Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nindya Erni Safitri

NIM : 11915037

Infection diseases

Penicillium sp. pada Jagung

Patogen Penicillium spp. pada biji jagung ditemukan berupa gumpalan miselia
berwarna putih menyelimuti biji, diselingi warna kebiru-biruan.

Gambar 1. Serangan Penicillium sp. pada jagung

Patogen ini adalah patogen tular benih yang mempunyai inang utama jagung.
Tanaman lain belum dapat menjadi inangnya, namun dapat menginfeksi tanaman
jagung pada fase prapanen dan pascapanen. Bagian tanaman yang dapat terinfeksi
adalah batang, daun, biji dan telah teridentifikasi 18 spesies. Intensitas penularan
pada biji jagung dapat mencapai lebih dari 50%. Gejalanya ditandai oleh bercak pada
kulit ari biji, bila menginfeksi tongkol secara optimal menyebabkan pembusukan.
Pengaruh terhadap kualitas benih adalah penurunan daya tumbuh. Spesies P.
oxalicum memproduksi oxalid acid dan bersifat toksik terhadap biji. Penicillium spp.
dapat ditularkan melalui biji. Apabila ditanam, biji-biji yang terinfeksi Penicillium
spp. dari lokasi pertanaman dapat menularkan pada tanaman selanjutnya. Patogen
akan berkembang baik pada suhu <15oC dan akan tertekan perkembangannya pada
suhu >25oC. Penyebaran dalam suatu populasi tanaman di lapang selalu berassosiasi
positif dengan populasi serangga. Semakin tinggi populasi serangga, semakin besar
intensitas biji terinfeksi Penicillium spp. karena serangga dapat menjadi vektor
penyebar perkembangan patogen ini di pertanaman dan tempat penyimpanan. Toksin
hasil metabolisme sekunder dari patogen Penicillium spp. adalah ochratoxin dan
citreoviridin, yang dapat meracuni ternak. Di Indonesia, toksin ini belum banyak
mendapat perhatian peneliti, sehingga belum ada laporan tentang pengaruh terhadap
kesehatan ternak.
Pencegahan infeksi dini Penicillium spp. dapat dilakukan dengan rotasi
pertanaman bukan inang, yang akan memutus siklus perkembangannya. Pencegahan
penularan oleh serangga dengan penyemprotan insektisida dapat berefek ganda, yaitu
meminimalisasi penyebaran patogen dalam suatu populasi tanaman jagung karena
tertekannya populasi serangga yang menjadi vektor penyebarannya di pertanaman.
Cemaran Penicillium spp. pada bahan pakan dapat dikurangi dengan melakukan
penyortiran antara biji jagung yang terkontaminasi dengan biji yang sehat.
Melaporkan bahwa jagung yang ditumbuhi jamur berwarna hijau kekuningan
mempunyai kadar aflatoksin yang tinggi dibanding biji yang tidak terkontaminasi A.
flavus. Penjemuran biji jagung pada kadar air 13% dan penyimpanan pada suhu 15oC
dan kelembaban 61,5% merupakan kondisi ideal untuk menekan cemaran
mikotoksin. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi kerusakan secara fisik
pada saat prosesing dan menekan infestasi serangga, terutama dalam penyimpanan,
karena serangga berperanan penting dalam penyebaran mikotoksin. Sanitasi dengan
asam propianik secara reguler pada fasilitas tempat penyimpanan dengan tujuan
membersihkan sisa-sisa cendawan sebagai sumber infeksi awal dapat menghindari
terinfeksinya biji sehat.

Non-infection Diseases

Non-infection diseases merupakan kerusakan yang terjadi pada tanaman yang


disebabkan oleh selain makhluk hidup atau jasad renik. Faktor penyebab kerusakan
tersebut pada umumnya adalah suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, winter
injury, dan chemical substances. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan produk
tersebut kehilangan air dan akhirnya menjadi kering. Kerusakan akibat suhu tinggi
lebih terlihat pada produk yang berupa daun. Daun yang terkena suhu tinggi akan
mengering dan warnanya berubah menjadi kecoklatan.

Gambar 2. Daun yang mengalami kerusakan akibat suhu tinggi


Kerusakan produk akibat suhu rendah terdiri dari chilling injury dan freezing
injury. Chilling injury terjadi pada produk yang disimpan pada suhu dingin yaitu
diatas suhu beku air. Kerusakan yang terjadi berupa adanya legokan pada permukaan
produk, berwarna coklat kehitaman, dan teksturnya menjadi lebih lembek. Sedangkan
freezing injury terjadi pada produk yang disimpan pada suhu beku yaitu dibawah 00C.
Gejala kerusakannya yaitu produk menjadi lebih lunak setelah di thawing akibat
adanya kerusakan dinding sel saat produk dibekukan.

Gambar 3. Buah pisang yang mengalami chilling injury

Gambar 4. Buah tomat yang mengalami freezing injury

Cara penanganan produk dari kerusakan pascapanen akibat non-infectioan


diseases adalah dengan cara menyimpan produk pada kondisi yang sesuai dengan
sifat fisiologisnya. Rekayasa lingkungan diperlukan untuk menghindarkan produk
dari kerusakan dan tetap mempertahankan kualitas dan kesegarannya
Daftar Pustaka

Camiletti, B. X., Asensio, C. M., Pecci, M. D. L. P. G., & Lucini, E. I. (2014).


Natural control of corn postharvest fungi Aspergillus flavus and Penicillium
sp. using essential oils from plants grown in Argentina. Journal of food
science, 79(12).

Goyal, R. K., Fatima, T., Topuz, M., Bernadec, A., Sicher, R., Handa, A. K., &
Mattoo, A. K. (2016). Pathogenesis-related protein 1b1 (PR1b1) is a major
tomato fruit protein responsive to chilling temperature and upregulated in high
polyamine transgenic genotypes. Frontiers in plant science, 7.

Wang, Y., Luo, Z., Huang, X., Yang, K., Gao, S., & Du, R. (2014). Effect of
exogenous γ-aminobutyric acid (GABA) treatment on chilling injury and
antioxidant capacity in banana peel. Scientia Horticulturae, 168, 132-137.

Anda mungkin juga menyukai