Anda di halaman 1dari 10

Nama : Siti Nuryuliza

NPM : 1402150157
Kelas : AK-39-05
SOAL QUIZ GANJIL 2017

SOAL 1 (20 point)


Pada sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual, terdapat dua pencatatan yaitu Jurnal
Finansial dan Jurnal LRA. Saudara jelaskan pengertian dan penerapan kedua jurnal tersebut
serta berikan contohnya, Jelaskan jenis-jenis laporan keuangan yang dihasilkan oleh
pemerintah daerah serta komponennya, serta berikan contoh masing-masing tiga transaksi
yang dilakukan baik oleh SKPD ataupun PPKD!
Jawab :
Akun-akun yang digunakan di jurnal nantinya harus mampu untuk menunjukkan arah
laporan yang akan dihasilkan mengingat terminologi yang digunakan ada ada sedikit
kemiripan namun secara substansi memiliki arti yang berbeda. Untuk kesepakatan dalam
paper ini maka sesuai dengan draft PSAP akrual yang dikeluarkan KSAP maka untuk

Akun pendapatan akan dibedakan menjadi 2 jenis yaitu pendapatan-LRA yang berbasis kas
yang nantinya akan masuk sebagai komponen LRA dan pendapatan-LO yang berbasis akrual
yang nantinya akan masuk ke laporan operasional.
Untuk akun belanja akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan LRA yang berbasis
kas sementara untuk laporan operasional akan digunakan terminologi beban.
Sisa penggunaan anggaran di LRA nantinya akan dinamakan sisa anggaran lebih (SAL)
sementara laporan operasional akan menghasilkan surplus/defisit-LO.

Jurnal Korolari

Jurnal korolari muncul karena di satu sisi pengakuan akun-akun LRA menggunakan basis kas
sementara akun neraca menggunakan basis akrual. Undang-undang mengharuskan supaya
semua penerimaan dan pengeluaran kas harus melalui LRA dan dicatat sebagai realisasi
pendapatan dan belanja. Sebagai contoh ketika pemerintah menerima pembayaran pajak
maka akan dicatat (pada SAKUN)
Jurnal di atas sudah barang tentu hanya akan mempengaruhi LRA (pada akun pendapatan)
dan kas pada neraca. Namun masalah akan muncul ketika pemerintah melakukan realisasi
belanja modal dimana di satu sisi pemerintah harus melakukan penjurnalan akun LRA namun
di sisi lain pemerintah harus mengakui penambahan aset di neraca sebagai konsekuensi
penggunaan basis akrual di neraca. Masalah ini diatasi dengan menggunakan jurnal yang
disebut dengan jurnal korolari. Dengan menggunakan jurnal korolari disamping melakukan
penjurnalan realisasi belanja modal, di sisi lain dapat dibuat neraca yang berbasis akrual.
Jurnal korolari dalam kasus ini dilakukan dengan melakukan pendebetan aset dan
pengkreditan akun ekuitas dana.

Pertanyaan yang sekarang timbul apakah jurnal korolari masih diperlukan ketika basis akrual
diterapkan dalam akuntansi pemerintah?

Selama ini jurnal korolari digunakan sebagai jembatan yang menghubungkan antara basis kas
yang digunakan dalam akuntansi LRA dengan basis akrual yang digunakan di neraca. Namun
dengan penggunaan basis akrual untuk menghasilkan laporan operasional maka secara
akuntansi perkiraan riil di neraca sudah terhubung dengan perkiraan nominal di laporan
operasional. Dalam hal ini laporan operasional dapat diibaratkan sebagai laporan laba rugi di
akuntansi konvensional yang terhubung dengan neraca dimana surplus/defisit-LO pada
laporan operasional (laba/rugi pada akuntansi konvensional) nantinya akan terhubung dengan
neraca melalui laporan perubahan ekuitas.

Kondisi bahwa basis akrual mampu menghubungkan transaksi yang melibatkan akun riil dan
nominal membawa konsekuensi jurnal korolari tidak diperlukan lagi dalam akuntansi
pemerintah karena setiap transaksi yang melibatkan akun neraca akan dapat terakomodasi
dalam basis akrual ini. Dengan mengambil contoh pembelian aset di atas maka secara akrual
akan langsung diakui pada debit akun aset dan di kredit pada kas sehingga perkiraan aset
akan langsung muncul di neraca.

