Anda di halaman 1dari 99

hubungan ilmu & filsafat

1. Hubungan Ilmu dan Filsafat Awal Kelahiran :

• Ilmu pertama kali adalah “filsafat”, sering disebut sebagai “induk” atau “ibu” dari ilmu
pengetahuan atau mater scientiarum

• Ilmu-ilmu khusus (psikologi, biologi, astronomi, dsb) menjadi anak asuh atau bagian
dari “filsafat”.

Perkembangan Berikutnya :

• Obyek material filsafat sangat umum, yaitu seluruh kenyataan

• Ilmu-ilmu berkembang membutuhkan obyek khusus

• Ilmu-ilmu mulai berpisah dengan filsafat

• Kekhususan ilmu memberikan batasan-batasan yang tegas antar ilmu (psikologi berbeda
dengan sosiologi, dsb)

Masalah yang Muncul :

• Ilmu-ilmu berkembang pesat dan hubungan antar ilmu menjadi semakin jauh, tidak ada
lagi penghubung antar ilmu-ilmu, muncul arogansi atau kesombongan antar ilmu

• Filsafat terpanggil untuk menyatupadukan ilmu-ilmu dan filsafat-01

2. Ciri-Ciri Persoalan Filsafat Awal Kemunculan :

• Filsafat muncul karena manusia merasa kagum dan heran pada gejala alam (banjir,
petir, hujan, dsb)

• Keheranan menunjukkan ketidaktahuan, berarti ada persoalan


• Persoalan ini menantang para filsuf untuk memecahkannnya atau mendapatkan
jawabannya

• Bagaimana mendapatkan jawabannya ? Melalui refleksi, yaitu berfikir tentang


pikirannya sendiri Ilmu dan filsafat-03

3. Ciri-Ciri Persoalan Filsafat


1. Bersifat Sangat Umum/Mendasar :

• Filsafat berkaitan dengan ide-ide besar (misal: apa “keadilan” itu ? Apa
“manusia seutuhnya” itu ?

2. Bersifat Spekulatif :

• Mempertanyakan “makna” atau “arti” atau “maksud” dibalik Nampak

• Misal : apa makna stupa dari Borobudur ?

3. Bersangkutan dengan Nilai-nilai (values) :


• Nilai adalah suatu kualitas abstrak yang ada pada sesuatu hal (misal : nilai
moral, agama, estetika, social
4. Bersifat Kritis :
• Mempertanyakan secara kritis fenomena, konsep-konsep, atau hal-hal yang
telah dianggap biasa oleh ilmu atau teknologi

• Misal : Mengapa teknologi itu ada ? Bagaimana nilai manusia ditengah-tengah


perkembangan teknologi informasi ? Apa yang sebenarnya terjadi dengan
fenomena “kencan” lewat telepon atau internet ?

5. Bersifat Sinoptik :

• Menyangkut perihal secara keseluruhan

• Filsafat adalah ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan


• Misal : perubahan suatu rumah BTN Tipe 21 menjadi Tipe 60 tidak dilihat
sebagai suatu kenyataan tunggal (berubahnya rumah), melainkan sebagai
kenyataan keseluruhan dari hal-hal yang ada dibalik perubahan tersebut
(kebutuhan, selera, estetika, kebanggaan, dsb) 04

6. Berpikir Secara Kefilsafatan


1. Berpikir Secara Radikal :

• Radikal berasal dari kata Yunani Radix = akar

• Berpikir radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya

• Berpikir sampai ke hakekat, esensi, substansi yang dipikirkan

• Misal : Apa itu arsitektur pasca-modern ? Apakah merupakan suatu aliran atau
sekedar reaksi ketidakpuasan terhadap arsitektur modern ? Mengapa dia ada?
Bagimanakah latar belakang pemikirannya ? Apakah inti ajarannya ?
Bagaimanakah implikasinya pada dunia pendidikan dan profesi ?

2. Berpikir Secara Universal :

• Bersangkutan dengan pengalaman universal (umum) dari umat manusia

• Berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan universal (umum)

• Misal : Mengapa pertumbuhan kota-kota di negara berkembang selalu diiringi


dengan munculnya permukiman-permukiman kumuh ? Apa yang
menyebabkannya ? Mengapa masyarakat miskin kota cenderung bertahan di
kawasan-kawasan pusat kota ? Ilmu dan filsafat-05

3. Berpikir Secara Konseptual :

• Berpikir melampaui (melewati) hal-hal yang tertangkap oleh indera manusia


• Misal : Tidak mungkin rel kereta api itu berimpit diujung sana! Konsep
“kesejajaran” telah mengalahkan tipuan pandangan mata manusia4) Berpikir
Secara Koheren dan Konsisten :

• Berpikir secara runtut, tidak meloncat-loncat, tidak saling kontradiksi •


Berpikir secara logis (koheren) dan berkait (konsisten)5) Berpikir Secara Bebas
:

• Berpikir tidak dibawah tekanan, tidak dibawah prasangka sosial atau politik

• Memegang teguh otonomi keilmuan

• Socrates memilih minum racun untuk mempertahankan keyakinannya dan


kebebasannya berpikir, tidak mau pikiran-pikirannya ditekan Ilmu dan filsafat-
06

7. Dimensi Ilmu Pengetahuan

A. Dimensi Fenomenal Ilmu menampakkan diri sebagai :

1. Masyarakat, yaitu suatu masyarakat elit yang dalam kesehariannya perduli dan terlibat
pada kaidah-kaidah universalisme, dis-interesedness, dan meragukan atau
mempertanyakan segala sesuatu secara terarah dan teratur

2. Proses, tercermin dalam kegiatan masyarakat elit melalui refleksi, kontemplasi,


imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, tanpa mengenal titik henti dalam
mencari kebenaran ilmiah

3. Produk, yaitu hasil aktifitas keilmuan yang berupa dalil- dalil, teori-teori, paradigma-
paradigma beserta penerapannya, baik yang berupa fisik maupun non-fisik

B. Dimensi Struktural Ilmu tersusun atas komponen-komponen sbb:

1. Obyek sasaran yang ingin diketahui


2. Adanya pertanyaan-pertanyaan tanpa mengenal titik henti terhadap obyek sasaran

3. Adanya alasan-alasan, sarana, dan metode tertentu

4. Temuan-temuan disusun dalam suatu sistem Ilmu dan filsafat-07

8. Definisi Ilmu

• Ilmu adalah kumpulan pengetahuan (tidak boleh dibalik : kumpulan pengetahuan adalah
ilmu

• Kumpulan pengetahuan dapat disebut ilmu apabila memenuhi syarat obyek material dan
obyek forma

• Obyek Material ( subject matter ) atau Pokok Persoalan :

 mencakup hal-hal yang konkrit (manusia, tumbuhan, binatang, bangunan, dsb)


 mencakup hal-hal yang abstrak (ide, ni;ai-nilai, kerohanian, kebudayaan,
pandangan hidup, dsb)

• Obyek Formal :

 cara atau sudut pandang terhadap obyek material


 obyek formal ilmu akan membedakannya dengan ilmu- ilmu lain
 obyek formal ilmu memberikan syarat-syarat dan metode kerja yang spesifik
 misal: “manusia” dapat ditinjau dari berbagai macam obyek formal (kedokteran,
sosiologi, anthropologi, psikologi, dsb)
 setiap bidang ilmu memiliki cara kerja dan metode tertentu = otoritas/otonomi
keilmuan (wewenang untuk mengembangkan ilmu tanpa campur tangan pihak
lain) Ilmu dan filsafat-09
Hubungan Filsafat dan Ilmu

Hubungan Ilmu dengan Filsafat pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah
filsafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Dan filsafat merupakan
induk dari segala ilmu karena berbicara tentang abstraksi/sebuah yang ideal.

Filsafat tidak terbatas, sedangkan ilmu terbatas sehingga ilmu menarik bagian filsafat
agar bisa dimengerti oleh manusia.

Filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam
suatu pandangan hidup dan pandangan dunia yang terstu padukan, komprehensip
(tidak ada sesuatu bidang yang berada di luar bidang filsafat) dan konsisten uraian
kefilsafatan tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berkontardiksi).

Pada hakikatnya filsafat dan ilmu saling terkait satu sama lain, keduanya tumbuh dari
sikap refleksi, ingin tahu, dan dilandasi kecintaan pada kebenaran. Filsafat dengan
metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu, sedangkan ilmu
tidak mampu mempertanyakan asumsi, kebenaran, metode, dan keabsahannya sendiri.
Ilmu merupakan masalah yang hidup bagi filsafat dan membekali filsafat dengan
bahan-bahan deskriptif dan faktual yang sangat perlu untuk membangun filsafat.
Filsafat dapat memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang dibutuhkan. Filsafat
adalah meta ilmu, refleksinya mendorong peninjauan kembali ide-ide dan interpretasi
baik dari ilmu maupun bidang-bidang lain.

Ilmu merupakan konkritisasi dari filsafat. Filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu
ilmu, yaitu ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat memiliki objek dan metode yang khas
dan bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksi, integral,
radikal, logis, sistematis, dan universal (kesemestaan).

Sebagai fenomena ilmu filsafat dapat dilihat dari tema besarnya, yaitu, ontologi
(Definisi, pengertian, konsep, mengkaji keberadaan sesuatu, membahas tentang ada,
yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual, transendental, atau pun metafisis),
epistemologi (Substansi, membahas pengetahuan yang akan dimiliki manusia apabila
manusia itu membutuhkannya), dan aksiologi (manfaat, membahas kaidah norma dan
nilai yang ada pada manusia).

A. Dasar-Dasar Filsafat Ilmu

Menurut Suriasumantri (1996), paling tidak ada empat hal yang berkaitan dengan kajian tentang
dasar-dasar filsafat ilmu, antara lain: penalaran, logika, sumber pengetahuan; dan kriteria
kebenaran. Berikut ini akan dijelaskan keempat hal tersebut

1. Penalaran
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir (homo
thinking), makhluk yang mampu membangun atau mengembangkan potensi rasa dan karsa
(emosional quition); dan makhluk yang mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan
(spiritual quation) (Muthahhari, M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Jadi, manusia adalah makhluk ‘multi
dimensional’, dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas bagi manusia dalam
mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi tersebut, menyebabkan
manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau kebudayaan yang kompleks
menuju keunggulan hidup (civilization).

Diantara bagian terpenting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan adalah ‘kemampuan
manusia untuk menalar’. Dari kemampuan menalar itulah manusia dapat: (a) mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi secara maksimal; (b) memilih dan membedakan sesuatu itu
benar atau salah, sesuatu itu baik atau tidak baik; (c) memilih beragam alternatif pilihan jalan
hidup yang benar atau tidak benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat; dan (d) terus melakukan
inovasi diberbagai bidang kehidupan dengan pola perubahan yang bersifat progress of change
(Ankersmit. 1987; Sztompka, P. 1993).

Para ahli filsafat ilmu berpandangan, bahwa diantara faktor kunci manusia mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan adalah ditentukan oleh dua faktor kunci, yaitu: (1) manusia
mempunyai kemampuan dalam mengembangkan bahasa, dan dengan bahasa tersebut manusia
mampu mengkomunikasikan secara efektif jalan pikiran atau kerangka pikir serta segala
penemuan dari produk pikirannya kepada orang lain; dan (2) manusia mampu mengembangkan
kemampuan berpikir secara rasional, logis, dan sistematis. Kemampuan berpikir berdasarkan
kaidah-kaidah tertentu (misalnya rasional, logis dan sistematis) itulah sering disebut ‘penalaran’
(Tim Dosen Filsafat. 2002).Menurut Suriasumantri (1996), penalaran adalah: (a) merupakan
kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran; dan (b)
proses penemuan kebenaran tersebut antara individu satu dengan yang lain berbeda-beda
tergantung pendekatan berpikirnya, atau tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria
kebenarannya masing-masing. Berdasarkan pengertian tersebut maka hakikat penalaran
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat
disebut logika. Atau kegiatan penalaran merupakan suatu ‘proses berpikir logis’. Berpikir logis
adalah kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu (misalnya: logika
deduktif atau logika induktif); (2) sifat penalaran adalah analitik dari proses berpikirnya, artinya,
penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan
demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula.

Menurut para ahli filsafat ilmu pengetahuan, bahwa sejatinya ‘tidak semua kegiatan berpikir
(penalaran) manusia mendasarkan pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif)’. Ada juga
kegiatan berpikir manusia berdasarkan: (a) perasaan, emosi yang sering disebut ‘intuisi’.
Kegiatan berpikir secara intuisi sering disebut berpikir secara nonanalitik; dan (b) ‘wahyu’, atau
firman Tuhan dalam proses ibadah atau kegiatan-kegiatan sosial-budaya sehari-hari. Jadi,
berdasarkan ‘hakikat proses usaha’ manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka
pengetahuan yang berkembang di masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a)
pengetahuan sebagai hasil produk pikiran analitik dan nonanalitik manusia; dan (b) pengetahuan
sebagai pemberian ‘wahyu’ dari Tuhan. Hal ini sering disebut ‘pengetahuan agama’
(Suriasumantri, 1998; Hanafi, H., 2004).

1. Logika

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ketiga dan keempat, bahwa pengertian logika
adalah ‘cabang filsafat ilmu yang melakukan kajian tentang cara berpikir sahih (valid), runtut,
dan benar berdasarkan kaidah-kaidah atau hukum-hukum tertentu’ (Copi, I.M. 1978; The Liang
Gie, dkk. 1979; Soekadijo, R.G. 1983). Secara umum ada dua macam logika, yaitu: (1) logika
formal atau logika deduktif, yaitu ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan
yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian
diturunkan dari pangkal pikiran’. Atau ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hukum-
hukum dalam berpikir, hukum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berpikirnya benar dan
mencapai kebenaran’ (Sudiarja, dkk., 2006); dan (2) logika material atau logika induktif, yaitu
‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus
sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi’. Atau logika induktif atau logika
material juga sering disebut ‘metode-metode Ilmiah’ (Bakry, N. 1995; Salam, B. 1997).
Logika dedukif, merupakan kegiatan berpikir dengan kerangka pikir dari pernyataan yang
bersifat umum ditarik kearah kesimpulan yang lebih bersifat khusus, atau penarikan kesimpulan
dari dalil atau hukum menuju contoh-contoh. Penarikan kesimpulan dari logika formal biasanya
menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme secara umum disusun dari dua
buah hal, yaitu: (a) term atau pernyataan, berupa pernyataan pertama yang menjadi subjek (S)
dan pernyataan kedua menjadi predikat (P); dan (b) sebuah kesimpulan (K). Contoh: (a) – Semua
binatang karnifora adalah pemakan daging (premis mayor) (S); – Harimau adalah binatang
karnifora (premis minor) (P); – Jadi, Harimau binatang pemakan daging (kesimpulan) (K); (b) –
Semua manusia adalah makhluk yang mengenal kematian (premis mayor) (S); – Sementara
makhluk rasional adalah manusia (premis minor) (P); Jadi, sementara makhluk rasional adalah
makhluk yang mengenal mati (kesimpulan) (K). Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
menyusun silogisme itu harus memuat tiga hal, yaitu: term atau pernyataan pertama sebagai
subjek (S); pernyataan (term) kedua sebagai predikat (P) dan ketiga adalah kesimpulan (K). Pada
hakikatnya kedua pandangan tersebut adalah sama, baik yang mengatakan silogisme itu terdiri
dari dua atau tiga unsur. Uraian tentang silogisme dan beragam macamnya telah dijelaskan pada
bab III di atas (mohon diperiksa kembali).

Logika induktif, merupakan cara berpikir untuk menarik kesimpulan dari kasus khusus atau
contoh menuju kasus umum atau dalil atau hukum atau kesimpulan umum. Orientasi filosofis
dari logika induktif adalah lebih mengarah ke aliran empirisme, sedangkan orientasi filosofis dari
logika deduktif adalah lebih ke arah aliran rasionalisme atau positivisme. Contoh logika induktif
antara lain: – Kucing adalah binatang pemakan daging (karnifora); – Hiramau adalah binatang
pemakan daging (karnifora); Serigala adalah binatang pemakan daging (karnifora); Jadi, Kucing,
Harimau dan Serigala adalah binatang karnifora.

1. Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah

Diantara salah satu predikat manusia yang penting adalah sebagai homo symbolicum (makhluk
simbolik). Oleh karena itu manusia merupakan makhluk yang paling multiaspek, multidimensi
dalam menggunakan simbol-simbol dalam bentuk beragam bahasa, dan bahkan bahasa menjadi
aspek yang paling sentral dalam proses-proses sosial di masyarakat. Bahasa dapat dicirikan
sebagai: (a) serangkaian bunyi (bahasa verbal); dan (b) bahasa merupakan lambang dimana
rangkaian bunyi itu membentuk suatu arti tertentu.

Berikut ini beberapa konsep penting tentang keberadaan bahasa dalam proses kehidupan
manusia, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan sehari-hari antara lain:

1. Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek yang faktual
ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Simbol bahasa yang
bersifat abstrak tersebut memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut dari
generasi ke generasi.
2. Setiap bahasa yang dijadikan sebagai media komunikasi mengandung dua aspek, yaitu: aspek
informatif (informasi tentang segala sesuatu), dan aspek imotif (mengandung perasaan dari para
individu yang berinteraksi). Oleh karena itu sejatinya bahasa yang dijadikan sebagai alat
komunikasi mengadung tiga unsur, yaitu: buah pikiran individu; cerminan perasaan individu; dan
sikap atau tindakan individu yang berinteraksi. Jadi, dengan bahasa manusia tidak hanya bisa
berpikir, tetapi dapat juga untuk mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan, dia rasakan
kepada orang lain.
3. Bahasa membuat manusia mampu hidup dalam proses pengalaman demi pengalaman empirik,
kemudian merekamnya dengan sistematis, logis, dan mampu berada pada dunia pengalaman
simbolik yang dinyatakan dalam bahasa. Dengan bahasa manusia mampu memberi arti atau
makna pada kehidupannya, arti atau makna yang terpatri dalam dunia simbolik yang diwujudkan
melalui kata-kata yang diucapkan dalam proses interaksi dan komunikasi.
4. Dengan bahasa manusia mampu menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam pikiran
dan alam nyata sehari-hari dalam berbagai teori, seperti elektronik, termodinamik, relativitas dan
quantum. Pada hakikatnya tidak ada aspek atau sendi kehidupan manusia yang tidak
berhubungan dengan bahasa, karena manusia berpikir melalui bahasa, dan melakukan aktivitas
sosial juga menggunakan sarana bahasa, serta berkomunikasi dengan sesamanya dan Tuhannya
juga dengan bahasa.
5. Para filosof mengatakan, ‘bahasa merupakan modus operandi dari cara manusia berada di
dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini’.
Manusia tidak akan pernah bisa berbuat apa-apa di dunia ini tanpa menggunakan bahasa. Bahasa
sebagai alat atau sarana utama dalam membangun peradaban (civilization) hidup. Dengan bahasa
manusia akan mampu menemukan jati dirinya, dan dengan bahasa manusia juga mampu
mengembangkan penelitian ilmiah (scientific research) secara berkelanjutan.
6. Bahasa merupakan abstraksi dari suatu budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Apabila
manusia ingin mengkaji atau meneliti suatu karya budaya masyarakat atau bangsa tertentu,
dipastikan dia tidak akan bisa apabila tidak memahami bahasa yang dimiliki oleh masyarakat
atau bangsa yang ditelitinya. Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu
dalam hidup ini menjadi jelas untuk dipahami manusia.
7. Dengan bahasa manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, melalui kegiatan atau
komunikasi ilmiah. Agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik, maka bahasa yang
dipergunakan harus bebas dari unsur-unsur imotif, ideologis dan kepentingan subjektivistik. Jadi,
komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif yang bersifat objektif (Suriasumantri, J.S.,1996;
Sumaryono, 1999). Meskipun dalam studi ilmu sosial, psikhologi atau kebudayaan sebagian ahli
mengatakan sulit dicapai derajat objektivis, peneliti sosial-budaya tetap dituntut untuk secara
jujur mengkomunikasikan atau menjelaskan dengan bahasa yang jelas, logis tentang proses
analisis data dalam penelitian ilmiahnya.

Uraian tersebut di atas menyimpulkan, bahwa: (a) manusia tidak akan mampu bertahan dalam
hidup tanpa bahasa, karena seluruh proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia di masyarakat
sejatinya tidak lepas dari peran dan fungsi bahasa; (b) manusia bisa berpikir dengan baik karena
bahasa; manusia berbicara dengan orang lain tentang segala sesuatu dalam hidup dengan bahasa;
dan manusia mengerti tentang sesuatu kemudian menginterpretasi serta mengambil kesimpulan
tentang sesuatu juga dengan bahasa; (c) manusia mewariskan dan melestarikan nilai-nilai budaya
kepada generasi berikutnya juga dengan bahasa; dan (d) manusia mengembangkan segala ilmu
pengetahuan-teknologi dalam hidup juga dengan bahasa.

1. Logika, matematika dan statistik

Suatu penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif.
Menurut Wittgenstein dalam Suriasumantri (1996), bahwa matematika pada dasarnya merupakan
hasil dari metode berpikir logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi
logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam
perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika. Jadi, matematika adalah ‘masa
kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika’. Oleh karena itu hubungan
logika dan matematika adalah sangat erat, keduanya sulit dipisahkan, bagaikan dua sisi dalam
satu keping mata uang.

Metematika sebagai bahasa, mengandung arti matematika adalah: (a) bahasa yang
melambangkan makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan, Lambang-lambang
matematika bersifat ‘artifisial’, yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna atau pengertian
diberikan kepadanya; dan (b) bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk
dan emosional dari bahasa verbal.

Sifat kuantitatif dari matematika mempunyai makna bahwa: (a) matematika mengembangkan
bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif; (b)
sifat kuantitatif dari matematika akan meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu pada hakikatnya semua ilmu pengetahuan baik ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu
humaniora adalah membutuhkan matematika, hanya saja tingkatan peran matematika dalam
ilmu-ilmu alam berbeda dengan ilmu-ilmu sosial atau ilmu humaniora; dan (c) matematika
merupakan sarana berpikir deduktif (formal), dan semua ilmu pengetahuan memerlukan
kerangka berpikir deduktif.

Pada hakikatnya matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif, tetapi tidak semua ahli
filsafat sepakat dengan pandangan tersebut, misalnya Immanuel Kant berpendapat, ‘bahwa
matematika merupakan pengetahuan ‘sintetik a priori’ dimana eksistensi matematika tergantung
kepada dunia pengalaman manusia’ (Suriasumantri J.S., 1996). Terlepas dari pendapat pro kan
kontra tersebut, yang jelas matematika mempunyai manfaat yang sangat besar bagi proses
kehidupan manusia karena: (a) hampir semua persoalan kehidupan memerlukan pemecahan
masalah dengan angka karena hampir semua aspek kehidupan tidak lepas dari jaringan angka-
angka; (b) hampir semua persoalan kehidupan membutuhkan penyelesaian secara objektif atau
kuantitatif; dan (c) dengan kehidupan yang ditandai oleh kemajuan Iptek dewasa ini, tidak ada
proses pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak bersentuhan sama sekali dengan matematika.

Sedangkan mengenai statistik, Suriasumantri (1996) berpendapat, ‘bahwa secara hakiki statistik
mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan seperti matematika dalam
penarikan kesimpulan secara deduktif. Jadi matematika itu berpikir secara dedukti, sedangkan
statistik berpikir secara induktif. Baik matematika maupun statistik merupakan sarana analisis
secara kuantitatif. Statistik juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengetahui
apakah suatu hubungan kausalitas antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang
benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris.

Karakteristik berpikir induktif (statistik) antara lain: (a) dasar teori statistik adalah teori peluang,
oleh karena itu statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk menarik
kesimpulan secara induktif. Jadi, statistik adalah salah satu cara menarik kesimpulan induktif
secara valid (sahih); (b) statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk
menghitung tingkat peluang secara eksak (objektif). Sedangkan menurut bidang pengkajiannya,
statistik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu, statistik teoritis dan statistik terapan; dan (c)
penarikan kesimpulan secara induktif (statistik) menghadapkan manusia kepada sebuah
permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus diamati sampai kepada suatu kesimpulan
(dalil atau teori). Jadi, hubungan antara logika, matematika dan statistik adalah sangat erat. Ada
dua macam logika, yaitu logika formal (deduktf) dan logika meterial (induktif), matematika
merupakan cara berpikir dengan kaidah logika deduktif (logika formal), sedangkan statistik
adalah dengan kaidah logika induktif (logika material).

Menurut para ahli ada perbedaan pengertian antara istilah ‘statistik’ dengan ‘statistika’. Statistik
banyak diartikan lebih sebagai alat pengolah data angka, dalam hal ini berarti statistik berfungsi
sebagai alat bantu dalam proses analisis data dalam penelitian ilmiah. Sedangkan statistika
adalah cabang ilmu yang mengamati dan atau mengembangkan cara-cara mengolah data angka.
Jadi, statistik adalah produk dari kerja statistika, atau statistika adalah penghasil statistik
(Nurgiyantoro, dkk., 2002). Diantara fungsi atau kegunaan statistik sebagai alat bantu dalam
melakukan analisis data penelitian ilmiah antara lain dapat: (a) memperoleh gambaran secara
khusus atau umum tentang sesuatu gejala, keadaan dan peristiwa tertentu; (b) melakukan
pengujian, apakah gejala yang satu berbeda dengan gejala yang lain atau tidak berbeda. Jika ada
perbedaan apakah perbedaan itu meyakinkan atau hanya karena kebetulan; (c) mengetahui
hubungan antar gejala dan menyusun laporan berupa data kuantitatif secara teratur, ringkas dan
jelas serta sahih (valid); dan (d) menarik kesimpulan secara logis, tepat dan benar, serta dapat
meramalkan atau memprediksi fenomena (gejala) yang mungkin akan terjadi di masa depan.

1. Sumber pengetahuan

Uraian tentang sumber pengetahuan telah disinggung secara sekilas pada pembahasan di muka.
Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci tentang sumber pengetahuan. Perlu dipahami bahwa,
manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya
dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau
kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia dewasa ini
adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena tidak ada aspek atau
bagian dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi, terlebih di era modern atau post medern dewasa ini. Suatu masyarakat atau bangsa
yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi akan mampu menguasai berbagai aspek
kehidupan dan mampu mempengaruhi bangsa lain yang tidak menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di
masyarakat tidak bisa lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
merupakan produk sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Dengan ilmu pengetahuan yang
dimiliki, manusia selalu ingin mencari kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan
perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak
puas terhadap karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau
pembaharuan kehidupan (Sztompka, P., 1993), dan sejatinya inti kualitas kehidupan manusia
adalah terletak pada kemampuan dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk
melakukan perubahan demi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari kebenaran,
sebenarnya sumber pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengetahuan yang
didapat atau bersumber dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui penalaran ilmiah (analitik)
maupun melalui perasaan intuisi (nonanalitik); dan (2) pengetahuan yang didapat atau bersumber
bukan dari usaha manusia, yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan para Nabi atau
Rasul. Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan
penalaran induktif. Penalaran deduktif berorientasi pada pandangan positivisme atau
rasionalisme, sedangkan penalaran induktif berorientasi pada pandangan konstruktivisme atau
empirisme (Kattsoff, L.O., 1996). Penalaran deduktif adalah berpijak dari teori atau dalil ke
contoh, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh ke teori atau dalil.

