Tujuan Pernikahan Dalam Islam
Tujuan Pernikahan Dalam Islam
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
ۖ ّللا َ ان ۗ َو ََل يَحِ ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن ت َأ ْ ُخذُوا مِ َّما آت َ ْيت ُ ُموه َُّن
ِ َّ َش ْيئًا إِ ََّل أ َ ْن يَخَافَا أ َ ََّل يُقِي َما ُحد ُود ٍ سَ ْساك بِ َم ْع ُروفٍ أ َ ْو تَس ِْريح بِإِح َّ
ِ الط ََلقُ َم َّرت
َ َان ۖ فَإِ ْم
َّ ُ َ َٰ ُ َ َّ َ ْ
َّللا فَل ت ْعتد ُوهَا ۚ َو َمن يَتعَدَّ ُحد ُودَ ّللاِ فأولئِكَ ه ُم الظا ِل ُمون َ َ َ َ َّ ْ ْ َ ْ
ِ ُ عل ْي ِه َما فِي َما افتدَت بِ ِه ۗ تِلكَ ُحد ُود َ َ َ
َ ّللا فَل ُجنَا َح َّ َ ُ ْ ْ
ِ َ فَإِن خِ فت ْم أَل يُقِي َما ُحد ُود
َّ
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan
dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas
bayaran yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.” [Al-
Baqarah : 229]
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri
melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya
rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu,
setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami,
maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon
pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.
Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik, atau
memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi kurang
agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para ulama
membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.
َّ الط ِيبُونَ ل
ِِلطيِبَات َّ ِلطيِبِينَ َو
َّ الطيِبَاتُ ل ِ ْال َخبِيثَاتُ ل ِْل َخبِيثِينَ َو ْال َخبِيثُونَ ل ِْل َخبِيثَا
َّ ت ۖ َو
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan perempuan-
perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk
perempuan-perempuan yang baik (pula)...” [An-Nuur : 26]
َّ ظ
ُّللا ِ ظات ل ِْلغَ ْي
َ ب ِب َما َح ِف َ ِصا ِل َحاتُ قَانِت َات َحاف
َّ فَال
Lafazh قَانِت َاتdijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah
dan taat kepada suaminya.[3]
َّ اَلدُّ ْنيَا َمت َاع َو َخي ُْر َمت َاعِ الدُّ ْنيَا ْال َم ْرأَة ُ ال.
ُصا ِل َحة
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang
shalihah.” [4]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُظ َر إِلَ ْي َها َوتُطِ ْيعُهُ إِذَا أ َ َم َر َوَلَ تُخَا ِلفُهُ ف ِْي نَ ْف ِس َها َوَلَ َما ِل َها بِ َما يَ ْك َره ُ َ ساءِ الَّتِي ت
َ َس ُّرهُ إِذَا ن َ ِ َخي ُْر الن.
Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama
bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan
terwujud.
ّللا هُ ْم
ِ َّ ت ِ ت ۚ أَفَبِ ْالبَاطِ ِل يُؤْ مِ نُونَ َوبِنِ ْع َم َّ َاج ُك ْم بَنِينَ َو َحفَدَة ً َو َرزَ قَكُ ْم مِ ن
ِ الطيِبَا ِ ّللاُ َجعَ َل لَكُ ْم مِ ْن أ َ ْنف ُ ِسكُ ْم أ َ ْز َوا ًجا َو َجعَ َل لَكُ ْم مِ ْن أ َ ْز َو
َّ َو
ُ
َيَكف ُرونْ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta
memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang
bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]
“...Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-
Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga
Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan
anak.[9]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke
II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432), al-Bukhari
(no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081), an-Nasa-i
(VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/ 77), dari Shahabat
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5090), Muslim (no.
1466), Abu Dawud (no. 2047), an-Nasa-i (VI/68), Ibnu Majah (no. 1858),
Ahmad (II/428), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/62, no. 9320).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1467), an-Nasa-i (VI/69),
Ahmad (II/168), Ibnu Hibban (no. 4020 -at-Ta’liqaatul Hisaan) dan al-Baihaqi
(VII/80) dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/68), al-Hakim (II/161)
dan Ahmad (II/251, 432, 438), dari Shahabat Abu Hurairah radhi-yallaahu
‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1838).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 4021 -at-Ta’liiqatul
Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash secara
marfu’. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 282).
[7]. Lihat surat Al-Ahzaab (33) ayat 33.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari dalam al-
Adaabul Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no. 4155 -at-
Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr radhiyallaahu
‘anhu.
[9]. Tafsiir Ibnu Katsir (I/236), cet. Darus Salam.