Jurnal akrual yang disebutkan pada paragraf sebelumnya hanya bisa menghasilkan LO,
Neraca, LAK dan Laporan Perubahan Ekuitas, sementara PSAP juga mensyaratkan untuk
menghasilkan LRA dan Laporan Perubahan SAL. Permasalahan menjadi kompleks ketika
basis akuntansi yang digunakan untuk menghasilkan kedua kelompok laporan ini berbeda,
LO, Neraca, LAK dan Laporan Perubahan Ekuitas menggunakan basis akrual sementara
sisanya menggunakan basis kas. Sehingga menurut penulis, jurnal yang nantinya akan
digunakan harus mampu untuk menghasilkan kedua laporan yang basisnya berbeda ini.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa diperlukan modifikasi jurnal yang selama ini kita kenal
di basis cash toward accrual ketika kita ingin menggunakan basis akrual tetapi tetap dapat
menghasilkan LRA yang berbasis kas, dan jurnal korolari yang ada di basis cash toward
accrual dihapuskan karena sudah terakomodasi dalam jurnal akrual.

Akuntansi pemerintahan di Indonesia dilakukan pada beberapa tingkatan. Pada level


Kementrian/Lembaga (K/L) akuntansi pemerintah dilakukan terutama bertujuan untuk
menghasilkan LRA, Neraca dan LO ketika basis akrual digunakan, sementara pada level
BUN tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan LAK. Sesuai dengan draft akrual PSAP
maka LAK hanya dihasilkan oleh entitas yang menyelenggarakan fungsi perbendaharaan
(dalam hal ini BUN di Dit Pb) sehingga tidak akan ditemui akun Kas Umum Negara (KUN)
di level K/L, akun KUN hanya ditemui pada akuntansi di level BUN.

SOAL 2 (20 point)


Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi
yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Gambarkan skema pengukuran
kinerja sektor publik dan bedakan aspek-aspek pokok dalam pengukuran kinerja organisasi
komersial dengan kinerja sektor publik!
Jawab :

Pengukuran kinerja organisasi sektor publik meliputi aspek-aspek antara lain:


 Kelompok masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan
kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran
 Kelompok proses (process) adalah ukuran kegiatan, baik dari segi kecepatan,
ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut
 Kelompok keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai
dari suatu kegiatan yang dapat berwujud (tangible) maupun tidak berwujud
(intangible)
 Kelompok hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
kegiatan keluaran kegiatan pada jangka menengah yang mempunyai efek langsung
 Kelompok manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari
pelaksanaan kegiatan
 Kelompok dampak (impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun
negatif

SOAL 3 (15 point)


Jelaskan jenis-jenis laporan keuangan organisasi nirlaba, lingkup kegiatan beserta contohnya!

Jawab : PSAK 45, organisasi nirlaba perlu menyusun setidaknya 4 jenis laporan keuangan
sebagai berikut:
1. Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode laporan
2. Laporan aktivitas untuk suatu periode pelaporan
3. Laporan arus kas untuk suatu periode pelaporan
4. Catatan atas laporan keuangan

Ruang Lingkup
a) Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapkan
pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber
daya yang diberikan.
b) Menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau suatu
entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para
pendiri atau pemilik entitas tersebut.
c) Ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, ju arti bahwa kepemilikan
dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkah, atau ditebus kembali, atau
kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas
pada likuidasi atau pembubaran entitas
Contohnya :

SOAL 4 (20 point)


Terdapat beberapa jenis rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang
bersumber dari APBD. Jelaskan rasio-rasio tersebut, berikan contoh perhitungan rasio-rasio
yang dimaksud serta interpretasinya.
Jawab: 1) Derajat Desentralisasi
Derajat desentralisasi dilihat dari perbandingan PAD dengan Total Pendapatan Daerah
(TPD). Mahmudi (2010: 142) mengatakan bahwa:
“Derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antar jumlah Pendapatan Asli
Daerah dengan total penerimaan daerah. Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD
terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi
kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Rasio ini
dirumuskan sebagai berikut:

Derajat Desentralisai = Pendapatan Asli Daerah/Total Pendapatan Daerah X 100%

Menurut Bisma (2010 : 78) mengatakan bahwa :


“Tingkat Desentralisasi Fiskal adalah ukuran untuk menunjukkan tingkat kewenangan dan
tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
melaksanakan pembangunan”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PAD merupakan aspek yang dangat
menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Semakin
tinggi PAD maka semakin besar kemampuan keuangan daerah untuk membiayai belanja
pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Kriteria penilaian tingkat desentralisasi
fiskal dapat dikategorikan seperti tabel 2.1 berikut ini:
TABEL. 1
KRITERIA PENILAIAN TINGKAT DESENTRALISASI FISKAL
Prosentase PAD Tingkat Desentralisasi
terhadap TPD Fiskal
0,00 – 10,00 Sangat Kurang
10,01 – 20,00 Kurang
20,01 – 30,00 Sedang
30,01 – 40,00 Cukup
40,01 – 50,00 Baik
> 50,00 Sangat Baik

Sumber: Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991 dalam Bisma (2010:78)

2) Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah


Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemda diharapkan bisa menggali potensi yang ada
di daerah tersebut guna meningkatkan pendapatan asli daerah, sehingga ketergantungan
keuangan terhadap pemerintah pusat bisa berkurang.
Rasio ketergantungan keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah
pendapatan transfer yang diterima oleh penerimaan daerah dengan total penerimaan daerah.
Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah
terhadap penerimaan pusat dan/atau pemerintah propinsi. Rasio ini dirumuskan sebagai
berikut (Mahmudi, 2010 : 142):

Rasio Ketergantungan = Pendapatan Transfer / Total Pendapatan Daerah X 100 %

Menurut Bisma (2010: 78) mengatakan bahwa:


“Tingkat Ketergantungan Daerah adalah ukuran tingkat kemampuan daerah dalam
membiayai aktifitas pembangunan daerah melalui optimalisasi PAD, yang diukur dengan
rasio antara PAD dengan total penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) tanpa subsidi (Dana Perimbangan)”.

Kriteria untuk menetapkan ketergantungan keuangan daerah dapat dikategorikan seperti


tabel 2.2 berikut ini:
TABEL. 2
KRITERIA PENILAIAN KETERGANTUNGAN KEUANGAN DAERAH
Ketergantungan
Prosentase
Keuangan Daerah
0,00 – 10,00 Sangat Rendah
10,01 – 20,00 Rendah
20,01 – 30,00 Sedang
30,01 – 40,00 Cukup
40,01 – 50,00 Tinggi
> 50,00 Sangat Tinggi

Sumber: Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991 dalam Bisma (2010:77)

3) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah


Keberhasilan kemampuan keuangan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah salah
satunya dilihat dari kemandirian keuangan daerah tersebut. Suatu daerah yang sudah mandiri
dalam aspek keuangan diharapkan bisa melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat tanpa mengharapkan transfer dana dari pemerintah pusat.
“Rasio kemandirian keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah
penerimaan Pendapatan Asli Daerah dibagi dengan jumah pendapatan transfer dari
pemerintah pusat dan propinsi serta pinjaman daerah. Semakin tinggi angka rasio ini
menunjukkan pemerintah daerah semakin tinggi kemandirian keuangan daerahnya
(Mahmudi, 2010 :142)”.
Formula untuk mengukur tingkat Kemandirian Keuangan Daerah :

Rasio Kemandirian = Pendapatan Asli Daerah / (Transfer Pusat + Propinsi + Pinjaman) X100
%
Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah adalah ukuran yang menunjukkan kemampuan
keuangan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat, yang diukur dengan rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terhadap jumlah bantuan pemerintah pusat dan pinjaman (Bisma, 2010:77).

