Anda di halaman 1dari 43

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................................. 4
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 5
1.4.2 Manfaat Institusi Pendidikan .............................................................................. 5
1.4.3 Manfaat Praktis .................................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 6
2.1 Konsep Dasar ........................................................................................................ 6
2.1.1 Kecambah Kacang Hijau .................................................................................... 6
2.1.1.1 Pengertian ........................................................................................................ 6
Tabel 2.3 Persyaratan Mutu Gizi Biskuit MP-ASI ................................................... 11
2.1.9 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................................ 26
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................ 27
3.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 27
3.2 Kerangka Operasional ....................................................................................... 28
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................... 30
3.3.1 Tempat Penelitian ..................................................................................... 30
3.3.2 Waktu Penelitian ....................................................................................... 30
3.4 Variabel Penelitian ............................................................................................ 30

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan
masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Karena persentase balita
pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang
harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita
pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam
(23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%) (UNSD, 2014).
Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam
17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu
stunting, wasting dan overweight pada balita.
Masalah stunting balita di Indonesia menurut hasil Riskesdas 2007, 2010
dan 2013 belum menunjukkan perbaikan. Prevalensi pendek secara nasional
tahun 2013 adalah 37,2 %, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun
2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2% terdiri dari
18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat
pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8% tahun 2007 dan 18,5% tahun
2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0% pada tahun 2007 menjadi
19,2% pada tahun 2013 (RISKESDAS 2013). Prevalensi balita pendek
Kabupaten Malang sebesar 21% (Widya Rachmawati, dkk, 2016).
Tahun 2015 Kementerian Kesehatan melaksanakan Pemantauan Status
Gizi (PSG) yang merupakan studi potong lintang dengan sampel dari rumah
tangga yang mempunyai balita di Indonesia. Hasil mengenai persentase balita
pendek adalah sebesar 29% balita. Indonesia termasuk kategori pendek,
dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Sulawesi Barat.
Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth
(kejar tumbuh) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan

1
meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan
baik motorik maupun mental. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Kusharisupeni menyatakan bahwa stunting dibentuk oleh growth faltering dan
catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan
untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa
kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami
stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik
(Kusharisupeni, 2011).
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan
mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami
kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik
sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya.
Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar
keterlambatan pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Begitu
pula dengan balita yang normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan
bila asupan yang diterima tidak mencukupi. Dalam penelitian yang
menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balita
berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah
tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab
terjadinya anak balita pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
Salah satunya asupan makanan yang mengandung protein dan zat gizi lain
kurang dari kebutuhan. Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di
Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat
mengakibatkan anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia
mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih
pendek dari pada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas R.I, 2011). Protein
dikenal sebagai zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan serta
pemeliharaan tubuh, pertumbuhan berarti penambahan sel/jaringan,
pemeliharaan tubuh memperbaiki jaringan yang rusak-rusak dan pembentukan
antibodi (Widodo, 2009).

2
Biskuit merupakan salah satu makanan ringan yang banyak dikonsumsi
oleh masyarakat. Produk ini merupakan produk kering yang memiliki kadar air
rendah yaitu kurang dari 5%. Produk ini dapat dikonsumsi oleh semua
kalangan usia, baik bayi hingga kalangan dewasa dengan jenis biskuit yang
berbeda-beda (Setyowati dan Nisa, 2014). Bahan baku utama dari pembuatan
biskuit adalah tepung terigu, namun seiring dengan perkembangan jaman
penggunaan tepung non terigu dalam pembautan biskuit banyak
dikembangkan, terutama untuk jenis biskuit yang bebas gluten (Sayangbati,
2013). Selain tepung terigu sebagai bahan utama dalam pembuatan biskuit,
terdapat beberapa bahan penunjang dalam pembuatan biskuit. Menurut
Wulandari (2010), bahan-bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan
biskuit antara lain margarin, susu bubuk, gula halus, kuning telur, garam, dan
baking powder.
Kecambah dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun olahan seperti
ditepungkan. Penelitian Aminah dan Nurhidajah (2010) menunjukkan bahwa
karakteristik organoleptik tepung kecambah yang dibuat langsung dari
kecambah yang langsung dikeringkan kurang dapat diterima. Perlakuan
blanching sebelum pengeringan kecambah perlu di coba untuk mendapatkan
karakteristik tepung kecambah yang lebih baik.
Kecambah dari kacang hijau dikenal dengan istilah tauge. Tauge
digunakan sebagai salah satu bahan sayuran yang memiliki nilai gizi tinggi
(Wijayanti dkk., 2013). Vitamin yang dapat ditemukan dalam tauge adalah
vitamin A, C, E, K dan B6, thiamin, riboflavin, niasin, asam pantothen, folat,
kolin dan β-karoten. Mineral yang ditemukan pada tauge adalah kalsium (Ca),
besi (Fe), magnesium (Mg), fosfor (P), potasium (K), natrium (Na), seng (Zn),
tembaga (Cu), mangan (Mn) dan selenium (Se). Asam amino esensial yang
terdapat di dalam tauge meliputi triptofan, treonin, fenilalanin, metionin, lisin,
leusin, isoleusin serta valin. Di dalam tauge terkandung beberapa antioksidan
dan zat yang berhubungan dengan antioksidan yaitu fitosterol, vitamin E (α-
tokoferol), fenol dan beberapa mineral (selenium, mangan, tembaga, seng dan
besi).

