INNOVATIVE GOVERNANCE
Editor:
Dr.M.R. KhairulMuluk,S.Sos.,M.Si
Published by:
UB Press and Faculty of Administrative Science
University of Brawijaya
Innovative Governance
e-ISBN : 978-602-203-444-5
Published by :
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya
Proceeding Konferensi Nasional “Innovatie Governance”. Proceeding yang merupakan
kumpulan dari makalah (paper) konferensi ini, merupakan kegiatan yang diselenggarakan
dalam rangkaian ASPA Indonesia International Seminar and IAPA Annual Conference pada
Juni 2012 yang lalu. Seminar yang mengusung konsep Innovative Governance ini
membahas fenomena-fenomena dalam administrasi publik baik secara teoritis maupun
praktis yang terbagi menjadi enam (6) tema besar, meliputi: Ideologi dan Kepemimpinan,
Kebijakan Publik, Manajemen Publik, Kesejahteraan Sosial, Public Services and Utilities,
serta Community, Sustainable and Development.
Kepemimpinan dan Ideologi membahas mengenai peran kepemimpinan yang efektif
dalam pembangunan. Kebijakan publik berbicara mengenai implementasi kebijakan di
beberapa substansi kebijakan, aktor-aktor kebijakan serta dinamika kebijakan. Manajemen
publik menyajikan berbagai pembahasan mengenai pengelolaan organisasi publik dalam
upaya menjamin kualitas pelayanan publik. Hal ini terkait juga dengan perencanaan,
pengorganisasian serta pengendalian fungsi manajemen publik. Kesejahteraan sosial (social
welfare) menyangkut pembahasan mengenai upaya memberikan jaminan kesejahteraan
kepada masyarakat seperti melalui asuransi maupun konsep zakat. Public Services and
Utilitiesmembahas mengenai pengembangan pelayanan public melalui pembangunan
infrastruktur (ekonomi, sosial), jejaring sosial serta kinerja pelayanan itu sendiri. Sedangkan
tema Community, Sustainable and Developmentmengangkat mengenai upaya membangun
masyarakat di berbagai sisi (ekonomi, sosial dan lingkungan) baik melalui empowerment,
environmental management maupun partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
buku ini.Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan jurnal ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Ketua Umum
ASPA Indonesia International Seminar and IAPA Annual Conference 2012
Innovative Governance v
Daftar Isi
Innovative Governance ix
Pengaruh Pemberdayaan Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Depok Jawa Barat
Dr. Muh Kadarisman........................................................................................................................343
Pemberdayaan Diri Masyarakat Miskin Melalui Modal Sosial (Studi di Kecamatan Alang-
Alang Lebar Palembang)
Siti Rohima ........................................................................................................................................355
AnalisaPola KeterwakilanMasyarakatDalam Badan Permusyawaratan Desa
Susanti ................................................................................................................................................377
Manajemen Penyediaan Air Bersih Berbasis Komunitas Di Kota Bandung
Tomi Setiawan ...................................................................................................................................383
Konsep Keadilan terhadap Hak-Hak Minoritas di Era Otonomi Daerah (Studi pada Tanah
Konflik di Bulukumba, Sulawesi Selatan)
Meita Istianda....................................................................................................................................393
x Innovative Governance
Kepemimpinan Berbasis Budaya Kinerja Tinggi
Pada Organisasi Publik
Desna Aromatica
Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat
Email: desnaaromatica@gmail.com
Innovative Governance 1
Pendahuluan
Dalam dunia administrasi Negara, selain bagaimana menciptakan sistem yang baik dalam
negara, manusia yang baik juga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan.
Bagaimanapun bagusnya sebuah sistem diciptakan dan aturan diberlakukan, bila manusianya
tidak memiliki budaya kinerja yang tinggi, maka tujuan Negara akan tetap sulit dicapai.
Kondisi Perubahan dan ketidakpastian lingkungan organisasi publik yang disertai
Unpredictable attack, dan posisinya sebagai organisasinon profit oriented mengharuskan
organisasi selalu dalam kondisi siap melakukan tindakan layanan pada masyarakat dengan
prima. Baik sistemnya ataupun manusianya. Organisasi wajib memenuhi harapan sosial dari
lingkungan sekitarnya disertai tanggungjawab sosial. Jika fungsi ini gagal, maka keberadaan
organisasi akan menjadi tidak berarti dimata lingkungan,sehingga memungkinkan organisasi
tergusur dari eksistensinya. Hal Ini menuntut organisasi publik harus memiliki pemimpin
yang mampu menjadi leader yang menggiring organisasi menghadapi serangan lingkungan.
Dibutuhkan pemimpin yang berkomitmen menciptakan dan menjaga organisasi dengan
budaya kinerja tinggi, sehingga dapat menggerakkan anggota organisasinya mencapai tujuan
dengan efektif.
Kebanyakan organisasi publik khususnya pada organisasi pemerintahan daerah
menurut Peter AC Smith dan Hubert justru mengalami apa yang disebut sebagai Titanic
syndrome, dengan penyakit plat merahnya, sehingga mempengaruhi paradigma dan budaya
kinerja aparatur publik sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara. Aparatur publik justru
menjadi bad employee, dimana kinerja yang diberikan kurang dari kompensasi yang
diterima. Sulit menemukan aparatur dengan tipikal great employee yang mampu
memberikan kinerja lebih dari yang diterimannya. Lantas pertanyaan yang sampai saat ini
bagi kebanyakan pimpinan masih sulit untuk dituntaskan jawabannya adalah bagaimana
membuat anggota organisasi memiliki budaya kinerja yang tinggi agar tercapainya tujuan
organisasi oleh aparatur yang memiliki high performing culture, sehingga menjadi Great
employee.
Tulisan ini bukanlah tentang apa yang dimaksud dengan kepemimpinan berbasis
budaya kinerja tinggi. Tulisan ini adalah tentang bagaimana menjadi pemimpin yang dapat
menjadikan organisasinya sebagai Great Organization, dengan budaya kinerja tinggi.
Organisasi publik pada hakikatnya ada adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Tujuannya tentu terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat, yang dalam
aktivitasnya tidak berorientasi pada optimalisasi pencapaian profit. Dari keberadaannya yang
berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakatyang non Provit oriented, maka
aktivitasnya adalah dalam konteks sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara. Kenyataannya
pertanyaan yang justru selalu muncul diruang-ruang publik dan dikeluhkan banyak pihak
dimanapun, kapanpun, ternyata value in action organisasi publiktidak sesuai dengan nilai-
nilai budaya organisasi publik itu sendiri, atau ideologi intinya.
Tidak selarasnya antara ideologi inti dengan value in actionini dapat dilihat dari
seringkali ditemukannya organisasi publik yang anggota organisasinya tidak memiliki
budaya kinerja tinggi. Budaya kinerja tinggi adalah kondisi dimana anggota organisasi
mampu menjadi Great Employee, dimana kinerja yang dihasilkan lebih besar dari
pendapatan yang diterima. Bukan hanya pegawai yang memiliki kinerja sebaliknya yaitu bad
employee, atau hanya sebatas Good Employee. Ketika banyak perbincangan, bahkan keluhan
2 Innovative Governance
tentang tidak tingginya kinerja aparatur publik tersebut,maka itu berarti mereka tidak
memainkan dengan sungguh dan baik perannya sebagai seorang abdi. Salah satu penelitian
tentang profesionalisme aparatur RSUD Kota Solok dalam penyelenggaraan layanan
Jamkesmas tahun 2011, yang penulis lakukan bersama tim menunjukkan hasil tersebut.
Salah satu faktor ketidakprofesionalan aparaturyang ditemukan ternyata bersumber dari
paradigma yang salah dari aparatur RSUD. Aparatur tidak menyadari (sengaja ataupun tidak)
makna abdi dalam memberikan layanan kesehatan yang melekat dalam status mereka
sebagai pegawai negeri.
Hasil penelitian menunjukan bahwa value in action justru tidak sesuai dengan nilai
budaya atau ideologi inti dari organisasi publik itu sendiri sebagai pelayan. Bukan abdi
namun majikan. Bukan melayani namun merasa harus dilayani.
Budaya kinerja dalam bentuk perilaku tidak professional dari aparatur dapat
disebabkan banyak faktor. Diantaranya, pertama adalah faktor Pemimpin. Pada hakikatnya
pemimpin bertugas mendirect anggota organisasi bergerak mencapaitujuan organisasi.
Namun sesuai dengan makalah yang pernah penulis sampaikan pada seminar Nasional pada
KAN 4 diMakasar, tentang persyaratan pemilihan calon kepala daerah terhadap desain
organisasi publik dalam hal ini pemerintah daerah.Lemahnya persyaratan dan proses
kampanye yang tidak sehat, menyebabkan desain pemerintah daerah menjadi tidak rasional,
sehingga proses pengorganisasian juga menjadi tidak tepat dengan berbagai alasan dan
kepentingan. Artinya kinerja aparatur tentu menjadi tidak bagus karena kesalahan
pengorganisasian. Selanjutnya dalam tulisan yang pernah ditulis dalam Jurnal ilmu politik no
1 vol 10 tahun 2010 tentang persyaratan calon kepala daerah dan implikasinya bagi birokrasi
publik. Lemahnya persyaratan calon kepala daerah berdampak pada semrawutnya birokrasi
publik,karena pemimpin yang terpilih adalah pemimpin masa bukan pemimpin yang mampu
jadi manajer dalam pemerintahan daerah. Hal-hal tersebut menyebabkan ketika memimpin
sipemimpin tidak mampu mendirect anggota organisasinya untuk berkinerja tinggi. Tentu
hal yang sama akan terjadi dimana nilai budaya organisasi akan berbeda dengan value in
actionnya.
Kedua adalah karena faktor titanic syndrome. Keberadaan organisasi pada syndrome
ini menurut Tjahjono (2011:10) adalah sikap mental patologis yang menghinggapi
pemimpin, anggota organisasi, bahwa organisasi tempat mereka bekerja tidak akan bisa
tenggelam atau bangkrut.Dalam organisasi publik, sikap ini lebih dilatar belakangi oleh
karena sifat plat merah yang melekat dalam organisasi publik. Dampak yang
memprihatinkan dari titanic syndrome tersebut menurut Tjahjono (2011:11) antara lain
adalah absennya semangat in search of excellent. Rendahnya motivasi untuk melakukan
yang terbaik, dan miskinnya etos continuous improvement.Disini lahir orang-orang yang
bekerja dibatasan standar, apa adanya, cenderung menghindari tantangan dan hal-hal baru.
Artinya akan banyak tercipta tipe-tipe anggota organisasi bertipe X, bukannya Y.
kewenangan memonopoli dalam sejumlah urusan dan layanan juga menjadi pemicu penting
hilangnya budaya kinerja tinggi dalam organisasi publik. Ketika masyarakat tidak bisa
memilih atau tidak punya pilihan lain, maka perilaku asal-asalan dalam bekerja jika tidak
dibarengi dengan pemimpin yang punya kepemimpinan akan menumbuh suburkan sikap
tidak profesional tadi sebagai seorang abdi.
Innovative Governance 3
Ketiga. Hal mendasar yang juga menjadi pemicu adalah seleksi pegawai yang tidak
selektif dan metode yang efektif. Kebanyakan seleksi seperti pada Pemerintah daerah dengan
menggunakan merital sistem memang baik dari sisi keadilan. Sistem ini sejauh ini
menghasilkan aparatur yang terseleksi secara ketat dan memenuhi rasa keadilan dalam hal
kesamaan peluang mendapatkan pekerjaan. Sayangnya teknis penerapan metode sistem ini
dilapangan masih tidak mampu menghadirkan abdi yang menurut Gallagher dalam Tjahjono
(2011:94) harusnya punya karakteristik berikut ini:
a. The strategist
b. The motivator for another
c. Team builder
d. The nimble
e. The customer champions
f. The passionate
g. The visionaries
Rekruitmen kebanyakan direcoki dengan pertanyaan yang sifat seleksinya hanya
menguji intelektualitas pegawai dengan tidak imbangnya porsi ujian seleksi yang dapat
menggali soft skill calon pegawai. Akibatnya kebanyakan ditemui seperti pada pemerintah
daerah, kebanyakan pegawai miskin inovasi, lamban bekerja dan hanya menunggu instruksi
atasan.
Keempat. Setelah rekruitmen merital sistem dengan segala aspek kelemahannya saat
ini yang perlu diperbaiki, Pendidikan prajabatan pada calon anggota organisasi (pegawai
negeri) juga tidak baik. Salah satunya dari hasil penelitian Fadli Novebriko tahun 2010
tentang efektifitas pelaksanaan Pendidikan dan pelatihan Prajabatan Gol III angkatan XVI
tahun 2010 bagi CPNS dilingkungan PemKab Solok, menunjukkan hasil bahwa banyak
faktor yang dapat dikemukakan tentang penyebab kelemahan dan tidak efektifnya diklat ini.
Mulai dari sumberdaya manusia sampai minimnya sumber daya keuangan.
Kelima. Salah satu pemicu terjadinya lack of innovation dalam organisasi publik
seperti pada Pemerintah daerahadalah karena sistem penilaian kinerja (DP3) pegawai yang
tidak efektif. Ada semacam tuntutan bagi pimpinan untuk stabil menaikkan nilai capaian
kinerja tahunan pegawainya. Padahal hakikatnya DP3 haruslah penilaian riil ditahun
penilaian. Apakah kinerja naik atau turun itulah penilaiannya.Tapi itu jarang diterapkan
diorganisasi publik (Pemda). Itulah yang disebut formalitas belaka.
Dari rekrutmen, cara kerja, dan penilaian yang tidak tepat maka apa yang ditulis
Taliziduhu Ndraha (2005:167) tentang sistem nilai pada organisasi publik seolah mendapat
pembenaran.Nilai yang menjadi karakteristik dominan dari organisasi publik adalah bangun
kekuasaan semudah mungkin. Gunakan kekuasaan seefektif mungkin. Pertanggungjawabkan
penggunaan kekuasaan seformal mungkin. Ini sebenarnya tidak terlepas dari apa yang
disebut pheffer dalam Robbin (2005:47) dimana jika ingin tau bagaimana sebuah desain
organisasi dirancang, tergantung pada preferensi dan kepentingan politik yang berkuasa,
sehingga organisasi publik kemudian menjadi arena politik.
Ketika lahir atau didirikan, sebuah organisasi publik memiliki tujuan melayani publik.
Dalam rangka itulah maka kemudian tujuan itu disajikan secara signifikan dan terspesialisasi
dalam sebuah visi organisasi. Didalam visi terkandung ideology inti yang merupakan jati diri
4 Innovative Governance
budaya dari organisasi tersebut. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin heterogen
dan kompleksnya manusia yang terlibat didalamnya dan proses yang dilakukan didalam
organisasi, dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka anggota organisasi mulai
bersentuhan dengan berbagai perilaku yang menggiring mereka pada merosotnya kinerja.
Sebutlah fenomena PNS yang sering bolos dari kantor di jam kerja. Duduk diwarung setelah
apel pagi dan baru menempati posnya melewati jam 9 pagi. Ideology inti kemudian dalam
implementasinya tidak sejalan. Budaya senyum sapa dalam keseharian kerja berubah
menjadi cemberut dan ketus. Ini membuat tampilan organisasi publik menjadi tidak baik
dimata publik. Organisasi membutuhkan transformasi budaya untuk mendapatkan
keselarasan itu.
Menghadapi hal tersebut, maka apa yang harus dilakukan?
Ini adalah pertanyaan singkat namun tidak mudah untuk dijawab. Banyak pilihan perbaikan
yang dapat dilakukan dalam meningkatkan budaya kinerja menjadi berbudaya kinerja tinggi.
Agar nilai budaya menjadi selaras dengan implementasinya. Memperbaiki sistem kerjakah,
atau orang yang bekerja didalamnya?. Menurut penulisdua-duanya sangat penting dan
terkait. Lalu bagaimana cara agar keduanya bisa dilakukan?. Mari kita berusaha melakukan
transformasi budaya pada organisasi publik, agar masyarakat merasa dilayani, bukannya
melayani. Artinya bagaimana agar ideology inti sama dengan value in action nya. Dimulai
dengan pertanyaan apa itu transformasi budaya?
Transformasi Budaya
Transformasi sering disebut sebagai fundamental change. Sebuah perubahan mendasar.
Artinya kita membongkar. Bukan membongkar nilai yang dilegalkan, namun membongkar
nilai illegal yang terjadi dan telah membudaya sehingga membuat kinerja aparatur menjadi
tidak tinggi. Menurut Tjahjono (2011;xiii) bahwa seperti dua sisi mata uang, maka berbicara
soal transformasi dalam organisasi maka akan melibatkan dua hal. Kepemimpinan dan
budaya organisasi. Dalam konteks kepemimpinan berbasis budaya kinerja tinggi ini,
pemimpin adalah sisi penting yang sangat menentukan proses transformasi itu. Sebagai inti
dari organisasi pemimpin akan menjadi penentu arah kebijakan dan manajemen organisasi
dalam melanggengkan jalan organisasi menuju transformasi budaya. Apakah perubahan
yang akan dilakukan terkategori seperti yang dikemukakan Tjahjono (2011:20) sebagai
change Euphoria atau asal berubah. Change Paradox atau seharusnya berubah tetapi
mengalami paradox. Ataukah Change Simplification atau asal berubah.
Transformasi budaya yang dikawal pemimpin hendaknya bukan terkategori tiga
perubahan tersebut. Perubahan yang dilakukan haruslah dengan cara yang benar dan metode
yang tepat. Perubahan ini hendaknya menghasilkan lahirnya anggota organisasi yang
berkualitasdengan paradigma kerja yang baru yang berkinerja tinggi.
Bagaimana Melakukannya?
Banyak cara untuk memulai melakukannya. Diantaranya adalah:
1. Butuh komitmen dari pemimpin selaku top manajemen
Sebagai pemegang kendali jalannya organisasi tentu komitmen pimpinan sangat
diperlukan. Tanpa kesungguhan pimpinan mustahil rangkaian transformasi ini bisa
dilakukan. Tidak hanya keinginan yang sungguh namun disertai komitmen untuk penuh
menjalankannya mulai dari planning hingga controlling pelaksanaan proses transformasi.
Innovative Governance 5
Komitmen pimpinan adalah harga mati. Maka bagi Pemerintah Daerah, sang Kepala
Daerah harus menjadi manajer handal yang mampu mendorong para pegawai berkinerja
tinggi. Untuk itu perlu pemimpin yang memenuhi teori kelebihan.salah satunya dengan
memperbaiki persyaratan pencalonan Kepala Daerah menjadi lebih maksimal. Dengan
begitu terpenuhilah kebutuhan teori kelebihan dan didapatkannya pemimpin yang tidak
hanya punya masa dan wibawa tapi juga punya skill sebagai manajer.
2. Inventarisir budaya organisasi anda (ideology inti)
Komitmen pimpinan harus dilanjutkan dengan melihat kembali visi,misi dan tujuan
organisasi. Untuk apa organisasi didirikan, apa saja kepribadian organisasi yang telah
dirumuskan sebelumnya. Sebagai pimpinan cara ini dapat dilakukan dengan membentuk
tim kerja yang seharusnya berisi seluruh stake holder organisasi. Buat catatan tentang apa
saja ideology inti yang telah dibuat dan disepakati sebelumnya
3. Inventarisir value in action diorganisasi anda
Ideologi inti adalah sesuatu yang ideal layaknya dunia utopis. Saatnya untuk melihat
realita yang terjadi dalam keseharian aktivitas dalam organisasi. Seperti apa sejujurnya
budaya kinerja anggota organisasi. Buat catatan tentang penyimpangan kinerja dari
ideology inti dan keselarasan kinerja dengan ideology inti. Catatan itu akan sangat
berguna dilangkah berikutnya.
4. Buat kembali ideology inti budaya yang tidak menyakiti anggota organisasi
Saatnya melihat dengan jelas. Yang seharusnya dilakukan dengan yang nyatanya
dilakukan. Buat pasangannya lalu berikan catatan solusinya. Kegiatan ini sebaiknya
jangan dilakukan oleh beberapa orang saja. Stake holder semua komponen organisasi
harus terwakili dengan adil dan tepat. Saat bertanya budaya kinerja yang bagaimana yang
anggota organisasi inginkan. Kemudian anda sampaikan budaya kinerja organisasi seperti
apa yang anda inginkan, atau seharusya dilakukan. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam
pertemuan seperti rapat khusus dan sejenisnya. Anda bisa meminjam metode SOAR yang
biasa dipakai dalam perencanaan strategis. Metode ini dikenalkan oleh Stavros,
Cooperider dan Kelly dalam AB Susanto (2011:25). Metode ini lahir sebagai kritikan
terhadap metode SWOT. SOAR menitik beratkan pada kekuatan, Peluang,Aspirasi dan
Hasil. Metode ini dapat dipakai untuk merumuskan budaya kinerja organisasi yang
diharapkan semua pihak. SOAR (Strenght, opportunity,aspiration, result), mungkin
membutuhkan biaya yang relatif besar dan tempat yang representatif namun untuk hasil
yang memuaskan cara ini sangat sebanding. Dari metode ini anda dapat melanjutkan
membuat ideology inti organisasi. Maka jika ada perubahan terhadap ideology inti,
sertakan juga hal itu dalam visi organisasi. Organisasi publik seperti pemerintah daerah
dalam hal ini organisasi perangkat daerahnya biasanya hanya membuat visi dengan
melibatkan beberapa orang saja. Saatnya sekarang melibatkan seluruh perwakilan lini
manajemen baik top,middle dan lower manajemen. Hasil nilai-nilai yang dirumuskan
(ideology inti) tentunya bukan sebuah ideology yang akan menyakiti anggota organisasi.
5. Rubah paradigma anggota organisasi anda dengan menanamkan ideology inti
barutersebut.
Saat didapatkan hasil kegiatan D, maka lakukan sosialisasi pada seluruh anggota
organisasi. Berikan motivasi dan izinkan kecanggungan dibulan-bulan pertama saat
budaya itu mulai diterapkan. Anggaplah sebagai masa sosialisasi. Karena budaya yang
dirancang adalah melalui kesepakatan seluruh stake holder, maka anggota organisasi pasti
akan melaksanakannya. Anda hanya harus lebih bersabar dibulan awal dan terus
6 Innovative Governance
mengontrol pelaksanaan dengan memotivasi Jangan terapkan sanksi atau ancaman
diminggu pertama karena akan membuat ketegangan pada anggota organisasi, sehingga
menimbulkan kecemasan dan perasaan tertekan.
6. Jika perubahan paradigma sulit dilakukan dengan persuasif, terapkan control ketat
Saat masa sosialisasi selesai. Anda tegaskan kembali bahwa pelanggaran akan disertai
sangki. Jika memungkinkan buat lembaga khusus atau bidang khusus yang mengontrol
pelaksanaan tersebut, seperti adanya komisi disiplin. Laksanakan dengan sungguh sanksi
atas pelanggaran secara proporsional. Kebanyakan pada pemerintah daerah pelanggaran
sering diabaikan tanpa sanksi yang jelas penegakannya meskipun telah diatur jelas dalam
Peraturan Pemerintah. Karena jika dibiarkan, artinya anda membiarkan pemusnah budaya
berkeliaran dalam organisasi anda dan itu merupakan penyakit menular yang berbahaya.
Kadang kala kebijakan tidak popular perlu dilakukan dalam penegakan sangsi.
7. Evaluasi kembali dan perbaiki ketidak sempurnaan secara berkala karena ini
tanggungjawab anda sebagai pemimpin
Tidak ada yang sempurna didunia selama itu temuan manusia. Maka selalu adakan
evaluasi berkala pada periode tertentu agar budaya kinerja selalu membaik dari waktu
kewaktu. Itulah saatnya anda dan organisasi anda disebut sebagai great organization
karena anggota organisasi anda memiliki high performing culture.and be the best.
Daftar Pustaka
Innovative Governance 7
Pembangunan Free Idea di Indonesia
Abstract:Indonesia as a multi ethnic country and the largest moslem country is a good
market in international politic with a dynamic political of origin whose indicate with a
succesful of election in 2004 past year ago. It is a beginning of succesful democratization in
Indonesia in main purspose and western world succesfulin generally, but all of the process
give some notes when the minority and majority groups showing his frigthness to thinks
another idea to implemented his idea.
It would be the end of democratization in Indonesia with more free of groups doing
some a freedom with unresponsible action without a good idea.
Pendahuluan
Bentuk terpenting dari trend negara modern saat ini adalah dikaitkannya negara modern
dengan demokrasi, kemudian produk ekonomi kapitalis dan ekonomi pasar. Hal inilah yang
menyebabkan perdebatan sengit antara para ilmuwan saat ini. Konsep awal demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu Demokratia. Demo berarti rakyat dan Kratos artinya
memerintah. Arti dasar kata demokrasi adalah sistem politik yang diperintah oleh rakyat,
bukan kalangan monarki atau aristokrat. Kelihatannya sederhana, tapi sebenarnya tidak.
Seperti disinggung oleh David Held, pertanyaannya bisa dialamatkan pada setiap frasa
berikut: Memerintah, Pemerintahan oleh dan Rakyat.
Kita mulai dari frasa rakyat, yaitu:
1. Siapa yang dimaksud dengan “rakyat” itu?
2. Dalam bentuk apa partisipasi rakyat?
3. Persyaratan apa yang harus dipenuhi untuk menjamin partisipasi rakyat?
Menyangkut frasaMemerintah, yaitu:
1. Sejauhmana lingkup memerintah itu? Apakah terbatas kepada bidang pemerintahan atau
ada demokrasi industri?
2. Apakah memerintah mencakup keputusan sehari-hari yang harus diambil oleh
pemerintah, atau hanya mengacu ke keputusan kebijakan utama saja?
Menyangkut frasa Diperintah oleh, oleh yaitu:
1. Apakah perintah “rakyat” harus dipatuhi? Bagaimanakah mengukur kepatuhan dan
pembangkangan?
Innovative Governance 9
2. Apakah ada kemungkinandimana beberapa “rakyat” bertindak diluar hukum, jika mereka
percaya bahwa hukum yang ada tidak adil?
3. Kapan Pemerintah Demokrasi menggunakan cara kekerasan terhadap mereka yang
dianggap menetang kebijakan pemerintah?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tadi beragam sesuai periode waktu dan
masyarakat. Misalnya, “rakyat” sebelumnya sudah menyadari bahwa mereka adalah sebagai
pemilik, baik kulit putih kalangan terdidik, rakyat awam, orang dewasa pria dan wanita. Pada
bidang politik saja, sedang di masyarakat lain, demokrasi meliputi kehidupan sosial lainnya.
Kemudian pertanyaannya adalah Rakyat mana yang harus diwakili, konsepsi rakyat
memiliki beberapa ke kompleksitasan keinginan yang bisa dijadikan isu-isu untuk kemudian
diformulasikan dalam bentuk hukum oleh negara. Hukum-hukum ini kemudian dijadikan
alasan dasar untuk membunuhi ide-ide lain yang bertentangan. Ataupun beberapa bentuk
ekstrim dengan kekerasan terhadap fisik.
Fenomena semakin banyaknya ide-ide ini harus ditindak lanjuti dengan kemampuan
menganalisis masalah-masalah yang benar-benar memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi dan
diperlukan waktu yang cepat untuk menilainya.
Demokrasi dan Free Idea Sebagai Isu yang Sangat Pragmatis
Ada beberapa hal yang harus dicermati dalam kehidupan berpolitik di dunia saat ini yaitu
kombinasi demokrasi dan kapitalisme global yang menyebabkan keamanan, kebebasan di
buat oleh satu pihak dengan cara pihak tersebut dengan mesin-mesin politik, ekonomi dan
budayanya bahkan mesin perangnya.
Pembedaan dari kombinasi demokrasi dan kapitalisme global ini sangat tipis hanya
dibatasi oleh nilai-nilai antara lain; nilai sosial, agama dan budaya. Arena demokrasi
selalunya dilandasi dengan tuntutan free idea, yang lebih mengedepankan isu-isu semasa,
seperti contohnya kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak), epidemic avian influenza (flu
burung), aliran agama Ahmdiyah yang dianggap sebagai ajaran sesat dan sempat menjadi
fatwa larangan dari MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Beberapa isu-isu semasa itu jika tidak mendapat tempat maka kelompok-kelompok
yang tidak puas akan bertindak anarkis dan cenderung lebih merusak, seperti yang terjadi di
Indonesia masa lalu saat banyaknya perusakan kantor KPUD (Komisi Pemilihan Umum
Daerah) di beberapa kota-kota di berbagai propinsi di Indonesia, bahkan ketidak percayaan
salah satu kandidat dalam pemilihan kepala daerah di Jakarta lalu sempat terjadi ketegangan
di KPUD Jakarta.
Masa demokrasi sudah mulai luntur ketika nilai-nilai hormat menghormati suatu
keputusan seseorang ataupun kelompok di batasi oleh kepentingan kelompok-kelompok lain
yang bersebrangan idenya dengan kelompok tersebut, tindakan-tindakan itu bisa bersifat
menghancurkan tatanan “free idea”.
Demokrasi dan liberalisasi sangat erat kaitannya, ada beberapa pihak yang
menyatakan bahwa pembebasan ide adalah suatu bentuk liberalisasi yang tidak bertanggung
jawab karena suatu ide tidak bisa dibatasi oleh frame kerangka berpikirmanusia tapi dibatasi
oleh nilai-nilai norma-norma yang legal di lingkungan manusia. Konsep “free market
idea”biasanya dilakukan oleh negara-negara maju atau negara Industri sebagai contoh USA,
10 Innovative Governance
mereka dianggap telah dewasa untuk berpikiran secara rasional yang seimbang, bahkan
negara adidaya ini sudah menyumbang lebih dari 1 milyar dolar untuk menegakkan
demokrasi di negara-negara dunia.
Pada zaman Yunani kuno sistem Demokrasi dengan acuan pasar idea telah digunakan
oleh pakar politik di zamannya dan pada zaman ini pasar demokrasi sangatlah berguna
berkemampuan sehingga pada zaman Yunani kuno kota-kota kecil dibawah kerajaan Yunani
kuno bisa disatukan dalam satu naungan tanpa membatasi ruang gerak kota-kota tersebut
karena demokrasi digunakan secara partisipatoris.
Sehingga pada zamannya bisa menumbuhkan rasa memiliki negara oleh rakyat secara
menyeluruh. Mereka telah mengenal sistem referendum (Pemilihan Umum) yang dilakukan
secara sederhana dengan melibatkan kelompok-kelompok kecil dari beberapa kelompok
kepentingan baik di tingkat lokal ataupun di tingkat pusat sehingga seluruh aspirasi
masyarakat dapat tersalurkan dengan baik (Deden Faturohman dan Wawan Sobari; 2004).
Dari beberapa Kelompok yang mengeluarkan ide tersebut biasanya terdiri dari
Kelompok Kepentingan dan Kelompok Penekan yang selalu memberikan isu-isu dan ide-ide
untuk melakukan dorongan dan tekanan terhadap para administrator dan legislator, biasanya
mereka bergerak dalam bentuk-bentuk payung hukum, contohnya adalah para NGO (Non
Government Organisasi) atau kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang bergerak di
aspek-aspekdan sendi kehidupan dan selalu menjadi pihak-pihak yang mencetuskan ide-ide
dan dorongan.
Indonesia sebagai negara yang besar menganut suatu sistem demokrasi yang
dilatarbelakangi faktor budaya bangsa memiliki kekuatan utama dalam mewujudkan “ free
idea” hal ini dikaitkan dengan kemampuan kekuatan budaya-budaya dari ethnik dan suku
yang ada di Indonesia.
Gejala-gejala dalam free idea ini dimulai dengan:
a. “Free to Speech” (Kebebasan dalam mengungkapkan pendapat),
b. “Free to Move” (Dapat bergerak dengan leluasa) kemudian,
c. “Free to Think” (Bebas untuk berpikir).
Kode etik dalam kebebasan selalu ada nilai batas yaitu tidak melanggar hak asasi
manusia dan selalu bertanggung jawab dalam menjalankan kebebasan tersebut. Jika kode
etik itu dilanggar maka bukanlah bagian dari konsep free idea dalam negara demokrasi.
Indonesia saat ini baru mengalami gejala bebas untuk berbicara dan leluasa untuk
bergerak namun belum bisa mengamalkan bebas untuk berpikir hal ini dapat kita lihat dari
ke hampaan hukum pemerintah saat bertemu dengan kelompok yang dominan, seolah-olah
tidak ada ruang untuk hukum jika suatu kegiatan yang melawan hukum, jika dilakukan
beramai-ramai pemerintah seolah-olah tidak berani untuk menindak secara tegas, dan
kemampuan pemerintah untuk bertindakpun dibatasi dengan kecacatan oknum-oknum
negarawan dalam mengambil isu-isu yang berkembang. Saat ini negara seolah-seolah
sebagai negara dengan hukum rimba, siapa yang paling dominan dialah yang menjadi
pemenang dan berhak untuk menguasai dan bertindak secara sewenang-wenang.
Demokrasi yang diterapkan pada saat Yunani kuno adalah pengambilan keputusan
dilakukan secara bersama-sama, melalui kelompok-kelompok kecil dan mengutus seorang
Innovative Governance 11
senat untuk mengemukakan aspirasinya ke negara, jadi senator ini hanyalah pembawa pesan.
Inilah demokrasi “asli” yang dulu dijumpai di Yunani kuno (Deden Faturohman dan Wawan
Sobari; 2004). Semua warga negara berhak mengemukakan ide dan pemikirannya, termasuk
kaum minoritas bahkan kaum yang terjajah sekalipun masih ada kebebasan berekspresi.
Namun saat ini kebebasan dalam berekspresi ini hanyalah dimiliki oleh para elit-elit politik
dengan mengatas namakan rakyat, demokrasi ini merupakan ciri demokrasi liberal dimana
kepentingan rakyat di dropping dari atas melalui jargon-jargon politiknya yang tragisnya
diangkat oleh rakyat.
Sehingga mulai terbelunggulah idea-idea dari rakyat, yang menyebabkan kemampuan
rakyat untuk berekspresi mulai terbatasi dan kemudian aspirasi tersebut dikontrol penuh oleh
kemampuan para jargon-jargon politik Indonesia. Isu-isu mengenai kenaikan BBM, yang
belum lama ini dinaikkan oleh Pemerintah Indonesia merupakan pembatasan free idea dari
rakyat. Banyak para jargon-jargon politik Indonesia melakukan pemotongan idea-idea untuk
menaikkan harga BBM namun itu bukanlah kehendak rakyat sebagai bagian dari akar
rumput (grass root). Banyak masyarakat Indonesia mengalami penderitaan dan mulai
menurunnya angka kesejahteraan rakyat Indonesia.
“Kebebasan mengkritik” memang pada waktu sekarang merupakan semboyan yang
paling menjadi mode dan semboyan, yang paling sering digunakan dalam perdebatan-
perdebatan antara kaum sosialis dengan kaum demokrat semua negeri. Sepintas kilas, sukar
dibayangkan adanya sesuatu yang lebih aneh daripada penunjukan-penunjukan khidmat dari
salah satu pihak yang berdebat mengenai kebebasan mengkritik. Apakah dalam partai-partai
yang maju ada terdengar suara-suara menentang hukum konstitusional kebanyakan negeri
Eropa yang menjamin kebebasan ilmu dan penelitian ilmiah ? “Nampaknya ada sesuatu yang
tidak beres di sini!”—demikianlah akan komentar orang luaran yang belum menangkap
sepenuhnya hakekat perbedaan-perbedaan pendapat di antara orang-orang yang berdebat itu,
tetapi telah berulang-kali mendengar semboyan yang menjadimode ini di setiap
persimpangan jalan. “Semboyanini, rupanya, salah satu semboyan dari kata-kata yang sudah
lazim yang, seperti nama julukan, menjadi sah karena kebiasaan dan hampir menjadi nama”.
Sebenarnya, bukanlah rahasia bahwa dalam sosial-demokrasi internasional dewasa ini
terbentuk dua aliran. Perjuangan di antara kedua aliran ini kadang-kadang menyala berkobar-
kobar, dan kadang-kadang mereda dan membara di bawah abu “resolusi-resolusi gencatan
senjata” yang mengesankan. Berupa apa aliran ‘baru” ini, yang mengambil sikap “kritis”
terhadap Marxisme “usang yang dogmatis”, dengan cukup tepat telah dinyatakan oleh
Bernstein dan ditunjukkan oleh Millerand.
Sosial-demokrasi haruslah berubah dari partai revolusi sosial menjadi partai
demokratis dari reform-reform sosial. Bernstein telah mengelilingi tuntutan-tuntutan politik
ini dengan sederetan argumen dan pertimbangan “baru” yang disusun dengan cukup
terkoordinasi. Kemungkinan meletakkan sosialisme pada dasar ilmiah dan kemungkinan
membuktikan dari sudut konsepsi materialis tentang sejarah bahwa sosialisme adalah perlu
dan tak terelakkan diingkari; fakta meningkatnya kemiskinan, proletarisasi dan menajamnya
kontradiksi-kontradiksi kapitalis juga diingkari. Konsepsi “tujuan terakhir” itu sendiri
dinyatakan sebagai tidak beralasan, dan ide tentang diktatur proletariat ditolak dengan
mutlak; pertentangan secara prinsip antara liberalisme dengan sosialisme diingkari; teori
12 Innovative Governance
perjuangan klas ditolak dengan dalih bahwa ia seakan-akan tak dapat diterapkan pada
masyarakat yang betul-betul demokratis, yang diatur menurut kehendak mayoritas, dsb.
Kekerasan bukan hanya monopoli politikus dan kelompok yang terbiasa dengan
premanisme. Ada pula kecenderungan beberapa kelompok yang mengatasnamakan tatanan
moral menghalalkan kekerasan. Dapatkah atas nama tatanan moral menggunakan kekerasan?
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Rakyat kan sama saja dengan massa, jadi orang
banyak boleh menggunakan kekerasan.
Lalu apa artinya negara hukum? Habis, aparat tidak menindaklanjuti keluhan rakyat
dan tidak memberi cukup perlindungan dan rasa aman. Tidak efektifnya aparat biasanya
dikaitkan dengan dua alasan. Pertama, personel kurang, tempat tidak terjangkau; sedangkan
alasan yang memicu peradilan massa, kekerasan massa adalah tuduhan bahwa petugas korup,
terlibat, melindungi pelaku kejahatan dan sebagainya.
Kedua, alasan ini biasanya dipakai untuk alibi penggunaan kekerasan massa. Jadi
kekerasan berperan ganda sebagai alat kritik efektif terhadap aparat, serta untuk
meningkatkan kekuatan tawar kelompok itu. Tetapi bukankah kekerasan semacam itu
mengkhianati demokrasi itu sendiri, suatu bentuk pemerkosaan ruang publik?
Dengan memberikan sedikit kebebasan berpendapat bukan berarti lingkup publik bisa
dibersihkan dari tindak kekerasan. Kekerasan dalam berbagai bentuknya tetap ada dan akan
tetap terjadi, bahkan dalam wicara. Memang benar, wicara merupakan alternatif terhadap
kekerasan fisik, tetapi tidak merupakan alternatif terhadap kekerasan simbolis yang masih
sering terjadi di dalam wacana.
Demagogie (wacana politik untuk tujuan "mengobok-obok", memancing, serta
mengeksploitasi hasrat dan perasaan massa), kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan
provokasi merupakan bentuk-bentuk kekerasan simbolis ini bermuara pada kekerasan fisik.
Bagaimana kalau pelaku kekerasan simbolis membela diri dengan mengatakan, sejauh masih
merupakan wacana, itu tidak bertentangan dengan demokrasi? Ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, ada wacana yang sudah merupakan tindakan. Orang yang
berbicara di depan massa di dekat gudang beras milik seseorang/perusahaan tertentu dengan
mengatakan, krisis ekonomi yang menyebabkan kekurangan pangan karena ada segelintir
orang menimbun bahan-bahan pokok, bukan lagi sekadar wacana. Wicara dengan retorika
seperti itu sudah merupakan tindakan menghasut massa untuk melakukan penjarahan.
Kedua, bisakah seorang mahasiswa dari sebuah universitas yang memberlakukan
kebebasan berbicara, suatu hari mengundang penceramah yang akan berbicara menentang
kebebasan berbicara? Bila universitas itu memandang kebebasan berbicara sebagai prinsip,
seharusnya membolehkan kedatangan pembicara itu, karena ketidaksetujuannya masih
berupa wacana. Tetapi kalau kebebasan berbicara menjadi tujuan, masuk akal kalau orang itu
dilarang. Apalagi kalau anti-kebebasan berbicara dari pembicara itu menjadi praktik
hidupnya. Bila demokrasi merupakan prinsip politik, seharusnya segala bentuk wacana
politik dan aliran tidak bisa dilarang. Namun, perlu ada batas-batas yang harus ditetapkan
untuk melindungi kerentanan demokrasi. Dua catatan kritis itu perlu dipertimbangkan.
Hampir tidak ada rezim politik, bahkan yang paling antidemokrasi, yang tidak
memoles diri sebagai rezim demokrasi. Dari sejarah, kita dapat belajar, demokrasi bukan
sistem politik instan, yang akan terwujud begitu dikehendaki. Dunia Barat sejak mengenal
Innovative Governance 13
demokrasi berulang kali mengalami kemunduran dalam menerapkannya. Setelah enam abad
demokrasi, di Yunani, kemudian di Roma, kemunduran terjadi dalam bentuk kekaisaran.
Sejak itu, para diktator silih berganti memerintah rakyatnya dengan tangan besi. Padahal,
sudah bergenerasi-generasi mereka terbiasa berdebat bersama tentang apa yang hendak
dicapai dalam kehidupan sosial politik. Ternyata, tradisi itu tidak cukup untuk melindungi
mereka dari kecenderungan menggunakan kekerasan. Apakah ini suatu pembenaran terhadap
kekerasan dan kekacauan di Indonesia setelah menerapkan sistem demokrasi? Tidak! Tetapi
untuk menjawab romantisme yang mendambakan kembali masa rezim Orba, karena
keamanan dan stabilitas dijamin, orang lupa akan harga yang harus dibayar.
Dalam dunia politik yang menjadi momok selama iniadalah sarana politik itu sendiri
yaitu wicara. Ketika penguasa adalah tunggal, tidak ada lagi tempat bagi wicara. Tiada lagi
debat politik, dengan demikian institusi demokrasi dikosongkan dari isinya. Lalu seni wicara
hanya berusaha menyesuaikan diri sehingga kemunafikan, intimidasi, sindiran mewarnai
wacana. Orang cenderung bersembunyi di balik kalimat-kalimat yang kabur, kata-kata yang
tidak jelas, istilah-istilah yang mendua, gaya bahasa yang merendah, padahal ingin
menunjukkan yang lebih. Model bahasa seperti ini menjadi alibi bagi tuntutan penerapan
wacana dalam situasi sekarang. Ini adalah cara bagaimana politikus dengan mudah
menghindar dari tanggung jawab atas pernyataannya. Suasana politik semacam itu amat
subur bagi upaya menjilat penguasa, kebohongan dan kesaksian palsu. Wicara menjadi
manipulasi.
Namun, apakah berarti dalam demokrasi tidak ada lagi manipulasi wicara? Politik
tidak bisa dilepaskan dari retorika, seni membujuk rakyat, yang tentu saja menjadi bagian
manipulasi. Manipulasi wicara dan sistematisasinya, terutama sepanjang abad XX,
merupakan hasil ketegangan antara keinginan menggalang sebanyak mungkin pendapat
masyarakat melalui sistem demokrasi dan ketidakmungkinan sistem politik mewadahi dan
menyalurkan pendapat-pendapat itu. Pelembagaan manipulasi tidak lepas dari pandangan
bahwa rakyat sendiri ingin diyakinkan. Jacques Ellul pernah mengatakan, bangsa Jerman
pada masa Hitler dalam arti tertentu tidak menolak dimanipulasi melalui propaganda Nazi.
Pada rezim demokratis sedikit terjadi kekerasan fisik tetapi banyak tekanan psikologis.
Kekerasan simbolis yang dilakukan melalui wicara dan manipulasinya menggantikan
kekerasan fisik. Di Indonesia kedua bentuk kekerasan itu masih digunakan.
Interogasi terhadap beberapa orang yang terlibat kerusuhan yang disertai pembunuhan
anggota suku lain, etnis lain, atau pemeluk agama lain di Indonesia, akhir-akhir ini
menunjukkan, mereka tidak hanya ikut-ikutan. Melihat ada kesempatan atau kemungkinan
bagi mereka untuk menolak terlibat, jelas tidak terpaksa. Mereka sendiri yakin akan
legitimitas dari apa yang dilakukan. Kekerasan dan pembunuhan adalah akibat keyakinan
sempit. Keyakinan itu terbentuk melalui pengaruh wicara dari luar, wicara yang
dimanipulasi, bentuk kekerasan simbolik. Biasanya elite politik yang berkepentingan.
Kapan politik intimidasi dan kekerasan akan berakhir?
Pengamat pendidikan, Mochtar Buchori, dalam seminar pendidikan di Yogyakarta
akhir Agustus 2000 sempat mengatakan, perbaikan itu baru akan terjadi pada generasi
politisi mendatang. Generasi politisi sekarang ini masih mengutamakan kepentingan diri dan
kelompoknya. Agar politisi mempunyai wawasan negarawan yang mengutamakan
kepentingan semua warga negara tanpa diskriminasi agama, suku, dan kelompok, dibutuhkan
14 Innovative Governance
pendidikan dasar yang kuat. Sejak pendidikan dasar peserta didik harus dibiasakan
menghormati pluralisme, dididik untuk menerima perbedaan dan dilatih untuk mampu
mengelola konflik. Diberi kesempatan untuk mengembangkan diri terutama dalam hal
kejujuran serta percaya kepada sesamanya. Dengan demikian, bisa berkembang dalam
dirinya rasa solidaritas dan empati, keprihatinan yang harus tumbuh dalam politik.
Kehidupan Mahasiswa dan Fenomena Free Idea
Kehidupan mahasiswa sebagai pencetus moral dan kelompok pendorong dalam kehidupan
bermasyarakat selalunya dimanfaatkan oleh sekelompok golongan politik untuk menjadikan
mahasiswa sebagai alat terdepannya. Ada beberapa fase seorang mahasiswa ini bisa menjadi
alat politik dari para penguasa politik. Dan terkadang menjadi pencetus ide-ide bebas saat ini
sudah tereduksi dengan semakin banyaknya mahasiswa pelangi. Di bawah ini akan saya
uraikan bagaimana tahap-tahap mahasiswa bisa menjadi bawahan partai.
Pada tahap kronik mahasiswa ini terlibat dari segi pemikiran , tenaga dan bahkan tak
jarang material juga. Dalam ilmu organisasi seseorang akan mencapai N-Ach (Need-
Achievement) dalam beberapa phase, mahasiswa seperti inilah yang ingin mencapai N-Ach
pada tahap berikutnya yaitu kekuasaan tanpa harus melalui alur fase yang lain, mereka
bermimpi jadi penguasa dengan mengikuti apa kata si politisi (ibarat kerbau yang dicucuk
hidungnya dia ikuti semua kata majikannya), lihat kasus aktivis 98 yang jelas2 dulu
menghardik partai penguasa pada akhirnya malah berafiliasi dan bahkan untuk mencapai
rangking tertentu dia justru menghalalkan segala cara sama seperti yg pernah di perjuangkan
dahulu. Pada phase ini si mahasiswa sudah lupa diri, yang dia perjuangkan power tends to
corrupt (Lord Acton) sudah menjadi kebiasaan dan kelaziman. Coba kita perhatikan
beberapa organisasi besar kemahasiswaan di Indonesia yang dulu begitu dihargai sekarang
jadi bulan-bulanan para politikus. Sebagai kasus organisasi kemahasiswaan salah satu agama
terbesar di Indonesia yang saat ini terpecah, ini ulah siapa kalau bukan politikus. Mereka jadi
lebih terfragmentasi bahkan lebih parahnya ke masing-masing pecahan organisasi
pecahannya ini menyatakan bebas afiliasi politik, tapi pada akhirnya para elit mahasiswanya
justru menjadi pejabat politik ataupun pejabat publik ada pemerintahan Megawati, Gus Dur
bahkan pada era SBY ini.
Secara psikologis mahasiswa pada phase ini bermimpi dengan mengikuti beberapa
organisasi kemahasiswaan yang netral justru sebagai alat untuk mencapai kekuasaan di
kemudian hari (alias batu loncatan), jadi pada phase ini dia terlibat secara langsung dan tidak
langsung terhadap kelompok yang akan dicapainya dikemudian hari. inilah phase yang
paling berbahaya karena si mahasiswa alias si aktivis ini, hidup dalam dilema. di satu sisi dia
harus memperjuangkan organisasinya dan di sisi lain dia harus memperjuangkan posisinya di
masa depan terhadap kelompok politiknya. kalau dalam dunia politikdipanggil dengan
dualismakelompok kepentingan (lihat Giddens dalam bukunya world political system).
Kelompok apatis ini adalah kelompok yang paling apatis (tidak peduli dengan keadaan
sekitar) terhadap kelompok2 masa/politik. nah kalau kelompok apatis ini dia tidak peduli
dengan keadaan sekitar, dia hanya peduli dengan apa yang dia buat saat ini, tapi jangan salah
kelompok ini adalah kelompok yang bisa setiap saat tersadar dan bisa lebih galak dari
kelompok2 yang lain.
Innovative Governance 15
Ada beberapa alternatif penyelesaian agar aktivis mahasiswa tetap pada jalur netral;
perlu dibentuk yang namanya dewan pengawasan mahasiswa terhadap aktivitas-aktivitas
kelompok, dewan pengawasan ini boleh menilai seseorang ada atau tidak ada dalam jalur
politik tanpa interest tertentu. Kemudian organisasi-organisasi kepemudaan di partai-partai
itu harus dibubarkan yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR, karena dari
studi-studi kepartaian yang ada di negara barat tidak adapartai yang memiliki sayap politik
kepemudaan dalam partai, kecuali pada studi kepartaian di eropa timur zaman USSR
(Komunis Sosialis).
Sosial kontrol yang kuat, sistem norma dan nilai sosial dalam kehidupan masyarakat
Indonesia belum sampai pada tahap ini, sistem kita sedang mencari nilai dan norma yang
sesuai, ini bisa kita lihat dari kasus2 kurangnya perhatian rakyat, mereka kebanyakan hanya
melihat kepada figur pemimpin partai bukan pada obyek yang akan dia buat. jadi si
mahasiswa yang memiliki kriteria di 3 phase tadi akan malu sendiri jika dia melanggar
kontrol sosial dengan ikut serta dalam partai politik lainnya.
Free Idea dalam Konsep Negara Madani
Welfare State sebagai suatu konsep Negara yang sejahtera (Madani) dalam segala hal
merupakan konsep Negara yang memiliki kedinamisan yang dijalankan secara harmonis
yang memberikan dampak pada meningkatnya kesejahteraan rakyat semesta. Sehingga
welfare state ini lebih mengedepankan faktor kesejahteraan dibandingkan faktor ke stabilan
dari era suatu politik.Politik tersebut juga perlu diawali dengan keinginan yang baik sehingga
mampu untukmenerjemahkanisu-isu dan kepentingan kelompok-kelompok kepentingan.
