Anda di halaman 1dari 10

1) Penghapusan Seragam dalam dunia pendidikan

Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada 10


Desember 1948

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dan
berekspresi; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan
dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).

Tepatkah kebijaksanaan menghapus seragam sekolah? Kebijakan seragam sekolah


bukanlah kebijakan mendasar karena itu hanyalah atribut, asesoris. Seragam
sekolah tidak memiliki korelasi dengan prestasi siswa dan kualitas pendidikan
nasional.

Tanpa adanya ketentuan dan keharusan memakai seragam pun pendidikan nasional
harus jalan. Generasi muda sebagai penerus bangsa harus tetap mendapatkan
pendidikan agar memiliki kapabilitas dan kemampuan meneruskan mengelola
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bukan Pendidikan Militer

Kebijakan Mendiknas menghapus seragam sekolah patut dipertimbangkan. Kita tidak


perlu khawatir penghapusan seragam sekolah akan menimbulkan efek negatif
terhadap siswa misalnya akan terjadi perang pamer kekayaan. Siswa keluarga kaya
akan memamerkan pakaian mewahnya, sehingga menimbulkan kecemburuan siswa lain.
Pada sisi lain, pada saat ini amat sulit menghentikan menonjolnya strata
ekonomi tertentu untuk seorang siswa. Sekolah tidak pernah melarang siswa ke
sekolah dengan kendaraan pribadi atau antarjemput dengan sopir pribadi. Tidak
ada larangan pula seorang siswa membawa telepon selular ke sekolah.

Tidak cuma itu, siswa dari golongan mampu pun memilih menggunakan sepatu dari
merek ternama, karena memakai sepatu mahal tidak melanggar aturan yang
diterapkan sekolahnya. Jadi pamer kekayaan dan kecemburuan pun tetap terjadi
walaupun seragam sekolah diberlakukan.

Pendidikan sekolah dari SD hingga SMA bukanlah pendidikan militer. Bagi sebuah
angkatan perang, identitas memang amat dibutuhkan. Filosofinya untuk membedakan
tentara dengan masyarakat sipil dan membedakan satu kesatuan dengan kesatuan
lainnya. Di medan perang akan membedakan musuh dengan kawan.
Para saat ini, kebijakan tanpa seragam sekolah bila dikaitkan dengan upaya
perbaikan sistem pendidikan dan berujung pada upaya pemerintah untuk mengubah
pola berpikir dalam pendidikan, merupakan terobosan yang harus
diimplementasikan di sekolah-sekolah. Saya tidak berharap, kebijakan tanpa
seragam itu sebagai bagian inkonsistensi sistem pendidikan nasional, melainkan
berangkat dari pemikiran yang amat mendasar-yakni upaya meningkatkan kualitas
pendidikan secara sistematis.

Pola Berpikir Formal

Selain itu, sudah saatnya kita menyadari sepenuhnya, indoktrinasi generasi


melalui sistem pendidikan harus diubah dengan pola pendidikan yang lebih
interaktif dua arah. Siswa bukanlah objek tetapi adalah subjek pendidikan.

Hubungan siswa dengan sekolah, siswa dengan guru, harus didorong pada hubungan
kesetaraan pada pola berpikir, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
sekarang digunakan di tingkat SD hingga SMA menempatkan guru sebagai salah satu
sumber kebenaran informasi, bukan pemilik tunggal kebenaran informasi itu
sendiri. Dengan demikian terjadi pula demokratisasi di dalam dunia pendidikan.

Dengan menghapus seragam diharapkan siswa, orang tua siswa, guru dan pengelola
sekolah membuka wawasan berpikir seluas-luasnya, tentang pentingnya
mengeliminasi pola berpikir formal yang selama ini telah menghambat kreativitas
baik siswa maupun guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir dan bakat-bakat
alamiahnya menjadi lebih berpikir substantif (pendekatan isi).

Saya meyakini, kebebasan berpikir dan tidak terbelenggu pada pola berpikir
formal, secara jangka panjang berdampak positif kepada perkembangan generasi
muda bangsa. Kita pun tidak perlu berburuk sangka, bahwa penghapusan seragam
akan berdampak pada tingkat kedisiplinan siswa dan menumbuhkan kecemburuan
sosial antara siswa yang mampu dan tidak mampu.
Pengalaman ketika duduk di SMP dan SMA yang tidak berseragam sekolah,
menunjukan kecerdasan intelektual, disiplin dan rasa kesetiakawanan yang tinggi
bisa terwujud.

Adalah lebih tepat apabila disiplin diajarkan tidak secara formal seperti di
dalam pendidikan militer, tetapi ditempatkan pada kerangka pola dan perilaku
masyarakat secara lebih luas. Disiplin haruslah dimulai dari tingkat paling
dasar, yakni rumah tangga.

