalam. Magnitudo ini didefinisikan
berdasar pada amplitudo gelompang P yang merambat melalui bagian
dalam bumi. Magnitudo ini dihitung dengan formula:
= log + (ℎ, ) (1.33)
dengan
A = amplitudo (10-6 m)
T = periode (s)
Q( h, ) = koreksi jarak  dan kedalaman h hasil pendekatan empiris
4) Momen Magnitudo (Mw)
Berdasarkan Teori Elastik Rebound diperkenalkan istilah momen
seismik. Momen seismik dapat diestimasi pergeseran bidang sesar
yang direkam oleh seismograf (Sukanta, 2010). Momen seismik
digunakan untuk mengukur kekuatan gempa bumi akibat pergeseran
sesar. Momen seismik dapat dirumuskan:
=m (1.34)
dengan
Mo = momen seismik (Nm)
m = rigiditas atau modulus geser medium
D = slip / pergeseran rata-rata pada suatu daerah dengan luas A
A = luas slip bidang sesar
Momen magnitudo hampir sama dengan magnitudo permukaan
untuk gempa-gempa kecil. Momen magnitudo menyatakan jumlah
energi gempa yang lebih akurat daripada magnitudo badan dan
magnitudo permukaan. Maka dari itu, momen magnitudo lebih sering
digunakan dari magnitudo lainnya. Momen magnitudo dapat
dituliskan dengan formula:
= 2 3 log( − 9.1) (1.35)

90
d. Intensitas Gempa Bumi
Intensitas gempa bumi berbeda dengan magnitudo gempa. Intensitas
gempa bukan merupakan parameter gempa melainkan ukuran kerusakan
yang terjadi akibat gempa bumi berdasarkan hasil pengamatan dari gempa
bumi itu sendiri ataupun dari bangunan yang rusak. Besar intensitas gempa
bergantung pada besar magnitudo, periode gelombang, dan jarak ke
episenter.

Gelombang Seismik
Gelombang seismik merupakan rambatan yang disebabkan adanya
ganguan di dalam kerak bumi, misalnya patahan atau adanya ledakan
(Sukanta, 2010). Efek dari gelombang seismik merupakan fenomena
gempa bumi. Gempa bumi terjadi dengan melakukan pelepasan energi,
Energi tersebut akan merambat ke permukaan bumi. Begitu juga dengan
getaran yang ditimbulkan oleh gempa bumi yang merambat menjauhi titik
pusat gempa, getaran yang terasa merupakan gelombang-gelombang.
Gelombang-gelombang pada gempa bumi dibedakan menjadi gelombang
badan (body wave) dan gelombang permukaan (surface wave).

a. Gelombang Badan (Body Wave)


Gelombang badan adalah gelombang yang terjadi saat terjadinya
gempa di dalam bumi atau di bawah permukaan bumi yang menjalar ke
seluruh bagian bumi. Gelombang badan di bedakan menjadi gelombang
Primer dan gelombang sekunder.
Gelombang primer adalah gelombang longitudinal yang arah
partikelnya sejajar dengan arah rambatnya. Gelombang primer memiliki
kecepatan rambat yang lebih tinggi daripada gelombang-gelombang
lainnya. Pada saat terjadi gempa, gelombang primer akan tiba pertama kali
pada alat pengukur seismik.

Gambar 1.51 Gelombang Primer (G.H.Girty, 2009).

Kecepatan gelombang-P bergantung pada medium penjalarannya,


l m
= (1.36)
r
Gelombang sekunder adalah gelombang transversal yang arah
partikelnya tegak lurus dengan arah rambatnya. Gelombang sekunder tiba
setelah gelombang primer. Gelombang sekunder terdiri dari gelombang
SH, yaitu dimana arah partikelnya horisontal dan gelombang SV, dengan
arah partikel vertikal.

91
Gambar 1.52 Gelombang Sekunder (G.H.Girty:2009).

Kecepatan gelombang-S sebesar,


m
= (1.37)
r

b. Gelombang Permukaan (Surface Wave)


Gelombang permukaan merupakan gelombang yang penjalarannya
sepanjang permukaan bumi. Gelombang permukaan dibedakan menjadi
gelombang Reyleigh dan gelombang Love.
Gelombang Reyleigh menjalar hanya pada bidang yang padat,
dimana pergerakannya vertikal menjauhi arah penjalarannya.
Pergerakannya membentuk seperti gelombang laut. Kecepatan
gelombang Reyleigh lebih rendah daripada jenis gelombang yang
lainnya.

Gambar 1.53 Gelombang Reyleigh (G.H.Girty, 2009).

Sedangkan gelombang Love adalah gelombang yang teramati jika


ada lapisan kecepatan rendah menutupi lapisan kecepatan tinggi.
Amplitudo besar saat di permukaan namun akan mengecil di kedalaman.
Gelombang ini tidak dapat secara bersamaan namun bergantung pada
periodenya, semakin besar periodenya maka gelombang tersebut akan
datang lebih dahulu.

Gambar 1.54 Gelombang Love (G.H.Girty, 2009).

92
Penentuan Parameter Gempa Bumi
Parameter sumber gempa dapat digunakan untuk menginterpretasikan
dampak yang diakibatkan oleh gempa tersebut (Madlazim dan Santosa,
2010). Dalam menentukan parameter gempa seperti waktu gempa,
episenter dan hiposenter, magnitudo dan intensitas, seperti dalam
menentukan waktu gempa (origin time), digunakan data waktu tiba
gelombang P dan travel time gelombang P dan S.
Untuk menentukan episenter dan hiposenter dibutuhkan koordinat
stasiun pengamat, model struktur kecepatan realistis yang
mengkarakterisasi area jaringan stasiun pengamatan dan setidaknya di
butuhkan 4 data waktu tiba gelombang P dan S (Tp dan Ts). Walaupun
demikian, penggunaan data waktu tiba gelombang P saja bukan
merupakan masalah jika gempa terjadi dalam area jaringan stasiun
pengamat (Sari, Suaidi, dan Nasikhudin, 2013). Ada banyak metode yang
digunakan dalam menentukan posisi episenter dan hiposenter seperti
metode lingkaran, metode lokus, metode wadati, metode stereometri, dan
metode bola. Namun ada pula metode yang digunakan untuk menentukan
hiposenter melalui pengolahan data dengan hypoinverse, menggunakan
alat manual dari Geofon-IA dan IRIS DMC permanen (Madlazim dan
Santosa, 2010)
Magnitudo dapat dihitung dari catatan alat atau dapat pula
menggunakan perhitungan melalui perumusan yang sudah ditentukan.
Sedangkan intensitas dapat dihitung berdasarkan pengamatan secara
langsung terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa bumi.
Didasarkan atas akibat langsung dari getaran gempa bumi, intensitas dapat
menggambarkan harga kekuatan pada pusat gempa, sehingga besar
intensitas di setiap tempat berbeda (Suharno, 2006)

Metode Lokasi Gempa Bumi


Lokasi gempa didefinisikan oleh tiga koordinat ruang dan waktu
terjadinya gempa (Afnimar, 2009). Dalam mengetahui lokasi terjadinya
gempa bumi harus diketahui pusat gempa bumi (hiposenter dan episenter)
dan waktu tempuh gempa. Baik episenter ataupun waktu tempuh dapat
ditentukan menggunakan metode grafis dan metode inversi.
a. Metode Grafis
Dalam metode grafis digunakan diagram wadati untuk mengukur
waktu terjadinya gempa. Beda waktu tiba gelombang S dan P −
diplot terhadap waktu tiba gelombang P. Karena di hiposenter −
akan nol, maka titik potong garis lurus dalam diagram wadati dengan
sumbu adalah pendekatan waktu terjadinya gempa ( ) (Afnimar,
2009).
Setelah dapat diketahui origin time gempa bumi, maka dapat
dilakukan perhitungan untuk mendapatkan jarak episenter dari setiap
stasiun.

93
Gambar 1.55 Metode Wadati dalam penentuan
waktu terjadinya gempa bumi (Afnimar, 2009).

= − a (1.38)
Titik episenter harus terletak di atas suatu setengah bola bawah yang
beradius . Karena episenter yang di dapatkan dari perhitungan tersebut
hanya mengaju pada satu stasiun saja, maka dilanjutkan dengan
menggunakan metode lingkaran. Yaitu dengan menggunakan tiga stasiun
yang nantinya akan di ketahui jarak episenter dari setiap stasiun.
Selanjutnya titik episenter sesungguhnya merupakan perpotongan dari
garis-garis yang dibentuk oleh ketiga stasiun.

Gambar 1.56 Metode lingkaran menentukan episenter (interpreting_graph.pdf).

b. Metode Inversi
Metode inversi merupakan metode sebagai kesatuan teknik baik
matematika ataupun statistika untuk memperoleh informasi yang
berguna mengenai suatu sistem Fisika berdasarkan observasi terhadap
sistem tersebut (Menke, 1984; Grandis, 2009). Metode inversi
merupakan kebalikan dari metode ke depan (forward modeling). Metode
inversi digunakan untuk mendapatkan parameter model yang berasal
langsung dari data yang diperoleh melalui metodelogi spesifik. Metode
inversi disebut juga dengan data fitting, karena pada prosesnya di
tentukan parameter model melalui data pengamatan. Metode inversi
hanya dapat digunakan apabila parameter model dan data pengamatan
sudah diketahui. Ada 3 komponen yang mempengaruhi metode inversi:
1) data perjalanan gelombang dari saat dilepas hingga ditangkap oleh
seismograf (travel time),
2) quantitative model yaitu persamaan atau rumus yang digunakan,
3) data dan quantitative model untuk menerapkan parametermodel
hiposenter.

94
Sedangkan pemodelan ke depan (forward modelling) sendiri
digunakan untuk mendapatkan data dari parameter model yang digunakan
melalui perhitungan teoritik. Perhitungan teoritik yang digunakan
disesuaikan dengan turunan dari konsep Fisika yang digunakan. Untuk
memperoleh kesesuaian data teoritis dengan data lapangan dapat
dilakukan proses coba-coba. Karena pada metode ke depan dilakukan
dengan proses coba-coba, maka data pengamatan dan parameter model
harus benar-benar diprakirakan dengan baik agar hasil dari responnya
mendekati data.
Metode pemodelan ke depan memang kurang efektif karena
membutuhkan waktu yang cukup lama dan ketelitian lebih dibandingkan
metode inversi. Namun, metode ke depan akan lebih efektif jika data
pengamatan mengandung noise yang cukup besar. Karena ketika terjadi
keadaan tersebut, hasil yang diperoleh melalui metode inversi ternyata
kurang layak (Grandis, 2009).

1.7.3 Tsunami
Tsunami adalah gelombang air besar yang terjadi ketika bagian dasar laut
bergerak karena erupsi gunung api, longsor di bawah laut, atau gempa
bumi di bawah laut. Tsunami tidak dapat terlihat saat melintasi lautan,
tetapi dapat muncul menguat secara dramatis setelah mencapai pantai.
Tsunami merupakan perpindahan badan air yang disebabkan oleh
perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan
permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat
di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau
hantaman meteor di laut (wikipedia.org).
Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Energi
gelombang tsunami bernilai tetap terhadap fungsi ketinggian dan
kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan
kecepatan 500-1000 km per jam. Ketinggian gelombang di laut dalam
hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh
kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai,
kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam,
namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter.
Hantaman gelombang tsunami bisa mencapai puluhan kilometer dari bibir
pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena tsunami bisa
diakibatkan oleh hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran
gelombang tsunami.
Beberapa kondisi meteorologis seperti badai tropis dapat
menyebabkan gelombang badai yang disebut sebagai meteor tsunami yang
ketinggiannya beberapa meter di atas gelombang laut normal. Ketika badai
tropis mencapai daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, walaupun
sebenarnya bukan tsunami. Gelombang badai ini pernah menggenangi
Burma (Myanmar) pada Mei 2008.

95
Proses Terjadinya Tsunami
Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan
perpindahan sejumlah besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi,
longsor, maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami
adalah akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa
tsunami diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika meletusnya
Gunung Krakatau (wikipedia.org).
Gerakan vertikal pada kerak bumi dapat mengakibatkan dasar laut
naik atau turun secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan gangguan
kesetimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadi
aliran energi air laut saat sampai di pantai sehingga menjadi gelombang
besar dan mengakibatkan tsunami.
Kecepatan gelombang tsunami bergantung pada kedalaman laut
tempat gelombang terjadi, kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer
per jam. Saat tsunami mencapai pantai, kecepatan akan berkurang lebih
dari 50 km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang
dilaluinya. Di tengah laut, tinggi gelombang tsunami hanya beberapa cm
hingga beberapa meter. Namun saat mencapai pantai, tinggi
gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi penumpukan
massa air. Saat mencapai pantai, tsunami akan merayap masuk daratan
yang jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus
meter bahkan bisa beberapa kilometer.
Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi. Gempa bumi
juga banyak terjadi di daerah subduksi tempat lempeng samudera
menelusup ke bawah lempeng benua.

Gambar 1.57 Skema terjadinya tsunami (http://id.wikipedia.org/wiki/Tsunami).

Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api
juga dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan
tsunami. Gempa menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi
sehingga dasar laut naik-turun secara tiba-tiba dan keseimbangan air laut
terganggu. Demikian pula dengan benda kosmis atau meteor yang

96
jatuh dari atas. Jika ukuran meteor cukup besar, dapat terjadi megatsunami
yang tingginya mencapai ratusan meter.
Gempa yang menyebabkan tsunami:
a. gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 - 30 km),
b. gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 Skala Richter,
c. gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun.

Sistem Peringatan Dini


Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan juga
Hawaii, mempunyai sistem peringatan tsunami dan prosedur evakuasi
untuk menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh
berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses
terjadinya tsunami dapat dimonitor melalui perangkat yang ada di dasar
atau permukaan laut yang terhubung dengan satelit.
Perekam tekanan di dasar laut bersama-sama denganperangkat yang
mengapung di laut buoy, dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang
yang tidak dapat dilihat oleh pengamat manusia pada laut dalam. Sistem
sederhana yang pertama kali digunakan untuk memberikan peringatan
awal akan terjadinya tsunami pernah dicoba di Hawaii pada tahun 1920-
an. Kemudian, sistem yang lebih canggih dikembangkan lagi setelah
terjadinya tsunami besar pada tanggal 1 April 1946 dan 23 Mei 1960.
Amerika serikat membuat Pasific Tsunami Warning Center pada tahun
1949, dan menghubungkannya ke jaringan data dan peringatan
internasional pada tahun 1965.
Hingga kini, ilmu tentang tsunami sudah cukup berkembang,
meskipun proses terjadinya masih banyak yang belum diketahui dengan
pasti. Episenter dari sebuah gempa bawah laut dan kemungkinan kejadian
tsunami dapat cepat dihitung. Pemodelan tsunami yang baik telah berhasil
memperkirakan tinggi gelombang tsunami di daerah sumber, kecepatan
penjalaran dan waktu sampai di pantai, tinggi tsunami di pantai, dan jarak
rendaman yang mungkin terjadi di daratan. Walaupun demikian, karena
faktor alamiah seperti kompleksitas topografi dan batimetri sekitar pantai
serta adanya corak ragam tutupan lahan (baik tumbuhan, bangunan, dll),
perkiraan waktu kedatangan tsunami, ketinggian, dan jarak rendaman
tsunami masih belum bisa dimodelkan secara akurat.

Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia


Pemerintah Indonesia telah mengembangkan Sistem Peringatan Dini
Tsunami Indonesia (Indonesian Tsunami Early Warning System-
InaTEWS). Sistem ini berpusat pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) di Jakarta. Sistem ini memungkinkan BMKG
mengirimkan peringatan tsunami jika terjadi gempa yang berpotensi
tsunami. Harapannya, sistem ini akan dapat mengeluarkan 3 tingkat
peringatan, sesuai dengan hasil perhitungan Sistem Pendukung
Pengambilan Keputusan (Decision Support System-DSS).
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami ini melibatkan
banyak pihak, baik instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah,

97
lembaga internasional, lembaga non-pemerintah. Koordinator dari pihak
Indonesia adalah Kementrian Negara Riset dan Teknologi (RISTEK).
Sedangkan instansi yang ditunjuk dan bertanggung jawab untuk
mengeluarkan info gempa dan peringatan tsunami adalah BMKG. Sistem
ini didesain untuk dapat mengeluarkan peringatan tsunami dalam waktu
paling lama 5 menit setelah gempa terjadi.
Sistem peringatan dini memiliki 4 komponen, yaitu: (1) pengetahuan
mengenai bahaya dan resiko, peramalan, peringatan, dan reaksi; (2)
observasi (monitoring gempa dan permukaan laut); dan (3) integrasi dan
diseminasi informasi; (4) kesiapsiagaan. Sistem peringatan dini tsunami
merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan melibatkan banyak
pihak secara internasional, regional, nasional, dan daerah yang bermuara
di masyarakat.
Saat terjadi suatu gempa, kejadian tersebut dicatat oleh seismograf
(alat pencatat gempa). Informasi gempa (kekuatan, lokasi, waktu
kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta. Selanjutnya
BMKG akan mengeluarkan info gempa yang disampaikan melalui
peralatan teknis secara simultan. Data gempa dimasukkan dalam DSS
untuk memperhitungkan potensi tsunami yang disebabkan oleh gempa
tersebut. Perhitungan dilakukan berdasarkan jutaan skenario modelling
yang sudah dibuat terlebih dahulu. Selanjutnya, BMKG dapat
mengeluarkan info peringatan tsunami. Data gempa akan diintegrasikan
dengan data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya (GPS, BUOY,
OBU, Tide Gauge) untuk memberikan konfirmasi bentuk gelombang,
gelombang tsunami atau bukan. Informasi ini juga diteruskan oleh
BMKG. BMKG menyampaikan info peringatan tsunami melalui
beberapa institusi perantara (meliputi pemerintah daerah dan media).
Institusi perantara inilah yang meneruskan informasi peringatan kepada
masyarakat. BMKG juga menyampaikan info peringatan melalui SMS
ke pengguna ponsel yang sudah terdaftar dalam database BMKG. Cara
penyampaian Info Gempa tersebut untuk saat ini adalah melalui SMS,
facsimile, telepon, email, RANET (Radio Internet), FM RDS (Radio
yang mempunyai fasilitas RDS/Radio Data System) dan melalui Website
BMG (www.bmg.go.id).
Pengalaman kejadian di lapangan membuktikan bahwa meskipun
banyak peralatan canggih yang digunakan, tetapi alat yang paling efektif
hingga saat ini untuk Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah radio. Alat
lain yang juga dikenal ampuh adalah Radio Komunikasi Antar Penduduk
yang dikelola oleh organisasi RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia).
Kinerja peringatan dini tsunami ditentukan oleh kecepatan dan
keakuratan informasi parameter gempa bumi sebagai penyebab tsunami.
Sedangkan pemodelan sumber gempa bumi yang merupakan penyebab
tsunami menjadi penting karena obyek sumber gempa bumi terletak
puluhan bahkan ratusan kilometer di bawah permukaan air laut. Sampai
saat ini belum ada instrumen yang mampu mendeteksi dan sekaligus
mengukur parameter sumber gempa bumi secara langsung (Madlazim,
2013).

98
Berdasarkan observasi telah diketahui bahwa sejak tahun 1629
sampai tahun 2012 telah terjadi sekitar 172 tsunami di Indonesia. Potensi
tsunami terdapat di 233 kabupaten/kota dengan penduduk sekitar 5 juta
jiwa berada pada daerah rawan tsunami di Indonesia. Potensi tsunami di
daerah-daerah tersebut pada masa-masa yang akan datang akan terus
berpeluang besar untuk terjadi karena sumber gempa bumi yang berupa
zona subduksi, intra-plate, erupsi gunung berapi di laut, dan tsunami dari
luar wilayah Indonesia masih aktif. Dalam konteks kemandirian bangsa
menghadapi potensi bahaya tsunami inilah, maka perlu ditingkatkan
kinerja sistem peringatan dini tsunami untuk meminimalkan resiko
bencana.
Beberapa lembaga dunia yang mengelola peringatan dini tsunami
seperti Japan Meteorology Agency, dan West Coast and Alaska, Pasific
Tsunami Warning Centres dan the Indonesian Tsunami Early Warning
System (Ina-TEWS) mengidentifikasi parameter magnitudo dan lokasi
pusat sumber gempa bumi untuk indikator apakah gempa bumi tersebut
berpotensi tsunami atau tidak. Ini berarti peringatan dini tsunami tersebut
menggunakan Model Faulting Seismik.
Berdasarkan sejarah kegempaan di Indonesia, setidaknya terdapat
17 gempa bumi dengan magnitudo lebih besar 7 telah menunjukkan
bahwa walaupun kriteria tsunami tersebut sudah terpenuhi, tetapi
ternyata tidak semua gempa bumi tersebut menimbulkan tsunami.
Bahkan beberapa gempa bumi dengan magnitudo kurang dari 7 ternyata
bisa menimbulkan tsunami. Peringatan dini tsunami pernah dikeluarkan
untuk gempa bumi tanggal 25 Oktober 2010 yang terjadi di Mentawai
setelah 5 menit setelah gempa bumi terjadi, tetapi satu jam kemudian
peringatan dini tersebut diakhiri. Padahal, sekitar 423 warga Kepulauan
Mentawai sebenarnya tengah bergelut dengan maut karena ombak
tsunami. Sebelumnya, gempa bumi yang terjadi di dekat pantai Sumatra
Utara tanggal 6 April 2010 dengan magnitudo, lolasi dan kedalaman
yang hampir sama dengan gempa bumi yang terjadi 25 Oktober 2010
tersebut, tetapi gempa bumi yang satu tidak menimbulkan tsunami,
sedangkan gempa bumi lainnya menimbulkan tsunami.
Ketidakpastian yang tinggi pada peringatan dini tsunami yang
menggunakan Model Faulting Seismik dalam rentang sekitar 5 menit
pertama setelah gempa bumi ini harus diupayakan untuk dikurangi,
sehingga pengambilan keputusan terjadi tsunami atau tidak, secepatnya
bisa diumumkan kepada masyarakat luas dengan keakuratan yang lebih
baik. Keakuratan Ina-TEWS masih kurang dari 60%. Dari 14 peringatan
dini tsunami yang pernah dikeluarkan sejak tahun 2008, 8 peringatan dini
tsunami yang benar-benar terjadi tsunami sebagaimana yang dirilis
Majalah nasional, Tempo pada tanggal 3 Maret 2013 dan Koran Tempo
pada tanggal 3 Maret 2013. Penerapan Model Faulting Seismik sebagai
indikator peringatan dini gempa bumi sudah cukup akurat, tetapi sebagai
peringatan dini tsunami masih perlu dievaluasi (Madlazim, 2013).
Ada dua model faulting, yaitu model faulting seismik dan model
faulting tsunami. Model faulting seismik selama ini telah digunakan
untuk indikator peringatan dini tsunami. Sedangkan model faulting

99
tsunami telah dicetuskan oleh Satake pada tahun 1994. Pada mulanya
Satake berpendapat bahwa model faulting tsunami bisa direpresentasikan
oleh durasi rupture dan periode dominan. Perkalian antara durasi rupture
dan periode dominan digunakan sebagai indikator peringatan dini
tsunami. Tetapi dalam implementasinya, komputasi durasi rupture dan
periode dominan dalam waktu singkat masih menjadi tantangan. Pada
tahun 2011 Lomax dan Michelini mengusulkan konsep durasi exceeds 50
detik dengan komputasi yang lebih cepat, sehingga sangat mungkin
untuk indikator peringatan dini tsunami. Hanya saja konsep ini baru
akurat untuk even gempa bumi teleseismik untuk model bumi global.
Sedangkan konsep durasi exceeds 50 detik yang berbasis model faulting
tsunami hasil penelitian kami ini bisa diterapkan untuk even lokal yang
sesuai dengan kondisi di Indonesia (Madlazim, 2013).
Model faulting tsunami untuk even lokal meliputi tiga besaran Fisika
yang diukur secara simultan, yaitu durasi rupture, periode dominan, dan
durasi exceeds 50 detik dari gelombang primer. Ketiga besaran ini dapat
menggambarkan potensi tsunami dari suatu gempa bumi.

