Anda di halaman 1dari 290

Seminar Nasional

Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional


Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
cover

i
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas ijin dan perkenan-Nya kegiatan Seminar
Nasional “Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas (Complexity and System Science) Dalam
Pengembangan Agribisnis Nasional” ini dapat kita laksanakan dengan baik. Buku ini adalah
prosiding kegiatan yang secara garis besar berisi rumusan pemikiran peserta Seminar Nasional
yang membahas kompleksitas agribisnis di Indonesia dengan menggunakan sudut pandang
kesisteman.
Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 200-an (dua ratus) orang peserta, yang berasal dari berbagai
kelembagaan terkait sistem agribisnis di Indonesia. Peserta terdiri dari perguruan tinggi di
Indonesia, instansi pemerintah pusat dan daerah, serta pelaku agribisnis skala usaha besar dan
skala usaha kecil.
Kami mengucapkan banyak terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya atas kehadiran
seluruh peserta dalam kegiatan ini. Secara khusus ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
nara sumber dalam seminar, kepada Prof. Kuntoro Mangkusubroto (Kepala Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan/UKP4) yang telah bersedia menjadi
pembicara kunci, kepada Martin M. Widjaja (Managing Director PT. Sewu Segar
Nusantara/Sunpride), Zaldy Ilham Masita (Ketua Asosiasi Logistik Indonesia), Ir. Nono Rusono,
PG.DIP.Agr.Sci.Msi (Direktur Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas), Prof. Dr. Utomo Sarjono Putro (SBM-ITB), Ir. Iskandar Kartabrata, ME. (Senior
Manager Agri Services PT Sucofindo), dan Harry Baskoro, SE, MSc (Bank Indonesia) yang telah
bersedia menjadi pembicara utama.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu
terlaksananya kegiatan ini, khususnya kepada Rektor Universitas Padjadjaran dan seluruh staf
Rektorat Universitas Padjadjaran. Selanjutnya kami menyampaikan terimakasih kepada Dekan
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, serta kepada Ketua Jurusan dan seluruh staf di Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Padjadjaran.
Terakhir, kami berharap kegiatan ini dapat memberi kontribusi yang berarti dalam pengembangan
agribisnis di Indonesia. Melalui kerjasama yang baik antara akademisi, pengusaha dan pemerintah
diharapkan agribisnis dapat menjadi akslerator percepatan pembangunan sektor pertanian yang
berdaya saing.
Jatinangor, November 2013

Panitia Pelaksana

ii
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Daftar Isi

cover ........................................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................................... ii
Daftar Isi ....................................................................................................................................................iii
1.Penggunaan Artificial Neural Network Untuk Pengenalan Pola: Penerimaan Dan Pendapatan Petani
Tebu ......................................................................................................................................................... 1
2. Simulasi Kejadian Diskret Pada Perancangan Manajemen Logistik Di Unit Layanan Logistik Pertanian:
Studi Kasus Di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung .................................................................... 2
3.Employing Agent-Based Simulation Approach To Understand The Behavior Of Domestic Beef-Cattle
Production ................................................................................................................................................ 3
4.Identifikasi Faktor Penentu Kinerja Koperasi Unit Desa (Kud) Di Daerah Istimewa Yogyakarta ................ 5
5.Pentingnya Pendekatan Sistem Dalam Menganalisis Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non PertanianDi
Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah .................................................................................................. 14
6.Akses Multipihak Dalam Sistem Pengelolaan Perikanan Rajungan (Portunus Pelagicus Linn.) Di
Kabupaten Barru ..................................................................................................................................... 21
7.Membangun Kejayaan Perkebunan Teh Rakyat(Building The Fame Of Tea Small Plantation) ............. 28
8.Upaya Meningkatkan Ketersediaan Sapi Bali Bakalan Melalui Pendekatan Klaster Agribisnis ................ 35
9.Memahami Kemitraan Pada Rantai Pasok Cabai Merah Besar Dengan Pendekatan Berpikir Sistem ..... 43
10.Analisis Kolaborasi Antar Pelaku Dalam Rantai Pasok Pada Klaster Cabai Merah (Capsicum Annum L.) 53
11.Model Swasembada Beras Yang Berkelanjutan: Pendekatan Sistem Dinamis...................................... 62
12.Pengelolaan Risiko Produksi Agribisnis Cabai Merah Dengan Berpikir Sistem ..................................... 74
13.Analisis Komposisi Kedelai Impor Dan LokalsebagaiBahan Baku Utama Tahu Sumedang .................... 81
14.Strategi Pengembangan Agribisnis Singkong Di Kabupaten Trenggalek ............................................... 89
15.Strategi Pengembangan Supply Chain Rumput Laut Di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku
............................................................................................................................................................... 97
16.Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mangga Terlibat Dalamsistem
Informaldenganpedagang Pengumpul................................................................................................... 107
17.Analisis Faktor Penentu Keikutsertaan Penjual Dan Pembelike Pasar Lelang Teh ................... 109
18.Tinjauan Keselarasan Sumberdaya Manusia Sektor Pertanian Di Indonesia ...................................... 117
19.Perilaku Petani Bawang Merah Dalam Mereduksi Risiko Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan
Produktivitas Usahatani ........................................................................................................................ 128
20.Bisnis Sosial Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani Padi ........................................................... 137
iii
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
21.Penguatan Home Industri Keripik Buah Melalui Perbaikan Teknologi Proses Produksi Dan Rekayasa 145
22.Analisis Finansial Sapi Sonok Di Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan ........................................ 151
23.Analisis Keuntungan Agribisnis Jagal Sapi Berdasarkan Sistem Pengadaan Dan Penjualan................. 159
24.Pemberdayaan Kelompok Tani Hutan (Kth) Melalui Pengembangan Agribisnis Kopi Arabika ............ 167
25.Peran Aktor Dan Sistem Insentif Dalam Tataniaga Kopi Rakyat Di Jawa Timur................................... 174
26.Perbedaan Supply Chain Produk Sapi Perah Sistem Kemitraan dan Mandiri di Propinsi Sulawesi
Selatan................................................................................................................................................. 182
27.Analisis Perbandingan Pendapatan Antara Tehnik Intensifikasi, Peremajaan Dan Rehabilitasi Usahatani
Kakao.................................................................................................................................................... 190
28.Membangun Kewirausahaan Berbasis Pemberdayaan Kelompok Wanita Tani (Kwt) Di Kabupaten Garut
............................................................................................................................................................. 197
29.The Roles And Contributions Of Cooperative In The Large Dairy Cow Commodity Chain In East Java,
Indonesia ............................................................................................................................................... 202
30.Peranan Teknologi Sistem Informasi Terhadap Perkembangan Dan Implementasi Pendidikan Pertanian
Dalam Bidang Agribisnis ........................................................................................................................ 210
31.Analisis Komparasi Saluran Pasar Tradisional Dan Modern Pada Komoditas Sayuran Di Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung ......................................................................................................... 217
32.Keragaan Struktur Pasar Input, Intermediet Dan Output Pada Peternak Sapi Madura Di Kabupaten
Bangkalan ............................................................................................................................................. 227
34.Technical Skills Of The Dairy Farm Entrepreneurs (Case Study: Malang, East Java And Bogor, West Java)
............................................................................................................................................................. 240
36.The Entrepreneurial Competence And Business Performance Of Dairy Farmers ............................... 253
37.Pengembangan Model Pembiayaan Rantai Pasok Agribisnis Pada Sistem Produksi Komoditas Cabai
Merah Dengan Orientasi Pasar Terstruktur ........................................................................................... 261
38.Peran Lembaga Keuangan Mikro Terhadap Penguatan Usahatani Kentang Di Kecamatan
Sukapura Kabupaten Probolinggo ......................................................................................................... 263
39.Persepsi Dan Prilaku Produsen Dan Konsumen Terhadap Label Asal Daerah (Origin Labelling) Pada
Mangga Gedong Gincu (Mangifera Indica Var.Gedong) ......................................................................... 272
40.Deskripsi Agribisnis Padi Organikdengan Pendekatan Soft System Methodology(Studi Kasus Di
Kabupaten Tasikmalaya) ....................................................................................................................... 274
41.Model Perilaku Petani Dalam Adopsi Sistem Usahatani Padi Organik: Paradoks Sosial-Ekonomi-
Lingkungan ........................................................................................................................................... 285

iv
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

1.PENGGUNAAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK UNTUK


PENGENALAN POLA: PENERIMAAN DAN PENDAPATAN PETANI TEBU
ARTIFICIAL NEURAL NETWORK IMPLEMENTATION FOR PATTERN
RECOGNITION: REVENUE AND INCOME OF SUGARCANE FARMERS
Cungki Kusdarjito1 dan Any Suryantini2
Universitas Janabadra, Fakultas Pertanian, Jalan Tentara Rakyat Mataram 55-57 Yogyakarta
Universitas Gadjah Mada, Fakultas Pertanian, Jl Flora, Bulaksumur, Yogyakarta
Email: ckusdarjito@janabadra.ac.id
ABSTRAK
Selama ini sebagian besar analisis dalam bidang pertanian, khususnya agribisnis dan sosial ekonomi
pertanian menggunakan pendekatan ekonometrika dengan mendasarkan pada asumsi “linieritas”.
Pendekatan ini memberikan keunggulan dalam analisis ekonomi, seperti elastistas, return to scales, ataupun
analisis fungsi permintaan dan penawaran dapat diketahui dengan mudah. Meskipun demikian, saat ini
disadari bahwa permasalahan dalam bidang pertanian tidak sesederhana yang diasumsikan. Fungsi yang
dianalisis mungkin merupakan fungsi polynomial. Beberapa variabel mungkin tidak dapat didefinisikan
dengan jelas (khususnya variabel sosial). Oleh karena itu, penggunaan softcomputing seperti model saraf
buatan (artificialneuralnetwork), geneticalgorithm, fuzzylogic mulai banyak dipergunakan untuk memecahkan
berbagai persoalan dalam bidang ilmu ekonomi, kedokteran ataupun teknik.Berkaitan dengan hal tersebut,
tulisan ini memberikan ilustrasi penggunaan model saraf buatan dalam bidang pertanian dengan mengambil
kasus pada tanaman tebu. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan multilayersnetworkssebanyak
empat lapis dan proses belajar menggunakan algoritma backpropagation. Proses pembelajaran dilakukan
sampai terjadi overtraining untuk memetakan pola hubungan faktorpenentu penerimaan dan pendapatan
petani tebu. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa biaya sewa lahan, bibit, pestisida dan tenaga kerja
memiliki kontribusi yang besar dalam mempengarui penerimaan dan pendapatan petani. Biaya sewa lahan
yang tinggi dengan penggunaan biaya kerja yang rendah akan menekan pendapatan petani sehingga usaha
tani tebu harus diusahakan secara intensif. Selain itu, biaya modal sendiri cenderung lebih menekan
pendapatan dibandingkan dengan modal pinjaman.
Kata Kunci: neural network, linearitas, polynomial
ABSTRACT
Currently, most analyses in agribusiness uses economteric approach since it excels in economics
interpretation such as elasticity, return to scales, supply and demand, and so on, In econometrics, most of
the analyses are assumed to be linear, yet themodelsare quite sensitive to multicolinierities. Moreover, most
of the problems in agriculture are complex, mostly non linier or polynomial and sometime hazzy, especially
for the social variables. Therefore, soft computing such as artificial neural network, fuzzy logic, genetic
algorithm should be used. This paper investigates the impacts of input, reflectedas cost, on revenue and
income of the sugarcane farmers using multilayers artificial neural networks. The learning algorithm is back
propagation. The learning process is carried out 50.000 times until the model overtrained and the pattern
can be derived. The results indicate that the cost for renting land, seed (ratoon and planted combined),
pesticide and labour have major contribution on farmer‟s incomes and revenues. High proportion of cost for
renting land with lower labour cost will reduce farmers‟ income. Meanwhile, farmers with higher„internal‟ loan
have greater presure on farmers‟ income compare to those who have external loans.
Keywords:neural networks,linear,polynomia

1
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

2. SIMULASI KEJADIAN DISKRET PADA PERANCANGAN MANAJEMEN


LOGISTIK DI UNIT LAYANAN LOGISTIK PERTANIAN: STUDI KASUS DI
KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG
DISCRETE EVENT SIMULATION FOR DESIGNING OF LOGISTICS
MANAGEMENT IN AGRICULTURAL LOGISTICS SERVICES UNIT: A
CASE STUDY OF KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUN
Kusnandar1, Tomy Perdana2

1
Pusat Penelitian Perkembangan Iptek, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jalan Gatot Subroto no 10
Jakarta
2
Laboratorium Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas PadjadjaranJalan Raya Jatinangor Sumedang

Email: 1kussrai0779@yahoo.co.id, 2tomyp1973@yahoo.com


ABSTRAK
Salah satu tantangan dalam manajemen logistik pertanian adalah karakteristik produk yang mudah rusak
akibat proses biologis yang terus berlangsung setelah produk dipanen. Sementara itu di sisi lain, dinamika
pasar terus berkembang dengan tuntutan kualitas tinggi dan pasokan yang kontinyu. Salah satu unit layanan
logistik pertanian di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung berusaha untuk meningkatkan kualitas dan
kontinuitas pasokan yang dihasilkan oleh petani anggotanya, dengan tujuan utama pasarnya adalah pasar
terstruktur. Terdapat enam komoditi yang diusahakan denganproses penanganan pasca panen yang
berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model simulasi manajemen logistik dari unit layanan
logistik pertanian dengan tujuan memenuhi permintaan pasar, serta syarat waktu proses pengolahan dari
setelah panen sampai pengriman tidak lebih dari 6 jam. Kajian mengambil studi kasus di unit layanan logistik
pertanian di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Pendekatan yang digunakan adalah simulasi
kejadian diskrit yang merupakansimulasi dengan perubahan status dari model simulasi terjadi pada titik-titik
waktu yang diskret yang dipicu oleh kejadian.

Kata Kunci: manajemen logistik pertanian; n jenis komoditi; batas waktu penanganan;simulasi kejadian
diskret.
ABSTRACT
Perishable characteristics due to biological process is one of the challenge in logistics management of the
agricultural products. Meanwhile, the dynamics ofthe marketcontinues to growwiththe demands
ofhighqualityandcontinuoussupply. A Logistics services unit located at Kecamatan Pangalengan Kabupaten
Bandung seeks to increase the quality and continuity of product produced by farmer members, with the main
market is structured market. Sixcommoditiesthat havedifferencesin post-harvest handling are cultivated. The
aim of this research is to build a simulation model of logistics management of
agriculturallogisticsservicesunitsin order to meetthe market demand, with the termsofthe processingtime,
from harvest to shipments, is no more than 6 hours. A logistics services unit at Kecamatan Pangalengan
Kabupaten Bandung was taken as case study. Discreteevent simulation,one of thesimulation methode which
has characterics ofthechange instatus of the simulation modeloccurs attime pointsthatare causedby
discreteevents,was used an approach for building the model.
Keywords: agricultural logistics Management; commodities; processing time, discrete event simmulation
2
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
3.EMPLOYING AGENT-BASED SIMULATION APPROACH TO
UNDERSTAND THE BEHAVIOR OF DOMESTIC BEEF-CATTLE
PRODUCTION

1
Andre R Daud, 2Utomo S Putro, 2Dhanan S Utomo
1
Fak. Peternakan Univ. Padjadjaran, 2Sekolah Bisnis&ManajemenInstitutTeknologi Bandung

ardaud@unpad.ac.id, utomo@sbm-itb.ac.id, dhanan@sbm-itb.ac.id

ABSTRAK

Kajianinibertujuanuntukmendapatkangambaranmengenaiperilakuproduksidagingsapimelaluipendekatansimula
sipadadinamikapopulasisapipotongsecaraumum.Mode berbasis agen ( agent based model ) digunakan
sebagai representasi dari dinamika populasi tersebut .Penggunaan model ini didasarkan atas kemampuannya
dalam mengakomodasi karakteristik produksi sapi potong yang dirasakan cukup kompleks.Berdasarkan hasil
simulasi ,berbasis agen dapat menggambarkan dengan baik perilaku system produksi sapi potong serta
konsekuensinya pada produksi daging sapi saat ini .tulisan ini juga memaparkan beberapa implikasi dari
penggunaan model dan simulasi berbasis agen bagi kajian – kajian selanjutnya.

Kata kunci: sapipotong, dinamikapopulasi, modelberbasisagen, simulasi.

ABSTRACT

The purpose of this paper is mainly to understand the behavior of domestic beef production through
estimating the dynamics of domestic cattle population. Agent based model (ABM) approach and its simulation
is employed in this study. The main reason to use this approach is on its capability to accommodate the
complexity given existing characteristics in cattle and beef production system. Based on the findings, agent-
based model approach performs well in explaining the emergent behavior for agricultural production system,
especially cattle production system. Several important implications have also been drawn from this study.
Therefore, this study has generated several new insights that will be advantages for further studies.

Keyword: beef cattle, population dynamics, agent based model, simulation.

Introduction
The trend of rising import rate on beef and cattle is evident in Indonesia. Facts have shown that to fulfill the
domestic demand of beef, Indonesia has to rely on international supply. The quantity of import, both for
cattle and beef, is high if compared to other countries in Asia. Meat and Livestock Australia (MLA) had issued
a report on their cattle and beef export to Indonesia in 2011. In that period and previous year, Indonesia
had imported cattle as sixty to seventy thousand heads. This level of import had been accompanied by the
import of beef and beef product. MLA also recorded that in the current year, Indonesia is capable to import
as seventy thousand tons of beef a year, and around twenty thousand tons of edible offal to satisfy its
domestic demand. Many published data show that the rate of Indonesia‟s import of cattle and beef can be as
high as six to nine percent a year in the future.
Incapability of domestic beef production is often considered as the major reason for the increasing level of
importation. Thus, the current livestock policies are mainly aimed to expand the capacity to produce beef
domestically. In this context, it is important to understand the implication of current cattle population for
3
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
beef production. As a biological process, the level and the behavior of beef production are largely determined
by the characteristics of given production system. Based on this logic, any instrument that able to describe
the output from current population is required to determine some appropriate livestock policies. Principally,
the size and structure of cattle population is the basic information that is required to determine the level or
the behavior of particular beef production. Once they are known, one can generate any estimation and
prediction about the capacity of beef production in given certain period.
However, in the present time, there are limited numbers of work that address the cattle population aspect as
the determinants of beef production behavior. This may be driven by the availability of population data,
especially in many developed countries. If the data is readily available, production behavior does not have to
be estimated, on the contrary, it is counted. The problem is aroused when for any reason there is lack of
data, like mostly in the developing countries. The poor infrastructure for agricultural data collection results on
the very low availability of important data. In this case, to determine the level or the behavior of beef
production, one has to rely on the estimation from given cattle population and the characteristics of
production system.
Therefore, the purpose of this paper is mainly to estimate the behavior of beef production from given
structure of cattle population and production system. Specifically, there are two objectives that this paper
needs to achieve; that is to: (i) assess the dynamics of cattle population given hypothetical population
structure; and (ii) estimate the behavior of beef production from given structure of cattle population. Agent
based model (ABM) approach then is exercised to generate such behavior on the beef production. The main
reason to use the approach is on the model capability to accommodate the complexity given by the
characteristic along the beef production. This approach is expected to generate some new insights that is
able to contribute in determining the behavior of domestic beef production.

4
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

4.IDENTIFIKASI FAKTOR PENENTU KINERJA KOPERASI UNIT DESA


(KUD) DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DETERMINANT-FACTORS IDENTIFICATION OF RURAL
COOPERATIVES (KUD) AT YOGYAKARTA PROVINCE
Any Suryantini1
1
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fak. Pertanian, UGM, Jl. Flora, Kampus Bulaksumur, Yogyakarta

Email : suryantini@yahoo.com

ABSTRAK
Koperasi Unit Desa (KUD) didirikan dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan anggotanya. KUD
adalah lembaga ekonomi pedesaan yang dikembangkan untuk memfasilitasi kegiatan produksi dan konsumsi
masyarakat pedesaan. Adanya Inpres No. 18 Tahun 1998 merupakan penegasan oleh Pemerintah bahwa
KUD bukanlah satu-satunya koperasi di pedesaan; implikasinya adalah pembinaan dan pengembangan
koperasi di pedesaan tidak semata-mata untuk KUD dan terjadi persaingan bisnis antara KUD dengan
koperasi lainnya yg beroperasi di pedesaan. Sejak saat itu terjadi penurunan kinerja KUD. Kinerja koperasi
ditentukan oleh faktor internal, antara lain jiwa kewirausahaan pengurus dan anggotanya serta faktor
eksternal yaitu perkembangan perekonomian yang mengikuti arus globalisasi. Kemampuan mengembangkan
usaha dan mensejahterakan anggotanya menentukan eksistensi koperasi dalam perekonomian di Indonesia.
Tulisan ini membahas tentang (1) perubahan kinerja KUD di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (2)
identifikasi faktor-faktor yang menentukan kinerja KUD di Provinsi DIY; Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif analisis dengan alat analisis Structural Equation Model (SEM). Hasil analisis menunjukkan
kinerja KUD di DIY relatif stabil; (2) Faktor internal adalah penentu kinerja KUD yang dominan disusun oleh
komponen keanggotaan, anggota, frekuensi keikutsertaan dalam rapat, perputaran kas dan piutang serta
pengetahuan tentang pemilihan pengurus.

Kata-kata kunci: KUD, Kinerja, Manajemen, Anggota

ABSTRACT
Main goal of establishing Rural Cooperatives (KUD) isincreasing the welfare of its members. KUD is a rural
economic institutions thatis facilitating the production and consumption of rural communities. Issuance of
Presidential Decree No. 18/1998 is an affirmation by the Government that the KUD is not theonly rural
cooperatives; it implies that promotion and supporting of cooperatives in rural areas are not solely for KUD
and there is competition between KUD with other cooperatives that operate in rural areas. Since then a
decline in the performance of cooperatives is happened. KUD‟s performance is determined by internal and
external factors. This paper discusses (1) changes in performance of KUD in Yogyakarta Province (DIY) (2)
identification of the determinant factors of cooperative‟s performance in the Province of Yogyakarta; research
method used is descriptive analysis with analysis tool of Structural Equation Model (SEM). The results show
the performance of cooperatives in DIY relatively stable, (2) Internal factor is the determinant factor of the
KUD‟s performance which is contributed by membership, frequency of participation in meetings, cash and
accounts receivable turnover as well as knowledge of the committee selection.

Key words :Rural Cooperatives (KUD), Performance, Management,

5
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

PENDAHULUAN
Dalam UU RI No. 25 Tahun 1992 dinyatakan bahwa Koperasi, selain sebagai gerakan ekonomi rakyat
maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Peran koperasi
mengalami pasang surut dalam perkembangan perekonomian nasional.
Negara berkembang seperti Indonesia kurang siap menghadapi era globalisasi. Dari sudut pandang ekonomi,
globalisasi pada dasarnya adalah peningkatan interaksi dan integrasi di dalam perekonomian baik di dalam
maupun antar negara, yang meliputi aspek-aspek perdagangan, investasi, perpindahan faktor-faktor produksi
dalam bentuk migrasi tenaga kerja dan penanaman modal asing, keuangan dan perbankan internasional
serta arus devisa (Toha, 2002).
Era globalisasi saat ini berdampak peningkatan pengaruh sistim ekonomi global terhadap sistim ekonomi
nasional, namun demikian koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia harus terus dikembangkan
dalam rangka memenuhi cita-cita luhurnya. Guna tetap menjaga eksistensi dan mengembangkan koperasi,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui (1) faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung maupun (2)
faktor-faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja koperasi. Hasil penelitian ini menjadi
penting untuk merumuskan strategi koperasi dalam bersaing dengan usaha yang serupa namun dengan
bentuk usaha lainnya.
Dalam perkembangan perekonomian nasional dewasa ini sangat dipengaruhi oleh perekonomian
internasional yang saat ini sudah memasuki era globalisasi. Globalisasi menggambarkan proses percepatan
interaksi yang luas dalam bidang politik, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Globalisasi merupakan istilah
yang digunakan untuk menggambarkan multi lapis dan multi dimensi proses dan fenomena hidup yang
sebagian besar didorong oleh Barat dan khususnya kapitalisme beserta nilai-nilai hidupnya dan
pelaksanaannya (Makinda dalam Latief, 2000).
KOPERASI DALAM PERSPEKTIF PEMANGKU KEPENTINGAN
Koperasi termasuk Koperasi Unit Desa (KUD) adalah salah satu sokoguru perekonomian Indonesia yang
terus-menerus harus diberdayakan agar kinerjanya semakin baik, sehingga mampu memberikan manfaat
bagi anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hasil kajian KUD di Provinsi Bali menyatakan (1)
Kinerja KUD di Provinsi Bali dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh
faktor peran serta anggota, sumber daya manusia (SDM) dan aktivitas secara signifikan, sedangkan faktor
manajemen, likuiditas, solvabilitas tidak berpengaruh signifikan. Faktor peran serta anggota dipengaruhi oleh
lamanya pengguna jasa KUD para anggota,frekuensi mengikuti rapat-rapat KUD secara signifikan, dan tidak
dipengaruhi signifikan oleh pelunasan simpanan wajib dan pokok, pengetahuan tentang kegiatan koperasi
(pemilihan pengurus); Faktor SDM dipengaruhi oleh jumlah karyawan dan frekuensi pelatihan secara
signifikan dan tidak dipengaruhi signifikan oleh tingkat pendidikan; Faktor aktivitas dipengaruhi oleh rasio
perputaran persediaan, rasio perputaran modal kerja, dan rasio perputaran ratarata piutang; Sedangkan
faktor tidak berpengaruh terhadap faktor internal yakni: faktor manajemen yang dipengaruhi oleh
perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan pengawasan; Faktor likuiditas dipengaruhi oleh rasio cepat dan
tidak dipengaruhi oleh rasio lancar dan rasio kas; Faktor solvabilitas dipengaruhi oleh rasio hutang, rasio
hutang terhadap equitas, dan rasio hutang jangka panjang terhadap equitas. Faktor eksternal ditentukan
oleh suku bunga dan inflasi, dan tidak dipengaruhi oleh frekuensi pembinaan. (2) Pengaruh langsung, tidak
langsung dan total dari Indikator konstruk terhadap Kinerja Koperasi Unit Desa di Provinsi DIY, yaitu: (i)
Faktor internal mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,42 dan pengaruh tidak langsung sebesar 0,00. Jadi
faktor internal secara total berpengaruh terhadap kinerja KUD sebesar 0,42, (ii) Faktor eksternal mempunyai
pengaruh langsung sebesar 0,69 dan pengaruh tidak langsung 0,00. Jadi faktor eksternal secara total
berpengaruh terhadap kinerja KUD sebesar 0,69. (Antara & Guntur, 2007) “The relationship between
members‟ trust and participation in the governance of cooperatives: the role of organizational commitment”
adalah naskah jurnal menjelaskanperilaku partisipatif petani sebagai anggota koperasi pertanian dalam tata
kelola koperasi.Diperkenalkan dua konsep dari literatur perilaku organisasi: kepercayaan (trust) dan komitmen
(commitment) organisasi. Penelitian ini menguji efek mediator variabel komitmen dalam hubungan antara
6
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
kepercayaan petani terhadap koperasi dan perilaku partisipatifnya dalam tata kelola koperasi. Dengan 259
sampel anggota koperasi pertanian di Perancis, hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen afektif memiliki
peran mediasi dalam hubungan antara kepercayaan dan partisipasi dalam tata kelola koperasi, terlepas dari
sifat kognitif atau afektif kepercayaan.(Barraud-Didiera, et al, 2012).
PERKEMBANGAN KUD DI KABUPATEN SLEMAN DAN BANTUL
KUD di Provinsi DIY tersebar di lima kabupaten dan kotamadya, namun tidak semuanya berkembang baik
dan menjalankan kegiatan operasional secara aktif. Secara umum, perkembangan KUD di Kabupaten Sleman
dan Bantul relatif lebih baik daripada KUD di kabupaten lainnya. Dengan alasan tersebut maka dipilih masing-
masing satu KUD di kedua kabupaten tersebut yang paling menonjol kinerjanya dibanding lainnya. KUD
terpilih di Kabupaten Sleman adalah KUD Godean , sedangkan di Kabupaten Bantul adalah KUD Tani
Makmur. Berikut adalah Karakteristik anggota dan kinerja KUD tersebut pada tahun 2010, 2011 dan 2012.

Tabel 1. Perkembangan Keorganisasian KUD di Kabupaten Sleman dan Bantul


Tahun
Keorganisasian KUD 2010 2011 2012
Sleman 5 5 5
Jumlah Pengurus Bantul 5 5 5
Sleman 3 3 3
Jumlah Pengawas Bantul 1 1 2
Sleman 32 33 33
Jumlah Karyawan Bantul 28 28 28
Sleman 5835 5847 5864
Jumlah Anggota Bantul 16844 16844 16844
Sleman 36 36 30
Jumlah Rapat/thn Bantul 42 42 42
Sumber: analisis data primer
KUD merupakan lembaga ekonomi terdiri dari beberapa unsur, yaitu pengawas, pengurus,
karyawan dan anggota. Berdasarkan Tabel 1, terlihat tidak ada perkembangan yang signifikan tentang
jumlah pengawas, pengurus, dan karyawan baik KUD di Kabupaten Sleman maupun Bantul selama 3 tahun
terakhir. Jumlah anggota KUD di Kabupaten Sleman mengalami peningkatan secara bertahap sementara
jumlah anggota KUD di Kabupaten Bantul tidak berubah sejak tahun 2010 sampai 2012.
Aktifitas KUD dapat tercermin dari perkembangan pengelola dan anggotanya. Stabilnya jumlah pengelola dan
anggota sebagai indikasi awal bahwa kegiatan KUD relatif stabil dan kurang ada pengembangan. Hal ini
didukung dengan rerata frekuensi rapat adalah sekali seminggu.
Tabel 2. Karakteristik Pemangku Kepentingan (Stakeholders) KUD
Karakteristik BANTUL SLEMAN
Stakehoders orang % Orang %
Jenis Kelamin
Laki-laki 23 46,00 44 88,00
Perempuan 27 54,00 6 12,00
Umur
0-14 tahun 0 0 0 0
15-64 tahun 46 92,00 29 58,00
>64 tahun 4 8,00 21 42,00
Pendidikan
Tidak lulus SD 0 0,00 0 0,00
Tamat SD 7 14,00 5 10,00
Tamat SMP 13 26,00 13 26,00
Tamat SMA 17 34,00 19 38,00

7
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Perguruan Tinggi 13 26,00 13 26,00
Pekerjaan
Petani 12 24,00 11 22,00
PNS 1 2,00 19 38,00
Perangkat Desa 4 8,00 4 8,00
Swasta 33 66,00 16 32,00
Total 50 100 50 100
Sumber: analisis data primer
Secara demografis, pengawas, pengurus, karyawan dan anggota KUD dapat dibedakan berdasar umur, jenis
kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Pemangku kepentingan KUD semuanya tergolong usia produktif
sementara di Kabupaten Sleman didominasi oleh laki-laki sedangkan di Kabupaten Bantul relatif sebanding
antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan pemangku kepentingan KUD sebagian besar adalah sekolah
menengah atas. Jenis pekerjaan pemangku kepentingan KUD di Kabupaten Bantul sebagian besar adalah
swasta sementara di Kabupaten Sleman relatif bervariasi.
Tabel 3. Komponen penyusun Sisa Hasil Usaha (SHU) KUD
Tahun
Komponen SHU KUD 2010 2011 2012
Sleman 259,177,895 231,955,266 250,153,618
Partisipasi Anggota Bantul 267,408,499 269,207,472 269,207,472
Sleman 100,791,404 11,424,623 123,209,990
Partisipasi BukanAnggota Bantul 217,152,425 212,821,182 206,294,252
Sleman 260,539,126 267,459,153 267,772,814
Beban Usaha Bantul 393,767,687 392,193,744 402,407,788
Pendapatan & Beban Lain- Sleman 88,320,511 118,054,343 92,007,700
lain Bantul 150,977 240,545 5,456,903
Sleman 94,580,962 94,363,349 94,017,705
Total SHU Bantul 40,455,890 41,596,239 22,730,063
Sumber: analisis data primer
Kegiatan operasional KUD idealnya ditujukan untuk melayani anggotanya, dengan demikian kesesuaian unit
usaha dengan kebutuhan anggota dapat ditunjukkan dengan tingginya partisipasi anggota pada berbagai
unit usaha KUD. Pada tabel di atas terlihat bahwa partisipasi anggota KUD di Kabupaten Sleman jauh lebih
tinggi daripada partisipasi bukan anggota, sementara KUD di Kabupaten Bantul cenderung berimbang antara
partisipasi anggota dan bukan anggota pada berbagai unit usaha KUD.
Apabila dilihat dari beban usahanya, KUD di Kabupaten Bantul memiliki beban usaha yang lebih tinggi dari
pada KUD di Kabupaten Sleman, namun ternyata total SHU dicapai lebih tinggi KUD di Kabupaten Sleman.
Hal itu menyatakan KUD di Kabupaten Sleman lebih efisien proses operasionalnya.
FAKTOR PENENTU KINERJA KUD
Secara teoritis, kinerja usaha akan ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Pada kasus
kinerja KUD, faktor internal terdiri dari kelompok pertanyaan manajemen, partisipasi anggota, likuiditas,
aktivitas usaha dan sumberdaya manusia (SDM). Menurut persepsi pemangku kepentingan KUD, setiap
kelompok pertanyaan yang menyusun faktor internal KUD tergolong baik, meskipun beberapa hal seperti
pengetahuan pemilihan pengurus dan rasio perputaran pihutang tergolong cukup. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor internal KUD adalah baik.

8
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 4. Persepsi Pemangku Kepentingan (Stakeholder) terhadap FaktorPenentu Kinerja KUD
Variabel Komponen Penyusun nilai makna Rerata Makna
INTERNAL (X2)
Manajemen (X1) Perencanaan (X1.1) 4.06 Baik
Pengorganisasian (X1.2) 4.14 Baik
Pelaksanaan (X1.3) 3.98 Baik 4.06 Baik
Partisipasi Anggota
(X2) Melunasi Simpanan Wajib &Pokok( X1.4) 3.56 Baik
frek. Mengikuti rapat-rapat koperasi
(X1.5) 3.68 Baik
pengetahuan ttg pemilihan pengurus
(X1.6) 3.26 Cukup
lamanya menjadi anggota koperasi
(X1.7) 3.49 Baik 3.5 Baik
Likuiditas (X3) Rasio Lancar (LR) (X1.8) 3.97 Baik
Rasio Cepat (RC) (X1.9) 3.86 Baik
Rasio Kas (RK) (X1.10) 3.93 Baik 3.92 Baik
Rasio Perputaran Persediaan (PP)
Aktivitas usaha (X5) (X1.11) 3.12 Baik
Rasio Perputaran Modal Kerja (PMK)
(X1.12) 3.91 Baik
Rasio Perputaran rata-rata Piutang
(X1.13) 3.22 Cukup 3.42 Baik
SDM (X6) Jumlah Karyawan (X1.14) 4.03 Baik
Tingkat Pendidikan (X1.15) 3.86 Baik
Frekuensi Pelatihan (X1.16) 3.68 Baik 3.86 Baik
EKSTERNAL (X1) Tingkat Inflasi (X2.1) 3.69 Baik
Frekuensi Pembinaan (X2.2) 3.85 Baik 3.77 Baik
KINERJA KUD (Y) Kemajuan KUD (Y1.1) 3.72 Baik
Pelayanan Koperasi (Y1.2) 3.86 Baik
Assets (Y1.3) 3.75 Baik 3.78 Baik
Sumber: analisis data primer
Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengetahui layak (sahih) atau tidaknya instrument penelitian (kumpulan
pertanyaan/kuesioner). Semua elemen pertanyaan adalah sahih dinyatakan dengan nilai-nilai CorrectedItem
- Total Correlation lebih besar dari nilai r tabel dengan tingkat kesalahan () 0,05 yaitu sebesar 0,195. Hal ini
bermakna semua instrumen penelitian (observed) layak digunakan sebagai indikator dari konstruk (laten
variabel).
Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan utk mengetahui ketepatan dari suatu data, Berdasarkan hasil perhitungan dengan
program SPSS dapat disajikan pengujian reliabilitas pada Tabel berikut ini.
Tabel 5. Hasil Pengujian Reliabilitas
Variabel Alpha Keterangan
X1 Internal 0,810 Reliabel
X2 Eksternal 0,662 Reliabel
Y1 Kinerja KUD 0,605 Reliabel
Sumber: Data primer yang diolah, 2013
Koefisien alpha (cronbach alpha) bernilai lebih besar dari 0,60 yang bermakna variabel-variabel

9
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
penelitian (konstruk) yaitu variabel internal, eksternal dan kinerja adalah reliabel, atau ketepatannya tinggi
sebagai variabel (konstruk) pada suatu penelitian.

Uji Ukuran Sampel, Normalitas, Goodness of Fit Ukuran sampel


Analisis Structural Equation Model(SEM)membutuhkan sampel dengan ukuran besar, minimum 100 unit atau
lima observasi untuk setiap estimasi parameter. Pada penelitian digunakan 20 parameter sehingga digunakan
100 sampel.

Uji Normalitas Data


Uji normalitas univariat dan multivariat data program AMOS 18.0 menggunakan kriteria Critical Ratio (CR)
yang dibandingkan dengan nilai Z kritis sebesar ± 2.58 pada tingkat kesalahan() 0.01. Jika nilai CR > nilai Z
kritisnya maka data tidak normal dan sebaliknya jika nilai CR < Z kritisnya data dikatakan normal. Secara uji
univariat beberapa data tidak berdistribusi normal. Secara multivariat data juga tidak berdistribusi normal
karena 6,634 > 2,58. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena berdasarkan dalil limit pusat ( central limit
theorem) jumlah sampel yang besar akan mengikuti distribusi normalmeskipun populasi dari mana sampel
diperoleh tidak berdistribusi normal (Widarjono 2010).Sampel yang digunakan dalam kasus ini berjumlah
100.
Uji Goodness of Fit
Confirmatory Factor Analysis adalah pengujian unidimensionalitas dari dimensi-dimensi yang menjelaskan
faktor laten yang dimasukkan dalam model. Hasil pengujian menunjukkan bahwa indeks-indeks pengujian
yaitu: RMSEA sebesar 0,073 (0,073≤0,08), CMIN/DF sebesar 1,521 (1,521≤2,00), TLI sebesar 0,797
(0,797≥0,95), CFI sebesar 0,833 (0,833≥0,95), yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan antara matriks
kovarians sampel dan matriks kovarians populasi yang diestimasi. Oleh karena itu model dapat diterima,
sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat faktor internal dan faktor eksternal.
Tabel 6. Hasil Uji Goodness of Fit
Indeks Goodness of Fit Cut of Value Hasil Model Keterangan
X2 Chi Square (CMIN) Diharap kecil 261,587
Derajat bebas
RMSEA ≤ 0,08 0,073 Baik
CMIN/DF ≤ 2,00 1,521 Baik
TLI ≥ 0,95 0,797 Kurang
CFI ≥ 0,95 0,833 Kurang
Sumber: Data primer yang diolah, 2013
Catatan : RMSEA = The root mean square erros of apoximation
CMIN = The minimum simple discrepancy function
TLI = Tucker lewis index
CFI = comperative fit index
Atas dasar model teoiritis yang dibangun, sebuah diagram jalur dapat dihasilkan seperti yang dinyatakan
dalam gambar berikut ini.

10
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Gambar 1. Faktor-faktor Penentu Kinerja KUD


Evaluasi atas Regression Weight untuk Uji Kausalitas
Evaluasi atas Regression Weight untuk kausalitas menggunakan nilai CR. Hasil pengujian seperti disajikan
pada tabel menunjukkan bahwa semua koefisien regresi secara signifikan tidak sama dengan nol, karena itu
hipotesis nol bahwa regression weight adalah sama dengan nol ditolak, dan menerima hipotesis alternatif
bahwa masing-masing indikator memiliki hubungan kausalitas dengan kinerja.

11
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Tabel 7. Estimasi Parameter Regression Weights untuk Variabel Internal terhadap Kinerja KUD

unstandardized standardized
Hubungan antar komponen estimate estimate C.R. P
Variabel Internal terhadap Kinerja KUD 1,141 ,990 3,507 ***
Komponen Variabel Internal
Perencanaan (X1.1) 1,000 ,473
Pengorganisasian (X1.2) ,613 ,372 2,955 ,003
Pelaksanaan (X1.3) ,585 ,370 2,973 ,003
Melunasi Simpanan Wajib &Pokok( X1.4) ,752 ,315 2,634 ,008
frek. Mengikuti rapat-rapat koperasi
(X1.5) 1,556 ,631 4,165 ***
pengetahuan ttg pemilihan pengurus
(X1.6) 1,508 ,554 3,855 ***
lamanya menjadi anggota koperasi (X1.7) 1,643 ,636 4,182 ***
Rasio Lancar (LR) (X1.8) ,390 ,233 2,045 ,041
Rasio Cepat (RC) (X1.9) 1,419 ,627 4,109 ***
Rasio Kas (RK) (X1.10) ,542 ,288 2,851 ,004
Rasio Perputaran Persediaan (PP) (X1.11) ,517 ,288 2,454 ,014
Rasio Perputaran Modal Kerja (PMK)
(X1.12) ,883 ,654 4,231 ***
Rasio Perputaran rata-rata Piutang
(X1.13) 1,433 ,466 3,500 ***
Jumlah Karyawan (X1.14) ,804 ,500 3,662 ***
Tingkat Pendidikan (X1.15) ,932 ,475 3,548 ***
Frekuensi Pelatihan (X1.16) 1,472 ,518 3,901 ***
Sumber: analisis data primer Dari tabel diatas dapat dilihat
pengaruh faktor internal sangat dominan terhadap kinerja KUD, hal tersebut terlihat pada standardized
estimates yang mencapai 0,990. Nilai probability (p) yang sangat kecil menyatakan bahwa faktor internal
berpengaruh nyata terhadap kinerja KUD. Diantara faktor internal, yang besar kontribusinya adalah jangka
waktu (lama) menjadi anggota, frekuensi keikutsertaan dalam rapat, perputaran kas dan piutang serta
pengetahuan tentang pemilihan pengurus.
Tabel 8. Estimasi Parameter Regression Weights untuk Variabel Eksternal terhadap Kinerja KUD

unstandardized standardized
Hubungan antar komponen estimate estimate C.R. P
Variabel Ekternal terhadap Kinerja KUD ,173 ,824 ,410
Komponen Variabel Eksternal
Frekuensi Pembinaan (X2.2) 1,000 ,561
Tingkat Inflasi (X2.1) 1,876 ,801 2,576 ,010
Sumber: analisis data prime

12
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel di atas menyatakan bahwa variabel eksternal disusun oleh komponen tingkat inflasi dan frekuensi
pembinaan KUD, namun karena nilai probabilitas (p) 0,410 yang lebih besar dari 0,05 yaitu tingkat kesalahan
yang dapat ditolerir maka variabel eksternal dinyatakan tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja KUD.

KESIMPULAN
Telah ditetapkan bahwa koperasi adalah soko guru perekonomi Indonesia. Diharapkan koperasi mampu
sebagai penyokong utama perekonomian di Indonesia dan mensejahterakan anggotanya. KUD sebagai
lembaga koperasi wajib ditumbuh-kembangkan utamanya di wilayah pedesaan. Berdasarkan analisis di atas,
dapat diketahui bahwa KUD di Kabupaten Bantul dan Sleman mengalami perkembangan yang lambat
diindikasikan dengan perkembangan jumlah, partisipasi dan nilai SHU yang relatif stabil selama jangka waktu
2010-2012.

Faktor penentu utama kinerja KUD adalah faktor internal. Hal-hal yang memberikan kontribusi tinggi pada
faktor internal untuk menjelaskan kinerja KUD adalah jangka waktu (lama) menjadi anggota, frekuensi
keikutsertaan dalam rapat, perputaran kas dan piutang serta pengetahuan tentang pemilihan pengurus.

Sosialisasi pengelola KUD tentang berbagai layanan (unit usaha) KUD terhadap anggota maupun masyarakat
setempat sangat penting dilakukan agar partisipasi anggota meningkat dan ketertarikan masyarakat menjadi
anggota juga meningkat. Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang mengundang seluruh anggota KUD akan
meningkatkan pemahaman anggota terhadap kegiatan operasional, kapabilitas dan kinerja KUD. Pemahaman
yang lebih baik akan meningkatkan partisipasi anggota dalam pencapaian kinerja KUD yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
Antara, Made & Anderson Guntur Komenaung. Kinerja Koperasi Unit Desa di Provinsi Bali: Pendekatan
Structural Equation Model. SOCA, 7 (3).
Ferdinand, Augusty. 2000. „Structural Equation Modeling Dalam Penelitian manajemen‟. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponogoro.
Latief, Dochak. 2000.Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global. Surakarta:Muhammadiyah
University Press
Thoha, Mahmud. 2002. Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Penerbit
Pustaka Quantum.
Sumber Jurnal:
Barraud-Didiera, Valérie, Marie-Christine Henninger dan Assâad El Akremi, 2012.The Relationship Between
Members‟. Trust and Participation in the Governance of Cooperatives: The Role of Organizational
Commitment, International Food and Agribusiness Management Review, 15 (1).
Mahri, A Jajang W. 2006. Pelayanan dan Manfaat Koperasi, serta Pengaruhnya terhadap Partisipasi Anggota
(Suatu Kasus pada Koperasi Produsen Tahu Tempe Kabupaten Tasikmalaya). Jurnal Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), 6 (6), Oktober.

13
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

5.PENTINGNYA PENDEKATAN SISTEM DALAM MENGANALISIS ALIH


FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIANDI KABUPATEN
KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH
Joko Sutrisno1, Sugihardjo2 dan Umi Barokah
1
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian dan Peer Group PPKwu LPPM UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
2
Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta
3
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UNS Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta

Email:1jokotris_uns@yahoo.com,2giek_bb@yahoo.com,3har_umi10@yahoo.com

ABSTRAK

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan masalah klasik di sektor pertanian. Fenomena
tersebut telah terjadi sejak tahun 1980-an dan disinyalir meningkat lagi sejak awal tahun 2000-an sampai
sekarang. Laju alih fungsi lahan pertanian diperkirakan mencapai 100.000 hektar per tahun. Faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor yang bersifat
kewilayahan dan faktor individu petani sebagai pelaku alih fungsi. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah, diketahui bahwa faktor wilayah yang mempengaruhi
alih fungsi lahan pertanian diantaranya adalah laju pertumbuhan penduduk, besarnya PDRB sektor non
pertanian, dan jumlah industri, sedangkan faktor individu petani meliputi pendapatan petani dari usahatani
dan luar usahatani, produktivitas lahan dan harga lahan. Dampak alih fungsi lahan pertanian sangat besar
nilainya, hal ini karena lahan pertanian mempunyai banyak fungsi yang dikenal dengan istilah multifungsi
lahan pertanian, baik fungsi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Alih fungsi lahan pertanian menyebabkan
hilangnya atau berkurangnya fungsi sebagai penghasil produksi pertanian, fungsi sebagai penyedia lapangan
kerja, fungsi sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2, dan fungsi-fungsi lingkungan yang lain. Melihat
kompleksitas penyebab dan dampak alih fungsi lahan pertanian maka pendekatan sistem sangat diperlukan
dalam menganalisis permasalahan tersebut.

Kata-Kata Kunci : alih fungsi, lahan pertanian, multifungsi, pendekatan sistem

PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan pangan, sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 adalah adanya alih fungsi lahan pertanian yang masih
tinggi dan tidak terkendali (Rana, 2012). Kalau dirunut, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
sebenarnya merupakan masalah yang klasik di sektor pertanian. Menurut Hafsjah (2003), laju alih fungsi
lahan pertanian potensial ke penggunaan non pertanian secara nasional mencapai sekitar 47.000 hektar per
tahun dan sebagian besar terjadi di Pulau Jawa, yaitu sekitar 43.000 hektar per tahun. Hasil Sensus
Pertanian tahun 2003 mengungkapkan bahwa selama tahun 2000-2002 luas lahan sawah yang
dialihfungsikan ke penggunaan non pertanian (perumahan, kawasan industri, sarana publik, dan lain-lain)
rata-rata 187,7 ribu hektar per tahun. Sedangkan luas pencetakan sawah baru jauh lebih kecil, yaitu hanya
46,4 ribu hektar per tahun, sehingga luas lahan sawah rata-rata berkurang 141,3 ribu hektar per tahun
(Irawan, 2008). Menurut Menteri Pertanian Suswono (2011) di Pulau Jawa saja, sudah terjadi alih fungsi
lahan sawah seluas 27.000 hektar per tahun. Apalagi dengan rencana pembangunan tol Trans Jawa
setidaknya akan mengalihfungsikan lahan pertanian sekitar 4.500 hektar.Menurut Musa (2013) laju alih
fungsi lahan pertanian ke non pertanian tersebut mencapai 100.000-an hektar per tahun. Kenyataan semakin
luasnya alih fingsi lahan pertanian ke non pertanian tentu saja dapat mengganggu tujuan untuk
mempertahankan ketahanan pangan nasional.Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan ekonomi wilayah, di Provinsi Jawa Tengah juga terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non
14
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
pertanian. Berdasarkan data Penggunaan lahan dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah dalam kurun waktu
sepuluh tahun (2000-2010), lahan pertanian di Provinsi Jawa Tengah telah dialihfungsikan sebesar 14.916
hektar atau kurang lebih terjadi alih fungsi lahan pertanian sebesar 1.491 hektar per tahunnya (Sutrisno,
dkk, 2012). Realita di lapangan jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan data tersebut, karena banyak
kejadian alih fungsi lahan pertanian yang dilakukan secara illegal. Salah satu wilayah di Provinsi Jawa Tengah
yang lahan pertaniannya banyak dialihfungsikan ke non pertanian adalah Kabupaten Kudus. Oleh sebab itu
tulisan ini berusaha untuk mengkaji permasalahan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten
Kudus.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah, dengan pertimbangan di Kabupaten Kudus
banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, padahal Kabupaten Kudus merupakan salah satu
daerah penghasil beras (padi) di Indonesia. Penelitian dilakukan pada tahun 2012 dan 2013, dengan
menggunakan data primer dan sekunder.Data sekunder yang digunakan bersumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Kudus tahun 2000 dan 2010. Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan
sebaran alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Kudus, menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi dan mendeskripsikan dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap multifungsi lahan
pertanian.
SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS
Kabupaten Kudus dengan potensi wilayah yang terletak di jalur strategis pantai utara dengan topografi
daerah relatif datar serta potensi sumber daya alam yang cukup melimpah sedang mengalami perkembangan
yang cukup pesat sebagai kota industri. Menurut Kuncoro (2012) dalam studinya menemukan bahwa pusat
industri manufaktur Indonesia berlokasi di Pulau Jawa khusus di Jawa Tengah berlokasi di Kota Semarang,
Kota Surakarta dan Kabupaten Kudus. Lebih lanjut Kasiran (1999) menyatakan bahwa kondisi dimana
pergeseran struktur ekonomi dari pertanian ke industri dan jasa akan mengakibatkan banyak lahan pertanian
yang dikonversi.
Berdasarkan data Kudus Dalam Angka, Kabupaten Kudus telah mengalami penurunan luas lahan pertanian
sebesar 1.365 hektar selama kurun waktu 10 tahun (2000 – 2010). Jumlah yang cukup besar mengingat
wilayah pantura merupakan salah satu daerah penyangga pangan nasional. Pemerintah Kabupaten Kudus
telah berupaya untuk melakukan pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian melalui
penyusunan beberapa kebijakan, diantaranya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kudus yang berisi tentang tujuan pemanfaatan ruang, struktur dan pola pemanfaatan ruang, dan pola
pengendalian pemanfaatan ruang. Namun pada kenyataanya alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di
Kabupaten Kudus masih dikategorikan besar. Selain itu, kenyaatan menunjukkan bahwa masyarakat dalam
melakukan alih fungsi lahan pertanian tidak memperhatikan arahan penggunaan lahan yang tercantum
dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah. Sebaran alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di
Kabupaten Kudus dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Luas Lahan Pertanian di Kabupaten Kudus Tahun 2000 dan 2010
Luas Lahan Pertanian (Ha)
No. Kecamatan
Tahun 2000 Tahun 2010 Perbedaan
1 Kaliwangu 2318 2235 -83
2 Kota Kudus 225 223 -2
3 Jati 1312 1038 -274
4 Undaan 6005 6005 0
5 Mejobo 2336 1812 -524
6 Jekulo 5397 5367 -30
7 Bae 1425 1167 -258
8 Gebog 3366 3356 -10
9 Dawe 5560 5376 -184
Total 27944 26579 -1365
Sumber : BPS Kabupaten Kudus, 2000 dan 2010
15
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

(-) = Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian


Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa selama kurun waktu 10 tahun (2000 sampai 2010) di
Kabupaten Kudus telah terjadi alih fungsi lahan pertanian sebesar 1.365 hektar atau sekitar 136,5 hektar
setiap tahun.Alih fungsi lahan pertanian tersebut menyebar hampir di seluruh kecamatan yang ada di
Kabupaten Kudus, kecuali Kecamatan Undaan. Alih fungsi lahan pertanian yang paling luas terjadi di
Kecamatan Mejobo, Jati, Bae dan Dawe. Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang berada
dekat dengan Kecamatan Kota Kudus, sehingga dapat disimpulkan bahwa alih fungsi lahan pertanian yang
terjadi merupakan dampak dari perkembangan Kota Kudus. Di Kecamatan Kota Kudus sendiri hanya sedikit
lahan pertaniannya yang beralih fungsi karena
sudah semakin sempitnya lahan pertanian di Kecamatan Kota Kudus. Perbedaan luas alih fungsi lahan
pertanian di tiap kecamatan yang ada menjadi indikasi adanya pengaruh faktor wilayah terhadap alih fungsi
lahan pertanian.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian sudah banyak dilakukan
sejak tahun 1990-an. Secara garis besar hasilnya sebagai berikut : Witjaksono (1996) ada lima faktor sosial
yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan,
pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua
faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom
dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan. Menurut
Nasoetion dan Winoto (1996) proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh
dua faktor, yaitu: (i) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii)
sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang
dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya
beberapa peraturan mengenai konversi lahan. Menurut Winoto (1995) dalam Nasoetion dan Winoto (1996),
alih fungsi lahan 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang
ada seperti halnya perubahan dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian.
Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktor-faktor perkotaan lainnya menjelaskan 32,17
persen, dan faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen.Berdasarkan hal tersebut, maka faktor-faktor
yang menentukan konversi lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan
peraturan pertanahan yang ada. Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui
transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang
rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka
pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat.
Menurut pihak Badan Pertanahan Nasional yang dilaporkan oleh Suwarno (1996), upaya-upaya
pengendalian konversi lahan oleh pemerintah terasa memberikan hasil yang diharapkan. Namun penelitian
yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian yang dilakukan Irawan, et al.
(2000) menunjukkan bahwa peraturan yang ada belum cukup efektif untuk mengendalikan konversi lahan
pertanian ke penggunaan lain.
Penelitian Syafa‟at et al. (1995) di Jawa menemukan bahwa alasan utama petani melakukan alih
fungsi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan. Pajak
lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan alih fungsi dan rasio pendapatan non
pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi.
Alih fungsi lahan sawah ke pertanian lain dan ke pemukiman dapat terjadi tanpa melalui transaksi. Namun
kasus di Jawa menunjukkan bahwa kasus alih fungsi lahan pertanian seperti itu jauh lebih sedikit
dibandingkan yang melalui transaksi. Ini menunjukkan bahwa harga lahan sawah sangat mempengaruhi alih
fungsi lahan sawah (Sumaryanto et al, 1996).Hasil temuan Rusastra et al. (1997) di Kalimantan Selatan,

16
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
alasan utama petani melakukan alih fungsi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi,
skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan.
Penelitian Syafa‟at et al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa,
menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan
sawah ke
pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon
petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.
Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam
proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di
lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman.
Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak berpengaruh signifikan.Secara makro,
untuk wilayah Jawa dapat dilihat adanya hubungan antara rataan luas lahan sawah yang beralihfungsi setiap
tahun dengan rataan pertumbuhan PDRB, khususnya PDRB total dan PDRB transportasi dan komunikasi.
Artinya makin tinggi aktivitas ekonomi akan membutuhkan lahan sebagai input kegiatan produksi yang
dilakukan. Keterbatasan lahan di Jawa dan keberadaan lahan sawah yang sebagian besar pada daerah yang
mudah diakses, menyebabkan banyak lahan sawah yang digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi
tersebut.
Namun hubungan konversi lahan sawah dengan PDRB industri dan PDRB perdagangan, hotel dan
restoran memperlihatkan perilaku yang berbeda Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada
periode krisis ekonomi kegiatan industri di Indonesia mengalami stagnan. Sebaliknya kegiatan perdagangan
(khususnya impor) dan pariwisata mengalami peningkatan akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat. Dua kegiatan ini bersama dengan pengeluaran pemerintah dan penjualan asset
berupa lahan sawah bagi sebagian masyarakat untuk menghindari tekanan ekonomi saat krisis diperkirakan
yang menyebabkan banyaknya lahan yang terkonversi pada saat krisis ekonomi.
Dari uraian tersebut, pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor wilayah dan faktor individu petani.

Faktor Wilayah Yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kudus
Data yang dianalisis menggunakan analisis regresi linier berganda dengan menggunakan program SPSS
didapatkan hasil seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Faktor – faktor Wilayah yang Mempengaruhi Alih Fungsi lahan Pertanian di
Kabupaten Kudus
Uji t
Variabel Koefisien thitung Sig Ket
Regresi
Laju Pertumbuhan Penduduk (X1) 4563,725 3,324 0,021** Sig
PDRB ADHK (X2) 0,328 6,068 0,002*** Sig
Jumlah industri (X3) 15,139 3,998 0,010*** Sig
Panjang jalan (X4) 0,003 1,628 0,164 Ns
2
R = 0,953 R = 0,90 F = 0,008***ttabel = 2,306** ; 3,355***
Ket : **) Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
***) Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%

Dari analisis tersebut variabel laju pertumbuhan penduduk, PDRB atas dasar harga konstan dan jumlah
industri berpengaruh secara signifikan terhadap laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

Faktor Petani Yang Mempengaruhi Alih fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Kudus
Data yang dianalisis menggunakan analisis regresi linier berganda dengan menggunakan program SPSS
didapatkan hasil seperti yang tercantum pada Tabel 3

17
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Faktor–Faktor Petani yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian di
Kabupaten Kudus
Uji t
Variabel Koefisien Regresi thitung Sig Ket
Umur Petani (X1) 0,055 0,083 0,935 Ns
Tanggungan Keluarga (X2) 2,196 0,354 0,727 Ns
Pendapatan UT (X3) 7,493 x10-7 1,810 0,083* Sig
Pendapatan Luar UT (X4) 4,579 x10-7 4,594 0,000*** Sig
Produktivitas Lahan (X5) 11,886 1,961 0,062* Sig
Harga Lahan (X6) 2,487 x10-8 1,898 0,070* Sig
R = 0,754 R2 = 0,56 F = 0,002***ttabel = 2,763*** ; 1,701*
Ket : *) Signifikan pada ,tingkat kepercayaan 90%
***) Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%

Dari analisis tersebut diketahui bahwa pendapatan usahatani, pendapatan luar usahatani, produktivitas lahan
dan harga lahan berpengaruh signifikan terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP MULTIFUNGSI LAHAN PERTANIAN


Istilah "multifungsi" pertanian mulai muncul di dunia internasional pada awal tahun 1992, di Rio Earth
Summit(De Vries, 2000). Istilah "Multifungsi Pertanian" telah dengan cepat berkembang untuk digunakan
dalam diskusi mengenai masalah lingkungan, pertanian dan perdagangan internasional, Pendukung
multifungsi di bidang pertanian umumnya menunjukkan manfaat lain selain penghasil pangan atau serat
yang bisa berasal dari pertanian, manfaat tersebut sering kurang/tidak dihargai di pasar dan jenisnya
bervariasi yang sangat tergantung pada kondisi pertanian itu sendiri. Manfaat ini biasanya mencakup
kontribusi terhadap kepentingan masyarakat pedesaan (melalui pemeliharaan pertanian keluarga,
kesempatan kerja di pedesaan dan warisan budaya), biologis, keanekaragaman, rekreasi dan pariwisata,
kesehatan air tanah, bioenergi, lansekap, pangan yang berkualitas dan aman, serta habitat bagi hewan-
hewan tertentu. Pemahaman yang komprehensif terhadap multifungsi lahan pertanian sangat diperlukan
agar kecenderungan "under valued" terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan (Bappenas, 2006).
Fungsi utama lahan pertanian adalah untuk mendukung pengembangan produksi pangan, khususnya padi
dan palawija. Namun justifikasi tentang perlunya pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
harus berbasis pada pemahaman bahwa lahan pertanian mempunyai manfaat ganda (multifungsi) (Irawan,
2005). Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan ( use values), dan (2)
manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values.
Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumberdaya
lahan pertanian. Manfaat bawaan dapat pula disebut sebagai intrinsic values, yaitu berbagai manfaat yang
tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh
pemilik lahan pertanian. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman
hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya.
Nilai penggunaan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu manfaat langsung (direct use values)
dan manfaat tidak langsung (indirect use values). Manfaat langsung mencakup dua jenis manfaat, yaitu : (1)
Manfaat yang nilainya dapat diukur dengan harga pasar atau marketed output, yaitu berbagai jenis barang
yang nilainya dapat terukur secara empirik dan diekspresikan dalam harga output, misalnya berbagai produk
yang dihasilkan dari kegiatan usahatani. Jenis manfaat ini bersifat individual, berarti manfaat yang diperoleh
secara legal hanya dapat dinikmati oleh para pemilik lahan. (2) Manfaat yang nilainya tidak dapat diukur
dengan harga pasar (unpriced benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya dapat dinikmati oleh pemilik lahan
tetapi dapat pula dinikmati oleh masyarakat luas, misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, dan
penciptaan lapangan kerja di pedesaan (Irawan, 2005).
Manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya terkait dengan aspek lingkungan.
Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998) dalam Irawan (2005) menguraikan bahwa keberadaan lahan pertanian
dari aspek lingkungan memberikan lima jenis manfaat, yaitu : kontribusinya dalam mencegah banjir,
pengendali keseimbangan tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang
18
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
berasal dari limbah rumah tangga dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Seluruh
jenis manfaat dapat dinikmati oleh masyarakat umum dengan cakupan wilayah yang lebih luas, karena
masalah lingkungan yang ditimbulkan dapat bersifat lintas daerah.
Alih fungsi lahan pertanian akan mengakibatkan tidak hanya hilangnya potensi produksi pangan nasional,
tetapi mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya multifungsi lahan pertanian tersebut.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian
ke non pertanian dan alih fungsi lahan pertanian menimbulkan dampak yang beragam terhadap multifungsi
lahan pertanian. Begitu kompleknya permasalahan alih fungsi lahan pertanian ini maka sangat penting
menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis dan memecahkan persoalan alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian.

UCAPAN TERIMA KASIH


Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian dengan judul Pengembangan Model Insentif dan Disinsentif
untuk Mengurangi Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian Dalam Rangka Mempertahankan Swasembada Beras di
Propinsi Jawa Tengah, yang didanai oleh Direktorat DP3M Dikti melalui Program Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi. Oleh sebab itu penulis ucapkan terimakasih kepada Direktorat DP3M Dikti yang telah
mendanai penelitian tersebut Tahun 2012 dan 2013.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
- [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi
Lahan Pertanian. Direktorat Pangan dan Pertanian. Jakarta.
- [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Sensus Pertanian (ST) 2003. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Jakarta.
- [BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah. 2000. Luas Penggunaan Lahan di Propinsi Jawa
Tengah Tahun 2000. Semarang.
_________________________. 2010. Luas Penggunaan Lahan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2010.
Semarang.

Sumber prosiding seminar:


- Hafsjah, J. 2003. Deptan menahan laju konversi lahan pertanian. Makalah pada Seminar Pengelolaan
Sumberdaya Pertanian Dalam Rangka Menunjang Agropolitan. Surakarta. 28 Mei 2003.
- Irawan, B., Purwoto A., Saleh C., Supriatna A. dan Kirom, N.A. 2000. Pengembangan Model
Kelembagaan Reservasi Lahan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
- Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor
Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23 (1) : 1 – 18.
- Irawan, B. 2008. Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi
26 (2) : 116 – 131.
- [KKBP] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (RPPK) Indonesia. Jakarta.
- Kuncoro, M. 2012. Perencanaan Daerah, Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota dan
Kawasan?. Salemba Empat. Jakarta.
- Kustiwan, I. 1997. Konversi lahan pertanian di pantai utara Jawa. Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial
Prisma 26 (1) : 15 – 31.
- Musa, A.M. 2013. Ancaman Krisis Pangan 2014. Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan
Produksi Pangan dan Cadangan Pangan Masyarakat untuk Menjaga Ketahanan Pangan Nasional.
Fakultas Pertanian Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
- Nasoetion, L.I. dan Winoto, J. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap
Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan
19
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Sumberdaya Lahan dan Air : Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras. Hal 64-82.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
- Rana, G.K. 2012. Swasembada Pangan Guna Mewujudkan Kemandirian Pangan dan Kesejahteraan
Petani. Makalah pada Seminar Nasional Penguatan Agribisnis Perberasan Guna Mewujudkan
Kemandirian dan Kesejahteraan Petani. Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta.
- Simatupang, P. dan Irawan, B. 2003. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian : Tinjauan Ulang
Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan
Pertanian. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal 67 – 83
- Sutrisno, J, Sugihardjo dan Umi Barokah. 2012. Sebaran Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah dan
Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Propinsi Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Penguatan
Agribisnis Perberasan Guna Mewujudkan Kemandirian dan Kesejahteraan Petani. Fakultas Pertanian
UGM Yogyakarta.
- Suwarno, P.S. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Langkah-Langkah Penanggulangannya. Dalam
Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air : Dampaknya
Terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras : 121-134. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
- Syafa‟at, N., Saliem, H.P. dan Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi
Sawah di Tingkat Petani. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian “Profil Kelembagaan Pemanfaatan
Sumberdaya Pertanian, dan Prospek Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Buku 1: 42 – 56. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

- Syafa‟at, N., Sudana, W., Ilham, N., Supriyadi dan Hendayana, R. 2001. Kajian Penyebab Penurunan
Produksi Padi Tahun 2001 di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

- Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Prosiding Lokakarya “ Persaingan
Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada
Beras. Hal. 113 - 120. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sumber internet:
- De Vries, B. 2000. Multifunctional Agriculture in the International Context : A Review.
http://www.landstewardshipproject.org/mba/MFAReview.pdf (30 April 2011).
- Suswono, 2011. Perlu Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan dengan Pendekatan Sosial Ekonomi.
http://www.sinartani.com/index.php?option=com_content&view=article&id=537&catid=293:sorotan&Itemid
=584 (30 Juni 2011).
Sumber jurnal:
- , E. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Harga Lahan Sawah pada Proses Alih
Fungsi Lahan ke Penggunaan Non Pertanian: Studi Kasus di Beberapa Desa, Kabupaten Karawang,
Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi, 19 (1) : 45-63. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
- Kasiran. 1999. Konversi Lahan Sawah di Jawa. Jurnal Air, Lahan, Lingkungan, dan Mitigasi Bencana,
4 (1) : 62 – 66.
- Rusastra, I.W. dan Budhi, G.S. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif dalam
Penanggulangannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XVI (4) : 107–113. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

20
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

6.AKSES MULTIPIHAK DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN


RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS LINN.) DI KABUPATEN BARRU

Letty Fudjaja1), Didi Rukmana2), Radi A. Gany3), Jamaluddin Jompa4), Heliawaty5)


1) 2) 3) 5)
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar
4)
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar

E-mail: letty_fdj@yahoo.com

ABSTRAK.

Penelitian ini bertujuan untukmenganalisis pengguna akses, kontrol aksesdan pemeliharaan aksesmultipihak
terhadap rajungan dalam sistem pengelolaan perikanan rajungan di Kabupaten Barru. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan analisis
stakeholder untuk mengidentifikasi dan memetakan para aktor serta analisis akses terhadap sumberdaya
rajungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rajunganataublue swimming crab terancam
keberlanjutannya, karena dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab oleh berbagai pihak. Ada tiga pihak
utama yang berperan penting dalam pengelolaan rajungan Kabupaten Barru yaitu pihak pemerintah,
swasta/pengusaha, dan masyarakat nelayan. Ketiga kelompok aktor ini melakukan hubungan-hubungan yang
kompleks dalam suatu sistem pengelolaan perikanan rajungan dan saling berkompetisi dalam hal akses
terhadap sumberdaya rajungan. Terdapat ketimpangan dalam akses sumberdaya antara pengguna akses,
kontrol akses dan pemeliharaan akses multipihak terhadap rajungan di Kabupaten Barru, dimana kontrol dan
pemeliharaan akses lebih menjadi tanggungjawab pihak pemerintah, sementara pengguna akses didominasi
pihak swasta dan masyarakat nelayan. Kebijakan pengelolaan rajungan tidak efektif. Penegakan kebijakan
pengelolaan rajungan yang lemah memperparah kondisi keberlanjutan rajungan di Kabupaten Barru.

Kata kunci: Rajungan (Blue Swimming Crab), multipihak, pengelolaan, akses, kebijakan

PENDAHULUAN
Rajungana atauBlueswimming crabmerupakansalahsatukomoditasekspor yang prospektifdansemakin
Diminati oleh pasar dunia, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi . Komoditi ini diekspor terutama
Amerika dan seperti China, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Malaysia dan sejumlah negara eropa lainnya.
Permintaan akan rajungan yang tinggi semakin mendongkrak harga rajungan di pasaran. Data
KementerianKelautandanPerikananIndonesia,mencatatsetiaptahunnyanilaieksporkepitingdanrajunganmengala
mipeningkatan.Padatahun 2007,total volume ekspor kepitingsejumlah 21.510 ton dengannilai$ 170.000.000
(USD) dan pada tahun 2011, total volume ekspor kepiting mencapai 23.000 ton senilai $ 262.000.000 (USD).
Rajungan menyumbang 8 persen dari total nilai ekspor hasil perikanan di tahun 2011, dan menempati urutan
keempat terbesar setelah udang (38%), ikan lain (32%), dan tuna (15%) (Fishery Improvement Project
(FIP), 2013). Salah satu sentra rajungan adalah Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia.Sayangnya, seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia dan tekanan terhadap lingkungan
sumberdaya hayati laut, ketersediaanrajungan di Indonesia terusturun 20–30 persensetiaptahun (Anonim,
2012). Saat ini, populasi alami rajungan sudah dalam kondisi overfishing karena eksploitasi berlebih terhadap
rajungan tanpa diimbangi upaya-upaya serius untuk pemulihannya. Sulistiono, dkk. (2009) melaporkan
tingkatpenangkapanyangdilakukandi perairan utara Jawa (Panimbang, Labuhan, Serang, Cirebon, Rembang),
barat Sulawesi (Barru, Maros), Nusa Tenggara Barat (Teluk Bima) telahmelampauibatas optimal yaitu sekitar
113,68 persen , padahal seharusya tingkat optimasi pemanfaatan sumber daya kepiting rajungan di perairan
ini adalah sebesar 43, 10 %.

21
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, penurunan produksi rajungan di Kabupaten
Barru dalam kurun waktu 2009-2012, rata-rata sebesar 3.886,5 ton per tahun. Fenomena ini secara
riidirasakannelayan dengansemakinmenurunnyahasiltangkapanbaikdarisegikualitasmaupunkuantitas.
Dampak sistemik kelangkaan rajungan dapat berujung pada kesengsaraan semua pihak jika tidak segera
diantisipasi.Dalam mengelola laut dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya, Russ dan Zeller
menyebutkan ada 3 pihak utama yang memegang peranan penting yakni negara (state), pasar (market) dan
masyarakat (civil society) (Satria, 2009). Ketiga pihak tersebut saling berinteraksi dalam pola-pola hubungan
yang kompleks dalam suatu sistem pengelolaan perikanan rajungan.
Masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan mereka melakukan politisasi
dalamenerapan strategi yang paling menguntungkan baginyadalam mengakses sumberdaya perikanan
rajungan.Tarik menarik kepentingan dalam interaksi multipihak iniseringkali berujung konflik, baik konflik
terbuka atau terselubung. Oleh karena itu, perlu dianalisis bagaimana akses multipihak terhadap sumberdaya
perikanan rajungan di Kabupaten Barru, agar dapat disusun strategi dan kebijakan yang tepat dalam
mengelola sistem perikanan rajungan yang berkelanjutan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakandi Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi penelitian secara
sengaja (Purposive sampling) dengan pertimbanganlokasi tersebut representasi dari komunitas pengelola
rajungan yang memberikan gambaran dinamika proses penangkapan, pengolahan dan perdagangan
rajungan.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap sejumlah informan yang dipilih dengan teknik snowball
dengan prinsip triangulasi (Miles dan Huberman, 1992) dan pengamatan langsung ( participant
observation).Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari hasil wawancara dengan informan dari kelompok pemerintah (2 informan), swasta/pengusaha (3
informan), dan nelayan (15 informan), sementara data sekunder diperoleh dari instansi terkait, laporan
penelitian, literatur dan karya ilmiah.Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif,
analisis stakeholder dan analisis akses multipihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan rajungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Aspek Historis Pengelolaan Perikanan Rajungan Kabupaten Barru
Dalam perspektif sejarah, pengelolaan perikanan rajungan di Kabupaten Barru diawali saat masuknya
perusahaan Phillips Seafoodsdi Pare-pare pada tahun 90-an.Phillips Seafood adalah
perusahaanpengolahanhasilperikananyangbermarkas di AmerikaSerikat (AS).
Perusahaan ini menjadiimportirterbesarrajunganproduksi Indonesia, yang dimulai sekitar tahun 1994-1998
akibat kenaikan permintaan dari luar negeri, terutama dari Amerika Serikat. Sebelum tahun ini, komoditas
rajungan hanya dikonsumsi secara lokal dan harganya juga sangat rendah.Secara lokal rajungan dikenal
dengan sebutan „bukkang‟.
Seiring perkembangan perdagangan rajungan, nilai ekonomis rajunganpun semakin meningkat. Pemerintah
Daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, tidak menyia-nyiakan potensi daerah tersebut yang dapat
menyumbang cukup besar terhadap pendapatan daerah. Saat ini, komoditas rajungan merupakan salah satu
komoditas unggulan daerah Barru.

Interaksi Multipihak Dalam Pengelolaan Perikanan RajunganKabupaten Barru


Perdagangan rajunganhinggasaatinimasihmengandalkanhasiltangkapannelayan di laut,
sehinggadikhawatirkanakanmempengaruhipopulasirajungan di alam. Selain itu, sifat sumberdaya rajungan
yangopen acces, membuat siapa saja dapat mengakses/mengambil manfaat untuk berbagai
kepentingan/kebutuhan. Mengingat habitat rajungan yang berada tidak jauh dari pesisir pantai, maka
rajungan mudah ditangkap dan biaya operasional penangkapannya rendah. Sementara harga rajungan di
pasar domestik dan luar negeri cukup tinggi. Hal ini mendorong berbagai pihak berlomba untuk terjun ke
industri rajungan karena dapat memberikan keuntungan yang besar.

22
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Banyaknya pihak yang terlibat dalam perikanan rajungan dengan berbagai tingkat kepentingan dan pengaruh
yang berbeda-beda seringkali menimbulkan konflik. Secara umum, para pihak yang terlibat dalam perikanan
rajungan di kabupaten Barru, dikelompokkan menjadi 3 yakni : 1) kelompok Pemerintah : mempunyai dua
fungsi sekaligus baik sebagai pihak penguna maupun pelindung sumberaya ala ( ekosistem rajungan ).
Dalam pelaksanaanfungsigandanya tersebut,seringmengalamikonflikkepentingan. Beberapa kebijakan dan
program pemerintah yang dibuattidakmampuuntukmemecahkanmasalahlingkungandalamberbagai level.
Tidak ada koordinasi yang baik antar instansi pemerintah terkait pengembangan perikanan (rajungan)
berkelanjutan dan lestari. Hasil musrembang yang melibatkan masyarakat nelayan dan pemerintah, belum
menyentuh upaya-upaya pengelolaan dan pelestarian sumberdaya. Paket program yang dibuat lebih kepada
peningkatan produksi perikanan. 2) Kelompok Pengusaha: adalah pihak yang memperjualbelikan rajungan
namun tidak secara langsung melakukan penangkapan rajungan di laut. Kelompok ini fungsinya sebagai
pihak pengguna, dimana aktivitas pengelolaan industri rajungan banyak memaksimalisasi ekstraksi rajungan
yang akan diekspor ke negara maju. 3) Kelompok Nelayan: ada tiga kategori nelayan yang beroperasi di
wilayah sentra rajungan di Kabupaten Barru, yakni: nelayan yang murni hanya menangkap rajungan, nelayan
yang menangkap rajungan dan komoditi laut lainnya (nelayan campuran), dan nelayan yang tidak
menangkap rajungan (non-rajungan). Sebagai kelompok akar rumput (grassroot community), nelayan
merupakan pihak yang paling lemah, khususnya dalam relasi kekuasaan pengelolaan sumberdaya. Komunitas
ini selalu mengalami proses marjinalisasi dan rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan. Hal ini
karena masyarakat (nelayan) tidak hanya lemah secara politik, tetapi juga secara hukum dibanding pihak-
pihak lain dalam mengendalikan pemanfaatan rajungan.
Akibatnya, nelayan seringkali menjadi korban dan dipojokkan sebagai yang bertanggung jawab
untuk mengatasi kersakan lingungan/sumberdaya.Adapun alat tangkap rajungan yang digunakan oleh
nelayan sendiri adalah jarring (gillnet), bubu lipat dan trawl mini. Setidaknya ada 13pihak yang terlibat dalam
pengelolaan perikanan rajungan di Kabupaten Barru dengan kepentingan yang berbeda-beda, belum
termasuk importir dan konsumen luar negeri lainnya (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Kepentingan Multipihak Atas Sumberdaya Perikanan Rajungan di Kabupaten Barru
No. Pihak/Agen Kepentingan atas sumberdaya
1 DKP Kab Barru Perlindungandanpelestariansumberdaya perikanan,konservasi,
pengaturan/pengelolaan,pemanfaatandanpenerapanperaturan.
2 Lembaga PenyuluhPerikanan Pendampingan dan pembinaan terhadap para nelayan

3 Polisi Air Patroli wilayah penangkapan untuk menegakkan hukum yang


melarang praktek penangkapan komoditas perikanan yang
merusak lingkungan.
4 Jaksa Penegakan hukum bagi pihak yang melakukan praktek illegal
penangkapan sumberdaya perikanan.
6 Individu nelayan rajungan Akses sumberdaya rajungan
7 Individu nelayan campuran Akses sumberdaya rajungan dan perikanan lain
8 Individu nelayan non-rajungan Akses sumberdaya perikanan non rajungan
9 Pengumpul/Pedagang Kecil Membeli sumberdaya rajungan dari beberapa nelayan
rajungan dan campuran untuk dijual ke pengumpul besar
10 Pengumpul/Pedagang Besar Membeli sumberdaya rajungan dari nelayan dan pengumpul
kecil untuk dijual ke miniplant atau eksportir.
11 Pekerja untuk pengusaha Menimbangrajungan dari pengumpul kecil dan nelayan.
miniplant atau eksportir
12 Pengusaha Miniplant Membeli sumberdaya rajungan dari pengumpul besar untuk
dijual ke eksportir.
13 Eksportir Membeli sumberdaya rajungan dari pengumpul besar dan
miniplant untuk dijual ke luar negeri.
23
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Dalam memperjuangkan kepentingannya multipihak saling berinteraksi di dalam jaringan penangkapan,


jaringan pemasaran dan jaringan pengawasan dan penegakan hukum. Dalam jaringan penangkapan,
terdapat tiga jenis agen yang berinteraksi yakni nelayan rajungan, nelayan campuran dan nelayan non
rajungan, dimana mereka bersama-sama melakukan penangkapan pada satu wilayah yang sama. Kondisi ini
sering menimbulkan konflik karena beberapa nelayan non rajungan menggunakan trawl mini, selain alat
tangkap tersebut tidak memiliki izin, juga sering mengakibatkan kerusakan atau hilangnya alat tangkap jaring
dan/atau bubu nelayan rajungan dan campuran, yang lebih parah lagi adalah rusaknya habitat rajungan
karena terkikis oleh alat tangkap mini trawl tersebut.
Meskipun belum muncul sebagai konflik terbuka, namun kecemburuan sosial dan rasa tidak puas terhadap
kebijakan yang ada harus mendapat perhatian dan dicarikan solusi terbaik.
Baik nelayan rajungan, campuran, maupun non rajungan sangat terikat dalam hubungan patron-
klien dengan pengumpul/pedagang besar rajungan sebagai punggawa bonto (juragan di darat). Hubungan
ini bertahan melalui kesepakatan tidak tertulis dan ikatan utang. Para punggawa menyediakan perahu,
mesin,
alat tangkap dan modal awal yang dibutuhkan nelayan untuk menangkap rajungan dan komoditi laut lainnya,
rata-rata nilainya sebesar Rp. 3.500.000,- hingga Rp. 5.000.000,-, tapi mereka harus menjual hasil
tangkapan kepada punggawa tersebut. Selama setahun, hasil tangkapan nelayan bervariasi: a) Pasokan
rajungan tinggi, terjadi pada Bulan November hingga Bulan Januari/Februari, b) Pasokan rajungan rendah,
terjadi pada Bulan Maret hingga Bulan April, dan c) Pasokan rajungan banyak yang bertelur, terjadi pada
Bulan Mei hingga Bulan Agustus.
Pada puncak produksi seorang nelayan dapat menangkap rajungan hingga 20 kg, namun pada saat
paceklik nelayan bisa tidak mendapatkan apa-apa (nihil). Pada saat paceklik peran para punggawa terhadap
nelayannya menjadi lebih besar, mereka harus menyediakan pendapatan untuk kebutuhan harian rumah
tangga nelayan. Para punggawa mempertahankan nelayannya dengan menjaga kontrol hutang mereka
kepadanya.
Dalam jaringan pemasaran, terdapat berbagai agen yang berinteraksi: para pengumpul rajungan
skala kecil bertanggung jawab memberikan rajungan kepada punggawa mereka, para punggawa (pengumpul
skala besar) bertanggung jawab memberikan rajungan kepada bos mereka, para bos (baik pemilik miniplant
ataupun eksportir) bertanggung jawab memberikan rajungan kepada importir yang bertanggung jawab
menyalurkan kepada konsumen. Pada tiap tingkatan, harga pembelian rajungan berbeda-beda: harga di
tingkat nelayan adalah Rp.20.000,- per kilogram, harga di tingkat pengumpul kecil adalah Rp.22.000,- per
kilogram, harga di tingkat pengumpul besar adalah Rp.25.000,- per kilogram (untuk pembelian rajungan
matang (RC = Raw Cook) oleh miniplant) dan Rp.37.000,- per kilogram (untuk pembelian RC oleh eksportir).
Saat ini, masih ditemukan rajungan-rajungan kecil (< 8 cm) dan bertelur yang diperjualbelikan. Padahal telah
ada aturan yang dikeluarkan pemerintah dan telah disosialisasikan, baik melalui kelompok pemerintah
maupun swasta (APRI-Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia) bahwa karena adanya kekhawatiran para
importir utama AS akan berkurangnya pasokan rajungan dari alam terutama Asia seperti Indonesia dan
Philipina, serta ditengarai masih berlangsungnya penangkapan rajungan yang tidak ramah lingkungan, maka
diharapkan para pelaku usaha rajungan tidak menerima bahan baku rajungan yang berukuran dibawah 8 cm.
Karena pada ukuran 8 cm, rajungan tersebut sekurang-kurangnya telah bertelur sekali sehingga
kesinambungan (sustainability) sumberdaya rajungan dapat terjaga atau lestari. Akan tetapi jika tidak ada
upaya serius untuk menjaga dan memulihkan kondisi rajungan, maka rajungan di Barru dapat punah karena
terus dieksploitasi (KKP, 2011).
Sementara dalam jaringan pengawasan dan penegakan hukum, yang banyak terlibat adalah dari
lembaga pemerintah, yaitu DKP Barru, Lembaga Penyuluh, Polisi Air, Jaksa. Meski demikian sangat sulit bagi
mereka untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum khususnya terkait penggunaan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan. Terlalu banyak kompromi dan uang suapbagi oknum-oknum penegak hukum
untuk praktek-praktek penangkapan yang illegal. Akibatnya dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan
penegakan hukum hanya sebatas formalitas dan kurang memiliki efek untuk perbaikan pengelolaan
rajungan.Berdasarkan Tabel 1, tersirat bahwa kelompok pengusaha rajungan dan masyarakat nelayan, tidak
terlibat dalam upaya-upaya menjaga kelestarian rajungan, mereka hanya mengambil hasil tanpa
24
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
memperhatikan bagaimana kondisi rajungan saat ini. Hal ini tercermin juga dalam hubungan-hubungan yang
terjalin dalam jaringan penangkapan, pemasaran, pengawasan dan penegakan hukum (Gambar 1).

Jaringan Pengawasan & penegakan


hukum
1 2 3 4

10 12 13 ? ?
Importir LN Konsumen LN

9 11
Jaringan Pemasaran

Keterangan:
6 7 8 : Pasokan rajungan
: Pengawasan
Jaringan Penangkapan

Gambar 1. Interaksi Multipihak dalam Jaringan Pengelolaan Perikanan Rajungan

Pengelolaan kawasan rajungan tidak dapat berjalan secara harmonis dan berkesinambungan manakala tidak
dilaksanakan secara komprehenship dan pola kolaboratif. Multipihak yang berkepentingan merupakan
elemen penting yang tidak bias diabaikan dalam proses pengelolaannya. Dalam jaringan pengelolaan
perikanan rajungan, hubungan – hubungan antar pihak umumnya dilakukan antar individu atau antar orang.
Substansi pengawasan lebih kepada pengawasan bisnis (peningkatan produksi rajungan), sementara
pengawasan pelaksanaan pengelolaan rajungan yang ramah lingkungan sangat terbatas.
Akses Multipihak Terhadap Pengelolaan Perikanan Rajungan
Akses menurut Ribot dan Peluso (2003) merupakan kemampuan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam
bentuk benda, jasa, ilmu pengetahuan, dan lain – lain melalui individu , organisasi ,komunitas masyarakat ,
kelompoktani, dan sebagainya.
Kepentingan multipihak dalam pengelolaan akses sumberdaya perikanan rajungan Kabupaten
Barru(Tabel 1) menunjukkan keragaman penggunaanakses,dan melihat mekanisme pengelolaan akses siapa
dan mendapatkan apa di dalam system perikanan rajungan tersebut. Mekanisme akses dari pemanfaatan
sumberdaya perikanan rajungan di lokasi penelitian (mengacu pada Ribot dan Peluso, 2003) disajikan dalam
Tabel2 di bawah ini :

Tabel 2. Peran Multipihak Berdasarkan Mekanisme Akses Sumberdaya Perikanan Rajungan Kabupaten Barru
Mekanisme Akses
Penggunaakses(Gain) Kendaliakses Memeliharaakses
Multipihak (Control acces) (Maintain akses)
DKP Kab Barru √ √
Lembaga Penyuluh Perikanan √
Polisi Air √
Jaksa √
Kelompok tani nelayan √
Individu nelayan rajungan √
Individu nelayan campuran √
25
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Mekanisme Akses
Multipihak Penggunaakses Kendaliakses Memeliharaakses
(Gain) (Control acces) (Maintain akses)
Individu nelayan non-rajungan √
Pengumpul/Pedagang Kecil √
Pengumpul/Pedagang Besar √
Pekerja untuk pengusaha √
miniplant/eksportir
Pengusaha Miniplant √
Eksportir √

Dinas Kelautan dan perikanan (DKP) Kabupaten Barru adalah pemegang wewenang terutama
mengendalikan akses sumberdaya periknan di wilayah perairan otonom kabupaten Barru. Jika control akses
dilakukan dengan baik berdasarkan mekanisme tersebut di atas, konflikk atas pemanfaatan sumberdaya
alam akan dapat di tekan dan di eliminir , pada gilirannya akan dapat dilakukan upaya pengelolaan
kolaboratif berdasarkan fungsi yang sebenarnya.Fakta menunujukan mekanisme tidak berjalan dan kurang
harmonisnya hubungan social dalam pemanfaatan sumberdaya .Koordinasi antar instansi pemerintah yang
memegang kontrol akses tidak berjalan sebagaimana mestinya, seharusnya dapat mengatur pengguna akses
dan memelihara akses agar sumberdaya dapat terpelihara dan berkelanjutan.
Dengan melihat mekanisme yang ditunjukan Tabel 2 di atas, keragaman pemanfaatan sumberdaya
tersebut sesungguhnya dapat berjalan jika system governance terhadap pengelolaan sumberdayaalam
berjalan dengan baik, sehingga tanggung jawab pemeliharaan akses menjadi tanggung jawab bersama.
Saat ini, terjadi ketidakseimbangan antara penerima manfaat dan tanggung jawab pemeliharaan akses.
Ditinjau dari manfaat langsung, khususnya manfaat ekonomi yang diterima masing-masing pihak, kelompok
nelayan yang menerimamanfaatbesaratassumberdaya, namundalam proses pengelolaanperikanan rajungan
aktivitasmereka sangat terbatas kaitannya dengan pemeliharaan, karenanelayan tidakmemilikipemahaman
tentang konsep perikanan berkelanjutan, mereka yakin bahwa laut akan terus memberi mereka sumber
penghidupan dan rajungan tidak akan habis meski mereka menangkapnya setiap hari,padahal fenomena
menghilangnya salah satu jenis ikan yang dikenal secara lokal dengan sebutan ikan awu-awu di Kabupaten
Barru sudah pernah terjadi. Ikan awu-awu menurut ciri-ciri fisik yang dikemukakan para informan adalah
ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta).
Selain itu, kelompok pengusaha juga menerima manfaat besar atas sumberdaya, namun kurang
dalam tanggung jawab pemeliharaan sumberdaya. Hal ini karena tidak adanya tuntutan yang tegas dari
Lembaga hukum .Sebagai pihak yang memiliki hak tertinggi dan wewenang terhadap pengelolaan perikanan
rajungan, DKP kabupaten Barru dalam kenyataannya kurang mengambil tanggung jawab dalam hal
pengelolaan sehingga situasi di lapangan terjadi di komunikasi dan masyarakat nelayan yang bergantung
sepenuhnya kepada sumber daya rajungan tersebut.Penyebab pemasalahan tersebut antara lain (1) terdapat
ketidakserasian atau ketimpangan di atara perarturan perundangan terkait pengendalian sumberdaya laut,
khususnya dalam hal ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran hukum. (2) DKP dalam pelaksanaan
pemanfaatansumberdaya perikanandilapangan cenderungmengejar targetpendapatandaerah yang
telahditetapkansetiaptahunanggaran (target APBD) subsektor perikanan. Ini tercermin dari kebijakan-
kebijakan DKP dalam pengembangan perikanan tangkap, salah satunya untuk perikanan rajungan dengan
target-target peningkatan produksi melalui bantuan pengadaan sarana dan prasarana penangkapan, seperti
bantuan perahu (joloro), mesin, alat tangkap jaringdan bubu (rakkang).Berdasarkan temuan di lapangan,
bahwa DKP maupun PPL tidak secara rutin melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kelompok
nelayan.
Kunjungan umumnya dilakukan hanya pada saat akan memberikan paket program (bantuan), setelah itu
tidak dilakukan pemantauan, pembinaan dan pendampingan, serta evaluasi manfaat program terhadap

26
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
peningkatan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Kebijakan/program bantuan yang dibangun masih
bersifat charity, dan belum kepada pemberdayaan nelayan yang sesungguhnya.Ketigakomponenpengelolaan
di atas akan dapat berjalan dengan baik jika didukung oleh hubungan komunikasi dan jaringan kerja yang
harmonis (networking) anta pihak – pihak terkait.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Dalam pengelolaan perikanan rajungan terdapat ketimpangan antara pengguna akses, kontrol akses dan
pemeliharaan akses multipihak terhadap sumberdaya rajungan di Kabupaten Barru, dimana kontrol dan
pemeliharaan akses lebih menjadi tanggungjawab pihak pemerintah, sementara pengguna akses didominasi
pihak swasta dan masyarakat nelayan. Kontrol yang tinggi dari pihak pemerintah, tidak membuat
pelaksanaan tanggung jawab pemeliharaan akses sumberdaya tinggi, disebabkan kebijakan pengelolaan
rajungan tidak efektif, khususnya dalam pengawasan dan penegakan hukum terhadap kebijakan pengelolaan
rajungan yang lemah memperparah kondisi keberlanjutan rajungan di Kabupaten Barru.

Saran

Dibutuhkan kolaborasi multipihak dalam pengelolaan rajungan berkelanjutan, sehingga dapat dicapai
keserasian (perbandingan yang proporsional) dalam akses sumberdaya rajungan.
Dibutuhkan peraturan perundangan yang dapat mengatur hal-hal seperti sistem pengelolaan sumberdaya
rajungan yang berkelanjutan, sistem informasi dan data statistic perikanan, sistem pengawasan, sistem
penegakan hukum, dan hal lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
- Anonim, 2012. Ekspor Rajungan Terancam Sertifikasi. http://industri.kontan.co.id/news/ekspor-
rajungan-terancam-sertifikasi-1.
- Dinas Kelautan dan Perikanan. 2010. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan Tahun 2009.
Makassar: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
- Dinas Kelautan dan Perikanan. 2011. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan Tahun 2010.
Makassar: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
- Dinas Kelautan dan Perikanan. 2012. Laporan Statistik Perikanan Sulawesi Selatan Tahun 2011.
Makassar: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
- Dinas Kelautan dan Perikanan. 2013. Laporan Sementara Statistik Perikanan Sulawesi Selatan Tahun
2012 (Belum Dipublikasi). Makassar: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
- Miles, B. Matthew danHuberman, A. Michael.1992. Analisis Data Kualitatif.Jakarta: Universitas
IndonesiaPress.
- Ribot, J.C andPeluso N.L. 2003.A Theory of Access. Rural Sociological, 68(2), 153-181.
- Satria, Arif. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Cetakan I. Yogyakarta: Penerbit LkiS.
- Sulistiono,TNugroho,MZahid.2009.EkobiologidanPotensiPengembanganPerikananRajunganIndonesia.
DepartemenManajemenSumberdayaPerairanFakultasPerikanan danIlmuKelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sumber internet:
- FIP. 2013.Indonesian Blue Swimming CrabFishery Improvement
Project.http://www.sustainablefish.org/fisheries-improvement/crabs/indonesian-blue-swimming-crab.
- KKP. 2011. Rencana Penerapan Persyaratan Ekspor Rajungan (Portunus pelagicus oleh National
Fisheries Institute (NFI) Amerika Serikat. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.

27
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

7.MEMBANGUN KEJAYAAN PERKEBUNAN TEH RAKYAT(BUILDING


THE FAME OF TEA SMALL PLANTATION)
Oleh: Dr.Ir. Lucyana Trimo,MSIE

Jurusan Sosial Ekonomi Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UNPAD


(E-mail: l.trimo@yahoo.com atau lucy.trimo@gmail.com)

ABSTRAK
Provinsi Jabar merupakan wilayah sentra teh di Indonesia,sebagian besar (51,3 persen) merupakan
perkebunan teh rakyat yang melibatkan 79.560 KK. Teh rakyat sulit maju, karena banyaknya hambatan yang
dihadapi, yaitu: kekurangan modal, rendahnya produktivitas, mutu yang rendah sehingga mengakibatkan
harga jadi rendah, kurangnya akses pemasaran dan informasi pasar, beralih fungsinya kebun teh, belum
adanya kemitraan usaha yang dapat menjamin keberlangsungan usaha teh rakyat,dan lain-lain. Ini
menyebabkan lahan perkebunan the rakyat di Jabar terus mengalami penyusutan,akibat adanya alih fungsi
lahan terhadap komoditas lain.
Sebenarnya, pengembangan teh rakyat masih memiliki prospek yang baik, ini terlihat dari: 1) adanya
peningkatan konsumsi teh dalam negeri yaitu 310 gr/ kapita/tahun, 2) berkembang dengan pesatnya industri
hilir teh berupa ” Instant Tea ”, 3) adanya peningkatan pasar ekspor ke negara yang tingkat konsumsinya
tinggi, 4) mengisi ceruk pasar untuk teh kwalitas ” premium ”, 5) meningkatnya diversifikasi produk dan
pasar untuk produk suplement kesehatan berupa ”effervescent tea”, 6) meningkatnya permintaan teh hijau
organik, dan 7) bio-tea.
Untuk membangun perkebunan the rakyat harus dilakukan secara integrasi dan sinkronisasiyang baik dari
semua pihak terutama lembaga yang berasal dari petani itu sendiri (kelompok tani dan asosiasi petani)
maupun pemerintah dan swasta (pedagang, pabrikan, dan lain-lain), serta lembaga penunjang (perguruan
tinggi dan perbankan) melalui metode kolaborasi sinergisme.Metode ini, selain mengutamakan kerjasama
secara sinergi antara stakeholder dengan ptani teh, juga harus memperhatikan potensi sosial dan ekonomi
daerah setempat yang akhirnya dapat memberikan multiplier effect terhadap perkembangan ekonomi lokal,
kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan, dan peningkatan PAD bagi pemerintah daerah.

Kata kunci: membangun, kejayaan, perkebunan teh rakyat, kolaborasi sinergisme, Jawa BaraT

ABSTRACT
West Java Province is the central region of tea in Indonesia , the majority ( 51.3 percent ) is a tea small
plantations involving 79.560 households . Tea small plantations difficult forward , because of the many
obstacles faced , namely : lack of capital , low productivity , poor quality , resulting in price so low , the lack
of access to markets and market information , the switch function of the tea land , not a business partnership
that can ensure business continuity tea small plantations, and others. This led to the tea small plantations in
West Java steadily shrinking , due to land conversion to other commodities.
Actually , the development of tea small plantations still have good prospects , is seen from: 1) an increase in
domestic consumption of tea is 310 g / capita / year , 2 ) growing rapidly downstream tea industry in the
form of " Instant Tea " , 3 ) an increase in market exports to countries whose consumption levels are high , 4
) fill a niche market for tea quality "premium " , 5 ) increasing diversification of products and markets for
health supplement products such as " effervescent tea" , 6 ) the increasing demand for organic green tea ,
and 7 ) bio - tea .
28
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
To build the tea small plantations have done a good integration and synchronization of all parties especially
those coming from farmers themselves ( farmer groups and farmer associations ) as well as the government
and the private sector ( traders , manufacturers , and others) , as well as the supporting institutions (
colleges and banks ) through collaboration methods synergism . This method , in addition to prioritizing
cooperation between stakeholders in synergy with tea small plantations, also must pay attention to the social
and economic potential of the local area which can ultimately provide a multiplier effect on local economic
development , welfare of the community around the company , and increase revenue for local governments .

Keywords : building , fame, tea small plantation, synergisme Collaboration, West Java

PENDAHULUAN
Secara gradual, mutu teh Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 1900 -an, karena imbas dari
pendapatan yang tidak meningkat bahkan cenderung menurun, dengan kenaikan biaya akibat laju inflasi
nasional.Padahal, penurunan mutu secara timbal balik juga mengakibatkan penurunan harga jual. Keadaan
mutu teh yang tidak konsisten tersebut menjadi salah satu penyebab peroleh-an harga teh di pasar
internasional yang cenderung rendah, lebih rendah dari harga teh Sri Lanka dan Kenya. Dewasa ini ada
kecenderungan bahwa pabrikan teh di Negara-negara pengimpor teh Indonesia tidak lagi menjadikan teh
Indonesia sebagai blending component, tetapi hanya sebagai filler saja.Oleh karena itu perbaikan mutu
menjadi salah satu critical success factor dalam upaya Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (Dewan Teh
Indonesia, 2012).
Penurunan mutu tersebut diikuti pula oleh semakin menurunnya luas areal produksi tanaman teh di
Indonesia.Luas areal dan produksi tanaman teh di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung menurun dan
untuk tahun 2011 seluas 123.351 ha dengan total produksi 140.944 ton. Dari total areal tersebut, diusahakan
dalam bentuk Perkebunan Rakyat (PR) seluas 56.529 ha, Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 39.048 ha
dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 27.774 ha.(Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian
Pertanian Desember 2012).
Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah sentra teh di Indonesia, tetapi saat ini pengembangan lahan teh di
Jabar memiliki beragam permasalahan. Sekitar 2 persen lahan perkebunan teh di Jabar menyusut, terutama
perkebunan rakyat,sebagai akibat adanya alih fungsi lahan terhadap komoditas lain.Kondisi tersebut dapat
ditafsirkan usaha perkebunan teh mulai dianggap kurang menarik karena rendahnya pendapatan petani teh
rakyat dari imbas tingginya biaya produksi dan keterbatasan kemampuan untuk mengolah produk teh agar
mempunyai nilai tambah1)
Kepala Dinas Perkebunan Jabar (20 September 2013) menyebutkan bahwa luas perkebunan teh di
Jabar saat ini sebagian besar atau sekitar 51,3 persen merupakan perkebunan teh rakyat yang melibatkan
79.560 kepala keluarga. Sisanya sekitar 26,5 persen merupakan perkebunan teh yang dikelola oleh PTPN
dan 22,16 persen merupakan perkebunan teh perusahaan swasta. Selanjutnya, iapun menyatakan bahwa,
“Sejauh ini produksi teh merupakan andalan produk agribisnis Jabar dengan areal yang tersebar di wilayah
Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Subang,”2)
Berdasarkan pernyataanKepala Dinas Perkebunan Jabar tersebut di atas, terlihat bahwa perkebunan rakyat
keberadaannya masih menjadi penopang hidup petani teh di Provinsi Jawa Barat, walaupun dari tahun ke
tahun mengalami penyusutan.Hal ini disebabkan, tanaman teh masih menjadi andalan, karena dari hasil
penelitian Tim UNPAD dan Perhimpunan Agronomi (Peragi)Komda Jawa Barat (2009) terungkap, bahwa
sebagian besar petani (90 persen) menyatakan bahwa, dari the mereka memperoleh penghasilan tetap
walaupun kecil, dan itu membuat mereka tenang karena sambil menunggu hasil panen dari tanaman padi
dan palawija, mereka dapat memperoleh penghasilan tetap dari teh. Oleh karena itu, menjadi perhatian
penting untuk terus melakukan pengkajian tentang berbagai macam cara untuk membangun kembali
perkebunan the rakyat.
1)
Bisnis Indonesia. 23 September 2013. Jabar Siap Revitalisasi Kebun Teh. (http://epaper.bisnis.com/)
2)
Wagub Buka Festival Teh. 20 Sept 2013,.http://antarajawa barat.com.

29
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
METODE
Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, dan menggunakan metode studi kasus.
Selanjutnya, informan dalam penelitian ini diambil secara sengaja ( purposive) dengan teknik judgment
sampling. Penelitian inidilakukan di Kabupaten: Bandung, Garut dan Purwakarta di Provinsi Jawa Barat.Untuk
memperoleh data primer yang diperlukan dalam penelitian ini, maka dapat dilakukan melalui beberapa
teknik, yaitu: (1) observasi (pengamatan) dan (2) Studi dokumentasi dan 30oran30ture, merupakan studi
yang dilakukan melalui cara mengumpulkan dan mempelajari data tertulis berupa buku-buku, dokumen-
dokumen atau transkip, 30oran, jurnal, bulletin, dan membuka akses melalui internet mencari website-
website yang terkait dengan penelitian ini.

Teknik selanjutnya, (3) wawancara (interview) dengan berpedomankan pada pedoman wawancara yang
telah dipersiapkan terlebih dahulu, ditunjang oleh buku catatan, tape recorder dan kamera.Kegiatan
wawancara dalam penelitian ini, dilakukan beberapa tahap. Pada tahap awal, peneliti melakukan wawancara
dan penelusuran informan melalui PPTK Gambung (Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung), Dinas
Perkebunan Propinsi,Dinas Indag Propinsi/Kota/Kabupaten, Kecamatan, dan Desa, selanjutnya dari staf
inilah dapat ditelusuri dimana saja dan siapa saja informan yang dapat diandalkan untuk mengungkapkan
segala sesuatu yang dilakukan oleh petani dalam beragribisnis teh. Tahap selanjutnya, wawancara
dilakukan terhadap PPL, tokoh tani/masyarakat, petani teh, dan juga pedagang.

Penelitian ini bersifat kualitatif, oleh karena itu menurut Huberman dan Miles (1992), penelitian kualitatif
memerlukan model analisis data interaktif. Model ini terdiri dari tiga hal utama, yaitu: reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan/verifikasi yang merupakan jalinan saat sebelum, selama dan sesudah
pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut analisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Prospek Perkebunan Teh Rakyat
Sebenarnya, komoditas teh masih memiliki prospek yang baik, ini dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu: 1)
adanya peningkatan konsumsi teh dalam negeri yaitu 310 gr/ kapita/thn, sementara India 660
gr/kapita/tahun, 2) Berkembang dengan pesatnya industri hilir teh berupa ” Instant Tea ” (makanan,
minuman, farmasi, kosmetik), 3) adanya peningkatan pasar ekspor ke negara yang tingkat konsumsinya
tinggi, 4) mengisi ceruk pasar untuk teh kwalitas ” premium ”, 5) pengembangan diversifikasi produk dan
pasar untuk produk suplement kesehatan berupa ”effervescent tea” yang tinggi kandungan anti oksidan, 6)
meningkatnya permintaan teh hijau organik, dan 7) bio-tea. Sayangnya, di Indonesia pemanfaatan
komoditas teh masih jauh dari harapan, terutama produk teh yang berasal dari perkebunan rakyat.

Untuk produk teh hijau organik, menurut Ketua Asosiasi Teh AS, Joseph Simbrani, di Nusa Dua Bali, Selasa
(19/7) menyebutkan, belakangan ini konsumsi produk teh hijau di negaranya meningkat sampai 50 persen
dari total konsumsi teh nasional. Seleksi konsumen di sana, lebih menginginkan produk teh yang terbebas
dari bahan kimia, sehingga produk teh hijau organik menjadi pangsa pasar baru yang sangat diminati
konsumen AS. "Hanya saja, pasokan teh hijau organik sejauh ini masih sedikit dibandingkan besarnya
permintaan konsumen.Apalagi, negara pemasok teh hijau organik, misalnya Kenya, belum mampu meningkat
kan pasokan," pada Konferensi Bisnis Teh Internasional II/2005.di Nusa Dua Bali.Selanjutnya, iapun
menyatakan bahwa, Pembelian produk teh di AS kini senilai 99,3 juta dolar AS per tahun, yang semula
didominasi teh hitam. Pembelian teh berasal dari berbagai negara produsen teh dunia dengan ditunjang oleh
adanya tren baru konsumsi teh, terutama untuk campuran kue, masakan, kampanye kesehatan, di samping
berbagai produk yang memunculkan image teh adalah produk mewah.

Dari berbagai penggunaan produk itu, konsumen di AS kini cenderung memilih bahan dari produk teh
organik. Secara terpisah, tiga produsen utama teh dunia, Kenya, India, dan Srilanka, sejumlah perwakilan
mereka yang hadir pada pertemuan di Bali itu, secara umum menyatakan, masih belum siap mengisi peluang
pasar teh hijau organik di AS.

30
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Ketua Dewan Teh Kenya, Nicholas Nganga dan Ketua Dewan Teh Srilanka, Niraj de Mei, secara umum
menyebutkan, produksi teh hijau secara organik di negara mereka masih terbatas. 3)Masuknya Indonesia ke
bursa pasar teh organik, akan lebih memantapkan kedudukan Indonesia dipercaturan teh dunia. Bila harga
teh nonorganik rata-rata harganya hanya 1,08 dolar AS/kg, teh organik bisa mencapai 5,4 dolar AS/kg.
Kondisi alam Indonesia sangat mendukung dibuatnya produk teh organik.Banyak perkebunan-perkebunan
yang memiliki persyaratan lahan terisolasi yang merupakan cikal bakal dibuatnya teh jenis ini. Sementara itu,
kebutuhan pasar dunia terhadap teh organik, diperhitungkan akan terus meningkat.4)
-------------------------Kodar Solihat. Pikiran Rakyat. Jabar Harus Manfaatkan Peluang Pasar Di AS: Permintaan
Teh Hijau Organik Meningkat 50 persen.Rabu, 20 Juli 2005.Dedi Riskomar. Untuk Antisipasi Pasar bebas
Indonesia Mulai Kembangkan Teh Organik. Pikiran Rakyat, Selasa 29 Oktober 2002.

Hambatan yang Dihadapi Perkebunan Teh Rakyat


Banyak hambatan yang dihadapi perkebunan teh rakyat untuk maju berkembang, diantaranya adalah:
kekurangan modal, rendahnya produktivitas sebagai hasil dari buruknya budidaya yang petani lakukan, mutu
yang rendah sehingga mengakibatkan harga jadi rendah, kurangnya akses pemasaran dan informasi pasar,
beralih fungsinya kebun teh, belum adanya kemitraan usaha yang dapat menjamin keberlangsungan usaha
teh rakyat (menjamin pemasaran dan harga yang baik bagi petani teh), dan lain-lain. Selanjutnya, dari
beberapa penelitian yang pernah dilakukan, dapat diketahui pulabahwa sebenarnya Kelompok Tani teh
rakyat dalam melakukan usaha tehnya selama ini belum berorientasi ke arah agribisnis. Hal ini terlihat dari
perilaku mereka sehari-hari dalam mengusahakan tehnya, yaitu:
Masih menganggap jika komoditas teh yang mereka usahakan hanya sebagai tambahan pendapatan
sampingan saja, yang kurang memiliki nilai lebih bila dibandingkan dengan tanaman lainnya seperti: padi dan
palawija.Dalam mengelola komoditas tehnya, kelompok tani belum terorganisir dengan baik.Orientasi usaha
yang dimiliki Kelompok dalam mengusahakan tehnya adalah, masih berorientasi subsisten (hanya sebagai
tambahan kebutuhan hidup sehari-hari).
Belum memandang mutu sebagai nilai tambah yang sangat penting dalam kegiatan produksi teh.
Kelompok Tani teh rakyat belum memiliki kegiatan yang terarah dalam mengembangkan usaha tehnya, hal
ini terlihat dari belum adanya rencana dalam bentuk program-program kegiatan yang dengan serius ingin
mereka lakukan didalam kelompoknya.
Walaupun banyak terdapat hambatan yang dihadapi petani teh, tetapi tetap mereka memiliki
harapan terhadap usaha dari tanaman teh yang mereka miliki.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim dari UNPAD bersama-sama dengan Perhimpunan
Agronomi (Peragi)Komda Jawa Barat (2009) terungkap bahwa, terdapat beberapa hal yang menjadi harapan
petani perkebunan rakyat untuk mengembangkan usahanya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
pendapatan dan daya beli mereka. Harapan tersebut antara lain:

Mendirikan pabrik teh hijau dengan kapasitas kecil untuk mengolah teh.
Penambahan pengetahuan untuk cara pengemasan yang lebih baik.
Adanya kemitraan agar ada jaminan pemasaran the milik petani dan modal bagi petani the.
Adanya penguatan kelompok tani dalam beragribisnis the.
Adanya subsidi dalam saprotan yang sangat dibutuhkan petani untuk meningkatkan produktivitasnya.
Peningkatan pengetahuan petani dalam budidaya dan pengolahan hasil pengolahan hasil.

Model Membangkitkan Perkebunan Teh Rakyat


Untuk membangun kejayaan perkebunan rakyat, harus dilakukan secara terpadu oleh semua stakeholder
terkait (pemerintah, pergutuan tinggi, dan perkebunan besar).Oleh karena itu, melalui kemitraan
berdasarkan metode kolaborasi sinergisme antara perkebunan teh rakyat dengan stakeholder diharapkan
dapat berjalan secara terpadu dan harmonis. Melalui meode ini petani harus diperlakukan sebagai subyek
(bukan obyek), materi pembinaan/penyuluhan tidak hanya sebatas teknis saja, ada kontrol bersama, terjadi
transfer asset dan sharing asset, dan lain-lain. Tetapi yang terjadi saat ini, factor-faktor tersebut kurang
diperhatikan, maka kohesifitas yang terjalin antara plasma dengan inti menjadi rendah.

31
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Terjalinnya kohesifitas yang kuat akan memunculkan kolaborasi sosial yang erat antara perusahaan dengan
masyarakat, atau sebaliknya, adanya kolaborasi antara masyarakat dengan perusahaan maka akan
meningkatkan terjalinnya kohesifitas yang kuat.
Dalam metode Kolaborasi lebih memungkinkan untuk dilakukan kerjasama yang bersifat saling
menguntungkan tidak saja dalam hal materi, tetapi juga non materi. Cara kolaborasi akan memungkinkan
kedua belah pihak yang bermitra bekerja sama.
Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan metode kolaborasi (Gray, 1989), ada pada komitmen kelompok
kolaborasi yang memiliki persepsi bahwa kesepakatan diantara stakeholder akan memberikan hasil yang
positif bagi kedua belah pihak. Karena, pendekatan kolaboratif mempunyai dua tujuan utama (Ingles et el.,
1999):
Mengelola pemanfaatan sumberdaya melalui perundingan atas prinsip-prinsip dan praktek-praktek
yang dapat disepakati bersama oleh para pemangku kepentingan;
Membangun cara-cara berbagi hak dan kewajiban diantara para pemangku kepentingan untuk
membuat keputusan-keputusan dan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya.
Oleh karena itulah maka, yang menjadi perhatian utama dalam teknik kolaborasi, tidak cukup hanya
mengandalkan hubungan yang terjalin secara harmonis saja, tetapi juga diperlukan keterikatan yang kuat
dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Ini berarti kolaborasi tersebut harus bersifat sinergis.
Arti sinergi disini adalah adalah peningkatan nilai tambah ekonomi melalui penggabungan berbagai potensi
ekonomi yang antara satu dengan lainnya, ada keterikatan atau ketergantungan (Prahalad, 2002).
Kemudian, Penrose (1959) dalam Iversen, M (1996) mendefinisikan sinergi dalam lingkup ekonomi yaitu,
sebagai hasil kerjasama atas asset yang dimiliki.

Ada dua bentuk sinergi yang diungkapkan oleh Penrose yaitu (1) sharing (saling berbagi) asset dan (2)
transfer asset. Sharing asset terjadi pada saat pihak mitra (stakeholder) memberikan pinjaman modal sarana
produksi kepada petani teh rakyat, serta membeli dan memasarkan hasil produksi teh yang dihasilkan oleh
petani. Transfer asset dapat berbentuk bimbingan dan pembinaan dalam aspek teknologi, manajemen
produksi dan manajemen bisnis kepada petani teh, karena makna asset disini bisa dalam bentuk
keterampilan dan juga pengetahuan.

Sharing asset dan Transfer asset dari stakeholder dapat dilakukan oleh:
Perkebunan Besar Negara dan Swasta, terdapat program Kepedulian Kepada Masyarakat yang dapat
dimanfaatkan untuk membina kelompok tani teh rakyat. Jika program ini dijalankan dengan tepat, maka
keberadaan Perkebunan akan lebih dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat yang berada di
sekitar Perkebunan, dan akan menyebabkan terjalinnya hubungan yang erat antara pihak Perkebunan Besar
dengan masyarakat (perkebunan teh rakyat).
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, telah menganggarkan untuk kegiatan
fasilitasi pengadaan sarana produksi yang diperlukan oleh perkebunan teh rakyat.
Untuk mendukung Intensifikasi Teh Rakyat, peran pemerintah akan memfasilitasi pengadaan sebagian benih
unggul dan pupuk organik, menyediakan Pedoman Teknis Budidaya dan melakukan pengawalan serta
pembinaan, sebagai upaya untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman teh maka pada
tahun 2013 melalui anggaran APBN Tugas Pembantuan (TP).
Dinas Perkebunan bekerjasama dengan Dinas Pariwisata, dan Perindustrian membina perkebunan
rakyat sebagai suatu agrowisata. Lembaga yang berasal dari petani itu sendiri (kelompok tani, paguyuban,
asosiasi petani). Asset yang dimiliki oleh lembaga yang dimiliki petani (non materi) dapat dibangunkan dan
dimanfaatkan menjadi potensi besar yang dapat mendorong berjalannya proses pemberdayaan, seperti yang
diungkapkan oleh Sumardjo (2007) bahwa, salah satu prinsip penting dalam pemberdayaan adalah
menghargai lokal (valuing the local). Prinsip ini tersirat oleh gagasan pembangunan yang bersifat „bottom
up‟ . Prinsip ini berpusat pada gagasan untuk menghargai pengetahuan lokal, nilai-nilai, keyakinan,
keterampilan, proses dan sumberdaya suatu masyarakat. Dengan demikian lebih mudah meyakinkan
masyarakat dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan tersebut.