Free idea adalah sebagai alat untuk mengemukakan suatu keinginan seorang individu
dengan cara berpikir secara praktis tentang keadaan dan kemampuan seorang itu untuk
memenuhi basic needs-nya untuk mendapat persetujuan dari penguasa (authority). Free Idea
ini disalurkan melalui keterwakilan dari suaranya di parlemen.
Masyarakat Madani yang berhasil adalah masyarakat madani yang harmonis dan
dinamis, sehingga masyarakat ini punya alat evaluasi isu dan juga formulasi isu. Sehingga
isu-isu dan kepentingan-kepentingan ini tidak hanya akan dikooptasi oleh kepentingan
penguasa tapi juga dapat didistribusikan dalam bentuk-bentuk kelompok-kelompok diskusi
kecil yang membahas tentang isu-isu terkini, sekaligus pembahasannya. Masyarakat semakin
besar maka masyarakat tersebut baik juga pola pendidikannya, bangsa Indonesia memang
diakui sebagai bangsa besar namun memiliki kelemahan dalam menegakkan “benang” yaitu
ujung tombak pembangunan yaitu Human Resouce yang alat ukurnya adalah Pendidikan
yang masih berkekurangan sehinga masih sulit untuk menegakkan “benang” ini tanpa
bantuan pendidikan yang memadai. Karena munculnya ide-ide baik adalah dari pola
pendidikan yang baik juga menentukan negara tersebut sejahtera ataupun tidak.
Penutup
Fenomena free idea yang saat ini belum terlalu trend di kalangan akademisi dan praktisi
masih sekedar wacana yang silih berganti hendaknya di biasakan. Karena bentuk kebebasan
berpikir tanpa harus dihantui rasa takut mendalam oleh beberapa kalangan penguasa menjadi
alinea baru terbentuknya manusia-manusia Indonesia yang dapat di unggulkan.
Pembangunan pola berpikir yang terbebas dari bentuk penindasan dan kekerasan
adalah sesuatu hal yang sangat jarang ditemui oleh para kalangan akademisi, hal ini
16 Innovative Governance
ditunjukan dengan jarangnya para akademisi menemukan hal baru yang bersifat konsep
mendalam tentang arti keilmuannya. Paradigma yang dibangun saat ini hanya berkisar pada
tujuan praktis dan ekonomis sehingga orang sulit untuk lebih kreatif dan inovatif.
Pembangunan free idea ini haruslah dibangun saat manusia mulai beranjak dewasa namun
harus dengan penuh kebertanggung jawaban yang sangat tinggi, sehingga tidak menyulitkan
para pemuka free idea ini dikemudian hari.
Daftar Pustaka
Almond, Gabriel A., dan Powell , Jr., Bingham G., Comparative Politics Today: A world
View, New York, Harper Collins College Publisher, 1996.
Lane, Robert E,. Political Ideology, New York, the free Press, 1962.
Roskin, Michael G. (et al.), Political Science,- An Introduction, New Jersey, Prentice Hall
Inc., 1995.
Faturohman., Deden dan Sobari., Wawan Pengantar Ilmu Politik, Penerbitan Universitas
Muhamaddiyah Malang ., 2004
American Journal, The Multidimensional Crisis and Inclusive Democracy, American
Journal, http://www.inclusivedemocracy.org/journal.
Innovative Governance 17
Quo Vadis Pendidikan Demokrasi Di Indonesia
Innovative Governance 19
Pendahuluan
Istilah demokrasi makin didengungkan di berbagai negara dunia ketiga, baik di tingkat
wacana maupun level gerakan sosial. Sebagai sitem politik, demokrasi telah menempati
stratum teratas yang hampir diterima oleh berbagai Negara, karena dianggap mampu
mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial politik, baik yang melibatkan kepentingan
antar individu dalam masyarakat, huubungan antar masyarakat, masyarakat dan Negara, serta
hubungan antarnegara di dunia. Jatuhnya ideologi komunisme di uni Sovyet di tahun 1989,
setidaknya, telah menjadi momentum penting bagi perluasan demokrasi sebagai wacana
alternatif sistem politik.
Meluasnya ide-ide demokrasi itu terus diadaptasi oleh Negara-negara di dunia.
Demokrasi dipandang sebagai tipe ideal dan memiliki level penghargaan yang besar bagi
individu dalam proses politik. Semua anggota masyarakat memiliki hak yang sama dalam
bidang sosial, ekonomi maupun politik. Demokrasi membuka kesempatan yang luas bagi
rakyatnya untuk berpartisipasi secara aktif.Namun pada prakteknya kita masih banyak
menjumpai kondisi demokratisasi di Indonesia belum berjalan secara optimal. Parta politik
yang seharusnya mampu menjadi institusi yang menjembatani dalam proses pendidikan
politik dan demokrasi, ternyata belum sesuai dangan yang diharapkan. Hal lain yang menjadi
masalah adalah masih adanya kekeliruan dalam memaknai pemilu dan juga kualitas pilihan
masyarakat belum diringi dengan kesadaran yang kritis.
Permasalahan
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana idealisme demokrasi itu berjalan di Indonesia;
kemanakah arah (quo vadis) demokrasi Indonesia ke depan, ditinjau dari partai politiknya,
makna pemilu dan rendahnya kualitas pilihan masyarakat?
Idealisme Demokrasi
Esensi dari demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara yaitu; eksekutif, yudikatif dan legislatif, yang
saling independen dan sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis
lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan
saling mengontrol jalannya kepemerintahan.
Demokrasi Di Indonesia
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa demokrasi jika ditafsirkan secara
bebas, merupakan bentuk kedaulatan di tangan rakyat. Berkaitan dengan cara
mengorganisasi masyarakat modern, demokrasi pada dasarnya diletakkan melalui bentuk
perwakilan (representation). Aspirasi atau kepentingan masyarakat banyak tidak bisa
diformulasikan secara massif, namun melalui mekanisme perwakilan organisasi sosial
politik. Ide pendirian partai-partai politik untuk terlibat dalam pemilu, kemudian berfungsi
mendudukkan wakil-wakilnya di parlemen, tidak lain merupakan bentuk demokrasi pada
level procedural dan formal. Selanjutnya perwakilan dan rekruitmen politik ini akan mengisi
pada formasi kekuasaan (eksekutif) atau pemerintahan yang akan menelurkan kebijakan-
kebijakan publik. Pada titik inilah kemudian muncul persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan demokrasi, bahwa demokrasi tidak ayal dituduh sebagai politik yang elitis, di mana
20 Innovative Governance
representasi berarti membatasi aspirasi rakyat secara massif, yang membuka peluang bagi
permainan elit, tanpa ada kontrol publik secara terbuka.
Negara lebih dominan di dalam proses politik, di mana logika top down telah
melemahkan rakyat. Simbol perwakilan dalam sistem parlemen juga dianggap telah gagal
memfungsikan dirinya secara artikulasi atas kepentingan rakyat. Lemahnya lembaga kontrol
inilah menjadi penyebab yang sangat mendasar atas meluasnya praktik-praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Gejala matinya nilai-nilai demokrasi juga tercermin pada lemahnya sikap kritis
masyarakat di dalam merespon persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat.
Persoalan mendasar yang patut menjadi perhatian adalah matinya stuktur kesadaran di
tingkat masyarakat bawah (grass root). Lembaga-lembaga social di tingkat lokal, yang
terbukti memiliki pengalaman langsung bagi penerapan nilai-nilai demokrasi justru
dimatikan oleh Negara.
Alfian M. menyebutkan1 bahwa proses demokratisasi bila salah langkah mampu
menyedot potensi ekonomi yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lebih luas
terhambat gara-gara tersedot untuk membiayai proses politik. Dan ongkos politik itu
ditanggung rakyat secara “sukarela” (atau “paksa rela”?) mengorbankan segenap potensi
ekonominya untuk berpolitik.
Selanjutnya penulis akan mencoba menyorot beberapa hal yang dapat dijadikan
sebagai tolak ukur atas tercapainya sebuah tatanan demokrasi sekaligus dapat menjadi hal
yang dapat dikatakan sebagai problema untuk mewujudkan tegaknya demokrasi di
Indonesia, antara lain:
1. Partai Politik
Dalam legitimasi sistem politik demokratis, partai politik menduduki posisi yang amat
sangat penting. Keberadaan partai politik akan menjadi pendamping pemberi legalitas
bagi pembentukan pemerintah dan kebijakan politik atas politik nasional.
Menengok dari sejarah, partai-partai politik Indonesia telah mengalami beberapa kali
restrukturisasi. Perkembangan partai politik di Indonesia dapat digolongkan dalam
beberapa periode perkembangan, dengan setiap kurun waktu mempunyai ciri dan tujuan
masing-masing, yaitu : Masa penjajahan Belanda, Masa pedudukan Jepang dan masa
merdeka.
a. Masa Penjajahan Belanda
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu
itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa
itu semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan
Muhammadiyah, ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat
Islam, PNI dan Partai Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional
untuk Indonesia merdeka.
1
Alfian M dalam Riant Nugroho, Reinventing Indonesia, Jakarta, Media Komputindo, 2001 hal.
317
Innovative Governance 21
b. Masa Pendudukan Jepang
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi
kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang lebih banyak bergerak di bidang
sosial.
c. Masa Merdeka (mulai 1945)
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk
mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah partai-partai politik Indonesia.
Dengan demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.
Pertama pada 1955, Indonesia memasuki kehidupan politik yang sebenarnya dalam
alam demokrasi, dengan diselenggarakannya pemilu pertama kali sejak proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Tiga puluh partai politik bersaing
memperebutkan kursi di parlemen. Konon, menurut saksi sejarah, pemilu kala itu
disebut-sebut sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia sepanjang sejarah.
Hal itu dikarenakan bangsa kita baru saja mengalami eforia politik, dan seluruh
bangsa bersaing dalam rasa senasib sepenanggungan. Semua berlangsung secara
terbuka dan fair, meski sarana komunikasi belum secanggih saat ini. Sampai akhirnya
pemilu 1955 ini memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan
PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai
politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam
kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Tetapi pemilu kala itu membawa
sebuah konsekuensi bahwa kekuatan politik kala itu menjadi terpecah dalam partai-
partai dan sangat sulit diakurkan.Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan
baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet
jatuh bangun dan tidak dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya
pembangunan tidak dapat berjaan dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer
diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang mewakili masa masa demokrasi terpimpin.
Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan
di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan
NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI.
Pada masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan
bertambah kuat. Sampai akhirnya kekuatan politik Indonesia pada awal 1965 berpusat
pada tiga kekuatan utama; Partai Komunis Indonesia, bung Karno dengan PNI nya,
dan Angkatan Darat dengan Golkar-nya.
Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih
leluasa dibanding dengan masa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini
adalah munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar).
Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang partai diikuti oleh
3 partai politik besar yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.
Pada tahun 1973Soeharto berhasil mendorong 9 partai politik berfusi dua. Hanya satu
yang dipertahankan, yakni Golkar, yang notabene dibentuk oileh Angkatan Darat dan
pendiri Orde Baru. Empat partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat
Islam dan Perti bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai
lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI
22 Innovative Governance
(Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bergabung menjadi Partai Demokrasi
Indonesia. Dengan demikian terjadi segitiga dalam politik kepartaian Indonesia; PPP,
Golkar dan PDI. dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1999.
Pada tahun 1999 Presiden Habibi membebaskan kehidupan kepartaian Indonesia yang
menghasilkan Pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestean dan pada akhirnya tidak
menghasilkan satu pemenang mayoritas (lebih dari 50%) dan dalam pemerintahan
mendorong terbentuknya pemerintahan koalisi yang paa gilirannya mendorong ke
bawah kinerja pembangunan. Dan terus berlanjut hingga pemilu tahun 2004 dan 2009.
Dari perjalanan sejarah partai di Indonesia seperti yang tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahma keberadaan partai politik dalam alam demokrasi adalah untuk
mengartikulasi dan mengagegrasi isu-isu politik yang ada. Di sini bisa difahami
pernyataan para pakar bahwa sistem satu partai atau adanya satu partai yang sangat
dominan sekalipun satu bangsa menganut doktrin demokrasi, sebenarnya justru tidak
demokratis. Artikulasi dan agegrasi kepentingan massa yang didominasi oleh satu
partai mengakibatkan fungsi partai sebagai agen sosialisasi menjadi agen indoktrinasi
politik.
Tumbangnya rezim orde Baru memungkinkan diselenggarakan sistem pemilu multi
partai, maka sejak itu gerakan transisi ke demokrasi mulai menemukan
momentumnya. Masyarakat Pasca reformasi mengaharapkan hadirnya partai-partai
baru sebagai prakondisi bagai terciptanya sistem pemerntahan demokratis, sehingga
akan tercipta iklim demokrasi yang sehat. Sehingga banyak pekerjaan yang harus
dikerjakan partai. Dan bila dilaksanakan partai hasilnya akan lebih maksimal, karena
memiliki kekuatan massa dan kekuatan politik.
Partai politik merupakan elemen yang bertugas memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat. Tetapi dalam perjalannnya partai politik yang ada lebih mementingkan
politik kekuasaan ketimbang pendidikan politik rakyat, sehingga pemilu bukan
menjadi sarana pendidikan politik, melainkan hanya untuk memperoleh dukungan
suara. Partai politik terkesan hanya memperhatikan masyarakat di saat kampanye atau
menjelang pesta demokrasi, setelah itu dilupakan dan dibubarkan tanpa ada yang
namanya proses evaluasi. Maka akhirnya terjadi jarak cukup lebar antara rakyat
dengan partai politik dan politisi yang menjadi wakil rakyat di DPR.
2. Makna Pemilu
Pertanyaan makna pemilu sangat mendasar untuk dikedepankan, mengingat serangkaian
pemilu yang diselenggarakan selama ini lebih banyak bersifat ritual-kosmetis belaka,
alias tidak membawa banyak perubahan bagi warga pemilih. Kenyataan ini sangat ironis
ketika pemilu dipersepsi sebagai (salah satu) wahana demokrasi untuk memilih wakil-
wakil rakyat yang berkomitmen dan berintegritas moral tinggi dalam rangka
menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, Dikhawatirkan, absennya
dampak perubahan ke arah lebih baik akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap parpol dan para wakil rakyat yang pada gilirannya membuncah menjadi
apatisme total terhadap proses politik dan demokratisasi di negeri ini dalam bentuk
rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap pemilu (Golput).
Innovative Governance 23
Layak untuk dikedepankan, dalam konteks ini, adalah pertanyaan: untuk apa dan siapa
pemilu? Apakah untuk rakyat, parpol ataukah para caleg? Perubahan sistem nomor urut
menjadi suara terbanyak dalam derajat tertentu merupakan langkah maju untuk memecah
kebuntuan makna pemilu dimaksud. Namun efek domino dari perubahan kebijakan
semacam ini yang perlu diwaspadai adalah pergeseran dari kekuatan parpol menuju
kekuatan individu dalam sistem perpolitikan kita. Akibatnya, eksistensi parpol sebagai
penopang demokrasi menjadi terancam. Pilihan warga kepada para caleg bukan
didasarkan atas pilihan-pilihan rasional terhadap parpol tertentu, melainkan atas
favoritisme-irasional terhadap figur-figur caleg yang maju dalam proses pemilu.
Dalam kampanye pemilu seharusnya peserta pemilu dapat meyakinkan para pemilih
dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Namun pada prakteknya
kampanye terbuka hanya bermodalkan hiburan yang menyebabkan kurang terdidiknya
warga negara secara politik ini. Hal tersebut disertai dengan kecenderungan pasif dan
mudahnya dimobilisasi untuk kepentingan pribadi dari para elite politik. Berakhirnya
kemeriahan kampanye partai politik, meninggalkan persoalan yang belum terselesaikan
pada pesta demokrasi yaitu proses pendidikan politik bagi warga negara.
Kampanye pemilu harusnya menjadi sarana kontrak politik melalui tatap muka, bukan
jadi pesta hiburan musik atau goyang erotis lima tahunan. Dapat dikatakan dengan
berakhirnya rangkaian pemilu, maka berakhir pula penetrasi warga negara dalam proses-
proses pengambilan keputusan yang berkaitan erat dengan kehidupan mereka selama lima
tahun kedepan. Sebuah proses demokratisasi yang sehat mensyaratkan adanya partisipasi
politik yang otonom dari warga negara. Untuk menumbuhkan dan atau meningkatkan
partisipasi politik yang otonom dari setiap warga negara, maka pelaksanaan pendidikan
politik yang baik dan benar, mutlak diperlukan.
Setidaknya kita dapat melakukan refleksi mengenai penyelenggaraan pemilu.
Masihkah pemilu kita anggap sebagai aktivitas artikulasi kedaulatan rakyat atau sekedar
alat pengokohan legitimasi penguasa. Jawaban atas pertanyaan itu penting sekali karena
akan menentukan gerak ke depan kita. Jika memang pemilu merupakan pengejawantahan
dari kedaulatan rakyat, maka kekurangan-kekurangan yang telah kita lakukan selama ini
perlu diperbaiki.
3. Rendahnya Kualitas Pilihan
Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Francisco L. Rivera-Batiz, demokrasi—
jika dilakukan dalam mekanisme yang normal dan sehat—memiliki korelasi yang tinggi
terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga.2 Menurutnya,
demokrasi yang mampu menghasilkan kesejahteraan adalah demokrasi yang berkelindan
dengan penerapan tata-kelola pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good
governance), dan bukan demokrasi berbasis korupsi dan politik uang. Proses
demokratisasi dengan praktik politik korup hanya akan menggerogoti dan membunuh ruh
demokrasi itu sendiri.3
2
Francisco L. Rivera-Batiz, “Democracy, Governance, and Economic Growth: Theory and
Evidence,” Review of Development Economics, 6 (2) (2002), 225-247.
3
Mark E. Warren, “What Does a Corruption Mean in a Democracy?”, American Journal of
Political Science 48/2 (April 2004), 328-43.
24 Innovative Governance
Parahnya lagi, pilihan warga terhadap figur caleg atau parpol tertentu bukan
ditentukan atas pertimbangan-pertimbangan logis atau kalkulasi rasional akan sebuah
keputusan politik, tetapi semata karena faktor uang (money politics) dan popularitas. Dua
faktor ini merupakan persoalan ikutan akibat diterapkannya demokrasi langsung, tetapi
keberadaannya justru akan menggerogoti proses demokratisasi itu sendiri. Inilah yang
digambarkan oleh banyak ilmuwan sebagai persoalan melekat (embedded) sekaligus
dilemma atau paradoks demokrasi. Di satu sisi, demokrasi bekerja di atas prinsip
majoritarianisme, yakni segala keputusan politik ditentukan suara terbanyak. Di sisi lain,
prinsip majoritarianisme seringkali tidak menjamin kualitas sebuah pilihan.4
Mestinya, aspek terpenting dalam demokrasi adalah proses pematangan dan
pendewasaan politik warga negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Voting,
referendum, dan pemerintahan oleh kelompok mayoritas menjadi elemen terpenting
proses penentuan pilihan dalam demokrasi. Namun demikian, sejalan dengan penerapan
prinsip majoritarianisme, selalu terdapat ruang publik terbuka untuk berdebat dan
berdiskusi atas segala persoalan yang muncul di masyarakat, baik d tingkat publik
maupun pemerintahan. Menurut sejumlah ilmuwan politik, proses semacam inilah yang
membuat demokrasi lebih matang dan dewasa, bukan penerapan prinsip
majoritarianismenya. Dalam konteks ini, John Dewey menegaskan:
Majority rule, just as majority rule, is as foolish as its critics charge it with
being. But it never is merely majority rule.…The means by which a majority
comes to be a majority is the more important thing: antecedent debates,
modification of views to meet the opinions of minorities. …The essential need,
in other words, is the improvement of the methods and conditions of debate,
discussion and persuasion.5
Dari kutipan di atas, menurut John Dewey, yang lebih penting dalam proses pemilu
bukanlah penerapan voting atau pilihan langsung masyarakat yang mengikuti prinsip
majoritarianisme, tetapi proses bagaimana “mayoritas” itu menjadi “mayoritas.” Artinya,
kualitas pilihan itulah yang sebenarnya jauh lebih penting ketimbang menggumpalnya
suara pemilih pada pilihan tertentu. Mengikuti kerangka pikir ini, kualitas pilihan dalam
pemilu jelas tidak ditentukan oleh kekuatan popularitas caleg, terlebih kekuatan uang. Di
atas itu semua, kualitas pilihan sangat ditentukan oleh sejauh mana warga
mendayagunakan segala potensi rasionalitasnya untuk menentukan baik-buruknya tatanan
politik. Melalui pilihan politik rasional, warga merefleksikan harapan-harapan akan
perubahan keadaan menjadi lebih baik melalui wakil-wakil yang telah dipilihnya.
Kualitas pilihan warga ditentukan oleh bekerjanya prinsip rasionalitas atau kalkulasi
untung rugi atas pilihan masing-masing, dan bukan kekuatan uang.
Pada kenyataannya, uang telah menjadi panglima dalam proses demokratisasi di
negeri ini.6 Ongkos politik yang terlalu mahal bagi caleg dan biaya pemilu yang terlalu
mahal menjadi cerminan betapa demokrasi di negeri ini berjalan di atas prinsip ekonomi
4
Robert A. Dahl, “A Democratic Dilemma: System Effectiveness versus Citizen Participation,”
Political Science Quarterly, Vol 109, No. 1 (Spring 1994), 1-5.
5
John Dewey, The Public and Its Problems, sebagaimana dikutip Jürgen Habermas, Between Facts
and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press,
1996), 304.
6
Leo Suryadinata, Elections and Politics in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies, 2002), 97.
Innovative Governance 25
kapitalistik sempurna. Seorang caleg harus merogoh koceknya dalam-dalam, bahkan
menggadaikan harta kekayaannya, demi menjadi caleg dalam pemilu. Sistem semacam
ini sebenarnya juga menggerogoti kualitas demokrasi itu sendiri, karena sebagian biaya
politik menuju kursi kekuasaan ada hakikatnya diambilkan dari anggaran belanja negara
yang berasal dari pajak warga masyarakat yang seharusnya diarahkan untuk kesejahteraan
rakyat banyak.
Alternatif Solusi
Dari beberapa problematika di atas, maka beberapa alternatif solusi yang dapat penulis
tawarkan adalah:
1. Reorientasi Mendasar tentang Partai Politik
Bahwa Partai politik harus mampu mengembalikan fungsi awalnya sebagai elemen yang
bertugas memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Pendidikan Politik adalah
proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap
warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai
politik, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam
mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan partai politik
tersebut kepada massanya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan
kewajibannya sebagai manusia atau warga negara.
Karena itu ada baiknya kalangan LSM harus kembali mengambil peran lamanya,
melakukan pendidikan politik rakyat dan melakukan gerakan demokratisasi, bahkan di
level kebijakan, karena saat ini banyak anggota DPR yang lemah dalam melakukan legal
drafting, sehingga perlu kontrol dan masukan dari LSM dan masyarakat, agar tidak
melenceng dengan kepentingan publik.
Pengalaman semacam itu mengharuskan kalangan NGo atau kalangan non partai
untuk melakukan program pendidikan demokratisasi lebih serius, baik melalui advokasi
maupun pendidikan politik rakyat.
Hal tersebut mendesak untuk dilaksanakan, karena kalau tujuan utama gerakan
reformasi adalah untuk menciptakan sistem demokratis baik di lefel masyarakat maupun
pemerintahan, sehingga menjadi jelas agenda politik yang harus dilakukan. Selain itu
persoalan konflik kepentingan dalam partai politik juga memerlukan pemecahan segera
agar tidak mengarah pada situasi yang lebih parah lagi, sebab hal itu akan mengganggu
pelembagaan politik dan konsolidasi demokrasi.
2. Reorientasi Makna Pemilu
Pemilu adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasi aspirasi dan kepentingan
warga Negara. Setidaknya ada empat fungsi pemilu yang terpenting: legitimasi politik,
terciptanya perwakilan politik, sirkulasi elit politik dan pendidikan politik. Melalui
pemilu, legitimasi pemerintah dikukuhkan karena ia adalah hasil pilihan warga Negara
yang memiliki kedaulatan. Keberadaan serta kebijakan yang dibuat pemerintah akan
memperoleh dukungan dan sanksi kuat karena keduanya berlandaskan sepenuhnya pada
aspirasi rakyat dan bukan karena pemaksaaan.
Melalui pemilu seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat dilakukan secara lebih
fair karena melibatkan warga Negara. Praktek demokrasi modern, yaitu melalui
26 Innovative Governance
perwakilan dapat dilakukan sepenuhmya disini. Dengan pemilu pula maka akan terjadi
pergantian elit kekuasaan secara lebih adil karena warga negaralah yang langsung
menentukan siapa yang masih dianggap memenuhi syarat sebagai elit dan siapa yang
tidak. Secara tidak langsung, ini berarti pula bahwa pemilu adalah alat kontrol warga
Negara kepada penguasa apakah yang terakhir itu masih dipercayai atau tidak.
Sederhananya, pemilu adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi
warga Negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya. Dengan terlibat dalam
proses pelaksanaan pemilu, diharapkan bahwa warga Negara berkiprah dalam system
demokrasi. Ia akan mengerti dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan
yang sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan negaranya.
3. Membangun Kesadaran Masyarakat tentang Kualitas Pilihan
Dalam hal ini ada beberapa hal yang dapat ditawarkan; Pertama, format dan struktur
politik yang dibuat oleh pemerintah tentang partai politik harus berdasarkan visi politik
yang dilandasi kedaulatan rakyat, dengan memberikan tekanan pada terakomodirnya
kebutuhan masyarakat dan juga dilindunginya hak-hak dasar warga Negara. Oleh sebab
itu, seluruh perangkat perundangan dan institusi politik yang dibuat harus diukur sampai
sejauh mana mengandung prinsip demokrasi.
Kedua, agar gagasan perlindungan hak-hak politik rakyat dapat dilaksanakan, maka
harus diciptakan lingkungan politik yang kondusif, yang dibuat dengan prinsip
partisipatif. Artinya, melalui partai politik ataupun LSM, masyarakat diajarkan untuk
dapat memiliki partisipasi dan bersikap mandiri dalam menentukan sikap politik.
Sehingga ketika momen pemilu, masyarakat dapat menentukan pilihannya secara
independen.
Ketiga, Partai politik perlu melakukan pembuatan model-model pemberdayaan
alternatif terhadap masyarakat yang mampu menggerakkan peningkatan kualitas sumber
daya masyarakat. Program-program pemberdayaan masyarakat ini harus benar-benar
berorientasi kepada rakyat, yang berbasis pada pengelolaan sumber daya alam yang ada.
Selain partai politik, LSM dan ormas sosial keagamaan juga perlu semakin aktif dalam
proses pemberdayaan ini. Elemen-elemen ini dapat membangun linkage dan network
untuk menentukan strategi yang tepat bagi pemberdayaan masyarakat. Sehingga
masyarakat menjadi sebuah kelompok yang mandiri dan kuat. Sehingga jika hal ini dapat
tercapai, maka masyarakat tidak akan mudah terombang ambing dalam menentukan
pilihan politik.
Penutup
Demikian makalah ini penulis buat, dengan harapan dapat memberikan kontribusi terhadap
arah pendidikan demokrasi bagi masyarakat kita.
Innovative Governance 27
Daftar Pustaka
Alfian M dalam Riant Nugroho, Reinventing Indonesia, Jakarta, Media Komputindo, 2001
Francisco L. Rivera-Batiz, “Democracy, Governance, and Economic Growth: Theory and
Evidence,” Review of Development Economics, 6 (2) 2002
John Dewey, The Public and Its Problems, sebagaimana dikutip Jürgen Habermas, Between
Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy
Cambridge: MIT Press, 1999
Leo Suryadinata, Elections and Politics in Indonesia Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies, 2002
Mark E. Warren, “What Does a Corruption Mean in a Democracy?”, American Journal of
Political Science 48/2 April 2004
Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan, Landasan Redemokratisasi di Indonesia,
Jakarta, Erlangga, 1999
Robert A. Dahl, “A Democratic Dilemma: System Effectiveness versus Citizen
Participation,” Political Science Quarterly, Vol 109, No. 1 Spring 1994
Udin S. Winataputra, Materi dan Pembelajaran PKn SD, Jakarta Universitas Terbuka, 2010
28 Innovative Governance
Gagasan Kebijakan DariPerubahan Kultur, Kewenangan
DanKepemimpinan Walikota
Tamrin
Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.
Universitas Andalas, Padang,Sumatera Barat
Email: tamrin@fisip.unand.ac.id
Pengantar
Berbeda dari negara-negara maju yang menghadapi persoalan partisipasi dan distribusi
setelah persoalan bangsa dan negara selesai, maka di negara-negara berkembang seperti
Indonesia krisis partisipasi, distribusi, pembinaan bangsa dan negaramuncul bersamaan.
Perbedaan politik yang terjadi di kalangan politisi yang bersaingan memperebutkan
kekuasaan selesai pada saat seorang calon sudah ditentukan sebagai pemenang dalam
memegang pimpinan pemerintahan, persoalan partisipasi dan distribusi terhadap sumber
kewenangan politik baru hilang dalam sebuah konsensus nasional untuk melakukan
pembinaan Negara dan bangsa. Perbedaan kepentingan politik di kalangan politis maupun
masyarakat diatasi oleh persamaan tujuan untuk menempaykan kekuasaan politik sebagai
sarana untuk meningkatkan pembinaan Negara, bangsa, partisipasi dan distribusi pemerintah
ke dalam masyarakat.
Innovative Governance 29
Namun, perubahan politik di negara-negara berkembang seperti Indonesia persoalan
peminaan negara, bangsa, partisipasi dan distribusi muncul bersamaan.Krisis partisipasi dan
distribusi lahir pada saat pola kehidupan negara dan bangsa belum selesa pembentukannya
Tunntutan partisipasi dan distribusi mderupakan sarana untuk menciptakan konsensus
nasional baru dalam menata ulang pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.
Perubahan rejim Orde Lama dengan Orde Baru dan Orde Baru dengan Reformasi tidak
hanya sebagai bentuk tuntutan partisipasi politik serta distribusi terhadap sumber
kewenangan politik baru, tetapi juga sebuah konsensus nasional untuk merubah penafsiran
yang ada terhadap konstitusi agar sesuai dengan bentuk tuntutan partisipasi dan distribusi
tersebut. Perubahan konstitusi melahirkan perubahan pola hubungan lembaga mesin politik
resmi (formal) dalam sistem pemerintahan tersebut.
Kecepatan perubahan sosial dan ekonomi yang mengiringi peningkatan tuntutan ini
tidak diimbangi oleh pelembagaan politik yang kuat dari lembaga-lembaga politik,
diperlukan berbagai inovasi dalam lembaga-lembaga pemerintahan agar bisa menyesuaikan
diri dengan perkembangan lingkungan Gagasan-gagasan baru yang mengatur tentang bentuk
sistem pemerintahan memerlukan penjelasan kultur, struktur, kelompok, kepemimpinan dan
kebijaksanaan yang mengatuh bentuk partisipasi dan distribusi dari pemerintah kepada
masyarakat. Tetapi, faktor kebudayaan, kewenangan serta faktor kepemimpinan merupakan
beberapa unsur yang kurang diperhatikan dalam menjelaskan perkembangan (development)
dan perubahan sebuahpembangunan politik. Kesulitan dalam menurunkan konsep tersebut ke
dalam beberapa indikator yang bisa digunakan dalam mengukur serta menjelaskan
perkembangan dan perubahan sebuah organisasi, mendorong para pemerhati politik dan
kebijakan publik untuk lebih melihat kepada penjelasan tentang struktur, kelompok dan
kebijaksanaan yang dilahirkan oleh pemerintah dalam menilai kinerja sistem politik.
Gagasan keseimbangan (equilibrium) yang terdapat dalam pendekatan sistem tidak
memungkinkan masuknya unsur-unsur baru yang berasal dari gagasan, keyakinan dari luar
sistem tersebut untuk mendorong adanya perubahan yang mengganggu serta merusak
keseimbangan yang telah ada. Pendekatan sistem memiliki dua pengertian, diantaranya
adalah; pertama, adanya hubungan ketergantungan antara satu variabel dengan variabel lain
yang dihubungkan oleh sebuah struktur, perubahan dalam sebuah variabel akan
mempengaharui perubahan pada variabel lain. Selanjutnya, perubahan tersebut akan
menermukan pola keseimbangan baru oleh adanya gagasan perubahan dari salah satu unsur
variabel sistem, ;kedua, adanya batas-batas antara sistem yang ada dengan lingkungannya,
pendekatan sistem membutuhkan pendekatan , multidiisiplin dalam memahami sebuah gejala
sosial atau politik yang terjadi dalam masyarakatmaupun sistem politik.
Kecenderungan ini menempatkan pendekatan sistem lebih banyak digunakan dalam
manganalisa masyarakat sederhana atau kompleks, diterapkan dalam sebuah teori makro
yang bisa dijadikan pedoman ukuran terhadao orientasi peran dan fungsi yang ada maupun
sebagai sebuah bentuk analisa terhadap struktur maupun fungsi sistem. Pendekatan sistem
lemah dalam menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat berkembang
yang didorong oleh perbagai ideologi politik yang berbeda. Kelemahan teori sistem adalah
tidak bisa menjelaskan secara instrinsik faktor pendorong dan sumber perubahan, pendekatan
ini tidak bisa diterapkan dalam menilai serta menjelaskan sebuah perkembangan atau
perubahan Kajian perubahan maupun perkembangan membutuhkan sebuah pendekatan
idiologis yang menyangkut gagasan, keyakinan serta nilai yang mendorong lahirnya
30 Innovative Governance
perubahan tersebut. Selama ini pendekatan sistem banyak digunakan dalam menjelaskan
hubungan kelembagaan dalam pemerintahan (sistem pemerintahan). Sistem pemerintahan
adalah pola hubunganantara sebuah lembaga negara dengan lembaga negara lainnya,
hubungan ini meliputi hubungan hukuk, hubungan norganisasi, hubungan kekuasaan maupun
hubungan fungsi (Rusadi Kantaprawira, 2006:139).
Secara sederhana, sistem pemerintahan berfungsi menjelaskan pola hubungan antara
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, dalam analisa sistem politik sistem pemerintahan
disebut dengan mesin politik resmi (formal) atau suprastruktur politik yang diatur oleh
konstitusi. Pelembagaan politik dalam sistem pemerintahan ini dapat berasal dari nilai-nilai
tradisional yang ada maupun dari struktur organisasi birokrasimodern yang berasal dari
organisasi sipil maupun modern, perubahan lembaga politik muncul pada saat struktur
organisasi yang dibangun dari lembagta tradisional dan modern ini tidak mampu lagi
mengakomodasi tuntutran politik maysrakat Dalam rangkaian hubungan perubahan yang
terjadi dalam komponen kultur, struktur, kelompok, kepemimpinan dan kebijakan ini kita
bisa menilai apakah perubahan yang terjadi dalam pembangunan berjalan stabil stagnan atau
revolusi. Stabilitas dikaitkan jika perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan, tetapi
perubahan dalam kultur dan struktur berjalan lambat dibandingkan dengan perubahan pada
komponen yang lain. Sementara, stagnan dapat diilihat jika perubahan pada komponen kultur
dan struktur berjalan lambat atau stagnan dibandingkan dengan perubahan komponen
kepemimpinan dan kebijakan. Sedangkan, revolusi dapat dilihat sebagai perubahan kelima
komponen, yakni; kultur, struktur, kelompok, kepemimpinan dan kebijakan berjalan cepat
(Huntington,1985:114)
Kultur terdiri dari nilai-nilai, sikap-sikap, orientasi, mitor dan kepercayaan yang
relevan terhadap politik dan yang berpengaruh terhadap masyarakat. Meskipun terdapat
banyak subkultur, tetapi pengertian kultur yang dimaksud adalah menyangkut segenap
orientasi yang berhubungan dengan politik.. Struktur, yakni organisasi-organisasi formal
yang digunakan masyarakat untuk menjalankan keputusan-keputusan yang berwenang,
seperti eksekutif dan birokrasi. Kelompok, yakni bentuk-bentuk sosial dan ekonomi baik
formal maupun informal yang berpartisipasi dalam politik, serta mengajukan tuntuttan-
tuntutan terhadap struktur-struktur politik. Kepemimpinan, yakni individu dalam lembaga-
lembaga politik dan kelompok-kelompok politiki yang menjalankan pengaruhlebih daripada
yang lainnya dalam memberikan alokasi nilai. Kebijaksanaan, yakni pola-pola kegiatan
pemerintahan yang secara sadar mempengaharui distribusi keuntungan dan beban dalam
masyarakat (Huntington, 1985;112).,
Masing-masing komponen memiliki kekuasaan, baik kultur, struktur, kelompok,
pemimpin maupun kebijaksanaan memiliki aspek kekuasaan, analisa politik mempelajari
hubungan kekuasaan diantara masing-masing komponen tersebut. Dalam masing-masing
komponen tersebut terdapat unsur kekuasaan yang berhubungan dengan perubahan politik,
serta unsur substansi (materi) yang menjadi penentu kualitas komponen trersebut. Upaya
untuk mengabaikan perubahan isi dari materi masing-masing komponen melalui cara
menganalisa unsur kekuasaan tidak akan mengarahkan kita kepada analisa perubahan politik.
Seringkali, perubahan kekuasaan kearah yang lebih besar melahirkan perubahan orientasi
yang mengurangi unsur isi dari materi komponen. Isi kultur politik adalah bentuk konkrit
dari gagasan, nilai, sikap dan harapan-harapan yang berpengaruh dalam masyarakat. Isi
lembaga (struktur) terdiri dari pola-pola ingteraksi yang memberi cirri khas pada struktur
Innovative Governance 31
tersebut, serta nilai-nilai dan kepentingan yang berhubungan dengannya. Isi kelompok-
kelompok politikterdiri dari kepentingan-kepentingandan tujuan-tujuan, serta tuntutan-
tuntutan yang diberikannya terhadap sistem politik. Isi kepemimpinan terdiri dari ciri-ciri
sosial, ekonomi dan psikologis para pemimpin, serta tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Isi
kebijaksanaan meliputi materi kebijaksanaan, perumusan tentang beban dan keuntungan
yang diperoleh masyarakat.
Penambahan kekuasaan pemimpin bisa meruibah tujuan kepemimpinan tersebut
Pengorbanan terhadap isi dari materi masing-masing kompoenen ideologi, lembaga,
kelompok, kepemimpinan dan kebijaksanaan merupakan sebuah sarana untuk memperbesar
kekuasaan politik, semakin tinggi pelembagaan dalam sistem politik semakin besar
pengorbanan yang harus diberikan untuk memperbesar kekuasaan.Model perubahan
stabilitas, stagnan dan revolusi dapat dijelaskan dari perubahan masing-masing-masing
komponen, perubahan masing-masing komponen selanjutnya mempengaharui laju
perubahan pada komponen lainnya dalam sebuah sistem.Untuk menjelaskan rangkaian
perubahan kultur, struktur, kelompok, kepemimpinan dan kebijaksanaan dalam menilai
inovasi dalam pemerintahan dapat dilihat kebijakan Pemerintah Kota Dalam Relokasi
Pedagang Pasar Raya, Padang.
Bentuk KebijakanDanKelompok
Setelah peristiwa gempa 30 September 2009 yang merusak begitu banyak infrastrusktur di
kota Padang termasuk Pasar Raya, Padang, mskasabtu tanggal 23 oktober 2009, zon zikon
13/kf dikerahkan ke Pasar Raya, Padang untuk membangun relokasi sementara pedagang
korban gempa Pasar Raya inpres I yang berlantai II karena roboh dan terbakar serta pasar
inpres II lantai II, Pembangunan itu tanpa sosialisasi kepada pedagang Pasar Raya Padang,
dua hari berikutnya pedagang diundang walikota dengan agenda pemberitahuan
pembangunan relokasi sementara di jalan pasar baru, jalan sandang pangan dan jalan pasar
raya. Dalam rapat itu, organisasi kelompok pedagang pasar (KPP) beranggotakan ribuan
pedagang pemilik toko dan kios di Pasar Raya padang, forum komunikasi pedagang ayam
(FKPPA) beranggotakan 250 orang, ikatan pedagang kecil (IPK) jalan sandang pangan
beranggotakan 350 orang dan forum komunikasi pedagang kecil kaki lima jalan pasar baru
beranggotakan 350 orang pedagang mengajukan surat tuntutan menolak pembangunan
relokasi di jalan-jalan yang merupakan akses transportasi bagi pembeli ke pasar raya dan
mengusulkan pemakaian areal RTH Imam Bonjol.
Kemudian pada malam harinya perwakilan KPP kembali mendatangi walikota Padang
ke rumah dinas menyampaikan penolakan dan hasilnya tidak tercapai kesepakatan karena
walikota tidak menerima usulan pedagang dan bersikukuh menetapkan pembangunan
relokasi sementara pedagang di jalan-jalan yang merupakan urat nadi keluar masuknya
pembeli untuk tetap dilanjutkan. Keesokan harinya karena tidak menerima dengan kondisi
dan kerugian yang dialami akibat pemblokiran jalan-jalan utama pasar raya tersebut,
perwakilan pedagang mendatangi DPRD kota Padang mengadukan keputusan walikota
Padang yang merugikan mereka. Pengaduan itu ditanggapi dengan surat rekomendasi yang
ditandatangani wakil ketua DPRD kota Padang, Budiman S.Ag yang isinya meminta pemko
Padang menghentikan proses pembangunan. Namun, surat rekomendasi iru tidak dihargai
pemko Padang dan pembangunan relokasi diteruskan.
32 Innovative Governance
Seklanjutnya, pada tanggal 28 oktober 2009, APPK disertai 500 massa pedagang
menghadap kembali ke DPRD Padang dan mengadukan nasib mereka yang dirugikan akibat
keputusan Pemko Padang. Pertemuan itu kembali mengeluarkan rekomendasi DPRD kota
Padang ditandatangani wakil ketua DPRD kota Padang Afrizal SH yang meminta pemko
Padang menghentikan proses pembangunan relokasi. Surat rekomendasi tersebut ternyata
tidak juga dihargai dengan membuktikan lewat pembangunan relokasi yang terus dilakukan.
Jumat 30 september 2009, APPK menghadap ke DPRD Sumbar dan hasilnya DPRD Sumbar
mengundang muspida terkait kota Padang yang meminta Walikota menjalin kembali dialog
dan mencela keputusan Walikota Padang yang membangun relokasi sementara di jalan-jalan
akses masuk dan keluar pasar raya Padang.
Hasil pertemuan itu ternyata juga tidak dihormati Walikota Padang dengan
meneruskan pembanguan relokasi sementara. Dihari yang sama APPK menghadap Gubernur
Sumbar dengan agenda mengadukaon keputusan Walikota Padang soal pembangunan
relokasi sementara. Hasil dari pengaduan itu, gubernur sumabr Marlis Rahman tanggal 6
november 2009 mengeluarkan surat meminta pemko padang meninjau kembali penempatan
pembangunan relokasi sementara pedagang korban gempa, namun hasilnya, surat itu tidak
dipertimbangkan dan dibuktikan dengan pembangunan relokasi sementara berlanjut. Rabu
11 november 2009, APPK menggelar aksi damai dengan melibatkan 2000 pedagang ke
DPRD Kota Padang perihal penolakan lokasi pembangunan relokasi sementara pedagang
korban gempa. DPRD Kota Padang kembali mengeluarkan rekomendasi ditandatangani
wakil ketua DPRD Budiman S.Ag yang meminta pemko Segera membongkar bangunan
relokasi sementara, namun rekomendasi itu kembali tidak dihargai Pemko Padang. Rabu 18
november 2009, APPK kembali menggelar aksi damai dengan meliabtkan 3000 pedagang
dan organda kota Padang ke DPRD kota Padang.
Aksi tersebut akhirnya menghasilkan surat pernyataan wakil walikota padang
Mahyeldi Ansarullah yang bersedia membongkar bangunan relokasi dan meminta waktu 2
hari untuk menyelesaikannya, terkait urusan administrasi dalam penghapusan asset berupa
bangunan darurat itu. Surat pernyataan itu juga ditandatangani oleh sejumlah saksi
diantaranya Kapoltabes Padang AKBP Prio, salah seorang kadin kota Padang H Rahim
Mardenis dan ketua DPW APPSI Sumbar Desrio Putra. Usai membuat surat pernyataan itu,
wakil walikota juga menggelar acara simbolis pembongkaran bangunan relokasi sementara
di jalan sandang pangan. Surat DPRD dengan perihal hasil hearing juga meminta Pemko
melakukan rapat teknis pembongkaran lapak dan kios sementara yang dibanguan karena
ditentang pedagang.
Kemudian kamis, 19 november 2009, Walikota Padang menganulir surat pernyataan
itu dengan mengeluarkan surat imbauan agar pedagang menempati relokasi yang disediakan
dan mengamankan lokasi dengan memakai pola pendekatan orde baru yang memanfaatkan
serta meminta tenaga bantuan Brimob Polda Sumbar. Dua hari berikutnya Pemko Padang
memaksakan sebagian kecil pedagang inpres I dengan pengawalan ketat pleton Brimob
Polda Sumbar untuk memasuki tempat relokasi sementara yang ditentang APPK. Senin 30
november 2009, DPRD Kota Padang mengundang hearing (dengar pendapat) tokoh
masyarakat kota Padang dan aliansi pedagang pasar yang hasilnya seluruh tokoh masyarakat
mencela tindakan Walikota Padang yang tidak menghormati dan menghargai aspirasi
masyarakat serta tidak mengindahkan berbagai surat rekomendasi DPRD Kota Padang.
Innovative Governance 33
Rekomendasi Gubernur Sumbar dan hasil surat pernyataan Walikota Padang yang bersedia
membongkar dan memindahkan lapak dan kios yang ditentang padagang.
Senin , 7 november 2009 pedagang kembali berdemo memanfaatkan acara pelantikan
Gubernur Sumbar di DPRD Sumbar. Hasilnya diterima DPRD Sumbar dan komisi II DPRD
Sumbar berjanji akan menyurati Mendagri dan Gubernur Sumbar terkait pengaduan
pedagang dan tidak konsistennya Pemko Padang untuk memindahkan bangunan bangunan
bangunan kios dan los sementara yang diprotes lokasinya. Senin, 4 januari 2010, pedagang
kembali berdemo dengan kekuatan 2000 massa dan hasilnya dibentuknya pansus yang
menjanjikan rekomrndasi soal tiga tuntutan yaitu relokasi tempat penampungan sementara,
penyediaan terminal dan pembayaran dana bantuan gempa 2007. Tiga tuntutan forum
komunikasi pedagang pasar Inpres Kota Padang :
a. Fungsi jalan pasar baru dan jalan sandang pangan dikembalikan menjadi jalur transportasi
umum.
b. Meminta relokasi sementara kelapangan Imam Bonjol untuk pedagang korban gempa.
c. Proses rehabilitasi pasar dilakukan bertahap dan menjadi tanggungjawab pemerintah
dengan tidak melibatkan investor.
d. Mendesak pemerintah menetapkan status bencana di Sumatra Barat.
Peranan Struktur dan Kepemimpinan
Kritik yang paling keras diberikan masyarakat terhadap kebnijakan relokasi pedagang Pasar
Raya ini berasal dari Forum Warga Kota (FWK), kelompokatau elemen masyarakat ini
meminta Pemko meninjau bahkan menghentikan pembangunan kios darurat dengan alasan
kebijakan Pemko tersebut justru menimbulkan berbagai persoalan baru, tidak hanya
memperumit persoalan yang ada tetapi juga memperbanyak persoalan tersebut, seperti
kemacetan lau lintas yang muncul dari pembangunan kios darurat, hangguan perjalanan
masyarakatyang disebabkan oleh penggunaan badan jalan menjadi areal untuk berjualan.
(Wawancara dengan Direktur LBH,Padang, pada tanggal 09 Juli 2010, pukul: 15.00-16.00
WIB)
Begitu juga kritik terhadap sikap pemko terkait kebijakannya terkait pembangunan
kios darurat juga dikemukakan oleh anggota DPRD yang menilai seharusnya sikap terburu-
buru yang telah dibangun tersebut, merupakan suatu sikap yang seharusnya bisa dihindari.
Meskipun dalam fakta real pembangunan memang ada pada tahap tanggap darurat, akan
tetapi seharusnya pemko perlu merundingkan terlebih dahulu kebijakan itu sebelum
ditelurkan. Pemko sebenarnya bisa mengajak DPRD sebagai mitra kerja untuk meninjau
ulang dan mencari solusi yang lebih tepat atau bahkan membicarakan kemungkinan dampak
yang muncul akibat diterapkannya kebijakan itu. Baginya ini bisa menjadi jalan penting
untuk pembelajaran kedepan bahwa pemko bisa memanfaatkan ruang gerak keleluasaan ini
untuk membahas segala kebijakan yang sekiranya perlu untuk dibahas kedepannya.
(Wawancara dengan Irwan Fikiri dan Paula Lindawati, anggota Fraksi Partai Demokrat,
DPRD Padang, 1 November 2010)
Selanjutnya, pihak LBH yang mendampingi pedagang dalam menolak kebijakan
relokasi tersebut menilai terdapat beberapa pelanggaran hak berdemokrasi seperti yang
trerlihat dari keberadaan nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam kebijakan Pemko,seperti
yang dapat dilihat dari mekanisme politik yang dilakukan oleh Pemko dalam
34 Innovative Governance
mengegeluarkan kebijakan relokasi tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Ketua LBH Padang
yang membantu para pedagang melalui Forum Warga Kota (FWK) ini dalam menyalurkan
tuntutan pedagang (Hasil wawancara dengan Kasubag Dinas Pasar, Pemko Padang ).
Dijelaskan oleh Direktur LBH Padang bahwa pembangunan kios darurat dilaksanakan pada
masa tanggap darurat pasca gempa 30 september 2010 dimana pembangunan menggunakan
anggaran yang tidaktercantum dalam APBD.
Pemko Padang menggapi semua kritik yang disampaikannya dengan menjelaskan
bahwa langkah rehabilitasi pedagang korban gempa bumi merupakan bentuk respon yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap himbauan Pemerintah Pusat yangmeminta
melalui Pemerintah Provinsiuntuk mensiasiati keadaan daruart tersebut. Melalui SK
Gubernur sebagai dasar surat keputusan pemerintah propinsi, kemudian Pemko Padang
melakukan upaya pencarian solusi dengan cepat terhadap kondisi Pasar Raya tersebut.
