Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

IMUNISASI
ILMU KESEHATAN ANAK

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF


Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Citra Putri Anandira
NIM. 132011101046

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. Saraswati Dewi, Sp.A
dr.Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. M.Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK RSD DR. SOEBANDI
JEMBER
2017
PENDAHULUAN

Imunisasi merupakam salah satu cara pencegahan penyakit menular


khususnya Penyakit yang Dapat Dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang diberikan
tidak hanya anak sejak masih bayi tetapi juga kepada dewasa. Imunisasi merupakan
salah satu investasi kesehatan yang murah karena terbukti dapat mencegah dan
mengurangi kejadian sakit, cacat, dan kematian akibat PD3I yang diperkirakan dua
hingga tiga juta tiap tahunnya.
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar
dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh
penyakit yang sering berjangkit. Selain itu, imunisasi bertujuan untuk melindungi
individu terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, mengurangi
prevalensi penyakit pada penyakit, dan mengeradikasi penyakit tersebut. Penyakit
yang telah berhasil dieradikasi adalah penyakit cacar (variola). Imunisasi dapat
mencegah 2-3 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I) (Soejatmiko et al., 2015). Imunisasi dapat mencegah
kematian yang disebabkan difteri, tetanus, pertusis, dan measles dan apabila cakupan
imunisasi dapat dioptimalkan angka kematian dapat diturunkan lagi sebanyak 1,5
juta jiwa (WHO, 2017).
Dibandingkan dengan negara lain diantara sebelas negara di Asia Tenggara,
Indonesia memiliki cakupan imunisasi campak sebesar 84% dan termasuk dalam
kategori cakupan imunisasi campak sedang, sedangkan Timor Leste dan India
termasuk kategori imunisasi campak rendah. Dalam Undang-Undang Kesehatan
Nomor 36 tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi
dasar sesuai dengan ketentuan untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat
dihindari melalui imunisasi dan pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap
kepada setiap bayi dan anak. Penyelenggaraan imunisasi tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013. (Pusdatin, 2016)
Tujuan imunisasi adalah untuk melindungi individu terhadap penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi, mengurangi prevalensi penyakit pada
penyakit, dan mengeradikasi penyakit tersebut. Penyakit yang telah berhasil
dieradikasi adalah penyakit cacar (variola). Imunisasi dapat mencegah 2-3 juta
kematian yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I) (Soejatmiko et al., 2015). Imunisasi dapat mencegah kematian yang
disebabkan difteri, tetanus, pertusis, dan measles dan apabila cakupan imunisasi dapat

1
dioptimalkan angka kematian dapat diturunkan lagi sebanyak 1,5 juta jiwa (WHO,
2017).
Selama tahun 2015 sekitar 86% bayi diseluruh dunia telah medapatkan 3
dosis vaksin difteri-tetanus-pertusis (DTP3). Sebanyak 126 negara telah mencapai
angka 90% cakupan vaksin DTP3. Namun saat ini sekitar 19,4 juta bayi di seluruh
dunia masih belum mendapatkan vaksin rutin seperti vaksin DTP3. Sekitar 60%
bayi ini berasal dari 10 negara yaitu: Indonesia, Angola, Kongo, Etiopia, India,
Iraq, Nigeria, Pakistam Filipina, dan Ukraina.
Dengan perkembangan alat transportasi orang-orang dengan cepat dapat
berpergian dari satu tempat ke tempat yang lain. Akibatnya, kuman dan virus
mudah menyebar dengan cepat. Sebagai contoh Indonesia telah dinyatakan bebas
polio pada tahun 1995 namun pada tahun 2006 ditemukan kejadian munculnya
penyakit polio di desa Cidahu, Sukabumi. Virus polio liar tersebut terbawa oleh
jemaah haji yang berasal dari Afrika sehingga virus tersebut menyerang anak-anak
yang belum mendapatkan vaksinasi secara cukup.
Saat ini penyakit infeksi yang bisa mengakibatkan penderitaan dan
kematian antara lain campak, Haemophilus influenza (Hib), pertusis, dan tetanus
neonatal. Penyakit-penyakit ini memiliki mortalitas terbesar di antara yang dapat
dicegah dengan vaksinasi. Setiap tahun 10,6 juta anak meninggal sebelum usia 5
tahun dan 1,4 juta diantaranya adalah diakibatkan penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Penghentian pemberian vaksin dapat mengakibatkan terjadi lagi
penularan dan penyebaran penyakit atau bahkan kejadian luar biasa atau wabah
penyakit tersebut (Satgas Imunisasi IDAI, 2014).

2
1. Definisi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa, tidak terjadi penyakit (Ranuh, 2008). Dengan imunisasi penyakit
cacar (variola) telah berhasil dieradikasi pada tahun 1980. Angka kejadian
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) telah berkurang lebih dari
99% dibandingkan sebelum adanya program imunisasi.
Imunisasi dibagi menjadi dua yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif.
Imunisasi adalah proses meningkatkan kekebalan dengan cara pemberian,
pemindahan atau transfer antibodi spesifik. Imusiasi pasif yang diperoleh secara
alami adalah antibodi (imunoglobulin G) dari ibu kepada janin melalui plasenta,
atau imunoglobulin A melalui kolostrum. Imusasi pasif buatan adalah pemberian
imunoglobulin pada infeksi akut seperti tetanus, difteri, atau rabies.
Imunisasi aktif adalah proses masuknya kuman patogen ke dalam tubuh
yang mengakibatkan infeksi subklinis atau klinis yang selanjutnya menimbulkan
respon imun protektif terhadap kuman patogen tersebut bila terpapar lagi
dikemudian hari. Imunisasi aktif secara buatan disebut juga dengan vaksinasi
(Soejatmiko et al., 2015). Vaksin adalah produk yang merangsang sistem imun
tubuh terhadap suatu penyakit tertentu sehingga seseorang terhindar dari penyakit
tersebut. Vaksin biasa diberikan melalui injeksi namun juga bisa melalui oral atau
disemprotkan ke hidung (CDC, 2017)
Saat ini menurut WHO terdapat 25 vaksin yang telah ditemukan dan
dipergunakan di seluruh dunia (available vaccine) serta masih ada 24 vaksin
yang sedang dalam proses penelitian dan pengembangan (Pipeline vaccines).
Berikut adalah tabel available vaccine dan pipeline vaccine:
Available Vaccine Pipeline Vaccine
Kolera Campylobacter jejuni
Dengue (Dengvaxia) Chagas Disease
Difteria Chikungunya
Hepatitis A Dengue

3
Hepatitis B Enterotoxigenic Escherichia coli
Hepatitis E Enterovirus 71 (EV71)
Haemophilus influenza type b (Hib) Group B Streptococcus (GBS)
Human papimolavirus (HPV) Herpes Simplex Virus
Influenza HIV-1
Japanese encephalitis Human Hookworm Disease
Malaria Leishmaniasis Disease
Measles Malaria
Meningococcal meningitis Nipah Virus
Mumps Nontyphoidal Salmonella Disease
Pertusis Norovirus
Pneumococcal disease Paratyphoid fever
Rabies Respiratory Syncytial Virus (RSV)
Rotavirus Schistosomiasis Disease
Rubella Shigella
Tetanus Staphylococcus aureus
Tick-orne encephalitis Streptococcus pneumoniae
Tuberculosis (BCG) Streptococcus pyrogenes
Typoid Tuberculosis
Varicella Universal Influenza Vaccine
Yellow fever

