Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH EROPA

“Polemik Keanggotaan Turki dalam Uni Eropa”


Disusun Oleh : KELOMPOK IV

 Muhammad Afif Ma’ruf ( F81115301 )


 Apriadi ( F81115302 )
 Andi Syahrul Akbar ( F81115303 )
 Gamaliel ( F81115304 )
 Sitti Sulaeha ( F81115305 )
Jurusan Ilmu Sejarah
Dosen Pembimbing : Margriet Lappia, SS, MS
Universitas Hasanuddin

A. Mengenal Uni Eropa

Uni Eropa (UNI EROPA) adalah organisasi internasional dari negara-negara Eropa yang
dibentuk untuk meningkatkan integrasi ekonomi dan memperkuat hubungan antara negara-
negara anggotanya. Kantor utamanya berada di Brussels, Belgia.

Satu hal yang perlu dipahami sebelum membahas tentang masalah keanggotaan di Uni Eropa
adalah perihal supranasional. Banyak kalangan yang masih menganggap bahwa Uni Eropa
merupakan organisasi supranasional yang berada diatas semua negara anggotanya. Anggapan
ini tidak sepenuhnya benar karena negara yang menjadi anggota di Uni Eropa masih memiliki
kedaulatan sendiri. Uni Eropa bukanlah negara federal yang menganggap anggotanya sebagai
negara bagian dan harus patuh sepenuhnya pada kebijakan pusat.

Secara teori, syarat untuk dapat menjadi anggota Uni Eropa sebenarnya sangat mudah.
Hanya ada tiga syarat yakni; Negara Demokratis, Menerapkan konsep pasar bebas, dan mampu
serta bersedia menerapkan semua hukum yang ada di Uni Eropa. Adapun terkait masalah
geografis, apakah negara tersebut masuk kedalam wilayah eropa atau bukan, dinilai secara
politis oleh lembaga di Uni Eropa. Jika negara tersebut memang layak untuk dianggap sebagai
negara eropa maka akan dimasukkan kedalam kategori negara Eropa.

Namun pada prakteknya, sangat sulit untuk dapat menembus keanggotaan Uni Eropa.
Mereka sangat selektif dalam memilih anggota, meskipun secara teori ketiga syarat tersebut
sudah terpenuhi, akan tetapi jika secara politis tidak dapat diterima oleh Uni Eropa maka
lamaran yang diajukan akan langsung ditolak. Sebagai contoh pada saat Uni Soviet runtuh,
banyak negara bekas Uni Soviet yang menyatakan sikap untuk bergabung kedalam Uni Eropa
namun sebagian besar ditolak. “Belarus terlalu otoriter, Moldova terlalu miskin, Ukraina terlalu
besar, dan Rusia terlalu menakutkan bagi Uni Eropa.”

Tapi mengapa pada prakteknya, untuk menjadi anggota sangat sulit? ini dikarenakan Uni
Eropa sangat selektif dalam memilih anggota, meskipun secara teori ketiga syarat tersebut sudah
terpenuhi, akan tetapi jika secara politis tidak dapat diterima oleh Uni Eropa maka lamaran yang
diajukan akan langsung ditolak.sebagai contoh pada saat Uni Soviet runtuh, banyak negara bekas
Uni Soviet yang menyatakan sikap untuk bergabung kedalam Uni Eropa namun sebagian besar
ditolak. “Belarus terlalu otoriter, Moldova terlalu miskin, Ukraina terlalu besar, dan Rusia terlalu
menakutkan bagi Uni Eropa.”

Banyak alasan politis lain yang menjadi penghambat masuknya suatu negara kedalam Uni
Eropa. Tetapi bukan berarti Uni Eropa selalu menghambat semua negara yang ingin menjadi
anggotanya. Banyak pula negara yang diberikan tawaran untuk bergabung kedalam Uni Eropa,
bahkan Kosovo yang notabene belum sepenuhnya dianggap sebagai negara merdeka sudah
diberikan tawaran untuk bergabung kedalam Uni Eropa.

B. Keinginan Turki untuk bergabung di Uni Eropa

Uni Eropa merupakan organisasi regional yang paling sukses membawa negara-negara
anggotanya dalam kemakmuran baik dari segi keamanan, politik, bahkan ekonomi. Hal ini tidak
lepas dari pengalaman mereka yang sangat panjang. Secara garis besar, integrasi Uni Eropa
terlebih dahulu berlangsung dengan membangun fondasi ekonomi baru kemudian membangun
organisasi regional yang besar. Dari sini dapat kami simpulkan bahwa tidak semua negara Eropa
bisa bergabung dalam organisasi ini. Keinginan Turki untuk dapat bergabung dengan Uni Eropa
menjadi sangat menarik dikarenakan keinginan tersebut sudah muncul semenjak terjadinya
Perang Dingin.

Alasan Turki ingin bergabung dengan Uni Eropa pada masa Perang Dingin berlangsung.

Pada masa ini alasan Turki bergabung dengan Uni Eropa lebih ditekankan pada bidang
politik, yaitu faktor ancaman dari Uni soviet dan faktor tekanan dari Yunani.

1. Faktor ancaman dari Uni soviet

Adanya ancaman dari Uni Soviet pada saat itu yang akhirnya memaksa Turki harus
bergabung dengan berbagai organisasi yang dibentuk Blok Barat. Turki menganggap bahwa
bergabung dengan organisasi barat merupakan hal yang sangat krusial dalam menentukan
kebijakan keamanan nasional dan dapat memberikan andil yang sangat besar dalam menentukan
kebijakan luar negerinya. Dimulai dengan bergabungnya Turki dengan NATO, kemudian OECD
(the Organizations for Economic Cooperation and Development), kemudian Turki juga
melanjutkan proses integrasinya ke dunia barat dengan bergabung dalam Uni Eroparopean
Communities.

