Anda di halaman 1dari 76

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/299570146

RANCANG BANGUN ALAT KONTROL SUHU


DAN KELEMBABAN PADA SISTEM TENAGA
LISTRIK KUBIKEL 20kV

Conference Paper · September 2015

CITATIONS READS

0 1,612

1 author:

Zuansah Rachmat
Universitas Mercu Buana
4 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Analisa pengaruh faktor dielektrif terhadap korona View project

All content following this page was uploaded by Zuansah Rachmat on 02 April 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


RANCANG BANGUN KONTROL SUHU DAN KELEMBABAN PADA
SISTEM DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK KUBIKEL 20 kV

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan


Program Pendidikan Strata I

Disusun Oleh :
ZUANSAH RACHMAT MUNGGARAN
3111101006

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2015
LEMBAR PENGESAHAN

Tugas Akhir yang berjudul:


RANCANG BANGUN KONTROL SUHU DAN KELEMBABAN PADA
SISTEM DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK KUBIKEL 20 kV
Tugas Akhir ini telah disidangkan
Pada Tanggal 21 September 2015

Telah Diterima dan Disahkan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Menempuh


Pendidikan Strata I (S1) Program Studi Fisika

Cimahi, 2015
Menyetujui,

Pembimbing Tugas Akhir

Abdi Wadud Syafi’i, S.Si, M.Si


NIP. 412 217 782

Dekan Fakultas MIPA Ketua Jurusan Fisika


Instrumentasi

Hernandi Sujono, S.Si., M.Si. Abdi Wadud Syafi’i, S.Si, M.Si


NIP. 412 139 370 NIP. 412 217 782
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul :

RANCANG BANGUN KONTROL SUHU DAN KELEMBABAN PADA


SISTEM DISTRIBUSI KUBIKEL 20kV
Yang dibuat untuk memenuhi persyaratan menjadi sarjana sains pada program studi
fisika fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, sejauh yang saya ketahui
adalah asli dan bukan tiruan atau duplikasi dari skripsi yang sudah dipublikasikan
dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan dilingkungan
Universitas Jendral Achmad Yani ataupun institusi lainnya kecuali bagian yang
sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.

Cimahi, 15 Maret
2015

Zuansah Rachmat M
3111101006
ABSTRAK

Kubikel 20 kV adalah seperangkat peralatan listrik yang dipasang pada


gardu distribusi yang berfungsi sebagai pembagi, pemutus, penghubung, pengontrol
dan proteksi system penyaluran tenaga listrik tegangan 20 kV.

Permasalahan yang sering terjadi di kubikel saat ini adalah korona, yaitu
suatu fenomena yang terjadi pada saat udara di sekitar konduktor atau penghantar
terionisasi. Dari proses tersebut terjadilah pelepasan muatan yang dapat
mengakibatkan kegagalan isolasi pada udara. Akibatnya sangat fatal karena bisa
merusak peralatan di dalam kubikel dan menyebabkan rugi – rugi daya.

Penelitian ini menganalisis pengaruh dari kondisi udara terhadap tegangan


pemunculan korona, dengan melakukan pengujian terhadap kelembaban, suhu dan
tegangan tembus dalam kubikel dan membuat alat kendali kelembaban dan suhu.

Diharapkan alat yang dibuat dapat mengatasi masalah pemunculan korona


akibat pengaruh dari kelembaban.

Kata Kunci : Kubikel, Korona, Tegangan Tembus, Kelembaban,


ABSTRACT

Cubicle 20 kV is a set of electrical equipment installed in contacts


distribution substation that serves as a divider, breakers, control and protection for
electric power distribution system voltage of 20 kV. Cubicle usually mounted in or
substation distribution, ,grid form or kios.

Problems usually occur in Cubicle today is the corona, which is a


phenomenon that occurs when air can not withstand capability appearance voltage
corona and ionized, corona effect causing fatal problem because it can damage the
equipment inside the cubicle and power loss on electrical system.

In this study the authors attempted to analyze and make a solution to


prevent corona in cubicles by analyzing the characteristics of the air inside the
cubicle and the effectiveness of the tools being made in reducing the risk of the
appearance of the corona.

The author hoped that the tools created in this research will solve the
problem of the appearance of the corona due to the influence of moisture as
expected.

Keywords: Cubicle, corona, breakdown voltage


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum WR. WB.

Puji syukur penulis panjatkan atas rahmat dan karunia Allah


SWT.Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul,
“RANCANG BANGUN KONTROL SUHU DAN KELEMBABAN PADA
SISTEM DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK KUBIKEL 20 kV.”

Penulis menyadari bahwa karya tulis yang sederhana ini masih jauh dari
sempurna, bahkan terdapat kekurangan serta keterbatasan. Oleh karena itu, penulis
akan menerima dengan sangat lapang dada, kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap agar
karya ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi mereka yang membaca
dan mempergunakannya.

Pada saat yang baik ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih
dan penghargaan yang setinggi – tingginya pada semua pihak yang telah ikut
membantu baik secara moril maupun materi, langsung ataupun tidak langsung dari
berbagai pihak, sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.

Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Abdi Wadud Syafi’I, S.Si., M.Si., selaku Pembimbing serta Ketua
Jurusan Fisika Instrumentasi, Yang senantiasa memberikan semangat dan
dukungan kepada penulis, serta memberikan bimbingan dan masukan sehingga
penulisan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.
2. Kedua orang tua yang kusayangi Ayahanda Akhmad Supriatna S.T dan Ibunda
Iik Kartika Antadipura S.Pd.
3. Rekan – rekan pegawai PT.PLN (Persero) Area Garut
4. Rekan – rekan mahasiswa Fisika Instrumentasi angkatan 2010 dan 2011 terima
kasih atas bantuannya dan semangat yang diberikan kepada penulis.
5. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas akhir
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

i
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh
pihak yang membantu penulis untuk menyelesaikan Tugas akhir ini semoga
Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan balasan yang berlipat atas segala
bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

Wassalamu’alaikum WR.WB.

Cimahi, 21 September 2015

Zuansah Rachmat M

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Permasalahan ..................................................................................................1
1.3 Tujuan .............................................................................................................2
1.4 Pembatasan Masalah ......................................................................................2
1.5 Metodologi .....................................................................................................3
1.6 Sistematika .....................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5
2.1. Kegagalan Isolasi Dalam Gas .........................................................................5
2.1.1. Ionisasi Dalam Udara atau Gas ...............................................................5
2.1.2. Ionisasi Karena Tumbukan ......................................................................6
2.2. Mekanisme Kegagalan Dalam Gas ................................................................7
2.2.1. Mekanisme Towsend ...............................................................................7
2.2.2. Mekanisme Streamer .............................................................................10
2.3. Proses Terjadinya Korona ............................................................................12
2.3.1. Pengaruh Tekanan Parsial Udara Terhadap Korona .............................15
2.4. Kubikel 20kV ...............................................................................................17
2.4.1 Jenis dan fungsi kubikel. .......................................................................17
2.4.2 Bagian – bagian kubikel ........................................................................18
2.5. Kelembaban ..................................................................................................19
2.5.1. Kelembaban Udara ................................................................................19
2.5.2. Kerapatan Uap Air.................................................................................20
2.5.3. Relative humidity ...................................................................................21
2.6. Kontrol suhu dan kelembaban ......................................................................23
2.6.1. Arduino Uno ..........................................................................................23
2.6.2. DHT112 .................................................................................................27
2.6.3. Relay ......................................................................................................30
2.6.4. Fan .........................................................................................................34

iii
2.6.5 LCD .......................................................................................................35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 36
3.1 Sistematika Penelitian ..................................................................................36
3.1.1 Pengujian Tegangan Tembus ................................................................36
3.2 Perakitan Alat ...............................................................................................38
3.3 Penelitian alat ...............................................................................................41
3.4 Pemasangan Alat pada kubikel .....................................................................42
BAB IV HASIL DAN ANALISA UJI ALAT ................................................... 43
4.1 Pengolahan Data ...........................................................................................43
4.2 Hasil Uji Dan Perhitungan Sebelum Pemasangan Alat ................................44
4.3 Hasil Uji Dan Perhitungan Setelah Pemasangan Alat ..................................47
4.4 Analisa hasil penelitian.................................................................................49
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 52
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................52
5.2 Saran .............................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 53
LAMPIRAN ......................................................................................................... 54

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Rangkaian Uji Ionisasi .............................................................................. 6


Gambar 2. 2 Pelipatgandaan Elektron ............................................................................ 7
Gambar 2. 3 Grafik hubungan V vs I berdasarkan kriteria Towsend 1 ........................ 10
Gambar 2. 4 Mekanisme awal terjadinya pelepasan muatan ....................................... 14
Gambar 2. 5 Mekanisme Ionisasi sekunder ................................................................. 14
Gambar 2. 6 Banjiran elektron akibat proses yang berlangsung terus menerus .......... 15
Gambar 2. 7 Bagian-bagian kubikel............................................................................. 19
Gambar 2. 8 Konstruksi Jalur Rangkaian Arduino Uno .............................................. 27
Gambar 2. 9 Konstruksi Rangkaian Sensor Berbasis Kapasitansi ............................... 28
Gambar 2. 10 Rangkaian Sensor DHT 11 .................................................................... 29
Gambar 2. 11 Konstruksi Relay ................................................................................... 31
Gambar 2. 12 Konstruksi Rangakaian Relay ............................................................... 33
Gambar 2. 13 Bagan Satu Garis Rangkaian Arduino dan Relay ................................. 33
Gambar 3. 1 Konstruksi Elektroda alat Break down test ............................................. 37
Gambar 3. 2 Bagan kerja sistem .................................................................................. 38
Gambar 3. 3 Blok Diagaram Alat ................................................................................ 39
Gambar 3. 4 Single Line Rancang Bangung Alat ........................................................ 40
Gambar 4. 1 Perbandingan rata-rata perhari RH dan Ev ............................................. 49
Gambar 4. 2 Grafik hubungan tegangan pemunculan korona sebelum dan sesudah
pemasangan alat ...................................................................................... 50

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Tekanan Uap Air Jenuh............................................................................... 22


Tabel 4. 1 Hasil Pengujian Hari Pertama Tanpa Alat .................................................. 45
Tabel 4. 2 Hasil Pengujian Hari Kedua Tanpa Alat ..................................................... 45
Tabel 4. 3 Hasil Pengujian Hari Ketiga Tanpa Alat ..................................................... 46
Tabel 4. 4 Hasil Pengujian Hari Pertama Dengan Alat ................................................ 47
Tabel 4. 5 Hasil Pengujian Hari Kedua Dengan Alat .................................................. 47
Tabel 4. 6 Hasil Pengujian Hari Ketiga Dengan Alat .................................................. 48

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Scetch Pemrograman Arduino .................................................................. 54


Lampiran 2 Simulasi Perhitungan ................................................................................ 58
Lampiran 3 Gambar kerusakan akibat korona didalam kubikel .................................. 62

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap kubikel selalu dilengkapi dengan sarana penunjang berupa heater,
yaitu alat untuk memanaskan udara di dalam kubikel agar terhindar dari
kelembaban, namun heater tersebut pada kondisi suhu beranjak naik akibat beban
atau arus yang besar tidak bisa menolong, justru panas yang dikeluarkan oleh heater
tersebut menyebabkan kenaikan tingkat uap air jenuh udara yang ada di
dalam kubikel tersebut. Kondisi ini akan meningkatkan nilai kelembaban yang
bisa menyebabkan terjadinya korona dan kegagalan isolasi udara.
Bila kondisi ini tidak segera diatasi, nilai tegangan pemunculan korona yang
tinggi dan berkurangnya kemampuan dielektrik udara akan membuat fungsi udara
sebagai isolator menjadi konduktor, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
hubung singkat antara penghantar dengan bumi dan dampaknya langsung
berpengaruh pada terganggunya sistem penyaluran tenaga listrik ke konsumen atau
system distribusi akan terganggu, juga kerusakan atau kerugian material akan
dialami oleh perusahaan.
Selain itu heater yang berfungsi terus menerus selain mengakibatkan
overheat dan buruknya lifetime dan kondisi pada kubikel, heater juga memakan
daya yang cukup besar dan meningkatkan pemakaian sendiri gardu distribusi,
sehingga meningkat kan rugi- rugi daya. Oleh karena itu diperlukan alat kontrol
suhu dan kelembaban yang bisa memaksimalkan kondisi kubikel agar tetap handal
dan efisien.

1.2 Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam Tugas Akhir ini adalah :
1. Heater berpotensi menyebabkan terjadinya uap air jenuh pada perangkat
pendukung di dalam kubikel yang disebabkan oleh kondisi sirkulasi udara
yang buruk .
2. Uap air jenuh menyebabkan kelembaban yang dapat menyebabkan
meningkatkan nilai kerapatan udara sehingga mempermudah proses ionisasi

1
pada udara yang dapat mengakibatan kegagalan isolasi udara dan korona yang
mengakibatkan udara yang berfungsi sebagai isolasi murni menjadi konduktor
yang dapat mengalirkan arus listrik dan menyebabkan rugi – rugi daya dan
kerusakan pada peralalat di dalam kubikel.
3. Apakah alat pengatur suhu dan kelembaban udara yang dibuat dapat
menjadi solusi yang tepat untuk keandalan kinerja kubikel?

1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian pada Tugas Akhir ini adalah
sebagai berikut :
1. Meneliti pengaruh kondisi udara terhadap tegangan tembus dan tegangan
pemunculam korona.
2. Meneliti pengaruh alat yang dibuat terhadap kondisi udara dan tegangan
pemunculan korona.
3. Menyediakan sistem baru yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan-
perusahaan penyedia jasa tenaga listrik dalam hal pendistribusian.
4. Meningkatkan keandalan kubikel dan efisiensi penggunaan heater

1.4 Pembatasan Masalah


 Suhu di set 40° C dan standar kelembaban (RH) 40 %.
 Sensor kelembaban menggunakan sensor kapasitif dengan merk DHT11,
sensor diasumsikan standar dan terkalibrasi, penelitian ini tidak membahas
detail sistem kerja DHT11
 Kontrol alat menggunakan Arduino uno, dimana board arduino adalah
komponen rangkaian mikrokontrol yang sudah dirakit dan bisa langsung
digunakan, sehingga penulis tidak merancang dan merakit rangkaian mikro
kontrol, dan penelitian ini tidak membahas detail sistem kerja arduino
 Aktuator pada sistem yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini
adalah fan dan heater, detail fan dan cara kerja fan tidak di bahas detail dan
mendalam, fan dianggap mampu mengurangi tekanan dalam kubikel.