3
Proses perkecambah terjadi hidrolisis karbohidrat, protein dan lemak
menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga mudah dicerna. Selama
proses itu pula terjadi peningkatan jumlah protein dan vitamin, sedangkan
kadar lemaknya mengalami penurunan, kecambah kacang hijau kering
memiliki kadar protein tinggi yaitu 38,54 g dan rendah lemak yaitu 12,5 g
disbanding kecmabah kdelai kering yaitu 24,09 g, dan merupakan sumber
vitamin C yang cukup baik yaitu 15 g (Astawan, 2004) (Astawan, 2005;
Winarsi, 2007.
Di Indonesia Ikan Nila (Oreochromis niloticus) termasuk komoditas
unggulan dan pembudidayaannya berkembang cukup baik. Ikan nila
(Oreochromis niloticus) merupakan ikan yang banyak diminati masyarakat
sebagai sumber protein hewani kolesterol rendah dengan kandungan gizi
17,7% protein dan 1,3% lemak, bahkan tidak mengandung karbohidrat
sehingga cocok untuk diet. Ikan nila dikenal sebagai ikan abad 21 yaitu
makanan berprotein tinggi dan tidak mengandung karbohidrat (Sumiarti 2000
dalam Wijaya 2011).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh substitusi tepung komposit kecambah kacang hijau
dan ikan nila terhadap kadar protein, mutu protein dan mutu organoleptik
biscuitp MP-ASI ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh substitusi tepung komposit kecambah kacang
hijau dan ikan nila terhadap kadar protein, mutu protein dan mutu
organoleptik biscuitp MP-ASI.

4
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Menganalisis kadar protein pada biskuit MP-ASI yang disubstitusi tepung
kecambah kacang hijau dan tepung ikan nila.
1.3.2.2 Menganalisis mutu protein pada biskuit MP-ASI yang disubstitusi tepung
kecambah kacang hijau dan tepung ikan nila.
1.3.2.3 Menganalisis mutu organoleptik warna, rasa, aroma, tekstur pada biskuit
MP-ASI yang disubstitusi tepung kecambah kacang hijau dan tepung ikan
nila.
1.3.2.4 Membandingkan kadar protein , mutu protein dan mutu organoleptik pada
berbagai kelompok perlakuan biskuit MP-ASI yang disubstitusi tepung
kecambah kacang hijau dan tepung ikan nila.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Peneliti

Meningkatkan kapasitas penelitian di bidang teknologi pangan dan


pengalaman berharga dalam memperluas wawasan, pengetahuan seta
pengembangan diri melalui peneliti pemula.

1.4.2 Manfaat Institusi Pendidikan


Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberi informasi
tentang nilai gizi biskuit untuk balita dengan substitusi tepung kecambah
kacang hijau dan tepung ikan nila dalam rangka pengembangan produk
pangan lokal menjadi berbagai macam makanan. Sebagai bahan informasi
dan acuan peneliti selanjutnya bagi mahasiswa gizi STIKes Widya Cipta
Husada Kepanjen.

1.4.3 Manfaat Praktis


1.4.4.1 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu biskuit tinggi protein
yang bergizi bagi balita.
1.4.4.2 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu resep pengembangan
formula biskuit balita yang bergizi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar

2.1.1 Kecambah Kacang Hijau

2.1.1.1 Pengertian
Kacang hijau merupakan salah satu tanaman semusim yang
berumur pendek kurang lebih 60 hari. Tanaman ini disebut juga
mungbean, green gram atau golden gram. Tanaman kacang hijau
merupakan tanaman yang tumbuh hampir di seluruh tempat di
Indonesia , baik di dataran rendah hingga daerah dengan
ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Tanaman ini
diklasifikasikan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Klasifikasi Kacang Hijau


Kingdom Plantae
Subkingdom Tracheobionta
Super divisi Spermatophyta
Divisi Magnoliophyta
Subdivisi Angiospermae
Class Dicotyledoneae
Subclass Rosidae
Ordo Rosales
Famili Papilionaceae
Genus Phaseolus
Species Phaseolus radiatus Linn
Sumber: Plantamor, 2008.

Kecambah terbuat dari kacang hijau dan kacang kedelai,


Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas
tanaman, kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat
Indonesia. Kacang hijau adalah salah satu bahan yang
kecambahnya sering kita sebut dengan tauge. Tanaman ini
mengandung zat-zat gizi, antara lain: amylum, protein,
besi,belerang, kalsium, minyak lemak, mangan, magnesium,
niasin, vitamin (B1, A dan E).

6
Kecambah kacang hijau merupakan hasil pertumbuhan dari
biji kacang hijau yang disemai. Proses ini disertai dengan
mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau
keping biji ke bagian vegetatif (sumber pertumbuhan embrio atau
lembaga). Tauge digunakan sebagai salah satu bahan sayuran
yang memiliki nilai gizi tinggi (Wijayanti dkk., 2013).

Gambar 2.1 Kecambah Kacang Hijau


2.1.1.2 Kandungan Gizi Kecambah Kacang Hijau

Kandungan vitamin yang dapat ditemukan dalam tauge


adalah vitamin A, C, E, K dan B6, thiamin, riboflavin, niasin,
asam pantothen, folat, kolin dan β-karoten. Mineral yang
ditemukan pada tauge adalah kalsium (Ca), besi (Fe), magnesium
(Mg), fosfor (P), potasium (K), natrium (Na), seng (Zn), tembaga
(Cu), mangan (Mn) dan selenium (Se). Asam amino esensial yang
terdapat di dalam tauge meliputi triptofan, treonin, fenilalanin,
metionin, lisin, leusin, isoleusin serta valin (Amilah dan Astuti,
2006). Di dalam tauge terkandung beberapa antioksidan dan zat
yang berhubungan dengan antioksidan yaitu fitosterol, vitamin E
(α-tokoferol), fenol dan beberapa mineral (selenium, mangan,
tembaga, seng dan besi) (Astawan, 2005; Winarsi, 2007).

7
Vitamin E berperan sebagai antioksidan yang dapat
melindungi asam lemak tak jenuh agar tidak teroksidasi dan juga
sebagai pemelihara keseimbangan intraseluler (Yulfiperius et al.,
2003).

Table 2.2 Kandungan Gizi Kacang Hijau dan Tauge per 100 gram
berat kering

No Jenis Zat Satuan Kacang Hijau Tauge


Gizi
1 Energi Kkal 382 354
2 Karbohidrat G 67,22 44,79
3 Protein G 27,1 38,54
4 Lemak G 1,78 12,5
5 Serat Mg 8,88 11,46
6 Kalsium Mg 263,91 1729,17
7 Fosfor Mg 377,51 770,83
8 Besi Mg 8,88 8,83
9 Natrium Mg - -
10 Kalium Mg - -
11 Karoten µg 263,91 208,33
12 Thiamine Mg 0,54 0,94
13 Riboflavin Mg 0,18 1,56
14 Niasin Mg 1,78 11,46
15 Vitamin C Mg 11,83 52,08
Sumber: Persagi, 2009

2.1.2 Ikan Nila


Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan air
tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas
penting dalam bisnis ikan air tawar di dunia (Kordi, 2010). Ikan nila
memiliki keunggulan yaitu rasa dagingnya yang khas dengan
kandungan asam omega yang cukup tinggi, sehingga ikan nila sering
dijadikan sumber protein yang tinggi dan mudah didapat serta harga
jualnya terjangkau oleh masyarakat.

