SYOK SEPTIK
DISUSUN OLEH :
Kelompok 23 :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2018
SYOK SEPTIK
I. Anatomi & Fisiologi
I.1. Anatomi
Terdapat 3 jenis arteri di tubuh: arteri elastik, arteri muskular, dan arteriol. Arteri
yang meninggalkan jantung untuk mendistribusikan darah beroksigen menjadi semakin kecil
seiring dengan bertambahnya percabangan. Pada setiap percabangan, diameter lumen
arteri secara bertahap berkurang sampai pembuluh terkecil yaitu kapiler terbentuk.
Arteri elastik (Arteria Elastoilipica) adalah pembuluh darah terbesar di tubuh dan
mencangkup trunkus pulmonalis dan aorta serta cabang-cabang utamanya, arteri
brakiosefalika, karotis komunis, subklavia, vertebralis, pulmonaris, dan iliaka komunis.
Dinding pembuluh-pembuluh ini terutama terdiri atas serat jaringan ikat elastik yang
diselingi sel otot polos yang tersusun melingkar. Serat elastik menghasilkan ketahanan dan
fleksibilitas tinggi selama aliran darah. Arteri-arteri elastik besar bercabang dan menjadi
arteri muskularis (arteria myotypica) yang berukuran sedang, yaitu pembuluh paling banyak
di tubuh. Berbeda dari dinding arteri elastik, dinding arteri muskularis mengandung banyak
serat otot polos. Arteriol adalah cabang terkecil sistem arteri. Dinding arteri ini terdiri atas 1
sampai 5 lapisan serat otot polos. Arteriol menyalurkan darah ke pembuluh darah terkecil
yaitu kapiler. Kapiler menghubungkan arteriol dengan vena terkecil atau venula.
Dinding arteri secara umum mengandung tiga lapisan konsentris atau tunika. Lapisan
paling dalam yang menghadap ke lumen adalah tunika intima. Lapisan ini terdiri atas epitel
skuamosa selapis, yang disebut endotel di sistem vaskular, dan suatu lapisan tipis di
bawahnya, yaitu jaringan ikat subendotel. Lapisan tengah adalah tunika media yang
terutama terdiri atas serat otot polos. Diantara sel-sel otot polos terdapat serat elastik dan
retikular dalam jumlah yang bervariasi. Pada arteri muskular dan elastik, otot polos
menghasilkan serat elastik, sedikit serat kolagen, dan elemen ekstrasel lainnya. Serat
kolagen memberikan kekuatan regang untuk dinding arteri, sedangkan serat elastik
memungkinkan dinding pembuluh teregang dan mengecil kembali (recoil) selama kontraksi
jantung dan semburan darah. Lapisan paling luar adalah tunika adventisia, yang terutama
terdiri atas serat kolagen dan serat jaringan elastik yang berorientasi longitudinal, adventisia
terutama terdiri atas serat kolagen tipe I.
Dinding beberapa arteri muskularis juga memperlihatkan dua pita serat elastik tipis
dan bergelombang. Lamina Elastika Interna (LEI) terletak diantara tunika intima dan tunika
media serta merupakan lapisan paling luar tunika intima. Lamina ini merupakan lapisan
lembaran elastik yang mengandung banyak lubang atau fenestra. Lubang-lubang ini
memungkinkan difusi cepat bahan-bahan nutrisi menembus lamina untuk mecapai sel yang
terletak jauh di dalam dinding pembuluh. LEI tidak ditemukan pada arteri yang lebih kecil.
Lamina Elastika Eksterna (LEE) terletak di perifer tunika media muskularis dan
terutama terlihat pada arteri muskular besar. Lamina ini adalah suatu lapisan elastin yang
memisahkan tunika media dari tunika adventisia berkolagen.
Kapiler-kapiler menyatu untuk untuk membentuk pembuluh lebih besar yang disebut
venula, venula biasanya menyertai ateriol. Darah vena pada awalnya mengalir menuju
venula pascakapiler yang lebih kecil dan kemudian ke vena-vena yang ukurannya semakin
besar. Vena-vena secara arbitrer diklasifikasikan menjadi vena kecil, sedang dan besar.