Joko Tingkir versi 1.11, Software Pendeteksi Tsunami


Upaya peningkatan kinerja peringatan dini tsunami yang berbasis
model faulting tsunami dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama,
mengkonstruksi model kecepatan lokal daerah-daerah di Indonesia yang
rawan terhadap ancaman tsunami. Kedua, menuliskan program komputer
dengan bahasa C dan mengimplementasikan algoritma model faulting
tsunami ke dalam software SeisGram2K60. Ketiga, metode dan program
hasil riset tersebut dituangkan dalam program komputer yang berbasis
LINUX dan diberi nama software Joko Tingkir versi 1.11. Keempat,
menerapkan software Joko Tingkir versi 1.11 menggunakan seismogram
gempa bumi lokal di Indonesia untuk mengestimasi parameter durasi
rupture, periode dominan, dan durasi exceeds 50 detik dari gelombang P
serta perkaliannya secara simultan. Selanjutnya, menguji kelayakan
penggunaan output sebagai indikator pengambilan keputusan apakah
suatu gempa bumi menimbulkan tsunami atau tidak. Hasil eksperimen
telah membuktikan bahwa kinerja peringatan dini tsunami yang
menggunakan model faulting tsunami lebih baik dibandingkan
menggunakan model faulting seismik.
Software Joko Tingkir versi 1.11 ini telah diujicoba di Puslitbang
BMKG Pusat Jakarta diterapkan secara real time di Puslitbang BMKG
Pusat Jakarta mulai tahun 2014 untuk mendukung peningkatan kinerja
peringatan dini tsunami di Indonesia sebagaimana yang diinformasikan
oleh Majalah nasional, Tempo pada tanggal 3 Maret 2013 dan Koran
Tempo pada tanggal 3 Maret 2013.

100
Gambar 1.58 Sampel hasil proses real time menggunakan software Joko Tingkir untuk gempa bumi
yang terjadi di Irian Jaya pada tanggal 9 Januari 2014 (fisikaunesa.net).

Software Joko Tingkir hasil karya dosen Fisika FMIPA UNESA ini
sejak tahun 2012 telah diujicoba secara offline dan sejak pertengahan 2013
telah diujicoba secara real time di PUSLITBANG BMKG Jakarta. Gambar
1.58 merupakan sampel hasil proses aplikasi real time menggunakan
software Joko Tingkir untuk gempa bumi yang terjadi di Irian Jaya pada
tanggal 9 Januari 2014. Hasil deteksi suatu gempa bumi berpotensi
tsunami atau tidak diperoleh secara cepat dan lebih akurat.

101
Kriteria tsunami yang digunakan oleh Madlazim (pembuat software Joko
Tingkir) ini lebih stabil dibandingkan kriteria tsunami yang selama ini
dipakai Ina-TEWS yang sudah diinstal di BMKG sejak 2008. Joko
Tingkir diterapkan BMKG mulai tahun 2014.

102
Sistem
Tata Surya
Terdapat banyak sistem dalam jagad raya ini. Salah satu sistem di
dalam galaksi Bima Sakti yang kita kenal adalah sistem Tata Surya.
Bumi, tempat yang ditempati oleh manusia, merupakan salah satu
planet yang berada dalam sistem Tata Surya. Dalam Bab Sistem Tata
Surya ini akan mempelajari tentang:

1. Asal Mula Tata Surya, mempelajari tentang teori-teori


pembentukan Tata Surya.
2. Anggota Sistem Tata Surya, mempelajari tentang-benda-benda
angkasa yang berada di dalam sistem tata surya.
3. Model Skala Sistem Tata Surya, mempelajari tentang sistem Tata
Surya dengan model akala yang sebenarnya.
4. Benda-Benda Astronomi Kecil, mempelajari tentang benda-benda
astronomi kecil yang ada di dalam sistem Tata Surya.
5. Planet, merupakan salah satu jenis benda angkasa yang ada di
dalam sistem Tata Surya. Terdapat 8 planet di dalam sistem Tata
Surya ini yang akan dipelajari.
6. Satelit, merupakan benda angkasa yang mengelilingi planet.
Satelit alami merupakan benda langit yang terbentuk saat
terjadinya sistem Tata Surya yang kemudian beredar mengelilingi
planet. Satelit buatan merupakan satelit yang dibuat untuk tujuan
tertentu.
7. Medium Antar Planet, merupakan zat perantara antara planet satu
dengan planet lainnya.

 Ilustrasi di samping menunjukkan salah satu teori pembentukan


tata surya, yaitu teori planetesimal.. (Sumber ilustrasi: Seeds,
2007)

103
Halaman ini sengaja dikosongi

104
Bab II
Sistem Tata Surya

TUJUAN PERKULIAHAN:

Setelah melakukan
pembelajaran Sistem Tata
Surya, mahasiswa dapat
memahami topik:

2.1 Asal Mula Tata Surya

2.2 Anggota Sistem Tata


Surya

2.3 Model Skala Sistem Tata


Surya

2.4 Benda-Benda Astronomi


Kecil

2.5 Planet

2.6 Satelit

2.7 Medium Antar Planet

Ilustrasi di atas menunjukkan anggota sistem Tata Surya yang terdiri dari matahari, planet-planet,
asteroid, meteor, dan komet. (Sumber ilustrasi: Trefil dan Hazen, 2010)

105
Jagad raya terdiri dari berbagai macam galaksi. Salah satu galaksi yang
kita kenal adalah Galaksi Bima Sakti. Galaksi Bima Sakti memiliki
beberapa sistem, salah satunya adalah sistem Tata Surya yang di
dalamnya ada Bumi yang merupakan planet yang kita tempati. Bab II
dalam buku materi ini membahas tentang Sistem Tata Surya. Sistem Tata
Surya yang dibahas dalam Bab ini meliputi asal usul Tata Surya, anggota
sistem Tata Surya, model skala sistem Tata Surya, benda-benda
astronomi kecil, planet, satelit, dan medium antar planet.

2.1 Bagaimana Asal Mula Terbentuknya Tata


Surya?
Tata surya (solar system) adalah kumpulan benda langit yang terdiri dari
matahari (bintang), planet-planet, satelit alam, meteor, asteroid, dan
komet yang berputar mengelilingi matahari (berevolusi). Matahari
menjadi pusat tata surya karena semua benda langit berputar mengelilingi
matahari dengan lintasan berbentuk elips. Dalam setiap revolusinya
anggota tata surya pada suatu saat berada dekat dengan matahari. Titik
terdekat dengan matahari disebut perihelium dan titik terjauh disebut
aphelium. Semua benda langit dalam sistem tata surya berputar
mengelilingi matahari karena matahari memiliki gaya gravitasi paling
besar.
Tata surya dipercaya terbentuk semenjak 4,6 milyar tahun yang lalu
dan merupakan hasil penggumpalan gas dan debu di angkasa yang
membentuk matahari dan kemudian planet-planet yang mengelilinginya.
Tata surya terletak di tepi galaksi Bima Sakti dengan jarak sekitar 2,6 x
1017 km dari pusat galaksi, atau sekitar 25.000 hingga 28.000 tahun
cahaya dari pusat galaksi. Tata surya mengelilingi pusat galaksi Bima
Sakti dengan kecepatan 220 km/detik, dan dibutuhkan waktu 225–250
juta tahun untuk untuk sekali mengelilingi pusat galaksi. Dengan umur
tata surya yang sekitar 4,6 milyar tahun, berarti tata surya kita telah
mengelilingi pusat galaksi sebanyak 20–25 kali dari semenjak terbentuk.
Tata surya dikekalkan oleh pengaruh gaya gravitasi matahari dan
sistem yang setara tata surya, yang mempunyai garis pusat setahun
kecepatan cahaya, ditandai adanya taburan komet yang disebut awan
Oort. Selain itu juga terdapat awan Oort berbentuk piring di bagian dalam
tata surya yang dikenali sebagai awan Oort dalam. Karena orbit planet
yang membujur, jarak dan kedudukan planet berbanding kedudukan
matahari berubah mengikut kedudukan planet di orbit.
Banyak teori dan hipotesis para ahli tentang asal-usulnya terbentuk
tata surya, di antaranya:

106
Teori Nebula
Teori Nebula pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Swedenborg
(1688-1772) tahun 1734 dan disempurnakan oleh Immanuel Kant (1749-
1827) pada tahun 1775. Kemudian hipotesis ini disempurnakan lagi oleh
Pierre Marquis de Laplace pada tahun 1796. Oleh karena itu, hipotesis ini
lebih dikenal dengan Hipotesis nebula Kant-Laplace.
Pada tahap awal tata surya masih berupa kabut raksasa. Kabut ini
terbentuk dari debu, es, dan gas yang disebut nebula. Unsur gas sebagian
besar berupa hidrogen. Karena gaya gravitasi yang dimilikinya, kabut itu
menyusut dan berputar dengan arah tertentu. Akibatnya, suhu kabut
memanas dan akhirnya menjadi bintang raksasa yang disebut matahari.
Matahari raksasa terus menyusut dan perputarannya semakin cepat.
Selanjutnya cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling matahari.
Akibat gaya gravitasi, gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan
suhunya dan membentuk planet dalam. Dengan cara yang sama, planet luar
juga terbentuk.

Gambar 2.1 Tiga tahap kejadian dalam teori


nebula (Seeds, 2007)

Laplace berpendapat bahwa orbit berbentuk hampir melingkar dari


planet-planet merupakan konsekuensi dari pembentukan debu, es, dan gas.
Teori kabut (Nebula) menceritakan kejadian dalam tiga tahap:
a. Matahari dan planet-planet lainnya masih berbentuk gas, kabut yang
begitu besar dan pekat.
b. Kabut tersebut berputar dan berpilin dengan kuat, di mana pemadatan
terjadi di pusat lingkaran kemudian membentuk matahari. Pada saat
yang bersamaan materi lainpun terbentuk menjadi massa yang lebih

107
kecil dari matahasi yang disebut sebagai planet, bergerak mengelilingi
matahari.
c. Materi tersebut tumbuh semakin besar dan terus melakukan gerakan
secara teratur mengelilingi matahari dalam satu orbit yang tetap dan
membentuk Susunan Keluarga Matahari.

Gambar 2.2 Nebula yang membentuk reruntuhan tata surya mulai memutar dan meratakan
ke piringan nebula. Tahapan dalam pembentukan tata surya meliputi: (a) nebula perlahan
berputar, (b) piringan nebula diratakan dengan pusat besar, (c) planet dalam proses
kelahiran direpresentasikan sebagai konsentrasi massa di nebula, dan (d) tata surya (Trefil
dan Hazen, 2010)

Teori Nebula ini berhasil menjelaskan bahwa Tata Surya datar, orbit
ellips planet mengelilingi matahari hampir datar. Namun, Teori Nebula
ini memiliki kelemahan bahwa massa bahan dalam gelang-gelang tak
cukup untuk menghasilkan tarikan gravitasi sehingga memadat menjadi
planet. Kelemahan ini dinyatakan oleh James Clerk Maxwell dan Sir
James Jeans. Sedangkan F.R. Moulton pun menyatakan bahwa teori
kabut (Nebula) tidak memenuhi syarat bahwa yang memiliki momentum
sudut paling besar haruslah planet, bukan matahari. Teori kabut
menyebutkan bahwa matahari yang memiliki massa terbesar akan
memiliki momentum sudut yang paling besar.
Beberapa modifikasi teori Nebula telah dilakukan beberapa
ilmuwan, diantaranya adalah astronom Jerman C. Von Weizsaeckar.
Weizsaeckar memperkenalkan hipotesis nebulanya pada tahun 1940-an.
Dia berpendapat bahwa suatu lapisan materi bersifat gas pernah muncul
dan keluar sampai jauh sekali dari garis khatulistiwa matahari di jaman
purba. Sebagian besar lapisan ini terdiri dari unsur ringan hidrogen dan
helium. Akhirnya, tekanan panas dan radiasi matahari menghilangkan
sebagian besar hidrogen dan helium serta meninggalkan unsur-unsur
yang lebih berat. Unsur-unsur yang lebih berat itu secara bertahap
berkumpul dalam suatu deretan konsentris yang berbentuk seperti ginjal.
Deretan massa ini menarik bahan-bahan lain yang terdapat di ruang
angkasa dan berkembang menjadi planet.

Teori Planetesimal
Teori planetesimal pertama kali dikemukakan oleh Thomas C.
Chamberlain dan Forest R. Moulton pada tahun 1900. Menurut

108
Chamberlin dan Moulton bahwa matahari telah terbentuk sejak dahulu,
ketika matahari dan bintang berpapasan maka terjadi gaya gravitasi atau
saling tarik menarik antara matahari dan bintang. Massa matahari sebagian
tertarik ke arah bintang dan ketika bintang bergerak menjauh maka
sebagian massa matahari akan berhamburan dan membentuk planet-
planet.

Gambar 2.3 Dua model pembentukan planet. Jika suhu nebula berubah
selama pembuatan planet, komposisi planetesimal mungkin telah berubah.
Model sederhana di sebelah kiri mengasumsikan tidak ada perubahan
terjadi, tetapi model di sebelah kanan menggabungkan perubahan dari
logam untuk planetesimal berbatu (Seeds, 2007).

Terdapat dua model pembentukan planet. Model pertama dengan


planetesimal yang mengandung batuan dan logam. Planet berkembang

109
secara pelan dari partikel-partikel yang sama. Planet dihasilkan dari
komposisi yang sama. Panas dari peluruhan radioaktif menyebabkan
perbedaan. Planet yang dihasilkan memiliki inti logam dan memiliki
kerak dengan densitas rendah.
Model kedua dengan kondisi sebagian besar planetesimal
mengandung logam. Perlahan-lahan planetesimal mengandung banyak
batuan. Mantel batuan terbentuk di sekitar inti logam. Panas dari
pembentukan yang cepat dapat membentuk planet. Planet yang
dihasilkan memiliki inti logam dan memiliki kerak dengan densitas
rendah.
Dalam bentuk sederhana, kisah pertumbuhan protoplanet
menganggap bahwa semua planetesimal pembentuk protoplanet
memiliki komposisi kimia yang sama. Akumulasi planetesimal secara
bertahap untuk membentuk ukuran materi bola planet dengan komposisi
yang homogen. Tepi, begitu planet terbentuk, panas mulai menumpuk di
bagian dalam yang berasal dari peluruhan unsur-unsur radioaktif
berumur pendek, dan panas ini melelehkan planet sehingga
memungkinkan untuk membedakan. Pembedaan tersebut merupakan
pemisahan bahan menurut densitas. Ketika planetini meleleh, logam
berat seperti besi dan nikel menetap ke inti, sedangkan silikat ringan
mengapung ke permukaan untuk membentuk kerak dengan densitas
rendah. Kisah pembentukan planet dari planetesimal dari komposisi yang
sama ini ditunjukkan oleh Gambar 2.3.

2.2 Sistem Tata Surya Beranggotakan Apa Saja?


Di dalam sistem tata surya terdapat berbagai benda-benda angkasa.
Benda-benda angkasa yang terdapat dalam sistem tata surya adalah
matahari, planet-planet (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter,
Saturnus, Uranus, Neptunus), asteroid atau disebut juga planetoid, komet
(bintang berekor), dan meteor (bintang beralih).

Gambar 2.4 Sistem tata surya terdiri dari matahari, planet-planet,


asteroid, komet, dan meteor (wikipedia.org).

Selanjutnya, anggota dalam sistem tata surya tersebut akan


dijelaskan lebih rinci dalam penjelasan sebagai berikut:

110
Matahari
1. Diameter : ± 1,4 juta Km
2. Massa : 1,99 x 1020 Kg
(332.946 x mass
bumi)
3. Gravitasi : 28 x lebih kuat
daripada gravitasi
bumi
4. Suhu : 14.000.000º C
(bagian inti)
± 6.000º C
(bagian
permukaan).
Matahari merupakan salah satu bintang di jagad raya, sebagai pusat
dari tata surya matahari memiliki ukuran gais tengah 100 kali lebih besar
dari bumi, dan 332.946 kali massa bumi. Jika matahari diibaratkan sebagai
wadah kosong, maka matahari mampu menampung lebih dari 1 juta bumi.
Bumi dengan matahari berjarak rata-rata 149.680.000 kilometer
(93.000.000 mil). Matahari mempunyai khatulistiwa dan kutub karena
gerak rotasinya. Diameter matahari kira-kira 112 kalinya bumi. Gaya tarik
matahari kira-kira 30 kali gaya tarik bumi. Menurut JR Meyer, panas
matahari berasal dari batu meteor yang berjatuhan dengan kecepatan tinggi
pada permukaan matahari. Sedangkan menurut teori kontraksi
H.Helmholz, panas itu berasal dari menyusutnya bola gas. Dr.Bothe
menyatakan bahwa panas tersebut berasal dari reaksi-reaksi temonuklir
yang juga disebut reaksi hydrogen helium sintesis.
Matahari merupakan gas yang terdiri dari hidrogen dan helium yang
terdiri dari 3 bagian,yaitu :
1. Bagian Inti
Bagian inti matahari terbagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Zona inti
Diameter zona inti ± 500.000 km, suhu ± 14 juta º C. Pada zona
ini terjadi reaksi fusi antara atom-atom Hidrogen menjadi
Helium sehingga menghasilkan radiasi dan konveksi
panas/cahaya.
b. Zona Radioaktif
Suhu pada zona ini berkisar antara 2,5 juta º C, proses yang
terjadi adalah aliran energi berupa pancaran (radiasi).
c. Zona Konveksi
Suhu pada zona ini berkisar antara 1,1 juta º C. Pada daerah
konveksi terdapat gas-gas yang tidak tembus cahaya
(transparan) sehingga energi matahari tidak bisa dilewatkan
secara radiasi (pancaran) tetapi yang terjadi adalah energi inti
matahari terperangkap dan terjadi pengadukan hebat
(konveksi/turbulensi).

111
2. Bagian Permukaan Matahari
Tebal : 320 km
Suhu : ± 8.000 º C km
Karakteristik bagian permukaan matahari antara lain:
a. Bagian permukaan matahari tampak seperti bola putih yang
berpijar disebut juga fotosfer atau cakram matahari.
b. Bagian permukaan matahar terdapat sunspot atau noda-noda
hitam yang bersuhu ± 4.000 º C. Sunspot terdiri dari dua
daerah yaitu (1) daerah bayang-bayang yang gelap disebut
dengan umbra, (2) daerah hampir bayang-bayang dan
berwarna lebih terang disbut dengan penumbra.
c. Sunspot merupakan medan magnet yang sangat kuat, satu
pasang terdiri dari dari satu noda positif (U) dan negatif (S).
Gaya magnet ini menyebabkan aliran konveksi terhalang
sehingga suhu sunspot lebih rendah dibanding dengan daerah
sekitarnya dan berwarna gelap.
d. Sunspot merupakan pusat keaktifan matahari, pada sunspot
terdapat kolom gas yang menjulang dan melengkung disebut
dengan prominance, serta letupan cahaya yang
menyemburkan aliran partikel-partikel bermuatan listrik daro
fotosfer yang disebut dengan flare.
e. Terdapat obor kecil atau disebut fakula.
f. Terdapat granulasi fotosfer yang disebut juga sebagai granula
merupakan semburan api yang menggumpal pada lapisan
fotosfer kadang-kadang besar dan dahsyat.
3. Bagian Atmosfer Matahari
Atmosfer matahari merupakan lapisan matahari paling luar,
atmosfer matahari terdiri dari dua lapisan yaitu :
a. Lapisan luar/mahkota (korona)
Korona tersebar meluas ke angkasa dalam bentuk angin
matahari (solar wind) dan mencapai orbit bumi.
b. Lapisan dalam/bawah (kromosfer).

Radiasi Matahari
Radiasi matahari merupakan pancaran cahaya yang dilepaskan oleh
matahari dalam bentuk gelombang elektromagnetik dan radiasi global.
Radiasi global adalah gabungan (penjumlahan) radiasi langsung
horizontal, radiasi baur horizontal dan radiasi pantul. Radiasi yang
diemisikan oleh matahari dan ruang angkasa yang berhubungan dengan
bumi menghasilkan intensitas radiasi matahari yang hampir konstan di
luar atmosfer bumi. Sehingga atmosfer mempengaruhi jumlah radiasi
matahari yang diterima. Ketika radiasi matahari perjalanan melalui
atmosfer, sebagian diserap oleh atmosfer (16%). Beberapa di antaranya
tersebar ke ruang (6%). Beberapa di antaranya tercermin oleh awan
(28%). Sekitar 47 % dari mencapai permukaan bumi. Radiasi matahari
yang mencapai permukaaan bumi melintasi atmosfir akan mengalami
hamburan, pantulan dan penyerapan, (dihamburkan, dipantulkan dan
diserap disebut juga transmisi atmosfer) sehingga yang sampai di

112
permukaan bumi menjadi berkurang bila dibandingkan dengan di tepi luar
atmosfir bumi. Pengaruh hamburan dan penyerapan oleh kandungan
atmosfir dinyatakan dengan transmisi atmosfir (Hoesin dan Isril, 1979).
Kandungan atmosfir setiap saat berubah, keadaan ini akan menyebabkan
hantaran (transmisi) berubah (Hoesin dan Taftazani, 1980).

a. Komposisi dan kekuatan radiasi matahari


Spektrum radiasi matahari dekat dengan sebuah benda hitam dengan
suhu sekitar 5.800K. Matahari memancarkan radiasinya disebagian besar
spektrum elektromagnetik. Meskipun matahari menghasilkan sinar
Gamma sebagai hasil dari proses fusi nuklir, foton yang super tinggi
memiliki energi yang akan diubah menjadi foton energi yang lebih rendah
sebelum mereka mencapai permukaan Matahari dan dipancarkan ke luar
angkasa. Akibatnya, Matahari tidak memancarkan sinar gamma. Matahari
memancarkan sinar-X, ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan bahkan
gelombang radio.
Meskipun korona matahari merupakan sumber ultraviolet ekstrim dan
radiasi sinar-X, sinar ini membuat hanya jumlah yang sangat kecil dari
output daya dari Sun (lihat spektrum di kanan). Spektrum hampir semua
radiasi elektromagnetik matahari mencolok atmosfer bumi membentang
kisaran 100 nm sampai sekitar 1 mm. Ini band kekuatan radiasi yang
signifikan dapat dibagi menjadi lima daerah dalam rangka peningkatan
panjang gelombang:
 Ultraviolet C atau (UVC) Kisaran, yang mencakup berbagai 100
sampai 280 nm. The ultraviolet merujuk pada fakta bahwa radiasi
berada pada frekuensi yang lebih tinggi daripada cahaya violet (dan
karenanya, juga tak terlihat oleh mata manusia). Karena penyerapan
oleh atmosfer sangat sedikit mencapai permukaan bumi. Ini spektrum
radiasi memiliki sifat kuman, dan digunakan dalam lampu kuman.
 Ultraviolet B atau (UVB) kisaran rentang 280-315 nm. Hal ini juga
sangat diserap oleh atmosfer, dan bersama dengan UVC bertanggung
jawab atas reaksi fotokimia menyebabkan produksi dari lapisan ozon .
Ini secara langsung merusak DNA dan menyebabkan kulit terbakar.
 Ultraviolet A atau (UVA) mencakup 315-400 nm. Band ini pernah
dianggap kurang merusak DNA, dan karenanya digunakan dalam
kosmetik tanning matahari buatan (tanning booth dan tanning bed) dan
terapi PUVA untuk psoriasis. Namun, UVA kini diketahui
menyebabkan kerusakan yang signifikan pada DNA melalui rute tidak
langsung (pembentukan radikal bebas dan spesies oksigen reaktif), dan
mampu menyebabkan kanker.
Kisaran terlihat atau cahaya rentang 380-780 nm. Seperti namanya,
itu adalah rentang yang terlihat dengan mata telanjang. Hal ini juga rentang
output terkuat dari total spektrum radiasi matahari. Kisaran inframerah
yang mencakup 700 nm sampai 106 nm (1 mm). Hal ini bertanggung
jawab untuk bagian penting dari radiasi elektromagnetik yang mencapai
Bumi. Hal ini juga dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan panjang
gelombang:
 Inframerah -A : 700 nm sampai 1.400 nm

113
 Inframerah - B : 1.400 nm sampai 3.000 nm
 Inframerah - C : 3.000 nm sampai 1 mm

b. Karakteristik Radiasi Matahari


Semua proses pertukaran energi antara Bumi dan alam semesta
terjadi dengan cara pertukaran radiasi. Bumi dan atmosfer secara tetap
menyerap radiasi Matahari dan mengemisikan kembali radiasinya ke
angkasa. Setelah selang waktu yang cukup lama maka laju penyerapan
(absorpsi) dan laju emisi dapat dianggap sama. Jika hal ini terjadi,
dikatakan sistem Bumi-atmosfer berada dalam keseimbangan radiatif
dengan Matahari. Pertukaran radiasi memainkan peranan penting dalam
sejumlah reaksi kimia di atmosfer Bumi bagian atas.
Radiasi adalah sebuah bentuk energi yang dihasilkan osilasi cepat
medan elektromagnetik. Radiasi dipancarkan dalam bentuk foton-foton
atau paket-paket energi yang mempunyai sifat mirip dengan partikel dan
gelombang (dualisme partikel-gelombang). Osilasi dapat ditinjau sebagai
penjalaran gelombang dengan periode ruang (panjang gelombang)
tertentu. Radiasi dapat menjalar dalam vakum (hampa), semua radiasi
menjalar dalam lintasan lurus dengan kecepatan sebesar 3x108 m/s
(kecepatan cahaya). Panjang gelombang secara unik terkait dengan
energi foton, sehingga memungkinkan untuk dapat menghitung fluks
energi foton pada panjang gelombang tertentu. Karena radiasi memiliki
sifat dualisme yaitu partikel dan gelombang, maka radiasi dapat
dipandang sebagai paket-paket diskrit yang disebut kuanta (atau foton
untuk bagian spektrum cahaya tampak). Hubungan antara energi foton
dengan panjang gelombangnya dinyatakan oleh persamaan berikut:
(Tjasyono, 2003; Tjasyono, 2006).
E= (2.1)
-34
dengan h adalah konstanta Planck yang nilainya 6,63 x 10 J.s, c adalah
kecepatan cahaya dan l adalah panjang gelombang. Persamaan ( ) adalah
persamaan energi untuk satu buah foton. Persamaan energi untuk satu
mol foton didapat dengan cara mengalikan persamaan ( ) dengan
bilangan Avogadro (A), seperti berikut:
E= (2.2)
dimana nilai A adalah 6,023 x 1023 partikel/mol.
Apakah yang disebut dengan benda hitam? Setiap benda yang
memiliki energi, yaitu yang memiliki tempertur di atas 0K akan
mengemisikan radisi. Jika sebuah benda yang memiliki temperatur
tertentu mengemisikan semaksimum mungkin jumlah radiasi per satuan
luas dalam satuan waktu, maka benda tersebut disebut benda hitam atau
radiator sempurna. Benda demikian memiliki nilai emisivitas permukaan
(e) sama dengan satu.
Gambar 2.5 menunjukkan distribusi spektral energi radiasi benda
hitam pada temperatur 6000 K (temperatur permukaan Matahari) dan 300
K (temperatur sistem Bumi-atmosfer). Untuk Matahari, panjang
gelombang emisi maksimumnya adalah sekitar 0,48 m m ( » 0,5 mm)
yang terletak pada spektrum cahaya tampak, sedangkan untuk sistem

114
Bumi-atmosfer, panjang gelombang emisi maksimumnya adalah sekitar
9,66 m m (» 10,0 mm). Oleh karena itu, radiasi Matahari sering disebut
radiasi gelombang pendek, dan radiasi Bumi-atmosfer (radiasi terrestrial)
sering disebut radiasi gelombang panjang.