8
Ikan nila merupakan komoditas unggulan yang akan ditargetkan
oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meningkat dari tahun
ke tahun. Pada pasar domestik, permintaan ikan nila semakin
meningkat seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat
mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewani. Secara umum,
bentuk tubuh nila memanjang dan ramping, dengan sisik berukuran
besar. Bentuk matanya besar dan menonjol dengan tepi berwarna putih.
Gurat sisi (linea lateralis) terputus di bagian tengah tubuh, kemudian
berlanjut lagi, tetapi letaknya lebih ke bawah dibandingkan dengan
letak garis yang memanjang di atas sirip dada. jumlah sisik pada gurat
sisi 34 buah. Sirip punggung, sirip perut, dan sirip dubur.Sirip
punggung dan sirip dada berwarna hitam. Pinggir sirip punggung
berwarna abu-abu atau hitam (Kordi, 2010).

Gambar 2.2 Ikan Nila

9
2.1.2.1 Kandungan Gizi

Ikan nila adalah salah satu jenis ikan yang mudah untuk
dibudidayakan. Ikan ini merupakan jenis ikan vegetarian jadi tidak
mengandung merkuri yang tinggi. Kandungan gizi ikan nila:

Table 2.3 Kandungan Gizi Ikan Nila per 100 g


No Jenis Zat Gizi Satuan Ikan Nila
1 Energi Kkal 128
2 Protein G 26
3 Karbohidrat G 0
4 Total lemak G 3
5 Lemak jenuh G 1
6 Lemak tak jenuh G 2
7 Kolesterol Mg 57
8 Selenium Mcg 54,40
9 Vitamin B12 Mcg 1,86
10 Niacin Mg 4,74
11 Fosfor Mg 204,00
12 Kalium Mg 380
Sumber: Hima Gizi UHAMKA, 2010.

2.1.3 Biskuit
Biskuit merupakan salah satu makanan ringan yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat. Produk ini merupakan produk kering
yang memiliki kadar air rendah yaitu kurang dari 5%. Produk ini dapat
dikonsumsi oleh semua kalangan usia, baik bayi hingga kalangan
dewasa dengan jenis biskuit yang berbeda-beda (Setyowati dan Nisa,
2014). Sedangkan menurut SNI (2011), biskuit merupakan produk
bakeri kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang
terbuat dari tepung terigu (dapat dilakukan subtitusi) dan menggunakan
bahan tambahan pangan lain yang diizinkan.

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Biskuit terbuat dari


campuran terigu, margarin, gula, susu, lesitin kedelai, garam
bikarbonat, dan diperkaya dengan vitamin dan mineral serta ditambah
dengan penyedap rasa dan aroma (flavour) (Kemenkes RI, 2007).

10
2.1.3.1 Syarat Mutu Biskuit

Kualitas biskuit dapat diukur melalui sifat kimia yang


menentukan zat gizi dari biskuit, sifat fisik dari biskuit meliputi
tekstur dan warna dari biskuit, serta sifat organoleptik dari
biskuit yang menentukan penerimaan biskuit tersebut terhadap
konsumen (Fridata dkk., 2014).

Tabel 2.3 Persyaratan Mutu Gizi Biskuit MP-ASI

No Zat Gizi Satuan Kadar


1 Energi Kkal Minimum
400
2 Protein % Minimal 6
3 Lemak ( kandungan asam lemak % 6-8
trans tidak lebih dari 4% dari total
lemak)
4 Karbohidrat % Minimal 70
5 Air % Maksimum
5
6 Abu % Maksimum
3,5
Sumber Data : Badan Standarisasi Nasional (2005)

2.1.3.2 Bahan Penyusun Biskuit

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan

menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan

pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari

tepung, air, susu bubuk, putih telur, sedangkan bahan pelembut

terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan

pengembang, dan kuning telur (Faridah, 2008). Bahan-bahan

pembuatan biskuit terdiri dari :

11
1. Tepung terigu

Tepung terigu adalah bahan utama dalam

pembuatan biskuit dan memengaruhi proses

pembuatan adonan, fungsi tepung adalah sebagai

struktur biskuit. Protein dari tepung terigu

membentuk suatu jaringan yang saling berikatan

(continous) pada adonan dan bertanggung jawab

sebagai komponen yang membentuk viscoelastik.

Tepung yang digunakan pada pembuatan biskuit

adalah tepung terigu yang mempunyai kandungan

protein yang rendah. Jika menggunakan tepung

terigu jenis ini akan menghasilkan kue yang rapuh

dan kering merata (Fitasari, 2009).

2. Gula

Gula adalah suatu istilah umum yang sering

diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan

sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan

biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa,

gula yang diperoleh dari bit atau tebu. Gula

merupakan sumber yang baik untuk energi yang

dapat segera diasimilasi (Buckle, 2009).

12
Gula memberikan efek melunakan gluten

sehingga cake yang dihasilkan lebih empuk. Gula

yang digunakan untuk semua jenis cake adalah gula

yang memiliki butiran halus agar susunan cake rata.

Untuk pengkreman gula dengan lemak

perbandingan maksimal yang baik adalah dua

bagian gula dan satu bagian lemak. Gula akan

mematangkan dan mengempukan susunan sel. Bila

presentase gula terlalu tinggi dalam adonan maka

hasil cake akan kurang baik, cenderung jatuh

dibagian tengahnya. Pemakaian gula dalam adonan

mempunyai peran yaitu, memberi makanan pada

ragi selama proses peragian berlangsung, memberi

rasa dan aroma, memberi kemampuan adonan untuk

mengembang, kulit roti menjadi bagus, dan

mengontrol waktu pembongkaran (Faridah, 2008).