32
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Gambar: Kemitraan Melalui Kolaborasi Sinergisme antara Perkebunan Teh


Rakyat dengan Stakeholder

Bila Kolaborasi Sinergisme ini diterapkan, maka akan menunjang Undang-Undang RI no.18 tahun 2004
tentang Perkebunan Bagian Keempat tentang kemitraan usaha perkebunan:
Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yg saling menguntungkan, saling menghargai, saling
bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan
masyarakat sekitar perkebunan.

Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), polanya dapat berupa kerjasama
penyediaan sarana produksi, kerjasama produksi, pengolahan, pemasaran, transportasi, kerjasama
operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya.
Keuntungan bagi perkebunan teh rakyat dengan adanya bentuk kemitraan seperti itu adalah: a)merasa ikut
memiliki dan menjaga keberadaan perusahaan perkebunan, b) merasakan manfaat keberadaan perusahaan
perkebunan di wilayah mereka, c) memperoleh pembinaan dan peningkatan pengetahuan, d) memiliki
penghasilan yang tetap dan dapat diandalkan, dan e) merasa adanya jaminan kehidupan.

SIMPULAN DAN SARAN

Untuk membangun perkebunan the rakyat harus dilakukan secara integrasi dan sinkronisasiyang baik dari
semua pihak terutama lembaga yang berasal dari petani itu sendiri (kelompok tani dan asosiasi petani)
maupun pemerintah dan swasta (pedagang, pabrikan, dan lain-lain), serta lembaga penunjang (perguruan
tinggi dan perbankan) melalui metode kolaborasi sinergisme Dalam membangun kemitraan antara
perkebunan the rakyat dengan stakeholder melalui kolaborasi sinergisme, selain mengutamakan kerjasama
secara sinergi antara stakeholder dengan masyarakat, juga harus memperhatikan potensi sosial dan
ekonomi daerah setempat. Pada akhirnya dapat memberikan multiplier effect terhadap perkembangan
ekonomi lokal, kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan, dan peningkatan PAD bagi pemerintah daerah.

33
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
- Badan Pusat Statistik. 2011. Demografi Penduduk Kota Bandung. Bandung.
- Bungaran Saragih.2004. Membangun Pertanian Perspektif Agribisnis. Dalam Pertanian Mandiri.
Penebar Swadaya; Jakarta.
- Creswell, J. W. 1994. Research Design, Quantitative & Qualitative Approaches. Sage Publication, Inc.
- Didik H. Gunadi dan Wayan R. Susila. 2005. Teknologi Dalam Bidang perkebunan: Sekarang, Esok
dan Kebutuhannya di Indonesia. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia , Bogor
- Direktorat Pengembangan Perkebunan: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen
Pertanian. Rancang Bangun. Nomor : 633/Kpts/OT.140/10/2004 Tanggal : 19 Oktober 2004
- Direktorat Jenderal Perkebunan - Departemen Pertanian. Apa Dan Bagaimana Keberlanjutan Sistem
Produksi Teh Itu ? . administrator web : ditjenbun@deptan.go.id(22 Maret 2009).
- Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Desember. 2012. Pedoman Teknis
Pengembangan Teh Rakyat Tahun 2013: Peningkatan Produksi, Produktivitas Dan Mutu Tanaman
Rempah Dan Penyegar.

Sumber Tesis:
- Ery Supriyadi R .2007. Model Perkebunan Teh Untuk Mendorong Pembangunan Ekonomi Lokal Di
Kabupaten Bandung, Jawa Barat (Thesis, ITB Bandung).
- Fabien Durif (Canada), Caroline Boivin (Canada), Charles Julien (Canada) In search of a green
product definition Innovative Marketing, Volume 6, Issue 1, 2010.
- Huberman dan Miles.1992. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah: Tjetjep Rohidi. UI Press; Jakarta
- Lucyana Trimo. 2007. Analisis Pengendalian Produksi Teh Rakyat oleh Petani Di Kabupaten
Bandung.
- Lucyana Trimo. 2008. Peluang dan Kendala yang Dihadapi Perkebunan Teh Rakyat Dalam
Mengembangkan Usahanya Di Kabupaten Garut.
- Fakultas Pertanian UNPAD dan Pemda Provinsi Dinas Perkebunan Jawa Barat; Bandung.2006.
Inventarisasi Pendapatan dan Daya Beli Petani Perkebunan Rakyat.
- Fakultas Pertanian UNPAD dan Perhimpunan Agronomi (Peragi)Komda Jawa Barat. 2009.
FasilitasiPenerapan Manajemen Agroteknologi dan Agribisnis Perkebunan Rakyat Di Jawa Barat.
2009. (Teh, Kopi, Kina Dan Kelapa).
- Sumardjo.2007. Metoda Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Magister Profesional
Pengembangan Masyarakat, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.

34
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
8.UPAYA MENINGKATKAN KETERSEDIAAN SAPI BALI BAKALAN
MELALUI PENDEKATAN KLASTER AGRIBISNIS

Maria Krova1), Maman H. Karmana2), Dadi Suryadi3), Rochadi Tawaf4)

Mahasiswa Program Doktor Fakultas Pertanian UNPAD

Staf Pengajar Pascasarjana Fakultas Pertanian UNPAD,

Staf Pengajar Pascasarjana Fakultas Peternakan UNPAD

Staf Pengajar Pascasarjana Fakultas Peternakan UNPAD

E-mail: mariakrova@yahoo.com

E-mail: maman_haeruman@yahoo.com

E-mail: dsryd46@yahoo.com

E-mail: rochadi_tawaf@unpad.ac.id

ABSTRAK

Kecenderungan meningkatnya permintaan daging sapi saat ini menuntut upayameningkatkan ketersediaan
input utama sapi Bali bakalan yang berkelanjutan. Namun hal ini sulit dicapai karena ketersediaan sapi Bali
bakalan semakin langka sementara kebutuhannya semakin tinggi. Kesulitan tersebut disebabkan produksi
sapi Bali bakalan usaha pengembangbiakan dilakukan oleh peternakan rakyat dengan manajemen tradisional
sehingga produktivitasnya rendah. Salah satu upaya untuk mengurangi kesenjangan tersebut adalah melalui
pendekatan klaster agribisnis sapi potong yang mengkonsentrasikan aktivitas sejenis dan terkait. Penelitian
ini bertujuan memahami sistem ketersediaan sapi Bali bakalan serta mengkaji upaya untuk mengurangi
kesenjangannya melalui klaster agribisnis di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur. Sifat khas klaster
agribisnis yang melibatkan multistakeholder ini akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang bersifat
kompleks dan sistemik. Pemahaman terhadap kompleksitas sistem ketersediaan sapi Bali bakalan ini
menggunakan pendekatan pemodelan kualitatif yang didasarkan pada system thinking. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengembangan manajemen klaster agribisnis sapi potong akan mampu meningkatkan
ketersediaan sapi Bali bakalan yang berkelanjutan. Keberhasilan ini ditentukan oleh jaringan bisnis yang
terbentuk telah menyebabkan: kepastian pasar, kepastian pendapatan peternak,pembelajaran teknologi dan
inovasi produksi secara bersama sehingga meningkatkan kinerja usaha.

Kata Kunci: Sapi Bakalan, Ketersediaan, system thinking, Klaster Argibisnis.

ABSTRACT

A tendency of the increasedof national demand for beef recently would affect upon its procurementeffort
which in turn would also related to the demands for Bali feeder cattle inputs. Unfortunately it quite difficult to
be realilized due to lack of Bali feeder cattle needed that steadily increased. The difficulties may also related
to a low productivity level of cow calf operation conducted by a traditional farmers. Agribusiness cluster of
beef cattle was considered as a way to improve this condition where multistakeholder involved. Hope fully
35
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
the gap between the low level supply and the increased demand for beef cattle could be reduced. However,
the complexitas and systemic is probems would also appear, so that intensive studies were certainly reqiured
through a qualitativemodel of system thinking.The results of this study indicated thatmanagement
development on agribusiness cluster of beef cattlewould able toincrease availability of Bali feeder cattle
through agribusiness cluster approach. The success of this arrangement will be determined by the
stakeholders involvedand its respected business network so that the certainty of markets farm income and
learning process related to technologi and innovation as well as their business performance could be
improved.

Keywords :feeder cattle, availability, system thinking, Agribusiness Cluster.

PENDAHULUAN

Tingginya harga daging sapi sebagai akibat meningkatnya permintaan secara nasional saat ini memberikan
peluang sekaligus menuntut konsistensi pengembangan usaha ternak sapi potong domestik dari waktu ke
waktu. Pengembangan yang konsisten diperlihatkan oleh responsifnya setiap tahapan dan atau subsistemnya
untuk secara sinergis selalu meningkatkan kinerja usaha secara berkelanjutan.

Persoalannya adalah pada tahapan pengembangbiakan sapi potong (cow calf operation) umumnya
dilaksanakan secara ekstensif tradisional (grazing). Ciri khas dari pola pemeliharaan ekstensif adalah berskala
kecil, terpencar, kurangnya kontrol terhadap siklus reproduksi, kuantitas dan kualitas pakan, perawatan
kesehatan serta tanpa teknologi. Dengan pola tersebut dapat diduga peternak kesulitan mencapai
produktivitas yang tinggi dan akan berdampak pada inefisiensi usaha. Masalah ini akan menyebabkan
produksi berfluktuasi yang berakibat lanjut pada ketidakpastian pasokan bakalan dan fluktuasi harga.

Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah melalui pembentukan kelompok
peternak sapi potong, kelompok kandang komunal, dan klaster penggemukan sapi potong. Namun upaya
yang ada belum optimal dan efektif mengatasi persoalan produktivitas dan efisiensi serta belum memuaskan
semua pihak terutama peternak. Efisiensi dan penciptaan nilai tambah (value added) usaha masih dapat
ditingkatkan melalui rekayasa manajemen kelompok peternak yang sudah ada menjadi suatu model klaster
agribisnis. Pengembangan tersebut didasarkan pada konsep klaster yang merupakan “konsentrasi geografis
yang menghubungkan berbagai pelaku usaha, pemasok, jasa pelayanan, industri pendukung dan
kelembagaan terkait (perguruan tinggi, lembaga standar, asosiasi perdagangan) dalam suatu bidang tertentu
yang saling bersaing dan juga bekerjasama” (Porter, 2000).

Keterpusatan atau aglomerasi berbasis produksi yang terjadi akan menciptakan efisiensi kolektif ( collective
efficiency) dan nilai tambah serta dapat mengatasi masalah bersama melalui aksi bersama (joint action).
Kedekatan secara geografis akan menyebabkan berbagai penghematan baik internal usaha (akibat
economies of scale dan economies of size) dan eksternal (akibat rendahnya transaction cost).

Bertolak dari masalah dalam usaha pengembangbiakan sapi Bali dan peran klaster agribisnis di atas maka
diperlukan pemahaman secara menyeluruh (holistic) tentang interaksi dari berbagai unsur baik pelaku
maupun faktor lainnya yang mempengaruhi sistem ketersediaan sapi bakalan baik hulu maupun hilir. Ini
berarti akan melibatkan banyak pelaku dengan berbagai kepentingan sehingga persoalannya menjadi
sistemik dan kompleks. Keterkaitan yang terjadi pun akan mendorong tumbuhnya perluasan bisnis, investasi
kapital dan pekerja

Artikel ini khusus membahas tentang koordinasi dan kolaborasi yang terjadi dalam klaster agribisnis sapi Bali
di Kabupaten Belu. Koordinasi dan kolaborasi yang terjadi antara pelaku klaster akan meningkatkan daya
saing dan produktivitas usaha. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang
menarik untuk dikaji, yaitu: 1) Bagaimanakah unsur-unsur pembentuk dan pola keterkaitannya yang
menjelaskan sistem ketersediaan sapi Bali bakalan aktual ? 2) Apakah pendekatan klaster agribisnis mampu

36
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
meningkatkan ketersediaan sapi Bali bakalan secara berkelanjutan? 3) Apa sajakah faktor-faktor penentu
keberhasilan klaster agribisnis dalam menjamin ketersediaan sapi Bali bakalan secara berkelanjutan?

METODE

Obyek penelitian ini adalah usaha pengembangbiakan sapi potong serta hulu hilirnya yang dilaksanakan
dalam klaster penggemukan di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur. Metode penelitian ini dirancang
sebagai studi kasus (case study) untuk mencari informasi secara mendalam yang menjelaskan sistem
ketersediaan sapi Bali bakalan. Pemodelan klaster agribisnis menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan
pemodelan system thinking yang digambarkan dalam diagram sebab akibat (causal loops diagram).
Pemodelan diagram sebab akibat ini merupakan bagian dari pemodelan dinamika sistem.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Klaster Agribisnis Sapi Bali di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur

Kabupaten Belu memiliki sumber daya alam yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam berbagai
usaha terutama sektor pertanian. Salah satu diantaranya adalah usaha ternak sapi Bali baik dilakukan
perorangan ataupun kelompok yang dikembangkan secara tradisional. Potensi usaha ternak sapi kelompok
yang tradisional inilah yang menjadi modal dasar untuk dikembangkan dalam program klaster sapi terpadu
secara modern.

Adapun kelompok yang menjadi calon klaster penggemukan sapi potong saat itu adalah Mekar Melati dan
Bero Sembada yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Laen Manen (Gambar 1).
Kelompok Bero sembada ditetapkan sebagai pilot project klaster penggemukan sapi potong di Kabupaten
Belu. Penentuan pilot project ini didasarkan pada pertimbangan potensi lahan yang relatif luas untuk
pengembangannya dan terkonsentrasi dalam satu kawasan. Lahan ini dimiliki oleh seorang pengusaha yang
merupakan mitra peternak dan menjadi perintis pembentukan kelompok peternak sapi. Hingga kini hanya
usaha kelompok klaster Bero Sembada yang masih berjalan dan berkembang sangat baik sementara usaha
kelompok Mekar Melati mengalami kendala kelanjutannya karena berbagai faktor internal dalam kelompok.

Motivasi berkelompok dari peternak-peternak yang tergabung dalam kelompok klaster adalah keinginan
berusaha ternak sapi namun tidak memiliki modal awal. Pada tahun 2009, perintis kelompok tersebut
bersama mitra usahanya merencanakan kegiatan yang harus dilakukan agar bisa mendapatkan modal awal
dari pemerintah daerah dan pembentukan pengurus kelompok. Kegiatan awal kelompok peternak tersebut
adalah pembersihan lahan untuk penanaman pakan. Sementara budidaya pakan dikembangkan, pengurus
kelompok mengajukan usulan dana investasi untuk pengembangan sapi Bali.

Pada tahun 2010, kelompok peternak tersebut mendapatkan kunjungan dari pemerintah daerah. Atas dasar
kerja nyata budidaya pakan yang telah dikembangkan Dinas Peternakan Kabupaten menyetujui untuk
pengadaan sapi bakalan dan mendapatkan dana sebesar Rp 250.000.000. Dana ini diberikan dalam bentuk
hibah kepada kelompok usaha sapi. Setelah 5 tahun usaha berjalan dana tersebut akan dikembalikan ke
rekening kelompok untuk pengembangan usaha kelompokMelalui persetujuan rapat anggota kelompok
dengan Dinas Peternakan, dana yang diperoleh selanjutnya diserahkan kepada pengusaha mitra peternak
untuk pengadaan bakalan. Bersama dengan Dinas Peternakan, pihak mitra melakukan seleksi bakalan dan
hasil seleksi diserahkan ke kelompok yang selanjutnya akan didistribusikan kepada 25 peternak anggota
kelompoknya (awal). Dana tersebut ternyata mampu menyediakan 50 ekor sapi Bali bakalan bibit untuk
pengembangbiakan, 25 ekor sapi Bali bakalan penggemukan bagi kelompok, dan 5 ekor SB jantan pemacek.
Masing-masing peternak anggota kelompok memperoleh 2 ekor bakalan bibit dan 1 ekor bakalan
penggemukan.

37
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Wilayah Kabupaten
Timor Tengah Utara Wilayah Negara
RD Timor Leste

Wilayah Kecamatan
LaenManen sebagai pilot
project pengembangan klaster
Gambar 1. Lokasi Pengembangan Klaster Agribisnis Sapi Bali di Kabupaten Belu NTT

Pada tahun 2011, Bank Indonesia (BI) menginisiasi pembentukan klaster untuk beberapa komoditi unggulan
pada kelompok tani ataupu ternak yang ada termasuk sapi Bali di Kabupaten Belu. Tujuan pembentukan
klaster yang diberi nama klaster penggemukan sapi ini adalah untuk memperbaiki mutu produksi,
meningkatkan daya saing produk, menjamin pasar, dan memiliki akses kredit dari lembaga keuangan
khususnya perbankan. Pengembangan klaster penggemukan sapi Bali ini menekankan pada usaha
penggemukan, bantuan teknis dan hijauan makanan ternak.

Hingga kini pelaksanaan klaster di wilayah ini sudah berjalan selama 3 tahun dan sudah mulai dibenahi
manajemen kelembagaan dan keuangannya. Pasokan input terutama bakalan penggemukan, pemasaran
output, penentuan harga input dan output masih sangat tergantung dari pihak mitra usaha. Peternak
memiliki informasi pasar dan harga yang sangat terbatas dan masih sebagai bertindak sebagai price taker.

Model Klaster Agibisnis Sapi Bali di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur
Pemahaman mekanisme interaksi antar pelaku dalam klaster agribisnis sapi Bali di Kabupaten Belu NTT
dapat dilihat pada Gambar 2. Terlihat adanya interaksi yang kompleks antara berbagai pemangku
kepentingan yang tergabung sebagai kelompok kerja dalam klaster dan dengan pihak lain di luar klaster.

Kecamatan
Laen Manen

Gambar 2. Model Umum Klaster Agribisnis Sapi Bali di Kabupaten Belu NTT

38
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Gambar 2 memperlihatkan bahwa pihak pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Peternakan menyalurkan
dana kepada kelompok peternak selanjutnya dana tersebut disalurkan ke pihak mitra untuk pengadaan
bakalan. Pengadaan sapi Bali bakalan dari usaha pengembangbiakan luar klaster dilakukan oleh pihak mitra.
Hal ini terlhat dari aliran bakalan bibit dan penggemukan ke mitra pengusaha pedagang pengumpul yang
diimbangi dengan aliran uang yang harus dibayar mitra kepada usaha pengembangbiakan di luar klaster.
Setelah pengadaan, pihak mitra memberi nomor pada setiap sapi Bali bakalan yang akan diserahkan ke
kelompok peternak. Nomor sapi yang diperoleh akan dilaporkan kembali ke mitra usaha untuk diketahui
harga yang harus dibayar kelompok yang akan menjadi hutang setiap anggota.
Setelah masa penggemukan yang rata-rata terjadi selama 1,5 tahun (18 bulan), peternak menjual
sapi Bali gemuknya ke mitra usaha kembali dengan harga tertentu. Piutang peternak terhadap mitra usaha
tersebut akan digunakan kembali untuk pengadaan bakalan penggemukan. Selisih antara piutang dengan
harga bakalan merupakan tagihan yang masuk ke kas peternak. Jumlah, umur dan bobot badan bakalan
disesuaikan dengan permintaan peternak serta besarpiutangnya. Interaksi yang terjadi akan mempengaruhi
keputusan manajemen baik bagi peternak, kelompok peternak, maupun mitra pengusaha.
Terdapat aliran bantuan teknis dan penguatan kelompokdari BI, berupa: peralatan berupa mesin pencacah
rumput, fasilitas penunjang berupa bak air, dan pelatihan untuk meningkatkan SDM dari BI. Sementara itu
Pemda Kabupaten melakukan pendampingan, menyediakan IB, vaksin dan obat-obatan untuk perawatan
kesehatan, pembelajaran teknologi pengawetan pakan serta konsentrat. Faktor-faktor tersebut akan sangat
mempengaruhi keputusan manajemen kelompok.
Sejak awal pembentukan hingga kini bakalan penggemukan masih dibeli oleh mitra pengusaha dari
usaha pengembangbiakan luar klaster. Dengan demikian terdapat aliran pembayaran dari mitra pengusaha
ke usaha pengembangbiakan lainnya yang juga akan mempengaruhi keputusan manajemen mitra pengusaha
dan usaha tersebut. Sapi siap potong yang dibeli mitra pengusahadari kelompok akan disalurkan kepada
pedagang antar pulau yang bermitra dengan mitra pengusaha. Terlihat ada aliran pembayaran dari
pedagang antar pulau ke pengumpul mitra pengusahayang mempengaruhi keputusan manajemennya
masing-masing.

Memahami Upaya Meningkatkan Ketersediaan Sapi Bali Bakalan Melalui Klaster Argibisnis
Berdasarkan model umum pada Gambar 2, dapat dibuat diagram sebab akibat (causal loops diagram) yang
mengeksplorasi hubungan antara berbagai variabel dalam pengembangan klaster agribisnis di Kabupaten
Belu NTT. Tanda arah positif menjelaskan hubungan antara variabel dengan arah yang sama, sebaliknya
tanda arah negatif menjelaskan hubungan antara variabel yang berlawanan. Tanda garis ganda menjelaskan
bahwa ada dimensi waktu keterlambatan (delay) dalam hubungan sebab akibat tersebut.

39
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
akses dengan +
pedagang antar pulau
+
B3
pesanan sapi Bali kemudahan mengakses
pasar terstruktur +
+ +
ketersediaan
pengembangan sapi modal akses keuangan
+ + Bali penggemukan B4
ketersediaan lahan -
+ kemudahan mengakses
produksi sapi Bali untuk budidaya pakan lembaga keuangan +
gemuk pengembangan +
+ budidaya hortikultura
+
ketersediaan sarana kemudahan
produktivitas R3 memperoleh bibit
+ penggemukan sapi Bali produksi untuk +
pengembangan sapi Bali hortikultura
penjualan sapi Bali + + + layanan stakeholder
gemuk keterampilan untuk peternak
bantuan sarana dan
B2 peternak B5 +
prasarana produksi +
R1
+ + kebutuhan sapi Bali +
biaya produksi+ pembelajaran teknologi
bakalan intensitas pelatihan dan +
R2 - + dan inovasi produksi
+ pendampingan
penerimaan dari +
produksi sapi Bali B6 +
penjualan sapi Bali kemudahan pengadaan
gemuk bakalan
- ketersediaan sapi sapi Bali bakalan
+ +
Bali bakalan + intensitas interaksi
+ +
produktivitas + dengan stakeholder
pengembangbiakan sapi
harga sapi Bali Bali B1 +
- ketersediaan sarana dan
prasarana produksi peternak
+ klaster keterlibatan
keuntungan kepemilikan modal -
peternak pengadaan sapi Bali + stakeholder
peternak +
+ + bakalan
minat berusaha +
ternak sapi Bali
inisiasi pembentukan
klaster penggemukan sapi
Bali
+ upaya mendapatkan
modal awal usaha sapi konsentrasi +
Bali + motivasi peternak geografis
berkelompok +
+

Gambar 3. Diagram Sebab akibat Ketersediaan Sapi Bali Bakalan Melalui Klaster Agribisnis

Kompleksitas hubungan sebab akibat ditandai oleh umpan balik positif yang menyebabkan pertumbuhan
(Reinforce “R”) dan umpan balik negatif yang mengarah pada posisi keseimbangan ( Balance “B”). Hubungan
antar variabel dalam klaster menjelaskan tiga aliran yang mempengaruhi ketersediaan sapi Bali bakalan,
yaitu: produksi sapi Bali bakalan dalam klaster, pengadaan sapi Bali dari luar klaster, dan kebutuhan sapi Bali
bakalan dalam klaster. Ketersediaan sapi Bali bakalan klaster merupakan perbedaan dari penjumlahan
produksi klaster dan luar klaster dengan kebutuhannya . Jika produksi yang lebih kecil dari pada kebutuhan
klaster akan dipenuhi melalui pengadaan dari luar klaster. Sebaliknya, jika produksi klaster lebih besar dari
pada kebutuhannya maka kelebihannya akan dijual ke luar klaster.
Gambar 3, menunjukkan bahwa insiasi Bank Indonesia untuk membentuk klaster merupakan salah
satu upaya meningkatkan daya saing melalui upaya peningkatan efisiensi usaha (Soetriono. 2006). Adanya
efisiensi ini menyebabkan keuntungan peternak meningkat. Keuntungan yang diakumulasi dalam suatu
jangka waktu tertentu (delay) akan meningkatkan kepemilikan modal. Modal tersebut akan digunakan untuk
menyediakan sarana dan prasarana produksi di luar klaster untuk meningkatkan produktivitas usaha
pengembangbiakan. Saat ini produksi sapi Bali bakalan dilakukan oleh peternak klaster di luar klaster dengan
manajemen tradisional. Diharapkan dengan modal yang lebih baik peternak dapat memperbaiki manajemen
dalam usaha pengembangbiakan. Akhirnya, dengan produktivitas usaha pengembangbiakan yang tinggi akan
meningkatkan produksi sapi Bali bakalanselanjutnya menambah produktivitas sapi Bali gemuk. Interaksi
berbagai variabel dalam aliran produksi sapi Bali bakalan klaster ini, menimbulkan umpan balik yang positif
atau mengarah pada pertumbuhan ketersediaan sapi Bali bakalan (R1). Aliran ini menunjukkan arah
peningkatan produksi sapi Bali gemuk dalam jangka panjang.
Aliran pengadaan sapi Bali bakalan dari luar klaster ditentukan oleh layanan stakeholder yang
memberikan kemudahan untuk pengadaan sapi Bali bakalan dan ketersediaan bakalan. Semakin tinggi
kemudahan pengadaan sapi Bali bakalan maka akan menambah pengadaan sapi Bali bakalan. Namun
ketersediaan sapi Bali bakalan yang semakin tinggi akan mengurangi pengadaan sapi Bali bakalan dari luar
klaster. Artinya jika produksi sapi Bali bakalan dari dalam klaster mampu memenuhi kebutuhan klaster maka
pengadaan dari luar klaster berkurang. Interaksi antar variabel dalam aliran ini menyebabkan umpan balik
yang positif atau melalui komponen penerimaan peternak (R2). Artinya pengadaan sapi Bali bakalan akan
memperkuat aliran penerimaan. Sedangkan interaksi antar variabel melalui komponen biaya produksi dan
ketersediaan bakalan menimbulkan umpan balik yang negatif atau mengarah pada keseimbangan (B1 dan

40
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
B2).Artinya dalam jangka panjang aliran pengadaan sapi Bali bakalan ini akan menurunkan ketersediaan sapi
Bali bakalan sekaligus produksi sapi Bali gemuk.
Kebutuhan sapi Bali bakalan ditentukan oleh produksi sapi Bali gemuk dalam klaster. Semakin tinggi
produksi sapi Bali gemuk maka kebutuhan sapi Bali bakalan semakin tinggi. Produksi sapi Bali gemuk dalam
klaster didorong oleh pengembangan berbagai komponen faktor, yaitu pasar, keuangan, budidaya
hortikultura, sarana dan prasarana produksi usaha penggemukan serta Sumber Daya Manusia (SDM) dan
teknologi.
Penguatan faktor-faktor ini disebabkanolehinteraksi stakeholderyang terlibat dalam
klastermenyebabkan layanannya untuk peternak semakin tinggi.Semakin meningkatnya komponen pasar,
keuangan, sarana dan prasarana, SDM, dan teknologi akan meningkatkan produksi sapi Bali gemuk sehingga
meningkatkan kebutuhan sapi Bali bakalan. Sedangkan pengembangan budidaya hortikultura akan
mengurangi produksi sapi Bali gemuk melalui berkurangnya lahan untuk budidaya pakan. Interaksi antara
variabel dari komponen pasar, keuangan, sarana dan prasarana, serta SDM dan teknologi menimbulkan
umpan balik yang negatif (B3, B4 B5, dan B6) terhadap ketersediaan sapi Bali bakalan. Sementara, interaksi
antara komponen budidaya hortikultura menimbulkan umpan balik yang positif (R3).
Interaksi variabel yang kompleks dalam aliran pasar juga menyebabkan terjadinya umpan baik yang
negatif (B3). Penguatan aliran pasar terhadap ketersediaan sapi Bali bakalan ini terjadi karena adanya
pesanan pasar antar pulau menjadi faktor penarik yang efektif terhadap produksi sapi bali gemuk. Peternak
di Kabupaten Belu pada umumnya memiliki informasi pasar dan harga yang sangat minim karena
keterbatasan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi. Layanan pemangku kepentingan dalam
klaster telah menjamin pasar produk sapi siap potongnamun hanya sebagai penyalur tunggal. Pelaku pasar
tunggal ini di satu pihak, sangatmembantu mengurangi biaya transportasi peternak dalam memasarkan
produknya.Di lain pihak, melemahkan posisi tawar peternak karena hanya sebagai penerima harga ( price
taker).
Interaksi antar variabel dalam aliran keuangan klaster agibisnis pun telah menghasilkan umpan balik
yang negatif (B4) atau mengarah pada keseimbangan. Layanan pemangku kepentingan dalam klaster inipun
telah memberikan fasilitas akses dengan lembaga keuangan (BI) untuk memenuhi kebutuhan modal untuk
pengembangan sapi Bali dalam klaster, baik karena penambahan peternak anggota kelompok ataupun
peningkatan produksi dari peternak anggota yang ada.
Interaksi antar variabel dalam aliran pengembangan budidaya hortikultura telah menimbulkan umpan
balik yang positif (R3). Layanan stakeholder dalam klaster ini akan mengurangi lahan untuk pengembangan
budidaya pakan. Padahal pakan merupakan input esensial baik untuk produksi sapi Bali bakalan maupun sapi
Bali gemuk. Peningkatan produksi keduanya akan meningkatkan pula kebutuhan pakan. Oleh karena itu
pengembangan sapi Bali hanya dapat terjadi jika fokus pengembangan hanya pada semua komponen yang
terkait dengan sapi Bali. Pengembangan horti yang tidak disertai dengan prasarana jalan untuk memasarkan
tidak memberikan efek yang nyata terhadap peningkatan pendapatan. Saat ini produk hortisebagian besar
hanya untuk konsumsi sendiri.
Interaksi antara variabel dalam aliran ketersediaan sarana dan prasarana produksi sapi Bali dalam
klaster telahmembentuk umpan balik yang negatif ditandai oleh loopsB5, yangberarti bahwa pemodelan
pasokan input dalam klaster agribisnis mengarah kepada pengembangan ketersediaan sapi Bali bakalan.
Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana dapat terjadi karena setiap peternak selain diwajibkan
memiliki kebun pakan ternak perorangan juga secara bersama mengelola kebun pakan ternak kelompok.
Layanan stakeholder untuk peternak dalam aliran ini adalah teknologi pengawetan pakan, teknologi
suplementasi dengan pakan konsentrat, dan pengadaan bak air, kandang penggemukan, kandang jepit,
rumah kelompok serta berbagai fasilitasnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sobang dkk, (2009) dan
Jelantik (2001), tingginya mortalitas dalam usaha pengembangbiakan disebabkan karena kurangnya
ketersediaan pakan dan air pada musim kemarau yang panjang (8-9 bulan) di Timor Barat pada umumnya.
Pada aliran pembelajaran teknologi dan inovasi, interaksi antara berbagai variabelnya pun menyebabkan
umpan balik yang negatif, ditandai oleh loopsB6. Terjadi keseimbangan dalam aliran ini karena pembelajaran
teknologi dan inovasi akan menyebabkan keterampilan peternak meningkatdalam jangka waktu tertentu
(delay)(Perdanadkk, 2013). Hal tersebut akan dapatmeningkatkan produktivitasusaha penggemukan dan
pengembangbiakan dan sekaligus produksinya.
41
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Uraian di atas mengindikasikan bahwa pengembangan klaster agribisnis hanya memberikan dampak
pertumbuhan pada produksi sapi Bali gemuk melalui komponen penerimaan dan keseimbangan melalui
komponen biaya produksi. Sedangkan dampak klaster terhadap ketersediaan sapi Bali bakalan belum
nampak karena pengembangbiakan dilakukan di luar klaster. Pengembangbiakan merupakan faktor penting
yang harus dikembangkan dalam klaster sehingga dapat meningkatkan produksi sapi Bali bakalan yang
mendukung produksi sapi Bali gemuk.
Faktor pengungkit penentu keberhasilan klaster adalah layanan stakeholder yang harus
dimanfaatkan secara efektif peternak anggota. Dalam jangka pendek keterlibatan stakeholder masih perlu
ditingkatkan oleh karena itu pemerintah ataupun BI sebagai penginisiator pembentukan klaster harus
memfasilitasi. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan merupakan salah satu
pihak yang penting untuk dilibatkan secara melembaga bukan secara perorangan seperti saat ini. Dalam
jangka panjang layanan stakeholder ini harus semakin dikurangi dan peternak anggota harus belajar
berwirausaha untuk mencapai klaster yang mandiri dan berdaya saing.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
Pendekatan klaster agribisnis sapi Bali dapat meningkatkan ketersediaan sapi Bali bakalan dalam jangka
panjang jika semua variabel atau faktor yang terkait dalam sistem berjalan secara optimal dan sinergis.
Faktor pengungkit penentu keberhasilan klaster adalah layanan stakeholder yang dimanfaatkan secara efektif
oleh peternak untuk memperbaiki SDM dan teknologi, ketersediaan sarana dan prasarana produksi, kepastian
pasar dan akses modal.
Klaster agribisnis sapi Bali mampu meningkatkan pendapatan bagi peternak dalam jangka panjang.
Berdasarkan simpulan tersebut, dapat direkomendasikan beberapa hal, yaitu:
Klaster agribisnis sapi Bali di Kabupaten Belu perlu mempertimbangkan kolaborasi dengan akademisi untuk
pengembangannya dalam jangka panjang, merujuk pada model pengembangantripple helix.
Dalam jangka panjang, perlu dibentuk lembaga seperti koperasi sebagai pemasok input dan pemasar output
yang lebih menguntungkan dan meningkatkan posisi tawar peternak.
Dalam jangka panjang perlu adanya pelatihan untuk alternatif pengembangan produk baru(agroindustri hulu
dan hilir) yang berbasis pada pengembangan sapi Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
- Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu, 2012. Kabupaten Belu dalam Angka. Atambua.
- Porter, M. E., 2000. Cluster and the New Economics of Competition. Reprint 98609. Harvard
Business Review.
- Soetriono, 2006. Daya saing Pertanian dalan Tinjauan Analsis. Bayumedia Publishing Anggota IKAPI
Jatim, Malang.
Sumber jurnal:
- Jelantik, I.G.N., 2001. Improving Bali Cattle (Bibos banteng Wagner) production through protein
supplementation. PhD Thesis, Departement of Animal Science and Animal Health. The Royal
Veterinary and Agricultural University, Copenhagen.
- Between University of Jember and University Putra Malaysia.
- Sobang, Y. U. L; M. Yunus Dam H. Marawali, 2009. Pengembangan Model Inovasi Peningkatan
Produktivitas Induk Dan Penanggulangan Kematian Anak Sapi Bali Berbasis Partisipasi Dan Kearifan
Lokal Peternak Di Pulau Timor,
- Yusdja, Y. dan N. Ilham, 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat. Analisis Kebijakan
Pertanian, Volume 4 No. 1 Maret 2006: 18-36.
Sumber Prosiding Seminar:
- Perdana, T.; Nurhayati; and Kusnandar, 2013. Improvement Model of Suppoy Chain Management
and Agribusiness Cluster of Red Chili: an Experience in West Java. International Workshop of Agri
Supplty Chain Management on July 1st, 2013 at Hotel Mercure Surabaya, Indonesia. In Collaboration

42
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
9.MEMAHAMI KEMITRAAN PADA RANTAI PASOK CABAI MERAH
BESAR DENGAN PENDEKATAN BERPIKIR SISTEM

Nendah Siti Permana 1) , Burhan Arief, Yosini Deliana, Tomy Perdana 2 )

Program Doktor Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor Sumedang

(ade_nendah@yahoo.com)

2) Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan memodelkan sistem kemitraan pada rantai pasok cabai
merah besar di Jawa Barat. Pendekatan dinamika sistem digunakan untuk membangun model kemitraan
pada rantai pasok cabai merah yang dinamis dan kompleks. Sebuah sistem termasuk dinamika sistem,
memuat sejumlah komponen dan hubungan diantara komponen-komponennya menggunakan hubungan
sebab akibat (causal) sebagai dasar dalam mengenali dan memahami tingkah laku dinamis dari sebuah
sistem yang kompleks. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa hubungan kemitraan
nonformal dalam rantai pasok cabai merah besar berawal dari kesenjangan kepemilikan modal antara petani
dan pedagang perantara sehingga memunculkan motivasi untuk mengontrol petani dengan cara memberi
bantuan keuangan kepada petani. Petani penerima bantuan harus berkomitmen menjual cabai hanya ke
pedagang pemberi bantuan keuangan.Hal ini menyebabkan hilangnya kesempatan menjual cabai ke pihak
lain, dan terjadi tekanan terhadap harga jual cabai petani. Petani menghadapi asimetri informasi terutama
mengenai harga jual yang berlaku dipasar. Sedangkan pada kemitraan formal berawal dari adanya motivasi
pihak industri untuk memperoleh bahan baku yang memenuhi persyaratan kualitas secara
berkesinambungan.Dengan demikian terjadinya transfer teknologi dari mitra kepada petani. Petani
memperoleh kepastian pemasaran dan kepastian harga, akses pemasaran yang lebih luas dan memiliki
peluang memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.
Kata kunci :kemitraan, komitmen, asimetri informasi, transfer teknologi.

Abstract

This study aims to understand the system of supply chain partnerships in big red chili in West Java .
System dynamics approach was applied to build a model partnership in the supply chain chili dynamic and
complex . A system including the dynamics of the system , contains a number of components and the
relationships among its components using causality (causal ) as a basis for recognizing and understanding
the dynamic behavior of a complex system . The results of this study can be suggested that informal
partnerships in the supply chain of the red chili originated from capital ownership gap between farmers and
middlemen so that the motivation to control the farmers by way of providing financial assistance to farmers .
Beneficiary farmers have committed to sell only to dealers of chili who provided capital. This leads to the loss
of opportunity to sell chili to the other party , and there is pressure on the selling price of chili farmers .
Farmers face , especially the information asymmetry regarding the prevailing market price . While the formal
partnership originated from the motivation of the industry to obtain raw materials that meet the quality
requirements on an ongoing basis . Thus the transfer of technology from partners to farmers. Farmers obtain
certainty marketing and price certainty , access a broader marketing and have the opportunity to obtain
higher profits .
Key words : Partneship, commitment,asymmetry of information, transfer of technology

43
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pendahuluan

Agribisnis Cabai Merah merupakan sumber pendapatan yang menjanjikan bagi masyarakat
khususnya petani, mengingat nilai jualnya yang relatif tinggi, serta potensi serapan pasar yang terus
meningkat.Permintaan cabai merah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri pengolahan pangan. Konsumsi cabai merah
per kapita di Indonesia 2008-2012 mengalami kenaikan sebesar 6,09%. Apabila dikelola secara optimal,
usahatani cabai merah besar akan menjadi kegiatan usaha yang bermanfaat untuk penanggulangan
kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja di pedesaan (Dirjen Hortikultura, 2008). Produksi cabai dari
tahun 2000 sampai tahun 2010 tercatat mengalami peningkatan sebesar 83,08%, pada tahun 2011 produksi
cabai tercatat mengalami penurunan akibat cuaca ekstrim yang melanda kawasan Indonesia. Dewasa ini
petani cabai merah menghadapi masalah tingginya fluktuasi harga dan kesulitan menjual saat panen raya,
hal tersebut menuntut adanya perubahan strategi pemasaran yang dilakukan petani. Salah satu strategi
pemasaran tersebut adalah melalui kemitraan.
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu
tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.
Karena merupakan suatu strategi bisnis, maka dalam konteks ini pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam
kemitraan tersebut harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang dipahami bersama dan dianut bersama
sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan (Hafsah, 1999). Kemitraan usaha adalah suatu strategi
bisnis yang dilakukan dua belah pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan (Dyer et al , 2002).
Karena merupakan strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh kemampuan
membangun kepercayaan (trust) dan komitmen diantara pihak-pihak yang bermitra dalam menjalankan
perjanjian yang telah disepakati. Dalam pengertian ini pelaku-pelaku yang tercakup dalam kemitraan harus
memiliki dasar-dasar etika bisnis (saling percaya, konsisten dan disiplin).
Kepercayaan adalah faktor penting yang menumbuhkan komitmen di antara mitra dalam rantai
suplai. Adanya kepercayaan dapat meningkatkan kinerja rantai pasokan. Kurangnya kepercayaan di antara
mitra rantai suplai sering mengakibatkan kinerja yang tidak efisien dan tidak efektif yang dapat dianggap
sebagai biaya (Kwon et al, 2004).Keberhasilan kinerja rantai pasokan didasarkan pada tingkat kepercayaan
yang tinggi dan komitmen kuat di antara mitra rantai suplai. Perencanaan rantai pasokan yang efektif
berdasarkan informasi bersama dan kepercayaan antara mitra-mitra merupakan persyaratan penting untuk
kesuksesan manajemen rantai pasokan (Sherman, 1992).Bagi petani kecil untuk berpartisipasi dalam
kemitraan, mereka harus bergabungdengan petani lain dalam asosiasi dan koperasi dan kemudian menjalin
kemitraan dengansektor swasta lainnya (IFAD,2013).
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan memodelkan sistem kemitraan pada rantai pasok cabai
merah besar di Jawa Barat. Pendekatan dinamika sistem digunakan untuk membangun model kemitraan
pada rantai pasok cabai merah yang dinamis dan kompleks. Sebuah sistem termasuk dinamika sistem,
memuat sejumlah komponen dan hubungan diantara komponen-komponennya menggunakan hubungan
sebab akibat (causal) sebagai dasar dalam mengenali dan memahami tingkah laku dinamis dari sebuah
sistem yang kompleks ( Sterman, 2000).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di empat kabupaten di Jawa Barat yang merupakan daerah sentra produksi
cabai merah besar dimana petaninya banyak yang melakukan kerjasama kemitraan dalam pemasaran cabai
baik kemitraan formal maupun nonformal. Daerah penelitian meliputi Kabupaten Garut, Ciamis, Tasikmalaya
dan Kabupaten Bandung, adapun penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive.
Dalam upaya memahami jenis-jenis kemitraan yang ada di Jawa Barat, dilakukan pertemuan
(wawancara) dengan berbagai pemangku kepentingan diantaranya dengan petani cabai merah besar,
kelompok tani, koperasi, PT. Heinz ABC, Dinas terkait, dan lain-lain. Data-data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini, untuk data sekunder diperoleh melalui penelusuran kepustakaan dari berbagai sumber seperti,
buku-buku, jurnal hasil penelitian terkait, laporan dari dinas terkait dan dari penelusuran internet.
44
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Untuk data primer diperoleh dengan melakukan wawancara atau diskusi terbatas dengan berbagai
pelaku dalam rantai pasok cabai merah besar. Data yang diperoleh kemudian dimodelkan dengan
menggunakan pendekatan dinamika sistem dengan bantuan perangkat lunak Vensim PLE yang diunduh
secara gratis dari internet.

HASIL dan PEMBAHASAN

Model Umum Rantai Pasok Cabai Merah Besar di Jawa Barat

Rantai pasok cabai khususnya di Jawa Barat merupakan suatu jaringan yang kompleks dan terdiri
dari berbagai tingkatan pelaku. Adapun para pelaku tersebut meliputi petani cabai , koperasi petani cabai,
sub terminal agribisnis (STA), bandar, grosir, pedagang pasar lokal, supplier, supermarket, dan industri.
Hubungan antara pelaku dalam rantai pasok cabai untuk memenuhi kebutuhan industri, terdapat aliran
produk (cabai merah besar), kontrak kemitraan, spesifikasi produk, pembimbingan teknik budidaya serta
aliran pembayaran. Dalam hubungan pelaku antara petani dengan Bandar dan Grosir cabai di pasar induk
terdapat ikatan kontrak kemitraan nonformal, aliran pembayaran, tanpa ada spesifikasi produk yang
dipersyaratkan. Sedangkan rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan supermarket terdapat ikatan kemitraan
antara supplier dengan supermarket, aliran produk, spesifikasi produk dan aliran pembayaran. Gambar 1.
lebih rinci mengilustrasikan jaringan rantai pasok cabai merah di Jawa Barat baik untuk memenuhi kebutuhan
industri, super market maupun untuk memenuhi kebutuhan pasar umum.

Gambar 1. Model Umum Rantai Pasok Cabai Merah Besar di Jawa Barat
45
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Berdasarkan Gambar 1. dapat dijelaskan beberapa jenis aktivitas dalam rantai pasok cabai merah besar di
Jawa Barat sebagai berikut :
1). Beberapa kegiatan dalam rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan industri meliputi budi daya cabai
merah, proses panen, pengangkutan hasil ke tempat penampungan sementara (Koperasi), sortasi,
pemotesan, pengepakan, pengangkutan ke industri, pembayaran.

2). Beberapa kegiatan dalam rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan pasar umum meliputi : budidaya
cabai, proses panen, pengepakan, pengangkutan, penyimpanan sementara di pasar induk dan di pasar
lokal, pemasaran, pembayaran.
3). Beberapa kegiatan dalam rantai pasok cabai untuk memenuhi permintaan super market yaitu budi daya
cabai merah, pengiriman/pengangkutan ke pasar induk, pengangkutan ke lokasi supplier, sortasi,
pengemasan, pengepakkan, pengangkutan ke super market, pemasaran, pembayaran. Apabila harga cabai
sedang turun untuk memenuhi pesanan super market biasanya supplier membeli cabai tidak dari petani tapi
dari pasar induk

JENIS-JENIS HUBUNGAN KEMITRAAN pada RANTAI PASOK CABAI MERAH BESAR di JAWA
BARAT

Terdapat dua jenis kemitraan yang terjalin antara petani dan pelaku lainnya dalam rantai pasok cabai
merah besar, baik kemitraan yang bersifat formal maupun nonformal. Kemitraan yang bersifat formal yaitu
yang tertuang dalam bentuk kontrak yang telah disepakati dan harus dipatuhi oleh masing-masing pihak
yang bermitra. Apabila ada pihak yang melanggar kesepakatan yang telah tertulis dalam kontrak, maka
akan kena sanksi yaitu mengganti kerugian kepada mitra. Kemitraan formal yang saat ini ada dalam rantai
pasok cabai hanya kerjasama kemitraan dalam pemasaran cabai antara petani yang tergabung dalam
koperasi dengan industri yang mengolah cabai menjadi saus, dalam hal ini adalah PT. Heinz ABC. Adapun
yang dimaksud dengan kemitraan nonformal adalah kemitraan yang tidak tertulis dalam kontrak, apabila
salah satu pihak melanggar maka sangsinya berupa putusnya hubungan kemitraan. Kemitraan jenis ini
biasanya terjadi antara petani dengan bandar dan antara petani dengan grosir di Pasar Induk.Kemitraan baik
formal maupun nonformal harus didasarkan pada tujuan bersama, yaitu kesepakatan untuk bekerja sama
dalam rangka untuk memajukan kepentingan bersama para mitra , memobilisasikekuatan mereka dan
sumber daya secara transparan dan adil (IFAD, 2013)

Kemitraan Formal Antara Petani/Koperasi dengan Industri

Beberapa manfaat yang diperoleh petani dalam melakukan kontrak kemitraan formal dengan industri
: (1) hasil produksi hanya sebagian yang diikutsertakan dalam kontrak, sehingga petani masih memiliki
peluang untuk memperoleh untung lebih tinggi apabila di pasaran harga cabai naik, lebih tinggi dari harga
kontrak, petani bisa menjual ke pasaran umum asal kontrak volume sudah terpenuhi dan seijin koperasi, (2)
ada kepastian dalam pemasaran dan harga, (3) petani menjadi lebih profesional karena harus menghasilkan
cabai yang memenuhi kualitas yang dipersyaratkan oleh mitra (industri), (4) pengetahuan petani mengenai
teknik budidaya dan teknik pascapanen bertambah karena ada bimbingan dari mitra, (5) akses pemasaran
dari produk yang dihasilkan bertambah luas, karena dengan mengetahui teknik budidaya yang benar sesuai
GAP, maka terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan, sehingga ke depannya
diharapkan bisa memperluas kemitraan dengan berbagai pihak seperti dengan super market atau eksportir
dalam waktu yang bersamaan.

Kerugian-kerugian yang dirasakan petani selama menjalani kemitraan formal dengan industri adalah
: (1) cabai yang diterima oleh industri hanya cabai yang memenuhi persyaratan dengan kriteria warna
merah mulus tidak ada bercak warna lain, penampilan mengkilat, kotoran dan kandungan hama penyakit
maksimal 3%, (2) apabila kewajiban pengiriman cabai belum terpenuhi, petani tidak boleh menjual cabai ke
pihak lain walaupun harga dipasaran sedang tinggi, (3) petani tidak memperoleh bantuan permodalan dari
46
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
industri, (4) pembayaran ditangguhkan sekitar 1 bulan, atau pengiriman yang pertama dibayar pada
pengiriman yang ke empat dan seterusnya, karena cabai dipanen rata-rata seminggu sekali. Pada Gambar 2.
disajikan model kemitraan formal antara Koperasi petani cabai dengan Industri pengolahan cabai menjadi
saus.

Berdasarkan Gambar 2. dapat dijelaskan bahwa kemitraan formal pada rantai pasok cabai berawal
dari adanya kebutuhan industri untuk memperoleh bahan baku cabai untuk pembuatan saus secara
berkelanjutan, untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan yaitu terpenuhinya kapasitas minimal
pengolahan bahan baku dan untuk memenuhi permintaan saus bagi pelanggan, maka kebutuhan bahan
baku cabai harus selalu tersedia baik kualitas maupun kuantitas secara berkesinambungan. Keadaan ini
memunculkan motivasi bagaimana caranya untuk memperoleh cabai yang memenuhi persyaratan sebagai
bahan baku pembuatan saus secara berkesinambungan.

Salah satu cara yang ditempuh pihak industri pengolahan cabai adalah bermitra dengan berbagai pihak
salah satunya dengan petani. Walaupun harga jual telah disepakati dalam kontrak, kenyataannya masih ada
tekanan terhadap harga jual cabai petani. Harga cabai yang disepakati dalam kontrak ditetapkan secara
sepihak oleh industri, petani yang tergabung dalam Koperasi memiliki posisi tawar yang lebih rendah dari
industri, sehingga tidak berdaya melakukan penawaran untuk memperoleh harga yang lebih tinggi. Petani
mau menerima dengan alasan karena ada kepastian dalam pemasaran dan kepastian harga jual cabai.
Harga diartikan sebagai Jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari barang
beserta pelayanannya (William et. all, 1978). Harga cabai yang diterima petani dapat dinyatakan belum
sebanding dengan pelayanan yang harus diberikan petani kepada industri sebagai mitra, karena persyaratan
kualitas yang diminta oleh industri dirasakan terlalu ketat sementara penerimaan petani dari hasil penjualan
cabai harus ditangguhkan rata-rata satu bulan, dan petani sama sekali tidak memperoleh bantuan
permodalan dari pihak mitra / industri.

Pada dasarnya ada empat tujuan penetapan harga, yaitu : beroriantasi pada laba, berorientasi pada volume,
berorientasi pada citra (image) serta berorientasi pada stabilitas harga (William et. all, 1978). Adapun tujuan
petani menerima penetapan harga dari industri adalah untuk memperoleh stabilitas harga penjualan dan
untuk mempertahankan kerjasama kemitraan dalam pemasaran yang berkelanjutan..

47
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kepercayaan
+ Kemitraan
+ + Kepastian dalam
Kemauan berbagi + Motivasi pemasaran cabai
pemasaran
membentuk aliansi +
informasil +
+
+ Motivasi untuk memperoleh cabai
+
sebagai bahan baku pembuatan Komitmen hanya menjual
Transfer teknologi
saus secara kontinyu cabai kepada pihak industri
Keterbatasan
+ +
pemasaran Pemahaman teknologi +
Pemahaman teknologi
Budidaya cabai petani Terpenuhi kebutuhan cabai
+ pascapanen cabai petani
utk bahan baku pembuatan -
+
saus Transparansi
+ +
Keterbatasan Kualitas hasil
+ cabai petani +
pengetahuan Terpenuhi kontrak kualitas
-
+ Produksi cabai cabai
+ sesuai spek industri
petani Asimetri informasi

Keterbatasan Terpenuhi kontrak -


Modal + volume
- Kuantitas hasil + Harga jual cabai petani
+
Biaya produksi cabai sesuai kontrak
Investasi petani
+ +

- Penerimaan petani

Keuntungan petani +

Gambar 2. Diagram Causal Loop Menjalin Kemitraan untuk Memperoleh Bahan Baku Pembuatan
Saus Secara Berkesinambungan

Berdasarkan Gambar 2. pada causal loop yang pertama dapat dijelaskan motivasi untuk memperoleh
cabai sebagai bahan baku pembuatan saus secara kontinu, dapat meningkatkan jalinan kemitraan antara
industri dengan petani. Jalinan kemitraan dapat meningkatkan transfer teknologi kepada petani sehingga
petani pemahaman teknik budidaya yang benar sesuai good agriculture practices (GAP) meningkat. Adanya
pemahaman teknik budidaya menyebabkan kuantitas cabai yang dihasilkan petani meningkat. Jadi adanya
proses transfer teknologi dapat meningkatkan produksi cabai petani, sehingga kuantitas hasil cabai yang
dapat dikirim ke industri semakin meningkat. Dengan demikian maka semakin tinggi peluang terpenuhinya
kontrak volume cabai. Semakin tinggi peluang terpenuhinya kontrak volume cabai maka semakin terpenuhi
kebutuhan cabai untuk bahan baku pembuatan saus.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa umpan balik yang terjadi pada keterkaitan variable-
variabel pada causal loop pertama merupakan umpan balik positif. Artinya semakin tinggi motivasi untuk
cabai sebagai bahan baku pembuatan saus secara kontinu, maka kebutuhan cabai untuk bahan baku
pembuatan saus secara kuantitas semakin terpenuhi. Pada causal loop yang kedua, dapat dijelaskan bahwa
transfer teknologi kepada petani mengakibatkan pemahaman teknologi pascapanen petani meningkat,
Sehingga petani dapat meningkatkan kualitas hasil cabai. Semakin tinggi kualitas cabai yang dihasilkan
maka semakin terpenuhi kualitas cabai sesuai yang dipersyaratkan oleh industri, dan semakin terpenuhi
kebutuhan cabai untuk bahan baku pembuatan saus. Umpan balik yang terjadi pada keterkaitan antar
variable pada causal loop kedua merupakan umpan balik positif, artinyaArtinya semakin tinggi motivasi untuk
memperoleh cabai sebagai bahan baku pembuatan saus secara kontinu, maka kebutuhan cabai sebagai
bahan baku pembuatan saus secara kualitas terpenuhi.

48
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Berdasarkan Gambar 3. causal loopyang pertama dapat dijelaskan, dengan melakukan kerjasama
kemitraan secara formal dapat meningkatkan kepastian pemasaran cabai petani.Adanya kepastian dalam
pemasaran cabai dapat meningkatkan komitmen petani hanya menjual cabai kepada pihak industri. Keadaan
ini dapat mengurangi transparansi yang dilakukan oleh industri terutama dalam hal penetapan harga beli
cabai dari petani. Sebagaimana diketahui bahwa semakin tinggi tingkat keterbukaan (transparan)
menyebabkan semakin kecil terjadinya asimetri informasi.Contohnya pada pemberian insentif harga apabila
terjadi kenaikan harga cabai di pasar umum melebihi Rp. 14.000,- / kg, penetapan harga yang berlaku di
pasaran umum seluruhnya ditetapkan oleh industri, petani tidak dilibatkan dan harus menerima berapapun
insentif kenaikan harga yang diberikan oleh industri. Insentif kenaikan harga cabai tidak secara utuh
diterima oleh petani karena harus dibagi dengan Koperasi. Adapun persentase pembagiannya adalah 40%
untuk Koperasi dan 60% untuk petani. Semakin tinggi asimetri informasi menyebabkan semakin rendah
harga yang diterima petani.

Kepercayaan
+ Kemitraan
+ + Kepastian dalam
Kemauan berbagi + Motivasi pemasaran cabai
+ pemasaran
informasil membentuk aliansi
+
+
+ Motivasi untuk memperoleh cabai +
sebagai bahan baku pembuatan Komitmen hanya menjual
Transfer teknologi
saus secara kontinyu cabai kepada pihak industri
Keterbatasan
+
pemasaran Pemahaman teknologi + +
Pemahaman teknologi
Budidaya cabai petani Terpenuhi kebutuhan cabai
+ pascapanen cabai petani -
utk bahan baku pembuatan
+
saus Transparansi
+
Keterbatasan Kualitas hasil + +
pengetahuan + cabai petani Terpenuhi kontrak kualitas -
Produksi cabai cabai
+ sesuai spek industri
+
petani Asimetri informasi

Keterbatasan Terpenuhi kontrak -


Modal + volume
+ Kuantitas hasil + Harga jual cabai petani
-
Biaya produksi cabai sesuai kontrak
Investasi petani
+ +
- Penerimaan petani

Keuntungan petani +

Gambar 3. Diagram Causal Loop Keterbatasan Pemasaran Meningkatkan Motivasi untuk Beraliansi dan
Bermitra.

Semakin tinggi harga jual cabai petani dapat meningkatkan penerimaan petani, dan menyebabkan
semakin tinggi tingkat investasi petani sehingga semakin rendah keterbatasan modal petani. Keterbatasan
modal menyebabkan semakin tinggi keterbatasan pengetahuan petani.. Keterbatasan pengetahuan
menyebabkan semakin meningkatnya keterbatasan pemasaran. Keterbatasan pemasaran menyebabkan
semakin tinggi motivasi beraliansi atau membentuk aliansi. Causal loop pertama membentuk umpan balik
positif, artinya semakin tinggi keinginan untuk menjalin kemitraan dalam pemasaran, menyebabkan semakin
kuat motivasi petani untuk beraliansi, karena kemitran formal hanya dapat terlaksana dengan lembaga
berbadan hukum.

Petani yang telah merasakan manfaat dari adanya kerjasama kemitraan maka motivasi membentuk
aliansi akan semakin tinggi agar dikemudian hari dapat terus melakukan kemitraan secara
berkesinambungan.
Berdasarkan causal loop kedua hubungan antar variable menghasilkan umpan balik positif, artinya dengan
adanya kemitraan dalam pemasaran cabai, dapat meningkatkan transfer teknologi budidaya sehingga
produksi cabai petani meningkat, keuntungan petani meningkat, investasi petani meningkat, akses
pemasaransemakin luas, sehingga akhirnya motivasi membentuk aliansi semakin meningkat.

49
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kemitraan Nonformal antara Petani Cabai Merah dengan Bandar dan Grosir Cabai

hubungan kemitraan nonformal berawal dari adanya kesenjangan kepemilikan modal di tingkat
petani yang rendah dan kepemilikan modal yang relatif besar di pihak pedagang perantara, baik bandar
maupun grosir. Hal tersebut memunculkan motivasi untuk mengontrol atau mengendalikan petani agar
pedagang memperoleh keuntungen dengan cara mengikat petani dengan memberi bantuan keuangan
kepada petani baik untuk modal usaha maupun untuk keperluan lainnya.

Berdasarkan Gambar 4. dapat dijelaskan, kepemilikan modal di pedagang dapat meningkatkan


motivasi untuk mengontrol petani yang bermodal rendah. Motivasi mengontrol petani akan meningkatkan
bantuan keuangan dari pedagang ke petani, sehingga menyebabkan semakin tinggi komitmen petani hanya
menjual cabai kepada pedagang. Komitmen hanya menjual ke pedagang pemberi bantuan mengurangi
kesempatan menjual ke pihak lain. Penjualan cabai hanya ke pedagang pemberi bantuan menyebabkan
semakin tinggi tekanan terhadap harga jual cabai petani sehingga penerimaan semakin kecil dan utang
petani semakin sulit dilunasi dan akan terus-menerus terikat kepada pedagang. Pembayaran utang-utang
petani menyebabkan kepemilikan modal pedagang semakin tinggi sehingga motivasi mengontrol petani
semakin tinggi.Keterkaitan antar variabel pada Gambar 4. Membentuk umpan balik negatif, artinya motivasi
mengontrol petani dengan cara memberi bantuan keuangan menyebabkan petani terikat untuk menjual
cabai ke pedagang dan teriket selalu berutang ke pedagang. Pembayaran utang-utang petani dapat
meningkatkan kepemilikan modal pedagang. Kepemilikan modal meningkat menyebabkan motivasi untuk
mengontrol petani pun semakin meningkat.

Kepemilikan modal
pedagang -
Utang petani ke - Pembayaran utang petani
+
Motivasi utk pedagang pemberi ke pedagang pemberi
Kepercayaan - bantuan
mengontrol petani bantuan
pedagang kpd petani
+
+
+ Keuntungan petani
+ Penerimaan petani
Bantuan pembiayaan
-
dari pedagang +
+ Harga jual cabai
- petani
Komitmen hny menjual kpd
Biaya produksi
pedagang pemberi bantuan Asimetri informasi +
- -
- +
Transparansi Keinginan petani
menanam cabai
- Tekanan thdp harga
jual cabai petani +
Kesempatan menjual
+ Volume produksi
ke pihak lain Penjualan ke pedagang
- - cabai petani
pemberi bantuan

Alokasi pengiriman ke +
pedagang pemberi bantuan

Gambar 4. Diagram Causal Loop Tingginya Kepemilikan Modal Pedagang Menyebabkan Motivasi untuk
Mengontrol Petani Semakin Tinggi.

Berdasarkan Gambar 5. causal loop pertama menjelaskan bantuan pembiayaan dapat meningkatkan
komitmen hanya menjual ke pedagang pemberi bantuan. Sehingga menyebabkan berkurangnya transparansi
pedagang ke petani. sehingga meningkatkan asimetri informasi. Asimetri informasi menyebabkan semakin
rendahnya harga jual cabai petani. walaupun penerimaan rendah petani tetap berkewajiban membayar
utang kepada pedagang.
Petani harus disiplin menyicil utang sehingga kepercayaan pedagang ke petani bertambah. Dimusim
berikutnya kemudahan menerima bantuan keuangan dari pedagang semakin tinggi. Keterkaitan antar
variabel pada causal loopyang kedua membentuk umpan balik negatif. Artinya pemberian pinjaman modal
atau pembiayaan dari pedagang menyebabkan petani akan terikat kepada pedagang selamanya.

50
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kepemilikan modal
pedagang -
Utang petani ke - Pembayaran utang petani
Motivasi utk+ pedagang pemberi ke pedagang pemberi
Kepercayaan - bantuan
mengontrol petani bantuan
pedagang kpd petani
+
+
+ Penerimaan petani + Keuntungan petani
Bantuan pembiayaan
-
dari pedagang +
+ Harga jual cabai
petani
Komitmen hny menjual kpd -
+ Biaya produksi
pedagang pemberi bantuan Asimetri informasi
- -
- +
Transparansi Keinginan petani
menanam cabai
- Tekanan thdp harga
+
jual cabai petani
Kesempatan menjual
+ Volume produksi
ke pihak lain Penjualan ke pedagang
- - cabai petani
pemberi bantuan

Alokasi pengiriman ke +
pedagang pemberi bantuan
Gambar 5. Diagram Causal Loop
Pada causal loop kedua menjelaskan Harga yang tinggi dapat meningkatkan keinginan petani untuk
menanam cabai, sehingga meningkatkan volume produksi. Bila produksi di petani meningkat maka
pengiriman cabai ke pedagang pemberi bantuan akan meningkat, penjualan cabai ke pedagang pemberi
bantuan meningkat, sehingga tekanan terhadap harga jual meningkat. Keterkaitan variabel pada causal loop
kedua membentuk umpan balik negatif. Artinya semakin tinggi volume produksi cabai yang dihasilkan petani,
yang akan yang akan diuntungkan adalah pedagangang karena akan meningkatkan alokasi pengiriman cabai
ke pedagang pemberi bantuan keuangan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Dalam rantai pasok cabai merah besar di Jawa Barat terdapat 2 jenis hubungan kerja sama
kemitraan, yaitu: kemitraan formal yang terjadi antara petani cabai merah besar dengan industri pengolahan
saus, dan kemitraan nonformal yang terjadi antara petani cabai merah besar dengan Bandar dan grosir.
Dari kedua model kemitraan tersebut masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Pada
kemitraan formal terjadi transfer teknologi dari industri ke petani, pihak industri memberi bimbingan teknik
budidaya agar petani mampu menghasilkan cabai sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh industri. Selain itu
dengan menjalin kemitraan formal petani memperoleh kepastian dalam pemasaran, kepastian harga, ada
persyaratan kualitas tertentu pada cabai yang dijual ke industri, pembayaran ke petani ditangguhkan rata-
rata satu bulan, tidak ada bandtuan permodalan dari pihak industri kepada petani. Sedangkan pada
kemitraan nonformal antara petani dengan Bandar dan grosir memiliki karakteristik sebagai berikut :
tidak ada transfer teknologi, tidak ada persyaratan khusus untuk cabai yang diperjual belikan, ada bantuan
pinjaman keuangan dari pedagang kepada petani, pembayaran kepada petani dilakukan secara tunai.
Adapun kesamaan dari kedua model kemitraan tersebut yaitu terjadi asimetri informasi dan tekanan
terhadap harga jual cabai petani. Pada kedua model kemitraan harga jual ditetapkan oleh mitra, petani tidak
memiliki kekuatan untuk melakukan penawaran, petani menerima berapapun harga yang ditentukan oleh
mitra. Pada kemitraan formal walaupun ada kepastian harga jual akan tetapi harga cabai yang diterima
petani belum sebanding dengan pelayanan yang harus diberikan petani kepada perusahaan industri sebagai

51
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
mitra, karena persyaratan kualitas yang diminta oleh industri dirasakan terlalu ketat sementara pembayaran
kepada petani dari hasil penjualan cabai ditangguhkan rata-rata satu bulan, dan petani sama sekali tidak
memperoleh bantuan permodalan dari industri.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
Dirjen Hortikultura. 2008. Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Pengembangan Agribisnis
Sayuran Sumatera. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta.
Hafsah, M. J. 1999. Kemitraan Usaha : Konsepsi dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Saptana, Ariel Daryanto, Heny K. Daryanto, Kuncoro. 2009. Strategi Kemitraan Usaha dalam Rangka
Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Balitbang Deptan. Jakarta
Sumber jurnal:
Dyer J. H, Wujin Chu. 2002. The Role Trustworthiness in Reducing Transaction Cost and Improving
Performance: Empirical Evidence from The United States, Japan and Korea.
IFAD. 2013. The Power of Partnerships : Forging Alliances for Sustainable Smallholder Agriculture.
Governing Council. Rome. Italy.
Kwon Ik Whan, Taewon Suh. 2004. Factors Affecting the Level of Trust and Comminment in Supply Chain
Relationship. Journal of Supply Chain Management Vol 4 No 2 pg 4.
Sherman S. 1992. “Are Strategic Alliances Working?”. Journal of Supply Chain Management. .
Sterman J.D. 2000. Business Dynamics : System Thinking and Modelling for a Complex World. Irwin
McGraw Hill. Boston.
Vorst, J.G.A.J. van der. 2000. Performance Measurement in Agri-food Supply-Chain Network. Wageningen.
Netherlands.
William J,Stanton, (1975). Fundamentals of Marketing, Fourth edition, Kogakhusa, Mc.Graw-Hill, Tokyo.

52
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
10.ANALISIS KOLABORASI ANTAR PELAKU DALAM RANTAI PASOK
PADA KLASTER CABAI MERAH (CAPSICUM ANNUM L.)
(STUDI KASUS KEMITRAAN ANTARA KOPERASI CAGARIT DAN PT.
HEINZ ABC DI KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT)
Nurhayati1) dan Tomy Perdana2)

Mahasiswa Magister Sains Manajemen, Sekolah Bisnis Manajemen, Institut Teknologi Bandung
(email:nurhayati@sbm-itb.ac.id)
2) Dosen program studi agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Indonesia
(email: tomyp1973@yahoo.com)

ABSTRAK

Harga komoditas cabai yang berfluktuatif tajam dan dapat memicu inflasi membuat Bank Indonesia
berinisiasi untuk membentuk klaster di wilayah sentra produksi cabai di Indonesia, salah satunya berlokasi di
Kabupaten Garut, Jawa Barat.Klaster merupakan upaya untuk mengelompokkan industri/usaha inti dengan
berbagai pendukung diantaranya terdapat lembaga penelitian, pendidikan, informasi, teknologi, penyedia
sumber daya alam, perbankan serta institusi lainnya.Pelaksanaan klaster melatarbelakangi terjalinnya
kerjasama multistakeholder dalam rantai pasok cabai.Penelitian yang dilakukan terkait dengan
pengembangan klaster cabai merah untuk mengetahui keterlibatan antar pelaku, mekanisme kemitraan yang
terjadi, serta kolaborasi antar pelaku yang terlibat.Selain itu, disajikan pula alternatif penyempurnaan bentuk
kolaborasi sebagai rekomendasi penulis. Metode dan alat analisis yang digunakan antara lain, pemodelan
kualitatif melalui Rich Picture, Indeks Kolaborasi danTeori Drama.Hasil penelitian menunjukan pelaku yang
terlibat pada klaster terdiri atas dua anggota primer yaitu Koperasi Cagarit dan PT. Heinz ABC, serta anggota
pendukung dimulai dari lembaga pengembangan masyarakat, perusahaan penyedia input serta lembaga
perbankan. Berdasarkan analisis yang dilakukan, indikator kolaborasi belum tercapai pada tiga dimensi yaitu,
berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan keselarasan insentif.Solusi permasalahan dalam kolaborasi
disajikan melalui penggunaan teori drama berdasarkan ancaman dan tawaran setiap aktor. Solusi tersebut
antara lain mengenai pola tanam yang diterapkan, standar mutu cabai, pembiayaan usaha tani, sanksi
kepada petani mitra dan koperasi yang perlu dibentuk sebagai suatu unit usaha
Kata kunci: cabai merah, rantai pasok, klaster cabai, kolaborasi,kemitraan

ABSTRACT
Chili‟s price which is sharply fluctuated and can caused inflation make Bank Indonesia have an
initiation to develop cluster in area chili production center, which one of it is Garut region, West Java. Cluster
is geographic concentrations of interconnected companies, specialized suppliers, service providers, firms in
related industries, and associated institutionsin particular fields that compete but also co-operate (Porter,
1998). This article discusses deeply about the collaboration among multi stakeholder and succeeds of supply
chain management in agribusiness cluster development for red chili. To understanding the interaction and
complexity of agribusiness cluster development, it uses the qualitative modeling approach. The analysis tools
that are used are Rich Picture, Collaboration Index, and Drama Theory. The results showed that the
actorwho‟s involved in the cluster consists of two primary members; Cooperative Cagarit and PT. Heinz ABC.
In the other side, supporting member consist of VCC LPPM UNPAD, the provider of agriculture input and
banking institutions. Based on the analysis, collaboration indicators among the actors has not been achieved
in three dimensions;Information sharing, decision synchronization and incentive alignment. The collaboration
alternative also presented through drama theory based on threats and bid from each actor to the other actor.
Key word: red chili, supply chain, chili cluster, collaboration, partnership

53
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
PENDAHULUAN
Karakterisitik inflasi nasional salah satunya disebabkan oleh supply shock beberapa komoditas
pertanian.Cabai merupakan salah satu komoditas yang berpeluang memicu inflasi (Bank Indonesia,
2011).Harga cabai merah mudah berfluktuatif tajam dan sempat melambung secara nasional hingga melebihi
Rp.100.000/kg (Kementrian Perdagangan RI, 2011).Sulitnya memprediksi harga cabai, membuat Bank
Indonesia cabang Bandung berinisiatif untuk mengembangkan klaster cabai merah di Jawa Barat.Bank
Indonesia bertujuan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pembentukan kerjasama sinergis dengan
berbagai stakeholders.Konsep klaster berupaya untuk mengembangkan perekonomian nasional, regional,
dan kota melalui peran perusahaan, pemerintah dan institusi lainnya seperti universitas dalam rangka
meningkatkan daya saing industri (Potter, 1998).
Salah satu wilayah yang dijadikan target untuk pengembangan klaster ini adalah kabupaten
Garut,sebagaidaerah sentral produksi cabai di Jawa Barat. Kasus di Kabupaten Garut melibatkan berbagai
pihak pada level pelaku dan pendukung. Pada level pelaku, terdapat Koperasi Cagarit sebagai lembaga
penyalur aspirasi para petani untuk berhubungan dengan pihak luar, serta PT.Heinz ABC, yaitu perusahaan
industri pengolah yang berperan sebagai pembeli.Dua pelaku ini terikat dalam sistem kontrak. Adapun
anggota pada level pendukung seperti Bank Indonesia dan VCC LPPM Unpad berperan dalam hal penguatan
kelembagaan, serta USAID dan Amarta dalam bidang pengembangan teknologi pengolahan cabai.
Bergabungnya berbagai pelaku dalam klaster ternyata tidak menjamin ketercapaian win-win solution.Hasil
produksi masih jauh dari harapan konsumen (PT.Heinz ABC) dan terdapat kecenderungan pelanggaran pada
perjanjian yang telah disepakati.Apabila hasil dari sebuah kerjasama jauh dari harapan dan terjadi
ketidakpuasan antar masing-masing pihak terhadap keinginan dan kinerja satu sama lain, hal ini
mengindikasikan terjadinya kegagalan dalam kolaborasi (Boddy et al.,2000; Fawcett dan Magnan, 2002;
Lambert et al., 1996).
Artikel ini membahas studi kasus kemitraan pada program klaster cabai merah dengan cakupan
mengenai keterlibatan antar pelaku, mekanisme kemitraan yang terjadi, serta kolaborasi antar pelaku yang
terlibat.Selain itu, disajikan pula alternatif penyempurnaan model kelembagaan kemitraan agribisnis
komoditas cabai sebagai rekomendasi penulis.
METODOLOGI
Desain penelitian ini adalah studi kasus. Alasan pemilihan studi kasus dikarenakan melalui desain ini peneliti
dapat mengeksplorasi suatu fenomena dan mengumpulkan secara detail berbagai informasi yang dapat
digunakan sesuai dengan prosedur pengumpulan data selama periode waktu tertentu. Alat analisis yang
digunakan antara lainSupply Chain Mapping yang selanjutnya digambarkan melalui Rich Picture, analisis
deskriptif untuk pemaparanmekanisme kemitraan, Indeks Kolaborasi danTeori Dramayang dijadikan alat
dalam kerangka pengembangan model kemitraan.Penggunaan keempat alat analisis dapat memberikan
kontribusi bagi pencapaian tujuan dari penelitian ini, antara lain pemetaan rantai pasok pada kemitraan
klaster cabai di kabupaten Garut, gambaran dilema dan konflik yang terlihat dari pencapaian kolaborasi serta
kerangka pikir bersama yang merupakan hasil dari penggabungan kerangka pikir masing-masing pelaku
berdasarkan pertimbangan ancaman dan tawaran solusi antar pelaku.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemetaan Rantai Pasok
Pemetaan rantai pasok terdiri atas tiga komponen penting yaitu struktur jaringan, proses bisnis dan
sistem manajemen rantai pasok (Stock dan Lambert, 2001).Struktur jaringan rantai pasok pada pelaksanaan
klaster cabai Garut melibatkan anggota primer yang terdiri atas Koperasi Cagarit yang berperan mewakili
kelompok-kelompok tani mitra dan PT.Heinz ABC sebagai pembeli hasil produksi cabai merah. Sementara
anggota pendukung antara lain Bank Indonesia dan Puslitbang LPPM Unpad sebagai pembina dan fasilitator,
BRI yang memberikan pinjaman modal, serta PT.East West Seed, Meroke Tetap Jaya, dan Syngenta yang
bertugas menyediakan input. Alur urutan aktivitas yang dilakukan dalam klaster cabai ini dimulai dengan
perencanaan untuk membuat kesepakatan luas wilayah perkebunan yang akan diolah, penetapan petani
yang akan ikut terlibat, serta persiapan modal dan sarana produksi per musim tanam.Pada tahap persiapan
koperasi menyediakan peralatan produksi seperti mulsa untuk disalurkan pada para petani mitra dan
merekomendasikan varietas benih, jenis pupuk dan pestisida yang dapat dibeli di toko pertanian.Sebelumnya
54
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
PT. Heinz ABC berkonsultasi terlebih dahulu dengan PT. East West Seed mengenai varietas benih yang cocok
digunakan dalam skala industri.Selanjutnya PT. East West Seed melakukan pengujian dan menetapkan
varietas benih yang sesuai hingga akhirnya dilakukan pembinaan penggunaan benih kepada petani.Hal yang
sama pun dilakukan oleh perusahaan penyedia input PT. Meroke Tetap Jaya dan Syngenta. Kedua
perusahaan ini akan mendistribusikan produk yang dibutuhkan petani melalui toko pertanian setempat
dengan terlebih dahulu melakukan survei dan pengujian hingga kemudian melakukan demontrasi atau temu
lapang.
Sejak awal tanam hingga mendekati panen, Koperasi Cagarit wajib memberikan laporan
perkembangan tanaman secara rutin setiap satu bulan sekali kepada PT. Heinz ABC. Hal ini dilakukan agar
PT.Heinz ABC mampu memprediksi jumlah hasil panen. Kelompok tani mitra yang telah dikontrak selama
satu musim tanam akan memberikan hasil panen pada koperasi. Selanjutnya pihak koperasi akan melakukan
sortasi dan grading untuk menentukan hasil panen yang layak untuk dikirimkan ke PT. Heinz ABC. Hasil
panen yang dinyatakan off grade akan dijual langsung ke pasar.
Pembayaran hasil panen akan dilakukan PT. Heinz ABC jika Koperasi Cagarit telah mengirim hasil panen dan
memenuhi beberapa berkas administrasi. Jumlah pembayaran tersebut akan disalurkan kembali pada petani
mitra sebagai dana pembelian hasil panen oleh koperasi. Dengan demikian, pada umumnya pembiayaan
modal kelompok tani mitra diperoleh dari Koperasi Cagarit yang dibayar setiap panen dengan marjin
keuntungan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.
Anggota pendukung lainnya seperti Bank Indonesia, VCC LPPM Unpad turut melakukan pemantauan
sehingga apabila terdapat permasalahan yang sedang dihadapi koperasi akan dilakukan tindakan
penanggulangan secara cepat dan tepat. Permasalahan tersebut dapat berupa dalam hal budidaya,
pemeliharaan, panen dan pascapanen hingga manajemen organisasi. Sama halnya dengan yang dilakukan
oleh BRI sebagai pemberi modal, dengan pengontrolan berkala, pihak bank akan mengetahui kemampuan
bayar koperasi untuk pelunasan pinjaman.Rich picture berikut akan merangkum keseluruhan aktivitas pada
penerapan program klaster cabai di Kabupaten sehingga dapat tergambar berlangsungnya proses bisnis dan
sistem manajemen rantai pasok.
!
Planning

!
Stakeholder Mee ng MoU
Max H+ 25
Collec vity

! Stakeholder
Ag ri S tor e involvement

Farmers Group
Business Unstructured market
Process

Market Por olio

Coopera ve

H+ 14 structured market

!
REPORT!

Value
Addi on

Hope
Hub Stakeholder
Supply Availabity
involvement
& Price
Explanation :
: Work Flow
: Money Flow
: Information Flow
: In preparation
: in monitoring
! : Primary Actors
: Supporting Actors

Gambar 1.Rich pictureRantai pasok agribisnis pada pengembangan klaster cabai merah di Kabupaten Garut,
Jawa Barat

Model komunikasi yang berlangsung pada penerapan klaster adalah model interaksional. Model ini
menekankan proses komunikasi dua arah diantara para komunikator. Dengan kata lain terdapat timbal balik
dalam proses komunikasi, dari pengirim kepada penerima dan sebaliknya penerima pada pengirim. Sesuai
55
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
dengan yang diungkapkan Togar M. Simatupang dan Ramaswami Sridharan (2005) dalam penelitiannya yang
berjudul An Integrative Framework for Supply Chain Collaboration.Pendekatan timbal balik dalam kerangka
kerja kolaborasi rantai pasok menggambarkan bagaimana kinerja dalam sistem kolaborasi mempengaruhi
setiap pelaku untuk saling berbagi informasi, berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, serta diperlukannya
insentif keselarasan.
Kolaborasi dalam Klaster
Konsep sebuah kolaborasi dapat dikategorikan kedalam tiga jenis dimensi yang saling
berhubungan. Ketiga jenis dimensi tersebut terdiri atas, information sharing, decision
synchronisation, dan incentive alignment (Simatupang dan Sridharan, 2004). Setiap dimensi
memiliki indikator yang dapat digunakan sebagai penilaian untuk menentukan keberhasilan
kolaborasi.Indikator pada penelitian ini berasal dari hal-hal yang disepakati dalam perjanjian serta
berdasarkan hasil wawancara pada setiap pelaku.
Berbagi Informasi (Information Sharing)
Berbagi informasi merupakan titik awal dalam kolaborasi.Berdasarkan informasi yang relevan para
pembuat keputusan dapat membuat perencanaan dan mengontrol operasi dalam rantai pasok. Berdasarkan
analisis kolaborasi pada dimensi ini, maka dapat diketahui beberapa permasalahan yang terjadi, yaitu:
Informasi mengenai perkembangan tanaman yang seharusnya secara rutin diberikan setiap satu bulan sekali
oleh Koperasi Cagarit kepada PT. Heinz ABC via email tidak terlaksana.
PT. Heinz ABC seharusnya secara rutin memonitor langsung kondisi lapangan dan bertatap muka dengan
para petani serta koperasi untuk memberikan informasi bimbingan teknis budidaya secara lansung. Dengan
demikian PT. Heinz ABC tidak hanya mengandalkan laporan perkembangan tanaman yang dikirim via email,
melainkan berinisiatif datang ke lokasi produksi untuk mengetahui langsung kondisi tanaman.
Informasi jadwal pengiriman diberikan pihak Koperasi Cagarit tiga hari sebelum dilakukannya pengiriman.
Berdasarkan kesepakatan dengan pihak PT. Heinz ABC seharusnya laporan tersebut diberikan satu minggu
sebelum pengiriman untuk melakukan pre order di pabrik.
Jadwal pembayaran yang diundur hingga lebih dari 20 hari memperlihatkan implementasi kontrak yang tidak
sesuai dengan kesepakatan. Apabila kesalahan terdapat pada administrasi Koperasi Cagarit, PT. Heinz ABC
sebaiknya menjalin komunikasi untuk melakukan pendampingan guna memperlancar alur administrasi
pembayaran yang sesuai keinginan PT. Heinz ABC.
Berbagi informasi antar pelaku dalam rantai pasok berlaku juga bagi para anggota pendukung.Sejauh ini
hubungan kerjasama antara anggota primer dan pendukung berlangsung sesuai harapan masing-masing
anggota.Seluruh anggota pendukung dan anggota primer saling berbagi informasi agar dapat memenuhi
permintaan pasar dan mencapai kesuksesan bisnis.
Sinkronisasi Keputusan (Decision Synchronisation)
Terdapat beberapa pengambilan keputusan yang ternyata belum disetujui oleh semua
pihak.Keputusan tersebut diantaranya mengenai pola tanam yang ingin diterapkan, luas wilayah kontrak
yang selalu berubah-ubah dan kesepakatan jumlah hasil panen yang tidak sesuai dengan estimasi.Akibat
keterjalinan komunikasi antara PT. Heinz ABC dan Koperasi Cagarit hanya mengandalkan laporan
perkembangan tanaman, menimbulkan berbagai persepsi mengenai kondisi yang sebenarnya terjadi.Menurut
pihak PT. Heinz ABC jumlah hasil panen yang tidak sesuai prediksi adalah karena selain banyaknya kualitas
cabai yang off grade, terdapat petani yang cenderung menjual cabai hasil produksinya secara langsung ke
pasar maupun tengkulak.Sementara itu, koperasi meyakini pelanggaran oleh petani mitra hanya berpengaruh
kecil, karena sebagian besar petani cabai merah memiliki komitmen yang tinggi untuk tetap mematuhi
perjanjian dengan menjual seluruh hasil panen pada koperasiMenurut Koperasi Cagarit yang terjadi ialah
kriteria cabai yang diberlakukan PT. Heinz ABC terlalu tinggi sehingga sulit dipenuhi.Cabai yang dikatakan off
grade menurut PT. Heinz ABC merupakan kualitas super jika dijual ke pasar.Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Purnaningsih (2008) bahwa salah satu kendala yang mengakibatkan kemitraan tidak sesuai
dengan harapan diakibatkan oleh faktor eksternal yaitu standar mutu konsumen yang terlalu tinggi sehingga
sulit dipenuhi pemasok.
Keselarasan yang Insentif (Incentive Alignment)

56
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pada dimensi ini, keselarasan kerjasama dilihat pada pembagain biaya, keuntungan serta risiko yang
diperoleh setiap pihak.Keberhasilan insentif keselarasan tercapai jika seluruh pihak menanggung dan
menjalankan seluruh konsekuensi dari kerjasama yang terjalin.
Tabel 1. Insentif Keselarasan
Keselarasan Petani mitra Koperasi Cagarit PT. Heinz ABC
Pembagian biaya yang Biaya operasional : sortasi, grading, Biaya insentif saat harga sedang tinggi
Seluruh biaya produksi
ditanggung trasnportasi di pasar.
30% dari dari harga yang ditetapkan
Pembagian 70% dari harga yang ditetapkan Biaya produksi untuk pembelian
dalam kontrak
keuntungan dalam kontrak (Rp.7000/kg) bahan baku cabai cenderung tetap
(Rp. 3000/kg)
PT. Heinz ABC akan tetap
Kerugian akibat gagal panen Saat hasil panen rendah, biaya
mempertahankan harga jual Rp.
Pembagian risiko Kehilangan opportunity cost saat operasional untuk transportasi cenderung
10.000 serendah apapun harga cabai
harga tinggi di pasar tetap
turun di pasaran
Pada kenyataannya saat harga cabai tinggi di pasar, perusahaan perlu menanggung kekurangan
pasokan karena terdapat petani yang lebih berminat menjual hasil panennya ke pihak ketiga
(tengkulak/pasar). Petani melakukan hal ini agar tidak kehilangan oppurtunity cost. Dengan demikian,
dimensi insentif keselarasan tidak tercapai karena terdapat pelaku yang tidak menjalankan konsekuensinya
dengan baik
DILEMA DALAM KEMITRAAN KLASTER
Melalui teori drama masing-masing pelaku akan membuat kerangka pikir yang dapat mengoptimalkan
keuntungan bagi dirinya sendiri (Howard, 1996). Keinginan ideal setiap pelaku yang bertentangan dengan
kepentingan pihak lainnya akan menimbulkan sebuah dilemma.Pada kasus klaster cabai merah kabupaten
Garut terdapat tiga dilema yang terjadi antara Koperasi Cagarit dan PT. Heinz ABC, berikut pemaparannya:
a. Dilema Ancaman
Terdapatnya tindakan menyimpang dari beberapa petani mitra dengan menjual hasil panennya ke pihak
ketiga (tengkulak/pasar tradisional), menimbulkan dorongan pada PT. Heinz untuk mengakhiri
kerjasama.Ancaman PT. Heinz ABC disampaikan Koperasi Cagarit kepada petani mitra, namun para petani
tidak menanggapi ancaman tersebut dengan serius.Hal ini dikarenakan petani merasa PT.Heinz ABC tidak
memiliki andil dalam pembiayaan yang mereka keluarkan selama berproduksi. Para petani tersebut merasa
berhak untuk menjual kepada siapa pun hasil panennya, terutama pada pihak yang akan lebih banyak
memberikan keuntungan.
b. Dilema Kepercayaan
PT.Heinz ABC menganggap koperasi belum dapat memperlihatkan ketegasannya pada petani mitra agar
tidak menjual hasil panen ke pasar atau tengkulak.Hal ini menyebabkan rendahnya volum cabai yang dikirim
ke pabrik PT. Heinz ABC.Padahal menurut Koperasi Cagarit sebab utamanya dikarenakansebagian besar hasil
panen yang diberikan petani memang tidak sesuai dengan kriteria standar PT. Heinz ABC/ off grade sehingga
diputuskan untuk dijual ke pasar tradisional.
c. Dilema Kerjasama
Dilema kerjasama ini terjadi pada petani mitra saat mereka lebih tertarik untuk menjalin kerjasama dengan
pihak lain. Petani mitra dihadapkan oleh dua pilihan, pilihan pertama bertindak sesuai kesepakatan dalam
kontrak, yaitu menjual hasil panennya seharga Rp.7.000/kg dan menunggu pembayaran maksimal hingga 25
hari setelah setoran, atau pilihan kedua menjual hasil panen dengan harga yang cenderung lebih tinggi dan
dengan pembayaran langsung secara tunai.
TEORI DRAMA
Tahap Awal (Scene Setting)Pada tahap ini akan dibahas mengenai kerangka pikir Koperasi Cagarit dan PT.
Heinz ABC. Tahap awal akan menggambarkan alur pemikiran setiap pelaku agar dapat memperoleh
keuntungan yang optimal melalui dukungan berbagai pihak berdasarkan sudut pandang masing-masing.

Kerangka Pikir Koperasi Cagarit


Permasalahan koperasi dalam bermitra dengan PT.Heinz ABC adalah sulitnya memenuhi cabai dengan
kriteria kualitas standar. Koperasi berharap agar PT.Heinz ABC dapat mengurangi standar kualitasnya
sehingga hasil panen para petani mitra tidak terlalu banyak yang off grade.

57
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pola tanam polikultur yang dianggap menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya target kuantitas
dan kualitas bukanlah masalah menurut koperasi Cagarit. Pola tanam polikultur merupakan budaya bagi
petani setempat. Petani tidak dapat menggantungkan pendapatan dari satu komoditas saja, karena jika
terjadi kegagalan panen pada cabai mereka tidak akan mendapatkan pemasukan sama sekali.Kendala
lainnya adalah kecenderungan petani mitra yang menjual cabai merah pada tengkulak/pasar saat harga
tinggi. Melihat permasalahan ini sebaiknya PT.Heinz ABC mempermudah alur pembayaran sehingga para
petani tidak terlalu lama menunggu bayaran dari hasil panen yang dijualnya.Selain itu, sebagai pengikat
komitmen dengan perusahaan pengolah, Koperasi Cagarit merasa PT. Heinz ABC perlu melakukan
penanaman modal, sehingga para petani akan merasa memiliki kewajiban untuk mengembalikan modal saat
tiba waktu panen. Hal ini pun perlu diimbangi dengan pemantauan oleh PT. Heinz ABC secara intensif agar
dapat memahami kondisi lapangan secara langsung.
Berikut ini merupakan kerangka pikir Koperasi Cagarit yang penulis rangkum dalam sebuah bagan :

Penyedia input dan


pelatihan PT. East West Seed, Meroke Tetap
Jaya, Syngenta
Pemberian
modal/sbg avalist ke Bank Indonesia
PT.Heinz ABC Koperasi Cagarit
bank
Dukungan dalam
Permudah alur
pengolahan cabai Puslitbang LPPM
pembayaran
Kualitas skala besar Unpad

standar cabai USAID


dikurangi Pelatihan rutin manajemen koperasi
Dinas pertanian
Hasil panen Waktu pembayaran
optimal yang pasti

Penyaluran
saprotan Persemaian Kelompok
terpusat Wanita Tani

Penyaluran
Petani mitra bibit Pelatihan penguatan komitmen

Budidaya tanaman
polikultur
Gambar 2. Kerangka Pikir Koperasi Cagarit

Kerangka Pikir PT. Heinz ABC


Menurut sudut pandang PT. Heinz ABC, keberhasilan koperasi sebagai aktor utama ialah
jika berhasil membina para petani mitra menjadi petani berkualitas. Petani yang berkualitas
merupakan petani yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas serta dapat memproduksi cabai
dengan stabil sesuai permintaan pasar. Keberhasilan ini akan diikuti dengan kesuksesan berbagai
pihak lainnya, seperti PT.
Heinz ABC yang dapat memenuhi kebutuhan bahan baku, perusahaan
penyedia input berhasil memasarkan produknya, BRI mendapatkan keuntungan dari bunga
pengembalian pinjaman secara teratur dan yang terpenting ialah terkendalinya harga cabai
nasional.Pada kerangka pikir PT.Heinz ABC, peran Koperasi Cagarit tidak hanya sebatas mewadahi
dan menjembatani aspirasi petani-petani mitra pada perusahaan pengolah atau
lembagapendukung lainnya. Koperasi Cagarit diberdayakan menjadi sebuah unit usaha yang
menjual berbagai sarana produksi.

58
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Hasil keuntungan dari bisnis ini akan disimpan sebagai dana talangan jika terjadi
penundaaan pembayaran oleh PT.Heinz ABC kepada koperasi. Terkait permasalahan komitmen
petani mitra yang perlu ditingkatkan, menurut PT.
Heinz ABC hal ini dapat dikendalikan melalui sanksi pelanggaran yang berat. Anggota yang terbukti
menjual hasil panen pada pihak lain, sebaiknya diambil seluruh hasil panen tanpa memberikan
bayaran pada petani tersebut
Berikut ini merupakan bagan dari kerangka pemikiran PT.Heinz ABC :

PT.Heinz ABC USAID


Laporan
rutin Jual kontrak Beli bantuan
Menjual
Rumah Pembibitan
PT. East West Seed, input dengan Toko Pertanian Pengembangan
Meroke Tetap Jaya, harga pabrik usaha
Koperasi Rumah kompos

Syngenta
Cagarit
Pengolahn cabai

Pinjaman modal/
Jual kontrak Beli

Penanaman Menjual Sanksi pelanggaran


Petani mitra perjanjian diperketat
Bank/investo
investasi saprodi
r Budidaya tanaman
monokultur

Pemantauan dan pembinaan dari B.I.,


Puslitbang Inovasi dan Kelembagaan LPPM
Unpad, dan Dinas Pertanian setempat

Gambar 3. Kerangka Pikir PT. Heinz ABC


Tahap Pembentukan /bulid up (Kerangka Pikir Bersama)
Kerangka pikir bersama merupakan hasil penggabungan kerangka pikir Koperasi Cagarit dan PT. Heinz ABC.
Pada kerangka pikir bersama, terdapat beberapa tawaran yang diterima, dimodifikasi atau bahkan ditolak
karena jika dilaksanakan akan merugikan pihak lainnya. Berikut ini merupakan hal-hal yang dipertentangkan
kedua belah pihak beserta solusi yangdirekomendasikan untuk mensinergiskan tujuan dan kepentingan
setiap pelaku :
Pola Tanam
Pola tanam secara monokultur dengan didukung total wilayah produksi yang cukup luas tentu akan
memberikan jumlah produksi yang maksimal. Namun hal ini sulit diterapkan oleh para petani mitra. Risiko
kerugian akan terlalu besar jika mereka hanya menggantungkan pendapatan dari satu jenis komoditas saja.
Melalui berbagai pertimbangan tersebut, maka pola tanam yang paling ideal diberlakukan adalah
polikultur.Dengan catatan, petani mitra harus dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman
sehingga dapat menghasilkan cabai merah yang sesuai dengan kriteria standar PT. Heinz ABC.

Penurunan Standar Mutu


Koperasi Cagarit yakin kendala sulitnya memenuhi permintaan PT.Heinz ABC ialah karena standar mutu yang
terlalu tinggi.Sementara itu standar mutu yang diterapkan PT.Heinz ABC diberlakukan demi menjaga kualitas
produk.Penetapan standar mutu seharusnya dijadikan dorongan agar petani lebih meningkatkan kemampuan
sehingga dapat menghasilkan produk yang sesuai keinginan pasar.
Penanaman Modal oleh PT. Heinz ABC
Posisi ini ditawarkan oleh Koperasi Cagarit pada PT.Heinz ABC. Alasan penawaran posisi ini adalah
sebagai pengikat komitmen petani agar merasa memiliki kewajiban untuk membayar modal pinjaman melalui
penjualan hasil produksinya ke koperasi. Dalam hal ini perlu ditekankan, bahwa PT.Heinz ABC memfokuskan

59
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
kepentingannya hanya sebagai pembeli cabai segar dan penghasil produk olahan cabai, selebihnya dalam hal
permodalan, lembaga yang lebih pantas untuk menduduki posisi tersebut adalah Bank. Seperti halnya peran
BRI yang saat ini telah bergabung sebagai anggota pendukung pada klaster cabai Garut.
Sanksi Koperasi Dipertegas
PT.Heinz ABC menuntut ketegasan dari Koperasi Cagarit agar betul-betul menjalankan sanksi
tersebut, sehingga seluruh petani mitra menganggap serius ancaman dan patuh melaksanakan
kewajibannya. Di sisi lain, bagi pihak koperasi, sanksi yang berat akan membuat para petani menjadi enggan
dan takut untuk bergabung bersama koperasi. Bagi pihak Koperasi Cagarit salah bentuk pengikatan
komitmen ialah melalui modal. Maka solusi dalam hal ini adalah keberadaan BRI sebagai pemberi pinjaman
modal dapat menjadi pengikat para petani agar dapat bersungguh-sungguh menuntaskan kewajibannya.
Koperasi sebagai penyalur pinjaman dapat memanfaatkan kondisi ini untuk memberikan ancaman pada
petani mitra agar memberikan seluruh hasil panennya jika ingin mendapatkan modal untuk musim tanam
berikutnya.
Koperasi Sebagai suatu Unit Usaha
Terjalinnya kerjasama beserta perusahaan-perusahaan input, koperasi seharusnya dapat
memanfaatkan situasi ini untuk mengembangkan suatu unit bisnis sebagai penyedia sarana produksi
pertanian untuk anggota. Keuntungan dari penjualan dapat digunakan sebagai kas koperasi, modal atau
dana talangan jika terjadi keterlambatan pembayaran dari PT.Heinz ABC.
Berikut ini bagan kerangka pikir bersama yang telah disertai resolusi sebagai penengah dari posisi-posisi
yang ditawarkan pelaku :

PT. East West Seed

Meroke Tetap Jaya PT. Heinz ABC


Menjual
Syngenta
input dengan
harga pabrik kontrak USAID
Rutin
Alur menyerahkan
Pelatihan laporan
Beli Pembayaran Jual Bantuan
perkembangan
dipermudah
tanaman
dan
Setoran hasil panen Rumah semai
diperjelas

Rumah pupuk
Kontrak : Sanksi dipertegas Pengembangan usaha
dengan ancaman Pengolahan cabai
Toko Pertanian
Petani Mitra Penyaluran modal pinjaman Pinjaman BRI/investor
dari BRI, jual saprodi dan Koperasi Cagarit
Budidaya Investasi
membeli hasil panen
secara
Persemaian
polikultur
Pemasukan : Penggunaan: terpusat
Jual bibit
-Pembayaran input
-30% keuntungan Dana talangan-Dana Kelompok
hasil panen simpan pinjam anggota Wanita Tani

Pemantauan dan pembinaan dari B.I., Puslitbang LPPM Unpad, dan Dinas Pertanian setempat

Gambar 4. Kerang Pikir Bersama


Kerangka bersama merupakan rekomendasi penulis untuk memperbaiki mekanisme kemitraan yang
dijalankan berdasarkan tawaran dan posisi tiap aktor. Apabila kerangka pikir ini berhasil diterima dan
diaplikasikan maka akan berlanjut pada tahap akhir, yaitu tahap dimana tidak ada lagi dilema dan episode
dalam drama berakhir. Tahap akhir ditunjukan dengan dilaksananakannya kesepakatan dari kerangka pikir

60
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
bersama oleh para aktor. Setiap aktor akan menerima konsekuensi dari kolaborasi bersama para pelaku
dalam rantai pasok klaster setelah melalui proses konflik yang panjang.

KESIMPULAN

Kolaborasi antar pelaku dalam rantai pasok klaster cabai merah di Kabupaten Garut belum terlaksana dengan
baik.Hal ini terlihat dari indikator kolaborasi pada dimensi berbagi informasi, sinkronisasi keputusan dan
insentif keselarasan yang belum tercapai.Penyelesaian permasalahan kolaborasi dapat dilakukan dengan
menggabungkan dua kerangka pikir anggota primer melalui teori drama.
Kerangka pikir bersama yang terbentukakan menghilangkan dilema dan memberikan solusi dari berbagai hal
yang dipertentangkan oleh kedua belah pihak.Keberhasilan pelaksanaan kerangka pikir yang baru perlu
ditunjang oleh peran para anggota pendukung yang dapat membantu pencapaian tujuan seluruh pihak
dalam rantai pasok.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber jurnal:
Boddy, D., Macbeth, D. dan Wagner, B. (2000).Implementing Collaboration between Organizations:
An Empirical Study of Supply Chain Partnerin ‟.Jurnal studi Manajemen, Vol. 37. No. 7,pp.1003-1017
Eaton dan W.Sheperd. 2001. Contract Farming : Partnership for Growth. FAO Agricultural Services
Bulletin.
Fawcett, S.E. dan Magnan G.M (2002) “The rhetoric and reality of supply chain integration”
International journal of physical distribution & Logistics Management, Vol. 32, No. 5.
Howard, N. (1996). ”Negotiation as drama : how games become dramatic” International
Negotiation Journal, Vol.1, 125-152.
Lambert, D.M., Emmelhainz, M.A. dan Gardner, J.T (1996) „Developing and implementing Supply
Chain Partnership‟. Jurnal Internasional Manajemen Logistik, Vol.7, No.2, pp.1-17.
Lambert, D.M dan Stock J.R. 2001. Strategic Logistics Management ,edisi keempat. Singapura:
McGrawhill,.
Porter, M.E., 1998. Clusters and the new economics of competition, Harvard Business Review 76
(6), 77-90
Purnaningsih, Ninuk. 2008. Strategi Kemitraan Agribisnis berkelanjutan. Jurnal ISSN : 1978-4333,
Vol. 01, No.03
Simatupang, T.M. 2002. The Knowledge of Coordination for Supply Chain Integration.Jurnal
Internasional Bisnis dan Manajemen, Vol 8 No. 3.
Simatupang, T.M. 2004. Supply Chain Collaboration. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Universitas
Massey
Simatupang, T.M dan Sridharan, R. (2005) „An Integrative Framework for Supply Chain
Collaboration‟, Jurnal Internasional Manajemen Logistik, Vol.16, No.2, pp. 257-274.
Simatupang, T.M dan Sridharan, R. (2011) „A Drama Theory Analysis of Supply Chain
Collbaoration.‟ Jurnal Internasional Collaborative Enterprise, Vol.2, Nos. 2/3.
Togar M. Simatupang dan Yuanita Handayati.2009.Analisis Kolaborasi Coca-Cola dan Carrefour
dengan Menggunakan Teori Drama.Jurnal Bisnis dan Manajemen. Vol 8 No.3

61
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
11.MODEL SWASEMBADA BERAS YANG BERKELANJUTAN:
PENDEKATAN SISTEM DINAMIS

Oleh:
Rita Nurmalina1) dan Harmini2)
1)
Magister Sains Agribisnis, Sekolah Pascasarjana IPB
2)
Departemen Agribisnis, FEM IPB

Email:rita_ns@yahoo.com

Abstrak

Di Indonesia beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh rakyat Indonesia,
oleh karena itu mewujudkan swasembada beras yang berkelanjutan menjadi penting. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis capaian target swasembada beras nasional dan mencari alternatif kebijakan yang dapat
mendorong keberlanjutan swasembada beras di masa yang akan datang berdasarkan pendekatan sistem
dinamis. Data yang digunakan data primer dan data sekunder. Model swasembada beras nasional dibagi ke
dalam dua subsistem yaitu subsistem penyediaan (supply side) dan subsistem kebutuhan beras (demand
side).Hasil model sistem dinamis memperlihatkan bahwa untuk mencapai swasembada beras yang
berkelanjutan diperlukan kebijakan yang efektif dan inovatif. Hasil simulasi sistem dinamis menunjukkan
bahwa kebijakan dari sisi penyediaan (supply side) yaitu meningkatkan produktivitas, produksi, pencetakan
sawah dan menekan konversi lahan memberikan hasil kinerja sistem lebih baik terhadap swasembada beras
yang berkelanjutran di masa yang akan datang dibandingkan perbaikan kebijakan pada sisi
kebutuhan(demand side) yaitu penurunan pertumbuhan jumlah penduduk dan konsumsi per
kapita.Kebijakan intensifikasi plus dari sisi penyediaan yaitu melalui perbaikan produktivitas, produksi dan
menurunkan kehilangan hasil berkontribusi lebih besar dibandingkan kebijakan ekstensifikasi untuk mencapai
swasembada beras yang berkelanjutan. Untuk capaian swasembada beras yang berkelanjutan diharapkan
pemerintah dapat tetap berusaha meningkatkan produksi melalui perbaikan varietas unggul, intensitas
pertanaman dan teknologi budidaya dan pengolahan beras. Selain menekan konversi lahan untuk jangka
panjang diperlukan pencetakan sawah di luar Jawa yaitu diarahkan ke wilayah Sumatera dan Sulawesi.

Kata Kunci : subsistem penyediaan, subsistem kebutuhan, swasembada beras, sistem dinamis.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Beras merupakan bahan utama konsumsi pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Tingkat
pertumbuhan demand beras yang lebih cepat dari supply (penyediaan) merupakan masalah yang terjadi
dalam perwujudan swasembada beras secara berkelanjutan. Tingkat demand beras meningkat seiring
dengan pertumbuhan penduduk, daya beli, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan selera. Dinamika tersebut
menjadi faktor penyebab peningkatan kebutuhan beras nasional secara pesat baik dalam hal jumlah, mutu,
dan keragaman.Peningkatan yang konsisten dari kapasitas produksi beras nasional seringkali muncul
ancaman seperti banjir, serangan hama/Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan kekeringan.
Kementerian Pertanian (2012) menunjukkan bahwa indeks perubahan iklim khususnya di Indonesia sekitar 3-
5 persen, sedangkan serangan OPT sekitar 2-4 persen.Tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia berjumlah
237,64 juta jiwa dan terus meningkat dengan trend 1,49 persen/tahun. Selain itu, peningkatan konsumsi
beras yaitu 139,15/kapita/tahun merupakan hal yang harus dipenuhi untuk kebutuhan beras masyarakat
Indonesia. Adanya tekanan penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan beras serta kebutuhan
62
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
kegiatan ekonomi sehingga memberikan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan lahan untuk perumahan,
industri, kebutuhan fasilitas umum, dan jalan.
Hal ini menyebabkan peningkatan demand beras dan menurunkan supply (penyediaan) beras,
sehingga berpengaruh pada swasembada dan ketahanan pangan nasional.
Ketersediaan beras Indonesia menunjukkan perkembangan yang kompleks dan dinamis dan
melibatkan banyak faktor yang terkait.Kompleksitas sistem perberasan serta pentingnya beras sebagai
komoditas strategis menjadi persoalan yang penting untuk diperhatikan. Maka, penelitian ini berupaya
menginvestigasi capaian program swasembada beras Indonesia.Analisis simulasi dengan model sistem
dinamik memprediksi ketersediaan beras Indonesia.Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi
kepada para pemangku kepentingan perberasan Indonesia dalam perencanaan pangan. Undang-Undang
Pangan No 18 tahun 2012 pasal 6 menyebutkan bahwa “perencanaan pangan dilakukan untuk merancang
penyelenggaraan pangan ke arah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan” (pasal
6) dan “perencanaan pangan dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan
peran masyarakat” (pasal 8 (2)).
1.2. Tujuan Penelitian
Menghasilkan model dinamik swasembada beras Indonesia dengan menggunakan pemodelan sistem dinamik
dan melakukan simulasi kebijakan terhadap potensi ketercapaian target swasembada beras berkelanjutan di
Indonesia.

METODE PENELITIAN
2.1. Waktu Penelitian, Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data dasar tahun 2012, periode waktu simulasi yang digunakan adalah periode
2012-2022. Model yang telah diperoleh dapat digunakan untuk simulasi kebijakan sehingga diperoleh
gambaran potensi ketercapaian target swasembada beras yang berkelanjutan di Indonesia. Proses
pemodelan dilakukan dengan cara membangun sistem secara keseluruhan dari dua sub sistem yakni sub
sistem kebutuhan beras (demand side) dan sub sistem penyediaan beras (supply side).
Analisis kebutuhan beras dapat diidentifikasi melalui kebutuhan beras untuk konsumsi masyarakat, industri
pengolahan, dan ekspor. Maka, data yang digunakan berupa data agregat nasional dan perkembangannya
yang meliputi: (1) konsumsi beras per kapita , (2) jumlah penduduk, (3) pertumbuhan penduduk, (4)
kebutuhan beras untuk industri pengolahan, dan (5) kebutuhan beras nasional. Untuk itu digunakan data
sekunder yang merupakan data agregat nasional dan perkembangannya serta berbagai referensi yang
relevan dan mendukung.Data sekunder tersebut diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya : Badan
Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia, Badan Urusan Logistik (Bulog), Sekretariat ASEAN, FAO Statistik, Instansi-
instansi terkait, dan berbagai referensi yang relevan dan mendukung. Selain itu, upaya untuk
mendeskripsikan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk mencapai swasembada beras di Indonesia
diperoleh melalui kegiatan wawancara kepada para stakeholder perberasan seperti : pejabat pemerintahan,
praktisi, dan pakar perberasan Indonesia.

2.2. Metoda Analisis


Pemodelan swasembada beras dilakukan dengan menggunakan pendekatan model sistem dinamis, yang
dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: (1) identifikasi sistem, (2) formulasi model swasembada beras, (3)
validasi model swasembada beras, (4) simulasi kebijakan swasembada beras yang berkelanjutan untuk
mendukung kedaulatan dan ketahanan pangan nasional.
Tahap identifikasi sistem dilakukan dengan mengkonstruksi struktur hubungan sebab akibat di dalam sistem
swasembada beras nasional ke dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop diagram).
Kemampuan pemahaman atas sistem yang ditelaah akan menentukan model dinamis yang akan dihasilkan.
Formulasi model dinamis swasembada beras nasional disusun berlandaskan atas diagram causal loop dengan
menggunakan asumsi dasar model dinamis. Model dinyatakan dalam bentuk grafis (diagram alir) dan
persamaan matematis. Diagram alir akan menunjukkan hubungan antar variabel di dalam sistem.

63
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Formulasi model swasembada beras nasional pada penelitian ini digunakan program komputer VenSim
(Ventana System, 2007). Program VenSim dipilih karena pertimbangan telah mencukupi kebutuhan model
yang akan dibangun. Simbol-simbol yang digunakan dalam diagram alir dengan program VenSim(Gambar 1).

Gambar 1. Bahasa Grafis Model Sistem Dinamik.


Sumber: Sterman (2000)
Berdasarkan atas diagram alir model sistem dinamis swasembada beras, kemudian diformulasikan
hubungan atau persamaan kuantitatif antar variabel di dalam sistem. Penentuan nilai parameter di dalam
persamaan matematis tersebut dibangun berdasarkan asumsi-asumsi yang ditentukan berdasarkan kajian
teoritik dan empirik.
Model memiliki validitas tinggi ketika model tersebut dapat merepresentasikan kondisi aktual dengan
baik. Validitas model ketersediaan beras nasional pada penelitian ini dilakukan menggunakan expert
judgement.Setelah model sistem ketersediaan beras nasional diperoleh dengan tingkat validitas yang
memadai, maka selanjutnya dapat dilakukan simulasi kebijakan swasembada beras pada model tersebut.
Simulasi dilakukan dengan menggunakan berbagai skenario kebijakan swasembada beras, sehingga akan
dapat diperoleh gambaran dampak kebijakan swasembada beras terhadap tingkah laku sistem yang dalam
hal ini adalah pencapaian swasembada beras nasional di masa mendatang. Teknik simulasi bersifat luwes
terhadap perubahan-perubahan, sehingga sesuai dengan keperluan sistem yang sebenarnya.

HASIL PENELITIAN
3.1. Skenario Existing Condition (Skenario 0)
Model swasembada beras pada skenario existingcondition inidigunakan parameter yang diturunkan
berdasarkan data perberasan Indonesia pada tahun 2012 yang nilainya ditentukan berdasarkan atas data
yang berasal dari berbagai sumber, terutama dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian dan
Badan Pusat Statistik.
Parameter pada skenario 0 (existing condition) dalam bentuk ringkas diuraikan sebagai berikut : (1) Luas
baku sawah sebesar 7 662 554 Ha, IP-nya 1.61, konversi sawah ke non pertanian 111 148 Ha yang
meningkat 0.26% per tahun, pencetakan sawah 31 427 Ha per tahun, produktivitas padi sawah 5.308Ton/Ha
dengan kenaikan 0,13% per tahun. Luas baku padi ladang 1 307 865 Hektar, IP 0.89, konversi ladang 31
678 Ha meningkat 0.32 % per tahun, pencetakan ladang 10 000 Ha per tahun, produktivitas padi ladang
3.322 Ton/Ha dengan kenaikan 1.2% per tahun. Target lahan sawah dan ladang masing-masing 15 000
000 Ha; (2) Produksi padi berkurang sebagian untuk pakan 0.44%, benih 0.9%, industri non makanan
0.56% dan susut 5.4%; (3) Rendemen padi-beras 62.74% dan produksi beras berkurang sebagian untuk
pakan 0.17%, industri non.66% dan susut 2,5%; (4) Stok beras nasional 489 459 Ton, impor terhadap
kebutuhan beras nasional 3,97% per tahun dan ekspor beras terhadap total produksi beras Indonesia
0,00239% per tahun; (5) Tahun 2012, jumlah penduduk kota 120 108 726 jiwa, jumlah penduduk desa 121
073 454 jiwa dengan pertumbuhan masing-masing 1.49% per tahun; (6) Konsumsi beras per kapita di
wilayah desa 0.142 Ton/Jiwa/Tahun dan di kota 0.1238 Ton/Jiwa/Tahun dengan penurunan karena program
diversifikasi pangan mendekati nol dan efek dari peningkatan harga beras -0,006673 per tahun; (7)
Kebutuhan beras untuk industri makanan 15,09% dari produksi beras nasional.
Apabila kebijakan pemerintah yang telah dilakukan seperti yang tercermin pada parameter skenario
existingcondition berlanjut di masa mendatang, tanpa ada program yang lebih inovatif untuk peningkatan
total produksi beras domestik (supply side) dan pengurangan kebutuhan beras nasional(demand side) maka
64
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
kondisi capaian program swasembada beras Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun mendatang diprediksi
akan seperti pada Gambar 2.
Juta Ton

Total produksi beras


domestik
Kebutuhan beras nasional

Gambar 2.Prediksi total produksi beras, kebutuhan beras, neraca ketersediaan beras Indonesia tahun 2012-
2022 berdasarkan Skenario 0 (ExistingCondition).
Berdasarkan Gambar 2 tampak bahwa apabila kondisi perberasan Indonesia melalui kebijakan
pemerintah yang tercermin pada skenario existingcondition berlanjut di masa mendatang maka luas tanam
padi, produksi padi, total produksi beras domestik akan cenderung menurun, sementara kebutuhan beras
untuk konsumsi nasional akan cenderung meningkat, sehingga capaian program swasembada beras (melalui
indikator neraca ketersediaan beras) juga tampak cenderung menurun atau dapat dikatakan tidak
berkelanjutan.
Secara rinci prediksi luas tanam padi, produksi padi, total produksi beras domestik, kebutuhan
konsumsi beras, neraca ketersediaan beras tersaji pada Tabel 1. Pada tabel 1 tampak bahwa keberlanjutan
swasembada beras hanya akan dicapai hingga tahun 2015 dan apabila indikator swasembada beras dilihat
dari konsep kedaulatan pangan (neraca ketersediaan tanpa impor) maka pada tahun 2013 swasembada
beras sudah tidak dapat dicapai. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak tahun 2013 Indonesia sudah harus
mengimpor beras yang besarannya akan cenderung semakin meningkat. Pada dokumen Renstra Kementan,
pada tahun 2014 Indonesia harus sudah swasembada beras dengat target produksi padi nasional sebesar 70
juta ton (Kementan, 2009), dari hasil simulasi skenario 0 menunjukkan bahwa produksi padi pada tahun
2014 diperkirakan sebesar 68.12 juta. Hal ini menunjukkan bahwa target 70 juta ton produksi padi nasional
pada tahun 2014 belum bisa dicapai dengan hanya mengandalkan kebijakan perberasan yang saat ini
berjalan.
Tabel 1 Prediksi total produksi beras domestik, kebutuhan beras, neraca ketersediaan beras Indonesia tahun
2012-2022 berdasarkan Skenario 0 (ExistingCondition).
Total
Luas Kebutuhan Neraca Neraca
Produksi produksi
tanam beras ketersediaan ketersediaan
Tahun padi beras
padi nasional beras (dengan beras (tanpa
(Ton) domestik
(Hektar) (Ton) impor) (Ton) impor) (Ton)
(Ton)
2012 13.50 M 69.35 M 38.99 M 38.15 M 1.867 M 352,204
2013 13.35 M 68.74 M 38.65 M 38.37 M 1.312 M -211,576
2014 13.20 M 68.12 M 38.30 M 38.59 M 751,328 -780,576
2015 13.06 M 67.49 M 37.95 M 38.81 M 186,420 -1.354 M
2016 12.91 M 66.86 M 37.59 M 39.03 M -383,740 -1.933 M
2017 12.76 M 66.22 M 37.23 M 39.26 M -958,656 -2.517 M
2018 12.61 M 65.58 M 36.87 M 39.49 M -1.538 M -3.106 M
2019 12.46 M 64.93 M 36.51 M 39.72 M -2.124 M -3.701 M
2020 12.30 M 64.28 M 36.14 M 39.95 M -2.714 M -4.300 M
2021 12.15 M 63.62 M 35.77 M 40.18 M -3.310 M -4.905 M
2022 12.00 M 62.95 M 35.39 M 40.42 M -3.911 M -5.515 M
Keterangan : M = juta; Tanda koma (,) = ribuan; Tanda titik (.) = desimal.

