Anda di halaman 1dari 6

BAB I

LATAR BELAKANG

Pulau Timor adalah salah satu pulau di Nusantara yang berada di gugusan Nusa Tenggara atau
Sunda Kecil. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar Republik kita, karena langsung
berbatasan dengan laut maupun daratan yang merupakan wilayah negara lain, yaitu Australia
dan Timor Leste. Pulau Timor membujur dari timur laut ke arah barat daya. Secara koordinat,
Pulau Timor terletak pada 123°BT -127°BT dan 8°LU - 10°LU. Disebelah timur, Pulau Timor
berbatasan dengan Kepulauan Selatan Daya ( Maluku), Samudera Indonesia dan wilayah Timor
Leste, sebelah barat dengan Laut Sabu, Pulau Semau dan Pulau Rote, sebelah Selatan dengan
Samudera Indonesia dan sebelah Utara dengan Laut Sawu serta Pulau Alor, Pulau Atauro
(RDTL) dan pulau Wetar (Maluku).

Di Pulau Timor secara keseluruhan terbagi menjadi 2 wilayah besar, yaitu Timor bagian Barat
yang merupakan bagian dari Propinsi NTT - yang mencakup Kabupaten Kupang, Kabupaten
Timor tengah Selatan (TTS), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Belu -, dan
Timor bagian Timur yakni sebuah negara merdeka yang terlepas dari Wilayah NKRI pada tahun
1999 dengan nama República Democràtiça de Timor-Leste (RDTL).

Terdapat tiga suku di Pulau Timor, yaitu Suku Tetun di Wilayah Timor Leste serta Belu, Suku
Dawan di Kupang, TTS dan TTU, dan Suku Helong di bagian barat wilayah Kabupaten Kupang.
Suku Helong merupakan suku yang budayanya banyak meresap dari masyarakan Pulau Semau
yang telah lama datang dan menetap di wilayah Kupang Barat. Sedangkan Suku Tetun lebih
kental dengan budaya Poertugis, karena sejak ratusan tahun yang lalu, wilayah tetun merupakan
jajahan Portugal hingga tahun 1975, sebelum bergabung dengan RI dan akhirnya merdeka
menjadi RDTL Suku dawan merupakan satu-satunya suku yang mencerminkan budaya Timor
yang sesungguhnya, oleh karena itu, sebutan “Orang Timor” atau “masyarakat Timor” dan lebih
cenderung berkiblat pada Suku Dawan yang merupakan Suku terbesar di Pulau Timor. Jadi, bisa
disimpulkan bahwa Budaya Timor adalah budaya Suku Dawan. Dalam Budaya Timor, bahasa
yang di gunakan adala bahasa Dawan atau bahasa Atoni Uab Meto. Adapun budaya dawan ini
terbentuk dari beberapa sub-suku antara lain; sub-suku Amanuban, Amanatun dan Mollo di TTS,
sub-suku Miomafo, Biboki dan Insana di TTU) ,sub-suku Kopas, Timaus, Amfoang, Fatuleu,
Sonba'i dan Nairasi di Kabupaten Kupang. Sejak jaman dulu, sudah ada kerajaan-kerajaan di
wilayah dawan, seperti Amarasi, Amfoang, Fatuleu, Sonbai, Amanatun, Amanuban, Mollo,
Insana dan Biboki. Sebagian besar kerajaan di atas masih ada di dalam pemerintahan adat hingga
kini.
BAB II

ADAT ISTIADAT DAN KEPERCAYAAN

SIFON (SUNAT LALU KAWINI PEREMPUAN)

Sifon adalah sebuah tradisi lelaki di daerah Timor Barat terutama Timor Tengah Selatan, Timor
Tengah Utara, dan Belu merupakan suatu tradisi atau mitos agar lelaki menjadi perkasa dengan
meninggalkan luka bagi perempuan termasuk penyakit menular seksual. Di sungai sebuah ritual
Sifon dimulai, di Nusa Tenggara Timur. Sifon adalah hubungan badan pasca sunat pada laki-laki.

Sunatnya, tak banyak berbeda dengan sunat di daerah lain, hanya saja biasanya dilakukan secara
tradisional di kampung-kampung. Tujuannya juga baik untuk kebersihan dan kesehatan kaum
laki-laki namun sesudah sunat tidak diberikan semacam betadin dan obat anti infeksi bila sifon
tak dilakukan dipercaya akan mendatangkan bala atau hal-hal yang buruk. Sial yang ada dalam
dirinya, kalau itu belum dibuang, istrinya sendiri yang kena.