Dibandingkan dengan arteri, vena biasanya lebih banyak dan memiliki dinding lebih tipis,
diameter lebih besar, dan variasi struktur yang lebih besar. Darah yang masuk ke vena
berada dalam tekanan rendah. Vena ukuran kecil dan sedang, terutama yang terletak di
ekstremitas (lengan dan tungkai) serta yang menyalurkan darah melawan gravitasi, memiliki
katup. Karena rendahnya tekanan darah di vena, darah mengalir ke jantung secara perlahan
dan dapat mengalir balik. Adanya katup di vena membantu aliran darah vena maju menuju
jantung dengan mencegah aliran balik. Ketika darah mengalir menuju jantung, tekanan di
vena memaksa katup membuka. Sewaktu darah mulai mengalir balik, daun katup menutup
menutup lumen dan mencegah aliran balik darah. Darah vena diantara katup-katup di
ekstremitas mengalir menuju jantung karena kontraksi otot-otot sekitar, kontraksi di antara
otot, atau kontraksi organ yang memiliki otot, misalnya limpa. Namun, katup tidak
ditemukan di vena susunan saraf pusat, vena cava superior dan inferior, dan visera.
Dinding vena, seperti arteri juga memperlihatkan lapisan-lapisan tunika. Namun,
lapisan ototnya jauh lebih tipis dan kurang menonjol. Tunika intima vena memperlihatkan
endotel dan jaringan ikat subendotel. Berbeda dari arteri, pada vena, tunika media yang
berotot tampak titpis dan otot polos bercampur dengan serat jarinagn ikat. Tunika
adventisia adalah yang paling tebal dan paling berkembang diantara ketiga tunika. Struktur
dinding vena memungkinkan fleksibilitas dan akomodasi darah dalam jumlah besar. Karena
itu, vena menampung sebagian besar darah tubuh.
Dinding vena dan arteri yang berukuran sedang dan besar terlalu tebal untuk
memberikan makan ke sel-sel melalui infus langsung dari lumen. Karena itu, dinding ini di
pasok oleh pembuluh darah halusnya sendiri dari arteri kecil yang di sekitar yang dinamai
vasa vasorum (pembuluh darah untuk pembuluh darah yang lebih besar). Vasa vasorum
memungkinkan pertukaran nutrien dan metabolit dengan sel-sel di tunika adventisia dan
tunika media yang lebih dalam. Pembuluh vasa vasorum jauh lebih ekstensif di dinding vena
dari pada di arteri karena kurangnya kandungan oksigen darah vena.
Kapiler merupakan pembuluh darah terkecil. Diameter rata-ratanya adalah sekitar 8 µm,
yaitu seukuran sebuah eritrosit (sel darah merah,SDM). Setiap kapiler terdiri atas satu
endotel tipis, lamina basal di bawahnya, dan beberapa perisit yang tersebar acak. Sel-sel ini
mengelilingi kapiler dengan sitoplasma bercabang dan dibungkus oleh suatu lamina basal
yang juga membungkus endotel kapiler. Terdapat 3 jenis kapiler : kapiler kontinyu (vas
capillare continum), kapiler berpori, dan sinusoid. Variasi struktural dalam aliran kapiler ini
memungkinkan berbagai jenis pertukaran metabolisme antara darah dan jaringan sekitar.
Kapiler kontinyu (vas capillare continum) adalah yang terbanyak. Pembuluh ini di
temukan di otot, jaringan ikat, jaringan saraf, kulit, organ respirasi, dan kelenjar eksokrin. Di
kapiler ini, sel-sel endotel bersatu dan membentuk lapisan endotel tanpa jeda. Taut kedap,
desmosom, dan taut celah ditemukan di kapiler ini.
Kapiler bertingkap (vas capillare fenestratum) di tandai oleh lubang-lubang atau fenestra
(pori atau tingkap) di sitoplasma sel endotelnya yang dirancang untuk pertukaran cepat
molekul antara darah dan jaringan. Kapiler bertingkap di temukan di organ atau jaringan
tempat terjadinya peningkatan pertukaran zat antara jaringan dan darah. Kelenjar dan
jaringan endokrin, usus halus, glomerulus ginjal, dan pleksus koroideus di ventrikel otak
adalah organ yang memperlihatkan kapiler bertingkap.