Sampai tahun 216 di Indonesia terdapat program imunisasi dasar lengkap


yang meliputi imunisasi polio, TBC, campak, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B,
dan Haemophilus influenza tipe b (Hib). Imunisasi Hib ditambahkan pada
program imunisasi nasional sejak disahkannya Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia no 42 tahun 2013 tentang imunisasi. Tahun 2017 Kementrian
Kesehatan RI mengupayakan penambahan tiga jenis kekebalan untuk melengkapi
program imunisasi dasar lengkap yaitu: vaksin Measles Rubella (MR), vaksin
Pneumococcus, dan vaksin Japanese Encepahalitis (JE). Vaksin MR mulai

4
digunakan untuk menggantikan vaksin campak dan ditargetkan mencakup seluruh
Pulau Jawa pada tahun 2017 dan mencakup seluruh Indonesia pada tahun 2018.
Pelaksanaan kampanye vaksin MR menyasar 9 bulan, 18 bulan dan kelas 1
SD/sederajat. Kampanya ini sekaligus merupakan pengenalan imunisasi Rubella
ke dalam program imunisasi nasional menggantikan vaksin campak yang selama
ini dipakai. Pelaksanaan kegiatan ini dibagi dalam 2 fase yaitu fase 1 dilaksanakan
tahun 2017 di semua Provinsi di Pulau Jawa. Fase 2 dilaksanakan di seluruh
provinsi di luar pulau Jawa. Untuk vaksin JE, kampanye dan introduksi akan di
awali di Provinsi Bali (tahun 2017-2018) dan Kota Manado (tahun 2019).
Imunisasi JE akan menyasar bayi usia 9 bulan. Pemberian vaksin Pnemokukus
diberikan untuk bayi usia 2,3 dan 12 bulan (Depkes, 2017).

2. Jenis Jenis Imunisasi

Imunisasi dibagi menjadi dua yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif.

a. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif adalah proses transfer antibodi yang berasal dari satu orang atau
hewan ke individu lain. Imunitas pasif memberikan perlindungan terhadap
infeksi namun sifatnya sementara. Imunitas akan menurun dalam hitungan
minggu sampai beberapa bulan. Contoh imunisasi pasif adalah adalah imunitas
yang diterima bayi dari ibunya. Antibodi ditransfer melalui plasenta pada usia
kehamilan 8-9 bulan sehingga bayi akan memiliki kekebalan yang sama seperti
yang dimiliki ibunya. Perlindungan akan bertahan selama sekitar satu tahun.
Perlindungan terhadapa beberapa penyakit seperti campak, rubella dan tetanus
lebih baik daripada penyakit lain seperti polio dan pertusis.
Ada 3 macam imunisasi pasif di dunia medis:
1. Homologous pooled human antibody (immunoglobulin)
Imunoglobulin diproduksi dengan mengumpulkan fraksi antibodi dari
ribuan pendonor. Karena berasal dari banyak donor imunoglobulin
mengandung antibodi terhadap banyak antigen. Jenis ini biasa digunakan

5
untuk profilaksis post-exposure Hepatitis A, measles, dan terapi untuk
penyakit defisiensi imunoglogulin kongenital.
2. Homologous human hyperimmue globuline
Homologous human hyperimmue globuline adalah produk antibodi yang
mengandung antibodi spesifik dengan titer tinggi. Produk ini berasal dari
plasma manusia yang mengandung antibodi tertentu. Karena berasal dari
manusia kemungkinan juga terdapat antibodi lain dalam jumlah sedikit.
Imunisasi pasif jenis ini biasa digunakan untuk profilaksis post exposure
penyakit hepatitis B, rabies, tetanus, dan varicella.
3. Heterologous hyperimmune serum (antitoksin)
Antitoksin adalah produk yang berasal dari hewan biasanya kuda
(equine) yang mengandung antibodi yang spesifik suatu penyakit. Contoh
antitoksin adalah botulism dan difteri.

Imunoglobulin dari manusia bersifat poliklonal yang mengandung


beberapa jenis antibodi. Pada tahun 1970 ditemukan cara untuk mengisolasi
sel B yang kemudian disebut antibodi monoklonal. Antibodi monoklonal ini
mengandung antibodi spesifik terhadap satu antigen. Contoh produk antibodi
monoklonal adalah palivizumab (Synagis) yaitu antibodi monoklonal untuk
mencegah respiratory syncytial virus (RSV).

b. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah stimulasi sistem imun untuk menghasilkan
antibodi (antigen-spesific humoral) dan imun seluler. Imunisasi aktif
bertahan selama beberapa tahun bahkan bisa seumur hidup.
Cara untuk mendapatkan imunitas aktif adalah terpajan infeksi suatu
organisme. Sekali seseorang sembuh dari suatu infeksi penyakit dia akan
memiliki imunitas terhadap penyakit tersebut. Ketika sistem imun terpajan
suatu antigen, Sel B memori akan tetap bertahan dalam sirkulasi selama
beberapa tahun. Cara lain untuk mendapatkan kekebalan adalah melalui
vaksinasi. Vaksin berinteraksi dengan sistem imun dan biasa menghasilkan
respon imun yang mirip dengan yang didapatkan dari infeksi alami. Vaksin

6
menghasilkan respon imun namun tidak menyebabkan gejala klinis
penyakit maupun komplikasinya.

Klasifikasi isi vaksin dibagi menjadi dua yaitu vaksin yang mengandung
bakteri/virus yang dilemahkan dan vaksin inaktif

a. Bakteri/virus hidup yang dilemahkan


Jenis vaksin ini berasal dari kuman liar yang dilemahkan di
laboratorium melalui proses kultur berulang. Sebagai contoh vaksin measles
yang ada sekarang berasal dari anak dengan penyakit measles pada tahun
1954. Vaksin hidup masih memiliki kemampuan bereplikasi dan membentuk
kekebalan tanpa menyebabkan penyakit. Vaksin jenis ini biasanya mampu
membentuk kekebalan dengan satu dosis kecuali yang dimasukkan melalui
oral. Contoh vaksin hidup yang berasal dari virus adalah: measles, mumps,
rubella, varicella, rotavirus, dan oral polio sedangkan yang berasal dari
bakteri adalah BCG dan oral tifoid.
b. Vaksin Inaktif
Vaksin inaktif dibuat dengan menumbukan bakteri/virus di media
kultur kemudian menonaktifkannya dengan suhu panas atau bahan kimia
seperti formalin. Vaksin inaktif tidak akan bereplikasi dan tidak terpengaruh
oleh antibodi di sirkulasi. Ada dua jenis vaksin inaktif yaitu vaksin
bakteri/virus utuh dan vaksin fraksional. Vaksin inaktif perlu lebih dari satu
kali dosis pemberian untuk membentuk kekebalan. Kekebalan baru terbentuk
biasanya pada dosis kedua atau ketiga. Respon imun yang terbentuk sebagian
besar adalah respon imun humoral dengan sedikit atau bahkan tanpa respon
imun seluler. Titer antibodi dari vaksin inaktif menurun dengan berjalannya
waktu seehingga membutuhkan imunisasi ulangan atau booster.
Contoh vaksin bakteri inaktif utuh adalah pertusis, kolera, tifoid
sedangkan yang berasal dari virus polio, hepatitis A, rabies, dan influenza.
Vaksin inaktif fraksional dibagi lagi menjadi vaksin protein-based dan vaksin
polisakarida-based. Vaksin protein based terdiri atas vaksin toksoid (difteri,
tetanus) dan subunit (hepatitis B, influenza, aselular pertusis, human papilloma

7
virus). Sedangkan polisakarida based dibagi menjadi polisakarida murni
(pneumokokus, salmonella thypi) dan konjugasi (Hib, pneumokokus).