Menurut para ahli ada beberapa cara yang dapat ditempuh manusia dalam memperoleh sumber
pengetahuan, yaitu: (1) cara tradisi (tenacity), yaitu gigih dalam memegang sesuatu yang
dianggap benar oleh tradisi atau yang telah diwariskan oleh leluhur bahwa sesuatu itu benar, dan
generasi berikutnya menerima apa adanya tanpa membangun sikap kritis terhadap tradisi
tersebut; (2) cara otoritas atau kewenangan, artinya seseorang bisa memperoleh pengetahuan
baru dengan bertanya kepada individu-individu yang memiliki otoritas atau kekuasaan di
masyarakat, misalnya, tokoh masyarakat atau pemerintahan, tokoh agama, ilmuwan, tokoh
budaya, guru, dosen, dan sebagainya; (3) cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau
kelompok. Cara seperti ini biasanya tanpa bimbingan, oleh karena itu cara seperti ini sering
disebut trial and error (coba dan salah dan mencoba lagi); (4) cara logika deduktif dan induktif.
Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu dari prinsip, teori ke contoh atau
dari dalil ke contoh. Sedangkan logika induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu dari
contoh ke dalil atau dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum; dan (5) cara atau metode ilmu
pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah atau melalui penelitian ilmiah. (Kerlinger, 2002;
Sukardi, 2004).

Prosedur kerja pada cara logika deduktif dan logika induktif, dan prosedur kerja metode ilmiah
tersebut sangat berbeda dengan empat cara sebelumnya (cara: tenacity, otoritas, trial and error).
Cara atau metode ilmiah (penelitian ilmiah) apabila dibandingkan dengan metode-metode
lainnya adalah lebih bisa dipertanggung jawabkan. Metode ilmiah sangat penting bukan saja
dalam proses penemuan pengetahuan ilmiah tetapi juga dalam mengkomunikasikan penemuan
ilmiah kepada masyarakat ilmuwan melalui penelitian ilmiah. Menurut Horton and Hunt (1984),
ada delapan langkah (prosedur) yang harus dilakukan dalam proses penelitian ilmiah (scientific
research) untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan, yaitu: (a) merumuskan
permasalahan (define the problem); (b) meninjau kepustakaan (review the literature) atau kajian
teori; (c) merumuskan hipotesis (formulate the hypotheses); (d) merencanakan desain riset (plan
the research design); (e) mengumpulkan data (collect the data); (f) menganalisis data (analyze
the data); (g) menarik kesimpulan (draw conclusions); dan (h) mengulangi penelaahan (replicate
the study).

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam usahanya untuk mencari atau
memperoleh sumber pengetahuan hakikatnya adalah merupakan perpaduan dari prosedur empiris
(faham empirisme) dan prosedur rasional (faham rasionalisme). Kerangka dasar atau prosedur
ilmiah dalam mencari ilmu pengetahuan paling tidak melalui enam langkah, yaitu: (1) sadar akan
adanya masalah dan perumusan masalah; (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan;
(3) penyusunan dan klasifikasi data; (4) perumusan hipotesis; (5) deduksi dan hipotesis; (6) tes
dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis (Suriasumantri, J.S., 1996). Enam langkah
tersebut lebih berorientasi pada prosedur mencari ilmu pengetahuan menurut pandangan
positivisme atau paradigma objektivisme dengan desain research quantitative.

Dalam memahami hakikat ilmu pengetahuan sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua
dimensi, yaitu: Pertama, dalam dimensi fenomenanya, dalam hal ini ilmu pengetahuan
menampakkan pada realita sebagai berikut: (1) masyarakat, yaitu suatu masyarakat elit yang
dalam hidup kesehariannya sangat konsen pada kaidah-kaidah universalisme, komunalisme,
disinterestedness, dan skeptisisme yang terarah dan teratur; (2) proses, yaitu pola aktivitas
masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimental,
komparasi, yang tidak pernah berhenti untuk menemukan kebenaran ilmiah; dan (3) produk,
yaitu hasil dari aktivitas berupa dalil-dalil, teori dan paradigma beserta hasil penerapannya baik
berupa fenomena sosial atau alam. Suatu ilmu pengetahuan (science) pada dasarnya mempunyai
suatu sistem, dan masing-masing unsur dalam sistem adalah saling berhubungan. Sedangkan
komponen utama dari sistem ilmu pengetahuan (science) adalah: (1) perumusan masalah; (2)
pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4) ramalan
(prediksi) dan kontrol. Setiap komponen tersebut mempunyai metode tersendiri (Suriasumantri,
J.S, 1996).

Kedua, dalam dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponen-
komponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus menerus
dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara
tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4) temuan yang diperoleh
tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002).

1. Kriteria kebenaran

Pada bab IV telah disinggung tentang pengertian benar dan pengertian salah. Penjelasan benar
dan salah dalam bab IV lebih menekankan pada ‘benar dan salah dalam perspektif logika’,
artinya lebih menekankan pada struktur logik, atau struktur penalaran yang logis, atau struktur
bahasa yang digunakan dalam penalaran logis. Sedangkan pada bab V ini, makna kebenaran
lebih menekankan pada aspek filosofis atau pandangan (isme) atau sudut pandang teoritik. Jadi,
makna kebenaran pada bab IV adalah kebenaran dalam perspektif logika, sedangkan pada bab ini
makna kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu (teoritik).

Dalam studi filsafat ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’, atau sesuatu itu dikatakan
‘benar’ atau ‘salah’ sangat tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan
pijakannya. Perbincangan tentang beragam ukuran ‘hakikat kebenaran’ sudah dimulai sejak
jaman Plato sampai sekarang. Menurut para ahli, ada tujuh ‘Teori Kebenaran’ yang paralel
dengan teori pengetahuan yang dibangunnya, antara lain:

1. Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang
paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini menganggap bawa
‘suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling
kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya’, atau kebenaran adalah ‘A
belief is called true if it agrees with a fact’. Jadi, sesuatu itu dianggap benar apabila sesuatu itu
sesuai dengan realitas atau praktik-praktik kehidupan sehari-hari atau fakta-fakta yang terjadi di
lapangan, demikian juga sebaliknya, sesuatu itu dianggap tidak benar jika tidak ada bukti atau
fakta-fakta yang mendukung keberadaan sesuatu itu.
2. Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu
pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah ‘bila suatu proposisi itu mempunyai
hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar’. Jadi, kebenaran dari
pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau melalui pembuktian logis
atau matematis, atau suatu ‘prinsip baru’ tentang fenomena tertentu dianggap benar jika ‘prinsip
baru’ tersebut sesuai dengan teori, dalil, proposisi sebelumnya.

Kedua teori tersebut (koherensi dan korespondensi), keduanya dipergunakan dalam cara berpikir
ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori
koherensi, sedangkan proses pembuktian secara empiris (pengalaman nyata sehari-hari) dalam
bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tertentu mempergunakan teori
kebenaran korespondensi.

1. Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suatu
pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah ‘bila proposisi itu
mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang terdapat
secara inheren dalam pernyataan itu sendiri’, maka menurut teori ini, tidak ada kebenaran
mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta dapat
dikoreksi oleh pengamalan-pengalaman baru berikutnya. Kebenaran pragmatis sangat tergantung
oleh kondisi tempat dan waktunya (space and time), oleh karena itu menurut teori kebenaran
pragmatis adalah ‘hakikat kebenaran itu bersifat relatif atau nisbi’. Jadi, Kebenaran pragmatis,
yaitu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional (berguna) bagi kehidupan praktis atau kehidupan sehari-hari dalam suatu kehidupan
kelompok.
2. Teori Kebenaran Sintaksis. Teori ini berkembang diantara para filosof analisa bahasa, seperti
Friederich Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’ atau ‘suatu proposisi apabila tidak
mengikuti syarat dari hal yang disyaratkan dalam menyusun proposisi yang benar maka proposisi
itu tidak mempunyai arti atau dianggap tidak benar’.
3. Teori kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran semantik (semantis), suatu proposisi
memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya
pengacu (referent) yang jelas?. Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau
kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.
4. Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat
fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai
benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat
praktis dalam kehidupan sehari-hari).
5. Teori Kebenaran Logik, yang berlebihan (Logical superfluity Theory of truth). Teori ini
dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya
merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena
pada dasarnya apa—pernyataan—yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik
yang sama yang masing-masing saling melingkupinya (Suriasumantri, J.S., 1996; Team Dosen
Filsafat UGM, 2002).

Uraian di atas menunjukkan tentang ‘makna kebenaran’ menurut sudut pandang ‘teori-teori
kebenaran’. Jadi, suatu pernyataan atau proposisi itu dianggap benar, antara teori satu dengan
teori lain mempunyai kriteria yang tidak sama. Demikian juga makna ‘hakikat kebenaran’ dari
segala sesuatu dalam hidup ini menurut ‘aliran’aliran filsafat’ mempunyai makna yang beragam.
Misalnya: (a) hakikat makna kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran positivisme akan
berbeda sekali apabila dibandingkan dengan menurut aliran idealisme; dan (b) hakikat makna
kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran materialisme akan berbeda sekali jika
dibandingkan dengan menurut aliran teologisme, dan sebagainya (lihat kembali pembahasan di
bab pertama).

B. Hakikat Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, suatu ilmu pengetahuan (science) pada dasarnya
mempunyai suatu sistem, dan masing-masing unsur dalam sistem adalah saling berhubungan.
Sedangkan komponen utama dari sistem ilmu pengetahuan (science) adalah: (1) perumusan
masalah; (2) pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4)
ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap kompoten tersebut mempunyai metode tersendiri
(Suriasumantri, J.S, 1994). Dalam dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun
atas komponen-komponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut
terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan sarana
dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4) temuan yang
diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem (Tim Dosen Filsafat
Ilmu, 2002; Kerlinger, 2002).

Semua ilmu pengetahuan (science) itu pada dasarnya memiliki tiga landasan utama atau landasan
filosofis, yaitu: Ontologi (membahas tentang hakikat objek yang dikaji); Epistemologi
(membahas secara mendalam proses atau metode dan prosedur dalam memperoleh ilmu
pengetahuan); Aksiologi (membahas tentang manfaat yang diperoleh dari pengetahuan bagi
kehidupan manusia). Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan satu dengan ilmu
pengetahuan yang lain dapat dilihat dari: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. (Suriasumantri,
1996). Secara khusus ketiga landasan ilmu tersebut akan dibahas dalam uraian berikutnya.

Menurut para ahli, tujuan ilmu pengetahuan (science) meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu
menjelaskan fenomena-fenomena kehidupan, baik fenomena sosial atau alam secara sistematis,
objektif, logis atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman,
prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian. (Kerlinger, F., 2002); dan (3) untuk
memahami fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa
seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian ilmiah.

Sedangkan mengenai klasifikasi ilmu pengetahuan. Menurut Driyarkara, dalam Sudiarja, dkk
(2006) dijelaskan, bahwa pembagian ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari beberapa segi, antara
lain:

1. Menurut tujuannya, maka ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua yaitu: pure science (ilmu
murni); dan apllied science (ilmu terapan). Pure science, adalah hanya ingin mengerti keberadaan
yang sebenarnya saja, dan pertama-tama tidak diusahakan untuk dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Sedangkan apllied science, adalah ilmu yang diterapkan, dipergunakan, dan langsung
ditunjukkan kepada pemakaian pengetahuan itu. Jadi, apllied science menentukan bagaimana
orang harus berbuat sesuatu, bagaimana cara manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Pure science dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) monotetis, yaitu menetapkan hukum-hukum yang
universal, mempelajari objeknya dalam keabstrakannya, dan mencoba menemukan unsur-unsur
yang selalu terdapat kembali dalam segala pernyataannya yang kongkret, kapan dan dimana saja.
Contoh, ilmu murni monotetis adalah: ilmu alam, sosiologi, kimia, ilmu hayat; (b) ideografis
(melukis), yaitu mempelajari objeknya dalam kongkretnya, menurut tempat dan waktu tertentu
dengan sifat-sifatnya yang menyendiri. Contoh, ilmu murni ideografis adalah: sejarah, etnografi,
sosiografi.

Apllied science, dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) normatif, yaitu ilmu yang menjelaskan
bagaimana manusia harus berbuat, atau ilmu yang membebankan beragam kewajiban dan
larangan dalam proses kehidupan, baik secara individu atau kelompok. Contoh ilmu normatif
adalah pelajaran etika atau moral atau kesusilaan; (b) positif, yaitu ilmu yang menjelaskan
bagaimana manusia harus mengerjakan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Contohnya, pertanian, teknik atau
pertukangan, kedokteran, akuntasi.

1. Menurut objeknya, maka ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) universal
(umum); dan (b) khusus. Ilmu pengetahuan umum (universal) adalah ilmu yang objek kajiannya
menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, misalnya: Teologi, Agama dan Filsafat. Objek
kajian teologi (agama) dan filsafat adalah menyangkut hakikat segala sesuatu dalam hidup.
Sedangkan ilmu pengetahuan khusus, yaitu ilmu yang objek kajiannya hanya menyangkut bidang
kajian tertentu (objeknya terbatas), inilah yang biasanya disebut ‘ilmu pengetahuan’, yang
meliputi: (a) ilmu-ilmu alam (natural sciences), misalnya: ilmu alam, fisika, kimia, biologi; (b)
ilmu pasti (mathematics), misalnya ilmu pasti, ukur, hitung, aljabar; (c) ilmu-ilmu psikologi,
sosial dan budaya, misalnya: ilmu jiwa, sejarah, sosiologi, antropologi, komunikasi, politik,
hukum pendidikan, ekonomi, ilmu bahasa dan sebagainya. Masing-masing disiplin ilmu
pengetahuan tersebut mempunyai fokus kajian atau objek kajian yang tidak sama.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa konsep penting yang dapat diambil kesimpulan tentang
hakikat ilmu pengetahuan (science) antara lain:

1. Science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak
dimulai dari kepastian absolut seperti dalam ajaran agama.
2. Science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat gaib, melainkan berkaitan dengan
data-data empirik atau nyata.
3. Penjelasan science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena
hidup, baik sosial-budaya maupun alam yang bersifat empirik atau fenomena empirik.
4. Kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil
penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte dalam Wibisono, K., (1983),
bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu
dari tahap teologis (fiktif), kemudian berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke
tahap positif. Pada tahap positif inilah berkembangnya ilmu pengetahuan.
5. Kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi
siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada
(Kuhn, T., 1970), melalui penelitian terbaru yang menghasilkan teori baru.
6. Kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman
dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya (Keraf.S dan Dua, M.,2001).
Oleh karena itu proses research yang berorientasi filosofis positivisme akan cenderung
menghasilkan kesimpuan yang berbeda dengan research yang berorientasi filosofis idealisme.

C. Hakikat Ontologi Ilmu

Hakikat ontologi ilmu, adalah ‘hakikat apa yang dipelajari oleh suatu ilmu, atau hakikat objek
kajian dari suatu ilmu’, oleh karena itu bentuk-bentuk pertanyaan ontologis ilmu pengetahuan
adalah: Hakikat apa (objek apa) yang dikaji?; bagaimana wujud yang hakiki dari objek ilmu
tersebut?; dan bagaimana hubungan antar objek–objek suatu ilmu tersebut? dan sejenisnya
(Suriasumantri, J.S.,1996). Ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam mengkaji
tentang ontologi (hakikat apa yang dikaji) dalam ilmu, antara lain: metafisika; asumsi; peluang;
keterbatasan science; dan keterpaduan science-religious suatu keniscayaan.

1. Metafisika

Menurut Aristoteles, metafisika merupakan cabang ilmu filsafat teoritis yang membahas tentang
‘masalah hakikat segala sesuatu’, sehingga metafisika oleh para ahli dianggap sebagai ‘inti dari
filsafat’. Persoalan metafisika merupakan sesuatu yang paling mendasar (fundamental) dalam
proses kehidupan manusia (Langeved, 1961; Drijarkoro, 1977). Cabang-cabang metafisika
sebagai inti dari ilmu filsafat menurut Kattsoff (1996) adalah: (a) Ontologi (membicarakan
tentang: ‘ada’, ‘eksistensi’, ‘substansi’, ‘realita’, atau hakikat ada); dan (b) Kosmologi
(membicarakan tentang: ‘ruang’, ‘waktu’, ‘gerakan’).

Metafisika adalah ‘landasan dan pijakan’ berpikir setiap pemikiran filsafat. Dunia yang kelihatan
nyata ini ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang ‘hakikat apa atau hakikat
kenyataan’. Apakah hakikat kenyataan ini sebenarnya?. Dari pertanyaan tersebut muncullah
beberapa tafsiran metafisika untuk menjawab hakikat apa atau hakikat kenyataan kehidupan ini.

Menjawab pertanyaan metafisis tentang, apa hakikat kenyataan alam ini?, terdapat dua jawaban
atau tafsiran manusia tentang hakikat kenyataan alam, antara lain: (1) bahwa hakikat alam atau
kenyataan ini dikendalikan oleh ‘kekuatan gaib’. Alam tidak mempunyai kekuatan apa-apa, yang
punya kekuatan adalah kekuatan gaib (supra natural). Dari sini muncul keyakinan animisme,
dinamisme, politheisme, monotheisme. Paham seperti ini termasuk pandangan dari aliran
teologisme; (2) bahwa hakikat alam atau kenyataan ini dikendalikan oleh kekuatan yang terdapat
‘dalam alam itu sendiri, tidak ditentukan oleh faktor eksternal’, bukan oleh kekuatan gaib. Paham
ini disebut paham naturalisme, yang memunculkan prinsip materialisme dan eksistensialisme.

Menjawab pertanyaan metafisis tentang, apa hakikat kehidupan manusia itu?, terdapat dua
jawaban atau tafsiran manusia tentang hakikat kehidupan manusia, antara lain: (1) paham
mekanistik, mengatakan semua fenomena kehidupan (termasuk manusia dan binatang tumbuh-
tumbuhan) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata; (2) paham vitalistik, mengatakan
hakikat kehidupan adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses kimia-
fisika. Dari kajian tentang hakikat manusia, maka muncul pertanyaan apakah kebenarannya
hakikat pikiran manusia? Dari pernyataan ini muncul dua aliran, yaitu: (1) aliran monistik, yang
berpandangan bahwa: ‘tidak ada beda antara pikiran dan zat (benda); ide dan benda punya
substansi yang sama; proses berpikir dianggap aktivitas dari zat atau benda’; (2) aliran dualistik,
aliran ini kebalikan dari aliran monistik. Aliran dualistik membedakan antara zat atau benda
dengan kesadaran, jiwa (pikiran). Wujud jiwa atau pikiran merupakan mentalitas (tidak tampak),
sedangkan zat adalah benda (sangat nampak).

Jadi, paham atau aliran tersebut itulah yang dijadikan dasar dalam menjawab hakikat apa,
hakikat kenyataan atau hakikat objek ilmu. Contoh. (1) pertanyaan tentang apa hakikat kenyataan
kehidupan ini?. Dari pertanyaan ini muncullah paham: (a) teologi, yang menganggap hakikat
kenyataan kehidupan ini adalah ciptaan Tuhan dan manusia harus taat kepada Tuhan. Kekuatan
spiritual merupakan infra struktur (pondasi hidup), sedangkan semua selain spiritual adalah supra
struktur (perwujudan atau penjelmaan pondasi hidup); (b) materialisme, yang menganggap
hakikat kenyataan kehidupan ini adalah materi atau atau pemenuhan kebutuhan materi. Sesuatu
yang bukan materi adalah kosong. Materi adalah infra struktur, sedangkan jiwa adalah supra
struktur (jelmaan dari materi); (2) pertanyaan tentang apa hakikat objek suatu ilmu?. Dari
pertanyaan tersebut muncullah beragam paham, misalnya: (a) paham monistik, menurut paham
ini hakikat objek ilmu adalah zat dan ide yang tunggal; (b) paham dualistik, menurut paham ini
hakikat objek ilmu adalah zat dan benda yang menampilkan eksistensi yang berbeda.

2. Asumsi

Asumsi dalam perspektif filsafati, mengandung makna ‘anggapan dasar tentang hakikat
kehidupan’ ini. Apakah kehidupan ini bersifat deterministik?, atau apakah hakikat kehidupan ini
bersifat liberalistik?, atau apakah hakikat kehidupan ini bersifat probabilistik (kemungkinan
determistik atau liberalistik)?.

Ketiga masalah makna anggapan dasar tentang hakikat hidup tersebut, akan dijawab oleh tiga
asumsi hidup yang bersifat deterministik, atau liberalistik dan atau probabilistik, dengan
penjelasan sebagai berikut: (a) paham deterministik dikembangkan oleh William Hamilton dari
doktrin Thomas Hobbes. Konsep pokok dari paham ini menyimpulkan bahwa pengetahuan
adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Paham ini
menilai bahwa manusia ditentukan, dipengaruhi (terdeterminasi) oleh faktor eksternal, dan faktor
eksternal itu adalah ilmu pengetahuan. Jadi paham determinisme tentang hakikat ilmu adalah
‘ilmu sebagai kekuatan dalam mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan manusia’; (b) paham
liberalistik (pilihan bebas), adalah pandangan yang menempatkan manusia mempunyai
kemampuan untuk bebas memilih jalan atau langkah hidup, bebas berkehendak. Pandangan ini
memunculkan paham eksistensialisme. Menurut paham ini (liberalis) adalah ‘sangatlah tidak
benar meletakkan hakikat manusia yang bersifat khas dan individual itu di bawah kekuatan
(tirani) pengetahuan yang bersifat umum’ (seperti pandangan deterministik). Dengan
kemampuan berpikir dan menyimpan beragam pengalaman hidup serta kemampuan dalam
memprediksi gejala, manusia bebas melakukan aktivitas hidup; (c) paham probabilistik, inti
pokok dari paham ini dalam memaknai ‘anggapan dasar tentang hakikat kehidupan’ ini adalah
‘bahwa hakikat hidup manusia kemungkinan bisa deterministik dan kemungkinan bisa
liberalistik’, peluang manusia untuk menjadi salah satu (determinis atau liberalis) adalah sama
besarnya.

Menurut para ahli, selain ketiga pandangan tersebut ada satu prinsip dalam memaknai ‘anggapan
dasar tentang hakikat kehidupan’ ini yang berkaitan dengan ilmu, yang harus diperhatikan yaitu
‘hakikatnya ilmu itu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak atau kebenaran absolut’, karena hakikat kebenaran ilmu
pengetahuan itu adalah bersifat relatif dan masih memberikan peluang untuk salah dalam
memberikan angggapan dasar tentang hakikat kehidupan, atau asumsi ilmu pengetahuan masih
berpeluang salah.

Dalam mengembangkan asumsi ada dua hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu: (a) asumsi
harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian ilmu. Asumsi harus operasional dan
merupakan dasar dari pengkajian teoritis; dan (b) asumsi harus disimpulkan dari ‘keadaan
semagaimana adanya’ (merupakan telaah ilmiah), bukan dari ‘bagaimana keadaan itu seharusnya
(telaah moral). Jadi, rumusan asumsi terhadap suatu fenomena harus berdasarkan pada landasan
teori tertentu, dan sesuai dengan realitas (fakta) serta tidak didasarkan oleh pertimbangan emosi
atau pertimbangan-pertimbangan subjetivistik.

3. Peluang

Makna ‘peluang’ dalam perspektif kehidupan manusia sehari-hari sejatinya dapat dibedakan
menjadi dua yaitu: Pertama, makna ‘peluang’ yang melekat dengan ‘perjuangan atau ikhtiar’
hidup manusia. Dalam perspektif ini segala kehidupan manusia di dunia ini hakikatnya adalah
‘serba mungkin’, tergantung tingkat kualitas perjuangan dan ikhtiar manusia itu sendiri. Hakikat
keberadaan manusia dalam hidup banyak faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor kualitas
pemberdayaan potensi internal (kondisi fisik dan psikisnya, apakah bermutu atau tidak), faktor
eksternal (kondisi lingkungan alam dan sosial budayanya, apakah menunjang atau menghambat)
dan faktor supranatural (kekuatan di luar diri manusia dan lingkungan alam). Segala pola
aktivitas manusia dalam hidup sama-sama punya peluang kearah: (a) lebih dominan pada
kegagalan, penderitaan, kesengsaraan, dan kehancuran (destruktif) hidup; atau (b) lebih dominan
pada keberhasilan, kebahagiaan, kesuksesan, kemakmuran, dan peradaban (civilization) hidup.
Jadi, setiap manusia punya peluang sama untuk bisa berhasil atau gagal, dan faktor penyebab
keberhasilan atau kegagalan seseorang itu bersifat multi aspek.

Ketika manusia dalam menjalankan segala sesuatu dalam hidupnya dengan didasarkan pada
kualitas sikap mental: berpikir rasional, logis, sistematis, dan objektif; dirancang dengan baik,
dipertimbangkan aspek positif-negatifnya; dianalisis beragam data yang diperoleh melalui
pengamatan yang jeli; dan diprediksi kemungkinan ke depan yang akan terjadi dan kemudian
dievaluasi atau direfleksi, maka ‘peluang’ manusia akan lebih besar ke arah keberhasilan,
kebahagiaan, kesuksesan, kemakmuran, dan peradaban (civilization) hidup.

Demikian sebaliknya ketika manusia dalam menjalani aktivitas kehidupan dibidang apa saja
tanpa didasarkan oleh kualitas dalam hal: berpikir rasional, logis, sistematis, dan objektif;
dirancang dengan baik, dipertimbangkan aspek positif negatifnya; dianalisis beragam data yang
diperoleh melalui pengamatan yang jeli; dan diprediksi kemungkinan ke depan yang akan terjadi
dan kemudian dievaluasi atau direfleksi, maka ‘peluang’ manusia akan lebih besar ke arah
kegagalan, penderitaan, kesengsaraan, dan kehancuran (destruktif) hidup.
Kedua, makna ‘peluang’ yang melekat pada ‘esensi keterbatasan manusia dan adanya kekuatan
diluar diri manusia (supranatural). Dalam perspektif ini hakikat segala sesuatu dalam kehidupan
di dunia ini adalah ‘serba mungkin’. Manusia tidak bisa memastikan segala sesuatu secara
mutlak. Setiap rancangan dan tindakan apapun yang dilaksanakan manusia meskipun sudah
sangat baik berdasarkan kriteria ilmiah, tetap saja memberikan peluang sekian persen untuk
gagal atau tidak memenuhi target secara seratus persen. Contoh: (a) secara empirik berdasarkan
perhitungan ilmu astronomi secara eksak tanda-tanda akan turun hujan telah lengkap, hal ini
tetap memberikan peluang 0,5 % atau lebih untuk bisa terjadi tidak turun hujan; (b) secara medis
(analisis ilmu kedokteran) penderita gagal ginjal kronis yang divonis akan meninggal satu tahun
lagi, tetap memberikan peluang untuk hidup lebih dari satu tahun lagi. Oleh karena itu setiap
analisis statistik dalam penelitian ilmiah tetap memberikan statdar eror 1 % atau lebih dalam hal
keakuratan proses analisis datanya.

Jadi, berdasarkan uraian di atas memberikan kepahaman bahwa: (a) bertindak berdasarkan
prinsip-prinsip atau tahap-tahap ilmiah diikuti tindakan dan mentalitas positif (kualitas mentalitas
individu) akan memberikan ‘peluang’ yang lebih besar ke arah keberhasilan, demikian juga
sebaliknya, ketika setiap perbuatan manusia tidak berdasarkan prinsip-prinsip atau tahap-tahap
ilmiah dan tidak diikuti sikap mental positif akan memberikan ‘peluang’ yang lebih besar ke arah
kegagalan hidup; dan (b) meskipun segala tindakan atau anggapan atau penilaian seseorang
tentang sesuatu sudah berdasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dengan sikap mental positif tetap
saja ‘ada peluang’ eror atau tidak sesuai dengan apa yang ‘dirancang, dinilai, dianggap’
sebelumnya. Hal ini terjadi karena hakikat keberadaan manusia adalah makhluk yang punya
kelebihan dan kekurangan.