2. Faktor tekanan dari Yunani

Seperti yang diketahui Turki dan Yunani mempunyai perselisihan politik diantaranya
adalah masalah Siprus. Ketika Yunani juga memasukkan permohonan menjadi anggota Uni
Eroparopean Community, Turki mulai ketakutan dan dengan segera ikut mengajukan
permohonannya. Selain faktor ketakutan politik terebut, Turki juga memiliki alasan ekonomi.
Dimana produk ekspor Turki dan Yunani hampir sama, jika Yunani diterima kedalam
keanggotaan Uni Eroparopean Community, maka barang-barang ekspor Turki akan mengalami
penurunan penjualan yang tajam dikarenakan Uni Eroparopean Community pasti lebih memilih
barang dari anggotanya sendiri. Turki tidak ingin ini terjadi dikarenakan ekspor mereka ke Eropa
sendiri sudah sangat lemah.

Pada masa ini hubungan Turki dan Eropa tetap saja lemah dikarenakan masih terjadi
kesenjangan sosio-politik dan ekonomi antara Turki dan Uni Eropa. Hal ini diperparah setelah
Perang Dingin berakhir dimana fungsi dan posisi politik Turki bagi bangsa-bangsa Eropa NATO
sudah tidak lagi terlalu penting.

Alasan Turki ingin bergabung dengan Uni Eropa setelah masa Perang Dingin berakhir.

Pada masa ini alasan Turki bergabung dengan Uni Eropa lebih ditekankan pada faktor
geografis dan sejarah, factor ekonomi, faktor keamanan, kemudian faktor geopolitik.

3. Faktor geografis dan sejarah

Keinginan Turki menjadi anggota Uni Eropa dikarenakan faktor sejarah Turki sendiri.
Jika kita melihat jauh kebelakang, ibukota Turki yakni Istanbul, merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah kekaisaran Eropa. Istanbul dahulu dikenal dengan nama Byzantium dan
juga dengan nama Konstantinopel. Daerah ini pada dasarnya bukan daerah biasa-biasa saja,
sebab Konstantinopel ini pernah menjadi ibukota kekaisaran Romawi Kuno, tepatnya ibukota
kekaisaran Romawi Timur. Pada masa Kerajaan Romawi, Turki dijadikan pusat kekuasaan
Romawi di pintu timur Eropa dengan membangun Konstatinopel. Pada saat itu Konstatinopel
lebih bercorak Eropa karena dijalankan sendiri oleh pemerintahan Kerajaan Romawi. Namun
ketika ketika pemerintahan Turki dikuasai oleh Ottoman, Konstatinopel diganti namanya
menjadi Istanbul. Oleh Ottoman Istanbul dijadikan pusat kota dengan bercorakkan Asia dan
Islam. Turki saat ini sudah jauh berbeda dengan pada masa romawi kuno. Turki saat ini menjadi
negara dengan penduduk mayoritas muslim.
Turki adalah sebuah negara yang berbatasan langsung dengan dua kawasan territorial
sekaligus, yaitu di antara Eropa bagian Tenggara dan Barat Daya Asia. Hal ini memungkinkan
Turki untuk bergabung dengan organisasi integrasi kawasan Eropa (European Union) atau
dengan Timur Tengah (League of Arab States).Turki merupakan salah satu negara yang strategis
di dunia, negara Turki berada dalam kawasan Bulan Sabit dan jalur perdagangan sutra. Letak
geografis Turki adalah Timur dekat, Eropa Selatan dan Laut Tengah bagian Timur. Daratan
Turki terletak di kawasan dimana 3 benua membentuk dunia kuno. Benua Asia, Afrika dan
Eropa berdekatan satu sama dan Turki terletak di antara Eropa dan Asia.
Berdasarkan letak geografis dan latar belakang sejarah dari Turki inilah yang menyatakan
bahawa mereka layak masuk ke Eropa dan menjadi anggota Uni Eropa. Keinginan tersebut tidak
berjalan dengan mulus. Sudah beberapa tahun sejak Turki mengajukan diri untuk menjadi
anggota Uni Eropa, namun sampai saat ini belum juga diberikan status keanggotaannya oleh Uni
Eropa. Upaya-upaya yang dilakukan pun sudah sangat banyak sekali, mulai dari penyesuaian
aturan perundang-undangan Uni Eropa, sampai kepada konsep ekonomi Uni Eropa itu sendiri,
tapi tetap juga masih belum bisa diterima untuk masuk dalam keanggotaan Uni Eropa.

4. Faktor ekonomi

. Faktor ekonomi menjadi sangat dominan, karena seperti yang kita ketahui laju
pertumbuhan ekonomi suatu negara sebelum dan sesudah bergabung dengan Uni Eropa jelas
terlihat perbedaannya. Negara yang bergabung dengan Uni Eropa harus menyesuaikan
pertumbuhan ekonominya dengan negara-negara besar di Uni Eropa dan hal ini memberikan efek
yang sangat cepat merangsang pertumbuhan ekonomi negara yang baru bergabung. Ditambah
lagi dengan kestabilan mata uang Uni Eroparo yang tentunya menguntungkan bagi negara-
negara Uni Eropa sendiri. Kemudian adanya paket bantuan dari Uni Eropa kepada negara-negara
anggota Uni Eropa yang tergolong masih terbelakang dari anggota lain ikut mendorong faktor
Turki bergabung dalam Uni Eropa.

5. Faktor keamanan
Seperti yang kita ketahui memiliki pengalaman dalam bidang keamanan. Dimulai dari
perang 30 tahun, Perang Dunia I dan disusul Perang dunia II. Karena pengalaman Eropa tersebut,
Turki menganggap Uni Eropa dapat mempersatukan dan menjaga stabilitas keamanan antara
negara Eropa beserta kawasannya. Keberadaan Jerman, Perancis, Inggris, dan negara-negara
besar lainnya semakin meyakinkan Turki bahwa Uni Eropa merupakan wilayah strategis untuk
membentuk sebuah aliansi besar demi terciptanya pertahanan dan keamanan di dalam maupun di
luar negeri.

