Anatomi Dan Fisiologi Pembuluh Darah PDF
Anatomi Dan Fisiologi Pembuluh Darah PDF
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Arteri 1 mm 0.4 cm 20 cm
2
Arteriol 20 μm 30 μm 400 cm
2
Kapiler 1 μm 5 μm 4500 cm
2
Venol 2 μm 20 μm 4000 cm
2
Vena 0.5 mm 5 mm 40 cm
2
pembuluh darah arteri lebih banyak dijumpai sel otot polos yang membentuk
tunika medianya. Perbedaan sel dalam tunika media menjadi tidak jelas (tidak bisa
dibedakan) bila sudah memasuki arteriol, bahkan tampaknya, dapat dikatakan
bahwa di dalam arteriol jaringan ikat dari tunika adventisia menjadi lebih dominan
(Guyton, 2000; Baraas F., 2006).
Gambar 2.1: Penampang Dinding Pembuluh Darah
Dalam dinding kapiler pembuluh darah, tidak didapatkan lagi lapisan
tunika media dan yang ada adalah lapisan sel endotel. Pada sistem
venosa,
komponen tunika jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sistem
arterial. Tunika media tidak begitu berkembang dan hanya terdapat pada
vena
kava dan pembuluh darah vena besar lainnya. Pada vena-vena kecil dan
venol,
hanya jaringan ikat tuna adventisia yang lebih dominan. Oleh karena itu
sistem
venosa lebih mudah mengalami dilatasi yang ireguler dan menampung pembuluh
darah paling besar (Guyton, 2000; Baraas F., 2006).
1998), hanya saja diperlukan waktu untuk proses regenerasi tersebut (Reidy etal.,
1986). Kelebihan inilah yang memberikannya kemampuan untuk memiliki fungsi
yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi metabolik organ yang diembannya
masing-masing (Baraas F., 2006). Secara umum sel endotel memiliki 3
(tiga)
fungsi dasar, yaitu: Pertama, endotel berfungsi sebagai garis pertahanan
utama
(barrier) terhadap hampir semua elemen asing yang mencoba invasi ke
dalam
suatu organ; kedua endotel berfungsi sebagai tempat metabolisme dan
katabolisme senyawa-senyawa tertentu; dan ketiga, sel ini berfungsi sebagai
tempat sintesis berbagai senyawa vasoaktif yang diperlukan dalam
mempertahankan tonus pembuluh darah (Bruce, 2002, Böger, 2004), yaitu antara
lain sintesis berbagai mediator inflamasi, mediator proliferasi sel-sel
subendotel
dan berbabagi faktor hemostasis lainnya (Guyton, 2000; Libby P., et al.,
2002;
Najjar et al., 2005; Baraas F., 2006). Fungsi di atas disebabkan karena
peran
utama sel endotel adalah mengendalikan sifat-sifat arteri seperti tonus
vaskuler,
permeabilitas vaskuler, angiogenesis dan respon terhadap proses inflamasi (Najjar
et al., 2005)
Sel endotel mengeluarkan Oksida Nitrit (NO) yang berperan sangat
penting dalam mempertahankan tonus pembuluh darah khususnya untuk proses
relaksasi pembuluh darah (Libby P., et al., 2002; Böger, 2004; Najjar et al., 2005;
Baraas F., 2006). NO merupakan hasil dari proses perubahan L-Arginine menjadi
sitrulin yang dikatalisis oleh enzym Nitric Oxyde Syntase (NOS) yang
termasuk
dalam kelompok sitokrom P-450. Telah dapat diidentifikasi 3 (tiga) isoform NOS
yaitu: neuralNOS (nNOS) yang berasal dari kromosom 7, inducible NOS (iNOS)
18
Perubahan struktur dan fungsi arteri yang berkaitan dengan umur pada orang sehat
dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Tabel. 2.2.: Perubahan Struktur dan Fungsi Arteri yang berkaitan dengan
Umur
pada Manusia, Kera dan pada beberapa Mahluk Monogastrik
PARAMETER ARTERI
MENUA
HIPER-
TENSI
ATERO-
SKLEROSIS
MANUSIA
> 65 TH
KERA
15-20 TH
TIKUS
24-30 BL.
KELINCI
3-6 TH.
Lumen melebar + + + + ± ?
↑ Kekakuan + + + + + ?
↑ Collagen + + + + ± ?
↓ Elastin + + + + ± ?
