Anda di halaman 1dari 29

PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSTIK THREE-TIER UNTUK

MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI PADA MATERI ALAT OPTIK SISWA


KELAS X SMA

PRA-PROPOSAL

DISUSUN OLEH:
RIYADLOTUL MUNAWAROH
(12030184011)

PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSTIK THREE-TIER UNTUK
MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI PADA MATERI ALAT OPTIK SISWA
KELAS X SMA

A. Latar Belakang
Mata pelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang sering dianggap
sulit oleh sebagian besar siswa. Mata pelajaran ini menuntut intelektualitas yang relatif
tinggi dan dibutuhkan suatu keterampilan berpikir untuk mempelajarinya. Dalam mata
pelajaran fisika ini, setiap konsep baru seringkali menuntut pemahaman siswa atas
konsep sebelumnya. Oleh karena itu bila terjadi kesalahpahaman konsep dalam belajar
pada salah satu materi pokok, maka akan berdampak pada jenjang pendidikan
berikutnya. Mengingat begitu pentingnya peranan ilmu fisika, sudah semestinya ilmu ini
dipahami dengan baik oleh siswa. Fakta yang sering ditemukan saat ini, para pendidik
sering menemukan bahwa siswa mempunyai konsep yang berbeda dengan konsep yang
diterima oleh para ahli. Konsep yang berbeda itu sering disebut dengan miskonsepsi.
Miskonsepsi atau salah konsep merupakan suatu konsep yang tidak sesuai dengan
konsep yang diakui oleh para ahli (Suparno, 2013: 4).
Ketika belajar materi fisika, banyak siswa yang merasa bahwa materi “Alat Optik”
merupakan materi yang sulit untuk dipelajari. Pada materi ini, konsep-konsep fisika yang
terkait di dalamnya sangat kompleks dan istilah-istilah baru juga perlu dijelaskan lebih
lanjut oleh guru agar tidak mengalami miskonsepsi. Terkadang, guru-guru yang sudah
mengajar pun masih mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi ini.
Dalam konteks hasil belajar, siswa merupakan fokus utama yang menjadi peran
dalam miskonsepsi ini. Masih banyak siswa yang pengusaan konsep dasarnya kurang
atau di bawah standar, sehingga kesalahan yang berasal dari siswa ini akan menimbulkan
miskonsepsi pada dirinya. Miskonsepsi atau kesalahan konsep yang dialami siswa bisa
juga dikarenakan kemampuan siswa dalam fisika lemah karena kurangnya latihan soal-
soal serta daya tangkap siswa yang rendah terhadap materi yang diajarkan atau diberikan.
Selain dari siswa sendiri, miskonsepsi juga dapat berasal dari guru yang mengajarnya.
Hal ini dikarenakan guru tidak menguasai konsep yang benar dari bahan ajar ataupun
jika guru menguasainya, guru tersebut menjelaskannya secara tidak tepat, sehingga
menimbulkan miskonsepsi pada siswanya. Hal ini menyebabkan kesalahan yang dimiliki
saat ini menyebar secara terus menerus kepada anak didiknya dari tahun ke tahun.
Miskonsepsi siswa seringkali juga disebabkan oleh tidak relevannya buku ajar yang
digunakan. Ketidakrelevanan buku ajar yang digunakan seringkali ditemukan dalam
pembahasan soal terkait dengan materi yang diberikan.
Miskonsepsi yang seringkali dialami oleh siswa terkait materi “Alat Optik” yaitu
mengenai konsep dasar, misalnya terjadinya pembiasan pada lensa. Menurut siswa, sinar
datang pada lensa cembung atau cekung tidak dibiaskan pada permukaan lensa tetapi
pada tengah lensa. Dengan kata lain, permukaan lensa dan ketebalan lensa tidak
berpengaruh pada proses pembiasan cahaya. Hal ini menimbulkan miskonsepsi pada
siswa, karena kenyataannya cahaya itu dibiaskan justru pada permukaan lensa
disebabkan adanya perbedaan indeks bias dari dua medium yaitu udara dan kaca atau
kaca dan udara.
Adanya miskonsepsi yang dimiliki siswa akan sangat menghambat pada proses
penerimaan dan asimilasi pengetahuan-pengetahuan baru dalam diri siswa, sehingga
akan menghalangi keberhasilan siswa dalam proses belajar lebih lanjut. Ini merupakan
masalah besar dalam pengajaran fisika yang tidak bisa dibiarkan. Seiring dengan
tumbuhnya kesadaran akan hal tersebut, maka berbagai upaya untuk menanggulangi
masalah miskonsepsi ini terus dikembangkan, meskipun hasilnya belum begitu
menggembirakan. Upaya yang diterapkan guru saat ini untuk meminimalisir miskonsepsi
tersebut adalah dengan memberikan tugas-tugas yang biasanya diberikan secara spontan
dalam kelas. Selain itu guru juga melakukan tes lisan pada masing-masing individu
untuk mengetahui letak kelemahan siswa dalam memahami konsep materi yang
diajarkan.
Akan tetapi sebenarnya permasalahan yang ada saat ini tidak terletak pada upaya
penanggulangan miskonsepsi yang dialami siswa, namun terdapat persoalan yang lebih
mendasar dan sangat penting dalam masalah miskonsepsi ini, yaitu masalah
pengidentifikasian terjadinya miskonsepsi. Hingga saat ini masih terdapat kesulitan
dalam membedakan antara siswa-siswa yang miskonsepsi dan yang tidak tahu konsep.
Tanpa dapat membedakan keduanya, akan sulit untuk menentukan langkah
penanggulangannya, sebab cara penanggulangan untuk siswa yang mengalami
miskonsepsi akan berbeda dengan siswa yang tidak tahu konsep. Kesalahan
pengidentifikasian akan menyebabkan kesalahan dalam cara penanggulangannya dan
hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh
pada upaya penanggulangannya, terlebih dahulu para pendidik harus memiliki
pengetahuan dan kemampuan mengidentifikasi miskonsepsi secara tepat, yang setiap saat
dapat digunakan pada proses belajar mengajarnya.
Sebagai salah satu alternatif yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi
adalah Certainty of Response Index (CRI) yang dikembangkan oleh Saleem Hasan dan
Keith Adams (2002). Cara mengetahui kemampuan siswa adalah dengan memberikan tes
pilihan ganda yang bersifat pemahaman konsep yang disertai dengan alasan kepastian
jawaban. Instrumen diagnostik three-tier merupakan salah satu instrumen yang
digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi. Instrumen diagnostik three-tier ini
berupa pilihan ganda tiga tingkat dengan tier pertama merupakan soal pilihan ganda
biasa, tier kedua merupakan alasan dari pilihan jawaban, dan tier ketiga merupakan
derajat keyakinan untuk meyakinkan respon siswa, sehingga peneliti memperoleh
informasi lebih banyak tentang miskonsepsi siswa dan dapat membedakan dengan siswa
yang kurang memahami konsep atau tidak tahu konsep.
Berdasarkan uraian di atas mengenai kesulitan yang dihadapi siswa dalam
pembelajaran fisika terutama pada materi “Alat Optik” dan miskonsepsi yang
dialaminya, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Pengembangan Instrumen
Diagnostik Three-Tier untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Materi Alat Optik Siswa
Kelas X SMA”. Dengan harapan agar hasil dari pendidikan yang bermutu menjadikan
siswa yang cerdas, mandiri, beretos kerja tinggi, berpengetahuan luas, dan menguasai
teknologi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk
mengidentifikasi miskonsepsi pada materi Alat Optik?
2. Bagaimana kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang
telah dikembangkan?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk mengidentifikasi
miskonsepsi pada materi Alat Optik.
2. Menguji kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang
telah dikembangkan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi Siswa
Siswa diharapkan dapat mengetahui letak kelemahan yang menyebabkan
miskonsepsi dalam memahami konsep, khususnya pada materi Alat Optik,
sehingga siswa dapat memperbaikinya dalam upaya mencapai ketuntasan.
2. Bagi Guru
Guru diharapkan dapat mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa, sehingga
guru dapat melakukan tindak lanjut terhadap informasi yang diperoleh. Tes
diagnostik ini dapat digunakan guru sebagai alat ukur alternatif untuk mengetahui
tingkat pemahaman konsep siswa.

E. Penjelasan Istilah, Asumsi dan Batasan Masalah


1. Penjelasan Istilah
a. Tes Diagnostik
Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-
kelemahan siswa, sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat
dilakukan pemberian pemberlakuan yan tepat (Arikunto,2012).
b. Instrumen Diagnostik Three-tier
Instrumen diagnostik three-tier merupakan instrumen yang paling valid,
reliabel, dan akurat untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Instrumen
diagnostik three-tier ini berupa pilihan ganda tiga tingkat dengan tier pertama
merupakan soal pilihan ganda biasa, tier kedua merupakan alasan dari pilihan
jawaban, dan tier ketiga merupakan derajat keyakinan untuk meyakinkan respon
siswa, sehingga peneliti memperoleh informasi lebih banyak tentang
miskonsepsi siswa dan dapat membedakan dengan siswa yang kurang
memahami konsep atau tidak tahu konsep (Pesman, 2010:216).
c. Miskonsepsi
Miskonsepsi atau salah konsep merupakan suatu konsep yang tidak sesuai
dengan konsep yang diakui oleh para ahli (Suparno, 2013: 4).
2. Asumsi
a. Hasil tes menggambarkan kemampuan siswa yang sebenarmya.
b. Validator dan responden melakukan penilaian secara obyektif, jujur dan
sungguh-sungguh terhadap perangkat tes diagnostik.
3. Batasan Masalah
a. Soal-soal pada perangkat tes diagnostik yang dikembangkan mengacu pada
kompetensi dasar dalam kurikulum 2013.
b. Tes diagnostik yang dikembangkan digunakan pada akhir pembelajaran, yakni
saat materi Alat Optik telah disampaikan.
c. Perangkat tes diagnostik yang dikembangkan hanya mengidentifikasi
miskonsepsi pada siswa, khususnya pada materi Alat Optik.
F. Tinjauan Pustaka
1. Miskonsepsi
a. Pengertian
Pada umumnya konsepsi siswa dalam memahami suatu materi fisika dapat
berbeda dengan fisikawan. Konsepsi fisikawan pada umumnya akan lebih
canggih, lebih kompleks, lebih rumit, melibatkan lebih banyak hubungan konsep
daripada konsepsi siswa. Jika konsepsi sama dengan konsepsi fisikawan yang
disederhanakan, maka hal ini tidak dikatakan salah. Namun, jika konsepsi siswa
bertentangan dengan konsepsi fisikawan, maka dikatakan siswa mengalami
miskonsepsi. Miskonsepsi atau salah konsep merupakan suatu konsep yang tidak
sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli (Suparno, 2013: 4).
b. Proses Miskonsepsi
Dalam proses pembelajaran, peserta didik akan mengelola informasi yang
masuk ke dalam otak mereka. Jika informasi yang diterima sesuai dengan struktur
konsep yang ada, informasi ini akan langsung menambah jaringan pengetahuan
mereka, proses ini disebut proses asimilasi. Jika informasi tidak sesuai, mereka
akan melakukan penyusunan ulang struktur kognitif mereka hingga informasi ini
dapat menjadi bagian dari jaringan pengetahuan mereka. Dalam proses
menyampaikan informasi baru ke dalam struktur kognitif mereka, peserta didik
seringkali mengalami kesulitan, bahkan kegagalan. Hal inilah yang kemudian
menjadi timbulnya miskonsepsi pada kognitif peserta didik. Miskonsepsi tidak
hanya terjadi pada siswa. Pada mahasiswa juga sering mengalami miskonsepsi,
karena sudah membawa konsep awal (prakonsepsi) yang keliru. Terjadinya salah
konsep pada siswa maupun mahasiswa, disebabkan adanya pembangunan
pengetahuan di sepanjang perjalanan hidup siswa.
2. Tes Diagnostik
Pengertian tes dalam Arikunto (2012) merupakan alat atau prosedur yang
digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara
dan aturan-aturan yang sudah ditentukan, sedangkan tes diagnostik adalah tes
yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga
berdasarkan hal tersebut dapat dilakukan penanganan yang tepat. Fungsi tes
diagnostik adalah:
1. Menentukan apakah bahan prasyarat telah dikuasai atau belum;
2. Menentukan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan yang dipelajari;
3. Memisahkan (mengelompokkan) siswa berdasarkan kemampuan dalam
menerima pelajaran yang akan dipelajari;
4. Menentukan kesulitan-kesulitan belajar yang dialami untuk menentukan cara
yang khusus untuk mengatasiatau memberikan bimbingan.
Tes diagnostik memiliki karakteristik:
1. Dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa, karena itu format dan
respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik;
2. Dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau
kesulitan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah pada siswa.
Kemungkinan sumber kesulitan siswa dapat dilokalisasi pada tiga sumber
utama, yaitu: a) tidak terpenuhinya kemampuan prasyarat; b) terjadinya
miskonsepsi; dan c) rendahnya kemampuan memecahkan masalah (problem
solving);
3. Menggunakan soal-soal bentuk supply response (bentuk uraian atau jawaban
singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Bila ada
alasan tertentu, sehingga menggunakan bentuk selected response (misalnya
bentuk pilihan ganda), harus disertakan mengapa memilih jawaban tertentu,
sehingga dapat meminimalisir jawaban tebakan dan dapat ditentukan tipe
kesalahan atau masalahnya;
4. Disertai rancangan tindak lanjut (pengobatan) sesuai dengan kesulitan
(penyakit) yang teridentifikasi (Depdiknas,2007).
3. Prosedur Pengembangan Tes Diagnostik
Menurut Croker dan Algina (dalam Usodo, 2001) langkah-langkah untuk
menyusun tes diagnostik adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi tujuan
Tujuan tes berbeda-beda tergantung keperluan apa tes itu digunakan.
2. Mengidentifikasi sifat-sifat yang berkaitan dengan tes yang akan
dikembangkan atau definisi dominan yang berkaitan dengan tes. Untuk te-tes
psikologi, identifikasi psycological construct menjadi sangat penting untuk
menentukan butir-butir tes yang akan disusun. Untuk tes-tes yang bersifat
achievement test yang diperlukan adalah kriteria untuk menentukan
kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa untuk mata pelajaran tertentu.
Cara lain pada langkah ini adalah menentukan spesifikasi item.
a. Melakukan persiapan spesifikasi item dan penentuan proporsi dari butir-
butir tes yang memfokuskan pada masing-masing sifat atau dominan
yang disebutkan pada langkah kedua. Setelah menyusun tujuan dan
spesifikasi butir, maka diperlukan penyusunan rencana untuk menentukan
proporsi masing-masing butir tes terhadap seluruh butir tes, dalam hal ini
penyusunannya menggunakan sistem hirarki untuk mengkategorikan
operasi kognitif yang dikenal dengan ranah kognitif Bloom, yaitu :
pengetahuan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), analisis (C4), evaluasi
(C5), dan menciptakan (C6).
b. Mengembangkan draf awal dari butir-butir tes. Langkah yang dilakukan:
1) Memilih format yang sesuai
2) Memverifikasi format, sehingga layak untuk diuji
3) Memilih petugas yang akan menulis butir-butir tes
4) Menulis butir tes
5) Memantau kemajuan penulidsan butir tes
6) Memvalidasi tes yang telah ditulis
c. Mereview butir-butir yang dikembangkan pada langkah 4 dan dilakukan
revisi bila diperlukan;
d. Melakukan uji coba awal dan revisi berdasarkan uji coba awal sebelum
dicetak atau dimasukkan media;
e. Melakukan uji lapangan kepada kelompok besar yang mewakili populasi
yang akan dikenai tes;
f. Mengembangkan petunjuk administrasi penggunaan tes cara skoring
setelah tiap tes dianggap cukup layak untuk digunakan secara formal atau
dipasarkan, maka paket tes harus dilengkapi dengan petunjuk pengerjaan.
4. Tes Diagnostik Three-tier
Instrumen diagnostik three-tier merupakan salah satu instrumen yang digunakan
untuk mengidentifikasi miskonsepsi. Instrumen diagnostik three-tier ini berupa
pilihan ganda tiga tingkat dengan tier pertama merupakan soal pilihan ganda biasa,
tier kedua merupakan alasan dari pilihan jawaban, dan tier ketiga merupakan derajat
keyakinan untuk meyakinkan respon siswa, sehingga peneliti memperoleh informasi
lebih banyak tentang miskonsepsi siswa dan dapat membedakan dengan siswa yang
kurang memahami konsep atau tidak tahu konsep.
Instrumen diagnostik three-tier memiliki kelebihan dibandingkan dengan
multiple choice (pilihan ganda) konvensional
Pengembangan instrumen diagnostik three-tier meliputi 3 tahap:
1. Tahap Pertama : wawancara
Kegiatan wawancara dilakukan kepada siswa secara individu dengan
pertanyaan terbuka, dengan tujuan untuk mengumpulkan data untuk pilihan
pada item pilihan ganda.
2. Tahap Kedua : tes kertas dan pensil
Tanggapan dari pertanyaan wawancara digunakan untuk membuat
butir pilihan ganda untuk tes kertas dan pensil. Setelah butir dibuat, soal
diuji pada seluruh siswa dalam kelas. Para siswa dimita untuk memilih
jawaban yang paling tepat untuk setiap pertanyaan dan kemudian
memberikan alasan atas pilihan mereka serta menuliskan tingkat keyakinan
mereka dalam menjawab pertanyaan. Data yang diperoleh dari siswa
dianalisis dan dikembangkan menjadi item tes three-tier.
3. Tahap Ketiga : uji tes three-tier
Pada tahap ini, butir tes yang dibuat diujicobakan kepada siswa.

5. Materi Alat Optik


Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali alat-alat optik yang memanfaatkan
peristiwa pembiasan dan pemantulan cahaya, seperti kaca pembesar, kamera,
mikroskop, teropong, periskop, dan proyektor slide. Alat optik adalah alat yang cara
kerjanya memanfaatkan peristiwa pembiasan dan pemantulan cahaya.
a. Mata
Mata termasuk alat optik karena di dalamnya terdapat lensa mata yang
digunakan untuk menerima cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang kita
lihat. Dalam hal ini, mata dapat melihat suatu benda jika ada cahaya dan benda
tersebut dapat memantulkan cahaya. Secara garis besar mata kita terdiri atas lensa
mata, retina, otot, dan saraf. Bagian paling luar adalah lensa mata yang digunakan
untuk membentuk bayangan di retina. Sebagai sebuah lensa, ketebalan mata akan
berpengaruh pada titik fokus. Jika mata melihat benda jauh, mata kita akan
melebar sehingga lensa mata menjadi menipis dan jarak fokusnya menjadi kecil.
Hal ini dimaksudkan supaya bayangan benda tersebut jatuh tepat di retina.
Kemampuan mata untuk melebar atau mengkerut dibantu otot-otot mata,
mengakibatkan lensa mata menjadi menebal atau menipis. Kemampuan lensa
mata untuk menipis atau menebal sesuai dengan jarak benda yang dilihat disebut
daya akomodasi, menyebabkan mata memiliki titik dekat (punctum proximum)
dan titik jauh (punctum remotum). Titik dekat mata adalah titik terdekat yang
dapat dilihat jelas oleh mata dengan berakomodasi maksimum. Titik jauh adalah
titik terjauh yang dapat dilihat jelas oleh mata dengan tanpa berakomodasi.

Gambar 1. Bagian-bagian mata manusia


Sumber: Giancolli, 2001
Kornea adalah bagian luar mata yang berfungsi menerima dan meneruskan
cahaya. Lensa mata terbuat dari bahan bening dan kenyal yang berfungsi untuk
membentuk bayangan benda. Iris merupakan selaput yang membentuk suatu
celah lingkaran, berfungsi memberi warna pada mata. Celah lingkaran yang
dibentuk iris disebut pupil. Retina adalah tempat jatuhnya bayangan yang
dibentuk oleh lensa mata. Lensa mata berupa lensa cembung. Benda yang dilihat
terletak di depan 2F sehingga bayangan yang terbentuk nyata, terbalik, diperkecil
dan berada di antara F dan 2F di belakang lensa.
Gambar 2. Bayangan yang ditangkap retina
Sumber: Giancolli, 2001

Di dalam retina terdapat saraf mata yang sangat sensitif terhadap cahaya.
Otak akan menerima informasi tentang benda yang kita lihat, informasi ini
dikirimkan oleh retina melalui saraf-saraf mata. Informasi benda-benda yang kita
lihat akan dikirimkan ke otak dan otak akan mengolahnya sehingga kita dapat
melihat benda sesuai dengan sebenarnya, tidak terbalik seperti yang ditangkap
retina. Kemampuan akomodasi mata setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang
tidak dapat melihat benda yang jauh atau dekat. Orang yang mengalami gangguan
seperti ini dikatakan orang tersebut memiliki cacat mata. Berikut adalah jenis-
jenis cacat mata pada manusia.
a. Rabun Dekat (Hipermetropi)
Rabun dekat atau hipermetropi terjadi jika mata tidak dapat melihat
benda-benda yang jaraknya dekat. Hal ini dikarenakan fokus lensa mata
mempunyai jarak yang terlalu panjang. Akibatnya bayangan akan jatuh di
belakang retina. Untuk membantu penderita rabun dekat, lensa mata perlu
dibantu dengan kacamata yang memiliki lensa cembung agar bayangan
yang dibentuk oleh lensa mata jatuh tepat pada retina.

Gambar 3. Hipermetropi
Sumber: Giancolli, 2001
b. Rabun Jauh (Miopi)
Mata yang mengalami rabun jauh (miopi) tidak dapat melihat benda-
benda yang jaraknya jauh. Hal ini disebabkan lensa mata tidak dapat
memipih untuk memperkecil jarak fokusnya. Bayangan yang dibentuk
oleh lensa mata yang mengalami cacat mata rabun jauh akan jatuh berada
di depan retina. Untuk membantu penderita rabun jauh digunakan
kacamata yang mempunyai lensa cekung. Lensa cekung ini akan
membantu lensa mata sehingga bayangan yang tadinya jatuh di depan
retina akan jatuh tepat di retina.

Gambar 4. Miopi
Sumber: Giancolli, 2001
c. Presbiopi
Cacat mata presbiopi ini banyak dialami oleh orang-orang lanjut usia.
Penderita cacat mata ini tidak dapat melihat benda-benda yang jaraknya
jauh atau dekat. Hal ini dikarenakan menurunnya daya akomodasi lensa
mata. Untuk membantu penderita cacat mata ini, digunakan kacamata
yang mempunyai lensa ganda yaitu lensa cembung dan lensa cekung.
Kekuatan lensa merupakan kemampuan lensa untuk memfokuskan sinar-sinar,
makin kuat lensa memfokuskan sinar akan makin besar kekuatan lensanya.
Kekuatan lensa dilambangkan dengan P (power) yang dirumuskan sebagai
berikut:

........ (1)

Keterangan:
= kekuatan lensa (dioptri)
= jarak fokus (meter)
b. Kamera
Kamera merupakan salah satu alat optik yang besar manfaatnya karena dapat
mengabadikan kejadian-kejadian penting dan bersejarah. Kamera terdiri atas tiga
bagian utama, yaitu lensa, diafragma, dan film. Cara kerja kamera adalah sebagai
berikut. Benda yang akan diambil gambarnya diletakkan di depan kamera.
Cahaya yang berasal dari objek tersebut akan diterima oleh lensa cembung dan
akan dibiaskan sehingga membentuk bayangan nyata di film. Kedudukan lensa
terhadap film dapat diubah-ubah. Hal ini dimaksudkan agar bayangan yang
terbentuk jatuh tepat di atas film. Pada film, terdapat zat kimia yang peka
terhadap cahaya. Cahaya gelap dan cahaya terang masing-masing akan
meninggalkan jejak yang berbeda pada kamera. Dari film, gambar tersebut dapat
dicuci dan dicetak. Bayangan yang dibentuk pada film kamera bersifat nyata,
terbalik, dan diperkecil.

Gambar 5. Bagian-bagian kamera


Sumber: Giancolli, 2001

c. Lup
Lup adalah alat optik yang menggunakan lensa cembung untuk melihat
benda-benda kecil. Agar benda terlihat, maka benda diletakkan di antara titik
pusat (O) dan titik fokus (F) sehingga terbentuk bayangan yang bersifat maya,
tegak, dan diperbesar. Saat bayangan terbentuk di titik dekat mata, maka mata
berakomodasi maksimum. Perbesaran bayangan pada lup ketika mata
berakomodasi maksimum dirumuskan sebagai berikut:

......... (2)
Jika ingin mengamati benda dengan lup tanpa berakomodasi, maka benda
diletakkan tepat di titik fokus lensa sehingga yang masuk ke mata berupa sinar
sejajar. Ini dikatakan mengamati dengan mata tidak berakomodasi.
Perbesaran bayangan pada lup ketika mata tidak berakomodasi dirumuskan
sebagai berikut:

............ (3)

dengan merupakan perbesaran bayangan, merupakan titik dekat mata dan


adalah jarak fokus lup.
d. Mikroskop
Para peneliti biasanya menggunakan mikroskop untuk melihat benda-benda
kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Mikroskop terdiri atas dua
buah lensa cembung yang berfungsi untuk memperbesar bayangan benda. Lensa
ini dinamakan lensa objektif dan lensa okuler. Lensa objektif adalah lensa yang
diletakkan dekat dengan objek yang akan diamati, sedangkan lensa okuler adalah
lensa yang diletakkan dekat mata. Jarak fokus lensa objektif lebih kecil dari jarak
fokus lensa okuler ( < ). Benda yang diamati diletakkan di depan lensa
objektif di antara dan 2 .

Gambar 6. Bagian-bagian mikroskop


Sumber: Nurachmandani, 2009

Bayangan yang dibentuk oleh lensa objektif bersifat nyata, terbalik dan
diperbesar. Bayangan yang dibentuk oleh lensa objektif akan menjadi benda bagi
lensa okuler. Bila diamati dengan mata berakomodasi, maka benda (bayangan
dari lensa objektif) diletakkan di antara titik pusat lensa okuler ( ) dan titik
fokus okuler ( ). Sedangkan jika diamati dengan mata tanpa berakomodasi,
maka benda (bayangan dari lensa objektif) diletakkan di titik fokus lensa okuler
( ). Bayangan yang dibentuk oleh lensa okuler bersifat maya, tegak, dan
diperbesar. Bayangan akhir yang dibentuk adalah maya, terbalik dan diperbesar.
Bayangan ini dapat dilihat mata pengamat. Bayangan ini telah mengalami
perbesaran beberapa kali lipat sehingga benda yang sangat kecil akan tampak
besar.
Perbesaran bayangan pada mikroskop ketika mata berakomodasi maksimum
dirumuskan sebagai berikut:

( ) ( ) ............... (4)

Agar mata berakomodasi maksimum, jarak lensa objektif dan lensa okuler
dirumuskan:

( ) .................(5)

Apabila mata tidak berakomodasi, perbesaran bayangannya adalah sebagai


berikut:

( ) ( ) ............... (6)

Agar mata tidak berakomodasi, jarak lensa objektif dan lensa okuler dirumuskan:
............... (7)

e. Teleskop (Teropong)
Teropong merupakan alat optik yang digunakan sebagai alat untuk melihat
benda yang letaknya jauh. Teropong dibedakan menjadi dua yaitu teropong bias
(tersusun atas beberapa lensa) dan teropong pantul (tersusun atas beberapa cermin
dan lensa). Teropong bias antara lain teropong bintang (astronomi), teropong
bumi, dan teropong panggung (teropong Galileo).
Teropong ini terdiri atas dua buah lensa cembung yaitu lensa objektif dan
lensa okuler. Lensa objektif digunakan untuk menangkap cahaya dari benda-
benda yang jauh. Karena jaraknya jauh, benda dapat dianggap diletakkan di luar
2F. Dengan demikian bayangan yang dibentuknya adalah nyata, terbalik, dan
diperkecil. Bayangan dari lensa objektif ini menjadi benda bagi lensa okuler.
Oleh lensa okuler, bayangan ini dibiaskan lagi sehingga membentuk bayangan
yang maya, tegak, dan diperbesar dan dapat dilihat dengan mata.Bayangan yang
dihasilkan teropong bintang adalah terbalik.
f. Periskop
Periskop adalah teropong pada kapal selam yang digunakan untuk
mengamati benda-benda di permukaan laut. Periskop terdiri atas 2 lensa cembug
dan 2 prisma siku-siku sama kaki.

Gambar 7. Jalannya sinar pada periskop


Sumber: Nurachmandani, 2009

Jalannya sinar pada periskop adalah sebagai berikut:


1. Sinar sejajar dari benda yang jauh menuju ke lensa objektif.
2. Prisma 1 memantulkan sinar dari lensa objektif menuju ke prisma 2.
3. Oleh prisma 2, sinar tersebut dipantulkan lagi dan bersilangan di depan
lensa okuler tepat di titik fokus lensa okuler.
g. Proyektor slide
Proyektor slide adalah alat yang digunakan untuk memproyeksikan gambar
diapositif, sehingga diperoleh bayangan nyata dan diperbesar pada layar. Bagian-
bagian yang penting pada proyektor slide antara lain adalah lampu kecil yang
memancarkan sinar kuat melalui pusat kaca, cermin cekung yang berfungsi
sebagai reflektor cahaya, lensa cembung untuk membentuk bayangan pada layar,
dan slide atau gambar diapositif.
G. Penelitian yang Relevan
Untuk mendukung penelitian ini, berikut dikemukakan hasil penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan penelitian ini mengenai tes miskonsepsi dan instrumen-instrumen
yang telah dikembangkan:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Budiningsih dengan judul “Pengembangan
Instrumen Diagnostik Three-Tier untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Listrik
Dinamis Siswa Kelas X SMA”. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dan
kuantitatif yang diperoleh melalui studi pendahuluan, pengembangan produk, dan
uji coba produk. Hasil pengembangan pada penelitian ini berupa soal diagnostik
three-tier untuk konsep listrik dinamis. Hasil analisis uji coba kepada ahli
diperoleh validitas isi instrumen sebesar 90%, sehingga instrumen memenuhi
kriteria valid. Berdasarkan analisis butir soal diperoleh 28 butir soal valid dengan
nilai reliabilitas sangat tinggi. Hasil analisis deskriptif dari penerapan instrumen
diagnostik three-tier yang dilakukan pada 33 siswa kelas X-7 SMAN 1 Turen
sebesar 27,7% siswa mengalami miskonsepsi listrik dinamis dan 23,1% siswa
tidak tahu konsep listrik dinamis.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Riana Dewi Astari dengan judul “Pengembangan
Three-Tier Test sebagai Instrumen dalam Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep
Atom, Ion, dan Molekul”. Penelitian pengembangan ini menggunakan model
prosedural yang terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan penilaian produk. Pengembangan three-tier test mendapat
masukan dari ahli evaluasi, ahli materi, dan peer reviewer. Produk akhir penelitian
ini berupa three-tier test, dimana setiap butir soal pada three-tier terdiri dari tiga
rangkaian soal bertingkat, yaitu soal pilihan ganda biasa, pilihan alasan, dan
penegasan apakah peserta didik yakin atau tidak akan jawaban yang diberikan
pada tingkat sebelumnya. Three-tier test yang telah dikembangkan mempunyai
kualitas Baik (B) menurut penilaian 5 guru IPA SMP/MTs dengan skor 61,4 dari
skor maksimal 75.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Yuyu R. Tayubi, dengan judul “Identifikasi
Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep Fisika Menggunakan Certainty of Response
Index (CRI)” dilakukan pada tahun 2005. Dalam penelitian tersebut digunakan
instrumen penelitian berupa tes konseptual dengan bentuk pilihan ganda sebanyak
5 opsi pilihan. Metode yang digunakan adalah dengan meminta setiap siswa untuk
menjawab setiap soal yang diberikan dan mereka juga diminta untuk
membubuhkan nilai CRI untuk setiap jawaban yang dipilihnya pada setiap soal
yang diberikan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa metode ini cukup
ampuh digunakan untuk membedakan antara siswa yang mengalami miskonsepsi
dan yang tidak tahu konsep. Selain itu penggunaannya pada proses belajar
mengajar sangat dimungkinkan karena proses pengidentifikasian dan
penganalisisan, hasilnya tidak memakan waktu yang lama.
H. Kerangka Berpikir

Latar Belakang:
Miskonsepsi siswa dalam memahami suatu konsep dalam fisika perlu dianalisis untuk
mengetahui penyebabnya, sehingga dapat ditentukan pemecahannya. Hal ini dapat
dilakukan dengan penilaian menggunakan instrumen yang sudah diuji kelayakannya.

Fakta: Harapan:
- Guru sering menemukan siswa yang - Guru harus memiliki kemampuan
mengalami miskonsepsi. mengidentifikasi miskonsepsi secara
- Hingga saat ini masih terdapat tepat.
kesulitan dalam membedakan antara - Instrumen diagnostik trhee-tier
siswa-siswa yang miskonsepsi dan digunakan untuk mengidentifikasi
yang tidak tahu konsep. miskonsepsi yang dialami siswa.

Masalah:
- Bagaimana mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk mengidentifikasi
miskonsepsi pada materi Alat Optik?
- Bagaimana kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang
telah dikembangkan?

Teori: Penelitian yang Relevan:


Tes diagnostik adalah tes yang Penelitian yang dilakukan oleh Sri
digunakan untuk mengetahui kelemahan- Budiningsih dengan judul
kelemahan siswa, sehingga berdasarkan “Pengembangan Instrumen Diagnostik
kelemahan-kelemahan tersebut dapat Three-Tier untuk Mengidentifikasi
dilakukan pemberian pemberlakuan yan Miskonsepsi Listrik Dinamis Siswa
tepat. Instrumen diagnostik three tier Kelas X SMA”.
berupa pilihan ganda tiga tingkat dengan Penelitian yang dilakukan oleh Riana
tier pertama merupakan soal pilihan Dewi Astari dengan judul
ganda biasa, tier kedua merupakan alasan “Pengembangan Three-Tier Test
dari pilihan jawaban, dan tier ketiga sebagai Instrumen dalam Identifikasi
merupakan derajat keyakinan untuk Miskonsepsi pada Konsep Atom, Ion,
meyakinkan respon siswa, sehingga dan Molekul”.
peneliti memperoleh informasi lebih Penelitian yang dilakukan oleh Yuyu R.
banyak tentang miskonsepsi siswa dan Tayubi, dengan judul “Identifikasi
dapat membedakan dengan siswa yang Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep
kurang memahami konsep atau tidak Fisika Menggunakan Certainty of
tahu konsep. Response Index (CRI)”

Usulan:
Pengembangan Instrumen Diagnostik Three-Tier untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi
pada Materi Alat Optik Siswa Kelas X SMA
I. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian pengembangan, yaitu untuk mengembangkan
tes diagnostik (diagnostic test) dengan three-tier multiple choice pada materi Alat Optik
untuk siswa SMA kelas X. Penelitian pengembangan soal ini menggunakan metode
penelitian Research and Development (R&D).
J. Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Trenggalek dengan subyek penelitian yaitu
siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 4 SMA Negeri 1 Trenggalek dan 10 siswa kelas X
yang belum tuntas pada materi Alat Optik sebagai sampel uji coba terbatas.
K. Waktu Penelitian
Tahap pengembangan soal dilakukan di Universitas Negeri Surabaya pada bulan Mei
2016 – April 2016. Tahap uji coba soal dilakukan di SMA Negeri 1 Trenggalek semester
genap tahun ajaran 2015/2016 pada bulan April 2016.
L. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian pengembangan tes diagnostik dalam penelitian ini:

Gambar 8. : Alur Kerja Penelitian Pengembangan Tes Diagnostik, Hasil


Modifikasi dari Metode Research and Development (R&D) (Sugiyono, 2010)
Keterangan:
: Garis pelaksanaan
: Jenis kegiatan
: Hasil kegiatan
1. Potensi dan Masalah
Pada tahap ini dideskripsikan potensi-potensi yang dimiliki siswa kemudian
masalah yang dialami dan yang akan dicari solusinya. Beberapa langkah pokok dalam
tahap ini:
a. Analisis Awal
Analisis awal dilakukan untuk menetapkan arah dasar yang dibutuhkan
dalam pengembangan tes diagnostik. Dilakukan analisis terhadap siswa untuk
mengawali tahap ini, yang akan dijadikan obyek penelitian adalah siswa SMA
kelas X, karena pada tahap ini siswa sudah dapat berpikir secara abstrak,
menalar secara logis, kemampuan berpikir dapat berkembang sedemikian rupa
sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif
pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya, menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia tapi tidak lagi menerima informasi apa
adanya, mereka akan memproses informasi tersebut dengan eksperimen atau
dengan cara lainnya.
b. Analisis Konsep
Analisis konsep merupakan identifikasi konsep-konsep utama yang akan
diajarkan dan menyusunnya secara sistematis serta mengaitkan satu konsep
dengan konsep lain yang relevan, sehingga membentuk suatu peta konsep.
Gambar berikut menyajikan peta konsep pada materi Alat Optik:

Gambar 9. : Peta konsep “Alat Optik”


2. Pengumpulan Data Awal
Pada tahap ini akan dilakukan wawancara dengan guru fisika di SMA Negeri 1
Trenggalek mengenai miskonsepsi yang sering dialami siswa pada materi Alat Optik.
3. Desain Produk
Tahap ini terdiri atas penyusunan soal dan penyusunan kriteria penilaian.
a. Tahap Penyusunan Soal
Tahap penyusunan soal antara lain meliputi menentukan bentuk dan
jumlah soal, menyusun kisi-kisi soal dan menyusun butir-butir soal.
b. Menentukan Bentuk dan Jumlah Soal
Bentuk soal yang akan diujicobakan yaitu three-tier multiple choice,
yakni suatu bentuk soal yang terdiri dari tiga bagian, bagian pertama
merupakan soal pilihan ganda biasa, bagian kedua merupakan alasan dari
pilihan jawaban, dan bagian ketiga merupakan derajat keyakinan untuk
meyakinkan respon siswa. Adapun jumlah soal yang dikembangkan dalam
penelitian ini berjumlah 25 soal.
c. Menyusun Kisi-Kisi Soal
Dalam instrumen ini kisi-kisi soal memuat:
1) Kompetensi dasar
2) Materi
3) Indikator soal
4) Nomor soal
d. Menyusun Butir-Butir Soal
Berdasarkan kisi-kisi soal yang telah dirancang akan disusun butir soal.
Butir soal yang akan disusun akan memiliki fungsi diagnostik, sehingga
jawaban yang diberikan oleh siswa dapat dijadikan informasi yang kemudian
akan dianalisis untuk mengetahui letak miskonsepsi siswa.
Dalam proses penyusunan soal, mengikuti tahap pengembangan soal
three-tier multiple choice meliputi:
1) Tahap wawancara, kegiatan wawancara dilakukan pada mahasiswa
jurusan fisika, FMIPA UNESA dengan pertanyaan terbuka, dengan
tujuan untuk mengumpulkan untuk pilihan pada item pilihan ganda.
2) Tahap tes kertas dan pensil, soal terdiri dari opsi jawaban dan alasan
terbuka diujikan kepada mahasiswa FMIPA UNESA. Mahasiswa
diminta untuk memilih jawaban yang paling tepat untuk setiap
pertanyaan dan kemudian memberikan penjelasan (alasan) atas pilihan
mereka. Data yang diperoleh dari mahasiswa ini dianalisis dan
dikembangkan menjadi item tes three-tier.
3) Uji tes two-tier, pada tahap ini tes diujicobakan kepada siswa SMAN 1
Trenggalek.
e. Penyusunan Kriteria Penilaian
Tes diagnostik yang dikembangkan adalah three-tier multiple choice
yang memiliki jawaban dengan tiga tingkat jawaban. Kondisi false positive
adalah siswa menjawab benar pada tier pertama dan salah pada tier kedua.
Siswa pada kondisi false positive mengindikasikan terjadi miskonsepsi.
Miskonsepsi juga terjadi pada siswa yang menjawab salah pada tier pertama
dan kedua namun yakin pada tier ketiga. Siswa pada kondisi false negeative,
yaitu menjawab salah pada tier pertama dan menjawab benar pada tier kedua
merupakan siswa yang tidak tahu konsep. Siswa tidak tahu konsep juga
ditunjukkan oleh respon tidak yakin pada tier ketiga (Pesman, 2010: 215).
4. Validasi Produk
Untuk menghasilkan soal diagnostik yang layak, maka harus dilakukan validasi
terhadap perangkat yang dibuat, kemudian dilakukan revisi berdasarkan saran dan
masukan dari para validator.
5. Revisi Desain
Setelah soal diagnostik yang telah dikembangkan divalidasi oleh validator maka
akan diketahui letak kesalahan dan kekurangannya. Kekurangan tersebut selanjutnya
diperbaiki atau direvisi sesuai saran yang diberikan hingga didapatkan draft final yang
siap untuk diujikan.
6. Uji Coba I dan Analisis Uji Reliabilitas
Pada tahap ini dilakukan uji coba data yang dilakukan terhadap siswa kelas XI
IPA 1 dan XI IPA 4 SMAN 1 Trenggalek yang telah mempelajari materi Alat Optik.
Selanjutnya, hasil dari uji coba I akan ditentukan reliabilitas soalnya.
7. Uji Coba Produk II
Uji coba II diterapkan pada siswa yang belum mencapai ketuntasan dalam
materi Alat Optik.
8. Analisis
Data yang telah terkumpul dianalisis, kemudian dari hasil analisis tersebut
dapat diidentifikasi letak miskonsepsi siswa, sehingga soal-soal dalam penelitian ini
dapat berfungsi maksimal sebagai tes diagnostik.

M. Instrumen Penelitian
1. Lembar Validasi
Tim ahli melakukan validasi terhadap perangkat yang telah disusun oleh peneliti,
tim ahli terdiri dari dosen fisika dan guru mata pelajaran fisika.
2. Perangkat Tes Diagnostik
Perangkat tes diagnotik yang dikembangkan kisi-kisi soal dan butir soal. Kisi-kisi
soal dan butir soal disusun berdasarkan kompetensi dasar, diujicobakan kepada siswa
yang telah mempelajari materi Alat Optik. Hasil tes siswa selanjutnya dapat
digunakan untuk menentukan siswa mana yang membutuhkan penanganan lebih atau
sedang kemudian ditentukan solusinya. Hasilnya kemudian dianalisis secara kualitatif.

N. Teknik Analisis Data


a. Uji Validasi Ahli
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dari ahli atau validator adalah
dengan menggunakan angket penilaian. Kriteria penilaian angket kepada validator
untuk mengetahui validitas isi instrumen dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Angket untuk Validator


Kriteria Keterangan Penilaian Saran

Skor 0 Butir soal tidak sesuai dengan indikator, bahasa yang


digunakan sulit dipahami

Skor 1 Butir soal sesuai dengan indikator, bahasa yang digunakan


sulit dipahami atau apabila soal tidak sesuai dengan
indikator, bahasa yang digunakan mudah dipahami

Skor 2 Butir soal sesuai dengan indikator, bahasa yang digunakan


mudah dipahami
Para validator diminta memberikan penilaian dengan memberi tanda centang pada
tempat yang sudah tersedia dan mengisi kolom saran untuk perbaikan penulisan butir
soal. Adapun rumus yang digunakan untuk analisis data adalah:

Hasil nilai dalam skala presentase menyatakan instrumen tersebut valid atau perlu
revisi ulang. Kriteria kevalidan instrumen tes dibagi menjadi empat kriteri seperti
pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Kevalidan Data Angket Penilaian Validator


Skala nilai (%) Keterangan

85,94-100 Valid (tidak revisi)

67,18-85,93 Cukup valid (tidak revisi)

48,44-67,17 Kurang valid (revisi)

25,00-48,43 Tidak valid (revisi)

(Data diolah dari Ismail, 2007:30)

b. Uji Validitas, Reliabilitas, Daya Beda, dan Tingkat Kesukaran


Dalam konteks alar ukur atau instrumen assesmen, validitas berarti sejauh mana
kecermatan atau ketepatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Sebuah
instrumen yang valid akan menghasilkan data yang tepat seperti yang diinginkan.
Dalam pengujian validitas, digunakan rumus korelasi Product Moment sebagai
berikut:
( ) ( )( )
rxy = ............ (8)
√*( ( ) ( ) )( ( ) ( ) )+
Keterangan:

rxy = koefisien korelasi product moment suatu butir/item

N = jumlah subjek
x = skor suatu butir/item yang dijawab benar oleh siswa
y = jumlah/skor total yang dijawab oleh masing-masing siswa
Tabel 3. Interpretasi Validitas
Validitas Interpretasi Validitas

rxy ≤ 0,00 Tidak Valid

0,00 ˂ rxy ≤ 0,20 Validitas Sangat Rendah

0,20 ˂ rxy ≤ 0,40 Validitas Rendah

0,40 ˂ rxy ≤ 0,60 Validitas Sedang

0,60 ˂ rxy ≤ 0,80 Validitas Tinggi

0,80 ˂ rxy ≤ 1,00 Validitas Sangat Tinggi

(Sumber: Arikunto, 2009:78)

Reliabilitas diterjemahkan dari kata reliability yang berarti hal yang dapat
dipercaya (tahan uji). Sebuah tes dikatakan mempunyai reliabilitas yang tinggi jika tes
tersebut memberikan data yang ajeg (tetap) walaupun diberikan pada waktu yang
berbeda kepada responden yang sama. Salah satu teknik perhitungan reliabilitas
adalah formula Spearman-Brown, formula ini hanya dapat diterapkan pada soal yang
mempunyai jumlah butir genap. Formulanya adalah sebagai berikut:

r11 = ...................... (9)


( )

Keterangan:

r11 = koefisien reliabilitas


rxy = koefisien korelasi product moment suatu butir/item
1, 2 = bilangan konstan

Tabel 4. Rentang Indeks Reliabilitas


Indeks Interpretasi

0,80 ≤ r11 ≤ 1,00 Sangat reliabel

0,60 ≤ r11 ˂ 0,80 Reliabel

0,40 ≤ r11 ˂ 0,60 Cukup reliabel

0,20 ≤ r11˂ 0,40 Agak reliabel

r11 < 0,20 Kurang reliabel


(Sumber: Arikunto, 2009:100)
Daya beda atau discriminating power suatu soal adalah seberapa jauh soal tersebut
dapat membedakan antara yang mampu dengan yang tidak mampu (menyerap materi
pelajaran). Jadi, suatu butir soal dikatakan memiliki daya pembeda bila soal tersebut
mampu membedakan keadaan yang diukur, apabila memang keadaannya berbeda.
Formulasi untuk mengetahui daya beda suatu butir soal adalah sebagai berikut:

D= ................... (11)

Keterangan:
ƩA = banyaknya kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
ƩB = banyaknya kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
n = banyaknya peserta kelompok atas/bawah

Tabel 5. Interpretasi Daya Beda


Daya Beda (D) Interprestasi atau Penafsiran Daya Beda
D ≥ 0,40 Bagus sekali
0,30 ≤ D < 0,40 Cukup bagus, tetapi perlu peningkatan
0,20 ≤ D < 0,30 Belum memuaskan, perlu perbaikan
D < 0,20 Jelek dan harus dibuang

(Sumber: Arikunto, 2009:210)

Tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk soal dijawab benar pada tingkat
kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan dalam bentuk indeks. Semakin tinggi
tingkat kesukaran, berarti soal tersebut semakin mudah. Sebaliknya, semakin rendah
tingkat kesukaran, soal semakin sulit. Indeks tingkat kesukaran (P) dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:

P= .................. (12)

Keterangan:
ƩX = jumlah peserta tes yang menjawab benar
N = jumlah peserta tes
Tabel 6. Interpretasi Tingkat Kesukaran
Tingkat Kesukaran (TK) Interprestasi atau Penafsiran TK
P < 0,30 Sukar
0,30 ≤ P ≤ 0,70 Sedang
P > 0,70 Mudah
(Sumber: Arikunto, 2009:218)

c. Certanty of Response Index (CRI)

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan Certanty of


Response Index (CRI). CRI ini merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat
kepastian siswa dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Skala CRI yang
dikemukakan oleh Saleem Hasan (1999) dalam Tayubi (2005) memiliki rentang dari
0–5 dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 7. Skala CRI Beserta Kriterianya


Skala CRI Kriteria
0 Totally guess answer
1 Almost guess
2 Not sure
3 Sure
4 Almost Certan
5 Certain

Penggunaan CRI seperti yang dikemukakan oleh Tayubi (2005) menyatakan bahwa
untuk membedakan antara yang tidak tahu konsep, mengalami miskonsepsi, dan tahu
konsep secara kelompok dinyatakan oleh tabel berikut.

Tabel 8. Ketentuan untuk Membedakan antara Tahu Konsep, Miskonsepsi dan Tidak
Tahu Konsep untuk Responden secara Kelompok
Kriteria
CRI rendah (< 2,5) CRI tinggi (>2,5)
jawaban
Jawaban benar tapi CRI rendah Jawaban benar dan rata-rata
Jawaban benar berarti tidak tahu konsep (lucky CRI tinggi berarti menguasai
guess) konsep dengan baik
Jawaban salah tetapi rata-rata
Jawaban salah dan CRI rendah
Jawaban salah CRI tinggi berarti terjadi
berarti tidak tahu konsep
miskonsepsi
Sumber: Tayubi (2005:4)
Pengelompokkan siswa berdasarkan kriteria jawaban tersebut ditentukan dengan
rumus berikut ini.

∑ ∑
∑ dan ∑ …. (13)

Sumber: Tayubi (2005:4)

Sedangkan fraksi untuk jawaban benar dan salah dinyatakan oleh persamaan berikut.

∑ ∑
dan …. (14)
∑ ∑

Sumber: Tayubi (2005:4)


= Kelompok siswa yang menjawab benar pada suatu soal
= Kelompok siswa yang menjawab salah pada suatu soal
∑ = Jumlah CRI tiap siswa yang menjawab benar pada suatu soal
∑ = Jumlah CRI tiap siswa yang menjawab benar pada suatu soal
∑ = Jumlah siswa yang menjawab benar
∑ = Jumlah siswa yang menjawab salah
∑ = jumlah siswa dalam suatu kelompok
d. Analisis Miskonsepsi
Dari uji coba II diperoleh data kemungkinan pola jawaban siswa yang dapat
dikategorikan dalam beberapa tingkat pemahaman seperti disajikan pada Tabel 8.

Tabel 9. Kemungkinan Pola Jawaban Siswa dan Kategorinya


No. Pola Jawaban Siswa Kategori Tingkat Pemahaman

1. Jawaban inti tes benar-alasan benar-yakin Tahu konsep

2. Jawaban inti tes benar-alasan benar-tidak yakin Tidak tahu konsep

3. Jawaban inti tes benar-alasan salah-yakin Miskonsepsi

4. Jawaban inti tes benar-alasan salah-tidak yakin Tidak tahu konsep

5. Jawaban inti tes salah-alasan benar-yakin Miskonsepsi

6. Jawaban inti tes salah-alasan benar-tidak yakin Tidak tahu konsep

7. Jawaban inti tes salah-alasan salah-yakin Miskonsepsi

8. Jawaban inti tes salah-alasan salah-tidak yakin Tidak tahu konsep


O. Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara

Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta : Bumi Aksara

Astari, Riana Dewi. Pengembangan Three-Tier Test sebagai Instrumen dalam


Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep Atom, Ion, dan Molekul. (online),
(http://digilib.uin-suka.ac.id/8186/1/BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf, diunduh
pada 04/01/2015)

Budiningsih, Sri. Pengembangan Instrumen Diagnostik Three-Tier untuk


Mengidentifikasi Miskonsepsi Listrik Dinamis Siswa Kelas X SMA. (online),
(http://fisika.um.ac.id/download/doc-artikelaningbd.html, diunduh pada 04/01/2015)

Depdiknas. 2007. Tes Diagnostik- Pedoman Pengembangan Tes Diagnostik Mata


Pelajaran IPA SMP/MTs

Giancolli, Douglas C. 2001. Fisika Edisi Kedua. Jakarta:Erlangga

Ismail, T. 2007. Pengembangan Modul Ekosistem Untuk Pembelajaran Sains di SMP


kelas VII dengan Model Pembelajaran Siklus Belajar yang Berorientasi
Konstruktivis. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang

Nurachmandani, Setya.2009. Fisika I untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta : Pusat Perbukuan,


Departemen Pendidikan Nasional

Pesman, Haki and Eryilmaz, Ali. 2010. Development of a Three-Tier Test to Assess
Misconceptions About Simple Electric Circuits. The Journal Of Educational Research.
103: 208-222

Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D. Bandung : Alfabeta

Suparno, Paul. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika.
Jakarta: PT.Grasindo

Tayubi, Yuyu Rachmat. 2005. Identifikasi Miskonsepsi Pada Konsep – konsep Fisika
Menggunakan Certainty of Response Index (CRI), No.3

Usodo, Budi. 2001. Pengembangan Tes Diagnostik dan Pengajaran Remediasi pada
Materi Pokok Pecahan Siswa Kelas V SD. Tesis yang tidak dipublikasikan. Surabaya:
Pascasarjana unesa

Anda mungkin juga menyukai