6. Faktor geopolitik
Manusia sendiri pada dasarnya cenderung akan mencari teman di suatu wilayah yang
dianggap menguntungkan daripada mencari teman di tempat yang tidak menguntungkan. Hal ini
merupakan kecenderungan alami yang terlihat jelas dalam perilaku Turki. Turki melihat bahwa
kawasan Eropa lebih stabil baik dilihat dari segi keamanan maupun dari segi ekonomi
dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain yang ada di sekitar Turki, maka dari itu Turki
sangat ingin sekali bergabung dengan Uni Eropa.

Jika Turki berhasil bergabung kedalam Uni Eropa, maka kekuatannya di tingkat regional
akan menjadi semakin kuat karena memiliki kawasan ekonomi yang sangat luas dan juga
kekuatan militer yang sangat besar pula karena secara tidak langsung keanggotaannya di Uni
Eropa akan memperkuat posisinya di NATO.

C. Upaya Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa

Copenhagen Criteria adalah prosedur utama bagi kandidat negara anggota yang ingin
bergabung dalam Uni Eropa. Copenhagen Criteria diresmikan pada tahun 1993 oleh European
Council di Copenhagen, Denmark. Kriteria Copenhagen berisi tentang syarat yang harus dimiliki
negara yang ingin bergabung, antara lain : kestabilan institusi dalam menjamin demokrasi,
supremasi hukum, hak asasi manusia serta menghormati dan melindungi kaum minoritas;
berfungsinya ekonomi pasar dan kemampuan untuk bersaing dalam pasar Eropa; serta
kemampuan mengambil dan melaksanakan kewajiban anggota secara efektif, termasuk
kepatuhan politik, ekonomi dan moneter.

Dalam upaya memenuhi prosedur ketentuan Copenhagen Criteria, Turki telah melakukan
aksi nyata. Pada poin kriteria pertama yaitu stabilitas institusi, Turki mengadopsi hukum untuk
memberi landasan hukum yang lebih kuat pada proses penyelesaian masalah Kurdi, yang mana
didukung penuh oleh seluruh partai politik Turki, berupaya memberikan kebebasan bereksprei,
perdebatan masyarakat luas pada topik yang dahulunya dianggap sensitif, termasuk kebebasan
pada media masa sebagai wujud dari demokrasi. Dalam segi politik sistem pemerintahan, Turki
tetap menjaga sistem demokrasi yang berlangsung di negara tersebut dengan mengubah sistem
kepartaian menjadi multipartai. Turki juga mengahapuskan hukuman mati, normalisasi hubungan
dengan suku Kurdi terkait pemenuhan hak-hak minoritas, juga mengijinkan penggunaan bahasa
Kurdi. Sedangkan pada poin kedua kriteria Copenhagen yaitu mengenai kemampuan ekonomi,
kerjasama antara Turki dan Uni Eropa telah ada sejak Turki bergabung dalam EEC yaitu
bersepakat membentuk costum union dengan Turki. Sehingga hubungan antara Turki dan Uni
Eropa dalam bidang ekonomi dirasa cukup baik.

Tahap awal permohonan keanggotaan Turki dapat terhitung sejak tahun 1959, saat negara
ini mengajukan diri untuk ikut untuk bergabung menjadi anggota Uni Eroparopean Economic
Community (EEC). Kemudian berlanjut pada penandatanganan perjanjian Ankara pada tahun
1963, yang menjelaskan pembentukan asosiasi antara EEC dan Turki demi penguatan dan
keseimbangan yang berkelanjutan dalam perdagangan antara anggota Uni Eroparopean
Economic Community dan Uni Eropa. Pada tahun 1964, Turki telah menjalin hubungan asosiasi
dengan Uni Eropa. Hubungan tersebut adalah hubungan tentang kepabeanan atau yang dikenal
dengan Ankara Association Agreement. Perjanjian ini mengatur upaya-upaya yang akan
dilakukan untuk merancang suatu persetujuan Uni Pabean antara Turki dengan Uni Eropa.

Turki tidak hanya sekedar ‘ikut-ikutan’dalam kegiatan di Uni Eropa. negara ini juga
menjadi salah satu pendiri Organization for Economic Co-operation and Development pada
tahun 1961 dan juga Organization Security and Co-operation in Europe pada tahun 1971.
Keaktifannya dalam berbagai kegiatan di Uni Eropa ini membuat Turki memberanikan diri
secara formal untuk mengajukan permohonan menjadi anggota Uni Eropa pada tanggal 14 April
1987. Hal ini diajukan oleh Turki sebab telah merasa percaya diri terhadap kerangka Uni Pabean
yang telah dia pegang teguh. Sebagai jawaban atas lamaran tersebut, Uni Eropa menolak lamaran
yang diajukan oleh Turki pada tanggal 20 Desember 1989 dengan alasan masih terjadi
kesenjangan sosio-politik dan ekonomi antara Turki dan Uni Eropa.

Turki telah melakukan segala macam upaya untuk dapat bergabung menjadi anggota
tetap Uni Eropa. Lamaran yang diajukan Turki tidak pernah ditanggapi secara serius oleh Uni
Eropa, Uni Eropa tidak pernah menolak secara tegas dan tidak pula langsung menerima Turki.
Uni Eropa hanya memberikan janji-janji untuk segera menetapkan tanggal untuk menerima
Turki dan memasukan Turki ke dalam daftar anggota yang paling potensial. Sejak status tersebut
dikeluarkan pada 1987 hingga sekarang Turki belum mengalami kemajuan dimata Uni Eropa dan
selalu menjadi kandidat dari setiap pertemuan Uni Eropa.