Disfungsi endotel + + + + + +
Intima menebal difus + + + + + +
Keterlibatan lemak - - - - ± +
↑ jmlh VCMC + + + + + +
Macrophage + - - - + +
T sel + - - - + +
↑ Matriks + + + + + +
↑ Local Ang II-ACE + + + + + +
Disregulasi MMP + + + ? + +
↑ MCP-1/CCR2 + + + + + +
↑ ICAM ? ? + ? + +
↑ TGFB ? + + ? + +
↑ NADPH oxidase ? ? + ? + +
↓ VEGF + ? ? + + +
↓ NO bioavailability ? ? + + + +
↓ panjang telomer + + + ? ? +
Hipertensi ± ± ± ± + ±
Aterosklerosis ± - - - ± +
Sumber: Najjar et al., 2005,
2.2.2 Perubahan Struktur Dinding
Di bawah mikroskop, menebalnya dinding arteri ditunjukkan oleh
ketebalan tunika intima dan media. Pada penelitian post mortem dijumpai bahwa
penebalan dinding aorta terjadi secara difus dan terutama terjadi di lapisan
intima,
walaupun penelitian ini dilakukan di populasi dengan angka kejadian
aterosklerosis yang rendah (gambar 2.2) (Lakatta, 2003; Najjar et al.,
2005).
21
Gambar 2.2: Penebalan dinding arteri yang menua. Sumber Najjar, 2005
Secara histologis, dinding intima yang menebal secara difus terdiri dari
matriks protein, collagen, glycosaminoglican dan sel otot polos vaskuler
(VSMCs). Otot polos vaskuler di tunika intima yang menua diduga berasal
dari
22
akan menekan proses disfungsi sel yang berkaitan dengan umur (Minamino et al.,
2002).
Endotel disini menunjukkan telomer yang lebih pendek dan aktivitas
telomerase reverse transcriptase juga tertekan menyebabkan proses glikasi
dari
jaringan colagen yang dapat menginduksi munculnya perubahan fenotip sel
endotel seperti sel senescence. Advanced glycation end products yang
terakumulasi oleh karena umur akan mengaktivasi NAD(P)H oksidase yang akan
meningkatkan produksi anion superoksida. Menyatunya Advanced glycation end
products (AGE) dan reseptornya (RAGE) di sel endotel akan memicu pengerahan
dan aktifasi sel inflamasi yang meningkatkan trombogenesis dengan cara
menstimulir agregasi platelet (Wautier, 2004). Oleh karena itu proses menua dapat
dikatakan sebagai proses inflamasi kronis yang lamban dan ditandai oleh
munculnya sitokins pro inflamasi, seperti TNF-α, IL-6 and NFκB (Donato
et.al.,
2009)
2.2.3.2 Perubahan pada Tunika Intima
Pada tunika intima dinding arteri binatang primata dan binatang pengerat
yang tua didapatkan penebalan yang difus, walaupun kedua binatang ini
tidak
menderita aterosklerosis (Li Z. et al., 1999; Asai et al., 2000).
Diantara lapisan intima yang menebal ini tingkatan dari inflamatory
chemokine yaitu monocyte chemocontractant protein-1 (MCP-1) dan reseptornya
juga meningkat yang menyebabkan penebalan dan invasi sel otot polos (VSMCs)
ke dalam intima (Spinetti G. et al., 2004). Najjar et al. (2005) yang
mengutip
25
laporan dari Boring et al., (1998) menjelaskan bahwa hal ini berimplikasi terhadap
patogenesis dari proses aterosklerosis (Boring etal, 1988; Najjar et al.,
2005).
Molekul inflamasi ini (termasuk didalamnya MCP-1) diproduksi dan disekresi
oleh sel endotel dan sel otot polos (VSMCs), sedangkan pada binatang
tidak
dijumpai sel inflamasi tradisional seperti lekosit di dinding pembuluh darah aorta
(Najjar, 2005).
Disamping itu, ekspresi dan aktivitas faktor pertumbuhan multifungsi
(multifunctional growth factor), transforming growth factor-β
1
(TGF-β
1
) di intima
juga meningkat (Wang & Lakatta, 2002). Faktor pertumbuhan inilah yang
mengatur replikasi dan sintesis komponen matriks ekstra sel dan memberikan
respon terhadap injury (Roberts and Sporn ,1990, Shah M etal., 1995).
