Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM ENZIM PANGAN

“ HIDROKOLOID “

Disusun Oleh
Kelempok 1 :

Adityawan Pratama 361541333002


Khairul Anisa 361541333009
Melvia Tamara Desy 361541333010
Ahmad Zaini 361541333021
Ratnasari 361541333023

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL TERNAK


POLITEKNIK NEGERI BANYUWANGI
2017

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidrokoloid atau hidrofilik koloid dikenal juga dengan sebutan gum, merupakan
polimer yang berukuran koloid, antara 10 Å sampai dengan 1000 Å yang menunjukkan
sifat koloid dalam suspensinya (Fardiaz 1989). Pembentukan gel merupakan sebuah
fenomena penggabungan atau pengikatan silang (cross linking) dari rantai-rantai polimer
membentuk jala kontinyu tiga dimensi, selanjutnya jala ini dapat menangkap air dan
membentuk struktur kuat yang kaku. Beberapa koloid memberikan kekentalan yang tinggi
pada konsentrasi yang sangat rendah, biasanya di bawah 1 % (Glicksman 1969). Ukuran
molekul hidrokoloid yang besar dan adanya kemampuan untuk saling terikat dan tarik
menarik antara komponen molekul mengakibatkan proses pengentalan dan pembentukan
gel (Sweming 1999).
Ada beberapa jenis hidrokoloid yang digunakan dalam industri pangan baik yang
alami maupun sintetik. Agar, karagenan, dan furselaran merupakan hidrokoloid yang
diekstrak dari rumput laut merah (Rhodophyceae), sedangkan alginat diekstrak dari rumput
laut coklat (Phaeophyceae). Secara alami terdapat tiga fraksi karagenan yaitu kappa-
karagenan, lamda-karagenan, dan iota-karagenan (Anonim 2006).
Rumput laut dimanfaatkan sebagai bahan mentah, seperti agar-agar, karaginan dan
algin. Pada produk makanan, karaginan berfungsi sebagai stabilator (pengatur
keseimbangan), thickener (bahan pengental), pembentuk gel, dan pengemulsi. Rumput laut
yang menghasilkan karaginan dari alga merah yaitu Eucheuma sp.
Gelatin merupakan senyawa hidrokoloid berupa protein dengan berat molekul tinggi
yang banyak digunakan dalam industri pangan, farmasi, hingga industri fotografi karena
kemampuannya dalam membentuk gel (Peranginangin, 2007). Sumber gelatin yang utama
berasal dari kulit babi (41%), kulit sapi (28,6%), dan tulang (30%). Data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2007 menyebutkan bahwa impor gelatin Indonesia mencapai
2.715.782 kg, hal ini menunjukkan besarnya penggunaan gelatin di Indonesia (Zainudin,
2010). Namun maraknya isu halal, makin banyaknya penganut vegetarian, serta adanya
penyakit sapi gila atau bovine spongiform encephalopathy (BSE) menyebabkan
dilakukannya pencarian alternatif gelatin selain dari sumber mamalia (Pranoto, 2006).
Misalnya dengan penggunaan gelatin kulit ikan yang memiliki viskositas lebih tinggi
daripada gelatin dari sumber mamalia (Pranoto et al, 2007), serta menghasilkan rendemen