Meskipun begitu, Turki tidak patah semangat, bahkan semakin aktif menyesuaikan diri
dan menarik simpati dari Uni Eropa sambil terus memperbaiki kondisi negaranya agar dapat
menyesuaikan diri dengan kerangka Uni Eropa yang dijadikan standar oleh Uni Eropa. Misalnya,
Turki aktif menjadi anggota Western European Union pada tahun 1992, lalu aktif juga pada
Western Union and Others Group (WEOG) di PBB. Usaha Turki ini ternyata membuahkan hasil
dengan diundangnya Turki untuk menandatangani Customs Union Agreement pada tahun 1995.
Akhirnya, pada tanggal 31 Desember 1995, Uni Eropa setuju untuk menandatangani
perjanjian Uni Pabean dengan Turki, yang ditandai dengan terbentuknya custom union antara
Dewan Asosiasi Uni Eropa dengan Turki. Adapun isi perjanjian tersebut adalah penghapusan
pajak secara resiprokal bagi barang-barang manufaktur dalam perdagangan antara Uni Eropa
dengan Turki. Selain itu, Turki juga menyatakan persetujuannya untuk mengadopsi peraturan
tarif pabean bersama.
Berdasarkan keberhasilan tersebut, Turki mencoba kembali untuk melamar menjadi
anggota tetap dari Uni Eropa. Hasilnya, pada tanggal 13 Desember 1997, KTT Uni Eropa
memberikan konfirmasi bahwa Turki telah memenuhi persyaratan untuk menjadi calon anggota
Uni Eropa dan akan diberi tempat pada Konferensi Eropa. Uni Eropa akhirnya secara resmi
mengumumkan Turki sebagai kandidat negara anggota pada tahun 1999.

Konferensi Eropa itu sendiri adalah sarana untuk mempertemukan para anggota Uni
Eropa itu sendiri dan juga para calon anggota. Selain itu, Konferensi Eropa juga bertujuan untuk
menggabungkan serta menyamakan nilai-nilai yang di anut, serta tujuan internal dan eksternal
masing-masing negara.
Ternyata, konfirmasi dari KTT di Luxemburg tersebut, tidak sepenuhnya merupakan
kabar yang baik dari bagi Turki. Dewan Eropa, masih mempertimbangkan masalah lamaran
Turki, sebab kondisi ekonomi dan politik di Turki masih belum sesuai dengan syarat.

Proses masuknya Turki ke Uni Eropa terlihat mulus hingga tahun 1999. Berselang 11
tahun hingga kini, Turki belum juga mendapat lampu hijau untuk diterima dalam Uni Eropa.
Berbagai pertanyaan kemudian muncul, apakah Turki memang belum dapat memenuhi
Copenhagen Criteria seperti yang disyarakan oleh Uni Eropa? Atau ada kepentingan lain yang
membuat proses aksesi Turki dalam Uni Eropa terhambat?

Pasca 1999, setelah Turki menjadi kandidat anggota Uni Eropa negara ini berupaya
melakukan penyesuaian diri, sesuai yang tercantum pada ketentuan Copenhagen Criteria. Proses
pemyesuaian diri ini dimulai sejak tahun 2002, yang dikenal dengan Turki Harmonization
Packages, yang hingga kini telah dilakukan sebanyak tujuh kali. Proses penyesuaian diri yang
pertama ditandai dengan adopsi hukum anti terorisme dalam Turkish criminal law. Ini
menunjukkan upaya Turki untuk turut memerangi terorisme, sebagai musuh bersama Uni Eropa.

Upaya Turki lainnya dapat dilihat pada paket harmonisasi yang ketiga (third
harmonization package) yang dilakukan pada Agustus 2002. Paket harmonisasi ketiga ini
menghapuskan hukuman mati dalam undang-undang Turki, memperbolehkan pemberitaan dan
proses pendidikan menggunakan bahasa ibu, termasuk di dalamnya bahasa Kurdi. Serta
memperbolehkan kepemilikan property oleh kaum minoritas.

Pada tahun 2004, Komisi Eropa mengeluarkan keputusan bahwa negosiasi mengenai
aksesi Turki harus segera dilaksanakan. Terkait dengan upaya Turki untuk memenuhi
Copenhaggen Criteria secara luas. Pada tahun 2005, Komisi Uni Eropa menggaris bawahi
permasalahan Cyprus dalam upaya pengajuan diri Turki menjadi anggota.

D. Alasan Penolakan Dari Uni Eropa

Sejak berdirinya negara republik Turki, Kemal Attaturk, yang pada saat itu menjadi
Presiden pertama Turki memutuskan untuk berkiblat pada Barat khususnya masyarakat Eropa
dan bergabung dengan NATO dengan bantuan Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan
terhadap Turki. Keputusan ini didukung oleh letak geografis Turki yang sangat strategis; dimana
pada saat itu terdapat dua Blok (Barat dan Timur) yang sama-sama menginnginkan Turki
bergabung bersama mereka.

Keinginan Turki untuk disejajarkan dengan bangsa-bangsa Eropa lainnya dengan


bergabung menjadi anggota tetap Uni Eropa memang mendapat suatu kesulitan, bahkan hal ini
diperparah setelah Perang Dingin berakhir dimana fungsi dan posisi politik Turki bagi bangsa-
bangsa Eropa anggota NATO sudah tidak lagi terlalu penting. Bubar dan berakhirnya Pakta
Warsawa sebagai akibat kekalahan pihak Soviet dan sekutu, telah memandai bahwa fungsi utama
Turki sebagai ujung tombak NATO telah berakhir pula.