Selanjutnya, keberadaan Nitric Oxide (NO) di intima arteri yang menua
juga berkurang, sedangkan aktivitas NADP(H) oksidase dan produksi reactive
oxygen species juga meningkat (Cernadas et al., 1998; Hamilton et al.,
2001).
Keadaan ini akan memberi kesempatan terjadinya peroksidasi lipid dan modifikasi
protein karena oksidasi juga.
2.2.3.3 Perubahan di Tunika Media
Pada tunika media yang menua, perubahan yang menonjol antara lain
deposisi dari matriks protein ekstraseluler seperti Fibronectin dan type 2
matrix
metalloprotease (MMP-2) (Wang et al., 2003) yang mendorong degradasi matriks
protein dan memfasilitasi migrasi dari sel otot polos vaskuler (Pauly et al.,
1992).
26
27
Setiap saat sel endotel akan selalu mengalami proses ini sehingga dapat
dikatakan peristiwa ini merupakan salah satu mekanisme dasar dari
terjadinya
kerusakan endotel. Stress oksidasi yang kronis walaupun ringan akan
memotong
integritas telomere yang menyebabkan sel endotel mengalami senescence
secara
prematur (Kurz et al., 2004).
Dengan bertambahnya umur, keberadaan faktor pembuluh darah
yang ”baik” (relaksasi dan penghambat pertumbuhan) akan menurun
dibandingkan dengan faktor ”jelek” (kontraksi dan promotor pertumbuhan)
yang
meningkat (Brandes et al., 2005). Produksi O
2
-
yang meningkat tampaknya akan
mengikis reaktivitas dari endothelium dependent nitrovasodilator di dinding aorta
dan berakibat berkurangnya daya untuk relaksasi (Brandes et al., 2005).
Keberadaan Oksida Nitrit (NO) pada penuaan arteri menurun tetapi
aktivitas eNOS masih kontroversi. Beberapa studi menyebutkan bahwa ekspresi
Endothelium Nitric Oxide Synthase (eNOs) dan NO menurun sehingga
mengakibatkan terjadinya stress oksidasi (Csiszar et al., 2002), tetapi
beberapa
studi menyebutkan ekspresi eNOS meningkat dan peningkatan ini dirangsang oleh
tingginya O
2
-
(van der Loo et al., 2000). Meningkatnya O
2
-
besar kemungkinan
oleh karena rangsangan NaD(P)H oksidase yang memang meningkat pada
pembuluh darah yang menua (Csiszar et al., 2002). O
2
-
merangsang eNOS untuk
memproduksi NO , tetapi tingginya rangsangan untuk memproduksi NO dan oleh
O
2
-
yang terus menerus akan membentuk peroxynitrite (ONOO
-
) dan uncoupling
dari Enos (gambar 2.3). Peroxynitrite inilah yang mengikis ketersediaan NO
dan
menghambat kerja antioksidan Manganese Superoksida Dismutase (MnSOD) di
29
Beberapa enzym yang ikut dalam proses pembentukan radikal antara lain,
NO sintase, xantin oksidase, dan walaupun kejadiannya kurang, NADPH oxidase
juga dapat dikatakan sebagai sumber dari pembentukan radikal karena enzym
ini
dapat mengaktifkan GTPase NADPH oxidase subunit Nox4 yang ternyata mampu
membentuk O
2
-
dan sel senescence (Brandes et al., 2005). Bahkan NADPH
oxidase dianggap sebagai sumber terpenting dari terbentuknya O
2
-
dalam dinding
pembuluh darah (Schiffrin, 2008). Di pihak lain, NADPH dibentuk oleh
vasoactive hormones dan protein G-protein rac-1 yang berat molekulnya
kecil
(Griendling et al., 2003). Meningkatnya peroksida ini dapat menjadi
persisten
Gambar 2.3:
Proses munculnya
radikal bebas dalam
endotel yang menua
Sumber: Brandes et al., 2005
31
oleh karena pemberian kholesterol yang tinggi secara terus menerus, dan
hal ini
berakibat pada tertekannya aktivitas NO (Griendling and Fitzgerald, 2003).
Disamping kerusakan atau modifikasi DNA, pembentukan radikal bebas
ini juga akan memodifikasi lemak dan protein, meregulasi beberapa bagian
dari
gen seperti adhesion molecules, chemotactic factors, enzim antioksidan,
vasoactive substances. Meningkatnya ROS berakibat pada oksidasi LDL, bila
konsentrasi lemak dalam darah tetap tinggi (Berliner etal, 1985, Griendling, 2003),
degradasi kolagen yang disebabkan oleh termodifikasinya aktivitas Matrix
Metalloproteinase (MMPs) seperti MMP-2 dan MMP-9 (Griendling et al., 2003).