Sebagian besar sel tubuh tidak berkontak langsung dengan lingkungan eksternal, namun
sel-sel ini harus melakukan pertukaran dengan lingkungan tersebut, misalnya menyerap
oksigen, dan nutrien serta mengeluarkan zat sisa. Selain itu, berbagai pembawa pesan
kimiawi harus diangkut di antara sel-sel untuk melaksanakan aktivitas yang terpadu. Agar
pertukaran jarak jauh ini tercapai maka sel-sel dihubungkan satu sama lain dan dengan
lingkungan eksternal oleh sistem vaskular (pembuluh darah). Darah diangkut ke semua
bagian tubuh melalui suatu sistem pembuluh yang membawa pasokan segar ke semua sel
sekitarnya sembari membersihkan zat-zat sisa. Semua darah yang dipompa oleh sisi kanan
jantung mengalir melalui sirkulasi paru ke paru untuk menyerap O 2 dan membuang CO2.
Darah yang dipompa oleh sisi kiri jantung ke dalam sirkulasi sistemik disebar dalam berbagai
proporsi ke organ-organ sistemik melalui susunan pembuluh-pembuluh paralel yang
bercabang dari aorta. Susunan ini memastikan bahwa semua organ menerima darah dengan
komposisi yang sama, yaitu suatu organ tidak menerima darah "bekas" yang telah melewati
organ lain. Karena susunan paralel ini maka aliran darah yang melalui suatu organ dapat
diatur secara independen sesuai kebutuhan. 3
Pusat integrasi yang menerima impuls aferen tentang keadaan tekanan arteri rerata
adalah pusat kontrol kardiovaskular, yang terletak di medula di dalam batang otak. Jalur
eferennya adalah sistem saraf otonom. Pusat kontrol kardiovaskular mengubah
perbandingan antara aktivitas simpatis dan parasimpatis ke organ-organ efektor (jantung
dan pembuluh darah).
Jika karena suatu sebab tekanan arteri rerata meningkat diatas normal, maka
baroreseptor sinus karotis dan arkus aorta meningkatkan frekuensi lepas muatan di neuron-
neuron aferennya. Pusat kontrol kardiovaskular setelah mendapat informasi oleh
peningkatan lepas muatan bahwa tekanan darah terlalu tinggi, merespons dengan
mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis ke sistem
kardiovaskular. Sinyal-sinyal eferen ini mengurangi kecepatan jantung, menurunkan isi
sekuncup, dan menyebabkan vasodilatasi arteriol dan vena, yang pada gilirannya
menyebabkan penurunan curah jantung dan resistensi perifer total, diikuti oleh penurunan
tekanan darah kembali ke normal.
Ketika tekanan darah turun sedemikian rendah sehingga aliran darah ke jaringan tidak
lagi adekuat, maka keadaan yang terjadi disebut sebagai syok sirkulasi. Syok sirkulasi
digolongkan ke dalam empat tipe utama:
Syok hipovolemik ("volume rendah") disebabkan oleh penurunan volume darah, yang
terjadi secara langsung meIalui perdarahan hebat atau tak langsung melalui kehilangan
cairan yang berasal dari plasma (misalnya diare berat, pengeluaran urin berlebihan, atau
berkeringat hebat).
Syok kardiogenik ("disebabkan oleh jantung") disebabkan oleh melemahnya jantung
unruk memompa darah secara adekuar.
Syoh vasogenik ("disebabkan oleh pembuluh") disebabkan oleh vasodilatasi luas yang
dipicu oleh adanya bahan-bahan vasodilator. Terdapat dua jenis syok vasogenik septik
dan anafilaktik. Syok septik, yang dapat menyertai infeksi masif, disebabkan oleh bahan-
bahan vasodilator yang dikeluarkan oleh agen infeksi. Demikian juga, pelepasan histamin
dalam jumlah besar pada reaksi alergik berat dapat menyebabkan vasodilatasi luas pada
syok anafilaktik.
Syok neurogenik ("disebabkan oleh saraf") juga melibatkan vasodilatasi generalisata
tetapi bukan disebabkan oleh pelepasan bahan-bahan vasodilator. Pada kasus ini,
hilangnya tonus vaskular simpatis menyebabkan vasodilatasi generalisata. Hal ini jelas
berperan dalam syok yang menyertai trauma kompresi ketika pengeluaran darah terlalu
sedikit untuk menimbulkan syok hipovolemik. Nyeri hebat tampaknya menghambat
aktivitas vasokontriksor simpatis.3
III. Klasifikasi Syok Septik
Syok sepsis dibedakan atas 2 jenis, yaitu warm shock dan cold shock. Warm shock
ditandai dengan curah jantung yang meningkat, kulit yang hangat dan kering, serta
bounding pulse; sedangkan cold shock ditandai oleh curah jantung yang menurun, kulit
lembab dan dingin, serta nadi yang lemah.6
Syok sepsis adalah sepsis berat yang disertai adanya hipotensi atau hipoperfusi yang
menetap selama 1 jam, walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.