Artinya, orang tua dan anggota keluarga harus menjadi garda terdepan
keteladanan bagi siswa untuk bersikap disiplin bagi diri sendiri dan orang
lain. Disiplin harus dilakukan sebagai tanggung jawab bukan sebagai
indoktrinasi. Disiplin bukanlah sekadar formalitas melalui seragam sekolah,
karena seragam sekolah bukanlah unsur elementer dalam sistem pendidikan
nasional.
2) Penggunaan Bahasa Asing dalam komunikasi sehari hari menunjukan
kurangnya rasa nasionalisme

"Masa bahasa Inggris gak boleh, kok itu dilarang. Apa karena mengurangi rasa nasionalisme?
Jadi bahasa Inggris itu untuk menghadapi dunia," kata Nuh saat berpidato di hadapan Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam acara Seminar IKA UII di Hotel Bidakara, Jakarta
Selatan, Minggu (13/1/2013)

-PRO

Pengaruh bahasa asing sangat berdampak dalam perkembangan bahasa Indonesia.


Berikut beberapa contoh negatif adanya bahasa asing dalam perkembangan bahasa Indonesia:
anak-anak mulai mengentengkan/menggampangkan untuk belajar bahasa Indonesia, rakyat
Indonesia semakin lama kelamaan akan lupa kalau bahasa Indonesia merupakan bahasa
persatuan, anak-anak mulai menganggap rendah bacaan Indonesia, lama-kelamaan rakyat
Indonesia akan sulit mengutarakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan mampu
melunturkan semangat nasionalisme dan sikap bangga pada bahasa dan budaya sendiri (Danie,
2013).

Dalam Sumpah Pemuda ada satu bagian yang menyatakan bahwa kita semua sebagai bangsa
Indonesia, telah mengakui berbahasa satu, bahasa Indonesia. Namun kini tampaknya amanat itu
tidak terlalu dihormati seperti pada masanya. Kini banyak anak muda yang berkomunikasi
dengan bahasa yang dicampur-campur, entah itu dicampur bahasa Jepang, Cina, Inggris, dan
macam-macam lagi. Apalagi dengan banyaknya artis dari luar negri yang mengambil
peruntungan di negara kita, hal ini justru membuat bahasa Indonesia tidak terlihat menantang
lagi untuk dimanfaatkan. Contohnya trend Cinta-Laura yang sempat heboh, banyak warga
Indonesia yang bercakap-cakap dengan selipan canda ala Inggris seperti yang biasa dipakai artis
tersebut. Kini arti kalimat “berbahasa satu, bahasa Indonesia” tampaknya tidak begitu penting
lagi, masyarakat terlihat tidak menghargai bahasanya sendiri, ini merupakan tanda dari
menurunnya sikap nasionalisme bangsa kita.
KONTRA: Sangat tidak bisa diterima apabila penggunaan bahasa asing dalam kehidupan
sehari-hari di Indonesia di-cap sebagai tanda menurunnya nasionalisme bangsa. Karena justru
dengan mencoba berbahasa lain, banyak warga kita yang ditambah pengetahuannya, bertambah
kosa katanya, dan itu jelas tidak akan menghilangkan rasa cinta orang tersebut terhadap
negaranya yang asli. Sekarang coba dibayangkan apabila tidak ada rakyat Indonesia yang
menggunakan bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari demi membuktikan kalau mereka
sangat cinta tanah air, maka rakyat kita akan dipandang bodoh oleh dunia, karena tidak ada
satupun rakyatnya yang menguasai bahasa dari negara lain.

Sedangkan dampak positif bahasa asing bagi perkembangan anak antara lain : mampu
meningkatkan pemerolehan bahasa anak, semakin banyak orang yang mampu berkomunikasi
dalam bahasa Inggris maka akan semakin cepat pula proses transfer ilmu pengetahuan,
menguntungkan dalam berbagai kegiatan (pergaulan internasional, bisnis, sekolah), dan anak
dapat memperoleh dua atau lebih bahasa dengan baik apabila terdapat pola sosial yang konsisten
dalam komunikasi, seperti dengan siapa berbahasa apa, di mana berbahasa apa, atau kapan
berbahasa apa (Danie, 2013).