Gambar 2.5 Distribusi spektral energi radiasi benda hitam pada T=6000
K dengan sumbu horizontal di bawah dan sumbu vertikal di kiri, dan
pada T = 300 K dengan sumbu horizontal di atas dan sumbu vertikal di
kanan.

Bagaimanakah komposisi rentang panjang gelombang radiasi


Matahari? Hampir 99 persen radiasi Matahari diisi oleh panjang
gelombang pendek dari 0,15 sampai 4,0 mm. Dari jumlah ini (99 %), 9
persennya adalah gelombang ultraviolet ( l < 0,4 mm), 45 persennya adalah
gelombang cahaya tampak (merah-violet) (0,4 mm £ l £ 0,74 mm), dan 46
persennya adalah gelombang inframerah (l ³ 0,75 mm). Pada tabel 8.2
disajikan panjang gelombang radiasi untuk setiap warna (Tjasyono, 2003;
Tjasyono, 2006).

Tabel 2.1 panjang gelombang radiasi dan hubungannya dengan warna


Interval panjang Panjang gelombang
Warna
gelombang (mm) tipik (mm)
Violet 0,390 – 0,455 0,430
Biru gelap 0,455 – 0,485 0,470
Biru cerah 0,485 – 0,505 0,495
Hijau 0,505 – 0,550 0,530
Kuning-Hijau 0,550 – 0,575 0,560
Kuning 0,575 – 0,585 0,580
Oranye 0,585 – 0,620 0,600
Merah 0,620 – 0,760 0,640

115
c. Surya Spectrum dan Surya Konstanta
Distribusi radiasi matahari sebagai fungsi dari panjang gelombang
disebut spektrum matahari, yang terdiri dari emisi terus-menerus dengan
beberapa baris ditumpangkan struktur. Total output radiasi matahari
adalah sekitar setara dengan hitam di 5776 K. Radiasi matahari dalam
spektrum tampak dan inframerah cocok erat dengan emisi blackbody
pada suhu ini. Namun, ultraviolet (UV) wilayah (<0.4 µm) dari radiasi
matahari sangat menyimpang dari daerah tampak dan inframerah dalam
hal suhu hitam setara dengan Matahari. Dalam interval 0,1-0,4 µm, suhu
radiasi hitam setara matahari umumnya kurang dari 5776 K dengan
minimal tentang 4500 K di sekitar 0,16 µm. Penyimpangan terlihat pada
spektrum matahari adalah hasil dari emisi dari atmosfer matahari
nonisothermal.
Konstanta matahari adalah jumlah radiasi matahari yang diterima di
luar atmosfer bumi pada permukaan normal radiasi insiden per satuan
waktu dan per satuan luas pada jarak rata-rata Bumi dari Matahari.
Konstanta matahari adalah nilai penting untuk studi keseimbangan energi
global dan iklim. Pengukuran Handal konstan surya dapat bemade hanya
dari ruang dan rekor lebih dari 20 tahun telah diperoleh berdasarkan
pengamatan satelit tumpang tindih. Analisis data satelit menunjukkan
konstanta surya dari 1366 Wm-2 dengan ketidakpastian pengukuran
±3Wm-2. Dari energi radiasi yang dipancarkan dari matahari, sekitar 50%
berada di wilayah inframerah (>0,7 µm), sekitar 40% di daerah tampak
(0,4-0,7 µm), dan sekitar 10% di wilayah UV (<0.4 µm).
Konstanta matahari tidak pada kenyataannya sangat konstan, tetapi
bervariasi dalam kaitannya dengan kegiatan surya. Selain evolusi sangat
lambat dari Matahari, sebuah aktivitas matahari yang terkenal adalah
bintik matahari, yang merupakan daerah yang relatif gelap pada
permukaan Matahari. Perubahan periodik dalam jumlah bintik matahari
ini disebut sebagai siklus sunspot, dan memakan waktu sekitar 11 tahun,
yang disebut siklus 11 tahun. Siklus sunspot maxima memiliki polaritas
magnetik yang sama disebut sebagai siklus 22-tahun. Matahari juga
berputar pada porosnya sekali dalam sekitar 27 hari. Pengamatan satelit
menunjukkan bahwa variasi siklus matahari konstan surya ada di urutan
sekitar 0,1%, yang mungkin terlalu kecil untuk langsung menyebabkan
lebih dari perubahan hampir tidak terdeteksi dalam iklim troposfer.
Namun, beberapa bukti tidak langsung menunjukkan bahwa perubahan
konstan surya yang berhubungan dengan aktivitas sunspot mungkin telah
secara signifikan lebih besar selama terakhir beberapa abad. Selain itu,
variabilitas matahari jauh lebih besar (secara relatif) di wilayah UV, dan
menyebabkan perubahan yang cukup besar dalam komposisi kimia, suhu,
dan sirkulasi stratosfer, serta dalam mencapai lebih tinggi dari bagian
atas atmosfer.

d. Distribusi Radiasi Matahari


Intensitas radiasi matahari di luar atmosfer bumi bergantung pada
jarak antara matahari dengan bumi. Tiap tahun, jarak ini bervariasi

116
antara 1,47 x 108 km dan 1,52 x 108 km dan hasilnya besar pancaran E0
naik turun antara 1325 W/m2 sampai 1412 W/m2. Nilai rata - ratanya
disebut sebagai konstanta matahari dengan nilai E0 = 1367 W/m2.
Pancaran ini tidak dapat mencapai ke permukaan bumi. Atmosfer
bumi mengurangi insolation yang melewati pemantulan, penyerapan (oleh
ozon, uap air, oksigen, dan karbon dioksida), serta penyebaran (disebabkan
oleh molekul udara, partikel debu atau polusi). Di cuaca yang bagus pada
siang hari, pancaran bisa mencapai 1000 W/m2 di permukaan bumi.
Insolation terbesar terjadi pada sebagian hari - hari yang berawan dan
cerah. Sebagai hasil dari pancaran matahari yang memantul melewati
awan, maka insolation dapat mencapai hingga 1400 W/m2 untuk jangka
pendek.
Ada tiga macam cara radiasi matahari sampai ke permukaan bumi,
yaitu:
 Radiasi langsung (Beam/Direct Radiation) Adalah radiasi yang
mencapai bumi tanpa perubahan arah atau radiasi yang diterima oleh
bumi dalam arah sejajar sinar datang.
 Radiasi hambur (Diffuse Radiation) Adalah radiasi yang mengalami
perubahan akibat pemantulan dan penghamburan.
 Radiasi total (Global Radiation) adalah penjumlahan radiasi langsung
(direct radiation) dan radiasi hambur (diffuse radiation)

Gambar 2.6 Distribusi radiasi matahari sampai ke permukaan bumi.

Cahaya matahari pada permukaan bumi terdiri dari bagian yang


langsung dan bagian yang baur. Radiasi langsung datang dari arah
matahari dan memberikan bayangan yang kuat pada benda. Sebaliknya
radiasi baur yang tersebar dari atas awan tidak memiliki arah yang jelas
tergantung pada keadan awan dan hari tersebut (ketinggian matahari), baik
daya pancar maupun perbandingan antara radiasi langsung dan baur.
Energi matahari yang ditransmisikan mempunyai panjang gelombang
dengan range 0,25 mikrometer sampai 3 mikrometer (untuk di luar
atmosfer bumi atau extraterrestrial), sedangkan untuk di atmosfer bumi
berkisar antara 0,32 mikrometer sampai 2,53 mikrometer. Hanya 7%
energi tersebut terdiri dari ultraviolet (AM 0), 47% adalah cahaya

117
tampak (cahaya tampak memiliki panjang gelombang 0,4 mikrometer
sampai 0,75 mikrometer), 46% merupakan cahaya inframerah.

Gambar 2.7 Spektrum Cahaya Matahari

Beberapa hal dapat mempengaruhi pengurangan intensitas


irradiance pada atmosfer bumi. Pengaruh tersebut dapat berupa:
 Pengurangan intensitas karena refleksi (pemantulan) oleh atmosfer
bumi
 Pengurangan intensitas oleh karena penyerapan zat-zat di dalam
atmosfer (terutama oleh O3, H2O, O2, dan CO2)
 Pengurangan intensitas oleh karena Rayleigh scattering
 Pengurangan intensitas oleh karena Mie scattering
Sedangkan radiasi yang jatuh pada permukaan material pada
umumnya akan mengalami refleksi, absorbs, dan transmisi. Dari tiga
proses ini maka material akan memiliki refleksivitas (ρ), adsorbsivitas
(ά), dan transmisivitas (τ).
Refleksi adalah pemantulan dari sebagian radiasi tergantung pada
harga indeks bias dan sudut datang radiasi. Refleksi spektakuler terjadi
pantulan sinar pada sebuah cermin datar dimana sudut datang sama
dengan sudut pantul. sedangkan refleksi difusi terjadi berupa pantulan
kesegala arah.
Transmisi memberikan nilai besar radiasi yang dapat diteruskan oleh
suatu lapisan permukaan. Kemampuan penyerapan (absorbsivitas) dari
suatu permukaan merupakan hal yang penting dalam pemanfaatan radiasi
seperti pada pemanfaatan radiasi surya. Harga absorbsivitas berlainan
untuk sudut datang radiasi yang berlainan. Menurut British Building
Research untuk sudut datang dibawah 750, harga absorbsivitas terletak
antara 0,8 sampai 0,9 dari absorbsivitas yang dimiliki oleh suatu benda.
Absorbsivitas memberikan nilai besarnya radiasi yang dapat diserap.
Misalnya pada bagian absorber pada sebuah pengumpul radiasi surya.
Ketiga proses tersebut diatas yaitu, absorbsi, refleksi, dan transmisi
adalah hal yang penting dalam proses pemanfaatan radiasi

118
surya, karena ini menyangkut efektifitas pemanfaatan pada sebuah
pengumpul radiasi surya.

e. Potensi Radiasi Matahari


Terkait dengan energi surya matahari terdapat potensi radiasi matahari
terhadap atmosfer di permukaan bumi. Indonesia memiliki potensi radiasi
matahari (energi surya) yang cukup besar. Hal tersebut bergantung pada
posisi penyinaran antara matahari dengan kedudukan wilayah di
Indonesia. Potensi ini akan berubah tiap waktu, tergantung dari kondisi
atmosfer, dan tempat (garis lintang) serta waktu (hari dalam tahun dan jam
dalam hari). Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18
lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan
berturut-turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia
dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar
4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan
Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan
sekitar 9%. Dengan demikian, potesi angin rata-rata Indonesia sekitar 4,8
kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. (kementrian energi dan
sumber daya mineral).
Selain menjadi sumber energi bagi sumber energi lainnya, energi
surya sangat berpotensi untuk dimanfaatkan secara langsung sebagai
sumber energi alternatif. Pemanfaatan energi surya ini dapat dilakukan
secara termal maupun melalui energi listrik. Pemanfaatan secara termal
dapat dilakukan secara langsung dengan membiarkan objek pada radiasi
matahari, atau menggunakan peralatan yang mencakup kolektor dan
konsentrator surya.
Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada 2 (dua)
macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu teknologi energi surya
termal dan energi surya fotovoltaik. Energi surya termal pada umumnya
digunakan untuk memasak (kompor surya), mengeringkan hasil pertanian
(perkebunan, perikanan, kehutanan, tanaman pangan) dan memanaskan
air. Energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik,
pompa air, televisi, telekomunikasi, dan lemari pendingin di Puskesmas
dengan kapasitas total ± 6 MW.
Pemanfaatan energi surya khususnya dalam bentuk SHS (solar home
systems ) sudah mencapai tahap semi komersial. Komponen utama suatu
SESF adalah, Sel fotovoltaik (mengubah penyinaran matahari menjadi
listrik), Balance of system (BOS), Unit penyimpan energi (baterai) dan
peralatan penunjang lain seperti: inverter untuk pompa, sistem terpusat,
dan sistem hibrid. Sedangkan pemanfaatan energi surya termal di
Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Para petani dan nelayan di
Indonesia memanfaatkan energi surya untuk mengeringkan hasil pertanian
dan perikanan secara langsung.
1) Teknologi Energi Surya Fotovoltaik
Energi listrik alternatif yang siap untuk diterapkan secara masal
pada saat ini adalah menggunakan suatu sistem teknologi yang
diperkenalkan sebagai Sistem Energi Surya Fotovoltaik (SESF) atau
secara umum dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Fotovoltaik (PLTS Fotovoltaik). Pada umumnya modul fotovoltaik

119
dipasarkan dengan kapasitas 50 Watt-peak (Wp) dan kelipatannya.
Unit satuan Watt-peak adalah satuan daya (Watt) yang dapat
dibangkitkan oleh modul fotovoltaik dalam keadaan standar uji
(Standard Test Condition - STC). Efisiensi pembangkitan energi
listrik yang dihasilkan modul fotovoltaik pada skala komersial saat ini
adalah sekitar 14 - 15 %.
Prinsip kerja pada surya fotovoltaik: Bila sel surya (sel
fotovoltaik) dikenakan pada sinar matahari, maka timbul elektron dan
hole. Elektron-elektron dan hole-hole yang timbul di sekitar pn
junction bergerak berturut-turut ke arah lapisan n dan ke arah lapisan
p. Sehingga pada saat elektron-elektron dan hole-hole itu melintasi pn
junction, timbul beda potensial pada kedua ujung sel surya. Jika pada
kedua ujung sel surya diberi beban maka timbul arus listrik yang
mengalir melalui beban.

Gambar 2.8 Cara kerja sel surya fotovoltaik.

Gambar 2.9 Aplikasi sel surya fotovoltaik

Komponen utama suatu SESF adalah:


a) Sel fotovoltaik yang mengubah penyinaran/radiasi matahari
menjadi listrik secara langsung (direct conversion). Teknologi sel
fotovoltaik yang banyak dikembangkan dewasa ini pada
umumnya merupakan jenis teknologi kristal yang dibuat dengan
bahan baku berbasis silikon. Produk akhir dari modul fotovoltaik
menyerupai bentuk lembaran kaca dengan ketebalan sekitar 6 - 8
milimeter.

120
b) Balance of system (BOS) yang meliputi controller, inverter,
kerangka modul,peralatan listrik, seperti kabel, stop kontak, dan
lain-lain, teknologinya sudah dapat dikuasai;
c) Unit penyimpan energi (baterai) sudah dapat dibuat di dalam negeri;
d) Peralatan penunjang lain seperti: inverter untuk pompa, sistem
terpusat, sistem hibrid, dan lain-lain masih diimpor.
Kandungan lokal modul fotovoltaik termasuk pengerjaan enkapsulasi
dan framing sekitar 25%, sedangkan sel fotovoltaik masih harus diimpor.
Balance of System (BOS) masih bervariasi tergantung sistem desainnya.
Kandungan lokal dari BOS diperkirakan telah mencapai diatas 75%.

Gambar 2.10 Struktur dari sel surya komersial yang menggunakan material silikon sebagai
semikonduktor.

Sasaran Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia


a) Sasaran pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah
sebagai berikut: Semakin berperannya pemanfaatan energi surya
fotovoltaik dalam penyediaan energi di daerah perdesaan, sehingga
pada tahun 2020 kapasitas terpasangnya menjadi 25 MW.
b) Semakin berperannya pemanfaatan energi surya di daerah perkotaan.
c) Semakin murahnya harga energi dari solar photovoltaic , sehingga
tercapai tahap komersial.
d) Terlaksananya produksi peralatan SESF dan peralatan
pendukungnya di dalam negeri yang mempunyai kualitas tinggi dan
berdaya saing tinggi.
Strategi pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah
sebagai berikut:
a) Mendorong pemanfaatan SESF secara terpadu, yaitu untuk
keperluan penerangan (konsumtif) dan kegiatan
produktif.Mengembangan SESF melalui dua pola, yaitu pola
tersebar dan terpusat yang disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Pola tersebar diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk
menyebar dengan jarak yang cukup jauh, sedangkan pola terpusat
diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk terpusat.
b) Mengembangkan pemanfaatan SESF di perdesaan dan perkotaan.
c) Mendorong komersialisasi SESF dengan memaksimalkan
keterlibatan swasta.
d) Mengembangkan industri SESF dalam negeri yang berorientasi
ekspor.

121
e) Mendorong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efisien
dengan melibatkan dunia perbankan.
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan energi surya
fotovoltaik adalah:
a) Harga modul surya yang merupakan komponen utama SESF masih
mahal mengakibatkan harga SESF menjadi mahal, sehingga
kurangnya minat lembaga keuangan untuk memberikan kredit bagi
pengembangan SEEF;
b) Sulit untuk mendapatkan suku cadang dan air accu , khususnya di
daerah perdesaan, menyebabkan SESF cepat rusak;
c) Pemasangan SESF di daerah perdesaan pada umumnya tidak
memenuhi standar teknis yang telah ditentukan, sehingga kinerja
sistem tidak optimal dan cepat rusak;
d) Pada umumnya, penerapan SESF dilaksanakan di daerah perdesaan
yang sebagian besar daya belinya masih rendah, sehingga
pengembangan SESF sangat tergantung pada program Pemerintah;
e) Belum ada industri pembuatan sel surya di Indonesia, sehingga
ketergantungan pada impor sangat tinggi. Akibatnya, dengan
menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar menyebabkan harga
modul surya menjadi semakin mahal.

2) Teknologi Energi Surya Termal


Berbagai teknologi pemanfaatan energi surya termal untuk
aplikasi skala rendah (temperatur kerja lebih kecil atau hingga 600C)
dan skala menengah (temperatur kerja antara 60 hingga 1200C) telah
dikuasai dari rancang-bangun, konstruksi hingga manufakturnya
secara nasional. Secara umum, teknologi surya termal yang kini dapat
dimanfaatkan termasuk dalam teknologi sederhana hingga madya.
Beberapa teknologi untuk aplikasi skala rendah dapat dibuat oleh
bengkel pertukangan kayu/besi biasa. Untuk aplikasi skala menengah
dapat dilakukan oleh industri manufaktur nasional. Surya termal
adalah teknologi yang mengubah radiasi matahari menjadi energi
panas dengan menggunakan alat pengumpul panas atau yang biasa
disebut Kolektor surya.
Beberapa peralatan yang telah dikuasai perancangan dan
produksinya seperti sistem atau unit berikut:
a) Pengering pasca panen (berbagai jenis teknologi);
b) Pemanas air domestik;
c) Pemasak/oven;
d) Pompa air (dengan Siklus Rankine dan fluida kerja Isopentane);
e) Penyuling air (Solar Distilation/Still);
f) Pendingin (radiatif, absorpsi, evaporasi, termoelektrik,
kompressip, tipe jet);
g) Sterilisator surya;
h) Pembangkit listrik dengan menggunakan konsentrator dan fluida
kerja dengan titik didih rendah.
Untuk skala kecil dan teknologi yang sederhana, kandungan lokal
mencapai 100 %, sedangkan untuk sistem dengan skala industri
(menengah) dan menggunakan teknologi tinggi (seperti pemakaian

122
Kolektor Tabung Hampa atau Heat Pipe ), kandungan lokal minimal
mencapai 50%.
Sasaran pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah
sebagai berikut:
a) Meningkatnya kapasitas terpasang sistem energi surya termal,
khususnya untuk pengering hasil pertanian, kegiatan produktif
lainnya, dan sterilisasi di Puskesmas.
b) Tercapainya tingkat komersialisasi berbagai teknologi energi surya
thermal dengan kandungan lokal yang tinggi.
Strategi Pengembangan Energi Surya Termal
c) Strategi pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah
sebagai berikut: Mengarahkan pemanfaatan energi surya termal untuk
kegiatan produktif, khususnya untuk kegiatan agro industri.
d) Mendorong keterlibatan swasta dalam pengembangan teknologi surya
termal.
e) Mendorong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efektif.
f) Mendorong keterlibatan dunia usaha untuk mengembangkan surya
termal.
Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan surya termal
adalah:
a) Teknologi energi surya termal untuk memasak dan mengeringkan
hasil pertanian masih sangat terbatas. Akan tetapi, sebagai pemanas
air, energi surya termal sudah mencapai tahap komersial. Teknologi
surya termal masih belum berkembang karena sosialisasi ke
masyarakat luas masih sangat rendah;
b) Daya beli masyarakat rendah, walaupun harganya relatif murah;
c) Sumber daya manusia (SDM) di bidang surya termal masih sangat
terbatas. Saat ini, SDM hanya tersedia di Pulau Jawa dan terbatas
lingkungan perguruan.

3) Radiometer surya
Deteksi radiasi elektromagnetik optik terutama dilakukan oleh
konversi energi sinar dalam sinyal-sinyal listrik yang kemudian dapat
diukur dengan teknik konvensional. Karena spektral hampir konstan
mereka sensitivitas untuk seluruh surya rentang spektral, radiometers
dilengkapi dengan thermal sensor yang banyak digunakan untuk
mengukur radiasi matahari broadband. Suhu fluktuasi (instrumen
ditempatkan di luar ruangan dan suhu mereka mungkin berbeda antara
-20 dan 700C), angin, hujan, dan salju merupakan faktor yang
mempengaruhi pengukuran. Meminimalkan gangguan ini adalah tugas
yang sulit dalam rekayasa radiometers surya.
a) Pyrheliometer
Pyrheliometer adalah instrumen broadband yang mengukur sinar
langsung komponen Gn radiasi matahari. Akibatnya, instrumen harus
permanen menunjuk ke arah Matahari. Mekanisme pelacakan dua
sumbu Sun yang paling sering digunakan untuk tujuan ini. Detektor
adalah thermopile multi-junction ditempatkan di dasar sebuah tabung
collimating (Gambar 2.11a) dilengkapi dengan jendela kuarsa untuk
melindungi instrumen. Detektor ini dilapisi dengan cat hitam optik

123
(bertindak sebagai penuh penyerap untuk energi surya dalam panjang
gelombang berkisar 0,280-3 µm). Suhunya kompensasi untuk
meminimalkan sensitivitas fluktuasi suhu lingkungan. Sudut
pyrheliometer aperture adalah 50. Akibatnya, radiasi yang diterima
dari Matahari dan wilayah circumsolar terbatas, tetapi semua radiasi
menyebar dari sisa langit dikecualikan. Sebuah perangkat pembacaan
digunakan untuk memberikan nilai instan langsung balok radiasi.
Skalanya disesuaikan dengan sensitivitas instrumen tertentu dalam
rangka untuk menampilkan nilai dalam satuan SI, Wm-2. Untuk
ilustrasi, gambar sebuah pyrheliometer Hukseflux DR01 First Class
(Hukseflux 2012) disajikan pada Gambar 2.11b.