Hingga kini upaya dari Turki untuk diterima menjadi anggota Uni Eropa masih dalam
tahap lobbying. Usaha Turki yang dimulai sejak tahun 2005 untuk menjadi anggota Uni Eropa
selalu mendapatkan jalan buntu dan penolakan dari anggota Uni Eropa lainya.Padahal jika dilihat
dari ekonomi, dan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan, Turki layak menjadi anggota Uni
Eropa. Namun, para pemimpin negara Uni Eropa selalu menolak untuk menerima keanggotaan
Turki di Uni Eropa. Turki dianggap belum dapat menyesuaikan dengan peraturan yang ada di
Uni Eropa. Dari 33 peraturan yang dimiliki oleh Uni Eropa, ada 11 peraturan yang belum dapat
diterapkan di Turki. Kondisi ini biasanya terjadi karena adanya perbedaan antara aturan nasional
Turki dan Uni Eropa.

Adapun yang menjadi alasan penolakan dari pemimpin di negara Uni Eropa dikarenakan
Turki memiliki beberapa ancaman antara lain:

1. Jumlah Penduduk Turki


Turki memiliki populasi sebesar 74 Juta jiwa, hal ini akan membahayakan dan memberi
ancaman bagi negara Uni Eropa yang memiliki populasi besar seperti Jerman dengan 82 Juta
penduduk. Jerman mamiliki populasi terbesar di Eropa. Jumlah populasi sangat menentukan
kebijakan Uni Eropa. Sebab, salah satu sistem polling di Uni Eropa ditentukan dari jumlah
populasi penduduk. Suara voting terbanyak saat ini masih dipegang oleh negara Jerman sebagai
negara dengan jumlah penduduk terbanyak di Uni Eropa, sehingga memiliki hak suara sebanyak
29 (16,02%). Negara lain yang juga memiliki 29 hak suara adalah Prancis, Inggris, dan Italia.

Kemudian, apabila Turki masuk dalam keanggotaan Uni Eropa, maka Turki dan Jerman
akan bersaing dalam penyampaian hak suaranya, yang mana dilihat dari jumlah penduduk antara
Turki dan Jerman hanya beda tipis. Sehingga jika Turki bergabung dengan Uni Eropa akan
menjadi halangan bagi negara besar dengan populasi yang kalah banyak dari Turki sebut saja
Perancis sebesar (61 Juta penduduk) terancam. Jadi, Tak diragukan lagi, keanggotaan Turki
dalam Uni Eropa dapat mempengaruhi posisi Jerman dan Perancis.

2. Sejarah, Kebudayaan Dan Agama di Turki


Faktor lain yang menyebabkan Turki belum juga diterima menjadi anggota Uni Eropa
adalah faktor sejarah, kebudayaan dan agama di Turki yang bertolak belakang dengan negara-
negara Eropa pada umumnya. Kekhawatiran beberapa negara khususnya Jerman dan Prancis
bahwa akan kesulitan mengintegrasikan latar belakang budaya dan kultur antara Turki dengan
Uni Eropa. Turki memiliki latar belakang budaya yang cukup berbeda dengan negara-negara
Eropa lainnya, sejarah Islam yang sangat kaya dan sangat penting yang menjadi suatu sejarah
besar bagi perkembangan Islam di Eropa dan Timur tengah terutama pada zaman Kekaisaran
Ottoman. Kekayaan sejarah Islam tersebut disatu pihak menjadi suatu kebanggaan yang sangat
besar bagi Turki sebagai negara yang berhasil menyebarluaskan Islam ke hampir seluruh penjuru
dunia, namun dilain pihak hal tersebut juga mempengaruhi cara pandang negara-negara Eropa
bahkan keputusan Uni Eropa dalam hal penolakan Turki untuk menjadi anggota tetap Uni Eropa.
Letak geografis pun juga menjadi alasan dimana Turki dianggap wilayahnya lebih dekat
dengan Asia dan kebudayaannya pun tidak jauh berbeda dengan Asia. Meskipun wilayahnya
dekat dengan Eropa, namun Turki tidak sedikit pun memiliki kesamaan dengan bangsa Eropa
pada umumnya. Eropa memiliki gaya hidup ala barat yang tercermin dari sekulerisme nya.
Runtuhnya pemerintahan Turki Usmani pun juga merupakan salah satu dampak dari
diterapkannya sekularisme. Meskipun di Turki mulai terjadi sekulerisme, namun gaya hidupnya
dianggap sebagai “ketimuran” sehingga tidak cocok dengan budaya Eropa.

3. Kondisi Ekonomi Turki


Pertama, alasan penolakan Uni Eropa berdasarkan perbedaan ekonomi, hal ini memang
menjadi syarat untuk bergabung dengan Uni Eropa dapat diterima, tapi kendala tersebut tidak
berlaku pada Yunani dan Portugal yang pada saat diterima menjadi anggota tetap Uni Eropa juga
mempunyai masalah perekonomian yang hampir sama pada saat Turki mengajukan lamaran.
Kondisi politik dan ekonomi Turki memang selalu menjadi alasan kuat Uni Eropa untuk selalu
menolak keanggotaan Turki. Ekonomi Turki yang jauh berbeda dengan negara-negara Uni Eropa
lainnya dikhawatirkan akan menjadi suatu masalah bagi Uni Eropa dan menjadi beban bagi Uni
Eropa di masa yang akan datang. Sebagai negara anggota Uni Eropa (jika Turki diterima) maka
Turki berhak mendapatkan bantuan perekonomian dari negara-negara Uni Eropa melalui
Regional Polcicy-nya. Pertimbangan untung rugi menjadi faktor yang sangat mempengaruhi
keputusan Uni Eropa menolak keanggotaan Turki.