2
1.5 Metodologi
Untuk mencapai tujuan Tugas Akhir, maka dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Studi Literatur
Mengumpulkan buku serta referensi yang berhubungan dengan kelembaban,
kondisi udara pengaruh kondisi udara terhadap kemampuan dielektrik udara,
kemampuan isolasi udara, korona dan pengaruh kondisi udara terhadap sistem
ketenaga listrikan.
2. Pemodelan dan Simulasi Konvensional
Simulasi pertama yang akan dilakukan adalah pengujian tegangan tembus,
kelembaban, dan suhu dalam kubikel, setelah itu dilakukan perakitan rancang
bangun sistem yang coba di aplikasikan pada salah satu kubikel yang terpasang
di lapangan dan dilakukan pengujian ulang.
3. Analisa data
Dari simulasi yang dilakukan akan didapatkan suatu hasil yang akan dianalisis.
Data yang akan dianalisis adalah kondisi udara, kemapuan dielektrik udara,
tegangan tembus dan pemunculan korona.
4. Kesimpulan
Kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari permasalahan yang dianalisis.
Selain itu juga akan diberikan saran sebagai masukan berkaitan dengan apa
yang telah dilakukan. Berdasarkan analisa data, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan tentang kemampuan alat yang dibuat.
1.4 Relevansi
Hasil yang diperoleh dari Tugas Akhir ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
a. Dapat menjadi referensi bagi PLN untuk merancang sistem kontrol yang dapat
menjadi solusi alternatif pada permasalahan kubikel sehingga dapat menjadi
handal, dan efisien
b. Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa lain yang hendak mengambil masalah
yang serupa untuk Tugas Akhirnya.

3
1.6 Sistematika
Dalam penulisan buku Tugas Akhir ini sistematika penulisan yang digunakan
adalah sebagai berikut :
BAB 1 Pendahuluan
Bab ini berisi tentang penjelasan latar belakang, permasalahan, batasan
masalah, tujuan, metode penelitian, sistematika penulisan, dan relevansi dari
penelitian yang dilakukan untuk Tugas Akhir ini.
BAB 2 Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tentang dasar teori mengenai kubikel sebagai objek yang akan
dipasang alat ini, pengaruh suhu dan kelembaban dan faktor faktor yang menjadi
parameter dan acuan untuk dibuatnya alat ini.
BAB 3 Metodologi
Bab ini berisi tentang uraian langkah-langkah yang digunakan dalam
menganalisis data penelitian mulai dari membuat alat dan sistem yang digunakan,
menjelaskan karakteristik dan prinsip kerja serta perhitungan matematis parameter
dan pemodelan sistem yang akan di di pergunakan untuk mebuat alat ini.
BAB 4 Analisis dan Hasil Simulasi
Bab ini berisi tentang hasil simulasi sistem dengan prototype yang dibuat dan
dapat dilihat bagaimana hasil dari simulasi sistem yang dirancang.
BAB 5 Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran mengenai hasil penulisan laporan
Tugas Akhir yang telah diselesaikan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kegagalan Isolasi Dalam Gas


Bahan isolasi berfungsi untuk memisahkan dua penghantar listrik atau lebih
yang bertegangan sehingga dapat mencegah terjadinya lompatan listrik (flashover)
dan percikan listrik (sparkover). Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai
bahan isolasi peralatan ketenagalistrikan adalah gas atau udara karena pada kondisi
normal udara hanya terdiri dari molekul-molekul netral.
Akan tetapi, dapat terjadi kegagalan pada isolasi gas atau udara yang berupa
pelepasan muatan. Pelepasan muatan itu terjadi karena tegangan yang digunakan
sangat tinggi dan sudah melewati kemampuan bahan isolasi. Proses pelepasan
muatan tersebut dapat terjadi karena ionisasi yang bisa disebabkan beberapa faktor
seperti adanya tabrakan antara atom dan elektron bebas, cahaya, emisi elektron.1

2.1.1. Ionisasi Dalam Udara atau Gas


Pada kondisi normal, gas atau udara terdiri dari molekul-molekul netral. Akan
tetapi, pada kenyataannya pada udara terdapat ion-ion dan elektron-elektron bebas.
Ion dan elektron bebas itu dapat menyebabkan udara mengalirkan arus listrik
walaupun dengan jumlah terbatas. Banyaknya elektron dan ion bebas di udara
mempengaruhi terjadinya kegagalan listrik.1
Apabila di antara dua elektroda yang terpisah oleh udara diterapkan tegangan
tinggi, maka akan timbul medan listrik (E). Dalam medan listrik tersebut, elektron
dan ion-ion bebas di udara akan mendapat energi yang cukup kuat, sehingga dapat
memicu terjadinya proses ionisasi. Besar energi sebesar :
𝑈 = 𝑒𝑉…………………………....................……………………………………..(2.1)
U = Energi Potensial listrik (Joule)
e = jumlah elektron (e)
V = beda potensial antara dua elektroda (Volt)

5
2.1.2. Ionisasi Karena Tumbukan
Ionisasi adalah proses pelepasan elektron dari molekul gas yang bersamaan
dengan itu menghasilkan ion positif. Dalam proses ionisasi karena tumbukan,
elektron bebas bertumbukan dengan molekul netral dari gas dan akan menyebabkan
terbentuknya electron dan ion positif baru. Jika pada medan listrik yang melintas
antara bidang elektroda paralel seperti yang ditunjukan pada gambar 2.1 dibawah
ini terdapat gas bertekanan rendah, maka setiap elektron akan semakin dipercepat
karena tumbukan antar molekul gas dalam perjalanannya dari katoda menuju ke
anoda. Apabila energy (𝑈) meningkat sepanjang lintasan karena tumbukan dan
telah melampaui potensial ionisasi (Vi) yaitu energi yang diperlukan untuk melepas
elektron dari kulit atom, maka akan terjadi ionisasi. Proses tersebut ditunjukan
dalam persamaan :
𝑈>𝑉𝑖
𝑒− + 𝐴 → = 𝑒 − + 𝐴+ + 𝑒 − ……………………………………....……………..(2.2)
Dimana,
e- = elektron bebas
A = Atom gas
A+ = Ion Positif

Katoda Anoda
𝐼0
- +

Resistor
pembatas
R arus

Sumber tegangan tinggi


yang dapat dikendalikan

- + A
𝑉𝐵 I

Gambar 2. 1 Rangkaian Uji Ionisasi


Beberapa elektron dihasilkan di katoda yang disebabkan karena faktor luar
misalnya seperti sinar ultraviolet yang jatuh pada katoda, menyebabkan terjadinya
ionisasi pada partikel gas netral yang menghasilkan ion positif dan elektron
tambahan. Elektron tambahan tersebut kemudian yang menyebabkan terjadinya

6
ionisasi karena tumbukan dan proses itu berlangsung terus menerus. Hal ini juga
berarti menyebabkan meningkatnya arus elektron, karena jumlah elektron yang
sampai ke anoda lebih banyak dari yang dibebaskan pada katoda. Elektron-elektron
yang terus menerus bertumbukan akan menuju anoda dan terus berlipat ganda
sehingga akan menimbulkan banjiran elektron. Peristiwa pelipatgandaan elektron
tersebut dapat digambarkan seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2. 2 Pelipatgandaan Elektron

2.2. Mekanisme Kegagalan Dalam Gas

2.2.1. Mekanisme Towsend


Jika elektron diemisikan dari katoda, maka apabila elektron bertumbukan
dengan partikel netral akan terbentuk ion positif dan elektron. Peristiwa ini
disebut ionisasi karena tumbukan. 1
Peristiwa ini akan menyebabkan banjiran elektron yang berturut-turut
sesuai dengan mekanisme Townsend. Jumlah elektron ( ne) dalam banjiran
elektron pada lintasan (dx) akan bertambah dengan dne elektron.1
Banyaknya jumlah penambahan elektron bebas yang terjadi pada lapisan dx
tersebut sesuai dengan Persamaan :
𝑑𝑛𝑒
= α . n e . dx ………….……….…………………………..…………………….(2.3)
𝑑𝑥

α = jumlah rata-rata tumbukan elektron persentimeter dalam lintasan biasa disebut


koefisien pertama ionisasi Towsend.
ne = jumlah elektron
dne = Penambahan elektron bebas
dx = panjang lintasan (cm)

7
Koefisien towsend adalah perbandingan dari Tegangan pemunculan korona
(Ev)terhadap tekanan parsial udara (ea) sehingga,
α = Ev / ea (2.4)
Banyaknya jumlah elektron bebas dn yang dihasilkan dalam proses ionisasi
sama jumlahnya dengan ion positif dne baru yang dihasilkan. Sehingga persamaan
diatas sapat ditulis menjadi :
dne = dn+= α . ne (t). vd. dt…………………….……….…………………...........…(2.5)
Pada medan seragam dengan syarat keadaaan awal 𝑛𝑒 = 𝑛0 , x = 0, dan dengan
kondisi α konstan maka jumlah elektron yang terjadi adalah menjadi sebagai
berikut :
ne=n0 eα x ……...........………………………………………………….……….......…(2.6)
jumlah elektron yang menumbuk anoda dengan jarak d dari katoda sama dengan
jumlah dari ion positif yang dinyatakan dalam persamaan :
n+=nd αd ……………………………………………………………………............…(2.7)
Jumlah elektron baru yang dihasilkan oleh tiap elektron dalam rata-rata :
𝑛𝑑 − 𝑛0
𝑒 αd − 1 = …………………………..…………………………………….....…(2.8)
𝑛0

Oleh karena itu, arus rata-rata dalam celah, yang sama dengan jumlah elektron
yang melintas tiap detik adalah :
I = 𝐼0 𝑒 α𝑑 ………………..…………………………………………………….…........(2.9)
Dimana 𝐼0 arus awal pada katoda.1
Proses banjiran elektron yang dijelaskan di atas akan selesai ketika kumpulan
elektron awal mencapai anoda. Akan tetapi, karena penguatan elektron 𝑒 𝑎𝑑 yang
terjadi dalam medan, kemungkinan dibebaskannya elektron tambahan baru dalam
celah yang disebabkam oleh mekanisme lain akan meningkat, dan elektron baru ini
akan menyebabkan proses banjiran berikutnya. Mekanisme lain itu adalah seperti
berikut :
 Ion positif yang dibebaskan mungkin masih memiliki cukup energy untuk
melepaskan elektron dari katoda ketika ion positif tersebut mengenai katoda.
 Atom atau molekul yang mengalami peluruhan mungkin memancarkan
photon, dan hal ini akan menyebabkan emisi elektron karena photon.

8
 Partikel metastabil yang disebarkan kembali yang menyebabkan emisi
elektron.
Elekton yang dihasilkan pada proses banjiran elektron sekunder ini disebut
elektron sekunder. Koefisien dari proses ionisasi sekunder 𝛾 didefinisikan sebagai
jumlah elektron sekunder yang dihasilkan tiap insiden ion positif, photon,
peluruhan partikel, atau partikel metastabil, nilai total dari 𝛾 adalah jumlah tiap
koefisien dari tiga proses yang berbeda, seperti 𝛾 = 𝛾1 + 𝛾2 + 𝛾3 .
Koefisien 𝛾 disebut sebagai koefisien ke-2 ionisasi Towsend. Sehingga persamaan
jumlah elektron yang meninggalkan katoda dan mencapai anoda di atas menjadi :
𝑛 𝑒 α𝑑
𝑛𝑒 = 1− 𝛾 (0 𝑒 α𝑑 −1)…………………………………………………………….….......(2.10)

Dan besar arus rata-rata dalam celah menjadi :


𝐼 𝑒 α𝑑
𝐼 = 1− 𝛾 0( 𝑒 α𝑑 −1)……………………………………………………………….….......(2.11)

Arus I akan terus mengalami kenaikan hingga terjadi peralihan menjadi


pelepasan bertahan sendiri (self sustaining discharge). Peralihan yang terjadi
berupa percikan (spark), dan kemudian akan terjadi perubahan arus yang sangat
cepat hingga penyebut pada persamaan arus di atas menjadi nol. Kondisi ini disebut
criteria breakdown Towsend, dan dapat ditulis dalam persamaan :
𝛾 (𝑒 α𝑑 − 1) = 1 …………………………………………………….….....(2.12)
Dimana 𝛾 𝑒 α𝑑 sangat besar atau 𝛾 𝑒 α𝑑 >>1, sehingga persamaan diatas menjadi :
𝛾𝑒 α𝑑 = 1……………………………………………………………………....……..(2.13)
Pada kondisi ini, secara teori arus menjadi tidak berhingga, tetapi hal ini sulit
terjadi karena arus akan dibatasi oleh impedansi rangkaian dan sirkuit eksternal.
Towsend membagi kriteria kondisi dumulainya percikan menjadi tiga ketentuan,
yaitu :
a) 𝛾𝑒 α𝑑 <1, arus pelepasan tidak bisa bertahan sndiri sehingga jika sumber arus
primer 𝐼0 dihilangkan, arus pelepasan akan berhenti mengalir.
b) 𝛾𝑒 α𝑑 =1, banjiran elektron menghasilkan jumlah ion 𝛾𝑒 α𝑑 yang cukup besar
sehingga ion positif yang dihasilkan pada peristiwa penumbukan dengan
katoda akan membebaskan satu elektron sekunder, dan proses banjiran
elektron akan terulang. Pelepasan menjadi bertahan sendiri (self sustaining)
dan terus berlangsung tanpa sumber penghasil 𝐼0 .

9
c) 𝛾𝑒 α𝑑 >1, ionisasi yang disebabkan banjiran berturut-turut akan bertumpuk,
sehingga hal ini akan menyebabkan pelepasan percikan tumbuh dengan cepat
sebanding dengan kelebihan 𝛾𝑒 α𝑑 dari 1.
Persamaan dan kriteria arus yang terbentuk di atas dapat dijelaskan melalui gambar
grafik di bawah ini.