1
yang lebih tinggi, mencapai 18,6% dengan bahan kulit ikan tuna (Peranginangin et al,
2006).
Menurut Hellebust dan Cragie (1978), karagenan terdapat dalam dinding sel rumput
laut atau matriks intraselulernya dan karagenan merupakan bagian penyusun yang besar
dari berat kering rumput laut merah dibandingkan dengan komponen yang lain. Jumlah dan
posisi sulfat membedakan macam-macam polisakarida Rhodophyceae, seperti yang
tercantum dalam Federal Register, polisakarida tersebut harus mengandung 20 % sulfat
berdasarkan berat kering untuk diklasifikasikan sebagai karagenan. Berat molekul
karagenan tersebut cukup tinggi yaitu berkisar 100 – 800 ribu kDa (Deman, 1989).
Karagenan adalah kelompok polisakarida linear bersulfat yang dapat dihasilkan dari
alga merah (Rhodophyceae). Karagenan mempunyai kemampuan yang unik yaitu dapat
membentuk berbagai variasi gel pada temperatur ruang (kaku atau elastic dan keras atau
lembut) dengan titik leleh yang tinggi atau rendah. Berdasarkan sifatnya, karagenan
digunakan sebagai pengemulsi, penstabil, pengental (thickener) dan bahan pembentuk gel
(Food Chemical Codex 1981). Karagenan sebagai penstabil dapat mempertahankan
konsistensi larutan yang memisah seperti lipida dan air. Kemampuan inilah yang kemudian
bisa digunakan sebagai bahan untuk mempertahankan daya awet larutan yang diakibatkan
oksidasi.
Agar-agar merupakan polisakarida yang linear dan merupakan molekul galaktan
yang diekstrak dari rumput laut merah. Agar-agar banyak dimanfaatkan dalam berbagai
bidang sebagai bahan pengental, pengemulsi, penstabil, dan berbagai fungsi lain di bidang
pangan. Salah satunya adalahsebagai pengental yang digunakan pada produk jelly, selai,
marmalade, sirup dan makanan lainnya (FAO 2003).
Agarophyte adalah kelompok rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan agar-agar. Sedangkan Agaroidophyte merupakan kelompok ganggang merah
yang mempunyai sifat seperti agar-agar, tetapi dengan gaya gelasi dan viskositas yang berb
eda (Winarno 2008). Agar-agar adalah senyawa poligalaktosa yang diperoleh dari
pengolahan rumput laut kelas Agarophyte. Sedangkan Badan Standardisasi Nasional
(1995) mendefinisikan aga-agar tepung sebagai produk berupa tepung yang diperoleh dari
ekstraksi rumput laut agarophyte,dengan atau tanpa bahan tambahan yang diizinkan,
bersifat koloid bila dilarutkan dalam air panas. Molekul agar-agar terdiri dari rantai linier
galaktan yang merupakan polimer dari galaktosa. Jenis rumput laut yang banyak digunakan
sebagai bahan baku untuk pengolahan agar-agar tepung adalah Gelidium sp., Gracillaria
sp., Hypnea sp., Plerodadia sp., Acanthopelus sp., dan Ceramium sp.

2
1.2 Tujuan

1.3 Tempat dan Waktu


Praktikum enzim pangan dilaksanakan pada hari Rabu, 24 Mei 2017 pukul 15.00-
16.00 WIB di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Ternak Politeknik Negeri
Banyuwangi.

3
BAB II
METODOLOGI

2.1 Alat dan Fungsi


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum Enzim Pangan tentang Hidrokoloid
adalah sebagai berikut :
 Sendok : untuk mengaduk sampel pada saat pembuatan

2.2 Bahan dan Fungsi


Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum Enzim Pangan tentang Hidrokoloid
adalah sebagai berikut :
 Agar – Agar : sebagai sampel yang akan diuji hidrokoloid
 Karagenan : sebagai sampel yang akan diuji hidrokoloid
 Gelatin : sebagai sampel yang akan diuji hidrokoloid
 Tapioka : sebagai sampel yang akan diuji hidrokoloid

4
2.3. Skema kerja

Pertama siapakan alat dan bahan

Kemudian dari masing-masing sampel diuji hidrokoid


yang terdiri dari uji tekan, patah dan elastis.

Setelah dari masing-masing sampel sudah diuji


kemudian catat hasil yang didapat.

5
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Pengamatan

Tabel 1. Data Hasil Pengamatan


Sampel Tekan Patah Elastis
Agar – Agar ** ** ****
Karagenan * * ****
Gelatin *** *** **
Tapioka * **** *

