Anda di halaman 1dari 18

Laporan kasus

Gagal Jantung Akut Dekompensata

Oleh:
dr. IRWIN LAMTOTA LUMBANRAJA

Pembimbing:
dr. NURAISYAH, M,Kes

PROGRAM INTERNSIP
PERIODE NOVEMBER 2016-2017
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGKINANG
KABUPATEN KAMPAR
2017
BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS

Pada hari ini tanggal 19 Mei 2017 telah dipresentasikan laporan kasus oleh :

Nama Peserta : dr. IRWIN LAMTOTA LUMBANRAJA

Dengan judul/topik : Gagal Jantung Akut Dekompensata

Nama Pendamping : dr. Nur Aisyah, M.Kes

Nama Wahana : RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar

No. Nama Peserta Presentasi No. Tanda Tangan

1 dr. MUMTAZZIMA 1

2 dr. IRWIN LAMTOTA LUMBANRAJA 2

3 dr. RAJA FRISKA YULANDA 3

4 dr. WIKA JUWITA 4

5 dr. ZENNY EFNITA HRP 5

6 dr. RAHMAT PRIMA MZ 6

7 dr. JULIANTO 7

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan sesungguhnya.

Pendamping

dr. Nur Aisyah, M.Kes


TINJAUAN TEORI

Definisi

Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan sesak napas dan kelelahan
(saat istirahat atau aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal
jantung juga didefinisikan sebagai sindrom klinik kompleks yang disebabkan oleh disfungsi
ventrikel berupa gangguan pengisian atau kegagalan pompa jantung sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.

Gagal jantung akut adalah serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda tanda akibat fungsi
jantung yang abnormal. Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal
jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung
kronik. Disfungsi yang terjadi pada gagal jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik.

Etiologi

Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60 – 70% pasien
terutama pada pasien usia lanjut. Pada usia muda, gagal jantung akut lebih sering diakibatkan
oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital, penyakit jantung katup dan
miokarditis

Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimptomatik. Gejala klinis dapat muncul

karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan peningkatan kerja jantung dan peningkatan
kebutuhan oksigen, seperti infeksi, aritmia, kerja fisik, cairan, lingkungan, emosi yang
berlebihan, infark miokard, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi,
miokarditis dan endokarditis infektif

Patofisiologi dan Patogenesis

Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit jantung. Pada
disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu karena gangguan
kontraktilitas otot jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi

miosit atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan
aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi diastolik terjadi
akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
kompliens ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik.
Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi.

Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai
respon terhadap menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup:

1. Mekanisme Frank Starling


Menurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat menyebabkan kontraksi
menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.
2. Perubahan neurohormonal
Peningkatan aktivitas simpatis merupakan mekanisme paling awal untuk
mempertahankan curah jantung. Katekolamin menyebabkan kontraksi otot jantung
yang lebih kuat (efek inotropik positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem saraf
simpatis juga turut berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
(RAA) yang bersifat mempertahankan volume darah yang bersirkulasi dan
mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga counter-regulator
peptides dari jantung seperti natriuretic peptides yang mengakibatkan terjadinya
vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis serta turut mengaktivasi sistem saraf
simpatis dan sistem RAA.
3. Remodeling dan hipertrofi ventrikel
Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap peningkatan
kebutuhan maka terjadi berbagai macam remodeling termasuk hipertrofi dan dilatasi.
Bila hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure overload
(misalnya pada hipertensi, stenosis katup), hipertrofi ditandai dengan peningkatan
diameter setiap serat otot. Pembesaran ini memberikan pola hipertrofi konsentrik
yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran
ruang jantung. Namun, bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada
regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat jantung juga bertambah yang
disebut hipertrofi eksentrik, dengan penambahan ukuran ruang jantung dan ketebalan

dinding. Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung


memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara.
Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis,
dan remodelling matriks ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan
menyebabkan gangguan fungsional dan struktural yang semakin mengganggu fungsi
ventrikel kiri.