Gula digunakan sebagai pemberi rasa manis

dan pengawet yaitu dalam konsentrasi tinggi dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan

cara menurunkan aktivitas air dari bahan. Gula

mempunyai tekanan osmotik yang tinggi. Dengan

penggulaan, cairan sel bahan akan keluar sehingga

metabolisme bahan pangan akan terganggu

(Ayustaningwarno, 2014).

13
3. Telur

Penambahan telur dalam pembuatan biskuit

berfungsi untuk memperbesar volume,

memperbaiki tekstur, menambah protein yang

dapat memperbaiki kualitas pada biskuit.

Penggunaan kuning telur akan menghasilkan

biskuit yang lebih empuk daripada memakai

seluruh telur. Hal ini disebabkan lesitin pada

kuning telur mempunyai daya pengemulsi.

Adanya zat pengemulsi ini menjadikan telur

dapat memperbaiki tekstur, memperbesar volume

serta menambah kandungan protein. Peran sifat

fungsional protein pada telur tergantung pada jenis

produk yang akan dibuat. Sifat fungsional protein

pada telur berperan menentukan kualitas produk

akhir dalam industri pangan (Claudia, 2015).

Telur mempunyai dua unsur yaitu, kuning

telur dan putih telur. Kuning telur mengandung 50%

air, sedangkan putih telur kadar airnya mencapai

87%. Dalam kuning telur terdapat lechitin yang

berfungsi sebagai emulsifier yang memiliki

kemampuan mengikat air dan lemak. Pada waktu

dikocok, telur dengan gula akan mengikat udara

sehingga adonan mengembang sempurna dan

14
memberikan rasa lembab (moist) pada waktu

digigit. Pada waktu pemanggangan, udara yang

terperangkap tersebut akan memuai dan membuat

rongga-rongga pada kue tergantung dari seberapa

banyak udara yang terperangkap selama proses

pengocokan telur. Kuning telur juga berfungsi

sebagai pengawet alami, makin banyak kuning telur

yang dipakai, kue akan terasa lebih legit dan padat,

sebaliknya makin banyak putih telur yang dipakai

kue akan lembek dan lekat di langit-langit mulut.

4. Lemak

Lemak yang biasa digunakan dalam

pembuatan biskuit adalah yang berasal dari lemak

susu (butter) atau dari lemak nabati (margarine).

Lemak merupakan salah satu komponen penting

dalam pembuatan biskuit. Di dalam adonan, lemak

memberikan fungsi shortening dan fungsi tesktur

sehingga biskuit menjadi lebih lembut. Selain itu,

lemak juga berfungsi sebagai pemberi flavor

15
5. Susu bubuk

Susu yang digunakan dalam pembuatan

biskuit adalah susu bubuk. Susu bubuk berupa

serbuk atau seperti tepung ini memiliki reaksi

mengikat terhadap protein tepung. Dalam

pembuatan biskuit susu bubuk ini hanya digunakan

sekitar 10 gram. Susu bubuk berfungsi untuk

meningkatkan cita rasa dan aroma biskuit serta

menambah nilai gizi produk.

6. Bahan pengembang

Kelompok leavening agents (pengembang

adonan) merupakan kelompok senyawa kimia yang

akan terurai menghasilkan gas di dalam adonan.

Salah satu yang sering digunakan dalam pengolahan

biskuit adalah baking powder. Baking powder

memiliki sifat cepat larut pada suhu kamar dan

tahan selama pengolahan. Fungsi bahan

pengembang adalah untuk mengembangkan

adonan, sehingga menjadi ringan dan berpori,

menghasilkan biskuit yang renyah dan halus

teksturnya (Faridah, 2008).

16
2.1.3.3 Proses Pembuatan Biskuit

Proses pembuatan biskuit secara garis besar terdiri dari

pencampuran (mixing), pembentukan (forming) dan

pemanggangan (bucking). Tahap pencampuran bertujuan

meratakan pendistribusian bahan-bahan yang digunakan dan

untuk memperoleh adonan dengan konsistensi yang halus

(Mutiara, 2012).

Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan

harus bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga,

dan tikus. Setelah bahan siap, dilakukan pencampuran

dilanjutkan dengan pengadukan. Faktor-faktor yang harus

diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah adonan, lama

pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang

berlebihan akan menyebabkan retak pada permukaan biskuit

saat pemanggangan.. Ukuran biskuit yang telah dicetak harus

sama, agar ketika dioven biskuit matang secara merata dan tidak

hangus (Claudia, 2015).

17
2.1.4 Protein
Protein mempunya fungsi khas yang tidak dapat digantikan zat gizi lain
yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Fungsi protein
lainnya yaitu penting dalam pertumbuhan dan pemeliharaan ikatan-ikatan
essensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh,
pembentukan antibodi, dan mengatur zat-zat gizi sumber energi (Almatsier,
2009).
Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode mikro kjeldahl. Prinsip
analisis ini adalah menetapkan protein berdasarkan oksidasi bahan-bahan
berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia. Selanjutnya amonia bereaksi
dengan kelebihan asam membentuk arnonium sulfat. Setelah larutan menjadi
basa, amonia diuapkan untuk diserap dalam larutan asam borat. Jumlah
nitrogen yang terkandung ditentukan dengan titrasi HCL.
2.1.5 Mutu Protein
Mutu protein bahan makanan ditentukan oleh jenis dan proporsi asam
amino yang di kandungnya. Protein komplit atau protein dengan nilai biologi
tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam
amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan,
yaitu semua protein hewani kecuali gelatin, merupakan protein komplit.
Protein tidak komplit atau protein bermutu rendah adalah protein yang tidak
mengandung atau mengandung dalam jumlah yang kurang satu atau lebih
asam amino esensial, yaitu sebagian besar protein nabati kecuali kacang
kedelai dan kacang-kacang lain merupakan protein tidak komplit. Asam
amino yang terdapat dalam jumlah terbatas untuk memungkinkan
pertumbuhan dinamakan “asam amino pembatas” (limiting amino acid).
Metionin merupakan asam amino pembatas kacang-kacangan dan lisin dari
beras (Stella, 2012).