4. Keterbatasan science

Ilmu pengetahuan (science) yang dibangun diatas kerangka berpikir ilmiah, dihasilkan melalui
proses penelitian ilmiah, dan terus dilakukan revisi melalui penelitian lanjutan, tetap memiliki
beberapa keterbatasan. Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka beberapa prinsip yang dapat
dipahami berkaitan dengan keterbatasan sciences antara lain:
1. Hakikat batas-batas penjelajahan ilmu (science) adalah pada pengalaman manusia dan akan
berhenti di batas pengalaman manusia itu sendiri. Di luar pengalaman dan jangkauan nalar
manusia bukan medan penjelajahan ilmu pengetahuan. Misalnya apa yang terjadi setelah
kematian manusia, surga dan neraka, dan sebab musabab kejadian manusia bukan medan kajian
ilmu pengetahuan.
2. Alasan mengapa medan kajian ilmu pengetahuan hanya pada aspek pengalaman manusia,
karena fungsi ilmu pengetahuan sendiri hanya sebagai alat membantu manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidup yang nyata di dunia, dan metode pembuktian ilmu pengetahuan sendiri yang
menuntut adanya kebenaran empiris, sementara ada sesuatu dalam kehidupan ini yang tidak bisa
dibuktikan secara empiris, sesuatu yang berada dijangkauan science, misalnya ruh manusia, cara
kerja milyaran syaraf dalam tubuh manusia.
3. Apabila manusia merenungkan tentang hakikat kehidupan manusia secara makro, berarti
batas-batas penjelajahan ilmu pengetahuan itu sangat sempit, karena dunia dengan segala isinya
ini hakikatnya sangat sedikit yang bisa dibuktikan secara nyata, rasional dan empiris. Misalnya,
tentang fenomena jagat raya dengan jutaan planet dan segala isinya, jangkauan ilmu pengetahuan
untuk menjelajahnya sangat terbatas.
4. Dari ruang lingkup yang sempit itu, kemudian ilmu pengetahuan dikapling menjadi bagian-
bagian yang lebih kecil, yaitu: filsafat ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural philosophy
sciences), dan filsafat ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social philosophy sciences). Pembagian
tersebut juga masih belum mampu menjelaskan segala fenomena osial dan fenomena alam yang
begitu sangat luas, kompleks dan dinamik.
5. Dari pembagian tersebut kemudian ada pengelompokan ilmu-ilmu murni dan ilmu-ilmu
terapan, serta masing-masing terdapat pembagian yang lebih khusus pada cabang-cabang ilmu
pengetahuan baik dalam ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial. Hakikat
keberadaan beragam ilmu pengetahuan tersebut sejatinya adalah saling melengkapi dan saling
memberi arti atau makna bagi kehidupan ummat manusia.

5. Keterpaduan science-religious suatu keniscayaan

Beberapa konsep penting yang menunjukkan hubungan antara ilmu atau ontologi ilmu dan
agama merupakan suatu keniscayaan, antara lain:

1. Filsafat ilmu tidak mempersoalkan hubungan pandangan terhadap aktivitas ilmiah dengan hal-
hal gaib, seperti hubungan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu agama mendorong manusia
agar termotivasi untuk melakukan penelitian ilmiah dengan memperhatikan nilai-nilai moral
keagamaan sebagai wujud pengabdian manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Sang
Khalik. Karena hakikatnya tidak semua fenomena alam di jagat raya dan fenomena psikologis
manusia bisa didekati secara empiris, oleh karena itu dalam rangka memperoleh pemaknaan
hidup secara komprehensif tentang ‘hakikat segala sesuatu’ maka pengembangan ilmu harus
dibantu dengan nilai-nilai agama. Jadi, sejatinya keterbatasan science dalam mencermati hakikat
fenomena hidup, justru semakin mendorong setiap ilmuwan untuk mengkaitkan science dengan
agama demi meraih tingkat keunggulan manusia dalam hidup dan demi mendekatkan diri kepada
Tuhan.
2. Hakikat objek dan tujuan fungsional setiap ilmu pengetahuan (baik ilmu sosial atau alam)
adalah relatif sama dengan objek dan tujuan agama, yaitu sama-sama memberdayakan segala
unsur yang ada dalam kehidupan ini untuk kemajuan, kualitas dan kemakmuran hidup ummat
manusia. Demikian juga hakikat orientasi filosofis antara ilmu dan agama adalah relatif sama,
yaitu mewujudkan ‘kebahagiaan dan kedamaian hidup hakiki bagi manusia’. Oleh karena itu,
dalam memaknai hakikat objek kehidupan ini diperlukan pendekatan keterpaduan science,
filsafat dan agama. Memadukan pendekatan science dan religious dalam pengembangan
pengetahuan ilmiah, tidak berarti mendogmakan ilmu, karena dalam ajaran agama banyak hal-
hal yang bersifat tidak absolut, atau hal-hal yang bersentuhan dengan realitas kehidupan sehari-
hari (empirik), baik menyangkut kehidupan alam maupun kehidupan sosial budaya, atau banyak
sekali prinsip ajaran dalam agama yang bersifat praktis dan rasional (Rasjidi, 1965).
3. Pada hakikatnya, objektivitas dalam ilmu pengetahuan bukanlah bersifat objektivistik.
Objektivitas dalam ilmu pengetahuan masih tetap terjamah oleh kepentingan, motivasi, tujuan
yang bersifat subjektif dan aspiratif seorang ilmuwan, karena hakikatnya tidak ada sesuatu yang
dilakukan oleh setiap individu tanpa campur tangan kepentingan psikologis manusia yang sangat
kompleks, fleksibel, dinamik, unik dan situasional. Seorang ilmuwan natural science dalam
memilih masalah yang akan dibidik untuk diteliti dan dalam menetapkan rancangan research
akan tetap melibatkan kapasitas dan pergolakan jiwa dan pikirannya yang subjektif dan unik,
itulah sebabnya antara ilmuwan natural science satu dengan yang lain akan tetap menampilkan
keberagam selera dalam mencermati fenomena alam, sehingga muncul beragam spesialisasi-
spesialisasi ilmu. Jadi, hakikat pengembangan ilmu pengetahuan tidak akan pernah bebas dari
nilai (value free), disini membuktikan adanya hubungan antara science dengan value.
4. Pandangan ilmiah yang disimpulkan dari pengamatan terhadap alam dan kehidupan manusia
mempunyai padanan atau hampir sejalan dengan paham teologi dalam masalah takdir dan
ikhtiar. Paham kausalitas sejalan dengan keyakinan free will (qadariyah). Pandangan bahwa
gejala alam dan kehidupan tidak beraturan (stokastik atau accidental) sejalan dengan paham
jabariyah. Paham teologi ilmuwan hampir tidak ada yang sepenuhnya fatalistis (Jabariyah) dan
sepenuhnya free will (daqariyah). Pada umumnya mereka berpaham bahwa manusia
diperintahkan berusaha memaksimalkan segala potensi yang dimiliki dalam kehidupan dan bila
kemudian tidak berhasil, barulah mengembalikannya kepada ketentuan Tuhan (Mutahhari, 1997;
Drijarkara, N.,1978; Agus, B., 1999).

D. Hakikat Epistemologi Ilmu

Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu
pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang
dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis
dan menjunjung kebenaran atau kesahih-an (valid) data diatas segala-galanya. Pada aspek
epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research), atau epistemologi
merupakan ‘cara mendapatkan pengetahuan yang benar’. Persoalan kunci atau utama yang
dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah ‘bagaimana mendapatkan pengetahuan
yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing’. Dan perlu
dipahami hakikatnya ilmu itu mempunyai dua peranan yaitu: satu pihak sebagai metafisika,
sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense).

Dalam rangka memahami hakikat epistemologi, maka berikut ini akan diuraikan tentang:
Pengetahuan; Metode ilmiah; Struktur ilmu pengetahuan, dan Beberapa konsep tentang
penelitian ilmiah.
1. Pengetahuan

Penjelasan tentang ‘pengetahuan’ telah dijelaskan pada sub bab hakikat ilmu pengetahuan di
atas, yaitu meliputi komponen ilmu pengetahuan, tujuan ilmu pengetahuan, klasifikasi ilmu
pengetahuan, dan hakikat ilmu pengetahuan, oleh karena itu pada bagian ini tidak akan
dijelaskan ulang tentang konsep-konsep tersebut (periksa kembali uraian di atas). Pengetahuan
hakikatnya merupakan ‘segenap apa yang kita ketahui tentang sesuatu objek tertentu, termasuk
di dalamnya adalah ilmu, seni dan agama (Suriasumantri, J.S. 1996; Agus, B.1999; Sumarna, C.,
2006; Tafsir, A. 2007).

Setiap jenis pengetahuan hakikatnya mempunyai ciri-ciri dalam membangun ilmu pengetahuan
yang bersifat spesifik berkaitan dengan ‘apa’ (ontologi), ‘bagaimana proses’ (epistemologi) dan
‘untuk apa’ (aksiologi) pengetahuan itu. Ketiga landasan tersebut saling kait mengkait, bagaikan
sebuah ‘sistem’, disamping itu ketiga landasan tersebut yang membedakan antara disiplin ilmu
pengetahuan satu dengan yang lainnya.

Ilmu, seni dan agama mempunyai medan kajian yang berbeda. Ilmu mencoba untuk mencarikan
penjelasan mengenai fenomena sosial-budaya dan alam untuk menjadi suatu kesimpulan yang
bersifat umum dan impersonal. Sedangkan seni dan agama lebih bersifat individual, subjektif dan
personil, artinya kerangka pengembangan seni dan agama lebih banyak diwarnai oleh aspek
individual, subjektif dan personil.

1. Metode ilmiah

Pada pembahasan di bab IV telah disinggung tentang pengertian metode dan beberapa fungsi
metode dalam kerangka logika formal maupun logika material (mohon diperiksa kembali).
Berikut ini dijelaskan beberapa prinsip yang perlu dipahami tentang metode ilmiah, antara lain:

1. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu
pengetahuan. Sedangkan metodologi ilmiah, merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan
yang terdapat dalam metode ilmiah, atau ‘ilmu tentang cara-cara memperoleh pengetahuan
ilmiah’ (Kerlinger, F.N. 1980). Metodologi ilmiah inilah secara filsafati disebut epistemologi
ilmu.
2. Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran untuk mencari
kebenaran ilmiah. Dalam filsafat ilmu, kebenaran ilmiah seharusnya merupakan perpaduan
antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif. Hakikatnya kebenaran ilmiah yang hanya
mendasarkan pada kerangka berpikir deduktif atau logika formal (kriteria kebenaran koherensi)
tidak akan pernah sanggup melakukan kesimpulan dari kajian ilmiah secara komprehensif dan
final, oleh karena itu diperlukan perpaduan dengan kerangka berpikir secara induktif atau logika
material (kriteria kebenaran korespondensi). Hal ini disebabkan hakikat realitas kehidupan selalu
tampil dalam wujud pluralistis atau multidimensional. Bahkan selain kerangka berpikir secara
deduktif dan induktif masih belum cukup, masih diperlukan sentuhan pola pikir yang
berorientasi pada nilai-nilai moral (etik) religious agar keberadaan ilmu tersebut memperoleh
nilai ontologis atau pragmatis yang unggul bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
3. Metode berpikir seseorang mengalami perkembangan dari pola yang sangat sederhana ke arah
kompleks. Van Peursen (1976), membagi perkembangan pola budaya berpikir manusia dalam
proses kehidupan di masyarakat menjadi tiga tahap, yaitu: (1) tahap mistis, yaitu setiap manusia
menghadapi beragam tugas dan persoalan hidup selalu dicari solusi secara mistis atau gaib. Pada
tahap ini seluruh aktifitas manusia selalu dikaitkan atau menyatu dengan supranatural. Pada
tahap ini umumnya terjadi pada masyarakat primitif atau tradisional; (2) tahap ontologis, yaitu
setiap manusia menghadapi beragam tugas dan persoalan hidup sudah mulai mencoba untuk
mencari akar atau dasar-dasar rasional tetapi masih tidak bisa lepas sama sekali dengan dimensi
mistik atau gaib. Manusia sudah mulai mengambil jarak dengan kekuatan dunia mistik, dan
mulai menggunakan akal sehat atau rasionalnya. Umumnya hal ini terjadi pada masyarakat
peralihan; dan (3) tahap fungsional, yaitu manusia dalam memecahkan beragam tugas dan
persoalan hidupnya selalu mendasarkan pada rasionalitas, mengandalkan kemajuan ilmu
pengetahuan, menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan beragam problem atau persoalan
kehidupan. Pada tahap ini manusia tidak lagi terikat oleh kekuatan dunia mistik atau gaib. Tahap
ini umumnya terjadi pada masyarakat modern.
4. Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan, namun lebih-
lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah kepada masyarakat ilmuwan. Menurut J.
Bronowski, dalam Suriasumatri (1996), hakikat metode ilmiah adalah bersifat sistematis dan
eksplisit. Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif pada kalangan
masyarakat ilmuwan.
5. Kerangka metode berpikir ilmiah yang berintikan proses logico hypothetico verifikatif pada
dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut, yaitu: perumusan masalah, penyusunan
kerangka berpikir, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.
1. Struktur ilmu pengetahuan

Ditinjau dari ‘dimensi ilmu’, maka suatu ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(a) fenomena ilmu pengetahuan; dan (b) struktur ilmu pengetahuan. Ada tiga aspek yang
merupakan bagian kajian fenomena ilmu pengetahuan, yaitu: masyarakat ilmuwan; proses
pencarian ilmu; dan produk atau hasil dari ilmu pengetahuan berupa teori-teori atau dalil-dalil
atau proposisi-proposisi. Sedangkan struktur ilmu pengetahuan sebenarnya membicarakan
tentang objek ilmu pengetahuan, prosedur kajian ilmu pengetahuan atau metode kajian ilmiah
dan fungsi ilmu pengetahaun.

Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah sejatinya merupakan pengetahuan yang telah
memenuhi syarat-syarat keilmuan, dengan demikian disebut pengetahuan ilmiah (science). Suatu
pengetahuan ilmiah akan mempunyai tiga fungsi, yaitu:

1. Menjelaskan, secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan ilmiah, yaitu: penjelasan
deduktif dan induktif; penjelasan probabilistik; penjelasan fungsional dan teologis; dan
penjelasan genetik.
2. Meramalkan, maksudnya adalah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum atau dalil. Hukum
pada hakikatnya merupakan persyaratan yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih
variabel dalam suatu kaitan sebab akibat. Dari teori dan hukum inilah dapat diramalkan kejadian,
gejala atau fenomena yang akan terjadi (meskipun tidak mutlak, karena memang kebenaran ilmu
pengetahuan bukan kebenaran mutlak atau absolut).
3. Mengontrol, artinya pengetahuan ilmiah akan memberikan penjelasan tentang ‘mengapa’
suatu gejala itu terjadi, sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk
meramalkan tentang ‘apa yang mungkin terjadi’. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan
hukum ini merupakan ‘alat’ yang dapat kita pergunakan untuk mengontrol gejala atau fenomena
alam (Suriasumantri, J.S. 1996).

4. Beberapa konsep tentang penelitian ilmiah

Setiap peneliti apabila ingin melakukan kegiatan penelitian ilmiah, terlebih dahulu dia betul-
betul harus memahami apa hakikat penelitian ilmiah (scientific research) itu?. Berikut ini
beberapa konsep penting yang perlu dipahami berkaitan dengan penelitian ilmiah.

a. Pengertian penelitian ilmiah

Dikalangan orang awam istilah penelitian ilmiah, sering dipahami sebagai kegiatan orang yang
berpendidikan tinggi, setiap hari kerja keras dan bergelut di laboratorium untuk meneliti beragam
zat dan gejala alam dengan penuh keseriusan untuk dikaji dan dilaporkan dengan baik.
Sebenarnya setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari kegiatan untuk
meneliti, dan kegiatan penelitian tidak selalu harus di laboratorium, Contoh: (a) seorang guru
atau dosen dapat melakukan penelitian di kelas pada saat dia mengajar (penelitian tindakan
kelas); (b) seorang mahasiswa dapat melakukan penelitian di laboratorium dan di lingkungan
tempat tinggalnya. Demikian juga seorang pedagang, seorang petani dan sebagainya, dapat
melakukan kegiatan penelitian yang berkisar masalah-masalah dalam kehidupan sehari-harinya.

Banyak definisi tentang penelitian ilmiah yang telah dikemukakan oleh para ahli, munculnya
beragam definisi tersebut karena adanya: (a) perbedaan orientasi filosofis dan teori yang dianut
oleh peneliti, (b) perbedaan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki dan perbedaan kehidupan
sosial-budayanya; dan (c) perbedaan fokus persoalan yang dipilih untuk dikaji. Secara umum
pengertian penelitian ilmiah adalah suatu proses pengumpulan data dan analisis data yang
dilakukan dengan memperhatikan metode ilmiah, yaitu sistematis, logis dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif atau kualitatif. Menurut Kerlinger, F. (2002), pengertian penelitian ilmiah
adalah ‘penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-fenomena
alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira terdapat
antara fenomena-fenomena itu’.
Berdasarkan beberapa definisi tentang penelitian ilmiah dapat disimpulkan, bahwa penelitian
ilmiah adalah ‘proses penyelidikan atau penelaahan yang dilakukan individu, berkaitan dengan
fenomena kehidupan dengan memperhatikan metodologi research secara ketat, misalnya:
orientasi teoritis, observasi ilmiah, sistematis, rasional, empiris, dan melalui beberapa tahapan
tertentu sampai pada kesimpulan penelitian’

Kemudian faktor-faktor apakah yang mendorong seseorang melakukan penelitian?. Paling tidak
ada enam sebab atau latar belakang manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan
penelitian ilmiah, antara lain:

1) Pengetahuan manusia sangat terbatas untuk memahami begitu kompleksnya fenomena


kehidupan di jagat raya ini, sehingga manusia perlu terus menerus melakukan research secara
ilmiah.

2) Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk berpikir secara logis, objektif,
sistematis dan analitis terhadap gejala sosial dan gejala alam yang terjadi dalam kehidupan
sehari-harinya, sehingga manusia selalu ingin melakukan penelitian untuk mengetahui tentang
fenomena kehidupan tertentu dalam rangka proses pemenuhan beragam kebutuhan hidup, baik
secara pribadi atau kelompok (Suriasumantri, J.S., 1996).

3) Manusia selama proses aktivitas hidupnya selalu dihadapkan pada beragam problema atau
permasalahan hidup. Beragam problema hidup tersebut menuntut pemecahan secara baik, oleh
karena itu perlu adanya research ilmiah agar beragam persoalan hidup tersebut bisa diatasi
dengan baik

4) Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk mengkomunikasikan dengan bahasa
yang baik, terhadap hasil pengamatan dan kajian ilmiah terhadap gejala sosial dan gejala alam
tersebut kepada sesamanya, untuk mencapai kualitas kehidupan. Jadi, kegiatan meneliti
merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan manusia.

5) Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk tidak puas, selalu ingin
membaharui (inovasi) terhadap karya budaya yang telah dimiliki. Hal ini menyebabkan manusia
selalu ingin melakukan penelitian ilmiah menyangkut berbagai aspek kehidupan, semua
dilakukan dalam rangka meraih kemajuan diberbagai bidang kehidupan (Lauer, 1978; Sztompka,
P., 1993).

6) Manusia adalah makhluk yang cenderung pengetahuan dan ketrampilannya terus bertambah
atau berakumulasi dan terus melakukan kegiatan research ilmiah dalam rangka melakukan
revolusi ilmu pengetahuan di berbagai bidang hidup yang kompleks (Khun, T., 1970). Jadi,
kegiatan penelitian ilmiah sejatinya adalah ‘suatu tuntutan secara tidak langsung dari hasil
penelitian ilmiah sebelumnya, karena setiap hasil penelitian ilmiah memerlukan penyempurnaan
dan refleksi penelitian berikutnya’.

Dalam kaitannya dengan proses penelitian ilmiah, ada beberapa sikap ilmiah yang harus dimiliki
oleh setiap peneliti ilmu sosial atau ilmu alam, antara lain: (1) peneliti harus mempunyai
wawasan yang cukup tentang orientasi filosofis dan teoritis dalam memahami fenomena hidup,
oleh karena itu setiap peneliti harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan; (2)
peneliti harus memiliki sikap objektif dan peneliti selalu memulai pembicaraannya berdasarkan
fakta dan data; (3) peneliti harus memiliki sikap terbuka terhadap berbagai saran, kritik dan
perbaikan dari berbagai pihak terhadap hasil penelitiannya; (4) peneliti harus memiliki sikap
ingin tahu terhadap objek yang diteliti, dan selalu haus akan pengetahuan baru (peka terhadap
informasi dan data); dan (5) peneliti harus memiliki daya cipta, kreatif dan senang terhadap
kegiatan inovasi di berbagai bidang kehidupan (Bungin, B., 2001; Salim, A., 2001).

Selain sikap tersebut, ada beberapa kemampuan ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti
ilmu sosial atau ilmu alam, antara lain: (1) peneliti harus mempunyai kemampuan daya kritik,
berpikir sistematik dan berwawasan luas; (2) peneliti harus mempunyai kemampuan mencipta
atau mengemukakan sesuatu yang baru, karena aktivitas penelitian harus selalu menemukan
sesuatu yang baru; (3) peneliti harus mampu melihat sesuatu masalah dalam konteks (ruang
lingkup) yang luas atau dalam; (4) peneliti harus mampu melihat gejala sosial budaya yang layak
untuk diteliti, dan mampu merumuskan masalah dengan baik serta menganalisisnya secara benar;
dan (5) peneliti harus mampu melakukan penelitian lanjutan atau mengulangi penelaahan
(replicate the study) dalam rangka lebih memperkuat hasil penelitian sebelumnya. Semua
kemampuan tersebut tidak secara langung dimiliki oleh peneliti, tetapi melalui suatu proses
pembelajaran atau praktik research terus menerus, oleh karena itu bagi peneliti pemula tidak
boleh berpandangan pesimis, kelima kemampuan tersebut akan dimiliki dengan sendirinya
apabila peneliti terus menerus melakukan penelitian ilmiah.

b. Tujuan penelitian ilmiah

Perkembangan ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh berkembangnya kegiatan penelitian


ilmiah. Antara penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan adalah ibarat dua sisi dalam satu keping
mata uang. Hal ini disebabkan, penelitian akan berkurang maknanya kecuali bila digunakan
untuk kebutuhan ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan akan menjadi mandul (tidak
berkembang) bila tanpa penelitian ilmiah.

Berikut ini termasuk beberapa tujuan proses penelitian ilmiah antara lain: (1) untuk memperoleh
informasi baru tentang pengetahuan tertentu, misalnya: pengetahuan sejarah, sosiologi,
psikhologi, komunikasi, politik, hubungan internasional, ekonomi, pendidikan, biologi, fisika
dan sebagainya; (2) untuk menjelaskan dan mengembangkan suatu pengetahuan tertentu. Peneliti
yang dalam proses penelitiannya telah bekerja secara baik sesuai dengan prosedur ilmiah akan
mampu menjelaskan fakta-fakta penting dan menolak atau mendukung atau mengembangkan
teori yang ada; (3) untuk menerangkan, memprediksi dan mengontrol suatu fenomena sosial dan
alam yang ditelitinya. Dengan rancangan penelitian dan prosedur penelitian ilmiah yang ketat,
maka peneliti akan dapat menerangkan secara jelas tentang hubungan antar variabel yang diteliti
atau akan mampu mendeskripsikan secara sistematis, logis tentang objek penelitiannya, dan
akhirnya mampu memprediksi dan mengkontrol apa yang terjadi diantara variabel yang
dikajinya (Sukardi, 2004); dan (4) untuk memberikan rekomendasi teoritis dan rekomendasi
praktis. Setiap penelitian ilmiah diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, memberi wacana atau masukan pemikiran baru bagi suatu lembaga tertentu
serta mendorong terjadinya penelitian lanjutan. Disamping itu hasil penelitian ilmiah harus
mampu memberikan nilai fungsional bagi aktivitas kehidupan kelompok atau masyarakat atau
bangsa dalam proses pembangunan di berbagai bidang kehidupan.
c. Langkah-langkah dalam melakukan penelitian ilmiah

Pada penjelasan di muka telah dikemukan pendapat Horton and Hunt (1984) tentang delapan
tahap yang harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian ilmiah. Senada dengan pandangan
tersebut, menurut Jujun S. Suriasumantri (1996) lebih rinci menjelaskan tentang beberapa
langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti dalam melakukan proses penelitian ilmiah dan
penulisan ilmiah, yaitu: Pertama, langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah
mengajukan rumusan masalah. Secara kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan dalam
langkah pengajuan masalah, yaitu: (a) merumuskan latar belakang masalah; (b) melakukan
identifikasi masalah; (c) melakukan pembatasan masalah; (d) merumuskan masalah; (e)
merumuskan tujuan penelitian; (f) merumuskan kegunaan penelitian, dan (g) merumuskan
keterbatasan hasil penelitian.

Kedua, setelah merumuskan masalah penelitian, peneliti harus menyusun kerangka teoritis dan
pengajuan hipotesis. Secara ringkas langkah-langkah dalam penyusunan kerangka teoritis dan
pengajuan hipotesis adalah: (a) pengkajian mengenai teori-teori yang akan dipergunakan dalam
analisis; (b) pembahasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan; (c) penyusunan
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagai
tercantum dalam poin a dan b dengan menyatakan secara eksplisit (tersurat) postulat, asumsi dan
prinsip yang dipergunakan; dan (d) perumusan hipotesis.

Ketiga, setelah menyusun kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis, peneliti melakukan
penyusunan metode penelitian. Sedangkan langkah-langkah penyusunan metode penelitian
adalah: (a) tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang
mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti; (b) tempat
dan waktu penelitian atau setting penelitian, yang menjelaskan bagaimana kondisi lokasi
penelitiannya; (c) metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat
generalisasi yang diharapkan; (d) teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan
penelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian; (e) teknik pengumpulan data yang
mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran,
instrumen dan teknik mendapatkan data; dan (f) teknik analisis data mencakup langkah-langkah
dan teknik analisis yang dipergunakan ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis.

Keempat, mengemukakan hasil penelitian, sedangkan kegiatan dalam menyusun hasil penelitian
antara lain: (a) menyatakan variabel-variabel yang diteliti; (b) menyatakan teknik analisis data;
(c) mendeskripsikan hasil analisis data; (d) memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis
data; (e) menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima; dan (f) melakukan
pembahasan dari hasil uji hipotesis, dengan mengkaitkan teori yang menjadi orientasi
penelitiannya.

Kelima, menyusun ringkasan dan kesimpulan, sedangkan langkah-langkahnya adalah: (a)


mendeskripsikan secara singkat mengenai masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi dan
penemuan penelitian; (b) kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan
keseluruhan aspek tersebut di atas; (c) pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan
perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan; (d) mengkaji
implikasi penelitian, yang meliputi implikasi teoritis dan implikasi praktis; dan (e) mengajukan
saran-saran.

Keenam, mencantumkan daftar pustaka secara benar, kemudian diikuti dengan penyusunan
beberapa lampiran yang berkaitan dengan proses penelitian, misalnya: surat ijin penelitian,
angket atau alat perekaman atau pengumpulan data penelitian, beberapa data penunjang yang
diperlukan dalam proses penelitian sampai daftar riwayat hidup peneliti.

d. Karakteristik dan beragam jenis penelitian ilmiah

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli, paling tidak ada tiga belas karakteristik penelitian
ilmiah, antara lain:

1) Mempunyai rumusan masalah dan tujuan penelitian yang jelas. Diantara fungsi rumusan
masalah dan tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah, ruang lingkup dan target apa yang
hendak dicapai dalam proses penelitian ilmiah.
2) Menentukan jenis pendekatan dan strategi penelitian tertentu, misalnya: bisa menggunakan
pendekatan kuantitatif, atau pendekatan kualitatif atau pendekatan gabungan kuantitatif-kualitatif
(mixing methods).