Secara konsepsional, pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah


daerah, harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard
memperkenalkan empat macam pola hubungan hubungan situasional yang dapat digunakan
dalam pelaksanaan otonomi daerah (Halim, 2004:188) yaitu:
a) Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian
pemerintah daerah. (Daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).
b) Pola Hubungan Konsultatif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena
daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.
c) Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat
daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan
otonomi.
d) Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah
telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah dari sisi
keuangan dapat dilihat sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut:
TABEL. 3
POLA HUBUNGAN DAN TINGKAT KEMAMPUAN DAERAH
Kemampuan Kemandirian Pola
Keuangan (%) Hubungan
Rendah Sekali 0 - 25 Instruktif
Rendah 25 - 50 Konsultatif
Sedang 50 - 75 Partisipatif
Tinggi 75 - 100 Delegatif

Sumber: Halim, 2004: 189

4) Rasio Efektivitas PAD


Keberhasilan suatu pemerintah daerah dalam melaksanakan roda pemerintahan, salah
satunya bisa diukur dengan efektivitas pelaksanaan anggaran tersebut. Hal tersebut bisa
diketahui dengan mengukur rasio efektivitas. Bisma (2010: 78) menuliskan tentang tujuan
pengukuran efektivitas:
“Pengukuran tingkat efektivitas ini untuk mengetahui berhasil tidaknya pencapaian tujuan
anggaran yang memerlukan data-data realisasi pendapatan dan target pendapatan”.

Pengertian efektivitas sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo (2004:134) sebagai


berikut:
“Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila
suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan
dengan efektif”.

Menurut Munir (2004:48) bahwa:


Analisis efektivitas pengelolaan anggaran daerah adalah dengan menggunakan ratio
perbandingan antara realisasi pendapatan daerah dengan target pendapatan yang ditetapkan
dalam APBD, guna mengetahui berhasil tidaknya pencapaian tujuan anggaran.

Senada dengan pendapat di atas, Mahmudi (2010: 143) yang mengatakan bahwa:
“Rasio efektivitas PAD dihitung dengan cara membandingkan realisasi penerimaan PAD
dengan target PAD (dianggarkan). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:

Rasio Efektivitas PAD = Realisasi Penerimaan PAD / Target Penerimaan PAD X 100%

Adapun kriteria untuk menetapkan efektivitas pengelolaan keuangan daerah, diukur


dengan kriteria penilaian kinerja keuangan seperti dalam tebel 2.4 berikut ini:
TABEL. 4
KRITERIA PENILAIAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Prosentase Kinerja Kriteria
Keuangan
> 100 % Sangat efektif
100% Efektif
90% - 99% Cukup Efektif
75% - 89% Kurang Efektif
< 75 % Tidak Efektif

Sumber: Mahmudi (2010:143)


5) Rasio Efisiensi PAD
Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah dituntut untuk bisa melaksanakan
setiap kegiatan dengan efisien. Untuk mengetahui suatu kegiatan pemerintah apakah sudah
terlaksana dengan efisien atau tidak, maka bisa dilihat dari rasio efesiensi. Mardiasmo
(2004:133) mengatakan bahwa:
“Efesiensi diukur dengan rasio antara output dengan input. Semakin besar output dibanding
input, maka semakin tinggi tingkat efisiensi suatu organisasi”.

Senada dengan hal tersebut (Mahmudi, 2010: 143) mengatakan bahwa:


“Untuk mengukur kinerja pemerintah daerah dalam memobilisasi penerimaan PAD, indikator
rasio efektivitas PAD saja belum cukup, sebab meskipun jika dilihat dari rasio efektivitasnya
sudah baik tetapi bila ternyata biaya untuk mencapai target tersebut sangat besar, maka
berarti pemungutan PAD tersebut tidak efisien. Oleh karena itu perlu pula dihitung rasio
efisiensi PAD. Rasio ini dihitung dengan cara membandingkan biaya yang dikeluarkan
pemerintah daerah untuk memperoleh PAD dengan realisasi penerimaan PAD. Untuk dapat
menghitung realisasi PAD ini diperlukan data tambahan yang tidak tersedia di Laporan
Realisasi Anggaran, yaitu data tentang biaya pemungutan PAD”.
Rasio efisiensi dapat dihitung dengan formula berikut ini:

Rasio Efisiensi PAD = Biaya Pemerolehan PAD / Realisasi Penerimaan PAD X


100%

Lebih lanjut Mahmudi (2010: 143) mengatakan:


“Semakin kecil rasio ini maka semakin efisien kinerja pemerintah daerah dalam melakukan
pemungutan PAD”.

