Sanksi administrasi yang sering dikenakan terhadap Wajib Pajak adalah sanksi yang
terkait dengan keterlambatan pembayaran pajak dan pelaporan pajak. Seperti diketahui,
atas keterlambatan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi Pasal 9 ayat (2a) Undang-
undang KUP. Sementara atas keterlambatan menyampaikan SPT akan dikenakan sanksi
berupa denda Pasal 7 Undang-undang KUP. Untuk mengetahui lebih jelas tentang
tanggal jatuh tempo pembayaran masa, silahkan baca postingan saya di
sini. Sementara itu untuk mengetahui besarnya sanksi denda atas keterlambatan
pelaporan SPT bisa dilihat di postingan saya yang ini.
Pada tulisan ini, saya akan memberikan contoh kasus perhitungan sanksi administrasi
berupa bunga dan denda atas keterlambatan pembayaran pajak dan/atau pelaporan
pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Misalkan Wajib Pajak PT ABC melakukan aktivitas terkait dengan kewajiban pajak pada
bulan Mei 2008 sebagai berikut.
• SPT Masa PPh Pasal 21 bulan April 2008 dengan nilai pelaporan Rp25.450.000,-
disetorkan pada tanggal 12 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal 21 Mei 2008.
• SPT Masa PPh Pasal 25 bulan April 2008 senilai Rp56.260.000,- dibayarkan pada
tanggal 16 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal 21 Mei 2008.
• SPT Masa PPN bulan April 2008 yang menunjukkan kurang bayar
Rp120.630.000,- dilunasi pada tanggal 16 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal
23 Mei 2008.
Berdasarkan data di atas, maka perhitungan sanksi yang akan dilakukan oleh petugas
KPP tempat PT ABC terdaftar adalah sebagai berikut.
PPh Pasal 21 :
Jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya. Namun
demikian, pada bulan Mei 2008 tanggal 10 jatuh pada hari Sabtu sehingga tanggal jatuh
temponya menjadi hari Senin tanggal 12 Mei 2008. PT ABC menyetor PPh Pasal 21 tepat
pada tanggal jatuh tempo sehingga tidak dikenakan sanksi bunga. Tanggal jatuh tempo
pelaporan PPh Pasal 21 adalah tanggal 20 bulan berikutnya. Namun karena tannggal 20
Mei jatuh pada hari libur Nasional (tanggal merah), maka jatuh tempo pelaporan
bergeser menjadi tanggal 21 Mei 2008. PT ABC melaporkan SPT PPh Pasal 21 bulan April
2008 pada tanggal 21 Mei 2008 yang berarti tepat pada tanggal jatuh tempo. Dengan
demikian, tak ada sanksi denda Pasal 7 untuk PPh Pasal 21.
PPh Pasal 25 :
Tanggal jatuh tempo pembayaran PPh Pasal 25 April 2008 adalah tanggal 15 Mei 2008.
Sementara itu PT ABC membayar pada tanggal 16 Mei 2008 yang berarti terlambat 1
hari. Keterlambatan satu hari ini dibulatkan ke atas menjadi satu bulan sehingga sanksi
bunganya adalah :
Pelaporan PPh Pasal 25 dilakukan setelah tanggal jatuh tempo yaitu tanggal 21 Mei 2008
sehingga dikenakan sanksi denda sebesar Rp100.000,-.
PPN :
Penyetoran PPN dilakukan pada tanggal 16 Mei yang berarti terlambat satu hari karena
tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Dengan
demikian sanksi bunga yang dikenakan adalah :
SPT Masa PPN April 2008 disampaikan tanggal 23 Mei 2008 sehingga pelaporan PPN ini
terlambat. Sanksi denda Pasal 7 yang dikenakan adalah Rp500.000,-.
Pada dasarnya pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23 baru bisa dilakukan jika telah
memenuhi ruang lingkup pengenaan, yaitu pemberi penghasilan memenuhi kriteria
sebagai pemotong PPh Pasal 23, penerima penghasilan memenuhi kriteria sebagai fihak
yang dipotong PPh Pasal 23 dan jenis penghasilan yang dibayarkan adalah termasuk
penghasilan-penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.
a. Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan
Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud
dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah
Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya,
pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara
pemerintah.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek
pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan
ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan
menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana
pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di
Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c. Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang
melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang
pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan,
seminar dan lain-lain.