Pada syok septik, pelebaran arteri dan vena yang bersifat sistemik mengakibatkan
hipoperfusi jaringan, walaupun curah jantung masih baik atau pada keadaan awal
meningkat. Penurunan tonus pembuluh darah disertai oleh aktivasi sel endotel di seluruh
tubuh, yang sering memicu suatu keadaan hiperkoagulasi dan bermanifestasi sebagai
KID(Koagulasi Intravaskular Diseminata). Lebih lanjut, syok septik berkaitan dengan
perubahan metabolisme yang secara langsung menekan fungsi sel dan jaringan. Pengaruh
gabungan kelainan-kelainan ini ialah terjadinya hipoperfusi dan disfungsi organ multipel. 5
Saat ini, bakteri gram positif merupakan penyebab paling sering dari syok septik,
diikuti oleh organisme gram negatif dan jamur. Walaupun dulu ada pemikiran bahwa infeksi
harus menyebar luas ke seluruh tubuh untuk dapat menimbulkan syok septik, ternyata
infeksi yang terbatas pada suatu jaringan tertentu dapat memicu terjadinya syok septik,
bahkan tanpa adanya penyebaran kedalam darah yang dapat dideteksi. Kemampuan
bermacam-macam flora untuk mempresipitasi syok septik sejalan denganide bahwa
beberapa bagian mikroba yang berbeda dapat menginisiasi syok septik. Terutama,
makrofag, neutrofil, sel dendritik, sel endotel, juga komponen-komponen sistem imun
alami yang larut(misalnya komplemen) yang di aktifkan oleh bermacam substansi yang
berasal dari mikroorganisme. Dilain pihak, respon peradangan luas yang serupa disebut
sebagai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) juga dapat terjadi tanpa adanya
infeksi nyata yang mendasari, penyebabnya termasuk trauma atau luka bakar yang luas,
pankreatitis, dan iskemia difus.5
IV.2. Patofisiologi
Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana
endotoksin(lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses
inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu : sitokin, neutrofil, komplemen,
NO, dan berbagai mediator lain.4 Sel-sel dari sitem imun alami mengekspresikan reseptor-
reseptor (misalnya Toll-like receptors[TLRs]) yang mengenali banyak substansi yang berasal
dari mikroba yang mengandung Pathogen Associated Molecular Patterns(PAMPs). Aktivasi
dari reseptor pengenalan patogen oleh PAMPs memicu respon imun alami yang
menyebabkan sepsis. Pada saat aktivasi, sel-sel radang menghasilkan TNF dan IL-1 (dan
sitokin lainnya), serta mediator-mediator yang menyerupai sitokin seperti High Mobility
Group Box 1 (HMGB1). Reactive oxygen species dan mediator lipid seperti prostaglandin dan
Platelet Activating Factor (PAF) juga dihasilkan. Molekul-molekul efektor ini mengaktifkan
sel-sel endotel, berakibat pada diekspresikannya molekul-molekul adhesi, suatu fenotipe
prokoagulan, dan produksi sitokin gelombang kedua. Kaskade komplemen juga diaktifkan
oleh komponen-komponen mikroba, baik secara langsung atau melalui aktivitas proteolitik
plasmin, berakibat pada dihasilkannya anafilotoksin (C3a, C5a), fragmen-fragmen
kemotaksik (C5a), dan opsonin (C3b), yang semuanya dapat berperan pada keadaan
sebelum peradangan. PAMPs juga akan mempengaruhi faktor 12 koagulasi dan
mengaktivasi koagulasi. Aktivasi dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung
melalui endohelial sel function.5
Pada saat yang sama, sitokin dan mediator-mediator yang menyerupai sitokin yang
diproduksi saat syok septik mempunyai pengaruh-pengaruh sistemik seperti demam,
menurunnya kontraktilitas miokardium, dan abnormalitas metabolik. Sitokin-sitokin seperti
TNF dan IL-1, hormon-hormon yang diinduksi oleh stres (seperti glukagon, growth hormone,
dan glukokortikoid), dan katekolamin, semuanya menimbulkan glukogenesis. Pada saat
bersamaan, sitokin-sitokin pro-inflamasi menekan pengeluaran insulin , yang secara
bersamaan meningkatkan resistensi insulin di otot skeletal dan jaringan lain dengan cara
mengganggu ekspresi dari GLUT4 di permukaan sel sehingga sel menjadi kurang responsif.