Sebagai langkah cepat tanggap darurat dalam menangani banyaknya kerusakan yang
diakibatkan oleh kejadian gempa bumi tersebut, maka solusi yang dihasilkan adalah
dibangunanyakios darurat di sepanjang jalan Sandang Pangan, Jalan Pasar Raya dan Pasar
Raya Baru,
Dakan mengeluarkan kebijakan ini, Pemko membentuk tim yang beranggotakan
instansi terkait yang berfungsi untuk mempelajari secara berkesinambunganberbagai dampak
yang mungkin muncul disbebakn oleh penetapan kebijakan iniPembangunan tersebut
dilakukan tetap sesuai dengan koridor upaya penyelesaian masalah dalam rangkaupaya cepat
dalam mengatasi keadaan masa darurat yang membutuhkannya, meskipun sebenarnya
Pemko sendiri menilaisolusi ini bukanlah kebijakan yang sempurna, tetapi mengingat sesuai
dengan kondisi waktu itu yang berada dalam situasi sedang darurat danmembutuhkan upaya
cepat dalam menghidupkan kembali Pasar Raya.
Sehari setelah DPRD melayangkan surat rekomendasi ke Pemko soal penghentian
pembangunan kios darurat, pemko kemudian membentuk tim verifikasi yang berisi seluruh
instansi terkait, seperti dina PU, bidang pembangunan, perekonomian, Kesatuan Bangsa dan
Perlindungan Masyarakat (Kesbanglimas), perhubungan, dan lain-lain Tim ini bertugas
untukmempelajari kembali kebijakan Pemko tersebut, setelah proses kajian ini selesai
dilakukan Pemko menilai bahwa kios darurat tetap dibutuhkan sejauh upaya pembangunan
bertujuan untuk mengganti kerugian para pedagang yang rusak akibat gempa sekaligus
upaya darurat untuk menghidupkan kembali Pasar Raya pasca gempa 2009 tersebut. Terkait
dengan upayahearing dengan pedagang Pasa Raya,Pemko melalui Dinas Pasar telah
melakukansemua kebijakan sesuai dengan koridor (aturan) yang ada, semua kebijakan
tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan melalui pengumuman langsung kepada
perwakilan pedagang yang ada di pasar, mulai dari pendaftara kios, kebijakan pajak, dan
lain-lain. Pihak Dina Pasar sendiri mengakui bahwa sejauh ini tidak ada perselisihanantara
para pedagang dengan Pemko dalam hal pasar serta proses terselenggaranya kegiatan jual
beli di pasar tersebut. Jika persoalan tersebut muncul maka persoalan tersebut bukan berasal
dari Pemko, tetapidari pihak-pihak yang sering menciptakan keributan dan pungutan liar di
Pasar Raya yang disinyalir sebagai pihak provokator yang mengajak pedagang untuk
membantu mereka dalam menentang kebijakan Pemko yang bertujuan untuk kepentingan
pedagang juga.
Innovative Governance 35
PerubahanKultur
Menyikapi banyaknya dampak yang muncul dari berbagai tindakan anarkhis yang telah
terjadi, pihak Pemko mengakui bahwa demonstrasi sebenarnya tidak menjadi penetang
unsur-unsur yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Minang, akan tetapi menjadi
masalah ketika terjadi aksi anarkhis. Karena tindakan tersebut tidak hanya merugikan semua
pihak, tetapi juga termasuk rusaknya fasilitas negara yang dibangun dari pajak yang berasal
dari rakyat itu sendiri. Setelah melihat besarnya aksi demonstrasi yang disinyalir bisa
melahirkan aksi anarkhis, maka Pemko secara bijak meminta tambahan tenaga Satpol PP,
disamping Satpam dan Tramtib untuk mengamankan asksi tersebut. Meskipun Pemko
menilai bahwasejauh Satpam dan Tramtib masih mampu mengatasi hal ini, maka Satpol PP
tidak akan digunakan. Satpol PP itu sendiri diciptakan untukmenegakan Perda, bukan untuk
tujuan pengamanan aksi demonstrasi anarkhis.
Menurut hemat anggota DPRD Padangsebenarnya ada cara yang tepat untuk
mengatasi hal itu selain dengan sikap yang cenderung terburu-buru untuk mengatasinya.
Terkait dengan solusi penyelesaian terhadap muncunya aksi demo dan besarnya massa yang
bergerak untuk menentang dibangunnya kios darurat itu, DPRD sebagai lembaga perwakilan
rakyat berinisiatif untuk membentuk panitia khusus yang nantinya dijadikan sebagai cara
untuk mencoba menyampaikan aspirasi pedagang. Awal munculnya tuntutan itu bukan
karena pengaduan dari masyarakat para penguat pedagang tetapi lebih dikarenakan inisiatif
DPRD sendiri melihat besarnya animo pedagang untuk menentang kebijakan pemko
tersebut.
Salah satu bukti keseriusan DPRD adalah melalui dibentuknya panitia khusus yang
dibentuk khusus untuk mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Kemudian untuk kelanjutan proses dilakukan dengan upaya ditetapkannya biaya
pada anggaran perubahan untuk pembangunan pasar raya sebesar 45 milyar rupiah.
Anggaran itu memang diperlukan untuk dana perubahan anggaran tahun 2010. Semua proses
penganggaran awalnya memunculkan perdebatan bahkan pihaknya menilai pihak FWK yang
selama ini didaulat sangat konsen terhadap perjuangan para pedagang untuk mencarikan
solusi ternyata tidak sesuai dengan harapan.
Ketika proses penganggaran berlangsung ada begitu banyak pihak didalam forum
yang menilai tidak perlu menganggarkan dana sedemikian besarnya. Ini menjadi tanda tanya
tersendiri bagi DPRD, pihak FWK yang seharusnya berada di garda depan dalam
memperjuangkan teralokasinya dana yang maksimal untuk pembangunan pasar raya ternyata
belum maksimal dalam upaya mencapai perjuangan dan keberpihakannya kepada anggota
DPRD yang turut serta emperjuangkan upaya itu. Namun setelah perdebatan panjang
akhirnya diputuskan akan menetapkan dana sebesar itu untuk membangun pasar raya
tersebut, proses penganggaran menggunakan sistem multiyear, semua anggaran ini
diharapkan tidak perlu mendapatkan keuntungan dari penjualan toko yang telah dibangun
tersebut. Pihak DPRD menilai pengalokasian anggaran tidak boleh draw, pihaknya menilai
semua dana yang telah dianggarkan digunakan untuk mambantu masyarakat para penjual di
pasar raya, ini bisa dikatakan sifatnya bukan untuk mencari profit, tetapi lebih kepada upaya
pemaksimalan dan sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menghidupkan kembali pasar
raya Padang.
36 Innovative Governance
Bentuk komitmen penting pemerintahdalam mengatasi kasus ini adalah dengan
menganggarkan dana sejumlah 45 milyar untuk membangun pasar kembali menjadi lebih
baik. Tentu saja upaya alokasi anggaran ini tidak akan terwujud jika tidak terdapat
kesepahaman antara Pemko dan DPRD. Kesepahaman ini tidak akan terjadi jika tidak ada
ruang komunikasi yang baik diantara kedua lembaga tersebut. Solusi yang tepat dalam
mengatasi kemelut relokasi pasar raya, kalangan DPRD menilai solusi yang paling tepat
adalah dengan mempercepat proses pembangunan pasar inpres yang rusak akibat gempa
tersebut. Semakin cepat pembangunan ini selesai dilaksanakan maka dengan sendirinya kios
darurat yang telah dibangun tersebut bisa dibongkar kembali
DPRD itu sendiri sebagaimana yang dijelaskan dari hasil wawancara dengan anggota
fraksi Partai Demokrat merupakan gabungan berbagai elemen yang pada dasarnya memiliki
arah kepentingan yang berbeda-beda. Namun meskipun begitu, tetap saja diperlukan haluan
utama dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat termasuk kelompok pedagang pasar
raya, sehingga munculnya perbedaan yang muncul akibat pembentukan pansus ini, kalangan
DPRD menilai itu menjadi suatu hal yang wajar
Kalangan DPRD sendiri menilai bahwa demo merupakan satu hal yang wajar, akan
tetapi perlu ditekankan kembali bahwa demo menjadi bermasalah jika menjadi aksi anarkis
dan menyebabkan munculnya sikap egois dengan menganggap semua tuntutan yang
diajukan menjadi satu hal yang wajib dipenuhi dan mutlak benar. Bagi masyarakat Minang
sendiri, menurutnya bentuk demokrasi yang tepat adalah dengan melakukan musyawarah
dan mufakat. Melalui upaya ini dengan sendiri masyarakat diberikan ruang gerak untuk
menyampaikan keluhan dan pendapatnya. Proses inilah yang akan melahirkan sikap penting
dari pemko sebagai komandan utama dalam menjaring dan merangkum semua tuntutan
menjadi satu bentuk komitmen yang digagas secara bersama tanpa ada paksaan dan
ketidakadilan didalamnya.
Penutup
Aksi demonstrasi anarkhis merupakan sebuah pola kultur baru dalam menyalurkan tuntutan
politik masyarakat kepada struktur (lembaga)politik dalam masyarakat Minang di Sumatera
Barat, aksi merupakan bentuk respon masyarakat pedgang terhadap kebijakan pemerintah
yang didasarkan kepada keputusan sepihak walikota. Faktor kepemimpinan melalui
penggunaan kewenangan politik merupakanbentuk kebijakan darurat yang dilaksanakan
untuk mengatasi korban bencana alam, gagasan-gagasan baru yang muncul dari kebijakan
relokasi pedagang korban gempa bumi merupakan bentuk inovasi pemerintah dalam
mengatasi persoalan distribusi yang muncul dalam kondisi darurat. Kebijakan relokasi yang
tidak melibatkan partisipasi masyarakat ini merupakanbentuk kewenangan yang dijalankan
oleh kepemimpinan walikota Padang, tetapi melahirkan respon penolakan masyarakat yang
merubah pola kultur politik masyarakat Minang yang mengedepankan musyawarah kepada
cara demonstrasi anarkhis dalam model pelaksanaan demokrasi.
Innovative Governance 37
Daftar Pustaka
38 Innovative Governance
Resep Sukses Untuk Pemerintahan Inovatif di Indonesia
Yuni Budiastuti
Tim Bantuan Tata Kelola Pemerintahan (TBTKP)
Email: yunibudiastuti@yahoo.co.id
Abstrak:Berita mengenai rekening obesitas oknum Ditjen Pajak, DW yang diciduk KPK
karena memiliki rekening Rp.60 Milyar, tentu merupakan tamparan bagi Kemenkeu yang
tengah gencar melakukan reformasi birokrasi. Kemenkeu juga sudah mengganti banyak
pegawainya di Ditjen Pajak.Remunerasi juga sudah diperbaiki sejak 2007, namun KKN
tetap bersemi.Dengan adanya bukti terkini seperti yang terjadi di Ditjen Pajak, maka
kebijakan remunerasi selayaknya dikaji ulang.Lalu, apa solusi dari permasalahan multi
dimensi bangsa ini? Apakah ‘innovative government’ itu berarti kita harus mencari teori-
teori baru?
Ada 5 langkah yang sesungguhnya sudah dirumuskan oleh proklamator dan para ahli
tauhid di negeri ini, yaitu Pancasila.Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudahkan
Pemerintah bertanya pada ulama tauhid?Mereka adalah ulama makrifat yang tidak pernah
masuk media karena menghindari popularitas.Mereka dapat memberikan cara-cara agar
para pemberi dan penerima suap yang sudah lama mengkonsumsi makanan haram hasil
KKN, termasuk para pemimpin yang khilaf, dapat dibersihkan hati dan jiwanya agar dapat
berperilaku baik.
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.Setelah hati dan jiwa bersih, baru nanti
pemberi suap dan yang disuap dapat bertobat, kemudian berperilaku sesuai dengan harkat
martabatnya sebagai 'manusia', yaitu mampu berlaku adil dan beradab. Sebagian besar
pemimpin negeri ini belum lulus dari Sila pertama Pancasila. Itu sebabnya bahasan APBN
ataupun APBD antara eksekutif dengan legislatif negeri ini, masih kacau balau, penuh ego
danhaus kekuasaan, jauh dari sifat-sifat kearifan dan perjuangan membela kepentingan
rakyat.
Persatuan Indonesia.Indonesia hanya akan bersatu atau integritas bangsa akan utuh,
sebagai NKRI, bila sila ke dua sudah dicapai, yaitu bila kita memiliki eksekutif, legislatif
dan yudikatif yang individualnya berintegritas tinggi. Bila ini tercapai, apa yang disebut
'check and balances' antara eksekutif, legislatif dan yudikatif bisa berjalan dengan baik,yang
menghasilkan kinerja yang terus meningkat untuk kepentingan rakyat.
Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
dan Perwakilan.Hanya manusia yang sudah adil dan beradab, memiliki integritas dan
mampu menjaga persatuan bangsa, dapat melakukan rapat dengan dilandasi musyawarah,
berlandaskan semangat kerakyatan.Prinsip pro growth, pro poor, pro job, pro lingkungan,
sebagaimana dicanangkan Presiden saat ini, hanya bisa mulus diperjuangkan bersama di
DPR, bila eksekutif dan legislatif nya sama-sama sudah menjadi manusia yang penuh
keadilan dan beradab, serta berintegritas. Bila sila ke empat tercapai, musyawarah
dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, dalam tata cara yang adil dan beradab serta
dilandasi semangat persatuan, maka sila ke lima akan terwujud, yaitu: Keadilan Sosial Bagi
seluruh Rakyat Indonesia.
Innovative Governance 39
Agar Pancasila dapat sukses menjadi ideology bangsa yang hidup melandasi pola
bisnis pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, dibutuhkan kepemimpinan yang mampu
menjadi suri tauladan.Bagaimana ini dapat terwujud?Benarkah ideology dan kepemimpinan
merupakan syarat mutlak keberhasilan suatu bangsa? Makalah ini akan membahas
permasalahan yang ada seputar keterpurukan bangsa dan akan memberikan solusi yang
‘inovatif’, berdasarkan kajian sejarah, baik dari sejarah bangsa Indonesia sendiri, maupun
sejarah yang dialami bangsa-bangsa lain, berdasarkan studi literatur dan studi ketauhidan.
Pendahuluan
Kesejahteraan dan keadilan masih menjadi impian, padahal resep pencapaian menuju
masyarakat berkeadilan dan sejahtera sudah dirumuskan dalam ideologi bangsa
Indonesia.Tidak jauh dari Ibu Kota, masih ada anak-anak kita yang ke sekolah menyeberangi
jembatan yang jauh dari aman kondisinya, bahkan ‘masuk’ ke sungaimenyeberang hanya
berpegang pada seutas tali, atau naik kendaraan umum dengan duduk di atap bis, berdesakan,
tidak aman karena copet merajalela, dan berbahaya bagi keselamatan. Bahkan, terjadi
pembalakan hutan, pencurian tambang, pengusiran dan pembunuhan di dunia tambang,
sepertinya Indonesia masih berada pada jaman ‘the wild wild west’ ala Amerika.Sementara
itu, rakyat juga menyaksikan musyawarah di DPR yang membuat perut mulas karena
prihatin melihat bagaimana para politisi ‘berdebat’ dan membuat keputusan yang tidak pro
rakyat.Koruptor dihukum ringan dan berada di dalam penjara yang nyaman karena ulah
mafia hukum, sementara anak-anak negeri terbengkalai kebutuhannya, kondisi layanan
publik berupa infrastruktur, kesehatan, pendidikan, masih jauh dari memuaskan.
Singkatnya, eksekutif, legislatif dan yudikatif dilanda krisis kepercayaan yang
membahayakanintegritas bangsa.Makalah ini membahas solusi permasalahan keterpurukan
bangsa dari sudut dasar ideologi dan kepemimpinan bangsa, didukung kajian sejarah bangsa
Indonesia maupun belajar dari sejarah bangsa-bangsa lain, berdasarkan studi literatur dan
studi ketauhidan.
Ideologi danKepemimpinan: Syarat Mutlak Keberhasilan
Beberapa definisi ideologi (http://id.wikipedia.org/wiki/ideologi#Definisi_Ideologi)
merumuskan: Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa
(Machiavelli). Karl Marx yang terkenal dengan ideologi sosialisnya mengatakan ‘ideologi
merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat.
Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa Ideologi (Mabda’) adalah suatu aqidah
aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang
menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum
dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah
alam kehidupan di dunia ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh
mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan
thariqah.
40 Innovative Governance
Dari sejarah bangsa di dunia, kita melihat bahwa ideologi yang berhasil dan bertahan
adalah yang mengupayakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, bukan sekedar
mempertahankan kekuasaan penguasa.Amerika yang dikenal sebagai Negara kapitalis pun,
menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan individu, yang dijaga
melaluidemokrasi. Hanya, ideologi yang sempurna menurut penulis adalah yang juga
memasukkan pemikiran mengenai kehidupan akhirat, yang dilandasi oleh kepercayaan akan
adanya Pencipta awal, Sang Khaliq.
Di sisi lain, kepemimpinan diperlukan untuk menyelamatkan kondisi masyarakat yang
dalam kebodohan, ketidaktahuan.Harus ada yang menuntun dan menunjukkan jalan yang
terang dan lurus agar tercapai kondisi moral tinggi, penuh etika, keteraturan umum,
ketertiban berusaha, keamanan dan keadilan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara sesuai dengan ideologinya.Pada titik dimana masyarakat telah cerdas, maka
demokrasi akan tercipta, fungsi ‘check and balances’ harus dijalankan, untuk menghindari
pengkultusan pemimpin.
Tinjauan Sejarah
China. China memiliki sejarah kebangsaan dengan latar belakang kedinastian yang sangat
tua.Baru pada tahun 1949, Mao Zedong memproklamirkan China sebagai Negara republik.
Setelah berabad-abad China berada dalam jajahan asing dan perang saudara yang
berkepanjangan, akhirnya China menerapkan ideologi politik sosialis yang berkiblat ke
model Soviet.Tahun 1950, China mulai melakukan rekonstruksi ekonomi dan sosial, yang
diterima rakyat yang sudah lama jenuh dengan perang dan tentunya membuat ekonomi
sangat buruk, jauh dari pemerataan dan keadilan.Tiga gerakan Mao yang sukses, yaitu: 1.
Mengecilnya kesenjangan ekonomi yang dibarengi menipisnya feodalisme kedinastian di
China. 2. Pembangunan institusi kesehatan publik baik di kota maupun desa, dan 3.
Menumbuhkan sektor pertanian dan industri dalam kurun waktu 10 tahun (1949 – 1958).
Tahun 1956, Mao mulai bosan dengan ‘red-tape’ dan mulai melakukan reformasi
birokrasi.Namun, gaya otoriter Mao memakan banyak korban,tuntutan untuk demokrasi
makin kuat. Banyak friksi dan banyak korban berjatuhan, ekonomi China membaik namun
denganMao diberitakan menguburkan 40.000 kalangan akademis.
Saat ini, China telah menjadi Negara yang lebih terbuka, memiliki perguruan tinggi
akuntansi berstandar internasional di Beijing, pemerintahan yang lebih akuntabel, dengan
proses perijinan usaha yang terbuka dan mudah.Produk-produk China membanjiri semua
Negara, dan China mencengangkan dunia dengan berbagai keberhasilannya. China
memadukan ideologi sosialis-kapitalis dalam proses pembangunan bangsanya. Tapi, siapkah
kita meniru sejarah Mao dengan korban seperti itu?
Amerika. Reformasi di Amerika dipelopori oleh para pejuang reformasi secara
individual.Di awal tahun 1900, masyarakat melalui kelompok agama, media dan kelompok
politik ‘radikal’ mulai menuntut reformasi atas kondisi Amerika saat itu, sebagai respon atas
‘abuse’ politik dan korporasi.Usulan bervariasi mulai dari mereformasi kapitalisme Amerika
hingga menggantinya dengan sosialisme.Presiden Theordore Rosevelt tampil memimpin
reformasi yang dimulainya dengan perlindungan lingkungan, arbitrase dalam menangani
pergolakan batu-bara, dan memberantas monopoli yang merusak kepentingan
masyarakat.Selanjutnya, serangkaian individu melakukan reformasi sosial, pendidikan, anti-
KKN, keselamatan kerja, kesejahteraan sosial, angkutan kereta publik, hingga upaya
Innovative Governance 41
menerapkan ‘good governance’ dengan reorganisasi struktur pemerintah daerah,
mempekerjakan komisaris dan manajer kota untuk upaya reformasi kota/daerah.
Seluruh upaya reformasi tersebut diawali dengan menengok kembali kepada ideologi
dan adanya peran pemimpin yang tampil.Amerika berhasil ekonominya, tapi dengan catatan
penyakit moral, kriminalitas, pemerkosaan yang tetap tinggi. Pertanyaan yang timbul:
apakah Indonesia mau memisahkan keyakinan kepada Allah SWT dari kehidupan bernegara
atau menjadi Negara sekuler?
Damaskus.Kalifah Damaskus yang sangat terkenal adalah Umar II, atau Umar bin
Abdl Azis yang menjadi kalifah atau Kepala Pemerintahan pada kurun 717 s.d. 720.Beliau
adalah cucu dari sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar bin Khatab. Saat memegang tampuk
pimpinan, Umar II menangis karena memahami bahwa ia harus bertanggung jawab atas
kesejahteraan seluruh rakyat Damaskus, bertanggung jawab bukan hanya kepada rakyat, tapi
kepada Allah SWT, yang mencipta manusia. Padahal kondisi ekonomi dan sosial Damaskus
saat itu sangat buruk.
Langkah awal yang dilakukan Umar bin Abdl Azis adalah melakukan reformasi sosial
dan ekonomi, yaitu:
a. Segera meminta istrinya, seorang putri raja, untuk menyumbangkan harta kekayaannya ke
baitul maal, untuk kepentingan sosial kemasyarakatan.Dia mulai dengan diri dan
keluarganya, mengubah gaya hidup pengusaha menjadi khalifah yang sederhana.
b. Memperbaiki sistem pendidikan, menerapkan kode etik usaha, memperbaiki kondisi
moral masyarakat, dan memperbaiki sistem zakat dan perpajakan.
c. Membangun infrastruktur publik: membangun kanal, jalan, hotel-hotel bisnis, layanan
kesehatan yang membaik dan melarang pegawai Negara masuk ke dalam bisnis swasta,
melarang perbudakan, meredistribusi kepemilikan tanah. Menghimbau PNS agar
mendengar keluhan publik, dan menerapkan ‘whistle blower’ dengan hadiah 100-300
dirhams bagi pelapor, serta memperkuat militer untuk melindungi masyarakat.
Hanya dalam kurun waktu 3 tahun, Damaskus sejahtera, sulit memberi sedekah di dalam
negeri karena semua penduduk Damaskus sejahtera, bahkan pernikahan dibiayai Negara.
Gambaran pribadi Umar bin Abdl Azis sebagai pemimpin.
Fatimah, isteri Umar bin Abdl Azis menyatakan bahwa suaminya adalah seorang yang
saleh, berdoa dan berpuasa begitu banyak dan sangat takut kepada Allah. Beliau selalu
menangis setiap selesai sholat Isya hingga ia tertidur, dan sering bergetar kuat ditempat tidur,
saat memikirkan keadaan masyarakatnya dan merasa takut menghadapi kehidupan akhirat.
Beberapa pesan Umar bin Abdl Azis:7
a. “… Aku mengangkat kalian sebagai pengawasku yang harus berani
mengingatkan ku bila kalian mendapati aku berkata dan berperilaku salah.
Hentikan aku bila salah bertindak.”
b. “Ada 5 hal yang sering dilupakan hakim dan membuatnya salah, yaitu:
memiliki pandangan yang berbeda, berhati-hati, bersih, pemberi solusi,
berpengetahuan dan selalu ingin tahu kebenaran.”
7
Wikipedia
42 Innovative Governance
c. “Taqwa bukan berarti hanya berdoa sepanjang malam dan berpuasa setiap
hari, tapi untuk berkinerja melakukan tugas mulia, menghindari larangan.
Bila seseorang melakukan tindakan nyata untuk menambah dan menebarkan
kebaikan, ini akan menjadi cahaya di atas cahaya”.
Kaisar Romawi saat mendengar kematian Umar II menyatakan keheranannya bahwa
Umar bin Abdl Azis memilih hidup seperti pendeta padahal ia memiliki kekaisaran besar di
bawah telapak kakinya.” 8
Reformasi Birokrasi di Indonesia
Saat ini Pemerintah Indonesia tengah gencar melakukan reformasi birokrasi untuk mencapai
4 ukuran keberhasilannya, yaitu: Peningkatan kualitas layanan publik; Peningkatan kualitas
pengambilan kebijakan dan keputusan; Tidak ada penyalah-gunaan wewenang dan
Peningkatan efisiensi sumber daya.
Bagaimana pelaksanaannya atau bagaimana strategi manajemen perubahan yang saat
ini ditempuh?Apakah instansi pemerintah di Negara ini sudah memenuhi karakteristik pro-
reform? Karena bangsa ini percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka bentuk
akuntabilitas yang diterapkan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif harusnya juga tidak
berhenti pada laporan kepada sesama manusia.Setiap orang yang duduk dilembaga-lembaga
yang ditujukan untuk mengatur Negara dan mengupayakan kesejahteraan dan keadilan sosial
buat seluruh rakyat Indonesia, harusnya sadar bahwa mereka bertanggung jawab kepada
atasannya, kepada rakyat dan kepada Sang Pencipta, Allah SWT.
Ideologi Bangsa Indonesia: Pancasila
Kita tidak perlu resep atau teori-teori baru. Syarat untuk sukses membangun bangsa dan
Negara Indonesia sesungguhnya sudah dirumuskan oleh proklamator dan para ahli tauhid di
negeri ini melalui ideologi Pancasila, yang sudah disusun berdasarkan definisi ideologi yang
sempurna. Yang diperlukan adalah tindakan yang berbeda, yang benar mengikuti rumusan
yang dimaksud oleh penyusun Pancasila, tindakan yang digerakkan oleh hati nurani, oleh
manusia-manusia yang cerdas lahir dan batinnya.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini adalah suatu deklarasi,
janji, pernyataan bahwa bangsa Indonesia meyakini Allah yang tunggal. Artinya, manusia
takluk, tunduk pada kekuatan Ilahiah, tanpa melihat atau mengkotak-kotakan manusia ke
dalam berbagai bentuk suku, agama, ras, warna kulit.Inilah tauhid. Bhineka tunggal ika,
beragam suku bangsa, pendapat, namun tetap satu tujuan.Tujuan hidup manusia adalah
kembali kepada Sang Maha Pencipta. Segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali
kepada Allah. Jadi, sila pertama ini adalah fundamental keyakinan bangsa ini, yang menjadi
syarat efektifnya resep yang dirumuskan dalam Pancasila.Kemuliaan hati nurani diletakkan
pada tempat yang paling tinggi dalam melaksanakan hubungan antar manusia dan
semesta.Suatu azas yang mulia.
Pemerintah hendaknya bertanya pada ulama tauhid mengenai pencapaian sila pertama.
Mereka adalah ulama makrifat yang tidak pernah masuk media karena sangat tawadhu
menghindari popularitas. Bagaimana mengukur keimanan dan kebersihan hati?Para ahli
tauhid dapat mengukur dan memberikan cara-cara agar para pemberi dan penerima suap
8
Wikipedia
Innovative Governance 43
yang sudah lama mengkonsumsi makanan haram hasil KKN, termasuk para pemimpin yang
khilaf, dapat dibersihkan hati dan jiwanya agar dapat berperilaku baik. Dengan demikian,
sila pertama Pancasila ini dapat dicapai, sehingga bangsa ini naik derajatnya ke sila ke-2
Pancasila.
Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sebagian besar pemimpin negeri
ini belum lulus dari Sila pertama Pancasila. Itu sebabnya bahasan APBN ataupun APBD
antara eksekutif dengan legislatif negeri ini, masih kacau balau, penuh ego, jauh dari sifat-
sifat kearifan dan perjuangan membela kepentingan rakyat. Karena itu, pembentukan
manusia yang adil dan beradab menjadi mutlak diperlukan.
Manusia adil adalah manusia yang tidak membedakan derajat manusia berdasarkan
suku, agama, ras, warna kulit. Memperlakukan manusia sebagai manusia, penuh etika dan
kesantunan, dilandasi cinta dan kasih sayang.Ini adalah nilai-nilai luhur yang universal.
Manusia yang rakus, mengorbankan sesama manusia lainnya, merusak lingkungan alam
semesta, tentu tidak dapat lagi dikatakan manusia. Adalah tugas pemerintah, dengan bantuan
ahli tauhid, ulama atau guru-guru agama, membentuk moral dan etika tinggi, agar
kemanusiaan yang adil dan beradab terbentuk dan dijunjung tinggi.Tanpa ini, bangsa
Indonesia akan tumbuh dan berinteraksi secara ‘tidak beradab’ dan ‘tidak adil’. Ketidak-
beradaban ini sudah mulai kita saksikan di layar media elektronik dan dikabarkan melalui
berbagai media.
Secara normatif, kita semua bertanggung jawab atas keadaan ini.Secara institusi,
seluruh lembaga Negara yang terhormat tersebut tentu bertanggung jawab, termasuk partai-
partai yang menunjuk kader-kader mereka yang duduk sebagai wakil rakyat.Jangan pernah
merasa aman dan lepas dari tanggung jawab kita kepada Allah SWT, yang sudah kita
ikrarkan menjadi landasan ideologi di sila pertama Pancasila itu.Secara dunia kita memiliki
garis pertanggung-jawaban, sistem akuntabilitas diatur dalam sistem perundang-undangan
Negara ini.Secara batiniah, ruhaniah, setiap diri kita bertanggung jawab kepada Allah, Sang
Maha Pencipta.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Manusia yang tidak memiliki adab dan tidak
berkeadilan adalah manusia yang tidak utuh, tidak memiliki integritas.Bila integritas diri
PNS tidak utuh, retak, pecah, bagaimana PNS bersatu mengemban tugas mulia memikirkan
rakyat?Isu integritas individual ini sangat penting dan strategis dalam menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa. Indonesia hanya akan bersatu atau integritas bangsa akan utuh, sebagai
NKRI, bila sila ke dua sudah dicapai. Bila ini tercapai, apa yang disebut 'check and balances'
antara eksekutif, legislatif dan yudikatif bisa berjalan dengan baik dan akan menghasilkan
kinerja yang terus meningkat untuk kepentingan rakyat.
Bagaimana kita dapat menyatukankeragaman yang memang sudah natural sifatnya?
Bagaimana seluruh wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke ini tetap bersatu?
Jangankan antar daerah, di dalam satu daerah pun tentu sudah banyak keragamannya.Ada
dialek, agama, warna kulit, jenjang pendidikan, cara berfikir, semua mengandung unsur
perbedaan.Dalam satu keluarga, mustahil tidak ada yang berbeda. Bahkan, dalam setiap diri
manusia pun, ada suara yang berbeda dan saling tarik menarik dalam menentukan prioritas
tindakan dan perilaku.Dalam diri manusia, ada komponen-komponen parsial yang saling
berebut menjadi pemimpin diri. Ada akal pikiran yang diwadahi otak, ada hati nurani, ada
penglihatan, pendengaran.Ada suara dari dalam diri, ada suara dari luar diri.
44 Innovative Governance
Apakah dengan menyeragamkan pakaian, perbedaan itu hilang? Tentu yang hilang
hanya perbedaan pakaiannya saja, tapi cara pandang, sifat, sikap, tentu tidak bisa hilang
dengan seragam pakaian.Lalu bagaimana caranya?Jawabannya ada di Sila Pertama
Pancasila.Manusia yang sama-sama percaya kepada kekuatan Allah sebagai Sang Khalik,
akan berupaya mendengarkan nuraninya.Suara nurani tidak pernah bohong. Ia adalah tali
sambung antara manusia dengan Allah Sang Khalik. Dengan demikian kita akan berada di
bawah satu komando,yaitu Sang Pemilik Kebenaran, Sang Maha Raja.Dengan patuh pada
Sang Maha Raja, Allah, manusia akan memiliki tali sambung cinta dan kasih sayang yang
tulus antara sesama manusia dan bahkan dengan alam semesta.
Seperti hadis yang disampaikan Nabi Muhammad SAW: “orang beriman itu seperti
satu tubuh, bila ada yang sakit, maka yang lain akan merasakan sakitnya”. Ini adalah resep
dahsyat untuk kita menjaga persatuan dan kesatuan.Salah satu buah dari sila pertama
Pancasila.Dalam satu komunitas, biasanya sudah digerakkan oleh satu kesamaan suara hati,
satu tujuan, maka kekompakan komunitas tersebut pasti tinggi.Demikian juga dengan
kondisi bangsa ini. Bila semakin banyak penduduk, warga, PNS, non PNS, mendengarkan
nurani nya masing-masing, maka kita akan digerakkan ke-arah tujuan yang sama oleh Sang
Maha Raja, yaitu kebaikan buat seluruh umat manusia.Sang Maha Raja maha mengetahui
kebutuhan dan kemampuan dari setiap diri yang diciptaNya.Setiap diri akan diberi tugas dan
kemampuan yang pasti akan sesuai dan dapat membentuk harmoni, keselarasan dengan diri-
diri lainnya. Hasilnya akan luar biasa.Contoh keberhasilan di Damaskus, dan apa yang sudah
ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khatab yang mampu menyatukan Eropa, sudah cukup
menjadi bukti sejarah akan kebenaran hipotesa ini.
Sekarang, tinggal bagaimana pemerintah Indonesia, mau dengan sungguh-sungguh
mengupayakan pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan integritas individual agar
PNS serta para pejabat takut pada Allah dan akan sangat dekat dengan hati rakyat.Bendera-
bendera partai tidak akan memecah belah rakyat, otonomi daerah tidak akan merusak dan
mengancam persatuan bangsa, justru akan makin kuat dan mengikat karena rasa
persaudaraan yang tulus tumbuh karena Allah. Kesatuan dan persatuan bangsa akan terjaga.
Sila Ke-empat: Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan dan Perwakilan. Hanya manusia yang sudah adil dan beradab, memiliki
integritas dan mampu menjaga persatuan bangsa, dapat melakukan rapat dengan dilandasi
musyawarah, berlandaskan semangat kerakyatan.Prinsip pro growth, pro poor, pro job, pro
lingkungan, sebagaimana dicanangkan Presiden saat ini, hanya bisa mulus diperjuangkan
bersama di DPR, bila eksekutif dan legislatif nya sama-sama sudah menjadi manusia yang
penuh keadilan dan beradab, serta berintegritas. Bila sila ke empat tercapai, musyawarah
dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, dalam tata cara yang adil dan beradab serta dilandasi
semangat persatuan.
Kata-kata ‘Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan’,
bukanlah kata-kata tanpa makna.Sila ke-empat ini bermakna dalam. Perwakilan kata
dasarnya ‘wakil’. Siapa yang diwakili? Suara rakyat tentunya.Kita sudah sangat akrab
dengan pernyataan bahwa suara rakyat adalah suara Allah.Artinya? Wakil-wakil anggota
dewan yang terhormat itu harusnya mampu mendengarkan nuraninya, mampu
‘menghadirkan Allah’ dalam setiap kali musyawarah yang dilakukan.Semangatnya bukan
Innovative Governance 45
untuk saling menyerang, tetapi benar-benar menjunjung tinggi dan mengupayakan terjadinya
kehendak Allah, bukan kehendak pribadi-pribadi, bukan kehendak partai-partai.
Allah tidak akan hadir dalam hati manusia yang kotor, dalam suasana yang dikuasai
emosi, nafsu, ego, yang pecah pribadinya, tidak integritas. Harusnya rapat-rapat penting
kenegaraan itu dilakukan dengan penuh hikmah, bukan penuh teriakan emosi jiwa. Seluruh
wakil-wakil rakyat dan pemerintah harusnya berada pada kondisi integritas, menyatu dalam
tali persaudaraan, tali Allah.Pasti akan lahir penyatuan ide, menghasilkan kebijakan publik
yang inovatif, yang lahir dari suara nurani, untuk kebaikan seluruh rakyat.
Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia.Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia ini baru akan tercapai bila sila pertama hingga ke-empat sudah
terpenuhi.Ideologi bangsa Indonesia, Pancasila, sesungguhnya adalah suatu resep, suara cara
bagi bangsa ini untuk maju dan menjadi bangsa yang menjadi rahmat bagi semesta.
Menghidupkan Pancasila: Butuh Pemimpin Sejati
Pada era Soeharto, Pancasila diupayakan untuk hidup melalui berbagai penataran.Murid-
murid sekolah, mahasiswa, karyawan, semua ditatar.Dalam perekonomian juga disusun seta
dikembangkan apa yang kita kenal dengan Ekonomi Pancasila. Hasilnya?Banyak yang sudah
pesimis dan bahkan ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain.
Sesungguhnya bukan Pancasila nya yang salah, tetapi strategi penerapannya yang
salah.Pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan tidak mampu menjadi sosok Pancasilais.
Tidak mampu ‘walk the talk’. Ketika manusia hanya mampu bicara dan tidak mampu
memberikan contoh nyata dalam perilaku akhlak mulia sehari-hari, maka apa yang
disampaikan akan percuma, tidak mampu mengubah dan membentuk suatu ‘isme’ yang kuat.
Jadi, untuk menghidupkan kembali Pancasila, mulailah dari diri pejabat eksekutif,
legislatif dan yudikatifNegara ini. Rakyat akan ikut, sejarah menunjukkan itu. Apakah itu di
China, Amerika, Damaskus maupun sejarah kesuksesan jaman para sahabat Nabi
Muhammad SAW. Semuamenunjukkan adanya contoh nyata dari pemimpinnya.Bagaimana
bila tidak ada contoh nyata dari penguasa atau pemimpin formal di lembaga-lembaga Negara
yang terhormat?
Kita butuh pemimpin sejati, yaitu manusia-manusia yang bersih hatinya, yang mampu
bertindak dengan kusir nurani. Bukan hanya pejabat yang bisa jadi pemimpin. Tentu
tidak.Siapa pun sanggup menjadi pemimpin, apabila dirinya penuh integritas.Saat seseorang
mampu mendengar dan bertindak sesuai nuraninya, ‘inner voice’ yang dimilikinya, maka ia
telah siap menjadi pemimpin sejati.Banyak contoh perubahan yang dipimpin oleh ‘orang
biasa’, bukan Presiden, Bupati, Walikota, Gubernur atau Raja. Muhammad Gandhi salah
satu contoh legenda.Baru-baru ini, ada Aleta Baun (46) di NTT yang bisa memimpin 1500
masyarakat menghentikan perusakan lingkungan akibat tambang marmer di desanya
(Kompas, 20/4/2012). Walau jalan reformasinya lebih panjang, tapi tetap bisa dilakukan
dengan efektif. Inilah bentuk solusi indah dari Allah.
Teori pareto optimum mengatakan bahwa suatu organisasi akan sukses bila 20% orang
yang berada di dalamnya bekerja dengan benar.Untuk teori yang didasarkan pengetahuan
tauhid, dengan dasar hadis: “satu hati yang bersih mampu menyinari 1000 hati awam
lainnya”, maka Indonesia membutuhkan 250.000 orang yang berhati bersih agar bangsa ini
sejahtera dan berkeadilan sosial.Apabila di pemerintah ada 4.700.000 PNS, maka diperlukan
46 Innovative Governance
4.700 PNS yang hatinya bersih, sehingga memiliki kecerdasan akal yang jernih (intellectual
quotient), kecerdasan hati (spiritual quotient), agar mampu bertindak dengan cerdas (action
quotient), menjadi ‘innovative government’ yang mampu mensejahterakan bangsanya.
Bagaimana 4.700 PNS memiliki kecerdasan hati? Mulailah dengan membuat program
melatih pembentukan integritas individu bagi pegawai negeri. Ada 7 lembaga tinggi Negara,
34 Kementerian dan 529 propinsi/kabupaten/kota. Secara rata-rata, cukup 9 orang berhati
bersih dan cerdas di setiap lembaga pemerintahan pusat dan daerah, maka pemerintah kita
akan dapat bergerak dengan baik, digerakkan oleh nurani dan energi positif yang mampu
mengalahkan keinginan buruk yang menggoda manusia.Bayangkan, kita ‘hanya’ perlu 9
orang cerdas sejati untuk mengelola kantor kementerian, gubernur, kabupaten, kota, yaitu
para ‘champions’ untuk dapat menggulirkan roda reformasi birokrasi di sektor publik. Sekali
lagi, sudah saatnya pemerintah mencari dan bertanya kepada ahli tauhid, belajar bagaimana
membersihkan hati dan jiwa dengan sesungguhnya, untuk kemuliaan bangsa ini.
Innovative Governance 47
Daftar Pustaka
48 Innovative Governance
PUBLIC POLICY
Stakeholder Dalam Proses Negosiasi Kebijakan Relokasi
Ibukota Kecamatan
Studi Kasus Kecamatan Batulanteh Kabupaten Sumbawa
Amrullah
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Samawa (Unsa)Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat
Email: -
Abstrak: Policy issue has been the most difficult problem justified and confrontedwitheither
administrativeor political an sich reasons;moreover, it also turns out to be the part of
commitment culture availablewithinthe policy makers.Policy making is accompanied witha
series ofintricate and long activities,contradictions,segregations of inter-
stakeholderinterests, polarization issue; even, frequently, whena policy will be issued,it
iscolored withconflicts.
This study attemptsto describethe other sides of conflict process amongstakeholders in
order to support the realization of policy product, i.e., in relation withthe Batulanteh sub-
district relocation policy inSumbawa district. The main problem exposed in this research
concerns with: Why does the Negotiation Process of Relocation Policythat the stakeholders
conduct has not been successful yet?This question is broken downinto three important
questions, i.e.: 1).Who are the actorsinvolved in theprocess of the Relocation Policy
Negotiation? 2).What roles that stakeholders play in the negotiation process of Batulanteh
sub-district Relocation Policy Negotiation in Sumbawa District? 3).Whatare the conflict
dynamicsidentified and its implications on the delay of the relocation policynegotiation
process?
This is a case-study-based qualitative research. To obtain data for answering the
available problems,actor oriented approach technique is adopted (Snoijen, 1997). It is a
techniqueobserving the range of actor as subject that isconsidered as important and capable
to answerthe research problem. Result of this research shows that the delayin obtaining the
negotiation result by stakeholder, particularly primarystakeholder primer is unsuccessful to
identifythesubstantivenature of various techniques, approaches, andvalues to negotiate
withthe policy makers(Sumbawa District local government andDPRD). Weak movement
ofactorsin terms of negotiation style,technique, and capitalbecome negotiation practice
realitythat thestakeholders available inBatulanteh.The dynamicrelationship pattern and
conflict amongactors in such negotiation processhas provided implications to the
negotiation process as certainty that is conducted from to time. Meanwhile, on the other
hand,successful negotiation is impededby parochial issues and politicalinterests, suchasthe
site of the new sub-districtcapital. Unsuccessful negotiationis also caused bystakeholders’
incapability to prepare reliable supporting HR,data and negotiator. No political will
ofSumbawa District Local Government and DPRD in terms of the Relocation of Batulateh
sub-districtcapitalhas been available through PERDA (Local Regulation) or PERBUP
(District Head Regulation) on Relocation.
Kata Kunci: Stakeholder, Negotiation, Relocation Policy
Innovative Governance 51
LatarBelakang
Studi mengenai peran stakeholder dalam proses pembuatan kebijakan publik masih menjadi
menarik dan serius dalam studi administrasi publik. Menarik, karena domain kebijakan
bukan lagi klaim utuh pemerintah (eksekutif dan legislatif), sebab dianggap tidak selaras
dengan makna partisipasi dan demokratisasi yang terus bergulir dan dapat menggerus makna
Otonomi Daerah serta Good Governance yang sedang digalakkan (Sabatier dan Mazmaniam,
1983; Hill dan Hupe, 2004:4). Sebagian ruang tersebut sudah diberikan kepada aktor lain di
luar pemerintah (stakeholder dan masyarakat) serta bertujuan untuk mencegah munculnya
konflik berkaitan dengan kebijakan tersebut. Meskipun masih memerlukan penjelasan lebih
lanjut terkait dengan minimalisasi konflik atas sebuah produk kebijakan di mana dalam
proses pembuatannya melibatkan stakeholder lain di luar pemerintah. Pelibatan stakeholder
dalam area pembuatan kebijakan memiliki daya pikat tersendiri bagi pemerintah terkait
legitimasinya, sekaligus membawa dampak serius menjadikan policy maker menjadi
terdelegitimasi, ketika kebijakan yang dibuat tidak tepat sasaran, tidak akomodatif dan
solutif. Inilah alasan-alasan yang kemudian melahirkan kritik terhadap pemerintah, sebab
berbagai bentuk kebijakan yang gagal memecahkan masalah primer masyarakat berdampak
kepada tersendatnya akses kepada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang optimal,
salah satunya adalah sarana transportasi yang bagus, terutama sekali terhadap masyarakat
lokal atau adat yang memang sering tersisih secara geografis (Dwiyanto, dkk, 2002; Lihat
juga Anne-Christine Block dalam Asbjorn, dkk, 2001:399-407). Penyebabnya bisa saja
karena implementor kebijakan masih lalai, kurang profesional, terlalu prosedural dan
berbelit-belit dan juga faktor lain yang turut menjustifikasi keterlambatan pelayanan, sebab
akses, ruang dan wadah tersebut belum disiapkan dengan baik oleh pemerintah. Kondisi
tersebut sekaligus membuat berbagai prinsip pelayanan yang berkarakter good governance
seperti percepatan, ketepatan, kemurahan, akuntabilitas dan kualitas menjadi mentah
(Bappenas, 2004; Dwiyanto, 2004;2006; PSKK UGM, 2002).
Ide dasar studi ini sebenarnya berangkat dari realitas empiris, fenomena sosial
kompleks, unik sekaligus genit yang masih berlangsung dalam masyarakat kecamatan
Batulanteh terkait dengan eksistensi akan pengakuan mereka sebagai warga negara yang
sebenarnya sudah merasakan kemerdekaan layaknya warga masyarakat lain di sekitarnya
dan terus bergulir bagai bola salju. Snow ball kebijakan yang dirasakan tidak adil, kebijakan
yang dianggap hipokrit serta tidak berpihak kepada mereka telah melahirkan serangkaian
aksi kritik. (Lihat Gaung NTB, Edisi Oktober dan Desember 2003; Suratmi dalam
http://www.suarantb.com, tanggal 21 Desember 2010; Observasi Lapangan).
Munculnya keinginan-keinginan masyarakat tersebut tidak lepas juga dari faktor yang
mereka anggap sebagai bentuk penindasan oleh struktur yang telah lama terjadi, oleh
berbagai bentuk kebijakan yang kurang memihak kepada mereka, oleh berbagai kesulitan
yang mereka hadapi selama bertahun-tahun, baik itu dalam upaya memperoleh dan
menikmati layanan pendidikan, kesehatan dan juga ekonomi serta politik (Faqih, 2001).
Harus juga diakui bahwa serangkaian proses pembelajaran baik lewat jalur formal maupun
non formal adalah titik awal lahirnya sikap kritis dari aktor-aktor yang berperan dalam
melakukan inovasi di luar jalur formal proses kebijakan publik. Dalam realitasnya beragam
bentuk kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah dalam domain-domain
tertentu ternyata tidak lebih sebagai “tipu muslihat, hanya berusaha untuk tampil membela
52 Innovative Governance
dan mengakomodir kepentingan rakyat agar ia kelihatan seolah-olah berpihak kepada
rakyat” (Lynn dan Jay dalam Parsons, 2006:16).
Pro kontra, kontradiksi kepentingan, upaya membangun komunikasi dan interaksi
antar komunias maupun unit-unit sosial sekaligus mobilisasi kekuatan, penggunaan pengaruh
pada masing-masing elit-elit desa, kelompok-kelompok, sikap apatisme pemerintah, strategi
negosiasi yangdilakukan oleh stakeholder bisa jadi merupakan aroma yang susah
dihilangkan sejak proses formulasi sampai dengan implementasi kebijakan tidak terkecuali
dalam kasus Relokasi Ibukota Kecamatan Batulanteh. Melihat peran yang dilakukan oleh
stakeholder serta dinamika yang berkembang dalam upaya mendorong lahirnya kebijakan
yang aspiratif, partisipatif, populis dan nir kekerasan biasanya terkadang lepas dari
kaleidoskop para periset dan analis kebijakan. Realitas ini ternyata memiliki nilai genit
tersendiri untuk dikaji secara lebih mendalam, motivasi untuk melakukan riset tersebut
sesungguhnya tidak terlepas dari persoalan tersebut.
Masalah pokok yang kemudian diangkat dalam tulisan ini adalah: Mengapa proses
negosiasi kebijakan relokasi ibukota Kecamatan Batulanteh Kabupaten Sumbawa yang
dilakukan belum berhasil?Dari masalah pokok di atas, kemudianditurunkan lagi ke dalam
masalah-masalah yang lebih spesifik yaitu:1). Siapa saja aktor yang terlibat dalam proses
negosiasi kebijakan relokasi ibukota Kecamatan Batulanteh? 2). Bagaimana bentuk peran
yang dilakukan stakeholder dalam proses negosiasi kebijakan Relokasi Ibukota Kecamatan
Batulanteh Kabupaten Sumbawa? Dan, 3). Bagaimana dinamika konflik yang terjadi
terhadap keterlambatan proses negosiasi kebijakan Relokasi Ibukota Kecamatan Batulanteh
tersebut?
Pada prinsipnya tulisan ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis
berbagai masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, sehingga diperoleh gambaran
komperehensif mengenai dinamika yang muncul selama proses Relokasi Ibukota Kecamatan
Batulanteh Kabupaten Sumbawa berlangsung.
Baca secara fonetik
Konsep Kebijakan Publik, Stakeholder dan Konflik
Secara teoritis, kebijakan publik dapat dimaknai sebagai“…a purposive course of action
followed by an actor or set of actors in deadling with a problem or matter of concern” atau
serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seorang pelaku atau kelompok guna memecahkan suatu masalah (Anderson, 1979:3).
Kebijakan publik tidak lain adalah aksi pemerintah yang memiliki kewenangan, sebagai
bentuk respons, sebagai alternatif pilihan atau respon balik dari pemerintah dan bisa
dipandang sebagai justifikasi yang dibuat oleh aktor atau sekelompok orang atau stakeholder
(Young dan Quinn dalam Suharto: 45-46). Di samping itu, kebijakan juga berupaya untuk
mengatur alokasi nilai, kepentingan dan aspirasi yang datang dari masyarakat, sehingga tidak
menimbulkan konflik ketika kebijakan tersebut diimplementasikan. Karenanya, kebijakan
publik juga tidak bisa dilihat dari perspektif positivis dan rasionalitas semata dengan
mengabaikan realitas sosial terbuka yang berdiri dibelakangnya (Peter dan Hidler (1984) dan
Dobuzinskis (1992) dalam Sukardi (2002).