Manifestasi Klinis

Gejala gagal jantung akut terutama disebabkan oleh kongesti paru yang berat sebagai
akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, dapat disertai penurunan
curah jantung ataupun tidak. Manifestasi klinis GJA meliputi:

1. Gagal jantung dekompensasi (de novo atau sebagai gagal jantung kronik yang
mengalami dekompensasi).

2. Gagal jantung akut hipertensi yaitu terdapat gagal jantung yang disertai tekanan darah
tinggi dan gangguan fungsi jantung relatif dan pada foto toraks terdapat tanda-tanda

edema paru akut.

3. Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks, respiratory distress, ronki yang luas,
dan ortopnea. Saturasi oksigen biasanya kurang dari 90% pada udara ruangan.

4. Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90
mmHg atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg dan atau
penurunan pengeluaran urin kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih dari
60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ.

5. High output failure, ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya dengan
frekuensi denyut jantung yang tinggi, misalnya pada mitral regurgitasi, tirotoksikosis,
anemia, dan penyakit Paget’s. Keadaan ini ditandai dengan jaringan perifer yang
hangat dan kongesti paru, kadang disertai tekanan darah yang rendah seperti pada
syok septik.

6. Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output, peninggian tekanan
vena jugularis, serta pembesaran hati dan limpa.
Diagnosis

Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala, penilaian klinis,
dan pemeriksaan penunjang, yaitu elektrokardiografi (EKG), foto toraks, biomarker, dan
ekokardiografi Doppler.

Kriteria Framingham:

A. Kriteria Mayor
 Paroxymal Noctrunal Dyspnea
 Distensi vena leher
 Ronkhi Paru
 Kardiomegali
 Edema Paru Akut
 Gallop S3


Peninggian vena jugularis lebih dari 16 cm H2O
 Waktu sirkulasi ≥ 25 detik
 Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali saat autopsi
B. Kriteria Minor
 Edema eksremitas
 Batuk malam hari
 Dyspnoe d’effort
 Hepatomegali
 Effusi Pleura
 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
 Takikardia (>120x/i)
C. Kriteria Mayor atau Minor
 Penurunan berat badan ≥4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis jantung dapat ditegakan bila pada
pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari kriteria Framingham.

Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut, irama, dan konduksi

jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan ST segmen iskemik untuk kemungkinan
STEMI atau non-STEMI
Pemeriksaan foto toraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai derajat kongesti paru
dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang lain. Kardiomegali merupakan temuan yang
penting. Pada paru, adanya dilatasi relatif lobus atas, edema vaskular, edema interstisial, dan
cairan alveolar membuktikan adanya hipertensi vena pulmonal.

Pada pemeriksaan darah dapat ditermukan

 Anemia
 Prerenal azotemia
 Hipokalemia dan hiperkalemia, yang dapat meningkatkan resiko artimia
 Hiponatremia, akibat penekanan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron)
 Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema
 Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat peningkatan
tekanan intraventrikuler, seperti pada gagal jantung.

Derajat klinis dari gagal jantung dapat dibagi berdasarkan kondisi dan batasan aktivitas
fisik seperti yang didapatkan dari New York Heart Association (NYHA) yaitu:

Derajat Keadaan klinis pasien gagal jantung


NYHA
I Tidak ada batasan aktivitas. Aktivitas fisik biasa tidak menimbulkan gejala

II Ada batasan aktivitas ringan, aktivitas fisik berat dapat memicu sesak nafas

III Sesak muncul saat menjalankan aktivitas, sedangkan tidak muncul saat beristirahat
IV Sesak nafas muncul walaupun pasien dalam keadaan istirahat

Terapi Gagal Jantung Akut

Tujuan utama terapi GJA adalah koreksi hipoksia, meningkatkan curah jantung, perfusi
ginjal, pengeluaran natrium dan urin. Sasaran pengobatan secepatnya adalah memperbaiki

simtom dan menstabilkan kondisi hemodinamik.