Hiperglikemia menekan fungsi neutrofil yang menyebabkan berkurangnya aktivitas anti-
bakteri dan menyebabkan peningkatan ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel.
Keadaan inflamasi hebat yang diinisiasi oleh sepsis dapat secara paradoks
menimbulkan imunosupresi. Mekanismenya diperkirakan mencakup produksi mediator-
mediator anti-inflamasi(seperti reseptor TNF yang larut/sTNFR dan IL-10/ antagonis reseptor
IL-1), dan adnya apoptosis limfosis yang luas di limpa, kelenjar getah bening oleh sebab yang
belum jelas. Masih diperdebatkan, apakah pada sepsis mediator-mediator imuno supresi
bersifat protektif atau merugikan.5
V. Faktor resiko
Faktor resiko untuk syok septik adalah:
Umur
Pasien yang berumur lebih dari 65 thn atau kurang dari 65
Pemasangan Alat Invasif
Prosedur Invasif
Medikasi/Therapeutic Regimens
Underlying Conditions
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti
lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus
digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan
menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ
utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi: Sindrom distress pernapasan pada
dewasa
Koagulasi intravaskular
Gagal ginjal akut
Perdarahan usus
Gagal hati
Disfungsi sistem saraf pusat
Gagal jantung
Kematian.
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau nosokomial dan
apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui meliputi paparan pada
hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure,
hilang kesadaran, medikasi da penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen
infeksius tertentu.
Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi :
Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
Hipotensi,oliguria atau anuria
Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas
Perdarahan
Uji laboratorium meliputi complete blood caunt (CBC) dengan hitung diferensial,
urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi
hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan
darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukangram stain di
tempat yang biasanya steril(darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi.
Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah harus diperoleh dalam periode 24
jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa(pada anak
lebih tinggi). Ambil 10-20 ml/sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan
dengan traypticase soy broth dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike
demam intermiten, bakteremia dominan o,5 jam sebelum spike. Jika terapi antibiotik sudah
dimulai, beberapa macam antibiotik dapat di deaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung
pada status klinis pasien dan resiko terkait, penelitian dapat juga menggunakan foto rontgen
abdomen, CT scaning, MRI, ekokardiografi, dan/atau lumbar puncture.
VIII.1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke
jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard
menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan
dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan
gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik
ventilasi, perfusi, delivery, dan penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian dan di
koreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di
darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid
(NaCL 0,9% atau Ringer laktat), maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan pada terapi
awal karena lebih murah dan lebih mudah didapat, tetapi perlu di berikan dengan volume
yang lebih besar. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak
kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari
peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan
kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Pada sarana
yang lebih lengkap atau di Unit Rawat Intensif dapat dipantau dengan mengukur tekanan
vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan
berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Albumin merupakan protein plasma yang juga berfungsi sebagai koloid. Albumin
berfungsi mempertahankan tekanan onkotik plasma. Pada keadaan serum albumin yang
rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi
albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan
aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
Namun pertimbangan dalam memberikan transfusi bukan berdasarkan kadar Hb semata,
tetapi keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia, keuntungan dan kerugian pemberian
transfusi.
VIII.4. Bikarbonat
Bikarbonat telah lama digunakan dalam mengkoreksi asidemia pada sepsis. Namun
terapi bikarbonat untuk koreksi asidemia pada sepsis saat ini diragukan manfaatnya, dengan
alasan bahwa bikarbonat sebagai buffer bermanfaat padatingkat seluler, sedangkan pada
sepsis dan renjatan terjadi hipoperfusi ke jaringan dengan konsekuensi terjadinya gangguan
tranpor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi pH sel yang semakin rendah.