Breakdown
Self sustaining discharge

Non-self sustaining discharge 𝐼 = 𝐼0 𝑒 α𝑑

𝑇0 𝑇1 𝑇2

V 𝑉𝑠

Gambar 2. 3 Grafik hubungan V vs I berdasarkan kriteria Towsend 1


Pada daerah 𝑇0 , arus meningkat perlahan-lahan tetapi secara terus-menerus. Pada
daerah 𝑇1 dan 𝑇2 arus meningkat dengan tetap sesuai dengan mekanisme Towsend.
Pada gambar terlihat bahawa pada tegangan V rendah, maka 𝛾𝑒 α𝑑 <<1. Jika
tegangan V dinaikan, maka 𝑒 α𝑑 juga akan meningkat, sehingga maka 𝛾𝑒 α𝑑 =1.
Penyebut persamaan menjadi nol dan I menjadi tak hingga, pada kondisi ini terjadi
breakdown (kegagalan). Melewati daerah 𝑇2 maka arus akan meningkat dengan
tajam dan akan muncul percikan (spark).1

2.2.2. Mekanisme Streamer


Menurut mekanisme Towsend, arus akan menigkat sebagi hasil dari proses
ionisasi.akan tetapi, pada kondisi sebenarnya tegagna breakdown tergantung pada
tegangan gas dan ukuran dari celah. Semua kondisi-kondisi yang ada pada keadaan
sebenernya yang tidak bisa dijelaskan dalam mekanisme Towsend dapat dijelaskan
melalui mekanisme Streamer.

10
Pelepasan pada kegagalan mekanisme Streamer diawali dengan banjiran
tunggal, kemudian dari banjiran tersebut tersebut akan terjadi muatan ruang dimana
muatan ruang tersebut akan mengubah banjiran menjadi streamer plasma (celah
aliran/kanal) kemudian konduktivitas akan mengalami kenaikan dengan ceapt, dan
akan terjadi kegagalan dalam streamer tersebut. Ada dua jenis mekanisme
Streamer, yaitu streamaer yang mengarah ke katoda yang disebut streamer positif
dan streamer yang mnuju ke anoda yang disebut streamer negatif.
Dalam streamer positif untuk geometri medan deragam, pada waktu banjiran
telah melewati celah, maka elektron akan tertarik ke arah anoda, dan ion-ion dalam
anoda akan membentuk kerucut. Medan muatan ruang yang tinggi terjadi di dekat
anoda dan d tempat lain kerapatan ionnya rendah. Oleh karena itu, kehadiran ion-
ion positif tidak akan menimbulkan kegagalan dalam celah.1
Gas yang terionisasi pada tangkai banjiran akan mengeluarkan foton, dan hal
ini akan menimbulkan fotoelektron-fotoelektron yang menyebabkan terjadinya
proses banjiran sekunder. Apabila medan muatan yang disebabkan banjiran primer
besarnya sama dengan medn luar, peralihan dari banjiran elektron ke streamer akan
terjadi apabila medan 𝐸𝑟 yang dihasilkan oleh ion-ion positif pada kepala banjiran
sama dengan medan E yang diterapkan agar terjadi peningkatan ionisasi.1
Pelipatgandaan paling besar terjadi sepanjang sumbu banjiran promer. Ion-
ion positif yang ada di belakang banjiran akan memanjang dan memperkuat muatan
ruang banjiran primer ke arah katoda. Kemudian akan terbentuk plasma dan hal ini
tentu saja akan memperpendek jarak anoda dengan katoda. Streame akan terus
memanjang hingga merintangi celah dan membentuk saluran penhantar yang
berupa gas terionisasi di antar elektroda.1
Pada streamer negatif atau streamer yang menuju ke anoda, diawali dengan
mekanisme banjiran primer akan menghasilkan jumlah elektron (𝜀 𝑎𝑑 )yang cukup
untuk menimbulkan medan ruang yang sebanding dengan medan yang diterapkan.
Jumlah medan karena muatan ruang dan medan yang diterapkan akan
meningkatkan banjiran elektron sekunder yang menuju anoda mendahului streamer
negative yang terbentuk. Banjiran elektron terjadi disebabkan karena fotoionisasi
dalam celah di depan streamer.1

11
Persamaan empiris yang menyatakan criteria spark streamer adalah sebegai
berikut :
𝐸
𝑎𝑥𝑐 = 17.7 + ln 𝑥𝑐 + ln( 𝐸𝑟 ) …………………………………………….….........(2.14)

Dimana 𝐸𝑟 adalah medan yang dihasilkan di kepala banjiran, E adalah medan yang
diterapkan, dan 𝑥𝑐 adalah panjang banjiran dimana dihasilkannya elektron sekunder
akibat fotoionisasi.
Peralihan dari banjiran elektron ke streamer terjadu pada saat medan 𝐸𝑟 kira-
kira sama dengan medan E yang diterapkan sehingga persamaan di atas menjadi :
𝑎𝑥𝑐 = 17.7 + 𝑙𝑛 𝑥𝑐 …………………………………….…………………….…....(2.15)
Nilai breakdown minimun untuk celah medan seragam pada mekanisme streamer
yaitu pada saat terjadi peralihan dari banjiran ke streamer terjadi pada saat 𝑥𝑐 = 𝑑.
Medan yang dihasilkan di kepala banjiran pada radius r adalah :
𝛼𝜀 𝑎𝑥
𝐸𝑟 = 5.27 𝑋 10−7 (𝑥/𝑝)1/2 (2.16)

Dimana 𝛼 adalah koefisien pertama ionisasi Towsend, p adalah tekanan gas dalam
torr, dan x adalah jarak dimana streamer telah muncul dalam celah. Karena
tegangan minimum breakdown terjadi pada saat 𝐸𝑟 = 𝐸 dan x=d, maka persamaan
tersebut menjadi :
𝛼 𝐸 1 𝑑
𝛼𝑑 + 𝑙𝑛 (𝑝) = 14.5 + 1𝑛 (𝑝) + 2 𝑙𝑛 …………………………………….....(2.17)
𝑝

2.3. Proses Terjadinya Korona


Bila dua elektroda yang penampangnya kecil (dibandingkan dengan jarak
antara kedua elektroda tersebut) diberi tegangan bolak-balik, maka akan mungkin
terjadi fenomena korona. Pada tegangan yang cukup rendah, tidak akan terjadi apa-
apa. Bila tegangan tersebut dinaikan, maka akan terjadi korona secara bertahap.
Pertama-tama, pada elektroda akan kelihatan bercahaya, mengeluarkan suara suara
mendesis (hissing), dan berbau ozon. Warna cahaya yang terlihat adalah ungu muda
(violet). Apabila tegangan dinaikan secara terus-menerus, maka karakteristik yang
terjadi di atas akan semakin jelas terlihat, terutama pada bagian yang kasar, runcing,
atau kotor. Apabila tegangan masih terus dinaikan, maka akan muncul busur api.
Korona akan mengeluarkan panas, hal ini dapat dibuktikan dari pengukuran
menggunakan wattmeter. Pada keadaan udara lembab, korona menghasilkan asam

12
nitrogen (nitrous acid), yang menyebabkan elektroda berkarat bila kehilangan daya
cukup besar. Apabila tegangan yang digunakan adalah tegangan searah, maka pada
elektroda positif korona akan menampakan diri dalam bentuk cahaya yang seragam
(uniform) pada permukaan elektroda, sedangkan pada elektroda negatifnya hanya
pada tempat-tempat tertentu saja.2
Korona terjadi disebabkan karena medan listrik di sekitar penghantar cukup
kuat sehingga elektron di udara saling bertabrakan (collision) dan mengionisasi
udara, Karena terjadi ionisasi molekul dalam udara dan energi saat terionisasi cukup
kuat atom melepaskan elektron lebih yang selanjutnya mengionisasi atom yang lain.
Saat gradien potensial udara cukup besar pada suatu titik, maka udara yang
terionisasi tersebut akan bersifat konduktif.1
Karena adanya medan listrik yang berada di sekitar elektroda penghantar
yang mempercepat gerak elektron hasil ionisasi tersebut, maka elektron tersebut
akan menumbuk molekul-molekul gas atau udara di sekitarnya. Karena hal ini
terjadi secara terus-menerus maka jumlah ion dan elektron bebas menjadi berlipat
ganda. Apabila terjadinya eksitasi elektron atom gas, yaitu berubahnya kedudukan
elektron gradien tegangan menjadi cukup besar maka akan timbul fenomena korona.
Selain menyebabkan terjadinya ionisasi molekul, tumbukan elektron juga
menyebabkan dari orbital awalnya ke tingkat orbital yang lebih tinggi. Pada saat
elektron berpindah kembali ke tingkat orbital yang lebih rendah, maka akan terjadi
pelepasan energi berupa cahaya radiasi dan suara bising. 2

Mekanisme Terjadinya korona :

1. Sebuah molekul atau atom netralnya medium, di dalam sebuah wilayah medan
listrik yang kuat (seperti gradien potensial yang tinggi di dekat elektrode
melengkung) diionisasikan oleh peristiwa tumbukan, dan menciptakan sebuah
ion positif dan elektron bebas.

13
Gambar 2. 4 Mekanisme awal terjadinya pelepasan muatan

2. Medan listrik lalu beroperasi pada partikel-partikel bermuatan lalu


memisahkan, mencegah penggabungan kembali, serta mempercepat partikel-
partikel itu, memberikan energi kinetik ke setiap partikel.
3. Sebagai akibat dari peningkatan energi pada elektron (yang memiliki nisbah
massa/muatan dan kecepatan yang jauh lebih tinggi), lebih jauh lagi sejumlah
pasangan ion elektron/positif bisa diciptakan dengan menabrakkan atom-atom
netral. Lalu mereka mengalami proses pemisahan yang sama. Proses
pemisahan ini menciptakan sebuah longsoran elektron (Bahasa
Inggris: electron avalanche).

Gambar 2. 5 Mekanisme Ionisasi sekunder

14
4. Dalam berbagai proses yang membedakan korona positif dengan negatif,
proses energi plasma ini diubah menjadi disosiasi elektron tahap awal untuk
menyebabkan longsoran lebih jauh lagi.
5. Banyak ion terbentuk di dalam rangkaian longsoran ini (yang berlainan antara
korona positif dengan negatif) ditarik ke elektrode tak melengkung,
melengkapi sirkuit, dan mempertahankan aliran arus.

Gambar 2. 6 Banjiran elektron akibat proses yang berlangsung terus menerus


Tegangan awalnya korona atau Tegangan Insepsi Korona (TIK) bisa dicari
dengan hukum Peek (1929), yang diformulasikan dari pengamatan empiris.2

2.3.1. Pengaruh Tekanan Parsial Udara Terhadap Korona


Ionisasi udara mengakibatkan redistribusi tegangan gradien tegangan. Bila
redistribusi ini menyebabkan gradien udara di antara dua elektroda lebih besar dari
gradien udara normal maka bisa terjadi lompatan api. Bila hanya sebagian udara
antara dua elektroda yang terionisasikan, maka korona merupakan sampul
(envelope) mengelilingi elektroda. Gradien tegangan seragam yang dapat
menimbulkan ionisasi kumulatif di udara normal (250 C, 76 cmHg) adalah 30
kV/cm. Gradien potensial yang menyebabkan terjadinya kerusakan dielektrik
disebut kekuatan dielektrik material. Pada daerah yang sangat lebar kekuatan
dielektrik udara berbanding lurus dengan kerapatannya, berbanding lurus terhadap

15
tekanan, dan berbanding terbalik terhadap temperatur, dimana kekuatan dielektrik
dalam kondisi tersebut adalah g0δ. Gradien memiliki nilai yang konstan pada semua
titik dalam suatu medan dielektrik seragam seperti terdapat di antara piringan
paralel. Apabila tegangan bertambah secara perlahan-lahan secepat dicapainya
gradien kegagalan 30kV/cm, maka kegagalan udara dan flashover akan menjadikan
hubungan singkat kedua piringan. Untuk mencari tegangan tembus udara bisa
didapatkan dari alat uji tegangan tembus dan untuk melihat pengaruh kondisi udara
dapat digunakan persamaan dari Hukum Peek.2
Pengaruh udara terhadap korona di jabarkan secara matematis oleh Peek
pada jurnalnya, hukum peek menjelaskan bagaimana tegangan listrik yang
dibutuhkan untuk memancing munculnya pelepasan muatan korona diantara dua
penampang baik kawat fasa terhadap kawat fasa lainnya maupun kawat fasa ke
netral atau pembumian pada body suatu sistem.2
Persamaannya tersebut dijelaskan sebagai berikut :
𝑆
Ev = mo . gv . r . ln ( 𝑟 )....................................................................................(2.18)

Dimana,
Ev = tegangan pemunculan korona (kV)
mo = Tetapan kekasaran penghantar/elektroda (0,8 untuk kabel)
r = Jari – jari (cm)
S = Jarak antara kawat penghatar (cm)
gv = Medan listrik visual kritis (kV/cm), gradien pada medan listrik untuk
mempengaruhi collision pada molekul bebas disekitar penghantar
gv bisa didapatkan dengan persamaan berikut :
𝑐
gv = g0 𝛿 ( 1 + ) ...........................................................................................(2.19)
√𝛿 𝑟

dimana,
g0 = medan listrik pengrusak ( kV/cm)
δ = faktor densitas
c = konstanta dimensi empiris dimana untuk udara adalah 0,301 [2]
r = jari-jari penghantar (cm)
Untuk rugi – rugi daya yang didapat dari korona bisa menggunakan
persamaan sebagai berikut,

16
𝑟
Ploss = 241 . (f + 25) . √𝑠 . (En – Ev )2 .10-5 .........................................................(2.20)

dimana,
Ploss = Rugi daya akibat korona (kW)
En = Tegangan kerja pada penghantar fasa ke netral (kV)
Ev = Tegangan pemunculan korona (kV)
f = frekuensi kerja pada penghantar ( f )

2.4. Kubikel 20kV


Kubikel 20 kV adalah seperangkat peralatan listrik yang dipasang pada
Gardu Hubung Distribusi yang berfungsi sebagai pembagi, pemutus, penghubung
pengontrol dan proteksi sistem penyaluran tenaga listrik tegangan 20 kV.
Kubikel biasanya terpasang pada gardu hubung distribusi atau gardu hubung
Yang berupa beton maupun kios.
Kubikel yang terdapat di dalam gardu hubung (GH) merupakan panel
tegangan menengah yang berfungsi sebagai salah satu sarana penunjang Utama
Untuk mendistribusikan tenaga listrik ke konsumen, dimana di dalam GH selain
terdapat Trafo Distribusi terdapat pula beberapa kubikel dengan beberapa
peralatan bantu sesuai kebutuhan antara lain, pemutus beban pasangan dalam,
disconecting switch , isolator, Rel busbar, Vacum sircuit breaker, Kabel saluran
masuk atau keluar, Tranformator instrumen atau pengukuran antara lain Current
Tranformer dan Potential Transformer.3