3. Imunisasi Program Nasional


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 42 tahun
2013 tentang penyelengaraan imunisasi terdapat enam imunisasi dasar dalam
program imunisasi nasional yaitu imunisasi hepatitis B, BCG, DTP, Hib, Polio,
dan campak. Sejak tahun 2014 digunakan vaksin kombinasi DTP-HB-Hib atau
dikenal sebagai vaksin Pentabio. Vaksin ini digunakan di seluruh fasilitas
kesehatan pemerintah dan diberikan pada umur 2,3,4 bulan dengan vaksin ulangan
pada usia 18 bulan.

3.1 Hepatitis B
Virus hepatitis B tergolong dalam famili virus Hepadnaviridae. Semakin
muda usia anak semakin risiko menjadi infeksi kronis yaitu 80-90% bila terjadi
pada masa perinatal, 30-50% pada usia 1-4 tahun dan hanya sekitar 10% bila
infeksi pada masa dewasa.

Isi Vaksin Vaksin inaktivasi; subunit berupa sel ragi mengandung antigen
permukann virus Hepatitis B (HbsAg)
Jadwal Kemenkes: 0 bulan (monovalen), 2,3,4 (pentabio)
IDAI: 0,1, 6 bulan bila monovalen
2, 3, 4 bulan bila kombinasi dengan DTPw
2, 4, 6 bulan bila kombinasi dengan DTPa
Dosis 0,5 mL
Tempat Intramuskuler vastus lateralis femoris
KI Tidak ada kontra indikasi absolut
KIPI Jarang terjadi namun kadang terjadi demam ringan 1-2 hari, syok
anafilaksis setelah 4 jam

8
Bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif perlu mendapatkan vaksin hepatitis
B dan Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 mL pada dua tempat yang berbeda
dalam 12 jam setelah lahir.

3.2 BCG

Vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG) adalah vaksin hidup yang


mengandung Mycobacterium bovis. Vaksin ini mencegah penyakit TBC. Efektifitas
vaksin BCG bervariasi antara 0-80% tergantung mutu vaksin, status gizi pejamu, dan
umur. Vaksin BCG disuntikkan secara intradermal karena memerlukan lapisan
chorium kulit untuk berkembang. Setelah berkembang barulah akan menyebabr ke
lapisan subkutan, kapiler, pembuluh limfe dan pembuluh darah.

Vaksin BCG berbentuk bubuk kuning yang harus dilarutkan dengan NaCl
0,9% setelah dipakai harus segera dipakai dalam waktu tiga jam sisanya dibuang.
Setiap ampul vaksin dilarutkan dengan 4 mL pelarut NaCl 0,9% (80 dosis) namun
efektivitas pemakaian di lapangan 2-3 dosis. Reaksi pada yang pernah tertular
TBC disebut Koch phenomen yaitu reaksi lokal BCG berjalan cepat (2 - 3 hari
sesudah imunisasi) dan 4 - 6 minggu timbul scar.

Isi Vaksin Vaksin hidup yang dilemahkan Mycobacterium bovis


Jadwal 1 bulan
IDAI: Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan,
optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau
lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu
Dosis Bayi: 0,05 mL
>1 th: 0,1 mL
Tempat Intradermal pada proximal insersio Musculus deltoideus dextra
KI Keadaan imunokompromais seperti penderita keganasan,
menggunakan steroid jangka panjang, bayi curiga HIV, uji
tuberculin > 5 mm

9
KIPI Lokal: eritema, indurasi, nyeri diikuti ulserasi 3 minggu setelah
penyuntikan kemudian akan timbul jaringan parut berukuran 4-8
mm dalam waktu 2-3 bulan
Limfadenitis supuratif di aksila atau leher, limfadenitis BCG
diseminasi setelah 4-6 minggu

3.3 Polio

Virus polio termasuk virus RNA golongan Picornaviridae genus


enterovirus. Terdapat 3 jenis virus polio yaitu polio 1, polio 2, dan polio 3. Kasus
polio liar tidak pernah terjadi di Indonesia sejak tahun 1995, namun pada tahun
2005 ditemukan kasus di Sukabimu yang kemudian menyebar ke 10 provinsi di
Indonesia. Dengan mengadakan pekan imunisasi nasional pada Maret 2014
Indonesia telah dinyatakan bebas polio oleh WHO. Gejala polio sangat beragam
90-95% individu yang terinfeksi bersifat asimtomatis, sekitar 5% abortif, 1%
mengalami poliomielitis non paralitik dan hanya 0,1% mengalami poliomielitis
paralitik. Virus polio masuk ke tubuh melalui saluran cerna, bereplikasi di faring
dan saluran cerna lalu menyebar secara hematogen ke susuan syaraf pusat dan
jaringan syaraf.

Isi Vaksin Oral Polio Vaccine (OPV): virus hidup yang dilemahkan yang
mengandung virus polio strain 1,2,3 (strain Sabin) yang
menimbulkan imunitas humoral dan lokal di mukosa usus
Inactivated Polio Vaccine (IPV): virus polio inaktif 3 strain yang
menghasilkan imunitas humoral saja
Jadwal Umur 1, 2,3, 4 bulan
IDAI: 0,2,3, dan 4 bulan dan diberi ulangan pada umur 18 bulan
dan 5 tahun. Paling sedikit harus mendapatkan 1 kali IPV
bersamaan dengan OPV3. Pasien imunokompromais dipilih IPV.
Dosis OPV: 2 tetes (0,1 mL) per oral
IPV: 0,5 mL secara intramuskuler

10
Tempat IPV: vastus lateralis quadriceps femoris atau otot deltoid
KI Reaksi alergi berat pada komponen vaksin atau setelah dosis
Sebelumnya
KIPI OPV: Vaccine assosiated paralytic poliomyelitis (VAPP)
IPV: kadang timbul reaksi lokal ringan dan sementara

3.4 DTP

Vaksin DTP (Difteri tetanus pertusis) vaksin yang memberikan perlindungan


terhadap penyakit difteri, tetanus, dan pertusis. Vaksin DTP berbentuk cairan yang
dikemas dalam vial. 1 box terdiri dari 10 vial dan 1 vial berisi 10 dosis. Saat ini
DTP juga diberikan dalam bentuk vaksin jerap Difteri, tetanus, pertusis, Hepatitis
B Rekombinanan (quadrivalent) dan DTP, Hepatitis B dan Hemofilus influenza
tipe B (pentavalent).