65
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pada tabel 1tampak bahwa pada 10 tahun mendatang (tahun 2022) luas tanam padi hanya tinggal
12 juta hektar dengan produksi padi 62.95 juta ton (belum dikurangi gabah untuk benih, pakan, tercecer dan
industri non makanan) dan dalam bentuk beras sebesar 35.39 juta ton (setelah dikurangi penggunaan beras
untuk pakan, industri non makanan dan tercecer). Sementara kebutuhan beras pada tahun 2022 untuk
konsumsi masyarakat diprediksi sebesar 40.42 juta ton, sehingga neraca ketersediaan beras defisit sebesar
3.911 juta ton dan apabila indikator swasembada beras dilihat dari konsep kedaulatan pangan (neraca
ketersediaan tanpa impor) maka defisit beras menjadi semakin besar, yakni pada tahun 2022 terjadi defisit
beras sebesar 5.515 juta ton.
Berdasarkan atas hasil simulasi pada existing condition ini tampak bahwa untuk sampai pada status
swasembada beras yang berkelanjutan tidak cukup hanya mengandalkan pada program yang sedang
berjalan (yang tercermin pada parameter model skenario 0), namun dibutuhkan program-program lebih
progresif dan inovatif, khususnya untuk meningkatkan produksi beras domestik dan menekan kebutuhan
beras nasional.
Penelitian ini juga menginvestigasi dampak konversi lahan dengan adanya pembangunan jalan tol
trans Jawa. Pada Gambar 3 tampak bahwa dampak kebijakan pembangunan jalan tol trans Jawa terhadap
luas tanam padi, produksi padi, total produksi beras domestik akan semakin cenderung menurun dibanding
skenario 0, dengan kebutuhan beras untuk konsumsi nasional meningkat (seperti pada skenario 0), maka
capaian program swasembada beras (melalui indikator neraca ketersediaan beras) juga tampak cenderung
semakin cepat menurun. Adanya pembangunan jalan tol trans Jawa menyebabkan swasembada beras
(dengan impor) hanya bisa dicapai hingga tahun 2014 dan pada tahun 2015 neraca ketersediaan beras
Indonesia sudah menunjukkan defisit.
Pembangunan jalan tol lintas Jawa menyebabkan pada tahun 2015 sudah mulai terjadi defisit beras
sebesar -261512 ton, sedangkan pada tahun yang sama dengan skenario 0 masih surplus sebesar 186420
ton. Dampak pembangunan jalan tol Trans Jawa dalam jangka panjang akan berdampak meningkatkan
konversi lahan sawah lebih luas lagi dikarenakan akan ada efek multiplier dari adanya jalan tol tersebut yaitu
adanya kegiatan ekonomi/bisnis di kanan kiri jalan tol seperti adanya pusat bisnis, rest area, pompa bensin,
rumah makan, dan biasanya nanti diikuti oleh adanya pembangunan perumahan yang selanjutnya nanti akan
diikuti oleh fasilitas lainnya seperti pertokoan, pasar, tempat ibadah dan sekolah. Oleh karena itu, konversi
lahan sawah yang diakibatkan oleh adanya pembangunan jalan tol Trans Jawa yang panjang ini dan akan
mempunyai dampak ikutan perlu ditunjang dengan pencetakan sawah diluar Jawa sebagai pengganti
hilangnya sawah produktif diatas.

3.2. Skenario Strategi Pencapaian Target Swasembada Beras yang Berkelanjutan


Berdasarkan hasil kinerja sistem sistem kondisi aktual, dapat diketahui bahwa swasembada beras nasional
tidak akan bertahan dan berkelanjutan yang ditunjukkan oleh neraca ketersediaan beras yang negatif setelah
beberapa tahun baik yang tanpa impor maupun dengan impor. Oleh karena tu, diperlukan kebijakan lain
untuk mempertahankan agar swasembada dapat berkelanjutan. Dari hasil analisis perspektifyang dilakukan
oleh Nurmalina (2007) diketahui ada beberapa faktor kunci (keys factor) yang sangat berpengaruh kuat
kepada neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan (swasembada) yaitu produksi, produktivitas, konversi
lahan, pencetakan sawah, kesesuaian lahan, konsumsi perkapita, dan jumlah penduduk.
Faktor-faktor kunci diatas dalam penelitian ini menyusun skenario strategi untuk mempertahankan dan
meningkatkan swasembada beras yang berkelanjutan. Ketujuh faktor kunci dipasangkan dalam simulasi
menjadi suatu kebijakan/program yang perubahannya dapat dilihat dampaknya terhadap swasembada beras
yang berkelanjutan melalui subsistem penyediaan beras (peningkatan produktivitas, peningkatan produksi,
pencetakan sawah dan kesesuaian lahan, konversi lahan sawah) dan melalui subsistem kebutuhan beras
(jumlah penduduk dan konsumsi perkapita).

3.2.1. Skenario dari Sisi Penyediaan


Ada beberapa skenario dari sisi penyediaan yang disusun oleh faktor kunci, peningkatan
produktivitas, peningkatan produksi, IP, peningkatan rendemen, penurunan losses, pencetakan sawah yang
sesuai dengan kriteria lahan untuk sawah dan menekan konversi lahan sawah.

66
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
3.2.1.1. Intensifikasi Plus (Skenario 1)
Peningkatan produksi padi dapat diupayakan melalui kebijakan atau program peningkatan produktivitas,
peningkatan rendemen (konversi gabah-beras), dan IP yang dilakukan secara bertahap.
Pada skenario 0 kenaikan produktivitas padi sawah 0,13 % per tahun dan padi ladang 1.2 % per tahun
(kenaikan produktivitas tahun 2012-2013). Pada kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2011 sebenarnya
peningkatan produktivitas padi lebih tinggi dibandingkan kurun waktu tahun 2012-2013, yakni pada tahun
2009-2011 produktivitas padi sawah meningkat 0.946 % per tahun dan padi ladang meningkat 1.357 % per
tahun.
Berdasarkan atas uraian tersebut maka pada skenario 3 ini disimulasikan mulai tahun 2014
produktivitas padi sawah meningkat 0.946% per tahun dan produktivitas padi ladang meningkat 1.357 % per
tahun.
Pada skenario 0 besarnya rendemen dari GKG ke beras 62,74% dan gabah yang hilang atau susut pada
pasca panen dan perontokan 5,4 % dari total produksi padi serta beras yang hilang atau susut 2,5 % dari
total produksi beras. Peningkatan penyediaan beras masih dapat diupayakan dengan cara meningkatkan
rendemen dan menurunkan kehilangan hasil (losses/susut) melalui perluasan aplikasi teknologi sistem pasca
panen di lapangan.
Menurut Thahir (2002), potensi aktual secara laboratoris pada kondisi ideal menunjukkan rendemen beras
pecah kulit (BPK) berkisar antara 75 – 79%, sedangkan beras putih (BP) 68 – 73% dari varitas unggul dan
dari varietas lokal sebesar 67 – 71%. Hasil uji Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong
pada lebih dari 25 unit mesin rice milling unit (RMU) komersial menunjukkan data rendemen beras giling
berkisar antara 64,12% – 67,92%. Sehingga kebijakan meningkatkan rendemen dari 62,74% menjadi 66 %
mulai tahun 2014 masih berpotensi bisa dilakukan. Berdasarkan atas uraian tersebut maka pada skenario 3
ini disimulasikan rendemen GKG ke beras dapat ditingkatkan menjadi 66 % mulai tahun 2014 dari tahun
sebelumnya 62,74%.
Peningkatan penyediaan beras nasional dapat dilakukan melalui pengurangan losses (susut) melalui aplikasi
complete line mekanisasi dari pratanam hingga pascapanen. Pada 2013, sasaran penyusutan hasil 1,79%
membutuhkan dana sekitar Rp 1,5 triliun (http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=4236).
Hal ini menunjukkan bahwa program pemerintah berpotensi untuk diarahkan guna mengurangi susut gabah
dan beras, dimana pengurangan susut gabah dan beras pada penelitian disimulasikan sebesar 1.6 % dapat
direalisasikan mulai tahun 2014 (susut gabah dan beras masing-masing turun 0.8 %). Berdasarkan atas
uraian tersebut maka pada skenario 3 ini susut gabah tahun 2012-2013 sebesar 5.4 % dan mulai tahun 2014
susut gabah turun menjadi 4.6 % dari total produksi padi, sedangkan susut beras tahun 2012-2013 sebesar
2.5 % dan mulai tahun 2014 susut beras turun menjadi 1.7 % dari total produksi beras.
Upaya peningkatan produksi padi melalui IP, dengan program pemerintah IP masih berpotensi bisa
ditingkatkan sedemikian sehingga mulai tahun 2014 secara nasional bisa mendekati nilai IP seperti di wilayah
Jawa, yakni untuk IP lahan sawah 1.69 dan untuk ladang sebesar 1.04. Berdasarkan atas uraian tersebut
maka pada skenario 1 ini disimulasikan mulai tahun 2014 IP sawah meningkat menjadi 1.69 dari sebelumnya
1.61 dan dan IP ladang meningkat menjadi 1.04 dari sebelumnya sebesar 0.89.
Hasil simulasi model dengan skenario 1 (intensifikasi plus) terhadap capaian program swasembada beras
Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun mendatang tersaji pada Gambar 3.

Total produksi beras


domestik
Juta Ton

Kebutuhan beras nasional

Neraca ketersediaan beras


(dengan impor)

Gambar 3. Prediksi total produksi beras domestik, kebutuhan beras, neraca ketersediaan beras
Indonesia tahun 2012-2022 berdasarkan Skenario 1.
67
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Pada skenario 1 ini (intensifikasi plus) diasumsikan parameter yang berubah hanya pada peubah
produktivitas, rendemen, susut dan IP, sedangkan peubah lainnya tetap seperti pada kondisi skenario 0.
Adapun perubahan yang dimaksud pada skenario 1 ini adalah: (1) Dimulai tahun 2014 produktivitas padi
sawah meningkat 0.946% per tahun dan produktivitas padi ladang meningkat 1.357 % per tahun. (2)
Rendemen GKG ke beras dapat ditingkatkan menjadi 66 % mulai tahun 2014 dari tahun sebelumnya sebesar
62.74 %. (3) Dimulai tahun 2014 susut gabah turun menjadi 4.6 % dari tahun sebelumnya sebesar 5.4 %,
sedangkan susut beras turun menjadi 1.7 % dari tahun sebelumnya sebesar 2.5 %. (4) Mulai tahun 2014 IP
sawah meningkat menjadi 1.69 dari sebelumnya 1.61 dan dan IP ladang meningkat menjadi 1.04 dari
sebelumnya sebesar 0.89.
Dampak kebijakan intensifikasi plus yang dimulai pada tahun 2014 terhadap capaian program
swasembada beras menunjukkan hasil yang signifikan dibandingkan pada skenario 0, dimana swasembada
beras dapat dicapai secara berkelanjutan (hingga akhir simulasi tahun 2022) melalui indikator neraca
ketersediaan beras (dengan impor), bahkan melalui indikator neraca ketersediaan beras (tanpa impor) pun
program swasembada beras sekaligus kemandirian pangan beras dapat dicapai secara berkelanjutan.
Intensifikasi plus melalui peningkatan aplikasi teknologi budidaya padi dan pasca panen adalah pilihan
kebijakan yang tampak memberikan dampak yang signifikan terhadap capaian program swasembada beras
secara berkelanjutan.
Berdasarkan hasil simulasi diatas dan hasil analisis sensitivitas model yang dilakukan Nurmalina
(2007), peubah produktivitas sangat sensitif berpengaruh pada neraca ketersediaan beras nasional, oleh
karena itu perlu diupayakan kebijakan yang dapat menunjang peningkatan produktivitas ini. Penggunaan
varietas lokal Varietas unggul baru (VUB) termasuk padi hibrida masih berpeluang untuk terus diperbaiki,
demikian juga teknologi budidaya dengan penerapan teknologi tepat guna yang dapat diterapkan dengan
mudah oleh petani dengan dukungan atau pendampingan oleh lembaga pemeritah. Varietas yang unggul
dan teknologi budidaya memegang peran sentral dalam peningkatan produktivitas padi. Pembentukan
varietas unggul baru sebaiknya diselaraskan dengan pendekatan Revolusi Hijau Lestari yang digagas oleh
FAO tahun 1996 (Kasryno dan Pasandaran, 2004) yaitu dengan mengembangkan varietas yang bersifat
spesifik agroekologi. Dalam pengembangan varietas unggul ini perlu diperhatikan sikap atau preferensi
petani karena sebaik apapun varietas padi yang disiapkan oleh pemerintah atau perusahaan benih,
keputusan menanam ada di tangan petani. Berdasarkan hasil penelitian Nurmalina dkk (2012) menunjukkan
bahwa produktivitas merupakan atribut yang paling diperhatikan oleh petani dari atribut atribut benih padi
lainnya.
Penerapan penerapan pola tanam terpadu (PTT) merupakan suatu strategi atau usaha untuk
meningkatkan produktivitas padi dan efisiensi input dengan memperhatikan penggunaan sumberdaya alam
secara baik. Dari hasil kajian lapang di 28 kabupaten selama tahun 2002-2003 diketahui bahwa PTT dapat
meningkatkan produktivitas padi sebesar 19 persen dan pendapatan petani sebesar 15 persen (Balitbang
Deptan, 2007). PTT ini merupakan penyempurnaan dari konsep sebelumnya yang dikembangkan untuk
menunjang peningkatan hasil padi seperti Supra Insus. Pendekatan ini juga banyak merujuk pada SRI yang
dipraktekkan di berbagai negara seperti Madagaskar, Sri Langka, India dan Cina yang memberikan hasil yang
sangat baik.
Peningkatan produktivitas sangat terkait dengan mekanisasi oleh karena itu sebaiknya kebijakan
pemerintah diharapkan dapat mendukung pada pengembangan pembuatan dan pemakaian mekanisasi
karena menurut Kasryno dan Pasandaran (2004) dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand dan
Filipina, juga Vietnam perkembangan mekanisasi di Indonesia tumbuh dengan perkembangan yang lambat.
Penggunaan traktor dapat meningkatkan kualitas olah lahan dan dapat menghemat waktu serta biaya.
Penggunaan mesin jasad pengganggu menjadi lebih efektif dalam memberantas OPT. Dalam rangka
memperbaiki efisiensi RMU (Rice Milling Unit) mesin penggiling padi yang ada, perlu direnovasi selain itu
perlu dilakukan pengembangan usaha jasa perontok padi mekanis untuk mengurangi tercecer, pembangunan
lantai jemur dan investasi mesin pengering padi yang dapat meningkatkan kualitas kadar air gabah. Untuk
mendorong pengembangan fasilitas pasca panen diperlukan kredit investasi dan memfasilitasi pertumbuhan
usaha pasca panen.

68
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kehilangan hasil dilaporkan oleh BPS (1996) cukup tinggi mencapai 20.51 persen mulai dari
pemotongan padi pada saat panen (9.52 %), perontokan padi (4.78 %), pengangkutan (0.19 %),
pengeringan (2.13 %), penggilingan (2.19 %) dan juga kehilangan pada saat penyimpanan (1.61 %).
Kehilangan hasil tidak saja terjadi pada saat masih gabah (di sawah) tapi juga terjadi pada pengolahan
menjadi beras dan pengangkutan beras serta pada pemasaran. Keadaan ini menyebabkan rendahnya
efisiensi penanganan panen dan pasca panen di lapang. Balai Besar Mekanisasi Pertanian (2007) melaporkan
kontribusi kehilangan hasil sebagian besar disebabkan oleh kelembagaan panen (bawon, gropyokan) dan
teknologi yang digunakan untuk melakukan penanganan panen dan pasca panen (ani ani, sabit, gebot dan
banting). Sebetulnya hal ini dapat dikurangi dengan adanya penggunaan mesin. Dari segi teknologi
sebenarnya tidak ada hambatan teknis untuk menangani panen dan pasca panen secara mekanik, namun
dari sisi social preference penggunaan mekanisasi masih terkendala, selain itu juga dari harga mesin yang
masih mahal, oleh karena itu perlu gerakan nasional untuk memperbaiki penanganan panen dan pasca
panen.

3.2.1.2. Ekstensifikasi plus Skenario 2


Simulasi kebijakan pada skenario 2 ini bertujuan untuk memprediksi dampak kebijakan peningkatan
pencetakan sawah dan penekanan konversi lahan pertanian termasuk pembangunan jalan tol lintas
Jawaserta kebijakan aplikasi intensifikasi plus terhadap capaian program swasembada beras yang
berkelanjutan. Hasil simulasi model berdasarkan skenario 2 terhadap capaian program swasembada beras
Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun mendatang tersaji pada Gambar 4.

Total produksi beras


domestik
Juta Ton

Kebutuhan beras nasional

Neraca ketersediaan beras


(dengan impor)
Neraca ketersediaan beras
(tanpa impor)

Gambar 4 Prediksi total produksi beras domestik, kebutuhan beras, neraca ketersediaan beras
Indonesia tahun 2012-2022 berdasarkan Skenario 2.
Peningkatan pencetakan sawah dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan tambahan luas
areal tanam dalam rangka mendukung pencapaian swasembada beras nasional yang berkelanjutan. Strategi
perluasan areal tanam atau peningkatan pencetakan sawah diantaranya dapat ditempuh melalui (1)
penambahan luas baku lahan yang sesuai dengan pertanaman padi, (2) rehabilitasi lahan sawah terlantar,
(3) optimalisasi pemanfaatan lahan tidur atau bera dan lahan sub optimal seperti sawah tadah hujan, lahan
kering, rawa lebak dan pasang surut. Banyak lahan yang bisa dimanfaatkan seperti di Sumatera lahan kering
di pinggir sungai besar seluas 3.06 juta hektar dan di Kalimantan seluas 7.42 juta hektar yang berupa alang
alang (Kasryno, 2006), (4) peningkatan indeks pertanaman (IP), dari hasil analisis sensitivitas model, IP
merupakan faktor yang paling sensitif mempengaruhi ketersediaan beras. Menurut Las (2006) potensi
wilayah pengembangan IP 300 masih ada seluas 1.25 – 2 juta hektar. Untuk keberhasilan pelaksanaan IP
perlu dilakukan pembimbingan dan pendampingan teknologi dan dukungan kelembagaan (keuangan mikro,
kelembagaan panen dan pemerintah) serta kemudahan dalam akses sarana produksi.
Cepatnya konversi lahan pertanian diantaranya dengan adanya pembangunan jalan tol lintas Jawa
(skenario 2) menjadi non pertanian dapat mempengaruhi kinerja sektor pertanian khususnya padi,
diantaranya adalah (1) secara langsung berdampak pada menurunnya luas lahan untuk kegiatan produksi
padi sehingga sangat berpengaruh pada penyediaan pangan pokok lokal maupun nasional. Dampak konversi
lahan terhadap produksi padi sering dianggap sebagai gangguan yang tidak permanen sama seperti
serangan hama atau banjir padahal konversi lahan itu bersifat permanen dan kumulatif. (2) hilangnya lahan

69
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
pertanian akan diikuti oleh hilangnya mata pencaharian petani yang menyebabkan pengangguran dan
akhirnya akan memicu masalah sosial dan (3) konversi menyebabkan hilangnya investasi infrastruktur
pertanian yaitu irigasi yang menelan biaya sangat tinggi.
Dalam rangka perlindungan dan pengendalian lahan pertanian secara menyeluruh dapat di tempuh
melalui: (a) membatasi konversi lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi, lahan yang dapat menyerap
tenaga kerja pertanian tinggi dan lahan yang mempunyai fungsi lingkungan tinggi, (b) mengarahkan
kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan jalan, kawasan industri atau perumahan kepada
lahan yang kurang produktif, (c) membatasi luas lahan yang dapat dikonversi di setiap kabupaten/kota yang
mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri, (d) menetapkan kawasan pangan abadi yang tidak
boleh dikonversi dengan pemberian insentif bagi pemilik tanah dan pemerintah daerah setempat.

3.2.2. Skenario kebijakan dari sisi kebutuhan beras (demand side)


Penurunan Konsumsi Beras per Kapita dan PenurunanTingkat Pertumbuhan Jumlah Penduduk
(Skenario 3)
Swasembada beras dapat dicapai dan dijaga keberlanjutan di samping melalui program peningkatan supply
juga dapat diupayakan melalui penekanan demand. Dari sisi demand, kebutuhan beras dapat ditekan melalui
kebijakan diversifikasi pangan sedemikian sehingga konsumsi beras per kapita masyarakat menurun dan
melalui program penurunan tingkat pertumbuhan penduduk.Pada skenario 0, rata-rata konsumsi beras per
kapita di kota 0.1238 Ton/Jiwa/Tahun dan di desa sebesar 0.142 Ton/Jiwa/Tahun. BPS (2013) menyebutkan
bahwa program diversifikasi pangan ditargetkan dapat menurunkan konsumsi beras per kapita hingga
menjadi 0.1125 Ton/Jiwa/Tahun atau dengan kata lain turun sekitar 9%.
Pada skenario 3 ini diasumsikan parameter yang berubah yaitu pada peubah konsumsi beras per
kapita yakni konsumsi beras per kapita di kota menjadi 0.1126 Ton/Kapita/Tahun dan di desa menjadi
0.1292 Ton/Kapita/Tahun. Dan pada skenario 3 diasumsikan parameter angka pertumbuhan penduduk
berubah, dimana pada tahun 2014 turun dari 1.49 % pertahun menjadi 1.35 % per tahun.
Permintaan atau kebutuhan beras ini sangat dipengaruhi oleh kinerja peubah konsumsi per kapita
dan jumlah penduduk, kedua peubah ini merupakan faktor kunci dalam model neraca ketersediaan beras
yang berkelanjutan. Konsumsi beras per kapita masih sangat tinggi di Indonesia, saat ini konsumsi per kapita
per tahun untuk penduduk desa adalah 0.142 Ton/Kapita/Tahun sedangkan untuk penduduk kota adalah
0.1238 Ton/Kapita/Tahun. Dengan jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah menyebabkan
kebutuhan beras dari simulasi model umumnya meningkat.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka strategi yang diajukan adalah mengupayakan terus
diversifikasi pangan pokok atau pangan karbohidrat melalui: (a) pengembangan konsumsi pangan
karbohidratyang beragam, (b) pengembangan dan peningkatan daya tarik pangan karbohidrat non beras
dengan teknologi pengolahan yang dapat meningkatkan cita rasa dan citra (image) pangan karbohidrat non
beras sehingga disukai dan dapat dijadikan subsitusi beras, Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan
oleh presiden Bambang Yudoyono dalam Rapat Dewan Ketahanan Pangan, (c) pengembangan produk dan
mutu produk pangan karbohidrat non beras yang bergizi tinggi (misal sagu).
Pada skenario 0, pertumbuhan penduduk ke depan diasumsikan sama dengan pertumbuhan tahun 2010-
2020. Dengan menggalakkan program Keluarga Berencana (KB), berdasarkan data BPS, telah terbukti
sukses menekan angka pertumbuhan penduduk hingga sebesar 1.35 % per tahun pada periode 2001-2005.
Berdasarkan hal tersebut maka pada skenario 3 ini disimulasikan dampak status swasembada beras sebagai
akibat dari adanya kebijakan penekanan pertumbuhan penduduk hingga 1.35 % per tahun yang dimulai
tahun 2014.Hasil simulasi model berdasarkan skenario 3 terhadap capaian program swasembada beras
Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun mendatang tersaji pada Gambar 5.

70
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Total produksi beras


Juta Ton domestik
Kebutuhan beras nasional

Gambar 5. Prediksi total produksi beras domestik, kebutuhan beras, neraca ketersediaan beras
Indonesia tahun 2012-2022 berdasarkan Skenario
Pada skenario 3 ini diasumsikan parameter yang berubah hanya pada peubah angka pertumbuhan
penduduk, sedangkan parameter pada peubah lainnya dianggap sama seperti pada skenario 0. Adapun
perubahan yang dimaksud skenario 3 ini adalah pertumbuhan penduduk mulai tahun 2014 turun menjadi
1.35% per tahun.Hasil simulasi model berdasarkan skenario 3 (yakni angka pertumbuhan penduduk mulai
tahun 2014 turun menjadi 1.35% per tahun dibanding tahun-tahun sebelumnya sebesar 1.49%).Pada
Gambar 5 tampak bahwa dampak penurunan konsumsi per kapita dan tingkat pertumbuhan penduduk dari
1.49% per tahun (skenario 0) menjadi 1.35 % per tahun mulai tahun 2014 (skenario 3) terhadap capaian
swasembada beras menunjukkan hasil yang cukup baik bila dibandingkan dengan hasil pada skenario 0.
Penduduk Indonesia saat ini cukup tinggi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar oleh
karena itu perlu diupayakan untuk menekan pertumbuhan penduduk dengan diaktifkannya kembali BKKBN
secara optimal. Untuk itu perlu digalakkan kembali Keluarga Berencana (KB) yang pernah dilakukan tahun-
tahun sebelumnya. Untuk keberhasilan upaya menekan dan mengendalikan pertumbuhan penduduk
diperlukanpolitical will dari pemerintah. Peran pemerintah diperlukan dengan menjalin kemitraan dengan
berbagai lembaga seperti Ikatan Kebidanan, Ikatan kedokteran yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), TNI,
PKK, Posyandu dan segenap masyarakat yang dapat digunakan sebagai relawan untuk melakukan
penyuluhan Keluarga Berencana (KB) ke semua daerah terutama kepada penduduk yang kurang mampu dan
tidak berpendidikan. Selain melakukan kemitraan dan melakukan penyuluhan juga diharapkan pemerintah
memberikan subsidi untuk pembelian IUD atau kalau memungkinkan memberikan IUD gratis kepada
masyarakat yang kurang mampu agar pertumbuhan penduduk dapat ditekan.

Gabungan Kebijakan dari Sisi Penyediaan dan Kebutuhan Beras (Skenario 4)


Simulasi kebijakan pada skenario 4 ini bertujuan untuk memprediksi dampak kebijakan dari sisi penyediaan
dan dari sisi kebutuhan. Dari sisi penyediaan faktor kunci yang disimulasikan adalah peningkatan
produktivitas, peningkatan produksi, IP, peningkatan rendemen, penurunan losses melalui kebijakan
intensifikasidan faktor kunci lainnya yang disimulasikan didalam model adalahpencetakan sawah yang sesuai
dengan kriteria lahan untuk sawah dan menekan konversi lahan sawah melalui kebijakan ekstensifikasi. Dari
sisi kebutuhan beras, faktor kunci yang disimulasikan kedalam model adalah penurunan konsumsi beras
perkapita melalui kebijakan diversifikasi pangan dan penurunan tingkat pertumbuhan penduduk melalui
kebijakan keluarga berencana atau kebijakan pengelolaan pertumbuhan penduduk lainnya. Hasil simulasi
model berdasarkan skenario 4 terhadap capaian program swasembada beras Indonesia dalam kurun waktu
10 tahun mendatang tersaji pada Gambar 6.

Total produksi beras domestik


Juta Ton

Kebutuhan beras nasional


Neraca ketersediaan beras
(dengan impor)

Gambar 6. Prediksi total produksi beras domestik, kebutuhan beras, neraca ketersediaan beras
Indonesia tahun 2012-2022 berdasarkan Skenario 4.
71
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Sintesis Hasil Simulasi Kebijakan Swasembada Beras yang Berkelanjutan


Perbandingan hasil simulasi kebijakan pada skenario 0 hingga skenario 4 disajikan pada Tabel 2, sehingga
dapat diperoleh gambaran perbandingan status swasembada beras dalam periode 10 tahun mendatang
antara existing condition dengan kebijakan perberasan yang lebih progresif (melalui intensifikasi plus dan
pencetakan sawah) atau dengan kebijakan lainnya yang berdampak pada penyediaan beras nasional (jalan
tol lintas Jawa) atau kebutuhan beras nasional (pengurangan konsumsi beras per kapita melalui program
diversifikasi pangan dan penekanan pertumbuhan penduduk).

Tabel 2.Prediksi Neraca Ketersediaan Beras Indonesia Tahun 2012-2022 Menurut Skenario Kebijakan.

Neraca ketersediaan beras


Tahun Dengan impor Tanpa impor
0
1 2 3 4 1 2 3 4
2012 1.867 M 1.867 M 1.867 M 4.647 M 4.647 M 352,204 352,204 3.247 M 3.247 M
2013 1.312 M 1.312 M 1.311 M 4.126 M 4.125 M -211,576 -212,160 2.719 M 2.718 M
2014 751,328 527,668 5.156 M 3.600 M 8.004 M -1.003 M 3.595 M 2.185 M 6.561 M
2015 186,420 -261,512 4.666 M 3.109 M 7.588 M -1.799 M 3.095 M 1.689 M 6.138 M
2016 -383,740 -1.057 M 4.160 M 2.614 M 7.158 M -2.601 M 2.580 M 1.188 M 5.702 M
2017 -958,656 -1.857 M 3.645 M 2.115 M 6.719 M -3.409 M 2.056 M 683,916 5.257 M
2018 -1.538 M -2.663 M 3.116 M 1.613 M 6.267 M -4.222 M 1.517 M 175,564 4.798 M
2019 -2.124 M -3.475 M 2.577 M 1.106 M 5.807 M -5.042 M 968,512 -337,684 4.332 M
2020 -2.714 M -4.067 M 2.291 M 594,780 5.600 M -5.643 M 670,908 -854,376 4.117 M
2021 -3.310 M -4.665 M 1.999 M 79,580 5.389 M -6.250 M 368,052 -1.376 M 3.897 M
2022 -3.911 M -5.268 M 1.697 M -440,076 5.167 M -6.863 M 53,948 -1.901 M 3.668 M

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1. Kesimpulan
Model swasembada beras yang dibangun telah dapat mendeskripsikan kondisi swasembada beras nasional
dengan melihat neraca ketersediaan beras dari sisi penyediaan dan dari sisi kebutuhan baik ketersediaan
dengan inpor dan tanpa impor. Hasil simulasi terhadap model aktual (tanpa ada perubahan kebijakan)
periode analisis 2012-2022 menunjukkan bahwa swasembada beras (dengan impor) pada tahun 2014 dapat
dicapai dengan surplus beras sebesar 751.328 ton yang jauh lebih kecil dari target surplus 10 juta ton.
Hasil simulasi model swasembada beras aktual tanpa impor (kedaulatan pangan) pada periode simulasi
2012-2022, menunjukkan bahwa neraca ketersediaan beras defisit mulai tahun 2013 hingga tahun 2022
dengan kecenderungan yang meningkat. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2014 target swasembada
beras tidak akan tercapai dan penyediaan beras tanpa impor belum dapat memenuhi kebutuhan beras
nasional. Swasembada beras nasional tidak dapat berkelanjutan selama periode simulasi baik penyediaan
beras nasional tanpa impor maupun dengan impor.
Hasil simulasi sistem dinamis model swasembada beras menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan dari sisi
penyediaan (produktivitas, produksi, pengelolaan lahan dengan memperhatikan kesesuaian lahan)
memberikan hasil kinerja model lebih baik terhadap neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan di masa
yang akan datang dibandingkan kebijakan perbaikan pada sisi kebutuhan (penurunan pertumbuhan jumlah
penduduk dan konsumsi per kapita). Hasil kinerja sistem dengan perbaikan produktivitas dan produksi
(intensifikasi plus) berkontribusi cukup besar dalam neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan tetapi
dengan pertumbuhan yang menurun tajam sedangkan kebijakan pencetakan sawah dan penekanan konversi
(ekstensifikasi) berkontribusi rendah namun dengan tren penurunan yang lebih kecil dibandingkan dengan
intensifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi kebijakan ekstensifikasi harus ditindaklanjuti dengan
kebijakan intensifikasi bila ingin neraca ketersediaan beras tersedia secara berkelanjutan
4.2. Saran
Berdasarkan hasil kinerja sistem dinamis model swasembada beras, kebijakan yang harus dilaksanakan agar
swasembada tercapai atau neraca ketersediaan beras nasional selalu positif dan berkelanjutan di masa yang
akan datang adalah dengan melakukan kebijakan: (a) pengawasan dan pengurangan laju konversi lahan
yang dibarengi dengan pencetakan lahan padi baru dengan memperhatikan kesesuaian lahan, (b)
72
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
peningkatan produktivitas melalui penggunaan varietas unggul baru dan teknologi budidaya tepat guna, (c)
peningkatan intensitas pertanaman (IP) di lahan sawah yang cukup air sepanjang tahun. Peningkatan IP ini
sebaiknya harus dibarengi dengan teknologi pergiliran varietas, pengolahan tanah minimum, pupuk
berdasarkan status hara, pergiliran air, pengendalian hama dan penyakit sesuai konsep PHT dan keberadaan
lembaga keuangan mikro untuk penyediaan modal. (d) peningkatan rendemen beras melalui konfigurasi
mesin penggiling gabah. Dari hasil kinerja sistem dinamis diketahui bahwa sebaiknya kebijakan intensifikasi
dibarengi dengan kebijakan ekstensifikasi (pembukaan lahan baru) agar neraca ketersediaan beras
berkelanjutan di masa yang akan datang.
Kebijakan yang harus dilaksanakan dilihat dari sisi kebutuhan (demand side)adalah menekan konsumsi per kapita
melalui diversifikasi pangan karbohidrat melalui: (a) pengembangan konsumsi pangan karbohidrat yang
beragam, (b) pengembangan produk dan mutu produk pangan karbohidrat non beras yang bergizi tinggi (misal
sagu), (c) pengembangan dan peningkatan daya tarik pangan karbohidrat non beras dengan teknologi
pengolahan yang dapat meningkatkan cita rasa dan citra (image) pangan karbohidrat non beras sehingga disukai
dan dapat dijadikan subsitusi beras, oleh karena itu peran industri makanan sangat diperlukan untuk menunjang
hal ini.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
Badan Ketahanan Pangan. 2011. Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010 – 2014. Badan
Ketahanan Pangan, Jakarta.
BPS. 2011. Hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010. BPS, Jakarta.
BPS. 2013. Statistik Pertanian 2012, diolah Pusdatin BPS. BPS, Jakarta.
Kasryno, F, dan E. Pasadaran. 2004. Reposisi Padi dan Beras Dalam Perekonomian Nasional. Dalam F.
Kasryno, E. Pasandaran dan A. M. Fagi [Editors]. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.Jakarta: pp. 3 – 14.
Kementrian Pertanian RI. 2012. Refleksi 2012 dan Prospek 2013 Pembangunan Pertanian. Kementrian
Pertanian, Jakarta.
Las, I. 2006. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional, Pada Era
Revolusi Hijau Lestari. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Agrometeorologi . Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Sterman. J.D. 2000. Business Dynamics: System Thinking and Modeling for a Complex World. Irwin
McGraw-Hill. Boston.
Thahir R, 2002. Tijauan Penelitian Peningkatan Kualitas Beras Melalui Perbaikan Teknologi
ThahirR, 2005.Peningkatan Kinerja Penggilingan Padi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor.
Sumber Internet :
Metrotvnews.com
(2013).(http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/11/2/145860/Pembangunan-Tol-Trans-Jawa-
Baru-51).
Wibowo,Arinto Tri dan Alfin Tofler. 2013. Target Penyelesaian Jalan Tol Trans
Jawa.http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/411883-target-penyelesaian-jalan-tol-trans-Jawa-direvisi
Smber Tesis:
Nurmalina, R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras yang Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan
Pangan Nasional. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

73
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

12.PENGELOLAAN RISIKO PRODUKSI AGRIBISNIS CABAI MERAH


DENGAN BERPIKIR SISTEM
Sri Ayu Andayani1) , Tuhpawana 2),
Lies Sulistyowati 3)
Tomy Perdana 4)

Program Doktor Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran


(email : sri.ayuandayani@yahoo.com)
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (email : tuhpawana.s@gmail.com)
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (email : liesindra@yahoo.com)
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (email : tomyp1973@yahoo.com)

Abstrak
Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Diprediksikan
kebutuhan akan cabai semakin meningkat terkait dengan permintaan kebutuhan pangan yang terus-
menerus. Kabupaten Garut merupakan salah satu pusat produksi di Jawa Barat dengan produksi mencapai
76.800 ton atau mencapai 37 % dari produksi Jawa Barat pada tahun 2009 (Bank Indonesia, 2011). Pada
tahun 2010 terjadi penurunan produksi cabai merah yang diakibatkan oleh keadaan cuaca buruk, serangan
hama penyakit, kurangnya ketersediaan faktor produksi yang akhirnya mengakibatkan fluktuasi harga. Hal
ini mengindikasikan adanya risiko produksi dalam agribisnis cabai merah yang mempengaruhi ketersediaan
pasokan. Untuk itu diperlukan penelitian untuk memahami risiko produksi aktual dan mengkaji kemungkinan
pengelolaan risiko produksi agribisnis cabai melalui pendekatan klaster. Ini merupakan salah satu upaya
dalam meningkatkan produktivitas melalui peningkatan kinerja petani.Pengembangan klaster agribisnis cabai
merah melibatkan pelaku dengan berbagai kepentingan sehingga akan diduga permasalahan yang dihadapi
akan semakin kompleks dan sistemik sehingga dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan
system thinking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber risiko produksi yang terjadi pada agribisnis
cabai merah di Kabupaten Garut yaitu kurangnya tenaga kerja dalam pengolahan lahan, koperasi belum
berfungsi sepenuhnya dalam pengadaan sarana produksi, banyaknya serangan hama penyakit dan pola
tanam tidak didasarkan pada kebutuhan pasar. Klaster dapat mengelola risiko produksi melalui pembelajaran
yang semakin baik sehingga dapat menghasilkan inovasi, pengetahuan dan skill petani semakin baik,
dengan harapan pasokan cabai merah akan berkesinambungan.
Kata Kunci : klaster, risiko produksi, ST, cabai merah
Abstract
Red chili is one of the high value vegetables. It is predicted that demand for red chili would be continuously
increasing duo to the facts that demand for food from time to time is always increasing. Garut Regency is
one of the red chili production centers in west Java which produced 76.800 ton red chili or 37 percent of
West Java production. In 2010 its production decreased duo to the unfavorable weather, pest and deseases,
the availability of factors of production that ultimately will lead to fluctuation. It indicates that there is a risk
in the agribusiness production of red chili that will affect the availability of supply. Research this is needed to
understand and assess the risks of actual chili agribusiness risk management through the cluster approach as
an effort to increase farmers productivity through improvement of performance. Chili agribusiness cluster
development involves
actors with different interests so it will be suspected encountered problems will be more complex ans
systemic. That‟s why approach used in this study system thinking. The results showed that the sources of
the risk that occurs in agribusiness production of red chilli in Garut district were the lack of labor in land
processing, cooperatives in the production procurement has not been fully functioning, pest increasing and
desease attack, cropping patterns not market needs. Cluster can manage production risk, through learning
based and produce innovation and knowledge that will skill farmers hopefully the supply of red chili will be
increase sustained.
Keywords : cluster, production risk, System thinking, red chili

74
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
PENDAHULUAN
Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi. Pertengahan dan
akhir tahun 2010 harga cabai melambung sangat tinggi mencapai Rp.100.000,-/kg, untuk jenis cabai rawit,
sedangkan untuk jenis cabai besar harganya berkisar antara Rp. 60.000,- sampai dengan Rp. 80.000,- / kg
(Bank Indonesia, 2010). Tingginya harga cabai akan mempengaruhi tingkat inflasi. Laju perubahan harga
barang (inflasi) dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran salah satunya terkait dengan kurangnya
pasokan.
Padahal di sisi lain, Jawa Barat merupakan produsen cabai merah terbesar di Indonesia dengan
sentra terbesar di Kabupaten Garut.Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang
perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian dan salah satunya adalah cabai merah dengan produksi
mencapai 76.800 ton pada tahun 2009, atau sebesar 37% dari total produksi cabai merah di Propinsi Jawa
Barat (Bank Indonesia, 2011).
Penurunan produksi cabai merah terjadi pada akhir tahun 2010, hal ini selain dikarenakan mengalami
kegagalan yang diakibatkan cuaca buruk, serangan hama penyakit, ketersediaan faktor produksi juga akibat
petani tidak menerapkan jadwal tanam dalam budidaya cabai merah padahal dilihat dari waktu panen,
komoditi cabai merah bisa diproduksi setiap saat atau tidak tergantung pada musim tertentu sehingga
ketersediaan cabai merah di pasar dapat terjamin, tetapi kenyataannya tidak demikian .Kertidaksinambungan
pasokan cabai merah selalu terjadi hal ini juga dipicu karena petani banyak memilih pasarnya yang
tradisional yang tidak menuntut kesinambungan pasokan juga spesifikasi kualitas hal ini yang mengakibatkan
terjadinya fluktuasi produksi sehingga dapat dikatakan usaha agribisnis cabai merah memiliki risiko produksi.
Tanaman cabai merah sebenarnya juga tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang terlalu spesifik, secara
umum dapat dilaksanakan dimana saja, tetapi untuk produksi dan kualitas yang optimal, pemenuhan
persyaratan teknis mutlak harus diperhatikan. Pengembangan harus dicirikan dengan pola tanam atau
produksi yang tepat, penggunaan benih bermutu, pemupukan yang tepat, pengendalian OPT mengikuti
kaidah-kaidah pengendalian Hama terpadu (PHT) dan penanganan pasca panen yang benar.
Melihat permasalahan di atas, Bank Indonesia melakukan suatu pendekatan yaitu pendekatan klaster
di Jawa Barat dan salah satunya adalah Kabupaten Garut yang merupakan sentra dari cabai merah. Dengan
terbentuknya klaster diharapakan dapat meningkatkan kinerja petani cabai merah sehingga dapat
mengendalikan risiko produksi yang terjadi dalam pelaksanaan usahataninya dan akhirnya diharapkan dapat
menjamin ketersediaan pasokan cabai merah di pasaran dan merupakan upaya dalam mengendalikan inflasi
dengan menstabilkan harga pada cabai merah.
Klaster dapat didefinisikan yaitu upaya mengelompokkan industri/usaha inti yang saling
berhubungan, baik industri pendukung, industri terkait, jasa penunjang, infrastruktur ekonomi, penelitian,
pelatihan, pendidikan, informasi, teknologi sumber daya alam, serta lembaga-lembaga terkait (Bank
Indonesia, 2010). Klaster juga merupakan sejumlah perusahaan dan lembaga yang terkonsentrasi pada
suatu wilayah, saling berhubungan dalam bidang khusus yang saling bersaing dan sekaligus bekerjasama
(Porter, 2000).
Upaya pengembangan klaster dilakukan dengan melibatkan multi stakeholder yang terkait mulai dari
hulu sampai hilir, diantaranya yaitu perusahaan pemasok bibit, dinas terkait yang mendampingi budidaya dan
penguatan kelompok, serta perusahaan penampung cabai juga dilibatkan sehingga diduga permasalahan
yang dihadapi akan semakin kompleks dan sistemik yang ditunjukkan dari interaksi yang memiliki
kepentingan berbeda dan perannya di wilayah tersebut.
Dalam pengembangan klaster juga harus terdapat suatu lembaga yang dapat menaungi dan
memfasilitasi petani, salah satu yang direkomendasikan oleh Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten
Garut yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi petani cabai adalah Koperasi Cagarit yang mewadahi
kelompok tani petani cabai merah di delapan kecamatan. Cagarit ini diharapkan dapat menjadi local
champion dalam formasi klaster di Kabupaten Garut.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, memunculkan pertanyaan dalam penelitian ini yaitu memahami
risiko produksi aktual di Kabupaten garut dan mengkaji pengelolaan risiko produksi yang ada melalui
pendekatan klaster. Untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan berpikir sistem melalui soft system methodology (SSM) karena pemahaman risiko produksi dari
agribisnis cabai merah dalam pengembangan klaster yang kompleks dan dinamis.
75
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

METODE
Penelitian ini merupakan action research dengan menggunakan metode studi kasus secara kualitatif yang
berpikir sistem dengan menggunakan causal loop diagram mempunyai tujuan untuk memahami risiko
produksi aktual dan mengkaji pengelolaan risiko produksi pada agribisnis cabai merah yang ada di Kabupaten
Garut Provinsi jawa Barat melalui pendekatan klaster.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan Klaster Agribisnis Cabai Merah di Kabupaten Garut


Dalam rangka mempengaruhi sisi penawaran, Bank Indonesia berupaya melalui program
pemberdayaan sektor riil dan UMKM bekerjasama dengan sektor publik dan swasta. Implementasi dari
program tersebut adalah program pengembangan klaster untuk komoditas yang menjadi sumber tekanan
inflasi. Berdasarkan data series inflasi nasional tahun 2010, salah satu komoditas yang menjadi sumber
tekanan inflasi adalah cabai merah yang disebabkan terganggunya pasokan. Berkaitan dengan hal tersebut,
Bank Indonesia mengupayakan kerjasama awal dengan sektor publik yaitu Kementerian pertanian RI
sebagai instansi yang berkompeten dan berkepentingan dalam menjaga kestabilan pasokan komoditas cabai
merah bagi masyarakat, diharapkan juga dari kerjasama tersebut dapat ditingkatkan dengan melibatkan
sektor swasta sehingga akan lebih sustainable (Bank Indonesia, 2011).
Dari berbagai komoditas yang potensial untuk dikembangkan, dipilih komoditas yang potensial untuk
dikembangkan. Pemilihan komoditas sesuai dengan kriteria klaster yang telah ditentukan, yaitu : 1)
merupakan komoditas unggulan, 2) mendukung pengendalian inflasi, 3) mendorong pengembangan ekonomi
daerah, 4) menjadi sumber pendapatan utama masyarakat wilayah klaster, 5) menyerap sebagian tenaga
kerja dari wilayah klaster, 6) masuk dalam program pemda yang tertuang dalam Rencana Kerja Program
Pengembangan Jangka Menengah Daerah (RKPJMD), dan 7) terdapat local champion. Dari penentuan
kriteria klaster tersebut terpilihlah cabai merah sebagai komoditas yang akan dijadikan komoditas dalam
klaster.
Pemilihan klaster didasarkan bahwa Jawa Barat merupakan produsen cabai merah terbesar di
Indonesia mencapai 18% dari produksi cabai nasional dan Kabupaten Garut salah satu produsen cabai
terbesar di Jawa Barat dengan produksi 76.800 ton pada tahun 2009. Bank Indonesia Bandung pada tahun
2011 mempunyai program pengembangan klaster dan salah satunya adalah klaster cabai merah di
Kabupaten Garut.Dalam rangka melaksanakan program klaster cabai merah , KBI Bandung mengadakan
Focus Group Discussion (FGD) di Garut pada tahun 2011 yang dihadiri oleh stakeholders (pihak-pihak yang
berkepentingan dengan industri cabai merah) yang ada di wilayah kerja KBI Bandung. FGD ini membahas
tentang potensi, permasalahan dan solusi berbasis pasar dari setiap rantai nilai klaster cabai merah dan
diakhiri dengan pembentukan Pokja (kelompok kerja) klaster cabai merah di Kabupaten Garut.

Tabel 1. Produksi Cabai Merah Besar di Jawa Barat tahun 2011

Wilayah sentra produsen cabai di Jawa Barat Jumlah Produksi


Kabupaten Garut 56.195 ton
Kabupaten Cianjur 28.935 ton
Kabupaten Tasikmalaya 26.870 ton
Kabupaten Bandung 20.556 ton
Kabupaten Majalengka 10.765 ton
Kabupaten Bandung Barat 9.514 ton
Kabupaten Sukabumi 7.679 ton
Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2011
Langkah awal dalam pengembangan klaster, koperasi cagarit yang mewadahi kelompok tani petani
cabai di delapan kecamatan yaitu Kecamatan Cigedug, Cisurupan, Sukaresmi, Cikajang, Bayongbong,

76
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pasirwangi, Sucinaraja dan Cibatu diperkuat kelembagaannya dalam pengembangan usaha dan organisasi
dimana koperasi ini akan menjadi perwakilan dari para petani cabai untuk berhubungan dengan perusahaan
penampung dan pengolah cabai serta pemasok input. Sebelumnya petani masing-masing mencari input dan
menjual hasilnya pada penampung, pasar tradisional sehingga petani tidak mempunyai posisi tawar yang
bagus, diharapkan dengan terbentuknya dan semakin kuatnya lembaga koperasi akan membuat
petanisemakin bergairah dalam melaksanakan agribisnis cabai merah karena adanya kepastian pasar dengan
adanya kontrak pada pihak industri. Selain itu, pembentukan dan pengembangan klaster ini diharapkan
petani cabai merah lebih mengarah pada pasar terstruktur yang memotivasi petani untuk menjaga
kontinuitas pasokannya dengan spesifik kualitas.

Risiko Produksi Aktual dalam Agribisnis Cabai Merah di Kabupaten Garut


Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai fluktuasi harga dan
produksi yang tinggi, hal ini salah satunya disebabkan karena pasokan cabai merah dari sentra produksi ke
pasar yang tidak berkesinambungan sehingga agribisnis cabai merah mengindikasikan terdapat risiko
produksi.Begitu pula dalam klaster agribisnis cabai merah di Kabupaten Garut masih banyak permasalahan
yang dihadapi diantaranya adalah belum mampunya petani dan koperasi cagarit dalam memenuhi
permintaan pasar khusunya dari industri, kualitas cabai yang tidak memenuhi standar (off-grade), cabai yang
cepat rusak, hal ini mengindikasikan adanya risiko produksi dalam agribisnis cabai merah. Indikasi tejadinya
risiko produksi ini memerlukan suatu pemahaman, analisis dan tidak lanjut dari agribisnis cabai merah ini.
Menurut Kountur (2008) ada tiga unsur penting dari sesuatu yang dapat dianggap sebagai risiko,
antara lain : merupakan suatu kejadian, kejadian tersebut masih merupakan kemungkinan sehingga bisa
terjadi bisa juga tidak terjadi, dan jika sampai terjadi akan menimbulkan kerugian.
Berdasarkan fenomena yang ada menunjukkan bahwa pada usahatani cabai merah di Kabupaten
Garut mengalami risiko produksi yaitu dalam hal penggunaan input, yang terdiri dari pengolahan lahan yang
dipengaruhi oleh pengadaan tenaga kerja. Ada risiko kekurangan tenaga kerja untuk mengolah lahan
sehingga ada persaingan dalam perolehan tenaga kerja. Dapat dikatakan jumlah petani cabai merah semakin
bertambah sementara jumlah tenaga kerja untuk pengolahan lahan semakin berkurang, hal ini dikarenakan
banyak tenaga kerja yang beralih ke bagian produksi atau proyek jalan serta tenaga kerja yang semakin
punya modal maka mereka pun dapat melaksanakan usahatani cabai merah sendiri. Sumber risiko produksi
yang kedua yaitu benih. Petani yang sudah melaksanakan kemitraan dengan pihak industri, benihnya dipasok
langsung oleh industri karena jenisnya ditentukan oleh pihak mitra, tetapi kadang-kadang sering terjadi
keterlambatan pasokan benih serta mempengaruhi pada minat berusahatani petani. Petani tidak mudah
beralih pada jenis varietas yang berbeda, juga dengan banyaknya varietas petani semakin bingung untuk
memilihnya.Koperasi cagarit yang diharapkan dapat menjadi pemasok dari sarana produksi oleh para petani
cabai merah belum nampak fungsinya hal ini dapat dikatakan pengadaan sarana produksi termasuk pupuk
dan obat-obatan belum dilaksanakan sepenuhnya oleh koperasi. Koperasi belum memiliki akses keuangan
yang memadai untuk mendorong usahatani cabai merah. Sumber risiko produksi yang ketiga yaitu serangan
hama penyakit masih banyak, berakibat kualitas masih rendah dan tidak dapat menembus pasar terstruktur.
Selanjutnya yaitu pola tanam tidak didasarkan pada kebutuhan pasar yang pasti termasuk didalamnya yaitu
harga, kuantitas dan kualitas.

Pengelolaan Risiko Produksi melalui Pendekatan Klaster di Kabupaten Garut

Permasalahan di atas yang menjadi sumber risiko produksi sering terjadi di tingkat petani khususnya petani
cabai merah. Namun demikian, hal ini harus segera disikapi agar potensi yang ada dapat ditingkatkan
semaksimal mungkin yaitu melalui pengembangan klaster.

Input produksi transformasi perdagangan konsumsi

Gambar 1. Pola dalam rantai nilai klaster cabai merah

77
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Melihat pola rantai nilai klaster cabai merah akan melibatkan berbagai pelaku dan pendukung. Kolaborasi
antara keduanya seharusnya dapat menunjang pengembangan klaster.
Dalam pengembangan klaster cabai merah terlihat pola rantai yang melibatkan berbagai pelaku dan
pendukungnya, mulai darin keterlibatan pemasok input yang terdiri dari pemilik lahan, penangkar benih,
pedagang pupuk, pedagang obat, dan pemilik modal yang akan mendukung proses produksi dalam
budidaya cabai dan pengolahan cabai yang melibatkan petani atau kelompok tani, koperasi cagarit, dan
pengolah cabai yang akhirnya menuju proses perdagangan dengan melibatkan pedagang grosir, pedagang
pengumpul, dan pedagang antar daerah dengan tujuan restoran, industri hilir, pasar tradisional, pasar
modern hingga konsumen akhir. Pelaksanaan klaster cabai melibatkan industri pendukung yaitu lembaga
pembiayaan, jasa transportasi juga industri terkait misalnya klaster sosin, klaster padi dan lain sebagainya
juga lembaga pendukung seperti PT, LPSM, Dinas pertanian, asosiasi cabai merah, penyuluh lapangan dll.
Klaster ini sudah terlihat dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi karena semakin mudah
berkoordinasi antar pelaku yang terlibat juga dapat merangsang munculnya inovasi yang diakibatkan karena
banyak melibatkan stakeholder maka membantu terciptanya pengetahuan dan informasi.
Dari berbagai komunikasi antar pelaku yang berkepentingan baik melalui pelaksanaan FGD dan hasil diskusi
kelompok kerja ada beberapa program klaster dalam pengembangan sistem produksi yang diharapkan akan
dapat mengurangi risiko produksi diantaranya: TOT teknologi persemaian dan manajemen dengan pelaksana
VCC LPPM UNPAD dan USAID, pembangunan rumah semai (Bank Indonesia) , TOT teknologi produksi mulai
dari persiapan lahan, penanaman hingga pasca panen dan lain sebagainya.
Diagram causal loop menunjukkan hubungan sebab akibat dari berbagai variabel yang menjadi
sumber risiko produksi dalam pengembangan klaster agribisnis cabai merah di Kabupaten Garut. Tanda
positif (+) menunjukkan hubungan peningkatan atau variabel arah yang sama sedangkan tanda negatif (-)
menjelaskan hubungan mengurangi atau variabel arah yang berlawanan. Tanda garis ganda menjelaskan
ada dimensi waktu keterlambatan dalam hubungan sebab akibat. Hubungan yang ditandai dengan umpan
balik positif ( Reinforce “R”) yaitu untuk memperkuat atau pertumbuhan dan hubungan umpan balik negatif
( Balance “B”) yaitu untuk mengarah pada keseimbangan.
+ +
+ usahatani cabai
minat berusahatani merah
cabai merah B3
+ pesanan cabai
R1 merah
harga output +
pendapatan + pangsa produk +
+ pesaing petani
+ cabai merah
+
+ -
penerimaan akses ke pasar
+ B1
biaya produksi tuntutan efisiensi + terstruktur
interaksi antar
+ pelaku +
produksi -
+ konsentrasi + +
+ geografis layanan stakeholder
+ untuk petani
produktivitas
- B2
+
pembelajaran inovasi+
risiko produksi
dan teknologi
- skill
+

Gambar 2.Diagram Sebab Akibat klaster Agribisnis Cabai Merah


Dari Gambar 2, terlihat bahwa dengan adanya inisiasi dari Bank Indonesia membentuk klaster
agribisnis sehingga petani cabai merah terkonsentrasi secara geografis. Dengan meningkatnya konsentrasi
geografis akan semakin memperbanyak interaksi antar pelaku sehingga layanan stakeholder untuk petani
semakin tinggi dalam hal ini dapat menimbulkan berbagai kemitraan sehingga proses pembelajaran yang
menimbulkan inovasi teknologi dan pengetahuan semakin meningkat yang mendorong proses produksi ke
arah yang lebih baik. Meningkatnya inovasi akan menambah skill para petani yang memerlukan satu waktu
78
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
tertentu. Dengan meningkatnya skill petani cabai merah diharapkan dapat menerapkan berbagai inovasi
tersebut dengan harapan risiko produksi pada agribisnis cabai merah yang bersumber dari kurangnya tenaga
kerja, masih terdapatnya serangan hama penyakit, penyediaan sarana produksi yang belum bisa sepenuhnya
disediakan oleh koperasi, pola tanam yang belum disesuaikan dengan kebutuhan pasar diharapkan dapat
dikelola dengan baik.
Risiko produksi semakin kecil maka dapat meningkatkan produktivitas cabai merah sehingga produksi
akan semakin tinggi. Meningkatnya produksi akan menambah pendapatan petani. Pendapatan petani cabai
merah yang tinggi akan mendatangkan pesaing-pesaing petani dalam berusahatani cabai. Semakin
banyaknya pesaing petani akan mengakibatkan pangsa produk dari cabai merah menurun sehingga
dibutuhkan suatu konsentrasi secara geografis dalam pengelolaan agribisnis cabai merah . Interaksi antara
konsentrasi geografis, interaksi antar pelaku, layanan stakeholder untuk petani, pembelajaran inovasi
pengetahuan dan teknologi, skill, risiko produksi, produktivitas, produksi, penerimaan, pendapatan petani,
pesaing petani cabai merah, pangsa produk, tuntutan efisiensi dan konsentrasi geografis menyebabkan
terciptanya umpan balik yang negatif dimana dengan adanya tuntutan efisiensi dalam agribisnis cabai merah
akan mengarah menuju kesetimbangan dengan terbentuknya konsentrasi geografis (B1) .
Semakin banyak minat orang berusahatani cabai merah sebagai dampak dari meningkatnya pendapatan
yang diperoleh dengan memerlukan satu waktu tertentu (delay).Meningkatnya minat usahatani cabai merah
akan semakin menambah orang berusahatani cabai merah maka pesaing petani semakin tinggi yang akan
mengurangi pangsa produk cabai merah. Meningkatnya Pangsa produk cabai merah akan menuntut efisiensi
sehingga akan meningkatkan terkonsentrasinya geografis secara spasial dan dapat mengurangi biaya
produksi dalam usahatani cabai merah akhirnya akan meningkatkan pendapatan.Hubungan interaksi dari
variabel-variabel tersebut membentuk umpan balik positif yaitu terjadi penguatan dengan terkonsentrasinya
secara geografis (R1).
Dengan meningkatnya konsentrasi geografis akan semakin memperbanyak interaksi antar pelaku
dan layanan stakeholder untuk petani semakin tinggi.sehingga proses pembelajaran semakin meningkat yang
akan melahirkan berbagai inovasi dan pengetahuan yang mendorong proses produksi ke arah yang lebih
baik. Meningkatnya inovasi akan menambah skill para petani cabai dan risiko produksi diharapkan dapat
dikelola dengan baik. Interaksi antara konsentrasi geografis, interaksi antar pelaku,layanan stakeholder untuk
petani, inovasi, skill, risiko produksi dan konsentrasi geografis menyebabkan terciptanya umpan balik yang
negatif dimana dengan adanya risiko produksi akan mengarah menuju kesetimbangan dengan
terbentuknya konsentrasi geografis (B2).
Usahatani cabai merah meningkat menimbulkan pesaing banyak sehingga pangsa produk akan
semakin menurun. Menurunya pangsa produk akan menuntut efisiensi sehingga membentuk konsentrasi
geografis. Meningkatnya konsentrasi geografis akan menambah interaksi dari berbagai pelaku yang akan
mengakibatkan berbagai layanan untuk petani sehingga peluang untuk menjalin kerjasama dengan berbagai
pihak sangat memungkinkan, hal ini akan mudah menembus akses ke pasar yang terstruktur. Dengan
meningkatnya akses ke pasar terstruktur maka pesanan cabai merah akan semakin meningkat hal ini akan
memeperluas usaha pada cabai merah. Interaksi antar variabel ini akan mengarah pada hubungan umpan
balik negatif yaitu untuk mengarah pada kesetimbangan (B3).
KESIMPULAN

Sumber dari risiko produksi agribisnis cabai merah secara aktual yang ada di Kabupaten Garut terdiri
dari : penggunaan input dengan adanya kekurangan tenaga kerja pada pengolahan lahan, koperasi cagarit
belum nampak fungsinya dalam pengadaan sarana produksi (pupuk,benih,obat), serangan hama penyakit
masih banyak, dan pola tanam tidak didasarkan pada kebutuhan pasar.
Dalam pengembangan klaster agribisnis cabai merah banyak melibatkan stakeholder
sehingga terjadi interaksi antar pelaku dan pendukung, hal ini akan memberikan pembelajaran yang dapat
menghasilkan inovasi teknologi dan pengetahuan misalnya dalam sistem perbenihan, sistem budidaya yang
membawa skill petani cabai semakin meningkat, dengan demikian penerapan teknologi (SOP) akan semakin
baik, kinerja petani semakin baik, dengan harapan risiko produksi dapat dikelola dengan baik, produktivitas
pun meningkat.

79
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
Hanafi, 2007, Risiko, Jakarta, Universitas Terbuka.
Kountur R, 2004, Manajemen Risiko, Jakarta Abdi Tandur.
Porter, M.E,. 1998 ,” Cluster and The New Economicsof Competition, Harvard Business.
Sumber Jurnal :
Checkland P., ,” Soft System Methodology.” System research and Behavioral (2000).
Elena Toma, 2009 ,” Agribusiness Cluster-Between theory and Practice,” Research Institute of
Agricultural Economics and Rural Development, Bucharest, Romania.
Perdana T, Nurhayati, Kusnandar,.”Improvement Model of Supply Chain management and agribusiness
Cluster of Red Chilli,. Artikel pada Jurnal Internasional 2013.
Perdana T, Kusnandar., The Triple Helix Model for Fruits and Vegetables Supply Chain Management
Development Involving Small Farmers in Order to Fulfill the Global Market Demand ,” Studi Kasus di VCC
Universitas Padjadjaran (2012).

80
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
13.ANALISIS KOMPOSISI KEDELAI IMPOR DAN
LOKALSEBAGAIBAHAN BAKU UTAMA TAHU SUMEDANG
(Suatu Kasus pada Industri Tahu Sumedang Kota)

Zumi Saidah SP., M.Si., 1) dan Aida Ghaissani, SP 2)

1)
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Unpad ,2) Alumni Fakultas Pertanian Unpad
Fakultas Pertanian, Unpad Jl. Raya Jatinangor Km 21 Bandung 40600

e-mail : zsaidah@gmail.com&

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan tentang komposisi kedelai yang digunakan oleh industri tahu
sumedang yang ada di Sumedang Kota. Dimana selama ini banyak informasi yang menyatakan bahwa
kedelai impor lebih baik dari pada kedelai lokal sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tahu. Untuk itu
penelitian ini mencoba untuk mengungkapan komposisi pengunaan kedua jenis kedelai tersebut dan alasan
penggunaan kedua jenis kedelai tersebut sebagai bahan utama pembuatan tahu sumedang. Desain
penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif kuantitatif dengan teknik penelitian survei. Alat analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis cross tab. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan kedua jenis kedelai tersebut bukan kualitas dan harga kedelai impor yang
lebih bagus dan murah akan tetapi lebih kepada kadar kandungan protein yang di miliki oleh kedua jenis
kedelai tersebut. Penggunaan kedelai lokal dalam pembuatan tahu akan menghasilkan rasa yang gurih,
aroma wangi, kenyal, agak keras dan tahan lama, sedangkan penggunaan kedelai impor dalam pengolahan
tahu akan menyebabkan tekstur tahu yang lebih empuk dan ukuran yang lebih mengembang. Namun pada
dasarnya para perajin tahu tetap lebih memilih kedelai lokal apabila ketersediaannya selalu ada dan
mempunyai persediaan yang banyak.

Kata Kunci: Kedelai lokal, kedelai impor, industri tahu, komposisi, tahu.

ABSTRACT
This research tries to describe about the composition of soybean used by the industry tofu in Sumedang city.
During which it stated that more information is better than soybean imports in local soybean as the main raw
material in the manufacture know . Therefore this study tries to express the composition of the two types of
soy use and the reasons for using both types of soy as a main ingredient manufacturing know sumedang .
The study design used is descriptive design with quantitative survey research techniques. Analysis tools used
in this research is descriptive analysis and cross- tab analysis . The results showed that the use of two types
of soy are not the quality and price of imported soybeans are better and cheaper but more to the protein
content of which is owned by the two types of soy. Making use of local soybean know will produce a savory
flavor , fragrant aroma , chewy , somewhat hard and durable , while the use of soybean imports in
processing know will lead out the softer texture and size expands . But basically the crafters know still prefer
local soybean when its availability is always there and has a lot of inventory .

Keywords : local Soybeans , soybean imports beans industry, composition, tofu .

81
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

PENDAHULUAN

Terdapat beberapa komoditas pangan strategis (padi, jagung & kedelai) yang menjadi perhatian
pemerintah dikarenakan oleh tingginya permintaan terhadap komoditas-komoditas tersebut. Salah satunya
diantaranya adalah kedelai yang memiliki nilai protein yang cukup tinggi, harganya relatif terjangkau serta
ragam kegunaanya yang cukup banyak. Kedelai sebagai pemenuhan protein nabati bagi sebagian besar
penduduk Indonesia membuat semakin meningkatknya pertumbuhan industri-industri yang mengolah kedelai
menjadi beberapa variasi produk pangan. Indonesia sendiri merupakan negara produsen kedelai terbesar di
dunia dimana sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia diolah dalam bentuk tempe, sekitar 40% diolah
dalam bentuk tahu, dan sisanya 10% lagi diolah dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain
sebagainya. Tingginya permintaan kedelai dan ketidakmampuan kedelai lokal untuk memenuhi kebutuhan
kedelai di dalam negeri menyebabkan tingginya volume kedelai impor yang masuk ke Indonesia (Amang dan
Sawit,1996).
Pemenuhan kebutuhan konsumsi terhadap kedelai baik secara kualitas maupun kuantitas terus
diupayakan oleh pemerintah dengan berbagai cara mulai dari hulu hingga hilir. Bahkan pada tahun 1992
Indonesia pernah mencapai puncak produksi tertinggi yaitu sebesar 1,6 juta ton dan berhasil mencapai
swasembada kedelai. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, bahkan dari tahun ke tahun produksi
kedelai terus mengalami penurunan. Hal ini terutama dipicu oleh perubahan kebijakan ataniaga kedelai, yaitu
dengan diberlakukannya pasar bebas yang mengakibatkan persaingan harga pasar antara kedelai impor
dengan kedelai lokal. Kondisi ini tentu saja menyebabkan berkurangnya minat petani karena rendahnya nilai
insentif yang diterima petani. Selain itu, dengan adanya persaingan penggunaan lahan dengan jenis palawija
lainnya yang lebih menjanjikan menjadi penyebab turunnya areal panen kedelai. (Dirjen Tanaman Pangan,
2010).
Peningkatan konsumsi kedelai yang begitu pesat tanpa diimbangi peningkatan produksi kedelai
dalam negeri menyebabkan terjadinya kesenjangan. Besarnya permintaan konsumsi terhadap kedelai sampai
saat ini tetap tidak bisa terpenuhi. Tingginya permintaan konsumsi kedelai salah satunya diakibatkan oleh
semakin meningkatnya jumlah industri pengolahan kedelai sebanyak 282 industri yang tersebar di berbagai
wilayah Kabupaten Sumedang (Disperindag Kab. Sumedang, 2011).
Salah satu bentuk olahan kedelai yang sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
adalah tahu yang didapatkan dengan mengolah kedelai melalui proses pengepresan (Shurtleff dan Aoyagi,
2001). Tahu terdiri dari berbagai macam jenis, bentuk dan rasa yang berbeda, dimana perbedaan dari
berbagai jenis tahu tersebut di dasari oleh jenis kedelai yang digunakan, proses pengolahan serta
penggumpalan yang terjadi. Terdapat pernyataan bahwa sebagian besar industri tahu yang ada di Sumedang
Kota lebih senang memanfaatkan kedelai impor sebagai bahan baku utamanya dibandingkan kedelai lokal.
Penyebab utamanya bukan hanya karena harganya yang murah, kualitasnya yang lebih bagus daripada
kedelai lokal, melainkan karena kedua jenis kedelai tersebut memang berbeda jenis dan peruntukkannya.
Penelitian ini akan menjelaskan penggunaan kedelai lokal dan impor oleh para industri tahu sumedang, baik
dari segi komposisi, alasan penggunaan serta lain sebagainya, sehingga bisa tergambarkan dengan jelas
untuk menjadi bahan pertimbangan kebijakan bagi pengembangan dan peningkatan produksi kedelai lokal.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini fokus pada industri pengolahan tahu yang ada di Sumedang Kota, yang dipilih karena
Sumedang Kota merupakan salah satu sentra terbesar penjualan tahu Sumedang di wilayah Kabupaten
Sumedang. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif yang akan menggambarkan secara
detail mengenai maksud penelitian yang di dukung dengan data-data kuantitatif yang dioalah dengan
menggunakan cross tab tabulation. Adapun jumlah reponden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 12
responden (perajin tahu) yang tersebar di Sumedang Kota.

82
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik umum responden merupakan latar belakang yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang
gambaran umum responden berserta aktivitas yang ditekuninya. Tingkat keberhasilan usaha industri tahu
sangat ditentukan oleh karakteristik pengrajinnya sebagai pelaku usaha dalam membuat dan mengambil
keputusan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Karakterisitik responden pada penelitian ini meliputi umur,
tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, matapencharian, serta pengalaman berusaha.

Tabel 1. Karakteristik Pengrajin Tahu


No Karakteristik Pengrajin Tahu Persentase
1 Usia
27-39 8,33
40-52 33,33
53-65 58,33
2 Pendidikan
SD 17,0
SMP 17,0
SMA 58,0
Perguruan Tinggi 8,0
3 Tanggungan Keluarga
2–4 50,0
>4 50,0
4 Pekerjaan Sampingan
Bertani 9,0
Pedagang 8,0
Tidak ada 83,0
5 Pengalaman Usaha
7 – 19 25,0
20 – 32 50,0
> 32 25,0
6. Status Usaha
Warisan Orang tua 58,3
Dibangun sendiri 41,7
Sumber : Olahan data primer (2013)

Karakteristik pengrajin tahu secara umum cukup baik, dimana ditemukannya perajin tahu dengan
usia produktif serta usia muda yang tentunya merupakan peluang untuk dijadikan sebagai motivator atau
early adopter dalam penerapan teknologi baru pada tahu. Biasanya pengrajin dengan usia muda lebih
dinamis, bersemangat, lebih mudah menerima inovasi baru, serta lebih mudah dalam merepon inovasi baru
dan terlibat langsung dalam setiap kegiatan untuk pengembangan usahanya ke depan.
Begitu pula halnya dengan tingkat pendidikan para pengrajin yang akan berpengaruh terhadap produktifitas
tenaga kerja serta tingkat penyerapan teknologi. Perkembangan pengetahuan pengrajin yang diperolehnya
melalui pendidikan, bimbingan dan peyuluhan juga akan turut menentukan keberhasilan pengrajin tahu
dalam mengelola usahanya. Tingkat pendidikan dan pengalaman usaha juga akan mempengaruhi keputusan
manajerial petani dalam pengambilan keputusan. Dimana sekitar 58,3 persen usaha tahu yang ditekuni
merupakan hasil warisan dari orang tua walaupun tidak tertutup kemungkinan usaha tersebut dibangun
sendiri oleh pengrajin tahu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden sangat tergantung pada usaha tahu sebagai
penghasilan utamanya, namun terdapat juga beberapa respoden yang memiliki pekerjaan sampingan
sebagai usaha untuk menambah ekonomi keluarga. Dimana mayoritas tanggungan keluarga para pengrajin
tahu mempunyai lebih dari 4 orang tanggungan.

83
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Tabel 2. Industri Tahu di Wilayah Sumedang Kota

No Nama Kecamatan Tenaga Kapasitas Produksi Hasil Skala


Perusahaan Kerja Jumlah Satuan Penjualan Usaha
(Rp.000)
1 Alam Sari Smd. Utara 3 72.000 Kg 1.800.000 Kecil
2 Cita Rasa Smd. Utara 5 160.000 Kg 4.000.000 Menengah
3 Sari Bumi Smd. Utara 11 110.000 Kg 2.750.000 Menengah
4 Lingga Jaya Smd. Utara 2 18.000 Kg 450.000 Kecil
5 Palasari Smd. Utara 3 72.000 Kg 1.800.000 Kecil
6 Yoe Fo Smd. Utara 2 18.000 Kg 450.000 Kecil
7 Yana Smd. Utara 6 36.000 Kg 720.000 Kecil
8 Sasari Smd. Selatan 3 12.000 Kg 300.000 Kecil
9 Bungkeng Smd. Selatan 4 150.000 Kg 3.750.000 Menengah
10 H. Ateng Smd. Selatan 5 43.200 Kg 1.800.000 Kecil
11 Sumber Sari Smd. Selatan 6 45.000 Kg 1.125.000 Kecil
12 Mekarsari Smd. Selatan 2 25.200 Kg 630.000 Kecil
Sumber : Olahan Data Mentah & Data Disperindag dan Investasi Kab. Sumedang (2013)
Pada dasarnya, untuk menghasilkan tahu yang bermutu tinggi maka industri tahu di Sumedang kota
harus memakai jenis kedelai yang bermutu, karena hal terpenting dalam pembuatan tahu adalah dengan
mengetahui kadar protein yang terdapat didalam kedelai tersebut. Kadar kandungan protein dalam kedelai
sangat berpengaruh langsung terhadap tinggi dan rendahnya rendemen maupun rasa tahu. Syarat untuk
membuat tahu enak dan mempunyai kandungan protein yang baik, hendaknya kedelai yang digunakan
adalah kedelai yang masih baru dipanen atau tidak terlalu lama disimpan dalam gudang serta kedelainya
harus utuh, bulat, cukup umur dan tidak pecah.
Di Indonesia kedelai yang beredar adalah kedelai impor dan kedelai lokal yang dibudidayakan oleh
para petani kedelai yang masih minim bantuan dari pemerintah setempat. Kedelai lokal masih diposisikan
sebagai tanaman kedua dalam pola penanaman yang dilakukan oleh para petani karena harga jualnya yang
rendah. Kedelai lokal bentuk biji lebih kecil dan bulat, kedelai lokal sangat cocok untuk membuat tahu
sumedang karena hasil dari kedelai lokal menghasilkan rendeman tahu yang lebih banyak dan rasa yang
lebih gurih, lembut dan tidak kecut. Kedelai impor bentuk bijinya lebih besar dan bulat, bila dipakai untuk
membuat tahu sumedang agak sulit karena dapat membuat tahu tidak utuh dan cenderung hancur dan hasil
perkilogramnya lebih sedikit, juga aroma tahunya tidak berbau wangi khas kedelai.

- Kedelai Impor dari Ujung Jaya - Kedelai Impor dari Amerika


Gambar 1. Kedelai Lokal dan Kedelai Impor
Pada umumnya perajin tahu Sumedang lebih menyukai kedelai impor untuk bahan baku pembuatan
tahunya. Hal ini terjadi bukan karena kedelai impor lebih bagus kualitasnya dari kedelai lokal, melainkan dua
jenis kedelai ini memang berbeda jenis dan peruntukkannya. Pengaruh fluktuasi harga kedelai lokal membuat
para perajin tahu merubah komposisi penggunaan antara kedelai impor dengan kedelai lokal. Apabila harga
kedelai lokal sedang murah maka kuantitas pemakaian kedelai lokal lebih besar dibandingkan kedelai impor,
begitupula sebaliknya apabila harga kedelai lokal sedang tinggi maka kuantitas kedelai impor lebih banyak
dibandingkan kedelai lokal. Penggabungan pemakaian kedua jenis kedelai ini dimaksudkan agar biaya
produksi yang dikeluarkan terhadap pembelian kedelai tidak terlalu besar.
84
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Tabel 3. Hubungan antara Jenis Industri dengan Penggunaan Jenis Kedelai

Penggunaan Kedelai Lokal


Total
Jenis Ya Tidak
Industri Total
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Total
Persentase
Industri (%) Industri (%) Industri
(%)
Kecil 5 41.67 4 33.33 9 75.00
Menengah 3 25.00 0 0.00 3 25.00
Total 8 66.67 4 33.33 12 100
Sumber : Olahan Data Mentah (2013)
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa kedua jenis industri tahu tersebut, industri skala menengah yang
semuanya tetap menggunakan kedelai lokal sebagai bahan baku utama produksi tahu Sumedang. Bagi para
perajin tahu skala menengah, rasa merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Adanya cita rasa yang
nikmat membuat para konsumen menjadi lebih tertarik untuk membeli tahu Sumedang tersebut. Walaupun
para perajin tahu tetap mengedepankan rasa dalam produksinya, apabila harga kedelai lokal sedang
melonjak tinggi, biasanya para perajin tahu akan menggunakan kedelai impor dalam pembuatan tahunya.
Komposisi dalam hal ini dideskripsikan berdasarkan persentase penggunaan masing-masing jenis kedelai.
Semakin besar persentase penggunaan kedelai lokal, maka akan semakin baik hasil akhir produk tahu
Sumedang tersebut.
Berdasarkan Tabel 4 berikut ini, terlihat bahwa terdapat beragam komposisi penggunaan kedelai
impor dan lokal pada setiap industri tahu Sumedang. Dimana beragamnya penggunaan komposisi antara
kedelai impor dengan kedelai lokal akan mempengaruhi citarasa tahu yang dihasilkan. Berdasarkan hal
tersebut, maka dapat di katakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis skala usaha denggan besarnya
penggunaan komposisi kedelai lokal. Beberapa perajin tahu mengungkapkan, alasan mereka
menggabungkan dua jenis komposisi kedelai tersebut dikarenakan adanya kelebihan dan kekurangan setiap
jenis kedelai tersebut.
Tabel 4. Komposisi Penggunaan Kedelai Impor dan Kedelai Lokal

Volume Produksi
Jenis Jumlah
Nama Kedelai/gilingan Frekuensi Jml
Industri Kedelai
Perusahaan (Kg) Produksi/ Papan/
perhari
Lokal Impor Jml hari Ancak
(Kg)
Skala Bungkeng 4,5 4,5 9 20 100 180
Menengah Citra Rasa 4,5 5 8,5 25 125 212,5
Sari Bumi 3 4,5 7,5 20 100 150
Alam Sari 2,5 6 8,5 7 35 59,5
Lingga Jaya - 9 9 2 10 18
Palasari 3,75 3,75 7,5 16 80 120
Yoe Fo 2 5 7 15 75 105
Yana
Skala Kecil - 8 8 15 75 120
(Pemasok)
Sasari 3,5 3.5 7 15 75 105
H.Ateng 3 4 7 14 70 98
Sumber Sari - 7 7 16 80 112
Mekarsari - 7,5 7,5 5 25 37,5
Rata-rata industri skala menengah 8,3 22 108 180,8
Rata-rata industri skala kecil 7,6 12 58 86,1
Rata-rata keseluruhan 7,8 14 71 109,7
Sumber : Olahan Data Mentah (2013)

85
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Tabel 5 merupakan hasil tabulasi silang antara jenis industri dengan komposisi penggunaan kedelai. Jenis
Kedelai lokal diakui lebih bagus dan mampu menghasilkan tahu lebih banyak. Jenis kedelai lokal lebih
berkualitas karena mempunyai kekentalan tinggi. Namun justru saking kentalnya, tahu dapat lebih mudah
mengeras sehingga tidak bisa didiamkan lama, harus langsung digoreng dan dikonsumsi. Hal ini yang
menjadi salah satu alasan perajin tahu skala menengah menggunakan kedelai lokal, karena permintaan yang
tinggi tahu yang cukup tinggi serta sering diburu pembeli membuat tahu yang telah dicetak langsung
digoreng.

Tabel 5.Hubungan antara Jenis Industri dengan Komposisi Jenis Kedelai

Komposisi Kedelai Lokal


Total
Jenis
< 50% ≥ 50%
Industri
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Industri (%) Industri (%) Industri (%)
Kecil 6 50.00 3 25.00 9 75.00

Menengah 2 16.67 1 8.33 3 25.00

8 66.67 4 33.33 12 100


Komposisi Kedelai Impor Total
Jenis < 50% ≥ 50%
Industri Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Industri (%) Industri (%) Industri (%)
Kecil 1 8,33 8 66,67 9 75,00

Menengah 0 0,00 3 25,00 3 25,00

Total 1 8,3 11 91,7 12 100


Sumber : Olahan Data Mentah (2013)
Perbedaan cita rasa dan kualitas apabila menggabungkan kedua jenis kedelai tersebut dibandingkan
hanya menggunakan satu jenis kedelai saja. Terdapat beberapa varietas yang digunakan para perajin tahu
untuk produksi tahu Sumedang, yaitu Grobogan, Galunggung, Dempo, dan Wilis. Grobogan dan Galunggung
merupakan varietas yang paling sering digunakan perajin tahu untuk memproduksi tahu Sumedang,
sedangkan untuk kedelai impor, seluruh perajin tahu menggunakan kedelai impor yang berasal dari Amerika
dengan merk Bola Merah.
Tabel 6. Perbandingan Kedelai Impor dan Kedelai Lokal dari Segi Biji Kedelai
Kategori Kedelai Impor Kedelai Lokal
Ukuran biji Berukuran besar Berukuran lebih besar dari kedelai impor
Keseragaman Ukuran sama Ukuran beragam
Warna Kulit Kuning pucat Kuning segar
Kandungan Sari Kedelai Sedikit Banyak
Kadar Protein Lebih sedikit dari kedelai lokal Lebih banyak dari kedelai impor
Segi Kebersihan Bersih Kotor
Segi Kekeringan Kurang segar Relatif segar
Segi Kesehatan Transgenik Asli hayati
Segi Persediaan Banyak Sedikit
Harga Murah Mahal
Sumber : Olahan Data Mentah (2013)

86
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kedelai lokal dan kedelai impor mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Para perajin tahu
mengatakan lebih menyukai kedelai lokal dalam produksi tahu Sumedang. Namun terdapat beberapa alasan
mengapa para perajin tahu tetap menggunakan kedelai impor dalam produksi tahu Sumedang. Berikut ini
akan di paparkan perbandingan dari segi kualitas antara kedelai impor yakni dengan merek bola merah dan
kedelai lokal yakni dengan varietas Grobogan dan Galunggung.
Selain dari segi kualitas biji kedelai, ternyata beberapa alasan lain mengapa para perajin tahu menggunakan
kedelai lokal dan kedelai impor dalam pengolahannya. Menurut para perajin tahu penggunaan jenis kedelai
akan berpengaruh terhadap rasa tahu yang dihasilkan.

Tabel 7. Alasan Perajin Tahu Menggunakan Kedelai Impor dan Lokal

Kategori Kedelai Impor Kedelai Lokal


Rasa Tahu Kurang gurih Gurih
Aroma Kurang wangi Wangi
Kekenyalan Kurang kenyal Kenyal
Kekerasan Lebih lentur (empuk) Agak keras
Ketahanan Tahu 1 hari 2 hari
Ukuran Tahu Lebih mengembang Relatif tetap

Sumber : Olahan Data Mentah (2013)

Tujuan para perajin tahu mencampurkan kedua jenis kedelai ini adalah karena masing-masing kedelai
mempunyai kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda, dengan mencampurkan kedelai impor dalam tahu
maka ukuran tahu lebih mengembang dan akan lebih kenyal teksurnya. Begitupula dengan kedelai lokal,
penggunaan kedelai lokal akan berpengaruh terhadap rasa tahu Sumedang yang lebih gurih, aroma yang
lebih wangi, kekenyalan tahu yang lebih baik serta tahan lama. Namun pada dasarnya, tahu dari kedelai lokal
lebih keras dibandingkan kedelai impor karena protein dari kedelai lokal lebih banyak tergumpalkan sehingga
tahu yang dihasilkan lebih padat. Para perajin tahu lebih menyukai dan membutuhkan kedelai lokal sebagai
bahan baku utamanya karena mengandung sari kedelai yang lebih banyak dan juga biji kedelai yang masih
baru sehingga dapat menghasilkan tahu dengan citra rasa yang lebih nikmat.

KESIMPULAN/REKOMENDASI

Berdasarkan gambaran mengenai komposisi penggunaan kedelai lokal dan impor untuk bahan baku
pembuatan tahu, dapat disimpulkan bahwa perbedaan komposisi penggunaan komposisi kedelai impor dan
lokal bukan karena kualitas dan harga kedelai impor yang lebih bagus dan murah akan tetapi lebih kepada
kadar kandungan protein yang di miliki oleh kedua jenis kedelai tersebut. Kadar kandungan protein dalam
kedelai sangat berpengaruh langsung terhadap tinggi dan rendahnya rendemen maupun rasa tahu. Kedelai
lokal banyak mengandung sari kedelai sehingga akan mempengaruhi cita rasa dan aroma tahu karena
memiliki tingkat kadar air yang rendah dengan penyinaran alami, warna kulit lebih cerah, kandungan protein
lebih banyak.
Penggunaan kedelai lokal dalam pembuatan tahu akan menghasilkan rasa yang gurih, aroma wangi, kenyal,
agak keras dan tahan lama, sedangkan penggunaan kedelai impor dalam pengolahan tahu akan
menyebabkan tekstur tahu yang lebih empuk dan ukuran yang lebih mengembang. Namun pada dasarnya
para perajin tahu tetap lebih memilih kedelai lokal apabila ketersediaannya selalu ada dan mempunyai
persediaan yang banyak. Menurut perajin tahu, kedelai lokal lebih menghasilkan tahu dengan rasa yang
nikmat dan gurih karena kandungan proteinnya yang tinggi.

87
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
- Disperindag dan Investasi Kabupaten Sumedang, 2011. Perkembangan Industri Tahu Sumedang.
Sumedang.
Shurtleff, W. dan Aoyagi, A., 2001. Tofu and Milk. Production in The Book of Tofu, Vol. II., New Age Food
Study Center, Lafayete, France
Sumber Internet:
Ariani, Mewa. 2005. Penawaran dan Permintaan Komoditas Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian di
Indonesia. Journal Soca (Socio-Economic of Agriculture and Agribusiness).
http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca.
Amang dan Sawit, 1996. Analisis Dampak Pengenaan Tarif Impor Kedelai bagi Kesejahteraan Masyarakat.
http://www. stopyogyakarta.com.
Dirjen Tanaman Pangan, 2010. Rencana Strategis. http://www.tanamanpangan.deptan.go.id/

88
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
14.STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SINGKONG DI
KABUPATEN TRENGGALEK
Development Stategies of Cassava Agribussines at
Trenggalek Regency

Triana Dewi Hapsari1, Alfian Futuhul Hadi2, Muhammad Hadi Makmur3, Anwar4
1
PS Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jember
2
Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Jember
3
Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Jember
4
Jurusan Usaha Perjalanan Wisata, FISIP, Universitas Jember

E-mail : tridewisari_uj@yahoo.com

ABSTRAK

Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu sentra produksi singkong di Jawa Timur. Di Kabupaten ini telah
berkembang industri tapioka dan mocaf (modified cassava flour), merupakan produk antara untuk bahan
baku berbagai macam industri makanan dan bukan makanan. Mocaf merupakan produk substitusi impor
untuk tepung terigu. Kondisi saat ini impor tepung tapioka dan terigu terus meningkat. Sehingga menjadi
penting untuk merumuskan strategi pengembangan agribisnis singkong di Kebupaten Trenggalek. Metode
yang digunakan adalah deskriptif analitis, dengan mendasarkan pada data primer dan data sekunder dari
pihak terkait, yaitu petani, pengusaha agroindustri, pedagang dan instansi pemerintah. Data ini kemudian
dianalis dengan SWOT, kemudian disusun matrik kompetitif relatif, matrik internal eksternal dan matrik grand
strategy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek
berada pada White Area, (bidang kuat berpeluang), 2) sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek
berada pada daerah I (pertumbuhan); dan 3) strategi pengembangan agribisnis singkong di Kabupaten
Trenggalek adalah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi singkong, penjaminan kualitas produk olahan
singkong terutama tepung tapioka dan mocaf, serta penguatan peran pemerintah melaui kebijakan yang
berpihak pada pengembangangan agribisnis singkong.

Kata kunci : singkong, agribisnis, strategi

ABSTRACT
Trenggalek Regency is one of the centers of cassava production in East Java. In this Regency has the
industry of mocaf (modified cassava flour) and tapioca been developing; products for the raw materials for a
variety of food and non-food industries. Mocaf is an import substitution product for wheat flour. The current
condition of imports of tapioca strach and wheat flour tends to increase, so it is important to formulate
strategies of cassava agribusiness development in Trenggalek Regency. The method used was descriptive
analysis, based on primary data and secondary data from related stakeholders, such as farmers, agro-
industry entrepreneurs, sellers and government agencies. The data were then analyzed with SWOT, and then
relative competitive matrix, external-internal matrix and grand strategy matrix were arranged. The results
showed that: 1) the sistem of cassava agribusiness in Trenggalek Regency was in White Area (a strong
opportunity field), 2) the sistem of cassava agribusiness in Trenggalek Regency was in area I (growth), and
3) the strategies of cassava agribusiness development in Trenggalek Regency are intensification and
extensification of cassava, quality assurance of processed cassava products, particularly tapioca and mocaf
starch, as well as strengthening the role of government through policies in favor of cassava agribusiness
development.
Keywords: cassava, agribusiness, strategies

89
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

PENDAHULUAN

Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu sentra produksi singkong di Jawa Timur. Berdasar data
produksi, Kabupaten Trenggalek menempati urutan kedua di Jawa Timur. Pada periode 2007 s.d. 2012,
rerata produksi singkong di Kabupaten Trenggalek 419.982,82 Ton, dengan rerata produktivitas 221,22
ton/Ha. Singkong segar merupakan komoditas yang mudah rusak, sehingga proses pengolahan sangat
diperlukan. Berdasarkan data Dinas Koperasi Industri Perdagangan Pertambangan dan Energi tahun 2012
terdapat beragam agroindustri berbahan baku singkong di Kabupaten Trenggalek, seperti tepung tapioka,
chip mocaf, dan berbagai makanan khas (tiwul, gatot, kripik). Dua agroindustri strategis di Kabupaten ini
adalah tepung tapioka dan mocaf (modified cassava flour). Mocaf merupakan produk substitusi impor untuk
tepung terigu. Kondisi saat ini impor tepung tapioka dan terigu terus meningkat. Pada periode tahun 2009
sampai 2011, impor tapioka mengalami peningkatan dengan rerata impor mencapai 299.659 Ton, sedangkan
impor terigu terus meningkat dengan rerata 619.877,67 Ton(Kementerian Pertanian, 2012)
. Dalam bentuk pati asli (native starch), tepung tapiokadapat diolah menjadi berbagai makanan ringan
(snack food) modern, seperti aneka biskuit/crackers, juga bubur bayi instan, produk-produk olahan daging
(bakso, sosis, nugget), tepung bumbu, dan sebagainya. Tepung tapioka juga dapat dihidrolisis menjadi
turunan-turunannya seperti dekstrin, maltodekstrin, sirup glukosa, high fructose syrup (HFS), sorbitol, dan
lain sebagainya, yang digunakan dalam pembuatan/formulasi susu formula, bubur bayi instan, permen,
jam/jelly, minuman ringan, saus, dan sebagainya.
Mocaf sebagai substitusi tepung terigu cukup prospektif untuk dikembangkan, tertutama untuk
makanan yang 100 persen berbahan baku terigu seperti mi dan rerotian. Selain dari aspek penggunaan,
harga jual mocaf yang relatif lebih murah dibandingkan tepung terigu. Pada harga singkong segar Rp 400-
800 per kg, harga impas mocaf berkisar antara Rp 2.870 – Rp 4.351 per kg. Harga tepung mocaf produksi
Gemah Ripah Loh Jinawi Trenggalek sekitar Rp 5.000 per kg (Duryatmo 2009 dalam Yulifianti dkk , 2012).
Sistem agribisnis dari hulu hingga hilir yang telah terbentuk di Kabupaten Trenggalek merupakan hal yang
menarik untuk dicermati agar agribisnis singkong ini berkembang. Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji
strategi pengembangan agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek.

TINJAUAN PUSTAKA
Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang,
progam tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya (Chandler dalam Rangkuti, 2001). Terdapat tiga tipe
strategi, yaitu : strategi manajemen, strategi investasi dan strategi bisnis.
Analisis SWOT adalah suatu proses merinci keadaan lingkungan internal dan eksternal, guna
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan organisasi, ke dalam kategori strenght,
weaknesses, opportunities, dan threats sebagai dasar untuk menentukan tujuan, sasaran dan strategi
mencapainya, sehingga organisasi memiliki keunggulan meraih masa depan yang lebih baik (Sianipar, 2003).
Analisis SWOT dilakukan melalui dua tahapan, yaitu tahap pengumpulan data dan tahap analisis. Tahap
pengumpulan data dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh
terhadap usaha. Tahap analisis meliputi pembobotan dan pemberian rating, penyusunan matrik internal
eksternal dan matrik SWOT.

METODE PENELITIAN

Daerah penelitian ditentukan secara sengaja (purposive methode), yakni Kabupaten Trenggalek dengan
pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan salah satu sentra produksi singkong di Propinsi Jawa
Timur. Pada periode tahun 2008 sampai dengan 2012, produksi singkong Kabupaten Trenggalek tertinggi
kedua di Propinsi Jawa Timur. Di Kabupaten Trengalekk juga telah berkembang agroindustri berbahan baku
singkong sebagai produk akhir (kripik, tiwul instan, alen-alen) mau pun produk antara (tepung tapioca,
tepung ketela, chip cassava, chip mocaf).
Metode penelitian menggunakan metode deskriptif dan analitis. Penelitian deskriptif adalah studi untuk
menemukan fakta dan fenomena-fenomena kelompok atau individu dengan interpretasi yang tepat dalam
90
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
memecahkan suatu masalah. Penelitian analitis digunakan untuk menerapkan beberapa analisis yang
berkaitan dengan penelitian dan menguji hipotesis-hipotesis, dengan cara menyusun data terlebih dahulu
(Nazir, 2009).
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara dengan para petani, pengusaha agroindustri, dan pihak-pihak terkait. Data
sekunder diperoleh dari literatur maupun tulisan atau laporan dari instansi terkait (BPS, Dinas Pertanian,
Bappeda, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dll).
Untuk menyusun strategi pengembangan sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek
dilakukan analisis SWOT. Sianipar (2003), menyebutkan bahwa analisis SWOT adalah suatu proses merinci
keadaan lingkunga internal dan eksternal guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
organisasi ke dalam kategori strenght, weaknesses, opportunities, dan threats sebagai dasar untuk
menentukan tujuan, sasaran dan strategi mencapainya. Analisis SWOT membandingkan antara faktor
eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strenght) dan
kelemahan (weaknesses). Langkah identifikasi faktor internal dan eksternal pada sistem agribisnis singkong
di Kabupaten Trenggalek kemudian dilanjutkan dengan melakukan pembobotan terhadap faktor-faktor yang
ada, sehingga dapat dirumuskan strategi pengembangan yang cocok untuk sistem agribisnis singkong di
Kabupaten Trenggalek .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Faktor-Faktor Kekuatan (S), Kelemahan (W), Peluang (O) dan Ancaman (T)
Terdapat 6 kekuatan yang diidentifikasi pada system agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek.
Strength (S)
S1 : Kesesuaian iklim. Musim hujan di Trenggalek berkisar antara bulan September s.d. April, sedangkan
kemarau antara bulan Mei s.d. Agustus. Singkong ditanam pada awal musim hujan, antara Oktober s.d.
Januari.
S2 : Kesesuaian lahan. BPS (2013), menyebutkan bahwa Trenggalek bagian selatan, barat laut dan utara,
memiliki lahan yang terdiri dari lapisan Mediteran yang bercampur dengan lapisan Grumosol dan Latosol,
bersifat kurang subur karena tidak mampu menyerap air dengan baik. Pada kondisi lahan kritis (kurang
subur) ini, hanya sedikit tanaman yang bisa tumbuh, salah satunya adalah singkong.
S3 : Teknik budidaya sederhana. Teknik budidaya singkong relatif sederhana, tidak membutuhkan
perawatan dan peralatan khusus. Bibitnya juga cukup diperoleh dari bagian batang tanaman yang telah
dipanen. Tanaman singkong jarang terserang hama atau penyakit yang menyebabkan gagal panen.
S4 : Penanaman singkong telah membudaya di masyarakat. Menanam singkong telah membudaya
dalam kehidupan masyarakat Trenggalek, sehingga masyarakat merasa ada yang kurang jika tidak
menanamnya. Walaupun telah terjadi pergeseran pola konsumsi, dari tiwul ke beras.
S5 : Ketersediaan tenaga kerja cukup. Kebutuhan tenaga kerja di sektor hulu (usahatani) cukup
dipenuhi oleh tenaga kerja dalam keluarga, atau dengan sistem gotong royong antar petani. Pada sektor
hilir, usaha singkong masih berskala rumah tangga, sehingga kebutuhan tenaga kerja cukup dipenuhi oleh
tenaga kerja sekitar tempat usaha dan para ibu rumah tangga yang bekerja borongan untuk mengupas
singkong.
S6 : Agroindustri berbahan baku singkong memiliki nilai tambah positif. Terdapat beragam
agroindustri berbahan baku singkong, baik agroindustri makanan maupun penepungan, yaitu chip mocaf,
tepung tapioka, tepung gaplek, gatot instan, tiwul instan, kripik singkong dan alen-alen. Agroindustri tapioka
merupakan agroindustri sudah lama diusahakan sekitar 30 tahun lalu, sedangkan chip mocaf baru
dikembangkan sejak tahun 2008. Berdasar data primer tahun 2013, nilai tambah tepung tapioka Rp 1248/kg
singkong dan chip mocaf Rp 934/kg singkong.
Weaknesess (W)
Terdapat 5 kelemahan yang diidentifikasi pada system agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek.
W1 : Produktivitas singkong rendah. Produktivitas singkong varietas local di Kabupaten Trenggalek pada
periode 2008 s.d. 2009 sekitar 22,2 ton per Ha. Walau pun produktivitas relatif tinggi dibandingkan daerah

91
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
lainnya, tapi jika dibandingkan dengan produktivitas berbagai varietas unggul singkong masih rendah.
Misalnya produktivitas ADIRA berkisar antara 25 s.d. 37,5 ton per Ha.
W2 : Peran kelembagaan kurang optimal. Pada era 2007-2008, Kabupaten Trenggalek telah
membentuk suatu desain kelembagaan untuk chip mocaf. Di mana desain kelembagaan ini telah
mengintegrasikan sektor hulu dan hilir dan menaunginya dengan kebijakan pemerintah yang mendukung
pengembangan agribisnis singkong. Akan tetapi peran kelembagaan mulai melemah menyebabkan cluster
chip mocaf yang terbentuk mulai berkurang dari 60 menjadi 5 cluster. Untuk tapioka dan produk lainnya
belum terdapat desain kelembagaan terintegratif sebagaimana chip mocaf.
W3 : Bahan baku singkong tidak tersedia secara kontinyu. Umur singkong siap panen 8 bulan. Di
Trenggalek, lokasi tanam singkong di lahan kritis yang minim unsur hara, sehingga umur panen rata-rata
hampir satu tahun. Singkong juga ditanam serentak di seluruh wilayah, sehingga terjadi fluktuasi produksi
yang cukup tajam, pada saat tidak ada singkong dan panen raya singkong.
W4 : Belum terstandarisasi proses produksi dan produk olahannya. Produk olahan singkong utama
di Kabupaten Trenggalek adalah tepung tapioka dan chip mocaf. Walau pun para pengusaha telah mendapat
pelatihan dari pemerintah, tapi tidak pernah dilakukan pendampinga, sehingga seringkali proses produksi
belum memenuhi standar ketentuan. Akibatnya produk olahannya juga tidak memenuhi standar.
W5 : Pendapatan usahatani singkong relatif rendah, walau pun masih menguntungkan.
Usahatani singkong masih menguntungkan. Berdasar data primer tahun 2013, nilai R/C ratio per Ha lahan
singkong sebesar 2,15. Akan tetapi pendapatan yang diterima dibanding usatani komoditas lainnya masih
rendah. Salah satunya karena harga jual relatif lebih rendah, sehingga daya saing dalam kompetisi lahan,
terutama pada lahan subur juga relatif rendah.
Opportunities (O)
Terdapat 4 peluang yang diidentifikasi pada system agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek.
O1 : Potensi pasar tepung tapioka dan mocaf tinggi. Hasil dari olahan produk singkong berupa mocaf
dan tepung tapioka memiliki potensi pemasaran hampir seluruh Indonesia .
O2 : Trend permintaan singkong (segar dan olahan) meningkat. Trend konsumsi singkong dalam
bentuk singkong segar dan singkong olahan mengalami peningkatan dalam periode tahun 2007 sampai
2012. Hal tersebut bisa dilihat dari data impor tapioka Indonesia yang terus mengalami peningkatan dalam
kurun waktu 5 tahun tersebut. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa seharusnya kebutuhan tapioka yang
dipenuhi dari pasokan dari negara lain bisa dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri salah satunya oleh hasil
produksi dari Kabupaten Trenggalek.
O3 : Konsumen antara singkong (segar dan olahan) banyak. Konsumen singkong yang ada di dalam
maupun di luar di Kabupaten Trenggalek jumlahnya tetap bahkan cenderung meningkat. Banyak industri
pangan maupun industri-industri besar lain yang menggunakan bahan dasar produknya dari hasil produksi
singkong maupun tepung dari Kabupaten Trenggalek.
O4 : Terdapat dukungan dari pihak diluar pemerintah daerah. Dukungan pihak luar terhadap
komoditas singkong cenderung terjadi pada agroindustri-agroindustri pengolahan singkong. Sentra
pengolahan tapioka pernah memperoleh berbagai bantuan dari lembaga pendidikan maupun dari pemerintah
untuk kegiatan operasional nya. Pada pengolahan mocaf juga banyak mendapat dukungan dari pihak dalam
maupun luar wilayah Kabupaten Trenggalek karena produk ini sangat potensial untuk mampu mencukupi
kebutuhan masyarakat akan tepung.
Threats (T)
Terdapat 5 ancaman yang diidentifikasi pada system agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek.
T1 : Terjadi anomali cuaca. Terjadinya isu global warming sudah tersebar sejak akhir tahun 1990 an.
Pada kenyataan nya isu ini nampaknya telah terasa saat ini. Ketidak normalan perubahan musim dialami
seluruh wilayah di bumi termasuk juga dialami oleh Kabupaten Trenggalek. Sumberdaya air banyak
mengalami kerusakan sebagai akibat dari perubahan musim dan kerusakan lingkungan yang terdasi. Hal
tersebut tentu mengakibatkan dampak negatif terhadap proses budidaya singkong yang mengakibatkan
terjadinya penurunan produksi singkong di Kabupaten Trenggalek.
T2 : Ketidakberpihakan Kebijakan Pemerintah Daerah terhadap Komoditas Singkong. Pemerintah
daerah Kabupaten Trenggalek periode sebelum tahun 2011 menetapkan singkong sebagai komoditas
unggulan Kabupaten Trenggalek. Sejak tahun 2011 sampai saat ini terjadi perubahan kebijakan karena
92
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
perubahan pemerintah daerah yang menjabat. Pemerintah di periode saat ini lebih memfokuskan komoditas
hortikultura sebagai komoditas unggulan daerahnya,sehingga membuat kurangnya dukungan dan perhatian
pemerintah terhadap komoditas singkong.
T3 : Daya saing singkong dengan komoditas pangan lain lemah. Pengusahaan tanaman perkebunan
seperti tanaman kayu yang marak akhir-akhir ini membuat banyak petani yang beralih atau tertarik untuk
mengusahakan tanaman selain singkong. Ditingkat harga, singkong memiliki posisi yang kurang kompetitif
dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya. Dengan kisaran harga antara Rp. 600 – Rp. 1000 per kg.
Persaingan harga dan kebutuhan konsumen akan singkong dan komoditas lainnnya membuat singkong
mengalami ancaman sehingga dibutuhkan inovasi dan peningkatan produksi singkong agar singkong mampu
tetap bertahan diantara kompetisi yang terjasi ini.
T4 : Kurang pengawasan dan pembinaan dari instansi terkait. Berbagai bentuk pelatihan dan
bantuan terhadap budidaya maupun agroindustri singkong telah banyak diberikan terutama oleh dinas-dinas
yang ada di Kabupaten Trenggalek seperti Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Koperasi
Industri Perdagangan Pertambangan dan Energi. Seluruh bentuk bantuan dan pelatihan yang diberikan
terkait dengan komoditas singkong baik ditingkat usahatani maupun agroindustri tidak terlaksana secara
maksimal dikarenakan tanpa dilakukan kegiatan pengawasan dan pendampingan setelah program yang
diberikan berakhir. Akibatnya seluruh bentuk bantuan dan pelatihan tidak dapat memberikan manfaat yang
maksimal kepada penerimanya karena mereka tidak didampingi dan diawasi secara terus menerus.
T5 : Trend impor tapioka meningkat. Data Kementerian Pertanian Republik Indonesia Tahun 2012
menjelaskan bahwa terjadi peningkatan impor tapioka dari kurun waktu 2002-2011. Adanya peningkatan
impor tapioka memberikan ancaman terhadap produksi tapioka karena harga dan kualitas tapioka impor dan
tapioka produksi lokal bersaing dipasaran.
Berdasarkan penjabaran faktor-faktor internal dan eksternal dari sistem agribisnis singkong di Kabupaten
Trenggalek, terdapat 6 kekuatan, 5 kelemahan, 4 peluang dan 5 ancaman. Dari seluruh faktor tersebut,
dapat dibuat matrik faktor internal (IFAS) dan matrik faktor eksternal (EFAS) yang di dalamnya tercantum
bobot dan rating penelitian. Berikut adalah matrik faktor internal (IFAS) dan matrik faktor internal (EFAS):
Tabel 1. Matrik Evaluasi Faktor Internal Sistem Agribisnis Singkong di Kabupaten Trenggalek
No. Faktor – Faktor Internal Bobot Rating Nilai
1. Kekuatan:
Kesesuaian iklim 0,12 4 0,48
Kesesuaian lahan 0,12 4 0,48
Teknik budidaya sederhana 0,06 2 0,12
Penanaman singkong telah membudaya di masyarakat 0,06 2 0,12
Ketersediaan tenaga kerja cukup 0,06 2 0,12
Agroindustri berbahan baku singkong memiliki nilai tambah positif 0,12 4 0,48
Subtotal Nilai : 0,55 18 1,82
2. Kelemahan:
Produktivitas singkong rendah 0,11 2 0,23
Peran kelembagaan kurang optimal 0,06 1 0,06
Bahan baku singkong tidak tersedia secara kontinyu 0,06 1 0,06
Belum terstandarisasi proses produksi dan produk olahannya 0,17 3 0,51
Pendapatan usahatani singkong relatif rendah, walaupun masih 0,06 1 0,06
menguntungkan
Subtotal Nilai : 0,45 8 0,91
Jumlah Total Nilai : 1,00 26 2,73

93
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 2. Matrik Evaluasi Faktor Eksternal Sistem Agribisnis Singkong di Kabupaten Trenggalek
No. Faktor – Faktor Eksternal Bobot Rating Nilai
1. Peluang
1. Potensi pasar olahan singkong tinggi 0,15 4 0,59
2. Trend konsumsi singkong (segar dan olahan) Indonesia 0,07 2 0,15
meningkat
3. Konsumen antara singkong (segar dan olahan) banyak 0,15 4 0,59
4. Terdapat dukungan dari pihak diluar pemerintah daerah 0,07 2 0,15
Subtotal Nilai : 0,44 12 1,48
2. Ancaman
1. Terjadi anomali cuaca 0,19 2 0,37
2. Ketidakberpihakan Kebijakan pemerintah daerah terhadap 0,09 1 0,09
singkong
3. Daya saing singkong dengan komoditas pangan lain lemah 0,09 1 0,09
4. Kurang pengawasan dan pembinaan dari instansi terkait 0,09 1 0,09
5. Trend impor tapioka meningkat 0,09 1 0,09
Subtotal Nilai : 0,56 6 0,74
Jumlah Total Nilai : 1 18 2,22

Dari hasil analisis faktor internal dan eksternal pada sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek,
kemudian dianalisis dalam matrik kompetitif relatif dan matrik internal-eksternal sebagai berikut:

EFAS 4
WHITE GREY
AREA AREA
High 2,22
2 GREY
AREA BLACK
AREA
Low
0 2,73
4 2 0
High Low IFAS

Gambar 1. Matrik Posisi Kompetitif Relatif Sistem Agribisnis Singkong di Kabupaten Trenggalek

Berdasarkan hasil analisis SWOT pada matrik posisi kompetitif relatif diperoleh nilai IFAS sebesar 2,73 dan
nilai EFAS sebesar 2,22, setelah dimasukkan kedalam matrik kompetitif relative dapat dilihat pada Gambar 1.
bahwa sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek berada pada White Area, (bidang kuat
berpeluang) artinya sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek memiliki peluang pasar yang
prospektif dan juga memiliki kompetensi untuk mengerjakan usaha tersebut. Sistem agribisniss singkong di
Kabupaten Trenggalek memiliki peluang namun terkendala masalah eksternal, seperti dukungan pemerintah
daerah terkait kebijakan pengembangan produksi singkong di Kabupaten Trenggalek dan juga daya saing
komoditas singkong dengan komoditas pangan lainnya.
Analisis internal-eksternal dapat digunakan untuk melihat strategi yang tepat untuk diterapkan dalam
mengembangkan sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek. Berikut adalah hasil analisis mastrik
internal-eksternal pengembangan sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek.

94
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
I II III
Pertumbuhan Pertumbuhan Penciutan

2 1 IV V Pertumbuhan/ VI
4 3 2,73 2 1
E 2,2 Stabilitas Stabilitas Penciutan
IFAS
F 2
A
3
S
VII VIII IX
Pertumbuhan Pertumbuhan Likuiditas

Gambar 2. Matrik Internal Eksternal Sistem Agribisnis Singkong di Kabupaten Trenggalek

Berdasarkan matrik internal-eksternal dapat diketahui bahwa sistem agribisnis singkong di


Kabupaten Trenggalek berada pada daerah V atau pertumbuhan/stabilitas. Posisi ini menunjukkan bahwa
agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek berada diposisi yang stabil artinya kegiatan usahatani maupun
agroindustri untuk komoditas singkong mampu terus bertahan untuk melakukan proses produksinya
sepanjang tahun.
Untuk mengetahui strategi terpilih yang tepat untuk pengembangan sistem agribisnis singkong di
Kabupaten Trenggalek dapat dilakukan dengan cara membuat matrik analisis grand strategy berdasarkan
jumlah nilai terbesar dari masing-masing faktor. Analisis grand strategy ini dibagi menjadi empat strategi
yaitu SO, WO, ST dan WT. Berikut adalah penjabaran dari setiap strategi.