Gambar 2.11 (a) Skema pyrheliometer, (b) Gambar sebuah pyrheliometer Hukseflux DR01
First Class (Hukseflux 2012). (Lisensikasi pada Wikimedia commons).

b) Pyranometer
Pyranometers adalah instrumen yang mengukur radiasi
broadband surya global masuk dari sudut padat 2π pada permukaan
planar. Sebuah pyranometer khas adalah skematis diwakili dalam
Gambar 2.12a. Ini terdiri dari disk putih untuk membatasi penerimaan
sudut ke 1800 dan dua konsentris hemispherical transparan penutup
terbuat dari kaca. Dua kubah melindungi sensor dari konveksi termal,
melindunginya terhadap ancaman cuaca (hujan, angin, dan debu) dan
membatasi sensitivitas spektral instrumen dalam rentang panjang
gelombang 0,29-2,8 µm. Sebuah cartridge silika gel di dalam kubah
menyerap uap air.

Gambar 2.12 (a) Skema pyranometer, (b) Pyranometer kelas pertama LPPYRA 12 (DeltaOHM 2012)
dilengkapi dengan cincin bayangan, dipasang pada platform matahari dari Barat Universitas Timisora,
Rumania (SRMS, 2012).

124
Sebuah pyranometer dapat juga digunakan untuk mengukur radiasi
difus surya Gd, asalkan kontribusi komponen balok langsung dihilangkan.
Untuk ini, disk shading kecil dapat dipasang pada solar tracker otomatis
untuk memastikan bahwa pyranometer ini terus berbayang. Atau, cincin
bayangan mungkin mencegah komponen langsung Gb dari mencapai
sensor sepanjang hari (lihat Gambar 2.12b). Karena maksimum sudut
elevasi harian Sun berubah dari hari ke hari, perlu untuk mengubah secara
berkala (hari lag) ketinggian cincin bayangan.

f. Pengukuran durasi sinar matahari


Menurut (WMO 2008), durasi sinar matahari dalam suatu periode
tertentu didefinisikan sebagai jumlah dari interval waktu yang radiasi
matahari langsung melebihi ambang 120 Wm-2. Dalam prakteknya, dua
metode yang banyak digunakan untuk mengukur Metode kartu sinar
matahari durasi pembakaran dan pyranometric metode-yang akan
disajikan secara singkat berikutnya. Metode kartu terbakar didasarkan
pada perekam sinar matahari Campbell-Stokes, konfigurasi dasar yang
terdiri dari bola kaca dipasang konsentris dalam segmen dari mangkuk
bulat (Gambar 2.13). Dukungan disesuaikan sehingga sumbu
sphere mungkin cenderung untuk sudut lintang setempat. Mangkuk bola
segmen memegang kartu rekaman. Bola kaca memfokuskan solar beam
langsung radiasi ke kartu, membakar jejak setiap kali Matahari bersinar.
Posisi dan panjang jejak menunjukkan waktu mulai dan durasi sinar
matahari interval. Kesalahan dari perekam ini terutama karena
ketergantungan pembakaran inisiasi pada suhu kartu dan kelembaban serta
efek overburning, terutama dalam hal awan rusak (Kerr dan Tabony 2004).

Gambar 2.13 (a) Skema perekam sinar matahari Campbell-Stokes, (b) Gambar tipikal perekam sinar
matahari Campbell-Stokes. (Lisensi publikasi pada Wikimedia commons).

Planet-Planet
Terdapat delapan planet di dalam tata surya, yaitu Merkurius, Venus,
Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Planet dalam tata
surya diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu:

125
1. Berdasar kedudukan terhadap Bumi, dibagi menjadi dua yaitu
a. Planet Inferior planet-planet yang terletak antara matahari
dan orbit bumi. Planet inferior adalah
Merkurius dan Venus.
b. Planet Superior planet-planet yang terletak di luar orbit
bumi. Planet superior adalah Mars, Yupiter,
Saturnur, Uranus dan Neptunus.
2. Berdasar kedudukan terhadap Asteroid, dibagi menjadi dua yaitu :
a. Planet dalam planet dalam disebut juga inner planets yaitu
planet-planet yang terletak antara matahari
dan asteorid,. Planet dalam adalah
Merkurius, Venus, Bumi dan Mars.
b. Planet luar planet luar disebut juga outer planets yaitu
planet-planet yang terletak diluar sabuk
asteroid. Planet-planet luar adalah Yupiter,
Saturnus, Uranus dan Neptunus.
3. Berdasar ukurannya, terbagi menjadi dua yaitu:
a. Planet terestrial Planet yang bersifat kebumian. Planet
terestrial mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Massanya kecil dengan kerapatan massa
besar.
b. Ukurannya kecil dan mampat
c. Permukaan planet terdiri dari batuan yang
keras, terdapat kawah, lembah dan
gunung.
d. Jumlah atom hidrogen dan helium sedikit.
b. Planet Jovian Planet yang berukuran besar/raksasa. Planet-
planet Jovian bercirikan:
a. Massa besar namun kerapatan massanya
kecil.
b.Diselimuti atmosfer yang tebal dengan
Hidrogen dan Helium merupakan unsur
yang terbesar.

Gambar 2.14 Sebagian besar massa tata surya berada di Matahari dan sebagian besar sisanya berada di planet
Jovian (Gambar ini tidak sesuai skala) (Seeds, 2007).

126
Tabel 2.2 Planet-Planet dan Karakteristiknya

Jarak matahari ke planet Merkurius sekitar 57,9 juta kilometer.


Sedangkan jarak matahari ke planet Venus sejauh 108,2 juta kilometer.
Adapun jarak matahari ke Bumi sekitar 149,6 juta kilometer. Jarak
matahari ke Mars sejauh 227,9 juta kilometer. Sedangkan jarak matahari
ke Jupiter sejauh 778,3 juta kilometer. Jarak matahari ke Saturnus sejauh
1.427,0 juta kilometer. Jarak matahari ke Uranus sejauh 2.871,0 juta
kilometer. Sedangkan jarak matahari ke Neptunus sejauh 4.497,0 juta
kilometer.

Satelit
Satelit adalah anggota tata surya yang ukurannya lebih kecil daripada
planet, berputar pada porosnya, beredar mengelilingi planet, kemudian
bersama-sama dengan planet, berputar mengelilingi matahari. Satelit
melakukan tiga gerakan, yaitu berputar pada porosnya, berevolusi
mengelilingi planet, dan berevolusi bersama planet mengelilingi matahari.
Satelit ada dua macam yaitu:
a. Satelit alamiah yaitu satelit alamiah sudah ada dalam tata surya dan
bukan buatan manusia. contoh satelit alam adalah bulan.
b. Satelit buatan yaitu satelit yang sengaja dibuat oleh manusia yang
memasuki ruang angkasa masuk ke orbit bumi, baik yang berawak
maupun yang tidak berawak.
Satelit buatan berguna untuk :
a. Satelit astronomi: satelit yang digunakan untuk mengamati planet,
galaksi, dan benda luar angkasa lainnya.
b. Satelit komunikasi: satelit buatan yang dipasang di angkasa dengan
tujuan telekomunikasi.
c. Satelit pengamat bumi:satelit yang dirancang khusus untuk mengamati
bumi seperti pengamatan lingkungan, meteorologi, pembuatan peta,
dan lain sebagainya.
d. Satelit navigasi: satelit yang menggunakan sinyal radio yang disalurkan
ke penerima dipermukaan tanah untuk menentukan lokasi sebuah titik
dipermukaan bumi seperti mengukur jarak antar bangunan.
e. Satelit mata-mata: satelit pengamat bumi yang digunakan untuk tujuan
militer atau mata-mata.
f. Satelit cuaca: satelit yang diguanakan untuk mengamati cuaca dan iklim
di bumi.

127
Satelit Indonesia adalah satelit palapa dan disingkat SKSD (Sistem
Komunikasi Satelit Domestik) Palapa. Pusat pengendali satelit Palapa
adalah di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.

Asteroid
Asteroid adalah benda-benda angkasa yang berada dalam sabuk
asteroid, yakni daerah antara orbit Mars dan Jupiter. Ada dua teori asal
mula asteroid :
a. Asteroid berasal dari planet yang terletak di antara Mars dan Jupiter
meledak karena efek gaya ganggu Jupiter dan membentuk asteroid-
asteroid.
b. Asteroid terbentuk pada awal terbentuk pada awal terbentuknya tata
surya terdapat cukup partikel di antara Mars dan Jupiter yang
membentuk batu-batu berkelompok.

Komet
Komet adalah benda langit yang mengelilingi matahari dengan garis
edar berbentuk lonjong atau parabolis atau hiperbolis. Komet berasal dari
bahasa Yunani, yang artinya rambut panjang. Komet terdiri dari
kumpulan debu dan gas yang membeku pada saat berada jauh dari
matahari. Ketika mendekati matahari, sebagian bahan penyusun komet
menguap membentuk kepala gas dan ekor. Komet juga mengelilingi
matahari, sehingga termasuk dalam sistem tata surya. Komet merupakan
gas pijar dengan garis edar yang berbeda-beda. Panjang komet dapat
mencapai jutaan km. Beberapa komet menempuh jarak lebih jauh di luar
angkasa daripada planet. Komet membutuhkan ribuan tahun untuk
menyelesaikan satu kali mengorbit matahari. Kita sering menyebut
komet sebagai bintang berekor. Sebetulnya pernyataan bintang disini
tidak tepat. Komet terbentuk dari es dan debu.

Gambar 2.15 Komet mengembangkan ekor saat mendekati matahari (Seeds, 2007).

Meteor
Meteor adalah benda-benda angkasa yang jatuh ke bumi yang pada
saat menembus atmosfer terbakar sehingga timbul nyala yang terlihat
dari bumi. Meteorit adalah meteor yang jatuh ke permukaan bumi.
Berdasarkan materi yang terkandung di dalamnya, meteorit dibedakan
menjadi dua yaitu:

128
a. meteorit besi : terdiri 90% zat besi dan 10% nikel
b. meteorit batu : terdiri 10% besi dan nikel dan lainnya berupa silikon

2.3 Bagaimana Model Skala Sistem Tata Surya?


Hukum Gerak Planet dalam tata Surya
Hukum Kepler
Hukum gerakan planet dikemukakan oleh seorang ahli astronomi dan
matematika berkebangsaan Jerman yaitu Johannes Kepler. Selanjutnya
hukum gerak planet ini dikenal dengan “Hukum Keppler” yang berbunyi:

Aphelium Perihelium

Gambar 2.16 Diagram lintasan planet mengelilingi matahari.

Hukum : ”Lintasan planet berbentuk elips dengan matahari


Kepler I berada di salah satu titik apinya”.
Jarak planet terdekat dengan matahari disebut
perihelion dan jarak terjauh dengan matahari disebut
aphelion.
Hukum : “Garis hubung planet-matahari akan menyapu daerah
Keppler II yang sama luasnya dalam selang waktu yang sama”

Hukum : “Jarak rata-rata planet ke matahari pangkat tiga dibagi


Keppler III periode sideris kuadrat merupakan bilangan konstan”
atau ”pangkat dua kala revolusi planet sebanding
dengan pangkat tiga jarak planet ke matahari”

Hukum Gravitasi
Hukum gravitasi yang dikemukakan oleh Isaac Newton berbunyi
”Setiap partikel di alam semesta selalu menarik partikel yang lain dengan
gaya yang besarnya berbanding lurus dengan massa partikel itu dan
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya”. Berdasarkan tiga hukum
Keppler, Newton dapat merumuskan tetapan gravitasi umum yaitu 6,673
x 10 -11 Nm2/kg2. Dengan menggunakan tetapan tersebut dapat ditentukan
besarnya gaya tarik menarik antara dua benda. Planet-planet akan tetap
pada lintasan orbitnya jika gaya tarik menarik antara planet dan matahari
sama dengan gaya sentripetalnya.

129
Adanya gaya gravitasi menyebabkan planet-planet mampu menarik
dan mengikat gas menjadi atmosfer. Besarnya kekuatan planet mengikat
gas ini ditentukan oleh laju rata-rata molekul gas dan laju lepas planet
(sentrifugal).

Model Skala Sistem Tata Surya


Hukum Gerakan Planet Kepler menjabarkan bahwa orbit dari objek-
objek Tata Surya di sekeliling Matahari bergerak mengikuti bentuk elips
dengan Matahari sebagai salah satu titik fokusnya. Objek yang berjarak
lebih dekat dari Matahari (sumbu semi-mayor-nya lebih kecil) memiliki
tahun waktu yang lebih pendek. Pada orbit elips, jarak antara objek
dengan Matahari bervariasi sepanjang tahun. Jarak terdekat antara objek
dengan Matahari dinamai perihelion, sedangkan jarak terjauh dari
Matahari dinamai aphelion. Semua objek Tata Surya bergerak tercepat
di titik perihelion dan terlambat di titik aphelion. Orbit planet-planet bisa
dibilang hampir berbentuk lingkaran, sedangkan komet, asteroid dan
objek sabuk Kuiper kebanyakan orbitnya berbentuk elips.
Untuk mempermudah representasi, kebanyakan diagram Tata Surya
menunjukan jarak antara orbit yang sama antara satu dengan lainnya.
Pada kenyataannya, dengan beberapa perkecualian, semakin jauh letak
sebuah planet atau sabuk dari Matahari, semakin besar jarak antara objek
itu dengan jalur edaran orbit sebelumnya. Sebagai contoh, Venus terletak
sekitar sekitar 0,33 satuan astronomi (SA) lebih dari Merkurius[d],
sedangkan Saturnus adalah 4,3 SA dari Yupiter, dan Neptunus terletak
10,5 SA dari Uranus. Beberapa upaya telah dicoba untuk menentukan
korelasi jarak antar orbit ini (hukum Titus-Bode), tetapi sejauh ini tidak
satu teori pun telah diterima.

Gambar 2.17 Orbit-orbit tata surya dengan skala sebenarnya


(wikipedia).

130
Hampir semua planet-planet di Tata Surya juga memiliki sistem
sekunder. Sebagian besar berupa benda pengorbit alami yang disebut
satelit. Beberapa benda ini memiliki ukuran lebih besar dari planet. Hampir
semua satelit alami yang paling besar terletak di orbit sinkron, dengan satu
sisi satelit berpaling ke arah planet induknya secara permanen. Empat
planet terbesar juga memliki cincin yang berisi partikel-partikel kecil yang
mengorbit secara serempak.

Gambar 2.18 Zona Tata Surya yang meliputi, planet bagian dalam, sabuk asteroid,
planet bagian luar, dan sabuk Kuiper (Gambar tidak sesuai skala) (wikipedia.org).

Di zona planet dalam, Matahari adalah pusat Tata Surya dan letaknya
paling dekat dengan planet Merkurius (jarak dari Matahari 57,9 × 106 km,
atau 0,39 SA), Venus (108,2 × 106 km, 0,72 SA), Bumi (149,6 × 106 km,
1 SA) dan Mars (227,9 × 106 km, 1,52 SA). Ukuran diameternya antara
4.878 km dan 12.756 km, dengan massa jenis antara 3,95 g/cm3 dan
5,52 g/cm3.
Antara Mars dan Yupiter terdapat daerah yang disebut sabuk asteroid,
kumpulan batuan metal dan mineral. Sebagian besar asteroid-asteroid ini
hanya berdiameter beberapa kilometer dan beberapa memiliki diameter
100 km atau lebih. Ceres, bagian dari kumpulan asteroid ini, berukuran
sekitar 960 km dan dikategorikan sebagai planet kerdil. Orbit asteroid-
asteroid ini sangat eliptis, bahkan beberapa menyimpangi Merkurius
(Icarus) dan Uranus (Chiron).
Pada zona planet luar, terdapat planet gas raksasa Yupiter
(778,3 × 106 km, 5,2 SA), Uranus (2,875 × 109 km, 19,2 SA) dan Neptunus
(4,504 × 109 km, 30,1 SA) dengan massa jenis antara 0,7 g/cm3 dan
1,66 g/cm3.
Jarak rata-rata antara planet-planet dengan Matahari bisa diperkirakan
dengan menggunakan baris matematis Titus-Bode. Regularitas jarak
antara jalur edaran orbit-orbit ini kemungkinan merupakan efek resonansi
sisa dari awal terbentuknya Tata Surya. Anehnya, planet Neptunus tidak
muncul di baris matematis Titus-Bode, yang membuat para pengamat
berspekulasi bahwa Neptunus merupakan hasil tabrakan kosmis.

131
2.4 Apakah Benda-Benda Astronomi Kecil di Tata Surya Itu?
Benda-benda astronomi kecil yang berada di dalam sistem tata surya
disebut sebagai meteoroit. Meteoroit berupa batu-batuan angkasa mulai
dari ukuran biji padi hingga sebesar gerbong kereta api. Meteoroit terdiri
dari tiga jenis utama berdasarkan zat penyusunnya, yaitu meteorit logam,
meteorit batuan, dan meteorit logam-batuan.

Gambar 2.19 Setiap meteorit memiliki karakteristik berdasarkan zat penyusunnya (Seeds, 2007).

Meteorit merupakan sisa-sisa bahan dalam proses pembentukan tata


surya. Planetesimal terbentuk ketika proses pembentukan tata surya
mungkin mencair dan dipisahkan ke dalam lapisan kepadatan yang
berbeda dengan komposisi. Pemisahan material tersebut bisa
menghasilkan berbagai jenis meteorit. Ilustrasi asal mula meteorit dapat
dilihat pada Gambar 2.20.
Meteorit merupakan sebutan untuk benda astronomi kecil di
angkasa. Pada saat benda langit ini jatuh menuju bumi, meteorit yang
bergesekan dengan atmosfer Bumi disebut sebagai meteor. Saat
bergesekan dengan atmosfer Bumi, meteorit tersebut terbakar dan
menghasilkan cahaya. Peristiwa ini sering disebut sebagai hujan meteor.
Ada kalanya meteorit yang terbakar di atmosfer (meteor) habis terbakar
(Gambar 2.21), ada kalanya sisa pembakaran di atmosfer tersebut jatuh
ke permukaan bumi. Meteorit yang bisa menembus atmosfer Bumi dan
sampai di permukaan bumi disebut sebagai meteoroit. Meteorit
menghasilkan jejak cekungan di permukaan Bumi (Gambar 2.22).

132
Gambar 2.20 Asal mula meteorit (Seeds, 2007)

133
Gambar 2.21 Meteor tiba-tiba beruntun menghasilkan gas bercahaya. Gas
bercahaya dihasilkan oleh sedikit bahan jatuh ke atmosfer bumi. Gesekan
dengan udara menguapkan bahan sekitar 80 km (50 mil) di atas
permukaan bumi (Seeds, 2007).

Gambar 2.22 Jejak meteorit (Seeds, 2007)

Gambar 2.23 Radioaktif (merah) dalam sampel mineral peluruhan


menjadi atom-atom (biru). Setengah radiasi atom yang tersisa setelah
waktu paro, keempat setelah dua waktu paro, kedelapan setelah tiga
waktu paro, dan sebagainya. Waktu radioaktif menunjukkan bahwa
fragmen meteorit Allende ini berusia 4,56 miliar tahun. Meteorit ini
berisi biji-bijian antar bintang yang terbentuk jauh sebelum sistem
keluar surya (Seeds, 2007).

134
2.5 Planet Apa Sajakah yang Ada di Dalam Sistem
Tata Surya?
Lima planet terdekat ke Matahari selain Bumi (Merkurius, Venus,
Mars, Yupiter dan Saturnus) telah dikenal sejak zaman dahulu karena
mereka semua bisa dilihat dengan mata telanjang. Banyak bangsa di dunia
ini memiliki nama sendiri untuk masing-masing planet.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengamatan pada lima
abad lalu membawa manusia untuk memahami benda-benda langit
terbebas dari selubung mitologi. Galileo Galilei (1564-1642) dengan
teleskop refraktornya mampu menjadikan mata manusia "lebih tajam"
dalam mengamati benda langit yang tidak bisa diamati melalui mata
telanjang.
Karena teleskop Galileo bisa mengamati lebih tajam, ia bisa melihat
berbagai perubahan bentuk penampakan Venus, seperti Venus Sabit atau
Venus Purnama sebagai akibat perubahan posisi Venus terhadap Matahari.
Penalaran Venus mengitari Matahari makin memperkuat teori heliosentris,
yaitu bahwa matahari adalah pusat alam semesta, bukan Bumi, yang
digagas oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) sebelumnya. Susunan
heliosentris adalah Matahari dikelilingi oleh Merkurius hingga Saturnus.
Teleskop Galileo terus disempurnakan oleh ilmuwan lain seperti
Christian Huygens (1629-1695) yang menemukan Titan, satelit Saturnus,
yang berada hampir 2 kali jarak orbit Bumi-Yupiter.
Perkembangan teleskop juga diimbangi pula dengan perkembangan
perhitungan gerak benda-benda langit dan hubungan satu dengan yang lain
melalui Johannes Kepler (1571-1630) dengan Hukum Kepler. Dan
puncaknya, Sir Isaac Newton (1642-1727) dengan hukum gravitasi.
Dengan dua teori perhitungan inilah yang memungkinkan pencarian dan
perhitungan benda-benda langit selanjutnya
Pada 1781, William Hechell (1738-1782) menemukan Uranus.
Perhitungan cermat orbit Uranus menyimpulkan bahwa planet ini ada yang
mengganggu. Neptunus ditemukan pada Agustus 1846. Penemuan
Neptunus ternyata tidak cukup menjelaskan gangguan orbit Uranus. Pluto
kemudian ditemukan pada 1930.
Planet-planet dalam tata surya terdiri dari Merkurius, Venus, Bumi,
Mars, Yupiter, Saturnus uranus, dan Neptunus.
1. Merkurius : Merupakan planet terkecil dalam tata surya
dan mempunyai jarak paling dekat dengan
matahari sehingga waktu yang diperlukan
untuk mengelilingi matahari lebih cepat
dibanding denganplanet lain.
Merkurius mengililingi matahari satu
putaran selama 88 hari bumi dan masa
rotasinya adalah 58,6 hari bumi. Merkurius
tidak mempunyai atmosfer, pada siang hari
suhu sangat tinggi yaitu 430ºC dan pada
malam hari suhu sangat rendah yaitu -
180ºC.

135
2. Venus : Venus merupakan planet kedua yang
terdekat dengan matahari, venus sering
disebut juga sebagai “bintang timur”
karena venus bersinar paling terang
diantara planet-planet tata surya yang lain.
Venus muncul pada saat fajar (3jam
sebelum matahri muncul) dab 3 jam
sebelum matahari tenggelam. Saat pagi
hari Venus dijuluki sebagai “bintang
fajar”/ phosporus, dan saat senja Venus
dijuluki sebagai “bintang senja” /
hesperus.
Venus diselubungi atmosfer yang tebal
yang terdiri dari CO2, sedikit N, H dan uap
air, dan tidak terdapat air.
Venus mengelilingi matahari satu putaran
selama 224,7 hari bumi dan massa rotasi
243,2 hari bumi.
3. Bumi : Bumi merupakan satu-satunya planet yang
dapat dihuni oleh berbagai mahluk hidup.
Permukaan bumi terdiri dari daratan dan
lautan, bumi diselubungi atmosfer dengan
ketebalan mencapai 120 km yang terdiri
dari uap air dan gas. Revolusi bumi
mengelilingi matahari adalah 365,25 hari
dan masa rotasi selama 23 jam 56 menit.
Bumi memiliki satu satelit yaitu bulan.
4. Mars : Mars dikenal juga sebagai planet merah,
karena sebagian besar berupa padang pasir
yang berwarna merah. Sepertiga
permukaanya terdiri atas daerah-daerah
curam yang diebut sebagai lautan
walaupun tidak berair.
Mars hanya mempunyai sedikit
air,sedangkan atmosfernya terdiri dari
CO2, sedikit uap air, N, dan Argon.
Mars mengelilingi matahari dalam satu
putaran memerlukan 687 hari bumi dan
masa rotasi 24 jam 37 menit. Mars
mempunyai dua satelit yaitu Phobos dan
Demos.