Isi Vaksin DTPw: purified diphteria toxoid 20 Lf, purified tetanus toxoid
7,5 Lf, bakteri B. Pertussis inaktif 12 OU
DTPa: toksoid difteri 25 Lf, toksoid tetanus Lf, inactivated
pertussis toxin (PT) 25 mcg, filamentous hemagglutinin (FHA)
25 mcg, pertactin 8 mcg
Jadwal 2,4,6 bulan
IDAI: Vaksin paling cepat dilakukan pada usia 6 minggu. Bisa
DTPa atau DTPw atau kombinasi dengan vaksin lain pada 2,3,4
bulan. Apabila diberikan vaksin DTPa maka diberikan usia 2, 4,
dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin
Td atau Tdap. Untuk DTP 6dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setap 10 tahun.
Dosis 0,5 mL
Tempat Intramuskular anterolateral paha atas.
KI Riwayat anafilaksis pada pemberian sebelumnya, ensefalopati
pada pemberian vaksin pertusis sebelumnya

11
KIPI DTPw: demam 42%, nyeri 19%
DTPa: demam 9,9%, nyeri 2,5%

3.5 Haemophilus influenza tipe B (Hib)

Haemophilus influenza tipe B merupakan kuman gram negatif yang


menyebabkan 8,3 juta kasus penyakit serius pada tahun 2000 dan sekitar 371.000
kematian pada bayi dan anak setiap tahun. Manifestasi Hib adalah pneumonia dan
meningitis yang sering meninggalkan gejala sisa walaupun cepat ditangani. Hib
juga menyebabkan septikemia, selulitis, artritis, dan epiglotitis. Penyebaran terjadi
lewat droplet dari individu yang terinfeksi. PRP yang dikonjugasikan dengan
protein tetanus disebut sebagai PRP-T. Vaksin ini merangsang imunitas seluler
yaitu sel limfosit T.

Isi Vaksin Vaksin inaktivasi: Polisakarida bagian kapsul Hib yaitu


polyribosyribitol phosphat (PRP)
Jadwal 2,3,4 bulan dengan imunisasi ulangan pada umur 18 tahun
IDAI: Hib monovalen (PRP-T) umur 2,4,6 bulan dan ulangan
pada umur 18 bulan, Hib pentavalen 2,3,4 bulan dengan ulangan
usia 15-18 bulan
Dosis 0,5 mL
Tempat Intramuskular anterolateral paha atas.
KI Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan
karena bayi tersebut belum dapat membentuk antibodi
KIPI Jarang terjadi

3.6 Campak

Virus campak merupakan virus RNA yang termasuk famili paramyxovirus.


Penyakit ini ditularkan secara langsung melalui droplet infeksi atau penularan
melalui udara (airborne spread).

12
Isi Vaksin Virus hidup yang dilemahkan: campak 103 CCID50 dan
preservatif Kanamicin sulfat dan eritromisin
Jadwal Umur 9 bulan dengan ulangan pada umur 18 bulan dan kelas 1
SD
Dosis 0,5 mL
Tempat Subkutan pada deltoid
KI Keadaan imunodefisiensi seperti kanker, tranplantasi organ,
konsumsi steroid
Pasien TB tidak diobati
KIPI Demam tinggi 39,5 C atau lebih tejadi pada 5-15% kasus

4. Imunisasi Pilihan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 42 tahun
2013 tentang penyelengaraan imunisasi terdapat 9 imunisasi pilihan di Indonesia.
Vaksin pilihan tersebut adalah pneumokokus, rotavirus, hepatitis A, Human
Papiloma Virus (HPV), dan Japanese Encephalitis.

4.1 Pneumokokus

Pneumokokus atau Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab


penyakit serius seperti meningitis, bakteremia, dan pneumonia. Terdapat 2 jenis
vaksin yaitu vaksin polisakarida 23 valen dan vaksin konjugasi 10 serta 13 valen.
Vaksin konjugasi yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPV 23, PCV 10 dan
PCV 13.

Isi Vaksin PCV 10: Polisakarida yang dikonjugasikan dengan protein D


suatu protein membran luar dari non-typable Haemophilus
influenzae, toksoid difteri, dan toksoid tetanus
PCV 13: polisakaridan yang dikojugasikan dengan protein carier
CRM (cross reactive material) 197 difteri non toksik
Jadwal Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
dengan interval 2 bulan; dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan

13
1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau
minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2
tahun PCV diberikan cukup satu kali
Dosis 0,5 mL
Tempat intramuskuler paha atau deltoid
KI Riwayat anafilaksis
KIPI Demam >39,5 C dilaporkan terjadi pada kurang dari 5%
vaksinasi

4.2 Rotavirus
Vaksin ini merupakan perlindungan terhadap rotavirus penyebab 453.000
kematian yang berhubungan dengan diare cair akut.laporan surveilance 35 negara
didapatkan 34%-45% diare pada anak yang membutuhkan perawatan rumah sakit
disebabkan oleh rotavirus. Jenis vaksin yang tersedia adalah monovalen (RV1)
dan pentavalen (RV5).

Isi Vaksin Virus rotavirus hidup yang dilemahkan


Jadwal Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama
diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertama tdak diberikan pada
usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal
4 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 24 minggu.
Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama
diberikan usia 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga diberikan
dengan interval 4-10minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32
minggu
Dosis 2 mL
Tempat Per oral
KI Hipersensitivitas terhadap komponen vaksin dan imunodefisiensi
berat. Imunisasi perlu ditunda apabila ada demam atau
gastroenteritis akut
KIPI Demam, tinja berdarah, muntah, diare, gastroenteritis

14
4.3 Meales, Mumps, Rubella (MMR)
Penyakit gondong (Mumps) disebabkan oleh virus dari famili
Paramyxovirus. Penyebarannya melalui droplet. Gejala klinik meliputi
pembengkakan kelejar parotis dan gejala prodromal yang tidak spesifik. Rubela
terjadi karena infeksi virus rubela yang tergolong famili Togavirus. Penyebaran
melalui droplet. Gejala klinis berupa ruam makulo papular, pembengkakan
kelenjar retroauricular dan suboccipital. Bila ibu hamil terjangkit rubela maka
dapat terjadi rubela sindrom kongenital (SRK) yang menimbulkan katarak,
retinopati, mikroptalmia, dan tuli saraf, PDA, VSD ataupun disabilitas intelektual.
Tujuan utama imunisasi rubela adalah mencegah SRK. Vaksin harus disimpan
pada suhu 2–8°C atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus
digunakan dalam waktu 1 (satu) jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap
sejuk dan terhindar dari cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil
dan cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar.

Isi Vaksin Virus hidup yang dilemahkan


Jadwal Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan,
maka vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal
interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan
vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin MMR/MR
Dosis 0,5 mL
Tempat Subkutan dalam atau intramuskular
KI Riwayat anafilaksis, menderit penyakit keganasan,
imunodefisiensi, pengeobatan imunosupresif, wanita hamil, pada
individu yang mendapat imunoglobulin atau transfusi whole blood
KIPI Demam biasanya timbul setelah 7-12 hari dan berlangsung 1-2
hari, kejang demam, ensefalitis dengan insidens <1:1000.000
dosis

15
4.4 Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi yang ditularkan melalui


mulut dari makanan atau minuman yang terkontaminasi. Gejala klinik meliputi
gambaran klasik demam terutama malam hari, stepwise pattern, dan remiten,
gangguan pencernaan berupa diare atau konstipasi, dan gejala ssp seperti sakit
kepala. Terdapat 2 jenis vaksin yaitu tifoid oral dan polisakarida parenteral. Vaksin
tifoid oral Dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang telah
dilemahkan, menimbulkan respon imun sekretorik IgA, mempunyai reaksi
samping yang lebih rendah dibandingkan vaksin parenteral. Kemasan dalam
bentuk kapsul. Penyimpanan pada suhu 2-8°C. Vaksin oral tidak boleh diberikan
bersama antibiotik yang aktif terhadap Salmonella.