2.4.1 Jenis dan fungsi kubikel.


Berdasarkan fungsi dan penempatannya, kubikel 20 kV di Gardu Induk antara
lain :
• Cubicle Incoming berfungsi sebagai penghubung dari sisi sekunder trafo
daya ke busbar 20 Kv
• Cubicle Outgoing : sebagai penghubung / penyalur dari busbar ke beban
• Cubicle Pemakaian sendiri (Trafo PS) : sebagai penghubung dari busbar
ke beban pemakaian sendiri GI
• Cubicle Kopel (bus kopling); sebagai penghubung antara rel 1 dan rel 2

17
• Cubicle PT / LA:: sebagai sarana pengukuran dan proteksi pengaman
tegangan surja.
• Cubicle Bus Riser / Bus Tie (Interface): sebagai penghubung antar sel. 3

2.4.2 Bagian – bagian kubikel

Cubicle TM 20 kV terdiri dari empat kompartemen, yaitu :


a) Kompartemen PMT.
Pada kompartemen ini terpasang “Withdrawable Circuit Breaker”. PMT
dan mekanisme penggeraknya dapat dengan mudah dikeluarkan/dimasukkan
ke dalam kubikel untuk keperluan pemeliharaan.
b) Kompartemen Busbar
Semua tertutup oleh bagian metal. Kompartemen busbar didesain agar
bagian bagian yang bergerak pada bagian ini seminimum mungkin. Busbar
dibuat dari tembaga atau aluminium dengan bentuk sesuai dengan desain dari
masing-masing pabrik.
c) Kompartemen Sambungan Kabel
Pada Kompartemen ini terdapat :
• Terminasi kabel tegangan menengah
• 3(tiga) pembagi tegangan (potensial divider), dilengkapi pada setiap pasa
terminasi kabel, yang disambung dengan tiga neon indikator yang
dipasang di muka panel. Fungsinya untuk melihat secara visual bahwa
kabel tersebut dalam keadaan bertegangan atau tidak, sehingga aman
terhadap petugas yang melaksanakan pengoperasian.
• Satu rangkaian hubung pendek dan pemisah tanah untuk sisi kabel.
Dioperasikan dari depan panel, dilengkapi dengan mekanisme operasi
kecepatan tinggi sehingga mempunyai kecepatan masuk yang tidak
tergantung kecepatan operator.
• Trafo arus
• Trafo tegangan (sesuai permintaan). Bisa type tetap atau lepasan.
Dilengkapi dengan pelebur dengan kapasitas pemutusan tinggi.
d) Kompartemen Tegangan Rendah

18
Kompartemen ini didisain untuk memperkecil resiko propagasi saat terjadi
kegagalan. Auxiliary disambung ke PMT oleh susunan multi pin connector.

Gambar 2. 7 Bagian-bagian kubikel

2.5. Kelembaban

2.5.1. Kelembaban Udara


Definisi kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air di atmosfer.
Udara atmosfer adalah campuran dari udara kering dan uap air. Kelembaban
udara adalah tingkat kebasahan udara karena dalam udara air selalu terkandung
dalam bentuk uap air. Kandungan uap air dalam udara hangat lebih banyak daripada
kandungan uap air dalam udara dingin. Kalau udara banyak mengandung uap air
didinginkan maka suhunya turun dan udara tidak dapat menahan lagi uap air
sebanyak itu. Uap air berubah menjadi titik-titik air. Udara yang mengandung uap
air sebanyak yang dapat dikandungnya disebut udara jenuh.4
Macam-macam kelembaban udara sebagai berikut :
1) Kelembaban relatif atau nisbi yaitu perbandingan jumlah uap air di udara
dengan yang terkandung di udara pada suhu yang sama.
2) Kelembaban absolut atau mutlak yaitu banyaknya uap air dalam gram pada 1
m3 .
Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat
dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit
tekanan uap air.

19
Beberapa cara untuk menyatakan jumlah uap air yaitu :
1. Tekanan uap adalah tekanan parsial dari uap air. Dalam fase gas maka uap air di
dalam atmosfer seperti gas sempurna (ideal).
2. Kelembaban mutlak yaitu massa air yang terkandung dalam satu satuan volume
udara lengas.
3. Kelembaban spesifik didefinisikan sebagai massa uap air persatuan massa udara
basah.
4. Kelembaban nisbi (RH) ialah perbandingan nisbah percampuran dengan nilai
jenuhnya dan dinyatakan dalam %.
Besaran yang sering dipakai untuk menyatakan kelembaban udara adalah
kelembaban nisbi yang diukur dengan psikrometer atau higrometer. Kelembaban
nisbi berubah sesuai tempat dan waktu. Pada siang hari kelembaban nisbi berangsur
– angsur turun kemudian pada sore hari sampai menjelang pagi bertambah besar.
Kelembaban nisbi membandingkan antara kandungan tekanan uap air aktual
dengan keadaan jenuhnya atau pada kapasitas udara untuk menampung uap
air. Kapasitas udara untuk menampung uap air (pada keadaan jenuh) tergantung
pada suhu udara Defisit tekanan uap air adalah selisih antara tekanan uap air jenuh
dengan tekanan uap aktual. Pengembunan terjadi bila kelembaban nisbi mencapai
100 %.4

2.5.2. Kerapatan Uap Air


Massa uap air per satuan volume udara yang mengandung uap air
tersebut.(kelembaban mutlak)
ρ= M / V.............................................................................................................(2.21)
dimana :
ρ = kerapatan uap air (kg m-3)
M= massa uap air (kg)
V = volume udara (m3)
Karena Hukum Gas Ideal adalah :
p V= n R T........................................................................................................(2.22)
Dimana :
p = Tekanan uap air (bar)
R = Tetapan gas umum (8.3143 J K-1 mol -1)

20
T = suhu mutlak (K)
V = volume udara (m3)
𝑚
dan, n =
𝑀

Maka, persamaan menjadi :

𝑝. 𝑀
ρ= ...........................................................................................................(2.23)
𝑅 .𝑇
Berdasarkan persamaan di atas, kerapatan uap air (ρ) ditentukan oleh tekanan
(p) suhu udara (T). (2)

2.5.3. Relative humidity


Perbandingan antara kelembaban aktual dengan kapasitas udara untuk
menampung uap air.
𝑒
RH = 𝑒𝑎 . 100%...............................................................................................................................................(2.24)
𝑠

dimana :
ea = kelembaban aktual atau tekanan uap air parsial
es = kapasitas udara untuk menampung uap air/tekanan uap jenuh diambil dari tabel
Bila kelembaban Relatif ( RH )100% maka, ea = es, untuk tekanan saturasi (es)
tergantung pada suhu udara (T) Makin tinggi suhu, kapasitas untuk menampung
uap air atau tekanan satuari (es) meningkat pada tekanan aktual (ea) yang tetap, RH
akan lebih kecil bila suhu udara meningkat, sebaliknya RH makin tinggi bila suhu
udara rendah.
Tekana aktual uap air jenuh (ea) yang tetap antara siang dan malam,
menyebabkan RH akan lebih rendah pada siang hari tetapi lebih tinggi pada malam
hari, RH lebih tinggi pada malam hari dam mencapai maksimum pada pagi hari
sebelum matahari terbit. Hal tersebut menyebabkan proses pengembunan bila udara
bersentuhan dengan bidang/permukaan yang suhunya lebih rendah dari suhu titik
embun. Embun terbentuk pada tempat-tempat yang terbuka atau tidak ternaungi
seperti bagian terluar dari tajuk pohon dan di rumput (tidak terlindungi benda
lain). Tempat tersebut memiliki suhu terendah karena paling banyak kehilangan
energi melalui pancaran radiasi gelombang panjang.

21
2.6 Perhitungan Tekanan Parsial Udara
tekanan parsial uap air jenuh (ea) adalah hasil akhir perhitungan yang
didapat dari kelembaban, untuk mencari ea sendiri bisa didapat dari persamaan 2.24
untuk tekanan saturasi es bisa didapatkan dari tabel tekanan uap air jenuh dibawah
ini

Tabel 2. 1 Tekanan Uap Air Jenuh

Dari tabel di atas kita bisa dapatkan tekanan uap air jenuh (es), lalu dari es kita bisa
mendapatkan tekanan air parsial uap air dengan memasukan ke persamaan (2.24).
Untuk kerapatan partikel udara relatif bisa didapatkan dari perbandingan massa
jenis udara pada kondisi standar per masa jenis uap jenuh.
Karena tekanan parsial (ea) adalah tekanan udara (p) maka kita pergunakan
persamaan (2.23) untuk mencari kerapatan uap air jenuh di udara
𝑒𝑎 . 𝑀
ρ(uap air jenuh) = dari persamaan (2.23)
𝑅. 𝑇

22
Massa jenis udara relatif adalah perbandingan antara massa jenis udara standar
dan massa jenis udara jenuh sehingga,
ρ(udara relatif) = ρ(udara standar)/ ρ(uap air jenuh).....................................(2.25)
untuk mencari faktor densitas atau faktor kerapat partikel udara maka bisa
menggunakan persamaan sebagai berikut,
𝛿 = ρ(udara) / ρ(SATP) ..................................................................................(2.26)
dimana,
𝛿 = rapat partikel udara relatif pada saat pengukuran
ρ(uap air jenuh) = masa jenis uap air jenuh dalam udara (kg/cm3)
ρ(udara standar)= masa jenis udara standar (1,2 kg/cm3 pada 760 mmhg 27 0C)
ρ(udara relatif) = masa jenis relati udara saat pengukuran (kg/cm3)
ρ(SATP) = 1 (faktor densitas pada SATP)

2.6. Kontrol suhu dan kelembaban


Dalam penelitian ini, permasalahan yang diangkat adalah kelembaban,
dikarenakan kelembaban dapat mempengaruhi faktor densitas (𝛿), dimana apabila
faktor densitas makin kecil maka angka tegangan pemunculan korona akan semakin
kecil, sehingga kemungkinan terjadina korona akan semakin besar.
Untuk menangani hal tersebut maka dibuatlah rancang bangun alat kendali
kelembaban dan suhu yang dapat digunakan di dalam kubikel, bahan – bahan yang
dipergunakan adalah :
1. Board Arduino uno sebagai mikrokontrol
2. Fan sebagai Aktuator
3. Heater sebagai Aktuator
4. Relay sebagai kendali I/O aktuator
5. LCD sebagai user interface

2.6.1. Arduino Uno


Arduino Merupakan board modul dari rangkain microcontroller yang telah
dirangkai sehingga pengguna bisa membuat suatu rangkaian tanpa perlu marakit
lagi bahan-bahan pendukung mikrokontrol.

23
Arduino Uno adalah board mikrokontroler berbasis ATmega328. Uno
memiliki 14 pin digital input / output (dimana 6 dapat digunakan sebagai output
PWM), 6 input analog, resonator keramik 16 MHz, koneksi USB, jack listrik,
header ICSP, dan tombol reset. Uno dibangun berdasarkan apa yang diperlukan
untuk mendukung mikrokontroler, sumber daya bisa menggunakan power USB
(jika terhubung ke komputer dengan kabel USB) dan juga dengan adaptor atau
baterai.
Arduino Uno berbeda dari semua papan sebelumnya dalam hal tidak
menggunakan FTDI chip driver USB-to-serial. Sebaliknya, fitur Atmega16U2
(Atmega8U2 sampai versi R2) diprogram sebagai konverter USB-to-serial. Revisi
2 dari Uno memiliki resistor pulling 8U2 HWB yang terhubung ke tanah, sehingga
lebih mudah untuk menggunakan mode DFU.
Sumber Daya / Power
Arduino Uno dapat diaktifkan melalui koneksi USB atau dengan catu daya
eksternal. Sumber daya dipilih secara otomatis. Untuk sumber daya Eksternal (non-
USB) dapat berasal baik dari adaptor AC-DC atau baterai. Adaptor ini dapat
dihubungkan dengan memasukkan 2.1mm jack DC ke colokan listrik board. Baterai
dapat dimasukkan pada pin header Gnd dan Vin dari konektor DAYA.
Board dapat beroperasi pada pasokan eksternal dari 6 sampai 20 volt. Jika Anda
menggunakan tegangan kurang dari 6 volt mungkin tidak akan stabil. Jika
menggunakan lebih dari 12V, regulator tegangan bisa panas dan merusak papan.
Rentang yang dianjurkan adalah 7 sampai 12 volt.
Pin listrik yang tersedia adalah sebagai berikut:
1. VIN. Input tegangan ke board Arduino ketika menggunakan sumber daya
eksternal. Anda dapat menyediakan tegangan melalui pin ini, atau, jika Anda
ingin memasok tegangan melalui colokan listrik, gunakan pin ini. Pin ini
merupakan output 5V yang telah diatur oleh regulator papan Arduino. Board
dapat diaktifkan dengan daya, baik dari colokan listrik DC (7 - 12V), konektor
USB (5V), atau pin VIN board (7-12V). Jika Anda memasukan tegangan
melalui pin 5V atau 3.3V secara langsung (tanpa melewati regulator) dapat
merusak papan Arduino. Penulis tidak menyarankan itu. Tegangan pada pin

24
3V3. 3.3Volt dihasilkan oleh regulator on-board. Menyediakan arus
maksimum 50 mA.
2. GND. Pin Ground.
3. IOREF. Pin ini di papan Arduino memberikan tegangan referensi ketika
mikrokontroler beroperasi. Sebuah shield yang dikonfigurasi dengan benar
dapat membaca pin tegangan IOREF sehingga dapat memilih sumber daya
yang tepat agar dapat bekerja dengan 5V atau 3.3V.
Memori
ATmega328 memiliki 32 KB (dengan 0,5 KB digunakan untuk bootloader).
ATmega328 juga memiliki 2 KB dari SRAM dan 1 KB EEPROM (yang dapat
dibaca dan ditulis dengan perpustakaan / library EEPROM).
Input dan Output
Masing-masing dari 14 pin digital Uno dapat digunakan sebagai input atau output,
menggunakan fungsi pinMode(), digitalWrite(), dan digitalRead(). Mereka
beroperasi pada tegangan 5 volt. Setiap pin dapat memberikan atau menerima
maksimum 40 mA dan memiliki resistor pull-up internal (terputus secara default)
dari 20-50 kOhms. Selain itu, beberapa pin memiliki fungsi spesial:
1. Serial: pin 0 (RX) dan 1 (TX) Digunakan untuk menerima (RX) dan
mengirimkan (TX) data serial TTL. Pin ini terhubung dengan pin
ATmega8U2 USB-to-Serial TTL.
2. Eksternal Interupsi: Pin 2 dan 3 dapat dikonfigurasi untuk memicu interrupt
pada nilai yang rendah (low value), rising atau falling edge, atau perubahan
nilai. Lihat fungsi attachInterrupt() untuk rinciannya.
3. PWM: Pin 3, 5, 6, 9, 10, dan 11 Menyediakan 8-bit PWM dengan fungsi
analogWrite()
4. SPI: pin 10 (SS), 11 (MOSI), 12 (MISO), 13 (SCK) mendukung komunikasi
SPI dengan menggunakan perpustakaan SPI
5. LED: pin 13. Built-in LED terhubung ke pin digital 13. LED akan menyala
ketika diberi nilai HIGH
Arduino Uno memiliki 6 input analog, berlabel A0 sampai A5, yang masing-
masing menyediakan resolusi 10 bit (yaitu 1024 nilai yang berbeda). Secara default
mereka mengukur dari ground sampai 5 volt, perubahan tegangan maksimal