Konsekuensinya adalah, ranah kebijakan menjadi susah ditahbiskan dari beragam
intervensi dan kepentingan baik individu atau aktor maupun stakeholders, bahkan ranah
Innovative Governance 53
kebijakan inilah yang dianggap paling bertanggungjawab terhadap munculnya kontradiksi,
pergulatan kepentingan serta konflik yang terjadi antar kelompok maupun individu
(aktor/stakeholders) dalam masyarakat. Karena mereka merasa memiliki kepentingan
terhadap sebuah kebijakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Anderson (1979) bahwa arena
kebijakan bukanlah arena yang steril bahkan inilah arena yang paling dianggap
bertanggungjawab untuk mengakomodir berbagai bentuk permasalahan, segregasi
kepentingan mulai dari individu sampai negara. Menilik Hille dan Hupe (2002:4)
sesungguhnya kebijakan publik tidak terlepas dari permainan politik, terutama dalam proses
implementasinya (lihat juga Dunn,1994; Parson,2002; Anderson,1979). Sebenarnya definisi
kebijakan publik dapat dipandang subyektif karena banyak yang melihat dari perspektif
aturan-aturan untuk agen publik (Hoogwood dan Hown (1984) dalam Hill dan Hope 2002:4).
Pada level inilah urgensi logika dari pendekatan advocay coalition framework atau ACF
(Sabatier dan Smith, 1993) sebagai pendekatan utama yang digunakan penulis. ACF
sejatinya hanyalah sekian dari beragam pendekatan dalam menganilisis kasus-kasus yang
berhubungan dengan kebijakan publik. Disadari juga bahwa penggunaan ACF dalam
diskursus negosiasi kebijakan dapat dipandang penting karena ada wilayah lain yang
memang jarang tersentuh “kalau tidak, memang mereka para analis kebijakan tidak mau
masuk ke dalam menjadi “aktor” dalam proses kebijakan, yaitu peran mereka sebagai analis
sekaligus sebagai agen/aktor perubahan itu sendiri. Dalam konteks ini, ACF membimbing ke
arah perubahan kedudukan periset maupun analis menjadi bagian dari proses tersebut.
Kemunculan aktor atau stakeholder9 dalam proses pembuatan kebijakan telah
melahirkan beragam pola hubungan yang terbangun diantara mereka. Ketika para
aktor/stakeholder ingin meloloskan aspirasi, kepentingan dan kebutuhan mereka untuk
diakomodir dalam sebuah kebijakan. Seringkali dan bahkan aktor atau stakeholder yang
memiliki kepentingan terhadap suatu kebijakan tertentu, harus menegosiasikan masalah-
masalah tersebut, agar kepentingan, nilai, kebutuhan maupun aspirasi mereka diakomodir.
Implikasi dari dinamika ini adalah bahwa proses pembuatan kebijakan publik juga diwarnai
oleh negosiasi, pro-kontra bahkan konflik antar aktor maupun stakeholder itu sendiri.
Konflik10 kebijakan adalah hasil dari adanya berbagai bentuk kontradiksi kepentingan
yang terjadi ketika proses pembuatan kebijakan tersebut berlangsung. Tahap yang paling
9
Taksonomi stakeholder memang sangat beragam, ada yang menyebutnya dengan stakeholder
Internal –Eksternal Organisasi/Perusahaan(pemahaman umum yang ditemui), Stakeholder cakupan
tradisional (Eden and Ackermann) vs perluasan cakupan karena pertimbangan aspek demokrasi
dan keadilan sosial (Nutt and Backoff and Bryson, 1992) Primer – Penambahan Lingkungan
sebagai stakeholder (Cathy Dricoll, & Mark Starik, 2004) Kontraktual–Komunitas (Thomas
Clarke, 1998) dalam Wibowo, Pamadi (2008: 11). Dalam konteks ini, taksonomi yang disodorkan
Allen dan Livington (2004) yang membagi stakeholder menjadi stakeholder primer dan sekunder
(Suharto, 2008:125-126). Stakeholder primer yakni kelompok atau individu yang berkepentingan
langsung dengan kebijakan atau masyarakat (lihat juga Cathy Dricoll & Mark Starik (2004) dalam
Wibowo, 2008:11). Sedangkan stakeholder sekunder merupakan lembaga perantara atau pelaksana
kebijakan atau pemerintah. Stakeholder sekunder tidak lain adalah pihak lain selain stakeholder
primer (lihat juga Lassa dan Nakmofa, 2007:6).
10
Konflik adalah pertarungan dan perebutan sumberdaya, maupun upaya untuk melanggengkan
kekuasaan seringkali menggunakan berbagai cara-cara yang identik dengan dan atau konflik.
Orang yang terdidik seringkali bertanggung jawab dalam beberapa konflik kekerasan dalam
sejarah manusia. (Kriesberg, Louis (1973) Social Conflicts, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.,
2nd edition (1982) dalam Thun Ju Lan, 2008, hal.1. Secara sederhana, Coser (1956) mendefinisikan
konflik sebagai bentuk pertarungan antara dua atau lebih orang dalam mempertentangkan nilai-
54 Innovative Governance
rentan terhadap munculnya konflik dalam kebijakan ini ada pada tahap formulasi kebijakan.
Dalam kaca mata kaum pluralis, menurut Parsons (2006:137), mereka cenderung melihat
kebijakan publik sebagai hasil dari kompetisi bebas antara ide dan kepentingan. Dengan
demikian, kemunculan aktor-aktor tersebut juga biasanya berdasarkan atas isu, begitu juga
dengan peran serta alternatif yang dipilih juga berbeda-beda (Polsby, 1963:60 dalam
Parsons, 2006:137). Munculnya kompetisi bebas berkaitan dengan ide, kepentingan dan
kebutuhan akan kelompok dan individu (Pruitt dan Rubin, 2009:21) inilah yang biasanya
melahirkan konflik dalam proses kebijakan. Lebih lanjut menurut Pruitt dan Rubin (hal.24-
26) bahwa faktor aspirasi menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari
kecenderungan munculnya konflik, karena rigidity dari aspirasi-aspirasi yang tetap mereka
pertahankan.
Hasil Penelitian
Negosiasi Kebijakan Relokasi
Proses negosiasi kebijakan relokasi ibukota kecamatan Batulanteh telah berlangsung sejak
Tahun 2006 yang dilakukan oleh semua stakeholder maupun aktor yang ada di Batulanteh,
dapat ditelisik dari sekuen waktu yang berbeda. Berdasarkan data yang ada, sebenarnya
proses ini telah dimulai dengan pra kondisi sejak Tahun 2003 akhir, yaitu ketika
Musyawarah Masyarakat Batulanteh I di gelar Tanggal 27 Desember 2003 di Semongkat
Ibukota Kecamatan Batulanteh, kemudian dilanjutkan dengan Musyawarah Masyarakat Adat
Batulanteh pada Tanggal 4-5 September Tahun 2005 di Desa Baturotok Kecamatan
Batulanteh (FKPMB-S, 2005). Dua fase ini, jika merujuk kepada taksonomi sebagaimana
yang diajukan Sabatier dan Smith (1993) lewat proponen ACF11 adalah bagian dari proses
pembelajaran awal bagi koalisi advokasi dalam subsistem kebijakan yaitu aktor dan
stakeholder yang ada di Batulanteh.
nilai, atau dalam kompetisi untuk status, kekuasaan dan sumber daya yang terbatas, dimana tujuan
masing-masing pihak adalah menetralisasi, melukai dan menghilangkan lawannya. Konflik juga
dapat dimaknai sebagai “perbedaan antara keduanya adalah bahwa yang pertama tidak mencakup
resolusi yang bersifat konsensus, sementara yang kedua berarti bahwa konflik bisa ditangani.
Selama ada saluran untuk dan bisa dilakukan dialog, partisipasi dan negosiasi, konflik itu bersifat
konstruktif. Ketika jalur-jalur untuk dialog, partisipasi dan negosiasi ditutup, maka muncul
kekecewaan, frustasi dan kemarahan yang diekspresikan dalam bentuk protes, represi dan
kekerasan. Agerback (1996) dalam Ju Lan dalam Pengantar Studi Perdamaian dan Teori
KonflikDasar, Makalah pada Materi untuk kegiatan In Class I Program Pendidikan Fasilitator
Perdamaian Berbasis Komunitas Untuk Pencegahan dan Penanganan Konflik Secara Cepat -
Institut Titian Perdamaian, Cibogo-Bogor, 7 Maret 2008.
11
ACF atau Advocacy Coalition Framework adalah suatu pendekatan atau teori dalam studi
administrasi publik yang pertama kali di-launching oleh Paul Sabatier dan W.Jenkin Smith dalam
karyanya yang berjudul Policy Change and Learning; An Advocacy Coalition Framework.
Pendekatan ACF yang digunakan di sini sejatinya lebih memudahkan untuk mengeksplorasi
berbagai bentuk interaksi, komunikasi atau negosiasi bahkan keyakinan yang terbentang dan
terbangun antar aktor yang ada dalam proses formulasi sebuah kebijakan, bukan hanya sekedar
tawaran dari aktor formal pembuat kebijakan, melainkan juga urgensi gagasan dari pihak eksternal
“stakehoder” (Sabatier dan Smith, 1993:42). Ada empat kerangka kerja dari pendekatan ACF ini,
yaitu: a. Memahami bagaimana proses perubahan kebijakan membutuhkan waktu satu dekade atau
lebih, b. Cara paling bermanfaat untuk berfikir tentang perubahan tersebut adalah fokus pada
interaksi para aktor dari institusi yang berbeda yang ingin mempengaruhi keputusan pemerintah
dalam bidang kebijakan, c. Subsistem tersebut meliputi dimensi antar pemerintahan, dan d. Bahwa
kebijakan atau program bisa dikonseptualisasikan dalam keadaan yang sama sebagai suatu sistem
kepercayaan.
Innovative Governance 55
Pada Tahun 2006 merupakan awal dimulainya proses negosiasi kebijakan secara lebih
terstruktur dan lebih kelihatan sistematis oleh stakeholder, karena ada main issue yang
mereka usung dan mendapat respons tidak saja secara praktis-administratif an sich, tetapi
juga sudah berimplikasi politis. Isu Relokasi Ibukota Kecamatan yang digelindingkan dalam
Mubes di Desa Tepal pada Tanggal 14-15 Januari Tahun 2006, mendapat tempat tersendiri
bagi aktor maupun kelompok kepentingan (stakeholder) di Batulanteh, bahkan pihak
eksekutif dan legislatif diKabupaten Sumbawa.12 Dalam Mubes ini berhasil di bentuk
KPRKB (Komite Persiapan Relokasi Ibukota Kecamatan Batulanteh) berdasarkan SK.
Panitia Mubes Nomor: 01/Pan-Mubes/Batulanteh/2006, Tanggal 15 Januari Tahun 2006 dan
Penetapan Desa Tepal sebagai Calon Ibukota Kecamatan Batulanteh, sesuai dengan SK.
KPRKB Nomor:02/KPRKB/I/2006. Menindaklanjuti hasil Mubes tersebut, KPRKB yang
diamanatkan oleh Mubes sebagai pelaksana teknis persiapan relokasi yang dipimpin oleh
Ketua KPRKB H.A.Muis, pada bulan Februari Tahun 2006 melakukan rapat tertutup dengan
pimpinan DPRD Sumbawa. Meskipun belum ada kesepakatan hitam di atas putih melainkan
lebih formal-oral.13
Mispersepsi dan misinterpretasi, kendala teknis-administratif dan lemahnya komitmen
stakeholder yang ada menyebabkan proses negosiasi mengalami kebuntuan pada Tahun
2007-2008. Baru pada Tahun 2009, gerakan menuntut relokasi kembali dilancarkan, nir
KPRKB secara kelembagaan.14 Tahun 2010 sampai dengan awal Tahun 2011, berbagai
kegiatan baik formal maupun non formal untuk menegosiasikan agar relokasi ibukota
kecamatan telah berlangsung secara massif, meski pada akhirnya negosiasi gagal
menghasilkan kesepakatan yang mengakibatkan tertundanya relokasi ibukota kecamatan.15
Kegagalan ini disebabkan karena adanya “distrust” serta perasaan lokalitas yang tinggi antar
aktor atau stakeholder dalam subsistem kebijakan di Batulanteh.
Stakeholder dan Kepentingannya dalam Proses Negosiasi
Hampir semua aktor maupun stakeholder yang ada di Batulanteh telah memainkan peran dan
memiliki kepentingan terhadap relokasi. KPRKB, Toma, Topen, Garbup, Fommaba,
Pebisnis Lokal, Akademisi sampai dengan Pemilik Hartof memiliki kepentingan terhadap
12
Pasca Mubes semua kelompok mulai dari mahasiswa, kepala desa, Toga, Toma, Topen, individu
bahkan Pemda dan DPRD Sumbawa sangat antusias dengan adanya ide relokasi tersebut. Mereka
mulai merasakan bahwa solusi ini adalah yang paling rasional didorong untuk mengantisipai
mandegnya pembangunan jalan ke Batulanteh. Demikian, isu relokasi telah melahirkan beragam
aktor dan stakeholder yang selama ini bungkam dan tidak pernah bersuara untuk Batulanteh.
13
Wawancara dengan H.A.Muis, S.Pd (Ketua KPRKB), Tanggal 13 Juni 2011
14
Gaung NTB, Edisi 21 April 2009 dan 31 Desember 2010. Kemudian Sumbawa News.Com, Edisi
12 Januari 2011.
15
Gagalnya negosiasi ini disebabkan adanya konfigurasi aktor yang tersegregasi oleh isu dan
kepentingan sangat kuat, terutama aktor dan stakeholder yang ada di Tepal dan Baturotok. Puncak
awal lampu hijau akan gagalnya negosiasi ini terlihat dalam Rapat di Aula Kantor Camat
Batulanteh Tanggal 08 Februari 2011. Di mana Desa Klungkung dan Batudulang yang awalnya
mendukung mulai menolak Relokasi Ibbukota Kecamatan. Kemudian Tepal dan Baturotok
terjebak dalam kepentingan politik parokial mengenai tempat ibukota. Puncaknya adalah ketika
pertemuan tertutup yang hanya boleh dihadiri oleh kepala desa, ketua BPD, TPRK, Kecamatan
dan Pemda yang dilangsungkan di Ruang Sekda Sumbawa pada Tanggal 10 Januari 2011.
Hasilnya adalah Relokasi ditunda sambil menunggu adanya kesepakatan antara Tepal dan
Baturotok. Kondisi ini adalah momentum bagi Pemda DPRD Sumbawa (meskipun di satu sisi
mendukung relokasi) untuk mengulur-ulur waktu realisasi kebijakan Relokasi tersebut.
56 Innovative Governance
relokasi. Akan tetapi, masing-masing aktor memiliki kadar kepentingan yang berbeda ketika
mereka berbicara Ibukota, ada yang sifatnya apatis (yang penting relokasi, persoalan ibukota
di mana saja), Meski harus juga di akui, ada sebagian dari individu yang ada dalam koalisi
tersebut memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat calon ibukota baru nantinya.
Sementara Batudulang dan Klungkung, meskipun menolak secara formal relokasi, mereka
tetap mendukung keinginan empat desa. Hanya Tepal dan Baturotok yang tampaknya
memiliki kepentingan besar terhadap relokasi, karena sama-sama menginginkan agar Ibukota
ditempatkan di desa mereka.
Harga sebuah kebijakan mungkin sangat tergantung dari apakah kebijakan tersebut
akan memberatkan pemerintah dari sisi anggaran, atau menghadirkan situasi sosial yang
berbeda, atau kebijakan tersebut adalah produk yang rentan konflik, apakah kebijakan
tersebut adalah bagian dari solusi untuk percepatan reformasi birokrasi dan percepatan
pelayanan publik, apakah kebijakan tersebut adalah bagian dari efektifitas dan efisiensi
pelayanan publik. Bisa saja kebijakan tersebut ternyata memberikan dampak siginifikan bagi
keuntungan bagi partai-partai politik yang ada atau sebaliknya jika kebijakan tersebut
diterapkan akan menggerogoti legitimasi suara partai-partai yang pada saat-saat pemilu
merasa diuntungkan, maka kebijakan tersebut harganya bisa lebih mahal untuk dijual dan
atau ditahan dulu proses barternya. Tampaknya kebijakan relokasi adalah proses barter
kebijakan yang belum ada titik temu dan kesepakatan harga dari penjual (Pemerintah) dan
pihak pembeli (Masyarakat Batulanteh). Meski pada awalnya “Isu Relokasi” itu adalah
barang mentah yang ditawarkan masyarakat Batulanteh untuk diolah menjadi barang siap
pakai yaitu “Relokasi”. Pentakrifan ini dilihat dari Perspektif Sebab dari domain yang lebih
spesifik sifatnya. Ketika isu mau dijadikan produk, kelihatannya Pemda sebagai pembuat
kebijakan tampaknya ingin menjual dengan harga yang jauh di atas rata-rata harga yang
berlaku di pasaran kemampuan publik untuk membelinya. Harga mahal tersebut tercermin
dari lamanya tarik ulur proses implementasi, argumen-argumen yang diajukan, pro kontra
pendapat antar eksekutif-legislatif, silang pendapat antar penentu kebijakan, pro kontra antar
desa terkait relokasi, bahwa relokasi tidak dijual secara eksplisit di dalam UU maupun PP
tentang Kecamatan dan bahwa kebijakan adalah suatu produk hukum dari proses pertarungan
politik dan kepentingan dan bahwa kebijakan senantiasa bermuatan konflik.
Tetapi jika dilihat dari Perspektif Dampak, relokasi adalah sebentuk inovasi
kebijakan yang ingin dipertahankan masa lentur realisasinya oleh penjual isu kebijakan itu
sendiri yakni stakeholder primer16 yang ada di Batulanteh. Ketika kebijakan Relokasi hampir
saja sukses disepakati di meja negosiasi, mereka justru gagal menegosiasikan diri mereka
16
Taksonomi stakeholder memang sangat beragam, ada yang menyebutnya dengan stakeholder
Internal –Eksternal Organisasi/Perusahaan(pemahaman umum yang ditemui), Stakeholder cakupan
tradisional (Eden and Ackermann) vs perluasan cakupan karena pertimbangan aspek demokrasi
dan keadilan sosial (Nutt and Backoff and Bryson, 1992) Primer – Penambahan Lingkungan
sebagai stakeholder (Cathy Dricoll, & Mark Starik, 2004) Kontraktual–Komunitas (Thomas
Clarke, 1998) dalam Wibowo, Pamadi (2008: 11). Dalam konteks ini, taksonomi yang disodorkan
Allen dan Livington (2004) yang membagi stakeholder menjadi stakeholder primer dan sekunder
(Suharto, 2008:125-126). Stakeholder primer yakni kelompok atau individu yang berkepentingan
langsung dengan kebijakan atau masyarakat (lihat juga Cathy Dricoll & Mark Starik (2004) dalam
Wibowo, 2008:11). Sedangkan stakeholder sekunder merupakan lembaga perantara atau pelaksana
kebijakan atau pemerintah. Stakeholder sekunder tidak lain adalah pihak lain selain stakeholder
primer (lihat juga Lassa dan Nakmofa, 2007:6).
Innovative Governance 57
sendiri akan kesamaan persepsi dan nilai yang telah dibangun, bahwa relokasi adalah
keniscayaan untuk meretas mata rantai ketersendatan, keterlambatan dan keterisolasian yang
mereka anggap selama ini mendera lingkungan politik, sosial-budaya, pendidikan dan
administrasi publik di Batulanteh. Anehnya mereka sendiri yang menginginkan, tetapi pada
saat yang sama mereka tidak menginginkan adanya relokasi. Sepertinya mereka
(stakeholder) ini sedang mengalami kelelahan (stakeholder fatigue), karena sudah demikian
lama bertarung dengan para penentu kebijakan untuk mempercepat realisasi relokasi
tersebut.
Ekspektasi relokasi tersebut akan sirna berbarengan dengan segregasi kepentingan
yang semakin menguat antar beberapa kelompok dominan dan penting yang ada di
Batulanteh. Stakeholder non formal nampaknya telah menjual isu yang mahal tersebut
dengan sangat murah sekali yaitu penundaan untuk jangka waktu yang tidak pasti atau
bahasa tepatnya “kegagalan”. Kondisi ini sekaligus mempertahankan tesis dan argumen
antropologis tentang persepsi sejarah akan karakter maupun stereotif terhadap masyarakat
pedalaman yang susah untuk bermetamorfosis dengan laju dan arus perubahan sosial yang
melingkari dan melingkupinya sekaligus bagaimana persepsi masyarakat tentang
kebudayaan yang mereka miliki sendiri (lihat juga Tania Li, 2002).
Interaksi dan konflik antar Aktor dan implikasinya terhadap Proses
Relokasi
Terkait dengan bentuk interaksi dan konflik yang terjadi selama proses relokasi ini dapat
dilihat dalam gambar di bawah ini:
Gambar 1.
Aktor-Aktor, Pola Hubungan, Sensitifitas Terhadap Isu/Interest
Dalam Proses Relokasi Ibukota Kecamatan Batulanteh Sumbawa
58 Innovative Governance
Gambar2.
Pola Interaksi-Komunikasi, Hubungan dan Konflik antar Aktor/ Stakeholder
dalam Proses Negosiasi Kebijakan Relokasi
Innovative Governance 59
Dalam kenyataannya konflik yang terjadi tidak selamanya berdampak negatif dengan
tertundanya relokasi, akan tetapi konflik kepentingan yang ada antar desa ini semakin
memperkuat isu dan percepatan relokasi. Karena negosiasi, meskipun belum memperoleh
kesepakatan, tetapi stakeholder di Batulanteh tetap memandang bahwa negosiasi, konsolidasi
dan koordinasi akan terus dilakukan sampai relokasi ini berhasil. Sementara itu, harus
diiakui bahwa kegagalan negosiasi disebabkan karena sistem administrasi desa yang masih
lemah, koordinasi, komunikasi, konsolidasi, pemahaman terhadap pola, teknik negosiasi
yang baik dan elegan dan belum adanya komunikator atau negosiator yang handal menjadi
penyebab gagalnya negosiasi. Selain itu, kuatnya segregasi kepentingan antar aktor, masih
adanya perasaan lokalitas yang tinggi serta terjadinya distrust antar stakeholder di Batulanteh
juga menjadi penghambat negosiasi sekaligus tertundanya kebijakan relokasi Ibukota
Kecamatan Batulanteh.
Penutup
Berdasarkan analisis singkat di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa diperoleh. Pertama,
Masih lemahnya pergerakan aktor berkaitan dengan: cara mereka bernegosiasi, kesiapan
SDM serta kemampuan mempersiapkan negosiator yang handal dari pihak penego relokasi,
adalah realitas praktek negosiasi yang dilakukan oleh stakeholder di Batulanteh. Di samping
itu, stakeholder primer belum mampu melakukan negosiasi internal antar mereka dengan
baik.Kedua, aktor atau stakeholder yang berperan selama proses negosiasi ini tidak saja aktor
atau stakeholder sekunder, tetapi juga masyarakat Batulanteh sebagai stakeholder primer.
Ketiga, stakeholder ini telah memainkan peran yang sangat dinamis baik itu negosiatif
maupun peran konfliktif.
Keempat, Kegagalan negosiasi disebabkan oleh gagalnya koalisi advokasi yang
dibangun oleh masyarakat dalam mengusung nilai kebersamaan terhadap pentingnya relokasi
karena adanya segregasi kepentingan antar aktor atau stakeholder di Batulanteh. Kelima,
Belum adanya ketegasan dan keberanian serta political will dari Pemda dan DPRD Sumbawa
terhadap aspirasi masyarakat Batulanteh yaitu melalui pembuatan Perda dan Perbup Relokasi
Ibukota Kecamatan. Kesimpulan di atas, dapat menjadi bahan masukan dan saran bagi
stakeholder dan pemerintah ketika mendorong dan membuat suatu kebijakan yang aspiratif,
akomodatif sekaligus nir konflik.
Daftar Pustaka
Anderson, James.A. 1979. Public Policy Making, Second Edition. USA: Holt, Rinehart And
Winston.
Alfian dan Sjamsuddin. 1991.Profil Budaya Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Abidin, Said Zaenal. 2002. Kebijakan Publik, Jakarta: Penerbit Pancur Siwah.
Amrullah, 2009. “Eksistensi Masyarakat Dataran Tinggi di Kabupaten Sumbawa dan
Keberpihakan Kebijakan”, dalam Jurnal Komunitas, KPI IAIN Mataram, Vol.1,
Hal.1-20.
60 Innovative Governance
Bungin, Burhan. (Editor), 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis
ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: RajawaIi Press.
Bappenas RI, 2004. Rencana tindak lanjut reformasi Birokrasi. Direktorat Aparatur Negara
Bappenas
Baiquni, M, dan M. Rijanta. Konflik Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Dalam Era
Otonomi dan Transisi Masyarakat; Pemahaman Teoritis dan Pemaknaan Empiris,
Artikel, TT, Tanpa Penerbit.
Carpenter, Susan L, and W.J.D.Kennedy. 1988. Managing Public Dispute; A Practical
Guide to Handling Conflict and Reaching Agreement. San Fransisco-London: Jossey-
Bass Publisher.
Cohen, Herb. 1992. Negosiasi. Jakarta: PT.Pantja Simpati.
Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Edisi 2). Yogyakarta: Gama
Press.
Dwiyanto, Agus (Editor). 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogjakarta: Gama Press.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gama
Press.
________________, 2003. Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Yogyakarta: PSKK UGM.
Eide, Asbjorn, Catarina Krause dan Allan Rosas. 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Alihbahasa oleh: Rini Adriati, Depkumham RI Dan SIDA.
Farazmand, Ali. 2004. Sound Governance in Policy and Administrative Innovations.
Westport, CT:Praeger.
Frederickson, George H. 2003. Administrasi Negara Baru.Jakarta:LP3ES.
___________________, and Kevin B.Smith. TT. Reviewed From: The Public
Administration Theory Primer, Pascasarjana Administrasi Negara UGM
Hill, Michael dan Peter Hupe. 2002. Implementing Public Policy. London UK: Sage
Publication.
Hefner, Robert W. 1999. Geger Tengger; Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.
Yogyakarta: LKIS.
Hadi, Priyono Ido. 2000.Teknik Negosiasi Untuk Sukses, Handout Perkuliahan UK Petra
Julmansyah, 2008. Sumbawa Menjelang Setengah Abad, Pemda Sumbawa.
Ju, Lan Thun. Pengantar Studi Perdamaian dan Teori Konflik Dasar, Materi untuk kegiatan
In Class I Program Pendidikan Fasilitator Perdamaian Berbasis Komunitas Untuk
Pencegahan dan Penanganan Konflik Secara Cepat - Institut Titian Perdamaian,
Cibogo-Bogor, 7 Maret 2008.
Jamin, Mohammad, Muhammad Rustamaji. TT. Negosiasi. Handout Perkuliahan FH
Univ.Sebelas Maret Solo.
K.Denzim, Norman, Ivonna S.Lincoln.1994. Handbook of Qualitative Research. Sage
Publication.
Kabupaten Dalam Angka Tahun 2009, BPS Sumbawa.
Jonatan Lassa/Yus Nakmofa. Stakeholder Analisis Dalam CBDRM: Modul 4.2. TOT
CBDRM HIVOS Aceh Program. Sabang Hill, 11 Juni 2007.
Mubyarto (Ed.), 1997. Kisah-Kisah IDT; Penuturan 100 Sarjana Pendamping, Yogyakarta:
Aditya Media.
Mantja, Lalu. 1984. Sumbawa Pada Masa Lalu, Suatu Tinjauan Sejarah, Surabaya:Rinta.
Innovative Governance 61
Muslim, Amir Mahmud & Amrullah. 2009. PETA JALAN Alokasi Anggaran Berbasis
Pemenuhan Hak; Pembelajaran Analisis Partisipatif Hak EKOSOB di Kabupaten
Sumbawa, TIFA dan Samawa Center.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Peneltian Kualitatif. (Edisi Revisi, Cet. Ke.24). Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mugasejati, Nanang Pamudji. Lembar Cerdas SAT Konflik, Materi untuk kegiatan In Class I
Program Pendidikan Fasilitator Perdamaian Berbasis Komunitas Untuk Pencegahan
dan Penanganan Konflik Secara Cepat - Institut Titian Perdamaian, Cibogo-Bogor,
Maret 2008.
Musa, Ali Masykur.1994. Menjadi Kaum Muda. Reflika Aditama.
Murray Li, Tania. 2002. Transformasi Masyarakat Pedalaman di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Mansour Faqih, 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Malik, Ikhsan. Dkk. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan
Konflik atas Sumber Daya Alam. Jakarta:Yayasan Kemala.
Ostrom, Elinor. et.all. 2006. Rules, Games, And Common-Pool Resources. USA:Michigan
Pamer, J.William. And Jerry Killian (Ed).2003. Handbook of ConfIict Management. USA:
Marcel Dekker.Inc.
Putra, Fadillah. 2009. Senjakala Good Governance. Malang:Averrous Press.
Plant, Jeremy F.(Ed.). 2007. Handbook of Transportation Policy and Administration.
USA:CRC Press Taylor & Francis Group.
Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan,
Jakarta:Prenada Media Group.
Pasya, Gamal, Chip Fay dan Maine Von Nordjik.TT. Sistem Pendukung Negosiasi Multi
Tataran Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Terpadu: Dari Konsep Hingga
Praktek. Artikel, Hal.8-19.
Pruitt, Dean G dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogjakarta:Pustaka Pelajar.
Rais, Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa!Selamatkan Indonesia. Yogyakarta:PPSK
Press UGM.
Ruhyanto, Arie. 2010. Negosiasi. Handout Manajemen Konflik. MAP. UGM
Reason, Peter.1994. ”Three Approacesh to Participative Inquiry”, dalam Handbook of
Qualitative Research. Norman K. Denzim dan Yvonna S.Lincoln.Thousand Oaks,
London, New Delhi, Sage Publications.
Sabatier, Paul A. and Hank C.Jenkins-Smith. 1993, Policy Change and Learning. Boulder-
San Franscisco-Oxford: Wetview Press.
---------------------, 1991. Toward Better Theories of the Policy Process, Political Science and
Public Policy dalam PS: Political Science and Politics, June
Stake, Robert E. 2004. Standars-Based & Responsive Evaluation. Sage Publication.
Scott, Bill. 1993. Strategi dan Teknik Negosiasi; Sebuah Penuntun Kepada Kemahiran
Mengadakan Perundingan dan Pertawaran, Cet.5.Jakarta:PT.Midas Surya Grafindo.
Situmorang, Abdul Wahab. 2007. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Supari, Siti Fadillah, 2007, Tangan Tungan Dibalik Virus Flu Burung, Jakarta
Suharto, Edy. 2008. Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial, Cet.IV. Bandung:Alfabeta.
62 Innovative Governance
Sumarto, Hetifah. SJ. 2009. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance; 20 Prakarsa
Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Sano, Hans-Otto dan Gudmundur Alfredson (Ed.).2003. Hak Asasi Manusia dan Good
Governance; Membangun Suatu Keterkaitan, Alihbahasa Oleh: Rini Adriati,
Depkumham RI dan SIDA.
Schmeer, Kammi. Stakeholders Analysis Guidelines;Section 2. Tanpa Tahun, Tanpa
Penerbit.
Sukardi, 2002. Modal Sosial dan Reorientasi Kebijakan Publik: Studi Utilisasi Modal Sosial
dalam Proses Reorientasi Kebijakan Agraria Lokal pada Kasus Sengketa Properti
Tanah Petani Melawan PTPN XII di Kawasan Malang Selatan, Tesis S2, Tidak
dipublikasikan, Program Pascasarjana, UGM.
Snoijen, Josette. 1997. Strategies in Sand: An Actor-Oriented Evaluation of a Participatory
Rural Apprasial Process I Etsha Bostwana, Occasional, Paper No.72, Third World
Centre, Development Studies Catholic University of Nijmegen.
Stone, Deborah. 1997. Policy Paradox: The Art of Political Decision Making. New
York:W.W.Norton & Company Inc.
Tim Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:Departemen Pendidikan
Nasional
Usman, Sunyoto. 1999. Arah Gerakan: Gerakan Politik atau Gerakan Moral dalam JSP
UGM, Vol.3 Nomor 2, Hal.146-161
Wibawa, Samodra. Dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Wibowo, Pamadi. Pemangku Kepentingan; Identifikasi dan Strategi Hubungan, Handout
Pada Kegiatan CSR Workshop Series 1”Debunking CSR Practices—Unleashing CSR
Potentials”. Jakarta 26 Maret 2008.
Widjardjo, Boedi, Komponen Konflik SAT, Materi untuk kegiatan In Class I Program
Pendidikan Fasilitator Perdamaian Berbasis Komunitas Untuk Pencegahan dan
Penanganan Konflik Secara Cepat - Institut Titian Perdamaian, Cibogo-Bogor, Maret
2008.
Yin, Robert K. 2003. Case Study Research;Desain and Methods, Third Edition, Sage
Publication.
Yustika, Ahmad Erani. 2003. Negara vs Kaum Miskin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber-Sumber Lain
Innovative Governance 63
Tim Penyusun Laporan Hasil Musyawarah Besar Masyarakat Batulanteh II Tahun 2005,
FKPMB-S, 2006, tidak dipublikasikan
Tim Penyusun Laporan Hasil Kongres Rakyat Batulanteh II Tahun 2009, FKPMB-S, 2009,
tidak dipublikasikan
Surat Keputusan Kepala Desa Kelungkung Nomor:141/06/IV/2010 Tentang Penolakan
Pemindahan (Relokasi) Ibukota Kecamatan Batulanteh Kabupaten Sumbawa, Tanggal
7 April 2010
Surat Keputusan Kepala Desa Batudulang Nomor: 01 Tahun 2010 Tentang Penolakan
Pemindahan (Relokasi) Ibukota Kecamatan Batulanteh Kabupaten Sumbawa, Tanggal
03 April 2010
Surat Keputusan Kepala Desa Tepal Nomor 01/02 Tahun 2010 Tentang Persetujuan
Pemindahan (Relokasi) Ibukota Kecamatan Batulanteh Kabupaten Sumbawa, Tanggal
15 Februari 2010
Surat Keputusan Kepala Desa Baodesa Nomor: 141/07/II Tahun 2010 Tentang Persetujuan
Pemindahan (Relokasi) Ibukota Kecamatan Batulanteh Kabupaten Sumbawa, Tanggal
23 Februari Tahun 2010
Surat Keputusan Kepala Desa Tangkampulit Nomor 02 Tahun 2010 Tentang Persetujuan
Pemindahan (Relokasi) Ibukota Kecamatan Batulanteh Kabupaten Sumbawa, Tanggal
15 Maret 2010
Surat Keputusan Kepala Desa Baturotok Nomor 028 Tahun 2010 Tentang Persetujuan
Pemindahan (Relokasi) Ibukota Kecamatan Batulanteh Kabupaten Sumbawa, Tanggal
5 Maret 2010
Surat Keputusan Panitia Musyawarah Besar Batulanteh I di Tepal Nomor :01/Pan-Mus/2006
tentang Pembentukan Tim Relokasi Ibukota Kecamatan Batulanteh (KPPKB)
Surat Keputusan Komite Persiapan Relokasi Ibukota Kecamatan Batulanteh
Nomor:02/KPRKB/I/2006 Tentang Persiapan Pemindahan Ibukota Kec.Batulanteh
SuratKeputusan Bupati Sumbawa No.166 Tahun2010 Tentang Pembentukan Tim Pengkajian
Pemindahan (Relokasi) Ibukota Kec.Batulanteh Kab.Sumbawa
Sumbawa Dalam Angka Tahun 2009
UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan dan Otonomi Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan
Majalah Alam Sumbawa, JMHS Sumbawa, Edisi No.1 April-Mei 2009
http://www.gaungntb.com, diunduh, 15 Agustus 2010
http://bankwahabi.wordpress.com, diunduh, 21 Mei 2011
http://Sumbawanews.com, diunduh, 15 Agustus 2010
http://www.suarantb.com, diunduh, 15 Agustus 2010
Harian Umum Gaung NTB, Edisi Senin 27 Oktober 2003
Harian Umum Gaung NTB, Edisi Selasa 6 Juni 2004
Harian Umum Gaung NTB, Edisi Kamis, 24 Februari 2005
Harian Umum Gaung NTB, Edisi 3 Maret 2009
Harian Umum Gaung NTB, Edisi 16 Januari dan 15, 17, 21 dan 23 Desember 2010
Harian Umum Gaung NTB, Edisi dan 8 April 2011
Harian Lombok Post, Edisi Kamis 24 Februari 2011
Harian Sumbawa Post, Edisi Sabtu 26 Februari 2005
Harian Sumbawa Post, Edisi Rabu 03 Januari 2006
Harian Sumbawa Express, Edisi Kamis 24 Februari Tahun 2005
64 Innovative Governance
Harian Sumbawa Express, Edisi Kamis 2 Juni Tahun 2005
Harian Sumbawa Express, Edisi Rabu 14 September 2005
Harian Umum Tribun Sumbawa, Edisi Kamis 24 Februari 2011
Innovative Governance 65
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sebagai Kebijakan
“Kelas Dua” Dalam Pembangunan Kota: Kasus Kota Makassar
Abstrak:Masalah mendasar dalam makalah ini yaitu kebijakan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) hanya kebijakan “kelas dua” sehingga tidak konsisten diimplementasikan
dan berakibat pada perubahan pemanfaatan (penyimpangan) ruang terbuka hijau (RTH).
Bertitik tolak dari fenomena tersebut, dirumuskan beberapa pertanyaan pokok yang menjadi
objek kajian dalam penelitian ini, yaitu : (1.) Bagaimana substansi isi (content) kebijakan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang terkait dengan pola Ruang Terbuka Hijau
(RTH) Kota Makassar?, (2.) Bagaimana kondisi eksisting dan jenis-jenis perubahan
kebijakan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) tersebut dari segi teknis ?, (3.) Faktor
dominan apa yang menyebabkan perubahan kebijakan RTRW terhadap pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di Kota Makassar dari perspektif teori kebijakan ?. Tujuan Penelitian
ini adalah: (1.) Menjelaskan substansi (isi) kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
yang terkait dengan pola Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Makassar, (2.) Menjelaskan
kondisi eksisting dan jenis-jenis perubahan kebijakan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Kota Makassar dari segi teknis, (3.) Menjelaskan faktor dominan yang
menyebabkan perubahan kebijakan RTRW terhadap pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) dari perspektif teori kebijakan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan cara pelaksanaannya
menggunakan wawancara dan observasi. Sedangkan lokus penelitiannya pada otoritas
kompeten di instansi yaitu (1.) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA, (2.)
Dinas Tata Ruang dan Bangunan, (3.) Dinas Pertamanan dan Kebersihan, (4.) Badan
Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), (5.) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), (6.)
Kamar Dagang dan Industri (KADIN), (7.) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), (8.)
Assosiasi Pedagang Kaki Lima (AS-PKL), (9.) Ikatan Ahli Perencana (IAP). Teknik
pengumpulan data yang digunakan yaitu: wawancara dandokumentasi. Model analisis data
yang digunakan adalah model Miles dan Hubermen, yaitu analisis data yang dilakukan
secara interkatif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas, aktivitas dalam analisis data
mulai dari reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data.
Hasil analisis data menujukkan bahwa terkait kebijakan Rencana Tata Ruang
Wilayah kota (RTRW) yang menyebabkan perubahan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau
(RTH), yaitu (1.) substansi isi (content) kebijakan RTRW telah diwarnai perjalanan dengan
sifat inkremental, yaitu aransmen kebijakan berupa perbaikan-perbaikan kecil yang lebih
diarahkan sebagai reaksi dari masalah yang timbul, (2.) kondisi Ruang Terbuka Hijau yang
tidak mencapai target Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), disebabkan terjadinya
beberapa jenis perubahan pemanfaatan ruang : perubahan perkembangan, perubahan
lokasi, dan perubahan perilaku, (3.) disposisi sikap pelaksana merupakan faktor dominan
dan kritikal yang mengakibatkan kedudukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hanya
menjadi “macan kertas”.
Kata Kunci:Tata ruang, Implementasi, Kebijakan, Penyimpangan
Innovative Governance 67
Pendahuluan
Latar Belakang
Kota merupakan pusat peradaban umat manusia yang berkembang secara dinamis dan
tumbuh sebagai lokasi konsentrasi penduduk, prasarana dan sarana, kegiatan sosial dan
ekonomi, serta inovasi. Secara alami perkotaan tumbuh dengan kecepatan yang jauh
meninggalkan wilayah sekitarnya, menyisakan persoalan disparitas tingkat perkembangan
wilayah. Fakta yang ada, perkotaan di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat
dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Lingkungan kawasan perkotaan Indonesia
masa depan adalah lingkungan yang mampu memberikan kehidupan yang berkualitas, jauh
dari bencana, dan memenuhi standar-standar kenyamaan (amnety) yang dapat mendorong
produktivitas masyarakatnya.
Permasalahan mendasar sesungguhnya adalah perubahan pemanfaatan atau
penyimpangan/deviasi peruntukan lahan ini sering tidak sesuai rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dan menimbulkan dampak negatif secara fisik dengan semakin berkurangnya
luasan ruang terbuka hijau. Di satu sisi, fenomena ini mengekspresikan kelemahan
manajemen penataan ruang oleh pemerintah kota, dimana fungsi-fungsi organik dari
manajemen seperti koordinasi, pemantauan dan pengendalian tidak optimal. Disi lain,
disinyalir bahwa mekanisme formulasi kebijakan yang telah terjadi tidak dilakukan secara
demokratis dengan melibatkan partisipasi publik, sehingga materi (isi) kebijakan tidak
responsive dengan konteks pembangunan kota yang sangat pesat. Permasalahan
pembangunan perkotaan tidak dapat diselesaikan hanya dengan perencanaan dan desain.
Perlu penanganan menyeluruh sejak dari perencanaan, implementasi rencana, dan
pengendalian yang tidak terbatas pada kawasan perkotaan namun harus mencakup pula
hingga ke kawasan hinterland.
Arahan kebijakan penataan ruang di Kota Makassar telah diatur dengan jelas dengan
diterbitkannya Perda No. 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Makassar Tahun 2005-2015, meski pun dalam isi (content) Perda tersebut kemudian
bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, terutama pada
dimensi waktu rencana berjangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan ketersediaan ruang
terbuka hijau yang minimal berjumlah 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, dengan
proporsi minimal 20 (dua puluh) persen ruang terbuka hijau publik.
Dari substansi isi kebijakan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar
Tahun 2005 – 2015 tersebut memang tidak sejalan dengan ketentuan UU No. 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang, tentang ketersediaan 30 persen luas ruang terbuka hijau dengan
minimal 20 persen ruang terbuka hijau publik, dimana distribusi ruang terbuka hijau publik
disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan. Implementasi kebijakan
rencana tata ruang tersebut tersebut hanya menyisakan kurang dari 10 persen ruang terbuka
hijau di Kota Makassar (Harian Fajar, 30 Maret 2011).
Salah satu contoh kurang konsistennya dukungan para pemangku kepentingan pada
implementasi kebijakan tentangruang terbuka hijau (RTH) adalah kasus revitalisasi lapangan
Karebosi. Berdasarkan ketentuan Perda No. 6 Tahun 2006 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Makassar Tahun 2005-2015, secara eksplisit bahwa : “luasan ruang
terbuka hijau di kawasan pusat kota dilakukan dengan mempertahankan lahan pemakaman
68 Innovative Governance
(Perkuburan Arab, Beroanging, Dadi, dan Maccini) dan lapangan olahraga yang ada
(lapangan Hasanuddin dan lapangan Karebosi). (Pasal 15 ayat 1 (c) Perda No. 6 Tahun
2006)
Kebijakan revitalisasi Karebosi membawa perubahan pemanfaatan lapangan olahraga
Karebosi, yang sebelumnya adalah lapangan terbuka yang dapat bebas diakses oleh semua
orang (open access). Lapangan Karebosi sekarang berubah fungsi menjadi pusat pertokoan
(mall), yang walaupun masih menyisakan fungsi ruang terbuka hijau (RTH), tetapi tidak lagi
menunjukkan watak public space yang egaliter dan ramah bagi setiap orang. Landmark
Karebosi kini identik dengan brand komersialisasi, formalitas dan eksklusifitas ruang, yang
sejatinya bertentangan dengan prinsip green public space, tempat terjadi interaksi sosial
warga kota secara egalitarian dan saling menghargai.
Pada titik inilah sangat urgen untuk melakukan analisis kebijakan Pemerintah Kota
Makassar, sebagai sebuah organisasi publik, dalam mencoba mengimplementasikan
kebijakan penata ruang kota, terutama konsistensi dalam menjalankan ketentuan akan
penyediaan ruang terbuka hijau, yang dapat mengakomodasikan kepentingan seluruh elemen
masyarakat. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan senergi antar stake-holders dapat
menciptakan keselarasan dalam percepatan pembangunan. Poin manajemen terletak pada
posisi sebagai nilai instrumental untuk diwujudkan, berupa langkah strategis seperti apa yang
dapat diambil, bagaimana model penggerakan sumber daya kelembagaan untuk mencapai
tujuan.
Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari fenomena tersebut, dirumuskan beberapa pertanyaan dalam kajian ini,
yaitu: (1.) Bagaimana substansi isi (content) kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang terkait dengan pola Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Makassar?, (2.)
Bagaimana kondisi eksisting dan jenis-jenis perubahan kebijakan pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) tersebut dari segi teknis?, (3.) Faktor dominan apa yang
mempengaruhi perubahan kebijakan RTWR Terhadap pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di Kota Makassar dari perspektif teori kebijakan ?
Tujuan Penelitian
Tujuan studi ini terkait dengan beberapa hal, yakni: (1.) Menjelaskan substansi (isi)
kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang terkait dengan pola Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di Kota Makassar, (2.) Menjelaskan kondisi eksisting dan jenis-jenis perubahan
kebijakan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Makassar dari segi teknis, (3.)
Menjelaskan faktor dominan yang menyebabkan perubahan kebijakan RTRW terhadap
pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari perspektif teori kebijakan.
Kajian Teori
Konsep Implementasi Kebijakan Publik
Masalah implementasi kebijakan publik (public policy implementation) telah menarik
perhatian para ahli ilmu sosial,khususnya ilmu politik dan administrasi publik, baik di
negaramaju maupun di negara berkembang (Tachjan, 2006:1). Sampai awal tahun 1970-an,
implementasi dianggap sebagai hal yang tidak problematis dalam pengertian kebijakan,
karena diasumsikan bahwa setelah diambil suatu kebijakan, maka selanjutnya perlu
Innovative Governance 69
dilaksanakan begitu saja. Pandangan ini mulai berubah sejak dipublikasikannya hasil
penelitian dari Pressman dan Wildavsky yang berjudul Implementation pada tahun 1973.
Mereka meneliti program-program pemerintah federal untuk para penduduk inner-city dari
Oakland, California, yang menganggur, hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
program-program penciptaan lapangan kerja ternyata tidak dilaksanakan dengan cara seperti
yang diantisipasi oleh para pengambil kebijakan. Penelitian-penelitian lainnya juga
mengkonfirmasi bahwa program-program Great Society yang dilaksanakan oleh
pemerintahan Johson (1963-1968) di Amerika Serikat, tidak berhasil mencapai tujuan dan
masalahnya adalah dalam cara pelaksanaan program tersebut. Penelitian-penelitian di negara
lain juga, seperti di Inggris pada awal tahun 1970-an ditemukan bukti yang sama, bahwa
pemerintah ternyata tidak berhasil dalam mewujudkan kebijakan yang bermaksud untuk
menimbulkan reformasi sosial (Tachjan, 2006 : 2).
Kebijakan publik yang dibuat hanya akan menjadi 'macan kertas' apabila tidak berhasil
dilaksanakan. Oleh karena itu, implementasi kebijakan publik perlu dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai faktor, agar kebijakan publik yang dimaksud benar-benar dapat
berfungsi sebagai alat untuk merealisasikan harapan yang diinginkan. implementasi
kebijakan publik merupakan upaya untuk merealisasikan suatu keputusan atau kesepakatan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Implementasi dapat disebut sebagai “policy delivery
system”. Sebagai suatu sistem, implementasi terdiri dari unsur-unsur dan kegiatan-kegiatan
yang terarah menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.
Konsep Tata Ruang Kota
Wilayah perkotaan (urban) dapat diasumsikan sebagai sebuah kesatuan sistem. Komponen
wilayah perkotaan dapat dibagi menjadi komponen utama, komponen kelembagaan dan
komponen lingkungan (Kusbiantoro, 1993:4).Urban System yang ideal terkait dengan
keserasian relasi intra sistem maupun antar sistem serta kelengkapan yang ditunjang oleh
sistem kelembagaan.
Manajemen perkotaan diharapkan dapat menata wilayah perkotaan menjadi wilayah
kota yang ideal yaitu wilayah perkotaan yang lebih produktif/efisien dari segi ekonomi, lebih
merata/terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat dari segi sosial, lebih stabil/tertib dari
segi politik dan lebih berwawasan lingkungan dari segi fisik. Proses manajemen penataan
ruang akan melibatkan begbagai aktor yang memiliki berbagai kepentingan serta berbeda
disiplin ilmu. Proses tersebut melibatkan komunikasi vertikal dan horizontal antar aktor
untuk tiap tahapan penataan tersebut, proses top down/bottom up yang melibatkan lembaga
pusat dan darerah, serta proses kemitraan pemerintah swasta dan masyarakat (Kusbiantoro,
1993: 7).
1. Perencanaan Tata Ruang
Kegiatan perencanaan tata ruang meliputi berkaitan dengan upaya efesisensi dan
efektifitas penngelolaan sumber daya serta alokasi ruang yang sesuai dengan daya dukung
lingkungan alam dan daya tampung lingkungan binaan serta memperhatikan sumberdaya
manusia dan aspirasi masyarakat. kegiatan perencanaan tata ruang meliputi kegiatan
peyusunan rencana, mulai dari pengumpulan data dan informasi, analisa sampai pada
penetapan rencana dan legalisasinya (Condroyono, 1995: 2). Perencanaan tata ruang
dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang
70 Innovative Governance
berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Adapun rencana tata ruang
tersebut akan ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai dengan jenis
perencanaannya secara berkala.
2. Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang
memanfaatakan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan didalam rencana tata ruang.
Penyelenggaraan pemanfaatan ruang dilakukan secara bertahap melalui penyiapan
program pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang akan
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Implikasi dari pelaksanaan
rencana tata ruang adalah bahwa pemerintah, swasta dan masyarakat secara berkelanjutan
dan kosisten harus menjalankan rencana yang telah ditetapkan dan melaksanakan
program pembangunan kota sesuai dengan arahan rencana yang ada. Agar mayarakat
dapat berpartisipasi secara maksimal, maka kepentingan masyarakat secara keseluruhan
dan keterlibatan pihak swasta perlu diakomodasikan dalam rencan tata ruang yang
disusun.
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang maka dilakukan pengendalian
melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang. Pengawasan tersebut
merupakan usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Sedangkan penertiban merupakan usaha untuk
mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud.
Kegiatan pengawasan tersebut dilakukan dalam bentuk :
Pelaporan, berupa kegiatan memberi informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan
ruang, baik yang sesuai maupun yang tidak susuai dengan rencana tata ruang
Pemantauan (monitoring), yang merupakan kegiatan mengamati, mengawasi dan
memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan lingkungan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang.
Peninjauan kembali, yang merupakan usaha untuk menilai kemajuan kegiatan
pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan rencana kota
Metode Penelitian
Jenis & Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah tergolong pada jenis penelitian deskriptif,sementara pendekatan yang di
gunakan adalah pendekatan kualitatif fenomenologis. Hal ini di maksudkan untuk dapat
memberikan gambaran atau mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap
obyek yang di teliti. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang di gunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) di mana
peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengumpulan data di lakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna dari pada generalisasi.
Innovative Governance 71
Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Kota Makassar. Lokasi tersebut di pilih dengan pertimbangan
bahwa posisi Kota Makassar sangat strategis sebagai growth pole Propinsi Sulawesi Selatan
serta di orientasikan sebagai gate dan living room bagi Kawasan Timur Indonesia. Penelitian
ini menjelaskan terjadinya perubahan pemanfaatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),
yaitu khusus bagian yang mengatur Ruang Terbuka Hijau (RTH) Lokasi penelitian ini di
lakukan pada kawasan kota lama (pusat kota) yang sangat intensif mengalami perubahan
pemanfaatan ruang. Lokasi penelitrian difokuskan pada aktivitas pemanfaatan ruang pada
Lapangan Karebosi, Taman Segitiga Hasanuddin, dan Taman Sekitar Fort Rotterdam.
Analisa Data
Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan
menggunakan model interaktif (interactive model), seperti yang di kemukakan oleh Miles
dan Huberman (1992:16). Dalam model interaktif terdapat 4 komponen analisis utama yaitu
komponen pengumpulan data (data collection),reduksi data (data reduction), sajian data
(data display) serta penarikan kesimpulan(drawing). Selanjutnya analisis di lakukan dengan
memadukan cara interaktif terhadap keempat komponen utama tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Substansi Isi (Content) Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kebijakan penataan ruang merupakan instrumen intevensi pemerintah terhadap ruang atau
lahan sebagai sumber daya publik yang berdimensi politik, yuridis dan administratif, dalam
upaya mengarahkan pembangunan kota secara berkelanjutan. Untuk menciptakan
keterpaduan pembangunan sektoral dan kota, serta dalam mendukung usaha peningkatan
keserasian dan keselarasan pembangunan kota dengan pembangunan nasional secara
bertahap dan berkesinambungan, maka diperlukan suatu arahan dan pedoman dalam
pelaksanaan pembangunan kota.
Berkaitan dengan hal tersebut, penyusunan kembali rencana tata ruang Makassar juga
dimaksudkan sebagai satu cara untuk bagaimana mensinergikan kembali semua arahan-
arahan perencanaan kotanya ke dalam satu sinegisitas baru yang disebut Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Makassar 2005-2015. Secara garis besar dalam apresiasi perencanaan
Kota Makassar dalam wujud rencana tata ruangnya tetap akan menjadikan rujukan
perencanaan diatasnya seperti Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi, Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan 1999-2014, dan Rencana Tata Ruang
Metropolitan Mamminasata sebagai referensi dalam penyusunan rencana tata ruangnya,
dimana kemudian sari dari perencanaan-perencanaan tersebut akan menjadi ide awal bagi
perencanaan tata ruang Kota Makassar.
Perencanaan tata ruang Makassar secara filosofi akan dikembangkan menurut dasar
perencanaan tata ruang yang sebenarnya dengan konsentrasi perencanaannya akan mengacu
pada pencapaian visi Kota Makassar, yaitu bagaimana menjadikan Kota Makassar tumbuh
dan berkembang sebagai “Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa...”. Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW)Kota Makassar Tahun 2005 – 2015ini merupakan produk
”baru” dari rencana tata ruang Kota Makassar. Menjadi sesuatu yang ”baru” karena
didalamnya berisi uraian-uraian perencanaan yang mengkoreksi dan merevisi hasil produk
72 Innovative Governance
RUTRK Makassar tahun 2001 (produk terakhir) yang memiliki tingkat deviasi lebih dari 60
persen dari keadaan di lapangan. Selain juga masih diperlukan adanya pemikiran-pemikiran
baru yang lebih ”konstruktif” dan ”adaptif” dari konsekuensi dan substansi global yang ikut
mempengaruhi perkembangan kota ini kedepan.
Dalam Perda No. 6 tahun 2006 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Makassar 2005-2015, kebijakan pengembangan penataan ruang Kota diarahkan untuk :
1. Memantapkan fungsi Kota Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan,
Budaya dan Jasa berskala Nasional dan Internasional;
2. Memprioritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor Timur, Selatan, Utara, dan
membatasi pengembangan ke arah Barat agar tercapai keseimbangan ekosistem;
3. Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam penataan ruang dengan
mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
4. Mengembangkan sistem prasarana dan sarana kota yang berintegrasi dengan sistem
regional, nasional dan internasional.
Perencanaan pengembangan kawasan hijau di Kota Makassar dibagi dalam kawasan
hijau lindung dan binaan. Kawasan Hijau Lindung adalah bagian dari kawasan hijau yang
memiliki karakteristik alamiah yang perlu dilestarikan untuk tujuan perlindungan habitat
setempat maupun untuk tujuan perlindungan wilayah yang lebih luas. Sementara Kawasan
Hijau Binaan adalah bagian dari kawasan hijau di luar kawasan hijau lindung untuk tujuan
penghijauan yang dibina melalui penanaman, pengembangan, pemeliharaan, maupun
pemilihan vegetasi yang diperlukan dan didukung fasilitasnya yang diperlukan baik untuk
sarana ekologismaupun sarana sosial kotayangd dapat didukung fasilitas sesuai keperluan
untuk fungsi penghijauan tersebut.
Kondisi Eksisiting & Jenis Perubahan Pemanfaatan RTH
Gejala pembangunan kota mempunyai kecendrungan untuk memanfaatkan lahan seluas-
luasnya yang memiliki korelasi positif meminimalkan ruang terbuka hijau dan juga
menghilangkan wajah alam. Lahan-lahan bertumbuhan hijau banyak dialihfungsikan menjadi
pertokoan, pusat perbelanjaan, permukiman, tempat rekreasi, industri, dan lain-lain. Hal ini
mengakibatkan keadaan lingkungan di perkotaan menjadi hanya maju secara ekonomi
namun mengalami kemunduran secara ekologi. Akibat pembangunan yang tidak
berwawasan lingkungan, luas RTH di berbagai kota semakin berkurang, jauh dari luas
optimal 30 % dari total luas kota.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Makassar No.6 Tahun 2006 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar Tahun 2005-2015 persentase luas
ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota ditargetkan sebesar 5 % dari luas kawasan
pusat kota. Berdasarkan kompilasi data dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota
Makassar, luas ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Makassar pada realisasi tahun 2010
tercatat seluas 379,7 ha dari luas Kota Makassar 17.557 ha. Berdasarkan hasil perhitungan
pembangunan kawasan hijau hingga tahun 2010; maka target RTH (RTRW 2005-2015)
seluas 20% atau sebesar 3515.4 Ha. Hingga 6 tahun implementasi Perda No. 6 Tahun 2006,
realisasi luasan RTH hanya sekitar 379, 7 Ha atau hanya mencapai 10,8 % dari total target
RTH ideal sebesar 20%.
Innovative Governance 73
Karakteristik lahan terbuka hijau perkotaan yang semakin terbatas, membawa pada
dinamika perkembangan di kawasan perkotaan yang menimbulkan kompetisi yang sengit
antarpengguna lahan. Pada kawasan pusat kota (kota lama) di Kota Makassar, laju alih
fungsi (konversi) ruang terbuka hijau terjadi dengan beberapa bentuk perubahan, yaitu :
1. Perubahan Perkembangan (Developmental Change)
Perubahan perkembangan (developmental change) merupakan suatu situasi dimana
terjadi perubahan fungsi terhadap ruang terbuka hijau, dengan karakteristik yakni fungsi
ruang terbuka hijau mengalami perkembangan dengan fungsi yang semakin beragam dan
fasilitas penunjang yang semakin menggeser fungsi utama dari ruang terbuka hijau,
meskipun perkembangan tersebut masih menyisakan fungsi untuk ruang terbuka hijau.
Salah satu bentuk perubahan pemanfaatan terhadap ruang terbuka hijau (RTH) dalam
bentuk perubahan perkembangan adalah lapangan karebosi. Melaui program revitalisasi
karebosi, fungsi ruang menjadi semakin berkembang dan iringi oleh nuansa
komersialisasi akibat semakin dominannya aktivitas bisnis dan membawa semakin
menyempitnya fungsi ruang publik yang egaliter. Lapangan Karebosi merupakan ruang
publik yang saat ini menempati posisi teratas dalam hal jumlah maupun keragaman
aktifitasnya di Kota Makassar. Ruang urban ini berada disebelah utara Makassar Trade
Centre (MTC). Lapangan Karebosi menjadi salah satu Landmark Ibu Kota Makassar saat
ini. Lapangan Karebosi berada di pusat kota dengan bangunan di sekelilingnya berupa
pusat perbelanjaan, pertokoan dan perkantoran.
2. Perubahan Lokasi (Locational Change)
Perubahan lokasi merupakan suatu situasi dimana terjadi perubahan fungsi terhadap
ruang, dengan karakteristik yakni fungsi ruang terbuka hijau mengalami kemorosotan
akibat tekanan aktivitas dari lokasi sekitar yang mengakibatkan semakin menyempit dan
hilangnya fungsi ruang terbuka hijau di lokasi tersebut.
Taman Lapangan Segitiga adalah salah satu ruang terbuka hijau di Kota Makassar
yang sering disebut taman kota yang kini mengalami karakter perubahan lokasi. Luasnya
± 6.510 m². Taman ini terletak di jalan Hasanuddin yang merupakan jalan primer di Kota
Makassar. Taman ini terletak di jalan Hasanuddin berada di pusat kota dengan mengalami
perubahan lokasi oleh aktivitas terdiri dari beragam fungsi yaitu SPBU, lokasi komersil,
pedagangkaki limaserta perumahan komunitas.
Taman ini juga difasilitasi dengan tempat makan maupun minum. Taman Hasanuddin
dapat dikatakan sebagai area untuk pemanfaatan kegiatan interaksi sosial, sosial budaya,
sosial ekonomi dan sosial politik karena disepanjang jalur pedestrian yang ada ditepi jalan
terdapat beberapa pengemis dan pedagang kaki lima dan menjadi area pemasangan atribut
politik.
3. Perubahan Perilaku (Behavioral Change)
Perubahan perilaku merupakan suatu situasi dimana terjadi perubahan aktivitas terhadap
ruang, dengan karakteristik yakni perubahan perilaku warga pemanfaat ruang terbuka
hijau yang mengikuti pola restrukturisasi aktivitas yang terjadi.
Salah satu contoh bentuk perubahan perilaku yang terjadi atas pemanfaatan ruang
terbuka hijau terjadi di lokasi Taman Depan Fort Rotterdam. Taman ini banyak
74 Innovative Governance
mengalami perubahan setelah terjadi pembangunan pusat-pusat rekreasi dan hiburan
diwilayah sekitarnya. Secara fungsional pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) disekitar
Fort Rotterdam tidak lagi untuk aktivitas rekreasi dan bersantai. Area ini kin telah
menjadi lokasi pedagang kaki lima (PKL) menjajakan barang dagangannya. Hal ini
mambawa dampak pada perubahan perilaku bagi pengunjung yang cenderung menjadikan
lokasi sebagai tempat transit (persinggahan) sebelum mereka melanjutkan aktivitas
rekreasi dan bersatai di lokasi seperti POPSA dan di dalam area Fort Rotterdam, yang
kini mengalami proses revitalisasi.
Faktor Dominan Yang Mempengaruhi Implementasi RTRW
Baik buruknya implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh faktor kebijakan itu sendiri,
yaitu bagaimana desain, tujuan, dan cakupan kebijakan pada akhirnya akan menentukan
tingkat kinerja kebijakan yang bersangkutan. Untuk menjelaskan faktor dominan dalam
implementasi kebijakan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Makassar Tahun 2005-
2015 sebagaimana yang tertuang pada Perda No. 6 Tahun 2006. maka temuan model
penelitian ini adalah modifikasi model hubungan antar variabel yang implementasi
kebijakan, terkait dengan kebijakan RTRW Kota Makassar 2005-2015 yang menyebabkan
perubahan pemanfaatan RTH seperti pada skema berikut ini :
Gambar 1.
Model implementasi Kebijakan RTRW
Pengembangan model implementasi dari Edward III ini berangkat dari temuan bahwa
kebijakan publik, khususnya kebijakan penataan ruang, mesti berbentuk legal dan memiliki
kekuatan hukum sebagiaman yang diatur dalam tata urutan perundang-undangan yang
berlaku. Hal penting untuk menunjukkan kapasitas pemerintah daerah yang memadai yang
dicirikan oleh kemampuannya untuk memjamin bahwa hukum dan kebijakn yang dilahirkan
akan ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan
yang berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif
dan terlembaga.
Innovative Governance 75
Adanya regulasi dengan kekuatan hukum yang pasti akan berakibat pada penentuan
pilihan sikap dan komitmen (disposisi) pelaksana. Kelemahan yang ada dalam implementasi
kebijakan RTRW, yang kemudian melahirkan perubahan pemanfaatan ruang terbuka hijau
(RTH) adalah tidak dilegalisasinya rencana detail tata ruang kawasan (RDTRK) serta isi
(content) kebijakan Perda No. 6Tahun 2006 telah bertentangan dengan ketentuan yang lebih
tinggi, yakni UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Refleksi sikap dan
konsistensi pelaksana untuk memprioritaskan dan menjalankan secara tegas kebijakan yang
ada sebenarnya merupakan hal yang paling utama setelah suatu kebijakan telah dilegalisasi.
Untuk kasus implementasi kebijakan RTRW, kecenderungan sikap dan komitmen
pelaksana untuk menjadikan dokumen perencanaan wilayah ini sebagai arahan utama dalam
melaksanakan pembangunan kota merupakan faktor kunci untuk efektifitas kebijakan. Jika
pemerintah kota sendiri tidak menganggap penting atau hanya sebagai kebijakan “kelas
dua”, tidak mempedomani dan tidak konsisten atau bahkan melanggar ketentuan-ketentuan
dari RTRW, maka sulit untuk menjamin rencana peruntukan lahan dapat terlaksana dengan
optimal. Oleh karena itu, faktor disposisi pelaksana merupakan faktor penyebab langsung
dari implementasi kebijakan RTRW.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, maka beberapa hal yang dapat manjadi kesimpulan dalam
makalah ini, yakni :
1. Substansi isi (content) Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar dapat
dijelaskan dengan menganalisa pergeseran-pergeseran kebijakan penataan ruang sebagai
sebuah kebijakan yang bersifat inkremental. Di era desentralisasi, kota Makassar di
orientasikan menuju Kota Dunia dengan kembali menata diri dan di awali dengan
melegalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar 2005-2015. Di
RTRW ini pula di atur jumlah luasan dan pola pemanfaatan ruang terbuka hijau pada
masing-masing kawasan pengembangan. Dalam perjalanannya, efektivitas implementasi
kebijakan yang ada mulai di gugat oleh publik. Kebijakan dengan skala waktu 10 tahun
ini ternyata banyak mengalami kegagalan operasional di lapangan.
2. Implementasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2005-2015 telah di laksanakan oleh
seluruh stakeholders kebijakan. Terjadi perubahan pemanfaatan (penyimpangan) terhadap
bentuk dan fungsi ruang terbuka hijau di beberapa lokasi strategis atau di sekitar kawasan
pusat kota (kota lama). Perubahan-perubahan tersebut hadir dengan berbagai macam
wujud. Secara teknis, bentuk-bentuk perubahan pemanfaatan ruang terbuka hijau di Kota
Makassar di bagi menjadi : (a.) Perubahan perkembangan(developmental change)(b.)
Perubahan lokasi(locational change); dan (c.) Perubahan perilaku(behavioral change).
3. Dalam perspektif kebijakan menurut Edward III, suatu keberhasilan atau kegagalan
operasional suatu kebijakan di pengaruhi oleh faktor : (a.) Komunikasi, yang terdiri :
transmisi, kejelasan (clearness), konsistensi. Pada tersedia. Faktor disposisi, terdiri dari :
dukungan para pelaksana. Kecederungan atau dukungan para pejabat pelaksana untuk
menjadikan kebijakan RTRW ini sebagai produk kebijakan yang strategis belum
konsisten. Dalam disposisi sikap, kebijakan yang di anggap sebagai kebijakan “kelas dua”
membuat hilangnya pemihakan dan prioritas pemerintah kota untuk tegas dan konsisten
melaksanakan kebijakan tersebut.
76 Innovative Governance
Saran
Temuan riset ini menyarankan beberapa hal :
Proses revisi Perda No. 6 Tahun 2006 Tentang RTRW Kota Makassar 2005-2015 sangat
mendesak untuk segera di tuntaskan. Kondisi saat ini dapat di gambarkan sebagai suatu
situasi transisi, yakni RTRW lama sudah tidak relevan lagi mengarahkan perkembangan
pembangunan kota sementara pada saat yang sama RTRW baru belum juga di ciptakan..
Pemerintah harusketegasan dan komitmen untuk menempatkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) sebagai “panglima” dan rujukan utama dalam pelaksanaan
pembangunan kota menjadi keniscayaan. Tanpa ketegasan dan komitmen yang kuat untuk
menempatkan RTRW sebagai dasar utama pembangunan wilayah kota, rasanya sulit
untuk mengimplementasikan kebijakan RTRW secara konsisten dan berkelanjutan.
Pemerintah sudah harus bertindak tegas untuk menerapkan ketentuan sanksi administratif
dan pidana bagi para pihak, baik pengguna maupun pejabat berwenang yang
mengeluarkan izin, yang dengan sengaja melanggar ketentuan RTRW
Daftar Pustaka
Innovative Governance 77
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Peraturan Daerah No. 6. Tahun 2006. Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
2005-2015
78 Innovative Governance
Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahandi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau
Febri Yuliani
Staf Pengajar di Universitas Riau
Email: febby_sasha@yahoo.co.id
Abstrak:This research is based on the phenomenon of catastrophic forest fires and land in
Rokan Hilir district that occurred in the dry season every year. Forest and land fires that
occurred causing economic losses, ecological, aesthetic, and political.
Starting from the problem, this study attempted to identify, explore, uncover and analyze the
answers to the research question “Why the policy implementation of policies controlling
land and forest fires in Rokan Hilir regency of Rokan Hilir district did not make free from
forest and land fires ?” Seeing the complexity of problems encountered, then with through
qualitative research design and descriptive methods, is expected to achieve the research
objectives, namely (one) To examine and analyze the implementation of policies in an effort
to control forest and land fires in Rokan Hilir regency. (2) To assess and analyze the factors
that play a role in the implementation of policies controlling land and forest fires in Rokan
Hilir (3) To improve or discover new concepts regarding the implementation of policies
controlling land and forest fires.
The results showed that: The successful implementation of policies determined by the
factors: the basic measures and policy objectives, the sources of policy, the communication
between the organization and implementation activities, characteristic of executing agencies,
the economic, social and political and trends of implementing (implementing).
Pendahuluan
Daerah Riau memiliki hutan dan lahan yang sangat potensial untuk mengembangkan sektor-
sektor perkebunan, pertanian, pemukiman dan kehutanan. Menurut Peraturan Daerah
(Nomor 10 Tahun 1994), tentang Tata Ruang Provinsi Riau, dari luas hutan Riau yang ada
9,5 juta hektar (Ha). Seluas 1,9 juta dicadangkan sebagai kawasan hutan lindung dan 4,9 juta
hektar (Ha) direncanakan sebagai kawasan budidaya nonkehutanan serta sisanya 2,7 juta
hektar (Ha) diplot sebagai areal pengembangan sektor kehutanan. Berdasarkan potensi
sumber daya hutan dan kebun Provinsi Riau Tahun 2008-2009 milik Departemen Kehutanan
dan Perkebunan (Dephutbun) wilayah daratan Riau telah terbagi-bagi menjadi Hak
Penguasaan Hutan (HPH), jumlahnya 3.481.868 hektar (Ha), Hutan Tanaman Industri (HTI)
1.621.693 hektar (Ha). Dengan jumlah luas keseluruhan Provinsi Riau mencapai 9.456.000
hektar (Ha), maka lahan tersisa di Riau hanya tinggal 3.035.837 hektar (Ha). Pemanfaatan
lahan gambut dan hutan untuk pengembangan batu bara, pembukaan lahan untuk perkebunan
Innovative Governance 79
dan pertanian serta aktivitas pembalakan (logging), diidentifikasikan sebagai kegiatan-
kegiatan yang rawan kebakaran. Kebakaran hutan dan atau lahan tidak saja dapat terjadi
secara alamiah, tetapi dapat juga disebabkan oleh pembakaran yang tidak mengindahkan
prosedur sehingga luasan kebakaran menjadi tidak terkontrol. Kebakaran hutan dan lahan di
Riau masih sering terjadi berawal dari tahun 1997 dengan luas kebakaran hutan 26.153,466
hektar (Ha) sampai tahun 2009, luas areal kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau
mencapai 121.051,55 hektar.
Kebakaran hutan, selain dapat menyebabkan kerugian ekonomi, kerusakan plasma
nutfah dan permukaan tanah serta mengganggu kesehatan, juga dapat menurunkan citra
Indonesia di mata komunitas Internasional. Hutan adalah salah satu sistem penyangga
kehidupan, kemakmuran rakyat, sumber plasma nutfah, pengatur tata air, ekosistem, serta
habitat flora dan fauna. Kerusakan hutan dapat disebabkan oleh pencurian, bencana alam
termasuk kebakaran hutan (sekitar 50.000 hektar/tahun, 90 %akibat kegiatan manusia).
Di Provinsi Riau setiap tahunnya juga terjadi kebakaran hutan dan lahan terutama di
musim kemarau. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau pada kurun waktu 2003
sampai 2009 seluas 53.494,14 ha, dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp.
139.893.566.264.30,- belum termasuk kerugian secara ekologis dan kesehatan masyarakat.
Kebakaran hutan dan lahan paling besar yang terjadi di Riau pada kurun waktu tersebut
diatas adalah terjadi pada tahun 2005 dengan luas areal kebakaran seluas 42.200,00 hektar,
dengan perincian luas kebun yang terbakar 5.287,25 hektar, lahan HTI seluas 5.276,50
hektar, eks HPH seluas 3.25 hektar dan Area Penggunaan Lahan (APL) seluas 31.633,00
hektar (Bapedal Prov. Riau, 2009). Kebakaran hutan dan lahan ini terjadi meliputi kabupaten
kota yang ada di Provinsi Riau.
Kabupaten Rokan Hilir, sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Riau, juga tidak
lepas dari persoalan kebakaran hutan dan lahan, dalam 3 tahun terakhir (tahun 2008 sampai
dengan tahun 2010) kawasan yang rata-rata paling banyak terjadi kebakaran hutan dan lahan
adalah di Kabupaten Rokan Hilir, yang berdasarkan data merupakan Kabupaten dengan
jumlah hotspot tertinggi dalam 3 (tiga) tahun terakhir dengan wilyah 8.881,59 km² dengan
82,9 % adalah wilayah daratan.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi disetiap Kabupaten di Provinsi Riau
mempunyai karakteristik yang sama yaitu terjadi pada saat musim kemarau dan sumber
api diduga barasal dari pembukaan atau pembersihan lahan untuk HTI, perkebunan,
pertanian, transmigrasi yang dilakukan dengan cara membakar, walaupun sudah ada
peraturan yang melarang pembersihan lahan (land clearing) dengan cara membakar, dalam
kenyataanya hampir setiap tahun di Provinsi Riau pada umumnya dan Kabupaten Rokan
Hilir pada khususnya masih saja terjadi kebakaran hutan dan lahan.Kendala yang di alami
Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir,ialah terbatasnya keterampilan dan pengetahuan di
bidang konservasi lingkungan, lemahnya penegakan hukum dan minimnya tenaga terampil
dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Berbagai fenomena tersebut dapat diidentifikasikan kedalam pernyataan penelitian
(Problem Question) bahwa implementasi kebijakan kehutanan dalam upaya pengendalian
kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hilirbelum dilakukan maksimal,
sehingga kebakaran hutan dan lahan masih tetap terjadi. Dari masalah tersebut maka
80 Innovative Governance
dirumuskan pertanyaan penelitiansebagai berikut : “Bagaimanakahimplementasi kebijakan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hilir”?
Metode
Di dalam penelitian ini, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatifuntuk
mengungkapkan secara komprehensif dan alami bagaimana implementasi kebijakan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hilir dilaksanakan.Sedangkan
metode analisis yang digunakan adalahmetode deskriptif, yaitu menemukan fakta dengan
interpretasi dengan melukiskan secara akurat sifat dari beberapa fenomena kelompok atau
individu yang berasal dari hasil penemuan. Di dalam penelitian ini, data yang diperlukan
meliputi fakta dan informasi menyangkutimplementasi kebijakan pengendalian kebakaran
hutan dan lahandan hal-hal lain yang terkait dengan masalah tersebut. Data yang
dikumpulkan ada data primer dan ada juga data sekunder yangkemudian dipergunakan
sebagai dasar analisis dan interpretasi.
Pengujian data dilakukan dengan teknik triangulasi, yaitu melakukan check, recheck,
dan crosscheck terhadap data yang diperoleh, teori, metodologi, dan peneliti. Dalam
penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik
pengumpulan data. Triangulasi dengan sumber adalah membandingkanfenomena lapangan
penelitian. Untuk mendapatkan data secara akurat maka peneliti melakukan check, recheck,
dan crosscheck terhadap beberapa sumber informasi.Di samping itu, triangulasi teknik
pengumpulan data dilakukan dalam kerangka pengecekan data kepada sumber yang sama
dengan teknik yang berbeda. Misalnya, data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan
observasi, danstudi dokumentasi.
Innovative Governance 81
Oceanic and Admospheric Administration), dijadikan sebagai dasar untuk menentukan daerah-
daerah yang dapat dinyatakan sebagai daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Laporan kejadian
kebakaran dapat berasal dari masyarakat, laporan patroli, hasil verifikasi data hotspot dan
lain-lain.Laporan dugaan kebakaran di Kabupaten Rokan Hilir terus dilakukan dengan cara
memanfaatkan informasi citra satelit/internet untuk memperoleh data hotspot dan lokasi
kebakaran.Kelembagaan atau organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan
(Satlakdalkarhutlada) di Provinsi Riauyang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Riau
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Provinsi
Riau, sedangkan derevasi kebijakan untuk tingkat Kabupaten Rokan Hilir dibentuk
berdasarkan Peraturan Bupati Rokan Hilir Nomor 12 Tahun 2006 tentang Pembentukan
Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Kabupaten Rokan Hilir,
dalam kenyataannya belum mampu menciptakan peran yang optimal dalam mengkondisikan
semua anggotanya dalam upaya mendukung pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Kenyataan ini tidak terlepas dari struktur keanggotaan dari lembaga-lembaga tersebut
yang notabene secara ex-officio dijabat oleh pejabat struktural. Struktur keanggotaan yang
secara ex-officio kondisi ini akan diparah lagi apabila instansinya menggap bahwa masalah
kebakaran hutan dan lahan merupakan hal yang biasa dan bukan merupakan ancaman yang
serius, sehingga tidak perlu mendapatkan perhatian yang lebih.
Kondisi-kondisi yang demikian ini akan mempengaruhi profesionalisme dan
kesungguhan dalam melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan
lahan.
Struktur keanggotaan Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang ditetapkan secara
ex-officio sepintas tanpak adanya koordinasi, namun dalam faktanya koordinasi yang
dilakukan amat lemah bahkan menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan.
Secara manajerial, Satlakdalkarhutla Kabupaten Rokan Hilir juga telah menyediakan
dukungan sarana atau peralatan (office equipment) untuk mengimplementasikan kebijakan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hilir yang dilakukan oleh
aparatur Satlakdalkarhutla Kabupaten Rokan Hilir.
Sarana dan prasarana adalah peralatan dan fasilitas yang digunakan untuk mendukung
pengendalian kebakaran hutan. Instansi yang terkait dalam Satlakdakarlutla terutama
Bapedal dan Dinas Kehutanan, telah memiliki sarana dan Prasarana dalam upaya
pengendalian kebakaran hutan. Untuk dinas kehutanan mereka telah memilki 4 (empat) unit
mesin pemadam, 1 (satu) unit water tank, 15 roll selang, 4, unit Nozol, baju anti api
sebanyak 20 buah serta satu regu pemadam yang terdiri dari 15 orang.
Setiap organisasi untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, selain
harus didukung oleh sumber daya manusia yang cukup dan berkualitas, dana yang cukup,
juga harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Kelembagaam atau organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan juga harus
dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai baik dari segi kuantitas maupun
kualitas.Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh lembaga bertugas untuk melakukan
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan antara lain adalah:Sarana untuk
pencegahan, yang meliputi seperangkat komputer yang memenuhi persyaratan, jaringan
82 Innovative Governance
internet, tersedianya program GIS (Geografic Information System), Peta rawan kebakaran
hutan dan lahan, sarana telekomunikasi (telpon, faksimile). Sarana Untuk
Pemadaman/penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, yang meliputi: (a) Peralatan tangan
seperti alat pemotong (kapak, parang/golok, pengait semak), Alat Garu (Garu tajam, garu
sekop, sekop), Pemukul api (Flapper/kepiok api, penyemprot api/jet shooter). (b) Peralatan
semi mekanik seperti: gergaji mesin/chain saw, mesin pompa, tangki air. (c) Peralatan
mekanik/alat berat seperti : traktor, buldozer, excavator. (d) Peralatan angkutan/transportasi
seperti truk, pickup, sepeda motor. (e) Peralatan komunikasi seperti HT, SSB dan
sebagainya.Menurut aguswan, mursini, instansi terkait seperti Kantor Pengendalian Dampak
Lingkungan, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Pertambanagan di
Kabupaten Rokan Hilir, telah memiliki sarana pencegahan kebakaran hutan dan lahan seperti
seperangkat komputer yang dapat mengakses hasil pantauan titik panas (hotspot) dari satelit
NOAA, ASMC, LAPAN, IFFM, Program Geografic Information System (GIS), Mobile
Station Air Quality Monitoring System (AQMS). Informasi tentang hotspot dan sebarannya
serta kualitas udara diperoleh dari Bapedalda dan Dinas Kehutanan Provinsi, dengan
demikian untuk memberikan peringatan dini (early warning system) dan melakukan deteksi
dini (early detection system) terhadap kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hilir
masih sangat tergantung informasi dari Provinsi Riau, hal ini karena masalah sumber daya
manuasi yang menguasai alat-alat tersebut belum memadai. Adapun sarana san prasarana
serta personil pemadam yang digunakan dalam upaya pemadaman karhutla 2010 seperti pada
tabel di bawah ini tentu masih jauh dari cukup untuk penanggulangan kebakaran hutan da
Standar Kegiatan dalam upaya pengendalian kebakaran hutan adalah, mulai dari kegiatan
yang dilakukan meliputi adanya alat tulis, pemeliharaan gedung kantor, ekspolitas kenderaan
(roda dua, roda empat), pemeliharaan sarana dan prasarana dalkarhutla, inhouse training,
koordinasi intern dan koordinasi dengan stake holder, pada tahap berikutnya adalah
pencegahan kebakaran hutan dan lahan meliputi pembuatan peta kebakaran, analisis hotspot,
penyuluhan ,kampanye, demo penyiapan lahan tanpa bakar, patrol pencegahan dan
penyelamatan, pada tahap pemadaman, standar kegiatannya meliputi apel siaga daerah
operasi, patrol pemadaman, pemadaman dini dan pemadaman lanjutan. Penanganan pasca
kebakaran meliputi: pengumpulan data dan informasi (pulDaSi), identifikasi dan evaluasi
areal bekas kebakaran dan monitoring perkembangan areal bekas kebakaran.
Dalam melakukan kegiatan tersebut diatas, perlu didukung peralatan atau sarana. Pada
upaya pengendaliankebakaran hutan dan lahan maka perlu ada sarana standar yang meliputi :
jenis peralatan tangan, berupa kapak dua fungsi, gepyok/pemukul api, garu tajam,garu pacul,
sekop, pompa punggung, obor sulut/tetes, kikir. Kategori berikutnya adalah jenis peralatan
pompa bertekanan tinggi yang meliputi pompa dan tabung impulse Gun dan pompa
angin/kompresor. Kategori berikutnya jenis peralatan pompa air dan kelengkapannya
meliputi, pompa tetap/sorong, pompa jinjing, selang dan kelengkapannya, tangki air lipat,
pompa apung. Perlengkapan berikutnya adalah jenis peralatan perlengkapan pribadi
(individual gear)meliputi: topi (helmet) , lampu kepala (head lamp), kacamata (goggles),
kain penutup mulut dan leher (slayer), sarung tangan (gloves), sabuk perlengkapan (koper
rim), sepatu (boots) dan pakaian pelindung (protective clothes).Selanjutnya berupa Peralatan
Mekanis (mechanical tools), terdiri dari : gergaji rantai (chainsaw) dan genset (generator).
Perlengkapan ini juga ditunjang oleh transportasi/transportation meliputi: mobil pengangkut
slip on unit/slip on unit, mobil/perahu personil dan logistic (monilog)/logistic and personel
Innovative Governance 83
vehicle, sepeda motor patrol/motor bike, pickup/pick up, mobil latih/training vehicle, mobil
operasional satelit NOAA/NOAA satelit operational vehicle, mobil operasional
DAOPS/Daops head vehicle. Berikutnya, yang juga dibutuhkan dalam peralatan atau sarana
untuk melakukan kegiatan pemadaman kebakaran jutan dan lahan adalah alat
telekomunikasi/communication yang terdiri dari: radio genggam (Handy talky (HT)), radio
mobil (mobile radio), megapon/megahone, peluit/whistle, GPS/GPS, Pengamat Cuaca
Otomatis (AWS). Peralatan yang tidak kalah penting lainnya adalah Peralatan Logistik dan
Medis/logistic and medical, tenda (inap dan manase)/inn tent, perlengkapan memasak
(set)/cooking equipments dan kotak PPPK (first aid box). Sarana lainnya berupa pompa tetap
(fixed pump), tangki lipat/collapsible tank 500 liter, fasilitas gudang/go down, kantor/office,
garasi/garage dan bengkel (workshop).
Komunikasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan
Hilir dilakukan meliputi antara lain : Peyampaian informasi dari sumber informasi
tentang tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kebakaran untuk dilakukan pengawasan
yang intensif oleh berbagai pihak yang terlibat (misalnya dari BMG ke instansi
pernerintah Kabupaten Rokan Hilir untuk diteruskan ke semua tingkatan secara
berjenjang atau pararel), Komunikasi Posko Pusdalkarhutla Provinsi ke Posko Pusat
(departemen dan BNPB) dan ke Posko Kabupaten Rokan Hilir dan seterusnya sampai ke
tingkat desa dan atau sebaliknya, Komunikasi dalam pelaksanaan patroli dan
pengawasan, meminta dan mengirimkan bantuan surnberdaya penanggulangan,
baiksumber daya manusia, peralatan maupun sumber daya pendukung serta komunikasi
dalam penangkapan pelaku pembakaran.
Pelaksanaan komunikasi dalam proses implementasi kebijakan pengendalian
kebakaran hutan dan lahan dilakukan, baik komunikasi antara unsur Pimpinan sekretariat
bersama yang terdiri dari Bapedal, Dinas Kehutanan, Satpol PP, Linmas dan Kesbangdengan
bidang penanggulangan yang terdiri dari Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian Tanaman
Pangan, Dinas Perhubungan, Dinas Perkebunan, Bagian Tata Pemerintahan, Bagian Umum
dan Humas Kabupaten Rokan Hilir, juga termasuk didalamnya Camat, Lurah Penghulu dan
Perusahaan yang bergerak dibidang kehutanan dan perkebunan sekabupaten Rokan Hilir.
Komunikasi sangat berperan penting dalam pencegahan kebakaran. Komunikasi yang
baik menjadikan upaya pencegahan dapat dilakukan secara maksimal yang memungkinkan
memberikan hasil yang optimal dimana kebakaran yang mungkin akan terjadi dapat dicegah
semaksimal mungkin. Dengan komunikasi yang cepat, tepat dan akurat juga akan mampu
mengerakkan semua potensi yang ada untuk memberikan kontribusi dalam pencegahan
kebakaran. Komunikasi diperlukan pada setiap tingkatan dan upaya yang dilakukan, tidak
hanya pada pencegahan tetapi juga pada penanggulangan dan pasca penanggulan.
84 Innovative Governance
keanggotaan dari lembaga-lembaga tersebut yang notabene secara ex-officio dijabat oleh
pejabat struktural. Struktur keanggotaan yang secara ex-officio. Kondisi ini akan diparah lagi
apabila instansinya menggap bahwa masalah kebakaran hutan dan lahan merupakan hal yang
biasa dan bukan merupakan ancaman yang serius, sehingga tidak perlu mendapatkan
perhatian yang lebih termasuk didalamnya masalah synergy antar lembaga, sumber daya.
Sumber daya manusia yang dapat dimobilisasi untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan
secara kuantitas tidak cukup memadai, dan jika dilihat dari segi kualitas (yang terlatih)
sangat memprihatinkan yaitu personil yang hanya dimiliki oleh Dinas Kehutanan, dan
beberapa instansi lainnya. Minimnya tenaga yang terlatih tersebut jelas akan mempengaruhi
keberhasilan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Sumber daya lainnya adalah
berkenaan dengan sumber dana dimana dana yang dialokasikan untuk penyuluhan kebakaran
hutan dan lahan, jika dibanding dengan luas wilayah atau jumlah kecamatan yang harus
diberikan penyuluhan sangat tidak memadai. Keadaan yang demikian ini jelas
mempengaruhi keberhasilan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Yang Kedua,
Kondisi ekonomi, sosial dan politik, terutama kondisi sosialyang termasuk didalamnya
adalah penegakan hukum, Penegakan hukum terhadap korporasi maupun masyarakat yang
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar yang menyebabkan terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan di Kabupaten Rokan Hilir belum dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Penegakan hukum terhadap kebakaran hutan dan lahan lebih ditekankan pada
tindakan persuasif dari pada tindakan hukum pidana atau perdata. Kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat, Sebagian besar petani di Kabupaten Rokan Hilir khususnya petani
lahan kering dalam membuka lahannya dilakukan dengan cara membakar. petani melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar disebabkan karena kondisi sosial ekonomi
masyarakat sangat memprihatinkan, sehingga para petani tidak mampu untuk membeli obat
kimia untuk membuka lahan tanpa bakar.Di samping itu juga jenis vegetasi yang berupa
semak - belukar yang tidak mungkin dilakukan dengan obat kimia pembasmi rumput,
sementara itu belum ada teknologi yang efektif, cepat dan murah untuk pembukaan lahan
tanpa bakar.Dengan cara membakar akan diperoleh keuntungan-keuntungan antara lain
pembukaan lahan dapat berlangsung cepat, murah dan hasil pembakaran dapat menjadi
pupuk, dengan demikian dapat mengurangi beban ekonomi keluarga.
Konsep baru yang dapat diangkat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
Berdasarkan hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan
pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Rokan Hilir, yang bisa diangkat dari
hasil penelitian ini bahwa implementasi kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
di Kabupaten Rokan Hilir tidak hanya bergantung pada komponen Ukuran Dasar dan Tujuan
Kebijakan, Sumber Kebijakan, Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan Pelaksanaan,
Karakteristik Badan Pelaksana, Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik,serta Kecenderungan
Pelaksana saja, akan tetapi harus didukung oleh sinergy dan kearifan lokal masyarakat, karena
kearifan lokal masyarakat juga akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.
Saran
Saran Akademik
Untuk optimalisasi implementasi kebijakan pengendaliankebakaran hutan dan lahan perlu
adanya ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan Kebijakan yang jelas beserta dengan sumber-
sumber kebijakan yang mencakup perangsang (incentive) lain yang mendorong dan
Innovative Governance 85
memperlancar implementasi kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sumber
daya manusia terutama satgasdamkalhutla yang merupakan ujung tombak dari pengendalian
kebakaran hutan dan lahan, serta koordinasi antar lembaga dalam pengendalian kebakaran
hutan dan lahan. Sumber kebijakan lainnya adalah peningkatan pendanaan yang dialokasikan
untuk upaya-upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Saran Praktis
Saran-saran yang bersifat guna laksana (praktis) yang penulis dapat dikemukakan
adalah sebagai berikut :
1) Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-kegiatan pelaksanaan,adanya karakteristik
badan-badan pelaksana, Kondisi-kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik dan Kecenderungan
Pelaksana dapat mempengaruhi implementasi kebijakan, maka setiap kebijakan yang dibuat
perlu : dipahami dan disosialisasikan terlebih dahulu secara optimal sebelum kebijakan itu di
berlakukan, didukung oleh SDM yang handal dan sesusai dengan kebutuhanyang ada,
tuntutan dan semangat yang diikuti dengan kepatuhan (compliance) dari semua para
pelaksana kebijakan.
2) Perlu adanya penegakan hukum yang terhadap korporasi maupun masyarakat yang
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar yang menyebabkan terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan di Kabupaten Rokan Hilir. Penegakan hukum terhadap
kebakaran hutan dan lahan tidak hanya ditekankan pada tindakan persuasif tetapi juga
pada tindakan hukum pidana atau perdata, dan untuk hal tersebut perlu adanya dukungan
ternologi dan sumber daya manusia yang kompeten serta komitmen yang tinggi dari
penegak hukum dan pemerintah.
3) Perlu adanya pengembangan teknologi yang efektif, cepat dan murah dan ramah
lingkungan untuk pembukaan lahan tanpa bakar. Sehingga akan diperoleh keuntungan--
keuntungan antara lain pembukaan lahan dapat berlangsung cepat, murah dan hasil dan
ramah lingkungan dengan demikian dapat mengurangi beban ekonomi keluarga ataupun
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
4) Perlu adanya kesadaran akan lingkungan dan kehendak yang kuat dari aparat dan masyarakat
untuk melakukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Bahkan kesadaran tersebut harus
dimulai dari individu-individu masyarakat, diujudkan dalam bentuk partisipasi dan
mengembangkan pola-pola kemandirian pada masing-masing individu masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku :
Abdurahman,1990. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Absori, 2000.Penegakan Hukum Lingkungan Antisipasi Dalam EraPerdagangan Bebas,
Jakarta, Muhammadiyah University Press
Agung sardjono, dan Mustofa,2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal,
Politik dan Kelestarian Sumber Daya,Yogyakarta :Debut Press.
86 Innovative Governance
Alam Setia Zain., 1998. Spektrum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.
Anderson, J. E. 1979, Public Policy Making: An Introduction,. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Arif, Arifin, 2001, Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bambang Purbowaseso., 2004. Pengendalian kebakaran Hutan, Jakarta: PenerbitPT'.
Rineka Cipta.
Bardach, Eugene, 1997, A Practical Guide For Policy Analysis : The Eighfold Path to
More Effective Problem Solving, New York: Chatham House Publishers.
Chandler C, P. Cheney, P. Thomas P, L. Trabaud L, D. Williams. 1983. Fire in
Forestry,Canada:John Wiley and Sons Publishers.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches.
California: Sage Publications.
Davis, Keith & John W. Newstrom. 1996. Human Behavior At Work: Organizational
Behavior, 7th Edition. USA: McGraw-Hill Inc.
Dunn, William N. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction, New Jersey: Prentice-
Hall Inc
Dunsire, Andrew. 1978. Implementation in Bureaucracy. Oxford: Martin Robertson.
Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. New York: Prentice- Hall. Inc.
----------------------. 1976. Policy Analysis :what Governments Do, Why They Do It and
What Difference It Makes, Alabama : The University Of Alabama Press
Edwards III, George C 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional
Quarterly Inc.
Edwards III, George C and Sharkansky Ira, 1978. The Policy Predicament: Making And
Implementing Public Policy, San Fransisco : W.H. Freeman and Company
Faisal, Sanapiah, 2001, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: Penerbit PT. Raja
Grafindo Persada.
Goggin, Malcolm L., 1990, Implementation Theory and Practice: Toward a Third
Generation: Scoot. Illinois: Foresman and Company.
Grindle, Merilee., 1980., Polities and Policy Implementation In The Third World., New
Jersey: Princestown University Press
Harnzah, Andi, 1995, Penegakan hukum Lingkungan, Jakarta: Arikha Media Cipta.
Koentjaraningrat. 1991, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Lane, E.J, 1993, The Public Sector: Concepts, Models, And Approaches, London: Sage
Publications
Lilik Ekowati, Mas Roro, 2004, Perencanaan. Implememasi dan Evaluasi Kebijakan
Atau Program, Surakarta: PenerbitPustaka Cakra,.
Mazmanian, D. A. & Paul. A. Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy.
London: Scott, Forestnan and Company.
Meter, Donald Van dan Carl Van Horn, 1975, The Policy Implementation, Process, A
Conceptual Frame Work Dalam Administration and Society , 1975, London: Sage
Publications
Moleong, L.J, 1995,Metodologi Penelitian Kualilatif, Bandung: Penerbit Remaja Rosda
Karya.
Innovative Governance 87
Mikkelsen, Britha. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya
Pemberdayaan. Terjemahan Matheos Nalle. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor
Indonesia.Jakarta:Penerbit Erlangga.
Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 1990. Basics of Qualitative Research: Grounded
Theory Procedures and Techniques. California: Sage Publications.
Santoso, Hari.,2004, Perlawanan di Simpang Jalan Kontes Hutan di Desa-Desa Sekitar
Hutan Jawa, Yogyakarta: Penerbit DamarPress.
SardjonoNilustofa A.2004, Atescrik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokasl, Politik
clan Kelestarian Sumberdaya, Yogyakarta: Penerbit Debut Press.
S i m o n , F l a s a n u , 1 9 9 3 , Hutan Jati dan kemaktnuran Problematika dan
pemecahannya, Yogyakarta: PenerbitAditya Media.
---------, 2001, Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (CooperativeForest
Management) : Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta:
Penerbit Bigraf Publishing.
Sudarsono., 2007. Negeriku Memuai Bencana Ekologi, Jakarta:Penerbit Pusat Pengelolaan
Lingkungan Hidup Regional Jawa.
Tachjan, 2008. Implementasi Kebijakan Publik, Bandung : AIPI dan Puslit KP2W Lemlit
UNPAD
Thoha, M. 1987. Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi
Negara) Jilid II. Jakarta : Rajawali Press
------------, 1988. Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan: Perkembangan Teori dan
Penerapan. Jakarta: LP3ES
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Penerbit Media
Perssindo.
-------------------, 2002, Prosedur Dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta:
PenerbitMedia Pressindo.
Peraturan :
Undang-Undang No II Tahun 1967 Tentang Pertambangan. Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1985 tentang
Perikanan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Undang-undang No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan
Undang-undang Nomor24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Undang-UndangNomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-UndangNo. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (PEMDA).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1977 Tentang Pengakuan Dari Hak Milik, Hak
Lama
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan
Rencana. Pengeloaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, Dan Pengunaan Kawasan
Hutan.
88 Innovative Governance
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 Tentang Pengusahaan Hutan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dangn Kebakaran Hutan dan atau
Lahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan
Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau
Lahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Keputusan President No. 111 Tahun 1999 Tentang Komunitas Terpencil, KAT.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/1993 tentang Pedoman perlindungan
Hutan di Areal HPH.
Keputusan Menhut No. 188/Kpts-II/ 1995 tentang Pembentukan Pusdalkarhutnas.
Keputusan Manteri Negara Lingkungan Nomor: KEP-45/MENLH/10/1997 tentang
Indeks Standar Pencemaran Udara.
Keputusan Dirjen PHPA No. 248/Kpts/Dj-VI/ 1994 tentang Prosedur tetap Pencegahan
dan Penanggulangan Kebakaran Hutan.
Keputusan Dirjen PHPA No. 243/ Kpts/Dj-VI/ 1994 tentang Petunjuk Teknis
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Areal Penggunaan
lainnya.
Keputusan Dirjen PHPA No. 244/ Kpts/Dj-VI/ 1994 Tentang Petunjuk Teknis
Pemadaman Kebakaran Hutan.
Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Tata Ruang Wilayah
Provinsi Riau
Peraturan Gubemur Riau Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Atau Lahan di Provinsi Riau.
Keputusan Gubernur Riau Nomor 91 Tahun 2009 Tentang Prosedur Tetap (Protap)
pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Di Provinsi Riau.
Keputusan Gubemur Riau Nomor: Kpts.134/11/2004 tentang Prosedur Tetap Mobilisasi
Sumberdaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan di Provinsi Riau.
Keputusan Bupati Rokan Hilir No 12 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Satuan
Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Kabupaten Rokan Hilir.
Innovative Governance 89
Diskresi Birokrasi Pemerintahan Dan Korupsi
Haniah Hanafie
Pendahuluan
Era Reformasi sebagai era kebebasan, berdampak luas kepada kehidupan pemerintahan kita
termasuk pada Birokrasi Pemerintahan. Selain itu, penerapan asas desentralisasi dalam
wujud otonomi daerah menuntut pelayanan masyarakat yang lebih baik dari birokrasi
pemerintahan seperti efisien dan efektif (Eko Prasojo,dkk, 2006: 144) danseiring dengan itu,
perkembangan ilmu administrasi public menghendaki suatu pemerintahan menjadi Good
Governance (Irfan R. Maksum, 2008: 207) , melaksanakan Reinventing Government
(Osborne dan Gaebler, 1996)dan Representative Bureaucratic (H.G.Frederickson dan Kevin
B Smith, 2003: 61).
Dalam mewujudkan Good Governance, Reinventing Government dan birokrasi yang
lebih representatif (Reprecentative Bureaucratic), tentunya dibutuhkan kecepatan, ketepatan,
kreatifitas dan inovasi dalam melaksanakan tugas, agar karakteristik birokrasi pemerintahan
yang dikemukakan Weber tidak menjadi kendala, maka dibutuhkan suatukeputusan yang
tidak bersifat hierarkhis. Keputusan itu yang disebut sebagaiDiskresi
Diskresi adalah suatu pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Para Birokrat
Pemerintahan secara cepat dan bebas. Diskresi dilakukan karena ada pemberian kewenangan
dari pihak atasan kepada bawahan secara leluasa dengan tujuan agar kebutuhan yang
diinginkan dapat tercapai sesegera mungkin, tanpa menunggu terlalu lama. Keleluasaan yang
diberikan atasan kepada bawahan dalam pengambilan keputusan bertujuan baik untuk
memudahkan dan melancarkan suatu urusan/tugas.
Innovative Governance 91
Persoalannya diskresi akan berakibat atau berdampak negative apabila digunakan
dengan tujuan yang tidak benar dan yang seringkali berakibat kepada inefisiensi birokrasi
alias korupsi. Hal ini senada dengan yang diungkap oleh Blau dan Meyer dalam Pushan Dutt
(2009: 181) bahwa sebagai sebuah lembaga yang kuat justruseringkali menjadikan birokrasi
mudah melakukan penyimpangan seperti korupsi . Dutt melakukan penelitian dan salah satu
temuannya bahwayangmenyebabkan Birokrasi korupsi, karena diskresi yang terlalu besar
yang dilakukan Birokrasi dalam pengambilan keputusan (kebijakan).
KorupsimenurutTolu Lawal dan Abegunde Oladunjoye (2010: 233), dapat
menghancurkan nilai-nilai demokrasi (seperti: respon, akuntabilitas, partisipasi dan
pembangunan manusia diabaikan), pembangunan terhambat, aturan hukum ditumbangkan
diganti dengan kekuatan otot, pengembangan SDM & peningkatan kapasitas menjadi lesu.
Senada dengan Lawal, Vito Tanzi (2002) mengatakan bahwa korupsi disebabkan oleh
monopoli dan diskresi kekuasaan.
Sedangkan penyebab korupsi masih menurut Tolu Lawal dan Abegunde Oladunjoye
(2010: 233) yang melihat kasus di Nigeria adalah :Tidak ada demokrasi, Pemerintah lemah,
Pemerintah perilakunya tidak baik ,Tidak ada control, Gaji rendah, Ketamakan,Pejabat
takut miskin, Tidak akuntabel dan Tidak taat pada aturan.
Tulisanini mencoba melihat bagaimana dampak diskresi yang dilakukan birokrasi
pemerintahan yaitu: korupsi dan cara mengatasi korupsi.Bagan berikut ini menunjukkan
bahwa perlunya pennulisanini :
Bagan1.
Kegunaan Penulisan
92 Innovative Governance
Memaknai Diskresi dan Korupsi
Makna Diskresi
Diskresi adalah suatu pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah
(birokrasi pemerintahan) dalam rangka pemberian pelayanan yang efektif dan efisien.
Meskipun demikian, diskresi seringkali diartikan dengan konotasi penyimpangan,
sebagaimana yang dikemukakan Saut P.Panjaitan, bahwa diskresi atau dalam
bahasaPerancis: pouvoir discreationnaire dan bahasa Jerman : Freies Ermessen, merupakan
suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van
bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas.
Sedangkan Benyamin Hoessein mendefinisikan diskresi sebagai kebebasan Pejabat
dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.Dengan demikian, pengertian
dari Hoessein dan Panjaitan ada kesamaan antara “pertimbangan sendiri” dengan
“penyimpangan asas legalitas”, karena suatu keputusan yang diambil berdasarkan
pertimbangan sendiri, berarti tidak sejalan dengan ketentuan yang berlaku.
Diskresi yang didefinisikan G. L. Lumbuunadalah kebijakan dari pejabat negara dari
pusat sampai daerah yangmembolehkan melakukan sebuah kebijakan yang melanggar
ketentuan undang-undang dengan syarat, yaitu untuk kepentingan umum, masih dalam batas
wilayah kewenangan, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik.
Apabila definisi ini dilaksanakan oleh orang yang bermoral, makadiskresi akan bermanfaat,
tetapi apabila dilaksanakan oleh pejabat yang bermental korup, maka diskresi yang diambil
akan berdampak negative.
Diskresi menurut Prayudi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan
menurut pendapat sendiri, hal ini senada dengan Hoessein. Sedangkan Laica Marzuki
mengemukakan bahwa diskresi adalah kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat
administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Lain lagi pendapat dari Thomas
J. Aaron yang menyatakan Discretion is power authority conferred by law to action on the
basic judgment or consience, and its use is more idea of morals then law. Definisi diskresi
menurut Sjachran Basah seperti dikutip oleh Patuan Sinaga, adalah: ”…, tujuan kehidupan
bernegara yang harus dicapai…, melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan
tugas-tugas pelayanan publik yang sangat kompleks, luas lingkupnya, dan memasuki semua
sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan
kebijakan-kebijakan walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat
dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum”.
Alasan diskresi dapat dilakukan dengan syarat : Pertama, Apabila terjadi kekosongan
hukum; Kedua, Adanya kebebasan interprestasi;Ketiga Adanya delegasi perundang-
undangan dan Keempat, Demi pemenuhan kepentingan umum. Dengan demikian,
sebenarnya diskresi dimungkinkan untuk mencapai tujuan yang baik/positip. Diskresi akan
menjadi persoalan apabila diarahkan untuk kepentingan pribadi. Itulah sebabnya, ada yang
mengartikan bertujuan untuk kepentingan sendiri.
Makna Korupsi
Korupsi telah banyak didefinisikan orang dengan versi masing-masing. Menurut Vito Tanzil
(2002: 24-25), definisi yang paling populer dan paling sederhana, diartikan oleh Wold Bank
sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi (Corruption has been
Innovative Governance 93
defined in many different ways, eachlacking in some aspek. The most popular and simplest
definition is that it is the abuse of public power for private benefit. This is the definition
used by the World Bank).
Korupsi dapat dikategorikan sebagai berikut olehTanzi ( 2002 : 26):
a.Korupsi “Kecil” (oleh Birokrasi)atau Korupsi “besar” (oleh kepemimpinan politik)
b.Mengurangi biaya (untuk penyuap).
c.Kolusi.
d.Bersifat Sentralisasi dan desentralisasi.
e.Kesewenang-wenangan.
f. Dalam pembayaran tunai (tidak tunai).
Korupsi yang seringkali dijadikan satu dengan istilah KKN (Kolusi Korupsi dan
Nepotisme), menurut Kwik Kian Gie (2003: 1) harus menjadi prioritas yang paling utama,
dalam pemberantasannya, karena kalau tidak, apapun yang dilakukan hasilnya tidak akan
optimal.
KKN adalah akar dari praktis semua permasalahan bangsa yang sedang kita hadapi
dewasa ini (Kwik Kian Gie, 2003: 1). KKN is the roots of all evils. KKN tidak terbatas pada
mencuri uang, tetapi lambat laun juga merasuk ke dalam mental, moral, tata nilai dan cara
berpikir (corruption mind). Dan Daya rusak KKN sangat dahsyat karena sudah menjadikan
orang tidak normal lagi dalam bersikap, perilaku dan nalar berpikirnya.
Korupsi dari perspektif hukum,diartikan bahwa setiap orang secara sengaja melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Selain itu, ditambahkan dalam pasal 3 UU
No. 31 Tahun 1999, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dianggap sebagai korupsi.
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut telah
diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 yang merinci katagori tindak pidana korupsi
meliputi :
a. Memberi atau menjanjikandan memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara (Pasal 5).
b. Melakukan perbuatan curang, sengaja membiarkan perbuatan curang (Pasal 7 ayat 1).
Korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan kenis kejahatan
yang lain seperti pencurian yang ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi. (A.
Hamzah, 2002: 1).Menurut Hamzah, yang menjadi masalah utama ialah meningkatnya
korupsi seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi.
Pertumbuhan Korupsi
Dalam beberapa tahun terakhir ini, khususnya pada 1990-an, suatu fenomena yang luas
bahwa korupsi telah menarik banyak perhatian. Korupsi bukan merupakan fenomena baru.
Beberapa argumen berikut ini yang menyatakanbahwa korupsi sangat menarik perhatian
dewasa inidaripada di masa lalu (lihat Vito Tanzi, 2002): Pertama, akhir perang dingin telah
berhenti, Kedua, telah mulai dibicarakandi Pusat Perencanaan Korupsi, Ketiga,
94 Innovative Governance
Peningkatanjumlah negara dengan pemerintahan yang demokratis dan media yang bebas dan
aktif, sehinggatelah menciptakan suatu lingkungan di mana diskusi korupsi tidak lagi
menjadi tabu, Keempat, globalisasi telah membawa kemajuan, Kelima, peran NGO terus
meningkat telah dimainkan, seperti Transparansi Internasional, yang mempublikasikan
masalah korupsi dan mencoba membuat gerakan anti korupti di banyak negara, Keenam,
ketergantungan terhadappasar meningkat, kebutuhan dalam keputusan ekonomi yang
kompetetif telah menciptakan suatu lingkungan untuk mengejar efisiensi. Dan terakhir, peran
yang dimainkan Negara Amerika, khususnyamelalui pengaruhnya di beberapa lembaga
internasional, sangat penting. Selain itu, pembuat kebijakan Amerika menyatakan bahwa
eksportir Amerika tidak diizinkan oleh hukum untuk menyuap pejabat asing.
Dengan demikian, munculnya KPK di Indonesia, sejalan dengan pertumbuhan
demokrasi yang ditiup gelombang reformasi. Di Era demokrasi, meskipun kebebasan pers
telah berjalan, KPK telah dibentuk dan UU Anti Korupsi telah dibuat, tetapi para koruptor
tak kunjung berhenti, justru bertambah banyak. Koruptor kelas teri disikat habis, tetapi
koruptor kelas kakap dibiarkan berlari (lolos), sebagaimana para Bankir pengemplang BLBI
yang tak kunjung diadili, tak tersentuh hukum dan bebas berkeliaran (lihat Kwik Kian Gie,
2003 dan Marwan Batubara, 2008: 114).
Dukunganpertumbuhan perdagangan internasional dan bisnis telah menciptakan
banyak situasi di mana suap ("komisi") banyak terjadi (lihat Tanzil, 2002) dan menurut
hemat penulis, hal ini sebagai dampak dari masuknya kapitalisme yang berjalan seiring
dengan demokratisasi.
Dengan demikian, sebagai suatu keniscayaan yang harus diterima bahwa
demokratisasi akan mengundang kapitalisme dan kapitalisme akan menciptakan situasi
korupsi/suap (lihat Tanzil, 2002). Semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin
meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi. (A.
Hamzah,2002:1).
Indonesia: Negara Terkorup di Asia
Tahun 2010, sebuah perusahaankonsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC)
yang berbasis di Hong Kong mengadakan survei terhadap 2.174eksekutif bisnis kelas
menengah dan atasdi 16 negara Asia Pasifik, seperti Asia, Australia dan Amerika. Dari hasil
survey tersebut dinyatakanbahwa Indonesia merupakannegara paling korup dari 16 negara
Asia Pasifik.
Sedangkan berdasarkan laporan LembagaTransparansi International, dinyatakan
bahwaIndonesia adalah negara terkorup keempat di ASIA pada tahun 2011. Jumlah korupsi
di Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 1.018 kasus.Tiga provinsi yang terjerat korupsidan
telah memasukitahap penyidikan, yaituprovinsi Jawa Timur, Papua dan Jawa Tengah.
Sedangkan tahapan penuntutan banyak terjadi di Kajati Jawa Timur, Sumut dan Sulut.
Berikut tabelnya:
Innovative Governance 95
Tabel 1. Korupsi Dalam Tahapan Penyidikan dan Penuntutan
No Provinsi Jumlah Kasus
Tahapan Penyidikan
1. Jawa Timur 119
2. Papua 114
3. Jawa Tengah 79
Tahap Penuntutan:
1. Jawa Timur 91
2. Sumatra Utara 51
3. Sulawesi Utara 50
Sumber : ANTARA yang ditulis Krisman Purwoko dalam WWW. Republika. co.id
Penyebab Korupsi
Menurut Tanzil (2002), yang berkontribusi terhadap korupsi dapat dibagi menjadi dua , yaitu
yang langsungdan yang tidak langsung. Yangberkontribusi langsung yaitu monopoli dan
diksresi kekuasaan.
Korupsi menurut Tanzil umumnya dihubungkan dengan kegiatan negara dan terutama
dengan kekuatan monopoli dan penyalahgunaan kekuasaan negara. Meskipun demikian,
kenyataan bahwa korupsi dapat terjadi di sektor swasta.
Sebagai sebuah masyarakat yang modern, negara masih tetap diperlukan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa birokrasi
pemerintahan sebagai penyelenggara negara harus membuat dan melaksanakan keputusan
untuk kepentingan masyarakat. Sedangkan di dalam Undang-Undang atau Keputusan-
Keputusan (peraturan) yang dibuat, tidak mengatur secara detail/rinci. Dengan demikian,
diskresi dalam kekuasaan tidak dapat dihindari oleh birokrasi pemerintahan.
Senada dengan yang dikatakan Vito Tanzil (2002)bahwa penyebab korupsi adalah
monopoli dan diskresi,Blau dan Meyer dalam Pushan Dutt (2009: 181) juga mengatakan
bahwa “sebagai sebuah lembaga yang kuat justruseringkali menjadikan birokrasi mudah
melakukan penyimpangan seperti korupsi”. Dutt melakukan penelitian dan salah satu
temuannya, bahwayangmenyebabkan Birokrasi korupsikarena diskresi yang terlalu besar
yang dilakukan Birokrasi dalam pengambilan keputusan (kebijakan).
Pernyataan Dutt tentang diskresi yang terlalu besar, hal ini dibenarkan oleh salah
satupejabat pemerintahan di sebuah kantor kementrian RI yang dapat dikategorikan sebagai
middle level bureaucrat (eselon II). Menurutnya, diskresi dapat dilaksanakan di semua
bidang, di bawahkewenangannya. Namun diskresi tersebut dilakukan dengan tujuan yang
baik, yaitu untuk mempercepat tugas yang harus dilaksanakan, sehingga masyarakat atau
stakeholder dapat segera merasakannya-bukan untuk penyimpangan. Biasanya pemerintah
atau atasan akan melakukan antisipasi apabila diskresi yang diambil menimbulkan dampak
negative, dengan cara membuat regulasinya, sehingga para pelaksana di tingkat menengah
dan bawah akan menggunakan sebagai acuan atau batasan kewenangan yang harus diambil.
Meskipun tujuan diskresi itu baik, tidak berarti semua birokrasi pemerintahan
mengarahkan kepada tujuan yang baik, karena banyak yang menyimpang dari ketentuan
undang-undang yang berlaku, sehingga terdapat 155 kepala daerah (138 Bupati/Walikota dan
96 Innovative Governance
17 Gubernur) (Kompas.com, 2011) yang harus berhubungan dengan penjara karena dituduh
korupsi yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang diputuskan.
Korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah biasanya disebabkan oleh adanya
peluang yang cukup besar, sebagai penguasa anggaran dan lemahnya control.Selain itu,
korupsi dilakukan berkisar pada pembuatan proyek siluman/fiktif atau mark up anggarandari
ketentuan dan kesemuanya ini dilakukan untuk menutupi biaya kampanye politik yang
jumlahnya sangat besar ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah.Untuk itu, ada usulan
agar kepala daerah, khusus Gubernur sebaiknya diangkat oleh Pemerintah Pusat agar cost
politik yang besar dapat dihindari, dan korupsi oleh kepala daerah dapat dikurangi.
Yang berkontribusi secaratidak langsung, yaitu: Kualitas Birokrasi.(Bureaucracy
Quality), Tingkat Upah Sektor Publik, Sistem pinalti, Pengawasan institusi, Aturan yang
transparan, Hukum, and Proses danContoh dari Kepemimpinan
Kualitas Birokrasi.(Bureaucracy Quality).Karakteristik idealBirokrasi yang
dikemukakan Max Weber (1947), sangat terkenal, namun untuk memasuki masyarakat yang
modern, karakteristik tsb, tampaknya harus dimodifikasi kembali. Salah satunya adalah
konsep neo weberian, (Denita Cepiku dan Cristina Mitelu,2010: 61), seperti Sentralitas
Negara, Reformasi dan Penegakan Hukum Administrasi, Pelestarian Pelayanan Publik,
Demokrasi Perwakilan dan Orientasi Eksternal terhadap Warga.
Tingkat Upah Sektor Publik. Banyak pengamat berspekulasi bahwa upah yang
dibayarkan untuk pegawai negeri sipil berpotensi korupsi, karena jumlah yang ada tidak
sesuai dengan kebutuhan, sehingga PNSmencari celah-celah yang dapat menambah income
mereka, sehingga terjadi penyogokan (Y. T. Keban, 2004). Banyaknya PNS yang mencari
pekerjaan sampingan (objekan) di jam-jam kantor atau menyalahgunakan kekuasaan demi
kepentingan individu atau bisa disebut sebagai rent seeking bureaucrat (lihat Dealiarnov,
2006: 68).
Sistem pinalti. Yang dimaksud dengan system pinalti adalah hukuman yang
ditimpakan kepada para koruptor.Apabila tidak membuat jera, maka akan sulit untuk
memperoleh keberhasilan dalam pemberantasan korupsi. Dan hal ini tergantung pada
struktur hukuman (system hukum) dari suatu negara.
Pengawasan institusi sangat diperlukan sebagai garis pertahanan pertama untuk
mengawasi secara internal. Apabila ini telah efektif, maka akan dapat memberantas korupsi.
Aturan yang transparan, Hukum, and Proses.Lemahnya keterbukaan dalam aturan,
hukum dan proses menyebabkan munculnya korupsi, karena ketiadaan control yang dapat
dilakukan dari public.
Contoh dari Kepemimpinan. Di sinidibutuhkan suritauladan dari seorang
pimpinan/atasan kepada masyarakat/bawahan, sehingga perilaku pemimpin akan
berpengaruh kepada masyarakat.Di beberapa negara, sepertiAfrika, seorang Presiden
menolak seorang menteri yang korup. Di Asia, seorang menteri yang dituduh korupsi itu
hanya dipindahkan ke bagian lain. Di America Latin, seorang Presiden menciptakan sebuah
komisi antikorupsi. Di Cina, Presidennya memberikan pernyataan yang keras terhadap yang
korup dengan mengumpamakan Sembilan peti mati untuk koruptor dan peti kesepuluh untuk
dirinya.Di Indonesia KPK telah dibentuk danPresiden mengatakan akan berdiri di depan
pemberantasan korupsi.
Innovative Governance 97
Selain, itu, pembangunan juga mengakibatkan terjadinya korupsi, sehingga Raja
Sihanouk dari Kamboja mengatakan bahwa dia akan berusaha meningkatkan pembangunan
di negaranya, walaupun dengan demikian akan meningkat pula korupsi (A. Hamzah,
2002:1).
Bentuk-Bentuk Korupsi
Dalam buku yang disunting Mochtar Lubis dkk (1987: 3-4), terdapat tulisan Konstantin M
Simis yang dapat disimpulkan bahwa bahwa terdapat dua bentuk korupsi, yaitu korupsi yang
disahkan dan korupsi yang terselubung. Kedua jenis korupsi ini ditulis Simis dengan
member contoh negara Uni Soviet sebelum terjadi reformasi/perubahan.
Contoh korupsi yang disahkan adalah gaji para pejabat lebih besar daripada upah
seorang buruh kasar, Fasilitas-fasilitas istimewa yang diberikan dan tidak dinikmati orang
lain dan kebutuhan pangan, sandang & barang kebutuhan hidup sehari-hari dengan
pemberian kupon/voucer, sedangkan rakyat tidak menikmatinya.
Sedangkan korupsi yang terselubung yang dimaksud di sini adalah hasil simpanan
pejabat yang berasal dari suap karenajabatanyang diembannya.
Akibat Korupsi
KorupsimenurutTolu Lawal dan Abegunde Oladunjoye (2010: 233), dapat menghancurkan
nilai-nilai demokrasi (seperti: respon, akuntabilitas, partisipasi dan pembangunan manusia
diabaikan), pembangunan terhambat, aturan hukum ditumbangkan diganti dengan kekuatan
otot, pengembangan SDM & peningkatan kapasitas menjadi lesu.
Rahman Zainuddin (A. Hamzah, 2002: 2-3)mengatakan bahwa “sekarang Korupsi
dapat menjatuhkan rezim dan bahkan juga menyengsarakan suatu bangsa”. Hal ini terbukti
dengan kejatuhan rezim Chiang Kai Shek di Tiongkok, Ngo Dim Diem di Vietnam, Raja
Farouk di Mesir, Raja Idris di Libia danMarcos di Philipina.
Dampak KKN menurut Kwik (2003 :16) adalah kerusakan pikiran, perasaan, moral,
mental dan akhlak yang akhirnya membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak
masuk akal, sehingga menyengsarakan masyarakat, karena kesejahteraan yang dinantikan tak
kunjung terwujud. Untuk itulah korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya, meskipun
sangat sulit.
Konsep-Konsep Pemberantasan Korupsi
Di beberapa negara seperti Hongkong, Singapura, Malaysia, Thailand dan Australia dalam
memberantas korupsi perlu diperhatikan bahwa bukan ancaman pidana yang luar biasa
beratnyayang diutamakan, tetapi system manajemen negara yang rawan korupsi harus
ditanggulangi lebih dahulu sebelum mengambil tindakan represif(Hamzah, 2002: 3).
Dalam manajemen public, Wilson mendesak agar ilmu administrasi public segera
mengarahkan perhatiannya pada orientasi yang dianut dunia bisnis, perbaikan kualitas
personil dalam tubuh pemerintah, aspek organisasi dan metode-metode
kepemerintahan. Fokus ajakan tersebut adalah melakukan perbaikan fungsi eksekutif dalam
tubuh pemerintahan karena waktu itu dinilai telah berada di luar batas kewajaran sebagai
akibat dari merebaknya gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dengan mengadopsi
prinsip manajemen business. (Keban, 2004,92)
98 Innovative Governance
Apa yang dikatakan Wilson dalam Keban, senada dengan yang dikemukakan oleh
Vito Tanzil (2002) bahwa solusi untuk masalah korupsi mungkin tidak sesederhana hanya
dengan mengurangi pajak atau belanja publik. Sebaliknya, cara negara berperan dan
melaksanakan fungsinya adalah jauh lebih penting daripada aktivitas sektor publik yang
diukur dengan cara tradisional.
Berikut ini dicontohkan oleh Tanzil, yaitu :
a. Peraturan dan Otoritas.
Peran negara sangat penting untuk melaksanakan peraturan. Keberadaan regulasi dan
otorisasi memberikan pilihan kekuatan monopoli kepada pejabat yang wewenang untuk
memeriksa kegiatan.
b.Perpajakan
Di sini diharapkan tidak memerlukan kontrak antara pembayar pajak dan pemeriksa
pajak, melakukan pembaharuan dalam system administrasi lama,pergantian personil dan
memberikan kepada perusahaan asing yang beroperasi dalam inspeksi dan persiapan
pengiriman barang.
c. Pengeluaran Keputusan.
Korupsi juga dapat mempengaruhi pada pengiriman barang. Korupsi yang terkait dengan
penyediaan oleh barang pemerintahdi bawah harga pasar, menyebabkan terjadinya
korupsi.
d. Provisi Barang dan Jasa di Bawah Harga Pasar.
Di sebagian besar negara, pemerintah terlibat dalam penyediaan barang. Layanan, dan
sumber daya di bawah harga pasar, misalnya, valuta asing, kredit, listrik, air, rumah
umum, beberapa barang yang penting, akses pada fasilitas pendidikan dan kesehatan,
akses ke tanah publik, dan sebagainya. Banyak masyarakat yang menginginkan barang-
barang itu tersedia, mereka bersedia membayar suap untuk mendapatkannya, karena
pemerintah tidakmenyediakan. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa di semua
daerah, kasus-kasus korupsi telah dilaporkan terjadi.
e. Kebebasan Menentukan Keputusan Lain.
Selain daerah yang disebutkan di atas, di banyak negara dibeberapa pejabat publik
menemukan dirinya dalam posisi di mana mereka telah mementukan kebebasan atas
keputusan penting, dapat memainkan peran utama. Inilah yang disebut sebagai
DISKRESI.
f.Pembiayaan Partai.
Seringkali para menteri harus membiayai aktivitas demokrasi, termasuk kampanye
pemilu dari partai politik. Hal ini tidak hanya terjadi di Italia, tetapi di negara kita juga
dijumpai hal semacam ini, karena seringkali para menteri harus ikut membiayai partai
politik penguasa atau partainya sendiri, karena para menteri berasl dari partai-partai
koalisi.
Selain Vito Tanzil, Kwik Kian Gie (2003: 3-9) juga mengusulkan solusi bagi
pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu
1. Carrot And Stick (kecukupan dan Hukuman).
Cara ini telah dilaksanakandi Singapura dan kini RRC. Carrot adalah pendapatan bersih
(net take hame pay) untuk pegawai negeri , baik sipil maupun TNI POLRI yang jelas
Innovative Governance 99
mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan,
tanggungjawab, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya.Sedangkan Stick adalaharti
harfiahnya adalah pentung, yaitu hukuman yang dikenakan kalau kesemuanya ini sudah
dipenuhi dan masih berani korupsi. Hukumannya harus seberat-beratnya. Mengingat akan
tingkat atau magnitude korupsi sudah sedemikian dalam dan menyebar sedemikian
luasnya, hukumannya tidak bisa tanggung-tanggung , harus seberat beratnya. Kalau perlu
menurut Kwik adalah hukuman mati, teman-teman yang terlibat dihukum berat, demikian
pula keluarganya dibangkrutkan.
2. Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi ini bertujuan untuk mendapat efektivitas birokrasi. Untuk
menjalankan roda pemerintahan secara optimal, maka diperhatikan: (a). Struktur
pemerintahan, (b).Tugas dan fungsi pokok agar tidak tumpang tindih, (c). Jumlah
Personalia (PNS), (d). Garis-garis komunikasi, (e). Rentang kendali (span of control), (f).
system dan prosedur pengambilan keputusan. Kesemuanya harus diaudit.
3. Sistem Penggajian (Salary system)
Menurut Kwik, system penggajian PNS dan POLRI semrawut, karena gaji yang diterima
hanya cukup untuk hidup satu sampai dua minggu saja, maka mereka mencari berbaga
akal dan rekayasa seperti tunjangan jabatan dan berbagai tunjangan lainnya, tunjangan in
natura, dsb. Untuk itu, perlu diadakan system penggajian yang berbasis pada merit
system. Penggajian harus adil dan berdasarkan merit system, bahwa penjenajngan tingkat
pendapatan neto harus proporsional dan adil. Sesuai dengan tk pengetahuan,
tanggungjawab dan berat/ringannya pekerjaannya.
Alternatif lain dalam salary system adalah pemberian pendapatan yang cukup besar
kepada para pejabat penting seperti presiden, wakil presiden, menteri, sekjen, dirjen,
direktur, kepala biro, dan pimpro dan jabatan-jabatan krusial seperti : pejabat pajak, jaksa,
polisis, hakim, DPR dan bea cukai. Hal ini diupayakan agar tidak terjadi penyalahgunaan
jabatan oleh para penguasa.
Kesimpulan
Diskresi masih tetap diperlukan untuk tujuan baik, tetapi harus ada control dalam
penggunaan diskresi, sehingga tidak meluas dan disalahgunakan. Diskresi yang
disalahgunakan akan menimbulkan korupsi dan korupsi berdampak sangat parah bagi mental
danbudaya suatu bangsa serta berakibat pada kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu, korupsi harus dibasmi sampai ke akarnya, tetapibukan hanya dengan tindak
pidana hukuman yang berat, tetapi penataan system manajemen negara (administrasi
negara)yang perlu dibenahi sebagai suatu tindakan prerventif. Namun jika diperlukan
hukuman agar jera, maka hukuman harus seberat beratnya seperti hukuman mati (Kwik
Kian Gie).
Sebagai tameng agar korupsi dapat dihindari/dikurangi, maka harus diciptakan:
1. Masyarakat yang tertib, terbiasa taat pada UU
2. Administrasi negara yang tertib.
3. SDM yang professional dan gaji memadai.
Batubara, Marwan dkk. 2008. Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara. Jakarta:
Haekal Media Center.
Cepiku, Denita dan Cristina Mitelu. 2010. “ Public Administration Reforms in Transition
Countries: Albania and Romania Between The Weberian Model and The New Public
Management” dalam Transylvanian Review of Administrative Sciences No. 3E.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
Dutt, Pushan. 2009. “Trade Protection and Buraucratic Corruption: an Empirical
investigation” dalam Canadian Journal of Economic, Vol. 42. No.1.
Frederickson, H.George dan Kevin B.Smith. 2003. The Public Administration Theory
Primer. USA: Westview Press.
Gie, Kwik Kian. 2003. Pemberantasan Korupsi : Untuk Meraih Kemandirian, kemakmuran,
Kesejahteraan, dan Keadilan, Edisi II.
Hamzah, A. 2002. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Bebagai Negara. Jakarta:
Sumber Ilmu Jaya.
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik :konsep, Teori dan
Isu. Yogyakarta: Gava Media. Edisi pertama.
Lawal, Tolu dan Abegunde Oladunjoye . 2010. “ Local Government, Corruption and
Democracy in Nigeria” dalam Journal of Suistanable Development in Africa.Volume
12. No. 5.
Maksum, Irfan R. 2008. Seluk Beluk Pemerintahan Daera, Mencari Alternatif Memperkuat
Negara. Jakarta: FISIP-UI PRESS.
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1996. Reinventing Government (Mewirausahakan
Birokrasi).terjemahan. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Prasojo, Eko, Irfan R.Maksum dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan
Pemerintahan daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural.
Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI
Tanzi, Vito. 2002. Corruption Around the World: Causes, Consequencws, Scope, and
Course, in Governance, Corruption, Economic Performance, ed. By George T. Abed
& Sanjeev Gupta, Editor. Washington: International Monetary Fund.
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
JustKazz.Blogspot,com
WWW. Republika. co.id
Hardiyansyah
Dosen Kopertis Wilayah II dpk pada Universitas Bina Darma Palembang
Email:hardiyansyah@mail.binadarma.ac.id
hardi1966@gmail.com
Pendahuluan
Sebelum reformasi, penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek
maladministrasi antara lain terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga mutlak
diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan demi terwujudnya
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, bersih, terbuka
serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyelenggaraan negara dan pemerintahan
yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur Penyelenggara Negara
dan pemerintahan dan penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik (Penjelasan UU
No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman).
Salah satu upaya untuk menindaklanjuti tuntutan tersebut di atas, pada tanggal 8
Desember 2011dilakukan “Deklarasi Birokrasi Bersih dan Melayani” di Balai Sidang
Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, dan saya (penulis) menjadi salah satu peserta
pada acara dimaksud. Deklarasi tersebut di samping merupakan wujud nyata dari berbagai
kalangan masyarakat yang menginginkan terciptanya pelayanan publik yang lebih baik, juga
17
http://informasipagi.wordpress.com/2010/09/30/kpk-beberkan-kecurangan-pelayanan-publik-di-
palembang/ diakses 16/12/2011
18
Lihat Hardiyansyah. 2011. Kualitas Pelayanan Publik. Konsep, Dimensi, Indikator, dan
Implementasinya. Yogyakarta: Gava Media. Hal. 196
Hendri Koeswara20
Pendahuluan
Kinerja pemerintah dalam mewujudkan good governance dapat dinilai dari kemampuannya
membuat kebijakan dan menyelenggarakan pelayanan publik.Kewenangan daerah yang
semakin besar setelah pelaksanaan otonomi daerah membuat pemerintah daerah
memberlakukan berbagai macam peraturan daerah (perda) untuk mengatur kegiatan politik,
sosial dan ekonomi di daerahnya (Agus Dwiyanto, 2007:10).Sehingga, kualitas perda
menjadi dimensi yang sangat penting untuk mengukur kinerja good governance di daerah
pasca pelaksanaan desentralisasi.Ragam persoalan yang muncul adalah banyak perda yang
dihasilkan oleh pemerintah daerah yang tidak sinergi dengan tujuan pemberian otonomi
19
Makalah ini akan dipresentasikan dalam Konferensi IAPA 2012 di Universitas Brawijaya, Malang.
20
Staf pengajar pada program Studi Ilmu Administrasi Negara Fisip Universitas Andalas, Gedung
Program Studi Administrasi Negara, Kampus Unand, Limau Manis, Padang. Mail:
bancretpiliang@gmail.com/hendrikoeswara@fisip.unand.ac.id. Telpon: 081374922408.
21
Dalam Konsultasi Publik Perubahan UU No. 32/2004 di Pangeran Beach Hotel Padang 23
Februari 2011 pada Tahun 2010 yang lalu, sebanyak 407 dibatalkan karena bermasalah jadi rata-
rata setiap hari Kementrian Dalam Negeri membatalkan perda satu buah setiap harinya.
22
Beberapa nagari di Provinsi Sumatera Barat terus berupaya untuk mendokumentasikan kearifan
lokal dan pelbagai tradisi masyarakatnya secara tertulis. Peraturan nagari yang dihasilkan juga
mampu untuk merespon kebutuhan masyarakat dalam pelayanan publik seperti pengalaman Nagari
Sungai Pua atau pengalaman Nagari Simarasok.
23
Laporan hasil penelitian Hendri Koeswara. DIPA Unand. 2010.
24
Gamawan Fawzi sebelum menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid
II pernah menjadi Bupati Kabupaten Solok dua periode 1995-2005, setelah itu terpilih menjadi
Gubernur Sumatera Barat melalui pilkada langsung periode 2005-2010. Berbagai prestasi berhasil
ditorehkan seperti Bung Hatta Award karena komitmen dan konsistensinya dalam menegakkan
aturan dan antikorupsi, serta berbagai terobosan dalam pelayanan publik semasa menjabat menjadi
Bupati Solok.
25
Dede Mariana. Transformasi Administrasi Negara. Bandung: Hal 46.
26
Indiahono, Dwiyono. 2009. Kebijakan Publik. Yogyakarta: Hal. 114-115.
27
Philip Mawhood (ed). Local government in the third world: the experience of toprical Africa. John
Wiley&sons, 1987.
28
Friedrich, Carl J, dalam Ibid: Hal. 21.
11%
42%
26%
21%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
apbd SOTK Pajak/retribusi lain-lain
Penutup
Proses kebijakan publik sangatlah kompleks, karena pada hakekatnya formulasi kebijakan
merupakan proses politik.Kebijakan publik seharusnya memang merupakan sarat akan
praktek good governance, tapi melaksanakannya bukanlah perkara yang mudah.Pemerintah
daerah menghadapi pelbagai halangan dan rintangan dalam merealisasikan kebijakan yang
dibutuhkan publik.Proses tawar menawar pelbagai kepentingan di arena politik daerah dan
nasional juga berpengaruh kepada alokasi APBD dan peraturan daerah yang
dihasilkan.Dalam struktur politik lokal tidak hanya kepala daerah yang mempunyai
kepentingan dalam formulasi kebijakan publik sebagai bentuk tanggungjawabnya.Tapi partai
politik yang duduk dalam DPRD pun juga mempunyai kepentingan yang sama dengan
kepala daerah.Dampaknya adalah rakyat menjadi kecewa karena kepentingan dan harapan
mereka dengan sistem yang dianggap lebih demokratis seperti era desentralisasi dan sistem
pemilihan kepala daerah ternyata belum mampu secara efektif dalam melahirkan kebijakan
publik yang berbasis good governance.Dalam konstelasi politik nasional keputusan-
keputusan daerah sangat bergantung pada keputusan oleh pusat, sehingga inisiatif dan
improvisasi kepala daerah untuk membuat kebijakan semakin berat karena pelbagai undang-
Daftar Pustaka
Hermanto Rohman
Abstrak:Provinsi Jawa Timur pada periode 2009-2014 dengan gubernur dan wakil
gubernur terpilih DR. H. Soekarwo (Pak Dhe Karwo) dan H. Saifullah Yusuf (Gus Ipul)
mengusung janji politik melalui jargon APBD untuk Rakyat. Namun data cukup
menunjukkan bahwa APBD untuk rakyat yang digagas pasangan terpilih tersebut belum
termanifestasikan pada kebijakan politik Anggaran APBD tahun 2010 tahun kedua pasca
mereka terpilih. Politik penganggaran Jawa Timur ternyata masih sangat konservatif
dengan belanja rutin atau tak langsung sebagai "panglima", sementara belanja langsung
atau pembangunan untuk kepentingan masyarakat sebagai "prajurit". Penelitian ini
bertujuan mengkaji permasalahan dinamika politik dalam reformasi penganggaran di
daerah. Fokuspenelitian proses pembahasan APBD provinsi Jawa Timur tahun 2010 yang
meliputi proses drafting atau penyusunan RAPBD serta proses pembahasan draf anggaran
(RAPBD) untuk dibahas bersama DPRD menjadi APBD. Fokus analisisnya adalah pada
dinamika politik dengan melihat modus kepentingan politik para budget actors serta pola
hubungan antara masing-masing budget actors dalam menjalankan kepentingannya.
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang
menggunakan model analisis interaktifMilesdanHuberman dalam analisis datanya.
Berdasarkan hasil temuan penelitian terdapat modus kepentingan politik para budget
actors (eksekutif maupun legislatif) dalam Kebijakan Anggaran terutama pada proses
pembahasan APBD Jawa Timur tahun 2010 yang terfragmentasi pada kepentingan dalam
penetapan target pendapatan anggaran dengan modus politic mark down dalam proyeksi
pendapatan, Politic mark up dalam belanja anggaran serta mentolerir adanya dana tidak
terserap melalui SILPA. Sedangkan kepentingan dalam penetapan belanja anggaran
terdapat modus peningkatan dana hibah dan bantuan sosial sebagai plafon politik bagi
anggota DPRD, serta modus memperbesar anggaran birokrasi dalam plafon anggaran
belanja langsung (belanja publik). Dalam modus kepentingan politik tersebut terdapat pola
hubungan keagenan antara budget actors dan berpeluang terjadinya negosiasi kepentingan
dalam anggaran
Pendahuluan
Latar belakang
Pelaksanaan desentralisasi anggaran (melalui desentralisasi fiskal) sudah berjalan sejak
1999, dan mengalihkan kurang lebih 40% anggaran negara ke level daerah melalui dana
perimbangan. Namun yang masih menjadi persoalan krusial dalam politik anggaran adalah
otokrasi anggaran, yakni keterbatasan distribusi-alokasi anggaran pemerintah daerah ke
Pembahasan
Proses Kebijakan Anggaran (APBD)
Praktek proses kebijakan APBD di Provinsi Jawa Timurdapat dilihat dalam dua proses yaitu
proses penyusunan RAPBD dan proses pembahasan draf APBD. Pada proses pembahasan
anggaran terutama pada proses drafting anggaran (penyusunan RAPBD) merupakan domain
eksekutif sepenuhnya dalam melaksanakan hak budget. Sementara hak budget DPRD pada
proses ini hanya sebatas pada saat menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan
Prioritas dan Plafon Anggaran sementara (PPAS). Pada proses penyusunan KUA dan PPAS
ini diajukan secara bersama-sama kepada DPRD hal ini didasarkan pada Permendagri No 59
tahun 2007. Ketentuan berbeda dengan Permendagri No 13 tahun 2006 dimana KUA dan
PPAS diajukan secara terpisah. Alasan dilaksanakan secara bersamaan didasarkan pada
upaya penyederhanaan dari proses, sehingga akan berdampak pada penyederhanaan waktu
pembahasan anggaran. Dari proses ini kemudian dilahirkan kesepakatan antara eksekutif
(Pemerintah provinsi) dengan Legislatif (DPRD), dalam bentuk nota kesepakatan KUA dan
29
Jhon Cullis dan Philip Jones, Public Finance and Public Choice, ( Oxford : Oxford University
Press, 1998)
30
Andy Norton & Diane elson, What’s Behind The Budget? Politics, Rights, and Accountability in
the Budget Process ( Overseas Development Institute, 2002)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, setelah dilakukan identifikasi
fakta, verifikasi dan validasi serta interpretasi dan analisis terhadap hasil penelitian, maka
dapat disimpulkan bahwa ;
Pertama, filosofi APBD Provinsi Jawa timur tahun anggaran 2010 sebenarnya
merupakan hal yang sangat ideal karena target APBD tahun 2010 berusaha untuk
menciptakan keseimbangan dan keserasianantara kebutuhan belanja daerah dan sumber
Mochammad Makmur
Kandidat Doktor PDIA Universitas Brawijaya Malang
Abstrak:Deliberate disregard for the society and the NGOs, due to the bureaucrats’s
ideology of sole resources domination and management. Hence, the TCKMpolicy
implementation was hindered, despite the support from existing environmental, educational,
political, socio-cultural and religious factors. Theoretical implication indicates the need for
improvization and innovation agenda of the bureaucracy’s public resources so as to be both
feasible and decent as a public institution. Practical implication indicates the importance of
public implementation in the perspective of Public Administration Ecology to reposition the
governmental bureaucracy and to redefine the society’s actual role thoroughly.
Pendahuluan
Kota Malang sebagai kota terbesar di Jawa Timur setelah Surabaya mempunyai peranan
regional sebagai pusat Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Malang-Pasuruan yakni
sebagai pusat pendidikan, pariwisata dan industri. Di dalam lambang pemerintahan Kota
Malang terkandung Tribina Cita, yaitu yang nampak didepan terdiri dari tiga lingga
menunjukkan arah pembangunan Kota Malang, yaitu kota pendidikan, industri dan
pariwisata yang memuat nilai cita-cita untuk membangun daerah yang harus diwujudkan
melalui serangkaian program pembangunan daerah.
Paradigma pembangunan yang ada sampai dewasa ini dapat dikategorikan ke dalam
dua paradigma pembangunan (development paradigm), yaitu : (1) paradigma pembangunan
yang berpusat pada produksi (production centered development) (2) paradigma
pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development). Paradigma
pembangunan yang bertumpu pada produksi menitikberatkan perhatiannya pada
pertumbuhan ekonomi dengan indikator meningkatnya pendapatan dan menumbuhkan
tingkat kesejahteraan masyarakat (welfare oriented development). Sedangkan paradigma
pembangunan yang berpusat pada manusia menekankan peranan manusia bukan hanya
sebagai sumber daya dan obyek penuh, tetapi lebih dipandang sebagai subyek dan faktor
pembangunan yang menentukan tujuan yang hendak dicapainya sendiri, menguasai sumber
daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut dan yang mengarahkan proses yang
mempengaruhi dan menentukan hidupnya sendiri (Grant dalam Hadi, 2003).
Selain dapat dilihat sebagai konsep pembangunan, Tribina Cita adalah merupakan
kebijakan publik sesuai dengan pendapat dari Jones (1970) yang menjelaskan bahwa :
Pembahasan
Inilah yang harus dilakukan dalam kebijakan Tri Bina Cita Kota Malang. Reposisi peran
birokrasi pemerintah harus dilakukan sehingga peran implementasi kebijakan akan menjadi
lebih besar. Untuk menjamin bahwa kebijakan dapat mencapai tujuan demokrasi dan
keadilan, maka kebijakan berwawasan ekologi administrasi publik dapat menjadi salah satu
jawabannya.
Temuan, proposisi dan implikasi teori dari penelitian ini secara ringkas disajikan
dalam Tabel 32. Berdasarkan beberapa proposisi minor yang telah disusun maka dari
penelitian ini diusulkan sebuah proposisi mayor:
“Jika faktor Ekologi Administrasi Publik khususnya ecological dan social
cultural tidak diadopsi dalam sebuah proses kebijakan, akan mengakibatkan
peran birokrasi pemerintah dan partisipan lain tidak dapat berjalan secara
setara, maka tidak akan terjadi komunikasi yang intensif dalam proses
kebijakan, yang kemudian dapat menimbulkan kelemahan dan kegagalan dalam
implementasi kebijakan”.
Dengan melihat beberapa kekurangan yang ada dalam Implementasi Kebijakan Tri
Bina Cita Kota Malang maka diperlukan suatu kebijakan yang mampu mengadopsi faktor
ekologi administrasi publik dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Partisipasi publik, terutama masyarakat sasaran kebijakan atau yang terpengaruh oleh
dampak kebijakan, harus ada dalam setiap tahapan proses kebijakan (yang
memungkinkan keterlibatan publik). Hal ini terutama pada tahap pemilihan alternatif dan
pengambilan keputusan untuk penetapan kebijakan.
2. Birokrasi pemerintah berperan hanya sebagai fasilitator agar masyarakat dapat
menemukan sendiri keputusan kebijakan atas dirinya sendiri.
3. Implementasi kebijakan tidak menunggu adanya inisiatif dari masyarakat tetapi
merupakan bagian pokok dalam proses kebijakan.
4. Komunikasi yang dilakukan hanya autentik, dengan memperhatikan 3 buah persyaratan,
yaitu :
- Persyaratan partisipan: keragaman kepentingan, ketergantungan kepentingan,
keterwakilan kelompok kepentingan, dan legitimasi wakil kelompok
- Persyaratan proses : kesetaraan, bebas dominasi
- Persyaratan substansi/isi: memegang teguh prinsip keadilan, mempehatikan kearifan
lokal dan kearifan religius
5. Kemampuan masyarakat dalam berdialog harus terus ditingkatkan melalui pemberdayaan
yang dilakukan oleh Birokrasi Pemerintah.
6. Produk yang dihasilkan dari proses komunikasi harus mendapatkan legitimasi; untuk
digunakan sebagai dasar bagi tahapan proses kebijakan berikutnya.
7. Kebijakan yang telah dihasilkan bukanlah sebuah produk akhir yang harus diamankan
oleh Birokrasi Pemerintah, melainkan sebuah produk yang terbuka bagi adanya
komunikasi untuk menghasilkan implementasi kebijakan yang baik.
Penutup
Kesimpulan
Peran Birokrasi Pemerintah dalam proses formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan
Tribina Cita Kota Malang, sangat dominan karena masih memperlihatkan peran tunggal
yang dijalankan oleh lembaga Birokrasi Pemerintah. Masyarakat kota yang semestinya
sebagai partisipan utama dalam kebijakan Tribina Cita Kota Malang belum mendapatkan
peran yang cukup dalam setiap proses kebijakan. Dalam proses formulasi kebijakan Tribina
Cita Kota Malang, masyarakat kota hanya diberi peran sebagai pemberi informasi dan
Daftar Pustaka
Nur Hafni
Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh
Kampus Bukit Indah Jln.Sumatera, Kec. Muara Satu Kota lhokseumawe
Email: Info@Unimal.ac.id 24350 Telp 085277252249
Pendahuluan
Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, dan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Serta Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru mengamanatkan,di mana guru wajib
memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Kebijakan tersebut
merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Namun sektor
pendidikan belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan, kondisi pendidikan
Daftar Pustaka
Andrew dunsure dalam wibawa, Purbo kusumo dan Pramusinto.1994. Evaluasi kebijakan
publik. Jakarta. Raja Grasindo.
Argyris dalam Sumaryadi, 2005. Implementasi kebijakan “efektivitas implementasi
kebijakan otonomi daerah. CV. Citra Utama Jakarta
Delors, 1996 dalam Baedhowi dan Hartoyo. 2005. LaporanLearning Round-table on
Advanced Teacher Professionalism. Bangkok, Thailand 13 – 14 Juni 2005
Pendahuluan
Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung merupakan momentum penentuan
keberlanjutan Pemerintahan di Daerah.Layaknya pesta demokrasi, aspek pembiayaan
merupakan salah satu aspek penting dalam Penyelenggaraan PemiluKaDa. Pada saat tahapan
Pemilu Kada mulai berjalan banyak daerah yang belum mengalokasikananggaran
penyelenggaraannya. Alasan yang muncul ke permukaan diantaranya adalah daerah tidak
memiliki anggaran ekstra untuk membiayai PemiluKada dan banyak Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) belum ditetapkan pada saat tahapan PemiluKaDa telah
berjalan.Berkaitan dengan belum ditetapkannya APBD dan sumber pendanaan PemiluKada
dari APBD, Kementerian Dalam Negeri mensikapinya dengan mengeluarkan Permendagri
No 57 tahun 2009 tentang Perubahan Permendagri No 44 tahun 2007 tentang Pedoman
31
Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Andalas Padang, email;ozidateno@gmail
dot com, mobile phone: 085278301200
32
Thoha, Miftah, 1992, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 62
33
Siaahan, Anggaran Belanja rutin Ditinjau dari segi admnistrasi Negara, Jakarta, Yayasan Karya
Bakti Jaya, 1973 hal;11-13
2009 2010
Sumber: Data dari penelitian bersama oleh Seknas Fitra, diolah oleh peneliti
Pada beberapa daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah biaya PemiluKaDa
bisa saja mengurangi belanja pelayanan publik lainnya seperti Pendidikan dan Kesehatan.
Misalnya turun besaran belanja bidang kesehatan di Propinsi Sumatera Barat.
34
Irawan Taufig ritonga, Perencanaan dan penganggaran keuangan daerah di Indonesia, Sekolah
Pascasarjana UGM, 2010, hal: 190
Billions
200
150
100
50
2009 2010
Sumber: data penelitian anggaran pemilukada di Indonesia bersama Seknas FITRa, 2010
Diolah oleh peneliti.
Pada sektor publik anggaran mempunyai beberapa fungsi utama35, diantaranya adalah
sebagai alat politik (political tool), anggaran digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas
dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Yang merupakan dokumen politik
sebagai bentuk komitmen eksekutif dan legislatif atas penggunaan dana publik untuk
kepentingan tertentu.
Persoalan mendasar dalam pembiayaan pemilu kada adalah biaya pelaksanaan pemilu
kada yang sangat besar dan jumlah anggaran daerah yang tidak mencukupi, walau persoalan
itu terdengar normatif, namun informasi di lapangan menunjukan memang seperti itulah
adanya. Dan bahwa belum adanya standar dan variabel yang jelas bagi KPUD sebagai
pedoman pengusulan besaran anggaran untuk menyelenggarakan proses PemiluKaDa di
Sumatrea Barat.
Keberadaan KPU sebagai penyelengara PemiluKaDa yang harus patuh dan taat
terhadap azaz hukum, menjadi “alat” tersendiri bagi KPU untuk bisa “menekan” pemerintah
daerah untuk menyetujui besaran dana yang diusulkan oleh KPU. Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan pengangaran tersebut pemerintah daerah harus melakukan cara “rasionalisasi”
terhadap besaran angaran yang dimiliki oleh masing-masing SKPD.
Hubungan Birokrasi Dan Politik: Netralitas Yang Tak Terjaga
Dalam pengantar yang ditulis oleh Sunyoto Usman36 untuk buku demokrasi dan birokrasi
sebuah dilema politik dijelaskan bahwa fungsi politik terkait dengan kegiatan pembuatan
kebijakan untuk mengatasi pelbagai masalah atau menjawab kebutuhan masyarakat,
sedangkan fungsi administrasi pemerintah lebih terkait dengan pelaksanaan kebijakan
tersebut. Dalam prakteknya penyelenggaraan pemerintahan negara seringkali diintervensi
oleh kepentingan rezim penguasa, sehingga sangat kental dengan nuansa politik. Itulah
sebabnya kemudian dirasakan penting melakukan penguatan demokrasi (kompetensi sehat,
35
Mardiasmo, Akuntasi Sektor Publik, C.V. Andi Offset, Yogyakarta, 2005, hal: 62-66
36
Sunyoto Usman, Birokrasi dan Demokrasi; Bagaimaan idealnya? Dalam Syufiansyah
dkk(penyadur) Birokrasi dan Demokrasi Sebuah Dilema Politik, 2011, hal ; ix
37
Dari dokumen KPU Sumatera Barat, diolah oleh peneliti
38
Rozidateno Putri Dinamika penyusunan anggaran daerah: kasus proses penetapan program dan
alokasi anggaran belanja daerah di Kabupaten Sleman, dalam Jurnal LIPI Penelitian Politik, Vol.
7,No.1, 2010, hal;76
39
Dalam demokrasi dan politik
Incumbent
5 Sumbar
4 Kalteng
3 Sulut
2 Bengkalis
TAPD DPRD
1 Medan
0 Solok
Ogan Ilir
Bandung
Kebumen
Sidoarjo
Panwas KPUD
Surabaya
Pada gambar jaring laba-laba diatas, terlihat bahwa di Propinsi Sumatera Barat dalam
menyusun angggaran PemiluKaDa, pengaruh KPUD, DPRD dan incumbent berturut-turut
berada pada kelompok paling tinggi pengaruhnya, pengaruh yang tinggi itu
mengggambarkan tingkat intervensi dalam pengalokasian anggaran. Keterlibatan dalam
pembahasan seharusnya tidak memberi intervensi sesuai dengan kepentingan, akan tetapi
lebih mengedepan tujuan kesejahteraan masyarakat.
Seharusnya TAPD akan menjadi unsur yang independen karena TAPD dikepalai
langsung oleh penjabat karier, tapi inilah buah dari pergeseran kekuasaan ke daerah dalam
era otonomi daerah, reformasi birokrasi terasa sulit terwujud. Ukuran keberhasilan reformasi
birokrasi yang dirumuskan dalam Permendagri nomor 10 tahun 2010, yaitu meningkatnya
kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, dalam hal penganggaran bisa dilihat dari
alokasi belanja untuk rakyat semakin meningkat.
Tulisan evaetziony-halevy itu seakan tidak bisa dibuktikan untuk kasus Sumatera
Barat, karena ternyata kekuatan politik lebih kuat, dan intervensi kepala daerah yang nota
bene dipilih melalui proses politik jauh bekerja baik dalam penyusunan anggaran. Intervensi
politik lainnya adalah apa yang dikatakan oleh jajaran komisaris KPU bahwa “no money no
election” cukup membuat birokrat untuk mau menganggarkan anggaran untuk belanja
pemilukada.
Reformasi di bidang politik, bidang pemerintahan dan bidang ekonomi yang
berlangsung dengan cepat sejak 1998, ternyata tidak diikuti oleh perubahan tata
penyelenggaraan pemerintahan yang cukup mendasar. Akibatnya sistem pemerintahan
40
Permendagri No 10 Tahun 2010, bagian lampiran hal;11
Daftar Pustaka
Irawan Taufig Ritonga, 2010, Perencanaan dan penganggaran keuangan daerah di Indonesia,
Sekolah Pascasarjana UGM.
Mardiasmo, 2005, Akuntasi Sektor Publik, C.V. Andi Offset, Yogyakarta.
Siaahan, 1973, Anggaran Belanja rutin Ditinjau dari segi admnistrasi Negara, Jakarta,
Yayasan Karya Bakti Jaya.
Syufiansyah dkk (penyadur), 2011, Birokrasi dan Demokrasi Sebuah Dilema Politik, Mata
pena Institute dan total Media.
Thoha, Miftah, 1992, Dimensi-dimensi Prima Ilmu administrasi Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 62
-----------2010, Dari dokumen KPU Sumatera Barat
-----------Permendagri No 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010- 2014
Rozidateno Putri, 2010, Dinamika penyusunan anggaran daerah: kasus proses penetapan
program dan alokasi anggaran belanja daerah di Kabupaten Sleman, dalam Jurnal LIPI
Penelitian Politik, Vol. 7,No.1, 2010, hal;76
Pendahuluan
Fenomena ketegangan hingga kekerasan antara masyarakat dengan pemerintah atas suatu
kebijakan di berbagai daerah di Indonesia akhir-akhir ini makin sering ditampilkan
media.Kasus penggusuran pedagang kaki lima, penggusuran tempat tinggal, menjadi contoh
paling sering dijumpai.Fenomena beberapa kasus ini mencerminkan krisis kepercayaan
publik terhadap kebijakan publik yang dieksekusi.
Mengapa ketegangan hingga kekerasan itu terjadi?Salah satu faktor yang patut diduga
sebagai penyebabnya adalah kurangnya daya tanggap kebijakan atas inklusivitas lingkungan
kebijakan, termasuk kelompok masyarakat penerima dampak kebijakan. Kurangnya
inklusivitas kebijakan dapat dihasilkan oleh proses kebijakan yang tidak didasarkan pada
input kebijakan yang demokratis, serta mengabaikan aspek deliberatif dan dialog sehingga
berdampak menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.Konsep demokratis,
deliberatif, partisipatif, seringkali dimaknai dari sudut pandang teknokratis, yang
mengisyaratkan prosedur dan bentuk kegiatan.Hal inilah yang kemudian menuai kritik,
apakah masyarakat hanya dijadikan legitimasi power penguasa melalui prosedur dan
mekanisme yang nampaknya demokratis dan partisipatif?Artikel ini menyajikan dinamika
kebijakan deliberatif danpartisipatif berdasar pada argumen yang dibangun bahwa kebijakan
yang inklusif dan demokratis tidak semata dipahami dari sudut pandang negara (pemerintah),
melainkan dari sudut pandang kelompok masyarakat sasaran.
Abrahamsen, Rita. (2004). Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa Dalam Wacana
Pembangunan. Yogyakarta: Lafad
Cunningham, Frank. (2002). Theories of Democracy: A Critical Introduction. London:
Routledge.
Hadiz, Vedi R. (2003). “Decentralisation and Democratisation in Indonesia: A Critique of
Neo-institutionalist Perspective”, SEARC Working Paper Series, no. 47. Hong Kong:
City University of Hong Kong.
Cornwall, Andrea dan Vera Schattan P. Coelho, ed (2007). “Spaces for Change? The Politics
of Participation in New Democratic Arenas”. London: Zed Book.
Hendra Try Ardianto, Pembentukan Struktur Negosiasi Kota Surakarta: Kritik Nalar ‘Best
Practices’ dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Volume 15, Nomor 2, November 2011 (124-139) ISSN 1410-4946
Howe, K. dan Ashcraft.C. (2005). “Deliberative Democratic Evaluation: Successes and
Limitations of an Evaluation of School Choice”. Teachers College Record Volume
107, Number 10, October 2005, Columbia University, pp. 2275–2298
Jayasuriya, Kaniskha. (2006). Statecraft Welfare and the Politics of Inclusion International
Political Economy. New York: Palgrave Macmillan.
Kushner, S. (2002). “The object of one’s passion: engagement and community in democratic
evaluation”. Evaluation Journal of Australasia , Vol . 2 (new series ) , No . 2,
December
MacDonald, B. (1976). Evaluation and the control of education. In D. Tawney (Ed.),
Curriculum evaluatio today: Trends and implications (pp. 125–134). London:
Macmillan
March, James G. and Johan P. Olson. (1995). Democratic Governance. New York: The Free
Press.
Rutiana Dwi Wahyuningsih, 2011. Membangun Kepercayaan Publik Melalui Kebijakan
Sosial Inklusif. JSPVolume 15 Nomor 1 Edisi Juli 2011
Stiglitz, Joseph. (1998). “Towards a NewParadigm for Development Strategies: Policies and
Processes”, Prebish lecture at UNCTAD, Geneva, 19 October
Santoso, Purwo. (2008). Mengungkap Demokratisasi dari Keseharian Masyarakat. Dalam
pengantar Mengembalikan Daulat Warga Pesisir Partisipasi, Representasi dan
Demokratisasi di Aras Lokal. Hasrul Hanif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abstrak:VAT Experts in many countries proposed their opinion regarding the registering
obligation as Taxable Entrepreneur for Small Scale Entrepreneur in order to fulfill tax
administration provision. The entrepreneur subjected to Taxable Entrepreneur or Taxable
Person is obliged to register its business in Tax Office then it will be categorized as
registered person or person required to register. The provisions for instance the obligation
to register as Taxable Entrepreneur for Small Scale Entrepreneur has become critical issue
for long time in VAT matter. It should be different the provision for Small Scale
Entrepreneur compare to Medium or Large Scale Entrepreneur. Indeed, the levying of VAT
is allowed from Small Scale Enterprises. However, the Small Scale Entrepreneur should be
allowed to choose voluntarily whether registering as Taxable person or not.
To conduct the research, it was used the qualitative method to accomplished this
research. The data was collected through literature study and in depth interview. The result
of this research presents that the criteria to measure the business activity should be the total
turnover of taxable goods.
Kata Kunci: Value Added Tax (VAT), Taxable Entrepreneur, Small Scale Entrepreneur,
Tax Policy
Pendahuluan
Saat ini, pemerintah Indonesia mengupayakan pemberdayaan pengusaha kecil termasuk
UMKM karena dinilai sangat strategis untuk meningkatkan struktur perekonomian nasional
yang seimbang. Selain itu, menumbuhkembangkan kegiatan bisnis dari pengusaha kecil
tersebut, dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan tingkat kemiskinan.
Perkembangan kegiatan pengusaha kecil atau UMKM sangat pesat di Indonesia.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik, pertumbuhan UMKM dalam
rentang 2009-2010 sebagai berikut:
42
Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.org/document., di-browsing pada
tanggal 29 Maret 2004
43
Lihat Peraturan Dirjen Pajak No. PER-44/PJ/2008, tanggal 20 Oktober 2008
44
Haula Rosdiana, Edi Slamet Irianto dan Titi Muswati Putranti, Teori Pajak Pertambahan Nilai,
Kebijakan dan Implementasinya di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011, hal. 2005.
45
Value Added Taxes in Central and Eastern European Countries: A Comparative Survey and
Evaluation: EC,OECD, 1998, hal.33.
46
Lihat Peraturan Menteri Keuangan 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak
Pertambahan Nilai
47
Alan A.Tait, Value Added Tax International Practice and Problems, Washington, D.C. IMF.,
1988, hal. 271.
48
Ibid. hal. 181.
49
Victor Thuronyi, ed., Tax Law Design and Drafting, Vol.1, IMF, 1996, hal. 178
50
International Tax Glossary, 2003, hal. 305.
8,000 3)
Croatia 6,000 40,000
El Savador 2,400 12,000
Georgia 46,000 12,000
51
Ibid. hal.178
52
Liam Ebrill, The Modern VAT, Washington, D.C.: IMF, 2001.,hal. 115.
53
Liam Ebrill, Ibid., hal. 114
54
PricewaterhouseCoopers,A Guide to VAT/GST in Asia Pasific 2009,Singapore:
PricewaterhouseCoopers Services LLP, 2009, hal. 243.
55
Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 430/KMK.04/1984 tertanggal 11 Mei 1984. Namun
berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 1985, saat berlakunya UU PPN pada tanggal 1 April 1985.
56
Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 303/KMK.04/1989 tertanggal 1 April 1989
57
Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1288/KMK.04/1991 tertanggal 31 Desember 1991
58
Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 648/KMK.04/1994 tertanggal 29 Desember 1994
59
Lihat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 552/KMK.04/2000 tertanggal 22 Desember 2000
Daftar Pustaka
Buku
Ebrill,Liam., The Modern VAT, Washington, D.C.: IMF, 2001.
PricewaterhouseCoopers, A Guide to VAT/GST in Asia Pasific 2009, Singapore:
PricewaterhouseCoopers Services LLP, 2009.
60
Lihat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 571/KMK.03/2003 tertanggal 29 Desember 2003
Lain-lain
Consumption Tax Guidance Series, OECD, http://www.oecd.org/document., di-browsing
pada tanggal 29 Maret 2004.
International Tax Glossary, 2003.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 430/KMK.04/1984 tertanggal 11 Mei 1984
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 303/KMK.04/1989 tertanggal 1 April 1989
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1288/KMK.04/1991 tertanggal 31 Desember 1991
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 648/KMK.04/1994 tertanggal 29 Desember 1994
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 552/KMK.04/2000 tertanggal 22 Desember 2000
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 571/KMK.03/2003 tertanggal 29 Desember 2003
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-44/PJ/2008, tanggal 20 Oktober 2008
Peraturan Menteri Keuangan RI No. 68/PMK.03/2010 tertanggal 23 Maret 2010
Undang-undang nomor 43 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang
nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah
Wisber Wiryanto*
*)Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional, LAN.
**) Judulartikeldalamrangkakonferensi administrasiNegara V yang akan
dilaksanakan pada Juni 2012 di Fakultas Ilmu Administrasi,
Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
Pendahuluan
Reformasi birokrasi (RB) bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan
tata kelola pemerintahan Indonesia yang lebih baik. Dalam hal ini, pemerintah menerbitkan
kebijakan berupa Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi
Birokrasi (GDRB) 2010-2025, dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menpan dan RB No. 20
Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) 2010-2014.
Tujuan RB untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan
karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas dari KKN, mampu
melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan
kode etik aparatur negara. Sedangkan Sasaran RB adalah (a) terwujudnya pemerintahan yang
bersih dan bebas dari KKN; (b) meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat;
dan (c) meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
Cara mencapai tujuan dan sasaran RB dilakukan melalui strategi pelaksanaan
program-program yang berorientasi pada hasil. Ada dua tingkat pelaksanaan, yaitu tingkat
nasional dan tingkat instansional.(1) Pada tingkat nasional pelaksanaan reformasi birokrasi
dibagi ke dalam tingkat pelaksanaan makro dan mikro. Tingkat pelaksanaan makro
menyangkut penyempurnaan regulasi nasional dalam upaya pelaksanaan RB. Tingkat
Tahap Kedua
Setelah menerima pengarahan/pembekalan kebijakan RB, Sekda menindaklanjuti langkah-
langkah RB di daerah masing-masing. Dalam hal ini, Sekda membuka dan memberi
pengarahan diklat khusus bagi aparatur daerah dalam rangka mendorong program RB
Pemda.
Saran-Saran
1. Ke-semua materi diklat khusus yang ditawarkan diperlukan dalam upaya meningkatkan
kompetensi SDM aparatur daerah sesuai dengan tujuan/sasaran program mikro RB yang
akan dicapai, dan pelaksanaan diklat khusus perlu diarahkan pada upaya membangun
kesamaanpersepsi, pengetahuan pengelolaan pemerintahan yang baik dalam
melaksanakan kebijakan RB.
Daftar Pustaka
Abstrak: Kebijakan publik merupakanhasil dari adanya sinergi kompromi, atau bahkan
kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang
mewakili sistem politik suatu negara. Sebagai sebuah strategi merealisasikan tujuan
pemerintah yang bersangkutan, maka akan terjadi berbagai konflik kepentingan di
dalamnya.
Unsur logika, etika dan estetika merupakan sebuah perpaduan yang integral untuk
menciptakan sebuah kebijakan pemerintah yang baik dan benar. Sebuah kebijakan yang
menggabungkan ketiga unsur tersebut akan menjadi sebuah kebijakan yang populis, tidak
hanya mencerminkan kepentingan sepihak dari decision maker yang mengabaikan hak para
pemangku kepentingan. Sebuah kebijakan publik sepatutnya mempertimbangkan standar
etika dimana ada keberpihakan kepada kaum marjinal. Kemudian ada semangat kesetaraan
yang menjiwai setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Berbagai kebijakan pemerintah belakangan ini sering dinilai tidak berlandaskan etika
publik, misalnya pendekatan yang digunakan dalam menata pedagang kaki lima (PKL).
Kebijakan yang digunakan lebih cenderung represif daripada persuasif. Padahal jika
menggunakan pendekatan yang memadukan unsur logika, etika, dan estetika maka kebijakan
penataan PKL tersebut akan lebih mudah diimplementasikan dan memperkecil resistensi.
Makalah ini menganalisis bagaimana kebijakan pemerintah yang mempertimbangkan
unsur logika, etika dan estetika khususnya pada tahap perumusan akan lebih mudah
diterima masyarakat umum maupun pemangku kepentingan lainnya. Tidak hanya itu,
berbagai inovasi yang dilakukan pemerintah akan mendapat dukungan penuh masyarakat.
Contoh kasus diantaranya penataan PKL di Solo dianalisis dengan menggunakan teori
kebijakan publik yang dikaitkan dengan unsur logika, etika dan estetika. Hasil akhir
(kesimpulan) kajian ini termasuk rekomendasi yang bisa diberikan adalah munculnya
sebuah kesamaan persepsi bahwa kebijakan pemerintah ataupun sebuah kebijakan publik
perlu mengintegrasikan tiga unsur yakni logika, etika dan estetika. Ketiganya tidak bisa
dipisahkan dalam menghasilkan sebuah kebijakan yang populis dan berlandaskan etika
publik. Integrasi tiga unsur tersebut akan memudahkan pemerintah mengimplementasikan
berbagai inovasi dan terobosan kebijakan.
Daftar Pustaka
Bakry, Muhsin Noor., Sonjoruri Budiani Trisakti. (2011). Logika . Jakarta: Penerbit
Universitas Terbuka
Syafiie, Inu Kencana. (2011). Etika Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta
Dityatama
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara
(STIA-LAN) Bandung
Email : m4mba@yahoo.com
Septiana Dwiputrianti
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara
(STIA-LAN) Bandung
Email : tiana.dwi@gmail.com
Abstrak:Internal control system (ICS) in the local government of Lumajang Regency has not
yet implementedeffectively. It was indicated from the lack of internal audit quality (IAQ) and
follow-up action (FA).There are two purposes of this study. First was to measure how much
theinternal audit quality (IAQ) influencing to the effectiveness of auditee’s internal control
system (ICS). Second purpose was to analyse moderating effect of the follow-up action (FA)
to the relationship between IAQ and ICS. .
Survey was conducted to 22 Inspektorat’s auditor teams of Lumajang Regency. Data
was analysed by using a Component Based Structural Equation Model (CBSEM) with Smart-
PLS program. The result of this research showed that internal audit quality (IAQ) influences
positively to the effectiveness of auditee’s internal control system (ICS). Furthermore, the
effectiveness of follow-up action (FA) moderated the influence of IAQ to the effectiveness of ICS
with high level moderating.
This study recommends for improving effectiveness of auditee’s ICS. First
recommendation is to improve IAQ by increasing skills and professionalism of internal
auditors, improvement the effectiveness of audit process, and also reliabilityand usefulness of
internal audit reporting. Second recommendation is to improve the effectiveness of follow-up
action (FA) through a significant roles of auditors and auditees in FA activities.
Kata Kunci: Internal Audit Quality (IAQ), Follow-up Action (FA) Effectivity, Internal Control
System (ICS) Effectivity.
Pendahuluan
Penyelenggaraan pemerintahan daerah menuntut adanya akuntabilitas dan transparansi
dalam bentuk Laporan Keuangan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) (UU 17 tahun 2003;
UU 32 tahun 2004; UU 33 tahun 2004). Untuk menjamin kualitas LKPD, pemerintah
menyelenggarakan sistem pengendalian internal atau SPI (PP60 tahun 2008, PP 58 tahun
2005). SPI ini perlu didukung dengan aktivitas audit internal yang berkualitas, sehingga
Daftar Pustaka
Arens, Alvin & James K. Loebbecke. 1991. Auditing: an Integrated Approach (Fifth
Edition). Prentice -Hall International: USA.
Badan Pemeriksa Keuangan. 2009a. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semeseter I tahun anggaran
2009.
Badan Pemeriksa Keuangan. 2009b. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semeseter II tahun anggaran
2008.
Badan Pemeriksa Keuangan. 2010a. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semeseter I tahun anggaran
2010.
Pendahuluan
Cita-cita reformasidengan diterapkannyaGood Governance, serta semakin tingginya
kebutuhan akan informasi, terutama yang terkait dengan pelayanan publik mendorong
Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan Undang-Undang (UU) No. 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik yang lebih dikenal dengan UU KIP.
Pada dasarnya, UU KIP yang diberlakukan sejak 1 Mei 2008mempunyai tiga sumbu
utama yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas publik. Ketiga sumbu utama tersebut
telah secara komprehensif mengatur kewajiban badan/pejabat publik untuk memberikan
akses informasi yang terbuka dan efisien kepada publik. Badan-badan publik diwajibkan
untuk semakin transparan dan informasi harus dibuka sebesar-besarnya dengan pengecualian
hal-hal yang menyangkut keamanan negara, hak privat, dan yang diatur oleh UU
(Dewangga, 2010).
Upaya pemerintah untuk mendorong implementasi UU KIP ditempuh dengan
membentuk unit khusus yaitu Komisi Informasi Publik.Selain itu, Pemerintah melalui
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah melakukan sejumlah
kegiatan di beberapa daerah terkait sosialisasi UU KIP (Firman dan Chandrataruna, 2010).
Hal tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah terdorong untuk membentuk Komisi
Daftar Pustaka
Assegaf, Rifki, dan Josi Katharina. 2005. Membuka Ketertutupan Pengadilan, Jakarta:
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independen Peradilan
Birkland, Thomas A. 2005. An Introduction to the Policy Process Theories, Concept, and
Models of Public Policy Making. New York: ME Sharpe Inc,
Dewangga, Nadia.2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impelementasi Pembentukan
Komisi Informasi di Garut.Skripsi, FISIP UI
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Depok:
Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI.
Jannah, Lina Miftahul dan Muhammad Yasin. 2006. Akses Publik terhadap Informasi
Hukum sebagai Wujud Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi Volume XIV/Nomor 4/Desember/2006.
Komisi Informasi Pusat. 2010. Laporan Tahunan Komisi Informasi Pusat. Jakarta: KIP RI.
Neuman, Lawrence W. 2007. Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative
Approaches, Second Edition. Boston: Allyn and Bacon
Partodihardjo, Soemarno. 2009. Tanya Jawab Sekitar Undang-undang No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta
Subarsono, AG. 2009. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Tjokroamidjojo, Bintoro.,2000. Good Governance, Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Jakarta
Yasin, Muhammad. 2007. Akses terhadap Informasi dan Dokumentasi Hukum (Prinsip-
Prinsip Transparansi dan Dokumentasi Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia 1998 – 2006). Tesis Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
Yasin, Muhammad. 2011. Keterbukaan Informasi sebagai Sarana Optimalisasi Pengawasan
Kebijakan Publik. Makalah diseminarkan dalam Konferensi Administrasi Negara IV,
Makassar.
Enceng
Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Terbuka, Jakarta
Email: enceng@ut.ac.id
Pendahuluan
Pada abad ini, demokrasi mencapai momentumnya sebagai konsep yang diidealkan oleh
banyak negara. Hal ini disebabkan demokrasi memberi peluang bagi negara atau pihak-pihak
yang berkonflik dalam negara, menyelesaikan permasalahan dengan berpijak pada
kesamaan, kesetaraan, dan keadilan. Sehingga dengan cara-cara itu pihak yang bermasalah
dapat terhindar dari penggunaan kekerasan. Konsep demokrasi yang berpijak pada
kesetaraan dan keadilan menjadi fondasi bagi institusi dalam melindungi orang-orang
maupun negara dari kekerasan. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana bila
kesetaraan dan keadilan tersebut dilekatkan bukan pada sesuatu yang ‘sama’?
61
Lihat Michael Mann, The Dark Side of Democracy: explaining ethnic cleansing, New York,
Cambridge University Press, 2005.
62
Ibid.
63
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dalam laporan, “Dukungan Terhadap HAM dan
Demokrasi: Catatan AS 2006″ yang diserahkan kepada Kongres AS mencatat, “Indonesia, negara
demokratis ketiga terbesar di dunia dan tempat bermukimnya populasi Muslim terbesar di dunia,
telah melangkah lebih jauh untuk mengkonsolidasi sebuah demokrasi yang pluralistik dan
representatif setelah empat dekade berada di bawah pemerintahan yang represif dan otoriter.
(Andiy Saifuddin Qutuz, Agenda terselubung politik Amerika Serikat di Asia, diakses dari
http://driyoanom.wordpress.com/politik-islam/ pada tanggal 5 Maret 2012.
64
Jamie Davidson dalam Yoyoh Hereyah, Tinjauan Teori Interaksionis Simbolik pada kasus
Kerusuhan Sampit, diakses dari http://indiwan.blogspot.com/2007/09/tinjauan-teori-interaksionis-
simbolik.html, pada tanggal 5 Maret 2012
65
Abdul Rachman Patji, Tragedi Sampit 2001 dan imbasnya ke Palangkaraya, Jurnal Masyarakat
Budaya, Volume V No.2 Tahun 2003, hal. 15
66
Michael Mann, The Dark Side of Democracy: explaining ethnic cleansing, New York, Cambridge
University Press, 2005, hal. 63
67
Stanley J. Grenz, A Primer on postmodernism, (ed.terj.), Yogyakarta, ANDI Press, 2001, hal. 15
68
Michael Mann, The Dark side of democracy: explaining ethnic cleansing, New York, Cambridge
University Press, 2005, hal. 109
69
Leslie Lipson, dalam Priyatmoko Dirdjosuseno, nilai-nilai demokrasi dan upaya mewujudkannya
dalam komunitas-komunitas lokal, diakses dari www.simpuldemokrasi.com/.../88-priyatmoko-
dirdjosuseno-nilai-de.. pada tanggal 5 Maret 2012, hal.2.
70
David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi (terj.), Jakarta, PPM, 1992, hal. 29
71
Lihat, Milton J. Esman, dan Ronald J. Herring, Carrots, sticks, and ethnic conflict: rethinking
development assistance, USA, The University of Michigan Press, 2003.
Buku
Esman, Milton J. dan Herring, RonaldJ., Carrots, sticks, and ethnic conflict: rethinking
development assistance, The University of Michigan Press, USA, 2003.
Grenz, Stanley J., A Primer on Postmodernism, (ed.terj.), ANDI Press, Yogyakarta, 2001.
Mann, Michael, The Dark Side of Democracy: explaining ethnic cleansing, Cambridge
University Press, New York, 2005.
Osborne, David dan Gaebler, Ted, Mewirausahakan Birokrasi (terj.), PPM, Jakarta, 1992.
Patji, Abdul Rachman, “Tragedi Sampit 2001 dan Imbasnya ke Palangkaraya”, Jurnal
Masyarakat Budaya, Volume V No.2, Jakarta, 2003.
Internet
Davidson, Jamie, dalam Hereyah, Yoyoh, Tinjauan teori interaksionis simbolik pada kasus
kerusuhan Sampit, diakses darihttp://indiwan.blogspot.com/2007/09/tinjauan-teori-
interaksionis-simbolik.html, pada tanggal 5 Maret 2012
Lipson, Leslie, dalam Dirdjosuseno, Priyatmoko, Nilai-nilai demokrasi dan upaya
mewujudkannya dalam komunitas-komunitas lokal, diakses dari
www.simpuldemokrasi.com/.../88-priyatmoko-dirdjosuseno-nilai-de.pada tanggal 5
Maret 2012.
Qutuz, Andiy Saifuddin, Agenda terselubung politik Amerika Serikat di Asia, diakses dari
http://driyoanom.wordpress.com/politik-islam/ pada tanggal 5 Maret 2012.
Lina Marlia
Student at Pascasarjana Program, Faculty of Administrative Science,
University of Brawijaya
Email:marlia_lina@yahoo.co.id
Pendahuluan
Indonesia telah melaksanakan desentralisasi sejak merdeka pada 1945. Saat ini aturan terkait
desentralisasi di Indonesia dituangkan dalam Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
Gambar 2.
Pendekatan Eco-Region pemanfaatan Ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur
Sumber:DJPR Kemen PU
Issue lingkunganhidup di kawasan Jabodetabekpunjur antara lain terdiri dari empat
masalah penting, yaitu pencemaran udara, krisis air, masalah banjir dan masalah pengolahan
sampah (Winarso, 2006). Gambaran masalah penting dimaksud, antara lain sebagai berikut:
Cahyani, Kartika, 2009. “Model Kerjasama antar Daerah dalam Rangka Mendukung
Otonomi Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Yogyakarta
Domai, Tjahjanulin, 2010. Kebijakan Kerjasama Antar Daerah dalam Perspektif Sound
Governance. Jenggala Pustaka Utama. Surabaya
Firman, Tommy, 2011, “Membangun Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di Wilayah
Metropolitan di Indonesia”. Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke 52 Institut Teknologi
Bandung. Bandung. h. 1-25
Henry, Nicolas Public Administration and Public Affairs, Upper Saddle River, 2004.
Jaili, Emmanuel Brunet, 2011. “Metropolitan Cooperation, Theory and Practice Looking at
Vancouver, BC, Canada”.
Keban, Yeremias T, 2009. “Kerjasama Antar Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi: Isu
Strategis, Bentuk dan Prinsip”
Shafritz, Jay M, Defining Public Administration, West View Press, 2000
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
PP No. 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Kerja sama Antar Daerah
Perpres No. 54 tahun 2008 tentang Penataan ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur
Peraturan Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota se-Jabodetabekpunjur tahun 2010
Keputusan Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota se-Jabodetabekpunjur tahun 2008
Keputusan Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota se-Jabodetabekpunjur tahun 2011
Abstrak: In decentralization era, the local bureaucracy has strategic position in the local
government system. It is so as the instruments and the fundamental base of the local
government in implementing its affairs and as the media to realize the vision, mission, and
the objectives of local government. The successfull of local government is determined by the
effectiveness of the local bureaucracy. This studyaims toexaminethe effectiveness of thelocal
governmentwith alocusinMaros of local bureaucracy. The effectiveness of the local
governmentisviewed fromfourdimensions oforganizational effectiveness of the competing
values approach.These fourdimensions of the organizational effectiveness include flexibility,
human development,organizational development, andcontrol.
Through qualitative analysis methods, foundthat the effectiveness of the local
governmenthave orientation and tendency to differs in each dimensions in th ecompeting
values approach. Firstly, thedimensions offlexibility, reflectedonly limited to thearrangement
of the organizational structure and format of the local bureaucracy,butin terms of programs
and activities of local governments seem Maros still less the value of innovation as most
government programs and activities are a routine and just a continuation of the previous
year. Secondly, the dimensions of human development, it seems more oriented enhancement
of moral values and welfare apparatus in general, excepton the type of functional training
and technical training that is already regulated by the government.Thirdly, the dimensions of
organizational development, productivity values on this aspect is still weak in terms of
realization of the programs and activities of the local government and the efficiency is not
achieved and this indicated the occurrence of two times the budget deficit. Finally, the
dimensions of control, the effectiveness of stability-oriented, peaceful atmosphere to the
organization, the organization's activities run regularly and smoothly, and run the
organization's activities in accordance with the procedure are very prominent as the main
characteristic of bureaucracy.
Pendahuluan
Makalah ini adalah ringkasan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis secara
mandiri. Oleh sebab itulah, dalam makalah ini tidak disajikan berbagai hal yang terkait
dengan teknis dan metode penelitian yang digunakan. Tetapi hanya menyajikan substansi
dari apa dan bagaimana hasil kajian dalam penelitian tersebut. Pada bagian pendahuluan ini
Daftar Pustaka
Badan Data dan Informasi Kabupaten Maros, 2008. Maros Dalam Angka Tahun 2008.
Kabupaten Maros
Conyers, Diana, 1986. “Decentralization and Development: a Framework for Analysis”,
Coommunity Development Journal, (Vol. 21, No. 2, April): 88-100.
Dwiyanto, Agus, 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: PSKK-UGM.
Hoessein, Bhenyamin, 2000. ”Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan
Pemerintahan Daerah”, Jurnal Bisnis & Birokrasi No.1/Vol.1/Juli. Departemen Ilmu
Administrasi Fisip-UI.
Jha, S.N. & Mathur, P.C. (Eds.)., 1999. Decentraliztion and Local Politics; Reading in
Indian Government and Politics-2. London: Sage Publications.
Abstrak:From reformation to date, Indonesia has not had public policy that manages the
limitation on political parties tie toward bureaucracy. As the result, bureaucracy becomes
infinity (extended without limitation) politicization of bureaucracy that biased to every
political parties elite behavior, and makes the role of political parties increased in the
governance, whether in legislature, executive in issuing regulation on laws implementation,
to hear inputs from political parties until the election. This situation has made political
parties in every chamber of power as a very important part for them to maintain the viability
of their parties, while keeping the balance of power between political parties and
bureaucracy. Through this paper, the writer would like to express that the relationship
between political elite and bureaucracy in Indonesia is in the model of Executive Acendency,
where it places political elite as officer that controls bureaucracy based on the public policy
of the political parties that supported the officer. Political forces that influence the
bureaucracy comes from parliament, and the structure of political bureaucracy that is
espoused by political elite from center to periphery, as it occurred in the New Order regime.
But in the post New Order through its decentralization policy toward good governance, the
relationship between political elite and bureaucratic elite particularly in the periphery is no
longer sufficient to be called a model of pure executive acendency. That condition is because
of the fact that until today Indonesia is still using the Weberian bureaucratic model that
places political elite as the highest officer in the hierarchical position of bureaucracy.
Pendahuluan
Birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses kegiatan politik (Thoha,
Miftah,2004,27). Setiap kelompok masyarakat yang terintegrasi dalam tata pemerintahan
tidak dapat dilepaskan dari aspek birokrasi.Akibatnya birokrasi menjadi infinitas (meluas
tidak terbatas) dan terjadi politisasi birokrasi, yang menyumbang terjadinya proses
pembusukan politik dan melemahnya kinerja birokrasi. Namun demikian, birokrasi di
Indonesia dan di daerah pada khususnya hingga saat ini belum efektif, karena disebabkan
antara lain birokrasi sejak lama dijadikan alat mobilisasi politik bagi partai penguasa untuk
melanggengkan kekuasaan.
72
Disampaikan Dalam Seminar ASPA Indonesia Internasional Seminar and IAPA Annual
Conference 2012, Malang, Indonesia.
Ramadhan Pancasilawan
Dosen di Jurusan Ilmu Adm Negara, FISIP, Universitas Padjadjaran, Bandung
Email: -
Dedi Sukarno
Dosen di Jurusan Ilmu Adm Negara, FISIP, Universitas Padjadjaran, Bandung
Email: -
Abstrak:Dalam pembangunan, perencanaan menjadi proses yang diawal dan media bagi
masyarakat untuk berpartisipasi pada upaya penciptaan kemajuan sosial ekonomi yang
didukung oleh pengorganisasian dan peran serta masyarakat selaku pelaku pembangunan
dapat berjalan. Penyelenggaraan pembangunan dikatakan tidak berhasil tanpa adanya
partisipasi masyarakat. Hakikat pembangunan adalah dalam rangka memberdayakan
masyarakat dari ketidakberdayaan. Maka rumusan masalah penelitian ini adalah
Bagaimana Partisipasi Masyarakat Tingkat Kelurahan Dalam Perencanaan Pembangunan
Di Kecamatan Garut Kota Kabupaten Garut?
Pendekatan yang digunakan kualitatif dengan mengambil beberap informan yang
kompeten sesuai tujuan penelitian ini yaitu terdeskripsikan bentuk parisipasi yang dilakukan
oleh masyarakat berkarakteristik keluarahan. Konsep untuk menganalisis partisipasi
tersebut menggunakan tangga partisipasi masyarakat yang dikemukakan oleh Sherry
Arnstein (1969:2).
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa partisipasi yang terjadi, masih berada
dalam kategori partisipasi semu, yaitu pada anak tangga placation. Pada anak tangga ini
masyarakat yang tidak mampu diberikan kesempatan untuk memberi saran, namun
keputusan tetap ada pada pemegang kekuasaan Sehingga perencanaan pembangunan di
kelurahan di Kecamatan Garut Kota belum bisa dikatakan partisipatif sepenuhnya. Maka
dari itu diperlukan sinergisitas peran stakeholder dalam perencanaan pembangunan, hal ini
juga akan dapat meningkatkan motivasi stakeholder untuk berpartisipasi. Kemudian untuk
mendukung hal tersebut pemerintah harus menyusun agenda sosialisasi mengenai
perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan intensif.
Kata Kunci:Partisipasi Masyarakat, Perencanaan Pembangunan
Knowledge
Actors Spaces
Daftar Pustaka
Rusdiyanta
Dosen FISIP, Universitas Budi Luhur Jakarta
Email: rusdiyanta10@gmail.com
Aelenei,V. 2001. “Dreptul frontierei de stat”, Bucharest, vol. I, Pro Transilvania Publishing
House, p. 112
Akaha, T. and Anna, V. (eds). 2005. Crossing National Borders: Human Migration Issues in
Northeast Asia. Japan: United Nations University Press.
Batara, Aditya, Manajemen Garis Perbatasan Indonesia – Sebuah Usaha Menjamin
Keamanan Warga Negara, dalam Aditya Batara & Beni Sukadis (ed) Reformasi
Manajemen Perbatasan di Negara-Negara Transisi Demokrasi, 2007, Jakarta DCAF-
LESPERSSI, hal.50-51
Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). 2005. Guideline on Capacity
Building in the Regions. Module A:The Capacity Building Cycle- From Capacity
Building Needs Assessment (CBNA) towards the Capacity Building Action Plan
(CBAP) Version 2.0, February 2005.
Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). 2005. Guideline on Capacity
Building in the Regions. Module B: Methods and Instruments for the Capacity
Building Cycle “Toolkit”. Version 2.0, February 2005.
Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). Implementing Capacity
Building Needs Assessments (CBNA) For Regional Government. Observations From
The East Kalimantan Pilot Exercise 2004.
Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). Practitioner Guide’s:
Capacity Building for Democratic Local Government.
Effendy, Chairil, et.al. 2009. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan
Kawasan Perbatasan di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Kalimantan Barat). DPD-
RI dan Universitas Tanjungpura.
Fujimura, M. and Edmonds, C. 2006. Impact of Cross-border Transport Infrastructure on
Trade and Investment in the GMS. ADB Institute Discussion Paper No. 48
Giddens, A. 1985. The Nation-state and Violence. Vol. 2 of Contemporary History of
Historical Materialism. Cambridge: Polity Press.
Giroux, H. A. 2005. Border Crossings, Cultural Workers and the Politics of Education,
Great Britain: Routledge.
Gottmann, J. (eds.).1980. Centre and Periphery: Spatial Variation in Politics. Beverly Hills:
Sage Publications.
Green Cross, 2000. National Sovereignty and International Water Courses. Green Cross
International, Hague.
Grindle, Merilee S. (ed.) 1997. Getting Good Government, Capacity Building in the Public
Sectors of Developing Countries. Harvard Institute for International Development:
Harvard University.
Grindle, Merilee S. 2007. “The Promise of good Governance”, in Merilee S Grindle, Going
Local: Decentralisation, Democratisation and The Promise of Good Governance.
Princeton University Press, Princeton.
Guo, R. 2005. Cross Border Resource Management, Theory and Practice. Amsterdam
Henrikson, A. K. 2000. Facing Across Borders: The Diplomacy of Bon Voisinage.
International Political Science Review 2000; 21; 121. [Online], Available:
http://ips.sagepub.com. [April 23, 2009]
Hirotsune, Kimura. “Desentralisasi: Bentuk Baru Integrasi Nasional?”, dalam Jurnal
Ketahanan Nasional, No.IV (3), Desember 1999
Tedi Erviantono
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana
Email: erviantono2@yahoo.com
Daftar Pustaka
Pendahuluan
Tata pemerintahan yang baik serta pelayanan yang berkualitas telah menjadi salah satu
tanggung jawab pemerintah dan merupakan salah satu tuntutan masyarakat. Peran
pemerintah yang strategis akan ditopang oleh bagaimana sebuah birokrasi publik mampu
melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu yang menjadi tantanganbagi birokrasi adalah
bagaimana sebuah birokrasi mampu melaksanakan kegiatan secara efektif dan efisien, karena
birokrasi sering diidentikkan dengan sistem yang berbelit-belit, kaya sturktur tapi miskin
fungsi, bahkan merebaknya kasus KKN. Hal-hal tersebut sering disebut sebagai patologi
birokrasi atau “penyakit birokrasi”. Disadari ataupun tidak, patologi tersebut menjadi
Daftar Pustaka
Santoso, Priyo Budi. 1997. Birokrasi Pemerintah Orde Baru; Perspektif Kultural dan
Struktural. Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada
Syafiir, Inu Kencana. 1998. Manajemen Pemerintahan. Jakarta; PT. Pertja
Sulistyani, Ambar Teguh. 2011. Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumber
Daya Manusia. Yogyakarta: Gava Media
Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana
Sri Weningsih 74
Email: wening@ut.ac.id
Abstrak:Reform in Indonesia that has been rolling for almost 13 years, almost no
significant impact in the field of combating corruption. Instead of corruption in this country
is reduced, it becomes a daily news in various media.
There have been many studies and efforts of governmental and non governmental
institutions for combating corruption, and eventhere is the discourseofanti-corruption
education curriculum in educational institutions, but all it seems to have not given
satisfactory results.
There are various reasons for the rise of acts of corruption, one reason is the cultural
aspect. At the time of the kingdoms in Indonesia, the bureaucracy was created not to
servethe people, but is intended to strengthen and defend the king's power. This is because
the king is considered to create, support and raise the right to decide life or death of a
person. While today, people think 'weird' if not corruption. Occupying a position in
government would be considered 'unusual behavior’ when you do not look fancy suit his
position.When corruption has become a cultural, the corrupt behavior will remain fertile.
In practice, bureaucracies at the local or regional leveloften mimic or imitate of the
bureaucratic system of national and or local government fellow. Because the culture is not
easily lost in a short period, then the corrupt behavior of bureaucrats is also heavily
influenced by culture.
Pendahuluan
Masalah korupsi di Indonesia nampaknya tidakberkurang namunjustru menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat.Pada era Orde Baru,masyarakat memahami
korupsipadaumumnya hanya dilakukanoleheksekutif dan sifatnya sentralistis, dilakukan oleh
pejabat yang ada di pusat pemerintahan.Pada era Reformasi korupsi dilakukan hampir di
semua institusi, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, di pusat maupun daerah.
Kesempatan untuk melakukan korupsi lebih banyak dilakukan oleh aparatur
pemerintah atau birokrasi karena pada umumnya aparatur pemerintah mempunyai
kewenangan dan kekuasaaan dalam menentukan suatu kebijakan yang menyangkut
73
Disampaikan pada Konferensi IAPA 2012, di Malang.
74
Dosen Universitas Terbuka, Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Catatan
Koentjoroningrat. 1986. Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya. Jakarta: Penerbit
Karunika-UT, hal. 3.3
Ibid, hal. 3.3
J.W.M. Bakker, 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
PenerbitKanisius, hal.37-50
Ibid, hal. 103 - 133
Koentjoroningrat, Op cit. hal. 3.4
J.W.M Baker, Op cit, hal. 103-133
Martin Albrow. 1989. Birokrasi(diterjemahkan:M.Rusli Karim & Totok Daryanto).
Yogya: PT Tiara Wacana, hal. 33-34
M.Mas Said. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang:UMM Press. hal. 195-196
Ibid, hal.197
Castles, dkk. 1986. Birokrasi: Kepemimpinan, dan Perubahan Sosial di Indonesia.Surakarta:
Penerbit Hapsara. hal. 7
Yuris Hamdani. Akar Budaya Korupsi di
Indonesia.http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/05/akar-budaya-korupsi-di-
indonesia/ Diunduh tgl. 10 April 2012.
Daftar Pustaka
75
Staf Pengajar FIA Universitas Brawijaya
76
Kim, W. Chan and Mauborgne, Renée, 2005, Blue Ocean Strategy, Harvard Business School
Press
77
Pollitt, Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-American
experience, Oxford, Blackwell
78
Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, Public
Administration Review, November/December, Vol. 52 No. 6
79
Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in
government, University of California Press
80
David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit is
transforming the public sector, Plume
81
Christopher Hood, 1991, A Public Management for All Seasons?, Public Administration, Vol. 69
Spring 1991 (3-19)
82
Tipping Ponit, yaitu model kepemimpinan yang mencari titik keberhasilan dalam sebuah
organisasi. Untuk ulasan lebih jauh, lihat W. Chan Kim dan Renee Mauborgne, 2005, Blue Ocean
Strategy, Harvard Business School Publishing Corporation, khususnya Bab 7, Overcome Key
Organizational Hurdles
Bekkers, Victor, Edelenbos, Jurian and Bram Steijn, 2010, Innovation in the Public Sector:
Linking Capacity and Leadership, Palgrave, Macmillan, England
Christopher Hood, 1991, A Public Management for All Seasons?, PublicAdministration,Vol.
69 Spring 1991 (3-19)
David Osborne, Ted Gaebler, 1993, Reinventing government: how the entrepreneurial spirit
is transforming the public sector, Plume
Kim, W. Chan and Mauborgne, Renée, 2005, Blue Ocean Strategy, Harvard Business School
Press
Lan, Zhiyong and Rosenbloom, David H,1992, Public Administration in Transition?, Public
Administration Review, November/December, Vol. 52 No. 6
Michael Barzelay, 1992, Breaking through bureaucracy: a new vision for managing in
government, University of California Press
Pollitt,Christopher, 1993, Managerialism and the public services: the Anglo-American
experience, Oxford, Blackwell
Prasojo, Eko, dkk, September 2004, Peran Kepemimpinan dalam Program Inovasi Daerah:
Studi Kasus Kabupaten Jembrana, Bisnis & Birokrasi, Vol. XII, No. 3, hal. 52-60
Shapiro,Stephen M., 2002, 24/7 innovation: a blueprint for surviving and thriving in an age
of change, McGraw-Hill, United States of America
Yoon, Jong In, 2006, Korean Government Innovation: Strategies and Methodologies for
Administrative Innovation, Fifth Meeting of the Committee of Experts on Public
Administration, United Nations, New York, 27-31 March
Zhang, Ming, 2010, Competitiveness and Growth in Brazilian Cities: Local Policies and
Actions for Innovation, World Bank
Abstrak:Indonesia sebagai negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana alam tinggi
memerlukan sebuah mekanisme penjaminan agar dampak bencana alam dapat
diminimalisir. Mengingat ada kekhawatiran bahwa asuransi konvensional tidak akan
mampu memenuhi kebutuhan dana bencana yang sangat besar, maka opsi pembentukan
polling fund dengan menerbitkan catastrophic bondoleh sepuluh negara ASEAN dimana
modal perusahaan diperoleh dari kontribusi masing-masing negara anggota bisa dianggap
sebagai pilihan realistis. Namun apabila menilik kondisi demografi Indonesia dimana
kebanyakan penduduk miskin -- karena keterbatasan kemampuan ekonomi mereka-- tinggal
di daerah rawan bencana alam seperti banjir dantanah longsor maka peran asuransi mikro
menjadi sangat penting. Dalam paper ini penulis berargumen bahwa penyediaan asuransi
mikro dari industri asuransi tanah air yang diperuntukkan bagi kalangan miskin berpremi
rendah bisa menjadi solusi alternatif agar mitigasi risiko tidak semata menjadi tanggung
jawab pemerintah.
Pendahuluan
Dalam beberapadekade terakhir,bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklimseperti
terjadinya banjir, kekeringan, badai, tanah longsor dan kebakaran hutantelah
mengakibatkankerugian sosial dan ekonomi yang sangat besar. Intensitas terjadinya bencana
ini terus meningkat dalam empat dekade terakhir. Banjir dan badai merupakan sumber
bencana utama dunia atau sekitar 70%. Disusul oleh bencana kekeringan, tanah longsor,
kebakaran hutan, dan udara panas yang mencapai sekitar 30% (ADRC, 2005).
Di masa mendatang,diperkirakan bahwa perubahan iklimakibatpemanasan globalini
dapat menciptakanrisiko bencana yanglebih tinggi. Kenaikan permukaan air
lautkarenamencairnya gletserdan eskutubsertaekspansi termalakan memberikan kontribusi
padapeningkatan risikobanjirdi kawasan pesisir.Para peneliti juga telah mengindikasikan
bahwa pemanasanglobal dan perubahaniklimdapat meningkatkansuhu, memperpendek
musim hujan, dan terjadinya kekeringan berkepanjangan.Kondisi seperti inidapat
menyebabkanperubahan mutuair dan kesuburan tanahyang pada gilirannya berdampakpada
sistem pertanian.
Menurut perkiraanIPCC (2007) dampak perubahaniklim bisa bernilai antara 5%
hingga 20% ekonomi dunia.Laporan UN Office for Coordination of Humanitarian Affairs
(UN-OCHA) mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang paling
rawan terhadap bencana terkait perubahan iklim ini. Indonesiayang terdirilebih dari 17.000
Faizatul Ansoriyah
Abstrak: Poverty is always a problem for developing countries, and Indonesia is included.
Some goverment regulations has not significantly contributes to the poverty reduction.
Indonesia was predicted to be impeded in achieving MDG target in 2015 in relation to
poverty reduction. Having the biggest number of moslems, Indonesia undoubtedly has
strength to alleviate poverty. In Islam, zakat is one of mandatory pillars should be fulfiled by
its believers. Zakat is also known as an inherited tools used since the age of prophecy, and it
was proven to be effective in reducing poverty. The problem is that the zakat scheme is not
yet well managed. Consequently, the scheme can yet reducing poverty significantly. Some
problem occurs because of the lackings of coordination among zakat institutions, the
undefined vision and goals, as well as the low credibility of the zakat institution itself. The
importance of collaborative governance in managing zakat is that this will help the zakat
institution, both public and private, in achieving the main goal of the zakat scheme, i.e,
empowering society in the poverty alleviation.
Pengantar
Kemiskinan seolahmenjadi persoalan yang selalu melekat pada Negara berkembang
termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah seolah belum secara signifikan dalam mengurangi penduduk miskin. Indonesia
diprediksi akan kesulitan untuk mencapai target MDGs pada tahun 2015 dalam hal
pengentasan kemiskinan. Sampai saat ini Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011
mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan
dengan penduduk miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen)
(http://www.bps.go.id). Pada dasarnya kemiskinan tidak akan berhasil diatasi jika hanya
mengandalkan program dari pemerintah saja. Kemiskinan memerlukan penanganan dari
seluruh elemen dalam masyarakat.
Sebagai Negara islam terbesar di dunia, sebenarnya Indonesia mempunyai kekuatan
ataupun sumber daya untuk mengentaskan kemiskinan. Dalam islam, kita mengenal apa
yang disebut dengan zakat. Zakat sebagai alat tradisional dan sudah dilaksanakan sejak
zaman rasulullah dan terbukti efektif dalam mengurangi angka kemiskinan. Permasalahan
munculketika besarnya potensi zakat di Indonesia tidak dibarengi dengan berkurangya
penduduk miskin. Potensi zakat Indonesia pada dasarnya sangat tinggi, seperti survey dari
ADB mencapai 100 trilyun , namunpotensi zakat yang sangat besar tersebut belum digali dan
1. Pemuka Agama
Pembayar zakat
2. Yayasan Masjid
(muzaki)
3. LAZ
BAZDA
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MISKIN
Bambang Irawan
STIAMI Jakarta
Email: bbg_irw@yahoo.com
Abstrak: Achieving democratic values is a one of a goal for public service. But sometime it
is difficult to accomplish these values in practice. This study examines kinds of democratic
values which is related with the public service include Amount of secrecy, lack of access to
information, and services are not transparent, need for representation and participation,
plurality, creativity and justice come to force the emergence of the value of openness,
inclusiveness and responsiveness. Being democratic values, these are emerged to be defined
by support by literatures.
Pengantar
Dalam paradigm New Public Service yang mengedepankan prinsip demokrasi yang menjadi
nilai yang lebih penting dari sekedar nilai ekonomi, harus diwujudkan oleh organisasi publik.
Hal ini berarti bahwa orang-orang tertarik terhadap pelayanan public karena mereka
termotivasi oleh nilai-nilai pelayanan publik.Nilai-nilai untuk melayani orang lain, membuat
dunia lebih baik dan lebih aman, dan untuk membuat demokrasi bekerja menjadi yang
terbaik dalam melayani masyarakat dalam konteks menjadi warga negara (Denhardt
andDenhardt, 2007:167).
Proses pencapaian hasil dengan mengantarkan nilai-nilai yang melibatkan public
tersebut inilah yang kemudian yang disebut dengan nilai-nilai public. Nilai-nilai public
merupakan hak warga negara yang harus dikedepankan, kewajiban warga Negara kepada
masyarakat, Negara dan pihak lain, dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pemerintah dan
kebijakannya (Bozeman, 2007:132).
Beberapa pakar menjelaskan bahwa pengambilan keputusan dalam administrasi public
yang termasuk didalamnya pelayanan public seharusnya mengantarkan nilai-
nilaidemokrasidenganmelibatkan public.(Box, 1998; Ebdon and Franklin, 2006).
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan mendasar ialah nilai-nilai publik yang berdemokrasi
manakah yang seharusnya dimiliki dalam pelayanan public.
Keterbukaan, InklusivitasdanResponsivitas
Beberapa literatur menjelaskanbahwa keterbukaan dan inklusivitas adalah dua nilai
demokrasi yang dianut sebagai komponen kunci dari sebuah legitimasi pada pemerintahan
Daftar Pustaka
Bertot, John Carlo, Paul T. Jaeger, John A. Shuler, Shannon N. Simmons, and Justin, M.
Grimes.(2009). Reconciling Government Documents and E-Government Government
Information in Policy, Librarianship, and Education.Government Information
Quarterly 26(3): 433–36.
Box, Richard C. (1998).Citizen Governance: Leading American Communities into the 21st
Century. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Bozeman, Bozze. 2007. Public Values and Public Interest, Washington, D.C : Georgetown
University Press.
Boyne, G.A., (2002). Concept and indicators of local authority performance: An evaluation
of statutory frameworks in England and Wales. Public money and Management, Vol
22 (2) : 17-24
Bunting, Robert L. 2004.Th e New Peer Review Watchword.CPA Journal 74(10): 6–9.
Coicaud, J.M, (2002). legitimacy and politics: acontobution to study of political right dan
political respnsibility, /new York : Camcridge University Press.
Deegan C, (2000), Finacial Accounting Theory, Sydney :McGraw-Hill
Denhardt, Janet V., and Robert B. Denhardt. 2007. The New Public Service: Serving, Not
Steering. Armonk, NY: M. E. Sharpe.
Dowling, J. and Pfeffer, J. (1975), 'Organisational legitimacy: Social values and
organisationalbehaviour', Pacific Sociological Review, Vol. 18, Iss. 1, pp. 122-136.
Dwiyanto, A. (2010). ManajemenPelayananPublik: PeduliInklusif, danKolaboratif,
Yogyakarta: GadjahMada University Press
Ebdon, Carol, and Aimee L. Franklin. 2006. Citizen Participation in Budgeting Theory.
Public Administration Review 66(3): 437–47.
Florini, Ann. 2004. Behind Closed Doors: Governmental Transparency Gives Way to
Secrecy. Harvard International Review 26(1): 18–21.
Galvin, T.L. (2002), Examining Institutional Change: Evidence from the Founding
Dynamics of U.S. Health Care Interest Associations. The Academy of Management
Journal, 45: 4, 673-696.
Hopenhayn, M. (2008). “Recognation and Distribution:Equity and Justice Policies dor
Disadvantaged Groups in Latin America”, in Dani, A.A and de Haan, A (eds).
Inclusive states:Social Policy and Structural Inequalities, p: 145-196. Wahington DC:
The World Bank
Bambang Pujiyono
Budi Luhur University, Jakarta
Email: Bambang.pujiono@budiluhur.ac.id
Abstrak:Penyediaan pelayanan publik yang berkualitas dianggap sebagai salah satu kunci
menuju tata pemerintahan yang baik (good governance). Penyelenggaraanpelayanan publik
oleh pemerintah kepada masyarakat dilakukan karena sudah merupakan tugas,
tanggungjawab dan fungsi pemerintah sebagai pemberi pelayanan (public servant).
Selaras dengan konsep desentralisasi, menjadikan pelayanan kepada public semakin
optimal. Hal ini terjadi karena desentralisasi mendekatkan jarak antara kebutuhan public
dengan aparat pelayanan public sehingga pelayanan yang diberikan berbasiskan kebutuhan
riil masyarakat.
Kelurahan atau Desa menjadi instrument penting dalam konteks pemerintahan daerah
yang mengusung konsep desentralisasi. Namun demikian, fungsi pelayanan yang
dilaksanakan oleh Desa / Kelurahan masih terbatas / sebatas pelayanan administrative yang
konvensional seperti pengurusan KTP, pembuatan surat pengantar untuk keperluan tertentu
dalam rangka mendapatkan legitimasi administrative dari instansi vertikalnya. Kondisi ini
justru menciptakan problem baru di tingkat pelayanan public dan menjauhkan fungsi/peran
Desa / Kelurahan yang dekat dengan masyarakat dalam mengoptimalkan pelayanan public.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap
kondisi factual pelayanan. dengan adanya gambaran kondisi factual tersebut kemudian
dapat dirumuskan model pelayanan yang sesuai dengan konsep pelayanan prima.
Kajian dilakukan dengan menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini metode wawancara, dan studi
dokumen.
Berdasarkan hasil analisa data Pengembangan Pelayanan di Desa / Kelurahan di
Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan, kondisi factual pelayanan masih didominasi jenis
pelayanan administrative dan kemasyarakatan, belum menyentuh pada pelayanan
pembangunan dan utilitas. Pelayanan juga belum dapat maksimal karena belum adanya
dukungan kebijakan yang mengatur tentang pelayanan public di Kota Tangerang Selatan.
Upaya pengembangan pelayanan public dapat diwacanakan dengan cara memberi
diskresi pelayanan yang merupakan bagian dari dinas-dinas di kota Tangerang Selatan.
Sebagian kewenangan dari dinas dapat ditarik ke Desa / Kelurahan dan teknis
pelaksanaannya dapat dilakukan oleh masyarakat di tingkat Desa / Kelurahan. Sisi positif
dari pengembangan pelayanan ini adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Daftar Pustaka
Bayu Suryaningrat, 1992. Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, , Jakarta : PT.
Rineka Cipta, Cetakan keempat.
Bayu Surianingrat, 1980. Desa Dan Kelurahan Menurut UU NO. 5/1979, Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
Creswell, Jhon W., 1994. Research Design, Quantitave and Qualitative Approaches.
California : Sage Publication, Inc
Denhard, R, 1999. Public Admnistration: An Action Orientation, USA : Harcourt University
Hartono Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung :
Alumni, 2000, Hal. 106.
Abstrak:Social Networking adalah suatu media berbasis internet yang memiliki banyak
pengguna diseluruh dunia, baik anak-anak remaja, dewasa maupun orang tua. Jenis ragam
Social Networking yang banyak digunakan tergantung bagaimana pemerintah
memsosialisasikan kepada masyarakat. Penggunaan social networking banyak didominasi
facebook, twitter dan friendster Banyak motif, mengapa pengguna menjadikan Social
Networking sebagai “rekan kerja” dalam kehidupannnya ?. Diantaranya motif untuk
berinteraksi social, mencari informasi, mengungkapkan identitas diri dan mencari hiburan.
Kemudahan yang diberikan Social Networking akan memberikan dampak atau minat untuk
menggunakannya maupun merekomendasikan kepada pihak lain. Interaksi antara
pemerintah dan masyarakat akan lebih mudah dan diharapkan pemerintah dapat
memanfaatkan social networking untuk mensosialisasikan semua kebijakan maupun sebagai
sarana untuk memperoleh informasi langsung dari masyarakat. .
Latar Belakang
Internet pada saat ini sudah menjadi kebutuhan sebagian besar masyarakat di Indonesia,
perkembangan jaringan komunikasi internet, device pengakses internet dan SDM menjadi
faktor meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Melalui artikel yang diterbitkan oleh
comScore, Indonesia merupakan Negara dengan peningkatan pengguna internet di kawasan
asia tenggara yang mencapai angka 32% ditahun 2010. Peningkatan tersebut lebih tinggi dari
negara lainnya di kawasan asia tenggara. Mayoritas pengguna internet di Indonesia adalah
remaja dimana usianya berkisar antara 15-24 tahun yang mencapai 40%. Sebagian besar
masyarakat di Indonesia mengakses situs jejaring sosial pada tahun 2010. Pengguna internet
di indonesia yang mengakses kategori jejaring sosial mencapai 90%. Situs dengan kategori
jejaring sosial, photo sharing, blog, dan berita merupakan situs kategori terpopuler yang
diakses oleh masyarakat di Indonesia. Sedangkan situs pendidikan merupakan kategori situs
dengan pengakses sebanyak 24% dari total pengguna internet di Indonesia. Media Internet
sebagai salah satu sarana komunikasi terpenting di era global untuk mendapatkan berbagai
macam informasi yang diperlukan dan membangun hubungan sosial bagi semua kalangan
dan lapisan masyarakat tentunya menjadi salah satu hal yang patut dipelajari. Hal ini
menyebabkan manusia sebagai pelaku utama perkembangan media tersebut dituntut agar
selalu berusaha untuk mengikuti perkembangan teknologi informasi. Dengan menggunakan
Sumber : Sosialbakers.com
Pemerintah di dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih banyak dijumpai
kekurangan sehingga jika dilihat dari segi kualitas masih jauh dari yang diharapkan
masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masih munculnya berbagai keluhan masyarakat
melalui media massa. Jika kondisi ini tidak direspon oleh pemerintah maka akan
mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu
sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan
buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan
perilakunya antara lain :
a) Birokrasi sebagai pelayan masyarakat harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas
yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan
kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b) Birokrasi seharusnya dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam memberikan
pelayanan secara on line kepada masyarakat.
c) Pemerintah harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya
yang lebih berorientasi pada pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap
mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah harus mampu
memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya
dengan memanfaatkan social networking, khususnya dalam menyampaikan informasi
ataupun merespon keluhan secara langsung.
Gambar 2.
Contoh facebook yang dibuat pemerintah
Daftar Pustaka
Bergeron, Francois and Raymond, Louis., 1992. “Planing of Information Systems to Gain a
Competitive Edge”. Journal of Small Business Management.January, pg. 21-26.
Boyd, & Ellison. (2007). Social network sites: Definition, history, and scholarship.
Gerungan. 1991. Psikologi Sosial. Bandung : PT Eresco
David, L. Loudon dan Albert J. Della Bitta. (1998). Consumer Behavior. Third. Edition.
McGraw-Hill Book Company, New York
Effendi, Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan Pemerataan Akses pada Pelayanan Publik
Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, Fisipol UGM, Yogyakarta
Irwanto. (1991). Psikologi Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Katz, Gurevitch dan Haas (1973) on the use of the mass media for important things american
sociological review.
Noveck, Beth Simone. 2009. Wiki Government: How Technology Can Make Government
Better, Democracy Stronger, And Citizens More Powerful. Washington D.C:
Brookings Institution Press
McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa ed. 2, Jakarta: Erlangga
McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa edisi kedua. Jakarta : Erlangga
Kristina Setyowati
Jurusan Administrasi Negara –FISIP
Universitas Sebelas Maret
krist_uns@yahoo.co.id
Pendahuluan
Isu mengenai penyelenggaraan pelayanan publik saat ini menjadi isu kebijakan yang aktual
di masyarakat seiring dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia. Bahkan dalam UUNomor 32 tahun 2004Tentang Pemerintahan Daerah yang baru
[hasil revisi UU. No.22/1999] dalam pasal 16 (ayat 1a) , disebutkan bahwa pemerintah
mempunyai tanggung jawab, kewenangan dan menentukan standar pelayanan minimal,dan
pada (ayat 2a)disebutkanbahwapelaksaan bidang pelayanan umumyang menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Ketentuan ini setidaknya memberikan suatu gambaran bahwa tuntutan
pada kinerja penyelenggaraan pelayanan publik yang profesional telah menjadi bagian dari
concern pemerintah pusat maupun daerah.
Judiciary
State
(leading actor, special status)
Pada gambar diatas terlihat ada 3 (tiga) kaki dari governance yaitu pemerintah,
bisnis/swasta dan masyarakat. Ketiga aktor ini harus saling terhubung dan sama–sama
memiliki kepentingan terhadap satu sama lainnya. Tanpa hal tersebut maka esensi
governance belum terbentuk.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: Governancemerupakantata pemerintahan
yang dipahamisebagai sebuahsistem administrasi yang melibatkanbanyak pelaku , jaringan,
institusi diluar pemerintah untuk mengelola masalah dan kebutuhan publik. Oleh karena itu
penyelesaian masalah dan kepentingan publik selalu melibatkanmulti stakeholder dari
lembaga yang terkait dengan masalah dan kepentingan publik.
Selama ini penyelenggaraan pelayananan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi
pemerintah daerah lebih berorientasi pada peraturan yang harus ditaati [rule-driven],
kesesuaiannya dengan juklak dan juknis, dengan ciri khasnya antara lain, struktur yang
vertikal, birokrasi yang kental dan wataknya yang intervensions. Model pemerintahan
(tradisional) seperti ini temyata tidak mampu mengadaptasikan dirinya dengan
lingkunganekonomi, sosial dan kultural yang sedang mengalami perubahan yang cepat (lihat
Kazaneigil, 1998), untuk itu perlu reformasi pelayanan publik.
Dilihatdari perspektif governance, reformasi di sektor pelayanan publik itu dapat kita
pandang sebagai upaya mengubah paradigms atau model yang selama ini dipakai dalam
memerintah masyarakat (modes of goverming society). Hal ini dimaksudkan agar dalam
lingkungan yang cenderung terus berubah organisasi pelayanan publik itu tetap relevan,
Daftar Pustaka
Abdul Whab, Solichin, 1998, Reformasi Pelayanan Publik Menuju Sistem Pelayanan Yang
Responsif Dan Berkualitas, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Abdul Wahab, Solichin, 2001, Globalisasi dan Pelayanan Publik DalamPerspektif Teori
Governance,Jurnal Admimstrasi Negara Vol II, No. 1, September 2001 : 43 – 58
Denhardt, Janet V and Denhardt, Robert B, 2003 and 2007, The New Public Service
(Expanded Edition), New York: M.E.Sharpe.Inc.
Dwiyanto, Agus, dkk, 2003, Reformasi : Tata Pemerintahan dan Otonomi
Daerah,Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan –UGM dan PEG-
USAID dan Bank Dunia.
Dwiyanto, Agus, 2008, Mewujudkan Good Governance Pelayanan Publik, Yogyakarta:
GajahMada Universty Press.
Dwiyanto, Agus, 2010, Manajemen Pelayanan Publik :Peduli, Inklusif dan Kolaboratif,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dowbor, Ladislau, 1998. Decentralization and Governance. Latin American Perspektives.
Issues 1998, Vol 25 No. 1, January
Flyn, N. 1990. Public Sector Management,London : Harvester Wheatsheaf
Helu, ‘I., F., 1997, State Society and Governance in Melanesia, Discussion Paper of
Research School of Pacific and Asian Studies, 3rd Edition, Australia: The Australian
national University.
Islamy, Irfan, 2003, Meningkatkan Mutu Pelayanan Pegawai Negeri Sipil, Bahan
CeramahDi Kantor BKN Wilayah II, Surabaya, 3 April 2003.
Mustopadidjaja AR, 2002, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi
DaerahDalamSistemAdministrasiNegara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah
Perdana Pada Program MagisterManajemen Pembangunan Daerah, Kerjasama STIA-
LAN, Pemerintah Prov. Kaltim, dan Universitas Mulawarman, 15 Januari, 2002.
Samarinda.
Kazancigil, Ali, 1988. Governance and Science : market like modes of managing society and
producing knowledge. UNESCO
Kooiman, J. (Ed.), 1994, Modern Governance: New Government – Society Interactions,
London, United Kingdom: SAGE Publications Ltd
Kuswara E Kusdianto
Jakarta, 12 Mei 1975
Cilandak Barat
Lurah Cilandak Barat- Jakarta Selatan
hp 08138360555
Program Studi Administrasi Negara, Fisip-Univ Muhammadiyah Jakarta
Retnowati Wd Tuti
Boyolali, 16 Maret 1961
Gd Perintis I Lt2 Univ Muhammadiyah Jakarta –
Jl.KHA Dahlan- Cirendeu Ciputat Jakarta Selatan
Ketua Program studi Administrasi Negara
021 7445658- hp 081388959826
Program Studi Administrasi Negara Fisip-Univ Muhammadiyah Jakarta
Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1 setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Kesehatan adalah hak fundamental setiap penduduk, oleh
karena itu setiap individu,keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan
terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup
sehat bagi penduduknya.
Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerja sama untuk
mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara
ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Menurut Roger H. Soltau (2004:45) yang
dikutip oleh Miriam Budiardjo, tujuan negara ialah memungkinkan rakyatnya berkembang
serta menyelenggarakan daya ciptanya sebesar mungkin.
Bahwa jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin adalah tanggung jawab
pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H, yang selama ini telah
MetodologiPenelitian
Tempat penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Cilandak Kota Administrasi Jakarta
Selatan. Waktu penelitian dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Adapun metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif, mengenai metode deskriptif dalam suatu
kegiatan penelitian dijelaskan oleh Prasetya dalam bukunya Logika dan Prosedur Penelitian
(2007:60)bahwa Penelitian deskriptifadalah penelitian yang bertujuan untuk
mendeskripsikanatau menjelaskan sesuatuhal seperti apa adanya.Adapun pendekatan
penelitiannya adalah Kualitatif. Sifat-sifat yang umum terdapat dalam metode penelitian
deskriptif adalah memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang,
pada masa yang aktual dan data yang dikumpulkan disusun, dijelaskan, dan dianalisis.
Kountur (2009:191), data kualitatif pada umumnya dalam bentuk pernyataan kata-kata atau
gambaran tentang sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk penjelasan dengan kata-kata atau
tulisan. Yang menjadi perhatian di sini adalah bagaimana menganalisis pernyataan dalam
bentuk kata-kata atau tulisan tersebut.
Analisis data kualitatif menyangkut identifikasi apa yang menjadi perhatian
(concerns) dan apa yang merupakan persoalan (issues). Dalam melakukan identifikasi ini
ada beberapa proses yang perlu dilakukan yaitu proses kategorisasi, proses prioritas, dan
proses penentuan kelengkapan. Proses kategorisasi adalah proses menyusun kembali catatan
dari hasil observasi atau wawancara menjadi bentuk yang lebih sistematis. Laporan dibuat
dalam beberapa kategori yang sistematis.
Proses prioritas adalah apabila terdapat banyak sekali kategori, perlu ada prioritas
mana kategori yang dapat ditampilkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan karena terlalu
banyak kategori akan menyulitkan dalam interpretasi. Proses penentuan kelengkapan adalah
kapan proses kategori dianggap telah lengkap apakah jumlah kategori yang telah terkumpul
sudah cukup? Atau apakah kategori yang dikumpulkan telah menjawab semua perhatian
maupun persoalan yang diharapkan?.
Daftar Pustaka
Batinggi, Achmad dan Badu Ahmad, (2008), Manajemen Pelayanan Umum, Universitas
Terbuka, Jakarta.
Basuki, J, (2009), Reformasi Pelayanan Publik, Perhimpunan Sarjana Administrasi
Indonesia
Budiardjo Miriam, (2004), Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ekadjati, (2002:12), Perjalanan Sarimun Hadisaputra Sebagai Pelayan Masyarakat
Hasibuan, Malayu, SP, (2005), Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.
Hoessein, Benyamin, (2009) ,Perubahan, Model, Pola, dan Bentuk PemerintahanDaerah,
Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Departemen Ilmu Administrasi FISIP,
Universitas Indonesia
Irawan, Prasetya, (1998), Logika dan Prosedur Penelitian, Departemen Ilmu Administrasi,
FISIP, Universitas Indonesia
____________, Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu sosial, Departemen Ilmu
Administrasi, FISIP, Universitas Indonesia.
____________, (2006), Analisis Kinerja, STIA LAN, Press, Jakarta
Kurniawan, Agung, (2005), Transformasi Pelayanan Publik, Pembaruan, Yogyakarta
Lubis, Hari, SB dan Husen, Martani, (1987), Teori Organisasi, Pusat Antar Universitas
Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia.
Lukman, Sampara dan Sugiyanto, (2001), Pengembangan Pelaksanaan PelayananPrima,
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Martin, Wiliam, B, (2005), Quality Customer Service, PPM, Jakarta
Osborne, David, and Ted Gaebler, (1995), Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman
Presindo
Ronny Kountur, (2007), Metode Penelitian Untuk Penyusunan Skripsi danTesis, PPM,
Jakarta
Sunarto Achmad, (2000), Wasiat-wasiat Rasulallah, Husaini, Bandung
Peraturan-peraturan :
Biro Administrasi Wilayah , (2007), Himpunan Peraturan Bidang Kemasyarakatan, Setda
Prov.DKI Jakarta,
Biro Bina Tata Pemerintahan, (2001), Himpunan Peraturan Bidang Pemerintahan, Jakarta,
2001
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
Media Jaya (No.th XXXI/Edisi 001 2007:1
Puskesmas Cilandak, Laporan Tahun 2009
Sri Yuliani
Sebelas Maret University, Surakarta
Email: julie_fisip@yahoo.com
Pendahuluan
Dalam masyarakat ada sekelompok manusia yang tidak terjangkau oleh pelayanan publik
karena karakteristik fisiknya. Salah satunya adalah mereka yang dikenal sebagai waria.
Waria merupakan bagian dari kaum transseksual yaitu male-to-female transsexual
(Suwarno,2004) atau orang yang terlahir lelaki namun sejak kecil merasa dirinya perempuan
sehingga mereka berpenampilan layaknya perempuan. Karena penampilan
fisiknya‘menyimpang’ dari karakteristik atau identitas gender yang dianggap normal
menurut pandangan umum masyarakat, kaum waria tidak diakui keberadaannya oleh negara,
masyarakat bahkan juga oleh keluarganya sendiri.
Sejak tahun 1999 sebenarnya kaum waria di Indonesia telah mendapat jaminan
perlindungan dengan disahkannya UU No 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 3 ayat
(2) undang-undang tersebut menyebutkan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum” dan ayat (3) berbunyi ,”Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Bahkan
Pasal 5 ayat (3)menyebut,”…berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya”. Berdasar aturan ini, kelompok waria oleh Komnas HAM
kini ditempatkan sebagai kelompok minoritas dalam Subkomisi Perlindungan Kelompok
Khusus.
Daftar Pustaka
* Dra. Sri Yuliani, M.Si - staf pengajar di Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNS.E-
mail :julie_fisip@yahoo.comHP:08156733445
Abstrak:Di abad 21 ini tuntutan dan kondisi masyarakat sangat cepat berubah dan
berkembang.Bencana alam, perubahan iklim, perkembangan teknologi informasi,
demokratisasi, akuntabilitas dan transparansi merupakan kondisi yang sangat dinamis dan
hampir tidak dapat diprediksi. Dalam situasi yangdemikian, masyarakat menuntut
peningkatan pelayanan (service delivery) dari pemerintah. Tuntutan masyarakat yang terus
meningkat secara kuantitas dan kualitas merupakan konsekuensi yang harus diterima.
Dalam masyarakat yang semakin maju, demokratisasi memberi ruang yang sangat luas bagi
masyarakat, citizens, meminta haknya untuk dilayani. Pemerintah berkewajiban memenuhi
kebutuhan masyarakat. Karena itu Pemerintah harus selalu melakukan reformasi diri agar
mampu mengantisipasi dan memberi solusi terhadap permasalahan yang datang silih
berganti.
Kondisi ketidakpastian (uncertain) menjadi hal yang sangat sering ditemui. Selain
ketidak pastian permasalahan, dalam perkembangan sekarang ini, pada umumnya masih
ditambah dengan kondisi yang kompleks, volatile dan ambiguity. Di era abad ini lengkaplah
persoalan kemasyarakatan dalam keadaan yang sangat turbulen; pusaran persoalan sangat
besar, bisa bergerak ke segala arah dan serba tidak terkendali. Disisi lain perkembangan
teknologi informasi dengan mudah bisa menyebarluaskan permasalahan dengan sangat
cepat menggulung ke seluruh jagat. Perkembangan sosial media yang luar biasa membawa
konsekuensi akan tingginya peran masyarakat dalam penyelesaian permasalahan.
Perkembangan teknologi informasi yang luar biasa itu bisa menambah kompleksnya
permasalahan, tetapi pada saat yang sama juga menjanjikan solusi yang sangat efektif.
Pemerintah berkewajiban untuk memberi pelayanan dalam perkembangan masyarakat yang
sangat turbulen.
Peningkatan pelayanan dalam kondisi masyarakat yang turbulen menjadi tantangan
yang harus dijawab oleh semua lini pemerintahan. Terbuka luas inovasi dan kreativitas bagi
birokrat untuk menyiapkan pelayanan masyarakat yang mampu memberi jawaban terhadap
tuntutan kebutuhan masyarakat yang berkembang. Pemimpin dan manajer birokrasi yang
adaptif menjadi salah satu kunci penting dalam menjawab tantangan permasalahan
masyarakat yang turbulen. Ketrampilan adaptive leadership di setiap kementerian, lembaga
dan pemerintah daerah diperlukan untuk bisa menjawab persoalan masyarakat. Di tingkat
pusat, pimpinan tertinggi pemerintahan bertugas mendorong setiap entitas untuk mampu
memberikan jawaban terhadap tantangan di masyarakat.
83
Silaban, Togar Arifin, dkk. “Menuju Manajemen Publik Kelas Dunia”. Jakarta: Sekretariat Wakil
Presiden RI, 2012.
84
Bourgon, Jocelyne.“A new Synthesis fo Public Administration: Serving in the 21 st Century”.
Ottawa: McGill-Queen’s University Press, 2011.
Kepemimpinan Adaptif
Kunci utama dalam menghadapi kondisi masyarakat yang turbulen adalah adanya
kepemimpinan yang adaptif (adaptive leadership). Pemimpin dan manajer birokrasi yang
adaptif menjadi salah satu kunci penting dalam menjawab tantangan permasalahan
masyarakat yang turbulen. Ketrampilan adaptive leadership di setiap kementerian, lembaga
dan pemerintah daerah diperlukan untuk bisa menjawab persoalan masyarakat yang berada
dalam kondisi berubah-ubah. Pemimpin yang mempunyai kapasitas adaptif yang tinggi akan
bisa mengarahkan seluruh komponen organisasinya untuk melaksanakan pelayanan publik
dalam setiap kondisi apapun termasuk kondisi turbulensi. Kapasitas adaptif tidak hanya
kemampuan untuk mengantisipasi permasalahan yang ada tetapi juga adalah kepekaan untuk
mengidentifikasi permasalahan yang berkembang dalam masyarakat. Seorang pemimpin
yang adaptif tidak hanya menggantungkan diri padainformasi dari pihak lain atau bahkan
dari bawahannya sendiri. Ia harus mampu mengamati permasalahan masyarakat dengan
jernih. Sehingga dapat lebih mudah menentukan langkah-langkah yang tepat untuk
merumuskan pelayanan publik dalam keadaan yang tidak biasa.
Kapasitas adaptif seorang pemimpin diperoleh melalui serangkaian pengembangan
diri dan pelatihan diri secara formal, non-formal, maupun dari pengalaman empiris yang
dijalaninya.Proses-proses pengembangan diri harus dilakukan secara periodik dengan topik
dan materi yang terus diupdate. Dengan begitu ketajaman analisis terhadap permasalahan
yang terjadi di masyarakat akan meningkat. Pemimpin juga harus meningkatkan kapasitas
bawahannya agar mereka bisa mengimbangi kecepatan dan kapasitas si pemimpin.
Pengembangan kapasitas bawahan tidak harus melalui pelatihan formal, tapi bisa dilakukan
melalui proses kerja sehari-hari dengan penjelasan pelaksanaan tugas yang terus semakin
baik dari waktu ke waktu. Proses mentoring dan coaching harus terus menerus dilakukan
Daftar Pustaka
AtKisson, Alan. “The ISIS Agreement: How Sustainability can Improve Organizational
Performance and Transform the World". UK: Earthscan, 2008.
Bourgon, Jocelyne.“A new Synthesis fo Public Administration: Serving in the 21st Century”.
Ottawa: McGill-Queen’s University Press, 2011.
Silaban, Togar Arifin, dkk. “Menuju Manajemen Publik Kelas Dunia”. Jakarta: Sekretariat
Wakil Presiden RI, 2012.
______. Laporan Indonesian Capacity Development for Bureaucracy Reform Program,
Workshop di University of Canberra. Jakarta: Februari 2012.
______. “Managing Successful Program”. Belfast, UK: The Stationery Office, 2007.
Anwar
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
email: anwarmufid81@yahoo.com
Abstrak: Tujuan peneliitian ini untuk menemukan model pengelolaan air oleh komunitas.
penelitian dilaksanakan di kawasan lereng gunung Kawi tepatnya berlokasi di desa Sumber
urip kecamatan Doko kabupaten Blitar. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
diskriptifdengan menggunakan metode analisis data trianggulasi. Dari hasil penelitian
ditemukan adanya model pengelolaan kelompok masyarakatuntuk memenuhi kebutuhan air.
Dari Pengelolaan air yang dilakukan kelompok masyarakat ditemukan beberapa komponen
penting yang mempengaruhi kualitas, cakupan dan kontinuitas dalam pemenuhan air untuk
masyarakat, yaitu nilai dan sistem budaya masyarakat, komponen kelembagaan sosial,
teknologi, iuran masyaakat dan pengelolaan dana, pengawasan dan perawatan,partisipasi
masyarakat, peran pemimpin kelompok dan pemerintah daerah dan desa. Pada aspek
kelembagaan,status kelembagaan bersifat non formal. Struktur dibuat berdasarkan
kebutuhan riil dilapangan untuk kelancaran penyedian air. Sehingga diketemukan bentuk
struktur pengelola yang cukup beragm dari organisasi pengelola air dari berbagai kelompok
pengelola air. Mekanisme yang dipakai berbasis nilai dan sistem budaya seperti
kebersamaan, kepercayaan dan kepatuhan pada pemimpin. Pengambilan keputusan
dilakukan melalui forum-forum tradisi masyarakat yang ada. Nilai dan budaya sosial
masyarakat yang termanifesi dalam bentuk tradisi “sayan” atau kerja bakti dan “kirim
dawuhan” yang merupakan manifestasi hubunga harmonis antara komunitas dengan alam
dan sang pencipta menjadi media pendorong tingginya keterlibatan masyarakat untuk
pembangunan, perawatan sarana prasaran dan sumber air. Masyarakat lebih banyak
memberikan kepercayaan pada pemimpin kelompok untuk pengambilan keputusan. Sumber
dana sepenuhnya berasal dariiuran bulanan masyarakat. Dana dikelola oleh pemimpin
kelompok, lebih diperuntukkan untuk biaya operasional bukan biaya investasi. Biaya untuk
investasi bersifat insidentil. Penelitian ini juga menemukan belum adanya keterlibatan peran
pemerintah daerah dan pemerintah desa untuk memfasilitasi peningkatan kemampuan
pengelolaan baik secara managerial dan teknik pengelolaan air. Oleh karena itu penelitian
ini merekomendasikan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan dan pemerintah
desa untuk membuat peraturan desa dalam rangka perlindungan dan keberlanjutan
keberadaan kelompok masyarakat pengelola air, sehingga sumber daya air yang ada benar-
benar dapat dimanfaatkan sebasar-besarnya bagi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat.
Kegiatan Jumlah
Operasional
1. Koordinator 1. Tidak pasti
2. Petugas pembagi 2. Per orang 30 ribu /bulan
3. Petugas bendung 3. Per orang 40 ribu/bulan
Perawatan
1. Alat dan bahan (pipa, semen,pasir,batu Tergantung kebutuhan
bata)
2. Konsumsi kerja bakti (makan,kopi,rokok) Rata-rata Rp 100.000
Ritual “Kirim dawuhan” Rata-rata Rp 150.000
Sumber : Diolah dari hasil wawancara
Pengawasan dan Perawatan fasilitas air
Kelancaran dalam penyedian air merupakan faktor penting agar kebutuhan pemenuhan
kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itu pengelola selalu melakukan
pengawasan terutama terhadap kondisi jaringan pipa dan kondisi sumber mata air.
Setidaknya petugas “bendung” setiap dua minggu akan memeriksa kondisi jaringan pipa dan
kondisi sumber mata air dan bak penampung.
Pengawasan juga dilakukan untuk menghindari tidak ketidaktepatanwaktu penjatahan
aliran. Sebab pernah muncul kejadian adanya pembukaankran pembagi yang dibuka oleh
warga demi kebutuhannya sendiri yang sebetulnya pada saat itu bukan jatahnya, sehingga
merugikan warga lain yang waktunya mendapat aliran air
Dari penjelasan pengelolaan air oleh kelompok masyarakat tersebut maka dapat
digambarkan model pengelolaan air oleh kelompok masyrakat, seperti dalam gambar
diagram dibawah ini.
Gambar 1.
Diagram Model PengelolaanAir Berbasis Komunitas Masyarakat Lokal
Daftar Pustaka
Pendahuluan
Kabupaten Purbalingga-Jawa Tengah merupakan salah satu kabupaten yang sejak beberapa
tahun terakhir ini cenderung mengalami alih peran gender dalam keluarga, di mana
perempuan/istri menjadi lebih dominan secara ekonomi dibandingkan suaminya. Hal ini
ditengarai muncul seiring dengan kebijakan “pro investasi” yang dicanangkan Pemerintah
daerah ini yang menyebabkan ribuan perempuan usia sekitar 17-30 tahun terserap di
perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) yang banyak berdiri di kabupaten ini yang
hampir semuanya bergerak dalam pembuatan rambut palsu (wig) dan bulu mata palsu. Data
Disnakertrans Kabupaten Purbalingga tahun 2012 menunjukkan adanya 32 perusahaan
Daftar Pustaka
BKKBN. 2007. Pemantauan Pasangan usia Subur (PUS) Melalui Mini Survei di Indonesia
Tahun 2007. Jakarta: BKKBN.
BPS Kabupaten Purbalingga. 2012. Purbalingga dalam Angka 2011. Purbalingga: BPS
Kabupaten Purbalingga.
Fukuyama F. 1999. The Great Disruption Human Nature and the Reconstitution of Social
Order. New York: Touchstone.
Kartono K. 1986. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: CV Rajawali.
Kota Perwira.com. Sosialisasi rencana Aksi nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM).
(http://kotaperwira.com/sosialisasi-rencana-aksi-nasional-hak-asasi-manusia-ran-
ham#ixzz1opC7BAVV). [28 Januari 2012].
Megawangi, Ratna. 2000. Keluarga dan Pembangunan SDM. Makalah Suplemen pada
Seminar Nasional Hari Keluarga Nasional ke-7, 27 Juni 2000 di Jakarta.
Pendahuluan
Latar Belakang
Era reformasi telah mendorong semua orang di Indonesia, untuk mengangkat masalah di
segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dianggap tidak adil dan tidak
benar. Perubahan mendasar pada era reformasi tersebut di antaranya adalah pentingnya
pemberdayaan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berkaitan dengan
kesetaraan antara lembaga legislatif dan eksekutif dalam rangka desentralisasi kenegaraan
(staatkundige decentralisatie).1Bahwa amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi lembaga legislatif, namun
hingga sekarang kewenangan tersebut belum secara maksimal dikelola oleh para anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ada di dalam lembaga tersebut untuk menyuarakan
Daftar Pustaka
Creswell, John W. Researh Design. Quantitative & Qualitative Approaches. New York:
Sage Publication, Inc, 2002.
Garna, Judistira K. Penelitian Dalam Ilmu Pemerintahan. Bandung: Primaco Akademika,
Cetakan Pertama. 2000
Kusnendi. Analisis Jalur. Bandung: PenerbitJurusan Pendidikan Ekonomi (JPE) FPIPS
Universitas Pendidikan Indonesia. Cetakan Pertama. 2005.
Guruh Yoga Komara, Kinerja DPR 2005-2009 Makalah Ilmu Politik ,
(http://guruhyogakomara.blogspot.com/2009/05/beschikking.html, diakses 10 Februari
2011)
Siti Rohima85
Abstrak: The study was conducted to analyze the self-empowerment of the poor in an effort
to alleviate poverty experienced by the community. So far the Government has implemented
various programs to reduce poverty, but the results have not been up. Pursued a policy
alternative to reduce poverty through increasing self-empowerment of the poor by using the
potential of the community itself is through social capital. It is hoped the poor are more
creative, innovative and not just rely on government assistance. The success of self-
empowerment of the poor through social capital should be supported with confidence, to
change the situation, change yourself, innovative and creative. The existence of the success
of self-empowerment of the poor were able to reduce the deterioration of society and an
inability to exit from the cycle of poverty. This research study was conducted in the Distric of
Alang-Alang Lebar Palembang due to regional growth. It is precisely such regional growth
disparities and imbalances caused in the community and the increasing number of poor. This
research is qualitative by using Symbolic interactionism approach. In symbolic interaction,
the existence of human behavior and interactions are displayed by symbols and meanings,
and the master and who is able to translate what people want and expect as a study for self-
empowerment in reducing poverty through social capital.
Pendahuluan
Keberhasilan pembangunan suatu negara dilihat pada tingkat kesejahteraan masyarakat
negara tersebut. Kesejahteraan masyarakat sendiri memiliki makna kemakmuran, keamanan,
ketentraman serta kehidupan yang memberikan kebahagiaan. Kebahagiaan secara
keseluruhan ini dapat disebut sebagai kesejahteraan yang seutuhnya. Namun, semua
indikator tersebut harus dapat diukur agar dapat ditemukan titik tujuannya sehingga dapat
disanding, dibanding dan ditanding antar wilayah maupun antar bangsa. Kesejahteraan juga
harus mempunyai makna yang individual. Artinya, suatu negara yang sejahtera dihuni oleh
sekian banyak individu yang sejahtera. Negara Kesejahteraan dapat dilihat dari pertumbuhan
ekonomi dalam pembangunan negara tersebut. Selain itu, tanpa melibatkan dan memberikan
nilai tambah dalam pembangunan maka pertumbuhan ekonomi tidak akan meningkatkan
pilihan sebaliknya akan menjadi beban negara karena tidak didistribusikan secara adil dan
merata.
85
Staf Pengajar Tetap Akademi Sekretari dan Manajemen (ASM) Sriwijaya Palembang dan Dosen
Luar Biasa Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya.
Perumusan Masalah
Berbagai program pengentasan kemiskinan yang dijalankan sejak krisis ekonomi, mampu
menurunkan jumlah penduduk miskin setiap tahunnya, namun penurunan tersebut terkesan
sangat lamban. Rumah tangga miskin di Kota Palembang pada tahun 2007 berdasarkan
Daftar Pustaka
Susanti
Universitas Terbuka
susanti@ut.ac.id
Pendahuluan
Desa merupakan salah satu komponen dimensi struktural penyelenggaraan otonomi
daerahyangmemegang peranpenting dalam pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat (baca: desa)merupakan faktor penting dalam upaya mentransformasikan
semuapotensi pertumbuhandesa menjadi kekuatan nyata. Hal ini penting untuk melindungi
dan memperjuangkan nilai-nilai serta kepentingan yang ada pada seluruhaspek kehidupan
Daftar Pustaka
Eulau, Heinz dan Wahlke, John C.(1978). The Politics of Representation Continuities in
Theory and Research. London: Sage Publications.
Sanit, Arbi. (1985). Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Siahaan, Uli dan Solechah, Siti Nur (Peny). (2001). Peran DPR-RI Pada Era Reformasi.
Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Setjen DPR-RI.
Surbakti, Ramlan.(1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
PeraturanPerundang-undangan:
Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan PemerintahNo.72/2005 tentang Desa.
Peraturan PemerintahNo. 76/2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.
PeraturanDaerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2006 tentang Desa.
Tomi Setiawan
Abstrak: Penelitian ini bertujuan menjelaskan model penyediaan air bersih berbasis
komunitas perkotaan di Kota Bandung. Dimulai dari menggambarkan kondisi eksisting
pengelolaan peyediaan air bersih di Kota Bandung, menjelaskan stakeholder dan peran
para stakeholder dalam pengelolaan peyediaan air bersih di Kota Bandung, sampai
menjelaskan community-based water supply management dalam pengelolaan peyediaan air
bersih. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan tipe deskriptif, pengumpulandatadilakukan memalui literaturesurvey
beberapasitesurvey. Hasil penelitian terkait sistem pengelolaan air bersih eksisting di Kota
Bandung menunjukan masih rendahnya kinerja PDAM Kota dalam pengelolaan penyediaan
air bersih serta belum adanya peraturan daerah terkait pengelolaan air bersih berbasis
masyarakat perkotaan di Kota Bandung, sertapelaksanaan penyediaan air bersih di Kota
Bandung belum mengintegrasikan pengelolaan berbasis komunitas dan unit-unit wilayah.
Berdasarkan hasil analisis maka langkah-langkah yang perlu dibenahi dalam pengelolaan
air bersih berbasis masyarakat perkotaan di Kota Bandung adalah mengupayakan
pengelolaan air bersih dengan sistem berbasis unit wilayah karena dilihat dari aspek
kepadatan penduduk, kedalaman air tanah, jenis tanah dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat serta tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat, sistem berbasis unit wilayah
untuk kondisi saat ini adalah sangat relevan, menyusun peraturan daerah tentang
pengelolaan air berbasis komunitas perkotaan atau unit wilayah yang bertujuan untuk
melindungi sumber daya air sekaligus untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat,
dan mengupayakan mencari alternatif pembiayaan di luar APBD melalui kemitraan antara
pemerintah, swasta dan masyarakat.
Pendahuluan
The International Covenant on Economical and Social Rights (untuk selanjutnya disingkat
CESCR) telah disusun dan disepakati sebagai bagian dari Hukum HAM Internasional (The
International Bill of Rights) dengan maksud untuk melindungi hak-hak asasi manusia
sehingga manusia dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bebas, aman, terlindungi dan
hidup sehat. Hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah
tercapai kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak
untuk bekerja, makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi
(adequately) dan tersedia (available) bagi setiap orang.
Pada Tahun 2002 Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (theCommittee on
Economic, Social and Cultural Rights) dalam Komentar Umum (General Comment) No. 15,
secara tegas memberikan penafsiran tentang pasal 11dan pasal 12 dari Kovenan Internasional
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights), bahwa hak atas air adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak
86
Ayu Latifah, Target Air Bersih 2015, dalam Kompas, Selasa, 18 Desember 2007
Daftar Pustaka
Meita Istianda
(meita@ut.ac.id)
Lecturer at FISIP Universitas Terbuka, Public Administration Program
Doctoral pogram at Political Science at the University of Indonesia
Darmanto
(darmanto@ut.ac.id)
Abstract: Changesthe relationship between central and local governments is not only cause
problems in the field of the government management, but alsoin the social issues, namely the
horizontal conflict. This conflict is an endless circle, which can lead to public unrest.
Among the various existing conflicts, one of which is the land conflict. Handling land
conflictin the era of localautonomy, has not reflected the state alignments to the public.
Changes the relationship between central and local governments have not been able to
resolve land issues.
Referring to the problem, this paper was about to offer conflict resolution through the
concept of justice for minority rights. Problem solvingbased onthisconceptis importanttobe
raised.Alongwiththe democratization process and strengthening ofcivilsocietythen theconflicthas the
potential tocontribute tosocialand politicalinstability. Therefore, the problem is important to be
resolved.Inthis paper wedescribedthe caseoflandconflict inBulukumba, SouthSulawesi.Bulukumba
case indicates a systematic effort of government and corporations in an effort to resist the
people in regaining their land rightsandother naturalresources.
Pendahuluan
Perubahan relasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tidak hanya menyebabkan
kisruhnya persoalan di bidang politik, tetapi juga persoalan sosial kemasyarakatan yaitu
terjadinya konflik vertikal maupun horizontal. Konflik ini seperti lingkaran yang tak
berkesudahan, yang pada akhirnya dapat (kembali) berujung pada konflik politik. Di antara
berbagai konflik yang terjadi, salah satunya adalah konflik pertanahan.
Konflik pertanahan di zaman Orde Baru jarang muncul ke permukaan. Namun,
ketidakmunculan ini sebenarnya ibarat menyimpan bom waktu. Setelah pasca Orde Baru
seiring dengan proses demokratisasi, otonomi daerah dan penguatan masyarakat sipil,konflik
pertanahan menjadi salah satu faktor yang menyumbangkan ketidakstabilan politik, sosial
87
Konsep “self goverrning community” merujuk pada konsep yang terdapat dalamIndlandsche
Gemeente Ordonanntie (IGO) Stbl. 1906 No. 83, yaitu aturan hukum yang memberikan ruang bagi
desa untuk menjalankan pemerintahan sendiri(self governing community). Riawan Tjandra. “Desa,
Entitas Demokrasi Riil”, dalam Kolom Demokrasi Desa
http://www.forumdesa.org/mudik/mudik6/kolom diakses pada 5 November 2010
88
Laporan Penelitian Husni dkk. 2008. Penelitian Strategis Nasional: Resolusi Konflik Pertanahan
Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta: Pusat Penelitian Universitas Terbuka.
89
Ibid. Hal. 17
90
Cf.T.F. Hoult (1959) dalam Gunawan Wiradi. 2000.Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum
Berakhir. Yogyakarta: Insist Press
96
Syahyuti. 2006. Nilai-nilai Kearifan Lokal pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat
di Indonesia dalam Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No.1, Juli 2006. Bogor
97
Anwar Sadat.2008. Sengketa Agraria: Persoalan yang Tak Berkesudahan. Diunduh dari: walhi-
sumsel.blogspot.com/2008/02/sengketa-agraria-persoalan-yang-tak.html - 114k –
98
Abdurrahman, H. (2004). Tantangan Pelaksanaan Landreform dalam Konteks Otonomi Daerah.
Seminar Nasional Pembaruan Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPN, HKTI dan
Chatolic Relief Service.
99
Ibid.
100
Ben White.N.F. (2005) 'Land and resource tenure ', in Tanah Masih di Langit (ed) Penyelesaian
Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang tak Kunjung Tuntas di Era
Reformasi. Jakarta: Yayasan Kemala.
101
LMPDP. 2007. Reforma Agraria Jalan Paling Tepat Akhiri Konflik. Diakses dari
www.landpolicy.or.id/kajian/2/tahun/2007/bulan/10/tanggal27/id/65/-25k- pada tanggal 2
November 2010
102
Laporan Penelitian Husni dkk. 2008. Penelitian Strategis Nasional: Resolusi Konflik Pertanahan
Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta: Pusat Penelitian Universitas Terbuka
103
Iwan Nurdin. 2008. Konflik Tanah Perkebunan, ke mana seharusnya Berujung? Diakses dari
adisuara.blogspot.com/2008/03/konflik-tanah-perkebunan-kemana.html-66k–
104
Anwar Sadat.2008. Sengketa Agraria: Persoalan yang Tak Berkesudahan. Diunduh dari: walhi-
sumsel.blogspot.com/2008/02/sengketa-agraria-persoalan-yang-tak.html - 114k – pada tanggal 2
Noember 2010
105
Laporan Penelitian Husni dkk. 2008. Penelitian Strategis Nasional: Resolusi Konflik Pertanahan
Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta: Pusat Penelitian Universitas Terbuka. Hal.20
106
Ibid. Hal 20
107
Ibid. Hal.23
108
Tempo, 7 Januari 2004. Sengketa Dalam Kronologis.hal. 15
109
Laporan Penelitian Husni dkk. 2008. Penelitian Strategis Nasional: Resolusi Konflik Pertanahan
Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta: Pusat Penelitian Universitas Terbuka. Hal.25
110
Laporan Penelitian Husni dkk. 2008. Penelitian Strategis Nasional: Resolusi Konflik Pertanahan Berbasis Kearifan Lokal.
Jakarta: Pusat Penelitian Universitas Terbuka. Hal.26
111
Ibid. Hal 27
112
Will Kymlicka. 2002. Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas
(eds.terj.) Edlina Hafmimi. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal.15
113
Will Kymlicka. 1995. Multicultural Citizenship : A Liberal Theory of Minority Rights. New York :
Oxford University Press. Hal. 17
114
Ibid.hal. 17.
115
Will Kymlicka. 1995. Multicultural Citizenship : A Liberal Theory of Minority Rights. New York :
Oxford University Press. Hal. 47
116
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, diakses dari
http://www.hampapua.org/skp/hukum/iccpr-1966i.pdf pada tanggal 5 November 2010
117
Will Kymlicka. 2002. Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas
(eds.terj.) Edlina Hafmimi. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal.162. Kymlicka mengutip keputusan MA
Kanada dalam menjelaskan interpretasinya mengenai jaminan, yang sama di bawah Canadian
Charter of Rights (Andrew v. Law Society of British Columbia 1 SCR 143, 56 DLR (4th). Lihat
juga Government of Canada 1991b:10.
118
Konvensi ILO No.169/169, Lembar No. 8, tentang Organisasi Buruh Internasional, Bangsa
Pribumi dan Masyarakat Adat. http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/UN_IPs/LEMBAR8.pdf
diakses pada tanggal 5 November 2010
119
Will Kymlicka. 2002. Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas
(eds.terj.) Edlina Hafmimi. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal.165. Dalam kenyataannya, kebanyakan
masyarakat asli berjuang untuk mempertahankan lahan kosong minimal yang diperlukan untuk
menjaga kelangsungan hidup komunitasnya. Kymlicka beranggapan bahwa mengingat masyarakat
asli telah menderita kerugian karena tanahnya diambil, dan bahwa bagaimanapun juga mereka
seharusnya memperoleh ganti rugi untuk hal itu. Selain itu dia percaya bahwa masyarakat asli
terus mempunyai hak-hak tertentu atas kepemilikan di bawah hukum common (di bekas jajahan
Inggris), di mana pun hal itu tidak secara eksplisit dihilangkan oleh perundang-undangan.
120
Lihat Laporan Penelitian Husni dkk. Hal. 18
121
HF Fuad dan S.Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya
Hutan. Bogor: Pustaka Latin. Hal.13
122
John Bamba. 2006.” Menggugat Hak-Hak Masyarakat Adat dalam UU Otonomi Daerah” dalam
Blue Print Otonomi Daerah. Jakarta: The YHB Center. Hal.379
123
John Bamba. 2006.” Menggugat Hak-Hak Masyarakat Adat dalam UU Otonomi Daerah” dalam
Blue Print Otonomi Daerah. Jakarta: The YHB Center. Hal.380
124
Solusi ini mengacu pada konsep penyelesaian keadilan bagi hak-hak minoritas dari Will Kymlicka.
(Will Kymlicka. 2002. Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas
(eds.terj.) Edlina Hafmimi. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal.40 dan 177.