3) Mempunyai metode pengumpulan data, misalnya metode: observasi, angket, dokumen,


wawancara, dan tes.

4) Mempunyai desain atau rancangan penelitian yang sudah disusun sejak awal sebelum
penelitian dilakukan. Rancangan penelitian ini biasanya dituangkan dalam proposal penelitian.

5) Mempunyai sasaran objek yang dikaji atau populasi dan sampel penelitian.

6) Mempunyai orientasi filosofis atau teoritik dalam proses penelitian. Setiap kegiatan penelitian
ilmiah seharusnya ada orientasi filosofis atau teoritik yang akan menjadi arahan (orientasi) dalam
proses analisis data.

7) Melakukan proses perekaman, dan pencatatan data secara akurat dengan menggunakan
instrumen penelitian tertentu yang dipakai.

8) Melakukan validasi dan reliabelitas instrumen (untuk strategi penelitian kuantitatif) atau
keabsahan data (untuk strategi penelitian kualitatif).

9) Melakukan kontrol, khususnya dalam penelitian eksperimen. Hal ini penting agar variabel lain
yang tidak diperlukan tidak berintervensi pada variabel yang ditelitinya.

10) Menggunakan strategi analisis data yang tepat, logis, misalnya: analisis statistik, atau analisis
deskriptif kualitatif, atau analisis gabungan (kuantitatif-kualitatif).

11) Melakukan interpretasi data atau melakukan pembahasan hasil analisis data, apakah menolak
teori, mendukung teori, mengembangkan atau menemukan teori (proposisi penelitian).
12) Mempunyai keberanian untuk mengungkapkan fenomena sosial dan alam secara objektif,
meminimalisir aspek subjektivitas pribadi atau kelompok.

13) Hasil penelitian mempunyai nilai fungsional (aksiologi) bagi kemaslahatan kehidupan
masyarakat (Sugiyono, 2007).

Sedangkan mengenai jenis atau bentuk penelitian ilmiah adalah sangat beragam. Menurut para
ahli ada beberapa jenis atau bentuk penelitian ilmiah antara lain:

1. Penggolongan penelitian menurut fungsinya, yaitu dibedakan menjadi empat jenis: (1)
penelitian dasar (basic research), yaitu penelitian yang berfungsi untuk perluasan atau
pengembangan ilmu pengetahuan tanpa memikirkan nilai fungsional bagi masyarakat sekarang.
Umumnya penelitian dasar ini dilakukan pada kelompok natural science (Astronomi, Fisika,
Kedokteran; (2) penelitian terapan (applied research), yaitu penelitian yang berfungsi atau
bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat. Jadi, penelitian terapan ini
mempunyai nilai fungsional atau nilai pragmatis bagi kehidupan masyarakat. Diantara contoh
penelitian terapan adalah: survei produksi dan konsumsi; action research; penelitian pertanian;
penelitian arsitektur, akuntansi, implementasi kurikulum, dan sebagainya; (3) penelitian
pengembangan (research and development), yaitu.penelitian yang berfungsi atau bertujuan untuk
menemukan, mengembangkan dan memvalidasi suatu produk. Jenis penelitian ini merupakan
‘jembatan’ antara penelitian dasar dan penelitian terapan (Sugiyono, 2007); dan (4) penelitian
evaluatif (evaluation research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk menilai manfaat,
sumbangan atau kelayakan dari suatu kegiatan atau unit tertentu. Penelitian ini membutuhkan
data kuantitatif dan kualitatif, dan lebih bersifat aplikatif. Ada dua jenis penelitian evaluatif,
yaitu penelitian tindakan (action research) dan penelitian kebijakan (policy research)
(Nurgiyantoro, dkk,. 2002).

b. Penggolongan penelitian menurut bidang ilmu atau garapan, dapat dibedakan menjadi:
penelitian Sosiologi; penelitian Pendidikan dan non pendidikan; penelitian Hukum; penelitian
Ekonomi; penelitian Bahasa, penelitian Antropologi, penelitian Biologi; penelitian Sejarah dan
sebagainya.).

1. Penggolongan penelitian menurut tingkat kealamiahan, dapat dibedakan menjadi: (a)


penelitian eksperimen. Penelitian ini sangat tidak alamiah karena tempat penelitiannya di
laboratorium dalam kondisi yang terkontrol sehingga tidak terdapat pengaruh dari luar. Tetapi
sebenarnya penelitian eksperimen bidang ilmu-ilmu sosial tidak harus di dalam laboratorium,
tetapi bisa di lapangan atau di tengah kehidupan masyarakat; (b) penelitian survei, jenis
penelitian ini sering disebut penelitian normatif atau penelitian status. Pada umumnya pada
penelitian ini menggunakan variabel dan populasi yang luas sesuai dengan tujuan penelitiannya.
Penelitian eksperimen dan survei di atas adalah termasuk penelitian yang menggunakan metode
kuantitatif atau analisis datanya menggunakan statistik; (c) penelitian naturalistik, yaitu jenis
penelitian yang sering disebut penelitian kualitatif (Sugiyono, 2007) dengan analisis datanya
secara naratif deskriptif kualitatif.

d. Penggolongan penelitian menurut tempat penelitian. Dapat dibedakan menjadi: Penelitian


Perpustakaan (Kajian buku-buku ilmiah di perpustakaan); Penelitian Laboratorium (melakukan
uji coba atau eksperimen di laboratorium).

e. Penggolongan penelitian menurut aspek metode dan pendekatan, dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, yaitu: (1) penelitian deskriptif, yaitu jenis penelitian yang berusaha untuk
menggambarkan, menjelaskan secara detail, sistematis, logis tentang objek tertentu. Penelitian
ini umumnya dilakukan pada bidang ilmu sosial dan budaya; (2) penelitian sejarah (historical
research atau historiografi), jenis penelitian ini hampir sama dengan penelitian deskriptif, tetapi
ada perbedaan khusus, yaitu lebih menekankan pada metode wawancara tak terstruktur dengan
pelaku sejarah dan dalam melakukan analisis data dokumen melakukan kritik intern dan kritik
ekstern; (3) Penelitian kuantitatif (quantitative research), yaitu penelitian yang berorientasi pada
paham positivisme, dan bertujuan untuk mencari hubungan dan menjelaskan sebab-sebab
perubahan dalam fakta sosial yang terukur, analisis datanya menggunakan statistik; (4) penelitian
kualitatif (qualitative research), yaitu penelitian yang berorientasi pada paham konstruktivisme
atau interpretif, yang bertujuan untuk menjelaskan realitas kehidupan sehari-hari secara alamiah,
analisis datanya berupa kalimat rinci dan sistematis, logis (Sugiyono, 2007). Secara khusus
dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan tentang perbedaan penelitian kuantitatif dan
kualitatif; (5) penelitian longitudinal, yaitu penelitian yang ingin mengetahui perkembangan
suatu gejala yang cukup lama, misalnya peneliti ingin mengetahui perkembangan kemampuan
berpikir anak SD kelas I sampai kelas VI, maka peneliti melakukan pencatatan perkembangan
kemampuan berpikir anak dari kelas I sampai kelas VI pada objek yang sama (jadi butuh waktu 6
tahun); (6) penelitian cross-sectional, yaitu penelitian yang tidak menggunakan sasaran
penelitian yang sama, misalnya ingin mengetahui perkembangan berpikir anak SD kelas I sampai
VI, maka dalam waktu bersamaan merekam perkembangan berpikir anak SD kelas I sampai
kelas VI, jadi kebalikan dari longitudinal, tidak perlu waktu lama; (7) penelitian evaluasi atau
hampir sama dengan penelitian assesment. Secara umum penelitian evaluasi adalah bertujuan
untuk menjawab apakah suatu proyek tertentu telah berjalan sesuatu dengan program yang telah
ditetapkan (Bungin, B., 2001; Idrus, 2007).

1. Penggolongan penelitian berdasarkan tujuannya, yaitu dibedakan menjadi: (1) penelitian


deskriptif (descriptive research), jenis penelitian ini bisa juga dilihat dari segi metode atau
pendekatan seperti yang disinggung di atas; (2) penelitian prediktif (predictive research), yaitu
penelitian yang bertujuan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi berdasarkan analisis data
saat dilakukannya penelitian. Umumnya penelitian ini bersifat studi korelasional (correlational
studies) dan studi kecenderungan (trend studies); (3) penelitian improvetif (improvetive
research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki, meningkatkan atau
menyempurnakan suatu keadaan atau pelaksanaan suatu program tertentu. Termasuk dalam jenis
penelitian ini misalnya penelitian tindakan (action research), penelitian dan pengembangan
(research and development), penelitian eksperimental; dan (4) penelitian eksplanatif (explanation
research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang hubungan antar
fenomena atau variabel yang diteliti (Sugiyono, 2007).

5. Orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian

Orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian ilmiah ini akan menjelaskan tentang tiga hal,
yaitu: orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian kuantitatif; orientasi filosofis dan ciri
pendekatan penelitian kualitatif; dan orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian gabungan
(kuantitatif dan kualitatif).

a. Orientasi filosofis dan ciri penelitian kuantitatif

Pada masyarakat ilmuwan telah lama terjadi perdebatan panjang dan tetap berlangsung sampai
sekarang tentang cara terbaik dalam memahami fenomena sosial-alam melalui kegiatan
penelitian ilmiah. Perdebatan tersebut karena adanya: perbedaan orientasi filosofis, perbedaan
orientasi teori dalam penelitian, dan perbedaan metode atau pendekatan penelitiannya (Poloma,
M.M. 1979; Cambell, T. 1981). Ada dua orientasi filosofis yang selalu menjadi acuan dalam
menemukan atau mengembangkan teori dan dalam kegiatan penelitian ilmiah, yaitu:

Pertama, orientasi filosofis positivisme atau rasionalisme atau objektivisme. Proses penelitian
ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan penelitiannya adalah
kuantitatif; (b) analisis datanya menggunakan statistik; (c) hakikat realitas hidup adalah tunggal;
(d) proses research adalah menguji teori atau menguji hipotesis; (e) menggunakan logika
deduktif dan melakukan generalisasi statistik; dan (f) kriteria kualitas penelitian adalah:
objektivitas, reliabilitas dan validitas.

Kedua, orientasi filosofis empirisme, atau idealisme, atau konstruktivisme; atau subjektivisme.
Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan
penelitiannya kualitatif; (b) analisis datanya berupa deskriptif abstraktif (non statistik) secara
sistematis dan alamiah; (c) hakikat realitas hidup adalah jamak, holistik; (d) menggunakan logika
induktif, tidak menguji teori atau tidak melakukan uji hipotesis; dan (e) kriteria kualitas
penelitiannya adalah: otentisitas dan relevansi dengan fenomena alami, Jadi, sepanjang para
peneliti berpegang pada orientasi filosofis yang berbeda, maka selamanya akan terjadi perbedaan
pendekatan, sudut pandang dalam memaknai kebenaran hasil penelitian. Hal ini harus dipahami
oleh setiap peneliti dalam setiap memahami atau memaknai fenomena hidup selama proses
penelitian ilmiah.

Berdasarkan pandangan para ahli dapat disimpulkan tentang karakteristik penelitian kuantitatif
sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari orientasi filosofis dan teoritis adalah berorientasi pada
paham positivisme, rasionalisme, atau objektivisme Sedangkan orientasi teoritisnya adalah
berorientasi pada teori-teori yang berparadigma fakta sosial (Ritzer, G. 2002). Diantara ciri teori-
teori yang berparadigma fakta sosial adalah: (a) seluruh pola perilaku manusia dipengaruhi oleh
faktor eksternal; (b) kerangka berpikirnya bersifat deduktif verifikatif; (c) menuntut adanya
pembuktian teori atau pengujian hipotesis secara statistik; dan (d) mengandalkan pada kebenaran
objektivitas, validitas dan reliabilitas. Sejarah awal perkembangan penelitian kuantitatif adalah
berkembang di kalangan ilmuwan eksakta atau disiplin ilmu kealaman.

Kedua, dilihat dari segi desain penelitian, adalah: (a) bersifat terinci, luas, dan banyak
menggunakan literatur yang terkait dengan tema penelitian; (b) memiliki prosedur research yang
rinci, terukur; (c) sejak usulan penelitian (proposal) penelitian kuantitatif sudah memiliki
landasan teoritis yang kuat dan jelas; dan (d) proses penelitian terikat kuat dengan desain
research yang telah diajukan (tidak berubah), dan isi desain penelitiannya secara ketat akan
dipatuhi untuk dilaksanakan dalam proses penelitiannya, misalnya rumusan masalah penelitian
tidak boleh berubah selama proses penelitian (Gay, L.R. 1983; Hadi, S. 2004).

Ketiga, dilihat dari rumusan judul penelitian adalah: (a) rumusan judul penelitian kuantitatif
tidak pernah berubah (sudah ditetapkan sebelum pelaksanaan penelitian); (b) ekspresif, jelas,
padat dan menunjukkan secara jelas permasalahan yang akan diteliti; dan (c) menggambarkan
variabel independen atau bebas dan variabel dependen atau tergantung yang akan digali datanya
untuk dianalisis (Gay, L.R. 1983; Bungin.B., 2001).

Keempat, dilihat dari rumusan masalah penelitian adalah: (a) rumusan masalah harus jelas
sehingga dapat diketahui variabel atau hubungan variabel yang diteliti; (b) dirumuskan dalam
bentuk kalimat bertanya, misalnya: Apakah?, Bagaimanakah?; Seberapa besar atau tinggi?;
Adakah hubungan atau adakah perbedaan?; (c) rumusan masalah tidak berubah selama proses
penelitian, karena menjadi acuan penelitian (Sudijono, A. 1992).

Kelima, dilihat dari segi penetapan variabel penelitian. Variabel adalah atribut seseorang atau
objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lain, atau variabel adalah suatu kuantitas
(jumlah) atau sifat karakteristik yang mempunyai nilai numerik atau kategori atau sifat yang
akan diteliti (Kartono, K.,1996; Kerlinger, F. 2002). Ciri penelitian kuantitatif dari segi
penetapan variabel adalah: penetapan variabel penelitian (variabel independen, dependen,
moderator, intervening) harus ditetapkan dulu sebelum memulai penelitian (rancangan
penelitian) dan tidak akan berubah selama penelitian berlangsung.

Keenam, dilihat dari deskripsi teori dalam proses penelitian, antara lain: (a) karena penelitian
kuantitatif adalah menguji teori maka deskripsi teori harus diuraikan secara sistematis, tidak
hanya sekedar pendapat para ahli tetapi penting mengungkap hasil-hasil research terdahulu yang
mengkaji fenomena yang sama; (b) deskripsi teori harus menjelaskan secara rinci tentang
variabel-variabel yang diteliti dari berbagai referensi ilmiah (Sugiyono, 2007). Langkah praktis
yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan teori dalam penelitian kuantitatif adalah: (a)
tetapkan nama variabelnya dan berapa jumlah sub variabel yang akan diteliti; (b) cari sumber-
sumber ilmiah (Buku ilmiah, Laporan penelitian; Skripsi; Tesis; Disertasi; Jurnal ilmiah) yang
membahas variabel yang akan diteliti atau yang berkaitan dengan sub variabel penelitian; (c) cari
definisi konsep, baca seluruh uraian dalam sumber ilmiah tersebut yang mengkaji tentang
variabel yang akan diteliti; dan (d) deskripsikan secara sistematis dengan bahasa yang benar
dengan tetap mencantumkan catatan kaki atau buku yang menjadi rujukannya.

Ketujuh, dilihat dari segi rumusan hipotesis penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kuantitatif
wajib atau harus dirumuskan hipotesis penelitian atau hipotesis statistik, karena ciri penelitian
kuantitatif adalah menguji teori; (b) bersifat deterministik terkait dengan variabel-variabel yang
akan ditelitinya. Hipotesis yang diajukan sebagai upaya penguat bahwa ada keterkaitan antar
variabel satu dengan variabel lainnya; dan (c) rumusan hipotesis bisa dalam bentuk hipotesis
alternatif (Ha) dan hipotesis nihil (Ho); (c) perumusan hipotesis harus berdasarkan landasan teori
dan kerangka berpikir (Bungin, B. 2001). Hipotesis penelitian adalah hipotesis untuk penelitian
pada seluruh populasi, sedangkan hipotesis statistik adalah hipotesis penelitian yang bekerja
dengan sampel.

Kedelapan, dilihat dari segi sampel penelitian, adalah: (a) menggunakan sampel yang banyak
memiliki tingkat representasi tinggi terhadap populasi yang hendak digeneralisasi; (b) semakin
banyak jumlah sampel semakin baik hasil penelitian, karena akan semakin banyak data yang
diperoleh yang berdistribusi normal; (c) teknik sampling biasanya menggunakan probability
sampling meliputi: simple random; proportionate stratified random; disproportionate stratified
random; dan area (cluster) random (Sugiyono, 2007); (d) bersifat reduksi, yaitu melakukan
penyederhanaan (simplikasi) terhadap kenyataan yang kemudian dilakukan generalisasi.

Kesembilan, dilihat dari metode pengumpulan data penelitian, adalah: (a) proses pengumpulan
data menggunakan angket, tes, dokumen, wawancara terstruktur yang terlebih dahulu dilakukan
uji instrumen untuk mencari validitas dan reliabilitas instrumen; (b) melakukan intervensi
terhadap realitas yang diteliti dengan cara memberikan perlakuan (treatment) baik berupa
pemberian angket, kuesioner, skala maupun pengkondisian perilaku; (c) hubungan antara peneliti
dengan subjek yang diteliti saat pengumpulan data adalah jauh, tidak akrab (tanpa kontak)
sehingga tetap dijamin objektivitas data (Hadi, S., 2004).

Kesepuluh, dilihat dari segi analisis data penelitian, adalah: (a) dilakukan pada akhir proses
setelah seluruh pengumpulan data dilakukan; (b) bersifat deduktif serta menggunakan analisis
statistik dalam menganalisis gejala yang diteliti; (c) tujuan analisis adalah untuk menguji atau
membuktikan hipotesis statistik yang diajukan; dan (d) jenis analisis statistik yang bisa dipakai
adalah: statistik deskriptif, statistik inferensial, statistik parametris, dan statistik nonparametris.
Penggunaan jenis analisis statistik tersebut adalah tergantung pada jenis data penelitiannya,
yaitu: data nominal (nominal data); data ordinal (ordinal data); data interval (interval data); dan
data rasio (ratio data) (Nurgiyantoro, B. Dkk. 2002).

Kesebelas, dilihat dari segi rekomendasi hasil penelitian, adalah: (a) rekomendasi teoritis adalah
hasil penelitian didasarkan atas kriteria objektivitas, reliabilitas dan validitas instrumen; (b)
logika research berdasarkan hipotesa deduktif verifikatif, karena sifatnya adalah menguji teori;
dan (c) rekomendasi praktisnya adalah memberikan data empirik yang objektif dan bisa
dipertanggungjawabkan karena kebenarannya bersifat etik, segala ukuran kebenaran telah sesuai
dengan teori yang dipakainya.

b. Orientasi filosofis dan ciri penelitian kualitatif


Sebagaimana uraian yang telah dikemukakan di muka, bahwa orientasi filosofis dari pendekatan
penelitian kualitatif adalah orientasi empirisme, atau idealisme atau konstruktivisme; atau
subjektivisme. Menurut Kirk and Miller dalam Moleong (2006), bahwa Istilah penelitian
kualitatif (qualitative research) awalnya bersumber pada ‘pengamatan kualitatif’ yang
dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif mendasarkan pada
penghitungan angka, serta statistik, sedangkan pengamatan kualitatif tidak mendasarkan pada
penghitungan angka tetapi mendeskripsikan realita alamiah dengan kalimat atau narasi. Menurut
Bogdan and Biklen, dalam Moleong (2006), ada beberapa istilah lain untuk menamakan
penelitian kualitatif (qualitative research), yaitu: Inkuiri naturalistik; Ethnografi; Interaksionis
simbolik; Ethnometodologi; Studi kasus; Fenomenologi; Penelitian deskriptif naratif, penelitian
tindakan (action research).

Beragam pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang penelitian kualitatif, yaitu:
(a) Menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan manusia baik dalam kawasannya
maupun dalam peristilahannya; (b) Menurut David Williams, penelitian kualitatif adalah
pengumpulan data pada satu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan
oleh peneliti yang tertarik secara alamiah; (c) menurut Denzin dan Lincoln, penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan tujuan menafsirkan fenomena yang
terjadi dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada; dan (d) Menurut Moleong,
dia melakukan sintesis tentang definisi penelitian kualitatif dari pendapat para ahli, yaitu
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, pandangan, motivasi, tindakan
sehari-hari, secara holistik dan dengan metode deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa
(naratif) pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah (Miles and Huberman, 1992; Moleong, L.J., 2006).

Landasan teori (orientasi paradigmatik) penelitian kualitatif adalah teori-teori yang berparadigma
definisi sosial (Ritzer, G. 2002), yaitu: Pertama, teori fenomenologi. Beberapa konsep penting
teori fenomenologi dalam memahami fenomena individu dan masyarakat antara lain:
1) Teori ini memandang dimensi subjektif atau pengalaman kesadaran sehari-hari individu
adalah paling penting sebagai sumber pengetahuan.

2) Teori ini menekankan pada studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang
tentang fenomena masyarakat.

3) Teori ini memandang bahwa pengalaman subjektif dan interpretasi subjek atau individu
adalah menentukan pandangan tentang masyarakatnya. Jadi, internal individu (jiwa atau pikiran)
menentukan eksternal (masyarakat dan dunianya).

4) Teori ini menolak pandangan positivisme atau objektitivisme yang memandang dunia serba
kuantitatif (eksternal mewarnai atau menentukan internal).

5) Teori ini berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk oleh sesutau hal lainnya (bukan
eksternal menentukan internal atau bukan struktur sosial menentukan individu) melainkan
dirinya sendiri. Jadi, kapasitas jiwa dan pikiran individu yang mewarnai atau menentukan
lingkungan hidupnya.

6) Peneliti dalam pandangan teori ini berusaha untuk memahami arti peristiwa sehari-hari dan
kaitannya terhadap individu-individu yang berada dalam situasi tertentu.

7) Penelitian yang menggunakan teori ini lebih menekankan pada pendekatan verstehen, yaitu
pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia, jadi lebih menekankan pada aspek
subjektif dari perilaku orang.

Jadi, penelitian kualitatif yang menggunakan teori fenomenologi adalah berusaha untuk masuk
ke dalam alam konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka
mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh individu (subjek) itu
tentang kehidupan atau peristiwa sehari-hari (Moleong, L.J. 2006). Sebagian para ahli
mengatakan bahwa teori fenomenologi ini merupakan teori utama yang sering dijadikan sebagai
theoritical orientation dalam qualitative research, sedangkan teori interaksionis simbolik, teori
budaya, ethnometodologi sering diposisikan sebagai penunjang. Namun perlu diperhatikan
bahwa memposisikan suatu teori tertentu sebagai theoritical orientation utama ditentukan oleh
karakteristik dari fenomena sosial budaya yang ditelitinya.

Kedua, teori Interaksionis simbolik. Para ahli teoritisi ilmu sosial menyimpulkan beberapa
substansi pokok dari asumsi teori interaksionisme simbolik dalam memahami individu dan
masyarakat, antara lain:

1) Manusia tidak seperti binatang, manusia dibekali dengan segala kemampuan berfikir dan
merenung tentang fenomena kehidupan yang dihadapi.

2) Kemampuan berpikir manusia itu dibentuk oleh proses interaksi sosial dalam proses-proses
kehidupan kelompok.

3) Dalam interaksi sosial orang belajar tentang makna dan simbol yang memungkinkan mereka
menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni kemampuan berpikir.

4) Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi dalam
proses-proses sosial di masyarakat.

5) Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi sosial berdasarkan interpretasi atau penafsiran mereka atas situasi tertentu
atau fenomena hidup yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

6) Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena potensi jiwa dan pikirannya
dan kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka
memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian
memilih salah satunya untuk dilakukan.

7) Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin itu membentuk kelompok dan masyarakat
(Ritzer, 2001; Poloma, 1997). Jadi, aspek ‘diri’, ‘jiwa’ dan ‘pikiran’ individu sangat menentukan
proses interaksi sosial dan memaknai segala tindakan manusia disetiap aktifitasnya di
masyarakat.

Perlu dipahami bahwa pada satu sisi ‘Interaksionis simbolik’ merupakan salah satu dari strategi
penelitian kualitatif yang berparadigma pospositivis (Muhadjir, N. 1990; Bakri, eds., 2002),
sedangkan pada sisi lain interaksionis simbolik merupakan salah satu teori sosial yang
berparadigma definisi sosial (Ritzer and Goodman, 2004). Baik interaksionis simbolik sebagai
salah satu strategi penelitian kualitatif maupun sebagai salah satu teori ilmu sosial, kedua-duanya
sama-sama menghendaki pentingnya memahami dimensi subjektif, personal atau alam pikiran
dan jiwa serta pandangan individu untuk memahami fenomena sosial di masyarakat.

Berdasarkan pandangan para ahli dapat disimpulkan tentang karakteristik penelitian kualitatif
adalah sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari orientasi filosofis dan teoritis adalah berorientasi
pada paham konstruktivisme, interpretif, dan subjektivisme. Sedangkan orientasi teoritisnya
adalah berorientasi pada teori-teori yang berparadigma definisi sosial (Ritzer, G. 2002). Diantara
ciri teori-teori yang berparadigma definisi sosial adalah: (a) seluruh pola perilaku manusia
dipengaruhi oleh faktor internal individu, yaitu pikiran, jiwa, motivasi, pandangan hidupnya; (b)
kerangka berpikirnya bersifat induktif abstraktif; (c) realitas sosial budaya adalah suatu kondisi
yang cair dan mudah berubah tergantung pikiran dan jiwa manusia yang berinteraksi dalam
memaknainya. Fenomena sosial bersifat multimakna; (d) tidak perlu adanya pengujian teori,
tetapi justru menemukan teori atau proposisi; (e) tindakan manusialah yang menentukan struktur
sosial-budaya, bukan struktur sosial-budaya yang menentukan tindakan manusia; (f)
mengandalkan pada kebenaran otentisitas, keabsahan data. Realitas dianggap nyata sejauh para
individu bersepakat bahwa hal itu memang nyata (Alvesson, M. and Skoldberg. 2000; Mulyana,
D. 2002).

Kedua, dilihat dari segi desain penelitian, adalah: (a) bersifat longgar, umum, fleksibel,
berkembang dan muncul dalam proses penelitian; dan (b) usulan penelitian (proposal) penelitian
kualitatif sifatnya sementara; proses penyusunan desain penelitian akan mudah berubah
disesuaikan dengan kenyataan di lapangan, hal ini karena: Realitas sosial bersifat jamak;
Fenomena sosial bisa berubah-ubah ketika terjadi interaksi antara peneliti dengan subjeknya;
Sistem nilai dan norma yang berkembang bersifat kompleks dan sulit diramalkan sebelumnya
(Stainback, S. And William Stainback. 1988; Moleong, L.J. 2006).

Ketiga, dilihat dari rumusan judul penelitian adalah: (a) rumusan judul penelitian kualitatif bisa
berubah-ubah, tergantung fenomena yang terjadi di lapangan, artinya rumusan judul penelitian
pada awal pengumpulan data bisa saja berubah ketika peneliti telah terlibat lama dalam proses
pengumpulan dan analisis data di lapangan; (b) dirumuskan dengan bahasa yang baik, jelas dan
menunjukkan fokus penelitiannya; dan (c) jelas persoalan dan objek kajiannya; kapan dan
dimana situs penelitiannya (Muhadjir, N. 1990; Silverman, D. 1993).