Sifon masih banyak dijumpai, terutama pada suku Atoni Meto, Amarasi dan Malaka Pulau
Timor. Bila sang pemuda tidak melakukan hubungan seks paska sunat atau sifon, mereka takut
akan menjadi impoten.

Tradisi itu dimulai dengan pendinginan dan pengakuan dosa atau naketi di sungai yang mengalir.
Pasien berendam dalam air di pagi hari. Pelaku sifon harus menyiapkan ayam dan pernak-pernik
untuk prosesi sunat yang akan dipimpin dukun sunat atau ahelet.

Sunat kemudian dilakukan dengan menggunakan bilah bambu, pisau atau diikat dengan tali-tali
tertentu. Jika sudah selesai, pasien kembali dibawa ke sungai untuk proses penyembuhan.
Diperlukan waktu sekitar 1 minggu sampai 10 hari untuk mengeringkan luka sehabis disunat,
ketika masih terluka itulah, ritual sifon dilakukan.

Selanjutnya si pasien tidak boleh lagi berhubungan seks dengan perempuan yang dijadikan
obyeks sifon seumur hidupnya. Berdasarkan kepercayaan Atoni Meto, perempuan itu sudah
menerima panas dari si pasien yang berarti penyakit kelamin. Jika si pria nekad dan berhubungan
seks lagi dengan perempuan yang sama, maka penyakitnya akan kembali padanya. Perempuan
yang kena sifon juga diyakini kulitnya bersisik dan berbau. Itulah sebabnya mengapa sifon tidak
boleh dilakukan dengan istri sendiri. Juga, tidak akan ada lelaki yang mau memperistri
perempuan yang menjadi obyek sifon. Sifon juga dipercaya membuat laki-laki awet muda.
Hubungan seks pakca sunat ada yang berhenti pada taraf sifon, tapi ada pula melanjutkannya
hingga tiga tahap.Hubungan yang kedua bisa disebut waekane atau haukena yaitu menaikan
badan untuk memulihkan kebugaran tubuh, hubungan yang ketiga disebut tak nino artinya
membuat mengkilat, membuat mulus kembali.
Setelah tahap ini, akan dilakukan pendinginan, baru kemudian boleh berhubungan lagi dengan
istrinya. Tak jarang sang istri tahu bahkan memberi izin bagi suaminya melakukan ritual itu.
Menurut para istri, jika ritual itu tidak dilakukan, istri akan mendapat bala. Jika seorang pemuda
atoni meto tidak melakukan ritual itu maka akan dikucilkan, disindir-sindir dalam upacara adat.
Sifon sering dilakukan pada masa panen.

UPACARA FUA PAH

Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan roh yang dilaksanakan di tempat-tempat
tertentu seperti di kebun-kebun, gunung-gunung dan bukit-bukit. Uis Pah atau Pah Tuaf adalah
makhluk halus yang dianggap merugikan manusia, sehingga sebagian masyarakat Dawan
menyebutnya sebagai setan. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal di pohon-pohon, batu-batu
besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk
mengambil hati dan menghindari kemarahan Pah Tuaf, masyarakat Dawan seringkali
memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah. Upacara
Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah
dan makhluk di atas alam raya yang dianggap menyimpan kekuatan jahat atau kekuatan setan)
dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban. Tradisi pemujaan Fua Pah sampai
sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Dawan.

Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi yang khas dalam alam kebudayaan pertanian
tradisional. Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Pah atau Pah Tuaf itu
senantiasa dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru
sampai dengan tahap menuai, memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur kepada Uis Neno
atas panen melimpah. Keenam tahap itu adalah:

1. tahap menebas hutan (lef nono//tafek hau ana)


2. tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo)
3. tahap menanam (lef boen no’o),
4. tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e),
5. tahap panenan perdana (tasana mate),
6. tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf).