4. Kondisi demokrasi Turki


Kondisi demokrasi Turki juga menjadi sorotan Uni Eropa, muncul berita bahwa Uni
Eropa mengkritik hak asasi manusia, hukum dan demokrasi di Turki yang jauh semakin
memburuk. Turki dianggap belum mampu untuk menegakan demokratisasi di negaranya, hal ini
ditandai dengan masih banyaknya pelanggaran HAM yang sering terjadi di negara tersebut.
Kekuatan militer yang sangat dominan terhadap sipil di Turki dan metode militerisme yang
kerap digunakan untuk menangani berbagai masalah yang terjadi di negara tersebut menjadi
tolak ukur lemahnya demokrasi di Turki. Kedua alasan diatas menjadi hambatan utama dan
selalu dikemukakan Uni Eropa untuk menolak keanggotaan Turki. Namun bukan berarti
penolakan yang tidak hanya sekali tersebut diartikan bahwa Turki tidak melakukan perbaikan
dalam kedua hal tersebut, namun sebaliknya Turki selalu melakukan perubahan sesuai yang
diinginkan Uni Eropa. RUU pezinahan telah dibatalkan, siaran bahasa Kurdi mulai
diperbolehkan di beberapa radio bahkan kaum sekuler Turki mengeluarkan pernyataan dan
melarang istri kepala negara untuk menggunakan jilbab. Dalam hal militer masih kuat
pengaruhnya, namun masih dapat dikontrol oleh kekuatan masyarakat madani. Turki telah
melakukan segala cara untuk dapat menjadi anggota tetap Uni Eropa, bahkan Turki telah
membuktikan dirinya menjadi satu-satunya negara Islam yang demokrasinya telah memasuki
tahap yang relatif matang.
5. Mayoritas Muslim di Turki
Di luar pertimbangan konstitusional, terdapat pertimbangan lain yang menghasilkan
penundaan status keanggotaan yaitu Turki memiliki populasi penduduk Muslim terbesar di
Eropa juga menjadi salah satu yang diperdebatkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran negara-
negara anggota, melihat sejarah pertikaian Turki dengan Suku Kurdi. Ditakutkan keberadaan
komunitas Muslim dapat mengganggu stabilitas keamanan Uni Eropa. Uni Eropa takut akan
menyebaran ideologi Muslim dimana Turki adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak
di Eropa, yang notabene Eropa didominasi penganut agama Kristen dan Katolik
Penolakan terkait keberadaan komunitas Muslim di Turki, meski tidak disampaikan
secara eksplisit, diutarakan oleh Perancis yang merupakan negara sekuler dengan berbagai aturan
ketat mengenai pemisahan kehidupan beragama dan kehidupan bernegara. Kekhawatiran ini
ditambah dengan tipologi politik dalam negeri Turki, yang mayoritas dikuasai oleh Partai
beraliran Islam Sunni.

6. Seangkata Cyprus

Masalah utama yang digaris bawahi oleh Uni Eropa sehingga proses penerimaan Turki dalam
Uni Eropa terhambat adalah masalah yang menyangkut negara Siprus. Siprus merupakan jajahan
Inggris. Pada masa Byzantium penduduk Syprus mayoritas beragama Kristen Ortdoks. Namun,
orang-orang Turki pada pertengahan abad ke-16 menyebarkan agama Islam di Syprus pada masa
pemerintahan Othmainiah dan hal itulah yang menyebabkan terdapat duat etnis yang tinggal di
Siprus yaitu Siprus Yunani yang beragama Kristen dan Siprus Turki yang beragama Islam
(Malikah).

Ketika merdeka dari Inggris pada tahun 1960, konflik Siprus ini menjadi semakin mencuat
ketika Siprus Yunani ingin diintegrasikan dengan Yunani dan hal ini menuai protes dari Siprus
Turki. Akhirnya muncul perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah Turki dan Yunani yang
diadakan di Zurich dan hasilnya adalah lahirnya Republik Siprus yang terdiri dari dua etnis besar
(ibid). Pemerintahan pada saat itu terdiri dari orang-orang Siprus Turki dan Siprus Yunani dan
pemikiran mereka tidak pernah sejalan dan khirnya timbul konflik etnik.

Pada tahun 1974, perwira Yunani berencana untuk menggabungkan Siprus dengan Yunani.
Tidak terima dengan tindakan tersebut, Turki pun tidak tinggal diam. Turki sengaja menduduki
wilayah utara Siprus dan memperbanyak populasi keturunan Turki di sana dan sebagai
konsekuensinya, penduduk keturunan Yunani meninggalkan wilayah tersebut. Menyadari
separatisme yang tinggi di Siprus, Turki pun mendirikan “Turkish Republic of Northern
Syprus” secara sepihak. Sikap Turki ini membuatnya banyak dikecam oleh negara anggota Uni
Eropa dan menimbulkan reaksi keras dari Yunani dan juga PBB yang juga mengecam hal ini.
Aksi Turki ini jelas berseberangan dengan keputusan Uni Eropa, yang justru menerima bagian
Cyprus Yunani sebagai anggota. Konflik yang pada awalnya hanya terjadi antara Siprus dan
Yunani, merembet menjadi perebutan pengaruh antara Yunani dan Turki di Negara yang baru
terbentuk itu. Dimana Turki memiliki kepentingan menjadi penyokong komunitas warga Turki
yang tinggal di Siprus sebagai golongan minoritas. Hal ini membuat hubungan Turki dan Yunani
kurang baik yang padahal mereka adalah negara yang berbatasan langsung.