Keempat, dilihat dari rumusan masalah penelitian adalah: (a) rumusan masalah penelitian
kualitatif bisa berubah-ubah dengan memperhatikan realitas objek kajian di lapangan; (b)
rumusan masalah bisa dalam bentuk pernyataan suatu fenomena dan pertanyaan, misalnya
bagaimana dan mengapa?; (c) fungsi rumusan masalah hanya sekedar sebagai arahan,
pembimbing atau acuan pada proses penelitian untuk menemukan teori; (d) perumusan masalah
penelitian memperhatikan prinsip keterkaitan dengan kriteria inklusi-eksklusi; berkaitan dengan
fokus penelitian; berkaitan dengan hasil penelaahan kepustakaan; dan dirumuskan dengan bahasa
yang bagus (Stainback, S. And William Stainback. 1988).

Kelima, dilihat dari segi metode pengumpulan data, adalah lebih menggunakan strategi multi
metode, artinya data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif dari berbagai cara, yaitu melalui
metode wawancara takterstruktur; metode observasi partisipatif (pasif, moderat, aktif dan
lengkap); dan studi dokumenter (Seidman, E. 1991). Disamping itu proses pengumpulan data
dalam penelitian kualitatif tidak cukup sekali, tetapi terus berlangsung sepanjang proses
penelitian. Penelitian kualitatif menggunakan kombinasi metode-metode tersebut sebagai strategi
pengumpulan data, dan lebih menekankan pada metode observasi partisipasi. Oleh karena itu
peneliti kualitatif harus memahami betul teknik-teknik observasi secara baik. Menurut Spradley
(1980) ada tiga tahapan observasi yang harus dilakukan yaitu: (a) observasi deskriptif; (b)
observasi terfokus; dan (c) observasi terseleksi. Oleh karena itu peneliti kualitatif dalam proses
pengumpulan data harus melalui proses perencanaan yang matang, memulai pengumpulan data
dengan multi metode, pengumpulan data dasar, pengumpulan data penutup, dan melengkapi
data.

Keenam, dilihat dari deskripsi teori dalam proses penelitian, yaitu: (a) kajian teori atau kajian
literatur yang digunakan sifatnya sementara, tidak dijadikan sebagai pegangan utama, karena
dalam penelitian kualitatif adalah berusaha untuk mengungkap latar alamiah dari suatu objek
penelitian; dan (b) Kajian teori hanya sekedar sebagai pedoman awal agar tidak terlalu gelap
(buta) dalam mengawali kajian fenomena sosial-budaya tertentu. Oleh karena itu kajian teori
dalam penelitian kualitatif bukan untuk merumuskan hipotesis penelitian. Jadi, menurut para
ahli, dalam penelitian kualitatif ‘tidak dirumuskan hipotesis, karena justru akan menemukan
hipotesis’ (Bungin, B. 2003; Sugiyono, 2007).

Ketujuh, dilihat dari segi peranan peneliti dalam proses penelitian adalah: (a) peneliti sebagai
pengamat penuh, peneliti menyatu dengan objek yang diteliti dalam waktu yang relatif lama,
peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian; (b) peneliti ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
individu atau kelompok yang diamati sesuai dengan fokus kajiannya; (c) peneliti juga melakukan
wawancara mendalam (takterstruktur) berkaitan dengan beragam kegiatan individu atau
kelompok yang sesuai dengan fokus kajian; (d) hubungan antara peneliti dengan objek penelitian
adalah empati, akrab, berkedudukan sama, dan menyatu dalam pola kehidupan sehari-hari
(Spradley,1980; Muhadjir, N. 1990; Moleong, L.J., 2006).

Kedelapan, dilihat dari segi sampel penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kualitatif tidak
menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada
situasi atau fenomena sosial budaya tertentu (Sugiyono, 2007); (b) tidak menggunakan sampel
besar, melainkan sampel kecil karena tidak untuk menggeneralisasi suatu populasi; (b) sampel
penelitiannya tidak representatif (apabila penelitian kuantitatif harus representatif); (c) teknik
sampling biasanya menggunakan non probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel
yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi
untuk dipilih menjadi sampel. Non probability sampling yang sering dipakai adalah: purposive
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan atau tujuan
tertentu) dan snowball sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada
awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (bagaikan bola salju). Antara purposive
sampling dengan snowball sampling yang paling sering dipakai adalah snowball sampling, (d)
penentuan sampel dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian
berlangsung (emergent sampling design) (Spradley,1980).

Kesembilan, dilihat dari hubungan antar variabel penelitian, adalah: (a) dalam penelitian
kuantitatif, hubungan antar variabel bersifat sebab dan akibat (hubungan kausal), sehingga dalam
penelitian kuantitatif ada variabel independen (bebas) dan dependen (terikat), kemudian dicari
hubungan atau pengaruh antar variabel tersebut dengan menggunakan analisis statistik
(Wibisono, Y. 2005; Sudijono, A. 2006), hal ini tidak berlaku dalam penelitian kualitatif; (b)
dalam penelitian kualitatif, melihat hubungan antar variabel tidak bersifat kausal (sebab akibat)
melainkan bersifat interaktif atau saling mempengaruhi, sehingga tidak diketahui mana variabel
independen (bebas) dan variabel dependennya (terikat) (Muhadjir, N., 1990; Moleong, L.J.,
2006). Jadi, dalam peneliian kualitatif tidak ada variabel independen (bebas) dan variabel
dependen (terikat).

Kesepuluh, dilihat dari segi analisis data penelitian, adalah: (a) jenis datanya berupa uraian
kalimat (deskriptif), dokumen pribadi, catatan lapangan hasil observasi, catatan ucapan dari hasil
wawancara mendalam, dan beragam tindakan responden atau objek penelitian, serta dokumen-
dokumen lainnya; (b) analisis data penelitian bersifat interaktif, siklus dan induktif; (c) proses
analisis data berlangsung secara terus menerus, dari awal penelitian hingga akhir penelitian. Dan
kapan analisis data dianggap selesai, yaitu setelah proses pengumpulan data dan analisis data
sudah tidak ada yang dianggap baru (mengalami titik jenuh); dan (d) hasil analisis data adalah
mencari pola atau menemukan model, proposisi atau teori (Strauss, A.C.J. 1990. Silverman, D.
1993). Berbeda dengan hasil analisis data pada penelitian kuantitatif, yaitu menguji teori atau
menguji hipotesis penelitian.

Menurut Aminuddin dalam Bakri (ed) (2002), bahwa pendekatan penelitian kualitatif apabila
ditinjau dari paradigma yang digunakan dan dari segi tujuan yang hendak dicapai dapat
dibedakan menjadi sembilan macam strategi penelitian kualitatif yang masing-masing terbagi
kedalam tiga paradigma, antara lain:
1) Orientasi paradigma pospositivis. Menurut pandangan pospositivis, bahwa realitas sosial
dipandang sebagai: (a) bersifat ganda; (b) dapat di sistematisasikan; (c) mengemban ciri,
konsepsi, dan hubungan secara asosiatif; (d) dipahami secara alamiah, kontekstual, holistik; dan
(e) tujuan penelitiannya bersifat: eksploratif, eksplanatif, menghasilkan formasi teori secara
substantif dan bersifat praktis (punya fungsi terapan). Strategi penelitian kualitatif yang termasuk
dalam orientasi paradigma pospositivis antara lain: (a) penelitian studi kasus; (b) penelitian
etnografi; (c) penelitian interaksionis simbolik; (d) penelitian naturalistic-inquiry; dan (e)
penelitian grounded theory.

2) Orientasi paradigma konstruktivis. Menurut pandangan konstruktivis, bahwa realitas sosial


dipandang sebagai: (a) gejala yang sifatnya tidak tetap dan ada hubungan erat dengan kondisi
masa lalu-kini dan akan datang; (b) realitas sosial hanya bisa dipahami berdasarkan konstruksi
kesadaran dan dunia pengalaman peneliti dalam hubungannya dengan kehidupan kemanusiaan
sehari-hari; (c) pemahaman atas suatu realitas sosial bersifat relatif dan dinamik; (d) tanggapan
dalam dunia pengalaman seseorang tidak bersifat tertutup melainkan diarahkan oleh kesadaran
atas realitas luar, bersifat terbuka dan akumulatif; (e) tanggapan tersebut bermakna semata-mata
apabila peneliti telah memiliki skemata atau stock of knowledge, daya asimilasi, daya
akomodasi, dan kemampuan merekonstruksi pemahaman secara logis; dan (f) tujuan
penelitiannya bukan untuk memecahkan masalah atau membentuk teori tetapi membangun dan
mengartikulasikan pemahaman secara akumulatif. Jadi, kajian tentang sesuatu bukan hanya ada
dalam proses induksi-analitik atau realisme-analitik melainkan dalam proses refleksi-
hermeneutis. Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam orientasi paradigma konstruktivis
antara lain: (a) penelitian etnometodologi; (b) penelitian etnografi-teks; dan (c) penelitian
tindakan (action research).

3) Orientasi paradigma posmodernis. Menurut posmodernis adalah: (a) pemahaman tentang


realitas sosial berada dalam hubungan: teks atau realitas → konstruksi atau dekonstruksi →
pemahaman. Sedangkan pandangan pospositivis dan konstruktivis, pemahaman tentang realitas
sosial berada dalam hubungan: realitas → pengalaman → penggarapan → pemaknaan →
pemahaman; (b) pemahaman ada dalam kondisi dekonstruksi. Pemahaman terhadap realitas
didudukkan sebagai jembatan menuju empowerment; dan (c) tujuan penelitian bukan hanya
untuk pemahaman itu sendiri melainkan untuk pemberdayaan dan kebermaknaan kehidupan
kemanusiaan sehari-hari. Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam paradigma
posmodernis adalah penelitian pluralisme inferensial, yaitu penelitian yang digunakan untuk
menemukan pemahaman detil fakta secara intertekstual dan hubungannya dengan empowerment.
Sedangkan sumber data penelitian pluralisme inferensial adalah pengalaman-pengalaman
simbolik dan wacana keseharian.

Kemudian kapan atau fenomena sosial yang bagaimana sebaiknya penelitian kualitatif itu
dilakukan?. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan para ahli, paling tidak terdapat sembilan
aspek atau kondisi fenomena sosial budaya yang cocok untuk dilakukan penelitian kualitatif
antara lain:

1) Apabila tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah ingin mengkaji pandangan,
motivasi, dan makna yang terkandung dibalik praktik-praktik sosial budaya yang dilakukan oleh
individu atau anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kuantitatif relatif
sulit apabila ingin menyelami pandangan atau makna yang tersembunyi dibalik realitas atau
aktivitas sehari-hari seseorang di mayarakat.

2) Apabila pokok permasalahan yang akan dikaji masih belum jelas atau masih bersifat umum,
dan apabila peneliti ingin melakukan penjelajahan dengan grant tour question terhadap fenomena
sosial budaya yang akan dikaji. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang pokok permasalahan
penelitian sudah sangat jelas dan rinci.

3) Apabila penelitian itu berusaha untuk memahami makna di balik data yang tampak. Fenomena
sosial budaya sering sulit dipahami secara mendalam apabila hanya berdasarkan angket dalam
proses penggalian data sebab apa yang dipilih dalam angket belum tentu hati atau pikirannya
sama, karena sering tindakan dan ucapan orang itu mempunyai makna ganda. Realitas tersebut
membuktikan pentingnya pendekatan kualitatif dalam memahami makna dibalik data yang
tampak.

4) Apabila penelitian itu berusaha untuk menjelaskan suatu fenomena atau gejala sosia budaya
secara lebih spesifik tetapi mendalam atau integratif, menyeluruh dan lebih detil. Berbeda
dengan penelitian kuantitatif yang lebih menekankan pada penjelasan yang bersifat makro,
deduktif dan tidak fokus pada persoalan yang lebih spesifik.

5) Apabila penelitian itu untuk memahami pola dan proses interaksi sosial-budaya. Pola dan
proses Interaksi sosial-budaya yang kompleks dan dinamik akan lebih baik dan lengkap untuk
dijelaskan kalau peneliti melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan cara melakukan
observasi partisipatif dan wawancara mendalam dalam proses pengumpulan data. Jadi, penelitian
kuantitatif sangat sulit untuk menyelami pola-pola interaksi sosial-budaya antar individu atau
kelompok yang berlangsung sangat dinamik dan kompleks.

6) Apabila proses analisis penelitiannya berpola siklus, berulang-ulang dan berlangsung relatif
lama untuk lebih memahami realitas sosial-budaya secara holistik dan mendalam. Disamping itu
hubungan antara peneliti dengan objek penelitian bersifat akrab, menyatu dan saling mengisi.

7) Apabila penelitian itu untuk menemukan teori atau mengembangkan teori. Metode kualitatif
paling cocok digunakan untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data lapangan.
Teori yang demikian dibangun melalui grounded research. Berbeda dengan pendekatan
kuantitatif yaitu menguji teori atau membuktikan hipotesis.

8) Apabila penelitian itu untuk memastikan kebenaran data. Dengan metode kualitatif, melalui
teknik pengumpulan data secara triangulasi atau gabungan multi data dan berlangsung secara
berulang-ulang sampai mencapai titik jenuh, maka kualitas kebenaran data akan lebih dijamin
daripada hanya mendasarkan pada angket seperti dalam penelitian kuantitatif.

9) Apabila penelitian itu akan mengkaji sejarah perkembangan suatu objek penelitian. Dengan
karakteristik proses pengumpulan sumber data dalam penelitian sejarah melalui kritik intern dan
kritik ekstern maka terasa sangat sulit penelitian sejarah dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif.

Jadi, uraian tersebut di atas tentang karakteristik penelitian kualitatif memberikan pemahaman
bahwa pemilihan pendekatan kualitatif dalam proses penelitian ilmiah akan cocok diterapkan
dalam studi atau kajian ilmu-ilmu pengetahuan sosial budaya atau humaniora, yang ingin lebih
jauh memahami beragam fenomena psikhologi, sosial dan kebudayaan yang dinamik, kompleks
dan holistik. Sedangkan untuk studi ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences) akan lebih
cocok menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif.

c. Orientasi filosofis dan ciri penelitian gabungan

Mengkaji fenomena sosial-budaya pada hakikatnya dapat dicermati dari dimensi objektivis dan
dimensi subjektivis. Dimensi objektivis berorientasi pada aliran positivisme atau aliran
rasionalisme (pendekatan penelitian kuantitatif), sedangkan dimensi subjektivis berorientasi pada
aliran Idealisme, konstruktivisme, atau interpretif (pendekatan penelitian kualitatif) (Burrell and
Morgen, 1994; Praja, J.S., 2003). Sedangkan perbedaan pandangan pendekatan objektivisme
(pendekatan kuantitatif) dan subjektivisme (pendekatan kualitatif) dalam memahami fenomena
sosial-budaya telah diuraikan di atas.

Berdasarkan uraian tentang karakteristik pendekatan kuantitatif dan kualitatif tersebut di atas
memberikan kepahaman bahwa: (a) dalam melakukan analisis terhadap fenomena sosial-budaya,
seorang peneliti harus mengkaji karakteristik fenomena sosial-budayanya, untuk kemudian
dicarikan keserasian dengan ciri atau karakteristik orientasi teorinya dan pendekatan research-
nya; (b) pada dasarnya antara paradigma satu dengan paradigma yang lain (paradigma objektivis
dan paradigma subjektivis) tidak dalam posisi ‘ada yang paling benar, atau paling utama dari
yang lain’, kedua paradigma objektivis dan subjektivis akan tetap atau ‘proporsional’ dipakai
apabila situasi dan kondisi realitas sosial-budayanya memang selaras dengan karakteristik
paradigma tersebut. Jadi, pemilihan perspektif positivisme (objektivis) maupun idealisme
(subjektivis) dalam proses penelitian, akan membawa konsekwensi pendekatan dan strategi
penelitian yang berbeda.

Pendekatan objektivis (paradigma positivis atau konvensional) sering disebut dengan perspektif
etik (dari luar) dan pendekatan penelitian yang dipakai tentunya adalah Quantitative research
dengan menggunakan logico deductive verifikatif. Sedangkan pendekatan subjektivis
(konstruktivis) sering disebut dengan perspektif emik (dari dalam) dan pendekatan penelitiannya
adalah Qualitative research dengan menggunakan logico inductive abstractif yang bertujuan
untuk meneliti makna sosial kultural dari ‘dalam’ dan analisisnya cenderung bersifat ideografik
(Chadwick, 1984; Giddens, 1987).

Dalam perspektif teoritis, banyak teoritikus sosial yang menganjurkan pentingnya para peneliti
sosial budaya untuk menggunakan teori integratif dalam melakukan analisis fenomena sosial-
budaya. Beberapa pandangan para teoritikus sosial yang mendorong perlunya melakukan analisis
sosial dengan menggunakan teori integrasi mikro-makro antara lain: (a) Helmut Wanger dalam
karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the Relationship betweem Small Scale and
Large Scale Siciological Theory’ (1964), yang membahas pentingnya hubungan antara teori
sosial berskala mikro (induktif) dan teori berskala makro (deduktif); (b) Waller dalam karyanya
‘Overview of Contemporary Sociological Theori’, dalam Sociological Theory (1969), membahas
tentang ‘Kontinun (rangkaian kesatuan) antara mikro-makro’; dan (c) Eisenstadt and Helle. H.J.
dalam bukunya Macro Sosiological Theory: Perspectives on Sociological Theory (1985a)
menyimpulkan bahwa ‘Konfrontasi antara teori makro dan mikro mestinya sudah berlalu’ dan
perlunya hubungan timbal balik antara teori mikro makro (Alexander, 1987) dalam proses
analisis sosial.

Beberapa pandangan para teoritisi tersebut dapat dikatakan sebagai embrio tentang pandangan
pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro atau pendekatan subjektivis dengan teori-teori
makro atau pendekatan objektivis dalam melakukan analisis realitas sosial budaya. Gerakan atau
perkembangan perlunya analisis sosial budaya dengan pola integrasi mikro-makro atau integrasi
agen-struktur begitu sangat popular di tahun 1980-an dan 1990-an dan terus berkembang sampai
sekarang (Ritzer dan Godman, 2003).

Pandangan para teoritikus sosial modern juga telah menyinggung perlunya pendekatan integratif
dalam melakukan analisis sosial budaya, diantaranya adalah: Pertama, Emille Durkheim, bahwa
pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas barang sesuatu yang bersifat material (norma hukum
dan arsitektur) dan non material (kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel
dengan kategori realitas sosial atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif dalam
pandangan Ritzer. Sayangnya Durkheim tidak menjelaskan kaitan secara jelas antara unit-unit
realitas sosial makroskopik dengan mikroskopik. Oleh para ahli konsep Durkheim tentang
pendekatan terpadu itu belum lengkap, dan penekanannya masih terarah kepada fenomena
makroskopik (Ritzer, 2002).

Kedua, Karl Marx, bahwa pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi
Marx tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada struktur makro. Marx mulai dengan
konsep tentang aktor yang aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali dengan
kemampuan berpikir aktif, kreatif yang berperan dalam mengembangkan masyarakat dalam
proses historis. Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat
(makro objektif), yang berarti Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas
sosial budaya tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model integrasi mikro-
makro Marx masih memberatkan pada struktur makro yang bersifat materi menentukan struktur
mikro yang bersifat non materi (Johnson, D.P., 1986).

Ketiga, Max Weber, bahwa perhatian Weber terhadap faktor makro-objektif ditunjukkan pada
struktur birokrasi. Sedangkan faktor makro-subjektif adalah perhatiannya pada rasionalisasi
nilai-norma. Weber memperhatikan pada realitas sosial budaya tingkat makro (contoh, konsep
‘kharisma’ yang melembaga; konsep ‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya
perhatian yang sangat besar pada tingkat mikro (contoh, pandangannya bahwa “manusia
memiliki pikiran dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial). Menurut
Weber, semua tindakan individu ditentukan oleh faktor internal (subjektif) yaitu jiwa dan pikiran
rasional manusia itu sendiri bukan ditentukan eksternal/ lingkungan (objektif). Ada empat
macam tindakan individu menurut Weber, yaitu: Tindakan rasional instrumental; Tindakan
irasioal instrumental; Tindakan afektif; dan Tindakan tradisional. Dari keempat macam tindakan
tersebut tindakan rasional instrumental adalah paling kunci. Jadi, pandangan Weber banyak
membantu untuk kepentingan analisa terpadu mikro-makro, tetapi menurut para ahli, Weber
lebih menekankan aspek mikro (pikiran rasional subjek/ individu) yang menentukan aspek
makro, bukan aspek makro menentukan mikro (Wrong, D. (ed), 2003).

Keempat, Talcott Parsons, bahwa Meskipun Parsons memusatkan perhatian pada fakta sosial, dia
juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep tentang empat
sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan Biologis) yang diajukan oleh
Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai tingkat realitas sosial. Sistem tindakan
kultural Parsens adalah paralel dengan konsep makro subjektif-makro objektif, dan sebagian
konsep kepribadian Parsens juga paralel dengan tingkat mikro subjektif (Ritzer, 2002). Meskipun
Parsons juga menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu, namun titik berat
argumentasinya masih terletak pada sisi struktur makro, yakni pada pengaruh sistem sosial dan
sistem kultural terhadap kepribadian (aspek mikro). Individu terdeterminasi oleh faktor eksternal
sebagai akibat internalisasi sistem nilai masyarakat. Menurut Parsons, kemampuan individu
(sistem kepribadian atau sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro) adalah kecil
sekali atau hampir tidak ada, yang terjadi adalah sebaliknya (Ritzer, 2002).

Kelima, Ritzer dalam bukunya ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science’ (1980),


mengemukakan betapa pentingnya peneliti sosial budaya menggunakan pendekatan integrasi
teori atau paradigma secara terpadu dalam melakukan analisis sosial. Sedangkan pokok-pokok
pikiran Ritzer antara lain: (1) paradigma terpadu bukan dimaksudkan sebagai pengganti
paradigma objektivis atau subjektivis yang sudah ada. Paradigma yang ada akan tetap bermakna
bagi analisis sosial budaya selama tidak menganggap satu paradigma tertentu itu dapat
menjelaskan semua fenomena sosial budaya secara komprehensif; (2) bahwa inti paradigma
terpadu terletak pada hubungan antar keempoat tingkat realitas sosial, yaitu: (a) makro-objektif,
contohnya birokrasi, norma hukum, bahasa; (b) makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma
dan kultur; (c) mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti: kerjasama,
konflik dan pertukaran antar individu; (d) mikro-subjektif, contohnya proses berpikir, motivasi,
pandangan, perasaan individu dan konstruksi sosial realitas oleh individu. Jadi, yang penting
dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut harus diperlakukan secara
integratif, artinya setiap persoalan khusus yang dikaji harus diselidiki dari empat tingkatan sosial
tersebut secara terpadu’; (3) realitas sosial dalam kenyataan yang sebenarnya sedemikian
kompleks, terus menerus berubah, sehingga diperlukan analisis terpadu dari berbagai aspek
tersebut; (4) paradigma terpadu harus diperbandingkan berdasarkan perjalanan waktu atau antara
berbagai masyarakat.
Sifat saling melengkapi dari pendekatan terpadu ini memungkinkan untuk pengumpulan data
dengan berbagai metode (wawancara, observasi, kuesioner, dokumentasi, eksperimen, dan
sebagainya) dalam penelitian ilmiah; dan (5) paradigma terpadu harus mengambil manfaat dari
logika dialektik atau saling berhubungan. Diantara ciri logika dialektik adalah: (a) memandang
manusia sebagai pencipta sebagian besar struktur sosial dan struktur sosial itu pada gilirannya
membatasi dan memaksa si-aktor, (b) mempunyai pandangan yang sangat jelas tentang
hubungan antara realitas sosial makroskopik dan mikroskopik, (c) tidak menitik beratkan pada
salah satu tingkat realitas sosial tertentu (semua tingkat realitas sosial dipandang berada dalam
hubungan yang bersifat interaktif), (d) dimulai dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam
alam yang nyata’, segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-lamanya,
dan (e) berpikir dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas
sosial, juga dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi (Ritzer dan Goodman, 2003).

Keenam, Anthony Giddens, menurut Turner, B. (2000), bahwa salah satu teori yang paling
terkenal dewasa ini, yang menganjurkan pentingnya integrasi mikro-makro atau subjektif-
objektif atau integrasi agen-struktur dalam melakukan analisis fenomena sosial budaya adalah
Teori Strukturasi oleh A. Giddens. Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline
of the Theory of Structuration (1984) mengatakan bahwa: (1) setiap riset dalam ilmu sosial atau
siret sejarah seharusnya selalu mengintegrasikan antara tindakan (agen) dengan struktur. Tetapi
dalam hal ini bukan berarti bahwa struktur (makro) ‘menentukan’ agen (mikro) atau sebaliknya;
(2) bidang mendasar studi ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor
individual (agen) atau bentuk-bentuk kesatuan sosial (struktur) tertentu, melainkan praktik
(interaksi) sosial agen-struktur yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang (time
and space); (3) praktik sosial atau aktivitas sosial tidak dihasilkan melalui kesadaran individu
tentang realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma subjektivis), juga bukan diciptakan oleh
struktur sosial (seperti pandangan teori-teori paradigma objektivis), tetapi melalui integrasi agen-
struktur yang terus berinteraksi melintasi dimensi ruang dan waktu. Jadi, teori strukturasi
menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’. Strukturasi meliputi
hubungan dialektika antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan
dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa
keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya. (Giddens, 1995). Jadi, dalam
pandangan teori strukturasi Giddens, setiap penelitian yang hendak mengkaji fenomena sosial
tidak akan bisa menghasilkan analisis data secara baik apabila tidak berusaha untuk
mengintegrasikan agen-struktur.

Permasalahan yang muncul adalah, apakah metode kuantitatif dan metode kualitatif dapat
digabungkan dalam proses penelitian?. Beberapa argumentasi berikut ini cukup bisa dijadikan
alasan pentingnya melakukan penelitian sosial dengan menggunakan pendekatan integratif
(kuantitatif-kualitatif), antara lain:

1) Pandangan Ritzer tentang integrasi mikro-makro dan pandangan Giddens tentang teori
strukturasi di atas merupakan bukti teoritis pentingnya penggunakan pendekatan integratif
kuantitatif-kualitatif dalam penelitian sosial-budaya (Giddens, 1995; Ritzer, 2002).

2) Setiap metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, masing-masing mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi
(complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan kelemahan
yang dimiliki masing-masing pendekatan penelitian itulah yang menyebabkan perlunya
pendekatan memadukan kuantitatif-kualitatif dalam proses penelitian sosial-budaya (Brannen
(ed), 2002)

3) Kuantitatif dan kualitatif bisa digunakan bersama atau digabungkan dengan syarat: (a)
meneliti pada objek yang sama dengan mempunyai dua tujuan yang hendak diungkapnya,
misalnya kualitatif untuk menemukan hipotesis sedangkan kuantitatif untuk menguji hipotesis
(Stainback, S., 1988). Digunakan secara bergantian, misalnya pada tahap pertama menggunakan
metode kualitatif, sehingga ditemukan hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan
metode kuantitatif (Sugiyono, 2007), atau sebaliknya, yaitu penelitian kuantitatif untuk menguji
teori, kemudian hasil pengujian teori tersebut didalami lebih jauh dan integral dengan
pendekatan kualitatif.

4) Penggabungan bisa dilakukan pada aspek metode pengumpulan datanya, yaitu dalam
penelitian kuantitatif metode utama dalam pengumpulan datanya adalah menggunakan angket,
kemudian dari beberapa item pada angket tersebut didalami lagi dengan menggunakan metode
observasi dan wawancara takterstruktur (ciri metode pengumpulan data kualitatif). Jadi
menggunakan triangulasi dalam pengumpulan data.