1. Terapi umum

Terapi umum pada gagal jantung akut ditujukan untuk mengatasi infeksi, gangguan
metabolik (diabetes mellitus), keadaan katabolik yang tidak seimbang antara nitrogen dan kalori
yang negatif, serta gagal ginjal

2. Terapi oksigen dan ventilasi

Terapi ini ditujukan untuk memberikan oksigen yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan oksigen tingkat sel sehingga dapat mencegah disfungsi end organ dan awitan
kegagalan multi organ. Pemeliharaan saturasi O2 dalam batas normal (95%-98%) penting untuk
memaksimalkan oksigenasi jaringan.

3. Terapi Medikamentosa

Morfin diindikasikan pada tahap awal pengobatan GJA berat, khususnya pada pasien
gelisah dan dispnea. Morfin menginduksi venodilatasi, dilatasi ringan pada arteri dan dapat
mengurangi denyut jantung. Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk sindrom koroner akut
dengan atau tanpa gagal jantung. Namun, tidak ada bukti manfaat heparin atau low molecular
weight heparin (LMWH) pada GJA saja. Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA
sebagai terapi lini pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat
dan tanda kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi perifer
dan mengurangi preload. Beberapa vasodilator yang digunakan adalah:

1. Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume
atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium pada GJA kanan, khususnya
pada pasien sindrom koroner akut. Pada dosis rendah, nitrat hanya menginduksi
venodilatasi, tetapi bila dosis ditingkatkan secara bertahap dapat menyebabkan dilatasi
arteri koroner.
2. Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik dengan hormon
endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type natriuretic peptides dalam merespon
peningkatan tegangan dinding, peningkatan tekanan darah, dan volume overload. Kadar
B-type natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung dan berhubungan
dengan keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP mencakup vasodilatasi, diuresis,
natriuresis, dan antagonis terhadap sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek
vasodilator vena, arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan
afterload, serta meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung. Nesiritid
terbukti mampu mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan plasebo. Nesiritid
juga mengurangi tekanan kapiler baji paru.
3. Dopamine merupakan agonis reseptor -1 yang memiliki efek inotropik dan
kronotropik positif. Pemberian dopamine terbukti dapat meningkatkan curah jantung
dan menurunkan resistensi vaskular sistemik.
4. Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehingga terjadi akumulasi
cAMP intraseluler yang berujung pada inotropik dan lusitropik positif. Obat ini
biasanya digunakan pada pasien dengan curah jantung rendah dan tekanan pengisian
ventrikel yang tinggi serta resistensi vaskular sistemik yang tinggi.
5. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor - 1, β-2,
dan pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek inotropik positif,
efek peningkatan denyut jantung lebih rendah dibanding dengan agonis -adrenergik.
Obat ini juga menurunkan Systemic Vascular Resistance (SVR) dan tekanan pengisian
ventrikel kiri.
6. Epinefrin dan norepinefrin menstimulasi reseptor adrenergik -1 dan -2 di miokard
sehingga menimbulkan efek inotropik kronotropik positif. Epinefrin bermanfaat pada
individu yang curah jantungnya rendah dan atau bradikardi.
7. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal jantung
dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau ibutilide dapat
ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah.
8. Nitropusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara

nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan preload
dan after load. Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel sehingga preload
menurun. Obat ini juga mengurangi curah jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti
dengan penurunan resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah ginjal
sehingga sistem RAA tidak teraktivasi secara berlebihan. Nitroprusid tidak
mempengaruhi sistem neurohormonal.

