Anda di halaman 1dari 12

PANDUAN TRIASE

RSUD AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI


SAMBOJA
2016
PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
RSUD AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI
Jl. Balikpapan – Handil II, Samboja ( (0542) 7215367, Fax (0542) 7215337

KEPUTUSAN DIREKTUR
RSUD AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI
Nomor: 445/01/IGD/PAN/RS ABADI-1/SK/V/ 2016

TENTANG
PEMBERLAKUAN PANDUAN TRIASE
RSUD AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI

Menimbang : a. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan RSUD Aji


Batara Agung Dewa Sakti, maka diperlukan penyelenggaraan
pelayanan Instalasi gawat darurat yang Aman dan berkualitas;
b. Bahwa agar penyelenggaraan pelayanan Instalasi gawat darurat di
RSUD Aji Batara Agung Dewa Sakti dapat terlaksana dengan baik,
maka perlu adanya Panduan Triase RSUD Aji Batara Agung Dewa
Sakti sebagai landasan bagi penyelenggaraan pelayanan Instalasi
gawat darurat di RSUD Aji Batara Agung Dewa Sakti;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a
dan b, perlu ditetapkan dengan Keputusan Direktur RSUD Aji Batara
Agung Dewa Sakti.

Mengingat : 1. Undang – Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan;


2.Undang-Undang Republik Indonesia No. 08 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
3.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit;
4.Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
5.Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
6.Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1438/MENKES/PER/IX/2010
tentang Standar Pelayanan Kesehatan;
7.Peraturan Menteri kesehatan Nomor 012 tahun 2012 Tentang
Akreditasi Rumah Sakit;
8.Keputusan Menteri Kesehatan republic Indonesia nomor
129/MENKES/SK/II/2008 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit;
9.Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 856 Tahun 2009 tentang
Standar Pelayanan IGD di Rumah Saki;
10. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara NomorNomor 9
Tahun 2014 tentang perubahan atas peraturan daerah nomor 7
tahun 2008 tentang pembentukan Susunan Organisasi dan Tata
Kerja RSUD Aji Batara Agung Dewa Sakti Kabupaten Kutai
Kartanegara;
11. SK Bupati No.821.2/III.I-5731/BKD/2010 tentang pengangkatan
drg. Musafirah Akil Ali, MARS sebagai Direktur RSUD Aji Batara
Agung Dewa Sakti.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KESATU : Memberlakukan Keputusan Direktur RSUD Aji Batara Agung Dewa
Sakti tentang Panduan Triase;
KEDUA : Panduan Triase RSUD Aji Batara Agung Dewa Sakti sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Keputusan ini;
KETIGA : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Panduan Triase RSUD
Aji Batara Agung Dewa Sakti dilaksanakan oleh Kepala Insatalasi
Gawat Darurat;
KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan
diadakan perubahan sebagaimana mestinya;
KELIMA : Segala biaya yang timbul dari penetapan Surat Keputusan ini
dibebankan pada anggaran APBD/BLUD RSUD Aji Batara Agung Dewa
Sakti.
Ditetapkan di : Samboja
Pada Tanggal : 11 Mei 2016
Direktur
RSUD AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI

drg. Musafirah Akil Ali. MARS


LAMPIRAN : KEPUTUSAN DIREKTUR
RSUD AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI
NOMOR 445/01/IGD/PAN/RS ABADI-1/SK/V/ 2016
TENTANG PANDUAN PELAYANAN INSTALASI GAWAT DARURAT

PANDUAN TRIASE
RSUD AJI BATARA AGUNG DEWA SAKTI

BAB I
DEFINISI

1. Definisi Triase
Triage berasal dari bahasa Perancis ‘trier’ , yang memiliki arti “menseleksi”, yaitu
teknik untuk menentukan prioritas penatalaksanaan pasien atau korban berdasarkan
derajat kegawatannya.
Triage adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas pasien berdasarkan
berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam
triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji
keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.

2. Tujuan Triase
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan
triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan.
Dengan triase tenaga kesehatan akan mampu :
a. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
b. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan
lanjutan
c. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Sistem Triage dipengaruhi :
a. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
b. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
c. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
d. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis

3. Prinsip Triase
Triage mempunyai 2 komponen :
a. Menyeleksi pasien dan menyusun prioritas berdasarkan beratnya penyakit
b. Alokasi dan rasionalisasi sumber daya yang ada
Prinsip dasarnya adalah “melakukan yang terbaik untuk sebanyak-banyaknya korban”.
Perhatian dititikberatkan pada pasien atau korban dengan kondisi medis yang paling
gawat - darurat dan paling besar kemungkinannya untuk diselamatkan.
BAB II
RUANG LINGKUP

Triage Pasien dilakukan di IGD, dengan menggunakan 5 Sistem pelevelan sebagai


berikut :
LEVEL RESPON KETERANGAN JENIS KASUS
I Segera Pasien dalam keadaan Cardiac arrest/henti jantung
(Resusitasi) kritis dan mengancam Anafilaksis
nyawa atau anggota Trauma multipel / kompleks /
badannya menjadi cacat cedera berat yang
bila tidak segera mendapat membutuhkan resusitasi,
pertolongan atau tindakan syok,
darurat. Pasien tidak sadar (GCS 3-
(Gawat Darurat) 9), over dosis, kejang, cedera
kepala).
Obstruksi jalan nafas berat
II ≤ 15 Pasien berada dalam Nyeri dada akut, aritmia
(Emergensi) menit keadaan gawat, akan jantung hebat, cedera kepala
menjadi kritis dan (GCS 10 - 13),
mengancam nyawa bila Gangguan pernafasan berat
tidak segera mendapat (PO2 < 85%)
pertolongan atau tidakan Nyeri hebat, sengatan/gigitan
darurat. binatang berbisa
(Gawat Tidak Darurat)
Overdosis (sadar)
Gangguan psikiatri berat
Perdarahan
Fraktur luas
Pasien dengan suhu > 39oC
III ≤ 30 Pasien berada dalam Cedera kepala (GCS 14-15)
(Urgensi) menit keadaan tidak stabil, dapat Nyeri abdomen sedang
berpotensi menimbulkan Fraktur tertutup
masalah serius tetapi tidak Penyakit-penyakit akut
memerlukan tindakan Trauma dengan nyeri sedang
darurat, dan tidak
mengancam nyawa.
(Darurat Tidak Gawat)
IV ≤ 60 Pasien datang dengan Cedera kepala ringan (tanpa
(less menit keadaan stabil, tidak muntah dan tanda-tanda vital
urgent) mengancam nyawa, dan normal), nyeri ringan
tidak memerlukan tindakan Nyeri kepala ringan
segera. Sakit ringan
(Tidak gawat tidak
darurat)
V ≤ 120 Pasien datang dengan Ganti verban
Permintaan rujukan
(Rutin) menit keadaan stabil,
tidak Kontrol ulang
Medical cek up
mengancam nyawa, tidak
memerlukan tindakan
segera, hanya
membutuhkan perawatan
lanjutan.

Penilaian dalam triase meliputi :


1. Primary survey (C,A,B) untuk menghasilkan prioritas I dan seterusnya
2. Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III,dan selanjutnya
3. Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan pada C, A, B,
derajat kesadaran dan tanda vital lainnya.
4. Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban
Menurut Brooker (2008), dalam prinsip triase diberlakukan sistem prioritas, prioritas
adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan pemindahan
yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul.: 1) Ancaman jiwa yang dapat
mematikan dalam hitungan menit. 2) Dapat meninggal dalam hitungan jam. 3) Trauma
ringan. 4) Sudah meninggal.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera,
(Merah) mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan bersifat
segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya
sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka terpotong pada
tangan dan kaki, combutio (lukabakar) tingkat II dan III > 25%
Prioritas II Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam
(Kuning) jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat.
Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak / abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
Prioritas III Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan
(Hijau) pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superfisial, luka-luka ringan
Prioritas 0 Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi
(Hitam) suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis

Gambar 1.1
Skema triage rumah sakit
BAB III
TATA LAKSANA

Proses
triase dimulai ketika pasien masuk ke pintu IGD. Perawat triase harus mulai
memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayatsingkat dan melakukan pengkajian,
misalnya melihat sekilas kearah pasienyang berada di brankar sebelum mengarahkan ke
ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih
dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat
triase bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat;
misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor
jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali
ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat utama
sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat
darurat, pengkajian dilakukan setiap 5 - 15 menit / lebih bila perlu. Setiap pengkajian
ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah
kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan untuk
memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur
bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkop, atau
diaforesis. (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda objektif bahwa ia
mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani
terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif
sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian
kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari pasien (data
primer).

Alur dalam proses triage :


1) Pasien datang diterima petugas / paramedis IGD.
2) Di ruang triage dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas)
untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3) Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat dilakukan
di luar ruang triase (di depan gedung IGD).
4) Penderita dibedakan menurut kegawatannya dengan memberi kode warna:
a) Segera - Immediate (merah)
Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup
bila ditolong segera. Misalnya: Tension pneumothorax, distress pernafasan (RR<
30x/mnt),perdarahan internal, dsb.
b) Tunda - Delayed (kuning)
Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera.
Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan
perdarahan terkontrol, luka bakar < 25% luas permukaan tubuh, dsb.
c) Minimal (hijau).
Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau
mencari pertolongan. Misalnya : Laserasi minor, memar, lecet dan luka bakar
superfisial.
d) Expextant (hitam)
Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski mendapat
pertolongan. Misalnya : Luka bakar derajat 3 hampir diseluruh tubuh, kerusakan
organ vital, dsb.
5) Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna : merah,
kuning, hijau, hitam.
6) Penderita / korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan diruang
tindakan IGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut, penderita / korban
dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.
7) Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis lebih lanjut
dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah pasien dengan
kategori triage merah selesai ditangani.
8) Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila
sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat diperbolehkan
untuk pulang.
9) Penderita kategori triase hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah.
(Rowles, 2007).

BAB IV
DOKUMENTASI

Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam
persoalan hukum, sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau
merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang
dianggap berharga dan penting. Dokumentasi asuhan dalam pelayanan keperawatan
adalah bagian dari kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat setelah memberi asuhan
kepada pasien.
Dokumentasi merupakan suatu informasi lengkap meliputi status kesehatan
pasien, kebutuhan pasien, kegiatan asuhan keperawatan serta respons pasien terhadap
asuhan yang diterimanya. Dengan demikian dokumentasi keperawatan mempunyai porsi
yang besar dari catatan klinis pasien yang menginformasikan faktor tertentu atau situasi
yang terjadi selama asuhan dilaksanakan. Disamping itu catatan juga dapat sebagai
wahana komunikasi dan koordinasi antar profesi (Interdisipliner) yang dapat dipergunakan
untuk mengungkap suatu fakta aktual untuk dipertanggung jawabkan.
Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian integral dari asuhan
keperawatan yang dilaksanakan sesuai standar. Dengan demikian pemahaman dan
ketrampilan dalam menerapkan standar dengan baik merupakan suatu hal yang mutlak
bagi setiap tenaga keperawatan agar mampu membuat dokumentasi keperawatan secara
baik dan benar.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional
berperan sebagai alat manajemen resiko bagi perawat IGD. Hal tersebut memungkinkan
peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan pemantauan
dengan tepat dan mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan.
Pencatatan, baik dengan komputer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan
bahwa perawat gawat darurat telah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan
dan kolaborasi, implementasi dan evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan
data penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus
menunjukkan bahwa perawat gawat darurat bertindak sebagai advokat pasien ketika
terjadi penyimpangan standar perawatan yang mengancam keselamatan pasien. Pada
tahap pengkajian proses triage, mencakup dokumentasi :
a. Informasi dasar : nama, umur, jenis kelamin, cedera, penyebab cedera, pertolongan
pertama yang telah diberikan.
b. Tanda-tanda vital : tensi, nadi, respirasi, kesadaran.
c. Diagnosis singkat tapi lengkap.
d. Kategori triase.
e. Urutan tindakan preoperatif secara lengkap.
Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta dokumentasi
pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan rencana perawatan formal
(dalam bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu, dokumentasi oleh perawat pada saat
instruksi tersebut ditulis dan diimplementasikan secara berurutan, serta pada saat terjadi
perubahan status pasien atau informasi klinis yang dikomunikasikan kepada dokter
secara bersamaan akan membentuk “landasan” perawatan yang mencerminkan ketaatan
pada standar perawatan sebagai pedoman.
Dalam implementasi perawat gawat darurat harus mampu melakukan dan
mendokumentasikan tindakan medis dan keperawatan, termasuk waktu,sesuai dengan
standar yang disetujui. Perawat harus mengevaluasi secara kontinu perawatan pasien
berdasarkan hasil yang dapat diobservasi untuk menentukan perkembangan pasien ke
arah hasil dan tujuan dan harus mendokumentasikan respon pasien terhadap intervensi
pengobatan dan perkembangannya. Standar Joint Commision (1996) menyatakan bahwa
rekam medis menerima pasien yang sifatnya gawat darurat, mendesak, dan segera harus
mencantumkan kesimpulan pada saat terminasi pengobatan, termasuk disposisi akhir,
kondisi pada saat pemulangan, dan instruksi perawatan tindak lanjut.
Komunikasi dan dokumentasi dalam pelaksanaan Triage pasien menggunakan
metode SBAR yaitu :
Format pendokumentasian model SBAR adalah sebagai berikut :

Anda mungkin juga menyukai