Tabel 3. Matrik Grand Strategy Sistem Agribisnis Singkong di Kabupaten Trenggalek


STRENGTH (S) WEAKNESS (W)
Kesesuaian iklim Produktivitas singkong rendah
Kesesuaian lahan Tidak terdapat kelembagaan
IFAS Teknik budidaya sederhana penaung
Penanaman singkong telah membudaya Bahan baku singkong tidak
di masyarakat tersedia secara kontinyu
Ketersediaan tenaga kerja cukup Kualitas produk olahan singkong
Banyak agroindustri berbahan baku kurang baik
EFAS singkong Pendapatan usahatani singkong
rendah
OPPORTUNITIES (O) Strategi S-O Strategi W-O
Potensi pasar olahan Membangung jaringan informasi pasar Menerapkan sistem lumbung
singkong tinggi singkong dan produk olahannya sampai pangan atau bekerja sama
Trend konsumsi singkong ke luar daerah dengan instansi pemerintah
(segar dan olahan) Indonesia Menarik dan mempermudah masuknya terkait sebagai buffer stock
meningkat investor luar daerah dalam hal singkong Meningkatkan penerapan GMP
Konsumen antara singkong Membina dan mengembangkan pada agroindustri singkong yang
(segar dan olahan) banyak agroindustri yang sudah ada ada guna meningkatkan kualitas
Terdapat dukungan dari Mempromosikan singkong dan produk produk
pihak diluar pemerintah olahannya sebagai produk unggulan Mengadakan kerjasama dengan
daerah daerah pihak luar dalam kegiatan
peningkatan input produksi
seperti pupuk
Melakukan instensifikasi dan
ekstensifikasi singkong

95
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

THREATHS (T) Strategi S-T Strategi W-T


Terjadi anomali cuaca Bekerjasama dengan lembaga Mensosialisasikan secara
Ketidakberpihakan Kebijakan penelitian, perguruan tinggi untuk kontinyu penggunaan bibit
pemerintah daerah terhadap meningkatkan teknik budidaya dan unggul kepada petani singkong
singkong tanaman singkong dalam menghadapi Membentuk dan mengaktifkan
Daya saing singkong dengan anomaly iklim kelembagaan penaung
komoditas pangan lain lemah Membuat kebijakan-kebijakan yang Memperbaiki mutu tapioka
Kurang pengawasan dan memberikan petani dan pelaku dengan penerapan GMP
pembinaan dari instansi agroindustri singkong insentif sehingga
terkait dapat bersaing dengan tanaman
Trend impor tapioka pangan lain
meningkat Melakukan pengawasan dan pembinaan
rutin baik dalam hal usahatani maupun
agroindustri
Membina dan mengarahkan agroindustri
yang ada untuk menggunakan bahan
baku tapioka local kabupaten
Trenggalek

SIMPULAN

Strategi pengembangan sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek dengan analisis SWOT
teridentifikasi terdapat erdapat 6 faktor kekuatan, 5 faktor kelemahan, 4 faktor peluang dan 5 faktor
ancaman. Nilai IFAS sebesar 2,73 dan nilai EFAS sebesar 2,22 sehingga sistem agribisnis singkong di
Kabupaten Trenggalek berada pada posisi White Area (bidang kuat berpeluang), artinya sistem agribisnis
singkong di Kabupaten Trenggalek memiliki peluang yang prospektif dan memiliki kompetensi untuk
mengerjakannya. Selain itu sistem agribisnis singkong di Kabupaten Trenggalek berada pada
posisipertumbuhan atau stabilisasi. Grand strategi dalam rangka pengembangan sistemagribisnis singkong di
Kabupaten Trenggalek adalah dengan peningkatan produksi singkong lewat intensifikasi dan ekstensifikasi,
peningkatan peran pemerintah melalui kebijakan standarisari dan pendampingan pemerintah terhadap
kegiatan usahatani dan agroindustri singkong serta penganekaragaman agroindustri olahan singkong.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Trenggalek. 2013. Kabupaten Trenggalek dalam Angka. Trenggalek: Badan
Pusat Statistik
Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan Ubi Kayu 2013. Jakarta: Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan Kementerian Pertanian.
Nazir, Moh. 2009. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia
Rangkuti, F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Sianipar. 2003. Teknik-Teknik Analisis Manajemen. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI
Yulifianti, Rahmi dkk. 2012. Tepung Kasava Modifikasi Sebagai Bahan Subtitusi Terigu Mendukung
Diversifikasi Pangan. Palawija, (23), 1-12
Sumber tesis:
Hartono, Stefani. 2012. Optimasi Formula dan Proses Pembuatan Muffin Berbasis Substitusi Tepung
Komposit Jagung dan Ubi Jalar Kuning.Skripsi dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor

96
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
15.STRATEGI PENGEMBANGAN SUPPLY CHAIN RUMPUT LAUT DI
KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU
Oleh
Ery Supriyadi R.1) , Ina Primiana 2), Inem Ode 3), Anita Padang 4)
1
Lembaga Pengkajian Perkoperasian, Institut Koperasi Indonesia, 2Fakultas Ekonomi , Universitas Padjadjaran,
3
Fakultas Perikanan, Universitas Darussalam,
Email:erysupriyadi354q@gmail.com

ABSTRAK

Penguatan peran Indonesia sebagai negara penghasil produk rumput laut didekati dengan memperkuat
posisi dalam rantai nilai dari hulu hingga hilir industri, sehingga tercipta integrasi vertikal komoditas unggulan
pada koridor ekonomi Papua-Maluku. Untuk mencapai maksud ini, dalam jangka pendek, sedikitnya terdapat
tiga hal penting yang menjadi focus yang perlu diidentifikasi secara mendalam, yaitu menemukenali faktor
penghambat pada rantai pasokan (upstream dan down stream) pemasaran rumput laut, menghitung biaya
logistik rantai pemasaran rumput laut dari tingkat pembudidaya sampai ke industri, dan menghitung biaya
logistik yang dikeluarkan oleh industri rumput laut ke konsumen. Selanjutnya dalam jangka panjang, tersedia
rumusan strategi pengembangan rantai pasokan yang berujung pada upaya meningkatkan daya saing
industri, tereliminasi hambatan dan kendala yang dihadapi, tersederhanakan prosedur birokrasi guna
menekan ekonomi biaya tinggi, dan teridentifikasi infrastruktur sesuai kebutuhan industri yang dapat
mereduksi biaya logistik pengembangan produk rumput laut di daerah. Teknik pengumpulan data
menggunakan survey, wawancara dan Focus Group Discussion dan didukung sejumlah instrumen penelitian.
Pengolahan menggunakan analisis univariat maupun bivariat menghasilkan table analisis situasi lingkungan
internal dan eksternal maupun rumusan dan peta strategi pengembangan rantai pasokan rumput laut.
Penelitian menemukan simpulan bahwa pengembangan supply chain rumput laut dengan Porter Generic
Strategic di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku merupakan suatu system rantai pasokan logistic
yang saling berkaitan dengan ekonomi regional yang membangun konfigurasi jaringan logistic intra dan inter
regional.

Kata kunci: konfigurasi, koridor ekonomi, regional, rumput laut, supply chain

ABSTRACT

Strengthening role of Indonesia as a producer country of seaweed be approached by strengthening position


in value chain from upstream to downstream industries and creating vertical integration commodity in
economic corridor of Papua - Maluku. To achieve this purpose, in the short term , at least there are three
important things to focus in depth to be identified, namely identify factors which is bottleneck in supply chain
(upstream and downstream) marketing seaweed, calculate cost of marketing logistics chain of seaweed
farmers until industry level , and calculate logistics costs incurred by consumer to seaweed industry.
Furthermore, in the long run, provided formulation of supply chain development strategy led to efforts to
improve competitiveness of industry, eliminated barriers and obstacles encountered, simplified bureaucratic
procedures in order to reduce high-cost economy, and identified infrastructure as needed by industry to
reduce the cost of logistics development of seaweed products in the region. Techniques of data collection
used surveys , interviews and focus group discussions and supported a number of research instruments.
Processing data used univariate and bivariate analyzes obtained table analysis of internal and external
environmental situation as well as formulation and development strategy map of supply chain seaweed.

97
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
The study found that development of supply chain of seaweed based on Porter Generic Strategic in Seram
District, Maluku is a supply chain logistics system while interconnected with regional economy that build
logistics network configuration of intra and inter regional system.
Keywords : configuration, economic-corridor, regional, seaweed, supply chain.

PENDAHULUAN
Kabupaten Seram Bagian Barat merupakan salah satu daerah sentra produksi rumput laut
(Eucheuma cotonii) di Provinsi Maluku. Rumput laut juga merupakan salah satu produk unggulan perikanan
yang sedang dikembangkan di provinsi Maluku. Hal ini disebabkan karena provinsi Maluku merupakan
provinsi kepulauan yang luas wilayah lautnya 94% dan daratan 6%, sehingga memungkinkan
pengembangan usaha budidaya rumput laut dilakukan secara besar-besaran sehingga dapat meningkatkan
taraf hidup masyarakat pesisir.
Beberapa tahun terakhir ini, aktivitas logistik yang merupakan bagian dari rantai pasokan supply chain
rumput laut (Eucheuma cotonii) menjadi perhatian dalam perdagangan internasional. Harga kompetitif dari
produk rumput laut tidak terlepas dari beban biaya logistik yang ditanggung dan berdampak pada daya
saing. Rendahnya daya saing produk rumput laut Indonesia salah satunya adalah karena tingginya biaya
logistik. Selain biaya logistik, permasalahan yang muncul terkait dengan logistik adalah lamanya waktu kirim.
Hal ini antara lain disebabkan karena prasarana logistik ada yang masih konvensional (jalan, pelabuhan, dan
hubungan antar daerah) serta belum terbangunnya konektivitas antar satu lokasi dengan lokasi lainnya yang
menghubungkan antara pusat-pusat produksi dengan pasar/ pusat konsumsi. persiapan terlebih dahulu
semakin menambah terpuruknya industri dalam negeri.
Pada laporan World Economic Forum 2011-2012, kualitas infrastruktur Indonesia berada pada
peringkat 76 dari 142 negara, bandingkan dengan Malaysia yang berada di peringkat 26 (WEF, 2011). Hasil
penilaian Logistic Performance Index 2010, Indonesia mengalami penurunan peringkat dari peringkat ke 43
di tahun 2007 menjadi peringkat 75 di tahun 2010 (UNESCAP, 2011). Menurunnya daya saing produk-produk
dalam negeri sejak beberapa tahun terakhir diperparah dengan dibukanya perjanjian ACFTA yang tanpa
persiapan terlebih dahulu semakin menambah terpuruknya industri dalam negeri. Data menunjukkan bahwa
sejak tahun 2007 terjadi pengurangan jumlah perusahaan dihampir seluruh sektor baik di pulau Jawa
maupun diluar pulau Jawa, dari total 29.468 pada tahun 2006, menjadi 27.998 pada tahun 2007, dan terus
menurun menjadi 24.445 pada tahun 2010 (BPS, 2011). Selain itu terjadi pula penurunan tenaga kerja yang
bekerja di industri manufaktur.
Koridor Ekonomi Papua - Maluku berpotensi untuk berkembang dalam rantai nilai ekonomi berbasis
manufaktur. Salah satu kegiatan ekonomi utama dalam Koridor Ekonomi Papua- Maluku adalah rumput laut,
sebuah industri yang menyumbang perekonomian cukup signifikan baik dari nilai PDB maupun serapan
tenaga kerjanya. Penguatan infrastruktur rantai pasokan untuk mendukung tujuan MP3EI Koridor Ekonomi
Papua-Maluku tersebut perlu dilakukan sehingga dua aspek kinerja rantai pasokan, pemenuhan kebutuhan
pasar dan efisiensi logistik, dapat tercapai.
Penelitian bertujuan untuk (1) Mengetahuifaktor-faktor yang menjadi penghambat pada rantai pasokan
(upstream dan down stream) pemasaran rumput laut Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku; (2)
Menghitung biaya logistik rantai pemasaran rumput laut dari tingkat pembudidaya sampai ke industry, (3)
Merumuskan strategi peningkatan kinerja rantai pasokan industri rumput laut, meningkatkan kelancaran
logistik dan daya saing.
Penelitian ini bermanfaat terhadap teridentikasikannya faktor penghambat rantai pasokan rumput
laut, struktur biaya logistik rumput laut, analisis terhadap efisiensi rantai pasokan rumput laut, dan disain
konektivitas optimal rumput laut merupakan hasil yang ingin dicapai dari penelitian ini. Hasil tersebut
diharapkan bisa menjadi dasar perumusan strategi peningkatan kinerja rantai pasokan rumput laut dalam
rangka penguatan penguasaan pasar rumput laut domestik maupun penguatan posisi industri rumput laut
dalam rantai nilai upstream maupun downstream yang merupakan permasalahan dominan dalam kerangka
MP3EI.Industri pengolahan rumput laut yang memanfaatkan zat karaginan, agar dan alginat dari rumput laut
merupakan salah satu industri prioritas nasional yang masih prospektif untuk dikembangkan. Dengan
populasi lebih dari 240 juta penduduk, Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial. Laporan World

98
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Economic Forum (WEF) 2012 menempatkan Indonesia sebagai pasar potensial di dunia pada peringkat 15
dari 139 negara.
Perkembangan pasar rumput laut di perdagangan global menunjukkan trend kenaikan yang cukup
tinggi, seiiring dengan peningkatan kebutuhan bahan baku industri baik untuk food grade, pharmaeutical
maupun industryal grade. Pertumbuhan penduduk dunia yang semakin pesat dan Kompleksitas nilai guna
rumput laut yang begitu besar sebagai penunjang kebutuhan hidup masyarakat dunia, maka tidak heran
memang jika saat ini rumput laut menjadi komoditas yang prospektif dan telah menjadi bagian dari
kebutuhan global. Bicara peluang terhadap pasar perdagangan rumput laut dunia, Indonesia berada pada
posisi yang mempunyai peluang besar dalam memasok kebutuhan bahan baku rumput laut. Sebagai
gambaran Tahun 2010 peluang kebutuhan rumput laut Eucheuma cottonii dunia mencapai 274.100 ton,
dimana Indonesia mempunyai peluang memberikan kontribusi ekspor sebesar 29,19% atau sekitar 80.000
ton.
Produksi rumput laut diproyeksikan rata-rata meningkat pertahun sebesar 32 % (dari Tahun 2010-
2014) atau meningkat sebesar 392% dari Tahun 2009 ke Tahun 2014. Proyeksi tersebut masing-masing
berturut-turut Tahun 2009 diproyeksikan meningkat menjadi sebesar 2.574.000, Tahun 2010 sebesar
2.672.800 ton, Tahun 2011 sebesar 3.504.200 ton, Tahun 2012 sebesar 5.100.000 ton, tahun 2013 sebesar
7.500.000 ton dan Tahun 2014 sebesar 10 juta ton. Data statistik menunjukkan bahwa Tahun 2010 produksi
rumput laut Nasional mencapai 3.082.113 ton mengalami kenaikan rata-rata sebesar 23% per tahun. Nilai ini
mampu melampaui target/sasaran produksi Tahun 2010 sebesar 15 % dari target di Tahun yang sama
sebesar 2.672.800 ton. Nilai tersebut tentunya menjadi salah satu indikator bahwa langkah menuju target 10
juta ton di Tahun 2014 sangat optimis untuk dicapai. Total produksi rumput nasional tersebut masih
didominasi oleh 6 (lima) besar Provinsi utama penghasil rumput laut berturut-turut Sulawesi Selatan, NTT,
Bali, Sulawesi Tengah, Maluku dan NTB.
Supply Chain Logistics adalah arus material, informasi dan uang antara perusahaan-perusahaan
(Frazelle, 2002). Supply chain adalah jaringan fasilitas yang dimulai dari pemasok hingga pelanggan adapun
logistics adalah apa yang terjadi pada supply chain. Fluktuasi ekonomi global dan lokal yang berkelanjutan
telah meningkatkan tekanan pada industri. Supply chain tertantang untuk memberikan kegiatan operasional
terbaik, ramping /efisien, hemat biaya/efektif dan pengiriman tepat waktu. Siklus hidup produk menjadi
semakin singkat ; Pasar, pasokan dan kegiatan operasi menjadi semakin progressive.
Hasil survei Industry Week (2003) menunjukkan Supply chain merupakan kunci penting untuk bertahan
dan berkembang kegiatan usaha. Hasil survei tersebut menunjukkan (1). Meningkatnya outsourcing dan
kemitraan pada supply chain, menunjukkan tantangan besar dalam mengelola permintaan dan penawaran,
serta pengendalian persediaan, (2) Tepat waktu dan akurat adalah penting untuk memenuhi kebutuhan
tingkat pelayanan (service level) pelanggan, (3) Berkurangnya inovasi produk murni (Pure innovations
product), (4) Kinerja supply chain yang inovatif ditunjukkan oleh permintaan yang stabil . Terjadi evolusi
supply chain dari perusahaan yang statis, tidak terintegrasi, optimalisasi fungsional, proses integrasi
horisontal dan kolaborasi eksternal menuju ke visi model permintaan rantai nilai yang terintegrasi melalui
proces end-to-end di seluruh bisnis dan dengan mitra kunci yaitu pemasok dan pelanggan. Survei
menunjukkan banyak perusahaan yang mempercepat keunggulan fungsional ke horisontal proses integrasi
dengan berkonsentrasi pada proses rantai nilai tunggal. Ada juga beberapa kemajuan dalam kolaborasi
eksternal dengan partner supply chain.
Sejumlah artikel (Barratt Oliveira and 2001; Boyer, Leong, Ward dan Krajewski 1997; Das and
Handfield 1997; and Dewett Jones 2001; Frohlich and Westbrook 2001; Frohlich dan Westbrook 2002; Hill
and Scudder 2002; and Lejeune Yakova 2005; Mentzer, and Foggin Golicic 2000; Shah, Meyer-Goldstein and
Ward 2002; Tang and Tang 2002) meneliti hubungan antara meningkatkan koordinasi supply chain dan daya
saing, antara lain dengan meningkatkan pemahaman akan persyaratan, kapasitas, kapabilitas, dan
keterbatasan dari entitas yang ada dalam supply chain.
Newman, Hanna, Gattiker and Huang Ware (1998) memperkenalkan Model Kualitas untuk Manajemen
Supply chain bersama-sama dengan Fisher 1997; Krause and Ellram 1997; Lejeune and Yakova 2005;
Monczka, Nichols, and Callahan 1992; Spekman et al. 1998 yang menunjukkan bahwa pemahaman terhadap
spesifikasi kebutuhan pelanggan dalam jangka panjang atau pemahaman terhadap

99
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Perbaikan dengan melibatkan entitas akan memperbaiki proses atau penambahan nilai pada satu atau lebih
entitas dalam supply chain. Penelitian yang menggambarkan kolaborasi entitas pada supply chain akan
menciptakan nilai (Beamon and Ware 1998;Boyer, Newman and Hanna 2000;Choi 1995; Dixon, Arnold,
Heineke,Kim and Mulligan 1994; Lejeune and Yakova 2005; Van Hoek 1998). Penelitian lain memberikan
bukti bahwa kolaborasi manajemen supply chain berdampak positif terhadap seperangkat produk layanan
(Bonner 2005; Choy, Lee, Lau, So and Victor Lo 2004; Petersen, Handfield and Ragatz 2005; Tracey 2004).
Supply chain adalah keterpaduan antara aktivitas pengadaan bahan baku, konversi bahan baku
menjadi barang setengah jadi dan barang jadi hingga menyampaikannya pada pelanggan. Keterpaduan
aktivitas tersebut juga meliputi pembelian ditambah beberapa aktivitas penting dalam hubungannya dengan
pemasok dan distributor. Manajemen rantai pasokan meliputi (1) transportasi pemasok, (2) arus kredit atau
tunai, (3) para pemasok, (4) distributor dan bank, (5) hutang dan piutang, (6) gudang dan tingkat
persediaan, (7) pemenuhan pesanan, (8) berbagi informasi dengan pelanggan.
Logistics terdiri dari lima aktivitas yang saling berpengaruh yaitu customer response, inventory planning and
management, supply, transportation dan warehousing (Frazelle, 2002), (1) Customer Response dikatakan
optimal bila Customer Service Policy (CSP) menghasilkan biaya terendah dari total penjualan, biaya
penyimpanan dan biaya distribusi, (2) Inventory Planning and Management (IP&M) adalah menetapkan dan
mempertahankan tingkat persediaan terendah yang memenuhi kebutuhan pada Customer Service Policy
(CSP), (3) Supply adalah menetapkan persediaan sesuai target yang ditetapkan pada Inventory Planning,
tujuan dari manajemen Supply adalah meminimalkan Total Acquisition Cost (TAC) yang memenuhi
ketersediaan, waktu respon dan kebutuhan kualitas yang ditentukan pada Customer Service Policy dan
Inventory Master Plan, (4) Transportation, tujuan transportasi adalah mengantar point-to point dengan biaya
terendah, (5) Warehousing, keberadaannya pada nomor 5 dari logistics activities, karena perencanaan yang
baik dapat menghilangkan kebutuhan warehousing atau dapat dengan outsourcing.
Dalam konteks perdagangan internasional, daya saing suatu komoditas dalam pasar global
dipengaruhi juga oleh daya saing pelabuhan.Menurut Tongzon (2004), daya saing pelabuhan ditentukan oleh
delapan faktor; (1) tingkat efisiensi operasi pelabuhan, (2) biaya penanganan kargo di pelabuhan, (3)
keandalan, (4) preferensi pemilihan pelabuhan oleh pemilik armada/pemilik barang, (5) daya tampung
(ukuran kapal yang bisa bongkar muat) di pelabuhan, (6) kemampuan beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan pasar, (7) kemampuan akses ke transportasi darat, dan (8) diferensiasi produk(Tongzon 2004).
Studi mengenai “Strategi Pengembangan Supply Chain Rumput Laut (Eucheuma cotonii) di
Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku” menggunakan pendekatan supply chain sehingga
dapat dilakukan analisis hulu hingga hilir rumput laut di lokasi penelitian dan diketahui berbagai hambatan
atau kendala yang terjadi selama ini terjadi termasuk biaya-biaya yang harus ditanggung pengusaha
sepanjang rantai pasokan (biaya logistik). Studi ini dapat dijadikan dasar kebijakan guna penguatan industri
rumput laut berdaya saing.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahap yaitu (1) tahap persiapan (studi literatur, kajian data
sekunder, desain penelitian dan survey), (2) tahap pengumpulan data dan analisis,(3) tahap panalisis hulu-
hilir, analisis biaya logistic , dan (4) tahap rumusan strategi pengembangan rantai pasokan rumput laut.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai kinerja rantai
pasokan dan biaya logistik yang harus dikeluarkan oleh industri rumput laut, baik di sektor hulu
(upstream) maupun sektor hilir (downstream). Pendekatan yang bersifat kuantitatif yang kemudian didukung
oleh pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara melakukan survey pada pembudidaya rumput laut,
pengepul, eksportir dan industri rumput laut. Sementara itu, pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara
melakukan wawancara mendalam serta Focus Group Discussion (FGD).
Data primer diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian melalui analisis statistika deskriptif dan analisis
SWOT. Studi lapangan dilakukan dalam upaya mendapatkan informasi tentang kekuatan, kelemahan serta
lingkungan industri dan makro yang dihadapi oleh pengusaha rumput laut yang ada di koridor Papua-Maluku.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan berupa (a) kuesioner, yaitu daftar pertanyaan terstruktur yang
ditujukan kepada responden dalam hal ini pengusaha Rumput laut yang terpilih sebagai sampel, (b) Focus
Group Discussion (FGD), digunakan sebagai dukungan terhadap hasil pengumpulan data hasil survey dengan
100
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
kuesioner dan wawancara, untuk memperkuat hasil analisa. Pengolahan data menggunakan SPSS untuk
mengidentifikasi komponen-komponen biaya logistik dan dianalisis secara univariat maupun bivariat (cross-
tabulation), dan didukung dengan: (i) Situation Analysis, (ii) Analysis SWOT dan; (iii) analisis strategi dengan
menggunakan Porter Generic Strategic/Strategic Clock

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Pelaku Usaha dan Budidaya Rumput Laut Di Seram Barat
Kabupaten Seram Bagian Barat merupakan salah satu kabupaten yang merupakan sentra produksi
rumput laut di Provinsi Maluku. Kabupaten Seram Bagian Barat sebagian besar terletak di wilayah Pulau
Seram. Kabupaten yang berdiri sejak tahun 2003 ini, pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah, secara
geografis terletak antara: 20° 55‟- 30° 30‟Lintang Selatan dan 127°29‟ - 128°45‟ Bujur Timur. Kabupaten
Seram Bagian Barat dibatasi oleh Laut Seram di sebelah utara, Laut Banda di sebelah selatan, Laut Buru di
sebelah barat, dan Kabupaten Maluku Tengah di sebelah timur (BPS Kabupaten SBB, 2011). Dari ibu kota
provinsi Maluku (kota Ambon) ke lokasi penelitian berjarak ± 140 Km dengan waktu tempuh ± 4-5 jam.
Karena letaknya yang terpisah dengan pulau Ambon maka untuk mencapai lokasi penelitian dapat ditempuh
lewat darat dan kemudian menyeberang pulau dengan menggunakan Kapal Motor atau Feri.
Kabupaten Seram Bagian Barat secara geografis memiliki luas daratan sebesar 6.948,40 km 2 yang terbagi
atas 11 (sebelas) kecamatan (BPS Kabupaten SBB, 2011). Pengambilan data dilakukan pada 4 daerah pesisir
di kabupaten Seram Bagian Barat yang merupakan sentra produksi rumput laut yakni Dusun Kotania, Dusun
Wael, Dusun Pulau Osi dan Desa Nuruwe. Ketiga dusun tersebut berada dalam satu kecamatan yakni
kecamatan Seram Barat sedangkan desa Nuruwe berada pada kecamatan Kairatu.
Rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat yakni di dusun
Pulau Osi, dusun Wael, dusun Kotania dan desa Nuruwe adalahjenis rumput laut penghasil karaginan yaitu
Eucheuma cottonii. Kegiatan budidaya telah dilakukan sejak tahun 2000 sampai sekarang. Sebagian besar
metode budidaya yang digunakan adalah metode rawai (longline) dan metode rakit apung. Rumput laut yang
dihasilkan biasanya dijual oleh nelayan pembudidaya ke pengepul setempat dalam bentuk rumput laut kering
dengan metode Budidaya Rawai/longline (a) dan Metode budidaya Rakit Apung (b).

Nelayan Pembudidaya Rumput Laut dan Pengepul


Nelayan pada lokasi penelitian mayoritas adalah laki-laki (91,67%), dimana usaha rumput laut
tersebut hanya 25% merupakan usaha turun temurun dan sisanya 75% bukan usaha turun temurun, serta
89,58% tidak berbadan usaha. Dari nelayan memiliki ijin dan yang berbadan usaha sebesar 10,42%
dilakukan oleh masyarakat melakukan usaha sejak tahun 2000 dengan sebaran 60,42% dari nelayan baru
memulainya kurang lebih 7 tahun dan sebanyak 39,58% sudah lebih dari 7 tahun. Selanjutnya rata-rata
penjualan rumput laut per bulan di tahun 2012 lebih dari 50% nelayan menjual hingga 250 kg, adapun
sisanya 20,83% nelayan menjual diantara 251-500, dan sebanyak 25% dari nelayan memiliki rata-rata
penjualan lebih dari 500 kg perbulan. Pengepul rumput laut yang berada di Kabupaten Seram Bagian Barat
menunjukkan bahwa mayoritas dari nelayan adalah laki-laki (88%) dan mereka menjadi pengepul rata-rata
baru 7 tahun yaitu sejak tahun 2005. Dari seluruh pengepul seluruhnya menyatakan bukan usaha turun
temurun dan mayoritas (88%) tidak berbadan usaha.
Pemasaran dari Sisi Nelayan dan Pengepul
Rumput laut yang diproduksi pemasarannya dilakukan dalam beberapa cara. Penjualan produk rumput laut di
daerah Seram Bagian Barat pada tiga tahun terakhir sebanyak 47,92% mengalami peningkatan, 27,08%
stabil dan 25% mengalami penurunan penjualan. Adapun alasan terjadinya peningkatan meliputi (a)
kondisiperairan, (b) pertumbuhanrumputlaut,(c) Musim, (d) kondisialammendukunguntukbudidaya, (e)
kapasitasbudidayayang meningkat, (f) keberadaanpengepuldariluarwilayah. Selanjutnya alasan pertumbuhan
relatif stabil meliputi (a) penetapanhargadaripengepul di bawahstandar, (b) keadaanalammendukung
danhargarumputlautkadangnaikdanturun, (c) kapasitasbudidaya yang kecil, (d) tingkat keberhasilanpanen,
(e) tingkat ketersediaan bahanbaku. Sedangkan alasan terjadinya penurunan penjualan rumput laut meliputi
(a) faktor musim, (b) pencemaranperairandanpenyakitrumputlaut, (c) distorsiharga di tingkatpengepul, (d)
rumputlautterinfeksipenyakit, dan (e) keberadaan predator rumputlautPara nelayan di daerah Seram Bagian
Baratsama sekali tidak pernah melakukan pemasaran atau 100% dari rumput laut dijual melalui
101
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
agen/pengepul. Hal ini sebetulnya yang menyebabkan keuntungan yang diperoleh para nelayan menjadi
kecil. Meskipun demikian, masih pula terdapat sejumlah hasil budidaya yang dijual di tingkat lokal (22,92%)
sedangkan sisanya di luar kota (47,92%) dan sisanya nelayan tidak mengetahui kemana wilayah pemasaran
rumput laut tersebut. Hal ini menunjukkan tingginya peran pengepul dalam memasarkan produk rumput laut.
Kondisi pemasaran rumput laut yang dihadapi oleh masyarakat di Seram Bagian Barat dapat
menggambarkan bagaimana keberlanjutan usaha rumput laut. Sebanyak 56,25% nelayan menyatakan
bahwa pasar dari rumput laut masih terbuka, selebihnya menyatakan pasar mulai jenuh. Pasar yang masih
terbuka merupakan jawaban dari para nelayan yang penjualannya meningkat, adapun yang menyatakan
penjualannya stabil atau mengalami penurunan menyatakan pasar mulai jenuh.
Dalam pemasaran rumput laut ternyata terjadi persaingan harga antar agen/pengepul, sehingga
mempengaruhi pendapatan yang diperoleh nelayan budidaya rumput laut. Nelayan umumnya yang
menyatakan tingkat persaingan rendah (43,75%)dan menyatakan peluang bekerja sebagai nelayan di
kabupaten Seram Bagian Barat masih terbuka. Hanya kendala yang dihadapimenjadikan tidak semua
masyarakat berkeinginan menjadi nelayan rumput laut. Pada Kabupaten Seram Bagian Barat jumlah nelayan
budidaya rumput laut sebanyak 1.321 orang yang tersebar dalam empat kecamatan (DKP Provinsi Maluku,
2011). Hasol produksi rumput laut dari nelayan budidaya rumput laut ke konsumen mayoritas nelayan
terdistrubsi sebanyak 81,25% kepada pengepul atau nelayan tidak melakukan distribusi kepada konsumen,
dan masih ada yang melakukan distribusi kepada konsumen (18,75%).
Pemasaran rumput laut pada Kabupaten Seram Bagian Barat yang dilakukan oleh pengepul. Rata-rata
penjualan rumput laut yang dijalankan pengepul per bulan pada tahun 2012 adalah 63% lebih dari 5 ton dan
s/d 5 ton sebanyak 25%. Sejalan dengan para nelayan, para pengepul juga mengatakan penjualan rumput
laut 3 tahun terakhir mengalami peningkatan (75%) dengan cara pemasaran sebagai agen di kota Ambon
(88%) dan Surabaya (13%). Mayoritas pengepul menjual rumput laut ke Surabaya (75%).Sejalan dengan
pendapat para nelayan, pengepul yang menyatakan pasar rumput laut sekarang masih terbuka (63%),
meskipun ada pula yang mengatakan pasar sudah mulai jenuh (25%) dan sangat jenuh (13%). Para
pengepul juga mengatakan tingkat persaingan yang rendah dari rumput laut ditinjau dari segi harga. Para
pengepul (75%) mengangkut rumput laut ke konsumen menggunakan truk (75%) sisanya 13%
menggunakan kontainer.
Keuangan dari Sisi Nelayan dan Pengepul
Cara pembayaran tunai yang dilakukan oleh pengepul kepada nelayan sangat membantu nelayan
bagi keberlanjutan usaha produksi rumput laut di Seram Bagian Barat. Pembayaran yang diterima nelayan
dari pengepul mayoritas tunai dan walaupun kadang mengalami keterlambatan 6,25% sisanya lancar.
Pembayaran yang dilakukan terhadap pemasok semua dibayar secara tunai dan sebanyak 58,33% nelayan
menyatakan berpengaruh terhadap keuangan para nelayan. Pemasaran yang dilakukan oleh pengepul dan
semua biaya ditanggung oleh pengepul, sedangkan pada tingkat nelayan hamper relatif tidak ada biaya yang
dikeluarkan. Biaya pengiriman rumput laut ke konsumen dan harga jualnya ditetapkan oleh pengepul. Para
pengepul membayar rumput laut yang diterima dengan cara tunai. Sebagian besar pengepul menyatakan
bahwa biaya yang dikeluarkan oleh sejak dari nelayan hingga ke konsumen adalah biaya retribusi jalan dan
bongkar muat. Adapun harga jual rumput laut 100% pengepul menyatakan ditetapkan oleh agen.
PemasokdanBahan Baku dari Sisi Nelayan dan Pengepul
Bahan baku dalam budidaya rumput laut yang digunakan oleh nelayan pembudidaya rumput laut di
Kabupaten Seram Bagian Barat dilakukan dengan cara membeli, untuk bibit berasal dari budidaya. Adapun
tempat pembelian bahan baku mayoritas bersumber dari pasar lokal, sedikit yang berasal dari luar wilayah
dan 15% nelayan menyatakan bahwa bahan baku seringkali tidak ada.
Lima puluh prosen pengepul menyatakan bahwa seluruh nelayan yang ada di kabupaten Seram Bagian Barat
menjadi pemasoknya, sisanya tersebar diantara 50-95% nelayan yang menjadi pemasoknya. Seluruh
pengepul menyatakan membeli rumput laut kering dari nelayan, baik secara langsung ke nelayan (88%) atau
nelayan yang datang ke pengepul (13%).
Pengepul menyatakanbahwa asal rumput laut mayoritas dari Kotania (33%), Wael (33%) dan Pulau Osi
(15%), sisanya tersebar masing-masing 8% di Lupessy, Taman Jaya dan Seram Barat. Seluruh pengepul
menyatakan terkadang rumput laut tidak tersedia.

102
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kemitraan dari Sisi Nelayan dan Pengepul
Nelayan budidaya rumput laut di Kabupaten Seram Bagian Barat menjalin kemitraan dengan beberapa
lembagadalam melakukan usaha budidayanya. Selama ini terdapat beberapa lembaga yang memberi
bantuan kepada para nelayan, antara lain Bank Indonesia (15%), ILO (6%), Dinas Perikanan dan Kelautan
(17%), PNPM Mandiri (2%) dan Lembaga Keuangan Mikro (2%). Kemitraan ini dianggap sebagai salah satu
penyebab kurang berkembangnya usaha rumput laut. Adapun bantuan yang diterima oleh nelayan
berbentuk bantuan bahan baku, bantuan penyuluhan, bantuan sarana budidaya, bantuan dana, dan bantuan
infrastruktur.Kendala utama yang dihadapi para nelayan di Kabupaten Seram Baratmencakup kendala
pemasaran dan bahan baku. Ketersediaan pasar menjadi solusi bagi kendala yang dihadapi saat ini,
mengingat peluang pasar rumput laut masih baik dan terbuka. Hampir seluruh responden menyatakan
perlunya perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk perkembangan rumput laut di Kabupaten Seram
Barat.
Berbeda dengan nelayan, sebagian besar para pengepul mayoritas tidak bermitra, yaitu hanya 13% yang
melakukan kemitraan. Adapun kendala yang dihadapi oleh para pengepul pada rantai pasok rumput laut di
Seram Barat meliputi masalah bahan baku (38%), produksi (38%) dan pemasaran jauh (13%). Untuk
mengantisipasi kendala, sebanyak 63% pengepul menyatakan peningkatan produksi disamping perlu mitra
(13%), keberadaan agen pemasaran di tingkat kabupaten (13%) dan menjaga kebersihan rumput laut
(13%). Peluang usaha rumput laut di Seram Barat [ada masa depan tergantung dari faktor nelayannya dan
kemudahan dalam perijinan terhadap usaha industri rumput laut dan kestabilan harga.
Kinerja Produksi, Harga dan Biaya Logistik Rumput Laut
Produksi yang dihasilkan sebesar 18 ton per bulan sebagai jumlah pasokan dari nelayan ke pengepul. Rincian
berdasarkan lokasi, jumlah pasokan (Kg), nilai pasokan (Rp), Harga rata-rata rumput laut (Rp/Kg) dan
jumlah rata-rata pasokan per nelayan per bulan dari rantai pasokan rumput laut setiap daerah kabupaten
Seram Bagian Barat.
Tabel 1. Karakter dan Nilai Pasokan dan Penerimaan Nelayan Rumput Laut di Seram Barat
Jumlah rata-rata
Daerah Jumlah Pasokan (kg) Nilai Pasokan (Rp) Harga rata-rata (Rp/kg) produksi per
nelayan/ bulan
Kotania 1.354 7.884.000.00 5695,24 90.27
Wael 8.100 56.900.000.00 7338,24 476.47
Pulau Osi 6.800 49.100.000.00 7598,90 523.08
Nurue 2.164 16.400.000.00 7367,28 721.33
Seram Bagian Barat 18.418 130.284.000.00 7024, 58 484.68
Sumber : Hasil Penelitian dan pengolahan data lapangan, 2012
Hasil penelitian memperoleh gambaran bahwa rata-rata produksi rumput laut per lokasi sebesar 4.604,50 kg
per bulan, rata-rata harga rumput laut per lokasi sebesar Rp 7.024,58per kg; dengan nilai rata-rata pasokan
rumput laut sebesar Rp 32.571.000 per bulanper lokasi; sedangkan jumlah rata-rata pasokan rumput laut
sebesar 484,68 kg/nelayan/bulan. Rincian lokasi dan logistic dari pasokan rumput laut di Kabupaten Seram
Bagian Barat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Lokasi dan Logistik Rantai Pasokan Rumput Laut di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku
Biaya Biaya Biaya
Asal Biaya Biaya. Biaya
Lokasi Sasaran sewa Bongkar Biaya lain Logisti
Rumput Transpor Retribusi Logistik
Koleksi Pasar gudang Muat (Rp) k Rp
Laut (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp) (Rp) per Kg
Kotania Kotania Ambon
1.500.000 300.000 - 200.000 - 2.000.000 333,33
Wael Wael Ambon
5.400.000 875.000 3.000.000 175,000 - 9.450.000 260,80
Pulau Pulau Ambon

103
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Osi Osi 7.000 2.000.000 200.000 - 300.000 2.500.000 208,33
Seram Seram Makasar
Bagian Bagian dan 50.000.000 - - - - 50.000.000 500,00
Barat 1 Barat 1 Surabaya

Biaya Biaya Biaya


Asal Biaya Biaya. Biaya Biaya
Lokasi Sasaran sewa Bongkar Logistik
Rumput Transpor Retribusi lain Logistik
Koleksi Pasar gudang Muat Rp per
Laut (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp) (Rp) Kg
Seram Seram Makasar
Bagian Bagian dan 1.500.0 1.931,6
- 550.000 500.000 - 2.550.00
Barat 2 Barat 2 Surabaya 00 0
0

Rata-rata 11.381.400 745.000 740.000 75.000 13.300.0


360.000 646,81
00
Sumber : Hasil Penelitian dan pengolahan data lapangan, 2012
Tabel 2 menggambarkan biaya yang dikeluarkan dalam rantai pasokan rumput laut, yang terdiri dari biaya
transport dari lokasi koleksi ke sasaran pasar yang dilakukan pengepul, biaya retribusi, biaya sewa gudang,
biaya bongkar muat dan biaya lainnya di setiap lokasi rantai pasokan rumput laut Kabupaten Seram Bagian
Barat. Rata-rata biaya logistik seluruh lokasi sebesar Rp. 13,300,000 . Komponen lainnya adalah nampak
pula rata-rata biaya logistic per kg sebesar Rp. 646.81. Penelitian menghasilkan unsur dan sifat mengenai
rantai pasokan rumput laut di Kabupaten Seram Bagian Barat, dari sisi produksi, logistic, manajemen
pasokan, persediaan, biaya distribusi, dan transportasi.
Tabel 3 menjelaskan hasil lapangan matriks analisis SWOT pengembangan supply chain rumput laut di
Kabupaten Seram Barat, Maluku.
Tabel 3. Matriks SWOT Hasil Lapangan
Perspektif Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman
Perspektif Pertumbuhan rumput Kapasitasbudidayay Kondisi perairan Keadaan alam
Internal Bisnis Kapasitas budidaya ang skala kecil Perubahan musim Tergantung bahan baku
Tergantung keberhasilan Terinfeksipenyakitd Pengepul dari luar Pencemaranperairan
panen 21 % pemasaran lokal an29% kecamatan Adapenyakitrumputlaut
57 % pasar masih terbuka tidaktahuarah/sasar Peluangusaharum Adanya predator
Produktivitas 5 ton per anpasar putlautsangatbaik rumputlaut
tahun KemudahanIjin
Penjualan selama 3 tahun Stabilitasharga
meningkat
Perspektif Pembayaran tunai dan tepat Terdapatnya Harga rumput laut Penetapan harga dari
Finansial waktu dari pengepul dan keterlambatan kadang naik pengepul di bawah
pemasok pembayaran standar
Pendanaan mandiri
Perspektif Sebanyak 47 % pemasaran Kemampuan Permainanharga di Harga kadang naik dan
Pelanggan keluar daerah penanganan pasar tingkatpengepul turun
dan pemasok TempatPembeliandan keluar (Surabaya, KepastianikatanPe KetergantunganPemasar
Wilayah AsalBahan Baku Makasar, Jakarta) masaran 100 % an 100 %
daripasarlokal Penanganan melaluiagenpenge melaluiagenpengepul
Keberlanjutanketersediaanba transportasi produk pul Bahan baku sekali-kali
hanbaku rumput laut Persaingan Harga tidak ada (40%)
Membelirumputlautkering Rumput Laut Ketergantungan bantuan
Nelayan pemasok utama masih rendah bahan baku,
Pembelian langsug ke bantuansarana
nelayan Kendala pemsaran dan
bahan baku dalam rantai
pasokan
Perspektif Nelayan pemasok utama Perlu peningkatan Mitrabinaan BI, Kerentanan dan
Pembelajaran Komponen penggerak produksi Dinas Kelautan ketergantungan pada
104
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
dan pertumbuhan ekonomi Tidak tahu tujuan dan Perikanan,ILO program dan bantuan
Pertumbuhan wilayah bagi pengembangan pasar produk DukunganseriusPe dana
ekonomi local rumput laut mda
Secara ekonomi wilayah dan pengembangan ekonomi lokal, Kabupaten Seram Barat berkait erat dengan
pengembangan kawasan ekonomi terpadu dan konstalasi pengembangan wilayah provinsi Maluku. Hal ini
dapat dilhat pada gambar 1.

Gambar 1. Rumput Laut dalam Posisi Pengembangan Kawasan dan Ekonomi Wilayah
Simpulan Penelitian
Penelitian tahap awal menghasilkan indikasi penting berupa rumusan strategi pengembangan rantai pasokan
rumput laut di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, yaitu kinerja produksi dan budidaya, situasi
pemasaran, keuangan, kemitraan, tipe rantai pasokan, dan rumusan matriks SWOT rumput laut. Hasil
penelitian menguatkan peran bahwa provinsi Maluku dalam koridor ekonomi Indonesia bagian Timur sebagai
daerah penghasil produk rumput laut sekaligus memperkuat posisi dalam rantai nilai bagi pengembangan
industry rumpur laut. Lokasi pasokan rumput laut memiliki keterkaitan dengan konfigurasi jaringan logistic,
sehingga jaringan infrastruktur penunjang produksi dan aksesibiltas transportasi bagi pasokan menjadi factor
ikutan lainnya yang harus diperhatikan dalam strategi pengembangan rantai pasokan sumput laut di Seram
Barat, Maluku, terutama guna menetapkan lokasi dan menentukan jumlah pergudangan, menetapkan
besaran gudang, dan menentukan jenis produk yang diterima pelanggan dari setiap gudang.
Rekomendasi
Hasil penelitian tahap memberikan deskripsi yang nyata mengenai situasi rantai pasokan rumput laut di
Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai bagian wujud konsepsi klaster industry. Selain itu,
teridentifikasikannya faktor-faktor penfghambat dan upaya mengatasi kendala pada kendala pada
manajemen rantai pasokan rumput laut di Kabupaten Seram Bagian Barat menjadi hasil penelitian yang
sangat berarti terutama dalam menemukenali formasi dan mekanisme dari rantai pasokan dengan
memperhatikan variabel biaya distribusi, persediaan, kesesuaian tingkat persediaan, transportasi, dan
kebutuhan pergudangan (inbound maupun outbound logistic).
Berdasarkan pertimbangan optimalisasi rantai pasokan dan efektivitas capaian produkvitas budidaya
rumput laut sebagai komoditas unggulan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapqet Seram).
Aksesibilitas Kabupaten Seram Barat juga dijadikan bahan pertimbangan dalam konstalasi konektivitas
koridor ekonomi (MP3EI) wilayah timur Indonesia, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti
bagi penelitian lanjutan, yaitu mengevaluasi kelembagaan rantai pasokan, distribusi dan daya saing,
mengukur kemanfaatan rantai pasokan bagi pelaku budidaya rumput laut, menyusun peta strategik
(Strategic Map)bagi pengembangan rantai pasokan rumput laut berkait dengan klaster industri, kawasan
pengembangan ekonomi terpadu, dan kebijakan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
API. 2007. The Indonesian Textile and Clothing Outlook. Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia.
BPS. 2011. Jumlah Perusahaan Menurut Sub Sektor, 2001-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik
BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi. Booklet Triwulanan, pp. 1-153
Dixon, R., P. Arnold, J. Heineke, J. Kim, and P. Mulligan. 1994. Business process reengineering: Improving in
new strategic directions. California Management Review (Summer):93-108.
105
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kemenko-Perekonomian. 2011. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025. Jakarta: Kemenko Perekonomian RI.
Frazelle. 2001. Supply Chain Strategy : The Logistics of Supply Chain Management, McGraw-Hill.
Lejeune, M. A. and N. Yakova. 2005. On characterizing the 4 C‟s in supply chain
Mentzer, J. T., J. H. Foggin and S. L. Golicic. 2000. Collaboration: The enablers, impediments and benefits.
Supply Chain Management Review (September- October):52-58.
Sumber jurnal:
Barratt, M. and A. Oliveira. 2001. Exploring the experiences of collaborative planning initiatives. International
Journal of Physical Distribution & Logistics Management 31(4):22.\
Boyer, K. K., G. K. Leong, P. T. Ward and L. J. Krajewski. 1997. Unlocking the potential of advanced
manufacturing technologies. Journal of Operations Management 331-347.
Das, A. and R. Handfield. 1997. Just-intime and logistics in global sourcing: An empirical study. International
Journal of Physical Distribution & Logistics Management 3(27):244 259.
Dewett, T. and G. R. Jones. 2001. The role of information technology in the organization: a review, model,
and assessment. Journal of Management 313-346.
Frohlich, M. T. and R. Westbrook. 2001. Arcs of integration: An international study of supply chain strategies.
Journal of Operations Management 185-200.
Hill, C. A. and G. D. Scudder. 2002. The use of electronic data interchange for supply chain coordination in
the food industry. Journal of Operations Management 375-387.
Jin Su, C. L. 2009. Strategic Sourcing and Supplier Selection in the U.S. Textile-Apparel-Retail Supply
Network. Clothing & Textiles Research Journal, Vol. 27, No. 2, 83-97.
Petersen, K. J., R. B. Handfield, and G. L. Ragatz. 2005. Supplier integration into new product development:
Coordinating product, process and supply chain design. Journal of Operations Management 23(3):371-388.
Spekman, R., J. Kamauff, and N. Myhr. 1998. An empirical investigation into supply chain management - A
perspective on partnerships. International Journal of Distribution and Logistics 28(8):630-650.
Tang, K. and J. Tang. 2002. Time-based pricing and leadtime policies for a build-to-order manufacturer.
Production and Operations Management 11(3):374- 392. Supply Chain Consortium. 2008. The supply chain
best practices framework. Tompkins Associates, Inc. Retrieved
Tracey, M. 2004. A holistic approach to new product development: New insights. Journal of Supply Chain
Management:A Global Review of Purchasing & Supply 40(4):37-55. Van Hoek, R. 1998. Measuring the
unmeasureable- Measuring and improving performance in the supply chain. Supply Chain Management
3(4):187-192.
WB&IFC (2011), Doing Business in Indonesia 2011, Washington, D.C.: The World Bank and The International
Financial Corporation.
Tongzon, J. 2004. Determinant of Competitiveness in Logistics: Implications for Region. International
Conference on Competitiveness: Challenges and Opportunities for Asian Countries (pp. 1-16). Bangkok:
Thailand's National Competitiveness Committee.
UNESCAP. 2011. Logistics Performance Index-Connecting to Compete 201. Washington: World Bank Group.
WEF. 2011. The Global Competitiveness Report 2011-2012. Geneva: the World Economic Forum.

106
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
16.FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI YANG MEMPENGARUHI
KEPUTUSAN PETANI MANGGA TERLIBAT DALAMSISTEM
INFORMALDENGANPEDAGANG PENGUMPUL

Lies Sulistyowati1), Ronnie S Natawidjaja2), Zumi Saidah3)


Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
E-mail : liesindra@yahoo.com; ronnie_sn@yahoo.com; zsaidah@gmail.com

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara penghasil mangga terbesar keenam didunia, namun data ekspor
mangga hanya 0,07% dari total produksinya, dan justru impornya meningkat terus. Padahal mangga
mempunyai nilai ekonomis tinggi dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani. Sayangnya potensi
ekonomi tersebut belum tergali karena masih banyaknya hambatan baik teknis maupun non-teknis dalam
agribisnis mangga. Petani sering menggunakan sistim informal dalam pengelolaan pohon, pembiayaan dan
pemasaran mangga di tingkat petani, yang berakibat petani tidak mempunyai bargaining position terhadap
pedagang pengumpul/tengkulak, sehingga harga yang diterima rendah. Secara spesifik tujuan penelitian ini:
menganalis faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pengelolaan tanaman mangga, pemilihan
sumber pembiayaan, serta cara penjualan mangga.
Design penelitian : kuantitatif, yang dilaksanakan dengan metode survey di Provinsi Jawa Barat dan
Jawa Timur, yang menghasilkan 55% dari total produksi mangga nasional. Wilayah kabupaten, kecamatan
dipilih dengan metode Multi Stage Cluster Random Sampling. Pemilihan sampel sebanyak 636 keluarga
petani (320 Jawa Timur dan 316 untukJawa Barat) dilakukan secara random.Data dianalisis menggunakan
Structural Equation Model.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1). Sistim pengelolaan mangga secara significant dipengaruhi
oleh faktor umur petani, jumlah pohon mangga, akses terhadap informasi dan akses terhadap pasar. 2).
Pemilihan sumber pembiayaan dipengaruhi oleh umur petani, jumlah pohon mangga, dan akses terhadap
modal dengan korelasi positif, sedangkan sistim pengelolaan mangga, dan fasilitas irigasi mempengaruhi
dengan korelasi negatif. 3). Sistim penjualan mangga dipengaruhi oleh sistim pembiayaan dan akses
terhadap informasi dengan korelasi positif, sedangkan sistim pengelolaan, aktivitas pemeliharaan, kegiatan
pemberantasan hama dan penyakit, penerapan teknologi off-season, akses terhadap pasar dan fasilitas
peralatan mempengaruhi dengan korelasi negatif.

Kata kunci : agribisnis mangga, faktor-faktor, petani,sistim informal.

107
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
SOCIAL-ECONOMI FACTORS INFLUENCING FARMER’S DECISION IN
ENGAGING INTO INFORMAL ARRANGEMENTS WITH LOCAL
COLLECTOR TRADER

Lies Sulistyowati1),Ronnie S Natawidjaja2), Zumi Saidah3)


Agribusiness Department, Faculty of Agriculture, Padjadjaran University
E-mail : liesindra@yahoo.com; ronnie_sn@yahoo.com; zsaidah@gmail.com

ABSTRACT

Indonesia is the sixth world's largest producer of mangoes. However only 0,07% of the total
production is exported and it imports increased steadily every year. Though mango has a high economic
value and potential to improve the welfare of farmers, unfortunately, those economic potential is not being
realized because there are still many obstacles both technical and non-technical in mango agribusiness.
Farmers often use informal agreement with the local collector in managing the tree, financing and marketing
of mangoes to overcome their constraints which weekend their bargaining position against. Specifically the
objectives of this research: analyze socio-economic factors that influence: mango crop management, the
selection of financial sources, as well as how the sales of mango is done.
The study was designed by applying quantitative method and implemented as a survey in the
province of West Java and East Java which produce 55% of the total national mango production. Districts,
sub-districts selected by using Multi Stage Cluster Random Sampling. During the survey 636 farm families
were successfully interviewed. Data were analyzed using the Structural Equation Model.
The results showed that management of mango tree is significantly influenced by age of farmers, the
number of mango trees, access to information and access to markets. Farmer‟s decision of financial source
affected positively by age, number of mango trees, and access to capital, and influence negatively by the
mango tree management and irrigation facilities. Mango sales practice is affected positively by the financial
source and access to information, and negatively by the tree management system, maintenance activities,
pest and disease control, off-season technology application, access to markets and facilities.

Keywords : mango agribusiness, factors, farmers, informal arrangement.

108
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
17.ANALISIS FAKTOR PENENTU KEIKUTSERTAAN PENJUAL DAN
PEMBELIKE PASAR LELANG TEH
(Kasus di “Bandung Tea Auction” dan“Jakarta Tea Auction”)
THE ANALYSIS OF DECISIVE FACTOR ON THE PARTICIPATION
OFSELLERS AND BUYERS TO TEA AUCTIONMARKET
(Cases in “Bandung Tea Auction”and“Jakarta Tea Auction”)
Dini Rochdiani

Program Studi Agribisnis


Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
1
Jl. Raya Bandung – Sumedang Km 21 Jatinangor 45363
(E-mail : dini.rochdiani@yahoo.co.id)

ABSTRAK
Teh merupakan salah satu komoditas perkebunan yang dijual secara lelang (auction market). Pasar lelang
merupakan pasar alternatif yang menciptakan harga tinggi berupa harga spesifik (specific price) atau
menemukan harga market clearing dengan bantuan pihak penyelenggara lelang. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi keikutsertaan penjual (sellers) dan pembeli (buyers), serta mendeskripsikan struktur
pasar lelang teh yang merupakan suatu kasus di “ Bandung Tea Auction” dan “Jakarta Tea Auction”.Penelitian
ini menggunakan metode surveidan dianalisis dengan menggunakan Linear Probability Model (LPM) dan
Desriptive Analysis.Hasil penelitian menunjukkan, faktor-faktor penentu keikutsertaan penjual dan pembeli ke
pasar lelang teh yaitu transparansi harga, kepastian pasar, mekanisme pemasaran lelang, dan aturan main di
pasar lelang.Faktor yang paling berpengaruh terhadap keikutsertaan peserta dalam pasar lelang adalah
transparansi dan kepastian pasar. Kenyatannya, pasar lelang belum menerapkan pasar lelang sesuai konsep.
Kondisi ini dapat dilihat antara lain dari struktur pasar yang terjadi saat ini yang tidak berada pada pasar
persaingan sempurna tetapi oligopoli. Pasar lelang sebagai pasar alternatif baru dimanfaatkan oleh
sebagian kecil produsen teh, belum melibatkan seluruh prodeusen teh termasuk para petani teh. Price
discovery belum memberikan perbaikan harga bagi produsen dan terjadi disparitas harga antara produsen
teh di pasar Indonesia dan dunia. Persepsi lembaga-lembaga yang terlibat dalam lelang teh ternyata
berbeda-beda, yang justru menghambat proses price discovery sehingga outcomenya tidak sesuai dengan
harapan.
Kata kunci : Pasar lelang, Penjual, Pembeli, Teh.
ABSTRACT
Tea is one of estate commodity that sell in auction market.The auction market is an alternative market that
to create high price appearance specific price or to discover market clearing price with aid side auction
organizer.The results of this research to showed, that the price transparancy, market assurance, auction
market mechanism and the role of the game aredecisive factors on the participation of sellers and buyers to
tea auction market. The price transparancy and market assurance are the dominant factor that influence on
the participation of sellers and buyers to tea auction market . In fact, The auction market is not to apply yet
auction market appropriate concept. This condition can showed of market structure of now not on perfect
competition but oligopoly.Tea auction as an alternative market had not able to create a reasonable price for
the tea producers and only a few of them were able to take advantage of this tea auction. Price discovery so
far could not able to provide a higher farm gate price for all of the tea producers involved and, on the
contrary, there were price disparity of tea between the tea auction markets in Indonesia and the other
109
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
countries in the world . Involved institution perception about auction varied, so that the process of price
discovery was hindered resulting unexpected outcome of normal auction market.
Key words : Auction market, Sellers, Buyers, Tea.

PENDAHULUAN
Perkebunan merupakan salah satu subsektor pertanian yang dapat memberikan sumbangan besar
terhadap devisa negara, dan diantara beberapa komoditas perkebunan yang memberikan pendapatan dan
kesejahteraan bagi para pelaku usahanya adalah teh.
Industri teh nasional masih menghadapi banyak kendala dan memerlukan solusi segera antara lain
produktivitaskebun teh yang relatif rendah dan cenderung menurun.Perkembangan produktivitas teh
beberapa tahun terakhir tersaji pada Gambar 1.

2008 2009

Gambar 1, Perkembangan Produktivitas Teh Indonesia, Tahun 2008 – 2012.


Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Tahun 2013
Produktifitas kebun teh saat ini sekitar 1.447-1.472 kilogram teh kering per hektar per tahun. Angka itu
masih rendah dibanding negara penghasil teh utama yang mencapai 3.000 kg teh kering per hektar per
tahun. Namun walau demikian, perkembangan nilai ekspor teh Indonesia ke pasar dunia tahun 2012
mengalami peningkatan, sepertii terlihat pada Gambar 2.

2008 2009
2010 2011

Gambar 2. Pekembangan NilaiEkspor Teh Indonesia ke Pasar Dunia, Tahun 2008-2012.


Sumber : Dewan Teh Indonesia, Tahun 2013.
Tehmerupakan salah satu komoditas perkebunan yang dijual secara lelang(auction), baik di tingkat
domestik maupun dunia seperti di Kenya, India, Sri Lanka dan negara lainnya, termasuk
Indonesia.Pemasaran melalui cara lelang (auction market)bertujuan dapat menguntungkan semua pihak
yang ikut serta dalam kegiatan lelang (penjual dan pembeli). Harga di pasar lelang seringkali menjadi acuan
harga untuk teh Indonesia. Mengenai perkembangan harga teh di pasar lelang tersaji pada Gambar 3.

110
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Gambar 3. Pekembangan HargaTeh Indonesia Berdasarkan Harga Lelang KPB, Tahun 2013.
Sumber : Dewan Teh Indonesia, Tahun 2013.
Berdasarkan gambar di atas, sejak bulan Februari, tampak adanya kecenderungan penurunan harga
teh Indonesia untuk jenis CTC maupun orthodox. Selama bulan Agustus sampai dengan bulan September
2013, harga teh Indonesia relatif stabil. Dalam bulan September 2013 rata-rata harga teh sedikit menurun
sekitar 2,4 sen US$, atau sekitar 1,4% dibandingkan rata-rata harga teh pada awal September 2013.Teh CTC
sedikit mengalami penurunan. Pada awal bulan September 2013, harga teh CTC mencapai sekitar 192,5
sen USD, sedangkan pada akhir bulan Juni 2013 harganya terus menurun mencapai sekitar 179,5 sen USD
per kilogram, artinya, terjadi penurunan cukup besar sekitar 11,3 sen USD atau sekitar 5,9% dibandingkan
harga pada awal bulan.Demikian halnya teh orthodox bahkan mengalami sedikit penurunan, yaitu sekitar
0,6%, atau sekitar 1,0 sen US$. Penurunan teh orthodox secara prosentase lebih kecil dibandingkan
penurunan harga teh CTC. Pada awal September 2013 harga tehorthodox mencapai sekitar 181,5 sen USD
yang relatif sama dibandingkan harga pada awal Agustus 2013. Pada akhir September 2013 harga yang
terjadi di pasar lelang sedikit menurun mencapai sekitar 180,5 US$ per kilogram.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan dari pada pasar lelang teh adalah menciptakan transparansi
harga, kepastian pasar, mekanisme sistem pemasaran lelang, dan aturan main di pasar lelang dan
mendorong peningkatan mutu teh dan peningkatan efisiensi pemasaran teh. Persyaratan pasar lelang adalah
jumlah transaksi besar, jumlah penjual dan pembeli besar dan tidak saling mengenal, kualitas produk mudah
distandardisasi. Pasar lelang merupakan pasar alternatif yang menciptakan harga tinggi berupa harga
spesifik (spesific price) atau menemukan harga market clearing dengan bantuan pihak penyelenggara lelang
(lembaga lelang) (Dahl and Hammond (1977)).
Penelitian Tallontire (2001), menjelaskan bahwa pemasaran teh di Kenya sudah difokuskan melalui
lembaga lelang yang merupaka milik petani dan para pengusaha teh yaitu the Kenyan Tea Development
Agriculture (KTDA). Lembaga ini selain mengelola auction, juga mengelola bahan baku, penyediaan input
produksi, menawarkan sejumlah jasa kepada petani/produsen teh, seperti transportasi, pengadaan sparepart
dan perbaikan mesin, pengolahan, pemasaran dan penyuluhan.Lembaga lelang yang ada di Indonesia yaitu
Bandung Tea AuctiondanJakarta Tea Auction.Lembaga lelang ini merupakan lembaga yang melaksanakan
lelang teh di Indonesia yang berlokasi di Bandung dan Jakarta. Bandung Tea Auction lebih mengarah kepada
lelang teh yang berkualitas off grade dengan jenis teh hijau produk dari petani teh perkebunan rakyat dan
swasta, sedangkan Jakarta Tea Auctionlebih mengarah kepada lelang teh yang berkualitas high premium
grade dengan jenis teh hitam produk dari produsen teh perkebunan negara (PT Perkebunan Nusantara VIII).
Pemasaran hasil perkebunan melalui model lelangteh merupakan salah satu faktor yang penting
dalam rangka peningkatan pendapatan pelaku usaha komoditas teh (petani/produsen/pengusaha teh) dan
dapat di pakai sebagai indikator dalam menentukan bagian yang diterima pelaku usaha teh. Pada proses
pemasarannya, teh memiliki saluran tataniaga yang panjang, dimulai dari petani, pedagang pengumpul desa,
pedagang pengumpul kecamatan, danPabrik, sehingga sulit dalam memutuskan rantai saluran tersebut.
Hal ini akan menimbulkan margin yang cukup besar antara petani sebagai produsen dengan
kosumen akhir ( pabrik pengolah, penjual dan pembeli ) dan tentunya akan mempengaruhi efisiensi
pemasaran tersebut.Pemasaran sistem lelang melibatkan beberapa lembaga pemasaran yang berperan yaitu
penjual (sellers) dan pembeli (buyers). Dalam kontek ini sebagai penjual dapat bersaing harga dengan
menentukan harga limit sesuai dengan mutu teh dan keuntungan yang ingin dicapainya, karena informasi

111
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
hargadapat meningkatkan harga jual teh. Sedaangkan sebagai pembeli dapat memilih beberapa alternatif
produk dan harga yang sesuai dengan selera dan keinginannya.
Menurut Mardjoko (2004), dalam mekanisme lelang, penjual mempunyai kewajiban untuk
mengirimkan produk pada waktu yang tercantum dalam akte kontrak dimuka (forward contract) yang telah
disepakati dan pembeli harus menerima produk tersebut. Hubungan pembeli dengan juru lelang hanya untuk
menetapkan harga. Bila terjadi kata sepakat, maka terjadi hubungan antar pembeli dan juru lelang. Tetapi
saat itu juga, hubungan langsung berpindah dari penjual dan pembeli, termasuk pembayarannya.
Banyak faktor yang menentukan penjual dan pembeli untuk ikut di pasar lelang. Mengingat harga
teh secara domestik dipengaruhi pula oleh harga teh dunia dan juga dipengaruhi oleh struktur pasar yang
terjadi dengan melihat banyaknya penjual dan pembeli yang ikut lelang teh. Adanya pemasaran teh melalui
lelangdiharapkan dapat memacu peningkatan produksi dan pendapatan petani/produsen teh serta pihak-
pihak yang terlibat dalam kegiatan lelang yang dalam hal ini secara umum berdampak pula pada perubahan
sisitem pemasaran. Pasar lelang teh di Indonesia diharapkan dapat membantu mewujudkan penemuan harga
(price discovery) sehingga harga teh Indonesia dapat mendekati harga pasar dunia.
Kohl dan Uhl (2002) mengungkapkan, Price discovery is a human process, marked by errors in
judgment and fact and subject to the relative bargaining powers of buyers and sellers. There is no giarantee
that buyers and sellers will always or immediately discover the equilibrium price. In real life, variation in the
price-discovery process make it profitable for buyers and sellers to shop around alternatives ang to bargain
on prices and other terms of trade.
Berdasarkan uraian di atas, maka diharapkan harga yang terjadi di pasar lelang dapat menjadi
acuan, referensi dan bahan informasi bagi para pelaku usaha teh dalam menjalankan usahanya, sehingga
dalam penelitian ini menarik untuk diteliti mengenai Analisis Faktor Penentu Keikutsertaan Penjual dan
Pembeli ke Pasar Lelang Teh.

METODE
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan lokasi penelitian di Bandung Tea Auction dan
Jakarta Tea Auction.Peserta lelang diambil secara sensus, terdiri dari penjual (produsen/sellers) teh dan
pembeli yang mengikuti lelang di kedua lembaga lelang domestik.Untuk penjual, terdapat tiga perusahaan
yaitu PT Perkebunan Nusantara VIII, PT Kabepe Chakra, dan PT Pagilaran.Sedangkan pembeli yang
melakukan pembelian di kedua pasar lelang terdapat 14 perusahaan yang bergerak di bidang
industri/pabrik/eksportir teh , yaitu PT Sariwangi, PT Kabepe Chakra, PT Ciwangi, PT Wijaya, PT NV Nambi,
PT Pagilaran, L.E. Schuurman, Lipton Ltd, CV Anugerah Agung, CV Ciwangi, PT Agropangan Putra Mandiri,
PT Putindo Inti Selaras, PT Kereta Kencana dan CV Sejahtera Jaya.
Untuk menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan peserta ke pasar
lelang teh, digunakan metode analisis regresi dengan linear probability model (LPM). LPM digunakan untuk
menganalisis variabel dependen yang bersifat kategorik dan variabel independen yang bersifat non kategorik.
Model LPM memiliki karakteristik yang mirip dengan model regresi linear, sehingga metode OLS dapat
digunakan pada model LPM ini. Dalam penelitian ini ingin mengetahui kemungkinan peserta memilih ikut
serta ke pasar lelang (diwakili oleh variabel Ypl) berdasarkan keaktifan peserta lelang ikut pada setiap
kegiatan lelang.
Persamaannya adalah : Ypl = β0 + β1X1pl + β2X2pl + β3X3pl + β4X4pl+ e ; dimana :
Ypl = keikutsertaan ke pasar lelang : Ypl = 1 (aktif mengikuti>5 kali),Ypl = 0 (aktif mengikuti ≤ 5 kali);
X1pl= transparansi; X2pl= kepastian pasar; X3pl = mekanisme lelang;X4pl= kepatuhan pada aturan main.
Nilai Y merupakan bilangan biner (berisi 0 dan 1) yang diharapkan tergantung pada Xp. E(Yi|Xi), dapat
diartikan sebagai probabilitas bersyarat (conditional probability) kemungkinan terjadinya Y tergantung pada
Xpatau Pr(Yi|Xi). Dimisalkan E(Yi|Xi) menunjukkan kemungkinan peserta ikut serta ke pasar lelang apabila
adanya transparansi dalam penemuan harga Xi. Misalnya diasumsikan E(µi) =0, untuk mendapatkan
estimator tak bias dapat digunakan :E(Yi|Xi) =β1 + β2Xi .Bila Pi adalah probabilitas bahwa Yi=1 (aktif > 5 kali)
dan (1-P) adalah probabilitas bahwa Yi=0 (aktif ≤ 5 kali), variabel Yi memiliki probabilitas Pi+(1-P) =1. Berarti
Yimengikuti distribusi probabilitas Bernoulli.Melihat persamaan tersebut, probabilitas peserta untuk ikut serta
112
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
ke pasar lelang merupakan fungsi linier. Semakin tinggi adanya transparansi dalam penemuan harga,
semakin besar pula kemungkinan atau semakin bertambah peserta yang ikut serta pada pasar lelang.
Untuk mengetahui struktur pasar lelang teh digunakan Herfindahl-Hirschman Index (HHI)yang akan
menenrtukan tingkat konsentrasi pasar. Konsentrasi pasar merupakan indikator yang dapat menjelaskan
potensi tingkat persaingan di suatu pasar. Formulasi untuk menghitung HHI sebagai berikut :
k qi
HHI = ∑Si ; Si= X 100
i=1 Q
Kriteria tingkat konsentrasi pasar mengacu kepada patokan yang tercantum dalam Horizontal Merger
Guidelines dari U.S. Departemen of Justice and Federal Trade Commission (section 1.51 General Standards),
sebagai berikut :
- Nilai HHI < 1.000 mengindikasikan pasar tidak terkonsentrasi (pasar kompetitif)
- Nilai HHI antara 1.000 dan 1.800 mengindikasikan pasar terkonsentrasi sedang
- Nilai HHI > 1.800 mengindikasikan pasar sangat terkonsentrasi

HASIL DAN PEMBAHASAN


o Keadaan Umum Pemasaran Lelang Teh Indonesia
Teh Indonesia adalah salah satu teh terbaik dunia. Sayangnya harga teh Indonesia dengan kualitas
yang sama masih berada di bawah harga teh dari negara lain. Banyak faktor yang menyebabkan harga teh
Indonesia di bawah harga teh dunia, anatara lain faktor penanganan on farm maupun off farm. Bentuk teh
yang dipasarkan masih dalam bentuk bulk. Selain itu, banyak mutu teh yang belum memenuhi standar
internasional (ISO 3720) dan lambatnya peremajaan tanaman teh serta mesin-mesin pengolahan yang
kurang mengarah kebutuhan dan permintaan pasar. Kondisi tersebut menyebabkan harga teh Indonesia
menjadi rendah. Rata-rata harga teh Indonesia saat ini sekitar 1,4 dolar AS per kg. Namun masih rendah
dibanding rata-rata harga teh Kenya yang mencapai 2 dolar AS per kg atau di Srilanka sekitar 1,85 dolar AS.
Pada tahun 2011, harga teh Indonesia di pasar lelang melalui lelang rata-rata US$1,2 dolar per kg lebih
rendah dibandingkan dengan harga rata-rata dunia US$1,95 per kg. Harga teh di Sri Lanka mencapai US$3,4
per kg sehingga negara itu bisa mendapatkan devisa sekitar US$1 miliar dengan jumlah ekspor teh 300.000
ton. Teh Indonesia di pasar dunia saat ini dihargai US$1,4/Kg. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan
dengan rata-rata harga teh Kenya yang mencapai US$2/Kg. Sri Lanka mencapai US$1,8/Kg.
Hasil penelitian menemukan beberapa hal yang menjadi kendala dan disinyalir dapat menurunkan
harga jual teh Indonesia, yaitu peran Lembaga lelang yang menyelenggarakan lelang di Indonesia belum
melaksanakan secara optimal. Dalam pasar domestik, terdapat beberapa pembeli besar yang mendominasi
lelang teh Indonesia. Hal ini berakibat pada lemahnya bargaining power dari lembaga lelang tersebut dan
petani sebagai produsen. Dengan kata lain, meskipun bersifat lelang, yang notabene harga didasarkan pada
kesepakatan penjual dan pembeli, namun dengan keadaan seperti di atas bukan tidak mungkin daya tawar
dari produsen lemah.Kondisi tersebut, langsung maupun tidak langsung berimbas pada kekuatan lembaga
lelang itu sendiri. Dominasi dari segelintir pembeli besar mengakibatkan persaingan harga yang kurang sehat
dalam lelang tersebut. Hal ini kemudian diperparah dengan kurangnya pengetahuan baik dari produsen
maupun lembaga lelang itu sendiri tentang perkembangan pasar dunia dan perubahannya.
Produsen teh di Indonesia saat ini adalah PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), Perkebunan swasta,
dan produsen teh lainnya yang bertindak sebagai sellers seperti blenders, packers, serta distributor. Para
produsen tehini umumnya memasarkan produknya melalui lelang yang ditawarkan atau dijual secara terbuka
kepada pembeli dari dalam maupun luar negeri. Kerugian yang dialami pihak produsen karena daya tawar
yang rendah berpangkal pada bagaimana mereka mengemas sebuah produk sehingga menaikkan citra
produk tersebut. Dari sisi petani, selama ini dengan segala keterbatasan, mereka tidak dapat menjual teh

113
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
melalui proses lelang. Pasalnya, produk teh para petani masih berupa pucuk teh yang basah (perishable),
sementara produk teh yang bisa dijual dalam pelelangan adalah produk yang sudah jadi atau teh kering. Hal
ini mengakibatkan petani harus menjual produknya kepada PTPN atau produsen lain yang memiliki pabrik
pengeringan teh. Dengan demikian, harga yang didapat oleh petani menjadi rendah
Faktor-faktor Penentu Keikutsertaan Penjual dan Pembeli di Pasar Lelang
Pasar lelang merupakan pasar alternatif dan salah satu peranannya adalah menciptakan harga tinggi
dengan jumlah penjual serta pembeli banyak. Berdasarkan hasil penelitian, hasil uji statistik menggunakan
probit linearregression yang tersaji pada Tabel 1.menjelaskan bahwa faktor yang paling berpengaruh
secara signifikan terhadap keikutsertaan penjual dan pembeli ke pasar lelang adalah transparansi dan
kepastian pasar (nilai probabilitas < 0,05), sedangkan faktor lainnya, yaitu mekanisme lelang dan kepatuhan
aturan main tidak memperlihatkan pengaruh yang signifikan.
Tabel 1. Hasil Uji Statistik Faktor-faktor Penentu Keikutsertaan Penjual danPembeli ke Pasar
Lelang denganmenggunaka nProbit Linear Regression.
Dependent Variable: Y
Method: Least Squares
Sample: 14 : Included observations: 14
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -0,539246 0,097769 -5,515,513 0,0004
X1 Transparansi 0,182754 0,079322 2,303,961 0,0467
X2 Kepastian Pasar 0,182754 0,079322 2,303,961 0,0467
X3 Mekanisme 0,103459 0,077605 1,333,139 0,2152
X4 Kepatuhan 0,103459 0,077605 1,333,139 0,2152
R-squared 0,953547 Mean dependent var 0,714286
Adjusted R-squared 0,932902 S.D. dependent var 0,468807
S.E. of regression 0,121437 Akaike info criterion -1,106,396
Sum squared resid 0,132722 Schwarz criterion -0,878161
Log likelihood 1,274,477 F-statistic 4,618,649
Durbin-Watson stat 2,117,986 Prob(F-statistic) 0,000005

Persamaan regresinya sebagai berikut:


Y = -0,539246 + 0,182754 X1 + 0,182754 X2 + 0,103459 X3 +0,103459 X4
Hasil uji statistik nilai koefisien regresi untuk faktor transparansi dan kepastian pasar bernilai positif, artinya
semakin transparan dalam proses penemuan harga dan semakin terjaminnya kepastian pasar maka semakin
tinggi ketertarikan penjual dan pembeli untuk ikut serta ke pasar lelang.
Transparansi harga merupakan cara transaksi dalam proses penemuan harga di pasar lelang yang
dilakukan secara terbuka . Cara transaksi yang dilakukan di pasar lelang Indonesia selama ini menggunakan
forward contract yaitu penyerahan barang dilakukan pada waktu yang disepakati di masa datang.Di kedua
pasar lelang dalam transaksi kadangkala terjadi seperti arisan (pembagian) produk yang ditawarkan di
auction oleh beberapa pembeli dan terkadang menyalahi Term Of Regulation (TOR) pelelangan.
Kondisikondisi tersebut membuat penemuan harga menjadi tidak fair. Kondisi tersebut dapat saja terjadi
karena produksi PTPN untuk jenis mutu tertentu yang diinginkan buyers jumlahnya sedikit, sedangkan dalam
pembelian persyaratan lelang adalah minimal satu chop (40-44 papersack atau 48-60 kg teh tergantung
jenisnya) dan ada pembeli yang berlebih, sehingga terjadilah di pihak buyers ada semacam pembagian

114
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
seperti arisan. Selain itu, ada fanatical buyers untuk membeli produk ke satu hasil perkebunan PTPN tertentu
yang mempunyai karakteristik lokasi yang berlainan. Asosiasi Tea Buyers yang ada selama inipun belum
dapat membantu mencari solusi permasalahan ini. Khususnya KPB sebagai penyelenggara lelang JTA dan
CCDC sebagai penyelenggara lelang BTA masih belum secara tegas memberlakukan ketentuan TOR dalam
penyelesaian outstanding contract dan prosedur lainnya. Oleh karena itu, transparansi harga merupakan
syarat mutlak yang harus dilaksanakan di lembaga lelang teh, karena mempengaruhi penjual maupun
pembeli untuk mengikuti lelang.
Kepastian pasar, secara uji statistik memberikan pengaruh signifikan terhadap keikutsertaan peserta
ke pasar lelang. Hal ini secara nyata dapat terlihat bahwa produk teh yang dijual di pasar lelang sudah
terpenuhi secara volume, mutu maupun harga, yang akhirnya dapat dijadikan patokan atau acuan para
buyers untuk menjual lagi ke pasar domestik maupun ke pasar-pasar negara lain. Apalagi produk PTPN yang
mempunyai mutu yang baik sesuai standard dunia, yaitu high premium grade sangat dibutuhkan oleh
buyers, karena setiap lelang seringkali 100 persen produk teh hitam yang di lelang habis terjual. Demikian
pula untuk yang off grades dalam pelelangan hampir 90 sampai 100 persen terjual. Jenis off grades ini
banyak diminati oleh pasar lokal , yaitu para blender, packers dan industri teh wangi.Dalam kaitannya
dengan pemasaran ke negara lain terkadang jenis produk teh yang dijual oleh produsen Indonesia
khususnya PTPN belum memenuhi kebutuhan konsumen atau pasar dunia. PTPN sebagai produsen teh
Indonesia masih product oriented atau belum mengarah ke market oriented.
Mekanisme lelang secara uji statistik tidak memperlihatkan pengaruh terhadap keikutsertaan peserta
ke pasar lelang, namun sekitar 83 persen dari peserta lelang memberikan persepsi bahwa pada saat ini
mekanisme lelang tidak memberatkan dan mendorong penjual dan pembeli ikut serta ke pasar lelang. Para
pembeli di pasar lelang merupakan pembeli tetap dan besar yang memiliki kemampuan finansial untuk
membeli seluruh teh di tempat lelang, sedangkan penjualnya saat ini lebih didominasi oleh PTPN yang
bargaining posisinya terlihat lemah.
Kepatuhan aturan main, yaitu kepatuhan peserta dalam melaksanakan TOR yang sudah ada. TOR
tersebut berisi semua persyaratan dan tata cara lelang dari mulai pra lelang, saat lelang sampai pasca lelang.
Berdasarkan hasil penelitian secara deskriptif, bahwa 88 persen peserta lelang memberikan persepsi bahwa
mereka sudah mengikuti aturan main yang diitetapkan oleh lembaga lelang, namun TOR tersebut oleh
lembaga lelang belum dilaksanakan secara adil, tegas dan lugas. Selain belum dilaksanakan dengan baik,
TOR ini dianggap belum mengacu kepada standar lelang dunia. sehingga perlu ada penyempurnaan TOR
yang dapat mengacu pada standar lelang dunia dan memenuhi keinginan peserta lelang yang disusun
berdasarkan bottom up yaitu disusun bersama-sama antara peserta lelang dan lembaga lelang. Hal ini
mengingat, ada kecenderungan selama ini TOR disusun oleh sepihak saja.
Struktur Pasar Lelang
Pasar lelang yang ada saat ini belum menerapkan pasar lelang sesuai konsep. Kondisi ini dapat
dilihat antara lain dari struktur pasar yang terjadi saat ini yang tidak berada pada pasar persaingan sempurna
tetapi oligopoli. Berdasarkan nilai HHI diperoleh 1.895, artinya pasar sangat terkonsentrasi. Suatu pasar
dengan konsentrasi yang sangat tinggi akan menghambat proses kompetisi dan juga menghambat pelaku
pemasaran lain yang akan masuk. Kondisi ini dapat dilihat bahwa pada lelang teh sangat didominasi buyers
yang kuat modalnya dan memiliki bargaining power sedangkan penjual memiliki bargaining position yang
lemah. Struktur pasar yang terjadi lebih mengarah kepada oligopoli. Pasar lelang sebagai pasar alternatif
baru dimanfaatkan oleh sebagian kecil produsen teh, belum melibatkan seluruh prodeusen teh termasuk para
petani teh. Price discovery belum memberikan perbaikan harga bagi produsen Pasar lelang teh di Indonesia
belum memperlihatkan membantu mewujudkan penemuan harga (price discovery) sehingga harga teh
Indonesia belum dapat mendekati harga pasar dunia, malah terjadi disparitas harga yang cukup signifikan.

115
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan, faktor-faktor penentu keikutsertaan penjual dan pembeli ke pasar
lelang teh yaitu transparansi harga, kepastian pasar, mekanisme sistem pemasaran lelang, dan aturan main
di pasar lelang. Faktor yang paling berpengaruh terhadap keikutsertaan peserta dalam pasar lelang adalah
transparansi dan kepastian pasar. Pasar lelang yang ada saat ini belum menerapkan pasar lelang sesuai
konsep. Kondisi ini dapat dilihat antara lain dari struktur pasar yang terjadi saat ini yang tidak berada pada
pasar persaingan sempurna tetapi oligopoli. Kinerja pasar lelang teh di Indonesia belum optimal yang
tercermin dari penurunan kontinyuitas penyelenggaraan dan jumlah penjual serta pembeli. Pasar lelang
sebagai pasar alternatif baru dimanfaatkan oleh sebagian kecil produsen teh, belum melibatkan seluruh
prodeusen teh termasuk para petani teh.Price discovery belum memberikan perbaikan harga bagi produsen
dan terjadi disparitas harga antara para produsen teh di pasar Indonesia dan dunia.Persepsi lembaga-
lembaga yang terlibat dalam lelang tehternyata berbeda-beda, yang justru menghambat proses price
discovery sehingga outcomenya tidak sesuai dengan harapan.

REKOMENDASI
Berdasarkan uraian pembahasan dan kesimpulan , maka untuk pengembangan pasar lelang yang lebih
efektif dan efisien direkomendasikan sebagai berikut :
- Lembaga lelang Indonesia perlu mengundang lebih banyak lagi pembeli (buyers) terutama dariluar negeri
agar harga yang terjadi di pasar lelang lebih kompetitif.
- Perlu dibentuk lembaga lelang Indonesia yang harus bersifat Independent dan berbadan hukum dan
model kelembagaannya mengacu kepada tipologi lembaga lelang Kenya yaitu Kenyan Tea Development
Agency Ltd (KTDA).
- Perlu adanya networking dengan pasar teh dunia, sehingga dalam penentuan harga limit dapat mengacu
pada pasar teh dunia.Perlu dibangun pasar lelang teh on line system agar semua pelaku pasar teh dapat
- mengikuti lelang dan mendapatkan informasi pasar secara cepat melalui media komputerisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
1. DTI. 2013. Perkembangan Harga Teh Indonesia. Jakarta. Dewan Teh Indonesia.
2. KPB, 2013. Perkembangan Harga Rata-Rata Teh Di Pasar Lelang. Jakarta. KPB
Sumber Jurnal:
3. Aurora, 2002. Horticultural Auctions in The Netherlands : A transition from Price Discovery
Institution to Marketing Institution. Journal of International Food and Agribusiness
Marketing. Netherlands.The Haworth Press, Inc.
4. Dahl, Dale C and Jerome.W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural
Industries. New York.Mc Graw-Hill Book Company.
5. Kohl, Richard L. and Joseph Uhl, 2002. Marketing of Agricultural Products. New Jersey.
Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River. Ninth Edition.
6. Tallontire, Anne. 2001. The Implications of Value Chains and Responsible Business for The
Sustainable Livelihoods Framework : Case Studies of Tea and Cocoa.Kenyan.The Kenyan Tea
Development Agency Ltd (KTDA).
Sumber Internet:
7. Mardjoko, Tri. 2004. Pasar Lelang : Harapan Baru Memperbaiki Posisi Tawar Petani.
http://Google.com (26/11/2012).

116
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

18.TINJAUAN KESELARASAN SUMBERDAYA MANUSIA SEKTOR


PERTANIAN DI INDONESIA
Studi Kasus : Fullfillment Index Sektor Perkebunan
Di Kabupaten Merauke – Papua

Aldon Sinaga1), Umi Rofiatin, Asnah2), dan Warter Agustim3)


Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Tribhuwana Tunggadewi,
1
Jl. Telaga Warna Blok C – Tlogomas – Malang 65144
(E-mail : aldon.sinaga@unitri.ac.id / a_sinaga@hotmail.com)

ABSTRAK
Sebagai negara Agraris, sektor pertanian Indonesia merupakan sektor penting yang tumbuh sangat
pesat seiiring pertumbuhan penduduk. Sektor pertanian saat ini harus menopang kebutuhan pangan,
manufaktur hingga energi masa depan. Hal ini membuat sektor pertanian menjadi sektor yang sangat
penting bagi ketahanan bangsa.
Guna memastikan ketahanan , daya dukung sumberdaya alam dan infrastruktur harus diimbangi
dengan ketersediaan sumberdaya manusia pengelola yang kompeten, dengan kualifikasi dan jumlah yang
cukup untuk menjamin bertumbuh kembangnya sektor ini.
Permasalahan sumberdaya manusia dalam bidang pertanian adalah beralihnya sumberdaya manusia
pertanian ke luar bidang pertanian, serta rendahnya minat generasi muda dalam bidang pertanian. Hal ini
ditunjukkan dengan menurunnya jumlah sekolah menengah bidang pertanian serta menurunnya keberadaan
Lembaga Kursus dan Pelatihan bidang pertanian.
Akibat permasalahan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah seberapa sesuaikah sumberdaya
manusia yang bekerja di sektor pertanian saat ini. Nilai Kesesuaian yang diperoleh akan dapat digunakan
untuk menduga tingkat kebutuhan sumberdaya manusia untuk mencapai kesesuaian yang tinggi.
Studi ini adalah salah satu bagian dalam Program Nasional Penyelarasan Pendidikan dan Dunia Kerja,
yang bertujuan; Memperoleh informasi yang akurat tentang kesesuaian sumberdaya manusia berdasarkan
kebutuhan dunia kerja dibidang perkebunan wilayah Kabupaten Merauke – Papua
Data diperoleh dari survey pada 16 perusahaan perkebunan yang beroperasi di Kabupaten Merauke.
Perhitungan kesesuaian di duga melalui rumusan Fullfillment Index (FI). Analisis menggunakan analisis
Deskriptif.
Hasil analisa data yang dilakukan memberikan kesimpulan bahwa Fullfilment Index (FI) beberapa
bagian dalam perusahaan cenderung tinggi terutama pada bagian Gudang (0,84), dan Peralatan (0.78). FI
cenderung rendah untuk bagian Produksi (0,67), General Affair (0,67) dan Personalia (0.54).

Kata Kunci : keselarasan, fullfillment index, sumberdaya manusia

ABSTRACT
Indonesia has experienced the importance role of agricultural sector which developed very rapidly as
population growth. The agricultural sector should sustain the needs of food product, manufacture and also
energy for the future.
The shift of HR‟s from agricultural, to other sector outside agricultural is an Important agricultural
issues. Another issues is decreasing of youth interest in agriculture. This fact has shown as decreasing
number of agriculture vocational school and declining presence of agricultural training institute.
The question arises on how consisten is HR which work in the agricultural sector today. Alignment Index
obtained can be used to predict the level of HR requires meet the demands.

117
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
The research aimed to get an accurate information about the suitability of HR‟s based on the workforce
demands in plantation operates at district of Merauke – Papua. Data obtained from 16 companies operated in
the Merauke district. The Alignment of HR‟s has calculated through the Fullfillment Index (FI). Descriptive
statistics has used analyze the data Results shows that some division of the company tends to have high
alignment, ie :
warehouse/purchasing (0.84) and engineering (0.78). Otherwise FI tends to be low for Production division
(0.67), General Affair (0.67) and Personnel (0:54).
Key Words : Alignment, Fullfillment Index, Human Resource

PENDAHULUAN
Pengangguran dan kualitas angkatan kerja merupakan permasalahan yang masih mengemuka di
Indonesia. Jumlah angkatan kerja yang besar dan penerimaan pasar tenaga kerja yang rendah mendorong
pertumbuhan pengangguran yang tinggi. Sepanjang tahun 2011 hingga 2012 tercatat angkatan kerja
tumbuh dari 111,8 juta orang menjadi 114,2 juta orang.
Pertanian merupakan sektor penting dalam menyerap tenaga kerja Indonesia. Data FAO dalam
menunjukkan bahwa hingga tahun 2010 47-57% populasi di Asia hidup dari bidang pertanian sebagai
sumber pendapatan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dimana jumlah rumah tangga yang hidup dari
sektor pertanian mencapai 58% (FAO, 2010)
Sumberdaya manusia di bidang pertanian memiliki peran yang penting bagi masa depan pertanian
Indonesia. Besarnya jumlah penduduk yang menggantungkan diri dalam bidang pertanian serta sistem
pertanian padat karya menyebabkan sektor ini sangat bergantung pada keterlibatan sumberdaya manusia.
Ketergantungan pada sumberdaya manusi tidak diikuti oleh pertumbuhan pasokan sumberdaya
manusia pertanian. Merujuk studi yang dilakukan Sjafrida dan Firdaus (2009 dalam Firdaus (2013)) dalam
kurun waktu lima tahun terakhir terjadi penurunan minat siswa untuk belajar di perguruan tinggi dalam
bidang pertanian. Bidang pertanian hanya dipilih oleh 12% peserta seleksi masuk perguruan tinggi, jumlah
ini jauh di bawah bidang MIPA dan sosial.
Berbeda dengan keadaan berbagai industri, permasalahan terbatasnya sumberdaya manusia justru
terjadi pada sektor pertanian. Firdaus (2013) menyatakan komposisi sumberdaya manusia yang
berpendidikan sarjana hanya mencapai 0,1%, Diploma 0,2% dan Sekolah Mengnengah Atas 7%. Dengan
kata lain bila sektor ekonomi lain mengalami berlimpahnya sumberdaya manusia, kelangkaan sumberdaya
manusia justru terjadi pada sektor pertanian. Hal ini menunjukkan salah satu bentuk ketidakselarasan antara
ketersediaan pasokan sumberdaya manusia dengan permintaan sektor pertanian tidak hanya dalam dimensi
jumlah tetapi juga dalam dimensi kualitas dan kesesuaian sumberdaya manusia.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memetakan kebutuhan / permintaan sumberdaya manusia bagi usaha perkebunan di Merauke,
berdasarkan dimensi kuantitas, kualitas, waktu dan tempat.
2. Mengukur indeks kesesuaian / fullfillment index berbagai bidang pekerjaan dalam usaha perkebunan di
Merauke.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Merauke, pada tanggal 1 Juli – 15 Desember 2012. Fokus
kajian yang dipetakan didasarkan pada Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguna Ekonomi
Indonesia (MP3EI) untuk Papua dan Maluku, yang menekankan wilayah ini sebagai pusat pengembangan
Pangan, Perikanan, Energi dan Pertambangan. Papua dan Maluku memiliki 5 kegiatan ekonomi utama, yaitu
: Pertanian Pangan, Perikanan, Tambang Tembaga, Nikel dan Migas.
Obyek Penelitian adalah usaha perkebunan yang beroperasi di Merauke, yang diperoleh dari
Populasi seluruh usaha Sektor Pertanian - Perkebunan di Merauke. Jumlah elemen industri perkebunan
dalam wilayah penelitian tidak banyak, untuk itu responden diambil dari keseluruhan populasi usaha
perkebunan yang telah beroperasi atau memperoleh ijin operasi.
Variabel utama yang diamati dan dianalisa adalah empat dimensi permintaan tenaga kerja yaitu
dimensi kuantitas, kualitas, lokasi dan waktu. Keempat dimensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Dimensi Kuantitas, variabel yang diamati adalah; Jumlah tenaga kerja berdasarkan departemen dan level
118
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
jabatan
b. Dimensi Kualitas, variabel yang diamati adalah Jumlah tenaga kerja berdasarkan (1) jenjang pendidikan
dalam kelompok level jabatan, (2) pengalaman saat diterima masuk pada kelompok level jabatan,
c. (3) keterampilan / pemilikan sertifikasi baik profesi, keterampilan maupun kursus dalam kelompok level
jabatan
d. Dimensi Lokasi, variabel yang diamati adalah Jumlah tenaga kerja berdasarkan; (1) area industry, (2).
wilayah asal pendidikan.
e. Dimensi Waktu, variabel yang diatati adalah Jumlah tenaga kerja yang diminta berdasarkan pengalaman
kerja dan (2). Proyeksi kebutuhan tenaga kerja waktu mendatang dalam masing-masing area industri
dan level jabatan
Mengukur kesesuaian / fullfilment Index dikumpulkan data Persepsi Industri mengenai kesesuaian
kompetensi SDM dengan pekerjaan yang dilaksanakan / ditugaskan. Mengukur kesesuian kompetensi SDM
digunakan ukuran / indeks yang dikenal dengan Fullfillment (FI). FI merupakan pengukuran indeks
kesesuaian yang didasarkan pada dua dari empat dimensi kesesuaian yaitu ; tempat/lokasi, dan kompetensi.
Perhitungan dilakukan dengan asumsi sebagai berikut :
a. Penetapan bobot untuk kompetensi (k) yang dilakukan dengan pedoman sebagai berikut
 Kompetensi Sangat sesuai = 1
 Kompetensi Kurang sesuai = 0,5
 Kompetensi Tidak sesuai = 0,1
b. Penetapan bobot untuk lokasi (l) dilakukan dengan pedoman sebagai berikut
 Dalam kota =1
 Dalam Propinsi = 0,67
 Luar Propinsi = 0,33
 Luar Negeri = 0,1
c. Perhitungan nilai fullfillment index yang dilakukan dengan perhitungan

Dimana : 1. FI = Fillfillment indeks


2. l = indeks lokasi
3. k = indeks kompetensi
4. D= Permintaan kompetensi
perusahaan pada posisi i
Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan dari penelitian ini adalah Analisis
Deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dimensi Kuantitas Permintaan Sumberdaya Manusia Perkebunan
Secara umum perusahaan perkebunan merupakan kegiatan usaha yang padat karya. Hal ini
disebabkan berbagai pekerjaan dalam tahapan usaha perkebunan masih banyak yang tidak dapat digantikan
oleh peralatan modern.
Rata-rata sebagian besar tenaga kerja perkebunan (83%) ada pada jenjang operator, 10%
supervisor dan 7% manajer (Gambar 1.). Untuk beberapa perusahaan yang telah beroperasi optimal,
bahkan memiliki komposisi operator lebih dari 90% dari seluruh tenaga kerja.

Manajer Supervisor
7% 10%

Operator
83%

Gambar 1. Sebaran Posisi Tenaga Kerja dalam Perusahaan Perkebunan

119
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Secara umum perusahaan perkebunan yang beroperasi di Merauke memiliki 5 departemen. Penamaan dan
pengelompokan departemen ini didasarkan pada aktivitas dalam perusahaan yaitu; (a.) Departemen
Produksi / Plantation, (b.) Departemen HRD / Personalia, (c.) Departemen Gudang dan purchasing, (d.)
Departemen Engineering / Peralatan dan (e.) Departemen General Affair / Legal / Umum. Setiap perusahaan
memiliki pola dan komposisi SDM berbeda-beda pada masing-masing departemen sesuai kebutuhan dan
aktivitas masing-masing perusahaan. Diantara kelima departemen, Departemen produksi merupakan
departemen yang memiliki sumberdaya manusia terbanyak (86%). Depertemen yang peling sedikit memiliki
SDM adalah departemen Purchasing / Gudang (1%) dan Personalia (2%). Sementara Departemen General
Affair/ Legal dan Peralatan atau enggineering memiliki komposisi SDM berturut-turut 4% dan 10% (Gambar
2.).

100% 83%
80%
60%
40%
20% 10%
2% 1% 4%
0%
Plantation / Personalia Gudang / Peralatan / General
Produksi Purchasing Engineering Affair / Legal

Gambar 2. Sebaran Tenaga Kerja pada departemen dalam Perusahaan Perkebunan

Dimensi Kualitas Permintaan Sumberdaya Manusia Perkebunan


Pendidikan merupakan indikator penting untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia.
Pendidikan umumnya digunakan dalam menentukan jabatan maupun bidang yang di tugaskan pada tenaga
kerja. Hasil penelitian menunjukkan beberapa posisi tertentu dipersyaratkan tingkat pendidikan tertentu dan
dengan keterampilan tertentu.
Sebaran pendidikan tenaga kerja dalam seluruh perusahaan perkebunan didominasi oleh tenaga
kerja dengan pendidikan SMP/SD (71%). Hanya sebagian kecil berpendidikan SMK (9%), SMA (8%),
Sarjana (9%) dan D3 (2%) (Gambar 3.). Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian bear sumberdaya
manusia perkebunan berpendidikan rendah dan tidak memiliki latar belakang bidang perkebunan / pertanian.
80% 71%
70%
60%
50%
40%
30%
20% 9% 8% 9%
10% 0% 0% 2% 0% 0%
0%

Gambar 3. Sebaran PendidikanTenaga Kerja dalam Perusahaan Perkebunan

Berdasarkan kelompok jabatan dalam perusahaan, sebaran pendidikan menunjukkan bahwa untuk
jenjang manajer, sebagian besar posisi manajer (92,6%), ditempati oleh lulusan sarjana, selebihnya adalah
S2 (3%) dan SMA sederajat (3%) serta D3 (3%). Semakin rendah jenjang, semakin rendah pula tingkat
pendidikan yang paling dominan. Hal ini ditunjukkan dengan dominannya jumlah tenaga kerja berpendidikan
Sekolah Menengah (54,5%) pada kelompok jenjang supervisor, serta dominannya tingkat pendidikan SMP
dan SD (83%) pada jenjang operator (Gambar 4.).

120
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
92%
100%
80%
60%
40%
20% 3% 3% 3% 0% 0%
0%
S2 S1 D3 SMA SMK SMP/SD

Manajer

Gambar 4. Sebaran PendidikanTenaga Kerja pada level Manajer


Pendidikan SMK merupakan pendidikan yang paling tinggi diserap untuk posisi supervisor (43%).
Posisi ini memiliki berbagai tugas / pekerjaan seperti “junior agronomist”, “planting assistant” dan “junior
mechanics”. Untuk kelompok pendidikan ini, tenaga kerja diserap dari berbagai bidang ilmu seperti
pertanian, mekanisasi pertanian, perkebunan, mesin dan listrik. Posisi supervisor juga banyak diisi oleh
tenaga kerja sarjana (28%) dan SMA (20%).
Posisi / jenjang operator kebanyakan diisi oleh tenaga kerja SMP dan SD (85%). Kebanyakan
mereka bekerja pada bidang budidaya sebagai pelaksana penanaman, pemupukan, pengendalian hama
penyakit tanaman dan aktivitas budidaya lainnya. Pada beberapa pos, terdapat operator yang berpendidikan
SMK (6%) dan SMA (7%). Operator pada tingkatan ini bekerja untuk aktivitas operator alat berat, staf
pembibitan, pengumpul data dan lain-lain.
Bidang Ilmu dan Kesesuaian Bidang ilmu
Pada jenjang manajemen, terdapat variasi bidang ilmu yang cenderung lebih sempit. Pada Sektor
perkebunan manajer dituntut untuk memiliki latar belakang bidang pertanian atau perkebunan. Rentang
bidang ilmu ini semakin lebar pada kelompok supervisor dan operator. Hampir seluruh manajer perkebunan
perusahaan responden (90%) memiliki latar belakang pendidikan Pertanian / Perkebunan. Hanya 2
perusahaan yang dipimpin oleh manajer berlatar belakang Ekonomi, karena perusahaan tersebut belum
beroperasi dan masih dalam tahap pengurusan ijin.
Bidang pertanian dan perkebunan masih merupakan bidang yang paling dominan (74%)
menduduki posisi supervisor, selebihnya bidang ilmu yang dimungkinkan pada jenjang supervisor adalah,
Ekonomi (9%), Teknik Mesin (8%), Teknik Listrik / Elektronika (2%) dan Hukum (1%). Pada jenjang
operator, terdapat rentang bidang ilmu yang lebih lebar. Dengan beberapa bidang ilmu yang dimungkinkan.
Pada jenjang operator, tidak terdapat spesialisasi yang jelas. Karena kebanyakan berasal dari pendidikan
menengah pertama.
Kecakapan umum. Pada perusahaan perkebunan, kecakapan umum yang menonjol adalah
Bahasa Inggris, Komputer, Administrasi dan Safety (K3). Kecakapan ini berkaitan dengan kebutuhan
pekerjaan dan pengambilan keputusan manajemen. Penguasaan Komputer ditetapkan pada 32% posisi
tenaga kerja yang berada pada jenjang manajemen hingga supervisor dan sebagian operator.
Penguasaan bahasa Inggris ditetapkan hingga tingkat supervisor. Hal ini berkaitan dengan penguasaan SDM
pada instruksi, administrasi dan pedoman penggunaan peralatan / mesin yang sebagian besar berbahasa
Inggris.
Terdapat perbedaan kecakapan yang dituntut dalam tiap jenjang jabatan. Pada jenjang manajer,
kecakapan umum yang dikuasi oleh tenaga kerja adalah Bahasa Inggris (22%), Komputer (14%) dan
administrasi (3%).Tidak jauh berbeda pada tingkat supervisor yang memiliki komposisi penguasaan
kecakapan umum Bahasa Inggris (15%), Komputer / ITC (8%), dan adinistrasi (8%). Untuk operator,
tampak tidak diperlukan kecakapan umum seperti bahasa inggris dan komputer yang keduanya hanya
dikuasai oleh kurang dari 1% tenaga kerja tingkat operator.
Pemenuhan kecakapan khusus perusahaan Perkebunan menunjukkan nilai yang rendah, terutama
berkaitan dengan keterampilan standar pada bidang kerja / task yang dibebankan pada SDM. Diantara
kecakapan khusus yang dipersyaratkan yang menonjol adalah Perkebunan / budidaya (42%), Mesin /
Peralatan dan Alat Berat (20%), dan Manajemen Perkebunan (20%). Ketiganya merupakan kecakapan
khusus pada Departemen Produksi / Plantation. Pemenuhan kecakapan khusus pada Departemen Produksi /
Plantation berturut-turut adalah Perkebunan / budidaya (3,9%), Mesin / Peralatan dan Alat Berat (2.2%),
dan Manajemen Perkebunan (1,8%) Lemahnya pemenuhan kecakapan khusus yang dipersyaratkan
121
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
perusahaan, menyebabkan perusahaan melatihkan kecakapan tersebut secara mandiri maupun bekerjasama
dengan pusat / balai pelatihan. Kecakapan tentang mesin, peralatan serta keselamatan kerja, merupakan
kecakapan yang umumnya dilakukan melalui kerjasama program pelatihan. Kerjasama ini biasanya
melibatkan Balai Latihan Kerja sebagai Fasilitator dan Perusahaan pemegang merek peralatan sebagai pelatih
/ mentor.
Pemenuhan kecakapan manajer perkebunan adalah; aspek manajemen perkebunan (30%),
Teknologi Proses dan Produksi (22%) serta Alat berat (14%). Selebihnya terdapat kecakapan terutama
penguaasaan komoditi, mesin / mekanisasi pertanian (Gambar 5).

35% 30%
30%
25% 22%
20% 14%
15% 11%11%
10%
3% 3% 3% 3%
5% 0% 0% 0% 0% 0%0%
0%
Manajemen …
Teknologi Proses / …

Mesin / Mekanisasi …

AMDAL

Safety / K3
Hukum / Perijinan
Survey / Pemetaan

Perpajakan
Listrik / Elektronika

Akuntansi / Keuangan

Keamanan
Alat Berat
Komoditi Perkebunan

Mengemudi
Ketenagakerjaan

Gambar 5. Sebaran Kecakapan Khusus SDM dalam perusahaan Perkebunan pada jenjang Manajer.

Supervisor perkebunan saat ini menguasai kompetensi khusus manajemen perkebunan dan keuangan /
akuntasi (12%), teknologi proses / proses produksi (10%), serta Mesin / Mekanisasi pertanian (8%) (Gambar
6). Pada jenjang operator, sangat sedikit kompetensi khusus yang dimiliki sumberdaya manusia.
Kompetensi khusus yang yang menonjol pada jenjang oerator adalah mengemudi, mesin dan mekanisasi
pertanian serta keamanan (Gambar 7).

14%
12% 12%
12%
10%
10%
8%
8%
6% 4% 4%
4% 2% 2% 2% 2%
2% 0% 0% 0% 0% 0%
0%
Teknologi Proses / …

Mesin / Mekanisasi …

AMDAL

Mengemudi
Safety / K3
Listrik / Elektronika

Keamanan
Perpajakan
Survey / Pemetaan

Ketenagakerjaan
Alat Berat
Komoditi Perkebunan

Akuntansi / Keuangan
Manajemen Perkebunan

Hukum / Perijinan

Gambar 6. Sebaran Kecakapan Khusus SDM dalam perusahaan Perkebunan pada jenjang supervisor.

122
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

2% 2%
2%
1%
1%
1% 1% 1%
1% 0% 0%
1%
0% 0%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
0%
Teknologi Proses / …

Mesin / Mekanisasi …

AMDAL

Mengemudi
Listrik / Elektronika

Safety / K3
Perpajakan

Keamanan
Survey / Pemetaan

Ketenagakerjaan
Alat Berat
Komoditi Perkebunan

Akuntansi / Keuangan
Manajemen Perkebunan

Hukum / Perijinan

Gambar 7. Sebaran Kecakapan Khusus SDM dalam perusahaan Perkebunan pada jenjang operator.
Kesesuaian pendidikan serta kecakapan dengan posisi yang diduduki merupakan indikator seberapa
diperlukan kecakapan tertentu dalam menunjang posisi dan pekerjaan SDM. Kesesuaian yang tinggi
diperoleh pada tingkat / jenjang manajer. Sedang pada jenjang operator, kesesuaian cenderung rendah.
Hal ini dapat dimengerti karena dalam perusahaan perkebunan pada jenjang yang lebih rendah, diaggap
tidak memerlukan persyaratan kesesuaian bidang ilmu dan kecakapan khusus.
Soft Skills penting yang diminta oleh usaha perkebunan adalah Disiplin dan Jujur. Sikap ini
merupakan sikap yang disetujui harus dimiliki oleh semua SDM perkebunan. Keinginana belajar, bekerja
dibawah tekanan dan memiliki ketahanan bekerja dilingkungan yang tidak menyenangkan dan bekerja dalam
ritme yang rutin merupakan kelompok softskills penting pula.
Dimensi Waktu Permintaan SDM Usaha Perkebunan
Pengalaman, Pengalaman sangat penting tampak untuk posisi Manajerial, di mana >85% posisi
ini memiliki pengalaman untuk pekerjaan / tugas yang sama sebelumnya. Untuk posisi Supervisor >65%
posisi yang ada memiliki pengalaman, dan semakin kecil (55%) untuk posisi Operator.
Perusahaan pada umumnya menegaskan pentingnya pengalaman pada berbagai jenjang. Manajer
terutama diharapkan diduduki oleh sumberdaya manusia dengan pengalaman 2 – 8 tahun. Posisi supervisor
diharapkan memiliki pengalaman antara 1-5 tahun. Sedang untuk tenaga operator, sering, pengalaman tidak
terlalu dibutuhkan (Sinaga dkk, 2011)

>5 tahun
4%

1-5 tahun <1 tahun


45% 51%

Gambar 8. Sebaran tenaga kerja menurut pengalaman


Berdasarkan pengalaman bekerja tenaga kerja, kebanyakan tenaga kerja yang saat ini berada dalam
perusahaan baru bekerja kurang dari 1 tahun (51%) dan 1-5 tahun (45%). Hanya 4% tenaga kerja yang
telah bekerja lebih dari 5 tahun (Gambar 8.).

123
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

100%

80%

60%
>5 tahun
40% 1-5 tahun
<1 tahun
20%

0%
Manajer Supervisor Operator

Gambar 9. Distribusi Pengalaman SDM pada berbagi Jenjang Jabatan


Dominasi tenaga kerja yang baru bekerja < 1 tahun ini terutama terjadi pada tenaga kerja pada
posisi operator / tenaga teknis perkebunan yang berasal dari tingkat pendidikan SMP / SD. Pemenuhan
pengalaman sumberdaya manusia perkebunan menurut jenjang jabatan menunjukkan bahwa pengalaman
yang dipersyaratkan belum terpenuhi di semua jenjang (Gambar 9).
Dimensi Lokasi SDM Usaha Perkebunan
Lokasi, merupakan salah satu faktor yang dipentingkan dalam menetapkan keselarasan.
Perusahaan menginginkan SDM diperoleh dari wilayah di mana perusaaan beroperasi. Umumnya pendidikan
spesifik tidak terdapat pada kota-kota disekitar wilayah rekrutmen. Hal ini dipersulit dengan minat peserta
didik yang berlawanan dengan kebutuhan masa depan industri.
Dinas tenaga kerja Kabupaten Merauke secara rutin menandatangani Akad Penyediaan Tenaga
Kerja antar Daerah dengan beberapa daerah di Jawa. Akad ini dilakukan utnuk menutup kebutuhan tenaga
kerja pada waktu yang mendesak. Keberadaan akad ini tentu akan semakin memperbesar jumlah tenaga
kerja asal luar wilayah Merauke.

Luar
Propinsi
Luar Negeri
10%
0%
Dalam
Propinsi
19%
Dalam Kota
71%

Gambar 10. Asal Pendidikan SDM pada perusahaan Perkebunan


100%

80%

60%
Operator
40%
Supervisor
20%
Manajer
0%
Dalam Kota Dalam Luar Propinsi
Propinsi

Gambar 11. Asal Pendidikan SDM menurut Jenjang pada perusahaan Perkebunan

124
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Walaupun akhirnya jumlah serapan tenaga kerja tertinggi (71%) berasal dari dalam wilayah Merauke, namun
kebanyakan pemenuhan kebutuhan ini hanya pada jenjang operator dengan tingkat pendidikan SMP / SD.
Masih sangat sedikit SDM pada jenjang supervisor dan manajer yang berasal dari kota Merauke (Gambar
10). Sementara untuk posisi manajer dan supervisor lebih banyak dipenuhi oleh sdm yang memperoleh
pendidikan diluar Merauke (Gambar 11).

Fullfillment Index (FI)


Menurut harapan perusahaan, kesesuaian kompetensi SDM secara umum bernilai rendah. Hanya
17% komposisi SDM dalam perusahaan yang telah sesuai dengan spesifikasi pekerjaan maupun karakter
yang diharapkan perusahaan. Selebihnya 83% SDM kurang hingga tidak sesuai dengan posisi yang di
tempati (Gambar 12).

Tidak Sesuai
Sesuai 17%
27%

Kurang
Sesuai
56%
Gambar 12. Kesesuaian Kompetensi SDM pada perusahaan Perkebunan

Gambar 13. Distribusi kesesuaian kompetensi SDM menurut Jenjang pada Perusahaan Perkebunan
Ketidakselarasan ini tidak berlaku menyeluruh. Bila data dipisahkan berdasarkan jenjang posisi,
maka akan tampak bahwa ketidak sesuaian terbesar terletak pada jenjang operator, yang pada perusahaan
perkebunan tidak memerlukan kesesuaian bidang ilmu spesifik dan kecakapan khusus. Sebaliknya pada
jenjang yang lebih tinggi maka kesesuaian akan semakin tinggi karena meeng kebutuhan posisi
mensyaratkan penguasaan kompetensi dan latar belakang pendidikan yang lebih spesifik (Gambar 13).
Tabel 1. menunjukkan bahwa sedikit SDM Manajer dan Supervisor yang berada pada kesesuaian
yang rendah. Sebaliknya 63% SDM Operator cenderung kurang sesuai dengan kompetensi yang diperlukan

Tabel 1. Proporsi Kesesuaian Kompetensi SDM menurut jenjang jabatan pada Perusahaan Perkebunan
Kurang Tidak
Sesuai Sesuai Sesuai
Manajer 70% 27% 3%
Supervisor 73% 18% 8%
Operator 18% 63% 19%

125
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Perhitungan FI yang dilakukan atas setiap jenjang jabatan dan departemen dalam Perusahaan
Perkebunan menunjukkan hasil bahwa jenjang manajer mencapai nilai FI yang lebih rendah (0,63)
dibandingkan dengan supervisor (0,76) dan operator (0,73). Olvera (2011) dalam penelitiannya menyatakaan
pengambilan kesimpulan atas perhitungan fullfillment index sebagai berikut : 0 dikatakan rendah, 0,25
disebut dengan low medium, 0,5 dikatakan medium, 0,75 disebut dengan medium-high, dan 1 disebut
dengan high. Hasil penelitian menunjukkan, secara umum Fullfillment Indeks (FI) tertinggi diperoleh pada
jenjang Supervisor (0,76 / 76%) dan Operator (0,73 / 73%). Untuk jenjang manajer semua perusahaan
menunjukkan nilai FI yang hampir sama, dengan rata-rata 0,62 (62%). Kesemua nilai ini berkisar pada level
medium hingga medium high.
Tabel 2. Distribusi Nilai FI SDM menurut jenjang jabatan pada Perusahaan Perkebunan
Jenjang
Departemen Manajer Supervisor Operator
Plantation / Produksi 0,67 0,66 0,68
Personalia 0,54 - -
Gudang / Purchasing - 1,00 0,67
Peralatan / Engineering - 0,72 0,85
General Affair / Legal 0,65 0,66 0,70
Rerata 0,62 0,76 0,73

Kesesuaian FI pada jenjang supervisor terutama karena tuntutan pendidikan untuk supervisor
perusahaan perkebunan tidak terlalu kaku. Rentang bidang ilmu yang luas merupakan faktor yang
mengkontribusi besarnya angka keselarasan. Pada jenjang operator, nilai keselarasan / FI yang tinggi
disebabkan lokasi rekrutmen yang 75% berada di dalam wilayah Merauke, walaupun tingkat kesesuaian
kompetensi dan bidang ilmu cenderung rendah.
Distribusi nilai FI menunjukkan bahwa nilai FI terbaik terletak pada komposisi SDM departemen
Gudang / Purchasing (0,84) dan depertemen peralatan / Engineering (0,78). Kedua departemen tersebut
memiliki ketersediaan SDM yang cukup yang berasal dari propinsi, dan memiliki kemungkinan yang lebar
berdasarkan karakteristik jenjang pendidikan maupun bidang pendidikan. Sehingga lebih mudah untuk
memperoleh SDM guna mengisi pekerjaan tersebut. Departemen produksi (0,67) dan personalia (0,54)
memiliki nilai FI yang rendah karena ketersediaan SDM (terutama untuk jenjang manajer dan supervisor)
yang tidak praktis tersedia di sekitar wilayah Merauke. Hal lain yang juga mengkontribusi rendahnya nilai FI
pada depertemen ini adalah terbatasnya ketersediaan SDM terutama bidang hukum ketenaga kerjaan dan
psikologi yang bersedia bekerja di wilayah Merauke. Ini menyebabkan perusahaan cenderung
memanfaatkan tenaga yang telah dimiliki walaupun tidak memiliki latar belakang ketenaga kerjaan, untuk
duduk dalam departemen personalia.

KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini antara lain menunjukkan
1 Keadaan sumberdaya manusia pada perusahaan perkebunan adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan posisi dalam perusahaan, terdapat posisi 7% posisi manajer, 10% posisi supervisor
dan 83% posisi operator. Posisi operator merupakan posisi yang paling banyak menyediakan
lapangan pekerjaan.
b. Secara umum kualitas sumberdaya manusia menunjukkan hanya 11% yang memiliki pendidikan
tinggi (S1 dan D3), 8% pendidikan menengah umum, 9% pendidikan menengah kejuruan dan 71%
pendidikan dasar (SD dan SMP).
c. Kualifikasi kompetensi menunjukkan distribusi penguasaan kompetensi yang semakin lemah
dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan dan posisi jabatan.
d. Asal pendidikan sumberdaya manusia kebanyakan (71 %) berasal dari dalam kota Merauke, 19%
dalam propinsi Papua dan 10% dar iluar propinsi. Kebanyakan sumberdaya manusia dari dalam
koota adalah tenaga kerja tidak terampil (SD/SMP).
126
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
2 Fullfilment Index menunjukkan kecenderungan yang tinggi untuk posisi gudang / Purchasing (0.84) dan
Enggineering (0.78). Sebaliknya cenderung rendah untuk posisi Produksi / Plantation (0.67), General
Affair (0.67) dan Personalia (0.54).