Adapun kriteria untuk menetapkan efisiensi pengelolaan keuangan daerah, diukur


dengan kriteria penilaian kinerja keuangan seperti dalam tebel 2.5 berikut ini:
TABEL. 5
KRITERIA PENILAIAN EFISIENSI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Prosentase Kinerja Kriteria
Keuangan
< 10 % Sangat Efisien
10% - 20% Efisien
21% - 30% Cukup Efisien
31% - 40% Kurang Efisien
> 40 % Tidak Efisien

SOAL 5 (10 point)


Sesuai UU No. 15 tahun 2004, tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, BPK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Jelaskan yang
dimaksud dengan SPKN, tujuan serta sistematikanya dan Jelaskan jenis pemeriksaan yang
dilakukan oleh BPK.
Jawab :
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) adalah : Standar Profesional yang
diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia yang digunakan oleh Akuntan
dalam melakukan pemeriksaan atas Entitas Pemerintah yang mengelola keuangan negara,
Standar ini merupakan standar profesional yang digunakan untuk memperoleh mutu tertinggi
dalam pemeriksaan sesuai standar profesional yang telah ditetapkan.

SISTEMATIKA
Standar Pemeriksaan ini disusun menurut sistematika sebagai berikut:
PENDAHULUAN STANDAR PEMERIKSAAN
PSP 01 : STANDAR UMUM
PSP 02 : STANDAR PELAKSANAAN PEMERIKSAAN KEUANGAN
PSP 03 : STANDAR PELAPORAN PEMERIKSAAN KEUANGAN
PSP 04 : STANDAR PELAKSANAAN PEMERIKSAAN KINERJA
PSP 05 : STANDAR PELAPORAN PEMERIKSAAN KINERJA
PSP 06 : STANDAR PELAKSANAAN PEMERIKSAAN DENGAN TUJUAN TERTENTU
PSP 07 : STANDAR PELAPORAN PEMERIKSAAN DENGAN TUJUAN TERTENTU

Dalam melaksanakan tugasnya, BPK RI mempunyai kewenangan untuk melakukan 3 (tiga)


jenis pemeriksaan, yaitu :
1. Pemeriksaan Keuangan
pemeriksaaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan
keuangan ini dilakukan oleh BPK RI dalam rangka memberikan opini tentang tingkat
kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Laporan hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.
2. Pemeriksaan Kinerja
pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang
lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
mengidenrifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun
untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan
keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi
sasaran secara efektif. Laporan hasil pemeriksaan kinerja memuat temuan, simpulan dan
rekomendasi.
3. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
Pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, diluar pemeriksaan keuangan dan
pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini adalah
pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.
Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan (MM)

SOAL 6 (15 point)


Jelaskan yang dimaksud dengan pendapatan desa beserta sumber-sumber pendapatannya, dan
berikan contoh yang termasuk dalam kriteria aset desa.
Jawab : Pendapatan desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang
merupakan hak desa dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh
desa.
Sumber-sumber pendapatannya :
 Pendapatan Asli Desa
 Alokasi APBN melalui APBD
 Bagian dari hasil Pajak Daerah dan Retribusi daerah Kabupaten/Kota
 Alokasi Dana Desa (bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota)
Dana Perimbangan - DAK
 Bantuan keuangan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi & anggaran
pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota
 Hibah & Sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga
 Lain-lain pendapatan desa yang sah

Contoh yang terasuk dalam kriteria asset desa:


• Tanah kas desa
• Pasar desa
• Pasar hewan
• Tambatan perahu
• Bangunan desa
• Pelelangan ikan
• Pelelangan hasil pertanian
• Hutan milik desa
• Mata air milik desa
• Pemandian umum
• Dan aset lain milik desa

Anda mungkin juga menyukai