ACE-inhibitor tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal GJA. Namun, bila stabil 48
jam boleh diberikan dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap dengan pengawasan
tekanan darah yang ketat.
Diuretik diindikasikan bagi pasien GJA dekompensasi yang disertai gejala retensi
cairan. Pemberian loop diuretic secara intravena dengan efek yang lebih kuat lebih diutamakan
untuk pasien GJA. Sementara itu, pemberian -blocker merupakan kontraindikasi pada GJA
kecuali bila GJA sudah stabil.
Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi)
dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan vasodilator
pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan
calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati.
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn.Netti Yuliati
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 46 tahun
Alamat : Koto Mesjid XIII Koto Kampar
Tanggal Masuk : 16/05/017 23:11

AUTOANAMNESIS
Diberikan oleh : Pasien sendiri
Keluhan Utama : Sesak Nafas

Riwayat Penyakit Sekarang:


Hal ini dialami pasien sejak sekitar 2-3 bulan ini, memberat 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Sesak nafas timbul ketika pasien melakukan aktivitas dan sedikit berkurang bila pasien
beristirahat. Pasien mengaku sesak bila melakukan aktivitas berat dan berjalan lebih dari 100
meter. Keluhan sesak bertambah pada saat posisi terlentang dijumpai, keluhan terbangun karena
sesak disangkal oleh pasien. Pasien mengakui tidur harus dengan menggunakan 2-3 bantal.
Kaki membengkak dijumpai, sudah dirasakan pasien 1 bulan terakhir. Nyeri disangkal
oleh pasien. Nyeri ulu hati dijumpai, mual dan muntah dijumpai, muntah sejak 3 hari terakhir
dengan frekuensi muntah 3x/hari isi apa yang dimakan.

Tidak ada keluhan dengan buang air kecil dan buang air besar. Tidak ada riwayat
keluarga yang mengalami penyakit yang sama.

Riwayat Penyakit Terdahulu:


Hipertensi, DM tipe 2
Riwayat Pengobatan Terdahulu:
Amlodipin 5 mg, Insulin Basal 20 IU, Insulin Prandial 12 - 12 - 12 IU
Alergi Obat
Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit buruk, gelisah
Kesadaran : GCS E4M6V5

Vital Sign
TD : 180/120 mmHg
Nadi : 120 kali permenit
Nafas : 32 kali per menit
Suhu : 37,5oC

Skala nyeri : 4, pada bagian ulu hati

Kulit : Teraba hangat, turgor baik, sianosis (-), ikterik (-), pucat (-)
Kepala : Anemis -/-, Ikterik -/-, Refleks Kornea (+/+) Pupil 2-3 mm isokor
Leher : Pembesaran KGB (-), TVJ +5 cmH2O meningkat
Thorax
 Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, Ichtus Cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ichtus Cordis teraba di +2cm lateral LMCS
 Perkusi : Batas Jantung melebar ke lateral LMCS
 Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), rongki (+/+) 1/3 lap paru basal,
Wheezing(-/-).
Bunyi jantung I dan II normal. Murmur (-), S3 galoop (-).
Abdomen
 Inspeksi : Simetris, pembesaran (-), vena kolateral (-)
 Palpasi : Soepel, defens muscular (-), nyeri (-), teraba massa (-) hepar tidak teraba
 Perkusi : Timpani, pekak beralih (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

Hati : Tidak teraba


Limfa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba

Ekstremitas
 Superior : Akral teraba hangat, (CRT<3 detik), nadi teraba lemah

Inferior : Oedem Pretibial (+/+)

Anus dan Genitalia :


- Tidak dilakukan pemeriksaan pada pasien ini

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Darah
 Hemoglobin : 12,1 gr/dL
 Hematokrit : 35,1 %
 Leukosit : 10.700 / mm3
 Trombosit :325.000 / mm3
Fungsi Hati
 Albumin : 2,7 gr/ dl
 SGOT : 12 U/ L
 SGPT : 11 U/ L
Fungsi Ginjal
 Creatinin : 1,2 mg/ dL