Sehubungan dengan fakta sosiolinguistik tersebut, apakah nasionalisme orang Amerika


Serikat, Kanada, Belgia, atau Swiss patut dipertanyakan karena menggunakan bahasa yang
“bukan asli” miliknya? Dalam masalah itu, jika nasionalisme dalam arti sempit dimaknai sebagai
kebanggaan terhadap negara, kita tidak berhak menilai siapa pun atas hal itu. Dalam penggunaan
ragam lisan dalam bahasa Indonesia, apakah karena seorang warga negara Indonesia berbahasa
Indonesia, tetapi berlogat Amerika dan kebetulan “bule” karena berayah orang Amerika, berarti
dia tidak cinta Indonesia? Rasa bangga dan cinta ada di dalam hati. Bahasa atau logat seseorang
dalam berbicara tidak menunjukkan kadar nasionalisme. Demikian juga bukan suatu jaminan
pasti jika ada orang yang tinggal di wilayah negara Indonesia, berdarah asli Indonesia, dan
menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Indonesia asli seratus persen merasa bangga
terhadap Indonesia. Dari aspek bahasa sebagai identitas suatu bangsa, bangsa Indonesia mungkin
lebih mujur daripada Kanada, Belgia, atau India (Harimasyah, 2012).
3) Kebudayaan Indonesia merupakan aset utama negara Indonesia dalam
menghadapi era globalisasi.

PRO: Harus diakui, kebudayaan Indonesia merupakan satu-satunya milik negara kita yang
tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Jadi tujuan para wisatawan asing datang ke Indonesia itu
adalah untuk menikmati kebudayaan kita yang unik, yang tidak mereka miliki di negara mereka.
Tanpa kebudayaan kita, sudah pasti kita tidak akan bertahan dalam menghadapi era globalisasi.

Kebudayaan Indonesia adalah hasil karya rakyat indonesia yang berasal dari adat-istiadat
serta kepribadian bangsa indonesia yang menunjukkan ciri khas bangsa indonesia dengan bangsa
lain, sehingga kebudayaan itu harus dijaga, karena itu dapat menjadi filter bagi bangsa Indonesia
untuk menghadapi era globalisasi.

KONTRA: Belum tentu kita gagal total dalam menghadapi era globalisasi jika kita tidak
mengandalkan budaya kita. Harus diakui budaya Indonesia memang sangat unik dan variatif.
Namun itu juga tidak selalu tujuan utama para wisatawan datang ke Indonesia. Mayoritas turis
yang datang ke Indonesia karena mereka ingin menikmati keindahan pantai Indonesia, atau
menikmati pengalaman memandang matahari terbit di puncak gunung. Itu bukan merupakan
kebudayaan kita, namun itu adalah anugerah alam yang diberikan Tuhan. Lagipula, tanpa
berpegang pada kebudayaan, kita masih memiliki aset-aset lain yang juga dapat memperkuat
negara kita dalam menghadapi era globalisasi, contohnya di bidang politik, bisnis, olahraga,
kuliner, dan lain sebagainya.

4)Indonesia harus setuju untuk mengesahkan pernikahan antar sesama jenis


(LGBT)

PRO: Jika seluruh warga Indonesia begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka
kenyataan bahwa seseorang dapat mencintai sesama jenis mereka merupakan suatu hak yang
harus dipenuhi pula. Apabila seorang kaum homosexual mencintai homosexual lainnya, dan
ingin mengesahkan hubungan percintaan itu dalam mahligai rumah tangga, maka pemerintahan
Indonesia harus meresmikan pernikahan tersebut. Karena itu merupakan bukti menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Karena jika laki-laki diijinkan menikah dengan perempuan, mengapa laki-laki
dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan dilarang menikah?? Toh kaum homo di
Indonesia sudah banyak. Jika dilarang, itu merupakan pelanggaran dari sila ke-5: Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Suatu alasan yang membuat kebanyakan orang menerima keberadaan LGBT ialah adanya nilai-
nilai demokrasi yang mengusung hak asasi manusia. Mereka menuntut haknya untuk bebas
menentukan gender atau sex orientation dan hak menunjukan identitas mereka sebagai kaum
LGBT di khalayak umum. Hak bebas menentukan gender atau sex orientation dapat berupa
keadilan untuk menikah. Menurut mereka, menolak hak seseorang untuk menikah dengan orang
yang dicintainya akan menyebabkan terjadinya diskriminasi. Jika diteruskan dalam waktu yang
lama, maka akan timbul kesenjangan sosial yang baru.

KONTRA: Indonesia merupakan negara beragama, dan dalam agama, tidak diijinkan untuk
mencintai sesama jenis, dan mencintai dalam hal ini termasuk nafsu birahi, karena itu adalah
dosa besar. Dan jika sampai hubungan antar sesama jenis itu diresmikan, maka itu adalah saat
dimana moral bangsa kita sudah sangat bobrok. Karena peresmian hal semacam ini sangat
melanggar sila pertama: KeTuhanan yang Maha Esa.