DAFTAR PUSTAKA

Sumber seminar:
- FAO, 2010. Word Agriculture : Toward 2010. An FAO study. Office of Director General FAO of the
United Nations
- Sinaga, Aldon, Umi Rofiatin, Agustin Wulandari, Suhudi., 2011. Laporan Pemetaan Permintaan SDM
berdasarkan Dimensi Kuantitas, Kualitas, Lokasi dan Waktu di Kota Surabaya. Ditjen PAUDNI, Kemendiknas.
Sumber internet:
- Annoymous, 2012. Tantangan Penyediaan SDM Kompeten dalam Mendukung Pembangunan
Perkebunan Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementan. 25 September 2012.
http://ditjenbun.deptan.go.id/berita-270-tantangan-penyediaan-sdm-kompeten-dalam-mendukung-
pembangunan-perkebunan-di-indonesia.html
- César Martínez -Olvera (2011). Quantifying the Demand Fulfillment Capability of a Manufacturing
Organization, Supply Chain Management, Dr. pengzhong Li (Ed.), ISBN: 978-953-307-184-8, InTech,
Available from: http://www.intechopen.com/books/supply-chain-management/quantifying-the-
demand-fulfillment-capability-ofa-manufacturing-organization Quantifying the Demand Fulfillment
Capability of a Manufacturing Organization. Suply Chain Management. InTech
- Firdaus, M, 2013. Mau Jadi Apa Setelah Lulus Sarjana Pertanian ?. Info Kontributor Website Dirjen
DIKTI, Kemendiknas. 25 February 2013. http://www.dikti.go.id/?p=8273&lang=id

127
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

19.PERILAKU PETANI BAWANG MERAH DALAM MEREDUKSI RISIKO


SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS
USAHATANI (STUDI KASUS DI KECAMATAN BATUMARMAR
KABUPATEN PAMEKASAN)
Amanatuz Zuhriyah1), Aminah Happy MA2)
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura
amanatuz.zuhriyah@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besaran risiko usahatani bawang merah dan
mendiskripsikan perilaku petani dalam mereduksi risiko. Penelitian dilakukan di Desa Bangsereh Kecamatan
Batumarmar Kabupaten pamekasan. Metode penelitian dilakukan dengan cara kuantitatif dan diskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usahatani bawang merah termasuk dalam kategori usahatani yang berisiko
tinggi. Beberapa perilaku petani yang dilakukan untuk mereduksi risiko diantaranya : membeli bibit dari kios
saprodi, mengendalikan organisme pengganggu tanaman dengan menggunakan pupuk kimia, menggunakan
jarak tanam sesuai anjuran, memanfaatkan tenaga kerja dari luar desa, jika terjadi kegagalan mengambil
tabungan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kata Kunci : Risiko, Perilaku Petani, Bawang Merah, Reduksi

PENDAHULUAN
Pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki kontribusi penting dalam pendapatan
nasional dan mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Subsektor hortikultura memiliki risiko usaha
yang paling besar. Risiko yang terdapat dalam subsektor hortikultura dapat berasal dari risiko produksi
yang akan menurunkan produktivitasnya, dan risiko harga yang berdampak pada tingkat pendapatan yang
diterima oleh petani. Berkaitan dengan hal tersebut, maka setiap petani akan memiliki perilaku yang
berbeda-beda terhadap risiko yang dihadapi. Menurut Matlon (1991) Perilaku risiko petani dibedakan
menjadi: (a) perilaku sebelum terjadi goncangan yaitu ex ante; (b) perilaku pada saat terjadi goncangan
yaitu interactive; dan (c) perilaku setelah terjadi goncangan yaitu. Perilaku yang pertama dirancang untuk
mempersiapkan usahatani agar tidak berada pada posisi yang terlalu rawan pada saat goncangan terjadi.
Perilaku pada saat terjadi goncangan melibatkan realokasi sumberdaya agar dampak risiko terhadap
produksi dapat diminimalkan. Sedangkan perilaku setelah goncangan diarahkan untuk meminimalkan
dampak berikutnya. Ketiga jenis perilaku tersebut saling bergantung satu dengan yang lainnya (perilaku
yang satu merupakan fungsi dari perilaku yang lain).
Usahatani hortikultura bawang merah di Kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan memiliki
perkembangan yang cukup menarik. Sebelum tahun 2004 sampai tahun 2007 produktivitas usahatani
bawang merah di Kecamatan ini sangat rendah yaitu rata-rata sebesar 1.4 ton perhektar. Menurut Balai
Penyuluhan Pertanian setempat terdapat beberapa faktor yang menyebabkan produktivitas bawang merah
di daerah ini rendah diantaranya : (1) adanya serangan hama dan penyakit seperti : ulat bawang, penyakit
bercak ungu atau trotol, penyakit antraknose , dan (2) teknologi yang digunakan oleh petani tidak sesuai
dengan anjuran. Selanjutnya pada mulai tahun 2008 sampai sekarang kenaikan produktivitas bawang merah
sebesar empat kali lipat dari rata-rata tahun sebelumnya, bahkan pada tahun 2011 produktivitasnya
mencapai 7.12 ton perhektar.Menurut Khumbakar (2004) peningkatan produktivitas usahatani dapat
disebabkan karena 2 faktor yaitu (1) terjadi peningkatan efisiensi usahatani dan (2) peningkatan
kemampuan petani (perilaku petani) dalam mengatasi risiko usahatani. Kasus perbaikan produktivitas
bawang merah di Kecamatan Batumarmar didukung oleh banyak faktor, salah satunya adalah perilaku

128
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
petani dalam mengatasi risiko sebelum usahatani bawang merah dilakukan, pada saat usahatani
dilakukan, dan setelah terjadi guncangan risiko.
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat risiko produksi, biaya dan pendapatan pada usahatani bawang merah di
Kecamatan Batumarmar ?
2. Bagaimana perilaku petani bawang merah dalam mereduksi risiko sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas usahataninya ?
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis tingkat risiko produksi, biaya dan pendapatan usahatani bawang merah di Kecamatan
Batumarmar. Dari analisis ini diperoleh gambaran mengenai tingkat risiko usahatani bawang merah
di daerah penelitian.
2. Mendiskripsikan perilaku petani bawang merah dalam mereduksi risiko sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas usahataninya. Berdasarkan tujuan ini akan diperoleh penjelasan
bagaimana perilaku petani bawang merah dalam mengatasi risiko dalam usahataninya.
3.
METODE PENELITIAN
a. Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive di Kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan
karena daerah ini merupakan sentra produksi bawang merah terbesar di Pamekasan. Luas lahan yang
digunakan untuk usahatani bawang merah di daerah ini sebesar 1650 hektar, atau 80 persen dari luas lahan
total di Kabupaten Pamekasan yang dipergunakan untuk usahatani bawang merah.
b. Metode Penentuan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Multistage Cluster Random Sampling, yaitu suatu
teknik pengambilan sampel berdasarkan daerah populasi dan petani yang telah ditetapkan berdasarkan
kriteria yang diinginkan. Sedangkan penentuan jumlah sampel mengikuti rumus Slovin yaitu :
N
n
1  N(e)2
dimana : n adalah jumlah sampel, N merupakan jumlah populasi (jumlah petani bawang merah di Kecamatan
Batumarmar sebanyak 940 orang), dan e adalah nilai kritis yang digunakan (dalam penelitian ini 5 persen)
c. Metode Analisis Data
1. Analisis risiko produksi, biaya, dan pendapatan dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan
koefisien variasi dengan rumus sebagai berikut :

KV =
Xr
Dimana :
KV = Koefisien variasi
σ = Standar deviasi (simpangan baku)
Xr = Nilai rata-rata
Kriteria yang dipakai adalah :
 Nilai KV ≤ 0.5 usahatani yang dianalisis memiliki risiko kecil,
 Nilai 0.5 < KV ≤ 1, usahatani yang dianalisis memiliki risiko sedang
 Nilai KV > 1, usahatani yang dianalisis memiliki risiko besar.
2. Sedangkan diskripsi mengenai perilaku petani bawang merah dalam mereduksi risiko didekati dengan
menggali informasi tentang persepsi petani terhadap risiko, persepsi petani terhadap faktor-faktor yang
menjadi penyebab risiko, perilaku yang dilakukan oleh petani dalam rangka mereduksi risiko sebelum
kegiatan usahatani dilakukan (ex-ante), pada saat usahatani dilakukan (interactive), dan setelah terjadi
guncangan risiko (ex-post). Untuk mengukur persepsi petani terhadap risiko digunakan indikator
penilaian persepsi petani.

129
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Tingkat risiko produksi, biaya dan pendapatan usahatani bawang merah di Kecamatan
Batumarmar
Perhitungan mengenai besaran risiko produksi, risiko pendapatan, dan risiko biaya usahatani Bawang
merah di Desa Bangsereh ditunjukkan dalam Tabel 2. Berdasarkan nilai KV maka dapat disimpulkan bahwa
risiko produksi, biaya, dan pendapatan termasuk dalam kategori risiko tinggi karena nilai KVnya diatas 1.
Namun demikian nilai KV pada risiko produksi lebih rendah dibandingkan dengan nilai KV pada risiko biaya
dan pendapatan. Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya standar deviasi produksi perhektar dan kegiatan
produksi berkaitan dengan faktor internal yang bisa dikendalikan oleh petani. Ini menjadi indikator bahwa
masing-masing petani sampel memiliki produktivitas perhektar yang bervariasi. Secara implisit kondisi ini
menunjukkan bahwa petani sampel memiliki penguasaan teknologi budidaya Bawang merah yang berbeda-
beda. Sedang risiko biaya dipengaruhi oleh faktor eksternal (harga input dan harga output) yang tidak dapat
dikendalikan oleh petani.
Tabel 1. Besaran Risiko Produksi, Biaya, dan Pendapatan pada Usahatani Bawang merah di Desa
Bangsereh pada Tahun 2011.
No Risiko Nilai KV Kategori Risiko
1 Produksi 2.87 Tinggi
2 Biaya 3.25 Tinggi
3 Pendapatan 3.64 Tinggi
Sumber : Data mentah Diolah
Faktor-faktor yang diduga menjadi sumber risiko antara lain :
1. Faktor iklim dan cuaca merupakan salah satu faktor yang mendorong adanya risiko pada kegiatan
usahatani bawang merah. Hal ini disebabkan karena perubahan cuaca sulit diprediksi secara pasti. Pada
dasarnya tanaman bawang merah cocok ditanam pada daerah beriklim kering dengan suhu yang agak
panas dan cuaca cerah. Gambaran mengenai pengaruh risiko terhadap usahatani bawang merah
ditunjukkan oleh produktivitas bawang merah yang cenderung berfluktuasi dari waktu ke waktu

Produktivitas Bawang Merah


10

0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 1. Produktivitas Usahatani Bawang Merah di Desa Bangsereh Kecamatan Batumarmar Tahun
2004-2011
2. Hama dan penyakit tanaman merupakan masalah terpenting yang dihadapi dalam kegiatan budidaya
bawang merah. Hama dan penyakit dapat menyerang mulai dari akar, umbi, batang, daun, dan bahkan
ujung daun. Bukan hanya menyerang pada saat tanaman berada di lahan, tetapi hama maupun penyakit
juga dapat menyerang hingga di tempat penyimpanan. Kemunculan hama dan penyakit ini sering kali
tidak dapat diprediksi sebelumnya. Hal ini dikarenakan munculnya hama dan penyakit tersebut
dipengaruhi oleh faktor cuaca dan iklim yang juga tidak dapat diprediksi secara tepat. Oleh karena itu,
hama dan penyakit tanaman
dapat menjadi faktor risiko usahatani bawang merah. Terdapat berbagai macam jenis hama yang dapat
menyebabkan gagalnya panen bawang merah, mulai dari jenis gurem, kutu, ulat, tungau, dan
sebagainya. Bagian tanaman bawang merah yang diserang pun bervariasi. Hama menyukai daun yang
masih muda, pucuk daun, pangkal batang, sampai ke umbi bawang merah dan akarnya. Semua bagian
tanaman dapat menjadi sasaran serangan hama.
Selain hama, juga terdapat banyak penyakit yang menyerang tanaman bawang merah mulai dari
cendawan, bakteri hingga virus. Diantara ketiga kelompok tersebut, yang paling sering menyerang

130
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
tanaman bawang adalah bakteri dan cendawan. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan umumnya
menampilkan warna-warna sesuai dengan warna sporanya pada bagian tanaman yang diserang.
Sementara penyakit yang disebabkan oleh bakteri biasanya menyebabkan busuk, basah, dan bau tidak
sedap. Berbeda dengan bakteri, pembusukan akibat serangan cendawan biasanya kering.

b. Mendiskripsikan perilaku petani bawang merah dalam mereduksi risiko sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas usahataninya
Perbedaan pengertian antara risiko dan ketidakpastian belum pernah terdefinisi dengan jelas, bahkan
dalam penggunaan praktisnya, kedua istilah tersebut cenderung dipakai untuk istilah yang sama (Heyer,
1972; Kennedy dan Fransisco, 1974). Henderson dan Quant (1980), Silberberg (1990) dan Varian (1992)
menggunakan istilah ketidakpastian (uncertainty) terkait dengan peluang (probability). Namun dalam
perkembangan selanjutnya semakin jelas perbedaan antara risiko dan ketidakpastian. Beberapa penulis
(Debertin, 1986; Robinson dan Barry, 1987; dan Ellis, 1988) mendefinisikan risiko sebagai suatu kejadian di
mana hasil dari kejadian dan peluang terjadinya bisa diketahui secara pasti. Selanjutnya dikemukakan
bahwa peluang berarti frekuensi yang diharapkan terjadi dari sebuah kejadian (jumlah seluruh
kemungkinannya adalah satu). Dengan demikian risiko merupakan suatu hal yang obyektif dengan asumsi
informasi tersedia secara cukup.
Ketidakpastian adalah suatu kejadian dimana hasil dan peluangnya tidak bisa ditentukan (Ellis,
1988). Selanjutnya dikemukakan bahwa ketidakpastian merupakan dikripsi karakter dan lingkungan ekonomi
yang dihadapi oleh petani, dimana lingkungan tersebut mengandung beragam ketidakpastian yang direspon
petani berdasarkan kepercayaan subyektif mereka. Tabel 3 mendiskripsikan persepsi risiko usahatani bawang
merah menurut petani bawang merah di Desa Bangsereh. Berdasarkan informasi di atas diketahui bahwa
66.67 persen petani mengganggap bahwa risiko merupakan semua hal yang dapat membahayakan usahatani
bawang merah, tetapi dapat dicegah atau dikurangi dampaknya jika diwaspadai sejak awal. sedangkan 16.67
persen yang lain mempersepsikan bahwa risiko adalah semua hal yang cenderung menjurus kepada
terjadinya kerugian usahatani merugikan, dan konsekuensi yang membebani petani jika hendak berusahatani
bawang merah, misalnya menyediakan modal, sarana produksi dsb. Pemahaman bahwa risiko dapat dicegah
atau dikurangi, akan mendorong petani untuk membekali diri dengan berbagai rencana strategis yang dapat
dijalankan untuk menghadapi risiko, baik sebelum, pada saat dan sesudah usahatani tersebut dilakukan.
Menurut 83.33 persen petani sampel, usahatani bawang merah memiliki risiko produktivitas sedang,
sedangkan 16.67 persen yang lain mempersepsikan usahatani bawang merah memiliki risiko yang besar. Hal
ini dapat disebabkan karena petani bawang merah tersebut telah memiliki pengalaman berusahatani yang
cukup lama yaitu rata-rata lebih dari 10 tahun, sehingga mereka sangat memahami ritme dan teknologi
usahatani bawang merah yang dilakukan. Disamping itu sekitar 50 persen petani sudah tergabung dalam
kelompok tani, dan ini menjadi sarana informasi yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui strategi-strategi
yang dapat dilakukan untuk menghindari risiko produktivitas.
Hampir 93.33 persen petani mempersepsikan bahwa risiko harga termasuk dalam kategori resiko
sedang. Petani dalam berusahatani bawang merah tidak semata-mata berorientasi pada pasar (harga
output), karena sebagian dari hasil panen dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Disamping
itu, petani bawang merah di Desa Bangsereh tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga bawang
merah yang dijual, sebagian besar dari mereka menjual bawang merah kepada tengkulak dengan tingkat
harga yang sudah ditentukan oleh tengkulak. Pada umumnya petani tidak langsung menjual bawang merah
pasca kegiatan panen dilakukan. Mereka akan menjual bawang merah ketika membutuhkan uang tunai
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kondisi ini diduga menjadi penyebab kenapa sebagian besar petani
tidak mengkategorikan risiko harga bawang merah sebagai risiko yang besar.
Bila dilihat dari sisi keuntungan, 70 persen petani mempersepsikan keuntungan yang diperoleh
termasuk kategorikan sedang yaitu setara dengan rasio penerimaan terhadap biaya sebesar 1.5 sampai 2.
Sedangakan 30 persen lainnya mempersepsikan keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Walaupun
keuntungan yang diperoleh tidak besar, petani masih bertahan menanam bawang merah, karena komoditas
ini berkaitan dengan perwujudan ketahanan pangan rumahtangga.
Sumber risiko dalam kegiatan usahatani dikategorikan dalam beberapa kelompok diantaranya :
adanya perubahan iklim dan cuaca yang tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, serangan organisme
131
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
pengganggu tanaman, tingginya harga saprodi, rendahnya harga output, ketersediaan modal yang terbatas,
rendahnya penguasaan teknologi, dan rendahnya kemampuan manajerial petani. Gambaran mengenai
urutan faktor-faktor yang menjadi penyebab risiko dari yang terbesar sampai yang terkecil menurut persepsi
petani bawang merah, disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Urutan Faktor-Faktor
Penyebab Risiko Usahatani Bawang merah Menurut Petani di Desa Bangsereh

No Faktor-Faktor Penyebab Risiko Persepi Petani (%)


1 Perubahan iklim/cuaca 4
2 Serangan OPT 40
3 Harga saprodi tinggi 30
4 Harga jual bawang merah jatuh 15
5 Ketersediaan Modal Usaha 6
6 Rendahnya penguasahaan teknologi 3
7 Rendahnya kemampuan manajerial 2
Sumber : Data Mentah Diolah

Menurut persepsi petani, serangan OPT (organisme pengganggu tanaman) merupakan faktor utama
penyebab risiko usahatani, sedangkan faktor kedua dan ketiga masing-masing adalah harga saprodi yang
tinggi dan harga jual bawang merah yang rendah. Semua faktor tersebut merupakan faktor eksternal yang
sulit untuk dikendalikan oleh petani. Sedangkan faktor internal yang terdiri dari ketersediaan modal,
rendahnya pengusaan teknologi dan kemampuan manajerial menurut persepsi petani bukan faktor utama
penyebab risiko. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal : (1) kelompok tani yang ada di Desa
Bangsereh telah memiliki koperasi simpan pinjam sehingga dapat membantu mengatasi permasalahan
keterbatasaan modal, (2) petani yang tergabung dalam kelompok tani dapat mengakses perbaikan teknologi
melalui kegiatan penyuluhan pertanian yang diselenggarakan setiap satu bulan sekali, dan (3) petani telah
memiliki pengalaman berusahatani rata-rata lebih dari 10 tahun, dan ini dapat menjadi bekal yang cukup
untuk memanajemen kegiatan usahataninya.
Perilaku risiko petani dalam mereduksi risiko yang dihadapi dapat dikelompokkan dalam tiga kategori
yaitu : (1) perilaku sebelum kegiatan usahatani dilakukan (perilaku ex-ante), (2) perilaku petani pada saat
usahatani dijalankan (interactive), dan perilaku setelah terjadi risiko (ex-post). Pada petani bawang merah di
Desa Bangsereh Kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan. ketiga perilaku tersebut dapat
didiskripsikan sebagai berikut :

A. Perilaku ex-ante
Perencanaan yang dibuat oleh petani dalam kegiatan usahataninya merupakan upaya yang dilakukan
untuk meminimal risiko yang dihadapi. Beberapa aktivitas yang direncanakan sebelum kegiatan usahatani
dilakukan antara lain : pola tanam dalam satu tahun, sistem produksi yang akan diterapkan, jenis dan
sumber varietas yang digunakan, dan luasan lahan yang digunakan.

132
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 3. Perilaku Ex-ante Petani Bawang Merah dalam Mereduksi Risiko di Desa Bangsereh
Usahatani
Bawang
merah
No Uraian Frek. (%)
Pola tanam dominan setahun
1 a. Bawang merah-Bawang merah-tembakau 60 100
b. Bawang merah-Bawang merah-Bawang merah 0 0

c. Bawang merah-Bawang merah-Bawang merah 0 0

2 Alasan mengikuti pola tanam secara konsisten


dalam 5 tahun
a. Pola tanam/rotasi tanaman tsb dipandang 40 66.67
paling menguntungkan
b. Sesuai dengan kondisi iklim setempat
c. Sesuai dengan kondisi lahan (topografi, 2 3.33
kesuburan)
d. Kalau berbeda bisa tejadi serangan OPT 0 0
e. Menjaga kesuburan lahan dan keberlanjutan 8 13.33
10 16.67
Sistem produksi Bawang merah yang digunakan
a. Monokultur 60 100
b. Tumpang sari atau tumpang gilir 0 0

4 Alasan menggunakan sistem produksi monokultur


a. Pengelolaan usahatani lebih mudah 35 58.33
b. Performa pertumbuhan tanaman bagus 0 0
c. Produktivitas perbatang lebih tinggi 15 25
d. Kualitas hasil lebih baik 10 16.67
7 a. Hanya ditanam disatu lokasi
b. Ada di beberapa atau lebih dari satu lokasi 60 100
c. Semua lokasi 0 0
0 0
Perilaku Ex-ante Petani Bawang Merah dalam Mereduksi Risiko di Desa Bang
Perilaku ex-ante petani bawang merah dalam mereduksi risiko adalah :
1. Hampir semua petani menerapkan pola tanam dalam satu tahun bawang merah- bawang merah-
tembakau karena menurut persepsi dan pengalaman mereka pola usahatani tersebut sangat
menguntungkan, disamping itu petani hanya memiliki keahlian usahatani pada ketiga komoditas
tersebut. Tanaman bawang merah yang diusahakan sebagian digunakan untuk konsumsi, pakan ternak
dan dijual. Sedangkan produksi bawang merah sebagian besar (95 persen) ditujukan untuk usaha
komersial. Walaupun tren permintaan tanaman tembakau mengalami penurunan karena berbagai
faktor, petani di Desa Bangsereh masih terus membudidayakan tanaman tembakau.

133
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
2. Menggunakan sistem monokultur dengan pertimbangan pengelolaannya lebih mudah dan memberikan
hasil yang terbaik dibandingkan jika menggunakan tumpangsari. Menurut pendapat petani pemilihan
sistem monokultur dilakukan dengan pertimbangan supaya konsentrasi mereka dalam
membudidayakan tanaman bawang merah bisa fokus pada satu tanam yang diusahakan.
3. Jumlah varietas yang digunakan untuk budidaya bawang merah pada setiap hamparan sama, yaitu
varietas manjung. Varietas ini merupakan varietas bawang merah unggul. Keunggulannya adalah bila
digoreng teksturnya lebih renyah dibandingkan dengan bawang merah varietas lain.
4. sebagian besar menggunakan benih/bibit yang diperoleh dari toko/kios saprodi dengan pertimbangan
kualitas benih/bibitnya lebih terjamin dibandingkan dengan buatan sendiri. Walaupun demikian masih
ada petani yang membuat benih sendiri.
B. Perilaku interactive
Beberapa tindakan yang dilakukan oleh petani bawang merah di desa Bangsereh dijelaskan dalam
Tabel 5 berikut. Menurut hasil penelitian Saptana (2010) dan Fauziyah (2011) perilaku interactive petani
dilakukan dengan berbagai cara diantaranya : menggunakan jarak tanam sesuai anjuran, melakukan
pembasmian 134organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan cara terpadu (SLPHT), menggunakan
perpaduan pupuk tunggal majemuk dan 134organik, memanfaatkan tenaga kerja secara maksimal.
Tabel 4. Perilaku Interactive Petani Bawang Merah dalam Mereduksi Risiko di
Usahatani
Bawang merah
No Uraian Frek. (%)
1 Bila sebagian tanaman di lapangan ternyata mati, maka :
a. Dilakukan penyulaman 10 16.67
b. Tidak dilakukan penyulaman 50 83.33
2 Jarak tanam yang digunakan
a. Jarak tanam rapat 0 0
b. Jarak tanam sedang / sesuai anjuran 60 100
c. Jarak tanam renggang/jarang/lebar 0 0
3 Jenis pupuk yang digunakan pada pertanaman Bawang merah
Merah
a. Pupuk tunggal saja
b. Pupuk tunggal dan majemuk 0 0
c. Pupuk tunggal dan pupuk organik 0 0
d. Pupuk majemuk dan pupuk organik 0 0
e. Pupuk tunggal, majemuk, dan pupuk organic 25 41.66
35 58.33
4 Kecenderungan petani dalam pengendalian OPT yang
dilakukan
a. Cenderung menggunakan pestisida kimiawi
b. Cenderung menggunakan pestisida nabati/PHT 60 100
c. Cenderung menggunakan pestisida kimiawi dan 0 0
nabati/PHT
0 0
5 Metode pengendalian hama penyakit yang dilakukan
a. Sebagai tindakan pencegahan (preventif) 24 40
b. Sebagai tindakan pembasmian (kuratif) 12 20
c. Sebagai tindakan prevenif dan sekaligus kuratif 24 40
6 Pengoplosan pestisida dalam pengendalian OPT

134
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
a. Sebagai tindakan pencegahan 0 0
b. Sebagai tindakan pembasmian 25 41.67
c. Sebagai tindakan prefentif dan sekaligus kuratif 35 58.33
7 Alasan melakukan pengoplosan pestisida
a. Sekaligus mencegah/mematikan beberapa jenis OPT 4 6.67
b. Menghemat biaya dengan mencampur pestisida mahal 12 20
dan murah
c. Hasil coba-coba menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi
dibanding pestisida tunggal
d. Menghemat waktu dan tenaga 14 23.33
30 50
8 Tindakan yang dilakukan saat mengalami kelangkaan TK
upahan
a. Memanfaatkan TK keluarga semaksimal mungkin
b. Memanfaatkan TK yang ada secara bergantian 15 12.5
c. Mencari TK upahan dari luar desa/luar daerah
d. Menggunakan TK ternak 10 16.67
e. Menggunakan TK mekanik/mesin
35 58.33
9 Tindakan yang dilakukan jika mengalami kekurangan atau
kesulitan permodalan
a. Meminjam dari sumber kredit formal
b. Meminjam dari kredit informal 0 0
c. Meminjam dari kelompok tani/gapoktan/koperasi tani 30 50
d. Meminjam dari perusahaan mitra 0 0
e. Meminjam dari saudara/tetangga/kerabat 0 0
30 50
Sumber : data mentah diolah
Gambaran mengenai perilaku interactive petani bawang merah dalam mereduksi risiko mencerminkan
kepatuhan mereka dalam menggunakan teknologi sesuai anjuran, diantaranya : (1) melakukan penyulaman
bila terjadi kerusakan, kegiatan ini dilakukan oleh 83.8 persen seluruh petani bawang merah di Desa
Bangsereh, (2) menggunakan jarak tanam sesuai anjuran, (3) lebih memilih menggunakan perstisida kimiawi
untuk tujuan kuratif dan preventif terhadap OPT, karena menurut persepsi petani penggunaan pestisida
kimia dapat bekerja lebih cepat dalam membasmi hama, dan (4) kekurangan modal ditutupi dengan cara
meminjam dari lembaga kredit informal atau meminjam dari tetangga/saudara.
C. Perilaku ex-post
Dalam kehidupan sehari-hari, walaupun telah puluhan tahun berusahatani petani tidak selalu dapat
mencapai tingkat efisiensi berusahatani seperti yang diharapkan, bahkan tidak jarang mengalami kegagalan
panen. Jika terjadi kegagalan panen, walaupun petani telah melaksanakan pengelolaan risiko ex ante dan
interactive, maka pilihan satu-satunya yang dapat diakukan untuk mengatasi masalah ini adalah pengelolaan
risiko ex-post. Namun demikian, tindakan yang dipilih sangat bergantung pada status usahatani
bersangkutan dalam kaitannya dengan sumber pendapatan keluarga.
Bagi petani bawang merah di Desa Bangsereh kegagalan karena risiko yang tidak dapat dihindari
dilakukan dengan cara : (1) memenuhi kebutuhan keluarga dengan menggunakan tabungan yang mereka
miliki, meminjam uang kepada tetangga dan saudara, serta berusaha untuk mendapatkan pekerjaan

135
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
tambahan, (2) tetap menanam bawang merah dengan mengambil pelajaran atas kegagalan yang telah
dialami, dan (3) mengusahakan tanaman bawang merah dengan menggunakan modal yang tersisa dari
tabungan mereka.

4. Simpulan
1. Usahatani bawang merah di Desa Bangsereh Kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan termasuk
dalam kategori usahatani yang berisiko tinggi
2. Beberapa perilaku dalam mereduksi risiko yang dilakukan oleh petani bawang merah di Desa
Bangsereh adalah : membeli bibit dari kios sarana produksi, mengendalikan organisme pengganggu
tanaman dengan menggunakan pupuk kimia, menggunakan jarak tanam sesuai anjuran,
memanfaatkan tenaga kerja dari luar desa, dan jika terjadi kegagalan mengambil tabungan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
Referensi
Sumber Buku:
- Wibowo S. 2001.. Budidaya Bawang Putih Bawang Merah Bawang Bombay. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sumber Jurnal:
- Ameriana, M. 2008. Perilaku Petani Sayuran dalam Menggunakan Pestisida Kimia. Jurnal
Hortikultura, Volume 18 No.1, 2008. Hal :95-106. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
- Coelli, T., D.S.P. Rao, and G.E. Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis.
Kluwer Academic Publishers, London
- Malton, P. J. 1991. Farmer risk management strategies : The case of the west African semi-arid
tropics. In Holden, D., Hazell, P., & Pritchard, A. (Eds). Risk in Agriculrure : Proceeding of the Tenth
Agriculture Sector Symposium. The World Bank, Washington, D.C.
- Schaffnit dan Chatterjee. 2010. Risk Management in Agriculture towards Market Solution in the EU.
Deutsche Bank Research. Frankfurt am Main, Germany.
- Saptana. 2010. Analisis Perilaku Dan Strategi Pengelolaan Risiko Petani Cabai Merah Pada Lahan
Kering Dataran Tinggi Di Jawa Tenga
Sumber Prosiding Seminar:
- Fauziyah, E. 2011. Manajemen Risiko Usahatani Jagung Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani. Proseeding Seminar Nasional Universitas Gadjahmada 8
Desember 2011, Yogyakarta.
- Sumaryanto. 2009. Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Global. Seminar
Nasional: Peningkatan Dayasaing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani . Bogor, 14 Oktober
2009. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
- Saptana. 2010. Analisis Perilaku Dan Strategi Pengelolaan Risiko Petani Cabai Merah Pada Lahan
Kering Dataran Tinggi Di Jawa Tengah

136
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
20.BISNIS SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN
PETANI PADI
Anne Charina1), Rani Andriani2), Gema Wibawa Mukti3)
Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
1
Jl.Raya Jatinangor Km.21 Sumedang
anne.sosek@gmail.com

ABSTRAK
Pada Tahun 2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 18,6 persen
dari jumlah penduduk di Indonesia, dan 60 persen diantaranya adalah penduduk yang tinggal di desa (BPS,
2012). Dapat dikatakan bahwa 60 persen rakyat miskin adalah petani. Program penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan oleh pemerintah dinilai kurang efektif untuk membantu keluarga petani keluar dari jeratan
kemiskinan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah model pengentasan kemiskinan melalui program
pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi yang dimiliki. Pengembangan model bisnis sosial dipandang
mampu menjadi alternatif penyelesaian masalah-masalah sosial dan perbaikan taraf hidup masyarakat,
khususnya keluarga petani miskin.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga petani padi; 2) serta
Merancang model pemberdayaan masyarakat melalui bisnis sosial untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarga petani padi. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung,
dengan jumlah sampel 50 keluarga petani padi yang diambil secara acak.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa berdasarkan indikator kesejahteraan BKKBN, 68%
keluarga petani termasuk dalam kategori keluarga tidak sejahtera. Pemberdayaan masyarakat dengan model
bisnis sosial bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif pengentasan kemiskinan bagi petani padi di lokasi
penelitian. Dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki, modal sosial dan kredit mikro, petani akan
diberdayakan dengan membangun Kelompok Usaha Bersama yang dikelola secara bersama-sama oleh
masyarakat (petani), dan difasilitasi serta dibina oleh stakeholder (pemerintah, swasta, perguruan tinggi),
sehingga petani dapat benar-benar berdaya dan mandiri secara ekonomi.
Kata Kunci: Kesejahteraan, Bisnis Sosial, Petani Padi

ABSTRACK

At 2011, Poor people in Indonesia reached 37.17 million people or 18.6 percent of the population in
Indonesia, and 60 percent were people whom living in the village (BPS, 2012). We can mention that 60 %
of poor people was a farmer. The Program to decrease poverty conducted by the government is considered
less effective to help farmer’s family out of the poverty trap. Therefore, based on the potential of farmer‟s
family, it is necessary to made the model‟s of a poverty alleviation through the community empowerment
programme. The development of the social business model is considered to be an alternative solution of social
and living standard improvement problem, especially for the poor farmer‟s families.
The Aim of this research are : 1) To Analyze the family welfare level of paddy farmers, 2) To Design
a community empowerment models through the social business to increase the welfare of the paddy farmers
family. The research was conducted at Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung, with a total of
samples is 50 of farmers family which taken by a cluster random sampling.
The results of the study showed that based on BKKBN welfare indicators, 68% of farmer families included in
the category of unprosper family. Communities empowerement with social business model can be used as an
alternative to reduce a paddy farmers poverty in the study sites. By optimizing the family farmers potential, the social
capital and microcredit, The farmers will be empowered by developing a Joint Business Group whom managed by the
community (farmers), and facilitated and fostered by the stakeholders (government, private sector, universities), so
that farmers can totally powerless and economically independent.
Keyword : welfare, social business, Paddy Farmers

137
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada Tahun 2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 18,6 persen
dari jumlah penduduk di Indonesia, dan 60 persen diantaranya adalah penduduk yang tinggal di desa (BPS,
2012). Dapat dikatakan bahwa 60 persen rakyat miskin adalah petani1.
Tekanan penduduk terhadap lahan yang sempit makin meningkatkan jumlah petani gurem, seperti
terlihat dari hasil Sensus Pertanian (ST). Semakin terbatasnya lahan usahatani produktif merupakan dampak
tingginya konversi lahan pertanian produktif ke penggunaan nonpertanian, sebagai konsekuensi ledakan
penduduk dan peningkatan nilai ekonomi akibat tingginya permintaan lahan untuk prasarana industri,
perdagangan serta pemukiman (Rambe, 2004). Hasil yang diperoleh dari bertani makin hari makin menciut
artinya bagi para petani. Hal ini juga terindikasi dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan salah satu
indikator relatif tingkat kesejahteraan petani, sampai saat ini NTP petani di Propinsi Jawa Barat terus
mengalami penurunan (Tabel 1), hal ini berarti tingkat kesejahteraan petani di Propinsi Jawa Barat juga terus
mengalami penurunan.

Tabel 1 Nilai Tukar Petani di Pulau Jawa Tahun 2008 - 2011


Propinsi Tahun
2008 2009 2010 2011
Jawa Barat 132,6 117,11 113,12 115,48
Jawa Tengah 124,05 91,42 91,89 96,65
Yogyakarta 133,28 122,73 122,50 126,10
Jawa Timur 121,24 87,78 89,81 94,39
Sumber : Statistik Nilai Tukar Petani 2008-2011

Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang
diikuti rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman diri, rumah tangga serta masyarakat lahir dan batin
yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani,
rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumah tangga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak-hak asasi (Rambe 2004).
Penelitian ini akan mencoba untuk memetakan model pemberdayaan melalui bisnis sosial, sebagai
salah satu solusi untuk mengentaskan masalah kemiskinan pada petani di Kelurahan Andir Kecamatan
Baleendah Kabupaten Bandung. Melalui kajian model bisnis sosial yang dirancang secara partisipatif bersama
masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama, (dengan membalik paradigma yang
sebelumnya masyarakat dipandang sebagai objek program penanggulangan kemiskinan) diharapkan
masyarakat dapat keluar dari jeratan kemiskinan dengan kekuatan yang mereka miliki.

1.2. Perumusan Masalah


Semakin berkurangnya lahan pertanian terutama di daerah pinggiran perkotaan yang disebabkan
oleh terjadinya konversi penggunaan lahan menyebabkan terjadinya perubahan status sebagian petani dari
petani pemilik menjadi penggarap, hal ini semakin menambah tekanan ekonomi bagi petani. Di Kecamatan
Baleendah Kabupaten Bandung, tekanan ekonomi yang dialami oleh petani padi sawah diperparah pula
dengan ketidakpastian kondisi alam. Beberapa tahun belakangan, pada musim penghujan sebagian wilayah
Kecamatan Balelendah berulang kali terkena bencana banjir yang merendam rumah dan lahan persawahan
akibat meluapnya sungai Citarum. Hal ini menyebabkan secara ekonomi petani di daerah Kecamatan
Baleendah berhadapan dengan ketidakpastian, yang pada akhirnya dapat mengganggu pemenuhan
kebutuhan keluarga, terutama kebutuhan pangan.
Kesejahteraan keluarga terkait dengan pemenuhan salah satu kebutuhan pokok yaitu pangan,
sehingga kesejahteraan keluarga paralel dengan ketahanan pangan keluarga. Program penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah dinilai kurang efektif untuk membantu keluarga keluar dari

1
Harian Umum Kompas, tanggal 10 Desember 2011. SBY Belum Ada Prestasi Soal Kemiskinan

138
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
jeratan kemiskinan. Program-program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk rakyat miskin
(Raskin) tidak melihat masalah produktivitas dan partisipasi sosial keluarga miskin dan kurang mendidik
masyarakat untuk melakukan usaha produktif. Selanjutnya, pemerintah juga dinilai menempatkan diri
sebagai aktor utama penanggulangan kemiskinan.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, permasalahan yang perlu untuk dipecahkan
diantaranya:
1. Bagaimanakah tingkat kesejahteraan keluarga petani padi di lokasi penelitian?
2. Bagaimanakah merancang model pemberdayaan masyarakat yang tepat melalui model bisnis sosial
untuk mengentaskan permasalahan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan keluarga petani?

II.METODE PENELITIAN
2.1 Desain dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus. Akan dilakukan di Kelurahan Andir Kecamatan
Baleendah Kabupaten Bandung. Pemilihan lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa di tempat tersebut
kondisi ketahanan pangan petani setempat ada dalam kategori kurang (berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Rani Andriani, SP.,Msi), berdasarkan hal itu penelitian ini sangat cocok dan
dibutuhkan di Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung, untuk mendapatkan suatu model
pengentasan masalah yang tepat dalam mengatasi kritisnya tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya
petani.
2.2 Populasi dan Penentuan Sampel
Unit analisis dari penelitian ini adalah keluarga petani padi. Kriteria contoh keluarga petani yang utuh
(bapak, ibu dan anak). Dari data yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa di Desa Andir Kecamatan Bale
Endah Kabupaten Bandung terdapat sekitar 570 keluarga petani dan juga keluarga buruh tani. Penentuan
jumlah contoh total, yaitu n menggunakan rumus Slovin.
Dari hasil penggunaan rumus di atas, diperoleh nilai n untuk keluarga petani padi sebanyak 45
keluarga, dibulatkan menjadi 50 keluarga. Selanjutnya untuk proses pengambilan sampel, di lokasi
penelitian ditentukan masing-masing tiga RW yang memiliki jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani
terbanyak. Kerangka sampling diperoleh berdasarkan rekomendasi ketua RW ataupun ketua kelompok tani di
RW tersebut, kemudian penentuan sampel akan menggunakan teknik cluster random sampling.
2.3 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data
karakteristik keluarga contoh (besar keluarga, usia orang tua, tingkat pendidikan orangtua, pendapatan per
kapita, pengeluaran keluarga, kepemilikan asset, dan akses informasi dan dukungan sosial), dan
kesejahteraan keluarga. Data skunder meliputi gambaran lokasi penelitian yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS), data monografi desa dan instansi terkait lainnya.
2.4 Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan.
Dalam proses ini seringkali digunakan statistik untuk meyederhanakan data penelitian menjadi informasi
yang lebih sederhana dan lebih mudah dipahami. Tahapan Analisis data yang dilakukan adalah:
1.Analisis Data Kesejahteraan Objektif dan Subjektif
Indikator dari BKKBN dijadikan landasan untuk menentukan kriteria kesejahteraan petani di lokasi penelitian
objektif. Sedangkan kesejahteraan subjektif diukur berdasarkan pandangan/persepsi sample terhadap
indikator indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan.
2.Rancang Bangun Model Pemberdayaan Masyarakat melalui Bisnis Sosial untuk Meningkatkan
Ketahanan Pangan Keluarga Petani
Untuk menciptakan model bisnis sosial yang tepat bagi petani miskin di wilayah penelitian akan
dikembangkan pemodelan yang dilakukan didasarkan pada kerangka normatif teori yang menjadi rujukan,
tapi kemudian di konfirmasi dan didiskusikan dengan para pelaku melalui pendekatan PRA ( Paticipatory Rural
Appraisal) dan ZOPP di beberapa tempat. Output yang dihasilkan dari tahap ini berupa model bisnis sosial
berbasiskan pemberdayaan masyarakat yang digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan ketahanan
pangan di wilayah Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung

139
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Karakteristik Keluarga Petani Padi di Wilayah Penelitian
Petani yang menjadi sampel dalam penelitian ini mayoritas merupakan penduduk usia kerja. Jika
dilihat dari usia suami yang sebagian besar tergolong usia produktif, dapat dikatakan keluarga memiliki
sumberdaya yang cukup produktif untuk mencari nafkah. Usia istri yang cukup mendukung untuk melakukan
kegiatan produktif, menjadikan istri sebagai pencari nafkah tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
selain itu keterlibatan anak dalam mencari nafkah dirasakan cukup membantu mengurangi beban keluarga.
Tingkat pendidikan pada petani responden tergolong rendah, bahkan banyak yang tidak pernah
menempuh pendidikan di sekolah. Pada keluarga petani padi, 50 persen suami dan istri pendidikan
tertingginya hanya tamat Sekolah Dasar. Rata-rata pendapatan keluarga petani padi adalah Rp. 1.200.000,-/
bulan tapi besarnya pendapatan yang diperoleh petani baik di sektor pertanian maupun sektor non pertanian
sangat berfluktuatif. Besarnya pendapatan yang diperoleh petani baik di sektor pertanian maupun sektor
non pertanian sangat berfluktuatif. Tidak ada jaminan bahwa pekerjaan di sektor pertanian akan
menghasilkan pendapatan yang lebih besar dibanding bekerja di luar sektor pertanian, begitu pula
sebaliknya. Pendapatan di sektor pertanian sangat ditentukan oleh keadaan cuaca, serangan hama penyakit,
dan juga harga produk hasil pertanian. Pendapatan di luar sektor pertanian pun tergantung pada
kesempatan kerja yang tersedia dan tidak stabil sepanjang waktu. Menurut penuturan petani, bertani itu
ibarat berjudi, jika hasil panen melimpah dan harga hasil pertanian cukup tinggi maka petani akan menikmati
keuntungan; namun jika hasil pertanian turun akibat serangan hama penyakit ataupun cuaca, terlebih jika
harga pada saat panen jatuh, maka petani akan mengalami kerugian. Kondisi ini merupakan hal biasa bagi
petani, namun petani tetap yakin jika musim ini petani merugi, maka pada musim berikutnya petani akan
menikmati keuntungan. Petani yakin sektor pertanian mampu menjamin kehidupan keluarga meskipun
dengan kondisi yang minim sekalipun.
Pendapatan keluarga yang rendah menyebabkan aset yang dimiliki keluarga pun sangat terbatas.
Sebagian besar responden tidak memiliki kebun atau sawah. Banyak responden yang tadinya memiliki aset
berupa lahan kebun ataupun sawah, namun kemudian menjual lahan miliknya karena terdesak oleh
kebutuhan ekonomi, seperti biaya untuk sekolah anak. Dari status kepemilikan rumah, dapat dilihat bahwa
sebagian besar keluarga petani padi tinggal di rumah milik sendiri. Seluruh tempat tinggal keluarga contoh
belum teraliri jaringan air bersih yang berasal dari PDAM, sehingga seluruh keluarga petani padi
mengandalkan air sumur, baik yang berasal dari sumur timba maupun sumur pompa untuk memnuhi
kebutuhan air mandi ataupun air minum

3.2. Tingkat Kesejahteraan Keluarga Petani di Kelurahan Andir Kec. Bale Endah
3.2.1. Kesejahteraan Objektif Berdasarkan Indikator BKKBN
Hampir seluruh keluarga petani padi di wilayah penelitian (96%) makan minimal dua kali sehari.
Dikarenakan terbatasnya penghasilan, dalam hal memilih menu responden lebih mengutamakan kuantitas
daripada kualitas, bagi contoh yang terpenting adalah perut ”kenyang” dan kurang memperhatikan aspek gizi
nya. Lebih dari dua per tiga responden (70%) mengkonsumsi daging, telur atau ikan minimal satu minggu
sekali, disana mereka lebih banyak mengkonsumsi ikan asin sebagai lauk, terkadang diselingi oleh tahu atau
tempe. Telur merupakan sumber protein hewani bagi sebagian besar keluarga contoh, karena harganya lebih
terjangkau dibandingkan dengan daging atau ikan sehingga mereka lebih sering mengkonsumsinya
dibandingkan dengan daging dan ikan, meskipun dalam frekuensi yang sangat jarang, sekitar 1-2 kali per
minggunya. Meskipun memiliki penghasilan yang terbatas, namun sebagian besar responden (88%) tetap
mengusahakan untuk membeli pakaian baru setidaknya sekali satu tahun, biasanya pada saat hari raya,
terutama bagi anak-anak mereka, oleh karena itu seluruh responden memiliki pakaian yang berbeda untuk
aktivitas sehari-hari.
Dilihat dari kondisi tempat tinggal, sebagian besar keluarga (96%) sudah menempati rumah yang
sebagian besar lantainya bukan terbuat dari tanah. Lebih dari separuh responden (54%) menempati rumah
dengan luas > 8 m2 untuk setiap anggota keluarga. Hal ini disebabkan oleh luas tempat tinggal keluarga
yang terbatas, karena mahalnya harga lahan di daerah pinggiran perkotaan. Kondisi ini menyebabkan
sebagian besar keluarga hanya mampu membeli lahan seacra terbatas untuk membangun rumah, kondisi ini

140
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
pula yang menyebabkan sebagian anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama orangtuanya karena
keluarga muda ini juga tidak mampu memenuhi kebutuhan akan papan bagi keluarganya.
Tabel 2 Sebaran Responden Berdasarkan Kriteria Kesejahteraan BKKBN
Pernyataan Keluarga Petani Padi (n=50)
Ya (%) Tidak (%)
Makan < 2 kali / hari 4 96
Lantai sebagian besar dari tanah 4 96
Tidak mempunyai pakaian yang berbeda 0 100
Makan daging/telur/ikan minimal 1 minggu 70 30
sekali
Membeli baju baru minimal sekali setahun 88 12
2
Luas lantai rumah rata-rata < 8 m 46 54
Dilihat dari indikator kesejahteraan bidang ekonomi versi BKKBN dalam Tabel 2 di atas, dapat
disimpulkan bahwa lebih dari dua per tiga contoh keluarga petani padi (68%) termasuk dalam kategori
keluarga tidak sejahtera.
3.2.2. Kesejahteraan Subjektif
Kesejahteraan secara subjektif menggambarkan evalusi individu terhadap kondisi sosial ekonomi
keluarganya. Pendekatan secara subjektif menginterpretasikan kesejahteraan berdasarkan pemahaman
responden terhadap keadaan yang mereka hadapi. Karena itu, pendekatan subjektif sulit digunakan untuk
mengukur kesejahteraan secara makro, namun dianggap mampu memberikan gambaran mengenai masalah
kesejahteraan dalam rumah tangga tersebut. Pengukuran kesejahteraan subjektif diperlukan untuk
melengkapi pengukuran kesejahteraan secara objektif untuk mengetahui secara mendalam mengenai rumah
tangga miskin menurut pemahaman mereka sendiri.
Lebih dari dua per tiga keluarga petani padi (72%) merasakan bahwa pendapatan yang diperoleh
saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Harga barang-barang kebutuhan sehari-hari yang
terus meningkat. sedangkan penghasilan keluarga amat minim. membuat keluarga hidup dalam kondisi
kekurangan. dan harus pandai-pandai mengatur penghasilan mereka yang terbatas untuk menjaga
kelangsungan hidup keluarga. Lebih dari separuh responden (62%) merasa pekerjaan saat ini belum dapat
memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagai petani kecil yang mayoritas tidak memiliki lahan. pendapatan dari
sektor pertanian dirasakan sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tingkat pendidikan sebagian
besar suami dan istri yang relatif rendah membuat responden sulit untuk mendapatkan pekerjaan formal.
Sebagian besar responden (84%) mengatakan konsumsi makanan yang diperoleh selama ini sudah
mencukupi. Khusus untuk makanan pokok, keluarga petani padi memiliki kebiasaan untuk menyisihkan
sebagian hasil panennya untuk dikonsumsi sendiri dan untuk persediaan sampai waktu panen berikutnya,
baru kemudian sisanya dijual, oleh karena ini dalam pemenuhan kebutuhan makanan pokok sebagian besar
keluarga tidak pernah merasa kekurangan. Untuk mengatasi kebutuhan pangan, lebih dari separuh
responden (60%) mengatakan tidak pernah meminjam uang atau barang kepada kerabat; namun sebagian
contoh mengatakan mereka terkadang meminta bantuan pada kerabat jika mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan pangan. Adanya bantuan Raskin dirasakan dapat membantu mengatasi kebutuhan
pangan pada sebagian besar keluarga contoh
Lebih dari separuh responden (58%) mengatakan bahwa rumah yang ditempati sekarang sudah
layak huni, namun kondisi rumah serta fasilitasnya dinilai belum dapat membuat nyaman keluarga oleh 60
persen keluarga petani padi. Hal ini dikarenakan sebagian responden merasa kondisi rumah yang ditempati
jauh dari kondisi nyaman, karena dari segi fasilitas, kenyamanan, dan kelayakan mereka merasa belum
cukup. Dari hasil pengamatan memang tergambar bahwa secara umum kondisi rumah mereka jauh dari
kesan nyaman dan layak. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa setiap orang dalam keluarga rata-rata
hanya menempati ruang seluas 5 m2, padahal menurut Departemen Kesehatan, kebutuhan ruang per orang
adalah minimal 9 m2. Seringkali rumah dengan luasan yang sangat terbatas ditempati oleh lebih dari satu
keluarga. Dari segi kesehatan, kondisi rumah yang berhimpitan satu sama lain dan seringkali terletak di gang
sempit ditambah dengan ventilasi dan pencahayaan yang terbatas membuat rumah kurang nyaman dan
kurang sehat untuk dihuni.Dalam bidang sosial, sebagian besar keluarga petani padi menilai bahwa keluarga

141
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
merasa aman dari ganggunan kejahatan dan keluarga merasakan kebebasan untuk menjalankan ibadah
sesuai agama dan kepercayaannya. Sebagian besar keluarga merasa bahagia dengan jumlah anak yang
dimiliki sekarang dan jumlah anggota keluarga tidak dianggap memberatkan keluarga dalam mengatasi
kebutuhan makan. Kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga membuat sebagian besar keluarga tidak
memberikan bantuan pada fakir miskin, anak terlantar atau orang jompo, keluarga juga belum mampu
menjadi orangtua asuh bagi anak-anak yang tidak mampu atau putus sekolah .Berdasarkan 30 item
pengukuran kesejahteraan subjektif, semakin tinggi skor jawaban responden maka responden tersebut dinilai
makin sejahtera. Hasil pengkategorian menunjukkan bahwa sebagian besar responden, yaitu 82 persen
keluarga petani padi termasuk dalam kategori tidak sejahtera.
Hasil analisis Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan positif antara tingkat kesejahteraan
subjektif dengan tingkat kesejahteraan objektif menurut kriteria BKKBN. Rambe (2004) menyebutkan bahwa
penduduk mungkin mempunyai pandangan tersendiri tentang arti kesejahteraan yang mungkin bisa sama
ataupun berbeda dengan pandangan objektif.
3.3. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Model Bisnis Sosial untuk Mengentaskan Permasalahan
Kemiskinan dan Meningkatkan Ketahanan Pangan Keluarga Petani
Berdasarkan hasil analisis terhadap responden di daerah penelitian, secara umum tingkat
keberdayaan petani padi masih tergolong rendah, baik untuk aspek ekonomi maupun aspek non ekonomi.
Melihat keadaan tersebut, diperlukan suatu strategi pemberdayaan yang tepat untuk membuat mereka lebih
mandiri dan berdaya secara ekonomis khususnya. Masalah ekonomi yang dihadapi petani padi sebenarnya
merupakan masalah klasik, sebenarnya dengan potensi yang ada dan dimiliki oleh mereka, mereka masih
bisa diberdayakan sehingga bisa keluar dari jurang kemiskinan.
Untuk aspek ekonomi yang meliputi akses usaha (kredit), akses pasar (informasi permintaan dan
penawaran produk), dan akses teknologi (penyuluhan dan bantuan perbaikan teknik usaha tani), sebagian
besar responden (lebih dari 50%) mengaku tidak/belum pernah memperoleh kredit karena kesulitan untuk
mendapatkan pinjaman, mendapatkan informasi pasar, dan menerima penyuluhan/ bantuan usaha tani.
Sedangkan untuk aspek non ekonomi, yaitu politik (merepresentasikan diri), sosial (kemampuan melakukan
lobby), dan budaya (keputusan berusaha), kurang dari 50% responden petani mengaku bahwa mereka tidak
terbiasa merepresentasikan diri, melakukan lobby, dan keputusan berusaha berasal dari keluarga. Tingkat
keberdayaan petani di Wilayah penelitian dalam memperoleh akses usaha berupa kredit masih relatif rendah,
terbukti hanya 44 persen yang pernah memperoleh bantuan kredit. Tingkat keberdayaan yang rendah dari
responden antara lain disebabkan oleh :(1) merasa tidak/belum perlu melakukan upaya peningkatan usaha
(seperti: mencari informasi pasar, dan lain-lain) ; dan (2) secara eksternal, belum adanya kepercayaan dari
kreditor terhadap usaha mereka yang berskala kecil dan masih bersifat tradisional.
Peran Stakeholders Dalam Meningkatkan Usaha Petani Di Wilayah penelitian sangat beragam.
Berdasarkan penilaian responden, nampak bahwa peran yang paling menonjol dalam setiap kegiatan usaha
petani mulai dari proses pengadaan faktor produksi hingga distribusi dan yang lainnya adalah peran dari
pebisnis, dalam hal ini adalah pedagang perantara. Sedangkan peran dari stakeholders yang lain dinilai
kurang memadai. Aktivitas usaha yang didominasi olah pedagang perantara adalah pada pengadaan faktor
produksi, distribusi, akses pasar, dan networking. Pengadaan modal oleh swasta merupakan salah satu hal
yang disorot oleh responden, dimana dianggap oleh mereka bahwa dalam menjalankan usaha banyak
berhubungan dengan pihak swasta atau pengusaha. Sebagian besar responden juga menilai bahwa
pemerintah juga memiliki peranan yang besar dalam pengadaan sarana dan prasarana serta dalam inovasi
teknologi jika dibandingkan dengan stakeholders lainnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pebisnis dan
pemerintah mempunyai peran yang relatif besar dalam meningkatkan usaha petani di daerah penelitian.
Sementara, peran dari stakeholders lain dianggap kurang memadai. Secara umum, peran stakeholders
berdasarkan penilaian responden masih rendah.Berpijak dari kondisi di lapangan, maka Strategi
Pemberdayaan Melalui Bisnis Sosial bisa menjadi alternatif yang memungkinkan untuk membuat petani
menjadi lebih berdaya dan terbebas dari kemiskinan. Bisnis sosial adalah sebuah model bisnis yang fokus
pada penyelesaian masalah-masalah sosial dan perbaikan taraf hidup masyarakat sekitar. Pelakunya adalah
anggota masyarakat sendiri dan hasilnya dibagikan secara merata keseluruh anggota. Dengan begitu,
seluruh elemen yang terlibat dalam bisnis akan mendapatkan manfaatnya. Bisnis sosial juga harus memenuhi
kriteria yaitu bukan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan perorangan ataupun investor. Tidak seperti
142
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
lembaga amal, bisnis sosial mandiri secara keuangan, sehingga tidak harus mengerahkan sumber daya
manusianya untuk mendapatkan donasi. Maka, bisnis sosial bisa juga diartikan sebagai non-loss, non-
dividend company, yang didedikasikan seluruhnya untuk mencapai misi sosial.
Pertanyaan selanjutnya pun bergulir. Bagaimana cara mengikutsertakan kaum papa dalam hal ini
petani di lokasi penelitian dalam putaran roda ekonomi global, membuat mereka keluar dari kemiskinan?
Kredit Mikro akan menjadi solusi terbaik. Perlu diakui bahwa ekonomi pasar mampu menciptakan sistem
yang efisien berdasarkan insentif. Efisiensi inilah yang setidaknya ingin dicapai pula supaya program
pengentasan kemiskinan berhasil. Orang miskin menjadi miskin bukannya malas, mereka pekerja keras,
hanya saja kurang beruntung tidak „terbawa‟ arus putaran sistem keuangan sekarang. Kredit mikro akan
menjadi pemantik api kreativitas mereka dalam berkarya. Insentif kreativitas inilah yang akan membawa
mereka keluar dari kemiskinan, sekaligus program pengentasan kemiskinan menjadi bisa bergulir terus sebab
dijalankan atas pijakan efisiensi pemberian kredit mikro – ada kontrol dari dua sisi: penerima kredit dan
pemberi kredit.
Prakteknya nanti model bisnis sosial yang sekiranya bisa diadopsi oleh petani miskin di lokasi
penelitian adalah melaksanakan bisnis sosial berdasarkan potensi yang mereka miliki. Alternatif yang
pertama petani miskin bergabung bersama dalam satu komunitas kelompok usaha bersama, dengan
memanfaatkan kredit mikro sebagai modal usaha, dan juga modal sosial berupa trust dan jejaring, mereka
bisa mulai membuka unit usaha tanpa meninggalkan pekerjaan mereka sebagai petani. Unit usaha yang
dilakukan berbasis potensi lokasi atau potensi yang mereka miliki, sebagai contoh aktifitas usaha tani padi
yang mereka lakukan bisa menghasilkan atau memunculkan bisnis baru contoh realnya dengan menciptakan
nilai tambah dari limbah padi. Misalkan mengolah sekam untuk media tanam, mengolah jerami sebagai
pewarna alami untuk makanan, mengolah dedak menjadi tebung substitusi terigu. Peran fasilitator baik dari
Dinas KUKM ataupun dari Lembaga Pendidikan seperti Universitas Padjadjaran akan sangat membantu petani
miskin terutama dalam hal teknik dan materi yang memang diperlukan dan akan sangat membantu petani
untuk mendapatkan ilmu yang dibutuhkan dalam melakukan aktifitas pengolahan nilai tambah padi. Untuk
penentuan pangsa pasar, dengan bantuan Dinas KUKM akan membantu untuk menyalurkan hasil produk
bisnis sosial petani ke konsumen (Gambar 1). Hasil penjualan tersebut sebagian digunakan untuk
pengembangan usaha, sebagian lagi untuk pembangunan dan perawatan sekolah, dan sebagian lagi untuk
tabungan pendidikan dan keperluan sehari-hari. Dengan begitu, masyarakat yang tadinya pasif dan tidak
memiliki penghasilan tetap, bisa secara bersama-sama menjalankan bisnis untuk kemaslahatan bersama

Kreativitas Capital

Kelompok Keluarga Petani


Identifikasi
Padi
Potensi Lokal Kelompok Usaha

Networking Bersama Berbasis


Trust Potensi Lokal
Improvement
Continuous

Swasta
Dinas
KUKM

Dinas Pertanian dan Sharing Profit Lembaga Lembaga


Tanaman Pangan kebermanfaatan sosial Pendidikan Permodalan

Gambar 1. Model Bisnis Sosial untuk Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Petani Padi

143
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
KESIMPULAN
1. Dilihat dari berbagai indikator kesejahteraan bidang ekonomi versi BKKBN dapat disimpulkan bahwa lebih
dari dua per tiga responden (68%) termasuk dalam kategori keluarga tidak sejahtera.
2. Pemberdayaan masyarakat dengan model bisnis sosial bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif
pengentasan kemiskinan bagi petani padi di lokasi penelitian. Dengan mengoptimalkan potensi yang
dimiliki, modal sosial dan kredit mikro, petani akan diberdayakan dengan membangun Kelompok Usaha
Bersama yang dikelola secara bersama-sama oleh mereka, dan difasilitasi serta dibina oleh stakeholder
(pemerintah, swasta, perguruan tinggi), sehingga petani dapat benar-benar mandiri secara ekonomi dan
berdaya.
SARAN
1. Dibutuhkan kerjasama dan keterlibatan semua pihak (petani, aparat, pemerintah, perguruan tinggi,
perbankan) dalam mensukseskan model bisnis sosial. Karenanya kebijakan pemerintah diharapkan akan
bersinergis sehingga keberfihakan kepada kaum lemah akan lebih diperhatikan.
2. Dibutuhkan penelitian lebih mendalam terkait penentuan model bisnis sosial yang tepat bagi komunitas
tertentu, khususnya petani padi.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
- Kartasasmita. 1996. Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Surabaya. PT. Erlangga Makmur
- Smith LH, El-Obeid AE, Jensen HH. 2000. The Geography and Cause of Insecurity in Developing
Countries. Agricultural Economics 22.
- Yunus, Muhammad. 2011. Bisnis Sosial - Sistem Kapitalisme Baru yang Memihak Kaum Miskin.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
- Zeitlin M, Brown L. 1990. Household Nutrition Security : A Development Dilema. Rome: Food
Agricultural Organization.
Sumber tesis:
- Andriani & Rani. 2008. Peran Gender dalam Strategi Koping dan Pengambilan Keputusan serta
Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga Petani Padi dan Hortikultura di Daerah Pinggiran
Perkotaan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
- Rambe A. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga dan Tingkat kesejahteraan (Kasus di Kecamatan
Medan Kota Sumatera Utara). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor

144
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
PENGUATAN HOME INDUSTRI KERIPIK BUAH MELALUI PERBAIKAN
TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI DAN REKAYASA

Dyah Erni Widyastuti1, Istis Baroh2, R. Pulung Sudibyo3

Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang


1
Jln. Raya Tlogomas No. 246 Malang
dyah.erni.w@gmail.com, istis_baroh@yahoo.co.id, rahmad_sudibyo@yahoo.com

ABSTRAK

Home Industry keripik buah di wilayah Malang Raya berkembang dan menjadi ikon sejak tahun
1990-an. Usaha ini bersifat padat karya, sekaligus memberi nilai tambah pada produk buah-buahan.
Kemampuan daya saing dan tingginya permintaan keripik buah berkualitas, belum terpenuhi karena
keterbatasan kemampuan manajerial dan aspek produksi. Faktor keterbatasan teknologi, menyebabkan
kuantitas, kontinyuitas dan kualitas produk serta proses produksi belum optimal. Fluktuasi harga, sifat
musiman, keragaman kualitas merupakan masalah dari sisi pasokan bahan baku. Rekayasa sosial dan
introduksi teknologi proses produksi dilaksanakan melalui kegiatan IbM Keripik Buah di Kabupaten Malang
sejak bulan Juni – Oktober 2013 dan bermitra dengan dua home industry pengolahan dan pemasok bahan
baku.
Kegiatan bertujuan untuk introduksi teknologi produksi; pembenahan terhadap sikap (character
building, personal skills, social skills) dan kemampuan manajerial pelaku industri terkait manajemen industri;
pengembangan produk dan peningkatan keterampilan desain dan packing. Kegiatan ini mampu memperbaiki
proses produksi dan peningkatan kualitas produk serta produktivitasnya. Prosentase produk grade super (20-
30%), grade KW1 (30%). Sedangkan produk yang rusak bisa diusahakan untuk ditekan sampai < 20%.
Pengadaan refrigerator sangat membantu pemasok untuk menyimpan dan menjamin stok bahan baku buah
segar siap olah. Pendaftaran Merek Dagang memberi perlindungan hukum sehingga Product market-
acceptance Meningkat 15% serta peningkatan Pendapatan minimal 10%. Spin-off Rekayasa sosial dan
teknologi

Kata Kunci : Keripik buah, rekayasa sosial, cooling tower, keripik nangka, keripik apel
ABSTRACT
Home Industry of crisps fruit in Malang evolved and become an icon since the 1990s. This will be a
labor-intensive, as well as adding value to the products of fruits. Competitiveness and the high demand for
quality fruit chips, have not been met because of limited managerial capacity and production aspects.
Limitations of Factors technological was causing the quantity, continuity and quality of the products and the
production process were not optimal. Price fluctuations, the seasonal nature, diversity of quality were some
problems of raw material supply. Social engineering and introduction of technology production process
implemented through IbM's Fruit Crisps in Malang since June to October 2013 and partnered with two home
industries and raw material suppliers.
Activities aimed was to introduce of production technology; improvements to the attitude
(character building, personal skills, social skills) and managerial skills of bussinessmen that related with
industry management ; product development and skills upgrading of design and packing. This activity can
improve production processes and increase product quality and productivity. Percentage of super grade
products (20-30%), KW1 grade (30%). While defective products can be made to be reduced to <20%.
Procurement refrigerator was very helpful to supplier for storing and ensure the raw material supply of fresh
fruit ready though. Trademark registration gives legal protection to Product market-acceptance rises 15% as
well as a minimum of 10% increase in revenues. Spin-off of social engineering and technology.
Key words : crisps fruit, social engineering, cooling tower, jackfruit chips, apple chips

145
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
PENDAHULUAN
Home Industry keripik buah di wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota
Batu) berkembang sejak tahun 1990-an. Seiring berjalannya waktu industri kecil di bidang pengolahan
keripik buah lambat laun menjadi ikon Kota Malang dan Kota Batu khususnya. Unit usaha yang berkembang
pada waktu itu hanya memproduksi keripik buah yang bahan bakunya telah tersedia di lingkungan sekitar
yaitu buah apel dan nangka. Produk ini, dipasarkan ke tempat-tempat tujuan wisata di Kota Malang dan
sekitarnya serta ke berbagai kota besar di Jawa dan Bali, bahkan selanjutnya sampai ke Malaysia.
Berdirinya unit-unit usaha kecil ini menguntungkan para petani buah dan warga sekitar karena
banyak tenaga kerja yang direkrut. Home Industry ini lebih bersifat padat modal. Selain itu, buah-buahan
tidak hanya dipasarkan dalam bentuk segar, tetapi diolah, sehingga memberi nilai tambah produk buah.
Sebagian besar pekerja yang terlibat adalah ibu-ibu rumah tangga (misalkan di kegiatan pengupasan),
sehingga bersifat padat karya dan kelompok pekerja ini dapat memperoleh penghasilan tambahan.
Disisi lain, selera konsumen terhadap variasi atau keragaman produk dan kualitas keripik buah,
terus berkembang pesat. Semula hanya berupa keripik buah apel dan nangka saja, tetapi sekarang
permintaan untuk macam-macam keripik buah lainnya, antara lain salak, mangga , nanas, rambutan,
bengkuang, pepaya, semangka, melon, durian dan lain-lainnya relatif tinggi. Bahkan kemudian berkembang
varian produk kerupuk buah. Tingginya minat akan keripik buah berkualitas masih relative belum dapat
terpenuhi antara lain karena faktor keterbatasan teknologi yang menyebabkan kuantitas, kontinyuitas dan
kualitas produk serta proses produksi kurang maksimal.
Beberapa persoalan yang dihadapi oleh pelaku home industri keripik buah, antara lain terkait
dengan teknologi pengolahan, pendingin untuk stok bahan baku, manajemen usaha, manajemen pemasaran,
kemampuan manajerial dan character building. Sebenarnya prospek home industry ini sangat bagus dan
selama ini juga terus berlangsung dengan keterbatasan yang ada. Tetapi untuk kesinambungan,
pengembangan dan kemampuan bersaing ditengah tingginya persaingan usaha (hyper-competition),
diperlukan treatment khusus untuk meningkatkan daya saingnya. Selain introduksi teknologi yang
dibutuhkan, juga dibutuhkan aspek pendukung lainnya seperti aspek manajemen usaha, pemasaran, analisis
lingkungan usaha dan peningkatan kemampuan manajerial serta character building pelaku usaha home
industry keripik buah, khususnya personal dan social skills (Widyastuti, 2009).
Penelitian yang telah dilakukan pada kluster industri atsiri kenanga di Kabupaten Blitar, juga
menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan model partisipatif integratif yaitu
pemberdayaan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara terpadu. Kegiatan yang dilakukan, telah
mensinergikan antara petani, pemetik, pedagang, pengepul dan penyuling dan melibatkan juga Dewan Atsiri
Indonesia dan Dewan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Blitar untuk memperkuat rekayasa sosial yang
diharapkan (Salviana & Widyastuti,2011).
Sedangkan penguatan daya saing dan keberlangsungan UKM melalui peningkatan kemampuan
manajerial dan pembentukan capasity building pengelola. Rekayasa sosial dilakukan melalui pendekatan life
skills, khususnya menitikberatkan pada personal skills, social skills dan kemampuan kerjasama. Keberhasilan
rekayasa sosial ditentukan melalui tahapan pendampingan pasca pelatihan. Tahapan ini meliputi pasca
pelatihan, masa transisi dan masa pemandirian. Kondisi paling krusial adalah pada masa transisi, sekitar 3-6
bulan pasca pelatihan. Jika masyarakat sasaran mampu melewati masa transisi, maka tingkat keberhasilan
dan keberlanjutan usahanya tinggi (Salviana & Widyastuti,2008)
Berdasarkan observasi dan interaksi dengan pelaku usaha home industri keripik buah pemasok
bahan baku keripik di Kabupaten Malang maka ditemukan beberapa permasalahan yang paling mendasar.
Khususnya terkait dengan aspek produksi dan kemampuan manajerial. Permasalahan yang perlu
diselesaikan, meliputi empat hal, yaitu (1) introduksi teknologi produksi sistem pendingin sirkulasi air dan
refrigerator penyimpan stok bahan baku; (2) pembenahan terhadap sikap (character building, personal skills,
social skills) dan kemampuan manajerial pelaku industri terkait manajemen industri; (3) pengembangan
produk dan peningkatan keterampilan dalam hal desain dan packing serta (4) pembenahan terhadap
aspek/cara/teknik pemasaran.
Oleh karena itu tulisan ini memberikan gambaran tentang solusi terhadap problem yang dihadapi
home industry keripik buah. Diharapkan introduksi teknologi pada home industry keripik buah ini mampu
mengatasi permasalahan teknologi proses produksi, pengembangan produk, kualitas dan kontinyuitas
146
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
pasokan bahan baku. Selain itu juga akan memperkuat kluster industri keripik buah maupun pemberdayaan
masyarakat di perkotaan, karena mampu menyerap tenaga kerja daerah perkotaan dan menggerakkan
perekonomian melalui pendekatan agribisnis hulu-hilir.
METODE
Kegiatan ini dilakukan melalui metode action research dengan penerapan teknologi dan rekayasa
sosial pada sasaran yaitu mitra Ipteks bagi Masyarakat. Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Malang. Lokasi
kegiatan ditentukan secara sengaja pada home industri yang mengolah keripik buah apel, nangka dan salak
di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kriterianya adalah usaha tersebut beroperasi selama 2 tahun
berturut-turut tanpa jeda. Kegiatan dilaksanakan pada salah pelaku home industri keripik buah yang
memproduksi keripik nangka, apel, dan salak.
Observasi dan analisis situasi dilakukan untuk memetakan problema dan kebutuhan home industri
keripik buah. Hasilnya, ternyata permintaan produk keripik terus meningkat dari tahun ke tahun, standard
kualitas, selera dan preferensi konsumen, makin beragam dan meningkat. Namun kualitas produk industri ini
dirasa semakin menurun hingga berdampak pada volume penjualan dan harga jual produk. Kemampuan
manajerial pengelola, perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan usahanya serta perubahan
lingkungan usahanya. Oleh karena itu diupayakan untuk membantu home industri ini agar tetap bertahan,
khususnya dari ancaman industri (pabrikan) dengan skala usaha yang lebih besar, sehingga daya saing,
kesinambungan dan keberlangsungan usaha tetap terjaga.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengamatan dan survey yang telah dilakukan, menghasilkan potret tingkat keberdayaan maupun
outcomes home industri keripik buah, antara lain dilihat dari capacity building maupun cultural change yang
merupakan unsur-unsur atau prinsip dasar dalam merancang pendekatan pemberdayaan masyarakat pelaku
cluster agroindustri keripik buah melalui pendekatan partisipatif integratif. Pendekatan ini digunakan karena
tingkat keberhasilannya tinggi. Setelah masa kegiatan berakhir, maka pelaku industri tetap dapat
meneruskan dan mengembangkan usahanya.
Di sisi lain, pendekatan/konsep cluster digunakan untuk merujuk pada kelangsungan usahanya
dengan menitik beratkan pada sistim terpadu keterkaitan ke depan ( forward) dan ke belakang (backward
linkaged) dengan baik untuk membangun pelaku bisnis kecil pada komunitas industri keripik buah.
Pendekatan ini perlu digunakan mengingat beragamnya tingkat keberhasilan sekaligus keberlangsungan
usaha yang dikelola.
Pelaksanaan penerapan ipteks melalui transfer tehnologi pada home industry keripik buah, secara
umum dilakukan melalui (1) Pelatihan manajemen industri/usaha dan pemasaran; Character building,
Personal & Social Skills ; (2) Pendampingan manajerial dilakukan dengan sistem kunjungan yang berisikan
konsultasi dan pengarahan tehnis maupun dinamika masalah yang terjadi.

147
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Permasalahan / Kebutuhan Kegiatan dan Capaian


1. Belum memiliki sistem piranti/alat - Introduksi teknologi pendingin bak sirkulasi air,
pendingin bak sirkulasi air yang mampu menggunakan cooling tower, (diadopsi /
menjaga air bak pendingin, tetap dingin. disesuaikan dengan kebutuhan dan skala usaha
Terutama ketika mesin harus beroperasi mitra)
selama 20 jam. -

2. Peningkatan kualitas produk - Perbaikan proses produksi dan peningkatan kualitas


produk serta produktivitasnya.
- Prosentase produk yang berkualitas, terutama
prosentase grade super (20-30%), diikuti grade
KW1. Sedangkan kualitas lainnya bahkan yang rusak
bisa diusahakan untuk ditekan sampai kurang dari
20%.
-

Kualitas tanpa cooling tower


3. Tempat menyimpan stok bahan baku buah - Introduksi teknologi penambahan Lemari pendingin
segar siap diolah (setelah dikupas dan (refrigerator) untuk menyimpan stok bahan baku
dibersihkan) buah segar siap diolah.

148
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Kegiatan Pengupasan buah (salak) -


4. Desain kemasan yang masih sederhana - Pelatihan dan magang desain kemasan yang
atau bahkan tanpa merek (dipasok untuk inovatif shg mampu memberikan brand image,
produsen besar/retail) mudah dikenal.

-
6. Rekayasa social - Perubahan sikap dan peningkatan character dan
sikap serta skills (personal & social skills)
- Peningkatan kemampuan manajerial
- Peningkatan bargaining power dan penguasaan
strategi pemasaran serta perluasan jejaring
(networking) dengan pemasok dan
pemasar.(Status : Penerapan dan Evaluasi)
- Pendampingan dan membantu pemasaran.
7. Peningkatan Pendapatan - Meningkat minimal 10%
8. Product market-acceptance - Meningkat 15%.
9. Spin-off - Rekayasa sosial dan teknologi

Model pelatihan dan pendampingan yang diterapkan merupakan aplikasi model Pemberdayaan
Perempuan Pengusaha UKM Melalui Pendekatan Life Skills Pada UKM Produk Berbasis Potensi Lokal (Salviana
dan Widyastuti, 2008; Widyastuti, 2009). Selain itu, merupakan tindak lanjut pengamatan dan pengalaman
sebagai pendamping Program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH/Life Skills) Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Jawa Timur tahun 2004-2007 dan Program Kursus Wirausaha Kota (KWK); Kursus
Wirausaha Desa (KWD) serta PKH Kerjasama SMK/Balai Pelatihan/Politeknik/Perguruan Tinggi tahun 2009
dan 2010. Temuannya adalah kelemahan pada kemampuan mengelola usaha UKM/Home industry terutama
aspek keterbatasan teknologi yang berimbas pada kualitas produksi, manajemen industry, pengembangan
produk dan packaging serta membangun jejaring.
Penerapan sistem piranti/alat pendingin sirkulasi air (cooling tower) untuk peralatan vacuum frying
mampu menurunkan suhu air yang akan dialirkan keperalatan secara optimal. Dampaknya adalah
meningkatnya kualitas produk keripik grade super mencapai 20-30%. Sistim pendingin yang digunakan
sebelumnya menggunakan kipas angin untuk mempercepat pendinginan air di kolam penampung. Tetapi
hasilnya tidak maksimal terutama ketika mesin harus beroperasi selama sekitar 20 jam terus menerus pada
saat permintaan pasarnya tinggi seperti menjelang hari libur panjang, hari Raya dan lainnya. Suhu air di
kolam pendingin relatif masih panas saat mengalir ke sistem pendingin vacuum frying. Akibatnya produk
yang dihasilkan tidak bisa memenuhi kualitas yang diharapkan.

149
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kuantitas pasokan bahan baku berupa buah segar seperti nangka, apel dan salak sangat fluktuatif
karena sifatnya musiman. Sedangkan kapasitas produksi mesin pengolah juga terbatas. Akibatnya pada saat
tertentu seperti di musim panen, pasokan buah berlimpah dan tetap harus segera dikupas, tetapi tidak dapat
segera diproses menjadi keripik buah. Kondisi ini juga menyulitkan bagi pemasok bahan baku. Idealnya,
pemasok bahan baku memiliki lemari pendingin untuk menyimpan stok bahan baku yang siap olah, sehingga
menekan kerugian karena busuk atau rusak. Pada umumnya bahan baku dipasok dalam bentuk buah segar,
karena pemasok tidak memiliki refrigerator atau memiliki dalam jumlah terbatas.
Di sisi lain, proses pengupasan bahan baku buah segar pada industri keripik buah ini juga
membuka peluang kerja bagi masyarakat disekitarnya, khususnya perempuan/ibu-ibu rumahtangga. Upah
yang pengupasan dihitung berdasarkan berat buah kupas yang dihasilkan. Jam kerja tenaga kerja
pengupasan antara pk 06.00-16.00 pada saat musim panen. Sedangkan saat di luar musim panen, jam
kerjanya menyesuaikan dengan ada tidaknya pasokan buah segar. Upah pengupasan sebesar Rp 1.000,- per
kilogram. Bagi tenaga kerja pengupasan yang sudah terbiasa mengupas, maka jumlah yang dihasilkan
mencapai lebih dari 4-5 tray per hari, dimana satu tray setara dengan 4 kilogram buah kupas. Upah yang
diterima cukup besar bagi masyarakat sekitarnya. Jumlah tenaga kupas 32 orang, tenaga penggoreng 4
orang dan pengepakan 5 orang. Sistim pengupahannya hampir sama, yaitu dengan menerapkan target
jumlah packing atau jumlah produk. Dengan demikian, industri ini termasuk padat karya dan sesuai untuk
industri kecil di perkotaan.
Kemampuan manajerial (manajemen usaha, strategi pemasaran, sikap dan character building)
pelaku usaha, relatif belum optimal. Tetapi melalui pendampingan yang dilakukan secara simultan, maka
tampak adanya perubahan sikap dan kemampuan mengambil keputusan. Pelaku usaha memutuskan untuk
mengembangkan usaha berbasis keripik, khususnya melalui pengepakan keripik ubi ungu dan lainnya. Hal ini
dilakukan untuk menjaga keberlangsungan usaha terutama saat tidak ada atau sedikit pasokan buahnya.
Pengembangan produk tidak diperoleh dari memproduksi sendiri tetapi bekerjasama dengan produsen lain,
dengan standar kualitas yang ditetapkan oleh home industri keripik buah. Dengan demikian, produk
”barunya” dapat dipasarkan bersama-sama dengan produk keripik buah.
Pengembangan produk dan peningkatan keterampilan desain dan packing serta peran sebagai
packing house dan menggunakan label merek yang telah dimiliki, mampu meningkatkan pendapatan tenaga
kerja pengepakan, mengoptimalkan peralatan/mesin pengepakan dan sekaligus meningkatkan pendapatan
home industy ini.

SIMPULAN/REKOMENDASI
- Penerapan teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pengusaha sangat
dibutuhkan, karena sangat membantu meningkatkan daya saing dan menjaga keberlangsungan
usahanya.
- Pendampingan secara simultan, mampu menjaga agar indutri ini terus bertahan, berkembang dan
mampu bersaing dengan kompetitor yang terus tumbuh.
- Perlu diterapkan teknologi tepat guna untuk mengolah limbah kulit buah yang volumenya sangat besar,
karea rendemen buah rata-rata mencapai 10-12%.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Disertasi:
Salviana & Widyastuti,2008, Pemberdayaan Perempuan Melalui Pengembangan Model Pendidikan Kecakapan
Hidup Berbasis Potensi Lokal Sebagai Upaya Meningkatkan Produktivitas dan Pendapatan rumah
Tangga, Penelitian Hibah Bersaing - DIKTI – KEMENDIKNAS, JAKARTA
Salviana & Widyastuti,2011, Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Industri Non-Corporate
Partisipatif Integratif Berbasis Potensi Lokal Menuju Pembangunan Karakter bangsa Yang Berdaya
Saing – (Minyak Atsiri Kenanga di Kabupaten Blitar), Program Riset Unggulan strategis Nasional
(Rusnas) - Dibiayai DP2M - DIKTI Kemendikbud Widyastuti,
2009, Pemberdayaan Perempuan Berperspektif Pembelajaran Life Skills (Pendidikan Kecakapan
Hidup) Melalui Konsep Kluster Bisnis pada UKM Bidang Agribisnis, Penelitian Hibah Bersaing - DIKTI –
KEMENDIKNAS, JAKARTA

150
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
22.ANALISIS FINANSIAL SAPI SONOK DI KECAMATAN WARU
KABUPATEN PAMEKASAN

Fathorrahman1), Aminah H.M. Ariyani2), Taufik R.D.A. Nugroho3)

Prodi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Jl. Raya Telang, Kamal, Bangkalan

(E-mail:moninthofa@gmail.com)

ABSTRAK

Sapi sonok merupakan dua sapi betina yang berkualitas khas Madura yang dipasangkan dan diikutkan dalam
kontes. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik responden dan aspek finansial peternak. Lokasi
dipilih secara sengaja di Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan karena merupakan pusat kesenian sapi
sonok dan mengambil 40 responden peternak sapi sonok dengan menggunakan metode snow ball sampling
dengan analisis kuantitatif. Hasil penelitian ini adalah usaha ternak sapi sonok layak dikembangkan karena
menguntungkan bagi peternak.

Kata-kata kunci: Sapi Sonok dan Analisis Finansial.

PENDAHULUAN
Sapi Madura sebagai sapi potong tipe kecil memiliki variasi berat badan sekitar 300 kg dan
pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan kebutuhan pakan yang baik mampu mencapai berat badan ≥
500 kg, ditemukan pada sapi Madura yang menang kontes. Pengaruh nilai sosiobudaya masyarakat Madura
terhadap ternak sapi Madura memiliki nilai tersendiri terutama terhadap tradisi sapi betina pajangan yang
dikenal dengan sapi sonok dan lomba sapi jantan yang dikenal sebagai kerapan. Sapi yang dilombakan
merupakan sapi pilihan yang memiliki tampilan performa yang sangat baik. Selain itu peranan pemeliharaan
sapi Madura seperti sapi potong lainnya yaitu sebagai sumber penghasil daging, tenaga kerja dan kebutuhan
ekonomi (Hariyono, 2010:12).
Peranan sosiobudaya masyarakat Madura terhadap keberadaan sapi Madura di samping sebagai
tenaga kerja, kebutuhan ekonomi yang mampu mendukung perbaikan mutu genetik ternak adalah aspek
budaya pemeliharaan secara khusus pada sapi yang terpilih diperlombakan, pajangan dan memberikan
kebanggaan tersendiri serta memiliki nilai ekonomis tinggi (harga jual tinggi). Sapi betina dipelihara secara
baik yang disiapkan untuk dilombakan sebagai sapi pajangan yang dikenal sebagai sapi sonok. Sedangkan
sapi jantan digunakan untuk pacuan sebagai sapi kerapan (Wijono dkk, 2004:46).
Upaya masyarakat Madura untuk menjaga nilai sosiobudaya dan perbaikan mutu genetik sapi
kerapan dan sapi sonok terus dilakukan sampai sekarang. Meski dari kacamata ekonomi memelihara sapi
kerapan tidak layak dikembangkan karena rugi berdasarkan penelitian Fuad Hasan (2012) bahwa: a) secara
ekonomi, memelihara sapi kerapan tidak menguntungkan, b) motivasi pengkerap memelihara sapi kerapan
adalah hobi dan status sosial, c) dampak sosial kerapan sapi yaitu: meningkatkan harga diri dan status sosial
pengkerap, bagi masyarakat Madura adalah terpeliharanya tradisi kerapan sapi yang merupakan warisan
leluhur dan munculnya tindak kriminal pertikaian bahkan sampai terjadi carok dan tindak perjudian, d)
dampak ekonomi dapat membuka peluang kerja, memberi peluang usaha pakan sapi, telur ayam kampung,
makanan, kerajinan, perhotelan dan travel agent dan memberikan pendapatan daerah, e) dampak lainnya:
terjadinya tindak kekerasan atau penyiksaan terhadap hewan (sapi kerap). Namun faktor sosiobudaya telah
mampu mengalihkan pandangan masyarakat terhadap nilai ekonomi sapi kerapan, tingginya harga pada sapi
kerapan dipengaruhi oleh prestasinya dalam lomba, harga tinggi hanya pada sapi kerapan yang menang
lomba. Pelestarian dan perhatian khusus terhadap sapi kerapan telah menyebar di Madura (di Kabupaten
151
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan), begitu juga dengan sapi sonok hanya saja sapi kerapan
lebih dikenal dari pada sapi sonok.
Sapi Sonok sendiri merupakan sapi Madura yang mempunyai kualitas bagus dan berjenis kelamin
betina yang dilombakan/dikonteskan adalah keindahan sapi saat berjalan dan berpakaian
Salah satu tujuan diadakannya kontes sapi sonok yaitu untuk memperkenalkan budaya Madura pada
masyarakat luas terutama masyarakat di luar Pulau Madura. Seni budaya sapi sonok menjadi kebanggaan
masyarakat pulau Madura khususnya Kabupaten Pamekasan karena pusat sapi sonok berada di Kabupaten
Pamekasan bagian utara yang sudah terkenal luas sehingga harus tetap dilestarikan.
Pelestarian sapi sonok di Kabupaten Pamekasan tersebar di berbagai kecamatan, seperti: Kecamatan
Proppo, Palengaan, Pakong, Waru, Batumarmar dan Pasean. Sedangkan pada tahun 2011 jumlah sapi sonok
di Kabupaten Pamekasan adalah 774 ekor. Sapi sonok pada dasarnya termasuk pada populasi sapi potong
namun sapi sonok merupakan sapi betina yang dibedakan karena kualitas yang lebih unggul sehingga
diikutkan pada kontes sapi sonok, perinciannya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Populasi sapi potong dan populasi sapi sonok di Kabupaten Pamekasan tahun 2011
No. Kecamatan sapi potong (ekor) sapi sonok (ekor)
1. Pamekasan 3.525 -
2. Tlanakan 10.652 -
3. Pademawu 7.703 -
4. Galis 2.147 -
5. Larangan 7.821 -
6. Proppo 13.606 2
7. Palengaan 8.427 2
8. Pakong 6. 839 116
9. Pegantenan 13.703 -
10. Waru 13.841 226
11. Batumarmar 11.068 134
12. Kadur 10.871 -
13. Pasean 17.471 294
Jumlah 127.674 774
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan 2011

Menurut ketua pembina paguyuban sapi sonok daerah Pamekasan bagian Utara (Kecamatan Waru,
Pasean, Batumarmar dan Pakong) Rudi Haryanto, sapi sonok adalah sepasang sapi betina (dua ekor sapi
betina yang disatukan dengan adanya pangonong atau kayu perangkai sapi) yang mempunyai kualitas
unggul dan diikutkan dalam kontes sonok. Sedangkan kata sonok berasal dari kata soro nyonok (suruh
masuk) dalam artian masuk gapura kontes sapi sonok.
Dari latar belakang tersebut, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik masyarakat dan
kelayakan usaha ternak sapi sonok di Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan.

METODOLOGI
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan Waru Kabupaten
Pamekasan. Kecamatan Waru dipilih karena merupakan pusat kesenian sapi sonok di Kabupaten Pamekasan
Bagian utara. Penentuan responden dalam penelitian ini menggunakan Strategi dasar teknik bola salju
(snow ball sampling) ini dimulai dengan menetapkan satu atau beberapa orang informan kunci (key
informan) dan melakukan interview terhadap mereka secara bertahap atau berproses. Bermula dari informan
kunci yang memberi penjelasan, arahan dan saran untuk menentukan siapa sebaiknya yang akan menjadi
informan utama.
Metode pengumpulan data menggunakan data primer meliputi pengamatan, wawancara dan metode
angket data sekunder yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti. Data sekunder diperoleh dari data-
data tertulis yang berbentuk catatan atau laporan data dokumentasi yang diperoleh dari instansi berupa
artikel, literatur atau hasil penelitian yang sudah ada, seperti buku-buku, artikel, makalah dan dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti yang memiliki relevansi dengan masalah
152
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari instansi terkait di lokasi penelitian seperti
monografi Kecamatan Waru, Kecamatan Waru dalam angka serta Kabupaten Pamekasan dalam Angka.
Sedangkan untus analisis data menggunakan analisis kuantitatif.
Analisis finansial dapat dilihat terhadap pelaku atau pemilik sapi sonok. Untuk mengetahui analisis
finansial usaha ternak sapi sonok adalah dengan menghitung penerimaan, total biaya, keuntungan finansial
dan kelayakan usaha dalam memelihara sapi sonok.

Analisis Penerimaan
Menurut Soekartawi (1995:54), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang
diperoleh dengan harga jual, pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:
TR= Y.Py
Dimana,
TR : Total penerimaan
Y : Produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani
Py : Harga Y

Analisis Biaya
Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap
(variable cost).
a. Biaya tetap (fixed cost) didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan
walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap tidak tergantung pada
besar-kecilnya produksi yang diperoleh.
b. Biaya tidak tetap (variable cost) didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi
yang diperoleh.
c. Biaya total (total cost) merupakan penjumlahan dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC).

Analisis Keuntungan
Analisis keuntungan merupakan analisis untuk mengetahui selisih antara penerimaan dengan biaya
total, untuk mengetahui keuntungan dengan rumus:
π = TR –TC
keterangan:
π : keuntungan dalam satuan rupiah
TR : total penerimaan yang diperoleh dari penjualan sapi dalam satuan rupiah
TC : total biaya yang dikeluarkan mulai pengadaan bibit, pemeliharaan, pakan, tenaga kerja, kandang,
keikutsertaan dalam kontes dan transportasi dalam satuan rupiah.

Analisis Kelayakan Usaha


Analisis Return Cost Ratio (R/C)
R/C singkatan dari Return Cost Ratio, merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu
usaha dalam satu masa terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dikatakan layak
bila R/C lebih besar dari 1 (R/C>1). Hal ini menggambarkan semakin tinggi nilai R/C maka tingkat
keuntungan suatu usaha akan semakin tinggi. Apabila R/C=1 artinya tidak untung dan tidak rugi.

Return On Investment (ROI)


Perhitungan terhadap Return On Investment dilakukan untuk mengetahui besarnya perbandingan
antara keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan besar investasi/total biaya yang benar-benar
dikeluarkan oleh perusahaan (Rangkuti, 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Masyarakat Peternak Sapi Sonok di Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan


153
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
1. Karakteristik responden berdasarkan usia
Faktor usia sangat mempengaruhi kinerja peternak dalam usahaternak sapi, karena usaha ternak
sapi sonok berbeda dengan ternak sapi lokal biasa, dimana faktor usia berkaitan dengan pengalaman usaha
ternak, berikut adalah usia dari 40 responden peternak sapi sonok:
Tabel 2. Karakteristik responden peternak sapi sonok berdasarkan usia di Kecamatan Waru Kabupaten
Pamekasan 2013
No Kelompok Usia (Tahun) Jumlah (Responden) %
1 33-37 8 20
2 38-42 6 15
3 43-47 8 20
4 48-52 10 25
5 53-57 6 15
6 58-62 2 5
Total 40 100
Sumber: Data Primer Diolah 2013
Tabel 2. menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang memelihara sapi sonok di Kecamatan
Waru berusia 48-52 tahun dengan jumlah 10 peternak dengan tingkat persentase sebesar 25%. Ini
menunjukkan bahwa kesenian sapi sonok banyak diminati oleh kalangan usia tua, hal ini dikarenakan
masyarakat pemuda di Kecamatan Waru lebih banyak yang merantau ke daerah luar Madura dan adanya alih
profesi dari pemain lama para pecinta sapi, seperti para peternak sapi kerapan yang pindah haluan pada
ternak sapi sonok.
2. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
Pendidikan merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan masyarakat peternak sapi, karena
pendidikan akan mendorong peternak untuk terus maju dengan kemampuan analisa sederhana terhadap
keberhasilan usaha ternak sapi dan kemampuan menyerap pengetahuan baru yang bermanfaat, berikut
tingkat pendidikan peternak sapi sonok di Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan:
Tabel 3. Karakteristik responden peternak sapi sonok berdasarkan pendidikan di Kecamatan Waru
Kabupaten Pamekasan 2013
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Responden) %
1 SD 24 60
2 SMP 4 10
3 SMA 9 22,5
4 S1 3 7,5
Total 40 100
Sumber: Data Primer Diolah 2013
Tabel 3. menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan terakhir yang telah ditempuh oleh
responden yang memelihara sapi sonok di Kecamatan Waru adalah Sekolah Dasar dengan jumlah sebesar 24
responden dengan tingkat persentase sebesar 60%, ini menunjukkan bahwa responden peternak sapi sonok
di Kecamatan Waru dalam aspek tingkat pendidikan responden masih rendah, hal ini menyebabkan program
pemerintah seperti kawin buatan pada sapi masih belum dipahami sepenuhnya oleh responden peternak sapi
sonok dengan jumlah perbandingan sebesar 1:6 untuk kawin alami sedangkan menurut pembina paguyuban
sapi sonok Pantura perbandingan untuk semua sapi di daerah Pantura sekitar 1:4 untuk kawin alami, hal ini
dikarenakan karena populasi sapi sonok jauh lebih sedikit dari pada sapi madura biasa.
3. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan atau mata pencaharian merupakan cara untuk mengukur kehidupan ekonomi suatu
masyarakat yang dijadikan sumber penghasilan masyarakat tersebut, pekerjaan dari 40 responden
peternak sapi sonok adalah sebagai berikut:

154
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Tabel 4. Karakteristik responden peternak sapi sonok berdasarkan pekerjaan di Kecamatan Waru Kabupaten
Pamekasan 2013
No Pekerjaan Jumlah (Responden) %
1 Petani 27 67,5
2 Pedagang 6 15
3 Wiraswasta 2 5
4 Sopir 2 5
5 PNS 3 7,5
Total 40 100
Sumber: Data Primer Diolah 2013
Tabel 4. menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan masyarakat yang memelihara sapi sonok di
Kecamatan Waru adalah petani dengan jumlah sebesar 27 responden dengan tingkat persentase sebesar
67,5%, hal ini menunjukkan bahwa partisipasi petani terhadap kesenian sapi sonok cukup tinggi, hampir
semua petani di Kecamatan Waru juga beternak sapi karena beternak merupakan investasi atau simpanan
petani, dalam persedian makanan sapi, petani lebih mudah karena tidak perlu membeli pakan hijauan. Petani
dapat mengambil manfaat dari rumput yang ada di lahannya, hal ini yang memberikan semangat pada
petani untuk ternak sapi, dengan ternak sapi sonok maka secara ekonomi pendapatan petani lebih
meningkat dari pada ternak sapi biasa, sehingga petani banyak yang memelihara sapi sonok.
4. Karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga mempengaruhi terhadap keberlangsungan ternak sapi sonok di Kecamatan
Waru, berikut jumlah anggota keluarga responden peternak sapi sonok:
Tabel 5. Karakteristik responden peternak sapi sonok berdasarkan jumlah anggota keluarga di Kecamatan
Waru Kabupaten Pamekasan 2013
No Jumlah Anggota Keluarga Jumlah (Responden) %
1 3 2 5
2 4 10 25
3 5 15 37,5
4 6 8 20
5 7 3 7,5
6 8 2 5
Total 40 100
Sumber: Data Primer Diolah 2013
Tabel 5. menunjukkan bahwa sebagian besar jumlah anggota keluarga masyarakat yang
memelihara sapi sonok di Kecamatan Waru adalah 5 anggota keluarga dengan jumlah 15 responden dengan
tingkat persentase sebesar 37,5%. Jumlah keluarga dapat mempengaruhi dalam aspek perawatan sapi
sonok, misalnya ketika memandikan atau ketika latihan untuk menjinakkan sapi dan melatih dalam
melangkah, karena yang paling sulit dalam memelihara sapi sonok adalah ketika melatih sapi dalam
melangkah untuk bisa kompak dan berjalan sejajar, dalam proses ini minimalnya membutuhkan 3 orang dan
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga.

155
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
5. Karakteristik Responden Berdasarkan lokasi/desa
Tabel 6. Karakteristik responden peternak sapi sonok berdasarkan lokasi/desa di Kecamatan Waru Kabupaten
Pamekasan 2013
No Lokasi Jumlah (Responden) %
1 Desa Waru Barat 18 45
2 Desa Waru Timur 6 15
3 Desa Tlontoares 2 5
4 Desa Bajur 4 10
5 Desa Ragang 2 5
6 Desa Sumber Waru 3 7,5
7 Desa Tampojung Tengah 1 2,5
8 Desa Tampojung Gua 1 2,5
9 Desa Sana Laok 2 5
10 Desa Tegangser laok 1 2,5
Total 40 100
Sumber: Data Primer Diolah 2013
Tabel 6. menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang memelihara sapi sonok di Kecamatan
Waru berlokasi di Desa Waru Barat dengan jumlah 18 responden dengan tingkat persentase sebesar 45%.
Desa Waru Barat juga menjadi pusat paguyuban di Kecamatan Waru, termasuk juga ketua paguyuban
pantura dan pembina paguyuban pantura juga bertempat tinggal di Desa Waru Barat.
6. Karateristik responden berdasarkan pengalaman ternak sapi sonok
Tabel 7. Karakteristik responden peternak sapi sonok berdasarkan pengalaman ternak di Kecamatan Waru
Kabupaten Pamekasan 2013
No Pengalaman ternak (tahun) Jumlah (Responden) %
1 6-8 8 20
2 9-11 14 35
3 12-14 10 25
4 15-17 4 10
5 18-20 1 2,5
6 21-23 3 7,5
Total 40 100
Sumber: Data Primer Diolah 2013
Tabel 7. menunjukkan bahwa dari 40 responden peternak sapi sonok telah memelihara sonok lebih
dari lima tahun, untuk pengalaman beternak dari 40 responden yang paling banyak adalah antara 9-11
tahun, hal ini menunjukkan bahwa peternak sapi sonok di Kecamatan Waru sebagian besar sudah
berpengalaman.
7. Karakteristik responden berdasarkan jumlah kepemilikan indukan sapi sonok
Tabel 8. Karakteristik responden peternak sapi sonok berdasarkan jumlah kepemilikan indukan sapi sonok di
Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan 2013
No jumlah kepemilikan sapi Jumlah (Responden) %
1 sepasang (2 ekor) 39 97,5
2 3 pasang (6 ekor) 1 2,5
Total 40 100
Sumber: Data Primer Diolah 2013
Tabel 8. menunjukkan bahwa dari 40 responden peternak sapi sonok hanya satu responden yang
memiliki tiga pasang indukan sapi sonok sisanya memiliki sepasang indukan sapi sonok.
Analisis Finansial Usaha Ternak Sapi Sono

156
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Dalam aspek finansial usaha ternak sapi sonok dapat dikembangkan karena memberikan keuntungan
pada peternak sapi sonok. Aspek finansial dalam ternak sapi sonok melihat pada total penerimaan, total
biaya, keuntungan dan analisis kelayakan usaha dengan menggunakan R/C, dapat dilihat pada tabel dibawah
ini:

Tabel 9. Analisis Finansial Usaha Ternak Sapi Sonok


Analisis pertahun Perbulan
Penerimaan
penjualan sapi 31.728.416 2.644.035
Uang pembinaan 945.000 78.750
Hadiah 157.500 13.125
Total penerimaan 32.830.916 2.735.910
Biaya
Biaya tetap 648.244 54.020
Biaya variabel 19.467.180 1.622.265
Total biaya 20.115.424 1.676.285
Keuntungan 12.715.492 1.059.624
R/C 1,63 1,63
ROI 63,2% 63,2%
Sumber: Data Primer Diolah 2013
Return On Investment (ROI) merupakan kemampuan suatu usaha untuk memperoleh keuntungan.
Perhitungan terhadap ROI dilakukan untuk mengetahui besarnya perbandingan antara keuntungan yang
diperoleh dibandingkan dengan besar investasi/total biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh perusahaan
(Rangkuti, 2001).
Keuntungan (π)
Return On Investment (ROI) = 𝐱 𝟏𝟎𝟎%
Total biaya (TC)
Rp. 12.715.492
= x 100%
Rp. 20.115.424
= 63,2%
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, nilai Return On Investment (ROI) adalah sebesar 63,2%. Nilai
ini menunjukkan bahwa Rp 1.000 yang ditanamkan sebagai modal investasi usaha ternak sapi sonok dapat
memberikan keuntungan sebesar Rp.632. Hal ini berarti berdasarkan kriteria ROI, usaha ini menguntungkan.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian tentang Sapi Sonok; analisis finansial di Kecamatan Waru
Kabupaten Pamekasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Peternak sapi sonok di Kecamatan Waru sebagian besar berusia 48-52 tahun dengan tingkat pendidikan
SD, sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai petani dengan jumlah anggota keluarga berkisar
antara 3-8 orang. Sedangkan lokasi ternak sapi sonok berpusat di Desa Waru Barat, dengan tingkat
pengalaman 6-23 tahun.
2. Aspek finansial ternak sapi sonok di Kecamatan Waru dapat memberi keuntungan kepada peternak,
dengan rata-rata penerimaan sebesar Rp 32.830.916/ tahun atau Rp 2.735.910/ bulan dan biaya
sebesar Rp 20.115.424/ tahun atau Rp 1.676.285/ bulan, keuntungannya sebesar Rp 12.715.492/ tahun
atau Rp 1.059.624/ bulan, nilai R/C adalah 1,63 (R/C>1) sedangkan ROI sebesar 63,2% sehingga dapat
disimpulkan bahwa usaha ternak sapi sonok layak dikembangkan.

157
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
- Hariyono, dkk. 2010. Potensi Ekonomi Budidaya Ternak di Kawasan Madura Pasca Suramadu. J.
Ternak Tropika Vol. 11, No. 2: 11-22, 2010.
- Hasan, Fuad. 2012. Dampak Sosial Ekonomi Pergeseran Nilai Budaya Karapan Sapi . SEPA: Vol. 8 No.
2 Pebruari 2012 : 75-82
- Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Jakarta. UI-Pres.
Sumber prosiding seminar:
- Wijono, Didi Budi, dkk.2004. Potensi dan Keragaman Sumber Daya Genetik Sapi Madura. Lokakarya
Seminar nasional.

158
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
23.ANALISIS KEUNTUNGAN AGRIBISNIS JAGAL SAPI
BERDASARKAN SISTEM PENGADAAN DAN PENJUALAN
(Profit Analysis Of Cattle-Slaughtering Business Based On Cattle Procurement
And Meat Sales System)
Hastang R. Mappangaja2), R. Darma2), I. Sudirman3), S.N. Sirajuddin1)
1),

Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, UNHAS.


Jl. Perintis Kemerdekaan, Tamalanrea KM.10. Makassar. 90245.

email: hastang_uh@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keuntungan agribisnis jagal sapi berdasarkan sistem
pengadaan sapi potong dan sistem penjualan daging. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juni 2013
di Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (PD RPH) Makassar. Jenis penelitian ini adalah studi kasus,
dengan pemilihan case berupa case tidak normal (Wirartha, 2006) pengusaha jagal yang melakukan
pemotongan secara rutin yaitu minimal 15 hari dalam sebulan. Jumlah populasi adalah sekitar 30 orang dan
sampel adalah 10 orang. Data dikumpulkan melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan
menggunakan questioner. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan statistik sederhana.
Perhitungan keuntungan menggunakan rumus ∏ = TR – TC. Hasil yang diperoleh menunjukkan jagal yang
memperoleh keuntungan tertinggi adalah menerapkan sistem penjualan daging yang dikelompokkan/di
grading (Rp 393.855/ ekor atau Rp 6.902 /kg), kemudian jagal yang melakukan pengadaan sapi melalui
kerjasama dengan pedagang pengumpul antarpulau dengan sistem penjualan daging yang tidak
dikelompokkan (Rp 372.704/ ekor atau Rp 3.929/kg), jagal yang melakukan pembelian sapi di lokasi RPH
dengan sistem penjualan daging yang tidak dikelompokkan (Rp 217.744/ekor atau Rp 2.693/kg), jagal yang
melakukan pembelian sapi berdasarkan timbangan daging setelah dipotong dan menerapkan sistem
penjualan daging yang tidak dikelompokkan (Rp 262.323/ekor atau Rp 2.644/kg), keuntungan terendah
adalah jagal yang melakukan pembelian sapi di daerah dengan sistem penjualan daging yang tidak
dikelompokkan (Rp 166.555/ekor atau Rp 2.072/kg).

Kata Kunci: Keuntungan, agribisnis jagal sapi, sistem pengadaan, sistem penjualan

ABSTRACT
The aim of study is to determine the profits of beef slaughter bussiness based on procurement in
slaughterhouse and meat sales system. This study was conducted from April to June 2013 in the Makassar
Regional Slaughterhouse (PD. RPH). The type of research was case study with the selection of case was
not in a normal case ( Wirartha, 2006). The sampels were selected from butchers group who work regularly
ie. at least 15 days a month. Ten butchers were selected as sampels from about 30 total butchers population
in slaughterhouse. Data were collected through direct observation and interview using a questionnaire. Data
were analysis by descriptive and simple statistical analysis. The profits were calculated by using the formula
Π = TR - TC. The results showed that the butchers with the highest profit who sold their meat with grading
systems (Rp. 393.855/ head or Rp 6.902 /kg), then butcher who procure through cooperation with inter-
island traders and sold their meat with no grading systems (Rp. 372.704/ head or Rp 3.929/kg), butchers
who purchases at slaughterhouses without grading system (Rp. 217.744/head or Rp 2.693/kg), then
butchers who purchases based on carcass weight after slaughters without grading systems (Rp.
258.752/head or Rp 2.608/kg). The lowest profit were gain by butchers group who purchased their cattle
from interland area and sold meat without grading systems (Rp. 166.555/head or Rp 2.072/kg ).
Key word: Profit, Cattle-Slaughtering Business, Procurement System, Sales System

159
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

PENDAHULUAN
Daging sapi merupakan salah satu produk peternakan yang memiliki peranan yang sangat penting, baik
dari segi ekonomi maupun dari segi pemenuhan gizi masyarakat. Namun akhir-akhir ini marak dibicarakan
tentang tingginya harga daging sapi. Harga daging sapi lokal lebih tinggi dibanding harga daging sapi di
negara-negara lain, misalnya harga daging sapi Singapura Rp 45.000/kg, Malaysia Rp 50.000/ kg (0,43 USD),
Tailand antara Rp 40.000 – Rp 50.000/kg sedangkan di Indonesia sekitar Rp 90.000/kg (Anonim, 2013) dan
di Makassar sekitar Rp 70.000 - 80.000/kg. Tingginya harga daging sapi dipengaruhi oleh banyak faktor,
salah satu diantaranya adalah besarnya biaya, margin dan keuntungan di tingkat lembaga tataniaga yang
terlibat dalam rantai tataniaga. Menurut Prastowo, dkk (2008), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
harga eceran komoditas adalah besarnya margin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai
distribusi. Salah satu lembaga yang merupakan mata rantai distribusi daging sapi adalah jagal. Sebagian
besar Jagal di Kota Makassar, melakukan kegiatan pemotongan sapi di PD RPH Makassar.
Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (PD. RPH) Makassar adalah badan usaha milik daerah
yang bergerak di bidang pengelolaan rumah potong hewan serta jasa dan niaga yang berkaitan dengan hasil
pemotongan hewan (Anonim, 2010). Namun saat ini fungsi PD. RPH Makassar masih sebatas penyediaan
jasa tempat pemotongan hewan. Jagal yang beraktifitas disini, merupakan penyangga utama pasokan
daging sapi lokal di kota Makassar, rata-rata jumlah pemotongan sapi 57 ekor/hari (sekitar 5 ton daging
sapi/hari) yang terdiri dari 40 % sapi jantan dan 60 % sapi betina (Data Sekunder PD RPH Makassar, 2013).
Oleh karena itu besarnya biaya dan keuntungan jagal di lokasi ini sangat menentukan harga daging di tingkat
eceran. Selain itu, penentuan harga beli sapi oleh jagal sebagian besar berdasarkan taksiran berat daging
yang sarak dengan spekulasi. Menurut Abidin (2002), kriteria penaksiran harga pada umumnya berdasarkan
umur, bobot badan serta karkas setelah sapi dipotong. Oleh karena itu jagal harus memiliki kemampuan
untuk menaksir berat daging sapi hidup, agar bisa memperoleh keuntungan. Salah taksir dapat
menyebabkan kerugian atau keuntungan bagi jagal. Hasil survei awal ke jagal , bahwa salah taksir dapat
mencapai sekitar 5 kg/ekor, krena kondisi fisik sapi yang sama, belum tentu menghasilkan berat daging yang
persis sama. Untuk memenuhi kebutuhan sapi potong, dan untuk meningkatkan keuntungan, para Jagal
menerapkan beberapa sistem dalam pengadaan sapi dan penjualan daging.
Berdasarkan keadaan tersebut, maka peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian tentang
keuntungan usaha jagal berdasarkan sistem pengadaan sapi potong dan penjualan daging di PD RPH
Makassar. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi jagal terkait
dengan keuntungan dan sistem yang diterapkan serta upaya mengatasinya.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2013 di Perusahaan Daerah Rumah Potong
Hewan Makassar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Studi Kasus, dengan pemilihan case
berupa case tidak normal (Wirartha, 2006) yaitu dipilih jagal yang melakukan pemotongan secara rutin yaitu
minmal 15 hari dalam sebulan. Dengan pertimbangan bahwa jagal inilah yang merupakan pemasok utama
daging sapi yang bersumber dari PD RPH Makassar. Jumlah populasi jagal sekitar 30 orang, namun yang
rutin melakukan pemotongan hanya sekitar 13 orang. Dari 13 orang ini diambil sampel secara acak 10 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengamatan lansung terhadap aktifitas yang dilakukan jagal
mulai dari pengadaan sapi di RPH, proses pemotongan, sampai daging siap dipasarkan dan wawancara
dengan menggunakan seperangkat questioner yang sudah dipersiapkan, meliputi identitas responden,
kegiatan yang dilakukan, biaya-biaya yang dikeluarkan, komponen-komponen produk, harga masing-masing
produk, komponen-komponen investasi, harga dan usia ekonomisnya. Untuk perhitungan keuntungan,
diambil sampel sapi dari berbagai sistem yang diterapkan jagal dalam usahanya. Total sampel sapi yang
diambil sebanyak 190 ekor. Data sekunder diperoleh dari PD. RPH Makassar. Data-data yang diperoleh
ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan statstik sederhana serta analisa deskriptif.
Perhitungan keuntungan menggunakan rumus: ∏ = TR – TC (Soekartawi, 2003), dimana ∏ adalah
keuntungan bersih (Rp/ekor), TR adalah Total penerimaan (Rp/ekor) dan TC adalah total biaya (Rp/ekor).
TR dalam penelitian ini merupakan nilai penjualan daging dan hasil ikutannya, TC adalah total biaya yang
dikeluarkan mulai dari proses pengadaan sapi sampai daging siap dipasarkan yang terdiri dari biaya tetap
160
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
dan biaya variable. Dari hasil perhitungan ini akan dianalisis secara deskriptif untuk melihat keterkaitan
antara sistem-sistem yang diterapkan mulai dari pengadaan sapi sampai penjualan daging dikaitkan dengan
biaya dan keuntungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biaya, Penerimaan Dan Keuntungan Jagal Di PD RPH Makassar.
Keuntungan usaha merupakan komponen utama agar perusahan tetap berlanjut (sustainable). Untuk
menganalisis keuntungan usaha jagal, maka terlebih dahulu harus diketahui komponen-komponen
pembentuk keuntungan yaitu biaya-biaya dan penerimaan.
Biaya ,Dalam menghasilkan produk tidak dapat terlepas dari masalah biaya produksi, yaitu biaya-biaya yang
harus dikeluarkan oleh produsen untuk memperoleh dan memakai input-input produksi (Mappangaja, 2012).
Menurut Nasehatun (1999), biaya merupakan barang dan jasa atau aktiva yang dikorbankan dalam
perusahaan untuk menghasilkan pendapatan dalam suatu periode akuntansi. Menurut Siagian (1999), biaya
adalah beban pembayaran untuk melakukan pelayanan, misalnya bahan, upah, asuransi, bahan kebutuhan,
transportasi, depresiasi, pajak, pengadaan dan promosi penjualan. Biaya terdiri atas biaya tetap dan biaya
variabel. Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam jumlah
kesatuan barang yang diproduksi atau dijual. Biaya variable adalah biaya langsung yang dapat berubah
sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam jumlah kesatuan barang yang diproduksi atau dijual (Winardi,
1993). Biaya tetap total (BTT) adalah total biaya untuk input produksi tetap. Biaya variabel total (BVT)
adalah jumlah biaya untuk unsur produksi variabel. Dalam suatu proses produksi, biaya total (BT) merupakan
penjumlahan antara biaya tetap total dan biaya variabel total (Mappangaja, 2012;).
Biaya yang dikeluarkan oleh jagal yang beroperasi pada PD RPH Makassar, bervariasi tergantung
pada sistem pengadaan sapi potong (Tabel 1). Komponen utama biaya pada usaha jagal sapi di RPH
Makassar adalah harga beli sapi potong dan Biaya proses pengadaan sapi sampai menjadi daging.
1. Harga Beli Sapi
Jagal sapi menerapkan dua sistem penetapan harga beli sapi, yaitu Harga beli sapi berdasarkan berat
daging setelah dipotong dan harga beli sapi berdasarkan taksiran berat daging sapi hidup.
Harga beli sapi berdasarkan berat daging setelah dipotong yaitu sapi-sapi yang dibawa oleh pedagang
sapi (terutama pemasok tetap dari jagal tersebut) atau pedagang sapi lain yang setuju dengan sistem
tersebut akan dilakukan pemotongan sapi secara langsung kemudian hasilnya berupa daging dan hati
ditimbang dan dikalikan dengan harga beli daging yang ditetapkan jagal (Rp 71.000 / kg) lebih tinggi
dibanding harga jual daging ke pedagang daging (Rp 68.000 / kg) atau selisih Rp 3.000 / kg.
Harga beli sapi per ekor berdasarkan taksiran berat daging sapi hidup bervariasi karena, perbedaan
berat daging dan perbedaan harga per kilogram berdasarkan sistem pembelian. Untuk mengatasi masalah
perbedaan berat daging per ekor sapi, maka dihitung harga sapi per kilogram daging yang dihasilkan. Sistem
ini juga terjadi di RPH Makassar, bahwa untuk menentukan harga sapi hidup, diperoleh dari taksiran berat
daging di kali harga tertentu yang ditetapkan jagal (Rp 71000 – Rp 72 000/ kg). Sistem taksiran ini yang
kadang menyebabkan jagal untung besar atau rugi besar, kalau taksiran meleset dari produksi daging
setelah dipotong.
Dari Tabel 1. terlihat bahwa harga beli sapi berdasarkan rata-rata per kilogram daging, tertinggi pada
pembelian sapi di lokasi RPH Makassar (Rp 71.156,91/kg), dan terendah pada pembelian melalui kerjasama
dengan pedagang pengumpul di NTT dan NTB (Rp 64.641,54/kg). Hal tersebut terjadi karena harga sapi
yang dibeli di lokasi RPH Makassar sudah termasuk biaya pengadaan sapi dari daerah sumber sapi sampai ke
Makassar. Harga sapi yang masuk melalui kerjasama dengan pedagang pemgumpul antar pulau, hanya
menyampaikan harga kolektif (total nilai sapi yang dikirim) ke jagal dan sudah termasuk biaya-biaya yang
dikeluarkan sampai sapi tiba di pelabuhan Jeneponto, tetapi belum termasuk keuntungan dari pedagang
pengumpul dan biaya setelah turun dari kapal sampai sapi tiba di Makassar.Biaya dari pelabuhan Jeneponto
sampai ke Makassar ditanggung oleh jagal dan keuntungan dari hasil penjualan daging akan dibagi dua
antara jagal dan pedagang pengumpul antar pulau.
2. Biaya proses pengadaan sapi sampai menjadi daging.
Biaya proses pengadaan sapi sampai menjadi daging meliputi semua biaya yang dikeluarkan mulai
dari pengadaan sapi (selain harga beli sapi) sampai pasca penjualan daging. Biaya proses pengadaan sapi
sampai menjadi daging dan pasca penjualan terdiri dari: biaya pengadaan ternak (Biaya telepon, biaya
161
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
pelayanan pemasok tetap bagi jagal yang melakukan, biaya transportasi ternak bagi yang melakukan
pembelian sapi di luar RPH, biaya komisi untuk peluncur (orang yang membantu pedagang untuk
mendapatkan sapi yang mau dijual tetapi tidak memutuskan harga sapi), biaya adminstrasi dan
pemeriksaan sapi bagi yang melakukan pembelian sapi secara langsung ke daerah), biaya pemotongan
ternak (biaya tenaga kerja dan sewa jasa tempat pemotongan PD. RPH Makassar), biaya pemasaran/
pasca penjualan daging (biaya kemasan/kantong plastik, biaya penagihan). Komponen biaya tetap
adalah penyusutan peralatan (pisau, batu asa dan mobil pribadi untuk angkutan sapi bagi yang membeli
di daerah).