Keterangan :
* sangat mudah
** mudah
*** sulit
**** sangat sulit

3.2 Analisa prosedur


Langkah awal yang dilakukan pada praktikum

3.3 Analisa Hasil


Pada praktikum Hidrokoloid sampel yang diuji yaitu agar-agar, karagenan, gelatin
dan tapioka. Pada sampel tapioka, agar- agar dan karegan pada uji tekan sangat mudah
ditekan, kemudian pada uji patah sampel agar-agar dan karegen sangat mudah
patah,sedangkan sampel gelatin dan tapioka sulit patah. Selanjutnya uji kelastisan tapioka
dan gelatin memilik elestis yang sangat mudah, sedangkan sampel agar-agar dan karegena
sangat sulit.
Karakteristik fisik agar-agar dalam bentuk kering adalah berwarna putih hingga
kuning pucat, berbau khas agar-agar. Karakteristik kimia dari agar-agar meliputi
kandungan gizi, sifat kelarutan dan daya cerna. Agar-agar larut di dalam air panas tetapi
tidak larut dalam air dingin. Agar-agar berbentuk padat pada suhu 32 ºC-39 ºC dan tidak
dapat mencair pada suhu lebih rendah dari 85 ºC. Agar-agar kaya akan karbohidrat dan
kalsium, namun sedikit mengandung lemak dan protein (Takano et al. 1995). Walaupun
6
begitu, karbohidrat dalam agar-agar tersusun dari beberapa polisakarida dan turunannya
yang sukar dicerna.
Sifat gel dari agar-agar menjadikannya sesuai dengan kebutuhan media bakteri,
karena sifat melting dan membekunya yang baik, resisten terhadap enzim dan mikroba,
serta masih mampu membentuk larutan pada suhu 40°C, yang dapat menjadikan distribusi
mikroorganisme seragam selama pengkulturan (Venugopal 2009). Agar-agar masih tetap
kuat pada suhu 37°C (suhu pada inkubator). Agar-agar bersifat lebih baik daripada gelatin
bila digunakan sebagai bahan media mikroba, karena bakteri tidak dapat mencairkan gel
agar-agar. Persyaratan mutu internasional (standar) untuk agar-agar yang digunakan
sebagai media pertumbuhan mikroba yaitu kadar abu maksimum 5%, kadar organik asing
maksimal 1 %, dan kadar abu tak larut asam maksimum 1 % (Winarno 1996).
Struktur agar-agar terdiri atas dua komponen utama, yaitu agarosa dan agaropektin.
Agarosa merupakan suatu polimer netral dan agaropektin merupakan suatu polimer sulfat.
Agarosa adalah suatu polisakarida netral yang terdiri dari rangkaian D-galaktosa dengan
ikatan β-1,3 dan L-galaktosa dengan ikatan α-1,4. Agaropektin bersifat lebih kompleks dan
mengandung polimer sulfat. Rasio kedua polimer sangat bervariasi dan persentase agarosa
dalam ekstrak agar-agar berkisar antara 50% sampai 80% (FAO 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat gel yaitu suhu, konsentrasi agar-agar, pH,
gula dan ester sulfat. Gel agar-agar bersifat reversible terhadap suhu, peningkatan
konsentrasi agar-agar akan meningkatkan kekuatan dan kekerasan gel. Kandungan gula
juga besar pengaruh nya terhadap pembentukan gel dari agar-agar. Peningkatan kandungan
gula menghasilkan gel yang lebih keras tetapi teksturnya kurang kohesif. Pengaruh pH
pada kekuatan gel yaitu semakin turun pH hingga pH 2,5 akan menghasilkan kekuatan gel
yang semakin lemah.
Pengaruh ester sulfat terhadap kekuatan gel bahwa semakin tinggi kandungan ester
sulfat akan dapat menurunkan kekuatan gel agar-agar. Faktor yang mempengaruhi kualitas
agar-agar, antara lain teknik ekstraksi, jenis rumput laut, kondisi musim, letak atau wilayah
asal rumput laut dan parameter lingkungan lainnya. Namun beberapa tahun terakhir mulai
banyak penelitian untuk melihat aspek penyimpanan atau penanganan rumput laut paska
panen, karena terbukti turut mempengaruhi kualitas dan kuantitas ekstrak agar-agar yang
dihasilkan (Romero et al. 2008). Jenis dan asal rumput laut menentukan kandungan
agarosa dan agaropektin ganggang yang digunakan. Kekuatan gel agar-agar sangat
tergantung pada perbandingan kandungan agarosa terhadap agaropektin (deMan 1997).
Perbandingan agarosa dan agaropektin pada genus Gracilaria sekitar 20:1, jauh lebih besar