136
5. Yupiter : Yupiter merupakan planet kelima yang dekat
dengan matahari. Ukuran Yupiter merupakan
planet terbesar dalam tata surya. Massa Yupiter
318 massa bumi.
Bagian permukaan Yupiter terdapat noda yang
sering disebut sebagai Bintik Merah Besar
(Great Red Spot ) merupakan sabuk awan besar
berbentuk lonjong yang selalu menyelimuti
bagian permukaan. Noda Great Red Spot terjadi
diperkirakan akibat adanya gangguan atmosfer
Yupiter.
Permukaan Yupiter tersusun atas Hodrogen dan
Helium dalam bentuk cair atau gas sehingga
Yupiter tampak seperti bola gas raksasa. Oleh
karena itu, planet ini memantulkan lebih dari 70
% cahaya matahri yang diterimanya.
Yupiter memerlukan waktu 11, 86 tahun bumi,
sedangkan massa rotasinya adalah 9 jam 55
menit. Yupiter mempunyai 16 satelit, yaitu:
Metis, Andraster, Almathea, Thebe, Io, Europa,
Ganymede, Calisto, Leda, Himalia, Lysithea,
Elara, Ananke, Carme, Pasiphea dan Sinopea.
6. Saturnus : Saturnus merupakan planet tebesar kedua
setelah Yupiter. Saturnus dicirikan oleh adanya
3 cincin yang mengelilinginya, cincin tersebut
miring dengan sudut kemiringan seperti
khaltulistiwa. Pada saat beredar mengelilingi
matahri, cincin-cincinya juga miring tetapi
selalu segaris dengan khatulistiwa. Saturnus
terselubungi oelh atmosfer yang sangat pekat
yang terdiri dari Hidrogen dan sedikit Metana
dan kristal amoniak beku.
Saturnus memerlukan waktu 29,5 tahun bumi
dan masa rotasi 10 jam 40 menit. Saturnus
mempunyai 17 satelit yaitu : Titan, Rhea,
Lapetus, Diane, Tethys, Mimas, Encaledus,
Hyperion, Poebe, Janus, Epimetheus, Atlas,
Prometheus, Pandora, Telestro, Caypso dan
Helena.

137
7. Uranus : Uranus merupakan planet ketujuh dari
matahari dengan ciri yang menonjol adalah
warnanya yang hijau dan mempunyai poros
kemiringan 98º terhadap tegak lurus. Uranus
memerlukan waktu 84 tahun bumi dan masa
rotasi 17 jam 14 menit.
Saturnus mempunyai 15 satelit yaitu: Ariel,
Umbriel, Titania, Oberon, Miranda, Cordelia,
Ophelia, Bianca, Cressida, Desdemona, Juliet,
Portia, Rolsalind, Belinda dan Puck.
8. Neptunus : Neptunus merupakan planet kedelapan dari
matahari. Planet ini mempunyai cahaya yang
sangat lemah, dan atmosfernya tersusun dari
Hidrogen dan Helium berwarna biru menyolok
serta awan tebal dari gas metana.
Neptunus mempunyai masa revolusi 164,79
tahun bumi dan masa rotasi selama 16 jam 7
menit. Neptunus mempunyai 8 satelit yaitu :
Triton, Nereid, Proteus, Larissa, Despoina,
Galatea, Thalassa dan Naiad.

2.6 Apa itu Satelit?


Satelit adalah anggota tata surya yang ukurannya lebih kecil
daripada planet, berputar pada porosnya, beredar mengelilingi planet,
kemudian bersama-sama dengan planet, berputar mengelilingi matahari.
Satelit melakukan tiga gerakan, yaitu berputar pada porosnya, berevolusi
mengelilingi planet, dan berevolusi bersama planet mengelilingi
matahari. Satelit ada dua macam yaitu:
a. Satelit alamiah yaitu satelit alamiah sudah ada dalam tata surya dan
bukan buatan manusia. contoh satelit alam adalah bulan.
b. Satelit buatan yaitu satelit yang sengaja dibuat oleh manusia yang
memasuki ruang angkasa masuk ke orbit bumi, baik yang berawak
maupun yang tidak berawak.
Satelit alami untuk tiap-tiap planet telah disebutkan dalam sub bab
planet-planet. Sedangkan satelit buatan berguna untuk :
a. Satelit astronomi: satelit yang digunakan untuk mengamati planet,
galaksi, dan benda luar angkasa lainnya.
b. Satelit komunikasi: satelit buatan yang dipasang di angkasa dengan
tujuan telekomunikasi.
c. Satelit pengamat bumi:satelit yang dirancang khusus untuk
mengamati bumi seperti pengamatan lingkungan, meteorologi,
pembuatan peta, dan lain sebagainya.
d. Satelit navigasi: satelit yang menggunakan sinyal radio yang
disalurkan ke penerima dipermukaan tanah untuk menentukan lokasi
sebuah titik dipermukaan bumi seperti mengukur jarak antar
bangunan.

138
e. Satelit mata-mata: satelit pengamat bumi yang digunakan untuk tujuan
militer atau mata-mata.
f. Satelit cuaca: satelit yang diguanakan untuk mengamati cuaca dan iklim
di bumi.
Satelit Indonesia adalah satelit palapa dan disingkat SKSD (Sistem
Komunikasi Satelit Domestik) Palapa. Pusat pengendali satelit Palapa
adalah di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.

2.7 Berupa Apakah Medium Antar Planet dalam


Sistem Tata Surya?
Di samping cahaya, matahari juga secara berkesinambungan
memancarkan semburan partikel bermuatan (plasma) yang dikenal sebagai
angin surya. Semburan partikel ini menyebar keluar kira-kira pada
kecepatan 1,5 juta kilometer per jam, menciptakan atmosfer tipis
(heliosfer) yang merambah Tata Surya paling tidak sejauh 100 SA (lihat
juga heliopause). Kesemuanya ini disebut medium antarplanet.
Badai geomagnetis pada permukaan Matahari, seperti semburan
Matahari (solar flares) dan lontaran massa korona (coronal mass ejection)
menyebabkan gangguan pada heliosfer, menciptakan cuaca ruang angkasa.
Struktur terbesar dari heliosfer dinamai lembar aliran heliosfer
(heliospheric current sheet), sebuah spiral yang terjadi karena gerak rotasi
magnetis Matahari terhadap medium antarplanet. Medan magnet bumi
mencegah atmosfer bumi berinteraksi dengan angin surya. Venus dan
Mars yang tidak memiliki medan magnet, atmosfernya habis terkikis ke
luar angkasa. Interaksi antara angin surya dan medan magnet bumi
menyebabkan terjadinya aurora, yang dapat dilihat dekat kutub magnetik
bumi.
Heliosfer juga berperan melindungi Tata Surya dari sinar kosmik yang
berasal dari luar Tata Surya. Medan magnet planet-planet menambah
peran perlindungan selanjutnya. Densitas sinar kosmik pada medium
antarbintang dan kekuatan medan magnet Matahari mengalami perubahan
pada skala waktu yang sangat panjang, sehingga derajat radiasi kosmis di
dalam Tata Surya sendiri adalah bervariasi, meski tidak diketahui seberapa
besar.
Medium antar planet juga merupakan tempat beradanya paling tidak
dua daerah mirip piringan yang berisi debu kosmis. Yang pertama, awan
debu zodiak, terletak di Tata Surya bagian dalam dan merupakan penyebab
cahaya zodiak. Ini kemungkinan terbentuk dari tabrakan dalam sabuk
asteroid yang disebabkan oleh interaksi dengan planet-planet. Daerah
kedua membentang antara 10 SA sampai sekitar 40 SA, dan mungkin
disebabkan oleh tabrakan yang mirip tetapi tejadi di dalam Sabuk Kuiper.

139
Gambar 2.24 Lembar aliran heliosfer, karena gerak rotasi magnetis
Matahari terhadap medium antarplanet (Lang, 2011).

140
Asteroid dan
Komet
Terdapat banyak sistem dalam jagad raya ini. Salah satu sistem di
dalam galaksi Bima Sakti yang kita kenal adalah sistem Tata Surya.
Bumi, tempat yang ditempati oleh manusia merupakan salah satu
planet yang berada dalam sistem Tata Surya. Dalam Bab Sistem Tata
Surya ini akan mempelajari tentang:

1. Orbit dan Keadaan Fisis Asteroid, mempelajari tentang lintasan


orbit asteroid serta keadaan fisis asteroid.

2. Asteroid dan Permasalahan Mekanika Angkasa, mempelajari


tentang asteroid dan klasifikasinya serta mempelajari
permasalahan mekanika angkasa.

3. Penemuan Komet, mempelajari tentang penemuan komet.

4. Orbit dan Sifat Fisis Komet, mempelajari tentang lintasan orbit


komet dan sifa fisis komet.

 Ilustrasi di samping menunjukkan komet dengan orbitnya (Sumber


ilustrasi: Seeds, 2007).

141
Halaman ini sengaja dikosongi

142
Bab III
TUJUAN PERKULIAHAN:

Setelah melakukan Asteroid dan Komet


pembelajaran Asteroid dan
Komet, mahasiswa dapat
memahami topik:

3.1 Orbit dan Keadaan Fisis


Asteroid

3.2 Asteroid dan


Permasalahan Mekanika
Angkasa

3.3 Penemuan Komet

3.4 Orbit dan Sifat Fisis Komet

143
3.1 Bagaimana Orbit dan Keadaan Fisis Asteroid?
Orbit Asteroid
Kebanyakan asteroid terletak pada sebuah cincin besar antara
orbit Mars dan Jupiter . Sabuk utama terdiri lebih dari 200 asteroid
dengan diameter lebih besar dari 60 mil (100 kilometer). Para ilmuwan
memperkirakan sabuk asteroid juga berisi lebih dari 750.000 asteroid
dengan diameter lebih besar dari tiga-perlima dari satu mil (1 kilometer)
dan jutaan yang lebih kecil. Tidak semua benda angkasa di sabuk asteroid
utama adalah asteroid, misalnya Ceres yang pernah diusulkan sebagai
sebuah asteroid, kini dianggap sebagai planet kerdil.

Gambar 3.1 Diagram ini menunjukkan posisi asteroid yang dikenal di dalam atau dekat
dengan orbit Yupiter pada hari tertentu. Meskipun asteroid merupakan benda kecil dan
terletak berjauhan, sebagian besar benda-benda tersebut berada di tata surya bagian dalam
(Seeds, 2007).

Banyak asteroid terletak di luar sabuk utama. Misalnya, sejumlah


asteroid yang disebut Trojan terletak di sepanjang jalur orbit Jupiter. Tiga
kelompok asteroid (Atens, Amors, dan Apolos) yang

144
dikenal dekat orbit Bumi di tata surya bagian dalam, kadang-kadang
melintasi jalur Mars dan Bumi.

Gambar 3.2 Di sini kurva merah menunjukkan jumlah asteroid pada jarak yang berbeda terhadap matahari. Batang
ungu menandakan Kirkwoof gaps, di mana di sana terdapat sedikit asteroid. Catatan bahwa gap ini sesuai dengan
resonansi dengan orbit gerak Yupiter (Seeds, 2007).

Keadaan Fisis Asteroid


Objek di sabuk asteroid utama memiliki ukuran yang sangat
bervariasi. Sebagian besar asteroid jauh lebih kecil dan berbentuk tidak
beraturan, asteroid kecil tersebut merupakan sisa proses planetesimal yang
bertahan hidup atau potongan tubuh yang lebih besar.

Gambar 3.3 Ukuran relatif dan pendekatan bentuk dari asteroid


terbesar ditunjukkan di sini dibandingkan dengan ukuran bulan.
Asteroid lebih kecil dapat memiliki bentuk yang sangat tidak teratur
(Seeds, 2007).

Ceres adalah objek terbesar di sabuk asteroid, dengan diameter 975


km (610 mil). Objek terbesar kedua di sabuk asteroid adalah asteroid 2
Pallas dan 4 Vesta, dengan diameter lebih dari 500 km (300 mil). Biasanya
hanya Vesta yang merupakan asteroid di sabuk utama yang bisa terlihat
dengan mata telanjang. Namun, pada beberapa kesempatan langka, sebuah
asteroid dekat Bumi bisa terlihat dalam waktu singkat tanpa bantuan
teknis.

145
Massa dari semua obyek dari sabuk asteroid utama (antara orbit
Mars dan Jupiter) diperkirakan sekitar 3,0-3,6×1021 kg, atau sekitar 4
persen dari massa Bulan. Dari jumlah ini, Ceres terdiri dari 0,95×1021 kg,
beberapa persen dari total 32. Selanjutnya, tiga obyek yang paling besar,
Vesta (9%), Pallas (7%), dan Hygiea (3%) , membawa angka ini sampai
51%, sedangkan tiga setelah itu, 511 Davida (1.2%), 704 Interamnia
(1,0%), dan 52 Europa (0,9%), hanya menambah 3% dari total massa.
Jumlah asteroid kemudian meningkat dengan cepat karena penurunan
massa masing-masing.
Komposisi fisik asteroid yang bervariasi pada sebagian besar kasus
kurang dipahami. Ceres tampaknya terdiri dari inti berbatu ditutupi oleh
mantel dingin, sedangkan Vesta diperkirakan memiliki inti nikel-besi,
olivin mantel, dan kerak basaltik 10 Hygiea. Namun, yang tampaknya
memiliki komposisi seragam primitif dari chondrite karbonan, dianggap
tidak dibedakan sebagai asteroid terbesar.
Asteroid mengandung jejak-asam amino dan senyawa organik
lainnya. Hanya satu asteroid, 4 Vesta, yang memiliki permukaan
reflektif, biasanya terlihat dengan mata telanjang, dan ini hanya di langit
sangat gelap ketika posisinya bagus. Jarang, asteroid kecil lewat dekat
Bumi bisa saja terlihat dengan mata telanjangdalam waktu yang singkat.
Komposisi dihitung dari tiga sumber utama: Albedo, spektrum
permukaan, dan kepadatan. Yang terakhir hanya bisa ditentukan secara
akurat dengan mengamati orbit bulan asteroid. Sejauh ini, setiap asteroid
dengan bulan-bulan telah berubah menjadi tumpukan puing,
konglomerasi longgar batu dan logam yang mungkin setengah ruang
kosong berdasarkan volume. Asteroid sebagian besar berdiameter 280
km, dan termasuk 121 Hermione (268×186×183 km), dan 87 Sylvia
(384×262×232 km).

Gambar 3.4 Asteroid setelah bertumbukan (Seeds, 2007)


/
Secara umum, sifat fisis asteroid dapat dicatat dalam empat poin
penting, yaitu:
a. Sebagian besar asteroid memiliki bentuk tidak teratur ditukar dengan
dampak kawah tampak tumpukan puing-puing dari bagian yang rusak.

146
b. Beberapa asteroid memiliki objek ganda atau memiliki bulan kecil
dalam orbit di sekitarnya. Hal ini disesuaikan dengan bukti dari
tumbukan antar asteroid.
c. Asteroid yang lebih besar menunjukkan sedikit aktivitas geologi di
permukaannya yang mungkin dikarenakan aktivitas vulkanik saat
asteroid masih muda.
d. Asteroid dapat diklasifikasikan berdasarkan albedo dan warna untuk
mengungkapkan petunjuk komposisinya.

3.2 Apakah Asteroid itu? Bagaimanakah


Permasalahan Mekanika Angkasa?
Istilah "asteroid" diterapkan untuk semua obyek astronomi yang
mengorbit Matahari yang tidak memiliki karakteristik dari suatu komet
aktif atau planet. Obyek kecil di luar tata surya ditemukan memiliki
komposisi berbeda dari objek historis disebut asteroid.
Ada jutaan asteroid, dan seperti kebanyakan benda kecil lainnya di
Tata Surya, asteroid dianggap sisa-sisa planetesimal, bahan dalam nebula
Matahari muda yang belum tumbuh cukup besar untuk membentuk planet.
Sebagian besar asteroid mengorbit di sabuk utama antara orbit Mars dan
Jupiter, namun banyak asteroid yang memiliki berbeda dengan populasi
yang signifikan termasuk Jupiter Trojans dan asteroid dekat Bumi.
Asteroid Individu dikategorikan dengan spektrum karakteristik, dengan
mayoritas jatuh ke dalam tiga kelompok utama: C-type, S-jenis, dan M-
tipe. Biasanya ini diidentifikasi dengan komposisi karbon, batu, dan logam
masing-masing.
Asteroid umumnya diklasifikasikan menurut dua kriteria:
karakteristik orbitnya, dan fitur spektrum reflektansinya.
a. Klasifikasi Orbital
Banyak asteroid telah dikelompokkan berdasarkan karakteristik
orbitnya. Sekitar 30% sampai 35% dari benda di sabuk utama merupakan
kelompok dinamik yang memiliki asal mula yang sama dalam tabrakan
masa lalu antara asteroid. Sebuah kelompok juga telah dikaitkan dengan
planet kerdil Haumea Plutoid.
b. Kuasi-satelit dan objek tapal kuda
Beberapa asteroid memiliki orbit tapal kuda yang tidak biasa (co-
orbital) dengan Bumi atau planet lain. Contohnya adalah Cruithne 3753
dan 2002 AA29. Contoh pertama dari jenis pengaturan orbital ditemukan
antara Saturnus bulan Epimetheus dan Janus.
Adakalanya benda tapal kuda sementara menjadi kuasi-satelit selama
beberapa dekade atau beberapa ratus tahun, sebelum kembali ke status
sebelumnya. Baik Bumi dan Venus diketahui telah kuasi-satelit. benda
tersebut, jika dikaitkan dengan Bumi atau Venus atau bahkan hipotetis
Mercury, adalah kelas khusus dari asteroid Aten. Namun, objek tersebut
dapat dikaitkan dengan planet luar juga.
c. Klasifikasi Spektral
Pada tahun 1975, sebuah sistem taksonomi asteroid berdasarkan
warna, Albedo, dan bentuk spektral dikembangkan oleh Clark R.

147
Chapman, David Morrison, dan Ben Zellner. Sifat ini dianggap sesuai
dengan komposisi bahan permukaan asteroid. Sistem klasifikasi asli
memiliki tiga kategori: jenis C untuk objek karbon gelap (75% dari
asteroid diketahui), jenis S untuk membatu (silicaceous) obyek (17% dari
asteroid diketahui), dan jenis U bagi yang tidak cocok dengan baik C atau
S. Klasifikasi ini telah dilakukan sejak diperluas untuk mencakup banyak
jenis asteroid lainnya. Jumlah perkembangan asteroid kini lebih banyak
dipelajari.

Dua taksonomi yang paling banyak digunakan adalah klasifikasi


Tholen dan klasifikasi SMASS. Klasifikasi Tholen diusulkan pada tahun
1984 oleh David J. Tholen, dan didasarkan pada data yang dikumpulkan
dari survei asteroid delapan-warna dilakukan pada 1980-an. Hal ini
mengakibatkan 14 kategori asteroid. Pada tahun 2002, Survei
spektroskopi sabuk utama asteroid kecil menghasilkan versi modifikasi
dari taksonomi Tholen dengan 24 jenis yang berbeda. Kedua sistem
memiliki tiga kategori C, S, dan asteroid X, dimana X terdiri dari
sebagian besar asteroid logam, seperti jenis-M. Ada juga beberapa kelas
yang lebih kecil. Perhatikan bahwa proporsi asteroid diketahui jatuh ke
dalam berbagai jenis spektral tidak selalu mencerminkan proporsi dari
semua asteroid yang jenis itu, beberapa jenis lebih mudah untuk
mendeteksi daripada yang lain.

3.3 Bagaimana Komet Ditemukan?


Sebelum penemuan teleskop, komet tampaknya muncul dari mana saja
di langit dan secara bertahap menghilang dari pandangan. Munculnya
komet biasanya dianggap pertanda buruk kematian raja atau orang yang
mulia, atau bencana datang, atau bahkan ditafsirkan sebagai serangan
oleh makhluk surgawi terhadap penduduk terrestrial. Dari sumber kuno,
seperti tulang oracle Cina, diketahui bahwa penampakan komet telah
diperhatikan oleh manusia selama ribuan tahun. Beberapa pihak
berwenang menafsirkan referensi untuk "bintang jatuh" di Gilgames,
Kitab Wahyu, dan Kitab Henokh sebagai referensi untuk komet, atau
mungkin bolides. Satu rekaman tua yang sangat terkenal dari komet
adalah munculnya Komet Halley di Bayeux Tapestry, yang mencatat
penaklukan Norman dari Inggris pada AD 1066.
Dalam buku pertamanya, Meteorologi, Aristoteles mengemukakan
pandangan komet yang akan memegang kekuasaan di Barat berpikir
selama hampir dua ribu tahun. Dia menolak ide-ide para filsuf beberapa
sebelumnya bahwa komet adalah planet-planet, atau setidaknya sebuah
fenomena yang berhubungan dengan planet-planet, dengan alasan bahwa
sementara planet terbatas gerak mereka ke lingkaran Zodiac, komet bisa
muncul di bagian manapun dari langit. Sebaliknya, ia menggambarkan
komet sebagai fenomena dari atmosfer atas, di mana panas, embusan
napas kering dikumpulkan dan kadang-kadang meledak menjadi api.
Aristoteles tidak hanya bertanggung jawab untuk mekanisme penemuan
komet, tetapi juga meteor, aurora borealis, dan

148
bahkan Bima Sakti. Beberapa filsuf klasik kemudian melakukan sengketa
pandangan tentang komet. Seneca Muda mengamati bahwa komet
bergerak secara teratur melalui langit dan tidak terganggu oleh angin,
perilaku yang lebih khas surgawi dari fenomena atmosfer. Sementara
Senca mengakui bahwa planet-planet lain tidak muncul di luar Zodiac, ia
melihat ada alasan bahwa objek planet-seperti tidak bisa bergerak melalui
bagian dari langit. Namun demikian, sudut pandang Aristoteles terbukti
lebih berpengaruh, dan tidak sampai abad 16 telah diperlihatkan bahwa
komet ada di luar atmosfer bumi.
Pada 1577, sebuah komet terang terlihat selama beberapa bulan. Para
astronom Denmark Tycho Brahe menggunakan pengukuran posisi komet
oleh dirinya sendiri dan lainnya secara geografis terpisah, pengamat untuk
menentukan bahwa komet tidak memiliki pengukuran paralaks. Dalam
ketepatan pengukuran, hal ini tersirat komet harus setidaknya empat kali
lebih jauh dari bumi dibandingkan bulan.