Ureum : 51 mg/ dL
Glukosa Darah
 Ad Random (Stick) I : 345 mg/ dL

DIAGNOSA KERJA : Gagal Jantung Akut Dekompensata + DM type 2 + Hipertensi


grade II

Terapi
Medikamentosa :
 Posisi Semi Fowler
 O2 2-3 l/I via nasal canul
 Inj Omeprazole 40 mg amp/ 24 jam IV
 Inj Furosemide inisial 40 mg (2 amp) IV, dilanjutkan 20 mg
amp/ 12 jam IV
 Inj Ondansetron 4mg amp/ 12 jam IV
 NovoRapid 6 – 6 – 6 IU
 Levemir 10 IU
 Sucralfat Syrup 3 x C I
 Candesartan 8 mg 1 x 1 tab
 ISDN 5 mg 3 x 1 tab
 Kateter Urine

Prognosis : Dubia
PEMBAHASAN

Diagnosa pada pasien ini gagal jantung jantung akut dekompensata, yang merupakan
bagian dari gagal jantung, pasien mengeluhkan sesak nafas yang berhubungan dengan aktivitas
pasien dimana mengacu pada sesak nafas yang disebabkan oleh masalah kardiak.
Ditemukan juga keluhan kongesti seperti sesak nafas, kaki bengkak, rongki 1/3 basal
paru, peningkatan tekanan vena jugularis dan keluhan hipoperfusi seperi takirkardi dan gelisah
Diagnosa ditegakan melalui anamnesa dan pemeriksaan baik fisik maupun penunjang,
pada anamnesa didapatkan pasien sesak nafas, memberat saat beraktivitas dan berkurang bila
pasien beristirahat, sesak saat tidur terlentang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan
vena jugularis, takikardi, takipnu, ronki, edema perifer yaitu pada pretibial. Pada pemeriksaan
penunjang berupa poto toraks didapatkan gambaran kardiomegali ditandi dengan pengukuran

CTR diatas 55% pada posisi PA-supine.


Tanda vital pasien yang berubah penting adalah tekanan darah yang meningkat yaitu 180/
120 mmHg, takipnu. Didapatkan informasi bahwa pasien sudah memiliki riwayat darah tinggi
sejak lama dan pasien tidak patuh meminum obat, dan hal ini dapat menyebabkan pencetus
terjadinya gagal ginjal akut dekompensata.
Setelah ditegakan dengan diagnosa gagal jantung akut dengan klasifikasi kering-basah,
pasien segera diberikan penatalaksanaan yaitu posisi Semi Fowler yaitu posisi setengah duduk
untuk memperbaiki sistem kerja cardio-pulmonal yang terganggu karena edema pulmonal,
dengan harapan cairan kongesti turun mengikuti gaya gravitasi sehingga jantung-paru masih
dapat bekerja lebih optimal. Pasien juga diberikan oksigen untuk memperbaiki perfusi.
Diuretik kuat Furosemide dengan dosis inisial 0,5 – 1 mg/ kg BB atau 20 – 40 mg
diberikan melalui kateter vena, selain itu pada pasien dipasang kateter urine agar dapat
memonitor jumlah cairan yang keluar, dengan harapan sebanyak > 1cc/ kg BB/ jam dan sesak
pasien berkurang.
Obat-obatan golongan ARB seperi candesartan diberikan sebagai vasodilator dan anti
remodeling otot jantung. Pada pasien ini belum diberika golongan beta blocker karena masih
pada fase akut.

Adapaun penyakit komorbid pada pasien ini hipertensi dan diabetes melitus yang tidak
terkontrol terbukti dengan naiknya tekanan darah begitu tinggi dan gula darah yang tinggi.
Pemberian terapi diabetes diberikan dengan menggunakan insulin basal dan prandial sesuai
dengan dosis 0,5 – 1 IU / kg BB per 24 jam dibagi dalam dosis basal dan prandial
Setelah stabil pasien dirawat untuk observasi dari perbaikan gejala yang sudah ada,
kepatuhan pasien dalam meminum obat sangat menentukan dalam keberhasilan terapi.

Anda mungkin juga menyukai