Tabel 1. Rata-Rata Produksi Daging, Biaya Variabel, Biaya Tetap, Dan Biaya Total Berdasarkan Sistem
Pembelian Dan Penjualan
Biaya Variabel
Biaya proses
pengadaan
Rata- Rata-rata sapi –
rata Harga beli penjualan Biaya Variabel Biaya Biaya
Produks sapi daging Total Tetap Total
No Uraian i Daging (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
1 Harga Beli Sapi Berdasarkan Berat Daging setalah dipotong; Penjualan Daging Di grading
4.204.06
Rata-rata/ ekor 57,07 4.051.733 152.254 4.203.988 76,92 5
Rata-rata/ kg
daging 1,00 71 2.668 73.668 1,35 73.669
Harga Beli Sapi Berdasarkan Berat Daging setelah dipotong; Penjualan Daging Tidak Di
2 grading

7.197.04
Rata-rata/ ekor 99,20 7.043.200 153.771 7.196.971 76,92 8
Rata-rata/ kg
daging 1,00 71 1.55 72.55 0,78 72.551
Harga Beli Sapi Berdasarkan Taksiran; lokasi pembelian di daerah; Penjualan Daging
3 Tidak Di grading

5.981.91
Rata-rata/ekor 80,40 5.653.333 321.561 5.974.894 7.018 2
Rata-rata/ kg
daging 1,00 70.315 4000 74.315 87,29 74.402
Harga Beli Sapi Kolektif; Kerjasama dengan pedagang pengumpul antar pulau; penjualan
4 daging tidak di grading

6.410.24
Rata-rata/ ekor 94.85 6.131.250 278.884 6.410.134 108,13 2
Rata-rata/ kg
daging 1 64.642 2.94 67.582 1,14 67.583

162
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Harga Beli Sapi Berdasarkan Taksiran; Pembelian di lokasi PD. RPH Makassar; Penjualan
5 Daging tidak degrading

Rata-rata/ekor 80.87 5.754.426 156.581 5.911.007 132.09 5.911.139

Rata-rata/ kg daging 1 71.157 1.936 73.093 1.63 73.095

Sumber: Data Primer setelah diolah, 2013


Dari Tabel 1. Dapat dilihat, bahwa jagal yang mengeluarkan Biaya proses pengadaan sapi sampai
menjadi daging terbesar adalah yang melakukan pembelian sapi ke daerah secara lansung (Rp 4000/ kg
daging). Biaya yang dikeluarkan meliputi biaya komisi untuk peluncur rata-rata Rp 75.000,-/ ekor, biaya
transportasi ternak Rp 50.000 / ekor, biaya adminstrasi ternak di daerah Rp 55.000/ ekor sedangkan biaya-
biaya lainnya hampir sama dengan semua jagal di PD RPH Makassar. Biaya proses pengadaan sapi sampai
menjadi daging terbesar ke dua adalah jagal yang melakukan pembelian melalui kerjasama dengan
pedagang pengumpul antar pulau, karena menanggung biaya transportasi dari pelabuhan jeneponto ke
Makassar (Rp 2.940/ kg daging). Komponen Biaya proses yang besar adalah biaya tenaga kerja sekitar Rp
100.000 – Rp 175.000/ ekor dan sewa jasa RPH termasuk semua fasilitas yang dibutuhkan dalam
pemotongan sapi, kecuali pisau dan batu asa adalah Rp 32.000/ekor.
3. Biaya tetap
Komponen biaya tetap yang ditanggung jagal sangat kecil karena hanya berupa penyusutan
peralatan pisau dan batu asah. Besar kecilnya biaya ini tergantung harga beli pisau (Rp 25.000 – Rp
500.000/ unit) dan usia ekonomis dari 2 tahun sampai 7 tahun. Semua sarana dan prasarana lain yang
dibutuhkan dalam pemotongan sapi disiapkan oleh PD RPH Makassar dan jagal hanya membayar sewa jasa
tempat pemotongan dan semua fasilitas yang ada di areal PD RPH Makassar.
Penerimaan (Nilai Penjualan Daging Dan Hasil Ikutannya)
Penerimaan (revenue) adalah perkalian antara jumlah produksi yang diperoleh dengan harga jual
(Soekartawi, 2003). Komponen penerimaan jagal berbeda menurut sistem penjualan daging.
Penerimaan jagal dengan metode penjualan daging yang di grading diperoleh dari hasil produksi
daging dan semua hasil ikutannya berupa kulit, tulang paha sampai kaki, daging kepala, tetelan, jeroan,
babat, tulang kepala (berisis otak dan lidah) dan tulang konro (tulang leher, tulang belakang, rusuk sampai
ekor) dikali harganya masing-masing; Sedangkan Penerimaan jagal dengan sistem penjualan daging yang
tidak digrading diperoleh dari hasil produksi daging dan sebagian hasil ikutannya (kulit, tulang paha sampai
kaki, daging kepala, tetelan dan sebagian jeroan) dikali harganya masing-masing. Yang termasuk kategori
daging oleh jagal adalah semua daging setelah dilepas dari tulang ditambah hati. Kedua komponen ini
digabung dalam penimbangan untuk perhitungan penerimaan daging yang tidak digrading. Sedangkan untuk
daging yang digrading yaitu daging digreding/dikelompokkan menjadi tiga yaitu: kelompok daging paha
terdiri dari daging: paha belakang (shank/sengkel/betis, inside/daging kelapa/knuckle, silverside/pendasar/
gandik, rump/tanjung, topside/round/ penutup), sirloin/has luar, tenderloin/has dalam/fillet, paha depan
(chuck dan shank/ sengkel). kelompok daging patompo terdiri dari daging: blade/punuk dan cuberoll/
lamusir. kelompok daging tipis terdiri dari daging: flank, rib meat, brisket dan hati. Pengelompokan daging
tersebut berbeda dengan SNI yang mengklasifikasikan daging menurut golongan/kelas I, II, III. Kelompok
daging kelas I terdiri dari Cuberoll/lamusir, sirloin/has luar dan tenderloin/Fillet/has dalam; Kelompok daging
kelas II terdiri dari Inside/daging kelapa/Knuckle, Silverside/pendasar, Rump/ Tanjung, Topside/ Penutup,
kijen/chuck tender, sampil besar/chuck dan sampil kecil/ blade; Kelompok daging kelas III terdiri dari Blade,
Flank, Rib Meat/daging iga, Brisket/ sandung lamur (Anonim, 2008).
Harga daging yang digrading adalah: grade/kelompok daging paha Rp 67.000/kg, daging patompo
Rp Rp 60.000/ kg dan daging tipis Rp 53.000/ kg. Porsi masing-masing kelompok daging ini berbeda dalam
satu ekor sapi, sehingga didapatkan harga rata-rata daging sapi yang di grading Rp 62.853.97/kg;
sedangkan harga penjualan daging yang tidak di grading pada tingkat jagal Rp 68.000 – Rp 69.000/ kg,
Harga kulit Rp 8000 – Rp 10.000/ kg; harga tetelan + daging kepala + sebagian jerohan (ditimbang
gabung) bervariasi antara Rp 28.000 - Rp 37.000/kg; harga tulan paha sampai kaki Rp 110.000 – Rp
163
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
130.000/ekor; harga bagian-bagian yang dipisahkan: tetelan (lemak tanpa daging) = Rp 20.000/kg; Daging
kepala/ kalakasa (daging pipi, bibir, telinga, hidung) Rp 40.000/kg , harga usus halus dan paru-paru Rp
37.000/kg. Rata-rata penerimaan usaha jagal menurut sistem pembelian dan penjualan dapat dilihat pada
Tabel 2.
Dari Tabel 2 dapat dilihat, bahwa sistem penjualan daging yang digrading/dikelompokkan
memperoleh total penerimaan terbesar per kilogram daging dan hasil ikutannya yaitu Rp 80.571/kg.
Meskipun jika hanya dilihat dari nilai penerimaan daging saja untuk daging yang di grading lebih rendah,
karena harga rata-rata daging yang di grading hanya Rp 62.854 / kg, lebih rendah dibanding harga daging
yang tidak di grading Rp 68.000/ kg. Harga daging yang rendah ini ditutupi dari penerimaan hasil ikutan
daging yang lebih besar. Rata-rata penerimaan hasil ikutan daging yang tidak di grading Rp 710.200/ekor
atau Rp 7.159/ kg daging, sedangkan hasil ikutan daging yang di grading sebesar Rp 1.011.053 / ekor atau
Rp 17.717 / kg daging.

Tabel 2. Rata-rata Penerimaan, Total Biaya dan Keuntungan Jagal berdasarkan Sistem pembelian dan
penjualan daging Sapi
Rata-rata Rata-rata Keuntungan
No. Uraian Rata-rata Biaya (Rp)
Penerimaan (Rp) (Rp)
Harga Beli Sapi Berdasarkan Berat Daging setalah dipotong; Penjualan
Daging Di grading
1 Rata-rata/ekor 4.597.920 4.204.065 393.855
Rata-rata/kg daging 80.571 73.669 6.902

2 Harga Beli Sapi Berdasarkan Berat Daging setelah dipotong; Penjualan Daging Tidak Di grading

Rata-rata/ekor 7.455.800 7.197.048 258.752


Rata-rata/kg daging 75.159 72.551 2.608
Harga Beli Sapi Berdasarkan Taksiran; lokasi pembelian di daerah; Penjualan Daging Tidak Di
3 grading
Rata-rata/ekor 6.148.467 5.981.912 166.555
Rata-rata/kg daging 76.473 67.582 2.072
Harga Beli Sapi kolektif; Kerjasama dengan pedagang pengumpul antar pulau; penjualan daging
4 tidak di grading
Rata-rata/ekor 7.155.650 6.410.242 745.408
Rata-rata/kg daging 75.442 67.583 7.859
Harga Beli Sapi Berdasarkan Taksiran; Pembelian di lokasi PD. RPH Makassar; penjualan daging
5 tidak di grading
Rata-Rata/Ekor 6.128.883 5.911.139 217.744
Rata-rata/Kg Daging 75.787 73.095 2.693
Sumber: Data Primer setelah diolah, 2013
Keuntungan
Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan dan total biaya, yang sering ditulis dengan
rumus ∏ = TR – TC, dimana ∏ adalah keuntungan, TR adalah total penerimaan dan TC adalah total biaya
(Soekartawi, 2003). Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa keuntungan terbesar diperoleh jagal yang melakukan
pembelian sapi berdasarkan berat daging setelah dipotong dan penjualan daging dengan sistem grading
yaitu sebesar Rp 393.855/ ekor atau Rp 6.902/kg daging dan hasil ikutannya. Hal ini disebabkan karena nilai
penjualan hasil ikutan daging yang tinggi. Jagal yang memperoleh keuntungan tertinggi ke dua adalah jagal
164
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
yang melakukan kerjasama dengan pedagang pengumpul antar pulau yaitu Rp 745.408/ ekor atau Rp
7.859/kg. Meskipun keuntungan ini masih dibagi dua antara jagal dan pedagang pengumpul antar pulau,
sehingga masing-masing memperoleh keuntungan Rp 372.704/ ekor atau Rp 3.929/kg daging dan hasil
ikutannya. Jagal yang memperoleh keuntungan terendah adalah jagal yang melakukan pembelian sapi ke
daerah yaitu Rp 166.555/ ekor atau Rp 2.072 / kg, karena biaya yang dikeluarkan paling besar. Secara
keseluruhan sistem yang diterapkan oleh jagal menguntungkan; hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Suryanto (2006), bahwa usaha jagal sapi menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditari kesimpulan sebagai berikut:
1. Jagal sapi di PD. RPH Makassar menerapkan beberapa sistem pengadaan sapi potong, yaitu: pengadaan
sapi potong lansung ke daerah, pengadaan sapi potong melalui kerjasama dengan pedagang pengumpul
antar pulau dan pengadaan sapi potong di lokasi PD RPH.
2. Jagal sapi di PD. RPH Makassar menerapkan dua sistem penetapan harga beli sapi potong, yaitu: (a)
Penetapan harga sapi berdasarkan produksi daging setelah dipotong dikali harga tertentu yang
ditetapkan oleh jagal (Rp 71.000/kg). Harga beli daging sapi ditetapkan lebih tinggi dibanding harga
jual daging ke pedagang daging / pallembara (Rp 68.000/kg untuk daging yang tidak di grading dan
rata-rata Rp 62.854 / kg untuk daging yang di grading). (b) Penetapan harga beli sapi berdasarkan
taksiran daging sapi hidup dikali harga tertentu yang ditetapkan jagal (sekitar Rp 71.000 – Rp
72.000/kg).
3. Jagal sapi di PD. RPH Makassar menerapkan dua sistem penjualan daging sapi, yaitu sistem penjualan
daging yang sudah dikelompokkan/ grading dan sistem penjualan daging yang tidak dikelompokkan
(campur). Kedua sistem ini berbeda dalam hal penetapan harga dan pembagian hasil ikutan daging.
Harga daging yang dikelompokkan lebih rendah dibanding harga daging yang tidak dikelompokkan,
tetapi hasil ikutan daging yang degrading/dikelompokkan, diambil semua oleh jagal sedangkan untuk
sistem daging yang tidak dikelompokkan, hasil ikutan daging dibagi dengan pedagang daging
(pallembara)
4. Sistem pengadaan sapi dan penjualan daging terkait dengan keuntungan. Jagal yang memperoleh
keuntungan tertinggi adalah menerapkan sistem penjualan daging yang dikelompokkan/di grading (Rp
393.855/ ekor atau Rp 6.902 /kg), kemudian jagal yang melakukan pengadaan sapi melalui kerjasama
dengan pedagang pengumpul antarpulau dengan sistem penjualan daging yang tidak dikelompokkan
(Rp 372.704/ ekor atau Rp 3.929/kg), jagal yang melakukan pembelian sapi di lokasi RPH dengan
sistem penjualan daging yang tidak dikelompokkan (Rp 217.744/ekor atau Rp 2.693/kg), jagal yang
melakukan pembelian sapi berdasarkan timbangan daging setelah dipotong dan menerapkan sistem
penjualan daging yang tidak dikelompokkan (Rp 262.323/ekor atau Rp 2.644/kg), keuntungan terendah
adalah jagal yang melakukan pembelian sapi di daerah dengan sistem penjualan daging yang tidak
dikelompokkan (Rp 166.555/ekor atau Rp 2.072/kg).
5. Jika ditinjau dari sisi jagal, maka sistem yang terbaik adalah yang memberikan keuntungan tertinggi
bagi jagal,yaitu sistem yang melakukan pembelian sapi berdasarkan timbangan daging setelah dipotong
dan menerapkan sistem penjualan daging yang dikelompokkan/di grading; tetapi perlu penelitian lebih
lanjut untuk melihat bagaimana pengaruh sistem ini ke arah hulu (pedagang sapi) dan ke arah hilir
(pedagang daging), karena sistem tataniaga yang baik adalah yang bisa memberikan pembagian yang
adil ke semua lembaga tataniaga yang terlibat.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
ˉ Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Penerbit Agromedia Pustaka. Jakarta.
ˉ Anonim. 2008. Mutu Karkas dan daging sapi. Badan Standardisasi Nasional Indonesia (BSNI).
ˉ Anonim. 2010. Corporate Plane Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan Kota Makassar. Direksi PD.
RPH Kota Makassar. Makassar
ˉ Mappangaja, A.R. 2012. Ekonomi Produksi Pertanian. Penerbit Identitas Universitas Hasanuddin.
Makassar.

165
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
ˉ Nasehatun, A. 1999. Budget dan Control: Sistem Perencanaan dan Pengendalian Terpadu. Cetakan
Pertama. PT. Grasindo, Jakarta
ˉ Siagian, R. 1999. Pengantar Manajemen Agribisnis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
ˉ Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi. Penerbit PT. Raja Grafinso Persada. Jakarta
ˉ Winardi. 1993. Aspek-aspek Bauran Pemasaran (Marketing Mix). Penerbit CV. Bandar Maju. Bandung
ˉ Wirartha, I.M. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit CV. Andi Offset. Yogyakarta.

Sumber jurnal:
ˉ Suryanto, B. 2006. Profitabilitas Usaha Jagal Sapi Di Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah. Journal Of
The Indonesian Tropical Animal Agriculture, 31 [3] September 2006.
Sumber internet
ˉ Anonim. 2013. Daging Sapi Impor Segera Datang, Harga Daging akan Turun.
http://www.merdeka.com/uang/daging-sapi-impor-segera-datang-harga-daging-akan-turun.html.
Diakses tanggal 6 Maret 2013
ˉ Prastowo, N.J., Yanuarti, T., Depari, Y. 2008. Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga
Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi. (online) Working Paper. Bank Indonesia.
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/35E0D97E-1A73-46CD-9D4E-8ABD06893F6E/20775/WP200807.pdf.
diakses tanggal 10 Desember 2012.

166
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
24.PEMBERDAYAAN KELOMPOK TANI HUTAN (KTH) MELALUI
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOPI ARABIKA

Hepi Hapsari
1
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
1
Jl. Raya Jatinangor-Sumedang, Km 21

e-mail : hapsari.hepi@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pelestarian hutan dan sumberdaya air dilakukan dengan melibatkan petani lingkar hutan melalui
pengembangan agribisnis kopi arabika. Program ini difasilitasi Perhutani, Pemda, CSR, Perguruan Tinggi dan
berbagai pihak dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani, penghijauan, membangun kluster agribisnis
kopi, dan kontribusi pendapatan desa. Tujuan penelitian adalah 1) mengetahui profil agribisnis kopi Arabika,
2) menyusun model perberdayaan petani perspektif pembelajaran life skills. Desain penelitian kualitatif
eksploratif dengan metode studi kasus. Tempat penelitian ditentukan secara purposive di Kelompok Tani
Manglayang, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Analisis data secara deskriptif. Pengumpulan
data melalui wawancara mendalam, observasi, analisis dokumen dan FGD. Pengolahan data melalui
prosedur reduksi, simplifikasi, klasifikasi, koseptualisasi dan verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
KTH Manglayang telah menghasilkan kopi khas Priangan meskipun produktivitas masih rendah sekitar 2
ton/Ha. Petani kopi sudah menerapkan integrated farming, terpadu dengan ternak sapi perah.
Pemberdayaan petani kopi yang dilakukan berbagai pihak belum terkoordinasi, baru sebatas vocational skills
dan belum sampai life skills. Idealnya petani diberi ketrampilan di semua sub sistem Agribisnis dan didukung
insentif bantuan saprodi (bibit kopi dan tanaman naungan), teknologi budidaya, mesin pengolahan,
pemasaran dan pembiayaan melalui klaster bisnis kopi Priangan. Untuk meningkatkan pendapatan petani
dapat dilakukan dengan menekan biaya produksi melalui integrated farming, meningkatkan produktivitas dan
kualitas melalui pemberdayaan life skills. Faktor harga adalah mekanisme pasar yang sulit dikontrol petani.

Kata kunci : pemberdayaan, petani hutan, agribisnis, kopi

EMPOWERMENT OF FARMERS FORESTRY GROUP


THROUGH DEVELOPMENT OF ARABICA COFFE AGRIBUSINESS
ABSTRACT
Conservation of forest and water resources carried out with the involvement of farmers through agribusiness
development circumference forest arabica coffee. The program is facilitated by Perhutani, local government,
CSR, universities and various parties in order to increase the income of farmers, planting, building clusters of
coffee agribusiness, and rural income contribution. Research objectives are 1) to determine the profile of
agribusiness Arabica coffee, 2 ) create a model for farmer empowerment perspective of learning life skills.
Exploratory qualitative research design with the case study method. Research site chosen purposively in
Manglayang Farmers Group, Cilengkrang district, Bandung regency. Descriptive data analysis. Collecting data
through in-depth interviews, observation, document analysis and focus group discussions. Data processing
procedures through reduction, simplification, classification, and verification koseptualisasi. The results
showed that KTH has produced specialty coffee Manglayang Priangan though productivity is still low at
around 2 tonnes/ha. Coffee farmers are already implementing integrated farming, integrated with dairy
cattle. Empowerment of coffee farmers who were made parties are not coordinated, the new limited
vocational skills and life skills not yet. Ideally, farmers were given skills in all sub-systems of Agribusiness and
167
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
backed incentive aid inputs (seeds and crop shade coffee), cultivation technology, machinery processing,
marketing and financing through business clusters Priangan coffee. To increase farmers' income can be done
with lower production costs through integrated farming, improve productivity and quality by empowering life
skills. The price factor is the market mechanism that is difficult to control farmers.

Keywords : empowerment , forest farmers , agribusiness , coffee

PENDAHULUAN
Krisis air dan penjarahan hutan yang marak sejak dua dekade terakhir adalah sebagai akibat dari tidak
meratanya pertumbuhan ekonomi, kesalahankebijakan tata ruang dan tata guna lahan. Lahan pertanian
milik masyarakat adat banyak yang beralih fungsi menjadi pemukiman, sehingga masyarakat yang mayoritas
petani miskin bergeser ke lahan hutan milik negara, menebang pohon dan membuka lahan pertanian di atas
tanah Perhutani. Kehidupan mereka secara umum kurang sejahtera, tidak memiliki lahan dan keterampilan
sebagai sumber penghidupan, sehinggaterpaksa menjarah hutan untuk bertahan hidup.
Kelompok Tani Hutan (KTH) adalah salah satu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Bagi Pemda dan
dinas-dinas terkait,KTH lebih dikenal daripada LMDH. Hal ini berkaitan dengan pembinaan dan bantuan
biasanya diberikan kepada kelompok tani dan bukan lembaga masyarakat. LMDH dibentuk tahun 2006 dan
merupakan Mitra Perum Perhutani. Kegiatan yang dirintis oleh LMDH awalnya adalah pengelolaan air bersih
di sekitar Kabupaten Bandung. Pengelolaan air bersih ini digunakan sebagaibahan baku air mineral atau air
minum kemasan dan untuk mengairi tanaman hortikultura yang banyak di dataran tinggi bekas tebangan
hutan. Kekhawatiran terhadap eksploitasi berlebihan sumber air bersih dan bencana tanah longsor, maka
Gubernur Jabar mengeluarkan SK No. 522 tahun 2007 yang berisi larangan adanya budidaya tanaman
hortikultura di lahan hutan dan mengembalikan hutan produksi menjadi hutan lindung. Dalam upaya
melibatkan masyarakat melestarikan hutan tanpa harus kehilangan sumber penghidupan, maka Perum
Perhutani menghimbau masyarakat sekitar hutan untuk budidaya tanaman keras bernilai ekonomi tinggi.
Tanaman perkebunan seperti kopi dan kayu cocok untuk perlindungan hutan dataran tinggi, karena tidak
banyak dilakukan pengolahan tanah intensif sehingga tanah tidak terkikis dan mampu menahan air dalam
jangka panjang. Selain itu, tanaman perkebunan menjadi sumber penghasilan yang berarti bagi masyarakat
sekitar hutan.
Dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, pihak Perhutani meminjamkan lahan Hak
Guna Garap selama 20 tahun dengan kontribusi 30 % produksi disetorkan ke Perhutani. Komoditi yang
banyak dikembangkan dalam PHBM kopi jenis Arabika karena bagus untuk konservasi, bernilai ekonomi
tinggi dan cocok untuk dataran tinggi Jawa Barat (Priangan).Pemda membantu penyuluhan dan tanaman
pelindung. Belum ada bantuan sarana produksi, pengolahan, pemasaran, dan akses ke lembaga keuangan
maupun pembinaan dalam suatu klaster. Sementara masyarakat masih terbatas ekonomi dan pendidikan
sehingga kesulitan untuk mengembangkan usahataninya. Masyarakat memiliki keterbatasan keterampilan
teknis (vocational skills), keterampilan berinteraksi dengan orang lain (sosial skills) dan karakter pribadi
(personal skills), makasangat dibutuhkan pemberdayaan yang berbasis life skills, didukung bantuan sarana
produksi memadai, mesin pengolahan pasca panen, dan pemasaran yang berpihak petani. Oleh karena itu
perlu adanya sebuah upaya peningkatan nilai tambah, sekaligus pemberdayaan Kelompok Tani Hutan melalui
pengembangan agribisnis kopi Arabika, dengan pendekatan pembelajaran life skills didukung dengan konsep
kluster bisnis kopi Priangan.
Budidaya kopi Arabika di KTH Manglayang menggunakan pupuk kotoran sapi perah yang diternakkan
oleh para petani di wilayah setempat. Pakan sapi diperoleh dari rerumputan kebun kopi, hijauan gulma kopi
dan limbah kulit kopi. Jadi dapat dikatakan pengembangan agribisnis kopi Arabika di Manglayang berbasis
integrated farming. Kendala utama dalam mewujudkan integrated farming dalam usahatani kopi, adalah
perilaku petani (pengetahuan, sikap, ketarmpilan) yang masih lemah. Kapasitas sumberdaya manusia
sebagai pelaku utama sangat mempengaruhi penerapan integrated farming tanpa harus khawatir akan
mengalami kerugian atau rumitnya mengolah limbah kotoran ternak.
Dalam pengembangan agribisnis, klaster telah menjadi mekanisme yang ampuh untuk mengatasi
keterbatasan petani dalam hal skala usaha dan persaingan pasar yang ketat. Pembentukan klaster menjadi
168
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
isu penting dalam pengembangan agribisnis kopi karena secara individual petani seringkali tidak sanggup
menangkap peluang pasar yang membutuhkan jumlah volume produksi yang besar, standar yang homogen
serta pemenuhan permintaan dan penawaran yang kontinyu. Usahatani seringkali mengalami kesulitan
mencapai skala ekonomis dalam pembelian input sarana produksi pertanian, akses jasa keuangan, akses
teknologi, informasi pasar dan konsultasi pakar.
Pembangunan sumberdaya manusia sekitar hutan perlu dilakukanmelalui upaya pemberdayaan seutuhnya.
Peran pemerintah terutama Perhutani adalah secara aktif memberikan bimbingan kepada masyarakat yang
umumnya miskin dan tidak memiliki keterampilan, agar nantinya dapat mandiri dalam menghadapi tantangan
hidup, tidak bergantung kepada alam secara pasif, terlebih ikut serta dalam mengelola dan melestarikan
hutan. Pemberdayaan petani hutan melalui pengembangan Agribisnis Kopi Arabika berbasisklaster bisnis dan
integrated farming adalah konsep komprehensif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan, melestarikan hutan, tanah dan sumberdaya air. Inti pemberdayaan adalah pengembangan
sumberdaya manusia sebagai outcame jangka panjang.Peningkatan kualitas SDM petani dapat dicapai
dengan pendekatan pembelajaran life skills (kecakapan hidup). Sedangkan peningkatan pendapatan dan
pelestarian lingkungan adalah output jangka pendek dan menengah sebagai akibat dari perubahan perilaku.

Integrated Pengembangan
Farming Agribisnis Kopi
Saprotan organik
Budidaya Kopi
Pemberdayaan Inovasi budidaya
life skills
Limbah Input
(personal, Tek. pasca panen
sosial, Akses pasar
Ternak sapi intelektual,
vokasional) Akses modal

Kesejahteraan Petani &


Kelestarian Lingkungan

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Model Pemberdayaan Petani melalui


Pengembangan Agribisnis Kopi Arabika
METODE PENELITIAN
Desain penelitian adalah kualitatif eksploratif dengan metode/teknik penelitian studi kasus. Tempat
penelitian ditentukan secara purposive di Kelompok Tani Hutan (KTH) Manglayang, Kecamatan Cilengkrang,
Kabupaten Bandung.Tempat ini dipilih karena mewakili profil agribsinis Kopi di Jawa Barat yang terpadu
dengan ternak sapi perah. Selain itu, KPH Manglayang menjadi salah satu sasaran Pengabdian Kepada
Masyarakat (PKM) Universitas Padjadjaran.Penelitian dilakukan tahun 2013 bersamaan dengan pelaksanaan
Ipteks bagi Masyarakat (IbM) – Ditlitabmas Dikti.
Data primer diperoleh dari keterangan informan praktisi dan pakarkopi (stakeholder)meliputi petani, ketua
kelompok tani, pedagang pengumpul, bandar, Perhutani, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi,
aparat desa, Ketua LMDH, Asosiasi Kopi Jabar, Universitas Padjadjaran. Data sekunder diperoleh
daridokumen dan laporan yang berkaitan dengan pengembangan agribisnis kopi di KPH Manglayang.

169
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif disertai PKM, analisis dokumen dan
diskusi terarah (FGD) dengan para stekeholder.
Fokus penelitian adalah pola, problema, kelemahan dan kekuatan (potensi) agribisnis kopi, adopsi
integratedfarming, karakteristik petani, perilaku petani (pengetahuan, sikap, keterampilan)dan kebutuhan
materi pemberdayaan. Analisis data secara deskriptif kualitatif dan kajian pemberdayaan. Analisis data
secara deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang, grafik, bagan yang menjelaskan fenomena penelitian.
Pengolahan data melalui prosedur reduksi (pengurangan data tidak penting), simplifikasi (penyederhanaan
dan pemadatan data), klasifikasi (pengelompokan data sejenis), konseptualisasi (mendefiniskan/
mengabstraksi) dan verifikasi (konfirmasi kembali dengan sumberdata). Tahapan pengolahan data (1) Data
yang sudah dikurangi, dipadatkan, dikelompokkan kemudian disusun dalam tabel silang dan matriks SWOT.
(2) menyusun pola atau bagan yang menghubungkan berbagai temuan. (3) Pola dan tabel silang kemudian
dikonsepkan, diabstraksi, dinarasikan secara logis menjadi hasil penelitian sementara.Ini disebut konstruksi
tahap pertama. (4) hasil penelitian sementara dikonfirmasikan kepada nara sumber data dalam bentuk FGD
kedua.Hasil FGD untuk memperbaiki dan melengkapi hasil penelitian, dan kemudian dirumuskan menjadi
hasil penelitian tetap.Ini disebut konstruksi tahap kedua.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemberdayaan masyarakat sekitar Kesatuan Pemangkaun Hutan (KPH) Bandung Utara dilakukan oleh
Perum Perhutani melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sejak tahun 2002. Program ini
didukung oleh berbagai instansi, baik dari Pemerintah Daerah maupun swasta. Salah satu program kerja
PHBM adalah membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang menjadi mitra Perhutani dalam
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Di setiap KPH terdapat satu LMDH dan beberapa KTH. Bagi
Pemerintah Daerah, KTH lebih dikenal dibandingkan LMDH, karena pembentukan KTH dilaporkan juga
kepada dinas-dinas terkait. Kelompok tani dibina oleh Dinas Pertanian, Perkebunan, dan BP5K. Sedangkan
Koperasi dibina oleh Dinas Koperasi dan UKM.
Dalam Program memberdayaan masyarakat sekitar hutan, Perhutani melalui PHBM menyediakan sebagian
lahan hutan untuk digarap bersama masyarakat yang tergabung dalam LMDH. Jenis tanaman yang
diusahakan mayoritas kopi Arabika, karena cocok untuk iklim hutan datan tinggi Priangan. Sebagian
tanaman pelindung yang terdiri pohon buah-buahan dan kayu-kayuan. Sarana produksi sebagian besar
diusahakan sendiri oleh petani, sebagian dibantu dinas-dinas terkait berupa bibit kopi dan tanaman
pelindung. Untuk menekan biaya produksi, petani menggunakan pupuk organik kotoran sapi seluruhnya dan
melakukan pengendalian hama semi organik (kimia dan organik). KTH Manglayang juga mulai
menangkarkan bibit kopi dan tanaman pelindung untuk kebutuhan sendiri dan dijual kepada kelompok tani
lain.
Penerapan Integrated Farming dalam Agribisnis Kopi
Deskripsi perilaku petani yang menerapkan integrated farming dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Orientasi mengurangi biaya pupuk. Upaya petani untuk mendapatkan keuntungan antara lain dengan
menekan biaya produksi usahatani, meningkatkan produktivitas dan kualitas produk. Faktor harga sulit
dikendalikan petani karena berada dalam mekanisme pasar, yang ditentukan para pedagang
besar.Pengalaman petani, kualitas kopi dengan pupuk organik lebih bagus, lebih mudah terjual dan harga
lebih tinggi.
2. Diversifikasi usaha dengan memelihara sapi perah. Manfaat sapi perah selain susu 10 liter/ekor/hari, juga
limbah kotoran 25 kg/ekor/hari.
3. Memanfaatkan limbah kotoran ternak untuk mendukung pertanian ramah lingkungan, menambah
pendapatan, dan mengurangi penimbunan kotoran di sekitar kandang atau rumah.
4. Pakan sapi diperoleh dari rumput dan gulma kopi. Kebiasaan petani, pergi ke kebun kopi membawa
kotoran sapi untuk pupuk, pulang membawa rumput yang disiangi dari kebun untuk pakan sapi.

170
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 1. Matriks Strategi Integrated Farming Kopi Arabika
Faktor Eksternal Opportunity (Peluang) Threat (Ancaman)

Serangan hama

Ketidakpastian
Pemerintah

Produk luar
Permintaan

Persaingan
Dukungan

Dukungan
Teknologi

Andaman
penyakit
Produk

harga
Pasar
Faktor Internal

1 2 3 1 2 3 4
Strength (Kekuatan) Strategi SO Strategi ST
Lahan Subur 1 1.Kesesuaian lahan dan sikap 1.Profitabilitas usahatani dan
Profitabilitas usahatani 2 orientasi pasar merupakan aktivitas kelompok tani
Ternak tumbuh baik 3 kekuatan untuk menangkap merupakan kekuatan untuk
peluang pasar kopi, disertai mendirikan koperasi petani kopi
Aktivitas kelompok tani 4 dukungan teknologi dan untuk bargaining pada pasar
pemerintah dengan kopi organik (S2,4; T1,3)
meningkatkan adopsi 2.Aktivitas kelompok tani dan
teknologi integrated farming sikap kebersamaan petani dapat
Sikap orientasi pasar 5 (S 1,5 ; O1,2,3) digunakan untuk mengatur pola
penjualan sehingga mengurangi
2.Profitabilitas usahatani/ ketidakpastian harga (S4,5; T4)
ternak dan aktivitas 3.Aktivitas kelompok tani dan
kelompok tani merupakan sikap gotong royong petani
kekuatan untuk menangkap merupakan kekuatan untuk
teknologi IF (S2,3,4; O3) bersama-sama mengatasi
serangan hama penyakit (S4,5;
T2)
Weakness (Kelemahan) Strategi WO Strategi WT
Persaingan dengan 1 1.Peningkatan akses pada pasar 1.Pengaturan pola penjualan hasil
produk non organik yg lebih luas untuk mengatasi untuk mengatasi persaingan
Serangan hama penyakit 2 persaingan dengan kopi non dengan kopi non organik dan
Harga saprotan mahal 3 organik, dengan ketidakpastian harga (W1; T1,4)
Ketidakpastian harga 4 memanfaatkan permintaan
organik kalangan menengah 2.Peningkatan akses pada pasar
ke atas (W1; O) industri untuk mengurangi
ancaman produk luar, dengan
2.Peluang pasar kopi organik bargaining forum komunikasi
disertai dukungan teknologi petani kopi (W1; T3)
digunakan untuk
meninghkatkan harga jual
dengan penjualan off season
(W4; O2)

171
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Profil Agribisnis Kopi dalam Perspektif Klaster
Klaster agribisnis diharapkan dapat menjembatani kebutuhan petani kopi dengan seluruh stakeholder.
Kelemahan pada aspek pemasaran, teknologi, dan permodalan dirasa perlu pendekatan klaster
untukmenghubungkan petani dengan jaringan bisnis yang lebih luas (Widyastuti, 2010). Beberapa aspek
yang perlu diperhatikan untuk merintis klaster Kopi di wilayah Bandung Utara, khususnya Manglayang.
1. Keberadaan kelompok tani sejenis di KPH Bandung Utara (Manglayang dan Burangrang)
2. Kerjasama di bidang produksi masih terbatas pengadaan bibit yang berasal dari kelompok tani maju.
Pupuk organik hasil olahan limbah kotoran sapi. Di KTH Manglayang belum ada kemitraan.
3. Terdapat kerjasama penggunaan mesin pengupas kopi basah secara bergantian dengan sistem sewa.
4. Adopsi inovasi teknologi budidaya danpasca panen belum berkembang. Jenis produksi kopi baru sebatas
kopi beras (biji kopi). Bahkan sebagian petani menjual dalam bentuk kopi basah (gabah).
5. Kerjasama pemasaran dalam taraf penjajagan melalui koperasi.Potensi pasar luas karena meningkatnya
konsumsi kopi dan tumbuhnya caffe resto di wilayah Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Harga kopi
cenderung stabil dan tingkat kenaikan harga setara dengan inflasi.
6. Aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan petani masih terbatas budidaya on farm yang diperoleh
petani dari kelompok tani lain yang lebih maju dan PPL. Petani belum dibekali keterampilan pembibitan,
pestisida nabati, pengolahan pasca penen yang baik, pemasaran, koperasi dan proporsal kredit usahatani.
7. Dukungan peromadalan dari Kementrian Kehutanan dan Kementrian Koperasi dan UKM masih terbatas.
8. Dukungan kebijakan pengembangan sentra produksi kopi dari Pemda, Perhutani maupun perbankan
belum maksimal.
9. Ketersediaan lahan sudah memadai oleh Perhutani melalui PHBM. Kendalanya adalah sistem bagi hasil
yang dinilai merugikan petani dan kurang pembinaan.
10.Jika telah terbentuk rintisan klaster, diharapkan ada pengendalian harga sarana produksi tanaman
maupun harga produk kopi. Menurut Bank Indonesia (2006) ada 4 aspek yang harus ada dalam
menumbuhkan klaster : (1) adanya konsentrasi pelaku utama dalam suatu wilayah, (2) adanya interaksi
antar pelaku usaha, (3) kombinasi sumberdaya dan kompetensi antar pelaku usaha yang berinteraksi, (4)
pembentukan dan interaksi antar pelaku usaha dalam institusi pendukung yang berfungsi membantu
klaster secara keseluruhan.
Pemda, Perhutani, Badan Litbang, Perguruan Tinggi dan lembaga terkait berperan membina : penguatan
kelembagaan petani, peningkatan SDM petani, kolaborasi, kemitraan, permodalan dan pemasaran.
Kemitraan antara kelompok tani atau koperasi dengan pedagang atau perusahaan agroindustri, diperkirakan
paling sesuai dan paling menguntungkan. Hasil penelitian Hepi Hapsari dan Maria Santi (2010)menunjukkan
bahwa melalui kontrak kerja kemitraan, lebih menjamin ketersedian sarana produksi, permodalan dan
pemasaran bagi petani, meskipun ada keterbatasan Di lain pihak, pedagang atau perusahaan agroindustri
akan memperoleh pasokan bahan baku yang memenuhi syarat kualitas, kuantitas dan kontinuitas.
Perusahaan dapat menekan biaya pengadaan bahan baku, sebab tidak harus membeli atau menyewa lahan,
tidak harus mengupah tenaga kerja atau mengelola usahatani dalam skala besar.

Konsep Pemberdayaan Life skills dalam Sistem Agribisnis


Dalam sistem agribisnis, seluruh sub sistem dari hulu sampai hilir memerlukan SDM petani yamg
mengusai kecakapan hidup (life skills) yang meliputi : keterampilan pribadi (personal skills), kecerdasan
(intelektual skills), keterampilan teknis (vocational skills), kemampuan berinteraksi dengan orang lain (social
skills). Petani dilatih untuk cerdas, terampil dan mandiri dalam segala aspek usahataninya.

172
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Saprotan BudidayaIntegra
Pupuk organik ted Farming

Pemberdayaan Life Skills


Personal skill
Pengolahan Pemasaran luas
Intelektual skill
Pasca Panen Ke klaster bisnis
Social skill
berkualitas
Vocational dkill

Akses Permodalan ke bank dan kop


Akses informasi ke Dinas-dinas,
Litbang, PT
Gambar 2. Pemberdayaan Life Skills dalam Sistem Agribisnis

KESIMPULAN
1. Profil agribisnis kopi Arabika di KTH Manglayang : telah menerapkan integrated farming, lahan tersedia
cukup luas, jumlah kelompok tani bertambah, interaksi antar kelompok tani cukup baik, teknologi
budidaya dan pasca panen belum berkembang, pemasaran lokal terbatas, harga cenderung rendah,
belum ada kemitraan, bantuan permodalan terbatas, kualitas SDM petani rendah, dukungan kebijakan
Pemda belum maksimal. Berdasarkan fakta tersebut, maka untuk pembentukan klaster banyak hal yang
harus diperbaiki. Klaster akan membantu petani dalam pemasaran dan harga yang lebih terjamin.
2. Model pemberdayaan perspektif life skillsyang relevan untuk petani kopi Manglayang adalah mencakup
keterampilan pribadi, peningkatan pengetahuan/wawasan, keterampilan berinteraksi dengan orang lain,
keterampilan teknis. Sedangka materi pemberdayaan meliputi semua sub sistem agribisnis mulai dari
pengadaan saprotan, teknik budidaya, teknik pengolahan pasca panen, teknik pemasaran, pencarian
informasi, permodalan, kewirausahaan dan kemitraan.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber disertasi:
- Hepi Hapsari dan Maria Santi. 2010. Kemitraan Petani Tomat dengan Pedagang Pengumpul di Sub
Terminal Agribisnis Cigombong, Kab. Cianjur. Laporan Penelitian Hibah Bersaing – DP2M DIKTI.
- Hepi Hapsari, Endah Djuwendah, Asep Yusuf. 2013. Pemberdayaan Life Skills bagi Kelompok
Petani Kopi Manglayang. Laporan Pengabdian Kepada Masyarakat – Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) –
Ditlitabmas DIKTI.
- Widyastuti, D.E., Istis Baroh, dan Rahmad P. Sudibyo. 2010. Pemberdayaan UKM melalui
PendekatanLife Skills dan Kulster Bisnis.Laporan Penelitian Hibah Kompetensi – DP2M DIKTI.
Sumber prosiding:
- Rahayu Relawati, J.T. Ibrahim, B.Y. Ariadi. 2012. Pemberdayaan Entrepreneur Agribisnis berbasis
Integrated Farming untuk Ketahanan Pangan dan Kelestarian Lingkungan. Prosiding Seminar
Revitalisasi Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jember.
- Anonim. 2006. Kajian Pola Pembiayaan Dalam Rangka Pengembangan Klaster. Bank Indonesia.
Jakarta.

173
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
25.PERAN AKTOR DAN SISTEM INSENTIF DALAM TATANIAGA KOPI
RAKYAT DI JAWA TIMUR
Luh Putu Suciati1) dan Rokhani2)
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/PS Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember
1
Jl. Kalimantan No. 37 Kampus Tegalboto Jember, Jawa Timur 68121
Email:suciati.faperta@unej.ac.id, rokhanisaid@yahoo.com

ABSTRAK
Model gaming tataniaga kopi rakyat melibatkan tiga aktor (player) yaitu petani, Kelompok Tani dan
perusahaan eksportir. Strategi tiap pemain berdasarkan upaya perbaikan kualitas kopi sesuai standar mutu
kopi biji. Peran principle atau agent mempengaruhi respon terkait informasi dan harapan terhadap sistem
insentif. Persoalan principal adalah bagaimana memberi struktur insentif ( reward structure ) kepada
agent agar mau bekerja lebih produktif. Hubungan principal-agent merupakan respon terhadap informasi
sepihak (asimetric information ) yang akhirnya menimbulkan biaya agency berupa biaya transaksi. Usaha
menurunkan biaya transaksi dapat dilakukan dengan mempertemukan kepentingan dan tujuan yang
ingin dicapai oleh agent dan principle, dikombinasikan dengan sistem monitoring yang efektif sehingga
mengurangi ketidaksimetrisan informasi dan perilaku tidak jujur ( moral hazard).
Interaksi antara para aktor dalam tataniaga kopi rakyat jika hanya satu kali saja (one shot game) akan
meningkatkan biaya transaksi dan ketidakpercayaan baik dari petani ke kelompok tani maupun dari kelompok
tani ke pihak perusahaan. Strategi dominan adalah sama-sama memilih harga terendah. Jika Petani sebagai
agent memproduksi kopi kualitas rendah maka perusahaan tidak memberikan tambahan harga. Namun jika
tataniaga kopi berlangsung berulang-ulang (repeated game), para aktor cenderung kooperatif sehingga
terjadi kerjasama saling menguntungkan. Namun kondisi tersebut hanya terjadi jika jumlah penjual sedikit,
permintaan kopi dan biaya pasca panen yang stabil. Tindakan yang dilakukan tiap aktor (player) akan
memperhatikan respon player lain. Strategi menerima sistem insentif melakukan proses olah kopi semi basah
bukan merupakan strategi dominan bagi petani terkait biaya transaksi dan opportunity cost. Strategi
dominan adalah strategi tit for tat artinya respon kerjasama player satu ditentukan oleh respon player 2.
Kata kunci : principle –agent, game theory, tataniaga, kopi rakyat

ABSTRACT
Gaming model of coffee trading system involves three actors (players) are farmers, farmer groups and
exporter company. Strategy of each player based efforts to improve the quality of coffee beans suitable with
SNI coffee quality standards. Role of principle or agent affects the response information and expectations
related to incentive systems. Principal issue is how to provide incentive structures (reward structure) to the
agent in order to work more productively. Principal-agent relationship is a response to one-sided information
(asimetric information) that ultimately lead to agency costs in the form of transaction costs. Lowered
transaction costs can be done by bringing together the interests and objectives to be achieved by the agent
and principle, combined with effective monitoring systems to reduce information asymmetry and dishonest
behavior (moral hazard).
The interaction between the actors in the coffee trading system if only once or one- shot game will
increase transaction costs and distrust both of farmers to farmer groups and farmer groups to parties of the
company . Dominant strategy is equally choose the lowest price. If farmers as agent produces low quality
coffee, the company did not provide additional price. But if the coffee trading took place repeatedly or
repeated game, the actors tend to occur cooperative mutually beneficial cooperation . However, this
condition only occurs if the number of sellers slightly, stability of coffee demand and post-harvest costs .
Actions taken by actors ( players ) will notice another player response . Strategies receive incentive system to
process wet spring if coffee is not a dominant strategy for farmers related transaction costs and opportunity
costs. Dominant strategy is a strategy of tit for tat response means a cooperative player is determined by the
response of player 2.

174
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
PENDAHULUAN
Salah satu komoditas andalan perkebunan adalah kopi, luas areal kopi di Indonesia menempati urutan
kedua setelah Brazil. Namun demikian dari sisi produksi kopi di Indonesia berada di peringkat ketiga dunia
setelah Brasil dan Vietnam walaupun sempat unggul atas Vietnam. Berdasarkan data Kementerian
Perindustrian, produksi nasional kopi tahun 2011 mencapai 690 ribu ton per tahun dengan luas lahan 1,2
juta hektar. Artinya, produksi kopi nasional hanya 6 persen dari total produksi kopi dunia yang mencapai
7,18 juta ton. Saat ini pangsa kopi Vietnam mencapai 18,51% perdagangan kopi robusta dunia dan
menduduki posisi kedua setelah Brazil dengan total produksi kopi sebesar 27,22% total produksi kopi dunia.
Indonesia menempati urutan ketiga dengan pangsa 6,58% diikuti Columbia sebesar 6,23%. Rata-rata
produksi kopi di Indonesia yang hanya mencapai 700 kilogram per hektar per tahun menjadi salah satu
penyebab.
Provinsi Jawa Timur memiliki potensi besar dalam pengembangan kopi nasional dengan komposisi kopi
robusta (90%) dan Arabika (10%). Areal kopi di Jawa Timur pada tahun 2012 seluas 99.122 ha dengan
produksi 54.239 ton serta produktivitas rata-rata 756 kg/ha/tahun.rakyat seluas 59.448 ha (58,99 %) dari
total areal kopi di Jawa Timur. Sisanya merupakan milik Perkebunan Besar Negara (PTP Nusantara) seluas
21.327 ha (21,15 %) dan Perkebunan Besar Swasta 20.032 ha (19,86 %). Oleh karena itu, produksi kopi
Indonesia sangat tergantung oleh perkebunan rakyat. Pada tahun 2012 produksi kopi Jawa Timur mengalami
peningkatan yang cukup signifikan setelah pada tahun sebelumnya produksi jatuh karena keterlambatan
pembungaan yang dikibatkan oleh anomali iklim. Sentra kopi robusta terbesar di Kabupaten Malang dengan
luas 11.951 hektar, disusul Jember seluas 6.343hektar, Pasuruan seluas 6.003 hektar, Bondowoso seluas
4.699 hektar, Banyuwangi 3.751 hektar Selebihnya menyebar di 19 kabupaten/kota lainnya (Badan Pusat
Statistik. 2012).
Permintaan akan kopi Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat mengingat kopi robusta
Indonesia mempunyai keunggulan karena body yang dikandungnya cukup kuat, sedangkan kopi arabika
yang dihasilkan oleh berbagai daerah di Indonesia mempunyai karakteristik cita rasa ( acidity, aroma, flavour)
yang unik dan ekselen. Kopi Jawa (Java Coffee) baik arabika maupun robusta jika diolah basah dikategorikan
sebagai kopi specialty yang memiliki kenampakan fisik bagus, bersih dan aroma kuat. Keunggulan tersebut
seharusnya dapat meningkatkan harga kopi baik di pasar domestik maupun global. Selama lebih dari 20
tahun terakhir, dunia kopi telah mengalami apa yang dinyatakan sebagai paradoks kopi. Hal ini karena harga
kopi ditingkat produsen semakin tenggelam, sementara terjadi peningkatan harga pada tingkat konsumen.
Paradoks kopi ditandai oleh semakin melebarnya jarak atau margin antara harga kopi yang diterima petani
sebagai produsen kopi dengan harga kopi yang dibayarkan oleh konsumen. Hal ini akan memperburuk
struktur sosial dan produksi kopi di wilayah penghasil kopi. (Murti MMA. 2012).
Perkembangan ekonomi global dan adanya gejala paradoks kopi salah satunya disebabkan asimetri
informasi antara produsen dan konsumen. Kekuatan pasar produk kopi lebih ditentukan oleh identitas kopi
atau faktor kekhasan aset (asset specificity). Pasar saja belum cukup menjadi pengendali harga dan
kuantitas. Fenonema tersebut memerlukan peran kelembagaan yang solid ditingkat produsen untuk
memahami karakter pasar. Artinya petani harus bertindak dan memproduksi untuk pasar daripada mencoba
untuk memasarkan apa yang mereka hasilkan.
Berdasarkan perspektif fenomena tersebut berarti perlu mengalihkan fokus dari hanya program terkait
peningkatan produksi untuk lebih berorientasi pasar. Hal ini telah menempatkan perhatian baru pada
tindakan kolektif yang paling sering diwujudkan melalui struktur kelompok tani sebagai mekanisme penting
dan efisien untuk meningkatkan kinerja pemasaran petani (Kariuki dan Place. 2005). Tindakan kolektif yang
dilakukan dalam kelompok diyakini dapat meningkatkan bargaining petani dalam pasar. Adanya koordinasi
petani (produsen) dalam satu kelembagaan diyakini akan mendorong perdagangan yang fair ( fair trade).
Pengalaman beberapa negara produsen kopi seperti Columbia, Costa Rica, Nicaragua, Mexico yang
mengkoordinir petani dalam kelompok atau koperasi atau asosiasi cenderung memiliki posisi tawar yang lebih
tinggi. Upaya peningkatan kualitas kopi rakyat di hadapkan pada beberapa kendala antara lain
kekurangtahuan petani akan cara memetik yang benar, cara pangkas tajuk untuk meningkatkan produksi
serta pasca panen biji kopi. Berdasarkan ilustrasi fenomena perkembangan komoditas kopi rakyat, maka
untuk meningkatkan daya saing produk kopi dan posisi tawar petani penting melakukan identifikasi dan
menggali potensi tindakan kolektif melalui diskripsi peran aktor melalui pengaturan kelembagaan dan
175
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
penyusunan sistem insentif. Pola interaksi dan aksi tindakan kolektif yang dilakukan dalam kelompok akan
diidentifikasi dan dianalisis untuk menghasilkan strategi dan kebijakan yang sesuai dengan karakteristik
wilayah.
METODE PENELITIAN
Game Theory pada penelitian ini digunakan untuk menggambarkan interaksi yang terjadi antar petani
dan stakeholder dalam kelembagaan komoditas kopi rakyat. Pada umumnya game terdapat beberapa unsur
yaitu para pemain (player), action, strategy, payoff, disamping itu untuk mengambil tindakan respon
terhadap pihak lain dibutuhkan informasi (information) dan outcome yang akhirnya mencapai keseimbangan
(equilibrium). Player, action, dan outcome secara bersama-sama merupakan rule of the game. Stakeholder
yang selanjutnya disebut player beserta strategi dan payoffnya dalam kerjasama adalah sebagai berikut :
1. Players, terdiri dari petani, kelompok tani dan stakeholder kerjasama (misal eksportir atau pedagang)
2. Pilihan strategi, terdiri dari strategi untuk kerjasama dengan pola lama (A), kerjasama berdasarkan
struktur insentif yang disepakati(B);
3. Nilai penerimaan (payoff ) untuk setiap player antara lain adalah:
(a). Nilai pendapatan bersih penjualan dari petani;
(b). Nilai pendapatan kelompok tani dari fee yang diberikan petani;
(c). Nilai pendapatan stakeholder (eksportir atau pedagang) dari kerjasama yang dilakukan
Selanjutnya, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis interaksi stakeholders dengan
Game Theory adalah sebagai berikut :
a) Membuat kriteria payoff dari masing-masing player.
b) Menetapkan besarnya payoff (nilai keuntungan atau kerugian dari masing-masing stakeholder) apabila
memilih/menetapkan salah satu strategi.
c) Menetapkan kriteria/konsekuensi yang akan diperoleh oleh masing-masing player apabila memilih salah
satu strategi dalam kerjasama.
Bentuk sekuensial tindakan masing-masing stakeholder dalam kerjasama adalah :
a) Mula-mula stakeholder kopi (misal eksportir atau pedagang) menetapkan redesign kerjasama melalui
penentuan harga kopi berdasarkan besarnya kebutuhan operasional dan kualitas kopi.
b) Kelompok tani berdasarkan pengalaman akan membuat perhitungan dengan mengakomodasi skema
atau menolaknya. Jika Kelompok tani mengakomodasi skema dari eksportir atau pedagang maka harga
kopi yang dibeli akan lebih baik. Sebaliknya jika Kelompok tani menolak skema insentif maka ada sanksi
berupa pengurangan berbagai fasilitas dan kelompok harus mencari pasar sendiri.
c). Selanjutnya petani sebagai anggota kelompok tani akan menanggapi pula skema kerjasama yang
ditawarkan, pilihan bagi petani tergantung rasio manfaat (misal jaminan harga) dan biaya pemasaran
yang dikeluarkan.
Kombinasi strategi yang dipilih oleh ke tiga player (stakeholder) dituangkan pada diagram berikut :
A
(-c,-b,-a)
A (-c,-b)
petani
B
A (-c,-b,a)
Kel Tani
A
(-c,-b,a)
B (-c,-b)
Eksportir petani
B
atau (-c,-b,-a )
pedagang
A
A (c,-b) (c,-b,-a)
petani
B B
(c,-b, a)
Kel tani
A
(c,b,-a)
B (c,b)
petani
B
(c,b,a)

Gambar 1 Extensive Form Game Interaksi Eksportir Atau Pedagang dengan Kelompok Tani dan Petani dalam
Kerjasama Tataniaga Dengan Penerapan Sistem Insentif
Keterangan :
Strategi A = Kerjasama pola lama (A)
Strategi B = Kerjasama dengan kesepakatan insentif (B)
176
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Payoff a = peningkatan pendapatan bersih penjualan dari petani
Payoff b = peningkatan pendapatan kelompok tani dari fee yang diberikan petani
Payoff c = pendapatan stakeholder (eksportir atau pedagang) dari kerjasama yang dilakukan

HASIL PENELITIAN
Model gaming tataniaga kopi rakyat melibatkan tiga pemain (player) yaitu petani (PTN), Kelompok
Tani (KT) dan perusahaan eksportir atau pedagang (PD). Strategi tiap pemain berdasarkan upaya perbaikan
kualitas kopi berdasarkan standar standar mutu kopi biji. Indonesia telah menerapkan standar mutu kopi biji
berdasarkan sistim nilai cacat kopi sejak tahun 1990. Standar mutu kopi biji yang berlaku saat ini adalah SNI
01-2907-2008 Kopi Biji hasil dari beberapa kali revisi. (tabel 1) Tujuan petani (PTN) adalah memaksimumkan
pendapatan dari tataniaga kopi, sedangkan tujuan kelompok tani (KT) adalah meningkatkan hasil dari
penjualan kopi petani secara kolektif melalui kelompok, sedangkan tujuan perusahaan eksportir atau
pedagang (PD) adalah memaksimumkan pendapatan dari penjualan kopi ose kering dari petani.
Tabel 1 Standar Mutu Kopi Biji SNI 01-2907-2008
Kriteria Satuan Peryaratan

1. Serangga hidup tidak ada


2. Biji berbau busuk dan atau berbau kapang tidak ada
3. Kadar air % fraksi massa maks 12,5
4. Kadar kotoran % fraksi massa maks 0,5
Interaksi petani (PTN), Kelompok Tani (KT) dan perusahaan eksportir atau pedagang (PD).
menggunakan bentuk ekstensif karena ada keterkaitan antar tindakan yang dilakukan oleh petani, kelompok
tani dan pedagang/perusahaan eksportir. Respon suatu pemain akan mempengaruhi respon pemain lain. Ciri
Model game tataniaga kopi bentuk extensive form game mengandung unsur-unsur berikut: (1) Para pemain
dalam game; (2) Bila (kapan) setiap player dapat mengambil suatu tindakan (action); (3) Pilihan-pilihan apa
yang tersedia bagi seorang pemain apabila pemain tersebut dapat bertindak; (4) Apa yang diketahui seorang
pemain tentang tindakan-tindakan yang telah diambil pemain lain, apabila pemain tersebut memutuskan
tindakan apa yang akan diambi dan payoff setiap player sebagai akibat dari kombinasi tindakan yang
mungkin.
Persoalan pada game ini timbul karena masing-masing pihak membuat gerakan dalam urut-urutan
(sequence), berdasarkan sifat keterbukaan informasi yang diterima. Bentuk ekstensif pada gaming juga
berdasarkan asumsi bahwa nilai payoff dan struktur game diketahui masing-masing pemain. Respon petani
(PTN) dan kelompok tani (KT) dalam pemilihan strategi dilakukan secara bersamaan (simultaneously).
Bentuk sekuensial tindakan masing-masing stakeholder dalam kerjasama adalah :
c) Mula-mula perusahaan eksportir atau pedagang (PD) menetapkan redesign kerjasama melalui penentuan
harga kopi berdasarkan standar mutu kopi biji SNI 01-2907-2008 dan kuota kebutuhan.
d) Kelompok tani (KT) berdasarkan pengalaman akan membuat perhitungan dengan mengakomodasi skema
atau menolaknya. Jika Kelompok tani (KT) mengakomodasi skema dari perusahaan eksportir atau
pedagang (PD) maka kopi dibeli dengan harga akan lebih tinggi dari harga pasaran. Sebaliknya Kelompok
tani (KT) akan menolak skema insentif jika dirasakan kurang menguntungkan dari sisi pengurangan
berbagai fasilitas (pelatihan, informasi) dan Kelompok tani (KT) harus mencari pasar sendiri.
c). Selanjutnya petani (PTN) sebagai anggota kelompok tani akan menanggapi pula skema kerjasama yang
ditawarkan, pilihan bagi petani (PTN) tergantung rasio manfaat (misal jaminan harga) dan biaya tataniaga
termasuk biaya transaksi yang dikeluarkan.
Berdasarkan proses interaksi gaming dengan tiga pemain (PTN, KT dan PD) maka gaming dapat dibagi
menjadi 2 subgame (anak permainan). Pada subgame pertama digambarkan interaksi antara kelompok tani
(KT) dengan eksportir atau pedagang (PD). Subgame kedua antara petani (PTN) dan kelompok tani (KT).
Selanjutnya akan ditelaah kondisi equilibrium pada tiap subgame yang ditunjukkan dengan matrik payoff .
Pada kasus game ini akan lebih rasional jika mengambil contoh untuk kelompok tani yang sudah
mendapatkan alat untuk memperbaiki kualitas kopi. Di Desa Jambesari, kecamatan Sumberbaru, misalnya
177
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kelompok Tani Poreng Jaya yang diketuai oleh Pak Solehudin. Anggota kelompok sebanyak 204 petani
dengan luas lahan sekitar 138 hektar. Diasumsikan 35% anggota menerapkan proses budidaya dan
pascapanen sesuai anjuran dan mengikuti standar kopi SNI.
Kerjasama pola lama (A) adalah interaksi antara kelompok tani atau pihak yang mengumpulkan kopi
dari petani dengan kopi kualitas asalan. Artinya kopi asalan dalam bentuk ose kering tanpa ada proses
sortasi dan grading. Harga normal untuk kopi asalan dari pedagang pengumpul ke pedagang pengumpul
besar pada saat panen raya sekitar Rp. 17.000/kg sampai 18.000/kg kopi ose kering. Asumsi harga yang
dipakai adalah harga kopi pada tahun 2012 di desa Gelang dan Jambesari, Kecamatan Sumberbaru di
Kabupaten Jember. Informasi dari para pedagang pengumpul besar untuk dijual pada rantai tataniaga
selanjutnya adalah jika kopi bentuk asalan maka harganya Rp. 19.000/kg – 20.000/kg ose kering, jika
dilakukan sortir dan grading berdasarkan kualitas, maka harga akan meningkat menjadi sekitar Rp.
22.000/kg ose kering. Bahkan jika petani mampu mengolah kopi dengan proses basah atau semi basah,
maka peningkatan harga dapat mencapai Rp. 25.000/kg ose kering. Pengalaman mengolah kopi Robusta
semi basah oleh Kelompok Tani Sidomulyo I Desa Sidomulyo Kecamatan Silo, PT. Indocom bersedia membeli
dengan memberikan perbedaan harga dengan harga pasaran sekitar 30% (Novita. E. 2012). Tabel 2
menjelaskan perhitungan payoff subgame interaksi Kelompok Tani (KT) Dengan Eksportir Atau Pedagang
(PD) di Kecamatan Sumberbaru Kabupaten Jember.
Tabel 2 Matriks Payoff Subgame Interaksi Kelompok Tani (KT) Dengan Eksportir Atau Pedagang (PD) di
Kecamatan Sumberbaru Kabupaten Jember
Kelompok Tani
Pemain/Strategi Kerjasama dengan kesepakatan
Kerjasama pola lama (A) insentif (B)
Eksportir Kerjasama pola lama (A) 96,500,000 41,000,000 96,500,000 0
atau Kerjasama dengan
pedagang kesepakatan insentif (B) 0 41,000,000 89,600,000 47,900,000
Sumber : Olahan data Primer tahun 2012 (Lampiran)
Tabel 2 menjelaskan payoff yang dipilih player terkait dengan strategi yang dilakukan. Kerjasama
pola lama (A) adalah pola yang saat ini diterapkan secara umum di Kecamatan Sumberbaru, yaitu kualitas
asalan dan kadar air yang kurang terukur. Pada pola ini terdapat biaya yang harus dikeluarkan oleh
pedagang pengumpul atau perusahaan eksportir terkait penjemuran ulang. Sedangkan kerjasama dengan
kesepakatan insentif merupakan alternatif jika minimal 30% petani mengikuti anjuran dari PPL dan juga yang
diharapkan oleh perusahaan eksportir untuk mengikuti standar SNI mutu biji kopi. Insentif diberikan kepada
kelompok yang melakukan olah semi basah seperti yang dilakukan kelompok tani di Sidomulyo yang juga
memasok kopi ke PT. Indocom.
Payoff antara kelompok tani (KT) dan perusahaan eksportir (PD) tidak ada strategi dominan antara
KT dan PD. Asumsi gaming ini adalah maksimisasi utility, sehingga utility maksimum bagi PD adalah
menerapkan pola lama, karena dengan pola ini, hampir 60% anggota kelompok Tani Poreng Jaya akan
menerapkan. Perhitungan margin keuntungan yang diterima PD jika 60% dari produksi kopi anggota
ditampung dikurangi biaya transaksi insentif bagi ICS (Internal System Control) dan biaya penyuluhan adalah
Rp. 96.500.000. sedangkan payoff bagi PD jika menerapkan pola sistem insentif dengan margin keuntungan
Rp. 4.000/kg kopi ose kering (Rp. 25.000 – Rp. 21.000),dengan asumsi 35% saja anggota yang mau
menerapkan adalah Rp. 89.600.000 dikurangi biaya transaksi untuk insentif ICS dan biaya penyuluhan. Jika
PD ingin memaksimunkan utility pada satu titik waktu (one shoot game) maka akan memilih pola lama.
ada sisi kelompok tani (KT), utility maksimum adalah menerima insentif jika melakukan perlakuan
semi basah. Asumsinya jika 35% anggota melakukan olah basah dan ada peningkatan harga yang diterima
dikurangi biaya transaksi, maka fee yang diterima kelompok tani (KT) yang berfungsi untuk mengumpulkan
kopi dari petani adalah Rp. 47.900.000. Memang keuntungan berbeda tipis jika KT melakukan kegiatan
pengumpulan kopi petani kualitas asalan. Asumsi one shoot game menjelaskan bahwa tidak ada solusi
optimum bagi KT dan PD. Kecuali untuk jangka panjang atau repetitif game, PD mau memberikan insentif
bagi KT dengan menurunkan utilitynya menjadi Rp. 89.600.000, namun dengan harapan pada musim
mendatang, prosentase petani yang menerapkan olah basah atau menikuti standar biji kopi SNI meningkat
178
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
lebih dari 35%.
PT Indokom Citra Persada sebagai perusahaan eksportir untuk wilayah selatan (Kabupaten Jember,
Bondowoso dan Banyuwangi) menentukan beberapa persyaratan untuk kopi robusta yang dibeli dari petani.
Melalui peran ICS (Internal System Control) dan Control Union, maka PT Indocom mempercayakan membeli
kopi hasil produksi petani diwilayah-wilayah yang ditunjuk dengan terlebih dahulu melakukan survey dan
mapping kebun petani. Namun demikian Perusahaan akan melakukan sortir ulang memisahkan antara biji
kopi yang akan diekspor dengan biji kopi yang hitam, pecah dan substandar lainnya. Apabila kadar air dalam
biji kopi masih di atas standar ekspor, maka perusahaan melakukan pengeringan ulang hingga mencapai
kadar air yang diinginkan. Mutu kopi yang bagus dipasarkan untuk kebutuhan ekspor, sedangkan mutu kopi
yang kurang memenuhi standar ekspor dipasarkan untuk kebutuhan lokal. Kadar air yang belum memenuhi
syarat ekspor dapat menyebabkan harga kopi di tingkat petani rendah, karena eksportir harus melakukan
pengolahan agar memenuhi standar SNI. Kadar air yang tinggi dapat menimbulkan tumbuhnya jamur serta
berbagai bentuk cacat lain, seperti bau apek, pemucatan warna, dan akhirnya menurunkan harga jual.
Pada game kerjasama terkait strategi penetapan harga, jika kerjasama hanya terjadi satu kali saja
(One-shot game), maka muncul ketidakpercayaan pihak KT kepada pihak PD, apakah akan memberikan
insentif seperti yang dijanjikan, sehingga strategi dominannya adalah sama-sama memilih harga terendah.
Petani menyetor kopi substandar dan perusahaan tidak memberikan tambahan harga. Namun jika tataniaga
kopi berlangsung berulang-ulang (repeated game) dan para pemain cenderung kooperatif maka akan terjadi
kerjasama yang saling menguntungkan. Namun kondisi ini hanya akan terjadi pada keadaan jumlah penjual
sedikit, permintaan dan biaya yang stabil. Pada prakteknya dalam hubungan bisnis, seringkali tiap player
memperhatikan respon player lain. Strategi yang dilakukan oleh player tersebut selanjutnya akan
menentukan tindakan (action) player lain. Strategi ini dikenal dengan strategi tit for tat artinya tindakan
player satu ditentukan oleh respon player 2.
Subgame kedua yaitu interaksi antara petani (PTN) dengan Kelompok Tani (KT) di Kecamatan
Sumberbaru. Interaksi yang terjadi jika KT menerapkan skema pemberian insentif untuk melakukan olah
semi basah kepada anggota melalui fasilitas yang dimiliki kelompok. Adanya jaminan harga yang lebih tinggi
dari pasaran dari PT Indocom mendukung skema yang dilakukan oleh KT. Player petani (PTN) akan
merespon insentif jika utility yang diterima lebih tinggi dari melakukan pasca panen olah kering. Tabel 5.16,
menjelaskan subgame kedua antara petani (PTN) dan kelompok tani (KT).
Tabel 3 Matriks Payoff Subgame Interaksi petani (PTN) dengan Kelompok Tani (KT) di Kecamatan
Sumberbaru Kabupaten Jember
Petani (PTN)
Pemain/Strategi Kerjasama dengan kesepakatan
Kerjasama pola lama (A) insentif (B)
Kerjasama pola lama
(A) 41,000,000 80,400,000 41,000,000 0
Kelompok
Kerjasama dengan
Tani (PTN)
kesepakatan insentif
(B) 0 80,400,000 47,900,000 113,520,000
Sumber : Olahan data Primer tahun 2012 (Lampiran )
Hasil matriks payoff untuk interaksi antara PTN dan KT untuk penerapan kesepakatan olah basah
sama-sama mencapai keseimbangan nash (nash equilibirum) pada tindakan untuk menerima sistem insentif.
Namun strategi ini bukan merupakan strategi dominan yang dilakukan karena PTN selalu akan
memperhatikan strategi pesaing. Petani memilih melakukan olah kopi semi basah jika ada insentif berupa
jaminan harga lebih tinggi minimal lebih tinggi 20% dari harga pasaran. Secara umum pengolahan kopi
dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pengolahan kering dan basah. Pengolahan kopi secara basah biasa
disebut W.I.B (West Indische Bereiding), sedangkan pengolahan kering disebut O.I.B (Oost Indische
Bereiding) atau disebut pula dengan cara G.B (Gawone Bereiding) (Ciptadi dan Nasution 1985). Menurut
Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan kering terutama ditujukan untuk kopi Robusta. Di perkebunan besar,
pengolahan kering hanya digunakan untuk kopi berwarna hijau, kopi rambang dan kopi yang terserang
bubuk. Selain pengolahan basah dan pengolahan kering, saat ini dikenal metode pengolahan semi basah
(semi wet method) terutama dilakukan di Brazil. Menurut Wibawa et al. (2005), mutu cita rasa kopi Robusta
179
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
hasil olah kering mempunyai nilai rendah dengan kisaran sangat buruk hingga dapat diterima. Nilai cita rasa
body cukup baik, tetapi aroma dan flavor rendah hingga sedang. Apabila penjemuran telah menggunakan
lantai jemur yang baik, bau tanah/earthy rendah atau hampir tidak ada. Sementara itu, cita rasa kopi olah
basah jauh lebih baik dengan aroma, flavor, dan body lebih kuat. Berdasarkan analisis cita rasa, kopi olah
basah umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan kopi olah kering. Hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa, pada kopi olah basah, persentase buah masak lebih tinggi, sebaliknya pada kopi olah kering
mengandung campuran buah mentah dan terlalu masak. Perbedaan jenis pengolahan juga memiliki efek
yang berbeda terhadap kandungan gula dan flavor biji kopi yang akhirnya mempengaruhi proses
metabolisme yang kompleks pada biji selama pengolahan dan pengeringan.
Melalui skema game theory, keputusan terbaik yang dapat diambil dalam simulasi tataniaga kopi
rakyat adalah ketika semua pemain didalamnya bekerja sama. Ini memungkinkan setiap pemain mengetahui
langkah pemain lainnya sehingga penyesuaian dapat dilakukan. Seandainya pemain menggunakan
persaingan untuk memperoleh pay off tujuannya, sangat mungkin perhitungan pemain akan keliru
memperhitungkan tindakan yang akan dilakukan. Pada kenyataannya, berbagai kombinasi dapat saja terjadi
dan dengan variabel penentu lebih banyak. Mengingat upaya perbaikan kualitas produksi berbanding linier
dengan biaya produksi, kedua indikator ini saling berkaitan di lapangan. Pada saat harga kopi dunia tinggi,
umumnya petani tidak segan untuk melakukan tindakan operasional produksi yang mampu meningkatkan
kualitas biji kopi seperti perawatan tanaman secara optimal (pupuk, pangkas). Namun untuk kegiatan pasca
panen, tingginya harga berdampak pada aktivitas panen yang minimal yaitu melakukan pengolahan kering.
Walaupun upaya pasca panen olah basah akan meningkatkan kualitas kopi yang linier dengan peningkatan
harga, namun hal tersebut tidak serta merta dilakukan oleh petani. Beberapa kendala dan peningkatan biaya
secara langsung akan mempengaruhi biaya produksi karena metode olah kering dialihkan ke metode olah
basah dengan input produksi yang lebih besar. Akan tetapi pada saat harga kopi dunia rendah, petani
cenderung memilih metoda yang mampu meningkatkan nilai tambah dan kualitas sehingga prospek olah
semi basah akan dilakukan.
Saat ini hampir sebagian besar petani kopi robusta melakukan pasca panen kopi menggunakan olah
kering yang lebih murah dan sederhana proses pengolahannya meskipun mutu yang dihasilkan lebih rendah.
Petani sebagai aktor utama pengambilan keputusan untuk mengolah kopi masih berpendapat bahwa
penerapan olah basah lebih kompleks dan membutuhkan investasi lebih besar dibandingkan pengolahan
kering, sulit mendapatkan keuntungan dari pengusahaannya. Perlu adanya upaya mencapai perdagangan
yang fair (fair trade coffee) yang merupakan klasifikasi sertifikasi kopi yang berarti kopi dibeli langsung dari
produsennya dan diberi harga tinggi daripada harga kopi standar. Tujuan sertifikasi adalah untuk
mempromosikan perbaikan lingkungan tanam kopi dan insentif ekonomi yang lebih baik.
KESIMPULAN

1. Tataniaga kopi rakyat Peran di Jawa Timur terkait dengan peran antara pihak principle atau agent
melakukan reaksi atau respon terkait informasi dan harapan terhadap sistem insentif. Persoalan
principal (pedagang atau eksportir) adalah bagaimana memberi struktur insentif ( reward structure )
kepada agent agar mau bekerja lebih produktif sesuai dengan keinginan principle. Petani (PTN)
sebagai agent akan merespon insentif jika utility yang diterima lebih tinggi dengan mempertimbangkan
adanya biaya transaksi dan opportunity cost.
2. Interaksi kerjasama dalam tataniada kopi antara pedagang atau Eksportir dengan kelompok tani
dicirikan dengan strategi tit for tat (tindakan player satu ditentukan oleh respon player 2), sedangkan
strategi petani dalam menerima insentif terkait harga dan fasilitas yang disediakan. Perbaikan kualitas
kopi rakyat harus dilakukan secara secara berulang (repetition) agar muncul trust antar player.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
- Anwar, A .2002. Teori Permainan (Game Theory) dan Aplikasinya dalam Analisis Ekonomi dan
Kelembagaan. Bahan Kuliah PPS Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan.Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
- [BPS]. Badan Pusat Statistik 2012. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2012. Jakarta: BPS.

180
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
- BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia SNI 01-2907-2008. Biji Kopi.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
- Ciptadi W, Nasution MZ. 1985. Pengolahan Kopi. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB.
- Najiati, S dan Danarti. 2001. Kopi Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sumber prosiding seminar:
- Murti MMA. 2012. Paradoks Kopi dan Kebijakan Peningkatan Daya Saing Kopi Indonesia. Makalah
Penunjang pada Simposium Nasional Ekonomi Kopi. Kerjasama antara PERHEPI dengan Universitas
Jember, 8 November 2012.
Sumber disertasi:
- Novita Elida. 2012. Desain Proses Pengolahan pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi
Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih. Disertasi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
- Wibawa A, Mawardi S, Sulistyowati. 2005. Membangun Agribisnis Kopi Robusta di Bali. Warta Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao 2005, 21(2):60-76
Lampiran Dasar Perhitungan Analisis Gaming Tataniaga Kopi di Kabupaten Jember
No. Variable Ukuran satuan Keterangan
1 Luas lahan kopi Kelompok Tani Poreng 138 hektar sumber: Laporan PPL
Jaya KecamatanSumberbaru
2 prediksi yang menerapkan pola lama 82.8 hektar
60%
3 prediksi yang menerapkan perbaikan 48.3
kualitas 35%
4 rata-rata produktivitas kopi rakyat 500 kg/ha sumber: Laporan PPL Kecamatan
Sumberbaru
5 Harga kopi ose kering dari petani 18,000 Rp/kg rata-rata harga panen raya
(kualitas asalan)
6 harga kopi asalan tingkat desa 19,000 Rp/kg rata-rata harga panen raya
(kelompoktani)
7 harga kopi asalan tingkat pedagang 21,000 Rp/kg rata-rata harga panen raya
besar/eskportir
8 Harga kopi ose kering dari petani 20,000 Rp/kg informasi harga PT Indocom
(kualitas baik)
9 harga kopi semi basah tingkatpedagang 21,000 Rp/kg informasi harga PT Indocom
pengumpul/desa/kelompoktani
10 harga kopi semi basah tingkat eksportir 25,000 Rp/kg informasi harga PT Indocom
11 Harga Pokok Kopi Asalan 15,000 Rp/kg sumber: Laporan PPL
KecamatanSumberbaru
12 Harga Pokok Kopi Semi Basah 16,000 Rp/kg Referensi Penelitian olah semi basah
beberapa petani di kabupaten Jember
13 biaya lembaga kelompok tani 2,400,000 Rp/tahun pertemuan kelompok sebulan sekali
@Rp. 200.000
14 Biaya pembinaan Indocom 7,000,000 Rp/tahun biaya ICS dan penyuluhan
15 Biaya Transaksi Petani dalam kelompok 260,000 Rp/tahun biaya transportasi dan kelembagaan
kelompok tani

181
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
26.PERBEDAAN SUPPLY CHAIN PRODUK SAPI PERAH SISTEM
KEMITRAAN DAN MANDIRI DI PROPINSI SULAWESI SELATAN
Sitti Nurani Sirajuddin1
1
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan,Universitas Hasanuddin
2
Makassar, 90245 Indonesia
Tel.+6281389654334 E-mail : sitti_nurani@yahoo.co.id

Hastang
3
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan,Universitas Hasanuddin Makassar, 90245
Indonesia
Tel : +6281342694750 E-mail : hastang_uh@yahoo.co.id

Ilham Rasyid
4
Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan,Universitas Hasanuddin Makassar, 90245
Indonesia
Tel: +6282323020207,E-mail:ilhamrasyid@yahoo.co.id
Hermanto Siregar
5
Departemen Ekonomi Pertanian,Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB,Bogor,16680
Indonesia
Tel.+628129586498 E-mail : hermansiregar@yahoo.com

Bambang Juanda
6
Departemen Ekonomi Pertanian,Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB,Bogor,16680
Indonesia
Tel: +6281310507052 E-mail : bbjuanda@yahoo.com
Arya Hadi Dharmawan
7
Departemen Sosiologi Pedesaan,Fakultas Ekologi Manusia,IPB
Bogor,16680 Indonesia
Tel:+628121100088 E-mail: adharma1963@yahoo.com

ABSTRACT:
This research aimed to find out the differences indairyproductsupply chainpartnershipsand
independentsystem of dairy farmers in South Sulawesi Province,Indonesia. A purposive sampling and
secondary data collection from the Regency,District and Village were conducted September- December 2011
by using descriptive method. The primary data was obtained by direct interviews with the sampled
respondents in addition to in-depth interviews using questionnaire surveys while the secondary data was
collected from some selected institution. Research location is purposively determined in Sinjai which is the
area of dairybusinesspartner and Enrekang in which the dairy business is independently system. The result of
the research shows that dairy product supply chain partnerships (susin) is longer and inefficient than dairy
product supply chain independent (dangke). Therefore, the dairy product business system developed
independently and prioritize more suistanable consumer demand.
Keywords: supply chain; partnership; independent; susin; dangke

182
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan supply chain produk sapi perah system kemitraan
dan mandiri . Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2011 hingga bulan Desember 2011 dengan
menggunakan metode deskriptif. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu di Kabupaten Sinjai
yang merupakan wilayah usaha sapi perah bermitra dan di Kabupaten Enrekang yang sebahagian
besarusaha sapi perahdilakukan secara mandiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa supply chain produk
sapi perah sistem kemitraan(susin) lebih panjang dan tidak efisien dibandingkan supply chain produk sapi
perah sistem mandiri(dangke). Oleh karena itu, pengembangan produk susu dari system mandiri dilkuakan
agar berkelanjutan dan memenuhi permintaan konsumen.

PENDAHULUAN
Komoditas sapi perah merupakan alat atau sarana dalam upaya pemberdayaan karena karakteristik
produknya dapat dipanen setiap hari, memungkinkan peternak mendapatkan penghasilan yang
berkesinambungan. Secara financial pendapatan yang diperoleh mampu memberikan imbalan terhadap
tenaga kerja petani peternak mampu menutup biaya opportunitas dari bunga pinjaman dan mampu
memberikan imbalan terhadap tenaga kerja peternak yang dicurahkan untuk memelihara ternak dan
mengelola usahanya. Hal tersebut tidak terlepas dari peran koperasi yang memberikan pembinaan dan
pelayanan kepada peternak sapi perah rakyat yang juga sebagai tulang punggung pembangunan sapi perah
rakyat (Tawaf et al, 2006).
Budidaya sapi perah sebagian besar didominasi oleh peternakan rakyat dengan skala pemilikan kecil dari
1 sampai 3 ekor sapi produktif. Mereka sebagian besar bergabung dalam koperasi(GKSI). Jumlah peternak
rakyat terus meningkat dari tahun ke tahun tetapi citra usaha rakyat tidak pernah berkembang
(Anonim,2000). Smith dan Rietmuller(1995) berhasil merumuskan beberapa masalah industry sapi perah di
Indonesia, diantaranya adalah hijauan ternak yang kurang, pakan konsentrat yang bermutu rendah, cara
pemberian makanan yang buruk, kesehatan ternak yang rendah,tidak ada pencatatan produksi,mutu bibit
yang rendah,penyuluhan yang tidak intensif dan sebagainya.
Berdasarkan skala usahanya peternakan sapi perah di Indonesia diklasifikasikan menjadi perusahaan
peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat dimana peternakan api perah di Indonesia
mayoritas diusahakan oleh peternakan rakyat. Batasan peternakan untuk usaha sapi perah adalah
pemilikan kurang dari 10 ekor sapi laktasi/dewasa atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi
perah campuran. Perusahaan peternakan sapi perah adalah usaha peternakan sapi perah untuk tujuan
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan mempunyai izin usaha serta sudah menggunakan
teknologi baru dalam proses produksinya dengan produksi utama susu sapi yang memiliki 10 ekor
laktasi/dewasa atau lebih atau memiliki jumlah keseluruhan 20 ekor sapi perah campuran atau lebih
(Sudono,2002)
Upaya peningkatan pendapatan peternak tidaklah cukup dengan upaya peningkatan produksi akan
tetapi yang lebih penting adalah memberikan jaminan hasil produksinya akan selalu dapat diserap oleh
pasar.Pemasaran(tataniaga) yang efektif dan efisien merupakan kunci dari keberhasilan usaha tersebut.
Dalam aktivitas pemasaran, peternak sebagai produsen akan melibatkan lembaga pemasaran karena
sebagian besar produsen tidak menjual secara langsung kepada konsumen akhir(Sahari dan Musyafak,2002).
Lembaga pemasaran berfungsi sebagai sumber informasi bergeraknya suatu barang atau jasa serta
melakukan pengolahan hasil-hasil pertanian/peternakan baik pengolahan tingkat pertama maupun
pengolahan tingkat lanjut. Selain itu lembaga pemasaran juga melakukan fungsi-fungsi pemasaran,yaitu
fungsi fisik,fungsi pertukaran dan fasilitas (Limbong dan Sitorus, 1988). Fungsi dari masing-masing lembaga
pemasaran berbeda satu dengan yang lain tergantung dari aktivitas yang dilakukan maupun skala usaha
masing-masing (Soekartawi, 2003).
Pendekatan alternatif terhadap tataniaga ialah pendekatan supply chain. Pendekatan tataniaga fokus
analisisnya pada suatu komoditas sementara pendekatan supply chain penekanannya tidak hanya komoditas
itu saja tapi juga mencakup produk-produk olahannya. Dengan demikian proses nilai tambah harus terlihat di
dalam supply chain (rantai pasokan) tersebut. Analisis kelembagaan merupakan suatu yang utama di dalam
pendekatan supply chain.Oktaviani (2009) mengemukakan bahwa manajemen supply chain dipandang
sebagai perubahan kelembagaan penting yang mempengaruhi usaha kecil. Manajemen supply chain (SCM)
183
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
sendiri menunjukkan manajemen keseluruhan set produksi, distribusi, dan proses pemasaran dimana
seorang konsumen dipasok (disuplai) dengan produk yang diinginkan. Beberapa manfaat dapat diambil dari
manajemen supplychain yang baik khususnya dari sudut pandang pengusaha kecil seperti informasi
mengenai teknologi baru, input, kredit, layanan penyuluhan dan aktivitas pemasaran. Semua aktivitas ini
dapat mempermudah pengusaha kecil memperlonggar kendala sumberdaya yang dihadapi dan mereduksi
resiko produksi dan pemasaran.
Terkait dengan penelitian ini, adanya kontrak kerjasama dalam usaha sapi perah antara peternak dan
perusahaan dalam hal ini dinas peternakan, selain mempermudah peternak memperoleh input faktor yang
diperlukan juga menimbulkan ketergantungan dalam pemasaran hasil. Perbedaan harga produk dan
bertambahnya bentuk supply chain dapat terjadi. Harga produk yang lebih tinggi dan relative supply chain
pada peternakan pola kemitraan menyebabkan marjin pemasaran pola ini relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan marjin pemasaran pola mandiri. Semakin besar rasio marjin pemasaran terhadap harga yang
dibayarkan oleh konsumen akhir berarti bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer share) akan makin
kecil (Windarsari, 2006).

Di Propinsi Sulawesi Selatan pengembangan sapi perah dilakukan di Kabupaten Enrekang yang
bertujuan untuk mendukung kegiatan pengolahan dangke yang diolah dari susu sapi dan di Kabupaten Sinjai
yang bertujuan untuk memproduksi susu pasteurisasi untuk konsumsi masyarakat sampai ke Kota Makassar.
Oleh karena itu pengembangan sapi perah di Propinsi Sulawesi Selatan perlu dilakukan dengan peningkatan
kemampuan di bidang pengolahan dan pemasaran.

MATERI DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sinjai sebagai tempat usaha sapi perah system kemitraan dan
Kabupaten Enrekang sebagai tempat usaha sapi perah system mandiri., Propinsi Sulawesi Selatan,Indonesia.
Primary and secondary data were collected. The primary data was obtained from respondents with direct an
indepth interviews using quistionare. Untuk mengetahui model saluran distribusi pemasaran susu pasteuriasi
(susin) dan dangke digunakan analisa deskriptif kualitatif yang menerangkan atau menjelaskan setiap
saluran distribusi pemasaran dengan mengelompokkan setiap bentuk saluran yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Supply Chain Produk Sapi Perah Sistem Kemitraan dan Mandiri
Usaha dikatakan berhasil jika mendapatkan keuntungan dari produk yang dihasilkan dan keuntungan
tersebut dipengaruhi oleh biaya-biaya yang dikeluarkan juga dari supply chain produk tersebut. Begitu juga
halnya dengan produk usaha sapi perah sistem kemitraan yaitu susu pasteurisasi dan produk sapi perah
sistem mandiri yaitu dangke dimana keuntungannya juga dipengaruhi biaya-biaya pada supply chainnya.

Supply Chain Susu Pasteurisasi


Untuk usaha sapi perah sistem kemitraan yang berperan dalam menerima produk sapi perah adalah koperasi
yang berada di daerah pengembangan tersebut dimana koperasi tersebut beranggotakan peternak sapi
perah akan tetapi koperasi tersebut tidak sesuaidengan azasnya yaitu berakar dari bawah sehingga koperasi
tersebut melaksanakan fungsinya dengan sistem komando terhadap anggota koperasi. Sifat komando itu
dimulai dari cara memilih anggota yang ditetapkan oleh koperasi yang dikaitkan dengan pemberian bantuan
sapi perah. Pada sisi peternak, mereka pada umumnya adalah masyarakat pedesaan yang berpendidikan
rendah.
Pada koperasi Sintari yang mengolah susu segar menjadi susu pasteurisasi memberikan pelayanan kepada
peternak termasuk pendistribusian susu dan semua pelayanan ini harus dibayar kembali oleh peternak
kepada koperasi melalui pemotongan harga produksi susu jadi koperasi mewajibkan peternak menjual
seluruh produksi susu pada koperasi. Jadi pemasaran (supply chain) produk sapi perah sistem kemitraan
langsung ke koperasi selanjutnya hasil olahan susu segar tersebut menjadi susu pasteurisasi (SUSIN) dan
dipasarkan ke kota Makassar dengan harga jual Rp. 1600/cup. Jadi dari pemasaran susu segar tersebut
maka peternak sapi perah sistem kemitraan tidak mendapat keuntungan secara finansial akan tetapi yang
mendapat keuntungan adalah koperasi. Adapun bentuk supply chain susu pasteurisasi ada dua, yaitu :
184
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

1. Bentuk Supply Chain I


Bentuk supply chain susu pasteurisasi dari produsen (koperasi) ke konsumen melalui perantara,
dalam hal ini adalah agen yang bertempat di kota Makassar dan telah melakukan kontrak kerjasama dengan
Dinas Peternakan Kabupaten Sinjai. Sistem pemasaran susin pada supply chain I yaitu produsen
membawakan susin ke agen untuk membantu proses penjualan dan selanjutnya agen akan menjual ke
konsumen akhir. Adapun bentuk supply chain I dapat dilihat pada Gambar 4.

Produsen Agen Konsumen

Gambar 1. Bentuk Supply Chain I


Gambar 1 menunjukkan bahwa produsen (koperasi) dalam memasarkan susin ke konsumen
menggunakan perantara dalam hal ini adalah agen dan agen langsung memasarkan susin ke konsumen. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sinaga (2002) yang menyatakan secara umum bahwa secara umum terdapat
dua kombinasi tingkat saluran pemasaran langsung yaitu saluran pemasaran yang tidak mempunyai tingkat
perantara dan saluran pemasaran tidak langsung yaitu saluran yang terdiri dari satu tingkat pemasaran atau
lebih.
Pada bentuk supply chain I, wilayah domisili dari agen ini adalah kota Makassar. Jumlah susin yang
diberikan produsen ke agen tiap dua kali seminggu berkisar 800 cup. Produsen memberikan harga pada
agen berkisar 1500/cup tetapi pembayarannya setelah susin tersebut laku dan agen memasarkan susin ke
konsumen dengan harga Rp. 2000/cup.
Pada bentuk supply chain I, produsen pada umumnya melakukan fungsi-fungsi pemasaran antara
lain fungsi penjualan yaitu produsen menyalurkan susin ke agen, kemudian fungsi penyimpanan dimana
agen melakukan proses penyimpanan susin hingga susin tersebut laku. Selain itu ada pula fungsi
pengangkutan yaitu agen menjual susin dengan menggunakan sepeda dan tiap minggunya agen biasa
menjual susin dan mempromosikan susin kepada masyarakat di sekitar pantai dimana alat angkut yang
dipakai berupa sepeda, becak motor dan mobil, dan pada penjualan ini agen biasanya menggunakan jasa
Sales Promotion Girl (SPG) agar pengunjung dapat lebih tertarik untuk membeli susin.

2. Bentuk Supply Chain II


Pada bentuk supply chain II dimana agen membawakan susin ke pengecer kemudian ke konsumen
akhir. Adapun bentuknya dapat dilihat pada Gambar 2.
Produsen Agen Pengecer Konsumen
Gambar 2. Bentuk Supply Chain II
Gambar 2 menunjukkan bahwa bentuk supply chain II susin melalui perantara yaitu pengecer
dimana agen memberikan harga kepada pengecer berkisar Rp. 1800/cup kemudian pengecer menjualnya
dengan harga Rp.2000/cup, dan jumlah susin yang laku setiap harinya berkisar 15 cup/hari. Adapun jumlah
susin yang laku setiap harinya berkisar antara 10-20 cup/hari.
Pada bentuk supply chain ini digunakan fungsi pengangkutan dimana produsen mengangkut susin
untuk dibawa ke agen dan agen juga mengangkut susin ke pengecer, selain itu digunakan fungsi penjualan
dimana pengecer melakukan penjualan susin ke konsumen akhir dan digunakan pula fungsi penyimpanan
dimana agen melakukan penyimpanan susin yang tidak laku di freezer agar cepat laku.Adapun margin
pemasaran yang diperoleh dari kedua bentuk supply chain dapat dilihat pada Tabel 1.

185
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 1. Margin dan Supply Chain Susin pada Koperasi Sintari Kabupaten Sinjai.
Bentuk Supply Lembaga Harga Jual Harga Beli Margin
Chain Pemasaran (Rp/cup) (Rp/cup) (Rp/cup)
Produsen 1.500 1.300 200
I
Agen 2.000 1.500 500
Total
Produsen 1.500 1.300 200
II Agen 1.733,33 1.500 233,33
Pengecer 2.00 1733,3 266,7
Total 566,7
Sumber : Data primer yang Telah Diolah, 2011.
Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk supply chain yang memiliki margin tertinggi adalah agen pada
bentuk pertama (I) yaitu sebesar Rp. 500/cup, sedangkan supply chain yang memiliki margin terkecil yaitu
pengecer pada bentuk II sebesar Rp 266,7/cup. Tingginya margin yang diperoleh bentuk supply chain I
disebabkan karena harga jual susin yang cukup tinggi sedangkan harga beli rendah, sebaliknya kecilnya
margin yang diperoleh pengecer 1 pada bentuk supply chain II karena harga jualnya cukup rendah
sedangkan harga belinya cukup tinggi. Besarnya margin keuntungan pada supply chain I menunjukkan
bahwa proporsi harga yang diterima oleh agen dari produsen. Semakin besar proporsi harga yang diterima
oleh agen berarti memiliki bargaining position yang menguntungkan demikian pula sebaliknya.
Bentuk supply chain yang memperoleh margin tertinggi adalah bentuk II sebesar Rp. 566,7/cup,
sedangkan supply chain yang memiliki margin terkecil adalah bentuk I sebesar Rp. 500/cup. Dari data
tersebut dapat diketahui bahwa margin antara tiap bentuk supply chain tidak terlalu berbeda, ini dikarenakan
margin yang diperoleh tiap lembaga pemasaran hampir sama.
Sementara biaya yang dikeluarkan oleh produsen dalam mengolah dan memasarkan susin dalam hal
ini oleh koperasi serta biaya yang dikeluarkan oleh tiap-tiap lembaga pemasaran cukup bervariasi. biaya yang
dikeluarkan pada setiap lembaga pemasaran berbeda-beda. Lembaga pemasaran yang memiliki biaya
pemasaran tertinggi adalah agen pada supply chain II yaitu Rp. 928,46/cup, hal ini disebabkan karena agen
mengantarkan langsung susin kepada pengecer untuk dijual sehingga biaya transportasinya juga cukup
tinggi, sedangkan lembaga pemasaran yang memiliki biaya pemasaran terendah yaitu pengecer pada bentuk
II yaitu Rp. 31,25/cup karena pengecer tidak mengeluarkan biaya transportasi dan biaya pemasaran lainnya,
sehingga biaya yang dikeluarkan juga sedikit. Jadi bentuk supply chain yang memiliki biaya tertinggi adalah
bentuk supply chain II yaitu Rp. 1.553,45/cup, hal ini disebabkan karena lembaga pemasaran yang terlibat
didalamnya cukup banyak , sedangkan yang memiliki biaya terendah adalah bentuk I sebesar Rp.1.169,3/cup
karena lembaga pemasaran yang terlibat juga lebih sedikit.
Adapun jenis-jenis biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pelaku supply chain yaitu :
a. Biaya Transportasi
Transportasi yaitu pengangkutan susin dari satu pelaku supply chain ke pelaku yang lain sampai ke
konsumen. Pada bentuk supply chain I setiap pelaku mengeluarkan biaya transportasi untuk memasarkan
susin, tetapi pada bentuk II ada pelaku supply chain yang tidak mengeluarkan biaya transportasi, hal ini
disebabkan karena agen yang langsung mengantarkan susin sehingga pengecer hanya menjual susin
tersebut. Pada bentuk supply chain I produsen mengangkut susin dengan menggunakan mobil box,
sedangkan agen menggunakan sepeda, dan biasanya juga menggunakan mobil. Untuk bentuk supply chain
II agen menggunakan mobil untuk mengangkut susin ke pengecer.
b. Biaya Tenaga Kerja
Pada bentuk supply chain I, produsen mengeluarkan biaya tenaga kerja sebesar Rp. 46,87/cup dan
agen mengeluarkan biaya tenaga kerja Rp. 509,09/cup. Pada bentuk II agen tidak mengeluarkan biaya
tenaga kerja karena tidak menggunakan jasa karyawan dalam proses pengangkutan susin ke pengecer,
demikian pula halnya pengecer tidak mengeluarkan biaya tenaga kerja karena pengecer yang langsung
menjalankan usahanya.

186
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
c. Biaya Penyimpanan
Biaya penyimpanan adalah biaya yang dikeluarkan selama menahan barang-barang tertentu selama
jangka waktu antara di hasilkan atau diterima sampai dengan dijual. Pada bentuk supply chain I, produsen
dan agen mengeluarkan biaya penyimpanan karena produsen dan agen sama-sama menggunakan freezer

untuk menyimpan susin agar susin tidak cepat rusak. Demikian pula halnya pada bentuk supply chain II,
tetapi untuk pengecer hanya menggunakan cool box yang kecil untuk menyimpan susin.
d. Biaya Pengemasan
Biaya pengemasan adalah biaya yang dikeluarkan pada saat pengemasan susin. Untuk biaya
pengemasan hanya dilakukan oleh agen pada bentuk supply chain I sebesar Rp.60/cup hal ini disebabkan
karena biasanya konsumen ada yang membeli susin lebih dari 2 cup sehingga membutuhkan alat untuk
mengemas susin. Dengan mengetahui bentuk supply chain, biaya pemasaran dan harga jualnya maka dapat
diketahui efisiensi pemasaran susin tersebut, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Efisiensi Pemasaran Susin pada Koperasi Sintari Kabupaten Sinjai.
Bentuk Biaya Harga Jual Efisiensi
Supply Chain Pemasaran(Rp/cup) (Rp/cup) Pemasaran(%)
I 1.169,3 2.000 58,5
II 1.553,45 2.000 77,7
Sumber : Data Primer yang Telah Diolah, 2010.
Tabel 2 menunjukkan pada bentuk supply chain I memiliki efisiensi pemasaran sebesar 58,5% atau
0,58 dan bentuk supply chain II sebesar 77,7% atau 0,77. Dengan demikian dapat diketahui bahwa masing-
masing saluran dapat dikatakan tidak efisien karena mengeluarkan biaya pemasaran yang cukup tinggi
sedangkan harga jual susin yang cukup rendah. Hasil ini sesuai dengan penelitian Iskandar et al (1993)
bahwa biaya pemasaran yang harus di tanggung oleh masing-masing lembaga pemasaran berbeda.
Supply Chain Dangke
Dangke adalah makanan khas dari Kabupaten Enrekang yang kaya akan gizi dan bebas dari
pengawet. Bahan utamanya murni dari susu sapi segar. Harga perbijinya berkisar antara Rp.10.000-
Rp.17.000. Sebelum menjadi dangke, susu segar tadi harus dimasak dalam waktu yang cukup lama sehingga
susu tersebut menggumpal untuk kemudian dibentuk menjadi dangke.
1. Bentuk Supply Chain Dangke I
Produk sapi perah sistem mandiri di Kabupaten Enrekang tidak dipasarkan dalam bentuk susu segar
tetapi langsung diolah oleh peternak sapi dan keluarganya untuk diproduksi menjadi bahan makanan khas
masyarakat Enrekang dan kegiatan ini merupakan industri skala rumah tangga dan harga makanan khas
tersebut (dangke) adalah Rp. 10.000/buah-17.000/buah, untuk membaut satu buah dangke membutuhkan
1,5 liter susu segar. Setelah dibuat maka selanjutnya dipasarkan ke konsumen, dari dangke ini peternak sapi
perah mendapat keuntungan yang cukup menjanjikan. Adapun supply chain I produk sapi perah sistem
mandiri dapat dilihat pada Gambar 3.

Peternak Sapi Perah (Pengolah Susu) Konsumen

Gambar 3. Supply Chain Produk Sapi Perah Sistem Mandiri


Gambar 3 menunjukkan bahwa saluran pemasaran susu segar dari usaha sapi perah sistem mandiri
bahkan sangat pendek karena oleh peternak sapi perah yang ada di Kabupaten Enrekang langsung mengolah
susu segar setelah diperah selanjutnya hasil olahan tersebut dipasarkan ke konsumen yang ada di pasar
tradisional di daerah tersebut. Dengan kegiatan tersebut sangat menguntungkan bagi peternak sapi perah
sistem mandiri karena tidak mengeluarkan biaya pemasaran . Hal ini sesuai dengan penelitian Siregar dan
Kusnadi (2004) bahwa mahalnyaharga susu yang diterima oleh peternak di Kabupaten Cirebon karena
langsung kepada konsumen. Tingginya keuntungan dari pemasaran dangke disebabkan produk tersebut
diinginkan oleh pasar (konsumen). Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Ismet (2009) bahwa pendekatan
terhadap agribisnis modern harus meninggalkan ciri orientasi produksi tetapi harus dipusatkan pada orientasi
pasar dan orientasi sumberdaya.

187
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
2. Bentuk Supply Chain Dangke II
Dangke yang telah dibuat oleh peternak selain langsung dibeli oleh konsumen juga beberapa pedagang
membeli ke produsen biasanya jika ingin membeli dangke dengan jumlah banyak mereka (pedagang)
memesan sehari sebelumnya. Adapun supply chain II produk sapi perah sistem mandiri dapat dilihat pada
Gambar 4.

Produsen Pedagang Pengecer Konsumen

Gambar 4. Bentuk Supply Chain II

Gambar 4 menunjukkan produk sapi perah system mandiri (dangke) selain dijual langsung ke konsumen juga
beberapa pedagang membeli dari produsen kemudian menjual ke konsumen. Adapun lokasi penjualan di
pasar dan disepanjang jalan poros Kabupaten Enrekang yang berdekatan Kabupaten Tana Toraja. Margin
pemasaran supply chain tersebut dilihat di Tabel 3.
Tabel 3. Margin dan Supply Chain Dangke di Kabupaten Enrekang
Bentuk Supply Lembaga Harga Jual Harga Beli Margin
Chain Pemasaran (Rp/buah) (Rp/buah) (Rp/buah)
I Produsen 13.217,4 12.478,3 739,1
Total
Produsen 13.217,4 12.478,3 739,1
II
Pengecer 13.285,7 11.762 1.513,7
Total
Sumber : Data primer yang Telah Diolah, 2011.
Sementara biaya-biaya yang dikeluarkan pada pemasaran dangke yaitu :
a. Biaya Transportasi
Biaya transportasi adalah biaya yang dikeluarkan oleh pelaku pemasaran yaitu produsen yang sering
melakukan penjualan ke pasar tradisional di Kabupaten Enrekang oleh pedagang pengecer yaitu
pada saat melakukan pembelian ke produsen dangke yaitu ke peternak selanjutnya pedagang
pengecer tidak melakukan biaya transportasi lagi karena pedagang pengecer tersebut hanya
menunggu konsumen di tempat pembelian yaitu di sepanjang pinggir jalan poros Enrekang
b. Biaya Tenaga Kerja
Biaya tenaga kerja yaitu biaya yang dikeluarkan oleh produsen untuk melakukan kegiatan
pembuatan dangke sementara biaya tenaga kerja oleh pedagang pengecer yaitu biaya pada saat
melakukan pembelian ke produsen
c. Biaya Pengemasan
Biaya pengemasan yaitu biaya yang hanya dikeluarkan oleh produsen yaitu Rp.1000/buah yang
hanya menggunakan daun pisang sementara pedagang pengecer tidak melakukan pengemasan lagi
Dengan mengetahui bentuk supply chain, biaya pemasaran dan harga jualnya maka dapat diketahui efisiensi
pemasaran dangke tersebut, hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Efisiensi Pemasaran Dangke di Kabupaten Enrekang.
Bentuk Biaya Harga Jual Efisiensi
Supply Chain Pemasaran(Rp/buah) (Rp/buah) Pemasaran(%)
I 1.267,87 13.217,4 95,8
II 6.354,87 13.285,7 47,8
Sumber : Data Primer yang Telah Diolah, 2011.
Tabel 4 menunjukkan bahwa bentuk supply chain I merupakan bentuk paling efisien karena biaya
yang dikeluarkan kecil sementara harga jual dangke cukup tinggi oleh karena permintaan yang sangat tinggi
oleh masyarakat di Kabupaten Enrekang. Dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa supply chain produk
sapi perah sistem mandiri (dangke) lebih efisien dibandingkan supply chain produk sapi perah sistem
kemitraan (susu pasteurisasi) berarti semakin panjang bentuk supply chain maka margin pemasaran relative

188
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
lebih tinggi. Semakin besar rasio margin pemasaran terhadap harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir
berarti bagian harga yang diterima oleh peternak akan semakin kecil.
Jadi perbedaan supply chain produk usaha sapi perah sistem kemitraan dan mandiri terletak pada
pola transaksi yang terjadi antara peternak sapi perah dengan pedagang. Jika pada sistem mandiri, peternak
sapi perah dapat bertransaksi langsung dengan dengan konsumen. Namun pada sistem kemitraan, transaksi
yang terjadi antara peternak sapi perah dengan konsumen dilakukan secara tidak langsung yang melalui
perusahaan inti yaitu oleh Koperasi Sintari. Hal ini terjadi karena peternak sapi perah sistem kemitraan telah
terikat kontrak dengan perusahaan inti bahwa peternak sapi perah berkewajiban menjual produk susu segar
kepada koperasi yang dikelola oleh perusahaan inti.
KESIMPULAN
Bentuk supply chain produk sapi perah di Kabupaten Sinjai terdiri dari dari dua bentuk yaitu bentuk pertama
dari produsen ke agen dan ke konsumen akhir sementara bentuk kedua dari produsen ke agen selanjutnya
ke pengecer dan terakhir ke konsumen begitu pula halnya Supply chain produk sapi perah di Kabupaten
Enrekang yaitu dari produsen langsung ke konsumen dan bentuk kedua yaitu dari produsen ke pedagang
pengecer selanjutnya ke konsumen. Supply chain produk usaha sapi perah system kemitraan yaitu susu
pasteurisasi(susin) tidak efisien dibandingkan supply chain produk sapi perah system mandiri yaitu dangke

SARAN
Sebaiknya Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai dapat mengefisienkan biaya-biaya pada supply chain produk
susu pasteurisasi sehingga keuntungan yang diperoleh peternak juga dapat lebih tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Departemen Pertanian.
Soekartawi. 1995. Analisa Usaha Tani. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Shepherd, A.W. 2005. The implications of supermarket development for horticultural farmers and traditional
marketing sistems in Asia (revised paper). FAO/AFMA/FAMA Regional Workshop on the Growth of
Supermarkets as Retailers of Fresh Produce. Kuala Lumpur.
Siregar, B.S dan Kusnadi, U. 2004. Peluang Pengembangan Usaha Sapi Perah di Daerah Dataran Rendah
Kabupaten Cirebon. Media Peternakan. Jurnal Ilmu Pengetahuan Teknologi Peternakan. Volume 28
No.2. ISSN 0216-9053.
Windarsari, D.L. 2007. Kajian Usaha Peternakan Ayam ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar :
Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola Mandiri. Tesis. Institut Pertanian Bogor
Sirajuddin, Aminawar, Mursidin, 2010. Analisis Permodalan Koperasi Sintari di Kabupaten Sinjai. Jurnal
Ilmiah Aktualita. Edisi ke-1 Februari 2011. Vol 3. ISSN N0. 2085 - 3505.
Soekartawi, 2001. Agribisnis : Teori dan Aplikasinya. Penerbit PT. RajaGrafindo. Jakarta.

189
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
27.ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN ANTARA TEHNIK
INTENSIFIKASI, PEREMAJAAN DAN REHABILITASI USAHATANI
KAKAO
DI KELURAHAN NOLING KECAMATAN BUPON KABUPATEN LUWU
SULAWESI SELATAN

COMPARATIVE ADVANTAGES ANALYSIS OF THE TECHNICAL INTENSIFICATION,


REGENERATION AND REHABILITATION OF COCOA FARMING
IN WARD NOLING BUPON DISTRICT SOUTH SULAWESI LUWU

Syamsinar1) , R. Mappangaja2), D. Rukmana2) Nursini3)


1)
Staf pengajar Faperta Universitas IndonesiaTimur Makassar
2)
Staf pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian UNHAS
3)
Staf pengajar Fakultas Ekonomi Unhas

E-mail: sinarsyukur@yahoo.com

ABSTRAK

Produktivitas kakao di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Kabupaten Luwu Pada khususnya, sejak tahun
2005 mengalami penurunan. Beberapa upaya telah dilakukan oleh petani kakao untuk mengatasi penurunan
produksi, antara lain: Intensifikasi, Peremajaan dan Rehabilitasi. Dalam berbagai upaya tersebut, petani
mengeluarkan sejumlah biaya untuk mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui jumlah keuntungan dan kelayakan usahatani kakao yang diusahakan petani di Kelurahan
Noling Kecamatan Bupon Kabupaten Luwu. Penelitian ini dilaksanakan mulai Pebruari sampai Agustus 2013.
Jenis penelitian kuantitatif deskriptif dengan metode survei. Jenis data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Populasi adalah semua petani kakao di Kelurahan Noling sebannyak 510 KK dan sampel
adalah 10% dari jumlah populasi, jadi sampel sebanyak 51 orang. Analisis yang digunakan yaitu analisis
keuntungan (Pendapatan Bersih) dan analisis B/C ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan tehnik
Intensifikasi diperoleh keuntungan Rp 8.559.977,-/ha/thn dan B/C ratio sebesar 1,8; tehnik Peremajaan
diperoleh keuntungan Rp 15.054.983,-/ha/thn dan B/C ratio sebesar 3,3; dan tehnik Rehabilitasi diperoleh
keuntungan Rp 11.914.749,- /ha/thn dan B/C ratio sebesar 2,1. Jadi ketiga tehnik budidaya kakao yang
dilakukan petani, adalah layak atau menguntungkan karena nilai B/C ratio > 1 dan tehnik budidaya yang
memberikan keuntungan paling tinggi yaitu tehnik peremajaan.

Kata Kunci : Keuntungan, Kelayakan, Tanaman Perkebunan, Usahatani Kakao, Kelurahan Noling

ABSTRACT

In general the Productivity of cocoa in South Sulawesi and in Luwu (In particular), since 2005 has decreased.
Several attempts have been made by cocoa‟s farmers to cope with the decline in production, like:
Intensification, Rejuvenation and Rehabilitation. In these efforts , farmers produced a number of charge with
the aim of gaining profits. Therefore this study aims to determine the amount of benefits and financial
viability of farmers cultivated cocoa farm in the Village District Noling Bupon Luwu. This study was conducted
from February to August 2013. Type a descriptive quantitative research with a survey method. Types of data
used are primary data and secondary data. Population is all cocoa‟s farmers in Sub Noling which is 510

190
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
households and 10 % sample of the total population, so the sample of 51 people. The analysis used the
analysis of profit (net income) and the analysis of the B/C ratio.
The results show that the benefits obtained Intensification technique Rp 8.559.977/ha/years and B/C ratio of
1,8; techniques acquired Rejuvenation profit Rp 15.054.983/ha/years and B/C ratio of 3.3, and Rehabilitation
techniques earned a profit of Rp 11.914.749/ha/years and B/C ratio of 2.1. So the third cocoa cultivation
techniques by farmers, is feasible or profitable as the B / C ratio > 1 and cultivation techniques that provide
the highest profits rejuvenation techniques.