Studi Orbital
Meskipun telah dibuktikan keberadaan komet di langit, pertanyaan
tentang bagaimana komet bergerak melalui langit diperdebatkan sebagian
besar ahli pada abad berikutnya. Bahkan setelah Johannes Kepler (1609)
telah menentukan bahwa planet-planet bergerak mengelilingi matahari
dalam orbit elips, ia enggan untuk percaya bahwa hukum-hukum yang
mengatur gerakan planet-planet juga harus mempengaruhi gerak benda
langit lainnya. Kepler percaya bahwa perjalanan komet di antara planet
sepanjang garis lurus. Galileo Galilei, meskipun Copernicanist setia,
menolak pengukuran paralaks Tycho dan berpegang pada gagasan
Aristotelian, komet bergerak pada garis lurus melalui atmosfer.
Saran pertama bahwa hukum Kepler tentang gerak planet harus
diterapkan pada komet dibuat oleh William sekitar tahun 1610. Dalam
dekade berikutnya, astronom laintermasuk Pierre Petit, Giovanni Borelli,
Adrien Auzout, Robert Hooke, Johann Baptis Cysat, Giovanni Domenico
Cassini berpendapat bahwa orbit komet melengkung terhadap matahari di
jalur elips atau parabola, sementara yang lain, seperti Christian Huygens
dan Johannes Hevelius, mendukung gerak linier komet.
Perdebatan ini diselesaikan oleh komet terang yang ditemukan oleh
Gottfried Kirch pada tanggal 14 November 1680. Para astronom di seluruh
Eropa melacak posisinya selama beberapa bulan. Tahun 1681, pendeta
Saxon Georg Samuel Doerfel menetapkan bukti bahwa komet adalah
benda-benda langit bergerak dengan lintasan parabola dan matahari adalah
fokus. Kemudian Isaac Newton, dalam bukunya Principia Mathematica
dari 1687, membuktikan bahwa obyek bergerak di bawah pengaruh hukum
invers kuadrat gravitasi universal harus menelusuri orbit berbentuk seperti
salah satu bagian kerucut, dan dia menunjukkan bagaimana untuk
menyesuaikan jalan komet melalui langit ke orbit parabola, komet pada
1680 digunakan sebagai contoh.
Pada tahun 1705, Edmond Halley menerapkan metode Newton untuk
23 penampakan cometary yang terjadi antara 1337 dan 1698. Ia mencatat
bahwa tiga dari ini, maka komet 1531, 1607, dan 1682, memiliki unsur-
unsur orbital sangat mirip, dan ia lebih mampu untuk

149
menjelaskan sedikit perbedaan dalam orbitnya dalam hal gangguan
gravitasi oleh Jupiter dan Saturnus. Tiga penampakan komet yang sama,
membuat para ahli memprediksikan bahwa hal itu akan muncul lagi di
1758-9. (Sebelumnya, Robert Hooke telah mengidentifikasi komet dari
1664 dengan yang 1618, sementara Giovanni Domenico Cassini telah
menemukan identitas komet dari 1577, 1665, dan 1680 Keduanya benar)
tanggal pengembalian diperkirakan Halley kemudian disempurnakan
oleh tim dari tiga matematikawan Perancis. Alexis Clairaut, Yusuf
Lalande, dan Nicole-Reine Lepaute, yang diperkirakan tanggal 1759
perihelion komet ke dalam keakuratan satu bulan . Ketika komet muncul
kembali sesuai prediksi, komet itu dikenal sebagai Komet Halley (dengan
sebutan hari terakhir 1P/Halley). penampilan berikutnya nya akan di
2061.
Di antara komet dengan periode yang cukup singkat telah diamati
beberapa kali dalam catatan sejarah, Komet Halley adalah unik karena
secara konsisten cukup terang untuk dapat dilihat dengan mata telanjang
saat melewati Tata Surya bagian dalam. Karena konfirmasi periodisitas
Komet Halley, beberapa komet berkala lainnya telah ditemukan melalui
penggunaan teleskop. Komet kedua ditemukan memiliki orbit periodik
adalah Encke Komet (dengan penunjukan resmi 2P/Encke). Selama
periode 1819-1821 matematikawan Jerman dan fisikawan Johann Franz
Encke menghitung orbit untuk serangkaian komet yang telah diamati
pada tahun 1786, 1795, 1805, dan 1818, dan ia menyimpulkan bahwa
komet yang muncul pada tahun-tahun tersebut adalah komet yang sama,
dan berhasil memprediksikan kembalinya tahun 1822. Pada tahun 1900,
tujuh belas komet telah diamati melalui lebih dari satu bagian melalui
perihelions, dan kemudian diakui sebagai komet periodik. Pada April
2006, 175 komet telah mencapai perbedaan ini, walaupun beberapa ini
tampaknya telah hancur atau hilang.

Studi tentang Karakteristik Fisik


Isaac Newton menggambarkan komet sebagai badan padat kompak
dan tahan lama bergerak dalam orbit miring, dan ekor komet sebagai
aliran uap tipis yang dipancarkan oleh inti, tersulut atau dipanaskan oleh
matahari. Newton menduga bahwa komet adalah asal komponen
pendukung kehidupan udara. Pada awal abad ke-18, beberapa ilmuwan
telah membuat hipotesis yang benar untuk komposisi fisik komet.
Pada tahun 1755, Immanuel Kant berhipotesis bahwa komet terdiri
dari beberapa zat volatil, yang penguapannya menimbulkan penampakan
yang luar biasa di dekat perihelion. Pada tahun 1836, Matematikawan
Jerman Friedrich Wilhelm Bessel, setelah mengamati aliran uap selama
penampakan Komet Halley pada tahun 1835, mengusulkan bahwa
pasukan jet dari penguapan bahan bisa menjadi cukup besar dan secara
signifikan mengubah orbit sebuah komet, dan ia berpendapat bahwa
gerakan-gerakan non-gravitasi dari Encke Komet dihasilkan dari
fenomena ini.
Namun, lain yang berhubungan dengan penemuan komet dibayangi
ide-ide selama hampir satu abad. Selama periode 1864-1866 astronom
Italia Giovanni Schiaparelli dihitung orbit meteor Perseid, dan

150
berdasarkan kesamaan orbit, benar hipotesis bahwa Perseids adalah
fragmen Komet Swift-Tuttle. Hubungan antara komet dan hujan meteor
secara dramatis menggarisbawahi peristiwa pada tahun 1872, meteor
shower besar terjadi dari orbit Komet Biela, yang telah diamati dapat
dibagi menjadi dua bagian selama 1846 kemunculannya, dan tidak pernah
terlihat lagi setelah 1852. Sebuah "bank kerikil" model struktur komet
muncul, menurut yang komet terdiri dari tumpukan longgar objek berbatu
kecil, dilapisi dengan lapisan es.
Pada pertengahan abad kedua puluh, model ini mengalami beberapa
kekurangan: khususnya, gagal menjelaskan bagaimana suatu benda
angkasa yang hanya berisi es sedikit dapat terus memakai tampilan
cemerlang uap menguap setelah beberapa bagian perihelion. Pada tahun
1950, Fred Lawrence Whipple mengusulkan bahwa bukannya obyek
berbatu yang mengandung es, komet adalah benda dingin yang
mengandung beberapa debu dan batu. Ini "bola salju kotor" model segera
menjadi diterima dan tampaknya didukung oleh pengamatan sebuah
armada pesawat ruang angkasa (termasuk probe Giotto Badan Antariksa
Eropa dan Uni Soviet Vega Vega 1 dan 2) yang terbang melalui koma dari
Komet Halley pada tahun 1986, difoto inti, dan diamati jet dari penguapan
material.

Temuan Terbaru
Debat terus berlangsung tentang berapa banyak es di komet. Pada
tahun 2001, 1 tim NASA's Deep Space yang bekerja di NASA Jet
Propulsion Lab, memperoleh gambar resolusi tinggi dari permukaan
Komet Borrelly. Mereka mengumumkan bahwa komet Borrelly
penampakan yang berbeda, namun memiliki permukaan yang panas dan
kering. Asumsi bahwa komet mengandung es air dan lain yang dipimpin
Dr Laurence Soderblom dari US Geological Survey mengatakan,
"Spektrum menunjukkan bahwa permukaan panas dan kering. Hal ini
mengejutkan karena kita melihat tidak ada jejak air es". Namun, ia
melanjutkan dengan menunjukkan bahwa es mungkin tersembunyi di
bawah kerak "baik permukaan telah dikeringkan oleh panas matahari dan
pematangan atau mungkin bahan jelaga sangat gelap yang meliputi masker
permukaan Borrelly's jejak es permukaan".
Pada bulan Juli 2005, Deep Impact probe mengecam sebuah kawah di
Komet Tempel 1 untuk mempelajari interiornya. Misi ini membuahkan
hasil menunjukkan bahwa sebagian besar air es komet di bawah
permukaan, dan bahwa reservoir feed jet air menguap yang membentuk
koma dari Tempel 1. Berganti nama EPOXI, itu membuat flyby dari
Komet Hartley 2 pada tanggal 4 November 2010. Wahana Stardust,
diluncurkan pada bulan Februari 1999, dikumpulkan partikel koma dari
Komet Wild 2 pada bulan Januari 2004, dan sampel kembali ke bumi
dalam kapsul pada bulan Januari 2006. Claudia Alexander, seorang
ilmuwan program untuk Rosetta dari NASA Jet Propulsion Laboratory
yang telah memodelkan komet selama bertahun-tahun, dilaporkan kepada
space.com tentang keheranannya terhadap di jumlah jet, penampilan di sisi
gelap komet serta di sisi terang, mereka mampu untuk mengangkat

151
potongan besar batu dari permukaan komet dan fakta bahwa komet Wild
2 bukan tumpukan puing longgar disemen.
Data yang lebih baru dari misi Stardust menunjukkan bahwa bahan-
bahan diambil dari ekor Wild 2 adalah kristal dan hanya bisa saja
"dilahirkan dalam api". Walaupun komet terbentuk di luar Tata Surya,
radial pencampuran bahan selama awal pembentukan Tata Surya
diperkirakan memiliki materi yang didistribusikan di seluruh disk proto-
planet, sehingga komet juga mengandung butiran kristal yang terbentuk
dalam sistem tata surya panas. Hal ini terlihat dalam spektrum komet
serta dalam misi sampel kembali. Hasil penemuan baru ini telah
memaksa para ilmuwan untuk memikirkan kembali sifat komet dan
perbedaannya dengan asteroid. "Debu komet mirip material asteroid."
Misi ruang angkasa yang akan datang akan menambahkan rincian
yang lebih besar untuk pemahaman kita tentang apa komet yang terbuat
dari apa komet itu. Probe Rosetta Eropa saat ini dalam perjalanan ke
Komet Churyumov-Gerasimenko, pada tahun 2014 itu akan masuk ke
orbit komet dan tempat pendaratan kecil di permukaannya.

3.4 Bagaimana Orbit dan Karakteristik Fisis Komet?


Orbit Komet

Gambar 3.5 Pemnampakan komet dilihat


dari bumi (Seeds, 2007).

Komet adalah benda langit yang mengelilingi matahari dengan garis


edar berbentuk lonjong atau parabolis atau hiperbolis. "Simbol astronomi
untuk komet adalah (☄), yang terdiri dari disk kecil dengan tiga ekstensi
mirip rambut. Komet terdiri dari kumpulan debu dan gas yang membeku
pada saat berada jauh dari matahari. Ketika mendekati matahari, sebagian
bahan penyusun komet menguap membentuk kepala gas dan ekor. Komet
juga mengelilingi matahari, sehingga termasuk dalam sistem tata surya.
Komet merupakan gas pijar dengan garis edar yang berbeda-beda.
Panjang komet dapat mencapai jutaan km.

152
Beberapa komet menempuh jarak lebih jauh di luar angkasa daripada
planet. Komet membutuhkan ribuan tahun untuk menyelesaikan satu kali
mengorbit matahari. Komet sering disebut sebagai bintang berekor.
Sebetulnya pernyataan bintang disini tidak tepat. Komet terbentuk dari es
dan debu.
Bagian-bagian komet terdiri dari inti, koma, awan hidrogen, dan ekor.
Inti komet adalah sebongkah batu dan salju. Ekor komet arahnya selalu
menjauh dari matahari. Bagian ekor suatu komet terdiri dari dua macam,
yaitu ekor debu dan ekor gas. Bentuk ekor debu tampak berbentuk
lengkungan, sedangkan ekor gas berbentuk lurus. Koma atau ekor komet
tercipta saat mendekati matahari yaitu ketika sebagian inti meleleh
menjadi gas. Angin matahari kemudian meniup gas tersebut sehingga
menyerupai asap yang mengepul ke arah belakang kepala komet. Ekor
inilah yang terlihat bersinar dari bumi. Sebuah komet kadang mempunyai
satu ekor dan ada yang dua atau lebih.

Gambar 3.6 Es komet menguap, itu karena komet menabrak material


yang tersebar di sepanjang orbitnya. Jika Bumi melewati material
tersebut, meteor akan tampak. Dalam gambar ini ditunjukkan Komet
Encke yang bersinar di sepanjang orbitnya dalam panjang gelombang
infra merah karena dihangatkan oleh matahari. Hujan meteor Taurid
terjadi setiap Oktober ketika bumi melintasi orbit komet ini (Seeds,
2007).

Berdasarkan bentuk dan panjang lintasannya, komet dapat


diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
a. Komet berekor panjang, yaitu komet dengan garis lintasannya sangat
jauh melalui daerah-daerah yang sangat dingin di angkasa sehingga
berkesempatan menyerap gas-gas daerah yang dilaluinya. Ketika
mendekati matahari, komet tersebut melepaskan gas sehingga
membentuk koma dan ekor yang sangat panjang. Contohnya, komet
Kohoutek yang melintas dekat matahari setiap 75.000 tahun sekali dan
komet Halley setiap 76 tahun sekali.

153
b. Komet berekor pendek, yaitu komet dengan garis lintasannya sangat
pendek sehingga kurang memiliki kesempatan untuk menyerap gas di
daerah yang dilaluinya. Ketika mendekati matahari, komet tersebut
melepaskan gas yang sangat sedikit sehingga hanya membentuk koma
dan ekor yang sangat pendek bahkan hampir tidak berekor. Contohnya
komet Encke yang melintas mendekati matahari setiap 3,3 tahun
sekali.
Sekarang telah dikenal banyak nama komet, antara lain sebagai
berikut:
a. Komet Kohoutek.
b. Komet Arend-Roland dan Maikos yang muncul pada tahun 1957.
c. Komet Ikeya-Seki, ditemukan pada bulan September 1965 oleh dua
astronom Jepang, yaitu Ikeya dan T. Seki.
d. Komet Shoemaker-Levy 9 yang hancur pada tahun 1994.
e. Komet Hyakutake yang muncul pada tahun 1996.
f. Komet Hale-bopp yang muncul pada tahun 1997 dan lainnya.

Karakteristik Fisik Komet


Komet memiliki beberapa karakteristik fisik. Komet memiliki dua
macam ekor yang terbentuk oleh angin matahari dan radiasi matahari.
Gas dan debu dilepas oleh inti es komet yang menghasilkan kepala atau
koma dan kemudian ditiup keluar. Gas menghasilkan sebuah jenis I atau
ekor gas, dan debu menghasilkan jenis II atau ekor debu. Catatan penting
untuk debu komet. Debu komet tidak hanya menghasilkan ekor tetapi
menyebar ke seluruh sisem tata surya. Bukti menunjukkan bahwa inti
komet rapuh dan dapat pecah berkeping-keping. Selanjutnya akan
dijelaskan karakteristik tiap bagian komet.

a. Inti Komet
Inti Komet terdiri dari batuan, debu, air es, dan gas beku seperti
karbon monoksida, karbon dioksida, metan dan amonia. Karena massa
yang rendah, inti komet tidak menjadi bola oleh gravitasinya sendiri, dan
dengan demikian telah tidak teratur bentuk. Secara resmi, menurut
pedoman NASA, komet harus paling sedikit 85% es untuk dianggap
sebagai suatu komet yang sebenarnya. Inti komet sering populer
digambarkan sebagai "bola salju kotor", meskipun pengamatan terakhir
telah menunjukkan permukaan berdebu atau berbatu kering,
menunjukkan bahwa es yang tersembunyi di bawah lapisan kulit. Komet
juga mengandung berbagai senyawa organik, di samping gas telah
disebutkan, ini mungkin termasuk methanol, hidrogen sianida,
formaldehida, etanol dan etana, dan mungkin molekul yang lebih
kompleks seperti panjang rantai hidrokarbon dan asam amino. Pada
tahun 2009, itu menegaskan bahwa asam amino glisin telah ditemukan
dalam debu komet ditemukan oleh misi Stardust NASA.

154
Gambar 3.7 Inti komet Tempel 1 tampak padat di foto, namun ketika benda
angkasa menabraknya, sejumlah besar debu akan dikeluarkan oleh inti (Seeds,
2007).

Anehnya, inti komet adalah salah satu obyek reflektif yang ditemukan
dalam tata surya kita. Probe ruang Giotto menemukan bahwa inti Komet
Halley mencerminkan sekitar empat persen dari cahaya yang jatuh di
atasnya, dan Deep Space 1 menemukan bahwa permukaan Komet Borrelly
mencerminkan hanya 2,4% menjadi 3,0% dari cahaya yang jatuh di
atasnya; perbandingan, aspal mencerminkan tujuh persen dari cahaya yang
jatuh di atasnya. Diperkirakan bahwa senyawa organik kompleks
merupakan bahan permukaan gelap. Permukaan komet yang sangat gelap
memungkinkannya untuk menyerap panas yang diperlukan untuk
mendorong proses outgassing.

b. Coma dan ekor


Di luar tata surya, komet tetap beku dan sangat sulit atau tidak
mungkin untuk dideteksi dari Bumi karena ukurannya yang kecil. Statistik
deteksi inti komet tidak aktif di sabuk Kuiper telah dilaporkan dari
pengamatan Hubble Space Telescope, tetapi deteksi ini telah
dipertanyakan, dan belum secara independen dikonfirmasi. Saat sebuah
komet mendekati tata surya bagian dalam, radiasi matahari menyebabkan
bahan volatile dalam komet menguapkan dan mengeluarkan aliran inti,
kemudian membawa debu pergi. Aliran dari debu dan gas menghasilkan
bentuk suasana, besar sangat lemah di sekitar komet yang disebut koma,
dan gaya yang diberikan pada koma oleh tekanan radiasi matahari dan
angin matahari menyebabkan terbentuk ekor besar yang jauh dari
matahari.

155
Baik koma dan ekor yang diterangi oleh Matahari mungkin menjadi
terlihat dari Bumi ketika sebuah komet melewati tata surya bagian dalam,
debu mencerminkan sinar matahari langsung dan gas bercahaya karena
ionisasi. Sebagian besar komet terlalu redup untuk dilihat tanpa bantuan
teleskop, tetapi masing-masing komet dalam beberapa dekade terakhir
ini menjadi cukup terang untuk dapat dilihat dengan mata telanjang.
Kadang-kadang komet mungkin mengalami ledakan besar dan tiba-tiba
gas dan debu (ukuran koma) sangat meningkat. Hal ini terjadi pada tahun
2007 yang menjadi Comet Holmes.
Aliran debu dan gas pada setiap bentuk ekor yang berbeda,
menunjuk ke arah yang sedikit berbeda. Ekor debu yang tertinggal dalam
orbit komet sedemikian rupa sehingga sering berbentuk melengkung
yang disebut ekor tipe II atau ekor debu. Pada saat yang sama, ion atau
ekor tipe I, terbuat dari gas, selalu menunjuk langsung menjauh dari
Matahari, gas ini lebih kuat dipengaruhi oleh angin matahari daripada
debu, berikut medan magnet daripada lintasan orbit. Pada saat ekor
pendek menunjuk ke arah yang berlawanan ke ekor ion dan debu dapat
dilihat.

Gambar 3.8 Gambar cahaya tampak dibuat oleh pesawat ruang angkasa dan
Teleskop Ruang Angkasa Hubble menunjukkan bagaimana inti komet
menghasilkan sejumlah gas dari daerah di mana cahaya matahari menguapkan
es (Seeds, 2007).

Sedangkan inti padat komet umumnya kurang dari 50 km (31 mil),


koma mungkin lebih besar dari Matahari, dan ekor ion telah diamati
untuk memperpanjang satu unit astronomi (150 juta km) atau lebih.
Pengamatan antitails memberikan kontribusi signifikan terhadap
penemuan angin matahari. Ekor ion terbentuk sebagai hasil dari efek
fotolistrik, radiasi ultra-violet matahari yang bekerja pada partikel dalam
koma. Setelah partikel terionisasi, partikel-partikel tersebut mencapai
muatan listrik bersih positif yang pada gilirannya

156
menimbulkan sebuah "induksi magnetosfer" di sekitar komet. Komet dan
induksi medan magnet merupakan hambatan diluar aliran partikel angin
matahari. Kecepatan orbit relatif terhadap komet dan angin surya
supersonik, kejutan busur terbentuk hulu komet, dalam arah aliran angin
matahari. Dalam kejutan busur, konsentrasi ion Komet besar (disebut
"pick-up ion") berkumpul dan bertindak untuk menghasilkan medan
magnet matahari dengan plasma, seperti bidang baris "menggantung" di
sekitar komet membentuk ekor ion.
Jika muatan ekor ion cukup, maka garis-garis medan magnet yang
diperas bersama-sama ke titik pada beberapa jarak sepanjang ekor ion,
rekoneksi magnet terjadi. Ini mengarah ke "acara pemutusan ekor". ini
telah diamati pada beberapa kesempatan, satu peristiwa penting yang
dicatat pada tanggal 20 April 2007 ketika ekor ion Encke Komet benar-
benar terputus sementara komet melewati massa koronal ejeksi. Acara ini
diamati oleh probe ruang STEREO.

c. Koneksi ke meteor shower


Sebagai hasil dari outgassing, komet meninggalkan jejak puing padat.
Jika jalur komet melintasi jalan bumi, maka pada saat itu ada kemungkinan
akan hujan meteor karena bumi melewati jejak puing-puing. Hujan meteor
Perseid terjadi setiap tahun antara 9 Agustus dan 13 Agustus saat Bumi
melewati orbit komet Swift-Tuttle. Komet Halley adalah sumber shower
Orionid di bulan Oktober.

Karakteristik Orbital
Kebanyakan orbit komet memanjang elips yang membawanya dekat
dengan Matahari dan kemudian keluar mencapai lebih lanjut dari tata
surya. Komet sering diklasifikasikan menurut lamanya periode orbit:
semakin lama jangka waktu yang lebih panjang elips.

Gambar 3.9 Orbit komet (Seeds, 2007)

Periode pendek komet umumnya didefinisikan sebagai periode orbit


kurang dari 200 tahun. Komet biasanya mengorbit lebih-atau-kurang
dalam pesawat Ekliptika dalam arah yang sama dengan planet. Orbit

157
komet biasanya membawanya keluar ke daerah planet-planet luar
(Jupiter dan seterusnya) di aphelion, misalnya, aphelion dari Komet
Halley sedikit di luar orbit Neptunus. Pada kondisi ekstrem yang lebih
pendek, Encke Komet memiliki orbit yang tidak pernah dikatakan jauh
dari Matahari dari Jupiter. Jangka pendek komet selanjutnya dibagi ke
dalam keluarga Jupiter (jangka waktu kurang dari 20 tahun) dan keluarga
Halley (periode antara 20 dan 200 tahun).
Periode panjang komet memiliki orbit yang sangat eksentrik dan
jangka waktu antara 200 tahun ke ribuan atau bahkan jutaan tahun
Sebuah eksentrisitas yang lebih besar dari 1. Saat perihelion dekat tidak
selalu berarti bahwa komet akan meninggalkan tata surya. Misalnya,
Komet McNaught (C/2006 P1) memiliki eksentrisitas osculating
heliosentris dari zaman 1,000019 dekat bagian yang perihelion pada
bulan Januari 2007, tetapi terikat dengan Matahari dengan orbit kira-kira
92.600 tahun sejak eksentrisitas turun di bawah 1 ketika bergerak lebih
jauh dari matahari. Orbit masa depan sebuah komet periode panjang
benar diperoleh ketika orbit osculating dihitung pada zaman setelah
meninggalkan wilayah planet dan dihitung terhadap pusat massa dari tata
surya. Dengan definisi periode panjang gravitasi komet tetap terikat
dengan Matahari; komet yang dikeluarkan dari tata surya karena
melewati planet utama tidak lagi dipertimbangkan memiliki "periode".
Orbit komet periode panjang membawanya jauh melampaui planet-
planet luar di aphelia, dan bidang orbitnya dekat ekliptika. Periode komet
panjang seperti Komet Barat dan C/1999 F1 dapat memiliki jarak
apoapsis Barycentric hampir 70.000 AU dengan periode orbit
diperkirakan sekitar 6 juta tahun.

Gambar 3.10 Periode panjang komet tampaknya berasal dari


awan Oort. Benda yang jatuh menuju sistem tata surya dari
awan ini datang dari segala arah.