Uni Eropa memandang. kasus ini sebagai pengingkaran atas kewajiban perlindungan
terhadap golongan minoritas, seperti yang tercantum pada Copenhagen Criteria. Masalah ini
sebenarnya adalah antara Siprus dan Yunani sebelum Siprus masuk menjadi anggota Uni Eropa.
Konflik terjadi akibat terbentuknya negara Siprus. Sebelumnya, Turki menganggap masalah
Siprus adalah masalah pribadi Inggris yang pada masa itu memiliki wewenang di Siprus. Namun,
dalam berkembangnya masalah ini, Turki juga turut campur tangan dalam pembentukan
Republik Siprus yang menekankan pada binational partnership state.
Meskipun pada akhirnya diputuskan bahwa Cyprus dinyatakan sebagai negara merdeka
yang bebas dari pengaruh Turki ataupun Yunani, namun kasus ini tidak serta merta selesai
begitu saja. Masih ada dendam lama yang ada didalam Yunani sehingga menghalangi Turki
masuk ke Uni Eropa. Turki sendiri masih tetap tidak mau mengalah dan menganggap bahwa
Cyprus masih menjadi bagian dari Turki, bahkan hingga saat ini masyarakat Turki semakin
banyak berdatangan ke Cyprus dan menguasai wilayah itu.Aksi Turki pada saat itu yang
cenderung frontal dan berani kepada dunia internasional sehingga dianggap anarki membuat Uni
Eropa hingga saat ini masih ragu untuk meloloskan Turki dalam keanggotaannya.
Pada 1 Mei 2004 Siprus diterima menjadi anggota Uni Eropa. Hal ini tentu saja membuat
Turki gempar. Ia yang sudah lama ingin bergabung dengan Uni Eropa hingga kini belum tercapai
sedangkan Siprus dengan mudahnya dapat bergabung dengan Uni Eropa. Meskipun Siprus sudah
bergabung dengan Uni Eropa, masih terdapat pembedaan perlakuan dari PBB di mana PBB agak
acuh terhadap Siprus utara karena Turki masih melakukan intervensi terhadap wilayah tersebut.
Sebagai dampaknya, perekonomian Siprus selatan pun menjadi lebih maju dibandingkan dengan
Siprus utara. Hal ini juga tidak terlepas dari tindakan PBB yang memblokade Siprus Turki
sehingga para investor enggan untuk menanamkan sahamnya di sana. Dalam kasus ini, terlihat
bahwa ada sikap sentimen dari beberapa pihak mengenai kasus Siprus Turki sehingga cukup
menyulitkan negara Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa karena pada saat itu Siprus telah
menjadi anggota Uni Eropa sehingga Uni Eropa lebih berpihak kepada Siprus Yunani dan sangat
menentang Siprus Turki. Keberadaan Turki pada saat itu cukup meresahkan di mana akan
mengganggu kestabilan politik di Siprus yang juga ditakutkan akan menganggu kestabilan
politik di Uni Eropa karena Siprus merupakan anggota Uni Eropa. Tentu saja hal ini menjadi
salah satu faktor yang memberatkan bagi Turki terkait dengan keanggotaan di Uni Eropa.

Penolakan Yunani mungkin tidak akan berarti signifikan, sebab negara ini juga tengah
disorot status keanggotaannya akibat hutang dalam negerinya yang menumpuk. Namun
penolakan Jerman akan membawa dampak yang cukup kuat, terkait dengan tingginya hak suara
(qualified majority voting) yang dimiliki Jerman. Penolakan oleh Jerman seakan sebuah harga
mati bagi sulitnya Turki masuk ke dalam institusi Uni Eropa.
Dari sini sudah nampak jelas bahwa sulitnya Turki menembus penerimaan anggota baru di
Uni Eropa lebih banyak disebabkan oleh alasan politis yang terjadi terkait masalah Cyprus.
Seandainya Turki bisa menyesuaikan diri terhadap segala peraturan yang ada di Uni Eropa,
belum tentu dapat menjadi jaminan bahwa Turki pasti akan diterima sebelum masalah Cyprus
terselesaikan.

E. Prospek Turki Dalam Uni Eropa


Prospek Turki untuk diterima sebagai anggota Uni Eropa sangatlah kecil. Hal ini
disebabkan banyaknya sentimen-sentimen dari negara di Uni Eropa itu sendiri. Utamanya dari
Prancis dan Jerman.
Sekarang muncul sebuah pertanyaan; Mengapa para pejabat Uni Eropa masih
menyepakati memulai perundingan proses keanggotaan Turki di Uni Eropa? Padahal mereka
sendiri secara terang-terangan menolak Turki sebagai anggota Uni Eropa dengan berbagai alasan
yang telah dikemukakan pada poin sebelumnya.
Dalam menjawab pernyataan tersebut, Turki dari sisi posisi ekonomi, politik dan geografi
tak dapat diabaikan Uni Eropa. Karena itulah negara-negara besar Eropa membiarkan Turki
menanti menjadi anggota organisasi selama 30 tahun. Hingga kini, mereka terus mengulur
perundingan proses keanggotaan Turki di Uni Eropa dengan harapan bahwa Turki menerima
sebagai anggota kehormatan atau dengan kata lain sebagai mitra istimewa di organisasi ini.
Turki dalam usahanya menjadi bagian dari organisasi internasional intergrasi kawasan
sudah melakukan banyak perubahan yang pada dasarnya demi homogenization – keinginan
untuk menjadi sama atau serupa atau seragam sebagai suatu komposisi atau fungsi– dengan Uni
Eropa. Homogenization tersebut berdasar Copenhagen Criteria yang mengharuskan negara yang
ingin bergabung dalam Uni Eropa untuk memenuhinya. Hal tersebut juga nampak dilakukan oleh
Turki, yang mana Turki melakukan penyesuaian yang diberi nama Turkey Harmonization
Packages. Namun sayangnya, hingga tahun 2016 Turki belum mendapatkan titik terang dari Uni
Eropa mengenai pendaftaran dirinya dalam integrasi kawasan tersebut.