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia
sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT
disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak
Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat
kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik,
bengkel dan lain-lain.
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga
merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari
perusahaan-perusahaan asing.
Hal ketiga yang menjadi ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 23 adalah bahwa
penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan adalah jenis penghasilan yang
menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Jenis-jenis penghasilan ini diatur dalam Pasal
23 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu :
Khusus untuk jasa konstruksi, sehubungan dengan pengenaan Pajak Penghasilan final
Pasal 4 ayat (2) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan Pasal 4
ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2008 dan perubahannya, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23.
Untuk jenis jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2),
memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang
jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah
menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa
Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali
Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Apabila PPh Pasal 23 bisa dikenakan setelah memenuhi ruang lingkup sebagaimana
sudah saya jelaskan dalam tulisan Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23, maka
pertanyaan berikutnya adalah berapa besar PPh Pasal 23 yang harus dipotong? Untuk
menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu tarif pemotongan
PPh Pasal 23 dan dasar pengenaan PPh Pasal 23. Tarif PPh Pasal 23 sendiri mengenal
dua jenis tarif yaitu tarif 15% dari jumlah bruto dan tarif 2% dari jumlah bruto. Tulisan
ini akan memfokuskan pada objek pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari
jumlah bruto.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, atas
beberapa jenis objek PPh Pasal 23 dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif
15% dari jumlah bruto. Objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif 15% dari
jumlah bruto ini adalah :
a. Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Pengertian dividen ini mengacu kepada Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984.
Perlu ditegaskan bahwa tidak semua dividen yang memenuhi definisi di atas adalah
objek PPh Pasal 23. Ada dividen yang juga bukan merupakan objek pajak sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Terdapat
juga dividen yang merupakan objek pemotongan lain sebagaimana diatur dalam Pasal
17 ayat (2c) dan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
b. Bunga
Pengertian bunga merujuk kepada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 di mana dalam pengertian bunga termasuk juga premium, diskonto,
dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Seperti halnya dividen, tidak semua bunga juga menjadi objek pemotongan PPh Pasal
23. Ada jenis bunga yang bukan merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-undang
Pajak Penghasilan. Jenis bunga yang lain seperti bunga deposito dan tabungan menjadi
objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Ada juga bunga yang menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 26 jika penerimanya adalah Wajib Pajak luar negeri sebagaimana
diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan.
c. Royalti
1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;
2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu
pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu
pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya
peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan
pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
3. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang
usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah
tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan
informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah
informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli
teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang
yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
Perlu diperhatikan bahwa untuk imbalan royalti ini ada kemungkinan juga merupakan
objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilannya adalah Wajib Pajak luar
negeri.
Hadiah, penghargaan dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21
juga. Namun harus diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 adalah
bahwa penerima penghasilannya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Apabila
penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau BUT, maka PPh Pasal 21 tidak
bisa diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak tersebut maka PPh Pasal 23 lah yang bisa
diterapkan.
Contoh untuk kasus PPh Pasal 23 ini misalnya sebuah yayasan lingkungan
hidup memberikan penghargaan kepada perusahaan yang memiliki kepedulian
kepada lingkungan sekitarnya. Apabila bentuk penghargaan ini diberikan dalam
bentuk uang atau barang yang memiliki nilai naka penghargaan ini menjadi
objek pemotongan PPh Pasal 23 karena penerimanya adalah Wajib Pajak badan
dalam negeri. Besarnya PPh Pasa PPh Pasal 23 Dengan Tarif
2%
BY D UDI, ON OCTOBER 31ST, 2010
Tidak seperti sebelum tahun 2009 di mana PPh Pasal 23 mengenal perkiraan
penghasilan neto sehingga tarif efektif PPh Pasal 23 sangat bervariasi, sekarang tarif PPh
Pasal 23 hanya ada dua, tarif 15% dari jumlah bruto seperti dijelaskan di tulisan PPh
Pasal 23 Dengan Tarif 15% dan tarif 2% dari jumlah bruto. Berikut adalah jenis-jenis
penghasilan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 2% dari
jumlah bruto.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak termasuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah
sewa tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat
(2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Jasa konstruksi telah dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak lagi menjadi
objek pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, dalam kelompok ini pada umumnya
adalah imbalan jasa selain dari imbalan jasa konstruksi.
Pengertian jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan dapat kita temui di Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan
Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen,
Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu
pengetahuan yang dapat meliputi :
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. Sementara itu Jasa konsultan merupakan
pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu
bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau
perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga
ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Untuk jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2),
memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang
jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah
menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa
Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali
Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Lebih jauh tentang jenis jasa lain yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% dari
penghasilan bruto, silahkan klik tulisan saya sebelumnya.
l 23 adalah 15% dikalikan jumlah bruto nilai penghargaan.
Tarif PPh Pasal 23, baik yang 15% maupun yang 2% dikenakan terhadap jumlah bruto.
Dengan demikian, dasar pengenaan PPh Pasal 23 adalah jumlah bruto. Sebelum tahun
2009, atas penghasilan selain dividen, bunga, sewa, royalti dan hadiah serta
penghargaan, dikenakan tarif 15% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan
penghasilan neto tiap-tiap jenis penghasilan biasanya berlainan sehingga tarif efektifnya
juga menjadi berlainan. Nah, saat ini pengenaan PPh Pasal 23 menjadi sederhana dan
mudah karena hanya mengenakan tarif langsung terhadap jumlah bruto.
Untuk mengatasi masalah ini Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2009 Tentang Jumlah Bruto Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir
Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Nah, berdasarkan Surat Edaran ini, yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh
jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk :
Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal penghasilan yang dibayarkan adalah imbalan
sehubungan dengan jasa katering. Hal yang sama berlaku juga dalam hal penghasilan
yang dibayarkan sehubungan dengan jasa di atas telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak
boleh dilupakan bahwa terdapat pengecualian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23.
Penghasilan-penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23
ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Berikut ini adalah penghasilan-
penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23.
Pembayaran bunga ke bank misalnya tidak dapat dipotong PPh Pasal 23. Bank akan
melunasi Pajak Penghasilannya melalui pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi.
Sama halnya dengan bank, pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha
dengan hak opsi akan dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
3. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima
oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat tertentu, bukan merupakan objek Pajak
Penghasilan sehingga sewajarnya juga tidak dipotong PPh Pasal 23.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (2c) dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri dikenakan pemotongan PPh final sebesar 10% sehingga PPh Pasal 23
tidak melakukan pemotongan lagi terhadap jenis dividen ini.
4. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang Pajak
Penghasilan.
Tidak termasuk obje Pajak Penghasilan adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh
anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif. Oleh karena itu atas bagian laba seperti ini tidak seharusnya
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan
Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh
Badan Usaha Yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang
Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.
Berdasarkan ketentuan ini, penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang tidak
dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 adalah berupa bunga atau imbalan lain yang
diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang
menggunakan pembiayaan berbasis syariah.
Badan usaha jasa keuangan yang atas penghasilannya tidak dipotong PPh Pasal 23 ini
terdiri dari :
• perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan
bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang
usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan;
• badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk
memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,
termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.
Tatacara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23
November 1st, 2010adminLeave a commentGo to comments
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk
hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh
Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh
pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan
validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan
Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.
Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan
pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan
dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23
bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20
Nopember 2010.
Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Sunset Policy
BY D UDI, ON FEBRUARY 20TH, 2008
Ada ketentuan baru dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 yang memberikan
semacam pengampunan pajak kepada Wajib Pajak tertentu. Kebijakan ini juga dikenal
sebagai Sunset Policy. Ketentuan diatur dalam Pasal 37A Undang-undang tersebut.
Ada dua jenis pengampunan yang diberikan oleh Undang-undang KUP yang baru ini.
Pertama adalah pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas
pembetulan SPT Tahunan untuk tahun pajak sebelum tahun 2007. Yang kedua
adalahpenghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk
Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
yang mendaftarkan diri secara sukarela untuk mendapatkan NPWP.
Pada umumnya kalau kasusnya seperti ini Wajib Pajak akan dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga Pasal Ayat (2) KUP yaitu dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Kesempatan ini diberikan hanya satu tahun saja yaitu satu tahun sejak berlakunya
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 yaitu 31 Desember 2008. Dengan demikian,
apabila pembetulannya dilakukan setelah tanggal itu maka atas kekurangan pembayaran
pajak tersebut dikenakan sanksi sesuai Pasal 8 Ayat (2) di atas.
Jenis pengampunan yang diberikan berupa pengurangan atau penghapusan. Hal ini
berarti ketentuan ini masih memberikan ruang kepada aparat pajak untuk mengenakan
sanksi, walaupun tidak 100%. Untuk efektifitas ketentuan ini serta demi kepastian
hukum sebaiknya, kata “pengurangan” diperjelas artinya. Misalnya diberikan batas
tertentu. Bisa juga besarnya pengurangan didasarkan pada besaran-besaran tertentu
seperti tingkat kepatuhan dan lain-lain.
Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Pajak Yang Tidak Atau Kurang Dibayar
Untuk Tahun Pajak Sebelum Diperoleh NPWP Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Kewajiban pajak pada dasarnya dimulai ketika Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif tanpa tergantung kepada NPWP. Dengan demikian pemenuhan
kewajiban pajak berlaku juga untuk tahun-tahun sebelum diperolehnya NPWP.
Pemenuhan kewajiban ini bisa dilakukan sendiri dengan menyampaikan SPT ataupun
bisa ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak eks Pasal 13 Ayat (1).
Nah, di Pasal 37A ayat (2), UU KUP memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif (yang berpenghasilan
melebihi PTKP dalam setahun) untuk secara sukarela mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP. Nah, apabila ini dilakukan pada tahun 2008, Wajib Pajak ini
diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang kurang
dibayar untuk tahun pajak sebelum tahun 2008 serta tidak akan dilakukan pemeriksaan
untuk tahun-tahun tersebut kecuali SPTnya menyatakan lebih bayar atau ada data yang
menyatakan SPT tidak benar.
Telah terbit peraturan pelaksanaan mengenai Sunset Policy ini yaitu Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 66/PKM.03/2008 danPeraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
27/PJ/2008.
Silahkan baca juga tulisan saya terbaru tentang sunset policy yang lebih lengkap dan lebih
update : Sekali Lagi : Sunset Policy
Mari kita kembali ke pengertian sunset policy ini. Sunset policy adalah
semacam pengampunan pajak yang terbatas pada sanksi administrasi
berupa bunga yang tidak akan dikenakan apabila Wajib Pajak yang
berhak menyampaikan Surat Pemberitahuan tertentu.
Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Lama adalah Wajib Pajak yang sudah
terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum 1 Januari 2008. Penghapusan
sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan
kekurangan pembayaran pajak diberikan kepada Wajib Pajak lama, baik
Orang Pribadi maupun Badan, yang dalam tahun 2008 menyampaikan
pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum
Tahun Pajak 2007.
Wajib Pajak lama yang sebelum 1 Januari 2008 telah memiliki NPWP dan
sampai dengan 31 Desember 2007 belum menyampaikan SPT Tahunan
PPh sebelum Tahun Pajak 2007, dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh
sebelum Tahun Pajak 2007. SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007
yang disampaikan dalam tahun 2008 tersebut diperlakukan sebagai
pembetulan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007 yang
memanfaatkan sunset policy.Jadi yang dapat memperoleh fasilitas sunset
policy ini bukan hanya atas pembetulan SPT Tahunan PPh saja tetapi juga
SPT Tahunan PPh yang memang belum pernah disampaikan untuk tahun
pajak sebelum 2007.
Ketentuan Lain
Dasar Hukum