Penyair lisan (lasi tonis) dalam masyarakat Dawan diyakini merupakan orang yang diberkati dan
memiliki kekuatan magis religius. Dia dipercaya memegang peranan utama dalam segala
pelaksanaan upacara adat maupun upacara-upacara formal seremonial lainnya. Di desa-desa
hampir di seluruh NTT, sastra (lisan) bukanlah hal yang asing. Mereka yang menguasai,
mendengar, memahami, dan menghayati sastra dianggap tinggi kedudukannya. Para lasi tonis
sering dilukiskan sebagai orang yang ‘berilmu tinggi’ dan memiliki kedudukan tinggi dalam
masyarakat karena menguasai ‘cipta sastra’. Tuturan-tuturannya dianggap lebih berharga
daripada mutiara. Kata-katanya dianggap menyampaikan dan menunjukkan kebenaran. Sastra
lisan telah menjadi perbendaharaan kehidupan rohani masyarakat, khususnya masyarakat yang
hidup di pedesaan.

Setiap kali dilakukan upacara ritual persembahan hewan korban kepada Pah Tuaf, masyarakat
Dawan sudah memiliki semacam formula mantra yang disiapkan oleh konvensi untuk
dipergunakan oleh para lasi tonis-nya.

KEPERCAYAAN ORANG TIMOR TENTANG BUAYA

Buaya adalah salah satu Reptil yang telah dikenal luas di Indonesia. Mungkin masyarakat
Indonesia pada umumnya lebih cenderung menempatkan buaya dalam arti negatif. Buaya sering
menjadi representasi dari hal yang buruk, seperti rakus, angkuh, picik, dan sebagainya. Ini dapat
kita lihat dalam istilah bahasa indonesia yaitu “buaya darat”, “buaya lapar”, dan lain sebainya.

Namun, bagi orang Timor, penilaian akan hal ini sangatlah bertolak belakang dengan sistem
kepercayaan orang timor. Orang timor menempatkan buaya sebagai simbol yang sangat
istimewa, suatu lambang yang sangat dikeramatkan dan disembah.

Sebagai bentuk penghormatan terhadap buaya, orang timor menaruh simbol dari figur buaya ini
ke dalam ornamen dan perangkat budaya orang timor. Simbol buaya terdapat pada anyaman
daun lontar pada hiasan di dinding atau gerbang, tempat sirih-pinang (oko mama), tempat
tembakau dan kapur (tiba’), pada motif tenunan, pada motif ukiran di kayu atau pahatan di batu,
bahkan pada gambar tubuh atau tato.

Buaya sangatlah istimewa bagi orang timor, karena menurut mereka, buaya adalah representasi
dari sosok yang menjadi penyelamat, pemberi dan penopang kehidupan, bagi orang timor.
Buaya dianggap sebagai pengasa lautan, sungai, penyedia kesejukan, pemberi hujan untuk
kesuburan dan kesejahteraan, singkatnya Buaya adlah penguasa air.

Karena topografi ulau timor yang kering dan gersang ( pah meto), air menjadi kebutuhan hayati
yang sangat hakiki dan sangat diperlukan dan dihapakan. Air menentukan hidup atau mati,
kemakmuran atau kemelaratan. Oleh sebab itu, penyembahan terhadap buaya adalah sebuah
keharusan apabila orang timor menginginkan kemakmuran, kesejahteraan dan kekayaan.

Buaya dianggap sebagai pemberi kerbau, sapi, kambing, ayam dan tenak laiinya bagi orang
timor, jadi dalam ritus agama suku dawan, buaya sering diberikan persembahan berupa kerbau,
sapi, kambing, ayam dan binatang peliharaan lainnya sebagai bentuk ucapan syukur dan tanda
penghormatan orang timor kepada sang penopang hidup.

Buaya tidak hanya menjadi penopang bagi orang timor. Ia bahkan memberi hidupnya sendiri
untuk kelangsungan hidup orang timor. Keyakinan ini tercermin di dalam mitologi yang
tertanam pada orang timor. Ada mitos orang timor yang menceritakan tentang asal-muasal
terbentuknya pulau timor. Pulau timor dipercaya sebagai jelmaan dari seekor buaya. Diceritakan,
ada seekor anak buaya sedang sekarat di suatu tempat yang jauh dari laut. Kemudian datanglah
seorang anak manusia menghampiri anak buaya itu, anak kecil itu merasa kasihan kepada anak
buaya itu, lalu dibawanya anak buaya itu ke pantai. Ketika anak buaya itu masuk ke laut,
sekonyong-konyong naiklah air hingga menutupi daratan. Melihat hidup anak itu terancam, sang
buaya kemudian menaikan anak itu ke punggungnya dan berjanji akan melindungi anak itu dari
segala ancaman. Waktu berlalu, sang buaya menjadi semakin tua dan lelah karena terlalu banyak
beban di pundaknya oleh anak manusia tang telah berkebang biak. Hingga saat hampir tiba
ajalnya, sang buaya membiarkan anak itu dan keturunannya tetap hidup di atas punggungnya,
karena tidak ada daratan bagi mereka. Pesan dari sang buaya, anak manusia dan keturunannya itu
boleh menikmati segala sesuatu yang ada di atas punggungnya dan segala sesuatu yang keluar
dari tubuhnya. Buaya itu pun mati dan berubah menjadi daratan yang kemudian dinamakan
Timor.