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9 meq/l,
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
Gangguan fungsi ginjal pada sepsis dan renjatan terjadi secara akut, disebabkan
karena gangguan perfusi ke organ tersebut. Bilamana pasien dalam keadaan hipovolemik
atau hipotensi,keadaan ini harus segara diperbaiki dengan pemberian cairan secara
adekuat, terapi dengan vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Pada keadaan oliguria,
pemberian cairan perlu dipantau secara ketat oleh karena pemberian cairan secara agresif
dapat menyebabkan edama paru. Dopamin dosis renal (1-3 mcg/kg/menit) seringkali
diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, akan tetapi secara evidence
base terapi ini tidak terbukti menurunkan mortalitas dan menurunkan kebutuhan akan
dialisis.
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien
tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan
gradien tekanan hidrostatik. Teknik hemofiltrasi yang digunakan berupa kontinuous
arteriovenous hemofiltration (CAVH) atau sirculation of dialysate on ultrafiltrate chamber
(CAVHDF). Baik hemodialisis ataupun hemofiltrasi merupakan terapi pengganti yang saling
melengkapi. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah
stabil dapat dilakukan hemodialisis. Hemofiltrasi memiliki kelebihan dalam memperbaiki
kontraktilitas miokard, memperbaiki transpor oksigen dan memodulasi respon imunologis
melalui bersihan mediator inflamasi.
VIII.6. Nutrisi
Nutrisi merupakan terapi suportif yang penting dan harus diperhatikan dalam
perawatan pasien sepsis. Pada sepsis terjadi stres yang menyebabkan gangguan
metabolisme berbagai zat nutrisi. Disatu pihak terjadi hiperkatabolisme akibat kebutuhan
menigkat, sedangkan keadaan gangguan perfusi dan hipoksia menyebabkan proses utilisasi
dan pengangkutan sisa metabolisme menjadi terganggu. Pada metabolisme glukosa terjadi
peningkatan produksi(proses glikolisis dan glukoneogenesis), ambilan atau uptake dan
oksidasinya padasel,peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan
hiperglikemia akibat resistensi insulin. Pada metabolisme lemak terjadi lipolisis dan
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme pada metabolisme protein.
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak
memungkinkan beru diberikan secara parenteral. Pengendlian kadar glukosa darah perlu
dilakukan oleh karena berbagai penilitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses
inflamasi dan penurunan mortalitas.
VIII.7. Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi dicoba pemberiannya pada sepsis berat dan renjatan
dengan hasil tidak terbukti menurunkan mortalitas. Saat ini terapi kortikosteroid diberikan
hanya pada indikasi insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan
keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari
pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.
Inti dari tatalaksana ini bahwa terapi mencakup penyesuaian beban jantung
preload,afterload dan kontraktilitas dengan oxygen delivery dan demand.
Protokol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid 500 ml tiap 30 menit
untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata (MAP)
kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopressor hingga >65 mmHg dan bila MAP >90 mmHg
berikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi vena sentral (Scv O2), bila ScvO2 <70 %,
dilakukan koreksi hematokrit hingga di atas 30 %. Setelah CVP, MAP dan hematokrit optimal
namun ScvO2 <70%, dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP >65
mmHg, atau frekuensi jantung >120x/menit.4
1. Junqueira,LC., 2011. Histology Dasar: teks dan atlas. Edisi 12. Jakarta : EGC. Hlm: 181
2. Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. Edisi 11.
Jakarta: EGC. Hlm: 179-180
3. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6 Jakarta: EGC.
Hlm: 369, 404-406, 411-412
4. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., K, M. S., Setiyohadi, B., & Syam, A. F. 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6 Jilid 3. Jakarta: InternaPublishing. Hlm: 4127-4131
5. Robbins SL, Cotran R, Kumar V. 2013. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Jakarta:
EGC. Hlm: 90-92
6. FK USU. (n.d.). Sepsis dan Syok Septik. Retrivied 2 18,2018, from Respository USU
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/43136/4/Chapter%20II.pdf
SOAL :
Seorang kakek berusia 70 tahun yang sebelumnya telah dirawat di RS karena sepsis tiba-tiba
mengalami penurunan tekanan darah hingga 80/60 mmHg. Tim dokter telah memberikan
resusitasi cairan secara adekuat tetapi belum ada perubahan tekanan darah.
1. Apa diagnosis penyakit pasien tersebut?
a. Sepsis
b. syok septik
c. syok kardiogenik
d. syok hipovolemik
3. Bila tekanan arteri rata-rata pasien tersebut >65 mmHg. Apa terapi yang diberikan
kepada pasien tersebut?
a. Obat vasopresor
b. obat vasodilator
c. kortikosteroid
d. bikarbonat