Isi Vaksin Polisakarida salmonella thypi


Jadwal Diberikan mulai usia 2 tahun dan diulang tiap 3 tahun
Dosis Oral: 1 kapsul dimakan tiap hari pada hari ke 1,3 dan 5
Parenteral: 0,5 mL
Tempat Intramuskuler dalam, subkutan paha atau deltoid
KI Hipersensitivitas komponen vaksin, demam saat penyutikan.
KIPI Demam, nyeri kepala, pusing. Kadang bisa terjadi ruam, pruritus,
dan urtikaria

4.5 Hepatitis A
Vaksin ini merupakan vaksin perlindungan terhadap virus RNA Hepatitis A
golongan picorna virus. Transmisi melalui fecal-oral sehingga mudah
menimbulkan KLB. Diberikan mulai usia 2 th ketika anak mulai makan diluar
rumah.

Isi Vaksin Vaksin inaktivasi virus hepatitis A


Jadwal Diberikan mulai usia 2 tahun diberikan 2 kali dengan interval 6-
12 bulan
Dosis 0,5 mL
Tempat Intramuskuler dalam

16
KI Anafilaksis setelah vaksin dosis pertama
KIPI Demam terjadi pada 5% kasus

4.6 Influenza

Virus Influenzae termasuk golongan Orthomyxoviridae yang


menyebabkan penyakit saluran napas yang umumnya ringan namun bisa
menyebabkan komplikasi yang berat seperti pneumonia. Angka kematian akibat
influenza diperkirakan 250.000 sampai 500.000 orang per tahun. Penularan
melalui udara dan droplet.

Isi Vaksin Vaksin inaktif: vaksin trivalen yang mengandung 2 galur


influenza A dan 1 galur influenza B
Jadwal Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang
setap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizaton)
pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval
minimal 4
minggu.
Dosis usia 6-36 bulan: dosis 0,25 mL
anak usia 36 bulan atau lebih: dosis 0,5 mL
Tempat Intramuskuler
KI hipersensitivitas setelah vaksin dosis pertama
KIPI Demam terjadi pada 5%-12% kasus, ruam, reaksi lokal

4.7 Human Papilloma Virus (HPV)

HPV merupakan infeksi tersering pada organ reproduksi. Infeksi persisten


pada wanita dengan HPV onkogenik dapat menimbulkan lesi prakanker yang bila
tidak diobati bisa berubah menjadi kanker serviks. Saat ini terdapat 2 vaksin HPV
yaitu HPV bivalen yang melindungi tehadap HPV 16 dan 18 dan vaksin
kuadrivalen yang melindungi dari HPV 16,18, 6 dan 11.

17
Isi Vaksin Vaksin inaktif: subunit virus HPV
Jadwal Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen
diberikan tiga kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV
tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada
remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval
6-12 bulan; respons antbodi setara dengan 3 dosis.
Dosis 0,5 mL
Tempat Intramuskuler
KI Kehamilan
KIPI Nyeri tempat suntikan 71,6-92%, demam 10%, fatigue 39-49%,
mialgia 19,6-27,6%

5. Jadwal Imunisasi
Imunisasi harus diberikan sesuai jadwal yang dianjurkan agar
mendapatkan respon imun yang maksimal. Dalam penyusunan jadwal imunisasi
perlu dipertimbangkan faktor epidemiologi penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, antibodi maternal, respon antibodi yang ditimbulkan oleh vaksin, jenis
vaksin, dan keamanan vaksin.

18
6. Imunologi Vaksinasi
Sistem imun adalah sistem yang kompleks yang meliputi interaksi banyak
sel yang fungsi utamanya adalah mengidentifikasi benda asing yang masuk ke
dalam tubuh yang kemudian disebut sebagai antigen. Antigen bisa berupa virus
atau bakteri hidup maupun benda mati. Sistem imun membentuk kekebalan
terhadap antigen. Respon imun yang paling efektif didapatkan melalaui pajanan
antigen hidup. Protein seperti Hepatitis B surface antigen ternyata juga dapat
dikenali sistem imun sebagai sebuah antigen. Material lain seperti polisakarida
(glukosa rantai panjang yang membentuk dinding sel bakteri) juga merupakan
antigen meskipun tidak seefektif antigen hidup dalam menimbulkan respon imun.
Sistem imun dibagi menjadi sistem imun spesifik dan non spesifik.
Vaksinasi bertujuan untuk membentuk imunitas spesifik. Imun spesifik terdiri atas
humoral dan seluler. Saat pertama kali tubuh mendapat antigen vaksin, maka
tubuh membentuk respon imun primer berupa pembentukn antibodi spesifk
terhadap antigen tersebut yang sebagian besar terdiri dari Immunoglobilun M
(IgM). Pada pajanan antigen vaksin yang berikutnya maka tubuh akan membentuk
respon imun sekunder berupa pembentukan antibodi spesifik yang sebagian besar
adalah imunoglobulin G (IgG) dengan titer dan afinitas yang lebih tinggi dan
masa jeda yang lebih pendek dibanding respon imun primer. Antibodi spesifik ini
akan melindungi tubuh terhadap infeksi di kemudian hari. Selain itu akan
terbentuk sel T memori dan sel B memori yang berfungsi untuk perlindungan
jangka panjang. Dikemudian hari saat antibodi spesifik telah menurun. Maka sel B
memori akan berproliferasi dan berdifierensiasi menjadi sel plasma yang
membentuk antibodi spesifik dengan titer dan afinitas yang lebih tinggi.

20
Gambar. Respon antibodi primer dan sekunder.

Secara imunologis keberhasilan imunisasi tergantung beberapa faktor yitu


status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun dapat terganggu antara lain oleh tingkat kemampuan respon imun
misalnya pada neonatus karena fungsi makrofag masih rendah, gangguan
pengenalan antigen vaksin karena masih ada antibodi maternal dalam sirkulasi
bayi yang akan menetralkan antigen vaksin campak. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, menderita imunodefisiensi kongenital, atau defisiensi imun
sekunder seperti penyakit keganasan, HIV/AIDS juga kan mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun adalah indikasi kontra
pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu
tersebut. Keadaan gizi buruk menurunkan fungsi sel imun seperti makrofag adan
limfosit yang menyebabkan imunitas selular menurun dan imunitas humoral
spesifitasnya rendah
Faktor genetik dalam respon imun dapat berperan melalui gen MHV (Major
Histocopatibility Complex) khususnya HLA (Human Leukosit Antigen) yang

21
berperan dalam presentasi antigen. Jenis vaksin hidup akan menimbulkan respon
imun yang lebih baik dibandingkan vaksin mati atau yang diinaktivasi atau vaksin
komponen mikroorganisme.