25
menggunakan pin AREF dan fungsi analogReference(). Selain itu, beberapa pin
tersebut memiliki spesialisasi fungsi, yaitu TWI: pin A4 atau SDA dan A5 atau SCL
mendukung komunikasi TWI menggunakan perpustakaan Wire.
Ada beberapa pin lainnya yang tertulis di board:
1. AREF. Tegangan referensi untuk input analog. Dapat digunakan dengan
fungsi analogReference().
2. Reset. Gunakan LOW untuk me-reset mikrokontroler. Biasanya digunakan
untuk menambahkan tombol reset.
Komunikasi
Arduino Uno memiliki sejumlah fasilitas untuk berkomunikasi dengan
komputer, Arduino lain, atau mikrokontroler lainnya. ATmega328 menyediakan
UART TTL (5V) komunikasi serial, yang tersedia pada pin digital 0 (RX) dan 1
(TX). Pada ATmega16U2 saluran komunikasi serial melalui USB dan muncul
sebagai com port virtual untuk perangkat lunak pada komputer. Firmware 16U2
menggunakan standar driver USB COM, dan tidak ada driver eksternal diperlukan.
Namun, pada Windows, diperlukan file .inf. Perangkat lunak Arduino termasuk
monitor serial yang memungkinkan data tekstual sederhana akan dikirim ke dan
dari papan Arduino. RX dan TX LED di papan akan berkedip ketika data sedang
dikirim melalui chip USB-to-serial dan koneksi USB komputer (tetapi tidak untuk
komunikasi serial pada pin 0 dan 1). ATmega328 juga mendukung I2C (TWI) dan
komunikasi SPI. Perangkat lunak Arduino termasuk perpustakaan Wire berfungsi
menyederhanakan penggunaan bus I2C. Untuk komunikasi SPI, menggunakan
perpustakaan SPI.
Pemrograman
Arduino Uno dapat diprogram dengan software Arduino
Karakteristik Fisik
Panjang maksimum dan lebar PCB Uno masing-masing adalah 2,7 dan 2,1
inci, dengan konektor USB dan colokan listrik yang melampaui dimensi tersebut.
Empat lubang sekrup memungkinkan board harus terpasang ke permukaan.
Perhatikan bahwa jarak antara pin digital 7 dan 8 adalah 0,16", tidak seperti pin
lainnya.
Adapun data teknis board Arduino UNO R3 adalah sebagai berikut :

26
 Mikrokontroler : ATMEGA328
 Tegangan Operasi : 5V
 Tegangan Input (recommended) : 7 - 12 V
 Tegangan Input (limit) : 6-20 V
 Pin digital I/O : 14 (6 diantaranya pin PWM)
 Pin Analog input : 6
 Arus DC per pin I/O : 40 mA
 Arus DC untuk pin 3.3 V : 150 mA
 Flash Memory : 32 KB dengan 0.5KB digunakan untuk bootloader
 SRAM : 2 KB
 EEPROM : 1 KB
 Kecepatan Pewaktuan : 16 Mhz

Gambar 2. 8 Konstruksi Jalur Rangkaian Arduino Uno

2.6.2. DHT112
DHT11 adalah sensor lokal yang biasa dipergunakan sebagai bahan
percobaan karena harga yang murah dan akurasi pembacaan yang cukup baik.
DHT11 memanfaatkan kemampuan kapasitif dari suatu bahan yang akan
berubah apabila terjadi perubahan kelembaban dan suhu disekitar nya.

27
Bahan dan material DHT11 terdiri dari :

 Film tipis polimer / oksida logam antara dua elektroda konduktif.


 Permukaan penginderaan / sensor dilapisi dengan logam berpori elektroda
untuk melindunginya kontaminasi. bahan kaca, keramik, atau silikon.
 Perubahan dalam konstanta dielektrik sensor kelembaban kapasitif hampir
berbanding lurus dengan kelembaban relatif lingkungan sekitarnya.

Spesifikasi :
 Supply Voltage: +5 V
 Temperature range : 0-60 °C error of ± 2 °C
 Humidity : 15-90% RH ± 5% RH error
 Interface : Digital

Resistansi dari banyak konduktor nonmetal secara umum tergantung pada


kandungan air konduktor tersebut, yang merupakan suatu dasar dari sensor
kelembaban resistif atau hygrostator
Sensor tersebut berisi suatu material yang secara relative resistivitasnya
rendah yang berubah secara signifikan dibawah perubahan kondisi kelembaban.
Contoh lainnya dari sensor kelembaban konduktivitas adalah disebut dengan
“Pope element”, yang terdiri dari polystyrene yang dilakukan/diperlakukan dengan
asam sulfur untuk memperoleh karakteristik surface-resistivitas yang diinginkan.
Material lainnya yang menjanjikan untuk pembuatansuatu film dalam sensor
konduktivitas adalah solidpolyelectrolytes karena konduktivita elektrik dari bahan
itu bervariasi/berubah terhadap kelembaban.

Gambar 2. 9 Konstruksi Rangkaian Sensor Berbasis Kapasitansi

Sensor kelembaban solid-state dapat dibuat dengan substrat silicon (gbr. A)


Silikon tersebut harus berkonduktansi tinggi, yang menyediakan garis edar elektrik

28
dari elektroda aluminium hampa udara/vacuum yang ditempatkan pada permukaan
sensor. Suatu lapisan oksida yang dibentuk pada bagian atas lapisan aluminium
konduktiv, dan pada bagian atas itu, alektroda lainnya dibentuk. Lapisan aluminium
tersebut dianodized dalam suatu cara untuk membentuk permukaan oksida berpori.
Elektroda bagian paling atas/diatasnya terbuat dari suatu bentuk emas berpori yang
dapat ditembus gas, dan diwaktu yang sama dapat menyediakan kontakelektric.
Oksida aluminium (Al2O3), seperti banyak material-material lainnya, yang dengan
siap mengabsorbsi air ketika terkontak/terhubung dengan campuran gas yang
mengandung air dalam keadaan beruap air.

Gambar 2. 10 Rangkaian Sensor DHT 11

Cara kerja sensor sesuai dengan prinsip kapasitansi, ketika ada bahan dielektrik
diantara dua bahan konduktor maka ada faktor kapasitif. Dalam kondisi sensor
DHT 11 bahan dieletriknya adalah udara, ketika kelembaban (RH) dari sensor
berubah maka nilai konstanta permitivitas dari udara tersebut berubah sehingga
mempengaruhi nilai kapasitansi (C) sesuai dengan persamaan:
𝐴
C= (𝑆 ) . 8,84.1014 . k (2.27)

Dimana konstana permitivitas (k) adalah


211 48 𝑒𝑠
k=1+ ( ea + RH ) 10-6 (2.28)
𝑇 𝑇

C = kapasitansi (Farad)
A = Luas penampang bahan konduktor (cm2)
S = Jarak antar konduktor (cm)
T = Suhu (Kelvin)
ea = Tekanan Parsial (bar)

29
es = Tekanan Saturasi Uap air jenuh (bar)
RH = Kelembaban (%)

Dari persamaan diatas terlihat kelembaban dan suhu mempengaruhi nilai


kapasitansi dielektrik udara, sensor DHT 11 bekerja secara digital dimana di dalam
DHT11 terdapat sistem prosesor komplek yang membaca perubahan waktu dimana,

𝐼𝑡
C= (2.29)
𝑉

C = Kapasitansi (Farad)
I = Arus (Ampere)
V = Tegangan (Volt)
t = waktu sampai tegangan maksimal tercapai (s)

Arus dan tegangan tetap, tetapi waktu pengisian muatan sampai tegangan
maksimal pada nilai kapasitif yang berubah.

Karakteristik sensor
 Perubahan kapasitansi 0,2-0,5 pF untuk RH 1%
 Kapasitansi antara 100 dan 500 pF sebesar 50% RH pada 25 ° C.
 Rentang waktu respon antara 30 hingga 60 s untuk perubahan RH 63%.

2.6.3. Relay
Relay maupun kontaktor magnet memiliki kumparan (coil) yang apabila di
aliri arus listrik DC maka besi sebagai inti dari kumparan akan menjadi magnet,
sehingga batang bergerak yang sama sama terbuat dari besi akan di tarik sehingga
lengket pada inti besi. Hal ini mengakibatkan kontak NC ( Normaly close ) akan
berubah menjadi kontak NO ( Normally Open ).
Di sebuah Relay sederhana terdiri dari 4 komponen dasar yaitu :

1. Electromagnet (Coil)

2. Armature

3. Switch Contact Point (Saklar)

4. Spring

30
Berikut ini merupakan gambar dari bagian-bagian Relay (Struktur Sederhana
sebuah relay)

Gambar 2. 11 Konstruksi Relay


Kontak Poin (Contact Point) Relay terdiri dari 2 jenis yaitu :
 Normally Close (NC) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu
berada di posisi CLOSE (tertutup)
 Normally Open (NO) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu
berada di posisi OPEN (terbuka)
Berdasarkan gambar diatas, sebuah Besi (Iron Core) yang dililit oleh
kumparan Coil yang berfungsi untuk mengendalikan Besi tersebut. Apabila
Kumparan Coil diberikan arus listrik, maka akan timbul gaya Elektromagnet yang
kemudian menarik Armature untuk berpindah dari Posisi sebelumnya (NC) ke
posisi baru (NO) sehingga menjadi Saklar yang dapat menghantarkan arus listrik di
posisi barunya (NO). Posisi dimana Armature tersebut berada sebelumnya (NC)
akan menjadi OPEN atau tidak terhubung. Pada saat tidak dialiri arus listrik,
Armature akan kembali lagi ke posisi Awal (NC). Coil membutuhkan arus listrik
yang relatif kecil untuk mengaktifkan electromagnet dan menarik Contact Poin ke
posisi Close.

31
Karena Relay merupakan salah satu jenis dari Saklar, maka istilah Pole dan
Throw yang dipakai dalam Saklar juga berlaku pada Relay. Berikut ini adalah
penjelasan singkat mengenai Istilah Pole and Throw :

Pole : Banyaknya Kontak (Contact) yang dimiliki oleh sebuah relay

Throw : Banyaknya kondisi yang dimiliki oleh sebuah Kontak (Contact)

Berdasarkan penggolongan jumlah Pole dan Throw-nya sebuah relay, maka


relay dapat digolongkan menjadi :

 Single Pole Single Throw (SPST) : Relay golongan ini memiliki 4 Terminal,
2 Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
 Single Pole Double Throw (SPDT) : Relay golongan ini memiliki 5 Terminal,
3 Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
 Double Pole Single Throw (DPST) : Relay golongan ini memiliki 6 Terminal,
diantaranya 4 Terminal yang terdiri dari 2 Pasang Terminal Saklar sedangkan
2 Terminal lainnya untuk Coil. Relay DPST dapat dijadikan 2 Saklar yang
dikendalikan oleh 1 Coil.
 Double Pole Double Throw (DPDT) : Relay golongan ini memiliki Terminal
sebanyak 8 Terminal, diantaranya 6 Terminal yang merupakan 2 pasang
Relay SPDT yang dikendalikan oleh 1 (single) Coil. Sedangkan 2 Terminal
lainnya untuk Coil.
Selain Golongan Relay diatas, terdapat juga Relay-relay yang Pole dan
Throw-nya melebihi dari 2 (dua). Misalnya 3PDT (Triple Pole Double Throw)
ataupun 4PDT (Four Pole Double Throw) dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas
mengenai Penggolongan Relay berdasarkan Jumlah Pole dan Throw, silakan lihat
gambar dibawah ini :

32
Gambar 2. 12 Konstruksi Rangakaian Relay
Spesifikasi modul relay yang digunakan dalam pembuatan alat ini adalah
bertipe SPDT (Single Pole Double Throw) berukuran mini dengan 5 pin ini dengan
dimensi 14 x 9 x 10 mm (di luar pin setinggi 3,5 mm). Tegangan untuk aktivasi
membutuhkan 3 Volt DC, dengan batas arus maksimum pada terminal kontak
sebesar 1 Ampere pada 24 Volt DC atau 500 mA pada 125 Volt AC (catatan: jangan
digunakan untuk switching peralatan dengan listrik PLN yang bertegangan 220
VAC, maksimum tegangan kontak untuk relay ini adalah 60 VDC / 125 VAC).
Tipikal resistansi pada koil sebesar 60Ω (dibutuhkan arus sebesar 50 mA untuk
mengaktivasi relay ini).

Gambar 2. 13 Bagan Satu Garis Rangkaian Arduino dan Relay

33
2.6.4. Fan
Sebelum Daya dari blower/ fan dapat dihitung, sejumlah parameter operasi
harus diukur, termasuk kecepatan udara, head tekanan, suhu aliran udara pada fan.
Dalam rangka mendapatkan gambaran operasi yang benar harus diyakinkan bahwa:
1. Fan dan komponennya beroperasi dengan benar pada kecepatannya
2. Operasi berada pada kondisi stabil; suhu, berat jenis, resistansi sistim yang
stabil
Disini akan dihitung daya dari blower dan Perhitungan efisiensi blower/fan,
perhitungan dibagai beberapa tahap agar dapat mudah dimengerti.