2.3.2 Teori Inflamasi (Respon Imunologi)
Di dalam tunika intima yang menebal pada tikus yang tua ditemukan
beberapa sitokin seperti Transforming Growth Faktor-beta (TGF-β),
Interstitial
Cell Adhesion Molecule (ICAM-1), dan enzym zinc-dependent endopeptidase
type-2 metalloproteinase (MMP-2) (Lakatta, 2003). Hal ini menunjukkan
adanya
pengaruh proses inflamasi pada penuaan pembuluh darah.
Proses inflamasi ini merupakan respon terhadap lesi yang terjadi pada sel
endotel (vascular respon to injury) oleh karena tekanan dan oleh karena
gaya
gesek dari darah. Ada dua jalur respon terhadap lesi endotel yaitu melewati jalur
NO yang sudah dibicarakan sebelumnya dan jalur imunologik. Respon
imunologik ini diawali dengan peningkatan sekresi sitokin, sekresi faktor-
faktor
koagulasi dan reaktivasi platelet, yang sangat besar peranannya dalam
proses
trombosis akut (Baraas F., 2006).
32
34
35
menurunnya kemampuan memecah diri akan membuat tunika media menjadi satu
lapis saja dan mengeksposnya terhadap faktor mutasi mitogenic dan adhesi
yang
berkontribusi terhadap munculnya plak aterogenik (Chang & Harley, 1995,
Minamino et al., 2002).
Kurz dan kawan-kawan (2004) menyatakan bahwa pemendekan telomere,
disebabkan oleh stres oksidasi yang ringan tetapi berulang-ulang secara
kronis.
Dijelaskan di sini bahwa di dalam sel endotel yang normal, stres
oksidasi yang
ringan tetapi kronis yang diinduksi oleh pengaruh pertahanan antioksidan
seperti
glutation, justru mengaselerasi erosi telomere dan onset sel yang
mengalami
senescence.
Di samping teori yang disampaikan oleh Chang dan Harley, 1995, Wautier
(2004) juga mengemukakan bahwa pada telomere yang memendek dan aktivitas
telomerase reverse transcriptase yang tertekan akan menyebabkan proses
glikasi
dari jaringan kolagen yang dapat menginduksi munculnya perubahan penotip
sel
endotel seperti sel senescence. Advanced glycation end products (AGE) yang
terakumulasi oleh karena umur akan mengaktivasi NAD(P)H/oksidase yang akan
meningkatkan produksi anion superoksida. Menyatunya Advanced glycation end
products dan reseptornya di sel endotel akan memicu pengerahan dan aktifasi sel
inflamasi yang meningkatkan thrombogenesis dengan cara menstimulir agregasi
platelet (Wautier & Schmidt, 2004).
2.4 Penuaan Pembuluh Darah dan Aterosklerosis
Penuaan pembuluh darah berkaitan sangat erat dengan ateroskelrosis
bahkan dapat disebutkan bahwa faktor risiko utama dari aterosklerosis
adalah
37
pembuluh darah yang menua, atau dengan kata lain aterosklerosis pada usia muda
adalah penuuan dini pembuluh darah.
Faktor risiko dan perjalanan dari proses penuaan pembuluh darah tidak
berbeda dengan proses terjadinya aterosklerosis. Yang berbeda hanya waktunya di
mana umur merupakan faktor utama yang independen terhadap lamanya proses
interaksi, sedang faktor lainnya dapat mempercepat atau megurangi kecepatan
proses interaksi tersebut. Secara diagramatis proses dapat dijelaskan dalam
gambar 2.5.
Gambar 2.5: Proses penuaan pembuluh darah yang ditandai dengan kerusakan sel
endotel berakhir pada aterosklerosis
(Modifikasi dari: Baraas F., 2006, Kardiologi Molekuler, Yayasan
Kardia Iqratama, hal 200)
Gaya gesek
pulsatil
Iskemia
Reperfusi
Infeksi
Polusi Merokok
Alograf
Bahan kimia
Kelebihan makan
Obesitas
Diabetes
Dislipidemia
Hipertensi
Stress
Oksidatif
ROS ↑
Peroksidasi lipid
pada membrane sel
Endotel, LDL dll
Luka endotel,
LDL teroksidasi
Disfungsi endotel
Respon NO
Respon imunologik
Trombosis
Aterosklerosis
Bahan Fisika
38
ROS
39
terhadap memburuknya proses inflamasi dan formasi pusat nekrosis pada stadium
yang lanjut.