7. Tata Cara Pemberian Imunisasi


Tata cara pemberian imunisasi merupakan rangkaian proses mulai dari
penyimpanan vaksin, rantai vaksin, persiapan imunisasi, pemberian imunisasi,
pencatatan dan pelaporan, serta pengelolaan sisa vaksin.
Ada 8 hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian imunisasi yaitu
a. Benar anak
Sebelum dilakukan anamnesis perlu dipastikan identitas anak sesuai dengan
identitas dalam catatan medis. Identitas dipastikan dengan mencocokkan
nama lengkap, tanggal lahir, dan nomor rekam medis. Selain itu perlu
dipastikan anak dalam keadaan sehat serta tidak ada indikasi kontra yang
akan diberikan saat ini.
b. Benar jadwal
Saat akan dilakukan imunisasi perlu dipertimbangkan umur anak,
riwayat imunisasi, serta interval imunisasi sebelumnya. Pemberian dua jenis
vaksin hidup yang dilemahkan dapat diberikan bersamaan, namun apabila
terpisah maka interval minimal adalah 4 minggu. Pemberian vaksin inaktif
dapat digabung dengan vaksin inaktif lain maupun vaksin hidup yang
dilemahkan.
c. Benar Vaksin dan pelarut
Sebelum digunakan vaksin perlu diperiksa apakah botol mengalami
kerusakan atau retak, tanggal kadaluwarsa, dan vaksin dalam keadaan baik.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah warna, kejernihan, apakah ada
endapan dan Vaccine Vial Monitor (VVM).
• Warna vaksin: vaksin polio harus berwarna kuning oranye, bila warna
berubah pucat atau kemerahan berarti pH telah berubah. Vaksin toksoid,
rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit
berkabut

22
• Vaccine Vial Monitor: VVM untuk menilai apakah vaksin sudah pernah
terpapar suhu diatas 8°C dalam waktu lama atau belum. VVM dicek
dengan membandingkan warna kotak segi empat dengan warna lingkaran
disekitarnya. VVM terletak pada label vaksin. Ketika vial dibuka vaksin
masih bisa digunakan samapi 28 hari.

Gambar. Vaksin bisa digunakan apabila gambar kotak berwarna lebih


muda/terang daripada lingkaran yang mengelilinginya. Apabila
kotak meyamai warna atau lebih gelap daripada lingkaran
maka vaksin tidak boleh digunakan.

23
Gambar. Lokasi VVM pada vial

• Uji kocok: dilakukan apabila vaksin dicurigai pernah membeku. Vaksin


dikocok kemudian diamati mulai 15 hingga 60 menit bila masih terdapat
endapan atau gumpalan berarti vaksin pernah membeku dan vaksin
tersebut tidak boleh digunakan.
• Pelarut: bila vaksin perlu dilarutkan gunakan pelarut yang telah
disediakan untuk vaksin tersebut. Vaksin perlu diberi label yang memuat
keterangan, tanggal dan jam dilarutkan, tanggal dan jam kadalwarsa,
nama dan tanda tangan yang melarutkan vaksin.
d. Benar dosis
Dosis vaksin untuk anak umumnya adalah 0,5 mL untuk vaksin DTP-
HB-Hib, DT, Td, campak, dan Hepatitis B. Dosis vaksin OPV adalah 2 tetes.
Dosis vaksin BCG anak < 1th adalah 0,05 mL sedangkan untuk anak lebih
dari 1 tahun adalah 0,1 mL. Dosis vaksin influenza untuk anak 6 bulan
sampai kurang dari 3 tahun adalah 0,25 mL sedangkan anak lebih dari 3 th
adalah 0,5 mL
e. Benar rute, panjang jarum, dan teknik penyuntikan
• Rute: Vaksin DTP, Hepatitis B, disuntikkan secara intramuskuler (IM).
Vaksin campak secara subkutan (SK). Vaksin polio inaktif bisa secara
intramuskuler (IM) atau subkutan (SK). Vaksin BCG disuntikkan secara
intrakutan (IK).
• Panjang jarum: untuk penyuntikan intramuskuler jarum yang digunakan
ukuran 22-25 G. Untuk penyuntikan subkutan digunakan 23-25 G.

Tabel. Panjang dan lokasi penyuntikan intramuskuler


Klasifikasi Umur Panjang Jarum (inch) Lokasi Penyuntikan
Bayi baru lahir 5/8 Anterolateral femoralis
Bayi s.d 1 th 1 Anterolateral femoralis
Anak 1-2th 1-1 ¼ Anterolateral femoralis
5/8 -1 Otot deltoid
Anak 3-18 th 1-1 ¼ Anterolateral femoralis
5/8 -1 Otot deltoid

Tabel. Panjang dan lokasi penyuntikan subkutan


Klasifikasi Umur Panjang Jarum (inch) Lokasi Penyuntikan
Bayi s.d 1 th 5/8 Jaringan lemak Pada
anterolateral otot paha
Anak 1 th s.d 5/8 Jaringan lemak Pada
Remaja anterolateral otot Paha
atau jaringan lemak diats
otot triceps
• Tabel. Teknik pemberian vaksin
Rute Teknik
Intramuskuler Menggunakan jarum sesuai umur anak dan cukup
panjang untuk mencapai otot
Tekan kulit sekitar dengan ibu jari dan telunjuk saat
jarum ditusukkan
Suntikkan dengan arah 90 derajat terhadap kulit
Penyuntikan pada anterolateral paha atau deltoid.
Pada daerah tersebut tidak ada pembuluh darah besar
sehingga tidak perlu aspirasi. Namun, bila saat
penyuntikan terdapat darah maka vaksin tidak boleh
Dipakai.
Untuk vaksin dengan lebih dari satu suntikan dapat
diberikan pada ekstremitas berbeda
VaksinyangdiadministrasikansecaraIM
mengandung ajuvan yang dapat menimbulkan reaksi
lokal (nyeri, bengkak, nekrosis) apabila tidak
diinjeksikan tepat ke otot
Subkutan Melakukan cubit tebal pada tempat suntikan
Suntikkan dengan arah 45 terhadap kulit
Untuk suntikan multipel diberikan pada ekstremitas
Berbeda
Intrakutan Menggunakan semprit tuberkulin jarum pendek dan
Kecil
Arah 10-15 terhahap kulit
Vaksin disuntikkan sampai terbentuk indurasi
Polio oral Membuka tutup botol vaksin
Meneteskan 2 tetes vaksin dengan memijat bagian
tengah dropper secara perlahan.
Gambar. Sudut penyuntikan vaksin

f. Benar lokasi
Penyuntikan intramuskuler dilakukan di otot paha anterolateral yaitu vastus
lateralis quadriceps femoris untuk bayi sampai anak berumur 2 tahun. Untuk
anak umur 3 tahun ke atas penyuntikan dapat dilakukan pada otot deltoid.

Gambar. Vastus lateralis


Gambar. Otot deltoid

Penyuntikan subkutan dapat dilakukan diotot paha anterolateral untuk bayi berusia kurang
dari 12 bulan dan pada otot tricep bagian atas dan luar untuk anak berusia diatas 12 bulan.

Gambar. Penyuntikan subkutan dengan cara cubit tebal


Vaksin BCG dilakukan secara intradermal proximal insersio Musculus
deltoideus dextra dengan cara meletakkan jarum hampir sejajar lengan kanan
anak dengan lubang jarum menghadap ke atas.

Gambar. Lokasi penyuntikan vaksin BCG


g. Benar dokumentasi
Setelah imunisasi perlu dilakukan pencatatan yang meliputi tanggal
imunisasi, nama vaksin, produsen vaksin, nomor lot atau batch vaksin,
tanggal kadalwarsa, lokasi penyuntikan, nama dan tandatangan atau paraf
penyuntik. Orang tua perlu mendapat penjelasan tentang manfaat, kejadian
ikutan pasca imunisasi yang mungkin terjadi dan cara menanggulanginya.
Selanjutnya anak perlu diobservasi 30 menit setelah imunisasi untuk
mewaspadai terjadinya reaksi anafilaksis.
h. Benar perlakuan imbah dan sisa vaksin
Setelah imunisasi semprit dimasukkan ke dalam kotak tidak tembus jarum, dan
selanjutnya dibawa ke tempat penghancuran (insenerator). Sisa vaksin bila
disimpan dalam suhu 2-8°C dan tidak terkena sinar matahari, dapat digunakan
dalam jangka waktu tertentu. Sisa vaksin BCG dapat digunakan dalam 3 jam
setelah dilarutkan, vaksin campak 6 jam setelah dilarutkan. Untuk pelayanan
imunisasi dalam gedung vaksin DTP, DTP-HB-Hib, Td, TT dapat disimpan
sampai 4 minggu; vaksin polio oral sampai 2 minggu. Untuk dapat dipakai
lagi vaksin belum kadalwarsa harus disimpan di suhu 2-8°C, VVM baik,
tidak pernah teredam air, dan sterilitias terjaga.