Hasrat Turki untuk terus berusha menjadi anggota Uni Eropa didasri oleh geopolitik ,jika
Turki berhasil masuk sebagi anggota Uni eropa hal ini akan mengutkan posisi ekonomi Turki ,
karena kawasan ekonomi Turki sangatlah luas dan juga kekuatan militer yang sangat besar pula
karena secara tidak langsung keanggotaannya di Uni Eropa akan memperkuat posisinya di
NATO. Posisi ini akan menjadi daya tawar Turki dalam menyelesaikan berbagai masalah yang
ada di Timur Tengah dan sekitarnya. Sebenarnya, daya tawar yang dimiliki Turki tersebut dapat
dimanfaatkan oleh Uni Eropa untuk turut serta dalam menyelesaikan konflik yang
berkepanjangan di Timur Tengah. Jika Turki menjadi anggota Uni Eropa, maka negara ini akan
menjadi kepanjangan tangan Uni Eropa terutama dalam hal memperjuangkan kepentingannya di
Timur Tengah.Seperti yang kita ketahui sekarng bahwa posisi Turki di Timur Tengah sekarang
ini tengah menjadi sorotan karena sikap tegas PM turki yaitu Tayyep Erdogan dalam pengatasi
konflik timur tengah. Posisi Turki ini sebenarnya sangat menguntungkan Uni Eropa jika saja
meraka mau menerima Turki sebagai anggotanya. Banyak posisi strategis Turki yang dapat
dimanfaatkan untuk masa depan organisasi regional ini, salah satu yang di angkat disini adalah
posisi strategis Turki sebagai jemabatan antara negara muslim dengan negara barat .Sebagai
salah satu organisasi regional yang paling maju, Uni Eropa adalah panutan dan contoh yang baik
sebagai salah satu organisasi regional. Dengan masuknya Turki sebagai anggota tentu saya ini
akan membuat hubungan orang muslim dengan orang barat akan semakin baik, Turki yang
menjadi salah satu negera islam modern yang menganut hukum sekuler dan menjaukan diri dari
nilai-nilai islam. Hal inilah yang harus dijadikan pertimbangan Uni Eropa, bukan melihat Turki
sebagai negara Muslim dan dapat membahayakan negara anggota lainnya. Jika kita melihat
sejarah turki, dan melihat teori peradaban bahwa sejarah mengatakan bahwa abad sekarang ini
adalah abad dimana Islam kembali berjaya, Hal ini lah yang harus di perhatikan oleh Uni Eropa
bahwa Turki akan menjadi parther yang baik untuk mengatasi setiap masalah yang tejadi di
Timur Tengah, karena melihat karakteristrik Turki yang lebih bisa memahami negara-negara
Timur Tengah.
Masuknya Turki dalam keanggotaan uni eropa tentu saja bisa memperkukuh hubungan
antara negara-negara barat dengan negara-negara timur khususnya negara-negara muslim. Turki
akan jembatan yang baik bagi Uni Eropa untuk lebih mengenal negara muslim didunia Inilah
yang harus menjadi dasar Uni eropa untuk menerima Turki sebagai anggotanya bahkan ada
sebagian pihak percaya bahwa masuknya Turki sebagai anggota Uni Eropa akan membawa
perdamaian di Timur Tengah, ini dikarenakan Turki memang mempunyai kekuatan untuk
menenkan negara-negara Timur Tengah. Bahkan dalam kunjungan yang pernah dilakukan oleh
Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, beliau mengatakan bahwa Amerika Serikat dan Eropa
harus mendekati Muslim sebagai sahabat, tetangga dan mitra dalam memerangi ketidakadilan,
intoleransi dan kekerasan, menjalin hubungan berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan
kepentingan bersama.Tetapi memang sikap keras Uni Eropa yang sampai saat masih enggan
menerima Turki sebagai anggota.

Meskipun Turki dalam kondisi tidak memungkinkan untuk dapat masuk dalam Uni Eropa
karena Jerman dan beberapa negara yang menolak Turki memiliki hak suara yang besar, Turki
tetap mendapatkan dukungan dari beberapa negara di Uni Eropa. Spanyol dan Italia adalah
contoh dari negara Uni Eropa yang sangat mendukung bergabungnya Turki dalam integrasi
kawasan Eropa. Disisi lain, negara-negara yang menolak Turki untuk bergabung dalam Uni
Eropa adalah negara inner circle termasuk Jerman dan Prancis. Negara yang menolak
memandang Turki sebagai negara yang hanya akan membawa dampak buruk bagi sistem politik
dan perekonomian Eropa. Adanya dua kubu dalam integrasi kawasan Uni Eropa menunjukkan
bahwa adanya pengkotakan kepentingan-kepentingan tersendiri dalam Uni Eropa.
Daftar Referensi:

Dictionary.com. Diakses dalam http://dictionary.reference.com/browse/homogenization. Diakses pada 26/11/2016.

ec.europa.eu, tanggal 30 Oktober 2010.

Heather Grabe dari Pusat Reformasi Eropa dalam artikelnya “Ever Expanding Union?” di Economist pada taggal 29
April 2004.

Masalah Perluasan Keanggotaan : Politisasi Konstitusi Eropa. Diakses dalam


http://www.kompasiana.com/nendraprimonik/masalah-perluasan-keanggotaan-politisasi-konstitusi-
eropa_54fffa0ea33311f46d50f940. Diakses pada 26/12/2016.

reuters.com. Berita tanggal 23 April 2008.

The World Factbook. Diakses dalam https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/tu.html. diakses


pada 26/11/2016.

Turkey. Diakses dalam http://ec.europa.eu/enlargement/countries/detailed-country-information/turkey/index_en.htm.


Diakses pada 26/11/2016.

Uni Eropa Kritik Turki karena Gagal Tegakkan HAM dan Hukum. Diakses dalam
http://www.voaindonesia.com/content/uni-eropa-kritik-turki-gagal-tegakkan-ham-dan-hukum/3051369.html. Diakses
pada 26/11/2016.

Website resmi CIA (The World Factbook)

Anda mungkin juga menyukai