Penampakan komet tunggal mirip dengan komet periode panjang


karena memiliki lintasan parabola atau sedikit hiperbolik saat perihelion
dekat di Tata Surya bagian dalam. Namun, gangguan

158
gravitasi dari planet raksasa menyebabkan orbitnya berubah, dan ketika
komet tunggal berada di luar planet, eksentrisitasnya masih hiperbolik
dengan aphelion berbaring di luar Awan Oort luar. Semua komet dengan
orbit parabolik dan sedikit hiperbolik milik Tata Surya dan memiliki
periode orbit tertentu, umumnya ratusan ribu, atau jutaan tahun sebelum
terganggu ke sebuah pengusiran lintasan. Tidak ada komet dengan
eksentrisitas secara signifikan lebih besar dari satu telah diamati, sehingga
tidak ada konfirmasi pengamatan komet yang mungkin berasal dari luar
tata surya. Comet C/1980 E1 memiliki periode orbit sekitar 7,1 juta tahun
bagian perihelion sebelum 1982, tetapi pertemuan 1980 dengan Jupiter
mempercepat komet memberikan eksentrisitas terbesar (1,057) dari setiap
komet hiperbolik diketahui. Komet tidak diharapkan kembali ke tata surya
bagian dalam meliputi C/1980 E1, C/2000 U5, C/2001 Q4 (NEAT),
C/2009 R1, C/1956 R1, dan C/2007 F1 (LONEOS).
Beberapa pemerintah menggunakan komet istilah periodik untuk
mengacu pada setiap komet dengan orbit periodik (yaitu, semua komet
periode pendek ditambah semua komet periode panjang), sedangkan yang
lain menggunakannya berarti secara eksklusif komet periode pendek.
Demikian pula, meskipun arti harfiah dari komet non-periodik adalah
sama dengan "penampakan komet tunggal", beberapa menggunakannya
untuk semua komet yang tidak "periodik" dalam arti kedua (yaitu, juga
mencakup semua komet dengan jangka waktu lebih dari 200 tahun).
Baru-baru ini ditemukan sabuk komet utama dengan bentuk kelas
berbeda, yang mengorbit di orbit lingkaran lebih dalam dari sabuk asteroid.
Berdasarkan karakteristik orbit, komet periode pendek diperkirakan
berasal dari centaur dan Sabuk Kuiper/disk yang tersebar disk obyek di
wilayah-transneptunian sedangkan sumber komet periode panjang
diperkirakan menjadi jauh lebih jauh dari bola Awan Oort (setelah
astronom Belanda Jan Hendrik Oort berhipotesis tentang keberadaannya).
Kadang-kadang pengaruh gravitasi planet-planet luar (dalam hal objek
sabuk Kuiper) atau bintang-bintang terdekat (dalam hal objek Awan Oort)
dapat membuang salah satu dari benda-benda ini menjadi orbit elips yang
membawanya ke dalam terhadap Matahari, agar membentuk komet.
Berbeda dengan kembalinya komet periodik yang mengorbit telah
ditetapkan oleh pengamatan sebelumnya, munculnya komet baru dengan
mekanisme ini tidak dapat diprediksi.
Sejak orbit elips sering membawa komet dekat dengan planet raksasa,
komet tunduk pada gangguan gravitasi lebih lanjut. Komet periode pendek
menampilkan kecenderungan untuk aphelia komet bertepatan dengan jari-
jari orbit sebuah planet raksasa, dengan keluarga komet Jupiter menjadi
yang terbesar, seperti yang ditunjukkan histogram. Jelas bahwa komet
datang dari awan Oort yang orbitnya sangat dipengaruhi oleh gravitasi
planet raksasa sebagai hasil dari pertemuan antar benda ruang angkasa.
Jupiter adalah sumber dari gangguan terbesar, menjadi lebih dari dua kali
besar sebagai semua gabungan planet lainnya, selain menjadi tercepat
planet-planet raksasa. Gangguan ini mungkin kadang-kadang menangkis
komet periode panjang ke dalam periode orbit kurang, dengan Komet
Halley menjadi contoh kemungkinan ini.

159
Pengamatan dini telah mengungkapkan bahwa beberapa lintasan
benar-benar hiperbolik (non-periodik). Jika komet menyelimuti ruang
antar bintang, komet akan bergerak dengan kecepatan dari urutan yang
sama dengan kecepatan relatif dari bintang-bintang dekat Matahari
(beberapa puluh kilometer per detik). Jika objek memasuki tata surya,
objek tersebut akan memiliki total energi positif, dan akan memiliki
lintasan benar-benar hiperbolik. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa
mungkin ada empat komet hiperbolik per abad, dalam orbit Jupiter,
memberi atau mengambil satu dan mungkin dua perintah besar.
Sejumlah komet periodik yang ditemukan pada dekade sebelumnya
atau abad sebelumnya sekarang "hilang". Orbitnya tidak pernah dikenal
cukup baik untuk memprediksi penampilan masa depan. Namun, kadang-
kadang komet "baru" akan ditemukan dan pada saat perhitungan orbit
ternyata menjadi komet lama "hilang". Contohnya adalah Comet
11P/Tempel-Swift-LINEAR, ditemukan pada tahun 1869 tetapi tidak
teramati setelah 1908 karena gangguan oleh Jupiter. Komet itu tidak
ditemukan lagi sampai tidak sengaja ditemukan kembali oleh LINEAR
pada tahun 2001.

3.5 Kejadian Luar Angkasa yang Menakjubkan


Crab supernova 1054
Crab Supernova adalah sebuah supernova yang dilihat di Bumi
secara luas pada tahun 1054. Crab Supernova merupakan kejadian aneh
dan menakjubkan, dengan mudah dilihat mata telanjang di siang hari
selama 23 hari dan di langit malam selama 653 hari. Nenek moyang
bintang ini terletak di galaksi Bima Sakti pada jarak 6.300 tahun cahaya
dan meledak menjadi supernova dari core-collapse. Sisa-sisa ledakannya
sekarang dikenal sebagai Crab Nebula.

Gambar 3.11 Crab supernova 1054 (wikipedia.org)

160
Penampakan Leonid Meteor 17 November,1966
November 17, 1966 Leonid meteor menampakkan diri dan merupakan
penampakan terbesar yang pernah terjadi dari meteor ini. Dilaporkan
bahwa 150.000 meteor memasuki atmosfer kita per jam, itu sama dengan
40 per detik. Penampakan meteor terjadi, setiap kali bumi kita melewati
sebuah wilayah yang ibarat sungai meteor dan meteorit merupakan sisa
dari komet, terbuat ketika komet melewati tata surya bagian dalam.
Penampakan Leonid meteor ini terjadi ketika Bumi melewati puing-puing
yang ditinggalkan oleh Komet Tempel-Tuttle yang dilihat di tata surya kita
setiap 33 tahun, yang terakhir adalah pada tahun 1998.

Gambar 3.12 Penampakan Leonid Meteor 17 November 1966 (wikipedia.org).

Penampakan Hailey Comet, October 1982


Komet yang paling terkenal didunia adalah Komet Halley, karena
dapat dilihat lebih sering daripada komet lainnya. Komet ini hanya
memerlukan waktu 76 tahun untuk menyelesaikan orbit, dan karena itu
dapat dilihat dengan mata telanjang. Pengamatan yang terakhir Komet
Halley terjadi pada tanggal 16 Oktober 1982, komet ini mendekati
matahari pada tanggal 9 Februari 1986. Pada bulan Maret 1986, lima robot
spacecrafts mendekati komet untuk mengumpulkan informasi tentang
benda itu. Spacecrafts ini membawa kembali informasi yang berguna
tentang Komet Halley, dan komet lain pada umumnya.

161
Gambar 3.13 Penampakan Komet Halley pada Oktober 1982
(wikipedia.org).

Sun dogs

Gambar 3.14 Sun dogs (wikipedia.org).

Sun Dog atau Mock Sun adalah sebuah fenomena yang sangat
spektakuler di Atmosfer disebabkan oleh berlalunya sinar dari piring
kristal es berbentuk heksagonal di awan tinggi dan dingin, Sun Dog juga
dikenal sebagai Mock Sun, karena mereka hanya muncul seperti matahari
di langit dan orang-orang sering ketakutan setelah melihat kejadian ini
karena mereka berpikir bahwa ada lebih dari satu matahari di langit. Sun
Dog biasanya muncul saat matahari rendah ke cakrawala, biasanya hanya
sebelum matahari terbenam atau setelah matahari terbit, atau selama
bulan-bulan musim dingin di daerah lintang pertengahan.

162
Daftar Pustaka

Abidin, Zainul. Perubahan Iklim. (http://zainuelabidien23.wordpress.com/perubahan-iklim/), diakses pada


tanggal 6 Mei 2014.
A, Samsudin. E, Suhendi. R, Efendi. A, Suhandi. 2012. Pengembangan “Cels” Dalam Eksperimen Fisika Dasar
Untuk Mengembangkan Performance Skills dan Meningkatkan Motivasi Belajar Mahasiswa. Jurnal
Pendidikan Fisika Indonesia
Afnimar. 2009. Seismologi, Bandung:ITB
Aguado, Edward. 2007. Understanding Weather and Climate. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Ahmad, S., Hinduan, A. A., Liliasari., dan Susiwi. 2009. Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa SMA pada
Model Pembelajaran Praktikum D-Ei-Hd. Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 14, No. 2, 2-3.
Aki, Keiiti. Richards, Paul G. 1980. Quantitative Seismology Theory and Methods. San Francisco:
W.H.Freeman and Company.
Benneth, J., Donahue, M., Schneider, N., & Voit, M. 2012. The Essential Cosmic Perspective Sixth Edition.
USA: Pearson Addison-Wesley.
BMKG. http://meteo.bmkg.go.id/peringatan/ekstrim, diakses tanggal 12 mei 2014
Bukowinski, M. S. T., The Effect of Pressure On The Physics and Chemistry of Potasium, Geophys. Res. Lett.,
3, 491-494, 1976.
Bukowinski, M. S. T., Compressed Potasium: A Siderophile Element, in High Pressure Science and
Technology, edited by K. D. Timmerhaus an M. S. Barber, pp. 237-244, Plenum, New York, 1979.
Campbell, Wallace H. (1997). Introduction to Geomagnetic Fields, edited by Student Observation Network
(S.O.N.), 46-50, 2003.
Cavanag, Sean. 2007. Science Labs Beyond Isolationism. National Research Council Vol. 26, Issue 18, Pages
24-26, (http://www.edweek.org/ew/articles/2007/01/10/18labs.h26.html), diakses pada tanggal 30
April 2014.
Cocks, Hadley Franklin. 2009. Energy Demand and Climate Change. German: WILEY-VCH Verlag GmbH
& Co. KGaA, Weinheim.
D, Yulianti. S, Khanafiyah. Sugiyanto. 2012. Penerapan Virtual Experiment Berbasis Inkuiri Untuk
Mengembangkan Kemandirian Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia
Djalante, Riyanti dan Thomalla, Frank. 2012. Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation in
Indonesia. International Journal of Disaster Resilience in the Built Environment (IJDRBE). Vol. 3, no.
2 hal 166 – 180
Doglioni, C. 1993. Geological evidence for a global tectonics polarity. Journal of Geological Society, Vol 150,
No. 9, pp. 991-1002
Edwards, B., Teasdale, R., dan Myers, J. D. 2006. Active Learning Strategies for Constructing Knowledge of
Viscosity Controls on Lava Flow Emplacement, Textures and Volcanic Hazards. Journal of Geoscience
Education, Vol. 54, No. 5, 603-609.
Fariel, Robert. 1989. Earth Science. California: Addison-Wilsey
G.H. Girty. 2009. Understanding Processes Behind Natural Disasters. Department of Geological Sciences, San
Diego State University, Ver 1.0
Gadi, A. Azransyah, T. Hiposenter dan Episenter. Laboratorium Seismologi, Program Studi Teknik Geofisika,
Institute Teknologi Bandung.
Geographic, National. Science Level Blue: Electricity and Magnetism, Glencoe Science, 2008.
Giancoli, D. C. 2009. Physics for Scientists and Engineers with ModernPhysics, 4th ed. Pearson PrenticeHall.
New Jersey, US.
Grandis, Hendra. 2009. Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika, Bandung: ITB
Henderson. What factors impact a Greenhouse? (http://www.ucar.edu/learn/1_3_2_13t.htm), diakses pada
tanggal 6 Mei 2014.
Hoesin Haslizen dan Isril Haen. 1979. Proses Radiasi Matahari di Atmosfir dan Peramalan Iradiasi Matahari
Normal, Global di Daerah Tropis. Proceeding Lokakarya Pengembangan Energi, Bandung.
Hoesin Haslizen dan Muhammad Taftazani. 1980. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan Radiasi
Matahari di Daerah Tropis. Proceeding Lokakarya Pengembangan Energi Non-konveksional, Jakarta.
howstuffworks.com
http://geoenviron.blogspot.com/2012/09/lempeng-tektonik-indonesia.html, diakses pada 05 April 2014.
http://www.jurnalinsinyurmesin.com/index.php?option=com_content&view=article&id=51
http://weiminhan.blogspot.com/2011/05/arus-konveksi.html, diakses pada 05 April 2014.
http://phet.colorado.edu/files/teachers-guide/plate-tectonics-guide.pdf diakses pada 02 Mei 2014

163
http://en.wikipedia.org/wiki/Domino_effect, diakses tanggal 12 mei 2014
Incoherent Light Sources. Thanh Tran Introduction to Solar Radiation. PDF (soft file)
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change. Diakses pada tanggal 6 Mei 2014.
(http://www.ipcc.ch/publication_and_data/ar4/wg1/en/ch2s2-5.html)
IPCC WG2. 2007. Climate Change 2007 Impacts, adaptation, vulnerability; Working Group 2 Asssessment
report 4. Cambridge: Cambridge university press
IPCC WG3. 2007. Climate Change 2007 Mitigation of Climate Change; Working Group 2 Asssessment report
4. Cambridge: Cambridge university press
IPCC. 2013. Climate Change 2013 the Physical science Basis; Working Group 1 AR5. Cambridge: Cambridge
university press.
JPB. 2013. Introduction to Tectonics. Online Article.pdf, diakses pada 10 April 2014.
Kajian Air Tanah.pdf. File diakses pada tanggal 28 Maret 2014.
Karttunen, H., Kroger, P., Oja, H., Poutanen, M., & Donner, K.J. 2007. Fundamental Astronomy. USA:
Springer Berlin Heidelberg New York.
Kertapati. 2006. Aktivitas Gempa Bumi di Indonesia. Jakarta: BMKG.
Kirkland, Kyle., EARTH SCIENCE: Notable Research and Discovery, p. cm.-(Frontiers of science), New
York, 34-35, 39-43, 47-50, 2010.
Kirkland, Kyle. 2010. Earth Sciences : Notable Research and Discoveries. Facts On File, Inc. New York, US.
Kumaresan, Jakob dkk. 2011. Climate Change and Health in South East Asia. International journal of climate
change strategies and management (IJCCSM) vol. 3, no. 2 hal. 200 – 208
Lakitan. 2002. Klasifikasi Iklim Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Lang, Kenneth R. 2011. The Cambridge Guide to the Solar System Second Edition. UK: Cambridge University
Press.
Lay, T. And Wallace, T.C. 1995. Modern Global Seismology. USA: Academic Press.
Leederdan Arlucea. 2006. Physical Processes in Earth and Environmental Sciences. (www.univpgri-
palembang.ac.id), diakses pada tanggal 18 April 2014.
Lindzen, Richard S dan Kerry A. Emanuel. Greenhouse Effect.
(ftp://texmex.mit.edu/pub/emanuel/PAPERS/greenhouse.pdf), iakses pada tanggal 3 Mei 2014.
Lundgren, Lawrence W. 1999. Environmental Geology. New Jersey: Prentice Hall.
Macfarlan, P. A., Bohling, G., Thompson, K. W., and Townsend, M. 2006. Helping Students to Make the
Transition from Novice Learner of Ground-Water Concepts to Expert Using the Plume Blusters
Software.Journal of Geosciences Education, Vol. 54, No. 5, 610-619.
Madlazim. Santosa, B.J. 2010. Four Earthquake of the Sumatran Fault Zone (Mw 6.0-6.4): Source Parameters
and Identification of the Activated Fault Planes. JSEE/Winter, vol.11, No.4
Madlazim. 2013. Kajian Awal tentang b Value Gempa Bumi di Sumatra, Jurnal Penelitian Fisika dan
Aplikasinya (JPFA), Vol 3 No 1, Juni 2013.
Madlaim. 2013. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Madlazim, M.Si. fisikaunesa.net.
Mochamad, Ari. 2013. Merespon Ancaman Perubahan Iklim, Adaptasi Sebuah Pilihan yang Mendesak dan
Prioritas._____
Masters, T. G and P. M. Shearer, Summary of Seismological Constraints On The Structure of The Earth’s
Core, J. Geophys, Res., 95, 21, 691-21, 695, 1990.
Mertz, Ole dkk. 2009. Adaptation to Climate Change in Developing countries. Environmental
Management;743-752
Mitchell Beazley. 2002. Philip’s Astronomy Encyclopedia. London: Philip’s, an imprint af Octopus Publishing
Group.
Montgomery, Carla W. 1989. Fundamental of Geology. Iowa: Brown
Myers D.R. 2003. Solar Radiation Modeling and Measurement for Renewable Energi Application : Data and
Model Quality. National Renewable Energi Laboratory
National Climate Data Center (NCDC). -. Climate Data Online. (www.ncdc.noaa.gov NESDIS>NCDC),
diakses pada tanggal 3 Mei 2014.
Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Noor, Djauhari. 2009. Pengantar Geologi. Lecture Notes.
Noor, Djauhari. 2011. Geologi Perencanaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nugroho, H., Widiantoro, S., Ibrahim, G,. 2007. Penentuan Posisi Hiposenter Gempa Bumi dengan
Menggunakan Metode Guided Grid Search dan Model Struktur Kecepatan Tiga Dimensi. Jurnal
Meteorologi dan Geofisika, Vol. 8, No. 1.
Parham, T. L., Cervato, C., Gallus, W. A., Larsen, M., Hobbs, J., Stelling, P., Greenbowe, T., Gupta, T., Knox,
J. A., dan Gill, T. E. 2010. The InVEST Volcanic Concept Survey: Exploring Student Understanding
About Volcanoes. Journal of Geoscience Education, Vol. 58, No. 3, 177-187.

164
Parker, L. J., T. Atou, and J. V. Badding, Transition Element Like Chemistry For Potasium Under Pressure,
Science, 73, 95-97, 1996.
Paulescu M. 2013. Weather Modeling and Foreasting of PV System Operation, Green Energi and Tecnology.
Springer-Verlag London.
Pawirodikromo, Widodo. 2012. Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PhET. 2011. Interactive Science Simulator: The Greenhouse Effect. (phet.colorado.edu), diakses pada tanggal
10 April 2014
Prastowo, T. 2008. Sains Kebumian. Diktat Perkuliahan Fisika UNESA: Tidak diterbitkan.
Prastowo, T. 2012. Earth Sciences. Lecture Notes. pp. 1-31. unpublished.
Prastowo, T. 2012. Sains Kebumian (Earth Science). Surabaya: Unipress.
Purnomo, Herry. 2011. Indicators for Assessing Indonesia’s Javan Rhino National Park vulnerability to
Climate Change. Mitigation Adaption strategies Global Change. Vol. 16 hal 733-747
Qiang Fu. Copyright 2003. Radiation (Solar). Elsevier Science Ltd. All Rights Reserved. University of
Washington.
Ramalis, Taufik Rahman. 2000. Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa. Bandung: Laboratorium IPBA FMIPA
Universitas Pendidikan Indonesia.
Reilinger, Robert and McClusky, Simon. 2011. Nubia–Arabia–Eurasia plate motions and the dynamics of
Mediterranean and Middle East tectonics. International Journal of Geophysical, Vol 1, No. 186, pp.
971-979
Rivai, Deas Ahmad. 2000. Unsur-Unsur Cuaca.
(http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1367593435), diakses tanggal 5 April 2014.
Rusbiantoro, Dadang. 2008. Global Warming for Beginner. Yogyakarta: O2.
Sahat Erwin Gemayel Siagian. 2013. Rancang Bangun Perangkat Lunak Analisis Penyerapan Radiasi Matahari
Pada Selubung Bangunan. Jurnal ELKHA, Vol. 5, No. 1.
Sakya, Andi Eka dan Mahardika, Ressa. 2011. Perspektif Penelitian dan Pengembangan Kecuacaan dan
Keikliman untuk Mendukung Langkah Ketahanan Pangan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia.
Jurnal Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Santosa, B.J. 2008. Struktur Kecepatan Gelombang S di bawah Indonesia melalui Analisis Seismogram
Gempa-Gempa Bumi di Sekitar Indonesia pada Stasiun Observasi UGM. Makara, Sains, Vol. 12, No.
2.
Saputri, Renny. 2014. Macam-Macam Bentuk Pergerakan Lempeng Bumi,
(http://r3nnysaputri.blogspot.com/2014/01/macam-macam-bentuk-pergerakan-lempeng.html, diakses
05 April 2014)
Sari, WDA. Suadi, DA. Nasikhudin. 2013. Identifikasi Sebaran Episenter dan Hiposenter Gempa Vulkanik
Gunung Api Kelut Jawa Timur Bulan Januari-Mei 2013. Jurnal Universitas Negeri Malang.
Seeds, Michael A. 2007.The Solar System Sixth Edition. USA: Thomson Brook/Cole.
Septiadi, Deni; Nanlohy, Pieldrie; Souissa, M; dan Rumlawang, Francis Y. 2009. Proyeksi Potensi Energi
Surya Sebagai Energi Terbarukan (Studi Wilayah Ambon dan Sekitarnya). Jurnal meteorologi dan
geofisika, Vol. 10, No. 1.
Singha, Kamini. 2008. An Active Learning Exercise for Introducing Ground-Water Extraction from Confined
Aquifers. Journal of Geosciences Education, Vol. 56, No. 2, 131-135.
Stangeland, Aege. 2007. A Model for the CO2 Capture Potential. International Journal of Greenhouse gas
control 1 (2007) 418-429.
Sterman, John. 2008. Greenhouse Gas Emmision Simulator v3.0. (c) MIT SDG 2008.
(http://script.mit.edu./~jsterman/climate/master/), diakses pada tanggal 6 April 2014.
Sterman, John D dan Linda Booth. 2007. Understanding Public Complecency about Climate Change: Adults’
Mental Models of Climate Change Violete Conservation of Energi. DOI 10.1007/s10584-006-9107-5
Climatic Change 80:213=238.
Stixrude, L., and J. M. Brown, The Earth’s Core, In Ultrahigh Pressure Mineralogy : Physics and Chemistry
Of The Earth’s Deep Interior, edited by R. J. Hemley, Rev. Mineral., 37, 261-282, 1998.
Stott, Peter A, et al. 2003. Do Models Underestimate the Solar Contribution to Recent Climate Change? Journal
of Climate 16 (24): 4079-4093.
Subrata, Sanjay Sen., Debnath, Kr. 2013. Stress and Strain Accumulation Due to a Long Dip-Slip Fault
Movement in an Elastic-Layer over a Viscoelastic Half Space Model of the Lithosphere-Asthenosphere
System. International Journal of Geosciences, Vol. 1, No. 4, pp. 549-557
Suhandi Andi. Bahan Belajar Mandiri-Radiasi Matahari. PDF(http://file.upi.edu)
Suharno. 2007. Nilai Percepatan Maksimum Gerakan Tanah Daerah Jawa Bagian Barat. Jurusan Sains
Teknologi, Vol.12, No.3.