Tahap 1: Menghitung berat jenis gas


Tahap pertama adalah menghitung berat jenis udara atau gas. Koefisien
berat jenis adalah perbandingan relatif dari massa jenis suatu bahan terhadap massa
jenis air murni yaitu 100g/cm3 . Koefisien berat jenis tidak memiliki satuan atau
dimensi. Koefisien berat jenis didapat dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut :
γ = ρ / 1000 .................................................................................................(2.30)
Dimana,
γ = Koeffisien berat jenis
ρ = massa jenis (kg/m3)

Tahap 2: Mengukur tekanan pada Fan


Tekanan pada Fan adalah tekanan yang akan di atur oleh fan, di asumsikan
kelembaban tertinggi di kubikel rata-rata di angka 80%, apabila set point untuk
kondisi di dalam kubikel adalah 40% maka fan harus bisa mengurangi tekanan
parsial uap air jenuh sebesar tekanan pada kelembaban 40%, di asumsikan suhu
pada kondisi 400C maka tekanan yang menjadi beban fan dapat dihitung dengan
persamaan 2.24.

Tahap 3: menghitung aliran volumetrik


Tahap ketiga adalah menghitung aliran volumetrik, ukur diameter saluran
(atau dari sekitarnya dimana diameter dapat diperkirakan).

34
Hitung volum udara atau gas dalam saluran dengan hubungan sebagai berikut:

Q = v x A..........................................................................................................(2.31)
Q = debit gas (m3/s)
v= laju gas (m/s)
A= Diameter saluran (m2)
Untuk laju efektif gas ideal adalah :
v= √3𝑝/ρ..........................................................................................................(2.32)
p = tekanan udara (N/m2)
ρ = Massa Jenis udara (kg/m3)
Tahap 4:Menghitung Daya Blower
Daya blower yang dibutuhkan adalah hubungan berat jenis (γ), tekanan yang
akan di kendalikan oleh fan dan aliran volumetrik udara dimana,
Daya blower = γ. pfan . Q
Dimana
γ = berat jenis udara
pfan = tekanan fan (N/m2)
Q = aliran volumetrik udara (m3/s)
Fan yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah exhaust fan dengan daya 40 watt
untuk perhitungan dapat dilihat pada lampiran.

2.6.5 LCD
LCD adalah user interface untuk melihat hasil ukur dari sensor, layar LCD
yang digunakan berupa LCD 12x2 dimana kemampuan dari layar nya dapat
menampilkan 2 baris kolom, dan setiap barisnya bisa menampilkan 12 huruf dan
angka.

35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Tujuan dari dibuatnya rancang bangun sistem kendali kelembaban ini adalah
untuk membuat kondisi suhu dan kelembaban di dalam kubikel stabil dan sesuai set
point yang diharapkan.

Tujuan dari penelitian dan pengujian dalam proses pembuatan skripsi ini
adalah untuk menganalisa pengaruh dari kondisi udara terhadap, tingkat tegangan
tembus, tegangan pemunculan korona, kegagalan isolasi dan rugi-rugi yang
dihasillkan oleh korona, dengan meneliti kondisi real di lapangan.

Hasil akhir dari penelitian dan pengujian ini adalah melihat sampai sejauh
mana pengarunh dari alat yang dibuat oleh penulis dan dampak postitif yang
didapatkan apabila sitem ini di implementasikan.

3.1 Sistematika Penelitian


Tempat penelitian di laksanakan di Lab PT.PLN (Persero) dan di Gardu
yang telah di pilih yaitu Gardu Swiss Van java dengan langkah – langkah sebagai
berikut :

1. Pengujian tegangan tembus


2. Perakitan Alat
3. Penelitian Alat
4. Pemasangan Alat di kubikel
5. Penghitungan tegangan tembus setelah dipasang alat
6. Pengolahan Data

3.1.1 Pengujian Tegangan Tembus


Pengujian dilaksanakan secara real pada rancang bangun alat yang di buat
dan di gardu yang telah dipilih, Pengujian peralatan listrik dengan tegangan tinggi
ada dua macam metode yaitu pengujian yang dapat merusak (destructive) dan
pengujian yang tidak merusak (non-destructive).

36
Ada tiga jenis pengujian:
1. Pengujian ketahanan (withstand test)
2. Pengujian pelepasan (discharge test)
3. Pengujian kegagalan (breakdown test)
Penulis menggunakan Pengujian ketiga yaitu pngujian breakdown testuntuk
mendapatkan nilai tegangan tembus, Standarisasi tingkat internasional dikerjakan
oleh komisi teknik IEC. Pada tingkat nasional di Indonesia standarisasi dibuat dan
diterbitkan oleh PLN yaitu SPLN yang mengacu pada IEC.

Gambar 3. 1 Konstruksi Elektroda alat Break down test

Elektroda yang digunakan dalam pengujian terbuat dari kuningan, perunggu atau
stainless stell. Panjang celah antara kedua elektroda adalah 2,5 mm. Tegangan uji
dinaikkan dari nol dengan laju 2,0 kV/s +/- 0,2 kV/s hingga terjadi tembus.

Jika suatu tegangan yang diterapkan telah melampaui tegangan tembus statis, maka
dalam waktu beberapa µs, sela percik akan tembus. Selama selang waktu tersebut
puncak tegangan jaringan dapat dianggap konstan. Oleh karena itu tembus dalam
gas selalu terjadi pada puncak tegangan bolak-balik frekuensi rendah. Dalam
gambar 3.1 ditunjukkan dua susunan sela bola untuk pengukuran. Susunan
horisontal digunakan untuk diameter D < 50 cm dengan rentang tegangan yang
lebih rendah sedangkan untuk diameter yang lebih besar digunakan susunan
vertikal yang mengukur besar tegangan terhadap bumi. Sejumlah baku (VDE 0433-
2; IEC- Publ.52; BS 358 ) telah menyatakan jarak bebas yang minimum serta nilai
tegangan tembus pada kondisi baku ( b = 1013 mbar, v = 20oC ) untuk berbagai
diameter bola D sebagai fungsi besar sela (s).
Rangkaian pembangkitan tegangan AC adalah rangkaian yang digunakan
untuk mengetahui tegangan tembus pada pengujian media isolasi.Tegangan jala-

37
jala 220 V frekuensi 50 Hz dihubungkan ke regulator tegangan. Tegangan diatur
melalui regulator tersebut. Tegangan disisi sekunder dinaikan dengan perbandingan
sisi primer dan sisi sekunder.Sehingga jika pada sisi primer trafo uji dinaikan maka
pada sisi sekunder akan mengalami peningkatan tegangan. Tegangan tembus
diperoleh dengan menaikan tegangan pada regulator sampai tepat terjadi tegangan
tembus.

Pengujian dilakukan dalam kondisi real di tempat yang penulis tentukan,


waktu pengujian di lakukan dalam waktu yang ditentukan, dengan kondisi
elektroda berbetuk bola dan jarak sela 2,5 mm dengan langkah – langkah sebagai
berikut :

1. Hubungkan alat ke sumber daya dari instalasi, sumber daya dari PLN
dengan 220 Volt dan arus AC
2. PMT Kubikel di buka dan ground kubikel dimasukan
3. Pintu Rak Kubikel di buka
4. Elektroda dipersiapkan dan di simpan di dalam kubikel
5. Rak kubikel ditutup kembali
6. Alat dinyalakan dan dilakukan pengujian dengan menekan tombol test dan
settingan pengujian nya IEC.
7. Mencatat hasil dari pengujian yang tampil pada display Alat uji.

3.2 Perakitan Alat


Karena tidak ada sistem kendali dalam kubikel maka penulis mencoba
membuat kontrol sistem kelembaban dan suhu, dalam hal ini dari data yang
didapatkan dari penelitian dan pengujian di buat lah sistem yang di jelaskan pada
gambar dibawah ini.

Gambar 3. 2 Bagan kerja sistem

38
Berdasar Gambar 3.2, Set value (SV) merupakan output yang diinginkan dari
sistem kendali, sedangkan present value (PV) merupakan output yang dihasilkan
saat itu. Nilai present value dibaca oleh sensor dan dibandingkan dengan set
value oleh pengendali (controller). Selanjutnya controller menggerakkan aktuator
agar nilai present value mendekati set value. Proses ini berlangsung secara terus
menerus.

Dalam proses pengendalian suhu dan kelembaban, SV merupakan suhu dan


kelembaban yang diinginkan, yang nilainya dimasukkan ke controller. Sedangkan
PV merupakan suhu dan kelembaban ruang saat itu, yang nilainya dibaca oleh
sensor.

LCD

Relay Fan Fan


ARDUINO

Sensor
DHT 11
Relay Heater Lampu 45 W

Set Point suhu dan


Kelembapan

Gambar 3. 3 Blok Diagaram Alat


Dari blok diagram dapat dilihat bahwa data yang didapatkan sensor masuk
dan diolah oleh arduino, arduino memproses data yang didapat dan selanjutnya
memberikan intruksi kepada relay sesuai dengan program yang telah di masukan
oleh penulis ke arduino.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Arduino Uno Simple Pack
2. Sensor Suhu dan Kelembaban DHT 11
3. Fan AC 220 Volt 40 WATT
4. Adaptor DC 12 Volt

39
5. Heater 1300 Watt 220 Volt AC
6. Sumber Tegangan rendah F-N 220 V 50 Hz
7. Set Wiring dan Terminal
8. Mur baut elektronik

untuk perakitan alat dapat dilihat pada Single line jelaskan dengan gambar dibawah
ini.

DHT11
ground

Relay

Heater
G r ound

Fan

5v

LCD
Beard
Power Board
SUppla 5v

Gambar 3. 4 Single Line Rancang Bangung Alat

Keterangan gambar adalah sebagai berikut :


1. Garis Merah adalah kabel Vcc 5 V sambungan daya untuk peralatan
2. Garis Hitam adalah kabel ground sambungan ground untuk alat
3. Garis Biru adalah Kabel data DHT11 ke arah dudukan wiring digital no 2
4. Garis kuning adalah kabel data Relay untuk pengaturan heater yang
dihubungkan ke dudukan wiringdigital no 8
5. Garis ungu adalah kabel data relay untuk pengaturan fan yang
dihubungkan ke dudukan wiring digital no 7

40
6. Garis hijau adalah kabel analog LCD yang dihubngkan dengan dudukan
wiring analog no A4
Proses Pembuatan Alat adalah sebagai berikut :

1. Persiapkan Alat dan Bahan


2. Buat Skema tempat dudukan bahan-bahan untuk sistem
3. Pasang bahan pada dudukan yang sudah disiapkan
4. Rangkai wiring dari bahan-bahan yang terpasang pada arduinno
5. pin data sensor pasang ke pin digital no 2 arduino
6. pin vcc sensor pasang ke whiteboard baris tegangan
7. pin gnd sensor pasang ke whiteboard baris ground
8. pin vcc relay pasang ke white board baris tegangan
9. pin gnd relay pasang ke white board baris ground
10. pin data 1 ke pin digital no 7
11. pin data 2 ke pin digital no 8
12. pin data 1 lcd ke analog 4
13. pin data 2 lcd ke analog 5
14. pin vcc 5 v arduino di pasang ke baris vcc white board
15. pin gnd arduino dipasang ke baris groung white boarrd
16. kable fasa untuk suplay lampu di potong dan input dimasukan ke in normally
open relay
17. kable fasa output lampu ke op no relay
18. kabel keluaran adaptor 12 volt di sadap dan di jumper kefan
19. ground fan di pasang ke white board baris ground
20. kabel vcc fan di potong di rangkai ke relay
21. pin vcc lcd dpasang ke white board baris vcc

3.3 Penelitian alat


Penelitian alat diperlukan untuk mengatahui sampai sejauh mana efektifitas
dari sistem yang dibuat, sehingga bisa diambil keputusan dan penilaian terhadap
sistem yang dibuat untuk kemudian di implementasikan ke kubikel yang asli
dilapangan.

Penelitian dilaksanakan dalam beberapa bagian yaitu:

41
1. Pengujian tegangan tembus tanpa alat sistem terpasang kubikel
2. Pengujian tegangan tembus dengan alat sistem terpasang kubikel
3. Analisa dan perhitungan hasil pengujian
4. Melihat perbandingan dan hasil Analisa
Pengujian dilaksankan di gardu SVJK, Kubikel yang duji ber merk ABB
UNISWITCH 306 pada tanggal 22-28 Februari 2015, Pengujian dilakukan dengan
menguji tegang tembus dan memasang alat yang dibuat, dan kondisi yang bekerja
adalah kondisi real pada alat tersebut, penelitian dilaksanakan di kantor PT.PLN
Rayon Garut Kota, di Jl. Otista no 140 Kab. Garut, dengan kondisi geologis berada
di 717 mdpl dan tekanan udara 922,8 mdb dan kelembaban nisbi 78 persen.

3.4 Pemasangan Alat pada kubikel


Proses pemasangan alat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Membuat lubang dan dudukan pada body samping kubikel dengan


menggunakan grinder.
2. Memasangan fan pada lubang dan dudukan yang sudah dipersiapkan
3. Memasang microcontrol pada dudukan yang dibuat di body samping
kubikel
4. Memasang sensor dibagian dalam body kubikel
5. Memotong sumber tegangan fan dan heater dan di pasang di relay
6. Memasang lcd pada dudukan di kubikel
7. Menyambungkan kabel power alat dengan kabel instalasi kubikel dan
disambungkan ke papan hubung bagi tegangan rendah di gardu.

42
BAB IV
HASIL DAN ANALISA UJI ALAT

Pengujian dilakukan di Gardu dan menggunakan alat uji tegangan tembus,


sepeti yang dibahas di bab pembahasan bahwa kegagalan isolasi udara di pengaruhi
oleh kelembaban, dan kelembaban dipengaruhi oleh kerapatan partikel di udara,
untuk melihat hubungan dari faktor-faktor tersebut dilakukan penelitian dan hasil
yang didapat akan di bandingkan dengan teori yang telah dijelaskan di bab
pembahasan.

4.1 Pengolahan Data


Dari data yang didapatkan tegangan tembus masih dalam satuan kV/2,5 mm
maka untuk menjadi kV/cm harus dirubah dahulu, data yang didapat dari hasil
pengujian adalah sebagai berikut :
 Vb : Tegangan Tembus yang di dapat kan dari alat (kV/cm)
 RH : kelembaban relatif dari sensor kelembaban (%)
 Suhu : Dari sensor suhu (0C)
Dari data diatas diolah dengan persamaan yang dibahas di bab dua sehingga
mendapatkan nilai-nilai sebagai berikut :
 es : Tekanan saturasi uap jenuh air terhadap suhu (bar)
 ea : Tegangan pemunculan korona adalah tegangan dimana korona mulai
timbul (bar)
 gv : Nilai medan listrik pengrusak pada kondisi pengujian (kV/cm)
 𝛿 : Faktor densitas/kerapatan partikel relatif udara
 Ev : Tegangan pemunculan korona
karena tekanan saturasi uap air dipengaruhi oleh temperatur, makin tinggi
temperatur maka makin besar uap air yang dapat di tampung, untuk mencari
tekanan parsial maka kita gunakan rumus dari persamaan 2.24, es bisa kita dapatkan
dari tabel, dan ea bisa digunakan untuk mencari rapat partikel.
Korona sebagai fenomena dimana terjadi tegangan pengrusakan yang telah
dijelaskan di bab pembahasan teori dapat dicari nilainya untuk mengetahui
tegangan pemunculan dari persamaan (2.14).