Karena mitos asal mula pulau timor dan praktek penyembahan orang timor terhadap sosok buaya
ini, figur buaya muncul dengan sangat menonjol di kalangan orang timor dalam karya budaya
orang timor sebagai bentuk ungkapan syukur orang timor.

Di dalam benak budayanya, orang timor memiliki cerita yang tersimpan indah tentang Sang
Buaya. Mereka mengenal Sang Buaya lewat mitologi dan kepercayaan agama suku mereka
sebagai penopang kehidupan, air hidup yang membawa kesejukkan, dan sosok yang merelakan
hidupnya demi kelangsungan hidup orang timor. Sang buaya yang mau mati supaya orang timor
yang seharusnya mati tetap hidup.

UPACARA NONO

Adat Istiadat / Nono Secara etimologis Nono berarti tali hutan. Secara realis Nono
direpresentasikan dengan sebuah batu ceper dililit dengan sebuah tali hutan yang diletakan di
kaki tiang agung rumah adat atau lumbung suku atau marga (kanaf) ninu dan juga barang-barang
lain yang disimpan bersama dengan dengan batu itu yang dianggap keramat/ memiliki kekuatan
tertentu. Tanda ini merupakan simbol kesatua seluruh anggota suku marga (Kanaf) yang
mengatur tentang pola dalam perilaku terutama tentang fase kelahiran, perkawinan, kematian.
Hal inilah yang disebut dengan nono/norma, dan bila ada pelanggaran terhadapnya maka ada
sanksi yang tergolong berat (opte ma’fena)
BAB III

KESIMPULAN

Dari apa yang telah penulis uraikan di atas, maka jelas bahwa penulis tidak sedang apatis
terhadap adat istiadat khususnya adat istiadat Timor akan tetapi, penulis mau menunjukkan
bahwa, sebagai orang Kristen yang telah menjadi percaya kepada Tuhan Yesus maka
identitasnya adalah sebagai anak Tuhan yang hidup seturut dengan kehendak Tuhan dan
memandang segala sesuatunya dari perspektif Tuhan.
Beberapa point penulis sampaikan sebagai kesimpulan akhir:

1. Setiap orang masyarakat Timor harus menghargai adat istiadat yang telah ada
2. Masyarakat Timor yang telah menjadi Kristen, seyogyanya menilai dan mempraktikan
adat istiadat dengan takut akan Tuhan dan memuliakan Tuhan di dalamnya
3. Sebagai orang Kristen, maka kebenaran firman Tuhan harus di atas segalanya, termasuk
adat istiadat
4. Adat istiadatlah yang seharusnya disesuaikan dengan standart Alkitab, bukan Alkitab
yang disesuaikan dengan standart adat istiadat. Artinya:
a. Alkitab dipandang dan diposisiskan lebih tinggi dari adat istiadat
b. Kebenaran adat disaring dengan kebenaran Alkitab; jika adat itu tidak bertentangan
dengan kebenaran firman Tuhan, silakan dikembangkan, dilestarikan dan dipraktikan,
akan tetapi jika adat itu bertetangan dengan kebenaran firman Tuhan, maka sebagai
orang Kristen seyogyanya menjauhkan adat itu.
c. Adat dipandang lebih rendah dari kebenaan firman Tuhan
Kiranya dalam hidup masyarakat Timor khususnya dan masyrakat pada umumnya yang telah
menjadi percaya kepada Tuhan Yesus, hendaklah memiliki identitas diri di dalam Yesus Kristus,
dan hendaklah menempatkan Kristus dan firman-Nya di atas segalanya, dan hendaklah
memandang, mempraktikan, melestarikan, mengembangkan dan menghargai segala sesuatunya,
termasuk adat istiadat dari perspektif Kristus.

Anda mungkin juga menyukai