8. Tata Cara Penyimpanan dan Transpor Vaksin


Secara umum vaksin harus selalu berada pada suhu 2-8°C. Penggolongan
vaksin berdasarkan sensitivitas terhadap suhu dibagi menjadi 2
a. Vaksin sensitif beku (Freeze sensitive): golongan vaksin yang akan
rusak terhadap suhu dingin dibawah 0°C seperti Hepatitis B, DTP, DTP
HB, Hib, Difteri Tetanus (DT), Tetanus Toksoid (TT), Meningokokus,
Pneumokokus, Tifoid, Influenza, Rabies, Hepatitis A, IPV, MMR,
Varisela, Yellow Fever
b. Vaksin sensitif panas (Heat Sensitive): golongan vaksin yang akan
rusak terhadap paparan panas yang berlebihan yaitu BCG, Polio oral, dan
campak

Tujuan penyimpanan vaksin adalah agar mutu dapat dipertahankan/


tidak kehilangan potensi, aman/tidak hilang, dan terhindar dari kerusakan
fisik. Sarana dan prasarana yang harus disediakan dalam penyimpanan
vaksin:

• Cool room
• Freezer
• Lemari es
• Cool box
• Cool pack
• Vaccine carrier
• Generator

Untuk menyimpan vaksin dibutuhkan peralatan rantai dingin (the


cold chain) yaitu seluruh peralatan yang digunakan dalam pengelolaan vaksin
sesuai
dengan prosedur untuk menjaga vaksin pada suhu yang telah ditetapkan. Dari
mulai vaksin diproduksi di pabrik sampai dengan pemberian vaksinasi

Gambar. The Cold Chain atau rantai dingin adalah sistem yang digunakan
untuk untuk menjaga vaksin tetap dalam kondisi baik. Rantai ini
dimulai dari pabrik pembuatan sampai saat vaksin akan diberikan.

Aturan penyimpanan vaksin di lemari es adalah vaksin yang tidak tahan


panas harus diletakkan di rak bagian atas dekat freezer. Untuk menjaga suhu
tetap dingin vaksin tidak boleh disatukan dengan makanan dan
minuman.Pemantauan suhu dilakukan dengan meletakkan alat pengontrol suhu
di dalam lemari es. Pengamanan untuk mejaga mutu vaksin dilakukan oleh
produsen vaksin dengan memasang label VVM pada vial vaksin.
Gambar. Lemari es pintu depan. Freezer dan rak paling bawah diisi dengan cool
pack. Vaksin sensitif panas (BCG, campak, OPV) diletakkan di rak paling
atas dekat freezer. Vaksin lain dilatakkan di rak dibawahnya. Jangan
meletakkan vaksin di pintu lemari es.

Gambar. Lemari es tipe pintu atas. Simpan vaksin dalam kotaknya. Termometer
digantungkan di dinding lemari es untuk menjaga suhu 2-8°C. Urutan
penataan vaksin dari atas ke bawah adalah Hepatitis B, DPT-DT-TT
boleh dalam satu baris, BCG-Campak-OPV di paling bawah. Pastikan
menggunakan vaksin yang jarak tanggal kadalwarsa dekat terlebih
dahulu. Berikan jarak antar kotak vaksin agar udara agar udara dingin
bisa bersirkulasi.
Gambar. Cara transpor vaksin ke tempat vaksinasi (Posyandu). Vaksin
dimasukkan ke dalam ice box yang diisi ice pack. Ice pack yang masih
beku ditunggu terlebih dahulu sampai sedikit mencair agar tidak merusak
vaksin yang sensitif beku. Setelah ice pack mencair letakkan di keempat
sisi ice box. Vaksin dibungkus di dalam plastik dan diletakkan ditengah
ice box. Jangan meletakkan ice box di tempat yang terkena sinar
matahari secara langsung dan jangan membiarkan tutup box terbuka
terlalu lama.

9. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Definisi KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi
dalam kurun waktu 1 bulan setelah pemberian imunisasi dan diperkirakan
sebagai akibat dari imunisasi. Diperkirakan sebagai akibat dari imunisasi. KIPI
disebut juga sebagai reaksi simpang adverse events following immunisation
(AEFI) atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). yaitu kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin maupun efek samping,
toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis atau kesalahan program,
koinsiden reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Efek farmakologi, efek samping serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi
karena potensi vaksin sendiri sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan
seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi
dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan
demam kuning) antibiotik,bahan preservatif (neomisin,merkuri) atau
unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
KIPI yang banyak dijumpai adalah keluhan demam ringan 42,9%
dengan 2,2% diantaranya mengalami hiperpireksia yang biasa disebabkan
oleh vaksinasi DTP. Demam dapat mencapai 39,5 C dan terjadi pada hari ke
5-6 sesudah imunisasi selama 2 hari. Vaksin lain yang menyebabkan demam
adalah vaksinasi campak dengan angka kejadian demam 5-15% kasus.

Gejala lokal dapat ditemukan seperti kemerahan, bengkak, dan nyeri


kasi suntikan dengan angka kejadian 42,9%. Gejala yang sering dijumpai
adalah anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam setelah
suntikan (incosolable crying).

Tabel. Gejala Klinis Lokal dan Sistemis KIPI

Reaksi KIPI Gejala KIPI


Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat misalnya selulitis, BCG-itis
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalitis
Ensefalopati
Meningitis
Kejang
Lain lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Atralgia
Demam tinggi >38,5°C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus (3 jam)
Sindrom syok septik
Tabel. Perbedaan Jenis Vaksin, Gejala Klinis, dan Waktu terjadi

Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Waktu timbul


Toksoid Syok anafilaksis 4 jam
Tetanus (DTP, Neuritis brakialis 2-18 hari
DT, TT) Komplikasi akut termasuk kecacatan dan
kematian Tidak tercatat
Pertusis Syok anafilaksis 4 jam
whole cell Ensefalopati 72 jam
(DTPw) Komplikasi akut termasuk kecacatan dan Tidak tercatat
kematian
Campak Syok anafilaksis 4 jam
Ensefalopati 5-15 hari
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan Tidak tercatat
kematian
Trombositopeni 7-30 hari
Klinis Campak pada resipien 6 bulan
imunokompromais
Polio hidup Polio paralisis 30 hari
(OPV) Polio paralisis pada resipien 6 bulan
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
Hepatitis B Syok anafilaksis 4 jam
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan Tidak tercatat
kematian
BCG BCG itis 4-6 minggu

KIPI yang harus dilaporrkan


KIPI terjadi dalam waktu 48 jam setelah imunisasi (satu gejala atau lebih)
 Anafilaksis
 Syok
 Episosd hipotonik hiporesponsif