5) Menurut Bryman dalam Brannen, J. (2002), ada beberapa alasan bahwa penelitian kuantitatif
dan kualitatif dapat digabungkan yaitu: (a) hasil-hasil penelitian kuantitatif dapat dicek pada
penelitian kualitatif, tujuannya adalah untuk memperkuat kesahihan temuan; (b) penelitian
kualitatif dapat membantu memberikan informasi dasar tentang konteks dan subjek, hal ini
sangat penting bagi penelitian kuantitatif yaitu sebagai sumber hipotesis dan membantu dalam
membuat konstruksi skala; (c) penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan untuk
memberikan gambaran hasil research yang lebih komprehensif, karena keduanya saling mengisi
kelemahan masing-masing; (d) penelitian kuantitatif biasanya dikemudikan oleh perhatian
peneliti, sementara penelitian kualitatif mengambil perspektif subjek sebagai titik tolak.
Penekanan-penekanan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi; (e) penelitian
kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara ubahan-ubahan, sebab penelitian
kuantitatif biasanya mudah untuk menentukan hubungan antar ubahan (variabel) tetapi sering
lemah dalam memberi alasan dari hubungan antar peubah tersebut, hal ini akan dibantu dengan
penelitian kualitatif; (f) penggabungan akan mampu memberikan penjelasan tentang hubungan
antara tingkat makro (kuantitatif) dan mikro (kualitatif), karena kedua hal ini selalu melekat pada
fenomena sosial.

6) Ada permasalahan dalam studi ilmu sosial budaya (fenomena sosial budaya) yang banyak
terpecahkan dengan penerapan analisis statisitik (Quantitative research), akan tetapi ada juga
permasalahan sosial budaya (fenomena sosial budaya) lain yang sulit dijelaskan dengan
menggunakan analisis statistik saja, sehingga mengharuskan peneliti untuk menggunakan metode
penelitian kualitatif (Qualitative research), khususnya apabila ingin menyelami kedalaman
makna, pandangan, nilai-nilai yang dianut para agen praktik sosial yang terentang dalam ruang
dan waktu (space and time) yang begitu sangat dinamik dan kompleks (Alvesson and Skoklberg,
2000; Creswell, 2005).

7) Pengumpulan data penelitian dengan teknik angket (pendekatan kuantitatif) seringkali belum
mampu menjamah dimensi-dimensi psikologis yang unik dan makna terdalam (menukik kedalam
pikiran aktor), oleh karena itu dipandang perlu untuk melibatkan observasi partisipatif dan
wawancara takterstruktur, yang umumnya dikenal dalam metode kualitatif. Oleh karena itu
seorang peneliti yang mengharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang fenomena sosial
yang dikaji secara lebih komprehensif salah satu jalan adalah menggunakan pendekatan
perpaduan kuantitatif-kualitatif.

Meskipun ada sebagian ahli menolak adanya metode gabungan kuantitatif dan kualitatif dalam
proses penelitian, misalnya Cicourel, tetapi banyak pula teoritikus yang mendukung perlunya
pendekatan integrasi dalam proses analisis penelitian sosial, antara lain: (1) Denzin dengan
istilah ‘Triangulati Methods’; (2) Burgess dengan istilah ‘Strategi Penelitian Ganda’; (3)
Brannen dengan istilah ‘Mixing Methods’; (4) John W. Creswell dengan istilah ‘Combined
Qualitative and Quantitative Designs’; (5) Giddens dengan istilah ‘Dualitas Structur atau
Strukturati’; dan (6) Ritzer dengan istilah ‘Micro-Macro Integration’ (Brannen (ed), 2002; Ritzer
and Goodman, 2003).

Menurut John Creswell dalam bukunya Research Design Qualitative & Quantitative Approache
(1994), ada tiga model rancangan penelitian gabungan, yaitu: (a) model pertama, disebut
pendekatan rancangan dua fase (the two-phase design approarche); (b) model kedua, disebut
rancangan dominan-kurang dominan (the dominant-less dominant design); dan (c) model ketiga,
disebut rancangan metodologi campuran (the mixed-methodology design). Sedangkan J.
Brannen dalam bukunya ‘Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research’ (2002),
membagi tiga model rancangan penelitian gabungan, yaitu: (a) rancangan penelitian yang
menempatkan metode kuantitatif lebih dominan atas metode kualitatif; (b) rancangan penelitian
yang menempatkan metode kualitatif lebih dominan atas metode kuantitatif; dan (c) rancangan
penelitian yang menempatkan aspek kuantitatif dan kualitatif diberi bobot yang seimbang.

E. Hakikat Aksiologi Ilmu

Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi
kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral
dalam kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional dari
ilmu pengetahuan bagi kehidupan masyarakat.

1. Fungsi ilmu pengetahuan (science)

Pada pembahasan di atas telah diuraikan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan bagaimana cara-
cara memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan fungsi ilmu pengetahuan bagi kehidupan ummat
manusia menurut para ahli antara lain: (1) fungsi praktis, yaitu melakukan penyingkapan,
mempelajari fakta, dan memajukan pengetahuan guna melakukan berbagai perbaikan dalam
kehidupan masyarakat; dan (2) menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku
kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan, sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu
pengetahuan dengan beragam kejadian untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga
mempunyai manfaat yang tinggi bagi kehidupan manusia, baik untuk kehidupan individu atau
masyarakat (Kerlinger, F., 2002).

Pandangan lain mengatakan bahwa ada tiga fungsi atau kegunaan ilmu pengetahuan, yaitu:
Pertama, sebagai alat eksplanasi, yaitu ilmu pengetahuan (science) merupakan media yang paling
baik dalam menerangkan atau menjelaskan (mengeksplanasikan) segala fenomena kehidupan
yang terjadi di masa lampau maupun yang terjadi di era sekarang. Segala kejadian dalam
kehidupan di masa lampau, baik menyangkut perubahan fenomena alam, perubahan dan
dinamika ekonomi, politik, hukum, dan sosial-kebudayaan semuanya mampu dijelaskan dengan
baik oleh ilmu pengetahuan. Contoh, penjelasan segala peristiwa di masa lampau dapat
dijelaskan oleh sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah pendidikan, sejarah hukum, sejarah
kesusastraan, sejarah agama dan sebagainya. Penjelasan tentang segala fenomena di masa
lampau yang objektif adalah diperoleh dari penjelasan (eksplanasi) ilmu pengetahuan.

Kedua, sebagai alat untuk meramalkan suatu fenomena tertentu. Melalui proses penelitian ilmiah
tentang suatu fenomena tertentu, seorang ilmuwan akan memperoleh data yang valid dan mampu
mengambil kesimpulan tentang sesuatu hal, misalnya fenomena X, melalui penelitian ilmiah
seorang peneliti akan memperoleh: (a) latar belakang terjadinya fenomena X; (b) sebab-sebab
terjadinya fenomena X; (c) faktor-faktor pendorong dan penghambat terjadinya fenomena X; (d)
strategi meningkatkan kualitas fenomena X; (e) memberikan rekomendasi teoritik dan praktis
tentang fenomena X, dan seterusnya tentang sesuatu yang bisa diungkap tentang fenomena X.
Ketika dilakukan penelitan ulang tentang femonema X yang relatif sama dengan kondisi situs
penelitian yang relatif sama di daerah lain, maka hasil penelitian ilmiah pertama akan menjadi
referensi penting bagi penelitian lanjutan, dan hasil penelitian lanjutan tersebut akan mampu
memberikan rekomendasi teoritik atau prediksi tentang perkembangan fenomena X tersebut di
masa akan datang yang lebih lengkap. Jadi, fungsi ilmu pengetahuan dalam teori harus bisa
memberikan fungsi prediksi ke depan tentang suatu fenomena kehidupan dengan baik. Meskipun
sifat kebenaran prediksi tersebut tidak mutlak, namun kehadiran prediksi science mempunyai
nilai fungsional yang penting bagi kehidupan sekarang dan yang akan datang.

Ketiga, sebagai alat kontrol. Perbedaan antara prediksi (ramalan) dengan kontrol (pengendalian)
adalah, apabila prediksi sifatnya ‘relatif statis’, karena hanya memberikan beberapa alternatif
kemungkinan akan terjadinya sesuatu, berdasarkan data-data empirik hasil penelitian
sebelumnya. Sedangkan kontrol lebih mempunyai ‘sifat dinamik’ atau aktif terhadap suatu
keadaan tertentu. Kontrol dilakukan juga tidak lepas dari hasil penelitian ilmiah. Suatu kontrol
dapat dilakukan dengan baik, apabila telah dilakukan proses penelitian ilmiah terhadap sesuatu
fenomena tertentu (Agus, B.1999; Keraf, S. dan Dua, M., 2001; Tafsir, 2007).

2. Tanggung jawab ilmu pengetahuan terhadap kehidupan

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa setiap ilmu pengetahuan dibangun atas dasar
tiga landasan filosofis ilmu, yaitu: ontologi ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi ilmu.
Khususnya tentang aksiologi, punya makna bahwa hakikat ilmu pengetahuan akan punya arti
atau makna apabila ilmu pengetahuan itu mempunyai nilai pragmatis atau mempunyai makna
fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat secara lebih berkualitas dalam segala aspeknya.

Atas dasar prinsip tersebut di atas maka prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap
ilmuwan dalam memahami makna aksiologi ilmu pengetahuan antara lain:

1. Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab sosial dan moral yang terpikul di pundaknya.
Seorang ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga
ikut bertanggunjawab agar produk keilmuan atau hasil-hasil penelitian ilmiah mampu memberi
manfaat bagi kehidupan masyarakat secara kuantitatif atau kualitatif.
2. Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan.
Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang
ilmuwan pada setiap proses penelitian yang dia lakukan.
3. Seorang ilmuwan harus: mampu memberikan penjelasan (eksplanasi) tentang fenomena hidup;
mampu memberikan kesimpulan tentang fenomena hidup; dan mampu memprediksi tentang
fenomena hidup secara objektif dan komprehensif, serta selalu membangun komitmen untuk ikut
membentuk atau mewarnai pola perilaku manusia paripurna (manusia yang berkualitas dalam
hubungan dengan sesamanya, dengan alam dan dengan Tuhannya) (Drijarkara, N.,1978;
Suriasumantri J.S., 1996; Mutahhari, 1997).
4. Agar seorang ilmuwan mampu memberikan kontribusi pencerahan pemikiran kepada setiap
manusia dalam memaknai segala fenomena kehidupan, maka setiap ilmuwan harus mampu
membangun kualitas diri (internal) secara padu dan seimbang antara kualitas potensi intelektual,
emosional dan spiritualnya (IESQ). Kemampuan diri dalam membangun IESQ akan mendorong
setiap karya yang dihasilkan individu mempunyai makna pencerahan bagi kehidupan, sehingga
apapun informasi dari hasil penelitian ilmiah diberbagai bidang kehidupan akan mempunyai nilai
aksiologi (pragmatis) yang tinggi bagi kehidupan ummat manusia (Agustian, Ary G. 2005;
Mutahhari, 2007).

Jadi, pada hakikatnya setiap ilmuwan mempunyai tanggungjawab ganda dalam upaya
pembangunan kualitas hidup manusia, yaitu: (a) tanggungjawab membangun kualitas daya
analisis ilmiah (prinsip-prinsip berpikir ilmiah), demi meraih kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan; (b) tanggungjawab membangun kualitas sikap
mental (potensi rasa dan karsa); demi meraih kehidupan yang damai dan sejahtera secara
individu atau kelompok; dan (c) tanggungjawab membangun kualitas spiritual, demi meraih
kerukunan antar ummat beragama dan demi meraih makna kebahagiaan hidup hakiki. Ketiga
tanggungjawab tersebut merupakan satu kesatuan sistem, yang harus menjadi obsesi setiap
ilmuwan dalam pengembangan setiap disiplin ilmu pengetahuan.
F. Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, Agama dan Kehidupan

Sebagaimana yang telah disinggung atau diuraikan di atas, bahwa ‘dalam rangka membangun
kualitas proses pemenuhan segala kebutuhan manusia dalam hidupnya, manusia harus
berorientasi pada ‘nilai-nilai filosofis, nilai-nilai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual’.
Antara filsafat, ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan adalah suatu sistem. Uraian berikut ini
akan menjelaskan tentang: (a) hubungan antara filsafat dengan ilmu; (b) hubungan antara filsafat,
ilmu pengetahuan dan agama; (c) hubungan ilmu pengetahuan dengan nilai, norma (budaya); dan
(d) hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan.

Pada dasarnya pembahasan tentang hubungan antara filsafat, ilmu, agama dan kehidupan sosial-
budaya adalah merupakan penjelasan lebih lanjut tentang ‘hakikat aksiologi ilmu’. Oleh karena
itu penjelasan berikut ini akan lebih memperkuat asumsi ‘bahwa antara filsafat, ilmu, agama dan
makna kehidupan adalah sangat erat’. Filsafat dan ilmu pengetahuan harus mempunyai makna
pragmatis atau mempunyai nilai fungsional bagi kehidupan masyarakat.

1. Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan

Dalam perspektif apapun, tidak ada ilmuwan yang menolak asumsi bahwa ‘filsafat dan ilmu
pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat’, keduanya bagaikan dua sisi dalam satu
keping mata uang. Jadi, antara filsafat dengan ilmu pengetahuan merupakan satu sistem,
keduanya sulit dipisahkan, keduanya saling mengisi dalam memahami segala fenomena
kehidupan, baik fenomena sosial-budaya maupun fenomena alam. Ada beberapa argumentasi
tentang eratnya hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, antara lain:

a. Ilmu pengetahuan sebagai asas moral, artinya pengembangan ilmu pengetahuan yang
dilakukan oleh setiap ilmuwan harus menjunjung tinggi kebenaran ilmiah dan mempunyai
dimensi pengabdian secara universal (holistik) untuk nilai-nilai kemanusiaan yang agung. Paling
tidak ada tujuh nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan, yaitu: nilai kritis; nilai rasional; nilai
logis; nilai objektif; nilai keterbukaan; nilai kebenaran; dan nilai pengabdian untuk kemaslahan
hidup (kebaikan) secara universal. Diantara ketujuh nilai tersebut pada hakikatnya merupakan
bagian dari ciri-ciri studi filsafat (Ghulsyani,M. 1986; Ankersmit. 1987; Hanafi, H., 2004). Jadi,
baik filsafat maupun ilmu pengetahuan mempunyai misi yang sama dalam menjelaskan
fenomena hidup di atas prinsip-prinsip: kejujuran, kebenaran, keterbukaan, kritis, logis dan
kemaslahatan hidup.

b. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara dalam menemukan hakikat kebenaran secara
rasional, empirik, dan objektif. Oleh karena itu pengembangan ilmu pengetahuan jangan sampai
mengarah pada sikap scientisisme atau rasionalistis, diperlukan bantuan atau orientasi nilai-nilai
filosofis untuk menyelami dunia hakikat atau makna sejati dibalik realitas empirik. Jadi, agar
proses penemuan hakikat kebenaran ilmu pengetahuan mendekati kebenaran terdalam dan
universal, maka pengembangan ilmu pengetahuan harus dan pasti mendasarkan kepada orientasi
filsafat tertentu, artinya ketika pengembangan ilmu pengetahuan itu berorientasi pada nilai
filosofis, makna aksiologi ilmunya akan lebih nampak.

c. Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat
terutama yang menyangkut keilmuan. Hal ini terutama untuk mengontrol khususnya pada
landasan epistemologi (metodologi) dan aksiologi (nilai fungsional) keilmuan. Jadi, proses kerja
epistemologi ilmu dan proses aksiologi ilmu yang bermakna, mau tidak mau harus berorientasi
pada nilai-nilai filosofis.

d. Filsafat merupakan ratu atau induknya ilmu pengetahuan, hal ini karena: (1) sikap dasar
‘selalu bertanya tentang sesuatu’ adalah hakikat filsafat, dan lahirnya atau berkembangnya ilmu
pengetahuan adalah dari ‘suatu pertanyaan’ atau sikap selalu kritis (bertanya) tentang segala
fenomena kehidupan. Jadi sikap dasar bertanya inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan; dan
(2) ada perbedaan dasar antara sikap bertanya dalam filsafat dan sikap bertanya dalam ilmu
pengetahuan. Dalam filsafat mempertanyakan apa saja, universal atau holistik, dan
multidimensional serta menyangkut hakikat inti dan paling mendalam. Sedangkan dalam ilmu
terbatas hanya pada objek atau bidang kajiannya saja (Johnstone,H.W. 1968; Keraf dan Dua,
2001).

Berdasarkan uraian tersebut membuktikan bahwa antara filsafat dengan ilmu pengetahuan
mempunyai hubungan sangat erat, bahkan sulit dipisahkan. Oleh karena itu ada salah satu bagian
atau cabang dari filsafat adalah ‘filsafat ilmu pengetahuan’. Filsafat ilmu pengetahuan itu
terutama berkaitan dengan upaya-upaya mengkaji hakikat segala sesuatu yang berkaitan dengan
segala pengetahuan manusia, terutama menyangkut gejala pengetahuan dan sumber-sumber
pengetahuan manusia. Contoh, pertanyaan filsafat pengetahuan adalah: bagaimana manusia bisa
tahu?; apakah manusia bisa sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti?; apakah pengetahuan
sama dengan keyakinan?.

Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang dari filsafat yang menjelaskan hubungan antar
berbagai hal yang ada dalam alam ini secara sistematis dan rasional. Hal-hal yang tidak masuk
akal (unreasunable) bukan medan kajian filsafat ilmu pengetahuan. Meskipun antara filsafat dan
filsafat ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat, keduanya tetap mempunyai
perbedaan ciri-ciri khusus (karakteristik) dalam ‘cara kerja’ untuk memahami suatu fenomena
hidup. Sedangkan perbedaan cara kerja antara filsafat dengan filsafat ilmu pengetahuan antara
lain:

1. Karakteristik cara kerja filsafat antara lain: (1) filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran
fundamental tentang segala sesuatu; (2) kebenaran itu dicari dengan cara: argumentatif
(pemaparan pendapat yang rasional disertai dasar-dasar penalarannya); dan non empirik (tidak
berdasarkan pemahaman inderawi); (3) penalaran filosofis selalu mengandung ciri-ciri:
kebermaknaan; skeptis (meragukan); menyeluruh (holistik); mendasar (radikal); kritis; dan
analitis.
2. Karakteristik cara kerja filsafat ilmu antara lain: (1) berkaitan dengan pengkajian konsep-
konsep, dan metode ilmiah. Berkaitan erat dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa
yang digunakannya; (2) menyelidiki dan membenarkan ciri-ciri penalaran pengetahuan ilmiah
apapun (logika deduktif dan logika induktif), baik dalam proses pembentukannya maupun
sebagai suatu hasil; (3) mengkaji bagaimana cara berbagai ilmu yang berbeda satu dari yang lain
itu saling berhubungan, dan memperlihatkan kesamaan antara disiplin ilmu pengetahuan satu
dengan yang lain, tanpa mengabaikan derajat paradigma metode ilmiah masing-masing disiplin
ilmu tersebut; (4) menyelidiki berbagai dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal sebagai berikut:
(a) persepsi manusia akan kenyataan; (b) pemahaman berbagai dinamika alam; (c) saling
keterkaitan antara logika dan matematika, serta kenyataan; (d) berbagai keadaan dan keberadaan
teori; (e) berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya; dan (f) hakikat (the
essence) manusia, nilai-nilainya, tempat dan posisinya dalam hidup (nilai pragmatis) (Semiawan,
C., dkk. 2005).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan tentang titik temu antara filsafat dengan
ilmu pengetahuan, antara lain: (a) baik ilmu pengetahuan (scence) maupun filsafat sama-sama
menggunakan ‘metode pemikiran reflektif’ dalam usaha untuk menghadapi dunia atau beragam
fenomena kehidupan; (b) keduanya sama-sama meletakkan kerangka berpikir logis, kritis,
objektif dan terbuka untuk mencari dan mengetahui hakikat kebenaran; (c) keduanya punya
tujuan yang sama yaitu ingin memperoleh pengetahuan yang terbaru dan teratur; dan (d) filsafat
memberikan landasan filosofis dalam proses penelitian ilmiah, sedangkan hasil research ilmiah
berupa ilmu pengetahuan (science) melakukan pengecekan, pengujian terhadap filsafat yang
menjadi orientasi filosofis dalam research (Praja, J.S., 2005). Sedangkan perbedaan pokok antara
‘filsafat’ dengan ‘ilmu pengetahuan’ adalah, kerangka berpikir filsafat adalah tentang hakikat
segala sesuatu secara mendalam, menyeluruh dan ‘tidak bersifat empirik’, sedangkan ilmu
pengetahuan ‘bersifat empirik’ dan tidak membicarakan hakikat segala sesuatu secara mendalam.

1. Hubungan antara filsafat dengan agama

Sebelum menjelaskan tentang konsep hubungan antara filsafat dengan agama, sebaiknya perlu
dijelaskan terlebih dahulu secara singkat tentang apa pengertian agama?, dan apa pengertian
filsafat?. Berdasarkan sumber-sumber literatur ilmiah tentang studi agama, telah dijumpai
berbagai macam definisi tentang agama, dari beragam definisi tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: (a) definisi agama yang menekankan segi ‘rasa iman atau kepercayaan’; (b)
definisi agama yang menekankan aspek ‘agama sebagai sistem peraturan tentang cara hidup yang
berkualitas’; dan (c) definisi agama yang mengkombinasikan antara kepercayaan dan cara hidup
yang berkualitas. Perlu dipahami bahwa definisi agama yang mengkombinasikan antara
kepercayaan dan cara hidup yang berkualitas adalah dianggap paling proporsional. Jadi, definisi
agama adalah ‘agama merupakan sistem kepercayaan dan praktik kehidupan sehari-hari yang
berdasarkan sistem kepercayaan tersebut manusia ingin meraih derajat kualitas hidup secara lahir
dan batin, baik untuk kehidupan pribadi atau kelompok’.

Demikian juga definisi tentang filsafat, di banyak literatur tentang filsafat akan dijumpai
beragam definisi filsafat yang telah disampaikan oleh para filosof. Keberagaman definisi ini
disebabkan oleh: (a) kondisi dan tantangan lingkungan alam yang dialami oleh para filosof
berbeda-beda; (b) titik tekan orientasi pandangan hidup masing-masing filosof berbeda; dan (c)
adanya perkembangan dari ilmu filsafat itu sendiri dari jaman ke jaman selalu mengalami
akumulasi atau penyempurnaan. Berdasarkan beragam definisi tentang filsafat, maka pada
dasarnya dapat diambil kesimpulan bahwa filsafat adalah ‘suatu pengetahuan yang melakukan
penyeledikan atau kajian tentang hakikat dari segala sesuatu dengan sungguh-sungguh (penuh
kecintaan), universal, holistik untuk memperoleh hakikat kebenaran atau kebijaksanaan yang
terdalam’.

Metode kerja atau cara penyelidikan dan tingkatan kebenaran antara ilmu, filsafat dan agama
memang berbeda, ketiganya tidak boleh dicampur atau dipertukarkan, namun hakikatnya
ketiganya mempunyai hubungan yang erat apabila dikaitkan dengan fungsi ilmu, filsafat dan
agama tersebut bagi kehidupan manusia. Menurut para filosof sejatinya antara filsafat dengan
agama atau sistem kepercayaan mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Hubungan antara
filsafat dengan agama banyak dijelaskan dalam filsafat agama atau teologi. Sedangkan beberapa
argumentasi yang memperkokoh pandangan tentang eratnya hubungan antara filsafat dengan
agama (kepercayaan) antara lain:

1. Sebagaimana yang telah diuraikan di depan bahwa filsafat mempunyai peran untuk
menjelaskan hakikat segala sesuatu sampai terdalam, holistik, universal, tetapi filsafat tetap
‘tidak mampu menjelaskan hakikat dibalik segala fenomena hidup ini secara mutlak’. Filsafat
mengajarkan manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kemerdekaan dalam
menjelajah aneka fenomena hidup, tetapi filsafat ilmu tetap ‘tidak mampu untuk memahami
hakikat makna dibalik kemerdekaan manusia’. Ternyata dibalik makna kemerdekaan manusia
sejatinya adalah keterbatasan, keterbelengguan oleh sesuatu. Realitas tersebut membuktikan
perlu adanya pemahaman dan perenungan terhadap nilai-nilai religious (nilai-nilai agama) dalam
menutup keterbatasan manusia untuk memahami segala sesuatu dibalik realitas kemerdekaan
manusia dalam hidupnya. Jadi, filsafat mendidik, melatih manusia untuk terus membangun
kualitas daya kritis dan renungannya, dan agama berfungsi membimbing logika kritis dan arah
perenungan diri untuk tetap memahami ‘hakikat diri’ dalam bingkai mikroskopik dan
makroskopik.
2. Filsafat mengajarkan manusia berpikir logik, sistematis, objektif dalam memahami aneka
fenomena hidup untuk meraih kebenaran yang sahih (valid), tetapi filsafat tetap ‘tidak mampu
menjelaskan hakikat kekuatan dibalik kemampuan manusia berpikir logik, sistematis dan
objektif’. Filsafat mengajarkan manusia untuk membangun kerangka berpikir deduktif maupun
induktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan demi kehidupan, tetapi filsafat tetap ‘tidak
mampu menjelaskan hakikat kekuasaan dibalik munculnya realias rasional dan empiris yang
menjadi pijakan dalam pengembangan ilmu’. Untuk memperoleh pemahaman tentang hakikat
kekuasaan dibalik kemampuan rasional (deduktif) dan empiris (indukif) manusia tersebut, adalah
manusia harus menyelami dunia religious atau spiritual (nilai-nilai agama). Ilmuwan manapun
tidak ada yang meyakini bahwa hakikat penggerak ‘benda’ adalah ‘benda’, hakikat penggerak
‘rasional’ adalah ‘rasional’. Penggerak ‘benda’ adalah ‘sesuatu diluar benda’, penggerak
‘rasional’ adalah ‘sesuatu diluar rasional’ dan itulah Tuhan, Sang Maha Penggerak segala
fenomena kehidupan ini. Jadi, hubungan antara filsafat dengan agama sangatlah erat, terutama
dalam memberikan makna, arti, dan essensi dari segala sesuatu.
3. Dalam memahami hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup, studi filsafat melahirkan
beragam perspektif (pandangan atau aliran), yang masing-masing perspektif melekat kuat sisi
kelebihan dan kelemahannya. Setiap perspektif filosofis ‘tidak pernah sanggup menjelaskan
hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup secara komprehensif, holistik, dan universal’.
Hakikat kebenaran dan tujuan hidup adalah sebatas sudut pandang aliran filosofis tertentu.
Sedangkan agama selalu hadir dengan sistem aturan dan kepercayaannya untuk menyuguhkan
pemahaman hakikat kebenaran dan tujuan hidup manusia secara integral, komprehensif dan
universal menuju manusia paripurna. Disinilah letak eratnya hubungan antara filsafat dengan
agama, karena hakikatnya filsafat yang selalu membicarakan tentang ‘hakikat segala sesuatu’
tidak akan pernah berhasil untuk menemukan ‘hakikat segala sesuatu’ apabila tidak didampingi
dengan nilai-nilai spiritual.
4. Berbicara tentang hakikat sumber pengetahuan, mayoritas ilmuwan berpendapat sama, bahwa
ada salah satu sumber pengetahuan yaitu ‘wahyu’. Filsafat adalah induknya ilmu pengetahuan,
maka secara tidak langsung filsafat berhubungan erat dengan ‘wahyu’ atau agama sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Memang memahami filsafat sebagai ilmu pengetahuan adalah bersifat
‘otonom’, tetapi apabila filsafat akan dijadikan sebagai dasar dan pedoman hidup manusia untuk
menggapai kebahagiaan lahir-batin, maka filsafat harus memasuki wilayah agama (studi filsafat
agama atau teologi). Hal ini menunjukkan hubungan antara filsafat dengan agama sangatlah erat
(Rasjidi, 1965; Nasution.H. 1975; Ghulsyani,M. 1986; Mutahhari, M. 1997; Praja, J.S., 2005;
Sudiarja, dkk. 2006).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan tentang titik temu antara filsafat dengan
agama, antara lain: (a) baik agama maupun filsafat mempunyai kesamaan tujuan, yaitu ingin
memahami dan mencapai ‘hakikat kebenaran dari segala sesuatu’. Memang cara memahami dan
mencapai hakikat kebenaran antara keduanya berbeda, agama mendasarkan pada ‘keyakinan,
kepercayaan dan ketaatan mutlak’, sedangkan filsafat melalui perenungan dan penyelidikan
mendalam; dan (b) keduanya mempunyai objek kajian dan makna pragmatis yang relatif sama.
Objeknya adalah segala sesuatu dalam hidup ini, baik yang material atau imaterial
(transendental), sedangkan makna pragmatisnya adalah ’menjadikan kehidupan manusia
bijaksana dan bermakna baik lahir atau batin, baik secara individu atau kelompok’. Konsep yang
perlu dipahami adalah, ‘meskipun ada titik temu antara agama dan filsafat, keduanya tetap
berbeda, filsafat tetap filsafat dan agama tetap agama’, namun keduanya punya hubungan erat
dalam membangun kualitas kehidupan ummat manusia yang lebih bermakna.

1. Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama

Menurut para ahli yang berorientasi pada paham positivisme ortodok (kaum positivistis), bahwa
ilmu pengetahuan itu tidak ada hubungan atau keterkaitan sama sekali dengan agama. Bagi kaum
rasionalistis atau positivistis, eksistensi agama bagi kehidupan manusia adalah kosong, bahkan
agama menurut kaum rasionalistis atau positivistis adalah racun atau sumber terjadinya beragam
problem masyarakat. Bagi kaum rasionalis bahwa Tuhan itu semata-mata hanyalah suatu rekaan
imajinasi manusia (a fragment of human imagination) (Poedjawiyatna, 1980; Mutahhari, M.
1986).
Menurut para ahli, pada hakikatnya pandangan kaum positivistis tentang hubungan antara ilmu
dan agama tersebut banyak sisi kelemahannya, antara lain:

1. Kerangka berpikir kaum positivistis atau kaum rasionalistis yang menihilkan peran agama
dalam kehidupan, (misalnya Feuebach, Bertrand Russel; dan Karl Mark), adalah banyak
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan hidup sosial ekonomi dan politik yang dialami
para tokoh tersebut sehari-harinya, yang mencerminkan suasana disintegrasi dan ketidak
mampuan elite agama di Eropa dalam menampilkan peran agama untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat pada jamannya. Jadi, pandangan tersebut sebenarnya sangat subjektf
(situasional, parsial), dan tidak integral dalam mencermati hakikat fenomena kehidupan. Dimata
para ilmuwan tersebut para elite agama yang hidup di jamannya banyak dianggap menghambat
kemajuan ilmu pengetahuan dan kualitas hidup di berbagai aspek, disamping itu para ilmuwan
sekuler tersebut memandang hakikat agama hanya dari realitas historis bukan dari essensi ajaran
atau syariat agama (Abraham, F.M. 1982; Ghulsyani,M. 1986).
2. Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa hakikat kebenaran ilmu pengetahuan
(science) adalah bersifat relatif, dan dari waktu ke waktu akan tetap diuji kebenarannya dengan
analisis research sesudahnya. Oleh karena itu sangatlah tidak layak menilai hakikat kebenaran
dalam agama hanya mendasarkan pada kebenaran ilmu pengetahuan yang sangat relatif, yang
masih perlu adanya penelitian ilmiah berikutnya. Jadi, apa yang dianggap benar dalam perspektif
science hakikatnya adalah ‘kebenaran sementara atau relatif’, masih diperlukan revisi bahkan
revolusi (Kuhn, T., 1970; Agus, B., 1999), sehingga sangat tidak signifikan ketika menilai
kebenaran agama yang ‘absolut’ dengan kebenaran ilmu yang ‘sementara atau relatif’.
3. Pada hakikatnya semua manusia mempunyai banyak keterbatasan kemampuan dan
pengalaman dalam hidupnya, sehingga dia tidak mampu mengakses semua yang ada diluar
kemampuan akal (rasional) dan indranya (empiris), sementara setiap pikiran manusia yang
normal (kualitas merenung) selalu mengakui adanya ‘sesuatu’ di luar jangkauan kemampuan
manusia, yang menentukan kehidupan manusia (kekuatan supranatural). Jadi, ketika produk
pemikiran manusia meyakini ‘sesuatu diluar nalar adalah kosong’, sejatinya hal itu adalah sikap
‘pengkerdilan potensi rasional (deduktif) dan empirik (induktif) manusia’ dalam memahami
essensi kehidupannya (Nasution, 1975; Hanafi, 2004)
4. Setiap manusia selalu mengalami kegelisahan-kegelisahan dalam hidupnya, karena beragam
persoalan yang muncul diluar rancangan dan jangkauan nalar manusia, dan agama adalah obat
yang paling baik dalam menghilangkan kegelisahan hidup, bukan ilmu pengetahuan. Sering
terbukti para ilmuwan atheis, akhir perjalanan hidupnya adalah tragis dengan cara bunuh diri,
tidak mampu menampilkan sosok ilmuwan ideal dalam mengakhiri jalan hidupnya, hal ini
disebabkan dia terus mengikuti ‘godaan pikiran (nalar)untuk bertanya dan terus bertanya tentang
sesuatu tanpa tersentuh oleh nilai-nilai essensi dibalik pertanyaan’, akhirnya frustasi (dispsikhis)
dan pasti dia merasakan kehampaan hidup, kondisi psikis seperti ini sangat membutuhkan nilai-
nilai agama.
5. Segala sesuatu dalam kehidupan ini mempunyai idea-idea (teori Plato). Idea itulah memberi
arti tentang makna essensi ‘sesuatu’, idea itu ada di alam idea. Seluruh indra manusia yang
nampak dan apa saja yang nampak di dunia ini hakikatnya tidak ada arti, dia hanya bayangan
dari idea. Jadi, idea inilah yang menentukan segala kebaikan (absolut good atau Yang Mutlak
Baik), dan Yang Mutlak Baik itulah Tuhan; dan setiap manusia mengakui adanya peran nilai,
norma dalam kehidupan, disamping itu setiap manusia hakikatnya mengakui adanya Zat Maha
Besar dan Maha Sempurna. Salah satu sumber nilai dan norma kehidupan tersebut adalah agama
atau kepercayaan (Tafsir, A. 2003; Agustian, Ary G. 2005; Sudiarja, dkk. 2006).

f. Ketika mencermati latarbelakang sejarah kehidupan para ilmuwan atheis (anti agama) tersebut,
mayoritas mereka mengalami kegagalan yang telah dibentuk oleh lingkungannya dalam proses
pembelajaran budaya, khususnya aspek sosialisasi nilai-nilai kehidupan, internalisasi nilai-nilai
kehidupan, dan enkulturasi nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu pandangan mereka tentang
tidak adanya hubungan agama dengan ilmu pengetahuan adalah parsial atau tidak integral
(Syariati, 1982; Mutahhari, M. 1986).

Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut di atas membuktikan bahwa: (a) agama dan llmu
pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat, khususnya ditinjau dari aksiologi ilmu; (b)
argumentasi rasional yang menihilkan peran agama dalam kontek kehidupan hakikatnya tidak
mendasar, bahkan pandangan tersebut sejatinya mengkerdilkan potensi akal pikiran manusia
yang sangat kompleks dan dinamik; dan (c) antara agama dan ilmu pengetahuan memang
mempunyai metode kerja yang berbeda dalam memahami ‘makna kebenaran’, namun keduanya
tetap mampu memberikan kontribusi dalam memaknai arti hidup. Agama tanpa ilmu
pengetahuan akan kehilangan ‘pencerahan hidup’, demikian juga sebaliknya ilmu pengetahuan
tanpa agama akan membawa ‘bencana dan kesesatan hidup’ (Ghulsyani,M. 1986).

1. Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma (budaya)

Sejak dulu sampai sekarang, dikalangan ilmuwan tetap terjadi silang pendapat tentang hubungan
antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma sosial budaya. Beragam pandangan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua pandangan tentang hubungan antara ilmu pengetahuan (science)
dengan nilai-norma kehidupan sosial-budaya, antara lain:

1. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat positivisme, yang umumnya terwakili oleh
kelompok ilmu pengetahuan alam (natural sciences) atau matematika cenderung berpandangan
bahwa: (1) perkembangan ilmu pengetahuan alam dan matematika tidak ada hubungannya
dengan nilai dan norma (culture) yang berkembang di masyarakat; dan (2) paradigma
pengembangan ilmu matematika dan ilmu pengetahuan alam atau pengetahuan ilmiah bersifat
logis, pasti dan objektif-rasional. Sedangkan paradigma nilai, norma atau kebudayaan (culture)
adalah dibangun atas dasar relativitas atau kenisbian budaya (Ravertz, J.R. 1982). Oleh karena
itu menurut Karl Pearson, dalam Agus, B. (1999), bahwa sikap ilmiah yang ideal dalam
pengembangan science adalah ‘tidak memihak’ (disinterestedness) dan ‘bebas dari prasangka
dan kecenderungan pribadi’ (unbiased by personal feeling). Jadi, pengetahuan ilmiah
pengembangannya harus ‘bebas nilai’ (value free).
2. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat idealisme atau konstruktivisme. Pandangan
ini mengkritik habis-habisan pandangan pertama yang menilai pengembangan ilmu pengetahuan
harus bebas nilai (value free).

Diantara alasan kelompok yang menolak ilmu pengetahuan (science) bebas nilai adalah: (1)
bahwa pilihan terhadap asumsi dan rumusan hipotesis yang dikembangkan para ilmuwan pada
hakikatnya adalah ‘pernyataan yang timbul dari penilaian‘ (evaluative assertions), sedangkan
menilai terhadap sesuatu sudah pasti berdasarkan pada standar nilai dan norma tertentu. Jadi,
pandangan bahwa science harus bebas nilai adalah mendustai realitas pengembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri; (2) teori yang disusun di atas asumsi yang merupakan penilaian terhadap
suatu fenomena pada hakikatnya juga tidak terlepas dari pandangan dan nilai tertentu yang
diyakini atau atas dasar motivasi subjek untuk memilih. Jadi, unsur subjektiv sedikit banyak ikut
mewarnainya; (3) setiap peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah pada hakikatnya tidak bisa
membebaskan dirinya dari: (a) hasil karya penelitian ilmiah sebelumnya; (b) pengaruh
lingkungan fisik dan sosial, lingkungan budaya, politik dan kondisi ekonominya; dan (c) tidak
bisa lepas dari pengaruh kecenderungan pribadi, khususnya dalam memilih atau membatasi
ruang lingkup objek penelitiannya (variabel dan indikator yang diteliti). Jadi, argumentasi
tersebut di atas mementahkan pandangan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus bebas nilai
(value free). (Goode, W.J. and Paul K. Hatt. 1981; Myrdal, G. 1982; Poespoprodjo, 1987).

Berdasarkan uraian di atas, khususnya menyimak argumentasi yang mendukung bahwa ilmu
pengetahuan ilmiah baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu sosial (social
sciences) adalah tidak bebas nilai (unvalue free) yang berlaku dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma kehidupan sosial budaya
adalah sangat erat.
2. Ditinjau dari filsafat ilmu, maka hakikat pengembangan ilmu pengetahuan alam maupun ilmu
pengetahuan sosial harus mengandung aspek aksiologi ilmu (nilai fungsional atau pragmatis),
misalnya, hasil penelitian ilmiah harus mampu memberikan alternatif pemecahan masalah bagi
kemaslahatan kehidupan dan mampu memprediksi fenomena yang akan terjadi dihari-hari yang
akan datang (Myrdal, G. 1982; Brannen, J. 2003).
3. Perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan
kebudayaan atau mampu membangun peradaban hidup. Setiap perkembangan ilmu pengetahuan
harus mampu memberi manfaat bagi terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian hidup di
masyarakat, baik untuk kurun waktu sekarang maupun waktu yang akan datang.
4. Hubungan antara filsafat dan kehidupan sosial budaya.

Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya
dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau
kelompok. Sebagaimana uraian di atas, tentang manfaat mempelajari filsafat, maka satu bagian
yang paling penting dalam proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan
kualitas hidup melalui pemahaman tentang filsafat hidup dan ilmu pengetahuan. Apabila
dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak
bisa lepas dari kontribusi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dan hakikat filsafat dan
ilmu pengetahuan merupakan ‘wujud ide’ dari kebudayaan atau ‘sistem budaya’
(Koentjaraningrat, 1982).

Hakikat kehidupan sosial adalah ‘merupakan suatu sistem’. Kehidupan sosial disebut sebagai
‘sistem sosial’ adalah karena dalam kehidupan sosial terdapat unsur-unsur (sebagai sub unsur),
yang masing-masing unsur sosial tersebut bertindak sebagai sub sistem yang saling
mempengaruhi atau kait mengkait dalam proses kehidupan, dan penggerak atau penyatu antar
sub unsur dari sistem sosial tersebut sejatinya adalah nilai-nilai dasar kehidupan sosial yang
disebut filsafat hidup (way of life).

Kehidupan sosial (kolektif) dimanapun pada hakikatnya merupakan suatu sistem, sedangkan
karakteristik suatu sistem sosial antara lain:

1. Ditinjau dari ruang lingkupnya, maka sistem sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
bersifat makro, dan mikro. Bersifat makro adalah menunjuk pada sistem sosial (sistem
masyarakat atau sistem negara) yang berskala besar atau luas, misalnya: Sistem pendidikan
nasional; Sistem peradilan negara; Sistem perdagangan nasional; Sistem pertahanan nasional.
Jadi unsur-unsur dalam sistem makro atau sub sistem sosial makro juga sangat luas atau
kompleks. Sedangkan sistem sosial yang bersifat mikro adalah menunjuk pada bentuk sistem
sosial yang kecil, misalnya sistem keluarga. Jadi, sub sistem atau unsur-unsur dalam sistem
keluarga juga sempit dan kecil, misalnya dalam keluarga inti, sub unsurnya adalah ayah, ibu dan
anak. Perlu dipahami, bahwa orientasi pengembangan kehidupan kelompok yang berskala mikro
atau makro tersebut secara berkualitas harus mendasarkan pada nilai-nilai filosofis atau
pandangan hidup (way of life).
2. Perubahan atau perkembangan dari salah satu aspek atau unsur atau sub sistem akan
mempengaruhi atau menghasilkan perubahan pada sub sistem lainnya, misalnya perubahan pada
sub sistem ekonomi nasional akan membawa implikasi perubahan pada aspek politik, aspek
keamanan atau sub sistem lainnya. Agar proses dan dampak perubahan tersebut menghasilkan
kualitas dan stabilitas hidup, maka proses perubahan harus tetap diwarnai oleh nilai-nilai
pandangan hidup (filsafat) yang disepakati oleh warga masyarakat.
3. Antara sub sistem satu dengan sub sistem lainnya dalam ’sistem sosial’ bersifat deterministik
(saling mempengaruhi) (Berry, D., (1981). Jadi, pada hakikatnya masing-masing unsur dalam
sistem tersebut pemberdayaannya adalah berorientasi pada sistem filsafat yang dianut, Contoh,
sistem pendidikan nasonal adalah berorientasi pada filsafat Pancasila. Demikian juga sistem
kehidupan keluarga akan mendasarkan pada nilai-nilai filosofi hidup tertentu, yang diyakini oleh
anggota keluarga.

Jadi, suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu ‘sistem sosial’, mengandung arti bahwa
‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang saling berinteraksi
satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk struktur sistem sosial itu sendiri dan
mengatur sistem sosial, sedangkan penggerak sistem adalah nilai filosofis’. Unsur-unsur sistem
sosial tersebut antara lain: (1) pengetahuan atau keyakinan; (2) sentimen atau perasaan (tindakan
afektif); (3) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (4) nilai dan norma sosial; (5) kedudukan (status)
dan peranan (role) sosial; (6) stratifikasi sosial (tingkatan sosial seseorang dalam kelompok); (7)
kekuasaan atau pengaruh (power), atau wewenang; (8) sanksi atau pengendalian atau kontrol
sosial; (9) sarana atau fasilitas dalam kehidupan kelompok; dan (10) tekanan dan ketegangan
(Sulaeman, M., 1998). Kesupuluh unsur sub sistem tersebut hakikatnya operasionalisasinya
dikendalikan oleh sistem filosofis tertentu yang menjadi orientasi hidup (way of life) pada setiap
kehidupan kelompok sosial dari yang bersifat makro (bangsa) maupun yang mikro (keluarga).
Uraian tersebut di atas membuktikan bahwa hubungan filsafat dengan kehidupan sosial adalah
sangat erat

Sedangkan mengenai kebudayaan, menurut antropolog Koentjaraningrat (1982), bahwa pada


dasarnya suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam
bentuk kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, cita-cita dan kemauan. Wujud ini sering disebut
sebagai ‘sistem budaya’; (2) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks kelakuan berpola atau
tata cara, atau kebiasaan sehari-hari. Wujud ini sering disebut sebagai ‘sistem sosial’; dan (3)
wujud kebudayaan dalam bentuk fisik atau peralatan (sistem teknologi). Demikian juga suatu
kebudayaan mempunyai unsur-unsur yang disebut sebagai budaya universal, yang meliputi tujuh
unsur, yaitu:

1) Sistem religi atau sistem kepercayaan. Setiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini
pasti mengenal sistem religi dan upacara keagamaan atau sistem keyakinan pada kekuatan ’supra
natural’. Pada kelompok masyarakat yang berideologi komunis sejatinya secara personal tetap
mengakui adanya kekuatan dahsyat diluar diri manusia (supra natural), hanya cara merasakan
dan menyatakan adanya kekuatan supra natural tersebut berbeda dengan orang-orang Islam,
Kristen, Katholik, Hindhu, Budha dan sebagainya.

2) Sistem organisasi kemasyarakatan. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan pola-


pola organisasi sosial kemasyarakat, yang berbentuk pola-pola aktivitas sosial dalam kelompok-
kelompk di masyarakat yang berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Misalnya, organisasi atas
dasar ikatan kekerabatan, organisasi atas dasar ikatan profesi, organisasi ata dasar ikatan politik
dan sebagainya.

3) Sistem pengetahuan. Setiap masyarakat dimanapun pasti mengembangkan sistem


pengetahuan, baik menyangkut pengetahuan alam, sosial atau pengetahuan humaniora. Misalnya,
mengembangkan penelitian atau kajian ilmiah, mengembangkan institusi pendidikan sebagai
transformasi ilmu pengetahuan dan budaya, dan sejenisnya. Semakin maju kehidupan suatu
masyarakat semakin kompleks sistem ilmu pengetahuan yang dikembangkan.

4) Bahasa. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan bahasa sebagai media


komunikasi selama proses interaksi sosial, baik bahasa simbolik maupun non-simbolik.
Misalnya, mengembangkan bahasa lokal, bahasa nasional, dan bahasa pergaulan internasional,
dan sejenisnya.

5) Kesenian. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan kesenian sesuai dengan


kondisi tantangan atau situasi yang dihadapi sehari-hari pada lingkungan tempat tinggalnya,
misalnya, masyarakat agraris akan mengekspresikan potensi seninya (baik seni rupa, seni tari,
seni bangun, dan sebagainya) sesuai dengan kondisi alam lingkungan agraris, dan sebagainya.
6) Sistem mata pencaharian hidup. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan sistem
mata pencaharian hidup, misalnya mata pencaharian pertanian, nelayan, pertukangan, industri,
profesi tertentu, dan sebagainya. Pola pengembangan sistem mata pencaharian hidup tersebut
antar masyarakat tentu sangat beragam bentuk dan tingkat kuantitas-kualitasnya.

7) Sistem teknologi, yaitu sistem peralatan atau benda-benda sebagai sarana dalam melakukan
aktivitas tertentu di masyarakat. Misalnya: sarana tempat tinggal, sarana persenjataan, sarana
transportasi dan sebagainya..

Menurut R. Linton (1963), setiap unsur-unsur budaya universal tersebut mempunyai tiga wujud
budaya (wujud sistem budaya; wujud sistem sosial; dan wujud sistem teknologi). Dalam kajian
antropologi, telah dijelaskan bahwa setiap melakukan kajian tentang kebudayaan tidak cukup
hanya mengkaji dari satu unsur, atau aspek budaya secara parsial, tetapi harus dilakukan secara
integratif atau holistik atau multidimensional, karena hakikat kebudayaan itu adalah mencakup
seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang terjelma dalam wujud sistem budaya, sistem sosial
dan sistem teknologi secara integratif (Ihromi, 1984; Koentjaraningrat, 1989; Kuntowijoyo,
1999). Jadi, setiap unsur kebudayaan tersebut mempunyai wujud sistem budaya, wujud sistem
sosial dan wujudu sistem teknologi, yang menyatu terintegrasi sebagi sistem, dan semua unsur
budaya tersebut berorientasi pada suatu filsafat tertentu (wujud budaya idea).

1. G. Hubungan Teori dengan Penelitian Ilmiah

1. Pengertian teori

Dalam pandangan filsafat ilmu dan teori-teori ilmu sosial, bahwa suatu perspektif (sudut
pandang) untuk menilai ‘kebenaran’ terhadap suatu fenomena sosial-budaya tidak bisa dianggap
sebagai salah satu perspektif yang ‘paling benar’, sedangkan perspektif yang lainnya dianggap
salah. Hal ini disebabkan setiap perspektif itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
Pertama, pandangan filsafat yang berbeda; Kedua, beragam orientasi teori (theoritical
orientation) yang dipakai; Ketiga, metode yang digunakan dalam memahami realitas sosialnya
juga berbeda; dan Keempat, fokus permasalahan yang dikaji tidak sama (Ritzer G, 2002).
Dalam studi ilmu sosial, akan ditemukan beragam definisi tentang teori, antara lain: Pertama,
menurut M.Francis Abraham (1982), Teori adalah ‘suatu skema abstrak atau konstruksi simbol,
sebagai hasil perangkuman terhadap kenyataan empiris yang dapat diamati menjadi suatu
abstraksi tingkat tinggi’ (Abraham, 1982); Kedua, menurut Kerlinger, teori adalah ‘seperangkat
konstruk (konsep), batasan (definisi), dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis
tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan
menjelaskan dan memprediksikan gejala itu’ (Kerlinger, 1986); Ketiga, menurut Gibbs (1972),
Teori adalah ‘suatu kumpulan statemen yang mempunyai kaitan logis, merupakan cermin dari
kenyataan yang ada tentang sifat-sifat atau ciri-ciri khusus, peristiwa atau benda’; Keempat,
menurut Hage (1972), bahwa ‘suatu teori itu tidak hanya mengandung konsep dan statemen,
tetapi juga definisi (baik definisi teoritis maupun operasional) dan hubungan logis (teoritis dan
operasional) antar konsep’ (Zamroni, 1992). Kelima, menurut Johnson, teori merupakan
‘seperangkat proposisi yang berhubungan secara logis dan sistematis, yang menggambarkan
pada satu tingkatan generalitas yang tinggi dan menjelaskan seperangkat gejala-gejala empiris’
(Johnson, 1981). Suatu teori dapat juga dikatakan sebagai suatu konstruksi yang padu dari
beberapa elemen dasar atau penting yang menyangkut tentang: konsep, variabel, statemen dan
format (Turner, 1982).

Timashell menyimpulkan, bahwa suatu teori adalah seperangkat proposisi, yang menunjukkan
hubungan secara baik, yang menunjukkan bahwa: (a) proposisi itu dapat terdefinisikan dalam
bentuk konsep; (b) hubungan antar proposisi itu harus konsisten satu dengan yang lain; (c)
proposisi-proposisi tersebut dapat mendeduksikan sebuah generalisasi; dan (d) proposisi itu
harus dapat dipercaya, artinya menunjukkan hasil observasi dan dapat dibuktikan lebih lanjut,
dan generalisasinya itu mampu memperluas ruang lingkup pengetahuan (Timashell, 1967).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, penulis dapat menyimpulkan tentang pengertian teori,
yaitu suatu teori harus: (a) mengandung konsep, definisi dan proposisi; (b) ada hubungan logis
diantara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi; (c) hubungan tersebut
menunjukkan atau merupakan cermin fenomena sosial; dan (d) dengan demikian teori dapat
digunakan untuk eksplanasi dan prediksi, terhadap realitas empirik yang dapat diamati dan
dipertanggungjawakan objektivitasnya.

Proposisi adalah ‘suatu pernyataan yang mengandung dua atau lebih konsep atau variabel’
(Zamroni, 1992). Dalam terminologi scientific researh (penelitian ilmiah), menurut jumlah
konsep atau variabel yang terdapat di dalamnya, proposisi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Univariat; Bivariat; dan Multivariat. Jadi, suatu proposisi dianggap ‘benar’, apabila proposisi itu
cocok dengan fakta-fakta, atau kalau sesuai dengan apa yang digambarkan oleh proposisi
tersebut (Lloyd C, ed, 1983).

2. Kriteria atau komponen teori sosial

Diantara salah satu tujuan dari penelitian kuantitatif adalah menguji teori, sedangkan salah satu
tujuan dalam penelitian kualitatif adalah menghasilkan atau mengembangkan teori. Suatu teori
harus memenuhi beberapa kriteria, menurut para ahli, suatu teori dapat diterima apabila
memenuhi dua kriteria, yaitu:

1. Kriteria ideal, yaitu apabila teori itu memenuhi syarat-syarat: (1) sekumpulan ide yang
dikemukakan mempunyai hubungan logis dan konsisten; (2) sekumpulan ide yang dikemukakan
harus mencakup seluruh variabel yang diperlukan untuk menerangkan fenomena yang dihadapi;
(3) kumpulan ide tersebut mengandung proposisi-proposisi dimana ide yang satu dengan yang
lain tidak tumpang tindih; dan (4) kumpulan ide-ide tersebut dapat diuji atau dites secara empiris.
2. Kriteria pragmatis, yaitu bahwa ide-ide itu dikatakan sebagai teori apabila memiliki: (1)
asumsi dan paradigma; (2) frame reference, yakni kerangka berpikir yang mengidentifikasi
aspek-aspek kehidupan sosial yang akan diuji secara empiris; (3) konsep-konsep, yakni abstraksi
atau simbol sebagai wujud sesuatu ide; (4) variabel, yakni penjabaran konsep yang mengandung
dimensi; (5) proposisi, yakni hubungan antar konsep; dan (6) hubungan yang sistematis dan
bersifat kausal diantara konsep-konsep dan proposisi-proposisi tersebut (Zamroni, 1992).

Menurut Johnson, ada lima komponen atau unsur penting dalam suatu ‘teori’, yaitu:

1. Konsep dan variabel. Konsep merupakan ramuan dasar dan fundamental dalam setiap teori.
Konsep adalah suatu kata (pernyataan simbol) yang menunjuk pada gejala atau sekelompok
gejala. Sedangkan variabel adalah sebagai gejala yang bervariasi (misalnya jenis kelamin).
Variabel dibedakan menjadi dua, yaitu variabel kuantitatif (contoh, luas kota, umur, jumlah
pendapatan) dan kualitatif (Contoh, kepandaian, kedamaian, kasih sayang). Variabel kuantitatif
dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) variabel diskrit (variabel nominal atau kategorik); dan (b)
variabel kontinum (dibagi lagi menjadi tiga: Variabel ordinal; variabel interval dan variabel
ratio).
2. Sistem klasifikasi, artinya dengan menggunakan konsep dan variabel-variabel, akan
dikategorisasikan dan diklasifikasikan hal-hal berkaitan dengan konsep dan yang tidak untuk
membangun teori.
3. Proposisi dan tipe proposisi. Proposisi yaitu satu pernyataan mengenai suatu hubungan antara
dua atau lebih konsep.
4. Masalah dan penjelasan kausal, suatu teori yang baik harus terdiri dari proposisi-proposisi
yang menyatakan hubungan secara kausal.
5. Variabel independen (variabel utama) versus Variabel dependen (variabel tergantung).
Apabila sifat hubungan variabel saling tergantung, maka keputusan mengenai variabel mana
yang independen dan yang dependen sulit ditetapkan (Johnson, 1981).