43
𝑆
Ev = mo . gv . r . ln ( 𝑟 ) dari persamaan 2.18

Dengan m0 = 0,8, luas penampang kabel terminasi kubikel jenis XLPE 240 mm2,
dengan jari – jari 8,74 dan d adalah jarak antara fasa nya sepanjang 20 cm. Untuk
gv dapat dicari menggunakan persamaan berikut,
𝑐
gv = g0 𝛿 ( 1 + ) dari persamaan 2.19
√𝛿 𝑟

Hasil dari pengukuran tegangan tembus yang berupa nilai Vb (tegangan


tembus dalam kV/cm) adalah kemampuan udara untuk menahan tegangan kerja
yang menjadi acuan untuk gradien potensial g0, dan dengan persamaan 2.18
tegangan tembus dapat digunakan untuk mencari gradien visual pengrusak sebagai
variabel penting dalam penelitian ini untuk mencari tegangan pemunculan korona,
dimana korona akan muncul apabila tegangan kerja sistem (E) melebihi tegangan
pemunculan korona(Ev).
Untuk kondisi udara normal besarnya gradien udara yang dapat di tahan
adalah 30 kV/cm, tetapi pada kondisi real, maka relatif besarnya tegangan kritis
dimana korona tegangan pengrusak korona adalah :
𝑐
gv = Vb 𝛿 ( 1 + )
√𝛿 𝑟

Untuk mencari 𝛿 bisa kita dapatkan dari persamaan gas ideal, mengacu dari
nilai yang didapat dari sensor kelembaban dan suhu. Dan nilai untuk es sebagai
tekanan uap jenuh udara dapat di ambil dari tabel, sehingga harga ea adalah :
ea = RH . es / 100
setelah tekanan parsial uap air jenuh ditemukan kita cari ρ dengan persamaan
𝑒𝑎 . 𝑀
ρ(uap air jenuh) = dari persamaan 2.25
𝑅. 𝑇

setelah didapatkan ρ dari parsial uap air jenuh maka kita cari ρ untuk udara relatif
ρ(udara relatif) = ρ(udara standar)/ ρ(uap air jenuh)
setelah ρ relatif didapat maka kita bisa dapat kan faktor densitas udara di dalam
kubikel nya
𝛿 = ρ(udara) / ρ(SATP) dari persamaan 2.26
Untuk simulasi perhitungan dapat dilihat pada lampiran

4.2 Hasil Uji Dan Perhitungan Sebelum Pemasangan Alat


Berdasarkan Hasil Pengujian tegngan termbus pada kondisi variable berupa
suhu dan kelembaban tanpa alat kontrol adalah sebagai berikut :

44
Tabel 4. 1 Hasil Pengujian Hari Pertama Tanpa Alat

Hari Pertama 22/02/2015


JAM RH T Vb gv Ev Ploss
(%) (0C) (kV/cm) (kV) (kV/cm) (kW)
01.00 86 27 10 0,98 4,27 3,54
03.00 84 27 10,4 1,02 4,45 3,38
05.00 84 32 10,2 0,82 3,59 4,24
07.00 81 30 10,4 0,93 4,06 3,76
09.00 80 34 10,8 0,82 3,59 4,25
13.00 80 33 10 0,79 3,46 4,39
15.00 80 34 10 0,76 3,33 4,53
17.00 79 34 10,4 0,8 3,49 4,35
19.00 79 34 10,4 0,8 3,49 4,35
21.00 81 31 10 0,85 3,72 4,11

Dari hasil pengujian pada kubikel tanpa alat kontrol kelembaban dan suhu di hari
pertama dapat dilihat kelembaban tertinggi adalah 86 %, dan kelembaban terendah
79 %.
Kelembaban relatif stabil dengan tegangan tembus yang juga relatif stabil, tegangan
pemunculan korona berada diangka 3,75 kV dimana tegangan kerja PLN distribusi
satu fasa nya adalah 11,56 kV sehingga korona dipastikan muncul karena udara
tidak dapat menahan tegangan kerja PLN.

Tabel 4. 2 Hasil Pengujian Hari Kedua Tanpa Alat

Hari Kedua 23/02/2015


JAM RH T Vb gv Ev Ploss (kW)
(%) (0C) (kV/cm) (kV) (kV/cm)
01.00 85 26 10,2 1,037 4,52 3,31
03.00 80 26 10,4 1,109 4,84 3,021
05.00 83 28 10,2 0,969 4,23 3,597
07.00 81 28 10,4 1,007 4,39 3,436
09.00 84 30 10,4 0,898 3,92 3,905
13.00 79 32 10,6 0,884 3,86 3,969

45
15.00 79 32 10,6 0,884 3,86 3,969
17.00 80 33 10,6 0,841 3,67 4,163
19.00 80 32 10,4 0,859 3,75 4,082
21.00 82 30 10,4 0,915 3,99 3,831

Dihari kedua angka tidak menunjukan perubahan yang signifikan kelembaban


terendah ada pada angka 79 % yaitu pada jam 13.00 dan 15.00, dan kelembaban
tertinggi ada pada angka 85% pada jam 01.00, angka rata-rata tegangan
pemunculan korona ada pada angka 4,1 kV.

Tabel 4. 3 Hasil Pengujian Hari Ketiga Tanpa Alat

Hari Ketiga 24/02/2015


JAM RH T Vb gv Ev (kV) Ploss (kW)
(%) (0C) (kV/cm) (kV/cm)
01.00 83 27 10 0,99 4,32 3,50
03.00 83 25 10,3 1,11 4,86 3,00
05.00 83 29 10 0,91 3,97 3,86
07.00 80 29 10,4 0,97 4,25 3,58
09.00 81 30 10,8 0,96 4,18 3,64
13.00 83 30 10 0,87 3,8 4,02
15.00 83 30 10 0,87 3,8 4,02
17.00 84 30 10,4 0,86 3,77 4,06
19.00 83 28 10 0,95 4,14 3,68
21.00 84 29 10 0,9 3,93 3,89

Pada hari ketiga didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hari kesatu
dan kedua, nilai RH tertinggi ada pada angka 84% dan suhu tertinggi 40 C,
sedangkan RH terendah ada pada 83% dan suhu terenda 35 C, untuk rata-rata
tegangan pemunculan korona di angka 4,1 kV .
Dari data yang didapatkan bisa dilihat hasil pengukuran sesuai dengan kondisi
di kubikel yang telah terindikasi adanya korona dan membuktikan bahwa semakin
tinggi kelembaban maka semakin rendah tegangan pemunculan korona dimana
kemampuan udara menahan gradien potensial listrik semakin berkurang dan
menimbulkan fenomena korona.

46
4.3 Hasil Uji Dan Perhitungan Setelah Pemasangan Alat
Setelah dipasang alat kontrol kelembaban dan suhu di kubikel maka diperlukan
pengujian ulang untuk melihat perbedaaan antara kondisi sebelum dan sesudah
dipasang sehingga kinerja rancang bangun sistem yang dibut bisa diukur
kemampuannya.
Pengujian dilakukan sama dengan pengujian pada saat sebelum dipasangnya
alat pada kubikel dan hasil yang didapat adalah sebagai berikut :

Tabel 4. 4 Hasil Pengujian Hari Pertama Dengan Alat

Hari Pertama 26/02/2015


JAM RH T (0C) Vb gv Ev (kV) Ploss
(%) (kV/cm) (kV/cm) (kW)
01.00 48 35 38,8 4,22 18,4 0
03.00 48 37 38,6 4,04 17,6 0
05.00 44 37 42 4,71 20,5 0
07.00 44 38 42 4,33 18,9 0
09.00 42 38 42 4,49 19,6 0
13.00 46 40 40,2 3,7 16,1 0
15.00 44 38 40,2 4,15 18,1 0
17.00 48 39 38,8 3,45 15 0
19.00 45 38 40,4 4,09 17,9 0
21.00 45 37 40,4 4,08 17,8 0

Di hari pertama terlihat kelembaban sudah mulai rendah suhu terjaga heater
dengan daya 1300 watt terus menyala dikarenakan suhu yang selalu dibawah set
point yaitu 40o celcius, suhu tidak dapat mencapai set point tapi tingkat kelemababn
dapat dikurangi tegangan pemunculan korona pun terbilang tinggi dengan angka
rata-rata 18 kV sehingga udara mampu menahan tegangan kerja sistem.

Tabel 4. 5 Hasil Pengujian Hari Kedua Dengan Alat

Hari Kedua 27/02/20115


JAM RH T Vb gv Ev (kV) Ploss
(%) (0C) (kV/cm) (kV/cm) (kW)
01.00 46 36 40,2 4,338 18,92 0

47
03.00 47 36 38,6 4,096 17,87 0
05.00 47 37 42 4,104 17,9 0
07.00 45 37 40,4 4,246 18,52 0
09.00 45 38 40,4 4,084 17,82 0
13.00 45 39 40,4 4,095 17,86 0
15.00 47 39 38,6 3,775 16,47 0
17.00 49 37 38,8 3,487 15,21 0
19.00 46 37 40,2 3,67 16,01 0
21.00 45 39 40,4 3,995 17,42 0

Dihari kedua tidak jauh berbeda dengan hari kesatu kelembaban realtif stabil
dengan kelembaban terendah pada angka 45% dan tertinggai pada 49% suhu pun
terkendali pada angka 36 sampai 39 oC tegangan pemunculan korona tidak jauh
berbeda dengan hari pertama yaitu pada angka rata-rata 17,4 kV, kondisi sama
dengan hari pertama menunjukan tidak ada gejala korona dibuktikan dengan kondis
kubikel yang aman tanpa ada gejala-gejala munculnya korona.

Tabel 4. 6 Hasil Pengujian Hari Ketiga Dengan Alat

Hari Ketiga 28/02/2015


JAM RH (%) T (0C) Vb gv Ev (kV) Ploss
(kV/cm) (kV/cm) (kW)
01.00 48 37 38,8 3,729 16
03.00 47 37 38,6 3,772 16
05.00 48 37 42 4,037 18
07.00 48 38 42 4,047 18
09.00 45 38 40,4 4,095 18
13.00 44 40 40,2 3,832 17
15.00 44 38 40,2 4,147 18
17.00 47 39 38,8 3,505 15
19.00 46 38 40,4 4,025 18
21.00 47 37 40,2 3,928 17

Dari hasil perhitungan berdasarkan data hasil pengujian, terlihat tidak ada
rugi daya dikarenakan udara mampu menahan gejala pemunculan korona sesuai
dengan yang dijelaskan pada bab landasan teori dan hukum peek terbukti
kelembaban dapat mempengaruhi kemampuan elektrifitas udara.
.

48
4.4 Analisa hasil penelitian
Berdasarkan data yang didapat terlihat penurunan untuk tegangan
pemunculan dan tegangan kritis pengrusak setelah dipasang alat pada kubikel dapat
dilihat grafik untuk peurunan tegangan kritis :

PERBANDINGAN EV DAN RH SELAMA 6


HARI
Ev Kilo Volt (kV) RH dalam persen( %) Ploss (kW) Vb (kV/cm)

90 83,8 % 82 % 82,7 %

80

70
RELATIVE HUMIDTY (%)

60
45,4 % 46,5 % 46,4 %
50

40 40,3 kV/cm 40 kV/cm 40,2 kV/cm

30

20
18 kV 17,4 kV 17 kV
10 10,3 kV/cm 10,4 kV/cm 10,2 kV/cm
4,09 kW3,75 kV 3,73 kW4,1 kV 3,73 kW4,1 kV
0 0 kW 0 kW 0 kW
22 23 24 26 27 28
TEGANGAN PEMUNCULAN KORONA (KV)

Gambar 4. 1 Perbandingan rata-rata perhari RH dan Ev

Dari Grafik pada gambar 4.1 dapat dlihat perubahan pada tegangan
pemunculan korona (Ev), Kelembaban relatif (RH), Rugi daya (Ploss), dan
Tegangan tembus (Vb) pada kubikel yang menjadi objek penelitian, terjadi
perubahan signifikan pada tanggal 26 dikarenakan tanggal 26 sudah dipasang alat
yang dibuat meununjukan bahwa alat memberikan pengaruh yang cukup besar pada
kondisi di dalam kubikel.
Dari grafik 4.1 bisa terlihat semakin kecil nilai kelembaban maka tegangan
tembus makin besar, sama hal nya dengan tegangan pemunculan korona dimana
tegangan pemunculan korona semakin besar apabila nilai kelembaban semakin
kecil, berbeda dengan rugi daya pada tanggal 26 rugi daya menjadi tidak ada karena

49
setelah dipasang alat korona tidak muncul sehubungan tegangan pemunculan
korona lebih besar dari tegangan kerja fasa-netral penghantar.

Grafik Perbandingan Ev
30
Tegangan pemunculan korona (kV)

20,53 kV
25 18,4 kV 18,89 kV 19,6 kV
17,61 kV 18,08 kV 17,86 kV
16,14 kV
20 15,04 kV

15

10

4,27 kV 4,45 kV 4,06 kV


5 3,59 kV 3,59 kV 3,46 kV 3,33 kV 3,49 kV 3,49 kV

0
01.00 03.00 05.00 07.00 09.00 13.00 15.00 17.00 19.00
jam pengukuran
Tanpa Alat tanggal 22 Februari 2015 Dengan Alat pada tanggal 26 Februari 2015

Gambar 4. 2 Grafik hubungan tegangan pemunculan korona sebelum dan


sesudah pemasangan alat

Dari Grafik pada gambar 4.2 bisa dilihat setelah terpasang alat kontrol suhu
dan kelembaban tegangan pemunculan korona di dalam kubikel pada kondisi belum
terpasang alat kendali kelembaban ada pada rentang angka dibawah 11,56 kV
sehingga terjadi fenomena korona, sedangkan setelah dipasang alat korona tidak
muncul, sesuai yang diharapkan karena rata – rata tegangan pemunculan korona
lebih besar daripada tegangan kerja di kubikel.