KIPI terjadi dalam waktu 30 hari setelah imunisasi (satu gejala atau lebih)
 Ensefalopati
 kejang
 Meningitis aseptik
 Trombositopenia
 Lumpuh layu (acute flaccid paralisys)
 Meninggal
 Penyebab lain yang berat termasuk bila anak butuh perawatan
Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI, harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam
kelompok berisiko, yaitu:
1. Anak yang pernah mendapat reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan harus segera
dilaporkan kepada Pokja KIPI daerah untuk penanganan segera dan Pokja KIPI pusat
dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia.
2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama
dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan
adalah (1) titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah daripada bayi
cukup bulan, (2) apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram), imunisasi
ditunda dan diberikan apabila bayi telah mencapai berat 2000 gram atau bayi berumur
2 bulan, (3) imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih, kecuali
apabila diketahui ibu mengandung hbsag, dan (4)
3. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio diberikan secara
suntikan (IPV) sehingga tidak menyebabkan penyebaran virus polio melalui tinja.
4. Pasien imunokompromais. Keadaan imuno-kompromais dapat terjadi sebagai akibat
penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan (pengobatan kemoterapi,
kortikosteroid jangka panjang). Vaksinasi dengan mempergunakan vaksin hidup
merupakan indikasi kontra pada pasien imuno-kompromais. Imunisasi tetap diberikan
pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan dalam waktu pendek. Pada anak
dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2mg/kg berat badan/hari atau
prednison 20 mg/hari selama 14 hari, maka imunisasi ditunda. Imunisasi dapat
diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan, atau 3 bulan setelah
kemoterapi selesai.
5. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin, imunisasi virus hidup
diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan pembentukan
respons imun.

Pada pelaksanaannya penyebab KIPI tidaklah mudah ditentukan. Untuk


menentukan penyebab KIPI diperlukan keterangan rinci mengenai riwayat pemberian
vaksin terdahulu, adakah ditemukan alternatif penyebab, kerentanan individu terhadap
vaksin, kapan KIPI terjadi (tanggal, hari, jam), bagaimana gejala yang timbul, berapa
lama interval waktu sejak diberi vaksin sampai timbul gejala, apakah dilakukan
pemeriksaan fisis serta ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, serta pengobatan
apa yang telah diberikan. Dari data yang tersedia kemudian diperlukan analisis kasus
untuk mengambil kesim-pulan. Daftar KIPI yang harus dilaporkan tertera pada Tabel ....
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian pada pelaporan.
• Identitas: Nama anak, tanggal dan tahun lahir (umur), jenis kelamin, nama orang tua, dan
alamat.
• Jenis vaksin yang diberikan, dosis, nomer lot, siapa yang memberikan. Vaksin sisa
disimpan dan diperlakukan seperti vaksin yang masih utuh (perhatikan cold chain).
• Nama dokter yang bertanggung jawab
• Apakah pernah menderita KIPI pada imunisasi terdahulu?
• Gejala klinis yang timbul dan/atau diagnosis (bila ada); tulis dalam kolom laporan yang
tersedia. Pengobatan yang diberikan dan perjalanan penyakit, sembuh, dirawat atau
meninggal. Sertakan hasil laboratorium yang pernah dilakukan. Tulis juga apabila
terdapat penyakit lain yang menyertainya.
• Waktu pemberian imunisasi, tanggal, jam.
• Saat timbulnya gejala KIPI sehingga diketahui berapa lama interval waktu antara
pemberian imunisasi dengan terjadinya KIPI.
• Apabila dirawat dan sembuh, apakah terdapat gejala sisa?
• Bagaimana cara menyelesaikan masalah KIPI (kronologis)
• Adakah tuntutan dari keluarga ?

10. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik sebelum Imunisasi


Anamnesis dapat memberikan gambaran mengenai keadaan anak dan imunisasi yang
dibutuhkan. Hal yang harus ditanyakan saat anamnesis adalah menanyakan jadwal
imunisasi yang telah diberikan dan catatan imunisasi yang ada. Selain itu juga
menanyakan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang terjadi setelah imunisasi
sebelumnya. Saat anamnesis inilah dokter juga dapat menjelaskan kepada orang tuan
bahwa:
a) Imunisasi dapat melindungi anak terhadap bahaya penyakit
b) Imunisasi mempunyai manfaat lebih besar dibandingkan risiko kejadian ikutan
yang dapat ditimbulkan
c) Imunisasi tidak melindungi anak 100% namun dapat memperkecil risiko tertular
dan memperingan dampak bila terjadi infeksi
Sebelum memberikan imuniasi, harus dipastikan bahwa tidak ada kontra indikasi
pemberian imunisasi pada anak. Secara umum terdapat beberapa keadaan yang harus
diperhatikan yaitu:
a. Adanya indikasi kontra mutlak (absolut) seperti riwayat syok anafilaksis atau riwayat
hipersensitivitas berat setelah imunisasi terhadap komponen yang terdapat di dalam vaksin
(misalnya neomisin).
b. Imunodefisiensi seperti anak yang enderita AIDS, keganasan atau konsumsi steroid jangka
panjang, radioterapi, kemoterapi, merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup
misalnya BCG.

Pemeriksaan Fisik
Anak yang mendapatkan imunisasi harus diperiksa secara teliti untuk meyakinkan anak
dalam kondisi sehat dan tidak ada kontraindikasi pemberian imunisasi. Pemriksaan
meliputi antropometri, tanda vital, dan pemeriksaan fisis dari kepala hingga kaki. Pasien
harus dipastikan tidak demam tinggi atau menderita penyakit infeksi lain.
DAFTAR PUSTAKA

Center for Disease Control and Prevention. 2011. Principles of Vaccination. Dalam
Atkinson W, Hamborsky J, Wolfe S. https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/
pinkbook/downloads/prinvac.pdf [diakses tanggal 23 September 2017].

Center for Disease Control and Prevention. 2011. Immunization the Basic. Dalam
Atkinson W, Hamborsky J, Wolfe S. https://www.cdc.gov/vaccines/vac-
gen/imz-basics.htm [diakses tanggal 23 September 2017].

Center for Disease Control and Prevention. 2011. General Recomendations on


Immunization. Dalam Atkinson W, Hamborsky J, Wolfe S
https://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5102a1.htm [diakses
tanggal 22 September 2017]

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Artikel.


http://www.depkes.go.id/article/print/17020100001/ini-rencana-
pelaksanaan-3-vaksinasi-baru-untuk-lengkapi-imunisasi-dasar-.html
[diakses tanggal 23 September 2017]

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengelolaan Vaksin.


Jakarta: Depkes RI

Sujatmiko, Gunardi, Sekartini, dan Medise. 2015. Intisari Imunisasi. Edisi 2.


Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Satgas Imunisasi PP IDAI. 2014. Panduan Imunisasi Anak. Edisi 1. Jakarta:


Kompas.

WHO. 2008. Module 1: Cold Chain, vaccine and Safe-Injection Equipment


Management. http://www.paho.org/immunization/toolkit/resources/paho-
publication/mid-level-management-training/Module-1-Cold-chain-
vaccines-and-safe-injection-equipment-management.pdf?ua=1. [diakses
tanggal 21 September 2017]

WHO. 2017. Imunization Facts Sheet http://www.who.int/mediacentre/


factsheets/fs286/en/ [diakses tanggal 23 September 2017]

Anda mungkin juga menyukai