18
2.1.5.1 Skor Kimia / Skor Asam Amino
Skor asam amino atau sering di sebut Chemical score merupakan
suatu cara penilaian kualitas protein yang berdasarkan pada analisis
bahan-bahan makanan, jadi tidak berdasarkan pada percobaan secara
biologis dengan hewan-hewan percobaan. Skor asam-asam amino
membandingkan kandungan asam-asam amino esensial dalam protein
suatu bahan makanan atau dalam suatu campuran protein dengan
asam-asam amino esensial dalam standar protein yang ditentukan oleh
FAO/WHO (1973).
Skor Kimia adalah cara menetapkan mutu protein dengan
membandingkan kandungan asam amino esensial dalam bahan
makanan dengan kandungan asam amino esensial yang sama dalam
protein patokan / ideal, misalnya protein telur.

2.1.6 Mutu Organoleptik


Untuk melakukan uji organoleptik dibutuhkan beberapa ruang yang

terdiri dari bagian persiapan (dapur), ruang pencicip dan ruang tunggu atau

ruang diskusi. Bagian dapur harus selalu bersih dan mempunyai sarana yang

lengkap untuk uji organoleptik serta dilengkapi dengan ventilasi yang cukup.

Ruang pencicip mempunyai persyaratan yang lebih banyak, yaitu ruangan

yang terisolasi dan kedap suara sehingga dapat dihindarkn komunikasi antar

panelis, suhu ruang yang cukup sejuk (20-250C) dengan kelembaban 65-70%

dan mempunyai sumber cahaya yang baik dan netral, karena cahaya dapat

mempengaruhi warna komoditi yang diuji. Ruang isolasi dapat dibuat dengan

penyekat permanen atau penyekat sementara. Fasilitas pengujian ini

sebaiknya dilengkapi dengan washtafel. sedangkan ruang tunggu harus cukup

nyaman agar anggota panel cukup sabar untuk menunggu gilirannya. Apabila

akan dilakukan uji organoleptik maka panelis harus mendapat penjelasan

19
umum atau khusus yang dilakukan secara lisan atau tertulis dan memperoleh

format pernyataan yang berisi instruksi dan respon yang harus diisinya.

Selanjutnya panelis dipersilakan menempati ruang pencicip untuk kemudian

disajikan contoh yang akan diuji.

Uji kesukaan juga disebut uji hedonik. Panelis dimintakan tanggapan

pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Disamping

panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, mereka

juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat – tingkat kesukaan ini

disebut skala hedonik. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan

menurut rentangan skala yang ikehendakinya. Skala hedonik dapat juga

diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan.

Dengan data numeric ini dapat dilakukan analisis secara statistik. Penggunaan

skala hedonik pada prakteknya dapat digunakan untuk mengetahui

perbedaan. Sehingga uji hedonic sering digunakan untuk menilai secara

organoleptik terhadap komoditas sejenis atau produk pengembangan. Uji

hedonik banyak digunakan untuk menilai produk akhir. Jumlah penguji untuk

panelis agak terlatih 20-25 orang dan tidak terlatih 80 orang keatas

(UNIMUS, 2013).

20
Indera yang digunakan dalam menilai sifat inderawi suatu produk adalah

sebagai berikut:

a. Penglihatan, berhubungan dengan warna kilap, ukuran dan bentuk,

volume kerapatan, berat jenis, panjang, lebar, dan diameter serta

bentuk bahan.

b. Indera peraba, berkaitan dengan struktur, tekstur, dan konsistensi.

Struktur merupakan sifat dari komponen penyusun, tekstur

merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut atau

perabaab dengan jari, dan konsistensi (tebal, tipis, dan halus).

c. Indera pembau, dijadikan sebagau indikator terjadinya kerusakan

pada produk, misalnya ada bau busuk yang mendakan produk

tersebut telah mengalami kerusakan.

d. Indera pengecap, hal kepekaan rasa, manis, asin, asam dan pahit

(Riwan, 2008)

Tujuan uji penerimaan adalah untuk mengetahui apakah

suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh

masyarakat. Uji kesukaan (hedonik) dan uji mutu hedonik adalah

kelompok uji penerimaan. Dalam pengolahan biskuit MP-ASI ada

beberapa yang diuji antara lain :

a. Warna

Warna memehang peran penting dalam produk makanan,

karena jika warna suatu makanan tidak menarik akan mengurangi

penerimaan konsumen terhadap produk. Warna merupakan respon

paling cepat dan mudah memberi kesan yang baik. Reaksi maillard

21
merupan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi NH2

dari protein yang menghasilkan senyawa hidroksimetolfulfural

yang menjadi furfural. Furfural yang terbentuk kemudian

berpolimerasi membentuk senyawa melanoidin yang berwarna

coklat (Nurhidayati, 2011).

b. Rasa

Rasa merupakan faktor yang penting dalam menentukan

menerima atau menolak suatu makanan. Ada empat jenis rasa yang

dikenali yaitu manis, asin, asam, dan pahit (Nurhidayati, 2011).

c. Aroma

Aroma merupakan salah satu produk penentu kualitas

produk pangan. Timbulnya aroma atau bau karena zat bau tersebut

bersifat menguap.

d. Tekstur

Tekstur merupakan gambaran mengenai atribut bahan

makanan yang dihasilkan melalui kombinasi sifat-sifat kimia,

diterima secara luas oleh sentuhan, penglihatan dan pendengaran

(Nurhidayati, 2011).

2.1.7 Balita
Balita Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu
tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun
(Muaris.H, 2006). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita
adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah
(3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang
tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.

22
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun
kemampuan lain masih terbatas.

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh


kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi
penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode
selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang
berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut
golden age atau masa keemasan.

Karakteristik Balita Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua


kategori yaitu anak usia 1 – 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi,
2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan
masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan
jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil
menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali
makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola
makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.

Usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat


memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul
dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak
mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan
mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak”
terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung
mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan
pemilihan maupun penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa
anak perempuan relative lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila
dibandingkan dengan anak laki-laki (BPS, 1999).

2.1.8 Stunting
Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak,
hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai

23
dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted)
(Kemenkes R.I, 2012b). Stunting digunakan sebagai indikator malnutrisi
kronik yang menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu
lama sehingga kejadian ini menunjukkan bagaimana keadaan gizi sebelumnya
(Kartikawati, 2011).

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth
(kejar tumbuh) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan
meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan
baik motorik maupun mental. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Kusharisupeni menyatakan bahwa stunting dibentuk oleh growth faltering dan
catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan
untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa
kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami
stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik
(Kusharisupeni, 2011).

2.1.8.1 Faktor Penyebab Stunting

Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung


maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah
asupan gizi dan penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah
pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi
dan masih banyak lagi faktor lainnya (Bappenas R.I, 2013).

24
Asupan Gizi Balita
Faktor Langsung
Stuntig Penyakit Infeksi

Pola Asuh

Pelayanan
Faktor Tidak Kesehatan
Langsung Ketersediaan
Pangan

Faktor Budaya,
Sosial Ekonomi

Sumber : Bappenas R.I, 2013

25
2.1.9 Kerangka Konsep Penelitian

Tepung ikan nila Tepung kecambah kacang hijau

Tinggi kandungan protein Tinggi kandungan protein

Subsitusi biskuit MP-ASI

Perbaikan nilai gizi dan mutu organoleptik

26
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang menggunakan

desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu

mengkombinasikan proporsi tepung kecambah kacang hijau : tepung ikan

nila. Dengan 4 formula yaitu F0 (0:0) , F1 (20:10), F2 (10:20), F3 (15:15).

Besar sampel dihitung menggunakan rumus Federer (Hermawan, 2013) :

Besar sampel = (n-1) (t-1) ≥ 15

(4-1) (t-1) ≥ 15

3t -3 ≥ 15

t≥6

Keterangan : n : banyak kelompok perlakuan

t : jumlah replika

Tabel 3.1 Perlakuan Dan Replikasi

Perlakuan Proporsi Tepung


Replikasi
Kecambah Kacang Hijau :
Tepung Ikan Nila 1 2 3 4 5 6
F0 (0:0) P01 P02 P03 P04 P05 P06

F1 (20:10) P07 P08 P09 P10 P11 P12

F2 (10:20) P13 P14 P15 P16 P17 P18


F3 (15:15) P19 P20 P21 P22 P23 P24

27
Keterangan :

P01 : unit perlakuan F0 replikasi 1

P07: unit perlakuan F1 replikasi 1

............

P19: unit perlakuan F3 replikasi 1

Agar besar unit perlakuan mempunyai peluang yang sama untuk

mendapat perlakuan, maka dalam penempatan unit penelitian digunakan

randomisasi atau pengacakan.

Tabel 3.2 Lay Out Penelitian dengan Desain RAL

1 P22 2 P11 3 P23 4 P15 5 P07 6 P13


7 P21 8 P03 9 P10 10 P21 11 P04 12 P08
13 P14 14 P19 15 P16 16 P18 17 P02 18 P20
19 P17 20 P09 21 P01 22 P24 23 P06 24 P05

28
3.2 Kerangka Operasional

Langkah-langkah dalam pelaksanaan penelitian

Menentukan resep dasar biskuit MP-ASI dengan mengkaji


resep-resep dari jurnal penelitian, kemudian membandingan
formula masing-masing resep

Menentukan formula subsitusi tepung kecambah kacang hijau


: tepung ikan nila F0 (0:0) , F1 (20:10), F2 (10:20), F3 (15:15

Memilihan bahan baku kecambah kacang hijau dan ikan nila

Membuat tepung kecambah kacang hijau dan tepung ikan nila

Membuat biskuit MP-ASI

Uji organoleptik ( rasa, Uji nilai gizi ( kadar protein,


warna, aroma tekstur) mutu protein)

Uji panelis 25 Pengolahan


orang mahasiswa dan Analisa
STIKes Widya data
Cipta Husada

Membandingkan kadar protein , mutu protein dan mutu


organoleptik pada berbagai kelompok perlakuan biskuit
MP-ASI yang disubstitusi tepung kecambah kacang
hijau dan tepung ikan nila.

Gambar 3.3 Kerangka Operasional

29
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

3.3.1 Tempat Penelitian

1. Proses penepungan dilakukan di Laboraturium Teknik Pengolahan

Pangan dan Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya.

2. Pengujian Organoleptik dilakukan di Laboraturium Gizi STIKes

Widya Cipta Husada Kepanjen.

3. Pembuatan biskuit dilakukan di rumah peneliti.

4. Analisis kadar protein dilakukan di Laboratorium Pengujian Mutu

dan Keamanan Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian, Uniersitas Brawijaya.

3.3.2 Waktu Penelitian

Proses pembuatan produk hingga uji nilai gizi dan uji

organoleptik dilakukan dalam waktu 4 (empat) bulan dari Maret

hingga Juli 2018.

3.4 Variabel Penelitian

a. Variabel Independent (Variabel bebas)

Variabel Independent atau variabel bebas merupakan variabel

yang nilainya menentukan variabel lain. Dalam penelitian ini, variabel

independent atau variabel bebas adalah proporsi tepung kecambah

kacang hijau dan tepung ikan nila.

b. Variabel Dependen (Variabel terikat)

Variabel Dependent atau variabel terikat merupakan variabel


yang nilainya ditentukan variabel bebas. Dalam penelitian ini, variabel
independen adalah nilai kadar protein, mutu protein dan mutu
organoleptik biskuit.

30
3.5 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Tabel 3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Bahan Inklusi Ekslusi


Ikan Nila - Ikan nila - Ikan nila
- Ikan masih hidup busuk
- Tekstur daging keras/kenyal
- Warna ikan cerah
- Mata ikan bening
- Ikan nila tidak ada penyakit : sirip tidak
mengucup, tubuh tidak terluka, perut tidak
menggembung, sisik tidak lepas
Bahan Inklusi Ekslusi
Kecambah - kecambah segar adalah yang berwarna - kecambah
Kacang keruh, tidak terlalu putih busuk
Hijau - kecambah tidak mudah patah, agak lentur dan rusak
dan aroma khas segar kecambah tercium
saat dipatahkan, banyak mengandung air
3.6 Teknik Pengumpulan Data

3.6.1 Alat dan Bahan

1. Pengolahan tepung kecambah kacang hijau dan tepung ikan nila

- Alat : timbangan, baskom, pisau, tampah, telenan, blender,

ayakan tepung, pengering.

- Bahan : kecambah kacang hijau, ikan nila.

2. Pembuatan biskuit

- Alat : timbangan digital, mixer, oven, baskom, pisau, solet,

loyang, telenan, cetakan biskuit, penggaris, sendok, mangkuk,

lepek, piring kecil, rolling pin.

- Bahan : tepung terigu, tepung kecambah kacang hijau, tepung

maizena, tepung ikan nila, kuning telur, susu bubuk putih,

margarine blue band, gula halus, soda kue, garam.

31
3. Analisis Kadar Protein

- Alat : timbangan analitik, pipet ukur, karet hisap, labu

kjeldahl, destruktor, lemari asam, set destilasi, erlenmeyer, buret,

statif, klem, pipet tetes, labu takar, mortil, spatula.

- Bahan : biskuit, aquades, HgO 40 mg, K2SO4 1,9 mg, H2SO4

2 ml, HBO3 5 ml, 8-10 ml NaOH dan Na2S2O3 HCL 0,02 N.

3.7.1 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

3.7.2.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer

yaitu diperoleh secara langsung dari penelitian.

Data diperoleh dengan cara :

1. Analisa kandungan kadar protein dan mutu protein.

2. Kuesioner untuk memperoleh data mengenai tingkat kesukaan

produk dengan kuesioner uji mutu organoleptik.

3.7.2.2 Pembuatan Tepung Kecambah Kacang Hijau

Proses pembuatan tepung kecambah kacang hijau adalah

sebagai berikut:

1. Pemilihan kecambah segar yang sesuai dengan spesifikasi yang telah

ditentukan.

2. Cuci kecambah dengan air hingga bersih.

3. Tata di rak agar kering menyeluruh.

4. Kecambah dikeringkan dengan suhu 600C selama 8 jam.

5. Kecambah yang kering digiling menggunakan blender.

6. Bubuk kecambah diayak dan didapat tepung kecambah yang halus.

32
3.7.2.3 Pembuatan Tepung Ikan Nila

Proses pembuatan tepung ikan nila adalah sebagai berikut :

1. Pemilihan ikan nila yang masih segar dan hidup sesuai dengan

spesifikasi yang telah ditentukan.

2. Ikan nila dicuci dan dibersihkan dari isi perut dan sisik ikan dan

membuang kepala ikan nila, sehingga di dapat badan ikan nila.

3. Ikan nila dikukus selama 30 menit hingga empuk, kemudian ikan

nila dibuang tulangnya.

4. Daging ikan nila digiling menggunakan blender dan dikeringkan

dengan suhu 600C selama 6 jam.

5. Daging ikan nila yang telah kering di giling kembali menggunakan

blender, lalu diayak.

3.7.2.4 Pembuatan Biskuit

Formulasi pembuatan biskuit dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Formula Biskuit MP-ASI

Nama Bahan Formula


(g) F0 F1 F2 F3
Tepung kecambah 0 20 10 15
kacang hijau
Tepung ikan nila 0 10 20 15
Tepung terigu 250 220 220 220
Mentega 90 90 90 90
Gula halus 180 180 180 180
Kuning telur 180 180 180 180
Susu bubuk 60 60 60 60
Baking powder 8 8 8 8
Garam 4 4 4 4

Tahapan proses pembuatan biskuit adalah sebagai berikut :

1. Persiapan alat dan bahan dan penimbangan bahan.

33
2. Pencampuran mentega, gula pasir, kuning telur dan garam kemudian

aduk menggunakan mixer kecepatan tinggi selama 3 menit.

3. Penambahan tepung kecambah kacang hijau , tepung ikan nila,

tepung maizena dan baking powder sedikit demi sedikit dengan

kecepatan rendah agar adonan terbentuk rata dan kalis. Matikan

mixer.

4. Adonan dicetak berbentuk bulat pipih dengan diameter 5 cm dan

berat 10 gram. Kemudian dipanggang menggunakan oven suhu

1800C selama 30 menit.

5. Biskuit MP-ASI dengan subsitusi tepung kecambah dan tepung ikan

nila.

3.7.2.5 Analisis Nilai Protein

Analisis kadar protein biskuit dilakukan dengan semi mikro

kjeldahl.

3.7.2.6 Analisis Skor Kimia Asam Amino

Cara menetapkan mutu protein dengan membandingkan

kandungan asam amino esensial dalam bahan makanan dengan asam

amino esensial yang sama dalam protein ideal/patokan (protein

telur).

34
Tabel Pola Asam Amino Esensial Baku FAO/WHO

Asam Amino Telur Ayam Pola FAO/WHO


Esensial Mg AAE per g Mg AAE per g Mg AAE per g
Nitrogen Protein Nitrogen
Isoleusina 340 40 250
Leusina 540 70 440
Lisin 440 55 340
Metionin + 355 35 220
sistina
Fenilalanina + 580 60 380
tirosin
Treonina 294 40 250
Triptofan 106 10 60
Valina 410 50 310
Jumlah 3060 360 2250

3.7.2.7 Analisis Mutu Organoleptik

1. Panelis ditempatkan pada suatu ruang khusus (ruang penelitian mutu

organoleptik).

2. Masing-masing produk diletakkan pada piring kecil dan sudah diberi

kode.

3. Panelis mengisi lembar persetujuan untuk menjadi panelis dan

lembar kuesioner yang diberikan oleh peneliti serta mengikuti

instruksi yang diberikan untuk mengisi kuesioner sebelum mulai

mencicipi.

4. Panelis diberikan air mineral untuk menetralkan rasa sebelum

mencicipi sampel berikutnya.

5. Kuesioner yang telah diisi oleh panelis dikumpulkan pada peneliti.

Lembar kuesioner tersebut diolah untuk mengetahui tingkat

kesukaan panelis terhadap sampel yang diberikan, pengolahan data

tersebut dilakukan dengan menggunakan uji hedonik (uji kesukaan).

35
6. Data mutu hedonik dilakukan skoring dan tabulasi untu mencari

rata-rata dan prosentase penilaian tertinggi kemudian

dideskripsikan.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.8.1 Pengolahan Data

Data-data yang telah diperoleh dan terkumpul akan diolah melalui

tahapan berikut :

1. Editing

Tahapan penyutingan data untuk meneliti kembali apakah

alat peneliti sudah lengkap. Pemeriksaan data dilakukan di tempat

pengumpilan data sehingga apabila ada kekurangan dapat segera

dilengkapi.

36
2. Coding

Pemberian kode dilakukan pada variabel dependen untuk

membedakan sampel dari masing-masing perlakuan sehingga tidak

tertukar dan salah penempatan.

- Kode 124 untuk sampel biskuit MP-ASI kelompok kontrol (F0)

- Kode 333 untuk sampel biskuit MP-ASI kelompok perlakuan 1 (F1)

- Kode 555 untuk sampel biskuit MP-ASI kelompok perlakuan 2 (F2)

- Kode 777 untuk sampel biskuit MP-ASI kelompok perlakuan 3 (F3)

3. Tabulasi

Penyusunan data merupakan pengorganisasian data

sedemikian rupa agar mudah dijumlahkan, disusun, ditata untuk

disajikan dan dianalisis.

4. Skoring

Skoring dalam penelitian ini digunakan dalam analisis uji

organoleptik guna mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap

biskuit MP-ASI. Uji yang dilakukan dalam analisis uji organoleptik

yaitu uji hedonik. Dalam uji hedonik ini diberikan nilai 1= sangat

tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak suka, 4 = suka, 5= sangat suka.

37
5. Univariat

Analisis data univariat adalah analisis terhadap tiap variabel

dari hasil penelitian baik variabel bebas maupun variabel terikat.

Mean digunakan untuk mengalisis nilai gizi biskuit MP-ASI

ditentukan secara deskriptif menggunakan rata-rata dari masing-

masing perlakuan. Modus digunakan untuk menganalisis mutu

organoleptik ditentukan menggunakan nilai dari masing-masing

taraf perlakuan. Uji organoleptik kesukaan responden terkait warna,

aroma, tekstur dan rasa pada biskuit yang diberikan dengan skor :

1 : sangat tidak suka

2: tidak suka

3: agak suka

4: suka

5: sangat suka

38
6. Bivariat

Analisis data bivariat dilakukan untuk menguji hipotesis

hubungan atau pengaruh setiap variabel dependen dengan

independen data yang diteliti. Pengolahan data nilai gizi biskuit

bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh subsitusi

tepung kecambah kacang hijau dan tepung ikan nila terhadap nilai

gizi biskuit dari masing-masing perlakuan. Analisis data nilai gizi

menggunakan analisis One Way Anova pada tingkat kepercayaan

95%, jika p-value > 0,05 uji normalitas dan homogenasi. Untuk

mengetahui pengaruh subsitusi tepung kecambah kacang hijau dan

tepung ikan nila dalam pembuatan biskuit MP-ASI menggunakan

SPSS 22. Untuk mengetahui taraf perlakuan mana yang berbeda

nyata, dilakukan uji lanjutan Duncan Multiple Test (DMRT) pada

tingkat kepercayaan 95%. Jika hasil uji normalitas atau

homogenasi tidak mencapai p > 0,05, maka menggunakan uji

Kruskal Wallis pada tingkat kepercayaan 95%. Untuk mengetahui

secara rinci taraf-tafar perlakuan mana yang berbeda nyata

dilanjutkan dengan lanjut dengan Mann Whitney.

39
Sedangkan untuk mengetahui pengaruh subsitusi tepung

kecambah kacang hijau dan tepung ikan nila terhadap mutu

organoleptik digunakan analisis statistika Kruskal-Wallis pada

tingkat kepercayaan 95%. Selanjutnya untuk dapat mengetahui

secara rinci taraf-tafar perlakuan mana yang berbeda nyata

dilakukan dengan Mann Whitney. Untuk mengetahui pengaruh

subsitusi tepung kecambah kacang hijau dan tepung ikan nila

dalam pembuatan biskuit MP-ASI menggunakan SPSS 22.

3.8 Etika Penelitian

Etika penelitian digunakan untuk subjek atau panelis. Dalam

penelitian, penulis berusaha untuk memperhatikan etika yang harus

dipatuhi, mengingat penelitian kesehatan akan berhubungan langsung

dengan manusia. Penelitian akan dilakukan setelah mendapat persetujuan

dari responden berdasarkan informed consent.

a) Right to full disclosure ( hak untuk mendapatkan jaminan dari

perlakuan yang diberikan)

Peneliti akan memberikan penjelasan secara rinci tentang penelitian

yang akan dilakukan serta tanggung jawab kepada subyek penelitian

jika ada sesuatu yang terjadi akibat penelitian yang dilakukan.

40
b) Informed Consent

Setiap responden yang ikut dalam penelitian diberikan

lembar persetujuan, agar responden mengetahui maksud dan tujuan

penelitian serta akibat yang diteliti selama pengumpulan data

berlangsung. Responden akan diikut sertakan dalam penelitian jika

telah menandatangani lembar persetujuan dan apabila responden

menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan

menghormati haknya.

c) Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak

mencantumkan nama subyek penelitian, hanya untuk lebih

memudahkan dalam mengenali identitas, peneliti memakai simbol

berupa sebutan responden.

d) Confidentiallity

Peneliti menjamin atas kerahasiaan informasi yang

diberikan oleh responden dan hanya data tertentu yang akan

dilaporkan oleh peneliti.

41
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. Pengertian Balita dan Karakteristik Balita.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/116/jtptunimus-gdl-muksing2a2-5767-

2-babii.pdf. Online. Diakses pada tanggal 10 Juni 2017.

42

Anda mungkin juga menyukai