Namun, di Indonesia juga terjadi perbedaan terhadap keberadaan LGBT. Salah satu
alasannya yaitu Pancasila. Indonesia memiliki pancasila yang menjadi ideology bangsa. Sebagai
ideology bangsa, pancasila berhak untuk memberikan pandangan hidup dan batasan-batasan
kehidupan bagi seluruh bangsa Indonesia. Secara tersirat dalam sila pertama menunjukan bahwa
Indoneisa adalah Negara yang berketuhanan dan religious. Indonesia mengakui 6 agama yang
dapat dipeluk oleh setiap rakyat Indoensia. Dan nyatanya, setiap agama tersebut mengajarkan
bahwa tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu pria dan wanita yang bertujuan
untuk menghasilkan keturunan.

Data Dan Fakta Tentang LGBT :


Pasal 1 UUD NO 1 Tahun 1974 : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.”

4) Polisi Meyakini bahwa pelaku penganiayaan ulama adalah orang gila

Kronologi : Menurut keterangan Kapolda Jabar, Irjen Pol Agung Budi M saat berada di Polres
Cirebon Kota, Minggu (28/1/2018), kejadian penganiayaan itu terjadi sekira pukul 05.30 WIB.
Saat itu korban selesai salat Subuh berjamaah bersama para santri.

Selesai itu, para santri kembali mengikuti kegiatan mengaji sebagaimana yang terjadwal
di pesantren.

Kira-kira pukul 05.10 WIB, saat korban sedang wirid, pelaku menunggu korban sampai
selesai wirid.

Setelah itu korban bertanya kepada pelaku "saha anjeun? (Siapa kamu)? Pelaku
menjawab "Saya orang sini, kamu berani sama saya? (Pakai bahasa Sunda)."

Pada saat itu juga pelaku langsung menganiaya korban menggunakan kayu alas kaki buat
adzan.Korban dipukul perutnya satu kali lalu memukul kepala korban sebanyak dua kali.

Setelah menganiaya korban, pelaku langsung keluar masjid.

"Menurut keterangan, pelaku ini tidak ikut salat subuh," ujar Kapolda Jabar, Irjen Pol Agung
Budi M saat berada di Polres Cirebon Kota, Minggu (28/1/2018) sekira pukul 19.30 WIB.

PRO : Pelaku penganiayaan KH Umar Basri : Tidak Dikenal,Tidak Berusaha


Menghindar,Tidak menunjukan Gejala orang yang habis melakukan pemukulan,sehingga dapat
diduga pelaku adalah Orang Gila.

KONTRA : Ini adalah skenario,dari kasusnya,tidak mungkin orang gila ini sangat
terencana sekali.
Kasus penganiayaan pengasuh pondok pesantren Al Hidayah Cicalengka Kabupaten
Bandung, KH Umar Basri dan pembunuhan Ustaz Prawoto hanya berselang lima hari.

KH Umar Basri dianiaya di dalam masjid usai shalat Subuh pada Sabtu pagi (27/1/2018).
Sedangkan Ustaz Prawoto dianiaya dan dibunuh oleh tetangganya sendiri pada Kamis pagi
(1/2/2018).

Anehnya, penganiayaan yang dialami KH Umar Basri dan pembunuhan Ustaz Prawoto
memiliki banyak kesamaan.

Pertama, korban sama-sama dianiaya oleh pelaku bernama Asep. Kedua, pelaku sama-
sama mengalami gangguan kejiwaan. Ketiga, korban dianiaya saat Subuh. keempat, korban
sama-sama ulama asal Bandung, Jawa Barat.

Kapolrestabes Bandung Kombes Hendro Pandowo mengatakan, Prawoto dibunuh oleh


tetangganya bernama Asep Maftuh (45) di Blok Kasur RT 1/5, Kelurahan Cigondewah Kidul,
Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung.

Kejadian berawal saat pelaku Asep menggedor rumah Ustaz Prawoto menggunakan pipa besi.
Komandan Brigade Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP Persis) itu kemudian menegur pelaku.

Teguran korban membuat pelaku emosi. Pelaku mengejar korban sambil membawa potongan
pipa besi. Korban dikejar hingga 500 meter dan terjatuh di depan warung milik Eni.

Pelaku kemudian menganiaya korban di bagian kepala dan tangan hingga tak berdaya.
Akibatnya, kepala korban bocor dan mengalami patah tulang.

“Pelaku memukuli korban beberapa kali yang mengakibatkan korban mengalami luka patah
tangan kiri dan luka terbuka di kepala,” ucap Hendro di lokasi kejadian.
.

Anda mungkin juga menyukai