165
Sukanta, I. Nyoman. 2010. Accelerogaph BMKG dalam Penentuan Peta Intensitas Gempa Kuat. Penelitian
dan Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika.
Suma, Ketut. 2005. Efektivitas Kegiatan Laboratorium Konstruktivis dalam Meningkatkan Penguasaan
Konsep-Konsep Arus Searah Mahasiswa Calon Guru. Jurnal Pendidikan IKIP Negeri Singaraja, No. 2
Th. XXXVIII April 2005.
Susilawati. -. Atmosfer. File upi pdf. (http://file.ipu.edu/Direktori/DUAL-
MODES/KONSEP_DASAR_BUMI_ANTARIKSA/BBM_2.pdf). diakses pada tanggal 6 April 2014.
Sutiadi, Asep. Peningkatan Minat Belajar Siswa Tentang Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA)
Melalui Kegiatan Laboratorium, Jurnal Pengajaran MIPA,
Sutiadi, Asep. -. Peningkatan Minat Belajar Siswa tentang Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA)
melalui Kegiatan Laboratorium.
Tarbuck, Edward J. 2001. Earth Science (9th ed.), Prentice-Hall, Toronto, US.
Tarbuck, Edward J dan Frederick K. Lutgens. 2012. Earth Science. USA: Pearson Prentice Hall.
The Hydrospere and Biosphere.pdf. File (http://web.mit.edu/seawater/.) diakses pada tanggal 28 Maret 2014.
The Hydrospere and The Cryosphere.pdf. (http://web.mit.edu/seawater/. ). File diakses pada tanggal 28 Maret
2014.
Tjasyono, B. 2003. Geosains. ITB
Tjasyono, B. 2006. Ilmu Kebumian dan Antariksa. Bandung: Rosdakarya. Bandung
Tjasyono, B. 2009. Ilmu Kebumian dan Antariksa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tjetjep, Wimpy S. 2002. Dari Gunung Api Hingga Otonomi Daerah. Jakarta: Yayasan Media Bhakti Tambang.
Toynbee, Arnold J. 1956. A Study of History. London: Oxford University Press
Trefil, J., and Hazen, R. M. 2000. The Sciences, An Integrated Approach, 2nd ed. USA: John Wiley & Sons,
Inc. Toronto, Canada.
Trefil, J., dan Hazen, R. M. 2010. The Sciences, An Integrated Approach 6th Edition. USA: John Wiley &
Sons, Inc.
Trewanta, Glenn T dan Lyle H. Horn. 1995. Pengantar Iklim. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Tuke, Mike. 2007. Earth Science Experiments for A Level. Britain: Petrolium Exploration Society of Great
Britain.
Tyasyono, B. HK.2009. IlmuKebumian dan Antariksa. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Umass Geo sciences. www.geo.umass.edu
UNESCO.____. Groundwater for a thirsthy planet.pdf (http://www.yearofplanetearth.org) diakses pada 31
Maret 2014.
US Environmental Protection Agency. A Student’s Guide to Global Climate Change. Diakses pada tanggal 5
April 2014. (http://www.epa.gov/climatestudents/scientist/clues.html)
USGS. 2001. This Dynamic Earth: The Story of Plate Tectonics. U.S. Government Printing Office.
Washington DC, US
USGS Science for a Changing World. 2009. Surface Energi Budget. Diakses pada tanggal 6 Mei 2014.
(http://nevada.usgs.gov/water/et/measured.htm)
Warner, Koko dan Geest, Kees Van Der. 2013. Loss and Damage from Climate Change: Local Level Evidence
from Nine Vulnerable Countries. International Journal Global Warming. Vol. 5, no 4 hal 367 – 386
Widiantoro, S. 2009. Fisika dan Struktur Interior Bumi. Jakarta: BMKG.
Wikipedia.org
Winarso. 2003. Pengelolaan Bencana Cuaca dan Iklim untuk Masa Depan. Diakses pada tanggal 3 April 2014.
WWF Indonesia. Seputar Iklim dan Energi. (http://www.wwf.or.id), diakses pada tanggal 5 April 2014.
Yudi. 2010. Pengaruh positif akibat global warming. (http://capsulx368.blogspot.com/2010/11/pengaruh-
positif-akibat-global-warming.html), diakses tanggal 12 Mei 2014.

166
Glosarium

Absorbsivitas : Kemampuan penyerapan.


Aftershock : Gempa bumi susulan yang mengikuti guncangan gempa bumi utama
dari serangkaian gempa bumi.
Air permukaan : Bagian dari permukaan bumi yang dialiri oleh air, di antaranya danau,
sungai, gunung es, dan air tanah.
Air tanah : Air yang terdapat di bawah permukaan bumi pada pori-pori tanah, pasir,
kerikil, dan batuan yang jenuh terisi air.
Akuifer : Lapisan yang dapat menangkap dan meloloskan air tanah.
Albedo permukaan : Perbandingan antara jumlah radiasi matahari yang dipantulkan dan yang
diterima oleh permukaan bumi.
Anomali temperatur : Keanehan temperatur.
Astenosfer : Bagian yang lebih lemah di bawah litosfer yang memiliki ketebalan 250
km
Asteroid : Planetoid; benda-benda angkasa yang berada dalam sabuk asteroid,
yakni daerah antara orbit Mars dan Jupiter.
Atmosfer : Lapisan yang terbedakan oleh tekanan udara, massa atmosfer, dan profil
temperatur tiap lapisannya. Profil temperatur secara vertikal dapat
dibedakan menjadi lima lapisan yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer,
termosfer (ionosfer), dan eksosfer
Aurora : Cahaya yang dihasilkan karena di sekitar kutub magnet utara dan kutub
magnet selatan, medan magnet memasuki atmosfer bumi sehingga arus
kuat dapat mengalir ke bawah dan merangsang atom gas untuk
memancarkan foton.
BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Cinder cones : Gunung-gunung api yang membentuk mangkun/kawah di puncaknya.
Coma : Ekor komet; bagian komet yang tercipta saat mendekati matahari yaitu
ketika sebagian inti meleleh menjadi gas.
Continental Crust : Kerak benua.
Convergent Boundaries : Batas konvergen; Batas antar lempeng tektonik dengan gerakan saling
bertumbukan.
Coronal mass ejection : Lontaran massa korona.
Coseismic : Saat terjadi gempa bumi utama.
Deep earthquake : Gempa dalam
Diffuse radiation : Radiasi hambur.
Direct radiation : Radiasi langsung
Divergent Boundaries : Batas divergen; Batas antar lempeng tektonik dengan gerakan saling
menjauhi.
DSS : Decision Support System; Sistem pendukung pengambilan keputusan.
Eksosfer : Lapisan terluar atmosfer
Elastic Rebound Theory : Saat menerima tekanan, batuan akan terbengkokkan dan setelah
melepaskan tekanannya, batuan akan kembali ke bentuk semula.
Episenter : Proyeksi dari hiposenter terhadap permukaan bumi yang dinyatakan
dalam latitude dan longitude; Sumber gempa.
Erupsi : Naiknya lava, material piroklastik, atau gabungan keduanya ke
permukaan gunung api.
Extraterrestrial : Daerah di luar atmosfer bumi.
Fakula : Obor kecil
Fotosfer : Cakram matahari
Gas rumah kaca : Gas-gas yang dapat meningkatkan pemanasan global dan berperan
dalam peristiwa efek rumah kaca.
Gelombang badan : Gelombang yang terjadi saat terjadinya gempa di dalam atau di bawah
permukaan bumi yang menjalar ke seluruh bagian bumi.
Gelombang Love : Gelombang yang teramati jika ada lapisan kecepatan rendah menutupi
lapisan kecepatan tinggi.
Gelombang permukaan : Gelombang yang penjalarannya sepanjang permukaan bumi.

167
Gelombang primer : Gelombang longitudinal yang arah partikelnya sejajar dengan arah
rambatnya.
Gelombang Reyleigh : Gelombang yang menjalar hanya pada bidang yang padat,
pergerakannya vertikal menjauhi arah penjalarannya.
Gelombang seismik : Rambatan yang disebabkan oleh adanya gangguan di dalam kerak bumi,
misalnya patahan atau adanya ledakan.
Gelombang sekunder : Gelombang transversal yang arah partikelnya tegak lurus dengan arah
rambatnya.
Gempa Bumi : Bergetarnya permukaan tanah karena pelepasan energi secara tiba-tiba
akibat dari pecah/slipnya massa batuan di lapisan kerak bumi.
Gempa runtuhan : Gempa yang disebabkan oleh runtuhnya gua, biasa terjadi di daerah
gunung kapur dan daerah pertambangan.
Gempa tektonik : Gempa yang disebabkan oleh adanya tumbukan atau pergeseran
lempeng tektonik.
Gempa vulkanik : Gempa yang disebabkan oleh aktivitas gunung api yang ditandai
dengan naiknya magma karena mendapat tekanan dari dalam tanah
akibat pergeseran lempeng tektonik.
Geotherm : Profil temperatur terhadap kedalaman bumi.
Global radiation : Radiasi total; Penjumlahan radiasi langsung (direct radiation) dan
radiasi hambur (diffuse radiation).
Global warming : Peristiwa naiknya suhu di permukaan bumi akibat meningkatnya gas-
gas rumah kaca sehingga terjadi peristiwa anomali temperatur.
Ground Heat : Pemanasan di bawah permukaan tanah
Gunung api : Sistem saluran batuan pijar (magma) , abu, dan gas-gas, yang
memanjang dari dalam hingga permukaan bumi serta struktur-struktur
yang dibangun di sekitar saluran oleh material hasil erupsi.
Heliosfer : Atmosfer tipis.
Heliospheric current sheet : Lembar aliran heliosfer; Sebuah spiral yang terjadi karena gerak rotasi
magnetis Matahari terhadap medium antarplanet.
Hidrosfer : Lapisan air di Bumi yang meliputi sungai, danau, laut, gletser, air tanah,
dan uap air yang berada di udara.
Hiposenter : Lokasi fisik dari sumber gempa yang dinyatakan dalam longitude,
latitude, dan kedalaman di bawah permukaan bumi.
InaTEWS : Indonesian Tsunami Early Warning System; Sistem Peringatan Dini
Tsunami Indonesia.
Intensitas gempa bumi : Ukuran kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi berdasarkan hasil
pengamatan dari gempa bumi itu sendiri ataupun dari bangunan yang
rusak.
Interior Bumi : Bagian dalam bumi.
Intermediate earthquake : Gempa menengah.
Interseismic : Tahap awal dari suatu siklus gempa bumi.
Kerak Bumi : lapisan terluar dari bumi yang terdiri dari kerak samudera dan kerak
benua.
Komet : benda langit yang mengelilingi matahari dengan garis edar berbentuk
lonjong atau parabolis atau hiperbolis.
Konduksi : Perpindahan energi termal yang diikuti oleh pergerakan materi.
Konduktivitas hidrolik : Koefisien yang menggambarkan kecepatanair yang dapat melaju
melalui media permeable dalam unit waktu dan unit gradien hidrolik
Konveksi : Perpindahan panas oleh pergerakan suatu fluida (baik cair maupun gas).
Korona : Lapisan terluar matahari.
Kromosfer : Lapisan dalam matahari.
LAPAN : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Lapisan impermeable : Lapisan yang sulit dilalui air tanah seperti lapisan lempung atau tanah
liat.
Lapisan permeable : Lapisan yang mudah dilalui oleh air tanah seperti lapisan yang terdapat
pada pasir atau kerikil.
Latent Heat : Proses evaporasi atau perubahan fasa air.
Lava : Magma yang tererupsi keluar permukaan gunung.

168
Lempeng benua : Daratan tempat tinggal makhluk hidup yang kaya akan lapisan granit
dengan ketebalan 30-40 km.
Lempeng Samudera : Dasar laut yang memiliki ketebalan 5-8 km dan memiliki komponen
penyusun, yaitu kaya akan lapisan basal.
Litosfer : Lapisan bumi yang mencakup kerak bumi dan bagian teratas dari
mantel bumi, tersusun oleh batuan padat dan keras dengan suhu yang
relatif dingin, memiliki ketebalan sekitar 100 km.
Magma : Batuan pijar; Batuan-batuan cair yang terletak di bawah permukaan
bumi.
Magnitudo : Salah satu parameter yang digunakan untuk mengambil tindakan setelah
terjadi gempa bumi; Suatu besaran skala yang merepresentasikan
besarnya kekuatan atau energi seismik yang dilepaskan oleh sebuah
gempa.
Magnitudo gelombang : Magnitudo yang didasarkan pada amplitudo gelombang badan (body
badan wave).
Magnitudo gelombang : Terjadi pada episenter dengan kedalaman lebih dari 600 km.
permukaan
Magnitudo lokal : Logaritmik gerakan tanah maksimum meluruh terhadap jarak sepanjang
suatu kurva.
Mainshock : Gempa bumi utama.
Mantel Bumi : Bagian kedua dari lapisan litosfer bumi
Material piroklastik : Material gunung api yang terlempar saat terjadi erupsi.
Metode grafis : Metode penentuan lokasi gempa bumi dengan menggunakan diagram
wadati untuk mengukur waktu terjadinya gempa.
Metode inversi : Metode penentuan lokasi gempa bumi yang menggunakan kesatuan
teknik, baik matematika maupun statistika untuk memperoleh informasi
yang berguna mengenai suatu sistem Fisika berdasarkan observasi
terhadap sistem tersebut.
Moho : Lapisan yang membatasi kerak dan mantel bumi yang memiliki
ketebalan ± 500 km
Momen magnitudo : Menyatakan jumlah energi gempa yang lebih akurat daripada
magnitudo badan dan magnitudo permukaan; Digunakan untuk
mengukur kekuatan gempa bumi akibat pergeseran sesar.
Oceanic Crust : Lempeng samudera.
Orbit : Lintasan edar/garis edar.
Origin time : Waktu terjadinya gempa, pada saat gelombang P merambat terlebih
dahulu pada satuan waktu.
Ozonosfer : Lapisan ozon.
Panas primordial : Sumber panas purba, terdiri dari energi akresi, kompresi adiabatik,
energi pembentukan inti bumi, dan peluruhan isotop radioaktif dengan
waktu paruh pendek.
Patahan (fault) : Satu bidang miring imajiner yang memisahkan dua blok lapisan batuan.
Peridotite : Tipe batuan yang mendominasi bagian terluar dari mantel bumi yang
kaya akan logam magnesium dan besi
Porositas : Perbandingan antara volume ruang antar butir terhadap volume total
batuan.
Porositas efektif : Porositas batuan yang dapat melewatkan fluida.
Postseismic : Saat sisa-sisa energi gempa terlepas secara perlahan dan terjadi di
dalam kurun waktu yang lama hingga kondisi kembali ke tahap
kesetimbangan baru.
Preseismic : Sesaat sebelum gempa bumi terjadi.
Prominance : Kolom gas yang menjulang dan melengkung pada sunspot.
Pyranometer : Instrumen yang mengukur radiasi broadband surya global masuk dari
sudut padat 2π pada permukaan planar.
Pyrheliometer : Instrumen broadband yang mengukur sinar langsung komponen Gn
radiasi matahari.
Radiasi : Pancaran energi panas.

169
Radiometer surya : Alat deteksi radiasi elektromagnetik optik terutama dilakukan oleh
konversi energi sinar dalam sinyal-sinyal listrik yang kemudian dapat
diukur dengan teknik konvensional.
Rayleigh Number : Kuantitas yang menunjukkan kombinasi dari beberapa sifat fluida.
Ring of Fire : Jalur gunung api terbesar dan terbanyak.
Rupture : Sobekan atau patahan yang disebabkan oleh gempa bumi utama.
Seismologi : Ilmu geofisika yang mempelajari tentang gempa bumi.
Sensible Heat : Proses perubahan temperatur udara.
Shallow earthquake : Gempa dangkal.
Shield volcanoes : Gunung-gunung api yang berbentuk seperti perisai.
Siklus gempa bumi : Perulangan gempa.
Siklus hidrologi : Siklus air yang mengalami perubahan wujud melalui beberapa proses
fisis alamiah secara terus menerus. Siklus hidrologi ini menghubungkan
antara atmosfer, litosfer, dan hidrosfer.
Skala Ritcher (SR) : Skala magnitudo suatu gempa.
Slow slip event : Silent earthquake; Fenomena pergerakan (slip) pada kerak bumi yang
tidak menyebabkan gempa bumi.
Solar flares : Semburan matahari.
Solar wind : Angin matahari.
Specific storage : Volume air dari formasi yang penuh dengan air yang tersimpan atau
keluar dari penyimpanan karena adanya gaya tekan dari akuifer dan
gaya tekan dari air untuk setiap unit perubahan muka air tanah.
Specifis yields : Rasio dari volume air yang keluar dari batu yang penuh air akibat gaya
gravitasi terhadap volume total dari batuan.
Storativitas : Kemampuan atau kapasitas akuifer dalam menyimpan dan melepaskan
sejumlah volume air per unit area per unit perubahan muka air.
Stratosfer : Lapisan atmosfer yang berada di atas troposfer dan dibatasi oleh
tropopause.
Stratovolcanoes : Gunung-gunung api yang berbentuk seperti kerucut dengan sisi yang
curam.
Sunspot : Noda-noda hitam di matahari.
Teori lempeng tektonik : Litosfer mengapung, bergeser dan bertumbukan satu sama lain di atas
lapisan astenosfer yang lemah; Teori yang menjelaskan bumi bersifat
dinamis.
Termosfer : Lapisan atmosfer yang merupakan tempat terjadinya proses ionisasi gas
N2 dan O2.
Transform Boundaries : Batas transformasi; Batas antara lempeng tektonik dengan gerakan
horisontal dan berlawanan arah.
Transmisibilitas : Kecepatan aliran di bawah satu unit gradien hidrolik melalui sebuah
penampang pada seluruh tebal jenuh suatu akuifer.
Travel time : Waktu yang dibutuhkan gelombang P dan S untuk sampai ke sumber
gempa (episenter).
Troposfer : Lapisan atmosfer yang berperan dalam peristiwa-peristiwa seperti cuaca
dan iklim, perubahan suhu, angin, tekanan, dan kelembaban udara.
Tsunami : Gelombang air besar yang terjadi ketika bagian dasar laut bergerak
karena erupsi gunung api, longsor di bawah laut, atau gempa bumi di
bawah laut
Viskositas magma : Kekentalan magma.
Vulkanisme : Proses terjadinya gunung api.
Zona divergen : Jalur tempat berpisahnya lempeng-lempeng tektonik.
Zona konvergen : Jalur tempat terjadinya tumbukan antara lempeng tektonik benua
dengan benua.
Zona subduksi : Zona berupa jalur tumbukan antar lempeng benua dengan lempeng
samudera; Zona aktif gempa bumi
Zona transform : Zona sesar mendatar; Zona jalur tempat bergesekannya lempeng-
lempeng tektonik.

170
Indeks
A G
Absorbsivitas 118 Gas rumah kaca 32,39,40,41,46,48,50,51,52,53,54
Aftershock 86 Gelombang badan 90, 91
Air permukaan 7, 8, 9, 36 Gelombang permukaan 90, 91, 92
Air Tanah 6, 7, 8, 9, 11, 41, 85 Gelombang seismik 14, 15, 80, 81, 82, 83, 89, 91
Akuifer 8, 9, 10, 11, 12 Gempa Bumi 13, 26, 27, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83,
Albedo permukaan 58 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93,
Anomali temperatur 36, 48, 49 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101
Anti-siklon 37 Gempa runtuhan 78, 87
Astenosfer 5, 25, 26, 28 Gempa tektonik 76, 86, 87
Asteroid 106, 110, 126, 128, 130, 131, 139, 144, Gempa vulkanik 78, 87
145, 146, 147, 148, 149, 152, 159 Geotherm 18
Astronomi 106, 127, 129, 130, 132, 138, 147, 152, Global radiation 117
156 Global warming 36, 53
Atmosfer 4, 6, 7, 8, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, Green house effect 50
38, 40, 2, 3, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, Ground Heat 34
55, 56, 57, 58, 61, 112, 113, 114, 115, Gunung api 17, 26, 31, 49, 52, 67, 68, 69, 71, 72,
116, 117, 118, 119, 126, 128, 130, 132, 73, 74, 76, 77, 78, 87, 95, 96
134, 135, 136, 137, 138, 139, 148, 19,
161, 162
Aurora 61, 62, 139, 148
H
Awan Cirrus 57 Heliosfer 139, 140
Awan Kumulus 57
I
B InaTEWS 97
BMKG 78, 97, 98, 100, 101, 102 Intensitas gempa bumi 91
Intensitas radiasi matahari 36, 112, 116
Interior Bumi 4, 13, 59, 77, 79, 81
C Intermediate earthquake 80
Cinder cones 73, 74 Interseismic 85
Coma 155 Isotop radioaktif 17, 18, 19
Continental crust 25
Convergent boundaries 27
Coronal mass ejection 139
K
Coseismic 85 Komet 106, 110, 128, 130, 147, 148, 149, 150, 151, 152,
153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162
Konduksi 17, 20, 50
D Konduktivitas hidrolik 10, 11
Deep earthquake 80 Konveksi 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 29, 30,
Diffuse radiation 117 37, 38, 59, 60, 63, 77, 79, 111, 112,
Direct radiation 117 124
Divergent boundaries 27, 29 Korona 112, 113, 139, 157
DSS 97, 98 Kromosfer 112

E L
Elastic Rebound Theory 80 LAPAN 31, 32, 33
Episenter 88, 89, 90, 91, 93, 94, 97 Lapisan Ozon 32, 33, 40, 48, 55, 56, 57, 113
Erupsi 67, 71, 73, 74, 76, 95, 99 Latent Heat 34
Extraterrestrial 117 Lava 29, 67, 71, 72, 73, 74, 75, 76
Lempeng 4, 5,13, 17, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28,
F 29, 30, 31, 59, 60, 68, 69, 70, 71, 74,
Fakula 112 77, 78, 79, 80, 85, 86, 87, 88, 96
Flare 112, 139 Lempeng tektonik 3, 4, 24, 25, 26, 27, 29, 30,
Fotosfer 112 31, 33, 60, 68, 77, 78, 87
LWR 39

171
M R
Magma 29, 31, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 79, 80, Radiasi 6, 7, 8, 17, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 48, 50,
87 51, 52, 57, 58, 61, 108, 111, 112, 113, 114,
Magnitudo 78, 84, 89, 90, 91, 93, 99 115, 116, 117, 118, 119, 120, 122, 123, 124,
Mainshock 86 125, 134, 139, 154, 155, 156
Matahari 7, 8, 9, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 48, Radiasi matahari 32, 34, 36, 38, 39, 48, 50, 51, 57, 58,
49, 50, 51, 57, 58, 59, 61, 106, 107, 108, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 122,
108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 123, 125, 154, 155
116, 117, 118, 119, 120, 122, 123, 124, Radiometer surya 123
125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 135, Rayleigh Number 20, 22
136, 137, 138, 139, 140, 145, 147, 149, Ring of Fire 26, 31, 69, 74
150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, Rupture 86, 100
158, 159, 160, 161, 162
Material piroklastik 67, 71
Medan geomagnetik 63 S
Medan magnet bumi 4, 58, 59, 60, 61, 64, 139 Samudera 5, 6, 7, 14, 22, 24, 25, 27, 28, 29, 30,
Medium antar planet 106, 139 31, 35, 68, 69, 70, 73, 77, 78, 79, 80,
87, 88, 96
Mesosfer 31, 32
Satelit 41, 56, 97, 98, 106, 116, 127, 128, 131, 135,
Meteor 33, 95, 96, 97, 106, 110, 111, 127, 128, 132, 134,
148, 150, 151, 153, 157, 161
136, 137, 138, 139, 147
Meteorit 128, 129, 132, 133, 134, 161 Sensible Heat 34
Meteoroit 132 Shallow earthquake 80
Metode grafis 93 Shield volcanoes 73
Metode inversi 93, 94, 95 Siklon 37
Mitigasi 45, 46, 47, 85 Siklus gempa bumi 85
Model konveksi 19, 22, 23, 24 Siklus hidrologi 6, 7, 8, 9, 52
Moho 14 Sistem peringatan dini 97, 98, 99
Momen magnitudo 90 Sistem tata surya 106, 110, 128, 129, 130, 132, 135,
139, 152, 158
Skala Ritcher 89
O Slow slip event 85
Oceanic crust 25 Solar flares 139
Orbit 38, 106, 107, 108, 112, 126, 127, 128, 129, 130, Solar home systems 119
131, 135, 138, 144, 145, 146, 147, 149, 150, 151, Solar wind 112
152, 153, 156, 157, 158, 159, 160, 161
Specific storage 11
Orbit asteroid 131, 144
Specific yields 11, 12
Orbit komet 141, 149, 151, 152, 153, 156, 157,
Storativitas 11
158
Origin time 88, 93
Stratosfer 31, 32, 33, 55, 56, 57, 116
Ozonosfer 32
Stratovolcanoes 73, 74
Sunspot 112, 116
Surya konstanta 116
P Surya spectrum 116
Panas primordial 17, 18 SWR 39
Patahan 30, 79, 80, 83, 84, 85, 86, 91, 96
Patahan mendatar 84
Patahan naik 83, 84
T
Patahan turun 83 Teori Dynamo medan magnet bumi 59
Peluruhan isotop radioaktif 17, 18
Teori Nebula 107, 108
Penumbra 112
Teori Planetesimal 108
Planet 4, 37, 38, 50, 58, 59, 60, 106, 107, 108, 109, Termosfer 31, 33
110, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 135, Transform boundaries 27, 30
137, 138, 139, 140, 144, 147, 148, 149, 151, 152, Transmisi 112, 113, 117, 118
153, 157, 158, 159 Transmisibilitas 11
Porositas 10, 11, 12 Troposfer 31, 32, 33, 53, 54, 55, 56, 57, 116
Postseismic 85 Tsunami 31, 87, 88, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102
Preseismic 85
Prominance 112 U
Pyranometer 124, 125 Umbra 112
Pyrheliometer 123, 124

172
V Z
Viskositas magma 71, 72 Zona Subduksi 26, 28, 68, 74, 77, 78, 79, 80, 86,
Volatil 68, 72, 150, 155 87, 99
Vulkanisme 29, 31, 68, 69, 70, 71

173
174

Anda mungkin juga menyukai