50
Grafik Perbandingan RH
100%
86% 84% 84% 84% 85% 84% 84% 83%
90% 82% 82%
80%
70%
persen %

60% 48% 48% 48%


44% 44% 46% 44% 45% 45%
50% 42%
40%
30%
20%
10%
0%
01.00 03.00 05.00 07.00 09.00 13.00 15.00 17.00 19.00 21.00
jam waktu pengujian

Tanpa Alat tanggal 22 Februari 2015 Dengan Alat tanggal 26 februari 2015

Gambar 4. 3 Grafik Perbandingan RH Sebelum dan sesudah pemasangan alat


Kondisi kelembaban setelah dipasang alat bisa ditekan di angka rata-rata 40
%, sebelum dipasang alat kondisi kelembaban berada di angka 80%.
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut :
 Alat bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan dimana kelembaban pada
kondisi memungkinkan tidak terjadi korona
 Semakin tinggi kelembaban pada suhu yang sama semakin kecil faktor
densitas udara sehingga semakin kecil Tegangan tembus (Vb) dan
Tegangan pemunculan korona (Ev). Ketika dipasang alat nilai rata-rata
tegangan pemunculan korona berada diatas tegangan kerja fasa – netral
konduktor di dalam kubikel sehingga korona tidak muncul, dengan begitu
rugi daya dan resiko kerusakan peralatan di dalam kubikel semakin kecil.

51
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
1. Apabila tekanan parsial (ea) dan tekanan saturasi uap jenuh (es) di
kendalikan maka g0 dan Ev pun bisa dikendalikan, mengacu pada landasan
teori dimana RH dipengaruhi oleh tekanan parsial uap air (ea) dan tekanan
saturasi uap air jenuh (es), ea bisa di set dengan cara memasang fan sehingga
kelembaban bisa di kendalikan. es yang dipengaruhi oleh temperatur,
semakin besar temperatur nilai pembagi pada kelembaban semakin besar
sehingga apabila ea di set pada kondisi tetap maka dengan es yang di
perbesar kelembaban bisa dikurangi. Dalam penelitian ini kendali es
menggunakan heater dan heater mampu menjaga nilai es sehinggan nilai
kelembaban dan suhu dapat dipertahankan. Sehingga nilai RH bisa di buat
seminimal mungkin, RH berpengaruh pada kerapatan udara dimana
semakin rapat partikel udara maka semakin kecil tegangan pemunculan
koroan atau Vpk dan semakin besar tegangan pengrusak korona atau Vk
2. Rugi-rugi akibat korona bisa di minimalisir dimana nilai tegangan
pengrusak bisa dihilangkan dengan mengoptimalkan nilai kelembaban (RH)
dan suhu(T) pada kubikel, dimana pada pembuktiannya saat RH rendah dan
T tinggi nilai Ev menunjukan angka yang lebih besar dari tegangan kerja
sistem kubikel, sesuai dengan landasan teori dimana apabila Ev lebih besar
dari tegangan kerja maka udara dapat menahan pemunculan korona.

5.2 Saran
1. Sistem dan peralatan yang digunakan penulis dibuat dan disesuakan dengan
objek penelitian yaitu kubikel merk ABB sehingga apabila digunakan pada
kubikel yang lain perlu penyesuaian kembali dari sisi konstruksi dan alat-
alat yang digunakan.
2. Bisa dijadikan bahan penelitian lanjutan untuk mahasiswa yang terjun
langsung dibidang ketenaga listrikan.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. V. K. M.S. Naidu, High Voltage Enginering, Singapore: Mc Graw-Hill, 1995.


2. F.W. Peek, Dielecric Phenomena in High Voltage Engineering,USA: McGraw-
Hill, 1915
3. SPLN 52-3, Pengoperasian Kubikel 20 KV (Pengertian dan Fungsi Kubikel),
1983
4. Halliday Resnick. Physics. UK: Jhon Willey & Sons, 1978
5. Sears. Zemansky. Physics : Mechanic, Heat, Sound. USA: Hanover,1969
6. Turan Gonen. Electric Power Distribution Sistem Engineering. USA:
McGraw-Hill, 1986.
7. Grainger, Stevenson. Power Sistem Analysis. USA : McGraw-Hill, 1994.

53
LAMPIRAN

Lampiran 1 Scetch Pemrograman Arduino


#include <Wire.h> //libraries needed
#include <LCD.h>
#include <LiquidCrystal_I2C.h>
#include <dht11.h>
//I2C Controller
#define I2C_ADDR 0x27 // Define I2C Address where the PCF8574A is
#define BACKLIGHT_PIN 3
#define En_pin 2
#define Rw_pin 1
#define Rs_pin 0
#define D4_pin 4
#define D5_pin 5
#define D6_pin 6
#define D7_pin 7
#define LED_OFF 0
#define LED_ON 1
//DHT11
#define DHT11PIN 2
LiquidCrystal_I2C
lcd(I2C_ADDR,En_pin,Rw_pin,Rs_pin,D4_pin,D5_pin,D6_pin,D7_pin);
dht11 DHT11;
byte fanrelaypin = 6;

byte heatrelaypin = 7;
void setup() /*----( SETUP: RUNS ONCE )----*/
{
Serial.begin(9600); //(Remove all 'Serial' commands if not needed)
lcd.begin(16,2); // initialize the lcd for 20 chars 4 lines, turn on backlight

54
lcd.setBacklightPin(BACKLIGHT_PIN,POSITIVE);
lcd.setBacklight(LED_ON);
lcd.backlight();
// Print a message to the LCD.
//lcd.setCursor(0, 1);
lcd.print("Zuansah TA test");
pinMode(fanrelaypin, OUTPUT);
digitalWrite(fanrelaypin, LOW);//turn off the relay
pinMode(heatrelaypin, OUTPUT);
digitalWrite(heatrelaypin, LOW);//turn off the relay
}/*--(end setup )---*/
void loop() /*----( LOOP: RUNS CONSTANTLY )----*/
{
int chk = DHT11.read(DHT11PIN);
Serial.print("Read sensor: ");
switch (chk)
{
case 0: Serial.println("OK"); break;
case -1: Serial.println("Checksum error"); break;
case -2: Serial.println("Time out error"); break;
default: Serial.println("Unknown error"); break;
}
lcd.setCursor(0, 1);
lcd.print("C=");
lcd.print((float)DHT11.temperature, 0);
Serial.print("Temperature (oC): ");
Serial.println((float)DHT11.temperature, 2);
if(DHT11.temperature < 25)//change to match your threshold in C.
{
digitalWrite(heatrelaypin, HIGH);//turn on the heater
}
else

55
{
digitalWrite(heatrelaypin, LOW);
}
lcd.print(" F=");
lcd.print(Fahrenheit(DHT11.temperature), 0);
Serial.print("Temperature (oF): ");
Serial.println(Fahrenheit(DHT11.temperature), 2);
lcd.print(" H=");
lcd.print((float)DHT11.humidity, 0);
lcd.print("%");
Serial.print("Humidity (%): ");
Serial.println((float)DHT11.humidity, 2);
if(DHT11.humidity > 65)//change % to match your threshold.
{
digitalWrite(fanrelaypin, HIGH);//turn on the fan
}
else
{
digitalWrite(fanrelaypin, LOW);
}
Serial.print("Temperature (K): ");
Serial.println(Kelvin(DHT11.temperature), 2);
Serial.print("Dew Point (oC): ");
Serial.println(dewPoint(DHT11.temperature, DHT11.humidity));
Serial.print("Dew PointFast (oC): ");
Serial.println(dewPointFast(DHT11.temperature, DHT11.humidity));
delay(2000);
}/* --(end main loop )-- */
/*-----( Declare User-written Functions )-----*///
//Celsius to Fahrenheit conversion
double Fahrenheit(double celsius)
{

56
return 1.8 * celsius + 32;
}
//Celsius to Kelvin conversion
double Kelvin(double celsius)
{
return celsius + 273.15;
}
// dewPoint function NOAA
// reference: http://wahiduddin.net/calc/density_algorithms.htm
double dewPoint(double celsius, double humidity)
{
double A0= 373.15/(273.15 + celsius);
double SUM = -7.90298 * (A0-1);
SUM += 5.02808 * log10(A0);
SUM += -1.3816e-7 * (pow(10, (11.344*(1-1/A0)))-1) ;
SUM += 8.1328e-3 * (pow(10,(-3.49149*(A0-1)))-1) ;
SUM += log10(1013.246);
double VP = pow(10, SUM-3) * humidity;
double T = log(VP/0.61078); // temp var
return (241.88 * T) / (17.558-T);
}
// delta max = 0.6544 wrt dewPoint()
// 5x faster than dewPoint()
// reference: http://en.wikipedia.org/wiki/Dew_point
double dewPointFast(double celsius, double humidity)
{
double a = 17.271;
double b = 237.7;
double temp = (a * celsius) / (b + celsius) + log(humidity/100);
double Td = (b * temp) / (a - temp);
return Td;
} /*(THE END)*/

57
Lampiran 2 Simulasi Perhitungan
Untuk melihat proses perhitungan maka akan disimulasikan dua kondisi
yaitu satu kondisi pada saat dipasang alat dan satu kondisi dimana alat belum
dipasang.
Tabel Parameter Yang Didapat
Parameter Sebelum dipasang alat Setelah dipasang alat
Kelembaban (RH) 86 % 42%
Suhu (T) 27 0C 380C
Tegangan Tembus (Vb) 10 kV/cm 42 kV/cm
Tetapan kekasaran (m0) 0,8 0,8
Jari-jari (R) 2,74 cm 2,74 cm
Jarak antara fasa-netral (S) 20 cm 20 cm
Konstanta dimensi emp (c) 0,301 0,301

Perhitungan Sebelum dipasang alat


Waktu pengukuran : Jam 01.00 WIB
RH : 86 %
Suhu : 27 0C
Vb : 10 kV/cm
Maka
es pada 27 0C = 0,0357 bar
ea = (RH . es) /100
ea = (84 . 0,0357) /100
ea = 0,02 bar
𝑒𝑎 . 𝑀
ρ(udara jenuh) = 𝑅. 𝑇
0,02 . 18
ρ(uap air jenuh) = 0,083 . (27+273)

ρ(uap air jenuh) = 0,022 g/cm3


ρ(udara relatif) = ρ(udara standar)/ ρ(uap air jenuh)
ρ(udara relatif) = 0,0012 / 0,022
ρ(udara relatif) = 0,054
𝛿 = ρ(udara) / ρ(SATP)

58
𝛿 = 0,054 / ρ(SATP) , karena ρ(SATP) =1
𝛿 = 0,054
Setelah faktor densitas didapat maka gradien pengrusak korona bisa dicari, dengan
cara sebagai berikut :
𝑐
gv = g0 𝛿 ( 1 + )
√𝛿 𝑟

g0 adalah tembus, maka g0 = 10 kV/cm


c adalah konstanta dimana untuk kondisi standar udara = 0,301
r adalah jari – jari konduktor = 2,74
𝟎,𝟑𝟎𝟏
gv = 10 . 0,054 (1 + )
√𝟎,𝟎𝟓𝟒 .𝟐,𝟕𝟒

gv = 0,963 kV/cm
Setelah gv didapat maka tegangan pemunculan korona bisa dicari dengan cara
sebagai berikut :
𝑆
Ev = mo . gv . r . ln ( 𝑟 )

Dimana,
m0 = tetapan kekasaran penghantar, untuk objek m0 = 0,8
S = Jarak antara penghantar dengan netral, untuk objek S = 20
20
Ev = 0,8 . 0,0964 . 2,74 . ln ( 2,74 )

Ev = 4,27 kV

Karena tegangan satu fasa pada penghantar 20 kV adalah 11,56 kV maka E


lebih besar dari Ev sehingga muncul korona pada kondisi RH = 87% dan T = 27 0C.
Karena muncul korona maka akan ada rugi-rugi daya yang bisa di hitung
menggunakan persamaan 2.19
𝑟
Ploss = 241 . (f + 25) . √𝑠 . (En – Ev )2 .10-5

2,74
Ploss = 241 . (50 + 25) .√ 20 . (11,56 – 4,27 )2 . 10-5

Ploss = 3,54 kW
Perhitungan setelah dipasang alat
Simulasi Perhitungan setelah dipasang
Waktu pengukuran : Jam 09.00
RH : 42 %

59
Suhu : 38 0C
Vb : 42 kV/cm
Maka,
es pada 380C = 0,066 bar
ea = (RH . es) /100
ea = (42 . 0,066) /100
ea = 0,03 bar
𝑒𝑎 . 𝑀
ρ(udara jenuh) = dari persamaan (2.3)
𝑅. 𝑇
0,03 . 18
ρ(uap air jenuh) = 0,083 . (38+273)

ρ(uap air jenuh) = 0,0019 g/cm3


ρ(udara relatif) = ρ(udara standar)/ ρ(uap air jenuh)
ρ(udara relatif) = 0,0012 / 0,019
ρ(udara relatif) = 0,06
𝛿 = ρ(udara) / ρ(SATP)
𝛿 = 0,06 / ρ(SATP) , karena ρ(SATP) =1
𝛿 = 0,06
Setelah faktor densitas didapat maka gradien pengrusak korona bisa dicari, dengan
cara sebagai berikut :
𝑐
gv = g0 𝛿 ( 1 + )
√𝛿 𝑟

g0 adalah tembus (Vb), maka g0 = 42 kV/cm


c adalah konstanta dimensu empiris standar udara = 0,301
r adalah jari – jari konduktor = 2,74 cm
𝟎,𝟑𝟎𝟏
gv = 42 . 0,06 (1 + )
√𝟎,𝟎𝟔 .𝟐,𝟕𝟒

gv = 4,494 kV/cm
Setelah gv didapat maka tegangan pemunculan korona bisa dicari dengan cara
sebagai berikut :
𝑆
Ev = mo . gv . r . ln ( 𝑟 )

Dimana,
m0 = tetapan kekasaran penghantar, untuk objek m0 = 0,8
S = Jarak antara penghantar dengan netral, untuk objek S = 20

60
20
Ev = 0,8 . 4,494 . 2,74 . ln ( 2,74 )

Ev = 19,6 kV

Karena tegangan satu fasa pada penghantar 20 kV adalah 11,56 kV maka E


lebih kecil dari Ev sehingga korona tidak muncul.

61
Lampiran 3 Gambar kerusakan akibat korona didalam kubikel

Dokumentasi pelaksanaan pemasangan alat

Dokumentasi contoh pengujian tegangan tembus

62
63

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai