PRA-PROPOSAL
DISUSUN OLEH:
RIYADLOTUL MUNAWAROH
(12030184011)
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSTIK THREE-TIER UNTUK
MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI PADA MATERI ALAT OPTIK SISWA
KELAS X SMA
A. Latar Belakang
Mata pelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang sering dianggap
sulit oleh sebagian besar siswa. Mata pelajaran ini menuntut intelektualitas yang relatif
tinggi dan dibutuhkan suatu keterampilan berpikir untuk mempelajarinya. Dalam mata
pelajaran fisika ini, setiap konsep baru seringkali menuntut pemahaman siswa atas
konsep sebelumnya. Oleh karena itu bila terjadi kesalahpahaman konsep dalam belajar
pada salah satu materi pokok, maka akan berdampak pada jenjang pendidikan
berikutnya. Mengingat begitu pentingnya peranan ilmu fisika, sudah semestinya ilmu ini
dipahami dengan baik oleh siswa. Fakta yang sering ditemukan saat ini, para pendidik
sering menemukan bahwa siswa mempunyai konsep yang berbeda dengan konsep yang
diterima oleh para ahli. Konsep yang berbeda itu sering disebut dengan miskonsepsi.
Miskonsepsi atau salah konsep merupakan suatu konsep yang tidak sesuai dengan
konsep yang diakui oleh para ahli (Suparno, 2013: 4).
Ketika belajar materi fisika, banyak siswa yang merasa bahwa materi “Alat Optik”
merupakan materi yang sulit untuk dipelajari. Pada materi ini, konsep-konsep fisika yang
terkait di dalamnya sangat kompleks dan istilah-istilah baru juga perlu dijelaskan lebih
lanjut oleh guru agar tidak mengalami miskonsepsi. Terkadang, guru-guru yang sudah
mengajar pun masih mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi ini.
Dalam konteks hasil belajar, siswa merupakan fokus utama yang menjadi peran
dalam miskonsepsi ini. Masih banyak siswa yang pengusaan konsep dasarnya kurang
atau di bawah standar, sehingga kesalahan yang berasal dari siswa ini akan menimbulkan
miskonsepsi pada dirinya. Miskonsepsi atau kesalahan konsep yang dialami siswa bisa
juga dikarenakan kemampuan siswa dalam fisika lemah karena kurangnya latihan soal-
soal serta daya tangkap siswa yang rendah terhadap materi yang diajarkan atau diberikan.
Selain dari siswa sendiri, miskonsepsi juga dapat berasal dari guru yang mengajarnya.
Hal ini dikarenakan guru tidak menguasai konsep yang benar dari bahan ajar ataupun
jika guru menguasainya, guru tersebut menjelaskannya secara tidak tepat, sehingga
menimbulkan miskonsepsi pada siswanya. Hal ini menyebabkan kesalahan yang dimiliki
saat ini menyebar secara terus menerus kepada anak didiknya dari tahun ke tahun.
Miskonsepsi siswa seringkali juga disebabkan oleh tidak relevannya buku ajar yang
digunakan. Ketidakrelevanan buku ajar yang digunakan seringkali ditemukan dalam
pembahasan soal terkait dengan materi yang diberikan.
Miskonsepsi yang seringkali dialami oleh siswa terkait materi “Alat Optik” yaitu
mengenai konsep dasar, misalnya terjadinya pembiasan pada lensa. Menurut siswa, sinar
datang pada lensa cembung atau cekung tidak dibiaskan pada permukaan lensa tetapi
pada tengah lensa. Dengan kata lain, permukaan lensa dan ketebalan lensa tidak
berpengaruh pada proses pembiasan cahaya. Hal ini menimbulkan miskonsepsi pada
siswa, karena kenyataannya cahaya itu dibiaskan justru pada permukaan lensa
disebabkan adanya perbedaan indeks bias dari dua medium yaitu udara dan kaca atau
kaca dan udara.
Adanya miskonsepsi yang dimiliki siswa akan sangat menghambat pada proses
penerimaan dan asimilasi pengetahuan-pengetahuan baru dalam diri siswa, sehingga
akan menghalangi keberhasilan siswa dalam proses belajar lebih lanjut. Ini merupakan
masalah besar dalam pengajaran fisika yang tidak bisa dibiarkan. Seiring dengan
tumbuhnya kesadaran akan hal tersebut, maka berbagai upaya untuk menanggulangi
masalah miskonsepsi ini terus dikembangkan, meskipun hasilnya belum begitu
menggembirakan. Upaya yang diterapkan guru saat ini untuk meminimalisir miskonsepsi
tersebut adalah dengan memberikan tugas-tugas yang biasanya diberikan secara spontan
dalam kelas. Selain itu guru juga melakukan tes lisan pada masing-masing individu
untuk mengetahui letak kelemahan siswa dalam memahami konsep materi yang
diajarkan.
Akan tetapi sebenarnya permasalahan yang ada saat ini tidak terletak pada upaya
penanggulangan miskonsepsi yang dialami siswa, namun terdapat persoalan yang lebih
mendasar dan sangat penting dalam masalah miskonsepsi ini, yaitu masalah
pengidentifikasian terjadinya miskonsepsi. Hingga saat ini masih terdapat kesulitan
dalam membedakan antara siswa-siswa yang miskonsepsi dan yang tidak tahu konsep.
Tanpa dapat membedakan keduanya, akan sulit untuk menentukan langkah
penanggulangannya, sebab cara penanggulangan untuk siswa yang mengalami
miskonsepsi akan berbeda dengan siswa yang tidak tahu konsep. Kesalahan
pengidentifikasian akan menyebabkan kesalahan dalam cara penanggulangannya dan
hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh
pada upaya penanggulangannya, terlebih dahulu para pendidik harus memiliki
pengetahuan dan kemampuan mengidentifikasi miskonsepsi secara tepat, yang setiap saat
dapat digunakan pada proses belajar mengajarnya.
Sebagai salah satu alternatif yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi
adalah Certainty of Response Index (CRI) yang dikembangkan oleh Saleem Hasan dan
Keith Adams (2002). Cara mengetahui kemampuan siswa adalah dengan memberikan tes
pilihan ganda yang bersifat pemahaman konsep yang disertai dengan alasan kepastian
jawaban. Instrumen diagnostik three-tier merupakan salah satu instrumen yang
digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi. Instrumen diagnostik three-tier ini
berupa pilihan ganda tiga tingkat dengan tier pertama merupakan soal pilihan ganda
biasa, tier kedua merupakan alasan dari pilihan jawaban, dan tier ketiga merupakan
derajat keyakinan untuk meyakinkan respon siswa, sehingga peneliti memperoleh
informasi lebih banyak tentang miskonsepsi siswa dan dapat membedakan dengan siswa
yang kurang memahami konsep atau tidak tahu konsep.
Berdasarkan uraian di atas mengenai kesulitan yang dihadapi siswa dalam
pembelajaran fisika terutama pada materi “Alat Optik” dan miskonsepsi yang
dialaminya, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Pengembangan Instrumen
Diagnostik Three-Tier untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Materi Alat Optik Siswa
Kelas X SMA”. Dengan harapan agar hasil dari pendidikan yang bermutu menjadikan
siswa yang cerdas, mandiri, beretos kerja tinggi, berpengetahuan luas, dan menguasai
teknologi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk
mengidentifikasi miskonsepsi pada materi Alat Optik?
2. Bagaimana kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang
telah dikembangkan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk mengidentifikasi
miskonsepsi pada materi Alat Optik.
2. Menguji kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang
telah dikembangkan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi Siswa
Siswa diharapkan dapat mengetahui letak kelemahan yang menyebabkan
miskonsepsi dalam memahami konsep, khususnya pada materi Alat Optik,
sehingga siswa dapat memperbaikinya dalam upaya mencapai ketuntasan.
2. Bagi Guru
Guru diharapkan dapat mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa, sehingga
guru dapat melakukan tindak lanjut terhadap informasi yang diperoleh. Tes
diagnostik ini dapat digunakan guru sebagai alat ukur alternatif untuk mengetahui
tingkat pemahaman konsep siswa.
Di dalam retina terdapat saraf mata yang sangat sensitif terhadap cahaya.
Otak akan menerima informasi tentang benda yang kita lihat, informasi ini
dikirimkan oleh retina melalui saraf-saraf mata. Informasi benda-benda yang kita
lihat akan dikirimkan ke otak dan otak akan mengolahnya sehingga kita dapat
melihat benda sesuai dengan sebenarnya, tidak terbalik seperti yang ditangkap
retina. Kemampuan akomodasi mata setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang
tidak dapat melihat benda yang jauh atau dekat. Orang yang mengalami gangguan
seperti ini dikatakan orang tersebut memiliki cacat mata. Berikut adalah jenis-
jenis cacat mata pada manusia.
a. Rabun Dekat (Hipermetropi)
Rabun dekat atau hipermetropi terjadi jika mata tidak dapat melihat
benda-benda yang jaraknya dekat. Hal ini dikarenakan fokus lensa mata
mempunyai jarak yang terlalu panjang. Akibatnya bayangan akan jatuh di
belakang retina. Untuk membantu penderita rabun dekat, lensa mata perlu
dibantu dengan kacamata yang memiliki lensa cembung agar bayangan
yang dibentuk oleh lensa mata jatuh tepat pada retina.
Gambar 3. Hipermetropi
Sumber: Giancolli, 2001
b. Rabun Jauh (Miopi)
Mata yang mengalami rabun jauh (miopi) tidak dapat melihat benda-
benda yang jaraknya jauh. Hal ini disebabkan lensa mata tidak dapat
memipih untuk memperkecil jarak fokusnya. Bayangan yang dibentuk
oleh lensa mata yang mengalami cacat mata rabun jauh akan jatuh berada
di depan retina. Untuk membantu penderita rabun jauh digunakan
kacamata yang mempunyai lensa cekung. Lensa cekung ini akan
membantu lensa mata sehingga bayangan yang tadinya jatuh di depan
retina akan jatuh tepat di retina.
Gambar 4. Miopi
Sumber: Giancolli, 2001
c. Presbiopi
Cacat mata presbiopi ini banyak dialami oleh orang-orang lanjut usia.
Penderita cacat mata ini tidak dapat melihat benda-benda yang jaraknya
jauh atau dekat. Hal ini dikarenakan menurunnya daya akomodasi lensa
mata. Untuk membantu penderita cacat mata ini, digunakan kacamata
yang mempunyai lensa ganda yaitu lensa cembung dan lensa cekung.
Kekuatan lensa merupakan kemampuan lensa untuk memfokuskan sinar-sinar,
makin kuat lensa memfokuskan sinar akan makin besar kekuatan lensanya.
Kekuatan lensa dilambangkan dengan P (power) yang dirumuskan sebagai
berikut:
........ (1)
Keterangan:
= kekuatan lensa (dioptri)
= jarak fokus (meter)
b. Kamera
Kamera merupakan salah satu alat optik yang besar manfaatnya karena dapat
mengabadikan kejadian-kejadian penting dan bersejarah. Kamera terdiri atas tiga
bagian utama, yaitu lensa, diafragma, dan film. Cara kerja kamera adalah sebagai
berikut. Benda yang akan diambil gambarnya diletakkan di depan kamera.
Cahaya yang berasal dari objek tersebut akan diterima oleh lensa cembung dan
akan dibiaskan sehingga membentuk bayangan nyata di film. Kedudukan lensa
terhadap film dapat diubah-ubah. Hal ini dimaksudkan agar bayangan yang
terbentuk jatuh tepat di atas film. Pada film, terdapat zat kimia yang peka
terhadap cahaya. Cahaya gelap dan cahaya terang masing-masing akan
meninggalkan jejak yang berbeda pada kamera. Dari film, gambar tersebut dapat
dicuci dan dicetak. Bayangan yang dibentuk pada film kamera bersifat nyata,
terbalik, dan diperkecil.
c. Lup
Lup adalah alat optik yang menggunakan lensa cembung untuk melihat
benda-benda kecil. Agar benda terlihat, maka benda diletakkan di antara titik
pusat (O) dan titik fokus (F) sehingga terbentuk bayangan yang bersifat maya,
tegak, dan diperbesar. Saat bayangan terbentuk di titik dekat mata, maka mata
berakomodasi maksimum. Perbesaran bayangan pada lup ketika mata
berakomodasi maksimum dirumuskan sebagai berikut:
......... (2)
Jika ingin mengamati benda dengan lup tanpa berakomodasi, maka benda
diletakkan tepat di titik fokus lensa sehingga yang masuk ke mata berupa sinar
sejajar. Ini dikatakan mengamati dengan mata tidak berakomodasi.
Perbesaran bayangan pada lup ketika mata tidak berakomodasi dirumuskan
sebagai berikut:
............ (3)
Bayangan yang dibentuk oleh lensa objektif bersifat nyata, terbalik dan
diperbesar. Bayangan yang dibentuk oleh lensa objektif akan menjadi benda bagi
lensa okuler. Bila diamati dengan mata berakomodasi, maka benda (bayangan
dari lensa objektif) diletakkan di antara titik pusat lensa okuler ( ) dan titik
fokus okuler ( ). Sedangkan jika diamati dengan mata tanpa berakomodasi,
maka benda (bayangan dari lensa objektif) diletakkan di titik fokus lensa okuler
( ). Bayangan yang dibentuk oleh lensa okuler bersifat maya, tegak, dan
diperbesar. Bayangan akhir yang dibentuk adalah maya, terbalik dan diperbesar.
Bayangan ini dapat dilihat mata pengamat. Bayangan ini telah mengalami
perbesaran beberapa kali lipat sehingga benda yang sangat kecil akan tampak
besar.
Perbesaran bayangan pada mikroskop ketika mata berakomodasi maksimum
dirumuskan sebagai berikut:
( ) ( ) ............... (4)
Agar mata berakomodasi maksimum, jarak lensa objektif dan lensa okuler
dirumuskan:
( ) .................(5)
( ) ( ) ............... (6)
Agar mata tidak berakomodasi, jarak lensa objektif dan lensa okuler dirumuskan:
............... (7)
e. Teleskop (Teropong)
Teropong merupakan alat optik yang digunakan sebagai alat untuk melihat
benda yang letaknya jauh. Teropong dibedakan menjadi dua yaitu teropong bias
(tersusun atas beberapa lensa) dan teropong pantul (tersusun atas beberapa cermin
dan lensa). Teropong bias antara lain teropong bintang (astronomi), teropong
bumi, dan teropong panggung (teropong Galileo).
Teropong ini terdiri atas dua buah lensa cembung yaitu lensa objektif dan
lensa okuler. Lensa objektif digunakan untuk menangkap cahaya dari benda-
benda yang jauh. Karena jaraknya jauh, benda dapat dianggap diletakkan di luar
2F. Dengan demikian bayangan yang dibentuknya adalah nyata, terbalik, dan
diperkecil. Bayangan dari lensa objektif ini menjadi benda bagi lensa okuler.
Oleh lensa okuler, bayangan ini dibiaskan lagi sehingga membentuk bayangan
yang maya, tegak, dan diperbesar dan dapat dilihat dengan mata.Bayangan yang
dihasilkan teropong bintang adalah terbalik.
f. Periskop
Periskop adalah teropong pada kapal selam yang digunakan untuk
mengamati benda-benda di permukaan laut. Periskop terdiri atas 2 lensa cembug
dan 2 prisma siku-siku sama kaki.
Latar Belakang:
Miskonsepsi siswa dalam memahami suatu konsep dalam fisika perlu dianalisis untuk
mengetahui penyebabnya, sehingga dapat ditentukan pemecahannya. Hal ini dapat
dilakukan dengan penilaian menggunakan instrumen yang sudah diuji kelayakannya.
Fakta: Harapan:
- Guru sering menemukan siswa yang - Guru harus memiliki kemampuan
mengalami miskonsepsi. mengidentifikasi miskonsepsi secara
- Hingga saat ini masih terdapat tepat.
kesulitan dalam membedakan antara - Instrumen diagnostik trhee-tier
siswa-siswa yang miskonsepsi dan digunakan untuk mengidentifikasi
yang tidak tahu konsep. miskonsepsi yang dialami siswa.
Masalah:
- Bagaimana mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk mengidentifikasi
miskonsepsi pada materi Alat Optik?
- Bagaimana kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang
telah dikembangkan?
Usulan:
Pengembangan Instrumen Diagnostik Three-Tier untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi
pada Materi Alat Optik Siswa Kelas X SMA
I. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian pengembangan, yaitu untuk mengembangkan
tes diagnostik (diagnostic test) dengan three-tier multiple choice pada materi Alat Optik
untuk siswa SMA kelas X. Penelitian pengembangan soal ini menggunakan metode
penelitian Research and Development (R&D).
J. Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Trenggalek dengan subyek penelitian yaitu
siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 4 SMA Negeri 1 Trenggalek dan 10 siswa kelas X
yang belum tuntas pada materi Alat Optik sebagai sampel uji coba terbatas.
K. Waktu Penelitian
Tahap pengembangan soal dilakukan di Universitas Negeri Surabaya pada bulan Mei
2016 – April 2016. Tahap uji coba soal dilakukan di SMA Negeri 1 Trenggalek semester
genap tahun ajaran 2015/2016 pada bulan April 2016.
L. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian pengembangan tes diagnostik dalam penelitian ini:
M. Instrumen Penelitian
1. Lembar Validasi
Tim ahli melakukan validasi terhadap perangkat yang telah disusun oleh peneliti,
tim ahli terdiri dari dosen fisika dan guru mata pelajaran fisika.
2. Perangkat Tes Diagnostik
Perangkat tes diagnotik yang dikembangkan kisi-kisi soal dan butir soal. Kisi-kisi
soal dan butir soal disusun berdasarkan kompetensi dasar, diujicobakan kepada siswa
yang telah mempelajari materi Alat Optik. Hasil tes siswa selanjutnya dapat
digunakan untuk menentukan siswa mana yang membutuhkan penanganan lebih atau
sedang kemudian ditentukan solusinya. Hasilnya kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil nilai dalam skala presentase menyatakan instrumen tersebut valid atau perlu
revisi ulang. Kriteria kevalidan instrumen tes dibagi menjadi empat kriteri seperti
pada Tabel 2.
N = jumlah subjek
x = skor suatu butir/item yang dijawab benar oleh siswa
y = jumlah/skor total yang dijawab oleh masing-masing siswa
Tabel 3. Interpretasi Validitas
Validitas Interpretasi Validitas
Reliabilitas diterjemahkan dari kata reliability yang berarti hal yang dapat
dipercaya (tahan uji). Sebuah tes dikatakan mempunyai reliabilitas yang tinggi jika tes
tersebut memberikan data yang ajeg (tetap) walaupun diberikan pada waktu yang
berbeda kepada responden yang sama. Salah satu teknik perhitungan reliabilitas
adalah formula Spearman-Brown, formula ini hanya dapat diterapkan pada soal yang
mempunyai jumlah butir genap. Formulanya adalah sebagai berikut:
Keterangan:
D= ................... (11)
Keterangan:
ƩA = banyaknya kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
ƩB = banyaknya kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
n = banyaknya peserta kelompok atas/bawah
Tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk soal dijawab benar pada tingkat
kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan dalam bentuk indeks. Semakin tinggi
tingkat kesukaran, berarti soal tersebut semakin mudah. Sebaliknya, semakin rendah
tingkat kesukaran, soal semakin sulit. Indeks tingkat kesukaran (P) dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
P= .................. (12)
Keterangan:
ƩX = jumlah peserta tes yang menjawab benar
N = jumlah peserta tes
Tabel 6. Interpretasi Tingkat Kesukaran
Tingkat Kesukaran (TK) Interprestasi atau Penafsiran TK
P < 0,30 Sukar
0,30 ≤ P ≤ 0,70 Sedang
P > 0,70 Mudah
(Sumber: Arikunto, 2009:218)
Penggunaan CRI seperti yang dikemukakan oleh Tayubi (2005) menyatakan bahwa
untuk membedakan antara yang tidak tahu konsep, mengalami miskonsepsi, dan tahu
konsep secara kelompok dinyatakan oleh tabel berikut.
Tabel 8. Ketentuan untuk Membedakan antara Tahu Konsep, Miskonsepsi dan Tidak
Tahu Konsep untuk Responden secara Kelompok
Kriteria
CRI rendah (< 2,5) CRI tinggi (>2,5)
jawaban
Jawaban benar tapi CRI rendah Jawaban benar dan rata-rata
Jawaban benar berarti tidak tahu konsep (lucky CRI tinggi berarti menguasai
guess) konsep dengan baik
Jawaban salah tetapi rata-rata
Jawaban salah dan CRI rendah
Jawaban salah CRI tinggi berarti terjadi
berarti tidak tahu konsep
miskonsepsi
Sumber: Tayubi (2005:4)
Pengelompokkan siswa berdasarkan kriteria jawaban tersebut ditentukan dengan
rumus berikut ini.
∑ ∑
∑ dan ∑ …. (13)
Sedangkan fraksi untuk jawaban benar dan salah dinyatakan oleh persamaan berikut.
∑ ∑
dan …. (14)
∑ ∑
Pesman, Haki and Eryilmaz, Ali. 2010. Development of a Three-Tier Test to Assess
Misconceptions About Simple Electric Circuits. The Journal Of Educational Research.
103: 208-222
Suparno, Paul. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika.
Jakarta: PT.Grasindo
Tayubi, Yuyu Rachmat. 2005. Identifikasi Miskonsepsi Pada Konsep – konsep Fisika
Menggunakan Certainty of Response Index (CRI), No.3
Usodo, Budi. 2001. Pengembangan Tes Diagnostik dan Pengajaran Remediasi pada
Materi Pokok Pecahan Siswa Kelas V SD. Tesis yang tidak dipublikasikan. Surabaya:
Pascasarjana unesa