Sedangkan menurut Tom Cambell (1994), bahwa sebuah teori sosial, harus memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:

1) Kejelasan. Kejelasan adalah syarat pertama sebuah teori. Kejelasan ‘sering’ tidak dijumpai
dalam teori-teori sosial. Apa yang tidak jelas tidak bisa menjadi calon penaksiran rasional.

2) Konsistensi. Konsistensi dari awal hingga akhir. Adanya koherensi internal. Sebuah teori tidak
boleh bertentangan dengan dirinya.

3) Kecukupan empiris. Bagi seorang positivis, tes kunci atas sebuah teori adalah sejauh mana
teori itu Corroborated (dikorobarasikan) atau barangkali, tidak difalsifikasi dengan observasi-
observasi yang dapat diulangi. Kekeliruan yang umum terjadi dalam teori sosial adalah
‘generalisasi yang terlalu tergesa-gesa dari bukti empiris’. Penilaian atas unsur empiris dalam
teori-teori sosial ini memang agak sulit, karena: (a) banyak tergantung pada fakta-fakta historis
yang tidak lagi tersedia secara cukup untuk proses analisis; (b) berhubungan dengan fenomena
perilaku sosial yang sangat kompleks dan dinamik; (c) tidak bisa langsung diobservasi secara
singkat, tapi membutuhkan partisipasi aktif dan waktu yang lama; dan (d) sulit memimpin
pengalaman sosial untuk menguji hipotesis empiris, khususnya menyangkut fenomena perubahan
sosial yang kompleks, dinamik dan ganda.

4) Kecukupan eksplanatoris. Teori-teori jangan hanya mencocokkan fakta-fakta kehidupan


sosial, melainkan juga harus menjelaskan fakta-fakta sosial secara sistematis, logis.

5) Rasional normatif. Bahwa nilai-nilai, dan implikasi-implikasinya dapat dijelaskan dan


diidentifikasi secara jelas dan konsistensinya tetap dijaga (Cambell, 1994). Kelima syarat teori
yang dikemukakan Cambell tersebut lebih bernuansa pada perspektif positivistik (makro atau
deduktif), meskipun demikian sebaiknya setiap teori dalam ilmu sosial sebaiknya memenuhi
kelima syarat tersebut, termasuk teori-teori sosial mikro (perspektif konstruktivis).

3. Paradigma teori ilmu sosial

Dalam studi tentang teori ilmu-ilmu sosial, dikenal ada tiga macam orientasi atau paradigma,
yaitu: (a) paradigma fakta sosial. Orientasi filosofis teori-teori yang masuk kelompok paradigma
fakta sosial adalah pada filsafat positivisme (perspektif positivistik); (b) paradigma definisi
sosial. Orientasi filosofis teori-teori yang termasuk kelompok paradigma definisi sosial adalah
pada filsafat idealisme (perspektif konstruktivis); (c) paradigma integratif, yaitu paradigma yang
memandang pentingnya memadukan antara pandangan positivisme dengan idealisme yang
‘mengejawantah’ dalam proses penelitian ilmiah. Pandangan kelompok penelitian ilmiah yang
menghendaki perpaduan antara dimensi makro (kuantitatf) dan mikro (kualitatif) ini adalah
berorientasi pada pandangan filosof Immanuel Khan. Berikut dijelaskan secara singkat ketiga
paradigma tersebut sebagai berikut

Pertama, teori-teori ilmu sosial yang termasuk dalam kelompok teori naturalis atau positivis
(paradigma fakta sosial), antara lain: Teori fungsional struktural; Teori sistem; Teori konflik; dan
Teori sosiologi makro. Teori-teori ini oleh Ritzer dikelompokkan pada kelompok teori
berparadigma ‘fakta sosial’ (Ritzer, 2002). Teori-teori sosial yang berorientasi positivisme, dan
seringkali juga disebut dengan berbagai label lain, seperti empirisme, behaviorisme, naturalisme
dan saintisme (Bungin, 2003), oleh sebagian ahli dikelompokkan pada studi sosial makro,
sedangkan teori yang berorientasi Humanistik atau Interpretif, dan sering disebut kelompok
idealisme, oleh para ahli dikelompokkan pada studi sosial mikro. Kelompok teori yang
berorientasi positivisme dikenal dengan sebutan ‘tradisi pemikiran Perancis dan Inggris atau
Aristotelian’, sedangkan kelompok teori yang berorientasi idealisme atau humanisme,
konstruktivisme dikenal dengan sebutan ‘tradisi pemikiran Jerman atau Platonik’ (Sanderson,
1991). Pokok-pokok pandangan teori sosial naturalis atau positivis antara lain:

1. Memandang ilmu sosial sebagai suatu ilmu seperti halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan
alam (Fisika, Biologi). Dalam melakukan analisis sosial, ilmu sosial harus menggunakan metode
ilmiah seperti yang diterapkan pada studi ilmu fisika dan ilmu biologi dan sejenisnya.
2. Memandang bahwa fenomena sosial itu memiliki pola-pola dan hukum-hukum deterministik,
sebagaimana hukum-hukum yang mengatur ilmu alam. Proses analisis data dalam penelitiannya
harus menekankan pada pendekatan kuantitatif (perspektif etik).
3. Memandang pentingnya kesatuan ilmu, artinya harus ada suatu teori tunggal tentang
masyarakat atau teori-teori sosial yang ada harus digabungkan kedalam suatu kesatuan teori
ilmiah, dan prinsip-prinsipnya harus berlaku secara umum (universal) setiap penelitian ilmiah
untuk disiplin ilmu pengetahuan apapun.
4. Asumsi teori ini tentang manusia dan masyarakat adalah: (1) bahwa individu merupakan
makhluk yang merupakan produk dari aturan-aturan sosial, bukan makhluk yang mampu bebas
membentuk dunia sosialnya sehari-hari; (2) manusia mempunyai rasionalitas yang berfungsi
sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi sarana dan tujuan itu sudah ada (inherent) dalam
aturan-aturan sosial; dan (3) lingkungan masyarakat dan struktur sosial menentukan atau
membentuk pribadi individu (eksternal men-determinasi internal) (Coleman, J.S., 1994).
5. Kaum positivis mengangap bahwa pengetahuan kausal (sebab-akibat) itu memberi kejelasan
dan kegunaan dalam mengungkap atau memahami semua fenomena kehidupan. Korelasi-
korelasi kausal antar variabel dalam beragam fakta sosial harus dapat diuji secara empirik
(Rossides, 1978; Cambell, 1981; Craib, 1984; Poloma, 2000).
Kedua, teori-teori yang termasuk kelompok teori humanis atau interpretatif (paradigma definisi
sosial) adalah: Teori aksi oleh Weber; Teori interaksionisme simbolik; Fenomenologi; dan Teori-
teori ilmu sosial mikro. Teori-teori ini oleh Ritzer dikelompokkan pada teori yang berparadigma
‘definisi sosial’ (Ritzer, 2002). Sedangkan beberapa pokok pikiran teori-teori ilmu sosial
humanis atau interpretatif antara lain:

1. Pandangan ilmu sosial humanis menerima pandangan common sense tentang hakikat sifat
manusia, dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya diatas pandangan tersebut.
Manusia dipandang memiliki kebebasan berkreatif dan berinovatif. Manusia tidak lagi tertekan
(terdeterminasi) oleh faktor eksternal (lingkungan hidupnya) atau struktur sosial, faktor yang
menentukan diri manusia adalah kualitas pikiran dan jiwanya sendiri (internal) (Coser and
Rosenberg, 1969).
2. Pembangunan teori dalam ilmu sosial bermula dari hal-hal yang nyata dalam kehidupan
sehari-hari, proses analisis data dalam penelitian ilmiah harus lebih menekankan pada fenomena
sosial mikro, dengan pendekatan kualitatif (perspektif emik).
3. Ilmu sosial positivis sangat menekankan pada asumsi bahwa ilmu sosial harus merupakan
suatu ilmu yang senada dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), sedangkan ilmu-ilmu sosial
humanis sebaliknya, yaitu menekankan sifat-sifat (properties) dalam perilaku manusia yang
membuat mereka unik, dinamik dan kompleks dalam praktik-praktik sosial-budayanya sehari-
hari.
4. Asumsi ilmu sosial humanis tentang manusia dan masyarakat adalah: (1) manusia bebas dan
lebih kreatif dalam menentukan proses hidup dan makna hidupnya; (2) kebebasan dan kreativitas
individu tersebut dapat menyebabkan individu mampu membentuk kehidupan dunia sosialnya;
dan (3) masyarakat terbangun dari kebermaknaan subjektif (kualitas pikir dan jiwa seseorang)
dan proses interaksi-interaksi individu dalam kehidupan sehari-harinya. (Cambell, 1981; Poloma,
2002).
5. Menurut E. Kant dan Hegel, jiwa manusia terutama adalah sebagai produser ide-ide, dan
karenanya, sejarah manusia juga merupakan manifestasi dari sejarah ide-ide yang diciptakan
manusia itu sendiri disepanjang sejarah hidupnya, manusia adalah makhluk sadar dan bertujuan
(purposive creators). Oleh karena itu memahami manusia dan kehidupan masyarakatnya haruslah
menukik ketingkat dunia ide dan dunia makna yang terbenam dalam diri manusia itu sendiri.
Dunia ide atau dunia makna itulah yang kemudian disebut fakta fenomenologis, yang untuk
memahaminya sangat diperlukan suatu proses penyelaman, penghayatan, suatu proses
interpreventive understanding, yang oleh Weber disebut dengan pendekatan verstehen (Bungin,
2003). Oleh karena itu metode pengumpulan data pada penelitian yang menggunakan pendekatan
verstehen adalah wawancara takterstruktur dan observasi partisipatif.

Ketiga, paradigma integratif, yaitu paradigma yang memandang pentingnya memadukan antara
pandangan positivisme (teori-teori fakta sosial) dengan idealisme (teori-teori definisi sosial) yang
‘mengejawantah’ dalam proses penelitian ilmiah. Bagaimana gambaran tentang pandangan
pentingnya melakukan pendekatan integratif dalam penelitian ilmiah, telah dijelaskan pada
uraian diatas (periksa kembali). Pada prinsipnya pandangan paradigma atau teori sosial integratif
adalah:

1. Dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya, menuntut adanya keterpaduan orientasi
teori-teori makro (positivis atau deduktif) dan teori-teori mikro (idealis atau induktif).
2. Hakikat realitas fenomena sosial budaya adalah majemuk, kompleks, dan dinamik. Oleh
karena itu orientasi paradigmatik dalam proses penelitian ilmiah terhadap fenomena sosial
budaya yang dinamik dan kompleks tersebut akan lebih pas apabila menggunakan perpaduan
(integrasi) antar teori-teori fakta sosial dan teori-teori definisi sosial.
1. Ketika proses penelitian ilmiah dalam memahami fenomena sosial budaya tersebut dengan
menggunakan pendekatan teori integratif secara baik, maka hasil analisis datanya akan lebih
bersifat komprehensif dan holistik, tidak bersifat dangkal dan parsial (satu aspek atau satu sudut
pandang)

4. Fungsi dan peranan teori sosial dalam penelitian ilmiah

Beberapa kajian ilmiah telah menjelaskan bahwa fungsi teori sangat sentral dalam proses
penelitian ilmiah. Oleh karena itu setiap penelitan ilmiah harus mempunyai orientasi teoritik
yang dijadikan sebagai pedoman dan arahan proses penelitian ilmiah. Menurut para ahli, fungsi
atau peranan teori dalam penelitian ilmiah sangat sentral, antara lain:
Pertama, menurut Zamroni (1992), fungsi teori ilmu sosial secara umum adalah (a) untuk
sistematisasi pengetahuan sosial (typologies); (b) untuk eksplanasi, prediksi dan kontrol sosial.
Eksplanasi berhubungan dengan peristiwa yang telah terjadi; Prediksi berhubungan dengan
peristiwa yang akan terjadi; dan (c) sebagai kontrol sosial berhubungan dengan usaha untuk
menguasai atau mempengaruhi peristiwa yang akan terjadi tersebut .

Kedua, menurut Francis Abraham (1982), paling tidak ada delapan fungsi teori ilmu sosial dalam
proses analisis sosial–budaya antara lain: (a) mengarahkan pada problem-problem potensial dan
menghasilkan kajian investigasi baru; (b) meramalkan fakta-fakta sosial. Suatu sistem teoritik
sering memberikan prediksi dasar yang aman berdasarkan pengetahuan intuitif, analisis historis,
dan observasi keberagaman sosial; (c) mensistematiskan kajian dan hubungan dalam skema
konseptual yang baik; (d) membuat gambaran yang baik tentang hubungan antara temuan
empirik yang spesifik dan orientasi sosial secara umum, sehingga mempertinggi makna
penelitian tentang fenomena sosial; (e) membuktikan kebenaran dengan memberikan makna
yang jelas; (f) membimbing dan mempersempit rentangan (ruang lingkup) fakta sosial yang
diteliti; (g) membantu sebagai alat analisis untuk proses penelitian; dan (h) menunjukkan
elemen-elemen pengetahuan dan mengisinya dengan pengetahuan intuisi, pengetahuan yang
mengesankan atau generalisasi secara luas.

Ketiga, menurut Robert K. Merton, peranan teori dalam kaitannya dengan proses penelitian ilmu
sosial antara lain:

1. Teori membantu menjelaskan sejumlah kesalahpahaman terhadap konsep kehidupan sosial.


Teori memberikan orientasi umum dalam proses penelitian. Teori membantu dalam hal seleksi
kasus, fakta dan data (hal ini merupakan pandangan kaum positivis). Menurut Homans, peneliti
seharusnya merasa bebas untuk tidak menerima tuntunan teoritis ‘secara absolut atau mutlak’,
tetapi Homans tetap mengakui ada hubungan antara teori dan penelitian ilmiah (ini gambaran
pandangan kaum interpretif).
2. Teori membantu dalam membangun konsep ilmu sosial. Konsep merupakan bagian penting
dari teori; mereka menentukan bentuk dan isi variabel. Teori memberikan definisi konsep yang
interpretif, sementara empirisme memberikan definisi operasional dari konsep.
3. Teori menyediakan interpretasi ilmu sosial post factum. Pertama kali data dikumpulkan dan
kemudian dijadikan subjek dalam analisis interpretif. Proses ini lebih cenderung menjelaskan
penemuan (deskriptif), dibandingkan dengan menguji hipotesis yang sudah dirancang
sebelumnya.
4. Menyusun generalisasi empiris. Fungsi utama dari teori sosial dalam penelitian empiris
(kuantitatif) adalah meringkas keseragaman yang diobservasi dari hubungan antar variabel dan
mensintesakannya dengan referensi untuk membuat skema konseptual (penelitian menguji teori).
Hal ini berbeda fungsi teori untuk penelitian kualitatif (penelitian untuk mengembangkan teori),
yaitu teori sekedar sebagai pedoman awal dalam memahami fenomena sosial, berikutnya teori
dikembangkan selama proses penelitian di lapangan, atau bahkan dalam penelitian kualitatif akan
ditemukan teori baru.
5. Teori dapat mendorong lebih lanjut munculnya teori ilmu sosial berikutnya. Penelitian demi
penelitian akan dapat merevisi, memodifikasi, menambah khasanah teori baru sampai merubah
teori-teori sosial yang telah ada sebelumnya.
6. Teori memberikan sebuah sumber fertilisasi silang dari bidang-bidang yang berkaitan pada
objek penelitian.

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tentang hubungan antara teori dengan penelitian,
akhirnya Francis Abraham (1982) menyimpulkan tentang kondisi saling mempengaruhi antara
teori sosial dengan proses penelitian sosial sebagai berikut:

1. Sebuah sistem teoritis menganjurkan sejumlah masalah dan hipotesis yang perlu diteliti.
Dalam proses penelitian, peneliti mungkin dapat menemukan variabel yang baru, relevan untuk
pengujian teori atau pengembangan teori.
2. Teori dapat menuntun proses penelitian, menfasilitasi seleksi variabel kunci, membatasi ruang
lingkup penelitian dengan menunjuk fakta-fakta signifikan dengan tepat.
3. Penelitian empiris dapat menguji, menvaliditasi atau tidak mengakui teori sebelumnya, karena
telah ditemukan bukti-bukti baru.
4. Penelitian membantu membuat teori yang sama sekali baru, atau memodifikasi teori yang
sudah ada.
5. Penelitian empiris membangun dan memperbaiki konsep-konsep ilmu sosial, bagian bangunan
yang sangat penting dari teori ilmu sosial.
6. Teori memungkinkan sebuah penyajian yang efektif dari sebuah penemuan empiris. Teori
membandingkan dan membedakan sebuah penemuan dari studi-studi yang terpisah dan
meningkatkan arti penting mereka. Teori meningkatkan keefektifan penyelidikan tertentu. Fakta
akan berarti jika dijelaskan, diatur dalam kerangka sebuah teori.
7. Kondisi saling mempengaruhi antara teori sosial dan penelitian sosial adalah masalah
menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas. Kuantitas dan kualitas adalah dua aspek
kehidupan yang perlu diseimbangkan dalam pengkajian.
8. Penelitian empiris (kuantitatif) akan meningkatkan kekuatan memprediksi, ketepatan, validitas
dan veriabilitas dari teori-teori ilmu sosial. Dengan penemuan dan perbaikan melalui penelitian
dimungkinkan untuk mengembangkan masalah yang lebih tinggi tingkat kekuatan prediksinya.

Kedelapan hal di atas lebih menunjukkan keterkaitan yang begitu kuat antara teori dengan proses
penelitian, khususnya penelitian kuantitatif (perspektif etik atau orientasi positivis) dalam studi
ilmu sosial. Sedangkan dalam perspektif emik (penelitian kualitatif), kedudukan dan peran teori
sebagai orientasi (theoritical orientation) dalam memahami fenomena sosial budaya yang
kompleks, dinamik dan serba ganda tetap dianggap penting, hanya posisinya tidak ‘sama persis’
seperti kedudukan dan fungsi teori dalam pendekatan kuantitatif. Kenapa kedudukan dan fungsi
teori dalam penelitian kualitatif ‘tidak begitu sangat setral’ (abolut) ?, hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain:

1. Sifat realitas sosial-budaya adalah: diasumsikan ganda, rumit, semu, dinamis, dikonstruksi,
holistik dan kebenaran realitas bersifat relatif.

b. Realitas sosial budaya sangat ditentukan oleh peran manusia yang mempunyai karakter: aktif
kreatif, punya kemauan bebas, perilaku ditentukan oleh kondisi jiwa dan pikirannya yang terus
berkembang.

c. Sifat hubungan realitas sosial-budaya adalah: semua entitas secara simultan saling
mempengaruhi, sehingga tidak menekankan hubungan sebab akibat.
d. Analisa terhadap fenomena sosial-budaya adalah: induktif, berkesinambungan dari awal
hingga akhir, deskriptif kualitatif;

e. Kriteria kualitas hasil penelitian adalah: bukan obyektivitas melainkan otentisitas dan relevansi
dengan situasi alami.

f. Posibilitas generalisasinya adalah bukan nomotheic statements dengan generalisasi statistik,


tetapi ideographic statements dengan generalisasi analitis, dan

g. Paradigma yang dianut bukan paradigma positivis, melainkan paradigma interpretif


(interpretatif), yang memahami fenomena sosial-budaya secara nominalis, normatif dan
voluntaristik (Moleong, 1990; Burrel-Morgan, 1979; Mulyana, 2002).

Menurut para ahli, (Francis Abraham (1982); Ian Craib (1984); Tom Cambell (1994); Dedy
Mulyana (2002); Christopher Lloyd (1983); Anthoni Giddens (1984, 1987) dan sebagainya,
apabila kita mengkaji tentang beragam teori sosial, untuk kita jadikan sebagai theoritical
orientasitions dalam proses penelitian ilmiah, hal-hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti
antara lain:

1. Tidak ada teori ilmu sosial yang benar secara absolut, oleh karena itu kebenarannya masih ada
unsur ‘relativitasnya’.
2. Setiap teori ilmu sosial semestinya mengandung dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi
normatif (secara eksplisit dan emplisit harus mengandung beberapa asumsi mengenai bagaimana
keadaan dunia yang sebenarnya).
3. Tidak ada teori yang sudah mencapai bentuk formula final, karena pengetahuan baru
mengalami modifikasi setiap waktu. Oleh karena itu setiap teori yang muncul memungkinkan
untuk merevisi atau menolak teori yang lama, begitu seterusnya, sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan.
4. Tidak ada teori yang mampu memahami fenomena sosial secara utuh, integral, menyeluruh,
karena teori sering berkembang atas dasar salah satu aliran filosofis tertentu.
5. Semua teori tidak selalu dapat diaplikasikan pada setiap situasi dan kondisi (fenomena sosial).
Peneliti sosial harus memilih teori mana yang sesuai dengan situasi dan kondisi khas fenomena
sosial yang akan dikaji, tetapi peneliti sosial harus tetap belajar (tahu) akan beragam teori dalam
studi ilmu sosial.
6. Suatu teori yang produktif harus memberikan saran dalam pemecahan problema potensial
yanng terjadi di masyarakat, dan memberikan perspektif baru serta menjadi petunjuk untuk
penelitian sosial budaya berikutnya.
7. Tidak ada teori ilmu pengetahuan (alam atau sosial) yang bisa menolak pengaruh nilai-nilai
serta kepentingan-kepentingan ekstra-ilmiah. Hal yang paling penting adalah setiap teori ilmu
pengetahuan harus mampu menjelaskan fenomena alam atau sosial seobjektif mungkin dan bisa
dipertanggungjawabkan secara rasional (akal sehat).
8. Posisi teori-teori ilmu sosial sebagai ‘theoritical orientation’, pada penelitian yang ber-
perspektif etik, ‘tidak sama persis’ dengan penelitian yang ber-perspektif emik. Hal ini
disebabkan kedua pendekatan penelitian tersebut mempunyai perbedaan paradigma dan filsafat
yang menjadi orientasi pikiran dan pandangan dalam melihat hakikat fenomena sosial-budaya.
9. Setiap teori ilmu sosial harus bersifat fleksibel, artinya harus selalu terbuka untuk
diperbincangkan dengan berbagai argumentasi, dalam segala situasi dan perubahan terus
menerus diberbagai aspek kehidupan.

Berdasarkan uraian tersebut memberikan kepahaman bagi para peneliti ilmu sosial antara lain:

1. Dalam studi ilmu sosial akan dijumpai beragam paradigma, yang masing-masing paradigma
mempunyai varian teori yang beragam pula.
2. Dalam melakukan analisis terhadap fenomena sosial-budaya, seorang peneliti harus mengkaji
karakteristik fenomena sosial-budayanya, untuk kemudian dicarikan kesesuaiannya dengan ciri
atau karakter orientasi teoritisnya. Misalnya, kondisi kehidupan masyarakat, dengan
menampilkan realitas sosial penuh konflik, tentu akan lebih proporsional apabila masyarakat
tersebut dianalisis dengan teori konflik atau teori varian konflik, dan kurang proporsional apabila
menggunakan teori fungsional struktural (hal ini bukan berarti orientasi teori fungsional tidak
bisa sama sekali digunakan untuk menganalisis realitas sosial konflik, namun lebih serasi apabila
menggunakan teori konflik atau varian konflik).
3. Antara paradigma satu dengan yang lain tidak dalam posisi ‘ada yang paling benar, atau paling
utama dari yang lain’, beragam paradigma tersebut akan tepat atau ‘proporsional’ dipakai apabila
situasi dan kondisi realitas sosialnya memang selaras dengan karakteristik paradigma tersebut.
4. Dalam memahami dan mengkaji teori sosial, kita harus menyakini bahwa teori lama tidak
berada dalam ‘posisi mencapai kebenaran absolut’. Penemuan teori baru bisa berfungsi
menyempurnakan teori lama (akumulatif), tetapi bisa juga membongkar, merevolusi teori lama
(Ritzer, 1980).

H. Kesimpulan

Uraian tentang hakikat filafat ilmu tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,
bahwa dasar-dasar filsafat ilmu paling tidak menyangkut tentang: penalaran, logika, sumber
pengetahuan; dan kriteria kebenaran. Hakikatnya ‘tidak semua kegiatan berpikir (penalaran)
manusia mendasarkan pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif)’. Ada juga kegiatan
berpikir manusia berdasarkan ‘intuisi’ dan ‘wahyu’. Secara umum ada dua macam logika, yaitu:
logika formal atau logika deduktif atau logika minor, dan logika material atau logika induktif
atau logika mayor. Sumber pengetahuan dapat berasal dari lima cara yaitu: cara tradisi (tenacity),
cara otoritas atau kewenangan, cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok;
cara logika deduktif dan induktif; dan cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan
metode ilmiah. Sedangkan kriteria kebenaran dalam filsafat ilmu antara lain menurut: Teori
kebenaran korespondensi; Teori kebenaran koherensi; Teori kebenaran pragmatis; Teori
kebenaran sintaksis; Teori kebenaran semanti; Teori kebenaran non-deskripsi; dan Teori
kebenaran logik.

Kedua. hakikat ilmu pengetahuan adalah: (a) science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan
terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian absolut seperti dalam ajaran
agama; (b) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib, melainkan berkaitan dengan
data-data empirik; (c) penjelasan science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang
beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam; (d) kebenaran science bersifat
relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya; (e)
kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi
siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada; dan
(f) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman
dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya.

Ketiga. hakikat ontologi ilmu, adalah ‘hakikat apa yang dipelajari oleh suatu ilmu, atau hakikat
objek kajian dari suatu ilmu’, oleh karena itu bentuk-bentuk pertanyaan ontologis ilmu
pengetahuan adalah: Hakikat apa (objek apa) yang dikaji?; bagaimana wujud yang hakiki dari
objek ilmu tersebut?; dan bagaimana hubungan antar objek–objek suatu ilmu tersebut? dan
sejenisnya. Ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam mengkaji tentang ontologi
(hakikat apa yang dikaji) dalam ilmu, antara lain: metafisika; asumsi; peluang; keterbatasan
science; dan keterpaduan science-religious suatu keniscayaan.

Keempat, hakikat epistemologi ilmu adalah membahas secara mendalam proses atau prosedur
dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat
terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran atau kesahih-an (valid) data di atas segala-
galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific
research), atau epistemologi merupakan ‘cara mendapatkan pengetahuan yang benar’. Persoalan
kunci atau utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah ‘bagaimana
mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi
masing-masing’. Dan perlu dipahami hakikatnya ilmu itu mempunyai dua peranan yaitu: satu
pihak sebagai metafisika, sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated
common sense).

Kelima, hakikat aksiologi ilmu adalah membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh
dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan
dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek aksiologi lebih
menyangkut dimensi fungsional dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan masyarakat. Maka aspek
yang dikaji dalam aksiologi ilmu antara lain: fungsi ilmu pengetahuan (science); dan tanggung
jawab ilmu terhadap kehidupan.
Keenam, hubungan antara filsafat, ilmu, agama dan kehidupan sosial-budaya adalah bagaikan
suatu sistem, yang satu dengan yang lain saling mengisi, dan saling memberikan arti atau makna
tentang hakikat kehidupan manusia menuju keunggulan hidup di berbagai bidang. Jadi, Ilmu,
filsafat, agama dan kehidupan tidak bisa dipisahkan. Namun perlu diingat antara ilmu, filsafat
dan agama tetap mempunyai perbedaan mendasar, karena metode kerja ketiganya mempunyai
karakteristik yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai