Anda di halaman 1dari 15

NASKAH PUBLIKASI

EFEKTIVITAS PENYULUHAN MENGGUNAKAN MEDIA


AUDIOVISUAL TERHADAP PERSONAL HYGIENE DAN
ANGKA KEJADIAN Pediculosis capitis PADA SANTRI PUTRI
MADRASAH TSANAWIYAH (MTs) DI PONDOK PESANTREN
X KECAMATAN MEMPAWAH TIMUR

ADE CAHYO ISLAMI


I1011151060

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
EFEKTIVITAS PENYULUHAN MENGGUNAKAN MEDIA
AUDIOVISUAL TERHADAP PERSONAL HYGIENE DAN
ANGKA KEJADIAN Pediculosis capitis PADA SANTRI PUTRI
MADRASAH TSANAWIYAH (MTs) DI PONDOK PESANTREN
X KECAMATAN MEMPAWAH TIMUR

Tanggung Jawab Yuridis Material Pada

ADE CAHYO ISLAMI


NIM I011151060

Disetujui Oleh

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Diana Natalia, M. Biomed dr. Mistika Zakiah


NIP. 197912242008121003 NIP. 198806032015042003

Mengetahui,
Ketua Prodi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura

dr. Wiwik Windarti, SpA


NIP. 19821016 200801 2 006

1
EFEKTIVITAS PENYULUHAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIOVISUAL
TERHADAP PERSONAL HYGIENE DAN ANGKA KEJADIAN Pediculosis capitis
PADA SANTRI PUTRI MADRASAH TSANAWIYAH (MTs) DI PONDOK
PESANTREN X KECAMATAN MEMPAWAH TIMUR
Ade C Islami1, Diana Natalia2, Mistika Zakiah3

Intisari

Latar Belakang: Pediculosis capitis adalah penyakit kulit disebabkan oleh


Pediculus humanus capitis yang menyerang rambut dan kulit kepala yang terjadi
41 kali lipat lebih sering pada anak perempuan dan pada anak usia 9-16 tahun. Salah
satu faktor penyebab Pediculosis capitis adalah personal hygiene yang buruk.
Penyuluhan diperlukan untuk mengurangi angka kejadian Pediculosis capitis.
Tujuan: Mengetahui efektivitas penyuluhan menggunakan media audiovisual
terhadap personal hygiene dan angka kejadian Pediculosis capitis pada santri putri
Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Pondok Pesantren X Kecamatan Mempawah
Timur. Metodologi: Penelitian eksperimen semu dengan rancangan yang
digunakan adalah one group pretest posttest. Jumlah sampel sebanyak 139 orang.
Variabel bebas penelitian ini adalah penyuluhan dengan menggunakan media
audiovisual pada santri putri Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Pesantren X
Kecamatan Mempawah Timur sedangkan variabel terikatnya adalah personal
hygiene dan angka kejadian Pediculosis capitis. Hasil: Subjek penelitian dengan
perilaku personal hygiene baik sebelum penyuluhan (95,0%) dan sesudah
penyuluhan (98,6%). Subjek penelitian positif Pediculosis capitis sebelum
penyuluhan (87,8%) dan sesudah penyuluhan (61,2%). Berdasarkan uji statistik
McNemar yang telah dilakukan tidak terdapat perbedaan bermakna pada varibel
personal hygiene (p>0,05), dan terdapat perbedaan bermakna pada variabel angka
kejadian (p<0,05). Kesimpulan: Penyuluhan menggunakan media audiovisual
secara statistik tidak memberikan efektivitas yang signifikan dalam menentukan
skor personal hygiene, tetapi memberikan efektivitas yang signifikan dalam
menentukan angka kejadian Pediculosis capitis pada santri putri Madrasah
Tsanawiyah di Pondok Pesantren X Kecamatan Mempawah Timur.
Kata Kunci: Pediculosis capitis, santri putri, penyuluhan media audiovisual,
personal hygiene, angka kejadian

1) Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas


Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat.
2) Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura
Pontianak, Kalimantan Barat.
3) Departemen Histologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura
Pontianak, Kalimantan Barat.

2
THE EFFECTIVENESS OF SOCIALIZATION USING AUDIOVISUAL
MEDIA TOWARD PERSONAL HYGIENE AND INCIDENCE RATE OF
Pediculosis capitis AMONG FEMALE STUDENT OF MADRASAH
TSANAWIYAH (MTS) X ISLAMIC BOARDING SCHOOL
SUBDISTRICT MEMPAWAH TIMUR
Ade C Islami1, Diana Natalia2, Mistika Zakiah3

Abstract

Background: Pediculosis capitis is a skin disease caused by Pediculus humanus


capitis that attacks the hair and scalp. Pediculosis capitis occurs 41-fold more often
in girls and in children aged 9-16 years. One of the factors that causes Pediculosis
capitis is poor personal hygiene. Socializaiton is needed to reduce the incidence
rate of Pediculosis capitis. Purpose: To know the effectiveness of socialization
using audiovisual media toward personal hygiene and incidence rate of Pediculosis
capitis among female student of Madrasah Tsanawiyah (MTs) X Islamic Boarding
School Subdistrict Mempawah Timur. Methodology: Quasi experimental research
with one group pretest posttest design. A total of 139 people were involved in this
experiment. Independent variable was socialization using audiovisual media, and
dependent variable were personal hygiene and incidence rate of Pediculosis capitis
among female student of Madrasah Tsanawiyah (MTs) X Islamic Boarding School
Subdistrict Mempawah Timur. Result: A total of subjects have a good personal
hygiene before socialization is 95% and after socializaiton is 98,6%. A total of
subjects positive Pediculosis capitis before socialization is 87,8% and after
socializaiton is 61,2%. Based on McNemar statistical test that had been done there
was no significant differences in personal hygiene variables (p> 0,05), and there
was significant differences in incidence rate of Pediculosis capitis variables
(p<0,05). Conclusion: Socialization using audiovisual media statistically there
was no significant effectiveness in determining personal hygiene score, but there
was significant effectiveness in determining incidence rate of Pediculosis capitis
among female student of Madrasah Tsanawiyah (MTs) X Islamic Boarding School
Subdistrict Mempawah Timur.

Keywords: Pediculosis capitis, female student, socialization using audiovisual


media, personal hygiene, incidence rate

1) Medical Student, Faculty of Medicine, University of Tanjungpura Pontianak,


West Kalimantan.
2) Department of Parasitology, Faculty of Medicine, University of Tanjungpura
Pontianak, West Kalimantan.
3) Department of Histology, Faculty of Medicine, University of Tanjungpura
Pontianak, West Kalimantan.

3
PENDAHULUAN
Pediculosis capitis adalah penyakit kulit disebabkan oleh Pediculus humanus
capitis yang menyerang rambut dan kulit kepala.1 Pediculus capitis menggigit kulit
sehingga menimbulkan rasa gatal, infeksi, kesulitan tidur, anemia dan penurunan
konsentrasi saat belajar bahkan anak merasa malu dan tidak percaya diri karena
dijauhi teman-temannya.2 Pediculosis capitis terjadi 41 kali lipat lebih sering pada
anak perempuan dibanding dengan anak laki-laki dan paling sering ditemukan pada
anak usia 9-16 tahun.3 Hal ini karena anak-anak sering melakukan kontak kepala
dengan temannya saat bermain. Wanita tertular kebanyakan karena tukar-menukar
barang seperti sisir.4
Pediculosis capitis termasuk masalah kesehatan masyarakat dunia dengan
jumlah prevalensi yang terus meningkat.5 Pada tahun 2006 diperoleh angka
insidensi sebesar 35% di Malaysia dan 31,1 % di Turki tahun 2007. Amerika Serikat
terdapat 6-12 juta anak terinfestasi setiap tahunnya.6
Kejadian Pediculosis capitis dikatakan cukup tinggi di Indonesia. 71,3% putri
yang tinggal di asrama terinfestasi Pediculosis capitis di Yogyakarta.7 Di
Kalimantan Barat khususnya di Kabupaten Mempawah memiliki jumlah pasien
kulit gatal pada tahun 2010 sebanyak 2689 kasus, pada tahun 2011 sebanyak 4246
kasus, dan pada tahun 2012 sebanyak 3948 kasus.8 Kecamatan Mempawah Timur,
Kabupaten Mempawah pada tahun 2016 terdapat 236 kasus terjadinya penyakit
kulit akibat infeksi, namun tidak didapatkan data penyakit kulit yang spesifik yang
disebabkan Pediculus humanus capitis, sehingga diperlukan penelitian lebih
lanjut.9
Personal hygiene yang buruk merupakan faktor utama yang mempermudah
infeksi masuk ke anggota tubuh baik kulit kepala dan rambut maupun anggota
badan lainnya pada tubuh manusia, seperti halnya infestasi Pediculosis capitis pada
rambut kepala.10,11
Penyuluhan diperlukan untuk mengurangi angka kejadian Pediculosis capitis.
Penyuluhan dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan,
sehingga pesuluh melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan
kesehatan.14
Penyuluhan kesehatan tidak terlepas dari media. Karena melalui media, pesan
yang disampaikan dapat lebih menarik dan dipahami. Salah satunya adalah media
audiovisual. Media audiovisual adalah media pengajaran dan pendidikan yang
mengaktifkan mata dan telinga yang memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi.
Menurut riset, rata-rata diatas 60% sampai 80%.15 Efektivitas pembelajaran melalui
media ini dapat terlihat dari tingkat kenikmatan santri ketika melihat teks
bergambar yang dapat menggugah emosi dan sikap santri.16
Pesantren adalah sekolah atau institusi pendidikan islam yang memiliki
sistem asrama. Santri hidup pada lingkungan pesantren padat dengan sanitasi
kurang baik dan memiliki kebiasaan pinjam meminjam barang sehingga mudah
tertular pediculosis. 12,13
Pesantren X di Kecamatan Mempawah Timur merupakan pesantren dengan
kawasan kelembapan tinggi yang dikelilingi hutan. Hal tersebut merupakan faktor
penyebaran terjadinya Pediculosis capitis.17 Pada penelitian sebelumnya dengan
metode wawancara di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang

4
terdapat 84% santriwati (54 santriwati dari 64 santriwati) mengalami Pediculosis
capitis.18
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai
efektivitas penyuluhan menggunakan media audiovisual terhadap personal hygiene
dan angka kejadian Pediculosis capitis pada santri putri Madrasah Tsanawiyah
(MTs) di Pondok Pesantren X Kecamatan Mempawah Timur.

BAHAN DAN METODE

Jenis desain penelitian ini adalah metode eksperimen semu dengan one group
pretest posttest.
Penelitian ini dilaksanakan di Pesantren X Kecamatan Mempawah Timur.
Pelaksanaan penelitian dilakukan bulan Juni 2017 – Agustus 2017.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah santri putri yang terdaftar dan
bermukim di Pesantren X Kecamatan Mempawah Timur serta bersedia menjadi
responden penelitian. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah santri putri yang
sudah melakukan pengobatan kutu rambut dalam rentang dua minggu terakhir
sebelum dilaksanakan penelitian dan tidak hadir saat pengambilan data post-test
namun hadir dan mengikuti pre-test.
. Jumlah sampel dalam penelitian yang memenuhi kriteria inklusi adalah 147
responden, dan yang digunakan adalah 139 sampel. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner dan penyeritan kutu menggunakan
sisir serit. Data dianalisis secara univariat dan bivariat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan Analisis Univariat


Tabel 1. Karakteristik responden
Karakteristik Jumlah (orang) Presentase (%)
Umur (tahun)
11 tahun 6 4,3
12 tahun 31 22,3
13 tahun 61 43,9
14 tahun 33 23,7
15 tahun 8 5,8
Total 139 100,0
Kelas
Kelas VII 25 18,0
Kelas VIII 53 38,1
Kelas IX 61 43,9
Total 139 100,0
Asal Daerah
Mempawah 80 57,6
Bengkayang 15 10,8
Landak 13 9,4
Pontianak 12 8,6
Kubu Raya 4 2,9
Sambas 4 2,9

5
Melawi 3 2,2
Sekadau 2 1,4
Sintang 2 1,4
Singkawang 2 1,4
Ketapang 1 0,7
Kapuas Hulu 1 0,7
Total 139 100,0
Lama tinggal (bulan)
>1 bulan 25 18,0
>6 bulan 1 0,7
>12 bulan 52 37,4
>24 bulan 61 43,9
Total 139 100,0
Jumlah subjek penelitian adalah 139 orang. Subjek penelitian dikelompokkan
berdasarkan karakteristik usia, kelas, asal daerah dan lama tinggal. Rentang usia
pada penelitian berkisar 11 tahun hingga 15 tahun yang merupakan kisaran usia
umum pada anak setingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs). Rentang usia pada
penelitian berkisar 11 tahun hingga 15 tahun dikarenakan berbagai hal seperti
terlambat atau terlalu dini masuk sekolah dan juga dapat disebabkan pernah tinggal
kelas. Usia termuda dalam penelitian adalah 11 tahun dan usia tertua 15 tahun.
Kelompok subjek penelitian yang memiliki distribusi terbesar adalah yang berusia
13 tahun sebanyak 61 orang (43,9%).
Kelas subjek penelitian di pesantren terdiri atas kelas VII, kelas VIII, dan
kelas IX. Kelompok subjek penelitian yang memiliki distribusi terbesar adalah
subjek penelitian kelas IX (43,9%).
Asal daerah subjek penelitian terdiri atas 12 kabupaten/kota antara lain
Mempawah, Bengkayang, Landak, Pontianak, Kubu Raya, Sambas, Melawi,
Sekadau, Sintang, Singkawang, Ketapang, Kapus Hulu. Kelompok subjek
penelitian yang memiliki distribusi terbesar adalah yang berasal dari Kabupaten
Mempawah sebanyak 80 orang (57,6%).
Lama tinggal subjek penelitian di pesantren dikelompokkan menjadi empat
antara lain: lebih dari 1 bulan, lebih dari 6 bulan, lebih dari 12 bulan, dan lebih dari
24 bulan. Kelompok subjek penelitian yang memiliki distribusi terbesar adalah
yang subjek penelitian yang telah tinggal selama lebih dari 24 bulan (43,9%) di
Pondok Pesantren. Distribusi subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 2. Gambaran Personal hygiene dan Angka Kejadian Pediculosis capitis


Subjek Penelitian Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
Personal hygiene Personal hygiene
Sebelum Penyuluhan Sesudah Penyuluhan
Total Total
Kurang Kurang
Baik Baik
Baik Baik
6 122 2 85
Kejadian Positif 116 (83,4%) 83 (59,7%)
(4,3%) (87,7%) (1,4%) (61,1%)
Pediculosis
1 17 0 54
capitis Negatif 16 (11,5%) 54 (38,8%)
(0,7%) (12,2%) (0%) (38,8%)
Total 132 (94,9%) 7 (5,0%) 139 (100%) 137 (98,5%) 2 (1,4%) 139 (100%)

6
Subjek penelitian dengan perilaku personal hygiene yang baik sebelum
dilakukan penyuluhan berjumlah 132 orang (95,0%) dan sesudah dilakukan
penyuluhan berjumlah 137 orang (98,6%). Subjek penelitian yang positif
Pediculosis capitis sebelum dilakukan penyuluhan berjumlah 122 orang (87,8%)
dan sesudah dilakukan penyuluhan berjumlah 85 orang (61,2%).
Gambaran perilaku personal hygiene subjek penelitian positif Pediculosis
capitis sebelum penyuluhan sebanyak 116 orang dinyatakan baik (83,4%) dan
subjek penelitian positif Pediculosis capitis sesudah penyuluhan sebanyak 83 orang
dinyatakan baik (59,7%). Sedangkan gambaran perilaku personal hygiene subjek
penelitian negatif Pediculosis capitis sebelum penyuluhan sebanyak 16 orang
dinyatakan baik (11,5%) dan subjek penelitian negatif Pediculosis capitis sesudah
penyuluhan sebanyak 54 orang dinyatakan baik (38,8%). Distribusi gambaran
perilaku personal hygiene dan kejadian Pediculosis capitis subjek penelitian
sebelum dan sesudah penyuluhan dapat dilihat pada tabel 2.

Hasil dan Pembahasan Analisis Bivariat


Tabel 3. Perbandingan Perilaku Personal Hygiene Santri Putri Sebelum dan
Sesudah Penyuluhan
Sesudah Penyuluhan Uji
Total
Baik Kurang Baik McNemar
Sebelum Baik 132 0 132
Penyuluhan Kurang Baik 5 2 7 0,063
Total 137 2 139

Tabel 4. Perbandingan Angka Kejadian Pediculosis capitis Santri Putri


Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
Sesudah Penyuluhan Uji
Total
Negatif Positif McNemar
Sebelum Negatif 17 0 17
Penyuluhan Positif 37 85 122 0,000
Total 54 88 139

Hasil penelitian yang diperoleh tersusun dalam tabel 2x2 untuk


menganalisis signifikansi perubahan frekuensi sebelum dan sesudah penyuluhan
terhadap perilaku personal hygiene dan angka kejadian Pediculosis capitis.
Kemudian dilakukan uji hipotesis McNemar menggunakan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) 23.0.
Distribusi perubahan frekuensi sebelum dan sesudah penyuluhan terhadap
perilaku personal hygiene dapat dilihat pada tabel 3. Hasil uji McNemar
menunjukkan nilai significancy-nya sebesar 0,063. Nilai p>0,05 maka penyuluhan
menggunakan media audiovisual secara statistik tidak memberikan efektivitas yang
signifikan dalam menentukan skor personal hygiene responden.
Distribusi perubahan frekuensi sebelum dan sesudah penyuluhan terhadap angka
kejadian dapat dilihat pada tabel 4. Hasil uji McNemar menunjukkan nilai
significancy-nya sebesar 0,000. Nilai p<0,05 maka secara statistik penyuluhan

7
menggunakan media audiovisual memberikan efektivitas yang signifikan dalam
menentukan angka kejadian Pediculosis capitis pada responden.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di pesantren X diketahui bahwa
Berdasarkan penelitian di Pondok Pesantren X diketahui bahwa subjek penelitian
berusia antara 11 hingga 15 tahun. Subjek penelitian yang positif Pediculosis
capitis sebelum penyuluhan (45,9%) dan sesudah penyuluhan paling banyak
berusia 13 tahun (dan 44,7%). Hal itu disebabkan karena subjek penelitian paling
banyak pada usia 13 tahun (43,9%). Hal itu sejalan dengan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Gulgun19 bahwa penderita Pediculosis capitis memiliki usia
berkisar 9-16 tahun (28,6%).
Menurut Rumampuk20, frekuensi usia responden paling banyak terinfestasi
Pediculosis capitis adalah 7–12 tahun sebanyak 247 orang (43,5%) dan paling
sedikit pada kelompok usia 46 –54 tahun sebanyak 6 orang (1,1%). Pediculosis
capitis biasanya menyerang pada anak-anak usia 5-13 tahun21. Di Amerika, sekitar
10-12 juta anak terinfestasi setiap tahunnya.22 Insidensi Pediculosis capitis di Turki
mencapai 16,7% atau sekitar 1.569 anak usia sekolah dengan insidensi perempuan
lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Infestasi Pediculosis capitis banyak terjadi
pada usia tersebut dikarenakan anak-anak sering melakukan kontak dengan
temannya saat berada di dalam satu ruangan dan tukar-menukar barang seperti
sisir.23
Subjek penelitian yang positif Pediculosis capitis baik sebelum (60,7%) dan
sesudah penyuluhan (58,8%) paling banyak berasal dari Kabupaten Mempawah.
Hal itu dikarenakan subjek penelitian paling banyak berasal dari Kabupaten
Mempawah (57,6%). Selain itu juga dikarenakan letak pesantren X yang berada di
Kabupaten Mempawah sehingga dapat dijangkau oleh subjek penelitian. Namun,
jarak pesantren yang cukup jauh dari pusat kota sehingga cukup susah dijangkau
oleh masyarakat dari daerah luar Kabupaten Mempawah.
Subjek penelitian ini merupakan santri putri MTs kelas VII, VIII dan IX.
Sebagian besar subjek penelitian merupakan siswa kelas IX yaitu berjumlah 61
orang (43,9%). Subjek penelitian yang positif Pediculosis capitis sebagian besar
telah tinggal di pesantren selama 24 bulan (43,9%). Hal tersebut dikarenakan subjek
penelitian sebagian besar merupakan murid kelas IX MTs yang merupakan santri
yang sudah cukup lama di Pondok Pesantren. Semakin lama tinggal di Pondok
Pesantren, maka semakin sering kemungkinan untuk tertular penyakit Pediculosis
capitis. Perilaku sehari-hari yang tidak mendukung kesehatan dan kebiasaan
bertukar pakaian, handuk, dan sebagainya juga dapat menyebabkan tertularnya
penyakit Pediculosis capitis.
Dalam pesantren, santri hidup dalam suatu komunitas khas. Kyai, ustadz,
santri dan pengurus pesantren berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan
norma-norma dan kebiasannya tersendiri, yang tidak jarang berbeda dengan
masyarakat umum yang mengitarinya.24 Santri di Pondok Pesantren X berasal dari
daerah yang berbeda-beda. Santri mulai mengenal lingkungan pesantren, berlanjut
merasa nyaman dan betah tinggal di Pondok Pesantren. Santri yang sudah tinggal
di Pesantren lebih dari satu tahun sudah dapat hidup mandiri sehingga mampu
beradaptasi dengan baik dan menerapkan kebiasaan hidup bersih dan sehat yang
pernah diterapkan sebelumnya di rumah. Bagi santri yang tidak dapat beradaptasi,

8
ada yang memutuskan untuk keluar dari pesantren. Padatnya jadwal yang diterima
para santri kemudian memberi dampak lain pada kehidupannya. Setiap hari santri
dibebani oleh kegiatan-kegiatan yang tidak ringan, mulai dari bangun tidur hingga
tidur kembali diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada waktu yang terbuang
percuma.25
Menurut Dhofier26, secara umum pondok pesantren dibagi menjadi dua yaitu
pondok pesantren tradisional dan pondok pesantren modern. Pesantren tradisional
mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya, tanpa
mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Metode pengajaran di pondok
pesantren tradisional menggunakan sistem kelompok dan individu. Dalam pondok
pesantren tradisional tidak mengenal sistem kelas. Kemampuan siswa tidak dilihat
dari kelas berapa, tapi dilihat dari kitab apa yang dibaca. Tidak ada aturan
penjenjangan dalam belajar. Mana santri yang lama dan baru tidak jelas.27 Selain
itu, di pondok pesantren tradisional kyai memiliki otoritas yang sangat besar dalam
menentukan kebijakan, sistem pendidikan tergantung selera kiai serta tidak adanya
sebuah aturan baik menyangkut administrasi, birokrasi,struktur, budaya dan
kurikulum.28
Sedangkan pondok pesantren modern telah memasukkan pengajaran
pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka
tipe-tipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren. Santri dituntut untuk dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap kegiatan-kegiatan dan peraturan yang
berlaku. Situasi yang sering dihadapi santri seperti kurangnya perhatian dari
orangtua, padatnya kegiatan yang harus dijalani oleh setiap santri, ketatnya
peraturan yang harus dipatuhi oleh santri dan kehidupan pondok pesantren yang
memisahkan antara putra dan putri.Terorganisirnya jadwal yang harus diterima oleh
santri, terkadang membuat kondisi yang berbeda dan dampak terhadap pola
kehidupannya.26 Pondok Pesantren X yang terletak di Kecamatan Mempawah
Timur tergolong pondok pesantren modern.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada santri MTs di Pondok
Pesantren X didapatkan angka kejadian Pediculosis capitis sebelum penyuluhan
sebanyak 87,8% dan sesudah penyuluhan sebanyak 61,2%. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan berupa penyisiran dengan menggunakan sisir serit pada
kepala responden. Sampel hasil pemeriksaan dibawa ke laboratorium untuk
diperiksa dengan menggunakan mikroskop dan menunjukkan adanya telur, nimfa,
dan kutu dewasa. Pediculus humanus capitis merupakan ektoparasit yang
menyerang rambut dan kulit kepala.29 Darah penting untuk kelangsungan hidup
Pediculus humanus capitis pada kepala manusia. Kutu tidak dapat hidup tanpa
darah dalam waktu 15 – 20 jam.30
Hasil penelitian didapatkan angka kejadian Pediculosis capitis responden
yang belum mendapatkan penyuluhan sesudah penyuluhan mengalami penurunan
dari 122 responden positif Pediculosis capitis (87,8%) menjadi 88 responden positif
Pediculosis capitis (61,2%). Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa penyuluhan
secara statistik memberikan efektivitas yang berarti dalam menentukan skor angka
kejadian Pediculosis capitis pada santri MTs di Pondok Pesantren X. Belum ada
penelitian yang meneliti tentang efektivitas penyuluhan menggunakan media
audiovisual terhadap angka kejadian penyakit Pediculosis capitis. Tetapi ada

9
penelitian Satri MS, Febriana S, Darwin K (2014)31 tentang filariasis yang
menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna penyuluhan menggunakan media
audiovisual terhadap perubahan perilaku responden dalam pencegahan filariasis.
Penyuluhan bertujuan memberikan pengetahuan pada santri putri mengenai
penyakit Pediculosis capitis agar angka kejadian penyakit ini menjadi rendah.
Hanik Fadilah (2015)32 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara nilai pretest dan posttest pengetahuan terhadap penyakit Pediculosis capitis
dengan metode ceramah dan leaflet. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian
Putri IR dan Menaldi SL (2012)33 menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna
nilai pretest dan posttest pengetahuan santri mengenai penularan Pediculosis capitis.
Kedua penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
skor pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan. Namun pada penelitian ini,
meskipun santri putri telah mendapat pengetahuan mengenai penyakit Pediculosis
capitis, angka kejadian masih tergolong tinggi. Hal ini dapat terjadi karena
dipengaruhi oleh faktor fasilitas dan sarana serta pengaruh dari teman-teman
disekitar asramanya.
Santri MTs dari kelas VII hingga kelas IX berada pada lokasi asrama yang
sama. Sehingga meskipun salah satu dari mereka telah melakukan yang dianjurkan
ketika penyuluhan namun jika mereka tetap tinggal bersama dengan seseorang
dengan Pediculosis capitis maka kemungkinan besar mereka juga akan tetap
tertular Pediculosis capitis tersebut. Faktor lainnya adalah santri yang memiliki
pengetahuan setelah diberikan penyuluhan enggan mengaplikasikannya pada
kehidupan pribadinya karena sudah terbiasa dengan lingkungan yang seperti itu.
Perilaku personal hygiene subjek penelitian sebelum penyuluhan (90,6%)
dan sesudah penyuluhan (93,3%) tergolong ke dalam kategori baik. Hasil penelitian
didapatkan responden yang belum mendapatkan penyuluhan dengan personal
hygiene penyakit Pediculosis capitis mengalami peningkatan setelah mendapatkan
penyuluhan dari 132 responden personal hygiene baik (95,0%) menjadi 137
responden personal hygiene baik (95,0%). Namun, hasil penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa penyuluhan secara statistik tidak memberikan
efektivitas yang berarti dalam menentukan skor personal hygiene penyakit
Pediculosis capitis pada santri MTs di Pondok Pesantren X. Hal ini dapat terjadi
karena pada awalnya perilaku personal hygiene sebelum dilakukan penyuluhan,
kebanyakan santri sudah dalam kategori baik. Jadi, dengan diberikan penyuluhan
tidak memberikan pengaruh yang bearti dalam menentukan skor personal hygiene.
Lokasi pondok pesantren X yang cukup terpencil dan berada di daerah hutan
yang menyebabkan keadaan kamar dan sekitarnya menjadi lembab, gelap, dan
sempit. Sumber air sumur yang digunakan untuk sehari-hari juga kurang bersih.
Dikatakan kurang bersih dikarenakan air yang mereka gunakan sedikit berbau dan
memiliki rasa. Hal itu juga menjadi faktor terjadinya infestasi Pediculosis capitis
di pesantren tersebut.34
Beberapa faktor yang dapat membantu penyebaran infestasi Pediculosis
capitis adalah faktor sosial-ekonomi, tingkat pengetahuan, personal higiene,
kepadatan tempat tinggal, dan karakteristik individu (umur, panjang
rambut, dan tipe rambut).35 Lingkungan di Pondok Pesantren meliputi: peraturan
yang berhubungan dengan kebersihan perseorangan belum tersedia, program

10
kebersihan perseorangan belum dirancang dengan baik dan belum adanya poster
yang berisi pesan-pesan tentang kebersihan perseorangan. Perilaku kebersihan
perseorangan dipengaruhi oleh niat dari pelakunya, kebiasaan sehari-hari,
lingkungan, fasilitas dan sebagainya. Selain faktor lingkungan, praktek kebersihan
diri masing -masing individu dapat juga menjadi faktor risiko terjadinya
pediculosis capitis jika individu (santri) tidak melaksanakannya dengan baik,
antara lain mencuci rambut.36
Menurut Layli dan Sulistiyo37, personal hygiene yang buruk merupakan
faktor utama yang mempermudah infeksi masuk kedalam anggota tubuh baik
kulit rambut mau pun anggota badan lainnya pada tubuh. Pediculosis capitis
merupakan penyakit infeksi kulit kepala dan rambut yang disebabkan oleh
pediculus humanus capitis , hal ini sangat memprihatinkan karena penyakit
infeksi sebenarnya dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal
hygiene.22
Menjaga personal hygiene baik langsung maupun tidak langsung pada
penderita pediculosis capitis merupakan salah satu cara pencegahan terbaik dari
pada mengobati terjadinya penyakit pediculosis capitis. Akibat dari infestasi
pediculosis capitis yang tidak diobati dapat menimbulkan berbagai dampak pada
penderitanya, antara lain berkurangnya kualitas tidur anak pada malam hari akibat
rasa gatal, stigma sosial, rasa malu dan rendah diri.22
Meskipun dalam penelitian ini, kebanyakan santri putri memiliki perilaku
personal hygiene yang baik tetapi angka kejadian Pediculosis capitis tetap tinggi. Hal
ini dapat terjadi karena responden bertempat tinggal dengan tingkat kepadatan yang
tinggi, dimana individu bertempat di lingkungan pondok yang hidup kesehariannya
selalu bersama-sama sehingga resiko terjadinya penularan lebih cepat.36
Perilaku santri pergi ke sekolah yang jarang mengeringkan rambut yang basah
atau sering bertukar pakaian dengan teman sekamar masih dapat ditemukan di
pesantren. Kemudian, hanya terdapat satu lemari besar di setiap kamar di asrama
membuat pakaian-pakaian santri digabungkan di lemari tersebut. Hal itu
diakibatkan faktor sosial budaya pondok yang mendukung kebersamaan
(solidaritas). Jumlah santri yang banyak dan fasilitas pesantren yang terbatas
mendukung berkembangnya kebiasaan seperti itu di lingkungan pesantren.
Kebiasaan semacam itu dapat diubah apabila terdapat suatu kondisi dimana santri
dapat menerapkan pengetahuan yang ia miliki dan membentuk kebiasaan perilaku
hidup bersih dan sehat. Kondisi tersebut dapat diciptakan dengan bantuan peran
dari kyai, pengawasan dari ustadz sebagai tenaga pengajar di sana, biaya, fasilitas
pesantren dan dukungan dari berbagai pihak lain.36
Perilaku yang dimodifikasi dapat berperan sebagai pemutus penularan
penyakit. Pemberian pengetahuan tentang kesehatan dan penanaman perilaku
kesehatan yang meliputi perilaku hidup sehat, perilaku sakit dan perilaku peran
sakit. Hal tersebut bertujuan agar santri dapat membedakan perilaku sehat dan tidak
sehat supaya santri cenderung berperilaku sehat, dapat mengetahui penyebab dan
gejala penyakit, memiliki kesadaran untuk segera berobat ketika jatuh sakit.
Meskipun santri ingin menerapkannya, tetapi lingkungan pesantren tidak
mendukung hal tersebut karena kurangnya fasilitas atau sarana prasarana pesantren,

11
perilaku santri sebelum masuk pesantren dan pengaruh perilaku hidup santri yang
dapat memengaruhi atau menular pada santri lainnya di Pondok Pesantren. 36,38

KESIMPULAN
Penyuluhan menggunakan media audiovisual secara statistik tidak
memberikan efektivitas yang signifikan dalam menentukan skor personal hygiene
(nilai p>0,05), tetapi memberikan efektivitas yang signifikan dalam menentukan
angka kejadian Pediculosis capitis pada santri putri Madrasah Tsanawiyah di
Pondok Pesantren X Kecamatan Mempawah Timur, (nilai p<0,05).

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Feldmeier H, Heukelbach J. Epidermal parasitic skin disease : a neglected
category of poverty associated plagues. Bull World Health Organ. 2009:
87:152-59.
2. Speare R, Buettner P. Head lice in pupils of a primary school in Australia and
implication for control. IJD. 1999: 38:285-90
3. Gulgun M, Balci E, Karaoglu A, Babacan O, Turker T. Pediculosis capitis:
prevalence and its associated factors in primary school children living in rural
and urban areas in Kayseri, Turkey. CEJPH. 2013:21:104-8.
4. Soleimani M, Zare Sh, Hanafi-Bjod AA, Amir-Haidarshah M. The
epidemiology aspect of pediculosis in primary school of Qeshm. MJIRI
2007:7(2):299-302.
5. Sidoti E, Bonura F, Paolini G, Triangali GA. Survey on knowledge and
perception regarding head lice on a sample of teachers and students in primary
school of north and south of Italy. JPMH. 2009:50:141-51.
6. Moradi. The Prevalence of Pediculosis capitis In Primary School Students In
Bahar Hamadan Province Iran. 2008.
7. Restina R, Aminah S. Hubungan Berbagai Faktor Resiko Terhadap Angka
Kejadian Pediculosis capitis di Asrama. [dissertation]. Yogyakarta :
Universitas Muhammadiyah. 2010.
8. Dinas Kesehatan Kabupaten Mempawah. Rekapitulasi algoritma klinis
Puskesmas Kabupaten Mempawah. 2012.
9. Puskesmas Kecamatan Mempawah Timur. Kejadian Penyakit pada
Masyarakat di Kecamatan Mempawah Timur. 2016.
10. Tarwoto W. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Edisi
ketiga. Jakarta : Salemba Medika. 2010.
11. Laily I, Sulistyo A. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika. 2004: 52-68.
12. Wijayati F. Hubungan Antara Perilaku Sehat Dengan Angka Kejadian
Pediculosis capitis pada Santriwati Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang
16. 2007.
13. Madjid N. Bilik Bilik Pesantren (Sebuah Potret Perjalanan). Jakarta:
Paramadina. 1997.
14. Maulana HDJ. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC. 2009:5.

12
15. Sanjaya W. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. cet.4. Jakarta:
Kencana. 2011:211
16. Putra RK, Ersanghono RK, Nurhayati S. Efektivitas Pembelajaran dengan
Pendekatan Proses Dasar Menggunakan Audio Visual. Chemistry in
Education. 2013:2(1).15.
17. Goldstein BG, Goldstein AO. Dermatologi Praktis. Jakarta : Hipokrates.
2001.
18. Fadilah H. Perbedaan Metode Ceramah dan Leaflet terhadap Skor
Pengetahuan Santriwati Tentang Pedikulosis capitis di Pondok Pesantren Al-
Mimbar Sambongdukuh Jombang [Skripsi]. Jakarta : Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2015
19. Gulgun M, Balci E, Karaoglu A, Babacan O, Turker T. Pediculosis capitis:
prevalence and its associated factors in primary school children living in rural
and urban areas in Kayseri, Turkey. CEJPH. 2013:21:104-8.
20. Rumampuk MV. Peranan kebersihan kulit kepala dan rambut dalam
penanggulangan epidemiologi Pediculus humanus capitis. Manado : Fakultas
Keperawatan Universitas Katolik De La Salle Manado. 2012
21. Davarpanah MA, Mehrabani D, Khademolhosseini F, Mokhtari A, Bakhtiari
H, Neirami R.The prevalence of Pediculus capitis among school children in
Fars Province Southern Iran. Iranian J Parasitol. 2009:4:48-53
22. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, Other Mites, and Pediculosis.
In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, and Leffell DJ.
Ed. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th edition. McGraw Hill
New York. 2008: 2029-37.
23. Nutanson I, Steen CJ, Schwartz RA, Janniger CK. Pediculus humanus
capitis: an update. Acta Dermatoven APA:2008.17(4):147-59.
24. Bashori K. Problem Psikologis Kaum Santri: Resiko Insekuritas Kelekatan.
Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama. 2003.
25. Febriansyah YS. Pola adaptasi sosial budaya kehidupan santri pondok
pesantren nurul barokah. Jakarta : Universitas Indonesia. 2015.
26. Zamakhsyari D. Tradisi pesantren studi tentang pandangan hidup kyai.
Jakarta : LP3S. 2011.
27. Mujamin Q. Pesantren dari transformasi metodologi menuju demokratisasi
institusi. Jakarta : Erlangga. 2005.
28. Abdurrahman W. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta :
LkiS. 2001.
29. Feldmeier H, Heukelbach J. Epidermal parasitic skin disease : a neglected
category of poverty associated plagues. Bull World Health Organ. 2009:
87:152-59.
30. Parasites Lice Head lice. CDC centers of disease control and prevention.
Avaible at: http://www.cdc.90v/parasites/lice/head/index.html
31. Satri MS, Febriana S, Darwin K. Efektifitas Pendidikan Kesehatan
Menggunakan Media Audiovisual Terhadap Perilaku Pencegahan Filariasis.
2014.

13
32. Fadilah H. Perbedaan Metode Ceramah dan Leaflet terhadap Skor
Pengetahuan Santriwati Tentang Pedikulosis capitis di Pondok Pesantren Al-
Mimbar Sambongdukuh Jombang [Skripsi]. Jakarta : Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2015
33. Kamiabi F, Nakhaei FH. Prevalence of Pediculosis capitis and determination
of risk factors in primary-school children in Kerman. Islamic Republic of Iran
:Division of Medical Entomology and Vector Control. Kerman : Faculty of
Health University of Medical Sciences. 2005.
34. Wijayati F. Hubungan Antara Perilaku Sehat Dengan Angka Kejadian
Pediculosis capitis pada Santriwati Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang
16. 2007.
35. Kamiabi F, Nakhaei FH. Prevalence of Pediculosis capitis and determination
of risk factors in primary-school children in Kerman. Islamic Republic of Iran
:Division of Medical Entomology and Vector Control. Kerman : Faculty of
Health University of Medical Sciences. 2005.
36. Badri M. Hygiene perseorangan santri Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar
Ponorogo. J Litbangkes. 2007:17(2):20–7.
37. Laily I, Sulistyo A. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika. 2004: 52-68.
38. Sajida A. Hubungan personal hygiene dan sanitasi lingkungan dengan
keluhan penyakit kulit di Kelurahan Denai Kecamatan Medan denai Kota
Medan Tahun 2012. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara. 2012.

14

Anda mungkin juga menyukai