7
daripada genus Gelidium yang mempunyai perbandingan 1:5. Oleh karena itu umumnya
gel agar-agar dari Gracilaria lebih kuat dan kokoh (Winarno 1996).
Agar-agar dengan kemurnian tinggi pada suhu 25°C tidak larut dalam air dingin
tetapi larut dalam air panas, etanol amida dan formida. Pada suhu 32-39°C agar-agar
berbentuk padatan yang tidak mencair lagi pada suhu lebih rendah dari 80°C. Agar-agar
yang dilarutkan pada suhu 35-50°C sudah cukup untuk membuat gel yang kuat dengan titik
cair 80-100°C. Larutan 1 % dan 1,5 % agar-agar pada suhu 45°C, serta keadaan kering
bersifat sangat stabil (Imeson 2010).
Hal yang terpenting dari agar-agar adalah sifat gelling agentnya dan aplikasinya
dalam range suhu yang cukup luas. Agarosa memiliki kekuatan gel lebih tinggi
dibandingkan agaropektin. Agarose memiliki struktur double helix, struktur tersebut
beragregasi membentuk rangka tiga dimensi, yang berikatan dengan molekul air sehingga
menghasilkan gel yang thermoreversible (Venugopal 2009).
Selama ini bahan pengental yang banyak digunakan adalah gum arab, gelatin, pektin
komersil, agar-agar dan karagenan. Semua bahan pengental ini berperan sebagai
hidrokoloid yang masing-masing memiliki keunggulan dan juga kelemahan. Gum arab,
memiliki kemampuan pembentukan gel yang optimum pada konsentrasi tinggi yaitu 40-
50% sehingga kurang efisien untuk diaplikasikan (Fardiaz 1989). Gelatin dalam
pembentukan gel sangat baik tetapi kekuatan gelnya menurun secara nyata pada pH kurang
dari 4, dan sedikit menurun pada pH diatas 8 sedangkan pH selai pada umumnya adalah
dibawah 4 sehingga jika gelatin digunakan akan kurang optimal. Pektin komersil walaupun
kemampuan gelnya optimum pada konsentrasi 0,75-1,5% tetapi kurang stabil terhadap
suhu tinggi dan bersifat labil setelah suhu diturunkan. Derajat keasaman untuk pektin
adalah 2-4 dan menurun drastis diluarpH optimumnya tersebut (Suryani et al.2004).

Karagenan merupakan gum yang membentuk gel


secara
reversible
(Venugopal 2009). Pada konsentrasi renda
h 0,01-0,05% karagenan sudah mampu
membentuk gel yang sangat baik (FAO 2003)
. Karagenan merupakan salah satu

8
gum yang sangat optimum dalam proses pembentukan
gel, dengan
Acceptable
daily intake
(ADI) sebesar 0-75 mg/kg bw
(SCF 2003, WHO 2008). Namun karagenan memiliki
kandungan ester su
lfat yang cukup tinggi yaitu 20-50%
(Winarno 1996) yang akan mempengaruhi
tingkat viskositasnya, serta bersifat
sineresis dan mudah terdegradasi pada pH asam.
Secara umum selai memiliki pH
yang asam. Selain itu karegenan memben
tuk gel yang optimum jika terdapat ion
monovalen yaitu K
+
, NH4
+
, Rb
-
, dan Cs
-
.
Karagenan memiliki kemampuan yang unik untuk
memben
tuk variasi gel
yang hampir tidak terbatas pada suhu ruang. Proses
pembentukan gel tidak
memerlukan pendinginan dan gel dapat dibuat stabil
melalui siklus
freezing-
9
thawing
yang berulang. Larutan karagenan dapat mengentalk
an, mengikat dan
menstabilkan partikel-partikel sebaik dispersi kolo
id dan emulsi air atau minyak
(Anonim 2006
b
). Karagenan merupakan salah satu hidrokoloid yang
dapat
digunakan sebagai bahan penstabil dan pengental ala
mi menggantikan bahan
pengental sintetik golongan
alkanolamide
(Winarno 1996).
Karagenan diberi nama berdasarkan persentase
kandun
gan ester sulfatnya,
kappa: 25-30 %, iota: 28-35 %, dan lambda: 32-38 %.
Kappa dan iota larut dalam
air panas (70
o
C), sedangkan lambda bisa larut dalam air dingin.
Karagenan bisa
larut dalam susu dan larutan gula sehingga sering d
igunakan sebagai
pengental/penstabil pada berbagai minuman dan
makan
an. Dapat membentuk gel
dengan baik, sehingga banyak digunakan sebagai
gelling-agent
dan pengental
10
(Suptijah 2002).

11
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

12
DAFTAR PUSTAKA

13

Anda mungkin juga menyukai