Keywords: Benefits, Feasibility, Estate Crops, Cocoa Farming, Village Noling.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui
kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan
pajak. Perkebunan Indonesia masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar yang
menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara ekstensif serta
manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan perkebunan rakyat yang susbsisten dan tradisional serta
luas lahan terbatas. Kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup
berdampingan. Perkebunan Rakyat (PR) luasnya sekitar 80% dengan jumlah kepala keluarga yang
tergantung pada perkebunan rakyat sekitar 15 juta (Drajat, 2004).
Secara keseluruhan, luas perkebunan rakyat di Sulawesi Selatan mencapai 687.340 hektar dengan 37
jenis komoditi. Salah satu komoditas yang banyak diusahakan pada perkebunan rakyat tersebut adalah
kakao dengan luas lahan mencapai 275.723 hektar (40,11 %) yang melibatkan petani sebanyak 297.370
kk tersebar di 22 Kabupaten/Kota (Dinas perkebunan Provinsi Sul-Sel, 2012).
Tanaman kakao (Theobroma cacao L) merupakan tanaman perkebunan berumur panjang, mulai
berproduksi 1 – 4 tahun setelah tanam, tergantung dari bahan tanaman unggul yang digunakan dan
agroekosistem pengembangannya. Potensi produksi tanaman kakao unggul seperti ICCRI 01 dan 02, KW 30,
48 dan 162 dapat mencapai 2.160 – 3.200 kg/ha/th.
Kabupaten Luwu merupakan salah satu sentra pengembangan komoditi kakao di Sulawesi Selatan
dengan luas lahan perkebunan kakao rakyat 36.762,16 hektar yang melibatkan petani sebanyak 31.702 kk
yang tersebar pada 21 Kecamatan dengan tingkat produktivitas 644 – 900 kg/ha/thn atau produktivitas rata-
rata 802,77 kg/ha/tahun (Data Base Perkebunan Kab. Luwu, 2012). Kondisi ini masih jauh dari potensi
produksi. Produktivitas kakao di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Kabupaten Luwu Pada khususnya,
sejak tahun 2005 mengalami penurunan. Penurunan produksi tersebut akan secara langsung mempengaruhi
tingkat pendapatan dan kelayakan usahatani kakao.
Hasil penelitian Hariyadi dkk (2009), menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi petani
kakao di wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah kondisi tanaman yang sudah tua (> 20 thn), serangan hama
penggerek buah kakao (PBK), penyakit busuk buah Phytoptora palmivora, penyakit VSD dan beberapa areal
produksi tergenang banjir sehingga banyak tanaman yang tidak dapat berproduksi bahkan mati.
Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh petani kakao di daerah penelitian untuk mengatasi
penurunan produksi tersebut, antara lain: intensifikasi, peremajaan dan rehabilitasi. Dalam berbagai upaya
tersebut, tentunya petani mengeluarkan sejumlah biaya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan
(Pendapatan Bersih).
Hasil penelitian Siahaan, dkk (2011) menunjukkan bahwa pendapatan bersih yang diperoleh
petani Kakao di Desa Kuala Lau Bicik, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang adalah Rp.
27.684.866,49 per petani atau Rp.29,979,618.06 per Ha dengan rata-rata panen pada tahun 5,3. Usahatani
kakao di daerah penelitian secara ekonomi layak diusahakan. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan
analisis finansial diantaranya NPV > 1 yaitu sebesar Rp. 11.623.911,75; nilai Net B/C yaitu 2,60 dan nilai IRR
sebesar 51,41.

191
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Selanjutnya hasil penelitian Muis (2012) menunjukkan bahwa rata-rata jumlah produksi dan
pendapatan yang diperoleh petani yang melakukan sambung samping di Provinsi Sulawesi Tengah adalah
1.523,95 Kg/ha/thn atau Rp. 15.327.208 per hektar per tahun dan yang tidak melakukan sambung samping
adalah 943,96 Kg/ha/thn atau Rp. 7.693.224 per hektar per tahun.
Rumusan Masalah
1. Berapa jumlah keuntungan atau pendapatan bersih yang diperoleh petani dari usahatani kakao di
Kelurahan Noling Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan ?
2. Apakah usahatani kakao yang dikelola oleh petani di Keluran Noling Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan
layak diusahakan ?

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Noling, Kecamatan Bupon Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan
dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu sentra pengembangan kakao di
Kabupaten Luwu dengan jumlah petani yang terbanyak. Penelitian berlangsung selama empat bulan, dari
bulan September sampai Desember 2012.
Penentuan responden yang dipilih sebanyak 10% dari jumlah petani yang berusahatani kakao
sebanyak 510 kk, sehingga jumlah petani yang dipilih sebagai responden sebanyak 51 orang. Responden
dipilih secara simpel random sampling (acak sederhana), sehingga semua petani kakao di daerah penelitian
memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi responden.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer
dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan petani melalui penggunaan daftar pertanyaan yang
telah disiapkan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti kantor BPP Kec. Bupon,
Dinas Perkebunan, BPS tingkat Kecamatan, tingkat Kabupaten dan tingkat Provinsi.
Data yang dikumpulkan ditabulasi dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis
keuntungan (pendapatan bersih) dan analisis B/C ratio. Hasil analisis tersebut selanjutnya dianalisis secara
deskriptif untuk menentukan tingkat kelayakan usahatani. Adapun rumus yang digunakan dalam analisis
pendapatan dan analisis kelayakan usahatani adalah sebagai berikut:

1) Analisis Keuntungan/Pendapatan Bersih (Downey dan Ericson, 1985)

π = ∑(Y.PY) - ∑(Xi. Pxi)


dimana :
π = Keuntungan/Pendapatan Bersih
Y = Output (jumlah produksi yang dihasilkan)
Py =Harga Output
Xi =Jumlah Input yang digunakan
Pxi =Harga Input

2) Analisis B/C ratio (Kadariah, et al., 1978 dan Soetrisno, 1982)

B
B/C ratio =
C
Dimana :
B/C ratio = Ratio Keuntungan Terhadap Biaya
B = Benefit atau keuntungan
C = Cost atau Biaya

192
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Dengan kriteria:
1. Apabila nilai B/C ratio > 1 maka proyek layak diusahakan.
2. Apabila nilai B/C ratio < 1 maka proyek tidak layak diusahakan.
Demi menghindari pengertian yang bias dalam penelitian ini, maka dipandang perlu membuat konsep
operasional sebagai berikut:
1. Petani Kakao adalah orang yang membudidayakan tanaman kakao.
2. Usahatani Kakao adalah unit usahatani yang membudidayakan tanaman Kakao.
3. Besarnya biaya tetap (fixed cost) adalah jumlah dana yang diinvestasi untuk barang/alat dan bangunan
yang dapat digunakan dalam beberapa kali siklus produksi.
4. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang dikeluarkan untuk sarana produksi yang sifatnya habis
dalam satu kali proses produksi.
5. Penerimaan (revenue) adalah jumlah produksi kakao dikalikan dengan harga kakao di tingkat petani
selama satu tahun (2012).
6. B/C ratio adalah ratio antara benefit (pendapatan bersih) dengan total biaya, yang merupakan salah
suatu parameter dalam menentukan layak tidaknya suatu kegiatan usahatani
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biaya Usahatani
Biaya usahatani dikelompokkan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah
biaya pengadaan kebutuhan usahatani yang dapat digunakan untuk beberapa kali siklus produksi.
Sedangkan biaya variabel adalah biaya kebutuhan usahatani yang sifatnya habis terpakai dalam satu kali
siklus produksi. Jadi otal biaya usahatani adalah jumlah biaya tetap ditambah dengan jumlah biaya variabel.

Biaya Tetap

Rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan petani dalam pengelolaan usahatani kakao di lokasi penelitian,
antara lain terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Biaya Tetap Usahatani Kakao per hektar di Kelurahan Noling, Kecamatan Bupon,
Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, 2012.

No. Uraian Jumlah Nilai Per Jumlah Nilai Umur Biaya Tetap/
Satuan Investasi (Rp) Ekonomis Depresiasi (Rp)
(Rp) (thn)
1. Pajak Lahan 1 thn 50.000 50.000 50.000
2. Persiapan Lahan 20 HOK 50.000 1.000.000 15 67.000
3. Bibit 829 Phn 3.000 2.487.000 15 165.800
4. Sprayer 1 unit 400.000 400.000 7 57.150
5. Gerobak 1 buah 100.000 100.000 5 20.000
6. Linggis 1 buah 50.000 50.000 10 5.000
7. Cangkul 1 buah 50.000 50.000 5 10.000
8. Gunting 3 buah 60.000 180.000 3 60.000
9. Parang 2 buah 75.000 150.000 3 50.000
10. Gergaji 1 buah 200.000 200.000 10 20.000
11. Penjolok 2 buah 75.000 150.000 3 50.000
12. Ember 3 buah 30.000 90.000 2 45.000
Total 4.907.000 599.950
Sumber: Data Primer Setelah Diolah

193
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Biaya Variable

Rata-rata biaya variabel yaarng dikeluarkan petani dalam pengelolaan usahatani kakao di lokasi
penelitian, antara lain terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Biaya Variabel Usahatani Kakao per hektar di Kelurahan Noling, Kecamatan Bupon,
Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, 2012.

No. Uraian Jumlah Nilai per Jumlah Nilai Keterangan


satuan (Rp) (Rp)
1. Pupuk:
 Urea 6 Zak (50 kg/Zak) 90.000,- 540.000,- Dosis untuk 2
 NPK Phonska/ 6 Zak (50 kg/Zak) 117.000,- 702.000,- kali pemupukan
NPK Pelangi
 Pupuk Cair 2 Liter 45.000,- 90.000,-
2. Pestisida: Jenis pestisida
 Nurella 1 botol (500 80.000,- 80.000,- yang umum
 Alika ml/btl) 30.000,- 60.000,- digunakan
 Kloromit 2 botol (500 40.000,- 40.000,-
ml/btl)
1 botol (500
ml/btl)
3. Herbisida:
 Supremo 1 liter 45.000,- 45.000,-
4. Tenaga Kerja:
 Panen 42 HKP 50.000,- 2.100.000,-
 Pemeliharaan 16 HKP 50.000,- 800.000,-
Total 4.457.000,-
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2013.
Petani melakukan pemupukan sebanyak 1- 3 kali setahun dengan dosis yang berbeda- beda, namun
pada umumnya petani melakukan pemupukan sebanyak 2 kali setahun sesuai dengan anjuran penyuluh
yaitu pada awal musim hujan dan pada akhir musim hujan, dengan dosis seperti yang tercantum pada Tabel
2.
Untuk pemberantasan organisme pengganggu tanaman dilakukan oleh petani sesuai kondisi tanaman,
tetapi pada umumnya dilakukan setiap selesai panen, dengan alasan bahwa jika tidak dilakukan
penyemprotan pada saat buah kakao seukuran ibu jari, maka buah kakao akan mengeras dan berwarna
hitam sehingga tidak bisa diambil bijinya.
Pada umumnya petani membutuhkan tenaga kerja sewa, untuk panen pada saat panen puncak dan
untuk pemberantasan organisme pengganggu tanaman. Sedangkan pekerjaan yang lainnya seperti sanitasi
lingkungan, pemupukan dan pemangkasan dilakukan oleh petani dan anggota keluarganya.

194
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Analisis Keuntungan dan B/C ratio

Tabel 3. Keuntungan dan Nilai B/C ratio Usahatani Kakao per hektar di Kelurahan Noling, Kecamatan Bupon,
Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, 2012.

Tehnik Budidaya
No. Uraian Intensifikasi Peremajaan Rehabilitasi
1. Rata-rata Jumlah Pohon 901 727 873
2. Umur (tahun) 15-30 2-4 2-4
3. Jumlah Produksi (kg) 817 1.017 971
4. Harga Rata-rata (Rp) 18.000,- 18.000,- 18.000,-
5. Penerimaan (Rp) 13.276.250,- 19.690.385 17.478.000,-
6. Biaya Tetap (Rp) 505.691,- 465.797,- 499.965,-
7. Biaya Variabel (Rp) 4.210.581,- 4.281.635 5.063.286,-
8. Total Biaya (Rp) 4.716.273,- 4.635.402 5.563.251,-
9. Keuntungan (Rp) 8.559.977,- 15.054.983,- 11.914.749,-
10. Nilai B/C ratio (Rp) 1,8 3,3 2,1
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2013.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Jumlah keuntungan per hektar yang diperoleh petani dari usahatani kakao di lokasi penelitian dengan
menerapkan tehnik intensifikasi, peremajaan dan rehabilitasi adalah berturut-turut: Rp 8.559.977,-; Rp
15.054.983,- dan Rp 11.914.749,-.
2. Usahatani kakao yang dikelola petani di lokasi penelitian dengan ketiga tehnik Intensifikasi, Peremajaan,
dan Rehabilitasi adalah layak atau menguntungkan. Hal ini, dapat dilihat dari hasil perhitungan B/C ratio
yang lebih besar dari satu. Nilai B/C ratio untuk tehnik intensifikasi, peremajaan dan rehabilitasi adalah
berturut-turut: 1,8; 3,3; dan 2,1.

Saran

Sebaiknya petani di lokasi penelitian menerapkan tehnik peremajaan atau mengganti tanaman yang
sudah tua (>20 tahun) dengan tanaman baru (sambung pucuk) yang dapat memberikan keuntungan yang
lebih tinggi dibanding dengan tehnik intensifikasi dan rehabilitasi.

195
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
- Anonim. 2012a. Statistik Perkebunan Tahun 2011. Dinas perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan,
Makassar.
- Anonim. 2012b. Statistik Perkebunan Tahun 2011. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Luwu, Belopa..
- Downey, W.D., & Erickson, S.P. 1989. Manajemen Agribisnis (Edisi Kedua): Erlangga. Jakarta

- Kadariah, 1978. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi, LPEE UI. Jakarta


- Kadarsan, H.W. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. PT. Grarnedia,
Jakarta.
Sumber Internet:
- Hariyadi, Sehabuddin, U., & Winasa, I. W. 2009. Identifikasi Permasalahan dan Solusi
Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan,
http://repository.ipb.ac.id/.
- Muis, A. 2012. Kajian Komparatif Ekonomi Usahatani Kakao Melalui Teknik Sambung Samping di
Provinsi Sulawesi Tengah, http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/jht/article/view/665/621.
- Siahaan, Whendro Ases. 2011. Analisis Usahatani Kakao (Studi Kasus : Desa Kuala Lau Bicik,
Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang), http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24809.

196
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
28.MEMBANGUN KEWIRAUSAHAAN BERBASIS PEMBERDAYAAN
KELOMPOK WANITA TANI (KWT) DI KABUPATEN GARUT
Oleh : Tintin Febrianti
Fakultas Pertanian Universitas Garut Jalan Raya Samarang No.52 A Garut

E-mail : tin2fb@gmail.com

ABSTRAK

Keberadaan kelompok wanita tani (KWT) Barokah di Kelurahan Cimuncang Kecamatan Garut Kota Kabupaten
Garut pada awalnya dibentuk sebagai bagian dari program KKN mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Garut di lokasi tersebut. Pembentukan KWT tersebut merupakan respon dari terjadinya kasus gizi buruk yang
menimpa beberapa bayi disana, dengan aktifitas riilnya adalah pemanfaatan lahan pekarangan dengan
penanaman beberapa komoditas yang diharapkan sebagai sumber perolehan bahan makanan yang memiliki
nilai gizi. Ke depannya KWT tersebut diharapkan dapat menjadi cikal bakal bagi terwujudnya Rumah Pangan
Lestari. Hal tersebut menyiratkan bahwa sebenarnya eksistensi KWT dapat dikembangkan tidak hanya dalam
upaya pemanfaatan lahan pekarangan saja melainkan dapat pula menjadi wadah usaha yang lebih bersifat
komersial. Berusaha secara berkelompok dalam kondisi tersebut dipandang akan lebih menguntungkan
dibandingkan dengan berusaha sendiri- sendiri. Sebagai sebuah kelompok yang baru dibentuk, maka KWT
Barokah diharapkan ke depannya mampu menjadi kelompok yang mandiri. Untuk menuju kea rah tersebut,
diperlukan upaya- upaya pemberdayaan yang tepat disesuaikan dengan keadaan KWT Barokah itu sendiri.

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan kondisi eksisting KWT Barokah saat ini baik dari sisi
kelembagaannya maupun dari sisi usaha yang dilakukannya. Selain itu dalam penelitian ini pun dirumuskan
mengenai strategi pemberdayaan dalam pengembangan wirausaha KWT Barokah.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa strategi pemberdayaan yang sesuai dilakukan di KWT Barokah adalah
dengan pendekatan kolektifitas dan individual. Sedangkan program- program pemberdayaannya sendiri
antara lain meliputi bidang ekonomi dan sosial.

Kata kunci : Kewirausahaan, pemberdayaan, kelompok wanita tani,gizi buruk,pekarangan

Bab 1. Pendahuluan

Kelurahan Cimuncang adalah salah satu wilayah dari 11 kelurahan di Kecamatan Garut Kota, yang
terletak di sebelah timur kantor pemerintahan Kabupaten Garut berjarak sekitar 10 km dari pusat
pemerintahan Kabupaten Garut dan sekitar 5 km dari Kantor Camat Garut Kota. Kelurahan Cimuncang
termasuk daerah dataran tinggi dengan ketinggian 700 meter dpl, dengan luas areal kurang lebih 410,51 ha,
dengan luas yang terbagi ke dalam wilayah binaan sebanyak 16 Rukun Warga dan 55 Rukun Tetangga.
Adapun peruntukan tanah areal pertanian seluas 250 Ha, areal pemukiman seluas 70 Ha, perindustrian
seluas 2 Ha dan sarana pemerintahan seluas 6,51 Ha, jalan 4,9 Ha dan lain- lain seluas 82 Ha. (Laporan
Tahunan Cimuncang, 2010)

Meskipun terletak di pusat kota, namun pertumbuhan ekonomi di kelurahan Cimuncang berlangsung
sangat lambat. Nyaris sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai buruh, dari mulai buruh tani, buruh
pabrik kulit, buruh ternak, buruh batu bata dengan pendapatan yang sangat rendah. Dalam kondisi hidup
yang pas- pasan masyarakat mengalami kesulitan mengakses berbagai fasilitas kebutuhan hidupnya antara
lain kesehatan.

197
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pembentukan Kelompok Wanita Tani (KWT) Barokah sendiri dilatarbelakangi oleh kasus terjadinya
gizi buruk di Kelurahan Cimuncang baru- baru ini. Pembentukan KWT ini tidak hanya disambut oleh ibu-
ibunya saja melainkan bapa- bapanya juga turut mendukungnya, terutama dalam kegiatan penanggulangan
gizi buruk keluarga dengan pemanfaatan lahan pekarangan dan pengelolaan limbah kotoran sapi sebagai
bahan pembuat kompos. Ke depannya diharapkan dapat berkembang “MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN
LESTARI”. Pengembangan model kawasan rumah pangan lestari merupakan salah satu pilar dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan keluarga melalui optimalisasi lahan pekarangan dan penataan kawasannya. (
Andasah, 2012 ) yang berpotensi pula dikembangkan aktifitasnya menjadi sebuah usaha yang
menguntungkan jika direncanakan dan dikelola dengan baik dan benar.

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Agribisnis

Esensi konsep agribisnis adalah kesatuan dan keterkaitan antar subsistemnya, dengan demikian
maka agribisnis yang ideal adalah yang memperhatikan keseluruhan subsistemnya bukan sekedar pada
produksi atau pemasaran saja, karena setiap subsistem memberikan andil yang besar bagi pembangunan
pertanian di satu sisi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sisi lainnya.

Lebih jauh mengenai konsep agribisnis dikemukakan oleh Davis dan Goldberg (1957) dikutip Saragih
(2003):

“Agribusiness is the sum total all operation in the manufacture and distribution of farm,
production operation on the farm, and the storage processing and distribution of farm
commodities and items made from them.”

Dalam pengertian seperti itu, agribisnis mempunyai ruang lingkup kegiatan, yaitu

1) Pembuatan dan penyaluran sarana produksi untuk kegiatan budidaya pertanian,


2) Kegiatan budidaya atau produksi dalam usaha tani
3) Penyimpanan, pengelolaan serta distribusi berbagai komoditas pertanian dan produk-produk yang
memakai komoditas pertanian sebagai bahan baku.
Desai (1974) dikutip Saragih (2003) mengelompokkan sistem agribisnis menjadi empat bagian
subsistem yaitu: 1) Subsistem pengadaan sarana produksi, 2) Subsistem sarana pertanian, 3) Subsistem
pengolahan, dan 4) Subsistem distribusi. Dengan demikian sistem agribisnis merupakan usaha bisnis yang
berada dalam alur yang harmonis mulai dari pengadaan sarana produksi usaha tani sampai produk usaha
tani sampai kepada konsumen.

2.2. Pengertian dan Ruang Lingkup Pemberdayaan

Menurut Roesmidi (2006), pemberdayaan berasal dari kata ”daya” , dapat diartikan membuat
sesuatu menjadi berdaya atau mempunyai daya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan sebagai
terjemahan dari empowerment menurut Merriam Webster dalam Oxford English Dictionary mengandung dua
pengertian :

a. to give ability or enable to, yang diterjemahkan sebagai memberi kecakapan/ kemampuan atau
memungkinkan untuk
b. to give power or authority to, yang berarti memberi kekuasaan
Berdasarkan penelitian kepustakaan tentang pengertian di atas dinyatakan bahwa proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan. Pertama yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan
sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya.
Kedua menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan, atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog
(Onny S.Priyono dan Pranarka,1996 : 56-57)
198
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Bab 3. Metode Penelitian

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dikarenakan
penelitian ini bertujuan mengetahui suatu situasi sosial yang terjadi pada Kelompok Wanita Tani (KWT)
Barokah dalam upaya pengembangan agribisnis berbasis pemberdayaan kelompok tersebut. Hubungan
berbagai variabel peluang dan tantangan sekaligus situasi sosial secara holistik terkait dengan hal tersebut
belum diketahui secara jelas. Seperti yang dinyatakan oleh Sugiyono (2011) bahwa dalam penelitian
kualitatif, sebuah gejala (fenomena) itu bersifat holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah- pisahkan),
sehingga peneliti kualitatif tidak akan menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan variabel penelitian,
tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti yang meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergis.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Kelurahan Cimuncang Kecamatan Garut Kota Kabupaten Garut dan
difokuskan di Kelompok Wanita Tani (KWT) Barokah yang berada di lokasi tersebut. Penelitian dilakukan
selama 6 bulan yaitu dari mulai penyusunan proposal sampai penyusunan laporan akhir.

3.3. Instrumen Penelitian

Instrumen utama penelitian pada awalnya adalah ketua tim peneliti atau anggota peneliti. Baru
setelah permasalahan penelitian fokus dan lebih jelas, maka peneliti akan menggunakan instrumen lainnya
seperti penggunaan kuisioner.

3.4. Sampel Sumber Data

Sampel sumber data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Penentuan sampel
sumber data pada proposal ini masih bersifat sementara dan akan berkembang kemudian setelah di
lapangan disesuaikan dengan kebutuhan dari penelitian ini sendiri. Dengan demikian, jumlah sampel pada
penelitian ini baru dapat diketahui setelah penelitian ini selesai.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi participant, wawancara
mendalam (deepth interview), studi dokumentasi dan gabungan ketiganya (triangulasi).

3.6. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman diakukan secara interaktif melalui proses data
reduction, data display, dan verification. Sedangkan menurut Spradley dilakukan secara berurutan, melalui
proses analisis domain, taksonomi, komponensial dan tema budaya.

3.7. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Uji keabsahan data meliputi uji kredibilitas data (validitas internal), uji depenabilitas (reliabilitas)
data, uji transferabilitas (validitas eksternal/generalisasi), dan uji komfirmabilitas (objektivitas). Namun yang
utama adalah uji kredibilitas data. Uji kredibilitas dilakukan dengan : perpanjangan pengamatan,
meningkatkan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, member check dan analisis kasus
negatif.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


199
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
4.1. Gambaran Usaha KWT Barokah

Aktifitas pemanfaatan lahan pekarangan yang dilakukan oleh KWT dilaksanakan sangat sederhana
dengan jumlah polybag yang sedikit sehingga hasil produksinya belum banyak dan juga belum semua
anggota KWT memiliki orientasi komersial menjual hasil panennya. Walaupun demikian, semangat masing-
masing anggota kelompok akan menjadi peluang besar pengembangan usaha pemanfaatan lahan
pekarangan yang berbasis pemberdayaan para wanita- wanita tersebut. Beberapa aktifitas yang telah dan
sedang dilaksanakan oleh masing- masing anggota KWT Barokah ini dapat dikategorikan menjadi beberapa
subsistem yang dapat dikembangkan ke depannya sebagai sebuah agribisnis pekarangan yang lebih maju.
Adapun gambarannya masing- masing aktifitas pada masing- masing subsistemnya adalah sebagai berikut :

4.1.1 Subsistem Penyediaan Sarana Produksi

Subsistem ini memegang peranan penting dalam mendukung keberhasilan produksi. Beberapa
sarana produksi ( input ) yang diperlukan oleh masing- masing anggota antara lain pupuk dan benih.

Berdasarkan hasil wawancara serta pengamatan/ observasi langsung di lokasi penelitian, terlihat
bahwa sebagian besar menggunakan pupuk kompos yang berasal dari kotoran ternak yang mereka miliki,
antara lain kotoran sapi, ayam, domba. Juga terdapat beberapa anggota yang menggunakan pupuk
campuran organik dengan pupuk anorganik.

Dalam pembuatan kompos belum dilakukan secara ideal, masih banyak anggota KWT yang
mengomposkan kotoran ternak hanya menggunakan satu bahan yaitu kotoran ternak saja tanpa campuran
bahan yang lainnya.

4.1.2. Subsistem Budidaya

Nyaris seluruh anggota KWT memiliki pemahaman mengenai cara membudidayakan beberapa
tanaman khususnya tanaman hortikultura sehingga secara tehnis mereke sudah menguasai budidaya
tanaman seperti cabe rawit, seledri, okra, cukini, bawang daun dan sebagainya.

4.1.3. Subsistem Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Hasil panen sebagian dikonsumsi oleh masing- masing anggota dan sebagian lainnya dijual baik dijual
ke warung maupun dijual ke pasar. Ketika dijual ke warung atau ke pasar, anggota hanya menjualnya dalam
bentuk yang masih segar tanpa olahan baik secara primer maupun sekunder.

4.1.4 Subsistem Kelembagaan Pendukung

Dukungan kelembagaan berasal antara lain dari petugas penyuluh lapangan (PPL) Kecamatan Garut
Kota berupa pelatihan- pelatihan beberapa komoditas pertanian yang sesuai dikembangbiakkan dalam
polybag di lahan pekarangan yang dimiliki anggota KWT.

4.2. Strategi Pemberdayaan KWT dalam Pengembangan Kewirausahaan Anggota

Dalam pengembangan kewirausahaan berbasis pemberdayaan Kelompok Wanita Tani Barokah di


Kelurahan Cimuncang Kabupaten Garut ini dilakukan strategi kolektifitas artinya fokus sasaran pemberdayaan
adalah kelompok bukan individual. Pemberdayaan dalam hal ini dilakukan dengan menggunakan kelompok
sebagai media intervensi. Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan antara lain pelatihan, dinamika kelompok
untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan anggota KWT.

200
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
4.3. Pendekatan Pemberdayaan KWT

Pendekatan yang dilakukan dalam pemberdayaan KWT Barokah adalah pendekatan trasformatif yang
memandang KWT bukan sebagai objek pembangunan melainkan sebagai subjek pembangunan yang
berpotensi mengembangkan dirinya kearah yang lebih baik atau lebih menguntungkan. Esensi dari
pendekatan trasformatif ini adalah pendampingan secara rutin untuk kemudian menumbuhkan kemandirian
kelompok. Kemandirian KWT dalam melakukan kegiatan- kegiatannya telah menjadi daya tarik tersendiri bagi
pihak- pihak lainnya untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan KWT. Pihak- pihak yang dimaksud
antara lain pihak pemerintah seperti misalnya BP4K (Badan Penyuluhan Pertanian, Peternakan, Perikanan
dan Kehutanan ) Kabupaten Garut dan juga swasta misalnya PERTAMINA.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku :
- Cramer, Gail L, dan Clarence W. Jensen 1991. Agriculture Economics And Agribusiness. John Wiley
Ang Sons Inc. New York.
- Dja‟far, BS., Abbas dan Daswir. 1982. Analisa Usaha tani dan Pemasaran Kelapa Sawit. Bull BPP.
Medan.
- Downey, WD., dan Steven. P. Ericson. 1992. Managemen Agribisnis. Edisi Kedua. Alih Bahasa :
Rochidayat Ganda. S dan Alfonsus Sirait. Penerbit Erlangga. Jakarta.
- Gibsonj, James, L. Jhon M. Ivanchevich, James H. Donelly. 1988. Organisasi dan Manajemen.
Terjemahan. Djoerban Wahid. Penerbit erlangga. Jakarta.
- Hernanto, Fadholi. 1989. Ilmu Usaha tani. Penerbit Swadaya. Jakarta.
- Homans, J.C. 1991. The Human Group. Barcourt, Brace and World. I. New York.
- Kartasapoetara,AG, dkk. 1985. Manajemen Pertanian (Agribisnis). Bumi Aksara Jakarta
- Mosher, A.T. 1987. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Terjemahan Krisnandhi, A, dan B.
Samad. Yasaguna .jakarta.
- Onny S., Priyono dan A.M.M Pranarka. 1996. Pemberdayaan: Konse[, Kebijakan, dan Impelementasi.
Jakarta. CSIS
- Roesmidi dan Riza risyanti. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Jatinangor. Bandung. Alqaptrint
- Said, Gumbira E., dan A. Harizt Intan. 2000. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia Jakarta.
- Saragih, 2003. Membangun Pertanian Perspektif Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.
- Siagian, Renvile. 1997. Manajemen Agribisnis. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.
- Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi. Alfabeta.Bandung
Sumber Jurnal:
- . David., J.W., dan Harrari. 1998. Social Review Of Agribusiness. Jurnal Agribisnis. Pusat Bisnis
Universitas Jember.
Sumber disertasi:
- Juraemi. 2003. Hubungan Antara Keragaan Sistem Agribisnis Dengan Subsistemnya dan Tingkat
Pendapatan Petani Kelapa Sawit. Desertasi. Universitas Padjajaran. Bandung

201
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
29.THE ROLES AND CONTRIBUTIONS OF COOPERATIVE IN THE
LARGE DAIRY COW COMMODITY CHAIN IN EAST JAVA, INDONESIA
Andrie Kisroh Sunyigono1, Elys Fauziah1 and Mulaab2

1
Department of Agribusiness, Faculty of Agriculture, University of Trunojoyo Madura
2
Department of Informatics Engineering, Faculty of Engineering, University of Trunojoyo Madura

E-mail: sunyigono@gmail.com

ABSTRACT

Kontribusi dari industri susu di Jawa Timur dalam mendukung ketersediaan pangan nasional sangat
tinggi dan vital. Pada tahun 2012, kontribusinya mencapai 57.04%. Aktifitas ini juga mampu menyediakan
lapangan pekerjaan bagi sekitar 4.017.482 peternak dan keluarganya. Disisi lain, Indonesia masih
mengimpor susu dengan proporsi yang cukup besar yaitu 73%. Kelemahan ini juga diperparah dengan
kondisi peternak yang mempunyai beberapa keterbatasan seperti modal, penguasaan teknologi dan akses
terhadap pasar.
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang merupakan sentra produksi susu yaitu Pujon, Malang dan
Grati, Pasuruan. Beberapa metode dipergunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif, commodity chain
analysis, rasio profitabilitas, efisiensi rasio dan value-added analysis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Kontribusi koperasi pada rantai komoditas industri susu
mencakup sektor hulu dan hilir. Mereka menyediakan sarana produksi serta membeli susu yang dihasilkan
peternak, (2) Dalam hal penilaian kinerja, koperasi mempunyai nilai yang cukup baik ditinjau dari aspek rasio
profitabilitas dan efisiensi, (3) Kontribusi nilai tambah dari koperasi cenderung meningkat.
Rekomendasi dari penelitian yang telah dilakukan: (1) diperlukan upaya untuk menjalin kerjasama
antara pemerintah, koperasi dan peternak, (2) program-program yang akan dilakukan harus fokus pada
pembinaan peternak yang mempunyai banyak keterbatasan, (3) perlu upaya untuk memperkuat peran dari
koperasi di sektor hulu dan hilir.

Key Word: Cooperative, Dairy Cow, Commodity Chain

PENDAHULUAN

Sejak tahun 2009 produksi susu di Jawa Timur mengalami peningkatan dari 461.880 ton mengalami
kenaikan yang cukup besar pada tahun 2011 yaitu 566.062 ton. Sentra produksi susu perah di Jawa Timur
adalah terkonsentrasi di Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan. Kabupaten yang pertama pada tahun
2011 menghasilkan 190.365 ton dan selanjutnya Kabupaten Pasuruan berproduksi sebesar 157.387 ton (BPS
Jawa Timur, 2012)
Susu merupakan komoditas penting dalam industri makanan dan minuman. Pengembangan potensi
industri susu merupakan salah satu fokus dan kegiatan utama di koridor Jawa dalam kerangka strategi
utama MP3EI. Renstra Departemen Pertanian 2010-2014 juga menyebutkan bahwa susu adalah salah satu
produk berbasis sumberdaya lokal yang dijadikan prioritas pengembangan. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi ketergantungan impor sebesar 73% (Direktorat Budidaya Ternak, 2012). Pemerintah
menargetkan pada 2014, 50% konsumsi susu nasional dipenuhi dari dalam negeri.
Namun industri susu nasional menghadapi beberapa permasalahan. Di sektor hulu permasalahan
yang dihadapi adalah kurangnya bibit sapi perah, produktifitas rendah, biaya pakan tinggi, skala pemilikan
rendah dan mutu SDM yang rendah. Permasalahan di sektor tengah adalah teknis budidaya, sistem recording
rendah, permasalahan ketersediaan lahan, modal usaha terbatas dan belum padunya kerjasama lintas
202
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
sektoral. Sedangkan di sektor hilir adalah rendahnya harga susu dan harga jual pedet yang tidak stabil
(Ermawati,2011).
Akibat dari permasalahan tersebut maka industri susu kurang berkembang dan hanya mampu
menopang sekitar 27% kebutuhan nasional. Apabila permasalahan ini tidak segera diatasi dengan
pendekatan yang komprehensif dan holistik maka ketergantungan terhadap susu impor semakin tinggi dan
berdampak pada pengurasan devisa negara.

TINJAUAN PUSTAKA
Commodity Chain
Analisis rantai komoditas dikembangkan dari pendekatan structure, conduct, and performance (SCP).
Dalam mengevaluasi kinerja pasar, SCP mengasumsikan adanya hubungan vertical dan horizontal antar actor
yang terlibat. Pada analisis rantai komoditas dapat melakukan kajian lebih dinamis dalam mengobservasi
arus pergerakan komoditas dari produsen ke konsumen. Pada setiap tahapan dalam analisis rantai komoditas
terdapat tiga alat analisis yang dapat digunakan yaitu (Leplaideur, 1992 dalam Ajala dan Adesehinwa,
2007).:
(1) costs and margins,
(2) spatial flows (meliputi tempat dan volume)
(3) Social relations of trade
Ribot (1998) mendeskripsikan analisis rantai komoditas adalah urutan beberapa pekerjaan yang
menunjukkan aliran barang dan aktor yang terlibar mulai dari proses produksi sampai dengan pemanenan
dan yang terakhir diterima oleh konsumen. Alat ini digunakan untuk aktor manakah yang mendapatkan
manfaat dari sumberdaya alam yang digunakan, bagaimana mereka mendapatkan manfaat tersebut dan
bagaimana cara yang bias dilakukan untuk merubah pola distribusi dari manfaat yang diterima oleh masing-
masing aktor.
FAO (2005a) mendefinisikan bahwa analisis rantai komoditas adalah teknik yang bebeas nilai atau
"l'approche filière" as a value-free technique. Alat ini digunakan untuk mengevaluasi kondisi eksisting rantai
komoditas yang ada dari pasar produk pertanian. Dapat juga dilakukan review terhadap dampak dari
kebijakan public, investasi dan sistem kelembagaan terhadap sistem produksi yang dilakukan. Sehingga alat
ini melibatkan analisis kuantitatif terhadap input dan output, harga dan value-added dari masing-masing
actor di sepanjang rantai komoditas.

Actor Network Theory


Prinsip dasar dari actor-network theory adalah masing-masing actor mempunyai ciri, karakteristik
dan atribut yang merupakan hasil dari hubungan actor tersebut dengan actor lainnya. Jaringan (network)
dipahami sebagai suatu sistem hubungan antar actor atau inter koneksi diantara individu atau grup.
Sedangkan jaringan sosiologi (Network sociology) adalah hubungan antar actor yang berbeda latar
belakangnya dan bagaimana aktifitas mereka dipengaruhi oleh hubungan tersebut. Ada beberapa bentuk
jaringan kerja yaitu personal, social, kekeluargaan, institusi dan system teknologi (Murdock, 1995 in
Luthango, 2007).
Menurut Wyatt (2010), actor-network theory (ANT) mampu mengidentifikasi peran spesifik dari
masing-masing aktor dalam hubungannya dengan aktor lainnya pada rantai komoditas pertanian. Dan juga
mempelajari interaksi antar actor dengan teknologi, standart dan aturan yang terbentuk dan disepakati
dalam jaringan tersebut.

Value Addition
Value-added adalah salah satu konsep penting dalam analisis rantai komoditas. Banyak perhitungan
yang dilakukan untuk mengetahui nilai value-added yang dihasilkan oleh masing-masing aktor. Agen yang
produktif membutuhkan factor produksi sebagai input (seperti bahan baku,pupuk, tenaga kerja, modal dll)
serta menghasilkan output. Aliran barang dan jasa yang dianalisis dalam analisis rantai komoditas ditetapkan
dalam kurun waktu tertentu yaitu satu tahun. Terdapat dua jenis value-added yaitu pertama, berdasarkan
harga pasar yang mana akan menghasilkan beberapa distorsi perhitungan. Kedua, menggunakan Shadow

203
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Price yang dapat memperbaiki dan menghilangkan distorsi yang terjadi dan perhitungan menjadi lebih akurat
(FAO, 2005b).
Value-added adalah konsep ekonomi yang merepresentasikan pendapatan suatu aktifitas.
Selanjutnya hal ini dapat diartikan sebagai aktifitas pendistribusian pada empat actor utama yaitu:
(1) Rumas tangga yang menerima upah, gaji dan kompensasi
(2) Institusi keuangan yang mendapatkan pembayaran bunga
(3) Pemerintah yang menarik pajak dan pungutan lainnya
(4) Institusi non-finansial yang akan memperoleh keuntungan bersih atau kotor.

Kinerja Pasar
Menurut Pomeroy dan Trinidad (1995) yang dinyatakan oleh Scott (1995) bahwa kinerja pasar dapat
diukur dengan mempertimbangkan beberapa indikator sebagai berikut: stabilitas harga dan efisiensi harga,
biaya dan volume output, margin pemasaran dan penerimaan bersih, share peternak terhadap harga ritel
dan proporsi dari pendapatan konsumen yang dapat dibelanjakan. Sedangkan indikator lainnya adalah level
dari integrasi pasar, hubungan antara transfer dan perbedaan harga antar pasar dan hubungan antara harga
musiman dengan biaya penyimpanan untuk menunjukkan tingkat persaingan untuk menunjukkan tingkat
persaingan antar pasar dari waktu ke waktu (Harris quoted from Anggraeni, 2005 ).

METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di Jawa Timur pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2013. Adapun
lokasi penelitiannya adalah Desa Wiyurejo Kecamatan Pujon-Malang, Koperasi “SAE” Malang, Desa Rowo
Gempol Kecamatan Lekok Pasuruan dan Koperasi Karya Amanah Pasuruan. Jenis data yang dikumpulkan
adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dari penyedia input seperti penjual pakan,
penjual obat-obatan, penyedia bakalan, peternak, dan koperasi. Jumlah responden dalam penelitian ini
adalah 48 orang/institusi. Metode penentuan sampel untuk peternak adalah simple random sampling
sedangkan responden lainnya dicari dengan mengunakan snowball sampling. Data sekunder dikumpulkan
dan beberapa sumber dan institusi yang rrlevan. Untuk menganalisis status dan profil dari industri susu
dilakukan analisis deskriptif. Analisis rantai komoditas digunakan untuk mengidentifikasi jaringan kerja antar
aktor dan hubungan fungsional antar aktor. Kinerja dari koperasi diukur dengan beberapa alat yaitu
profitability ratio, operational efficiency ratio and value-added analysis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Usaha Sapi Perah di Jawa Timur

Status Sapi Perah di Jawa Timur


Populasi sapi perah di Jawa Timur dapat dilihat pada Gambar 1. Rata-rata pertumbuhan dari populasi
sapi perah di Jawa Timur adalah 4.5% dengan fenomena ekstrem terjadi pada tahun 2003 dimana populasi
menurun sekitar 20%. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya intensitas pemotongan sapi potong sehingga
berdampak pula pada populasi sapi perah.

204
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
4,900 30
4,600 27
4,300 24
4,000 21
3,700 18
3,400 15
3,100 12
9
000 heads

2,800 6
2,500 3
2,200 0 Population
1,900 -3
1,600 -6
1,300 -9 Growth rate (%)
1,000 -12
700 -15
400 -18
-21
100 -24
(200) -27

Sensus sapi potong, sapi perah dan kerbau, 2011.


Sumber: Statistik Peternakan Indonesia, 2010.

Gambar 1. Populasi Sapi Perah, Jawa Timur, 2001-2011.

Tingkat konsumsi dari produk peternakan seperti daging, telur dan susu di Jawa Timur dapat dilihat
pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa dari kurun waktu 2006 sampai dengan 2010 mengalami kenaikan.
Rata-rata pertumbuhan per tahunnya adalah 9.4%. Tetapi pada tahun 2008 terjadi pertumbuhan negative
sebesar -6.8%. Hal disebabkan karena adalah penurunan konsumsi daging, susu dan telur. Kenaikan harga
BBM juga mempengaruhi penurunan konsumsi akan produk-produk pertanian.

Tabel 1. Konsumsi Daging, Susu dan Telur (ton), Jawa Timur, 2006 – 2010.

PERTUM
ITEM 2006 2007 2008 2009 2010
(%/YEAR)

Daging (sapi saja) 66,762 74,965 92,608 99,414 103,809 11.9

Daging (Sapi dan


Lainnya) 297,326 335,521 306,971 324,209 343,655 4.0

Telur 205,757 261,648 253,842 253,358 257,085 6.4

Susu 217,796 385,376 332,429 375,771 383,380 19.6

Total 787,642 1,057,511 985,850 1,052,751 1,087,929 9.4


Sumber: Statistik Peternakan Jawa Timur, 2010.
Harga susu menunjukkan tren peningkatan dalam waktu 2011-2012. Hal ini terjadi pada semua
grade susu. Rata-rata kenaikan adalah 22% sampai dengan 27%. Tingkat kenaikan tertinggi adalah pada
grade IV sedangkan kenaikan terendah adalah pada grade I. Peningkatan harga ini berdampak pada
penerimaan peternak,

205
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 2. Harga Susu di Tingkat IPS (Rp/kg), Jawa Timur, 2011-2012
2011
Daya Saing
TPC (juta) Grade I Grade II Grade III Grade IV
Premium
<=1 >1-<=2 >2-<=3 >3

Harga Susu (Rp/Kg@12%TS) 2,700 2,500 2,400 2,200 800

2012
Daya Saing
TPC (juta) Grade I Grade II Grade III Grade IV
Premium
<=1 >1-<=2 >2-<=3 >3

Harga Susu (Rp/Kg@12%TS) 3,300 3,100 3,000 2,800 300

Sumber: PT. Nestle, 2013

Peranan Peternak dan Koperasi dalam Rantai Komoditas Susu


Tabel 3 menunjukkan analisis fungsional dari rantai komoditas sapi perah di lokasi penelitian. Ada
tujuh aktifitas yang dilakukan oleh peternak dalam rantai komoditas sapi perah mulai dari mencari rumput,
membeli bakalan, membeli pakan, pemeliharaan, memerah susu, pemasaran dan transportasi.
Ada tiga kegiatan yang dilakukan oleh semua peternak yaitu membeli pakan, membeli bakalan dan
memerah susu. Hal ini bisa dipahami mengingat ketiga aktifitas tersebut berhubungan langsung dengan
koperasi susu. Disini peran koperasi terkait dengan aktifitas di sektor hulu (upstream) dan sector hilir
(downstream). Sedangkan sebagian besar peternak jarang melakukan fungsi pemasaran. Hal ini terjadi
karena sebagian atau hampir semua responden menjual susunya ke koperasi. Hanya susu yang kualitasnya
rendah dan ditolak oleh koperasi saja yang dijual ke tengkulak susu.

Tabel 3. Analisis Fungsional dari Rantai Komoditas Sapi Perah, Jawa Timur, 2013
STATUS
AKTIVITAS Ya Tidak OUTPUT
Mencari rumput 43 58.90% 9 12.33% Pakan
Beli Bakalan 52 71.23% 0 0.00% Bakalan
Beli Pakan 52 71.23% 0 0.00% Hijauan, polar, konsentrat
Pemeliharaan 43 58.90% 9 12.33% obat-obatan, vitamin, IB
Memerah susu 52 71.23% 0 0.00% Susu
Pemasaran 35 47.95% 17 23.29% Jasa
Transportasi 40 54.79% 12 16.44% Jasa
Sumber: Data Primer, 2013

Gambaran Umum tentang Koperasi Susu

Permodalan Koperasi
Koperasi “SAE” Pujon terus menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Sejak Tahun 2008,
simpanan pokok mengalami perubahan positif sebesar 29% per tahun. Bahkan pada tahun 2010 mengalami
kenaikan yang cukup drastic yaitu 109%. Pertumbuhan jumlah anggota yang cukup besar akan berdampak
pada kenaikan ini. Selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 4.

206
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Hal menarik kedua adalah kenaikan nilai asset koperasi rata-rata sebesar 10% per tahun. Hingga
saat ini aset Koperasi “SAE” terus mengalami peningkatan bahkan sekarang pihak manajemen sedang
membangun swalayan yang merupakan cabang usaha baru yang mulai dirintis oleh KOPSAE.

Tabel 4. Permodalan Koperasi, SAE, 2008-2012

MODAL 31-12-2008 31-12-2009 31-12-2010 31-12-2011 31-12-2012

Simpanan Pokok 387,650,000 398,350,000 415,300,000 867,400,000 882,000,000


Simpanan Wajib 3,304,713,674 3,659,983,448 4,090,262,133 4,397,580,708 4,635,853,176
Simpanan Sukarela 2,686,820,303 2,730,476,211 3,358,508,311 3,260,170,111 3,205,964,411
Modal Donasi 8,590,000 8,590,000 8,590,000 8,590,000 8,590,000
Cadangan Khusus 15,229,410,897 17,521,621,368 19,022,169,903 19,583,513,106 19,701,674,340
Cadangan Koperasi 4,938,953,845 5,051,818,333 5,174,647,578 5,310,029,674 5,394,335,628
ASSET 42,701,436,307 45,657,635,966 56,450,301,390 57,279,844,450 62,501,837,784
SHU 825,218,266 898,310,631 988,141,162 620,581,131 645,446,760
Sumber: KOP SAE, 2013

Kinerja Koperasi Susu


Tabel 5 menunjukkan kinerja Koperasi “SAE” Pujon, pada tahun 2008, 2009 dan 2010 produksi dan
penjualan susu melampaui target yang ditetapkan. Hal ini terjadi karena pada kurun waktu tersebut terjadi
penambahan jumlah anggota yang cukup besar.

Tabel 5. Kinerja Koperasi, SAE, 2008-2012


Item 2008 2009 2010 2011 2012

Realisasi % Realisasi % Realisasi % Realisasi % Realisasi %


Produksi Susu (lt) 34,230,222 112% 36,284,145 110% 41,187,038 120% 39,757,114 95% 35,123,115 89%
Penjualan Susu (Rp) 127,614,373,691 126% 130,568,082,722 108% 157,713,007,180 129% 150,249,959,455 97% 137,200,427,860 91%
Pembayaran susu anggota (Rp) 111,178,506,639 127% 116,877,220,479 111% 131,122,087,646 124% 125,417,284,724 91% 113,893,367,278 88%

Produksi susu
Sapi dewasa (lt/hari) 7.93 7.78 8.06 7.60 7.43
Sapi laktasi (lt/hari) 9.18 8.98 9.20 8.90 8.66
Rata-rata setoran produksi susu
(lt/hr/peternak) 17.36 17.29 18.47 17.60 16.45

Pengolahan susu pasteurisasi


Hasil penjualan (Rp) 496,595,014 497,981,650 559,732,281 718,557,567 946,557,720
HPP (Rp) 345,900,935 70% 358,586,210 72% 402,472,802 72% 526,407,336 73% 585,700,648 62%
Selisih-sebelum dibebani biaya TK
dan sebagian biaya prosesing 150,694,079 44% 139,395,440 39% 157,259,479 39% 192,150,231 37% 360,857,072 62%
Sumber: KOP SAE, 2013
Ditinjau dari nilai HPP (harga pokok penjualan), proporsinya berada pada kisaran 62% s/d 73%. Dari
tabel diatas nampak bahwa apabila proporsi HPP tinggi dibandingkan dengan hasil penjualan maka secara
otomatis potensi profit akan menurun. Sehingga pada kurun waktu tersebut potensi profit terbesar adalah
pada tahun 2012 yaitu sebesar 62%. Artinya profit koperasi juga menunjukkan peningkatan. Hal ini juga
ditandai dengan perluasan usaha yang dilakukan oleh pihak koperasi.
Tabel 6 di bawah menunjukkan bahwa SHU dari anggota koperasi cenderung meningkat dari 0.03%
pada 2008 menjadi 0.12% pada 2011. Proporsi dari harga yang diterima oleh anggota cenderung meningkat.

207
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Namun dilapangan menunjukkan bahwa sekalipun meningkat tapi masih tidak proporsional bila dibandingkan
dengan kenaikan sarana produksi yang ditanggung oleh peternak.

Tabel 6. Struktur Harga Susu di Koperasi, SAE, 2008-2012


Komponen 2008 2009 2010 2011 2012
1 Harga Jual ke IPS Nilai (Rp) % Nilai (Rp) % Nilai (Rp) % Nilai (Rp) % Nilai (Rp) %
Kualitas
FAT: 4.20 % TS: 12% 3,324.30 100% 3,669.53 100% 3,751.71 100% 3,833.88 100% 3,964.41 100%
SNF: 7.80 %

2 Harga beli dari anggota


Pembelian secara tunai 2,875.00 86% 3,200.00 87% 3,255.00 87% 3,310.00 86% 3,355.00 85%

3 Kewajiban Non Kebutuhan Anggota


Simpanan wajib sekunder 2.00 0.06% 2.00 0.05% 2.00 0.05% 2.00 0.05% 2.00 0.05%

4 Biaya-biaya 446.40 13% 464.26 13% 490.85 13% 517.44 13% 604.39 15%
Biaya operasional 103.57 3% 110.63 3% 112.61 3% 114.58 3% 128.65 3%
Biaya tenaga kerja 129.51 4% 133.96 4% 133.05 4% 132.14 3% 173.67 4%
Biaya kendaraan dan mesin-mesin 27.65 1% 28.57 1% 28.44 1% 28.31 1% 25.57 1%
Biaya pemeliharaan dan perbaikan bangunan 9.99 0.30% 9.22 0.25% 8.49 0.23% 7.76 0.20% 8.45 0.21%
Biaya organisasi 59.82 2% 70.74 2% 84.80 2% 98.86 3% 108.07 3%
Biaya administrasi 5.33 0.16% 4.92 0.13% 4.79 0.13% 4.66 0.12% 5.49 0.14%
Biaya Umum 30.98 1% 32.87 1% 40.88 1% 48.88 1% 59.83 2%
Penyusutan (Amortisasi) 24.99 1% 24.58 1% 25.87 1% 27.16 1% 44.32 1%
Biaya Keswan dan IB 54.56 2% 48.77 1% 51.93 1% 55.09 1% 50.36 1%

5 SHU 0.90 0.03% 3.27 0.09% 3.86 0.10% 4.44 0.12% 3.02 0.08%
Sumber: KOP SAE, 2013

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


KESIMPULAN
1. Kontribusi koperasi dalam rantai komoditas industri susu adalah di sektor hulu dan hilir. Mereka
menyediakan sarana produksi serta membeli susu dari peternak
2. Dari hasil analisis kinerja nampak bahwa koperasi mempunyai rasio positif untuk tingkat keuntungan
dan nilai operasional efisiensi.
3. Nilai value-added dari koperasi cenderung meningkat.

REKOMENDASI
1. Dibutuhkan kerjasama/partnership antara pemerintah, koperasi dan peternak
2. Peran koperasi pada pembinaan peternak harus ditingkatkan
3. Perlu ditingkatkan peran dari koperasi di sektor hulu dan hilir untuk meningkatkan efektifitas dari
rantai komoditas yang ada.
4.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku :
- BPS Jawa Timur, 2012. Indikator Pertanian Propinsi Jawa Timur Tahun 2012. Badan Pusat Statistik
Jawa Timur. Surabaya.
- Direktorat Budidaya Ternak, 2012, Pedoman Teknis Pengembangan Budidaya Sapi Perah Pola PMUK,
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan-Departemen Pertanian, Jakarta
- Ditjennak, 2011. Kajian Pengembangan Industri Pengolahan Susu Berbasis Susu Segar Dalam
Negeri. Kementerian Pertanian.Jakarta.
Sumber jurnal:

208
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
- Jean Kinsey. 2000. A Faster, Leaner, Supply Chain: New Uses of Information Technology. American
Journal of Agricultural Economics. 82 (5): 1123–1129
- Moises A. Resende-Filho And Brian L. Buhr. 2008. A Principal-Agent Model For Evaluating The
Economic Value Of A Traceability System: Acase Study With Injection-Site Lesion Control In Fed
Cattle. American Journal Of Agriculture Economic Volume 90 Number 4, 2008 : 1091-1102
- Nganje, W., B. Dahl, W. Wilson, S. Mounir, and A. Lewis. 2007. “Valuing Private Sector Incentives to
Invest in Food Security Measures: Quantifying the Risk Premium for RFEM.” Journal of International
Agricultural Trade and Development 3(2):199–216.
- Saha, A. 1993. “Expo-Power Utility: A Flexible Form for Absolute and Relative Risk Aversion.”
American Journal of Agricultural Economics 75:905–13.
- Shanti Ermawati. 2011. Profitabilitas Usahatani Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Sleman. Jurnal Sains
Peternakan Volume 9 (2), September 2011: 100-108
- William Nganje, Vicki Bier, Hoa Han, and Lorna Zack. 2008. Models of Interdependent Security Along
The Milk Supply Chain. American Journal Of Agriculture Economic Volume 90 Number 5, 2008 :
1265-1271
- Wilson,W.W., and B.L. Dahl. 2006 “Costs and Risks of Segregating GM Wheat in Canada.” Canadian
Journal of Agricultural Economics 54:341–359.
- Yusmichad Yusdja, 2005. Kebijakan Ekonomi Industri Agribisnis Sapi Perah di Indonesia.Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 Nomor 3.September 2005: 257-268
Sumber seminar:
- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta
- Kementerian Pertanian, 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.
- Rammohan, KT and R. Sundaresan. 2003. Socially Embedding the Commodity Chain: An Exercise in
Relation to Coir Yarn Spinning in Southern India. World Development, Volume 31 (5): 903-923.
- Vyta W. Hanifah dan Kusuma Diwyanto. 2008. Inovasi Teknologi Dalam Mendukung Pengembangan
Usaha Sapi Perah Di Kawasan Pengembangan Agribisnis. Prosiding Semiloka Nasional Prospek
Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Balitbang Pertanian.
Sumber internet:
- Food and Agriculture Organization. 2005. On-line resource materials for policy making. Analytical
tools. Module 043. Commodity Chain Analysis. Constructing the Commodity Chain, Functional
Analysis and Flow Charts. Retrieved June 9, 2009. From EASYPOL World Wide Web: www.fao.org/
docs/up/ easypol/330/cca_043EN.pdf.
Sumber disertasi:
- Sunyigono, A.K. 2012. Economic Assesement of the Beef Cattle Commodity Chain for Smallholder
and Large Farmers in East Java, Indonesia. Unpublished PhD Dissertation. College of Economics and
Management, University of the Philippines Los Banos.

209
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
30.PERANAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI TERHADAP
PERKEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN PERTANIAN
DALAM BIDANG AGRIBISNIS

Brian Guntur1, Yesi Hendriani Supartoyo2


1
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Jalan Raya Darmaga Kampus IPB Darmaga Bogor 16680

E-mail: brianguntur.persada911@gmail.com dan E-mail: yesisupartoyo@mail.com

ABSTRAK

Di era modern seperti sekarang ini, banyak sekali perkembangan baik dari sisi teknologi, budaya serta
pendidikan. Perkembangan tersebut tentunya bisa menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa dalam
berbagai bidang. Kemajuan tidak mungkin tercapai bila hal yang terkait dengan distribusi informasi dan
sebaran tenaga pendidik tidak tersebar secara merata. Oleh karena itu, dengan perkembangan yang pesat
maka seharusnya tidak ada lagi ketimpangan informasi. Sumbangsih pemikiran dari dunia pendidikan telah
melahirkan modernisasi di segala bidang kehidupan masyarakat dunia saat ini. Berhubungan dengan hal itu,
kehadiran teknologi telah meningkatkan kualitas dan keampuhan pendidikan itu sendiri. Imbas globalisasi
yang merasuki segala lini kehidupan bangsa di seluruh dunia telah melahirkan berbagai pandangan
berperspektif baru. Pendidikan di masa depan akan lebih dioptimalkan oleh jaringan informasi yang
memungkinkan interaksi dan kolaborasi. Orientasi produktivitas kerja tentunya tidak hanya berfokus pada sisi
teknologi saja akan tetapi, jika hal tersebut dikembangkan kearah pertanian maka pertanian Indonesia akan
disi oleh orang-orang terbaik khususnya tenaga pendidik yang mau disebar di seluruh Indonesia agar
distribusi informasi dan kualitas khususnya di bidang pertanian (agribisnis) akan meningkat. Hal ini di
karenakan, seluruh petani di Indonesia di bantu tidak hanya dari sisi pengetahuan dan teknologi tetapi juga
di bantu dengan adanya sebaran insan terdidik yang notabene adalah untuk bisa membantu pemerintah
dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, tulisan ini menjadi stimulus untuk bisa meningkatkan dan
mendistribusikan tenaga pendidik pertanian secara merata ke seluruh wilayah Indonesia karena tenaga
pendidik dalam sistem agribisnis merupakan supporting dalam keberhasilan suatu komoditas pertanian.

Kata-kata kunci: Agribisnis, Informasi, Pertanian, Sistem, Tenaga Pendidik

ABSTRACT

In the modern era, a lot of progress both in terms of technology, culture and education. The development of
course can be a measure of a nation's progress in various fields. Progress can not be achieved if it is related
to the distribution of information and the distribution of teachers is not spread evenly. Therefore, with the
rapid development then there should be no more discrepancies. That ideas from the world of education has
given rise to modernization in all areas of the world. Associated with it, the advent of technology has
improved the quality and effectiveness of education itself. The impact of globalization permeate all aspects of
life in nations around the world has given rise to various views of the new perspective. Education in the
future will be optimized by information network that allows interaction and collaboration. Labor productivity
orientation course focuses not only on the technology alone but, if it is developed towards the Indonesian
agricultural farm will be filled by the best educators in particular that would spread throughout Indonesia so
that the distribution of information and quality particularly in agriculture (agribusiness) will increase. This is
because, all the farmers in Indonesia not only in terms of knowledge and technology but also help with the
distribution which is actually a well-educated man to be able to assist the government in terms of the
210
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
intellectual life of the nation. Thus, this paper can be a stimulus to increase agricultural educators and
distribute evenly to all parts of Indonesia as educators in the agribusiness system is supporting the success
of an agricultural commodity.

Key words : Agribusiness, Information, Agriculture, Systems, Educator

PENDAHULUAN
Di era modern seperti sekarang ini, banyak sekali perkembangan baik dari sisi teknologi, budaya
serta pendidikan. Perkembangan tersebut tentunya bisa menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa dalam
berbagai bidang. Kemajuan tidak mungkin tercapai bila hal yang terkait dengan distribusi informasi dan
sebaran tenaga pendidik tidak tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Apalagi untuk distribusi informasi
ini perkembangannya sangat revolusioner. Oleh karena itu dengan perkembangan yang pesat maka
seharusnya tidak ada lagi ketimpangan informasi diseluruh wilayah Indonesia. Terkait revolusi informasi telah
mengubah sistem komunikasi dunia dewasa ini, sebaran jaringan informasi yang tersimpan dalam internet
membuktikan bahwa kini dunia kian sempit, tidak ada lagi batas-batas geografis yang menghalangi kita
untuk berinteraksi dengan dunia global. Akses ke dunia global pun menjadi sangat mudah, efisien, dan
fleksibel. Kemudahan itu merupakan salah satu manfaat yang didapatkan dari globalisasi yang melibatkan
integrasi di berbagai bidang di antaranya pendidikan dan teknologi. Sumbangsih pemikiran darii dunia
pendidikan telah melahirkan modernisasi di segala bidang kehidupan masyarakat dunia saat ini.
Berhubungan dengan hal itu, kehadiran teknologi telah meningkatkan kualitas dan keampuhan pendidikan itu
sendiri. sebagaimana empat pilar pendidikan yang di cetuskan oleh UNESCO antara lain learning to know,
learning to do, learning to be, and learning together.
Imbas globalisasi yang merasuki segala lini kehidupan bangsa di seluruh dunia telah melahirkan
berbagai pandangan berperspektif baru. Sebagai contoh, apabila pada masa sebelum ini atau era perang
dingin, perspektif dunia adalah pemihakan blok yaitu blok barat atau blok timur, maka perspektif dunia pada
era globalisasi adalah integrasi; dan sistem dunia pun dilambangkan dengan World Wide Web (WWW), yang
mudah dijumpai di dalam penulisan alamat situs internet. Arus globalisasi telah memunculkan perspektif baru
pendidikan. Strategi pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional kini berubah ke arah
pendidikan yang lebih terbuka. Pendidikan di masa depan akan lebih dioptimalkan oleh jaringan informasi
yang memungkinkan interaksi dan kolaborasi. Pemanfaatan jaringan informasi sudah terbukti keutamaan
serta benefitnya bagi masyarakat. Dengan demikian, masuknya pengaruh globalisasi telah mengubah
pendidikan kita sehingga lebih bersifat jejaring, terbuka dan interaktif, beragam, multidisiplin, serta
berorientasi produktivitas kerja just on time dan kompetitif (Wiryana, 2001)
Orientasi produktivitas kerja tentunya tidak hanya berfokus pada sisi teknologi saja akan tetapi, jika
hal tersebut dikembangkan kearah pertanian maka pertanian Indonesia akan disi oleh orang-orang terbaik
yang mau disebar di seluruh Indonesia agar distribusi informasi dan kualitas khususnya di bidang pertanian
khususnya agribisnis akan meningkat. Hal ini di karenakan, seluruh petani di Indonesia di bantu tidak hanya
dari sisi pengetahuan dan teknologi tetapi juga di bantu dengan adanya sebaran insan terdidik untuk bisa
membantu pemerintah dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa sama seperti amanah UUD 45.
Mencerdaskan kehidupan bangsa ini merupakan pembangungan di bidang pendidikan khususnya pendidikan
di agribisnis atau pertanian secara luas. Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia mendapat roh baru
dalam pelaksanaannya sejak disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maka Visi pembangunan pendidikan
nasional adalah “Terwujudnya Manusia Indonesia Yang Cerdas, Produktif dan Berakhlak Mulia“. Beberapa
indikator yang menjadi tolak ukur keberhasilan dalam pembangunan pendidikan nasional :
a. Sistem pendidikan yang efektif dan efisien.
b. Pendidikan Nasional yang merata dan bermutu.
c. Peran serta masyarakat dalam pendidikan, dan lain-lain.
Permasalahan klasik di dunia pendidikan khususnya di agribisnis dan sampai saat ini belum ada
langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasinya adalah:

211
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
a. Kurangnya Pemerataan kesempatan pendidikan pertanian di Indonesia
Sebagian besar masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan masih terbatas apalagi di
tingkat sekolah dasar.
b. Rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja dalam hal ini pengembangan
pendidikan pertanian
Hal ini dapat dilihat dari jumlah angka pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia, yang
kenyataanya tidak hanya dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja dan makin sempitnya lahan
pertanian. Namun adanya perbedaan yang cukup besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan kerja.
c. Rendahnya mutu pendidikan
Untuk indikator rendahnya mutu pendidikan dapat dilihat dari tingkat prestasi siswa. Seharusnya tidak
hanya pada SMA saja tetapi pada SMK pertanian pun seharusnya ditingkatkan.

Guru dan Kualitas Pendidikan Pertanian


Pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia maka akan
banyak hal terkait yang harus dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan, sistem pendidikan,
kurikulum, kualitas tenaga pengajar, dan lainnya, Secara umum guru merupakan faktor penentu tinggi
rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian, posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil
pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional, faktor kesejahteraannya, dan lainnya. Khusus
guru, di Indonesia untuk tahun 2005 saja terdapat kekurangan tenaga guru sebesar 218.838.
Tabel 1. Kekurangan Guru Tahun 2004 – 2005
2004 2005
Tingkat Kebutuhan
Kebutuhan Pensiun Kebutuhan Pensiun
TK 893 187 1.080 260 1.340
SD 63.144 20.399 83.543 23.918 107.461
SMP 57.537 4.707 62.244 6.270 68.514
SMU 26.120 1.498 27.618 1.685 29.303
SMK 9.972 1.073 11.045 1.175 12.220
TOTAL 157.666 27.864 185.530 33.308 218.838
Sumber : Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004
Dengan jumlah kekurangan guru yang cukup besar maka kita juga tidak dapat berharap akan
terciptanya kualitas pendidikan, diperparah kurangnya tenaga pendidik pertanian. Disamping itu masalah
distribusi guru juga tidak merata, baik dari sisi daerah maupun dari sisi sekolah. Dalam banyak kasus, ada SD
yang hanya memiliki tiga hingga empat orang guru sehingga mereka harus mengajar secara paralel dan
simultan. Belum lagi hal yang berkaitan dengan prasyarat akademis, baik itu menyangkut pendidikan minimal
maupun kesesuaian latar belakang bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan. Semisal, masih
cukup banyak guru SMA/SMK yang belum berkualifikasi pendidikan sarjana atau strata satu. Seperti yang
dipersayaratkan dalam UU Guru dan Dosen.
Tabel 2. Guru Menurut Ijazah Tertinggi Tahun 2002/2003
Jumlah Ijazah Tertinggi (dalam %)
No Pendidikan
Guru <D1 D2 D3 S1 S2/S3
1 TK 137.069 90.57 5.55 - 3.88 -
2 SLB 8.304 47.58 - 5.62 46.35 0.45
3 SD 1.234.927 49.33 40.14 2.17 8.30 0.05
4 SMP 466.748 11.23 21.33 25.10 42.03 0.31
5 SMA 230.114 1.10 1.89 23.92 72.75 0.33
6 SMK 147.559 3.54 1.79 30.18 64.16 0.33
7 PT 236.286 - - - 56.54 43.46
Sumber : Balitbang, 2004

Dari distribusi data diatas dapat diketahui bahwa angka guru yang belum memenuhi kualifikasi
akademisnya cukup besar.

212
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
a. Untuk tingkat SMA, yang memenuhi kualifikasi S1 sebesar 72,75 persen sedang sisanya yang
mencapai angka 27 persen belum mencapai kualifikasi.
b. Demikian pula untuk strata satu (S1) hampir sebagian besar dosennya hanya mempunyai kualifikasi
sarjana, dimana kualifikasi tersebut seharusnya adalah master atau doktor.
Disamping kualifikasi akademis yang mendasar, guru juga sangat jarang diikutkan dalam pelatihan-
pelatihan untuk dapat meningkatkan kemampuannya. Padahal seorang guru, secara garis besar harus
mempunyai kemampuan untuk :
1. penguasaan materi/bahan pelajaran
2. perencanaan program proses belajar-mengajar
3. kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar
4. kemampuan penggunaan media dan sumber pelajaran
5. kemampuan evaluasi dan penilaian
6. kemampuan program penyuluhan dan bimbingan

Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen


Sejak awal pembahasan UU Guru dan Dosen, pertanyaan yang banyak muncul di masyarakat luas
adalah : “ Untuk siapa UU Guru dan Dosen tersebut ? “ hal ini mengemuka karena ada kekhawatiran UU
tersebut tidak dapat memayungi seluruh guru. Dengan kata lain ditakutkan adanya proses diskriminasi
antara guru PNS dan guru swasta. Khusus posisi guru swasta selama ini memang seolah-olah tidak dipayungi
oleh UU yang ada meskipun secara eksplisit sudah tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dari sudut UU kepegawaian jelas tidak mengkhususkan untuk guru, karena
yang diatur adalah pegawai pemerintah (PNS) sedangkan dari sudut UU Ketenagakerjaan juga akan sangat
sulit karena penyelenggara pendidikan adalah yayasan. Sehingga guru tidak dapat dikategorikan sebagai
tenaga kerja atau buruh. Bisa dikatakan sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, guru-guru tidak mempunyai
payung hukum yang jelas yang memang mengatur segala sesuatu secara khusus yang menyangkut guru,
seperti halnya dengan UU Tenaga Kerja dan UU Kepegawaian.
UU Guru dan Dosen mendapatkan sambutan yang hangat, terutama dari kalangan pendidik. UU ini
dianggap bisa menjadi payung hukum untuk guru dan dosen tanpa adanya perlakuan yang berbeda antara
guru negeri dan swasta. Meskipun di beberapa bagian masih sangat hangat diperbincangkan dan menjadi
perdebatan yang sangat seru. UU Guru dan Dosen secara gamblang dan jelas mengatur secara detail aspek-
aspek yang selama ini belum diatur secara rinci. Semisal, kedudukan, fungsi dan tujuan dari guru, hak dan
kewajiban guru, kompetensi dan lainnya. Yang perlu digaris bawahi dan mendapat sambutan positif dari
masyarakat terhadap UU Guru dan Dosen adalah hal-hal yang menyangkut :
a. Kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi
b. Hak dan kewajiban
c. Pembinaan dan pengembangan
d. Penghargaan
e. Perlindungan
f. Organisasi profesi dan kode etik
Enam indikator diatas belum diatur secara rinci, sehingga sangat sulit untuk mengharapkan
profesionalitas guru-guru di Indonesia. Ada beberapa hal dalam UU Guru dan Dosen yang sampai saat ini
masih hangat dibicarakan, hal-hal tersebut adalah :
a. Standardisasi.
- Standardisasi penyelenggaraan pendidikan
Sampai saat ini cukup banyak penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan) yang tidak jelas
keberadaannya. Dalam pelaksanaanya banyak lembaga pendidikan yang belum memenuhi standar
mutu pelayanan pendidikan dan standar mutu pendidikan yang diharapkan. Hal ini disebabkan
yayasan-yayasan tersebut terkesan memaksakan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan,
sehingga banyak lembaga pendidikan yang tidak layak, karena sarana dan prasarana pendidikan
yang jauh dari memadai, guru yang tidak kompeten, organisasi yang tidak dikelola dengan baik dan
lainnya. Penyelenggara pendidikan seperti diatas jumlahnya cukup besar di indonesia. Dengan

213
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
lahirnya UU Guru dan Dosen diharapkan dapat menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas mutu
pelayanan pendidikan di masyarakat baik itu negeri maupun swasta.
- Standardisasi kompetensi guru
Hal ini akan tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan tentang Sertifikat Profesi
Pendidik. Pasal 8 menyebutkan : ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional”. Banyak pihak mengkhawatirkan program sertifikasi ini yang nantinya akan
menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang mengarah pada terciptanya lembaga
yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru. Yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi
pendidikan bangsa. Sedang semangat dari pasal ini adalah untuk meningkatkan kompetensi pendidik
itu sendiri, serta berusaha lebih menghargai profesi pendidik. Dengan sertifikasi diharapkan lebih
menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai
langkah menjadikan guru sebagai tenaga profesional.
b. Kesejahteraan atau Tunjangan.
11 item Hak Guru yang tercantum pada pasal 14 UU Guru dan Dosen adalah bentuk penghargaan
pemerintah dan masyarakat kepada guru. Untuk indikator penghasilan guru PNS sudah diatur Pasal 15
ayat 1. Guru berhak untuk mendapatkan tunjangan, yaitu :

1. Tunjangan profesi
2. Tunjangan Fungsional
3. Tunjangan Khusus
Tiga jenis tunjangan diatas diatur dalam pasal 16,17 dan 18 UU Guru dan Dosen. Tunjangan profesi
diberikan kepada guru baik guru PNS ataupun guru swasta yang telah memiliki sertifikat pendidik.
Disamping tunjangan diatas, guru juga berhak untuk memperoleh ”maslahat tambahan” yang tercantum
dalam pasal 19 UU Guru dan Dosen. Maslahat Tambahan tersebut meliputi :
1. Tunjangan pendidikan
2. Asuransi pendidikan
3. Beasiswa
4. Penghargaan bagi guru
5. Kemudahan bagi putra-putri guru untuk memperoleh pendidikan
6. Pelayanan kesehatan
7. Bentuk kesejahteraan lain
c. Organisasi profesi dan dewan kehormatan
Dengan lahirnya UU Guru dan Dosen ini diharapkan bisa didirikan organisasi profesi yang dapat
mewadahi (terutama) guru yang dapat menjalankan fungsinya sebagai orgnisasi profesi yang
independen dan diharapkan dapat menjadi lembaga yang benar-benar memperjuangkan nasib guru.
Demikian pula dengan dewan kehormatan yang tercipta dari organisasi profesi yang independen
diharapkan menjadi pengawal pelaksanaan kode etik guru.
d. Perlindungan
Setiap guru berhak mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya. Perlindungan untuk guru
meliputi :
1. Perlindungan hukum
Perlindungan hukum mencakup perlindungan atas tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil.
2. Perlindungan profesi
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pelecehan terhadap
profesi serta pembatasan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.

3. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja


Perlindungan ini mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan
kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja atau resiko lain.
214
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
UU Guru dan Dosen mungkin masih harus di perdebatkan dalam rangka memperbaikinya di masa
yang akan datang. Apalagi ada beberapa hal memang tidak serta merta dapat dilaksanakan. Pemberian
tunjangan kepada seluruh guru, akan sangat tergantung anggaran pemerintah. Sehingga pada saat
anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen dari APBN maka akan sangat sulit dilaksanakan. Demikian
pula dengan program sertifikasi dan lainnya, masih memerlukan proses untuk pelaksanaan dan mencapai
tujuan yang diharapkan. Namun diharapkan dengan adanya 2 (dua) undang-undang yaitu Undang-Undang
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen diharapkan akan memperbaiki
mutu pendidikan nasional secara keseluruhan. Selain itu mutu pendidikan pertanian pun meningkat.
Rendahnya teknologi dan produksi pertanian kita tidak terlepas dari peran tenaga pendidik dan distribusinya
oleh karena itu diharapkan ada kebijakan dari pemerintah utnuk meningkatkan SDM pertanian di seluruh
wilayah Indonesia tidak hanya di Jawa saja tetapi dari Sabang sampai Merauke. Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia berimbas pada rendahnya inovasi dalam mengembangkan pertanian di Indonesia
khususnya nilai tambah produk pertanian. Oleh karena itu, jika nilai tambah produk pertanian Indonesia
rendah maka dipastikan produk-produk pertanian di Indonesia tidak bisa berdaya saing di kancah
perdagangan produk pertanian dunia. Dari kondisi pendidikan baik pendidikan formal maupun informal di
bidang pertanian maka solusi yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah bukan hanya memberikan
beasiswa untuk meningkatkan kualitas pendidik saja, tetapi juga pemerintah berperan dalam menyadarkan
pada insan terdidik untuk bisa berkontribusi pada daerah tertinggal khususnya daerah yang minim akan
informasi dan teknologi pertanian. Salah satu solusi untuk mengatasi kondisi ini adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan Jarak Jauh Pertanian (PJJP)


Menyikapi permasalahan diatas, salah satu langkah solutif yang di tempuh adalah
mengupayakan akreditasi para Guru dan pendidik pertanian didaerah melalui Pendidikan Jarak
Jauh pertanian (PJJP). Program PJJP ini bertujuan untuk memberikan akreditasi sekaligus
menjamin para guru dan tenaga pendidik pertanian dengan gelar belum DIII agar tetap belajar
tanpa harus harus meninggalkan pekerjaan atau pelayanan mereka di daerah tertinggal, sawah
dan sentra pertanian yang ada. Sasaran didik dari program PJJP adalah tenaga pendidik
pertanian PNS dan Non-PNS yang secara sosial, ekonomi dan waktunya tidak memungkinkan
mengikuti pendidikan lanjutan melalui jalur reguler. “Program PJJP adalah program pendidikan
jarak jauh yang memberikan kesempatan strategis kepada para pendidik pertanian di daerah
tertinggal untuk mengikuti kuliah tanpa harus meninggalkan tempat pelayanan mereka; Dengan
demikian tidak mengganggu akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanannya mereka di
sentra-sentra pertanian maupun daerah tertinggal yang butuh tenaga pendidik pertanian.
2. Perangkat dan Langkah Pengembangan PJJP
Perangkat PJJP terdiri dari enam unsur seperti lembaga penyelenggara, teknologi informasi dan
komunikasi, strategi pembelajaran, materi ajar, tutor/dosen dan peserta belajar. Langkah-
langkah pengembangan PJJP mencakup penetapan modul, pengembangan sistem pembelajaran
(design), pengembangan konten, struktur dan sumberdaya manusia penyelenggara serta
implementasi dan yang terakhir adalah Monitoring dan Evaluasi (M&E). Dengan adanya langkah
dan solusi tersebut diharapkan distribusi Informasi dan pendidikan pertanian di Indonesia bisa
meningkat. Selain itu juga pengaruh teknologi terhadap pendidikan pertanian sangat penting.

Pengaruh Teknologi Sistem Informasi terhadap Perkembangan dan Implementasi


Sistem Pendidikan Pertanian dalam Bidang Agribsinis
Kemajuan-kemajuan teknologi informasi dunia sangat mempengaruhi rancangan dan implementasi
sistem informasi pendidikan khususnya di bidang pertanian di masa mendatang, yang menjadi pertanyaan
besar adalah kesiapan para pendidik menggunakan kemajuan tersebut sesuai dengan kondisi objektif yang
ada dalam lingkungan pendidikan pertanian. Dalam akuisisi teknologi informasi diperlukan pertimbangan-
pertimbangan yang matang agar segala sesuatu yang dirancang saat ini tidak ketinggalan setelah
diimplementasikan. Pemilihan sistem yang mengikuti standar internasional merupakan pertimbangan utama
dalam perancangan. Lingkungan organisasi pendidikan yang besar dan melibatkan bagian-bagian yang
beragam pasti akan membawa kearah rancangan yang sangat bervariasi, untuk memenuhi kebutuhan
215
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
bagian-bagian organisasi yang sangat tinggi variasinya. Ada dua alternatif untuk menghadapi kemajuan
teknologi informasi yang menghasilkan berbagai macam produk. Alternatif pertama dengan menerapkan
standar yang harus dipatuhi dalam pembangunan SIMPTAN (Sistem Informasi Manajemen Pendidikan
Pertanian). Problema dari alternatif ini adalah sulit menentukan standar mana yang harus diikuti, serta
membatasi fleksibilitas pengguna. Namun alternatif ini menguntungkan karena mengurangi masalah-masalah
yang bervariasi. Alternatif kedua adalah membebaskan pengguna memilih apapun yang akan digunakannya.
Alternatif ini akan menimbulkan masalah keruwetan integrasi yang memerlukan sumber daya yang tidak
murah. Cara terbaik untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul karena alternatif-alternatif di atas adalah
dengan mengikuti standar yang memungkinkan integrasi berbagai sistem mudah dilakukan misalnya standar
untuk sistem terbuka (open systems). Jaringan komunikasi data yang baik merupakan backbone dari sebuah
sistem yang beragam. Jaringan ini harus mampu mendukung berbagai protokol dan melakukan konversi
antar protokol.
Teknologi Very Small Aperture Terminal (VSAT) yang diperkirakan sudah mampu membentuk
sambungan mesh antar VSAT ke VSAT (sebelumnya VSAT mendukung topologi star saja) yang dilengkapi
dengan konverter protokol merupakan salah satu alternatif lain yang lebih murah adalah dengan
menggunakan communication engine yang mampu melakukan fungsi-fungsi ini dan hanya menggunakan
jaringan telekomunikasi sebagai media transportasi saja. Alternatif ini memungkinkan penyederhanaan
jaringan yang mampu menangani dan mengkonversikan berbagai protokol sekaligus mendukung aplikasi-
aplikasi yang memerlukan multipoint link. Dalam perancangan sistem jaringan ini juga perlu dipertimbangkan
penggunaan protokol yang fleksibel yang mendukung berbagai perangkat keras maupun perangkat lunak.
Pemilihan perangkat International Standard Operation (ISO) mungkin merupakan alternatif yang aman
meskipun sampai saat ini dukungan penjual sistem komputer untuk protokol ISO masih sangat terbatas
(Indrajit, 2000). Dengan perkembangan teknologi Informasi dan distribusi tenaga pendidik pertanian bukan
tidak mungkin pembangunan pertanian khususnya agribsinis pun bisa terwujud. Sebagai contoh Jepang saja
sebelum menjadi Negara maju di berbagai bidang, fokus utama pembenahan pembangunan negaranya
setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki adalah pencarian tenaga pendidik yang masih tersisa dan
mewajibkan mereka untuk menyebar keseluruh wilayah di Jepang untuk bisa memberikan pelayanan
pendidikan, dan para guru dan tenaga pendidik tersebut pun dijamin oleh pemerintah dalam hal kehidupan
mereka agar mereka tetap sejahtera. Belajar dari sejarah Jepang tersebut maka diharapkan tulisan ini
menjadi stimulus bagi pemerintah untuk bisa meningkatkan dan mendistribusikan tenaga pendidik pertanian
secara merata diseluruh wilayah Indonesia. Karena tenaga pendidik ini dalam sisitem agribisnis merupakan
supporting dalam keberhasilan suatu komoditas pertanian.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
Badan Penelitian dan Pengembangan. 2004. Guru Menurut Ijazah Tertinggi Tahun 2002/2003
Direktorat Tenaga Kependidikan. 2004. Kekurangan Guru Tahun 2004 – 2005
Indrajit, Richardus Eko. 2000. Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Jakarta: Elex Media
Komputindo
Wiryana. 2001. Open Source Campus Agreement Pengenalan Linux. Jakarta: Gunadarma

216
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
31.ANALISIS KOMPARASI SALURAN PASAR TRADISIONAL DAN
MODERN PADA KOMODITAS SAYURAN DI KECAMATAN
PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

Fitriyani Mir‟ah Aliyatillah1, Harianto2, dan Anna Fariyanti3


123
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
1
Jl. Kamper Kampus IPB Dramaga Wing 4 Lantai 3 Bogor 16680

(Email:aliyatillah@gmail.com)

ABSTRAK

Pangalengan merupakan sentra produksi sayuran yang ditargetkan berkontribusi dalam peningkatan ekspor
sayuran khususnya ke Singapura. Pasar ekspor merupakan bagian darisaluran pasar modern yang
mendorong petani untuk menerapkan good agriculture practices dan pelaku pemasaran sayuran unruk
melakukan fungsi pemasaran dalam rangka memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas di pasar tersebut.
Pasar modern juga menawarkan harga jual sayuran yang stabil berdasarkan kesepakatan kerjasama
sedangkan pasar tradisional menghadapi fluktuasi harga sayuran yang memicu tidak terintegrasinya pasar.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis aktivitas pemasaran komoditas sayuran di Pangalengan; (2)
menganalisis integrasi pasar sayuran di Pangalengan; dan (3) menganalisis dampak saluran pasar modern
terhadap petani dan saluran pasar tradisional.Sayuran yang diteliti dalam penelitian ini adalah kentang,
tomat, kubis, dan wortel.Data primer didapatkan dari 3 desa di Pangalengan dengan 31 responden petani
dan 15 responden pedagang.Metode yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di saluran pasar modern terdapat penambahan fungsi pemasaran.Analisis integrasi
pasar menunjukkan bahwa secara umum sayuran di pasar tradisional tidak terintegrasi.Hal ini disebabkan
oleh tidak seimbangnya informasi pasar antara petani dan pedagang.Dampak saluran pasar modern terhadap
saluran pasar tradisional antara lain menurunnya volume perdagangan, bertambahnya fungsi pemasaran,
dan semakin pendeknya saluran pemasaran.Adapun dampak saluran pasar modern terhadap petani adalah
meningkatnya produktivitas sayuran, meningkatnya keuntungan dan meningkatnya kualitas sayuran yang
dihasilkan.

Kata kunci: Pasar tradisional, Pasar modern, Saluran Pasar, Sayuran, Integrasi Pasar

ABSTRACT
Pangalengan is one of vegetables production center in Indonesia which is also targeted to meet the demand
of horticultural products export to Singapore.The export market as a part of modern marketing channels
push the farmers to apply good agricultural practices to fulfill the requirements of consistent quality and
continuous quantity. The aims of this research are to: (1) analyze the marketing activities of vegetables in
Pangalengan; (2) analyze the market integration of vegetables in Pangalengan; and (3) analyze the impact of
modern market channels to farmers and traditional market channels. Vegetables in this research are potato,
tomato, cabbage and carrot. Primary Data obtained from 31 farmers and 15 traders in Pangalengan. Data
analysis was done qualitatively and quantitatively. The results showed that market of vegetables between
farmers and retailers in Pangalengan were unintegrated. The impact of modern market channels to
traditional market channels are declining trading volume of vegetables, adding of marketing functions, and
shortening marketing channels. While the impact of modern market channels to farmers are increasing the
productivity of the vegetables, increased profits, and increasing the quality of the vegetables.
Keywords: Traditional Market, Modern market, Vegetables, Market Integration

217
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Analisis Komparasi Saluran Pasar Tradisional dan Modern pada Komoditas Sayuran di
Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung
Comparative Analysis of Traditional and Modern Market Channels
of Vegetables in the District of Pangalengan, Bandung Regency

Fitriyani Mir‟ah Aliyatillah1; Harianto2; Anna Fariyanti3


1
Student at Science in Agribusiness Graduate Programme, Faculty of Economics and Management, Bogor
Agricultural University. Email: aliyatillah@gmail.com
2, 3
Lecturer at Agribusiness Graduate Programme, Faculty of Economics and Management,
Bogor Agricultural University

PENDAHULUAN

Sayuran merupakan komoditas hortikultura yang penting untuk dikembangkan karena memiliki
permintaan pasar yang tinggi baik di dalam maupun luar negeri. Konsumsi per kapita sayuran di Indonesia
dari tahun 2006 sampai 2011 mengalami pertumbuhan sebesar 36.5 persen sehingga permintaan akan
sayuran di dalam negeri pun meningkat (BPS 2011). Namun kondisi neraca perdagangan sayuran Indonesia
sampai dengan tahun 2009 masih bernilai negatif dengan nilai ekspor sebesar 100 juta USD sedangkan nilai
impor mencapai 298 juta USD. Walaupun demikian, potensi ekspor masih besar dan variatif yang terbukti
dari trend ekspor dari tahun 2005 sampai dengan 2009 yang bernilai positif 10 persen. Adapun Negara
tujuan ekspor sayuran Indonesia antara lain Cina, India, Singapura, Jepang, Malaysia, Filipina, Korea,
Taiwan, dan Thailand (ACDI-VOCA 2011). Salah satu permintaan ekspor sayuran Indonesia adalah berasal
dari Singapura dimana permintaannya pada tahun 2014 mendatang mencapai 30 persen dari total impor
buah dan sayuran Indonesia. Permintaan tersebut baru dapat dipenuhi sebesar 6 persennya saja di tahun
2010.Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan pedoman teknis akselerasi peningkatan ekspor hortikultura
ke Singapura (Kemendag 2012).
Pasar ekspor sayuran Indonesia merupakan salah satu contoh pasar terstruktur yang dicirikan oleh
adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli baik secara lisan ataupun tertulis terkait dengan harga,
kualitas, kuantitas, dan persyaratan lainnya (Perdana 2011). Selain pasar ekspor sayuran Indonesia, pasar
terstruktur yang pada penelitian ini disebut sebagai pasar modern juga mencakup lingkup domestik seperti
ritel modern, agroindustri, dan food service industry seperti restoran. Adapun yang menjadi fokus pasar
modern dalam penelitian ini adalah pasar ekspor serta restoran yang secara nasional pertumbuhannya
mencapai 2.09 persen di tahun 2011 (BPS 2011).
Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi sayuran di Indonesia yang berkontribusi cukup
besar terhadap produksi sayuran nasional. Pada tahun 2011, Jawa Barat menjadi penghasil sayuran Nasional
seperti kubis sebesar 21.97 persen, tomat 37.19 persen, kentang 25.93 persen, cabe merah 21.98 persen
dan bawang merah 11.34 persen (Disperta 2012). Selain memasok kebutuhan nasional, Jawa Barat
khususnya Pangalengan juga merupakan salah satu wilayah yang ditargetkan dapat berkontribusi dalam
pemenuhan ekspor sayuran sesuai dengan yang tercantum dalam pedoman teknis akselerasi peningkatan
ekspor hortikultura ke Singapura.
Pasar modern menawarkan harga yang stabil sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan
pembeli.Penurunan dan kenaikan harga sayuran di konsumen seharusnya dapat diintegrasikan dengan baik
di tingkat petani sehingga mencerminkan efisiensi pemasaran.Namun di saluran pasar tradisional di
Pangalengan, harga yang diterima petani tidal selalu mengikuti kenaikan atau penurunan harga di tingkat
konsumen.Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.Walaupun efisiensi saluran pasar modern terbukti lebih baik
dibanding saluran pasar tradisional (Aparna dan Hanumanthaiah 2012), namun tingkat efisiensi dapat
berbeda karena dipengaruhi juga oleh kondisi geografis dan karakteristik responden.Oleh karena itu, analisis
integrasi pasar sayuran penting dilakukan.
Beberapa peneliti mengkaji dampak pasar modern terhadap perekonomian, petani, dan pasar
tradisional terutama di Negara berkembang.Beberapa pihak memandang bahwa makin meluasnya pasar
modern seperti ritel modern di Indonesia, dengan laju mencapai 31 persen per tahun, pertumbuhan ekonomi

218
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
serta iklim persaingan usaha menjadi lebih baik (SMERU 2007). Sementara pihak lainberpendapat bahwa di
era globalisasi, pasar tradisional kehilangan pelanggan akibat praktik usaha yangdilakukan oleh

supermarket. Namun penyebab utama kalah bersaingnya pasar tradisional adalah lemahnya manajemen dan
buruknya infrastruktur, bukan semata-mata karena keberadaan ritel modern(Schipmann and Qaim 2011).
14000
Kentang Harga
12000 Petani
Kentang Harga
10000 Pengecer
Harga (Rp/Kg)

Tomat Harga
8000 Petani
Tomat Harga
6000 Pengecer
Kubis Harga
4000 Petani
Kubis Harga
2000 Pengecer
Wortel Harga
0 Petani
Wortel Harga
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49
Pengecer
Data Mingguan April 2012- Maret 2013

Gambar 1 Fluktuasi harga sayuran


Sumber: Disperta Jawa Barat, 2013

Dampak saluran pasar modern terhadap petani sayuran masih menjadi kontroversi.Terdapat hasil
penelitian yang kontras dalam melihat dampak saluran pasar modern terhadap petani hortikultura khususnya
di Negara berkembang.Sebagian besar hasil penelitian menyebutkan bahwa saluran pasar modern merugikan
petani produk agribisnis terutama petani kecil karena kemungkinan mereka dalam menghasilkan produk yang
diinginkan oleh konsumen sangat kecil.Studi empiris ditunjukkan oleh Cartey dan Mesbah (1993) juga
mengungkapkan bahwa petani kecil sangat sedikit partisipasinya dalam ekspor buah di Negara Chili. Begitu
juga dengan ekspor sayuran di Kenya yang tidak melibatkan petani sehingga saluran pemasaran tersebut
sama sekali tidak menguntungkan bagi petani lokal. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan fakta
yang berbeda.Saluran pasar modern justru membantu meningkatkan pendapatan dan aset petani kecil. Hal
ini dibuktikan oleh Hernandez et al. (2007) yang mengungkapkan hasil penelitiannya di Guatemala, di mana
ribuan petani skala kecil mendapat manfaat dan pendapatan yang lebih tinggi ketika menjadi pemasok dalam
saluran pasar modern untuk komoditas jagung. Selain meningkatkan pendapatan, saluran pasar modern juga
dapat meningkatkan produktivitas dan akses tenaga kerja lokal yang lebih baik.Hal senada diungkapkan oleh
Huang dan Reardon (2008) yang menyebutkan bahwa saluran pasar modern memiliki dampak positif bagi
petani yaitu peningkatan pendapatan, teknologi produksi yang semakin membaik dan menciptakan lowongan
pekerjaan yang baru bagi masyarakat. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan,
tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis aktivitas pemasaran komoditas sayuran di Pangalengan; (2)
menganalisis integrasi pasar sayuran di Pangalengan; dan (3) menganalisis dampak saluran pasar modern
terhadap petani dan saluran pasar tradisional.

METODE PENELITIAN

Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) di tiga desa di Kecamatan
Pangalengan yaitu Desa Pangalengan, Desa Margamekar, dan Desa Margamukti.Pemilihan ketiga desa
tersebut adalah berdasarkan produksi tertinggi di Kecamatan Pangalengan.Adapun komoditas sayuran yang
diteliti adalah kentang, kubis, wortel, dan tomat.Alasan pemilihan keempat komoditas sayuran tersebut
adalah karena merupakan sayuran di Jawa Barat dengan produktivitas yang tinggi.Pengambilan data primer
dilakukan dari bulan Maret sampai April 2013.

219
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

Jenis Dan Sumber Data


Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.Data primer didapatkan dari petani,
pedagang, dan lembaga pemasaran sayuran yang ada di Kecamatan Pangalengan. Jumlah petani dalam
penelitian ini adalah 31 orang yaitu 13 petani dari Desa Margamekar, 10 petani dari Desa Pangalengan, dan
8 petani dari Desa Margamukti. Jumlah petani kentang adalah 14 orang untuk pasar tradisional dan 2 orang
untuk pasar modern; Petani tomat berjumlah 19 orang untuk pasar tradisional dan 5 orang untuk pasar

modern; Petani kubis berjumlah 17 orang untuk pasar tradisional dan 1 orang untuk pasar modern; serta
petani wortel berjumlah 10 orang yang keseluruhannya memasok ke pasar tradisional. Jumlah responden
tersebut berbeda karena setiap petani mengusahakan sayuran dengan sistem tumpang sari dengan
komposisi yang berbeda. Adapun jumlah pedagang yang diwawancara adalah 15 orang yang mana 10 orang
di perdagangan kentang, 7 orang di perdagangan tomat, 7 orang di perdagangan kubis, dan 4 orang di
perdagangan wortel. Selain itu, data terkait didapatkan dari kantor kecamatan setempat. Penelitian ini juga
mengunakan data sekunder berupa data time series harga mingguan sayuran yaitu kentang, tomat, kubis
dan wortel di tingkat petani dan ritel di pasar tradisional dari bulan April 2012 sampai dengan Maret 2013
(n=49). Data sekunder lainnya didapatkan dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan, Disperta Jawa Barat, FAO, serta publikasi ilmiah lain yang relevan.
Metode Pengolahan Dan Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui
lembaga pemasaran sayuran yang terlibat, aktivitas pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran yang terjadi dan
dampak saluran pasar modern terhadap petani serta saluran pasar tradisional.Adapun analisis kuantitatif
melalui Microsoft Excel dilakukan untuk menganalisis tingkat keuntungan petani terkait dampak saluran
pemasaran modern, serta analisis integrasi pasar melalui Eviews.Data yang dihasilkan dari pengolahan
software tersebut kemudian diintrepetasikan secara ekonomi dari sudut pandang agribisnis.Analisis
keuntungan dimulai dari merinci biaya dan penerimaan petani dengan satuan rupiah per hektar. Keuntungan
petani didapatkan dari total penerimaan dikurangi total biaya.Integrasi pasar merupakan analisis seberapa
jauh pembentukan harga suatu komoditas pada tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga di
tingkat lembaga lainnya.Analisis keterpaduan pasar dalam penelitian ini mengacu pada model yang
dikembangkan oleh Ravallion (1986) dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Adapun
persamaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
Pf(i) = (1+b1) Pf(i)1 + b2 Pr(i)FD + (b3-b1) Pr(i)1 + C
Dimana:
Pf(i) : harga sayuran di tingkat petani pada April (Minggu ke-1) 2012 sampai Maret (Minggu ke-1) 2013
Pr(i) : harga sayuran di tingkat ritel pada April (Minggu ke-1) 2012 sampai Maret (Minggu ke-1) 2013
Pf(i)1 : harga sayuran di tingkat petani Maret (Minggu ke-4) 2012 sampai Februari (Minggu ke-4) 2013
Pr(i)1 : harga di tingkat ritel interval Maret (Minggu ke-4) 2012 sampai Februari (Minggu ke-4) 2013
C : faktor musim dan faktor lain
(1+b1) : koefisien lag harga sayuran di tingkat petani
b2 : koefisien lag harga sayuran di tingkat ritel
(b3-b1) : koefisien lag harga sayuran di tingkat ritel antara April (Minggu ke-1) 2012 sampai Maret (Minggu
ke-1) 2013; dengan Maret(Minggu ke-4) 2012 sampai Februari (Minggu ke-4) 2013
FD : First Difference atau perbedaan harga sayuran di tingkat ritel
i : Sayuran yang terdiri dari kentang, tomat, kubis, wortel
IMC (Index of Market Connection) atau indeks hubungan pasar merupakan perbandingan antara
koefisien pasar lokal pada periode sebelumnya dengan koefisien pasar acuan pada periode sebelumnya.
Berikut rumus matematikanya IMC = (1+b1)/ (b3-b1) atau b1/b3. Adapun ketentuan suatu pasar dikatakan
terintegrasi dengan kuat atau lemah ditunjukkan pada Tabel 1

220
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 1 Kriteria integrasi pasar
Keterangan Jangka Pendek Jangka Panjang
Integrasi Kuat IMC mendekati 0 atau IMC < 1 b2 mendekati 1 (> 0.5)
Integrasi Lemah IMC > 1 b2 mendekati 0 (< 0.5)
Tidak terintegrasi IMC tinggi b2 sangat mendekati 0
Sumber: Ravallion (1986)

AKTIVITAS PEMASARAN SAYURAN DI KECAMATAN PANGALENGAN


Lembaga pemasaran pada saluran pasar tradisional di Pangalengan memiliki sedikit perbedaan dengan
yang ada pada saluran pasar modern. Adapun lembaga pemasaran pada saluran pasar tradisional antara
lain: (1) Pedagang I yang berperan mengumpulkan sayuran dari petani dengan volume perdagangan

kurang dari tiga ton per hari; (2) Pedagang II yang berperan sebagai pihak yang mendistribusikan sayuran
ke pasar-pasar induk seperti pasar induk Kramat Djati, pasar induk Caringin, dan pasar lainnya dimana
volume perdagangannya lebih dari atau sama dengan 7 ton per hari; (3) Grosir di Pasar Tradisional yang
berperan sama seperti Pedagang II namun berlokasi khusus di suatu pasar tertentu; dan (4) Pedagang
pengecer berperan berperan menyalurkan sayuran kepada konsumen. Adapun lembaga pemasaran yang
terlibat dalam saluran pasar modern di Pangalengan antara lain: (1) Pedagang III atau pedagang besar
berperan penting sebagai pihak yang mengadakan kerjasama dengan pasar modern dan memiliki volume
perdagangan lebih dari 7 ton per hari; (2) Restoran sebagai salah satu pasar modern pada komoditas tomat
dan kubis; (3) Eksportir merupakan pasar modern untuk tomat dan kentang di Pangalengan.
Secara umum, aktivitas pemasaran antara petani yang memasok ke saluran pasar tradisional sedikit
berbeda dibandingkan dengan aktivitas pemasaran petani di saluran pasar modern.Hal yang
membedakannya adalah pada komoditas kentang dan tomat, petani pasar modern sudah melakukan fungsi
fisik berupa grading sehingga mendapatkan nilai jual yang lebih tinggi.Pada komoditas kubis, petani pasar
modern melakukan tambahan fungsi pemasaran berupa pengepakan dan sortasi sedangkan pada petani di
saluran pasar tradisional tidak dilakukan.Biaya pemasaran yang dikeluarkan petani tradisional di keempat
komoditas yang dianalisis lebih banyak untuk membayar penyedia jasa perantara (Calo) sedangkan biaya
pemasaran di saluran pasar modern lebih dialokasikan untuk menambah nilai sayuran yang tercermin dari
lebih banyak dilakukannya fungsi pemasaran.
Keberadaan pasar modern seperti eksportir dan restoran merupakan alternatif pemasaran yang baik
bagi petani sayuran di Pangalengan.Walaupun demikian, peranan pasar tradisional tetap vital karena lebih
dari 80 persen sayuran yang dihasilkan petani disalurkan ke pasar tradisional.Namun, aktivitas pemasaran
yang dilakukan di saluran pasar tradisional dapat ditingkatkan terutama dengan dilakukannya fungsi
pemasaran untuk menambah nilai guna sayuran yang dihasilkan sehingga harga jual yang didapat petani
juga lebih baik.Hal ini dapat ditempuh dengan meminimalisir peran jasa perantara dan memperkuat
hubungan petani dengan pedagang melalui kemitraan.

INTEGRASI PASAR SAYURAN DI PANGALENGAN

Integrasi pasar vertikal merupakan pengukuran seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi
pada satu tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya.Secara sederhana
adalah bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar acuan dengan mempertimbangkan
harga pada waktu yang lalu dengan harga yang terjadi pada saat ini.Perubahan harga pada pasar lokal dapat
disebabkan oleh adanya perubahan marjin pada pasar lokal dan pasar acuan pada waktu yang sebelumnya
(lag-time).Analisis integrasi pasar vertikal yang dianalisis yaitu integrasi jangka pendek dan integrasi jangka
panjang.Analisis integrasi pasar sayuran baik kentang, tomat, kubis, maupun wortel pada jangka pendek
dianalisis dengan menggunakan Index of Market Connection (IMC).Adapun analisis integrasi jangka panjang
dapat dilihat pada nilai b2.Integrasi pasar yang dilakukan pada penelitian ini adalah antara harga di tingkat
petani dengan harga di tingkat pedagang eceran.Secara ringkas hasil integrasi pasar dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2 Integrasi pasar komoditas sayuran
221
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Koefisien Output Integrasi
Komoditas IMC
b1 b2 b3 Jangka Pendek Jangka Panjang
Kentang 0.779 0.112 -0.059 13.201 Tidak Terintegrasi Lemah
Tomat 0.372 0.660 0.503 0.739 Kuat Kuat
Kubis 0.699 0.258 0.208 3.359 Lemah Lemah
Wortel 0.727 0.349 0.165 4.403 Lemah Lemah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komoditi kentang, harga di tingkat petani tidak memiliki
integrasi dengan harga di tingkat pedagang eceran dalam jangka pendek.Hal ini ditunjukkan dengan nilai
IMC yang tinggi.Artinya, perubahan harga kentang di tingkat ritel pada waktu sebelumnya tidak
memengaruhi harga kentang di tingkat petani pada saat ini.Adapun pada komoditas kubis dan wortel, nilai
IMC adalah lebih besar dari satu namun tidak terlalu tinggi.Hal ini menujukkan bahwa dalam jangka pendek
integrasi yang terjadi antara petani dan pedagang pengecer bersifat lemah. Dengan kata lain, harga kubis
dan wortel ditingkat petani saat ini dipengaruhi oleh harga kubis ditingkat ritel pada waktu sebelumnya
meskipun memiliki hubungan yang lemah. Adapun pada tomat, nilai IMC lebih besar dari 0.5 dan kurang dari
1, yaitu 0.739. Hal ini berarti integrasi jangka pendek yang terjadi bersifat kuat atau perubahan harga tomat
di tingkat ritel pada waktu sebelumnya sangat memengaruhi harga tomat di tingkat petani pada saat ini.
Hubungan jangka panjang antara petani dengan ritel dapat dilihat dari nilai koefisien b 2.Nilai b2 yang
kurang dari 0.5 pada komoditas kentang, kubis, dan wortel menunjukkan bahwa dalam jangka panjang
petani memiliki integrasi pasar yang lemah dengan pedagang eceran.Hal yang berbeda terjadi pada komoditi
tomat di mana hubungan antara petani dengan ritel dalam jangka panjang bersifat kuat yang ditunjukkan
oleh nilai b2 lebih besar dari 0.5.Berdasarkan hasil analisis terkait integrasi pasar sayuran di Pangalengan,
dapat diketahui bahwa secara umum sayuran di pasar tradisional belum terintegrasi dengan baik.Hal ini
terjadi karena petani di Pangalengan umumnya mendapatkan informasi dari para pedagang besar dengan
selang beberapa waktu.
DAMPAK SALURAN PASAR MODERN TERHADAP PETANI
Hadirnya saluran pasar modern menyebabkan terjadinya beberapa perubahan baik pada aktivitas
budidaya yang dilakukan petani maupun aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh petani sayuran di
Kecamatan Pangalengan. Terdapat beberapa indikator yang akan menjadi pembahasan dalam mengkaji
dampak saluran pasar modern pada petani di Kecamatan Pangalengan.
Produktivitas Sayuran Petani Menjadi Meningkat
Secara umum, produktivitas sayuran di saluran pasar modern lebih tinggi dibandingkan dengan
produktivitas sayuran di saluran pasar tradisional.Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa saluran pasar
modern memiliki pengaruh yang positif terhadap produktivitas sayuran yang diusahakan petani.Petani di
saluran pasar modern lebih aware terhadap budidaya sayuran yang baik dalam upaya menghasilkan sayuran
berkualitas karena termotivasi dengan harga jual yang tinggi.Adapun untuk wortel, karena tidak memasuki
pasar modern, produktivitasnya hanya disajikan untuk saluran pasar tradisional.Produktivitas sayuran di
saluran pasar tradisional dan modern di Pangalengan ditunjukkan oleh Tabel 3.
Tabel 3 Produktivitas Sayuran di Saluran Pasar Tradisional dan Modern di Kecamatan Pangalengan
Produktivitas per Hektar (Kg)
Saluran Pasar
Kentang Tomat Kubis Wortel
Tradisional 19,509.89 29,842.11 27,385.04 25,525.00
Modern 20,000.00 36,000.00 31,250.00 -
Perbedaan 490.11 6,157.89 3,864.96 -
Meningkatnya Kualitas Sayuran Yang Dihasilkan Petani
Pada saluran pasar tradisional, biasanya kentang yang diperjualbelikan petani adalah kualitas ABC
yang tercampur tanpa differensiasi harga.Berbeda dengan pasar modern yang menetapkan harga berbeda
sesuai dengan grade kentang yang dihasilkan.Begitu juga dengan komoditi tomat.Kualitas kentang dan tomat
yang baik dan digolongkan berdasarkan grade tertentu menghasilkan harga jual yang lebih tinggi
dibandingkan saat panen yang dijual secara abress.Kentang yang dihasilkan oleh petani pasar modern terdiri
dari kualitas Super/XL, Medium ABC, DN, TO dan Baby, sedangkan tomat terdiri dari kualitas super, A, B, dan
222
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
TO.Kentang dan tomat dengan ukuran paling kecil di pasar modern bahkan dihargai lebih tinggi dari kentang
atau tomat abress.Harga kentang dan tomat di pasar modern ditunjukkan oleh Tabel 4.
Tabel 4 Differensiasi harga kentang di pasar modern pada periode Januari sampai April 2013
Spesifikasi Harga dari Spesifikasi Harga dari restoran
Grade Kentang Grade Tomat
(Buah/Kg) eksportir (Buah/Kg) (Rp/Kg)
Super 10-15 6 500 Super 8-10 8 200
Medium ABC 16-20 6 000 A 11-15 7 700
Mini (TO) 21-30 4 500 B 16-20 7 000
DN/ Baby >30 4 500 TO >20 5 000
Pada komoditi kubis, hadirnya saluran pasar modern dalam hal ini restoran cukup berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas kubis yang dihasilkan petani.Terdapat tindakan pasca panen yang dilakukan
petanidiantaranya sortasi, pengelupasan lapisan luar kubis yang kotor, pelapisan bonggol kubis, dan
pengemasan dengan dibungkus koran. Adapun pada komoditi wortel, kualitas yang dihasilkan pada pasar
tradisional sudah cukup baik.Selanjutnya adalah perlunya negosiasi kerjasama dengan pasar modern.Secara
umum, dapat disimpulkan bahwa dengan hadirnya pasar modern dan saluran pasar yang mengikutinya,
petani dapat meningkatkan kualitas sayuran yang dihasilkan.Walaupun biaya yang dikeluarkan lebih tinggi,
namun keuntungan petani yang memasok ke pasar modern tetap lebih tinggi karena harga yang berlaku di
pasar modern pun lebih tinggi dari pasar tradisional.
Keuntungan Petani Menjadi Meningkat
Keuntungan petani yang memasok ke saluran pasar modern dari ketiga komoditas yang dipasarkan
yaitu kentang, tomat dan kubis terbukti lebih tinggi dibandingkan keuntungan petani yang memasok ke pasar
tradisional.Hal ini dicapai karena petani melakukan sistem budidaya dan aktivitas pemasaran yang lebih baik
sehingga menghasilkan produktivitas dan kualitas sayuran yang lebih baik juga.Akhirnya, petani mendapat
keuntungan yang juga lebih besar dibandingkan petani di saluran pasar tradisional yang ditunjukkan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan Pengusahaan Sayuran di Pangalengan
Saluran Pasar per Komodtitas (Rp 000)
Indikator per hektar Kentang Tomat Kubis Wortel
Tradisional Modern Tradisional Modern Tradisional Modern Tradisional
Biaya (TC) 62 103 63 955 60755 97 366 33 304 40625 19 505
Penerimaan (TR) 93 914 100 600 125 979 180202 56259 72265 40 441
Keuntungan (π) 31 811 36645 65224 82836 22954 31640 20 937
Rasio π/TC 0.51 0.57 1.07 0.85 0.69 0.78 1.07
DAMPAK SALURAN PASAR MODERN TERHADAP SALURAN PASAR TRADISIONAL
Menurunnya Volume Sayuran Di Pasar Tradisional
Volume produksi pada saluran pasar tradisional dengan hadirnya saluran pasar modern adalah lebih
kecil karena alokasi produk sayuran di lokasi penelitian terbagi ke pasar modern baik itu eksportir maupun
restoran. Volume perdagangan pada saluran pasar tradisional menjadi menurun di ketiga komoditas yang
dianalisis yaitu kentang sebesar 20.39 persen, tomat sebesar 23.34 persen, dan kubis sebesar 0.47 persen.
Gambar 2 menunjukkan alokasi volume sayuran setelah adanya pasar modern.

800000 624 775


Perdagangan (Kg)

467500 526 500


600000 volume ke
400000 180 600 Pasar
Volume

160000
2 500 Tradisional
200000
0
Kentang Tomat Kubis
Komoditas
Gambar 2 Alokasi volume sayuran setelah adanya saluran pasar modern

223
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Bertambahnya Fungsi Pemasaran Saluran Pasar Tradisional

Indikator kedua adalah fungsi pemasaran yang tumbuh ketika pasar modern menjadi tujuan
pemasaran.Berdasarkan pembahasan di bagian sebelumnya, dapat diketahui bahwa terdapat fungsi
pemasaran yang bertambah akibat dari keberadaan pasar modern.Bertambahnya fungsi pemasaran karena
pengaruh pasar modern dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Fungsi pemasaran yang tumbuh karena hadirnya pasar modern
Komoditas dan Fungsi-fungsi Pemasaran
Lembaga Pertukaran Fisik Fasilitas
Pemasaran Jual Beli Angkut Simpan Sortasi Risiko Biaya Informasi Pasar
Petani dan Pedagang III Kentang
Sebelum √ √ √ √ - √ √ √
Sesudah √ √ √ √ √ √ √ √
Petani Kubis
Sebelum √ - - - - √ √ √
Sesudah √ - √ - √ √ √ √

Bertambahnya fungsi pemasaran dapat dilihat pada komoditi kentang dimana petani dan pedagang III
melakukan penambahan fungsi fasilitas berupa sortasi dan grading.Penambahan fungsi juga terjadi pada
komoditi kubis yang dilakukan oleh petani dimana terdapat penambahan fungsi fasilitas berupa sortasi dan
fungsi fisik berupa pengangkutan.Berdasarkan kedua kasus empiris tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dengan adanya saluran pasar modern, fungsi pemasaran menjadi bertambah.
Saluran Pasar Tradisional Menjadi Lebih Pendek
Indikator ketiga yang dilihat untuk menganalisis dampak saluran pasar modern adalah memanjang
atau memendeknya saluran pemasaran.Hal ini dapat dilihat pada komoditi kentang dan tomat. Pada kedua
komoditas tersebut, peran pedagang I sama dengan pedagang II atau pedagang III. Dengan demikian,
petani akan menjual langsung sayurannya ke pedagang besar. Dengan demikian, saluran pemasaran menjadi
lebih pendek.Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pasar modern, saluran pasar menjadi
lebih pendek yang berindikasi pada semakin efisiennya pemasaran.Dalam pasar modern, informasi terbuka
seluas-luasnya sehingga tidak ditemukan adanya penyedia jasa perantara (calo) antara petani dan pedagang.
KESIMPULAN
Aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran di saluran pasar modern dan tradisional
terdapat perbedaan.Hal tersebut dicirikan oleh fungsi pemasaran yang dilakukan. Pada pasar tradisional,
fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani dan lembaga pemasaran sayuran yang memasok umumnya
terdiri dari: (1) fungsi fasilitas berupa sortasi, risiko, biaya, dan informasi; (2) fungsi fisik berupa
pengangkutan dan penyimpanan; serta (3) fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian. Namun pada
beberapa saluran pasar tradisional, petani tidak melakukan fungsi sortasi dan pengangkutan.Hal tersebut
yang membedakannya dengan saluran pasar modern dimana petani melakukan fungsi fasilitas berupa sortasi
dan fungsi fisik berupa pengangkutan.Pada komoditas kentang dan tomat bahkan petani di saluran pasar
modern sudah melakukan fungsi grading yang menambah nilai sayuran.Umumnya komoditas sayuran yang
dianalisis belum terintegrasi dengan baik karena informasi pasar yang datang ke petani lebih lambat
dibandingkan pedagang perantara.Adapun pada komoditi tomat, terintegrasi kuat karena informasi kepada
petani lebih terbuka dan disalurkan dengan cepat karena permintaan tomat pada saat penelitian sedang
tinggi.Dampak saluran pasar modern terhadap petani adalah meningkatnya produktivitas sayuran yang
dihasilkan, meningkatnya keuntungan, dan meningkatnya kualitas sayuran yang dipasarkan. Adapun dampak
saluran pasar modern terhadap saluran pasar tradisional antara lain berkurangnya volume perdagangan
sayuran di pasar tradisional, bertambahnya fungsi pemasaran, serta saluran pemasaran tradisional menjadi
lebih pendek.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Terbukanya jendela pasar regional dan internasional memberi peluang besar bagi Indonesia untuk
ikut berperan aktif dalam perdagangan internasional.Selain itu, pertumbuhan pasar modern menuntut produk
224
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
pertanian Indonesia khususnya sayuran untuk secara kontinyu dapat memasuki pasar tersebut dengan
kualitas yang unggul.Tingginya permintaan sayuran di pasar Internasional dan domestik perlu ditindaklanjuti
oleh para pelaku agribisnis sayuran terutama petani.Tidak hanya produktivitas tanaman yang perlu
ditingkatkan tetapi juga manajemen pemasaran yang harus diintegrasikan.Langkah yang dapat

dilakukan untuk mendukung terlaksananya hal tersebut adalah dengan penyediaan akses informasi.Akses
informasi ini ditujukan untuk seluruh pihak yang terlibat dalam sistem agribisnis khususnya sayuran.Oleh
karena itu, dengan informasi yang tersebar merata, diharapkan setiap pelaku tersebut dapat menjalankan
pasar yang adil.Terkait saluran pasar tradisional, pemerintah dapat menempuh langkah yang baik dengan
menciptakan iklim investasi di pasar tradisional.Tidak hanya menyediakan fasilitas atau infrastruktur di pasar
tersebut, tetapi juga menciptakan sistem pemasaran yang baik dengan mengintegrasikan seluruh lembaga
pemasaran yang terlibat dalam saluran pasar tradisional.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:[BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi
Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
- Carter, M. R.,& Mesbah, D. 1993. Can land market reform mitigate the exclusionary aspects of rapid
agro‐export growth? World Development, 21(7): 1085–1100.
- [Disperta Jabar] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat. 2012. Kontribusi
produksi sayuran Jawa Barat terhadap Nasional tahun 2011. Bandung (ID): Disperta Jabar.
- [Disperta Jabar] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat.2012. Pelayanan
Informasi Pasar Unit Sentra Pangalengan. Bandung (ID): Disperta Jabar.
- [Dirjen Hortikultura] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2012. Perkembangan PDB subsektor
hortikultura tahun 2006-2010. Jakarta (ID): Dirjen Hortikultura.
- ___________________________________________. 2012. Nilai ekspor hortikultura tahun 2007-
2011. Jakarta (ID): Dirjen Hortikultura.
- [Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2012. Indonesia Perluas Pasar Produk Hortikultura ke Eropa.
Jakarta (ID): Kemendag.
Sumber jurnal:
- [ACDIVOCA] Agricultural Cooperative Development International and Volunteers in Overseas
Cooperative Assistance. 2011. Indonesia: Export and Import Replacement Potential for Selected
Horticultural Products, A Market Window Analysis. Washington DC (US).
- Aparna, B., &Hanumanthaiah, C. V. 2012. Are supermarket more efficient than traditional market
channels?.Agricultural Economics Research Review (IN). 25(2):309-316.
- Cadilhon, J. J., Moustier, P., Poole, N. D., Tam, P. T. G., & Fearne, A.P. 2006. Traditional vs. Modern
Food Systems?Insights from Vegetable Supply Chains to Ho Chi Minh City (VN).Development Policy
Review, 24 (1): 31-49.
- Hernández, R., Reardon, T., & Berdegué, J. A. 2007.Supermarkets, Wholesalers, and Tomato
Growers in Guatemala.Agricultural Economics, 36(3): 281‐290.
- Huang, J., &Reardon, T. 2008. Patterns in and Determinants and Effects of farmers‟ Marketing
strategies in Developing Countries.Synthesis Report – Micro Study.Regoverning Markets-Small-scale
producers in modern agrifood markets.Sustainable Markets Group. London (GB): International
Institute for Environment and Development (IIED).
- Perdana, T., &Kusnandar. 2012. The Triple Helix Model for Fruits and Vegetables Supply Chain
Management Development Involving Small Farmers in Order to Fulfill the Global Market Demand: a
Case Study in “Value Chain Center (VCC) Universitas Padjadjaran. Procedia-Social and Behavioral,
52(09):80-89
- Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration.American Journal of Agricultural Economics (US).
68(1): 102-109.