Disamping itu macrofag foam cell yang terbentuk oleh karena asupan
lemak yang tinggi tidak hanya berasal dari teroksidasnya LDL menjadi
oxLDL
tetapi juga dapat berasal dari penyerapan Very Low Density Lipoprotein (VLDL)
dan Agregated LDL (AgLDL) (Persson etal., 2006).
2.4.2 F2-Isoprostane untuk mengukur Stress Oksidasi dan Disfungsi
Endotel
Dalam keadaan normal lemak akan megalami oksidasi menjadi radikal
yaitu lipid peroksida molekul lemak radikal (
.
L) dan atau peroksida lemak (LOO
.
).
Kedua molekul ini bersifat radikal (Best, 2003)
.
OH + LH =>
.
L + H
2
O
.
L + O
2
=> LOO
.
LOO
.
+ LH => LOOH +
.
L
Fe
++
+ LOOH + H
+
=> Fe
+++
+
.
OL + H
2
O
Proses terjadi di dalam mitochondria dimana kedua molekul radikal tersebut
bersifat sangat reaktif dan dapat menembus hinga ke sitoplasma.
Oksidasi lemak dapat diukur dari metabolit yang dihasilkannya.
Peroksidasi lemak menghasilkan metabolit metabolit teroksidasi seperti keto,
hidroksi, epoksi dan beberapa asam lemak lebih pendek lainnya (Velasco et
al.,
2004). Hydroperoksida yang dihasilkan oleh Asam Arachidonat kemudian dapat
dideteksi sebagai F2-isoprostan. Isoprostan adalah produk yang dihasilkan
dari
41
tradisional maupun non tradisional. Sehingga data ini sangat berguna untuk
mendifinsikan peran sitokin pada mekanisme aterosklerosis pada kondisi
fisiologis. Tuomisto etal., 2006 yang diperkuat oleh Saremi etal., yang
menyatakan bahwa IL-6 adalah salah satu inflamatory marker yang berkaitan erat
dengan kejadian penyakit kardiovaskuler (Saremi A etal., 2009). Hal ini
disebabkan karena tingginya kadar IL-6 dalam serum orang sehat berkaitan
erat
dengan disfungsi endotel pembuluh darah (Esteve E. etal., 2007).
Kaitannya dengan metabolisme lemak, IL-6 memiliki hubungan dengan
metabolisme lemak dimana IL-6 ini dapat menekan aktivitas dari Lipoprotein
lipase di jaringan adiposa yang mengerah kepada penekanan terhadap penyerapan
trigliserida (Greenberg etal., 1990). Hal ini akan berakibat dengan
meningkatnya
kadar lemak yang kronis dalam darah yang dapat berkontribusi terhadap kejadian
aterosklerosis (Woods etal., 2000). Omoigui (2007) dalam hypotesisnya
menyebutkan bahwa IL-6 memediasi teroksidasinya LDL menjadi OxLDL dan
isoflavon ternyata dapat menekan terbentuknya IL-6. Disamping itu cholesterol
LDL yang terjebak di intima akan mengalami oksidasi menjadi oxLDL dan hal ini
akan meningkatkan ekspresi IL-6 (William and Tabbas, 1998).
Seperti disebutkan oleh Berliner et al., 1995 dan diperkuat oleh Omoigui,
2007, munculnya ROS dan jejas pada endotel ini akan merangsang terjadinya
proses inflamasi, begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya
molekul inflamasi seperti monosit adan neutrofil yang akan melekat di
endotel
dan sekresi sitokin pro inflamasi. Respon yang akut diawali dengan
keluarnya
sitokin proimunologik melalui aktivasi faktor transkripsi NFκB (Nuclear
Faktor
44
Kappa-B). Aktivasi NFκB dipicu oleh berbagai stimulus, seperti sitokin inflamasi,
ROS, lemak dan kekuatan-kekuatan mekanis yang mengenai sel endotel dinding
pembuluh darah yang kemudian dapat mengaktivasi receptor trans membran
(Donato etal. 2009). Faktor ini kemudian bergerak ke dalam inti sel
untuk
berikatan dengan DNA untuk mengekspresi beberapa gen target yang mengkode
sitokin-sitokin, protein fase akut dan sebagainya. Beberapa sitokin yang
diekspresi antara lain TNFα-β, IL1-17, IFN-γ. (Baraas F., 2006, ), dan
terutama
yang terekpresi adalah yang dapat menyebabkan disfungsi endotil atau
bersifat
proaterogenik yaitu Interleukin-6 (IL-6), Tumor Neckrosis Factor-α (TNF-α),
Monocyte Chemoattractant Protein 1 (MCP-1), receptor untuk Advance Glycation
End Products (RAGE) dan pro-oxidant enzyme NADPH oxidase (Donato etal.
2009). Akan tetapi ekspresi dari sitokin ini yaitu IL-6, TNF-α dan CRP di dinding
pembuluh darah tidak berkaitan dengan konsentrasinya, sehingga konsentrasi
sitokin-sitokin ini saja di dalam darah tidak dapat dipakai untuk mengukur status
inflamasi di pembuluh darah (de Winther etal., 2005).
IL-6 yang terekspresi dalam sel berinti akan mudah terelminasi bersamaan
dengan lepas atau hilangnya sel tersebut di dalam darah (Melani etal.,
1993).
Disamping itu produksi IL-6 menurun oleh adanya genestein yang merupakan
bagian dari flavonoid dan juga dari kalangan terpenoid (Omoigui,2007).
2.5. Antioksidan sebagai antiaterogenik
Anti oksidan didefinisikan sebagai semua substrat yang dalam jumlah yang lebih
sedikit dibanding dengan zat yang teroksidasi tapi dapat mencegah proses oksidasi
45
dari zat tersebut (Bachem et al., 1999). Sistim kerja antioksidan sangat kompleks,
tetapi secara garis besar antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua
jenis
antioksidan yaitu: pertama, yang bersifat enzymatis, biasanya berasal dari
dalam
tubuh (endogen) dan bergerak sebagai lini pertahanan pertama, antara lain:
Superoksid dismutase (SOD), Catalase (CAT), glutathione peroksidase (GPx) dan
lain-lain, dan kedua, yang bersifat radical scavenging antioxdants yang umumnya
berasal dari luar seperti: Vitamin C, B carotene, Vitamin E, flavonoid, polyphenol
dan terpenoid (Bahorun et al., 2006) (gambar 2.6). Kedua jenis
antioksidan ini
bekerja bersama di dalam melawan efek dari radikal bebas (What are antioxidant,
2011).
protein endogen. Aktifnya protein ini adalah suatu bentuk pertahanan sel
(cytoprotection) terhadap induser fase2 termasuk diantaranya stress oksidasi
(Kobayashi and Yamamoto, 2005). Senyawa yang diekspresi oleh Nrf2 antara
lain
Glutathione S-transferases (GSTs) dan NAD(P)H quinone oxidoreductase (Itoh K.
etal., 1997). Disamping itu Nrf2 juga mengkode phase 2 detoxifying
enzymes
seperti UDP-glucuronyl transferase 1A6, aflatoxin B1 aldehyde reductase,
dan
microsomal epoxide hydrolase (Kwak etal., 2001) dan ekspresi gen enzyme
Glutamylcysteine Synthase (γ-GCS) yang mengkontrol sintesis GSH (Wild A.C.
etal., 1999).
2.5.2 Glutathione (GSH)
Glutathione (γ-glutamylcysteinylglycine, GSH) adalah antioksidan sulfhydryl
(-
SH), antotoksin dan kofaktor enzym. GSH ada dimana-mana termasuk hewan,
tumbuhan, tanaman dan mikroorganisme, larut dalam air dan berada di dalam
cytosol dari sel atau substrat larut dalam air lainnya. Dan karena jumlahnya yang
cukup besar maka disebutkan sebagai antioksidan dalam sel yang mayor (Kidd P,
1997).
Glutathione eksis di dalam sel dalam bentuk antioksidan tereduksi yang
dikenal dengan istilah GSH, dan dalam bentuk teroksidasi yang dikenal
dengan
istilah Glutathione Disulfida (GSSG). Rasio antara GSH/GSSG merupakan
indikator sensitif untuk stress oksidasi. GSH dengan enzym glutathione
peroksidase (GPx) dapat mengkatalisis proses reduksi Hidroperokside lemak
menjadi alkohol dan hidrogen peroksida menjadi air. Pada saat mengkatalisis tadi
ikatan disulfida dari 2 GSH akan berikatan membentuk Glutathione
teroksidasi
48
(GSSG) , dan enzym glutathione reduktase dapat mendaur ulang GSSG menjadi
GSH kembali dengan cara mengoksidasi NADPH. Ketika sel terekspos dengan
stress oksidasi maka akan terjadi penumpukan GSSG dan rasio GSH/GSSG akan
menurun (Oxford Biomedical Research, 2008).
Mekanisme kerja dari GSH didalam proses peredaman radikal bebas yaitu
dalam segi kemampuananya mereduksi hidroksil radikal (
.
OH) yang berasal dari
reaksi Fenton (Best B, 2003).
Fe
++
+ H
2
O
2
—> Fe
+++
+
.
OH + :OH
-
GSH +
.
OH —>
.
GS + H
2
O
dan glutathione yang teroksidasi bersifat radikal akan saling menetralisir
.
GS +
.
GS —> GSSG
atau dapat juga dikatakan dengan rumus yang berbeda, yaitu
2 GSH + ROOH => GSSG + ROH + H
2
O
Disamping itu enzym Glutathione peroxidase menetralisir Hidrogen
Peroksida (H
2
O
2
) dengan cara mengambil hydrogen untuk membentuk 2 H
2
O dan
satu GSSG, sedangkan enzyme glutathione reduktase akan menjadikan GSSG,
dengan menggunakan enzyme NADPH sebagai sumber hydrogen, menjadi GSH
kembali
2 GSH + H
2
O
2
=> GSSG + 2 H
2
O
Dengan kata lain glutathione di sini mencegah hidroksil radikal yang dapat
merubah molekul lemak menjadi lemak radikal (
.
L) atau peroksida lemak (LOO
.
)
melalui dua sisi yaitu mencegah terbentuknya hydroksil radikal (
.
OH) bereaksi
49
Saat ini babi guling dapat diperoleh di mana-mana. Dari restoran sampai
dengan
warung lesehan kecil di seluruh kabupaten di Bali, dapat diperoleh babi guling. Di
desa Sukawati Gianyar, Babi Guling diperjual belikan dalam warung-warung
makan lesehan. Babi guling dapat dikatakan sebagai salah satu menu favorit tidak
saja di kalangan orang Bali tetapi juga mancanegara.
Bahan utama dari makanan ini adalah anak babi yang memang dipelihara
untuk itu. Untuk kebutuhan upacara, babi yang dipakai biasanya anak babi
lokal
yang masih berumur muda dengan berat sekitar 8-15 kg.. Untuk kebutuhan
komersial, babi yang digunakan lebih besar yaitu beratnya mencapai 60
kg.,
bahkan dapat mencapai 80 kg. dan jenis babinyapun bukan lagi babi lokal
tetapi
babi jenis Landrace atau kawin silang antara babi lokal dengan Landrace.
Babi
Landrace adalah jenis babi yang awalnya dikembangkan di Denmark kemudian
diimport dan dikembangkan di Australia (Taylor et al., 2005). Babi jenis
ini
sekarang sudah mulai diternakkan secara luas di Bali (Saka, 2003). Peternak babi
di Bali lebih memilih jenis babi Landrace ini karena, babi ini lebih
mudah
dipelihara dibandingkan dengan babi lokal, babinya cepat besar dan
dagingnya
lebih banyak sehingga lebih cepat dapat dijual dibandingkan dengan babi
lokal.
Saka (1996 dan 2003) dalam laporannya menyebutkan bahwa babi Landrace ini
lebih unggul dalam memproduksikan daging karkas dibandingkan dengan babi
Saddleback maupun kawin silang antara babi bali dan babi Saddleback. Dipihak
lain pedagang babi guling khususnya yang membuat untuk tujuan komersial, juga
lebih memilih babi jenis ini karena dagingnya lebih banyak dibandingkan
yang
lokal (Gung De Agung, 2009).
56
cengluh dan mesui (Cinammomum), dan bumbu penyangluh yang terdiri dari
terasi (Shrimp paste), garam, daun salah ada atau tomat, daun salam
(Eugenia
Polyantha), jeruk limau dan minyak kelapa (Coconut oil). Semua bumbu
dicincang halus kecuali garam, terasi, daun salam dan minyak kelapa.
Pewangèn
yang digunakan biasanya sudah dalam bentuk bubuk (Eiseman Jr., 1998;
Sudharsana, 2001).
Semua bumbu yang telah dicincang dicampur dengan bahan yang lain
kemudian diaduk bersama minyak kelapa yang diolah secara tradisional. Baru
kemudian semua bumbu dimasukkan ke dalam perut-dada babi yang sudah
dibersihkan.
Sebagai sayur, di beberapa daerah digunakan daun ubi kayu atau daun
kayu-manis atau daun-daunan lainnya yang berwarna hijau yang biasa dipakai
sayur, yang dicampur dengan bumbu yang kemudian dimasukkan kedalam perut
Gambar 2.8. Babi Guling Utuh
Sumber endrone.blogspot, 2009
58
babi. Di beberapa daerah, ada yang memasukkan batu hitam ke dalam perut babi
bersama-sama dengan bumbu dengan tujuan supaya daging babi matangnya
sempurna. Setelah dijahit, sebelum dipanggang kulit babi diolesi dulu
dengan
minyak dan kunyit supaya kulit berwarna kecoklatan dan renyah.
Dalam penyajiannya, daging babi guling disajikan bersama dengan lemak,
kulit, sosis babai (urutan) dan gorengan organ dalam tubuh yang kemudian
dituangi bumbu diatasnya. Kemudian babi guling dikonsumsi bersama-sama
dengan nasi, lawar babi dan atau sayur nangka muda (gambar 2.9).
mengandung 14,1 gram protein dan 35,0 gram lemak (Oey Kam Nio, 1992).
Dalam penelitian tentang inventarisasi makanan tradisional yang dilakukan
oleh
Universitas Udayana Bali, disebutkan bahwa, per 100 gram daging babi
guling
mengandung energi 375,76 Kkal, karbohidrat 5,96 gram, protein 8,15 gram
dan
lemak 35,48 gram (Suter et al., 1999).
Tabel 2.3.
Kandungan dan Aktivitas Antioksidan dalam Bumbu Bali Guling (Secara teoritis)
Bawang merah
51,9* 88,9* v 11.93 ± 2.36*
Bawang putih
63,51* 8.77 ± 1.93*
Cabe rawit
21,91* 129,88* 130,36 ± 2,76*
Kemiri
Ketumbar
Merica hitam
447,23*
Pala
Tabia Bun
Begarum
Cengluh
Mesui (Cinamon)
Terasi
Garam
Daun Salam
Jeruk limau
3,8*
Monosodium
Minyak kelapa
Lemak jenuh yang berasal dari babi umumnya bersifat rantai panjang
seperti palmitat (C16:0) dan stearat (C18:0) (Anne, 2008, Wikipedia, 2008,
Ard
Jamy D., 2006). Seperti diketahui sebelumnya bahwa lemak jenuh rantai panjang
bersifat aterogenik, maka lemak ini dapat dikatakan sebagai makanan yang
bersifat proaging (Kromhout et al. 1995).
Beberapa bagian dari bumbu babi guling, secara individual sudah
diketahui kandungan antioksidannya, baik itu flavonoid, terpene, phenol, vitamin
A, C maupun E. Tetapi banyak juga yang belum diketahui apakah mengandung
antioksidan atau tidak. Bumbu yang sudah diketahui kandungan antioksidannya
antara lain bawang merah, lengkuas, jahe, kunyit, merica hitam, kemiri, dan jeruk
limau. Tabel 2.3 menunjukkan komposisi dari bumbu yang diambil dari
pengamatan ke beberapa produsen babi guling di Denpasar dan kandungan secara
teoritis dari masing-masing bahan yang diambil dari Tangkanakul et al., 2009.
Berdasarkan tabel 2.3, dapat dilihat bahwa komponen bumbu dalam
bumbu babi guling sangat banyak dan hampir semua bumbu seperti bawang
merah, lengkuas, bawang putih, cabe rawit dan lainnya, yang bila dilihat
kandungan antioksidan yang disumbangkan oleh masing-masing bumbu tersebut
cukup tinggi (Tzung-Hsun Tsai etal., 2005).
Berdasarkan data dari USDA Database for the Flavonoid Content of
selected Food (2003) maka disebutkan bahwa bawang merah (Allium Cepa)
mengandung quercetin, kaemferol, isorhamnetin dan cyanidin); lombok rawit
kecil mengandung quercetin, luteolin dan vitamin C; air jeruk limau
selain
61