225
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
- Schipmann, C., Qaim, M. 2011. Modern food retailers and traditional markets in developing
countries: Comparing quality, prices, and competition strategies in Thailand. Applied economic
Perspective and Policy, 33(03):345-354
Sumber Seminar:
- SMERU. 2007. Traditional Markets in The Era of Global Competition. Jakarta (ID): Newsletter April-
Juni.
Sumber Internet:
- Suryadarma, D., Poesoro, A., Budiyati, S., Akhmadi, Rosfadhila, M., 2008.Impact of Supermarkets on
Traditional Markets and Retailers in Indonesia‟s Urban Centers. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian
SMERU.http://www.smeru.or.id/report/research/supermarket/supermarket_eng.pdf

226
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
32.KERAGAAN STRUKTUR PASAR INPUT, INTERMEDIET DAN
OUTPUT PADA PETERNAK SAPI MADURA DI KABUPATEN
BANGKALAN
Fuad Hasan1, Andrie Kisroh Sunyigono2, dan Aminah Happy Moninthofa Ariyani3

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura


Email: fuad.hsn13@gmail.com

ABSTRAK
Program swasebada daging yang dicanangkan sejak 2000 hingga saat ini belum membuahkan hasil
yang diharapkan. Pemerintah selalu mengimpor sapi dan daging setiap tahunnya dengan trend yang terus
meningkat. Beberapa upaya yang ditempuh untuk mengurangi ketergantungan tersebut adalah
pengembangan spesies sapi potong lokal. Oleh karena pengembangan industri sapi Madura di Bangkalan
merupakan salah satu strategi yang diyakini mampu berkontribusi besar dalam mendorong pertumbuhan
populasi sapi potong lokal. Pengembangan jenis sapi ini akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan
bagi pertumbuhan populasi sapi potong karena jumlah sapi Madura adalah sekitar 20% dari total sapi yang
ada di Jawa Timur yang mencapai 4 juta ekor. Sedangkan jawa timur sendiri adalah sentra produksi sapi
potong dengan kontribusi sebesar ± 31%. Namun demikian ada beberapa kendala yaitu sebagian besar
pelaku usaha adalah peternak kecil dengan permodalan terbatas, teknologi yang masih sederhana dan belum
kuatnya rantai komoditas sapi potong. Penelitian tentang struktur pasar pada sapi Madura dilakukan untuk
mendorong tercapainya rantai komoditas yang efektif.
Tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui struktur pasar input, intermediet dan output
serta hambatan keluar dan masuk pada pasar sapi Madura. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bangkalan
yang meliputi Desa Banyior Kecamatan Sepuluh, Desa Kampak Kecamatan Geger dan Desa Jangkar
Kecamatan Tanah Merah serta beberapa pasar hewan di Kabupaten Bangkalan, dengan jumlah responden 73
orang yang terdiri dari penyedia bakalan, peternak, pedagang dan prosesor/Rumah Potong Hewan. Alat
analisis yang digunakan adalah deskriptif, rasio konsentrasi, Indeks Gini, Hambatan masuk dan keluar pasar.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1) Nilai rasio konsentrasi dari penyedia bakalan dan peternak
lebih kecil dibandingkan rasio konsentrasi untuk pedagang dan prosesor. Hal ini menandakan bahwa
pedagang dan prosesor mempunyai tingkat konsentrasi pasar yang berimplikasinya pada kuat posisi tawar
mereka. 2) Pasar input mempunyai bentuk persaingan sempurna, pasar intermediet cenderung oligopoly
demikian juga dengan pasar output. 3) Hambatan utama masuk pasar adalah nilai investasi yang besar, dan
permasalahan pemasaran 4) Hambatan keluar pasar adalah nilai investasi yang tinggi dan usaha ini
merupakan sumber pendapatan utama.
Rekomendasi yang diajukan dari penelitian ini adalah meningkatkan posisi tawar dari penyedia
bakalan dan peternak sapi Madura melalui peningkatan kualitas SDM, pengembangan manajemen usaha
serta revitalisasi kelompok peternak dan koperasi.

Kata Kunci: Sapi Madura, Struktur Pasar, Peternak

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini. populasi dan produksi sapi potong di Indonesia hanya terkonsetrasi di
tiga propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah (Subagyo, 2009). Pada tahun 2008, Propinsi
Jawa Timur adalah produser terbesar sapi potong dengan total produksi 83.3 ribu ton diikuti oleh Jawa Barat
sebesar 52.6 ribu ton dan Jawa Tengah dengan volume produksi 48.9 ribu ton. Hal ini berarti bahwa untuk
meningkatkan populasi dan produksi sapi potong, kebijakan dan perhatian pemerintah harus difokuskan pada
tiga propinsi ini karena peningkatan populasi sapi potong di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah akan
berdampak signifikan pada meningkatnya populasi dan produksi sapi potong di Indonesia.

227
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pada periode 1990-2003, share produksi sapi potong di Jawa Timur adalah 25.5% dari total produksi
nasional, diikuti oleh Jawa Barat, Jawa Tengah dan DKI Jakarta dengan share masing-masing sebesar
17.95%, 12.75% dan 10.15% (Kariyasa and Kasryno, 2004). Fenomena yang menarik adalah Jakarta dan
Jawa Barat bukan merupakan produsen sapi potong tapi daerah tersebut menempati rangking pertama
sebagai daerah penghasil daging sapi. Kondisi ini terjadi karena Jakarta dan Jawa Barat mendatangkan sapi
potong dari daerah kain misalnya dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung. Dengan demikian, daerah
yang merupakan pusat populasi sapi potong tidak secara otomatis menjadi dari sentra produksi daging sapi.
Fenomena di atas diperkuat oleh fakta bahwa Jawa Timur, Lampung dan Jawa Tengah adalah
distributor utama sapi potong bagi daerah konsumsi utama yaitu Jawa Barat dan Jakarta.
Kecenderungannya, permintaan sapi potong di dua daerah tersebut terus meningkat setiap tahunnya sekitar
11% per tahun. Kebutuhan sapi potong di Jawa barat dan Jakarta adalah berturut-turut sebesar 258.000
ekor dan 220.000 ekor. Pada periode 1990 sampai dengan 2003, jumlah sapi potong yang masuk ke Jawa
Barat adalah 42.49% dan Jakarta sebesar 25.74% dari total produksi nasional. Dengan kata lainnya dapat
disebutkan bahwa konsumen sapi potong terkonsentrasi di Jawa Barat dan Jakarta.
Meskipun kontribusi Jawa Timur cukup signifikan dalam menyediakan kebutuhan sapi potong dan
daging di Indonesia, namun secara nasional permintaan daging masih belum mampu dipenuhi dari produksi
dalam negeri saja. Indonesia harus mengimpor sapi potong dengan kecenderungan yang terus meningkat.
Hal ini terjadi karena beberapa hal, yang salah satu diantaranya adalah struktur industri sapi potong masih
didominasi oleh peternak kecil. Jumlah peternak kecil sapi potong sebesar 60% s/d 80% (Yusdja et al,
2006). Dalam hal skala kepemilikan ternak, masing-masing peternak kecil hanya mempunyai sapi potong
sebanyak 2-4 ekor (Diwyanto et al, 2007). Data direktorat jenderal peternakan menunjukkan bahwa pada
tahun 2006 terdapat 4 juta peternak yang mempunyai 10.5 juta ekor sapi potong. Karakteristik peternak
kecil yang lain adalah memiliki posisi tawar yang lemah, tingkat pendapatan yang rendah dan mereka masih
menggunakan teknologi tradisional.
Kondisi yang sama juga terjadi di Jawa Timur. Menurut Mayrowani (2006) sebagian besar peternak
di Jawa Timur mempunyai skala usaha yang masih terbatas. Mereka mempunyai keterbatasan dalam
mengakses sumberdaya keuangan/modal. Tingkat penguasaan teknologi informasi juga masih sangat rendah
sehingga peternak tidak mempunyai akses informasi pasar yang baik seperti harga, penawaran dan
permintaan. Kemampuan manajerial dan kewirausahaan juga masih sangat terbatas.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa peternak kecil menghadapi permasalahan yang kompleks.
Kebijakan pemerintah yang dilakukan belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Peternak kecil
dihadapkan pada masalah pemasaran. Tidak ada insentif ekonomi yang cukup bagi peternak baik penyedia
bakalan dan penggemukan. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat produtifitas dan efisiensi usaha industri
sapi potong (Rahmanto, 2004).
Tujuan
1. Mengetahui gambaran umum industri sapi Madura di Kabupaten Bangkalan
2. Mengukur dan menganalisis rasio konsentrasi pada masing-masing pasar di industri sapi Madura
3. Mengetahui besaran indeks gini dan menganalisis implikasinya terhadap kondisi struktur pasar
4. Menentukan jenis struktur pasar pada masing-masing tingkatan yaitu pasar input, intermediet dan
output.
5. Menganalisis jenis-jenis hambatan untuk keluar dan masuk pada masing-masing pasar di atas.

METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah beberapa desa di Kabupaten Bangkalan yaitu Desa Banyior Kecamatan
Sepuluh, Desa Kampak Kecamatan Geger dan Desa Jangkar Kecamatan Tanah Merah. Adapun pertimbangan
memilih lokasi tersebut: 1) Populasi dan produksi sapi Madura di desa-desa tersebut adalah terbesar di
Bangkalan, 2) Industri sapi Madura memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyediaan daging dan
sapi hidup karena populasi sapi Madura mencapai 20% dari total sapi potong Jawa Timur.

Data dan Metode Penarikan Sampel

228
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Data primer dan sekunder dipergunakan dalam penelitian ini. Data primer dikumpulkan dari
beberapa tingkatan responden mulai dari peternak sapi bakalan, peternak penggemukan, pedagang dan
prosesor atau rumah potong hewan (rph) melalui wawancara individual dengan menggunakan beberapa set
kuesioner. Data sekunder dikumpulkan dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistik, Kementerian
Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Jawa Timur dan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Jawa Timur. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bangkalan.
Dari total populasi yang ada ditarik responden secara acak sejumlah 52 peternak (Yamane, 1973).
Selanjutnya responden peternak bakalan, pedagang dan prosesor ditentukan berdasarkan informasi dari
peternak penggemukan dengan metode penarikan secara snowball sampling. Adapun total responden adalah
ditunjukkan pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Jumlah Responden, Bangkalan, 2013
No Jenis Responden Jumlah

1 Penyedia Pakan 52

2 Penyedia Bakalan 4

3 Pedagang 9

4 dan Jagal 8

TOTAL 73
Sumber: Data Primer diolah, 2013
Metode Analisis
Penelitian ini mempergunakan beberapa metode analisis. Analisis deskriptif dipergunakan untuk
menjelaskan kondisi industri sapi Madura di Bangkalan. Untuk mengetahui tingkat konsentrasi pasar di setiap
jenis pasar (pasar input, intermediet dan output) digunakan analisis rasio konsentrasi dengan formulasi
sebagai berikut:
r
CR  S
i 1
i i  1, 2, 3, ..., r
dimana
CR = concentration ratio/ rasio konsentrasi
Si = persentase dari share pasar dari aktor ke-i
r = jumlah dari aktor yang paling dominan

Kohls and Uhl (1985) menyatakan bahwa apabila empat aktor terbesar mempunyai rasio konsentrasi
sebesar 50% atau lebih, maka struktur industri yang terbentuk adalah oligopoli yang kuat, apabila rasionya:
33-50% menunjukkan oligopoli yang lemah dan kurang dari 33% menunjukkan industri yang tidak
terkonsentrasi.
Analisis selanjutnya adalah Kurva Loren dan Indkes Gini. indeks ini dihitung dengan mengunakan
formula sebagai berikut (Bhuyan et al, 1988 cited in Kerbaga, 2010; and Hesmati, 2004):
n
G  1   ( Ti  Ti 1 ) ( Fi  Fi 1 ) i  1,2,3, ... n
i 1
dimana
G = Gini coefficient/ Indeks Gini

Ti = Proporsi kumulatif dari aktor


Fi = Proporsi kumulatif dari nilai sapi potong yang diperdagangkan dalam
rupiah
n = Jumlah aktor

Indeks Gini mempunyai nilai dari 0 yang berarti tidak terkonsetrasi ( perfect equality) dan 1 yang
mengindikasikan tingkat konsentrasi yang tinggi (perfect inequality).
229
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pada riset ini, hambatan untuk masuk dan keluar pasar diidentifikasi menggunakan beberapa
indikator yaitu: 1) Legal barriers dalam bentuk paten, francise dan aktifitas pengaturan lainnya, 2) Technical
barriers yaitu ketersediaan teknologi yang spesifik dan ilmu yang spesifik (Nicholson, 2002), 3) Ketersediaan
dan akses terhadap sumberdaya berupa modal, akses terhadap informasi pasar, permintaan dan penawaran
dan kondisi sumberdaya yang ada (Stigler, 2005).

PEMBAHASAN
Gambaran Umum Industri Sapi Madura di Bangkalan
Populasi Sapi Madura di Bangkalan
Tabel 1 menunjukkan bahwa populasi sapi Madura di Jawa Timur pada periode 2007-2009
cenderung menurun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun adalah -7%. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah meningkatnya frekuensi pemotongan ternak sapi Madura untuk
memenuhi permintaan daging sapi yang terus bertambah. Disisi lain, tingkat pertumbuhan sapi bakalan
masih tetap rendah sehingga tidak mampu menutupi kenaikan permintaan sapi potong.

Tabel 1. Populasi Sapi Madura, Bangkalan, 2007-2009


NO JENIS TERNAK 2007 2008 2009 (%)
1 Sapi Potong 137,017 121,195 128,562 -7%
2 Sapi Perah 21 21 30 -7%
3 Kerbau 1,966 1,780 1,999 -10%
4 Kuda 900 713 782 -12%
5 Kambing 61,360 49,808 58,009 -13%
6 Domba 3,935 3,673 4,065 -15%
7 Ayam Buras 1,138,702 687,940 730,839 -18%
8 Ayam petelur 25,263 17,768 14,984 -18%
9 Ayam Pedaging 103,836 41,007 17,028 -17%
10 Itik 68,517 58,296 55,329 4%
11 Entok 20,147 27,897 27,575 19%
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan, 2013
Catatan: *Rilis Akhir Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau 2011

Dimulai sejak tahun 2009, populasi sapi Madura kembali menunjukkan trend yang menaik. Tingkat
pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 6%. Program-program intensifikasi usaha sapi
potong dalam rangka pencapaian program swasembada daging ikut andil terciptanya kondisi tersebut.
Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi ternak telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Pada 2010, aktifitas yang dilakukan diantaranya aalah
penyediaan 1.273.528 paket semen untuk ternak (dari target yang ditetapkan sebesar 1.450.000 paket),
realisasi pertumbuhan sapi bakalan dari program inseminasi buatan sebanyak 727.248 ekor dan realisasi
akseptor inseminasi buatan sebanyak 1.060.650 ekor (Dinas Peternakan Jawa Timur,2010).

Konsumsi Daging Jawa Timur


Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur dan susu di Jawa Timur juga menunjukkan
kecenderungan yang meningkat dari tahun 2006-2010 (Gambar 2). Rata-rata pertumbuhan tingkat konsumsi
230
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
produk peternakan adalah sebesar 9.4% per tahun. Tetapi pada tahun 2008, terjadi pertumbuhan negative
terhadap tingkat konsumsi produk peternakan sebesar - 6.8%. Salah satu faktor penyebabnya adalah
penurunan konsumsi telur, susu dan daging non sapi (ayam dan unggas) yang disebabkan oleh ketakutan
konsumen untuk mengkonsumsi produk-produk tersebut karena adalah kasus flu burung yang merebak
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Peningkatan hanya bahan bakar minyak pada tahun 2008 juga
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan negatif konsumsi produk peternakan kecuali daging sapi.
Sedangkan tingkat pertumbuhan konsumsi daging sapi pada tahun 2008 masih tetap positif yaitu sebesar
23.5%.
Pada periode 2006-2010, rata-rata pertumbuhan konsumsi daging sapi adalah sebesar 11.9%. Jika
pada tahun 2006 tingkat konsumsinya masih dibawah 100 ribu ton (yaitu 66.782 ton) pada tahun 2010
tingkat konsumsi daging sapi meningkat menjadi 103.809 ton. Peningkatan ini diakibatkan oleh beberapa
faktor. Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia mendorong tingkat konsumsi semua kebutuhan pokok
termasuk daging sapi. Selain itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang ditandai dengan
kenaikan pendapatan per kapita juga mendorong peningkatan konsumsi daging sapi.

1,200,000
1,100,000
1,000,000
900,000
800,000
700,000
Susu
ton

600,000
500,000
Telur
400,000
300,000 Daging (sapi dan
non sapi)
200,000
Daging (Sapi saja)
100,000
-
2006 2007 2008 2009 2010

Gambar 2. Konsumsi Daging, Susu dan Telor, Jawa Timur,2006-2010


Sumber: Laporan Tahunan DInas Peternakan Jawa Timur, 2006-2010

Analisis Rasio Konsentrasi pada Pasar Input, Intermendiate dan Output


Rasio konsentrasi pasar dihitung berdasarkan pada nilai sapi Madura yang diperdagangkan pada
setiap sub-market. Transaksi dari empat aktor terbesar pada masing-masing aktor (penyedia bakalan,
peternak, pedagang dan prosesor) dipertimbangkan dalam perhitungan rasio konsentrasi pasar (CR4)
sebagaimana diindikasikan pada Tabel 2.
CR4 dari penyedia bakalan yang merepresentasikan pasar input adalah sebesar 12.99% dan nilai ini
menunjukkan bahwa kondisi industri pada pasar input adalah tidak terkonsentrasi (un-concentrated industry)
Demikian juga dengan CR4 pada peternak kecil sapi potong sebesar 11.83% menunjukkan bahwa tipe pasar
yang terbentuk adalah tidak terkonsentrasi. Dapat juga dikatakan bahwa kedua jenis pasar tersebut secara
umum berbentuk persaingan. Kedua actor (penyedia bakalan dan peternak) mempunyai posisi tawar atau
kekuatan pasar yang seimbang. Tidak ada aktor yang mempunyai

kekuatan pasar yang besar (dominan). Salah satu yang menyebabkan posisi tawar ini adalah karena
peternak masih berusaha sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi satu dengan lainnya.
Tabel 2. Rasio Konsentrasi pada Pasar Input, Intermediet dan Output, Bangkalan, 2013

231
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
ITEM PENYEDIA BAKALAN PETERNAK PEDAGANG PROSESOR
Jumlah aktor 4 52 9 8
Nilai sapi potong yang diperdagangkan oleh 138,000 208,500 806,250 1,116,043
empat aktor terbesar (000 Rp)
Total nilai sapi potong yang diperdagangkan (000 1,062,375 1,762,600 1,357,100 2,017,052
Rp)
CR4 (%) 12.99 11.83 59.41 55.33

Sumber: Data primer diolah, 2013

Untuk pedagang sapi Madura di semua level (desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi), nilai CR4
adalah 59.41%. Hal ini berarti bahwa tipe pasar intermediet adalah oligopoli yang sangat kuat (strongly
oligopolistic). Pedagang mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi pasar. Mereka
mempunyai kekuatan besar untuk menentukan harga dibandingkan peternak. Sedangkan nilai CR4 dari
prosesor adalah 55.33% yang termasuk dalam kategori pasar oligopoli. Hal ini menunjukkan bahwa jenis
pasar pada pasar daging sapi adalah oligopoli dimana prosesor juga mempunyai kekuatan yang besar dalam
mempengaruhi mekanisme pasar.

Analisis Indeks Gini dan Kurva Lorenz pada Peternak Sapi Madura
Indeks Gini digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi dari masing-masing pasar pada industri
sapi potong skala kecil. Nilai indeks Gini menunjukkan apakah pasar yang terbentuk bersifat terkonsentrasi
atau tidak terkonsentrasi. Analisis ini juga didukung oleh Kurva Loren untuk memperjelas intepretasi yang
disampaikan, Pada riset ini, nilai sapi potong yang diperdagangkan dipergunakan untuk menghitung
besarnya Indeks Gini.
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai Indeks Gini untuk penyedia bakalan adalah 0.249 yang
mengindikasikan bahwa distribusi yang terjadi relatif merata (relatively equitable distribution). Hal ini juga
menunjukkan bahwa nilai sapi bakalan yang diperdagangkan oleh setiap peternak penyedia bakalan adalah
relatif sama.

Tabel 3. Indeks Gini pada Peternak Sapi Madura, Bangkalan, 2013


PENYEDIA
ITEM PETERNAK PEDAGANG PROSESOR
BAKALAN

Jumlah Aktor 4 52 9 8
Indeks Gini 0.249 0.276 0.253 0.207

Sumber: Data primer diolah, 2013

Di level peternak, nilai Indeks Gini adalah sebesar 0.276. Jika dilihat dari nilai sapi potong yang
diperjualbelikan oleh masing-masing peternak menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
diantara mereka. Hal ini menghasilkan jenis pasar yang tidak terkonsentrasi.
Demikian juga pada tingkat pedagang, nilai Indeks Gini adalah sebesar 0.253 yang mengindikasikan
bahwa 10 pedagang menjual sapi potong dengan nilai yang relatif sama. Tidak ada satupun pedagang yang
dominan dengan menjual sapi potong dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan pedagang
lainnya.

Indeks Gini untuk prosesor adalah 0.207. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi distribusi yang merata
(equitable distribution) diantara 11 prosesor yang ada. Rendahnya Indeks Gini disebabkan oleh relatif
meratanya nilai sapi potong yang diperdagangkan.
232
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kurva Loren untuk pasar input, intermediet dan output pada industri sapi Madura di Bangkalan dapat
dilihat pada gambar 3. Pada tingkat peternak, area yang terbentuk antara Kurva Loren (warna biru) dan
garis ekui-distribusi (warna merah) adalah lebih luas dibandingkan pada pasar-pasar yang lain. Hal ini berarti
bahwa pasar peternak mempunyai distribusi nilai yang relatif tidak merata. Dari data dasar, dapat diketahui
bahwa 13 peternak mempunyai nilai jual sapi potong kurang dari 10 juta rupiah sedangkan sisanya (68
peternak) mempunyai nilai jual diatas 10 juta rupiah. Bahkan 41% dari mereka mempunyai nilai jual diatas
20 juta rupiah.

Gambar 3. Kurva Loren pada Pasar Input, Intermediet dan Output, Bangkalan, 2013.
Sumber: Data Primer Diolah, 2013

Hambatan Masuk dan Keluar pada Pasar Input, Intermediet dan Output
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat untuk masuk pasar sapi potong yang teknologi
produksi, nilai investasi, rendahnya harga jual sapi potong, besarnya impor, permasalahan pemasaran,
kompetisi yang ketat dan skala ekonomi. Masing-masing aktor mempunyai perbedaan faktor mana yang
menjadi penghambat utama.
Pada tingkat penyedia bakalan, faktor yang menjadi penghambat untuk masuk adalah teknologi
produksi (42%), nilai investasi yang tinggi (34%), dan skala ekonomi yang masih sangat kecil (15%). Pada
peternak, hambatan untuk masuk adalah: rendahnya harga sapi potong (38%), nilai investasi yang tinggi
(28%) dan permasalahan pemasaran (20%). Pedagang mempunyai hambatan untuk masuk sebagai
berikut:nilai investasi yang tinggi (50%), besarnya volume impor (20%) dan tingkat kompetisi yang tinggi
(10%). Prosesor menghadapi hambatan yang sama dengan pedagang, hanya faktor pemasaran yang juga
menjadi faktor penghambat utama dalam kegiatan prosesor.

Sedangkan faktor-faktor yang menjadi penghambat untuk keluar dari industri sapi Madura skala kecil
adalah: nilai investasi yang besar, peluang permintaan, ikatan kontrak, pekerjaan utama responden, sumber
pendapatan dan ketersedian sumber pakan hijauan. Semua actor relative menghadapi hambatan yang
233
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
serupa yaitu: 1) besarnya potensi permintaan terhadap daging sapi mengakibatkan mereka enggan untuk
keluar pasar. Mereka meyakini bahwa pada masa depan permintaan akan sapi potong dan daging sapi pasti
mengalami peningkatan; 2) nilai investasi yang besar. Ketiga mereka memutuskan untuk menekuni usaha
sapi potong maka nilai investasi yang ditanamkan relative besar berkisar antara 20 – 60 juta. Sehingga
mereka berusaha untuk terus menekuni usaha ini.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Nilai rasio konsentrasi dari penyedia bakalan dan peternak lebih kecil dibandingkan rasio konsentrasi
untuk pedagang dan prosesor. Hal ini menandakan bahwa pedagang dan prosesor mempunyai tingkat
konsentrasi pasar yang berimplikasinya pada kuat posisi tawar mereka.
2. Pasar input mempunyai bentuk persaingan sempurna, pasar intermediet cenderung oligopoly demikian
juga dengan pasar output.
3. Hambatan utama masuk pasar adalah nilai investasi yang besar, dan permasalahan pemasaran
4. Hambatan keluar pasar adalah nilai investasi yang tinggi dan usaha ini merupakan sumber pendapatan
utama.

Saran
Perlu upaya meningkatkan posisi tawar dari penyedia bakalan dan peternak sapi Madura melalui peningkatan
kualitas SDM, pengembangan manajemen usaha serta revitalisasi kelompok peternak dan koperasi.

DAFTAR PUSTAKA
DINAS PETERNAKAN JAWA TIMUR, 2010. Laporan Tahunan Program Pengembangan Peternakan Jawa Timur
Tahun 2010.
DIWYATNO, K. 2008. Utilization of local resources and technological innovation to support of the
development of beef cattle in Indonesia. Development of Agricultural Innovation, Volume 1(3): 173-
188.
HESMATI, A. 2004. Inequalities and Their Measurement MTT Economic Research, Agrifood Research Finland No. 7.
KARIYASA, K and F, KASRYNO, 2004. Dinamika Pasar dan Prospek Pengembangan Spi Potong di Indonesia.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian.
KERBAGA, A.Z. 2010. Analysis of Poultry Market Chain: The Case of Dale and Alaba Special Woredas of
SNNPRS, Ethiopia002E. MSc Thesis. Harramaya University.
KOHLS, RICHALD L. and JOSEPH N. Uhl. 1998. Marketing of Agricultural Products. 8 th edition. Prentice-Hall, New
Jersey: 560 p.
MAYROWANI, H. 2006. Kinerja Agribisnis Sapi Potong di Jawa Timur: Analisis Dampak Krisis Moneter dan
Implementasi Otonomi Daerah. Journal of Socio-Economic of Agriculture and Agribusiness, Volume 6 (3): 20-
42.
RAHMANTO, B. 2004. Analisis Usahatani Peternak Kecil. Pusat Studi Sosial Ekonomi. Departemen
Pertanian,Bogor.
SUBAGYO, I. 2009. Potret Usaha Sapi Potong Indonesia. Economic Review, No (217): 1-7.
YAMANE, T. 1973. Statistic: an Introductory Analysis: 3rd edition. Harper and Row, New York: 1130 p.
YUSDJA, Y, R SAYUTI, S WAHYUNINGSIH, WK SEJATI, I SODIKIN, N ILHAM and YF SINURAYA. 2006.
Produksi Peternakan: Kondisi Saat dan Prospek Masa Depan. Pusat Studi Sosial Ekonomi. Bogor.

234
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
33. PENGARUH KARAKTERISTIK FISIK KERBAU PADA SUB SISTEM
PEMASARAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN TORAJA UTARA
Ikrar Mohammad Saleh1), S N Sirajuddin2), Y Pradita3)

Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Jalan Perintis Kemerdekaan Km.10
Tamalanrea Makassar Sulawesi Selatan

E-mail: ikrarm@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik kerbau pada sub sistem pemasaran
agribinis di Kabupaten Toraja Utara. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei hingga bulan Juli tahun 2013 di
Pasar Hewan Bolu, Kecamatan Tallunglipu, Kabupaten Toraja Utara. Lokasi tersebut merupakan pasar
transaksi penjualan kerbau terbesar di Indonesia. Jenis penelitian adalah eksploratif dengan menggunakan
metode Delphi. Jumlah populasi yaitu 150 orang sementara sampel adalah 30 orang. Hasil penelitian
menunjukkan kerbau yang dipasarkan di Pasar Hewan Bolu sebahagian besar didatangkan dari luar
Kabupaten Toraja Utara sehingga perlu pengembangan agribisnis ternak kerbau di Kabupaten Toraja Utara
dan karakteristik yang sangat dominan dalam pembelian kerbau adalah Letak Pusaran Bulu kerbau

Kata-kata kunci : Pengaruh, karakteristik fisik, sistem pemasaran, kerbau

ABSTRACK

This study aim to determine the influence of the physical characteristics of buffalo in sub-system agribusiness
marketing in North Toraja Regency. This study was conducted in May to July of 2013 in Bolu Animal Market,
Tallunglipu District, North Toraja Regency. This location is greatest buffalo market sales transactions in
Indonesia. This type of research is exploratory using the Delphi method. Total population is 150 people while
the sample is 30 people. Research results show that buffalo marketed in Bolu Animal Markets were largely
imported from outside North Toraja Regency thus need buffaloes agribusiness development in North Toraja
Regency and characteristics that are dominant in the purchase of buffalo is location of buffalo whorl of
feather.

Key words: Influence, physical characteristic, marketing system, buffalo

PENDAHULUAN

Upacara pesta adat kematian (Rambu Solo) dan prosesi syukuran (Rambu Tuka) di Tana Toraja
tidak bisa dipisahkan dari kerbau yang dijadikan sebagai hewan kurban dan dilakukan pemotongan kerbau
secara besar – besaran. Kerbau yang dikurbankan dalam upacara adat Rambu Solo dan Rambu Tuka di Tana
Toraja tidak mampu mencukupi. Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Toraja Utara (2012) populasinya
sebesar 21.464 ekor pada tahun 2010 dan menurun menjadi 19.231 ekor pada tahun 2011. Oleh karena itu,
kerbau banyak didatangkan dari luar daerah untuk mencukupi tingkat pemotongan khususnya pada pesta
adat Rambu Solo.
Selanjutnya Sirajuddin, dkk (2012) mengemukakan bahwa Pemerintah Kabupaten Toraja Utara dalam
mengantisipasi kurangnya populasi dan tingginya pemotongan kerbau melakukan kebijakan dengan perizinan
melakukan perdagangan kerbau antara propinsi dan antar kabupaten dimana saat ini ternak kerbau banyak

235
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
didatangkan dari kabupaten lain yaitu: Wajo, Takalar, Jeneponto, Pangkep, Bone, dan Palopo. Begitu
pentingnya peranan kerbau dalam budaya masyarakat sehingga seringkali faktor harga
menjadi pertimbangan kedua dibandingkan dengan karakteristik kerbau yang menjadi prioritas dan menjadi
tolak ukur konsumen dalam membeli kerbau.Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang penentuan
karakteristik kerbau dalam penentuan harga jual oleh pedagang.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan terhitung mulai dari bulan Mei sampai Juli
2013 di Pasar Hewan Bolu, Kecamatan Tallunglipu, Kabupaten Toraja Utara. Pemilihan lokasi tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan pasar tempat transaksi penjualan hewan
terbesar yang salah satu komoditinya adalah kerbau.Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif yaitu dengan dan mengumpulkan informasi mengenai karakteristik yang mendominasi penentuan
harga jual kerbau pudu‟ yang didatangkan dari luar daerah dan propinsi di Pasar Hewan Bolu Kecamatan
Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara. Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah pelaku yang terlibat
dalam hal ini pedagang kerbau yang terlibat dalam penentuan harga jual kerbau yang didatangkan di Pasar
Hewan Bolu. Pedagang adalah orang yang membeli kerbau yang didatangkan dan lansung menjualnya di
Pasar Hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara. Jumlah populasi yaitu sebanyak 150 orang dan diperoleh sampel
sebanyak 30 orang yaitu 20% dari populasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kerbau Pudu’ (Hitam) yang Mendominasi Harga Jual

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ada 3 kategori yang mendominasi dalam penentuan
harga jual kerbau pudu yaitu:

1. Letak pusaran Bulu (Palisu)

Letak pusaran bulu merupakan salah satu indikator atau karakteristik dalam menentukan harga jual
suatu ternak kerbau pada umumnya sehingga untuk melihat bagaimana penilaian pedagang terhadap letak
pusaran bulu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jawaban Responden Penentuan Harga Jual Kerbau Berdasarkan Karakteristik Letak Pusaran
Bulu Di Pasar Hewan Bolu Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja Utara.

TINGKAT FREKUENSI (Orang) NILAI PERSENTASE


KARAKTERISTIK
SM = 5 19 95 63,33%
M=4 9 36 30%
CM = 3 2 6 6,66%
KM = 2 - - -
TM = 1 - - -
tdk mengisi = 0

JUMLAH 30 137 100%


Sumber :Data Primer Setelah Diolah, 2013

Tabel 1 menunjukkan penilaian karakteristik kerbau yang paling mendominasi penentuan harga jual
adalah letak pusaran bulu yaitu mendapat skor 137 , untuk lebih jelas mengenai penilaian responden dapat
dilihat pada gambar 1.

236
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
0 25 50 75 100 125 150

__________________________________________________________________________
TM TM KM CM M SM
Gambar 1. Penilaian karakteristik kerbau Pudu‟ yang didatangkan dari luar daerah di Pasar Hewan Bolu
Kabupaten Toraja Utara.

Keterangan :

SM = Sangat Mendominasi KM = Kurang


M = Mendominasi TM = Tidak
CM = Cukup

Pada gambar 1. Penilaian karakteristik pusaran bulu dengan skor 137 berada pada interval 125 – 150
dengan kategori Sangat Mendominasi. Kerbau yang diperdagangkan di pasar Hewan Bolu, pada proses
jual beli, pusaran bulu menjadi penilaian yang paling utama bagi pedagang untuk menentukan harga. Karena
sebagian besar pembeli lebih memperhatikan pusaran bulu kerbau sebelum melihat karakteristik lainnya.
Letak pusar yang mempunyai nilai sosial tinggi yaitu delapan titik pusar (4 pasang yaitu kiri dan kanan)
terdapat di bagian hidung, telinga, pundak, dan pinggul. Masyarakat Toraja mempunyai penilaian dan makna
dari letak pusar pada kerbau dan hal ini menjadi penilaian turu-temurun. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mustafa (2013), walaupun semua kriteria yang diinginkan telah dimiliki kerbau tersebut, namun ada kriteria
kunci berupa posisi pusar ( tempat tumbuhnya bulu/rambut di badan) yang menjadi penentu layak tidaknya
kerbau tersebut digunakan dalam pesta adat. Masyarakat Toraja tidak akan membeli kerbau yang memiliki
pusar bulu yang terletak di bagian tengah leher sebelah atas (palisu rokkok) dan pusar yang terdapat di
ketiak (kaleppe) karena diyakini akan membawa musibah bagi sipemilik hajat (pembawa air mata). Pusar
rambut yang terletak di bagian scapula jika ternaknya pergi maka akan hilang dan tidak akan kembali sedang
pusar rambut yang terletak di bagian perut mengakibatkan ternaknya tidak panjang umur

2. Model tanduk

Tanduk merupakan salah satu karakteristik dalam menentukan harga jual ternak kerbau. Penilaian
responden mengenai karakteristik kerbau berupa tanduk dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 2. Jawaban Responden Penentuan Harga Jual Kerbau Berdasarkan Karakteristik Tanduk di
Pasar Hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara
TINGKAT FREKUENSI (Orang) NILAI PERSENTASE
KARAKTERISTIK
SM = 5 5 25 16,67 %
M=4 6 24 20 %
CM = 3 13 39 43,33 %
KM = 2 4 8 13,33 %
TM = 1 - - %
Tdk mengisi 2 0 6,66%
JUMLAH 30 96 100%
Sumber :Data Primer yang Telah Diolah, 2013

Tabel 2. menunjukkan bahwa skor penilaian responden terhadap karakteristik berupa tanduk kerbau
yang didatangkan di Pasar Hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara yaitu sebesar 96, untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 2.

237
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

0 25 50 75 100 125 150

________________________________________________________________________
TM TM KM CM M SM

Gambar 2. Penilaian Responden terhadap karakteristik tanduk yang Mendominasi Harga Jual Kebau yang
Didatangkan di Pasar Hewan Bolu.
Keterangan :
SM = Sangat Mendominasi KM = Kurang
M = Mendominasi TM = Tidak
CM = Cukup

Gambar 2. Menunjukkan bahwa skor penilaian responden terhadap karakteristik tanduk yaitu 96
yang berada pada interval 75 – 100 dengan kategori Cukup Mendominasi. Hal ini menunjukkan bahwa
tanduk kerbau menentukan nilainya, semakin panjang maka semakin berharga. Namun apabila terdapat
cacat pda tanduknya atau bentuk tanduk tidak proporsional dengan badan kerbau (postur), harga akan
turun. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanti (2000) menyatakan, bahwa kriteria tingkat mahalnya ternak
kerbau di Tana Toraja antara lain dilihat dari tanduk kerbau. Harga kerbau menjadi lebih mahal jika tanduk
kerbau memiliki model yang bagus dan seimbang dengan kepala, pusaran bulu terletak di atas hidung dan
pundak serta ekor kerbau yaitu harus melewati lututnya.

3. Postur tubuh (tinggi badan, kaki)

Penilaian responden terhadap karakteristik kerbau berupa postur tubuh dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jawaban Responden Penentuan Harga Jual Kerbau Berdasarkan Karakteristik Postur Tubuh
di Pasar Hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara.

TINGKAT FREKUENSI (Orang) NILAI PERSENTASE


KARAKTERISTIK
5 = SM 5 25 16,66%
4=M 7 28 23,33%
3 = CM 14 42 46,66%
2 = KM 4 8 13,33%
1 = TM - - -
tdk mengisi - - -

JUMLAH 30 103 100%


Sumber : Data Primer Yang Telah Diolah Diolah, 2013

Tabel 3 menunjukkan bahwa penilaian responden terhadap karakteristik kerbau berupa postur
badan berupa tinggi badan/kaki kerbau yang didatangkan dari luar daerah dan propinsi mendapat skor 103,
yang berarti berada pada kategori Mendominasi.

Tabel 3. menunjukkan bahwa skor penilaian responden terhadap karakteristik berupa postur tubuh
kerbau yang didatangkan di Pasar Hewan Bolu Kabupaten Toraja Utara yaitu sebesar 103, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.

238
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
0 25 50 75 100 125 150

________________________________________________________________________
TM TM KM CM M SM

Gambar 3. Penilaian Responden terhadap karakteristik postur tubuh kerbau yang Mendominasi Harga
Jual Kerbau yang Didatangkan di Pasar Hewan Bolu.

Keterangan :
SM = Sangat Mendominasi KM = Kurang
M = Mendominasi TM = Tidak
CM = Cukup

Gambar 3. Menunjukkan bahwa skor penilaian responden terhadap karakteristik postur yaitu 103 yang
berada pada interval 100 – 125 dengan kategori Mendominasi. Hal ini menunjukkan bahwa postur tubuh
kerbau menentukan nilainya, semakin tinggi badan maka semakin berharga. Namun apabila bentuk tanduk
tidak proporsional dengan badan kerbau (postur), harga akan turun. Kebiasaan masyarakat yang saling
menyumbang sebagai wujud simpati pada acara Rambu Solo‟ membuat permintaan kerbau cukup tinggi.
Sebagian besar kerbau yang digunakan oleh masyarakat Toraja adalah kerbau Pudu karena ukuran
badannya yang cukup besar dan kulitnya yang hitam menjadi kebanggaan masyarakat. Kerbau Pudu
digunakan sebagai petarung dalam acara ma‟pasilaga tedong pada acara adat rambu solo sehingga postur
badan kerbau harus proporsional dengan tanduknya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa
Penentuan Harga Jual Kerbau Pudu, (Hitam) Di Pasar Hewan Bolu Kecamatan Tallunglipu Kabupaten Toraja
Utara yaitu pusaran bulu, tanduk, dan postur tubuh.

Sebaiknya para pedagang memilih kerbau yang memiliki karakteristik baik yang diperoleh dari
pedagang besar agar memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
- Brisbois E., Douvier F. 1980. Les Toradja De Celebes. Paris: Hachette.
- Dinas Pertanian dan Pangan, Kabupaten Tana Toraja. 2009. Informasi jumlah pemotongan dan
kehadiran kerbau pendatang di Tana Toraja.
Sumber tesis:
- Mustafa, S. E.A. 2013. Pola Permintaan Ternak Kerbau (Bubalus-bubalis) di Kecamatan Sa‟dan
Kabupaten Toraja Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin. Makassar.
- Sirajuddin, N.S., Kasim, K., Palmarudi M., Rombe B. M., 2012. Aspek Sosial Ekonomi Pada
Pemasaran Ternak Kerbau Kabupaten Tana Toraja (Toraja Utara). Laporan Penelitian. Fakultas
Peternakan, Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
- Susanti. 2009. Analisis Sikap Konsumen Terhadap Ternak Kerbau Asal Daerah Lain di Pasar hewan
Rantepao Kabupaten Tana Toraja. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Universitas Hasanuddin, Makassar.

239
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

34.TECHNICAL SKILLS OF THE DAIRY FARM ENTREPRENEURS (CASE


STUDY: MALANG, EAST JAVA AND BOGOR, WEST JAVA)

Pamela1), Yustika Muharastri2), Ratna Winandi 3)

1,2,3
Program Studi Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor,
Jl. Kamper, Wing 4 Level 5, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Jawa Barat

E-mail: mel_situmorang@yahoo.com,muharastri@yahoo.com

ABSTRACT

The essence of entrepreneurship is innovation which can be obtained from any sensitivity to grab
opportunities of a situation and apply it into business field that can be referred to as entrepreneurial skills.
This research presents the results from (1) Several relevant literatures of entrepreneurial dairy farmer
behavior in many central areas of dairy farm in Indonesia and (2) In depth interview with two dairy farmers
in Malang Regency, East Java; one dairy farmer in Bogor Regency and one dairy farmer in Bogor
Municipality, West Java as one of dairy farm central areas in Indonesia. Based on this information, it can be
concluded that technical skill of dairy farmer as entrepreneur in Malang Regency, East Java; Bogor Regency,
West Java; and Bogor Municipality, West Java is at middle level. It depends on frequency of training. The
more dairy farmers engage in training, the more technical skill they have. The training could be organized by
dairy farm cooperative.

Keywords : entrepreneur, technical skill, dairy farmer, milk, cooperative


INTRODUCTION

Entrepreneurship is one of the important issues in economic activities. Entrepreneurship is the


dynamic process of creating incremental wealth (Ronstadt in Hisrich and Peters 1992). Acs (2007) stated that
entrepreneurship could create higher economic growth. Entrepreneurial activities create new business and
new jobs. The new jobs create intensify competition and increase productivity through technological change.
Entrepreneurs are the folk heroes of modern business life. Entrepreneurs provide jobs, introduce innovations
and strength the economic growth. Entrepreneurs are the energizers who take risks necessary in a growing,
productive economy (Longenecker, et al. 1994).
Innovation is the essence of entrepreneurship (Schumpeter in Lambing and Kuehl, 2003).
Innovation takes the form of new products, markets, organizational forms or sources of supply. Innovation is
not only directed to produce the affordable products (goods and or services) on price, but also the availability
of the products. Innovation provides new market for entrepreneurs and provides preferred price for
entrepreneur and customer and as the key of a business success for entrepreneur. An entrepreneur, as a
producer, needs good technical skills to grow dairy darm business.
Dairy farmer as an entrepreneur is a producer and also a marketer for fresh milk. The fresh milk is
also can be processed into processed milk products, such as pasteurized milk, yoghurt, butter, cheese, ice
cream, soap, skin moisturizer and shampoo. Many variants of the processed milk product indicates that it has
good opportunities for dairy farmers to enlarge business scale and increase entrepreneurial skills.
Nevertheless, dairy farmers in Indonesia faced many challenges.
The challenges are the low number of milk consumption, the domination of milk market structure
by imported milk products and the low productivity of dairy cows (Directorate General of Animal Husbandry
and Health Ministry of Agriculture, 2012). The average productivity of dairy farm in Indonesia is around 8-9
kilograms/day/cow and the world average productivity is 15-16 kilograms/day/cow (FAPRI, 2010).The

240
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
research aims to gain a deeper understanding about technical skills of the dairy farm entrepreneurs. This
research was conducted through in-depth interview with four dairy farmers, i.e. two dairy farmers in Malang
Regency, East Java; a dairy farmer in Bogor Regency, West Java and Bogor Municipality, West Java with
convenience sampling method. This research was conducted in September 2012.
LITERATURE REVIEW
The entrepreneurial success is depends on what the entrepreneurs know and what the entrepreneurs
can do with they know. Entrepreneurs recognize the value of current events, what is going on, where and
why (Rathna and Vijaya, 2009). The most of dairy farm enterprises in Indonesia are in a small scale. Latha
and Murthy (2009) found out that support from family members encourages the entrepreneurs to start the
new ventures. Fuah, et al (2011) found out that activity of dairy farm in West Java, Central Java and East
Java carried out and managed traditionally by smallholder dairy farmers. The average of milk yield was low
and the main product was also still carried out without technological diversification and possession of a low
number of animals due to obstacles in feeding, management and processing technology and less skill of dairy
farmers to implement good farming practices in related fields. To overcome these obstacles, improving of
management and technology application can be applied.
Empowerment of the dairy farmers is the growth rate of dairy farmer potential in his role as farm
manager, livestock keepers and autonomous individual. Empowerment of the dairy farmers and the dynamic
group of diary farmers in Bandung Regency, West Java were at low level, especially in his role as a manager
and as an autonomous individual. There was a positive significant correlation between the dynamics of
farmers group and the empowerment of dairy farmers. (Yunasaf, et al, 2008)
The research conducted by Muatip (2008) found out that the entrepreneurship competence of the
dairy farmers in Bandung Regency, West Java was at medium category in technical skill and managerial skill.
Entrepreneurship competencies of dairy farmers has a significant influence to the productivity level of the
dairy farmers. The factors that influence the entrepreneurship competencies of the farmers are education
background and the number of family members, lacking of facilities, information and the policy of the
government. The strategies for entrepreneurship competencies improvement are through the strengthening
of informal education and more involvement of daily facilities and information and strengthening of
government support.
In dairy cattle agribusiness, the farmers are integrated with the milk oriented cooperatives that play
important role in the development of dairy cattle agribusiness in Indonesia. Rusdiana, et al (2009) found out
that to encourage the development of dairy cattle agribusiness, it is necessary to empower the cooperatives
in order to improve agribusiness scale, to enhance milk production capacity and to lower the production cost.
Cooperatives empowerment is conducted through provision and improvement female dairy cows, the high
quality of concentrate at affordable price and a better management of the cooperatives.
The research by Bergevoet, et al (2005) indicated that using the concept of competencies can give
insight into entrepreneurial behavior of farmers and provides a means to evaluate an intervention program
aimed at development of a strategic plan by entrepreneurs. It was also said that the entrepreneurial
competencies have a positive relation with the farm size of dairy farmers in the Netherlands. The result of
the case study indicated that it is possible to improve entrepreneurial competencies of dairy farmers by
means of developing and discussing the farmer‟s strategic plans in a study group. On average all participants
benefited from the program, irrespective of farmer and farm characteristics or the level of competencies at
the start of the program.

DISCUSSION
This research was conducted by in-depth interview with four respondents. The respondents are
dairy farmers who have more than seven years experience as a dairy farmer. More than seven years work
experiences as a dairy farmer indicates that the dairy farmer is well experienced in dairy farm business.
Four respondents had been selected by convenience sampling method. Characteristic differences among
each respondent are listed as Table 1.

241
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
The Level of Entrepreneurial Skill of Respondent
Entrepreneurial skill of respondents is measured by the technical skills. Technical skill is an ability to
organize projects, to set specific objectives, to set schedules and to ensure that necessary resources are in
the right place at the right time (Wickham, 2004). In this research, the technical skill of respondents
measured by (1) observation of the technical process of cultivation for dairy farmer who does not sell fresh
milk to dairy cooperative and laboratory results (for first and second respondent), and (2) the farm gate price
of fresh milk for dairy farmer who sell fresh milk to dairy cooperative (for third and fourth respondent). The
price has positive reflects fresh milk quality, so milk quality indicates the technical skill of dairy farmer.
Farm gate price is used for measurement of technical skill for third and fourth respondent, because the
market structure is monopsony. In the other hand, farm gate price could not be used for measurement of
technical skill for first and second respondent, because the structure market is perfect competition.
Table 1. Characteristics of Respondent
Description Respondent
1 2 3 4
Location Bogor, West Java Malang, East Java
Dairy Scale (lactating cows) 12 70 3 7
(large scale) (large scale) (small scale) (middle scale)
Education Level University University Elementary school Senior high
school
Age (years old) 38 59 54 24
Sex Male Female Male Female
Price Milk (Rp / L) 5000 3500 3100 3300
Training Never Often Often Often
Level of Technical Skill Low High Middle High
Respondent 1
First respondent lives in Bogor, West Java. Technical skill of the respondent can be classified into
the low level. It can be inferred from the cowshed and the milking process hygiene does not meet hygiene
standards and the respondent does not have the technical skill to process fresh milk into processed milk
products. The constraints that faced by first respondent is the lack of technical dairy farming training and
dairy product processing. Nevertheless, first respondent has a good communication and negotiation skill with
business colleagues that support to expand market and get higher price than sell to cooperative.
Respondent 2
Second respondent lives in Bogor, West Java. Technical skill of the respondent can be categorized
into the high level. It can be inferred from the performance of the respondent in managing business in
accordance with technical standards, both in technical cultivation and processing milk. The second
respondent has formal educational background which is relevant to development of the dairy farm business,
both technical and managerial. The constraint faced by respondent is limited availability of breed for artificial
insemination in dairy farm cooperative that cause in-breeding which also cause decrease of milk production.
Respondent 3
Third respondent lives in Malang, East Java. Technical skill of the respondent can be classified into
middle level. It can be inferred from the farm gate milk price of third respondent. Farm gate milk price of
third respondent is Rp. 3,150. The price is at middle level in Malang Regency. The middle level of farm gate
price in Malang Regency, East Java is Rp. 3,100 – 3200 /liter (Local Government of Malang Regency, Official
of Animal Husbandry and Health, 2012). Farm gate price divided into three levels that listed as Table 2.
Respondent 4
Fourth respondent lives in Malang, East Java. Technical skill of the respondent can be classified
into high level. It can be inferred from the farm gate milk price of third respondent. Farm gate milk price of
third respondent is Rp. 3,300. The price is at high level in Malang Regency. The high level of farm gate price
in Malang Regency, East Java is above 3200 (Local Government of Malang Regency, Official of Animal
Husbandry and Health, 2012). Farm gate price divided into three levels that listed as Table 2.

242
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
The Alternative Solution
To solve constraint faced by respondent, the respondent could ask dairy farm cooperative as an
institution that is directly related to business activities of dairy farmers to hold technical training about dairy
farming and dairy product processing training.
Table 2. Milk Farm Gate Price Level in Malang, Eats Java
Level Price (Rupiah)
Low 3,100
Middle 3,100-3,200
High >3,200
Source: Local Government of Malang Regency,
Official of Animal Husbandry and Health (2012)
CONCLUSION
Based on these case, this research found that technical skill of the dairy farmer as an entrepreneur in
Malang, East Java and Bogor, West Java is at the middle level. The technical skill depends on the frequency
of training. The dairy farmers will have a better technical skill through a dairy farming training. The training
could be organized by dairy farm cooperative.
REFERENCE
Acs, J. Zoltan. 2007. How is Entrepreneurship Good for Economic Growth. The 25th Economic Conference of
Progress Foundation. Zurich: Progress Foundation.
Bergevoet, et al. 2005. Improving Entrepreneurship in Farming: The Impact of a Training Programme in
Dutch Dairy Farming. 15th Congress Developing Entrepreneurship Abilities to Feed the World in a
Sustainable Way.
Directorate General of Animal Husbandry and Health Ministry of Agriculture. 2012. Statistik Peternakan dan
Kesehatan Hewan 2011. Jakarta: Directorate General of Animal Husbandry and Health, Ministry of
Agriculture.
FAPRI. 2010. U.S and World Agricultural Outlook. Iowa: Food and Agricultural Policy Research Institute.
Fuah, et al, 2011. Production Technology and Efficiency of Farmer‟s Dairy Entreprises (A Case Study in The
Regency of Bogor, Boyolali and Pasuruan). Jurnal Peternakan Indonesia. Vol. 13 No. 2, Juni 2011.
Hisrich, Robert D and Peters, Michael P. 1992. Entrepreneurship: Starting, Developing, and Managing a New
Entrepreneur. Boston: Richard D. Irwin. Inc.
Lambing, A. Peggy, Charles R.Kuehl. 2003. Entrepreneurship. Third Edition. New Jersey: Prentice Hall. Latha,
L.K, B.E.V.V.N Murthy.
The Motives of Small Scale Entrepreneurs: An Exploratory Study. South Asian Journal of Management. Vol
16, No. 2. April – Juni 2009.
Longenecker, et al. 1994. Small Business Management: an Entrepreneurial Emphasis. South-Western
Publishing Co. Ohio.
Muatip, et al. 2008. Entrepreneurship Competence of Dairy Farmers: Case Study of Dairy Farmers at
Bandung Regency, West Java. Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor Vol. 4, No. 1. Maret
2008.
Local Government of Malang Regency, Official of Animal Husbandry and Health. 2012. Laporan Tahunan
2011. Kepanjen– Kabupaten Malang: Local Government of Malang Regency, Official of Animal
Husbandry and Health
Rathna, G.A, T.G Vijaya. Competencies of Entrepreneurs and Intrapreneurs : A Comparative Study. South
Asian Journal of Management. Vol 16, No. 2. April – Juni 2009.
Rusdiana, et al. 2009. Measures for Dairy Cattle Agribusiness Development and Milk Production Enhancement
Through Dairy Co-operatives Empowerment. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 22 No. 1, Juli
2009.
Wickam, P.A. 2004. Strategic Entrepreneurship. Third Edition. Essex CM20 2JE: Pearson Education Limited
Yunasaf, et al 2008. The Role of The Dairy Group Farmers in Empowerment of Dairy Farmers (Case of
Bandung District). Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor Vol. 4 No. 2. September 2008.

243
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
35.PERAN KOPERASI DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM OVOP DAN
RANTAI PASOK SAYURAN BERORIENTASI PASAR MODERN
Tuti Karyani1), Deddy Ma‟mun2), Friska L3)
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Unpad
1
Jl.Raya Bandung Sumedang Km-21 Jatinangor,Sumedang
tutikaryani23@gmail.com

ABSTRAK

One Village One Product (OVOP) merupakan program pembangunan dengan pendekatan kawasan
yang diterapkan di Desa Tegallega, Kecamatan Warungkondang, Cianjur. Fokus kegiatan OVOP dilakukan
dengan pendekatan pengembangan agribisnis sayuran melalui penguatan peranan koperasi yaitu Koperasi
Mitra Tani Parahyangan (KMTP). Bersamaan dengan itu, KMTP khususnya UUO hortikultura menjadi
lembaga yang menghubungkan petani anggota koperasi dengan pasar modern, padahal selama ini kegiatan
agribisnis seringkali berjalan parsial dan tidak terkoordinasi. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana peran KMTP dalam implementasi program OVOP dan perannya dalam rantai
pasok sayuran. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik penelitian studi kasus.
Hasil penelitian menunjukkan peran KMTP sebagai inisiator dari OVOP sudah cukup baik, namun OVOP
sebagai suatu program yang holistik memerlukan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan di wilayah
tersebut. Selanjutnya peran KMTP dalam rantai pasok sayuran dapat dikatakan sudah menyebar di semua
subsistem terutama dominan pada subsistem pemasaran yang telah berorientasi pada pasar modern.
Permasalahan yang muncul cukup klise yaitu kurangnya dana untuk membayar petani secara tunai akibat
dari sistem pembayaran tunda dari pasar modern. Keberadaan pimpinan UUO hortikultur yang secara
personal memberikan dana talangan dan faktor kepercayaan membuat petani tetap bertahan.

Kata Kunci: Peran Koperasi, One Village One Product (OVOP), Rantai Pasok Sayuran

ABSTRACT
One Village One Product ( OVOP ) is a development program with the region approach that implemented in
the Tegallega Village , Warungkondang district, Cianjur. The focus of activities the OVOP approach was
carried out development of agribusiness vegetables through strengthening the role of cooperative „Koperasi
Mitra Tani Parahyangan (KMTP)‟. At the same time, KMTP especially UUO horticulture was an institution
that connects farmers cooperative members to the modern market , but so far agribusiness activities often
partial and uncoordinated. Therefore, the aim of this study was to determine how KMTP role in the
implementation of OVOP programs and its role in the supply chain of vegetables. The study design used
was qualitative with case study technique. The results showed KMTP role as initiator of OVOP is good
enough, but OVOP as a holistic program was required the participation of all stakeholders in the region.
Furthermore KMTP role in the supply chain of vegetables have spread in all subsystems, especially dominant
in the marketing subsystem that has been oriented on the modern market. The problems that arise are the
lack of funds to pay farmers in cash caused of delay payment system of modern market. The existence of
leader UUO horticulture who personally gave bailouts and trust factor that made farmers stay afloat in the
supply chain of vegetables

Keywords: Role of Cooperatives, One Village One Product (OVOP), the supply chain of vegetables.

244
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi daerah (terutama daerah perdesaan) menjadi syarat mutlak bagi
pembangunan ekonomi nasional. Konsep pembangunan perdesaan banyak dicanangkan oleh pemerintah
dengan berbagai bentuk pendekatan. Salah satunya adalah dengan pendekatan pembangunan kawasan.
Bentuk pembangunan kawasan pada dasarnya berupaya untuk mengoptimalkan kekhasan hasil alam setiap
daerah. Konsep pengembangan wilayah ataupun pewilayahan komoditas ini pada akhirnya bermuara
dengan tujuan mendorong pengembangan ekonomi lokal.
Konsep pembangunan perdesaan dengan pendekatan kawasan yang dikembangkan oleh Kementrian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop & UKM) sebagaimana Instruksi Presiden (INPRES) No.6
Tahun 2007, Tanggal 8 Juni, Tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah OVOP (One Village one Product).
Penjelasan dalam panduan operasional yang dikeluarkan Kementrian Koperasi dan UKM (2010:10),
menekankan bahwa pelaksanaan program OVOP di Indonesia memiliki dasar pencapaian 3 (tiga) hal
penting, yaitu (1) penguatan peran koperasi; (2) pengembangan sistem agribisnis pada produk hortikultura;
dan (3) pengembangan ekonomi lokal. Sektor pertanian tanaman hortikultura ini dipilih mengingat kondisi
Indonesia sebagai negara agraris patut untuk lebih mengembangkan keunggulan kompetitif dan
komparatifnya. Selain itu juga penting untuk menekankan aspek sistem agribisnis di dalamnya sehingga
terwujud tujuan pemberian nilai tambah (value added) pada produk-produk pertanian yang akhirnya akan
mewujudkan kesejahteraan lokal.
Aspek pertama dan kedua yaitu penguatan peran koperasi dan pengembangan sistem agribisnis
pada produk hortikultura, memiliki jalinan hubungan yang erat. Sebagaimana dijelaskan Baga (2007) bahwa
dalam sistem agribisnis, peran koperasi dapat diwujudkan untuk memperkuat sub-sistem hulu (up-stream
agribusiness sub-system) yang terkait dengan penyediaan input faktor yang diperlukan petani, maupun sub-
sistem hilir (down-stream agribusiness sub-system) yang terkait dengan kegiatan pengolahan hasil pertanian
beserta pemasarannya. Aspek yang ketiga mengenai pengembangan ekonomi lokal nantinya akan
terhubung dengan kedua aspek yang telah disebutkan di atas.
Salah satu bentuk program rintisan OVOP berada di Desa Tegallega, Kecamatan Warungkondang,
Kabupaten Cianjur yang berfokuskan pada pengembangan agribisnis tanaman hortikultura terutama tanaman
sayuran. Peluang pemasaran sayuran semakin terbuka lebar seiring dengan perkembangan ritel modern
dalam dan luar negeri.. Hal ini didukung dengan jumlah permintaan produk kebutuhan sehari-hari (consumer
goods) masih menjadi driver utama permintaan.
Koperasi Mitra Tani Parahiangan (KMTP) adalah pelaksana OVOP sekaligus juga sebagai pihak yang
berperan penting dalam rantai pasok sayur ke pasar modern. Oleh karena itu penting diketahui bagaimana
peran koperasi dalam pelaksanaan OVOP dan bagaimana pula perannya dalam rantai pasok sayuran ke pasar
modern.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik studi kasus. Informan kunci dalam penelitian ini
adalah pengurus Koperasi terutama UUO hortikultura sayuran dan petani anggota koperasi. Teknik analsis
yang digunakan adalah deskriptif yang memberi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran KMTP Dalam Implementasi Program OVOP

Pembangunan wilayah perdesaan menjadi salah satu hal penting bagi setiap pemerintah di tiap-tiap
negara untuk memulai transformasi dari sektor pertanian berubah menjadi sektor industri kemudian sektor
jasa. Hal ini karena pembangunan perdesaan, secara langsung mengikutsertakan pembangunan pertanian
245
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
yang mana sebagian besar masyarakat perdesaan sangat bergantung pada sektor pertanian.Indonesia
menjadi salah satu negara yang mengadopsi program OVOP yang lahir di Jepang pada tahun 60-an sebagai
suatu sikap kekhawatiran pemerintah Jepang akibat timpangnya kesejahteraan antara wilayah perdesaan
dan perkotaan yang memanfaatkan pergerakan di lini bawah (grass-root movement) terutama di wilayah-
wilayah perdesaan (Fujita, 2006). Dilatarbelakangi tujuan pemerintah untuk memacu aktivitas pelaku usaha
mikro, kecil dan menengah, maka di 8 Juni 2007 melalui Instruksi Presiden No.6 Tahun 2007 diresmikan
program OVOP sebagai program nasional di bawah Kementerian Koperasi dan UKM .
Dalam pengembangannya, langkah awal program OVOP di Indonesia menekankan pada
pengembangan bidang pertanian terutama sektor hortikultura. Hal lain yang menjadi penting dalam
pelaksanaan program OVOP di Indonesia adalah dengan adanya penekanan pada upaya penguatan fungsi
dan peran koperasi. Sasaran lain yang hendak dicapai dalam implementasi program OVOP ini adalah
1. Kerjasama dengan berbagai pihak yang saling menguntungkan;
2. Membangun kesinambungan (sustainability) berbagai aktivitas di perdesaan/daerah yang antara lain
dapat dilaksanakan melalui manajeman rantai pasok, penempatan kelembagaan koperasi dan
peningkatan infrastruktur.
3. Menghasilkan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan para petani serta masyarakat disekitarnya.
4. Meningkatkan posisi tawar, bargaining position terhadap pasar untuk para pelaku usaha/petani
Kegiatan yang dilakukan oleh Koperasi Mitra Tani Parahyangan selalu berlandaskan pada tujuan agar
pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat tani lainnya
pada umumnya. Meskipun pada awalnya bermula dari kelompok tani yang berfokus pada tanaman sayuran,
ruang lingkup kegiatan Koperasi Mitra Tani Parahyangan berkembang untuk memenuhi segala kebutuhan
masyarakat tani pada umumnya dibentuklah unit-unit otonom yang berada di bawah koperasi. Kegiatan unit-
unit otonom yang ada di KMTP meliputi Unit Usaha Otonom (UUO) Hortikultura, UUO Tanaman Pangan, UUO
Simpan Pinjam, dan UUO Sarana Produksi yang masing-masing memiliki keanggotaan di dalamnya yang
secara otomatis merupakan anggota KMTP.
Penamaan OVOP yang diartikan sebagai sebagai satu desa satu produk lebih diartikan sebagai
kelompok komoditi yaitu sayuran, karena kondisi agroekosistem Cianjur secara umum mendukung
pengembangan sayuran. Namun demikian, untuk kepentingan OVOP, penetapan jenis sayuran untuk seorang
petani hanya 1 jenis sayuran saja, yang biasanya ditentukan dan dikoodinasikan pada masa awal tanam
secara bersama-sama dengan pengurus koperasi.
Dalam pelaksanaan program OVOP terdapat beberapa kendala yang terjadi diantaranya dapat dilihat
dari 2 sudut pandang pelaku. Dari sudut pandang pihak KMTP, proses pelaksanaan OVOP terkendala dalam
hal pembayaran yang dilakukan oleh Supermarket yang tidak dilakukan dengan pembayaran tunai sehingga
mengganggu cash flow koperasi dan menghambat pembayaran kepada anggota. Sementara dari sudut
pandang pihak inisiator dalam hal ini pihak Kemenkop terdapat kendala dalam hal (1) kurangnya dukungan
dan fasilitasi dari Pemeirntah Daerah dan (2) kurangnya pemahaman Pemerintah Daerah tentang
pengembangan produk unggulan daerah dengan pendekatan OVOP melalui Koperasi.
Berdasarkan pengamatan, bentuk partisipasi dan pengetahuan pada pelaksanaan OVOP ini masih
sebatas pada pihak pengurus koperasi saja. Sementara melihat tujuan dari program OVOP ini maka sukses
tidaknya program OVOP di Desa Tegallega salah satunya sangat ditentukan oleh bagaimana persepsi dan
partisipasi masyarakat sasaran dalam hal ini terutama pada masyarakat Desa Tegallega. Hasil wawancara
terhadap informan diperoleh kesimpulan bahwa hampir 90 persen petani informan tidak memahami konsep
OVOP. Para petani informan tersebut hanya merasakan dampak dari harga beli koperasi yang lebih tinggi.
Menurut pengurus KMTP sebelum menerima program tersebut telah diadakan beberapa kali rapat pengurus,
namun memang sedikit dari petani anggota yang ikut hadir. Hal inilah yang membuat petani tidak paham
betul mengenai program OVOP

246
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Peran KMTP Dalam Rantai Pasok Sayuran.

Unit usaha otonom hortikultura merupakan unit usaha yang melakukan aktivitas terbesar dalam
KMTP. Dalam kegiatannya, unit ini berperan sebagai penyalur hasil usaha tani sayur mayur yang ditampung
dan dikumpulkan dari petani anggota maupun petani non anggota untuk disalurkan dalam rangka memenuhi

permintaan beberapa pasar lokal seperti hotel, restoran dan katering dan beberapa pasar ritel modern di
wilayah Jakarta.
Kegiatan unit usaha otonom hortikultura KMTP ini membawahi sebuah usaha dagang. Usaha dagang
tersebut diberi nama Mitra Tani Parahyangan. Bertempat terpisah dari gudang yang berada di Kampung
Padakati, usaha dagang Mitra Tani ini menempati kawasan ruko (rumah pertokoan) di Cianjur. Ruko KMTP ini
dibentuk untuk semakin memperkuat posisi tawar koperasi saat menyalurkan barang ke pihak ritel modern.
Proses penerimaaan order dari pelanggan, baik itu ritel modern maupun permintaan dari horeka
(hotel,restoran dan katering) diolah di kantor pemasaran ruko KMTP. Proses pemesanan yang dilakukan
oleh ritel modern biasanya melalui fasilitas email dan faksimile. Sementara pada beberapa pemesanan dari
horeka dilakukan melalui sambungan telepon. Jumlah pemesanan yang diterima kemudian dikonfirmasikan
ke bagian gudang KMTP di Kampung Padakati melalui telepon.
Hingga tahun 2012 total terdapat lebih dari 94 outlet dari 8 perusahaan ritel modern yang memasok
produk fresh vegetable dari KMTP. Proses pengiriman dilakukan oleh KMTP selaku pemasok. Beberapa
perusahaan ritel tersebut melakukan penerimaan produknya di gudang induk. Bila digambarkan maka alur
kegiatan di UUO hortikultura nampak seperti pada Gambar 1

Ritel Modern, horeka, dan pelanggan lain melakukan proses pemesanan

Ruko mengkonfirmasi kepada pihak Gudang

Apakah pasokan ya
tidak
mencukupi

Pihak gudang menghubungi Pesanan diterima


beberapa petani mitra selain di
desa Tegallega

Pihak Gudang melakukan pengiriman ke gudang


Proses penerimaan induk atau langsung ke outlet ritel modern
produk disertai nota BKB (Bukti Keluar Barang)

Proses receiving

Pengembalian BTB ke pihak Penerimaan produk oleh Officer Perishable


ruko /gudang dan beserta staff perishable disertai BTB
(Bukti Terima Barang)
Selesai

Gambar 1. Standar Operation Procedur Pengiriman Produk Sayur-mayur dari UUO Hortikultura KMTP

247
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Permintaan yang cukup banyak tidak disertai dengan ketersediaan produk sayuran yang dimiliki oleh
petani Desa Tegallega. Ketidakmampuan ini selain dari aspek kuantitas juga berupa ketidaktersediaannya
produk yang diinginkan oleh pihak ritel. Hal ini kemudian membuat pihak KMTP melakukan proses kemitraan
dengan beberapa pihak, diantaranya dengan pedagang pengumpul setempat dan pihak petani serta
pedagang pengumpul dari beberapa daerah lainnya.

Peran KMTP dalam Menyalurkan Saprotan

Faktor penting dalam kegiatan usaha tani adalah sarana produksi, dan salah satu diantaranya adalah
penggunaan pupuk. Peranan pupuk dilihat oleh pihak koperasi sebagai komponen penting yang dibutuhkan
petani. Sebagai upaya untuk mensejahterakan anggotanya maka dibentuklah unit usaha saprotan yang
kegiatan utamanya adalah memproduksi pupuk. Pupuk yang dihasilkan merupakan hasil pengolahan limbah
sayuran yang dihasilkan saat proses panen dan saat proses penerimaan di gudang. Proses sortasi produk
sayuran di gudang KMTP menghasilkan limbah yang cukup banyak. Limbah tersebut dikumpulkan, dan
dibawa ke tempat pengolahan pupuk kompos yang berada di dua tempat. Lokasi pengolahan yang pertama
berada dekat dengan lokasi gudang dan lokasi kedua berada di sekitar lahan para petani.
Pupuk yang dihasilkan oleh KMTP telah melalui proses pengujian laboratorium dan disebarluaskan
dengan nama merek dagang Pupuk Mitapa. Pengolahan pupuk mitapa dilakukan pada waktu tertentu sesuai
dengan permintaan dari para petani. Untuk mengantisipasi kebutuhan yang mendadak, pihak UUO telah
melakukan proses penyimpanan. Harga jual untuk produk pupuk kompos yang ditawarkan oleh pihak
KMTP untuk anggota lebih murah yaitu Rp 6.000/karung sudah termasuk ongkos transport.
Sistem pembayaran pupuk oleh petani kepada KMTP dilakukan dengan sistem dibayar saat panen
(yarnen), tetapi sistem ini diperuntukan untuk anggota KMTP saja. Sistem transaksi tersebut merupakan
bentuk pelayanan koperasi terhadap petani anggotanya.

Peran KMTP dalam Usahatani


Dalam rantai pasokan sayuran di Desa Tegallega, ketua UUO hortikultura memiliki peran yang sangat
sentral dalam hal pemasaran ataupun produksi sayuran. Selain melakukan aktivitas pemasaran, ketua UUO
beserta P4S bekerja sama melakukan kegiatan pembinaan teknis budidaya agar produk sayuran yang
dihasilkan memiliki kualitas dan kuantitas yang baik.
Dalam budidaya para petani sebenarnya tergolong penguasaan lahannya sempit. Hal ini
mengakibatkan petani cenderung melakukan pola tanam tumpangsari. Karakteristik tanaman sayur-sayuran
rata-rata yang memiliki siklus tanam dengan intensitas tinggi dan cepat menjadi salah satu faktor sistem
tumpangsari ini dilakukan. Alasan para petani melakukan hal ini bertujuan untuk memperoleh pemasukan
dalam jangka waktu yang relatif singkat untuk setiap komoditas yang berbeda, karena dengan pola tanam
seperti ini petani dapat mencapai tiga sampai empat kali panen dalam setahun tergantung pada kualitas
benih dan pengelolaan tanaman.
Pemeliharaan dalam usahatani sayuran pada umumnya berupa penyiraman, penyulaman,
penyiangan, pemupukan serta proses pengendalian hama dan penyakit. Pada beberapa tanaman dilakukan
pula teknik pemeliharan tambahan seperti proses pengikatan tanaman dengan ajir.
Tanaman sayuran termasuk tanaman yang masa tanamnya singkat, rata-rata memerlukan waktu 3
bulan. Saat proses panen, petani biasanya hanya melakukan penanganan pasca panen seperlunya. Proses
pengemasan hanya dilakukan dengan menggunakan karung karena penanganan selanjutnya dilakukan di
UUO hortikulur KMTP.

248
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 1 Perlakuan Pemeliharaan pada Beberapa Komoditi Sayuran

Pengendalian
Penyulaman

Pemupukan
Penyiangan
Bentuk Pemeliharaan

OPT
Komoditi Keterangan tambahan
lainnya

Tomat     Pengikatan tanaman dengan Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali


tali dilakukan setelah setelah tanam
tanaman tomat berumur
sekitar 3 – 4 minggu
Brokoli     - Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali
setelah tanam
Sawi putih     -
Timun     Pengikatan tanaman timun -
dengan tali dilakukan
setelah tanaman berumur
sekitar 3 – 4 minggu
Kapri     pemasangan ajir dilakukan -
pada umur tanaman tiga
minggu atau pada saat
ketinggiannya sekitar 15 cm

Peran KMTP dalam Pemasaran Hasil

Pemasaran merupakan rangkaian kegiatan mulai pengumpulan produk usahatani, pengolahan,


penyimpanan dan distribusi. Pelaku dalam subsistem ini terdiri dari pengumpul produk, pedagang dan
penyalur pada konsumen. Pemasaran tanaman sayur mayur oleh para petani di Desa Tegallega secara
umum dibagi menjadi dua pola pemasaran, yaitu diantaranya (1) petani menjual produk sayur-mayur ke
koperasi , dan (2) petani menjual ke pedagang pengumpul (bandar)

Pasar Ritel Modern

Pedagang Koperasi Konsumen


Petani
Pengumpul

Pasar Tradisional

Gambar 2 Saluran Pemasaran Umum Sayuran di Desa Tegallega

Dalam memasarkan produk ke ritel modern, pihak KMTP dalam hal ini melalui Unit Usaha Otonom
Hortikultura mensuplai produknya dengan beberapa nama supplier, yaitu diantaranya Mitra Tani
Parahyangan, Putra Cianjur Mandiri, Jasa Tani Mandiri, Putra Pasundan, dan Arwin Farm. Hal ini dilakukan
karena adanya aturan yang tidak memperkenankan satu supplier mendominasi atau memonopoli pasokan
hanya disatu outlet ritel saja. Salah satu keuntungan lainnya dengan penggunaan nama supplier yang
berbeda, yaitu dapat mengurangi dampak yang dirasakan akibat dikenakannya biaya-biaya pada trading

249
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
term. Biaya trading term ini dikenakan kepada pihak supplier oleh pihak ritel modern seperti biaya
Anniversary discount, Opening store discount, carrier bag support, Promotion discount dll.
PETANI ANGGOTA

UUO HORTIKULTURA

MITRA TANI PUTRA CIANJUR JASA TANI PUTRA PASUNDAN ARWIN FARM
PARAHYANGAN MANDIRI MANDIRI

Outlet Lion Outlet Hari-Hari PT Bellfoods  Giant Padjadjaran PT. Alfa Midi
Superindo Supermarket Indonesia  Giant IPB Indonesia
 Cisere, Depok Trade  Lokasari  Giant Taman
Centre, Mampang,  Roxy, Yasmin
Pancoran, Pasar  Giant Pamulang
Fatmawati,
SPM
Rebo, Square Depok, Duta  Giant Hyper
Kelapa Gading, Harapan, Bekasi Pamulang, Giant
Tebet, BSD, Trade Centre, Bekasi,Giant BSD
Cibinong, Cibubur, Bintaro, Bekasi  Giant lainnya di
JMB Bogor Cyber Park Jkt

Gambar 3. Rantai Pasok Sayuran ke Pasar Ritel Modern


Sumber : Koperasi Mitra Tani Parahyangan,2013

Koperasi Mitra Tani Parahyangan mendapatkan hak memasok ke beberapa ritel tersebut melalui
beberapa aspek penilaian, diantaranya (1) harga penawaran yang rendah (2) memberikan keuntungan lain
selain marjin penjualan (3) kepercayaan kepada pemasok (4) karakter dan etika yang baik (5) produk yang
terstandarisasi (6) produk yang diminati konsumen dan (7) produk yang berkualitas (7) Ketepatan dalam
melakukan pasokan ulang (8) Memiliki sistem pemesanan yang efektif dan tepercaya (9) Jaminan
ketersediaan produk (10) Pelayanan yang memuaskan.

Sistem Transaksi

Transaksi merupakan kegiatan pembelian barang oleha satu pihak dan usaha penjualan dari pihak
lain. Dalam melakukan penjualan, pihak petani di Desa Tegallega harus memperhatikan kualitas, kuantitas,
bentuk dan waktu yang diinginkan oleh pihak KMTP sebagai partisipan pasar dari rantai pemasaran
berikutnya. Standar yang ditetapkan oleh pihak KMTP merupakan standar produk yang diterima oleh pihak
Ritel modern. Standar yang ditetapkan oleh masing-masing ritel modern memiliki karakteristik yang berbeda.
Kriteria sayuran yang diterima di supermarket harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tingkat kesegaran sayuran daun yang harus benar-benar fresh dari kebun
2. Sayuran daun bayam dan kangkung sudah dikemas oleh pemasok
3. Kualitas sayuran harus bagus tidak bolong-bolong
4. Sayuran daun tidak terlalu tua/muda (usia panen cukup)
5. Permukaan sayuran keras mulus.
Kegitan handling (perlakuan), pengangkutan (pemindahan), dan bertujuan agar produk tersedia
dalam volume transaksi yang memadai pada waktu yang diinginkan. Pada pelaksanaanya koperasi dalam hal
ini pihak UUO hortikultura KMTP melakukan proses penerimaan barang di dua tempat, yaitu di gudang
koperasi yang berada di Kampung Padakati dan di gudang ruko yang ada di Cianjur. Para petani sayur mayur
di Desa Tegallega biasa mengirimkan barangnya di gudang yang berada di Kampung Padakati, hal ini
dikarenakan jaraknya yang lebih dekat dengan lahan para petani. Proses penerimaan barang tidak hanya

250
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
terjadi di gudang, tetapi terkadang di lakukan di lahan sesaat setelah panen. Proses pengangkutannya dalam
hal ini ditanggung oleh pihak UUO hortikultura KMTP.
Karakteristik tanaman sayur mayur yang mudah rusak (perishable) mengharuskan produk yang
diterima untuk langsung ditangani. Proses penanganan di gudang dimulai dengan proses sortasi dan grading.
Beberapa kriteria kualitas di antaranya tingkat kematangan, kekerasan, ukuran, warna, kerusakan
maksimum, kotoran, dan busuk maksimum. Setelah disortir maka akan dihasilkan 2 golongan sayuran yang
mempunyai kualitas baik dan memenuhi standar untuk dikirim dan yang kualitasnya kurang baik. Dalam hal
pihak koperasi juga melakukan fungsi pengemasan. Beberapa bentuk yang dilakukan

Tabel 2. Bentuk Pengemasan Beberapa produk Sayur mayur dari KMTP


Komoditas Bentuk Pengemasan Berat per kemasan
Pipilan Kapri ±200 gr
Baby corn ±200 gr
Pipilan Kacang merah ±200 gr
Tomat Dalam tray container dialasi koran 30-40 kg
Mentimun
Oyong
Sawi putih Wrapping film plastic, dan , Diikat Selotip ±200 gr per ikat
Brokoli ±200-300 gr per ikat
Caisim Diikat Selotip ±200 gr per ikat
Kol Wrapping film plastic ± 300-400 gr
Baby buncis Sterofoam dan Wrapping film plastic 250 gr

Pihak UUO hortikultura KMTP melakukan kemitraan dengan pihak pedagang pengumpul. Produk
yang kualitasnya kurang baik (berada di grade C) biasanya disalurkan pihak UUO hortikultura KMTP kepada
pihak pedagang pengumpul dengan harga jual dibawah harga pasaran lokal. Sistem pembayaran dari pihak
pedagang pengumpul kepada pihak koperasi dalam hal ini dengan sistem tunda, artinya para pedagang
pengumpul yang menjual produk dari KMTP ini harus menyerahkan nota dari pasar.
Harga yang ditawarkan dari koperasi sudah ditetapkan berdasarkan perjanjian dengan pihak ritel
modern . Namun ternyata masih ada anggota sewaktu-waktu menjual sayurannya ke pedagang pengumpul
terutama saat harga di pasaran lokal tinggi, padahal petani memperoleh keuntungan yang tetap apabila
menjual hasil panennya ke pihak UUO hortikultura KMTP dibanding dengan hanya menjual kepada
tengkulak yang fluktuatif.
Sistem pembayaran KMTP dengan ritel adalah menggunakan sitem tunda bayar antara 3 minggu
sampai 1 bulan. Kondisi ini memberatkan petani, tetapi karena pihak UUO hortikulur terutama ketuanya
punya komitmen untuk memberikan dana talangan untuk kepentingan mendesak petani mitranya maka
petani mampu untuk tetap bertahan dalam rantai pasok sayuran tersebut.
Untuk kepentingan yang tidak berhubungan dengan usahatani (misalnya pembelian motor, biaya
sekolah dll) pelayanannya dilakukan oleh UUO simpan pinjam. Namun demikian dalam cara mengangsurnya,
UUO simpan pinjam berkordinasi dengan UUO hortikultur untuk memotong hasil pembayaran hasil panennya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Program OVOP berlum tersosialisasi dengan baik, sehingga kurang difahami oleh petani bahkan
stakeholder lain. Kondisi ini terbukti dari petani hanya faham bahwa melalui program OVOP dada
jaminan pasar. Bukti lainnya ialah kurangnya partisipasi dari stakeholder lain )pemerintah daerah
seolah-olah program tersebut hanya milik kementerian koperasi saja.

251
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

2. Peran KMTP dalam rantai pasok dapat dirasakan sejak dari sub sistem penyediaan saprotan sampai
pemasaran. Pemasaran utama ditujukan untuk pasar modern, adapun untuk sayuran yang tidak
memenuhi syarat pasar modern oleh KMTP disalurkan ke pasar tradisional. Dengan demikian petani
dapat memasarkan hasil seluruh sayurannya. Harga untuk pasar modern lebih tinggi dibandingkan
dengan pasar tradisional namun demikian yang menjadi permasalahan adalah cara pembayaran
dengan system tunda yang memberatkan karena berefek domino terhadap keberlangsungan
usahatani . Selama ini untuk kebutuhan mendesak petani dibayar dulu secara tunai oleh pihak UUO
hortikultur.

Saran

1. Progaram OVOP perlu disosialisasikan kepada semua pihak sepertti petani dan pemerintah serta
pelaku bisnis lain, agar mendapat dukungan dan dampak program ini lebih menyentuh seluruh
aspek di perdesaan.
2. Perlunya dukungan lembaga keuangan mengingat system tunda bayar dari pasar modern
memberatkan pelaku usaha yang terlibat dalam rantai pasok, terutama pihak petani. Kondisi ini akan
mengancam keberlangsungan rantai.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
- Koperasi Mitra Tani Parahyangan,2013. Laporan Koperasi. Cianjur.
- Nazir, Mohammad. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sumber seminar:
- Baga, Lukman Mohammad. 2007. Efektifitas Organisasi Koperasi. Kopernas PERHEPI 2007. Makalah
disampaikan pada Diskusi Terbatas: Kelembagaan dan Koperasi dalam Restrukturisasi Pertanian
Perdesaan yang diselenggarakan oleh PERHEPI di Jakarta, 30 September 2004.
- Fujita, Mashashita, 2006. Economic development capitalizing on brand agriculture : turning
development strategy on its head. Discussion Papers,Institute of Developing Economies, Japan
External Trade Organization(JETRO).
- Instruksi Presiden (INPRES) No.6, Tahun 2007, Tanggal 8 Juni, tentang Kebijakan Percepatan
Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengahi. Jakarta

252
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
36.THE ENTREPRENEURIAL COMPETENCE AND BUSINESS
PERFORMANCE OF DAIRY FARMERS
(Case Study: KTTSP Kania, Tajurhalang Village,
Cijeruk District, Bogor)
Yustika Muharastri1, Rachmat Pambudy2, dan Wahyu Budi Priatna3
1,2,3
Science in Agribusiness Graduate Program, Faculty of Economics and Management,
Bogor Agricultural University, Jl. Kamper, Wing 4 Level 5, Bogor Agricultural University Campus, Dramaga,
Bogor 16680, West Java
E-mail: muharastri@yahoo.com

ABSTRACT
Dairy farming is the main job and the major income source for the most of dairy farmers in KTTSP
Kania, Bogor Regency. The entrepreneurial competencies of dairy farmers as an entrepreneur are important
to support the business performance. This study aims to: (1) analyze the entrepreneurial competencies of
dairy farmers and business performances of the dairy farmers (2) analyze the correlation between the
entrepreneurial competencies and business performance of the dairy farmers. The data were collected in
March to June 2013. Applying statistical analysis on data from interview and questionnaire to 39 dairy
farmers as respondents with census method, the data were analyzed with Kendall Tau Correlation analysis.
The result of this study showed: (1) The entrepreneurial competencies and business performance of the
dairy farmers are at the low level, (2) The entrepreneurial competencies in general has no correlation with
business performance of the dairy farmers. Technical competencies and managerial competencies have a
positive correlation with the real incomes of dairy farmers.
Keywords: Entrepreneurship, Competence, Performance, Dairy Farmer.
INTRODUCTION
Entrepreneurship is the driving wheels of economic growth of a nation. Winardi (2004) stated that the
role of entrepreneurship in economic development not only includes increasing output and per capita, but
also bringing the changes in the structure of business and society. Entrepreneurship can absorb local
resources. With the entrepreneurial activities, job opportunities can be opened, so it can have implications for
the reduction in the unemployment rate. Kasmir (2006) defines that entrepreneurship is an ability in terms of
creating business activity. The ability to create business activities requires the existence of creativity and
innovation continuously to find something different from pre-existing so that creativity and innovation are at
last able to contribute to the community.
Casson et al. (2006) explained that entrepreneurial thinking is a popular notion that entrepreneurship
is based on the premise Joseph A. Schumpeter (1934) stated that entrepreneurship is a picture of an
innovator who creates new industries and accelerate the way the major structural changes in the economy.
Robbins and Coulter (2005) defines entrepreneurship as the process experienced by a person or group of
dairy farmers who dare to take the time and financial risks in an organized manner to pursue opportunities to
create value and growth through innovation and uniqueness, regardless of the current resource control. Kao
(1989) defines entrepreneurship as an effort to create value through the introduction of business
opportunities, management risk taking according to the odds, and through the communication and
management skills to mobilize human resources, finance and materials needed to bring a project towards an
outcome.Building economic independence through entrepreneurship is a very important thing. Livestock sub-
sector is one part of the agricultural sector has developed various types of businesses. The livestock
subsector produces products with economic value that can contribute to the national Gross Domestic Product
(GDP). Data of General Directorate of Livestock and Animal Health (2012) showed that in 2011 the GDP
value of the livestock sub-sector reached 929.2 billion dollars or 39 amounted to 1.62 percent of total
national GDP. The GDP value of the livestock sub-sector from 2007 to 2011 has increased by an average
growth rate of 3.93 percent per year. Businesses in the livestock sub-sector is the substantial main employer.
Data General Directorate of Livestock and Animal Health (2012) showed that in 2011 the livestock sub-sector
253
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
employment as much as 4,204,213 dairy farmers or of 11.51 per cent of total employment in the agricultural
sector. From the total employment, the number of male workers are 2,387,097 dairy farmers (56.78 percent)
and the employment of women are 1,817,116 dairy farmers (43.22 percent).
Dairy farm is one of the types of businesses in the livestock sub-sector that has a good chance to
develop. Fresh milk is the main product of the dairy farm. In 2012, production of fresh milk in the West Java
Province is the second largest fresh milk production in Indonesia with 326 115 tonnes, or about 32.04
percent of the total fresh milk production (General Directorate of Livestock and Animal Health 2012). The
first biggest fresh milk producer is the East Java Province with 570 082 tonnes or 56.00 percent and the third
largest is the Central Java Province with 106 224 tonnes or 10.44 per cent of the total production of fresh
milk in Indonesia.
The milk consumption of Indonesia continues to increase in the last five years. Increased
consumption of cow's milk is an opportunity for dairy farm business in the country. The consumption of dairy
products has increased from 2009 to 2011. In 2011, the consumption of fresh milk in Indonesia reached
0.156 liters per capita per year or an increase of 50 per cent of fresh milk consumption in 2010 is equal to
0.104 liters per capita per year (General Directorate of Livestock and Animal Health 2012). The consumption
of dairy products including fresh milk, sweetened condensed milk, milk powder, baby milk powder and
cheese in general showed an upward trend from 2009 to 2012.
The fresh milk production in the West Java Province from 2008 to 2012 has increased.
GeneralDirectorate of Livestock and Animal Health (2012) showed that the production of fresh milk in the
West Java Province reached 326 115 tonnes in 2012. The average rate of increase in fresh milk production in
the West Java Province reached 11.60 percent per year from 2008 to 2012.Beside producing milk, dairy farm
also produces other products that have economic value, the calf and manure. The manure can be used for
biogas or bio coal to meet energy needs, used as compost to fertilize crops and used for worms breeding
media. The cow urine can be used as plant fertilizer and natural pesticide (Sharif and Harianto 2011).
The Bogor Regency is one of the areas in the province of West Java that has a lot of dairy cow
population. Dairy cows is also designated as one of 17 leading commodities by the Government of Bogor
Regency (BP4K 2011). The population of dairy cattle and milk production in Bogor Regency has increased
from 2004 to 2010. The average rate of increase in dairy cow population in Bogor regency from 2004 to
2010 was 5.60 percent per year. The average rate of increase in milk production in Bogor Regency from
2004 through 2010 reached 0.16 per cent.
The dairy farm in the Tajurhalang Village, Cijeruk district is a center of dairy farm located in Bogor
Regency. The population of dairy cows in the Tajurhalang Village in 2011 reached 321 cows (BP4K 2011).
Tajurhalang Village is a region with the third largest population of dairy cows in Bogor Regency after Cisarua
District with 1 393 cows and Cibungbulang District with 604 cows (BP4K 2011). Tajurhalang Village has a
favorable geographical conditions as a center for the development of the dairy farm business.
Dairy farmers in the Tajurhalang Village incorporated in Dairy Farmers Group (KTTSP) Kania and
currently has a membership of 62 dairy farmers, with the number of active members who produce the milk
of 39 dairy farmers. Most of the farmers do the dairy farming business as a main job and as a main source of
income in the household. The majority of dairy farmers in the village of Tajurhalang make dairy farming as a
handed down business from family.
The dairy farmers in KTTSP Kania has a great potential to develop the dairy business. The dairy
cattle business conducted by the dairy farmers in KTTSP Kania currently are the production of fresh milk, the
fresh milk sales, and the processing of fresh milk. The production of the fresh milk produced by Kania KTTSP
distributed to KPS (Dairy Farmers Cooperate) Bogor, to the entrepreneurs that using milk as the raw material
(yoghurt and milk soap household producers), and personal purchases. For the dairy products, the dairy
farmers process the milk becomes dodol, caramel candies, kerupuk, pangsit, and stick snack. The dairy
products are only produced when getting orders from customers because the dairy farmers have difficulty in
marketing the dairy products. The dairy farmers have cultivating skills and making dairy products in dairy
farming business, but these skills have not been optimally utilized to develop the potential and take
advantage of the business opportunities. The management of dairy farms in the Tajurhalang Village are
relatively traditional. Most of the dairy farmer businesses are in a small scale.
Based on these conditions, it can be concluded that the dairy farm business in KTTSP Kania
254
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tajurhalang Village still can be developed to be a better businesses in order to increase the income of dairy
farmers. Therefore, it is necessary to conduct research on the entrepreneurial competencies and the business
performance of the dairy farmers in KTTSP Kania, Tajurhalang Village. Thus, it is expected that the dairy
farm businesses in Tajurhalang Village can be developed in both on-farm subsystem and downstream
subsystem, including the processing and the marketing of the livestock products.
The performance assessment is one step to measure the success of a business (Riyanti 2003). The
performance related to job satisfaction and the level of consideration given magnitude, and is affected by the
skills, abilities, and individual traits (Moehoeriono 2009). This suggests that there ia a relationship between
the entrepreneurial competencies and the business performance of entrepreneurial ventures. The
entrepreneurial competencies related to the success of a business in small and medium enterprises (Ahmad
et al. 2010). A higher level of competence will have an impact on the success of the business higher. Man et
al. (2008) suggests that the entrepreneurial competencies related to the business performance in small and
medium-sized businesses, measured by competitive scope and organizational capabilities.Based on these
conditions, it is necessary to do an analysis of the entrepreneurial competencies and the business
performance of the dairy farmers in the KTTSP Kania, Tajurhalang Village, Bogor. This study aims to analyze
the entrepreneurial competencies and the business performance of the dairy farmers and analyze the
entrepreneurial competencies relationship with the business performance of the dairy farmers.
METHODS
The data used in this study were primary data and secondary data. The primary data were obtained
through questionnaires and direct interviews with respondents. The secondary data were obtained from
literature books and journals. The respondent retrieval methods used in this study was the census method of
all active members of the dairy farmers in the KTTSP Kania, Bogor Regency with 39 dairy farmers.
In this study, the measurement of the variables is divided into 2 parts, ie the entrepreneurial
competencies with 18 indicators and the business performance variables with 3 indicator. Each indicator
measurements done with the ordinal scale refers to the principle of the Likert scale with a scale of 1 to 4.
Related to the validity of the data in this study, the result test of the validity of the instrument and the
validity of the instrument or scale can be found in Appendix 1 and 2. The reliability test was conducted in the
study to determine the level of consistency of the instrument when used anytime and by anyone so will
result in the data of the same or nearly the same as before. The reliability test using Cronbach formula
(Cronbach Alpha) was tested in 30 respondents produced Cronbach Alpha value of 0.854, which means that
that the instruments used reliable. The reliability test results can be seen in Appendix 3. The data used in this
study were analyzed using the descriptive analysis and the Kendall Tau correlation analysis. The correlation
analysis stated the degree of the closeness of the relationship between the variables (Trihendradi 2009).
RESULTS AND DISCUSSIONS
The Entrepreneurial Competences of The Dairy Farmers
The average level of the entrepreneurial competencies of the dairy farmers in the Tajurhalang Village
is at a low level. The most of the dairy farmers have entrepreneurial competence in a low level, with 20 dairy
farmers (51.28 percent). A total of 1 diary farmers (2.56 per cent) belongs to the low level, 13 dairy farmers
(33.33 percent) were included in the medium level and 5 dairy farmers (12.82 percent) categorized into the
high level. This shows that in general the dairy farmers still do not have the expertise skills in organizing the
dairy farm business.
Table 1 The levels of the entrepreneurial competence of the dairy farmers
No. Competence Level Score Total (dairy farmers) Percentage (%)
1 Very low 72-125 1 2.56
2 Low 126-179 20 51.28
3 Medium 180-233 13 33.33
4 High 234-288 5 12.82
Total 39 100
The entrepreneurial competence level per indicators categorized into four based on the average score
of the items of each competency indicator questions, which are very low (score 4-7.99), low (score of 8-
10.99), medium (score 11-13.99) and high (score 14-16). The average level of the entrepreneurial
competence in the dairy farmers in KTTSP Kania is at a low level with an average total score 10.23. The
255
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
entrepreneurial competence level is divided into two parts, namely technical competence and managerial
competence.
The average level of technical competence of dairy farmers is at a low level with an average score of
10.35. The average level of managerial competence of the dairy farmers is at a low level with a mean score
of 10.22. The indicator of the technical competence that has the low score average value is lactation skill. It
is caused by the ability of the farmers to maintain the cleanliness and the hygiene during lactation process is
low. The weakness of the farmers in lactation skill affects the milk quality (total of the bacteria) and the
resulting impacts on the low milk prices received by farmers from KPS Bogor. The indicator of the managerial
competence that has the lowest value of the average score is marketing skill. The farmers are still depends
on KPS Bogor to market their milk though the prices that received by the dairy farmers is low. The dairy
farmers are also still have many difficulties in marketing the dairy products, so the dairy farmers only
produce the dairy products based on consumer orders only.
Table 2 The levels of the entrepreneurial competence of the dairy farmers per indicator
No. Competense Average Competence
score level
Technical Competence
1 Development of livestock breeds 10.72 Low
2 Nutrition and animal feed 9.90 Low
3 Reproduction 11.03 Medium
4 Lactation 9.67 Low
5 Dairy biosecurity 11.28 Medium
6 Dairy comfort 10.44 Low
7 Recording 10.05 Low
8 Processing of livestock products 9.69 Low
Average 10.35 Low

Managerial Competence
9 Business plan 9.33 Low
10 Human resource management 10.54 Low
11 Marketing management 9.97 Low
12 Finance management 9.05 Low
13 Business evaluation 9.08 Low
14 Communication 11.36 Medium
15 Negotiation 10.41 Low
16 Leadership 11.28 Medium
17 Ability to find the opportunities 9.54 Low
18 Ability to establish cooperation with partners 11.64 Medium
Average 10.22 Low
Average of the entrepreneurial competence 10.23 Low
The Business Performance of The Dairy Farmers
The measurement of the business performance in this study consists of three indicators, ie. the
productivity of the lactating dairy cows, the number of dairy cows ownership and the income from dairy
businesses. The classification level of the business performance per indicator classified by the score of 3, ie
very low (score of 3 to 5.34), low (score 5,35-7.59), moderate (score 7.60-9.75), and high (score 9.76-12).
The most of the dairy farmers are at the level of the business performance, with 15 dairy farmers (38.46
percent). A total of 11 dairy farmers (28.21 percent) belong to the very low level, 10 dairy farmers (25.64
percent) classified as medium, 3 dairy farmers (7.69 per cent) belong to the high level. The average level of
the business performance of dairy farmers are at a low level with a mean score of 2.3.

256
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Table 3 The levels of the business performance of the dairy farmers
No. Competence Level Score Total (dairy Percentage (%)
farmers)
1 Very low 3-5,34 11 28.21
2 Low 5.35-7.59 10 25.64
3 Medium 7.6-9.75 15 38.46
4 High 9.76-12 3 7.69
Total 39 100
The business performance indicators of the dairy farmers in KTTSP Kania indicator are divided into
four levels, ie very low (score 1-1.7), low (score 1.8-2.4), medium (score 2.5-3.2) and high (3.3-4). The
average of the cattle productivity is at a low level with an average score of 2.36. The average ownership of
the lactating cows is at a low level, ie with an average score of 2.31.The average income of the dairy farmers
is at a low level, with the average score 2.53
Table 4 The level of the business performance of the dairy farmers
No. Business performance Average Business
score performance
level
1 Lactating cows productivity 2.36 Medium
2 Dairy cows ownership 2.31 Low
3 Dairy farmer income 2.53 Low
Average 2.40 Low
The productivity of the lactating dairy cows is the average milk production of lactating cows per day.
Rusdiana and True (2009) stated that in the dairy business in Indonesia, the average lactation production is
10-12 liters/cow/day. The average productivity of the lactating dairy cows in KTTSP Kania is 9.19
liters/cow/day or included in a low category. The most of the productivity of the dairy farmers belong to the
low level, with 19 dairy farmers (48.72 percent). A total of 2 dairy farmers (5.13 per cent) belong to the very
low category, 16 dairy farmers (41.02 percent) included in the medium category and 2 dairy farmers (5.13
per cent) in the high category.
The low level of the lactating dairy cows productivity in KTTSP Kania caused by the feeding. The
feeding does not always conform to the ideal dose, so the milk production of the dairy cows was not optimal.
In addition, the unfavorable lactation livestock management caused the large number of the dry lactating
cows or the cows do not produce at all, without balanced with a minimum number of the lactating dairy
cows. The ideal business scale for dairy farm agribusiness is a minimum 7 lactating cows. To maintain this
number, the minimum number of dairy cows that are 10 cows (Rusdiana and True 2009). The number of the
productive and non productive dairy cows need to be managed, because too many non-productive dairy
cows will lead to low income.
The average percentage the ownership of the lactating cows is classified in the low category. The most
of the dairy farmers have a very low ownership, with 14 dairy farmers (35.90 percent). A total of 10 dairy
farmers (25.64 percent) classified in the very low category, 4 dairy farmers (10.25 per cent) belong to the
low category and 11 dairy farmers (28.21 percent) belong to the high category.
The dairy farmers income is revenue earned from the dairy farm business (milk and dairy products)
each month. The average income of the dairy farmers reached Rp 1,822,368 per month which can be
classified as the middle income. The majority of dairy farmers in the Tajurhalang Village has a very low
income with 18 dairy farmers (46.15 percent), 6 dairy farmers (15.38 per cent) belong to the low income
level, 7 dairy farmers (17.95 percent) were classified in the middle income level and 8 dairy farmers (20.51
per cent) belong to the high income level.
Generally, the low income of the dairy farm business caused by the unbalanced ownership of
productive and non-productive lactating cows. It causes a higher feeding costs then have an impact on the
low income of the dairy farmers. The availability of the feed and the milk prices had impact on the
profitability (Siregar SB and Kusnadi U 2004). The selling price of the fresh milk that relatively low also

257
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
causes the low income of the dairy farmers. There is 22 dairy farmers (56.41 percent) that the dairy farm
business become their primary source of the household income.
The Correlation Relationship between The Entrepreneurial Competence and
The Business Performance
The entrepreneurial competence in general has no a real positive correlation with the business
performance, with τ=0.062 and significance value of 0665, the real level of α=0.05 level. The entrepreneurial
competence has no correlation with the productivity of the dairy cows and the lactating dairy cows
ownership. Only the dairy farmers income indicator that were correlated with the entrepreneurial
competencies, with τ=0.462 and significance value of 0.001, with the significance level α=0.05 level.
Table 5 The relationship correlation between the entrepreneurial competencies with business performance of
the dairy farmers
No. Business performance Competence
Kendall Tau Significance
Coefficient
Business performance 0.062 0.665
1 Lactating cows productivity (0.179) 0.227
2 Dairy cows ownership (0.152) 0.284
3 Dairy farmer income 0.462 0.001
Generally, the entrepreneurial competence is not significantly correlated with the business
performance in KTTSP Kania dairy farmers (Appendix 4). The technical competence and the managerial
competence of each has no a real correlation with the productivity of the lactating dairy cows and the dairy
cows ownership. The technical competence and the managerial competence each has a correlation with the
incomes of the dairy farmers from the dairy farm business. The technical competence has a real positive
correlation with the income, with τ=0.424 and the significance value of 0.002, the significance level α=0.05
level. The managerial competence has a positive correlation with income, with τ=0.493 and the significance
value of 0.000, the significance level α=0.05 level (Appendix 5).
CONCLUSSION
The average level of the entrepreneurial competencies of the dairy farmers in KTTSP Kania,
Tajurhalang Village is at the low level. The average level of the business performance of the dairy farmers is
at the low level. The entrepreneurial competence in general has no a real correlation with the business
performance. The technical competence and the managerial competence each have a real positive correlation
with the incomes of the dairy farmers from the dairy farm business.
The training needs to be done to improve the technical competence and the managerial competence
involving farmers directly in practice. The activation of dairy farmers group activities involving dairy farmers
could be increased to improve the entrepreneurial motivation of the dairy farmers. In addition, the re-
activation of dairy farmers group activities related to the milk processing and the marketing of the dairy
products also needs to be conducted to increase the value-added of the milk so it can increase the income of
the dairy farmers in KTTSP Kania, Bogor.
REFERENCE
Ahmad NH, Ramayah T, Wilson C, Kummerow L. 2011. Is Entrepreneurial Competency and Business Success
Relationship Contingent Upon Business Environment? A Study of Malaysian SMEs. International Journal
of Entrepreneurial Behaviour and Research. 16(3):182-203.
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, and Kehutanan. 2011. Data Kelompok Tani Ternak di
Kabupaten Bogor Tahun 2011. Bogor: Pemerintah Kabupaten Bogor.
Casson M, Yeung B, Basu A, Wadeson N. 2006. The Oxford Handbook of Entrepreneurship. New York:
Oxford University Press.
Direktorat Jenderal Peternakan and Kesehatan Hewan, 2012. Statistik Peternakan and Kesehatan Hewan
2012. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian RI.
Kao, J. 1989. Entrepreneurship, Creativity, and Organization: Text, Cases, and Readings. New Jersey:
Prentice Hall.
Kasmir. 2006. Kewirausahaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

258
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Man TWY, Lau T, Snape E. 2008. Entrepreneurial Competencies and The Performance of Small and Medium
Enterprise: An Investigation through a Framework of Competitiveness. Journal of Small Business and
Entrepreneurship. 21(3): 257-265,267-271,273-276,377.
Muharastri, Yustika. Karakteristik Wirausaha, Kompetensi Kewirausahaan, dan Kinerja Usaha Peternakan Sapi
Perah di KTTSP Kania Bogor. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Riyanti BPD. 2003. Kewirausahaan dari Sudut Panandg Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Robbins SP, Coulter M. 2005. Management 8th ed. New Jersey: Pearson Education International.
Rusdiana S, Sejati WK. 2009. Upaya Pengembangan Agribisnis Sapi Perah and Peningkatan Produksi Susu
melalui Pemberdayaan Koperasi Susu. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 27(1): 43-51.
Siregar SB, Kusnadi U. 2004. Peluang Pengembangan Usaha Sapi Perah di Daerah Dataran Rendah
Kabupaten Cirebon. Media Peternakan. 27(2):77-78.
Winardi J. 2004. Entrepreneur and Entrepreneurship. Jakarta: Prenada Media.
APPENDIX
Appendix 1 The validity test results of the entrepreneurial competence indicators of the dairy farmers
Validity
No. Competence Correlation Significance Valid/invalid
Coefficient α≤ 0.05
1 Development of livestock breeds 0.718 0.000 Valid
2 Nutrition and animal feed 0.800 0.000 Valid
3 Reproduction 0.825 0.000 Valid
4 Lactatation 0.820 0.000 Valid
5 Dairy biosecurity 0.697 0.000 Valid
6 Dairy comfort 0.831 0.000 Valid
7 Recording 0.808 0.000 Valid
8 Processing of livestock products 0.660 0.000 Valid
9 Busines plan 0.844 0.000 Valid
10 Human resource management 0.791 0.000 Valid
11 Marketing management 0.876 0.000 Valid
12 Finance management 0.880 0.000 Valid
13 Business evaluation 0.860 0.000 Valid
14 Communication 0.882 0.000 Valid
15 Negotiation 0.906 0.000 Valid
16 Leadership 0.756 0.000 Valid
17 Ability to find the opportunity 0.773 0.000 Valid
18 Ability to establish cooperation with partners 0.907 0.000 Valid

Appendix 2 The validity test results of the business performance indicators of the dairy farmers
Validity
No. Business performance Correlation Coefficient Significance Valid/invalid
α≤ 0.05
1 Lactating cows productivity 0.458 0.003 Valid
2 Dairy cows ownership 0.549 0.000 Valid
3 Dairy farmer income 0.754 0.000 Valid

259
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Appendix 3 The reliability test result
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 39 90.7
a
Excluded 4 9.3
Total 43 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.854 35
Appendix 4 The correlation relationship between entrepreneurial competence and the business
performance
No. Competence The correlation between entrepreneurial
competence and the business performance
Correlation Coefficient Significance
Technical Competence 0.105 0.376
1 Development of livestock breeds 0.165 0.185
2 Nutrition and animal feed 0.274 0.030
3 Reproduction 0.094 0.452
4 Lactation 0.063 0.611
5 Dairy biodiversity 0.091 0.467
6 Dairy comfort 0.084 0.506
7 Recording 0.082 0.509
8 Processing of livestock products 0.006 0.960
Managerial Competence 0.211 0.074
9 Business plan 0.254 0.039
10 Human resource management 0.212 0.087
11 Marketing management 0.177 0.149
12 Finance management 0.205 0.096
13 Business evaluation 0.228 0.062
14 Communication 0.254 0.042
15 Negotiation 0.264 0.035
16 Leadership 0.236 0.056
17 Ability to find the oppotunity 0.156 0.209
18 Ability to establish cooperation with partners 0.262 0.034
Entrepreneurial Competence 0.062 0.665
Appendix 5 The correlation relationship of the technical and managerial competence with the business
performance of the dairy farmer
No. Business performance Technical Competence Managerial Competence
Correlation Significance Correlation Significance
Coefficient Coefficient
1 Lactating cows (0.244) 0.089 (0.097) 0.495
productivity
2 Dairy cows ownership (0.152) 0.273 (0.076) 0.581
3 Dairy farmer income 0.424 0.002 0.493 0.000

260
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
37.PENGEMBANGAN MODEL PEMBIAYAAN RANTAI PASOK
AGRIBISNIS PADA SISTEM PRODUKSI KOMODITAS CABAI MERAH
DENGAN ORIENTASI PASAR TERSTRUKTUR

Eddy Renaldi1, Tuti Karyani2, Agriani Hermita Sadeli3, Hesty Nurul Utami4

Laboratorium Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
1
Jalan Raya Bandung Sumedang KM.21, Jatinangor 45363 Indonesia

eddyrenaldi90@gmail.com; t_karyani@yahoo.com; agriani.hermita@gmail.com; hestyutami@gmail.com

ABSTRAK.

Fluktuasi harga cabai merah yang cukup tinggi saat ini ini disebabkan oleh pasokan cabai merah dari sentra
produksi ke pasar yang tidak berkesinambungan dan tidak terstruktur sebagai akibat petani yang tidak
mengembangkan basis produksi. Salah satu komponen pengembangan basis produksi cabai merah di
Indonesia adalah komponen keuangan yang dapat dilakukan melalui Supply Chain Financing dimana resiko
dan pengembalian dari penyedia keuangan ditanggung bersama oleh pelaku dalam rantai pasok. Komponen
keuangan berupa modal usaha di sistem produksi menjadi salah satu kendala pengembangan agribsnis cabai
merah, karena sulitnya memperoleh bantuan pembiayaan akibat karakteristik usaha agribisnis dan risiko
yang ditimbulkannya. Model pembiayaan pra panen pada rantai pasok agribisnis akan memperkuat
pengembangan basis produksi yang selanjutnya dapat diperluas menjadi klaster agribisnis cabai merah di
Jawa Barat, bahkan dapat direplikasi pada tingkat nasional. Melalui pembiayaan rantai pasok diharapkan
dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dan pertumbuhan dan daya saing rantai pasok itu. Riset
aksi ini dilakukan melalui metode studi kasus melalui identifikasi Value Stream Mapping dan pendekatan
pemodelan kualitatif yang dilakukan di salah satu sentra produksi cabai merah di Jawa Barat, yakni
Kabupaten Garut, Desa Cigedug. Untuk menghasilkan cabai dengan kualitas yang baik dan kontinyu harus
didukung dengan ketersediaan sarana produksi yang sesuai dengan kebutuhan petani benih cabai dan
petani cabai yang diberikan pada tingkat kelompok tani atau koperasi yang memasarkan cabai ke pasar
terstruktur. Pembeli dari pasar terstruktur melalui kontrak yang memuat jumlah, kualitas dan harga cabai
yang disepakati dapat menjamin kesetabilan pendapatan petani. Dalam hal ini pembeli menjadi penjamin
dalam kelancaran pembayaran dari pembiayan yang diberikan kepada petani.

Kata-kata kunci: pembiayaan, rantai pasok, cabai merah, pasar terstruktur

ABSTRACT

A high fluctuation on red chili price today is occur due to the unsustainable supply of red chili from the
production centers and the unstructured production to the markets. It is cause by farmers farming system,
which not develop a production base technique. Financial factor is one of determinant component to develop
red chili production base in Indonesia, which can be supported through Pre-harvest financing model for
agribusiness supply chain. It is a model where risks and returns of financial providers is shared among the
supply chain actors. Financial components in form of working capital for production systems are one of the
main constraints for red chili agribusiness development in Indonesia. Farmers stiffness to obtain financing
assistance is caused by the characteristics and the risks of red chili agribusiness. Furthermore, the proposed
of this financing model will strengthen the development of production base, which can be expanded for red
chili agribusiness cluster in West Java or even to be replicated for national level. Financing assistance along
the supply chain is expected to improve return on investment, growth and competitiveness. Action research
261
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
was conducted through a case study by identification of the Value Stream Mapping and qualitative modeling
approach was took at one of red chili production center in West Java, namely Garut regency in Cigedug
village. A continuous and high quality of red chili production is importantly needed for structured market with
definite demand such as food industry, modern retail, or even export market can to be supported by the
availability of production according to the needs of growers and nursery farmers which inform by farmer
groups or co-operative as the seller for farmers commodity to the market. Pembelis from structured market
will give a contract agreement, which cover the supply of commodity quantity, quality specification and price
and it can guarantee farmers' income stability. Pembeli will becomes the guarantor for the farmers payment
continuity to the financing provider.
Key words: finance, supply chain, red chili, structured market

262
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
38.PERAN LEMBAGA KEUANGAN MI KECAMATAN SUKAPURA
KABUPATEN PROBOLINGGO

MICRO FINANCE INSTITUTION ROLE UPON POTATOES


CULTIVATION AT SUKAPURA DISTRICT PROBOLINGGO

Ana Arifatus Sa‟diyah 1 dan Dyanasari1

PS. Agribisnis, Fak. Pertanian, Universitas Tribhuwana Tunggadewi


1
Jl. Telaga Warna Blok C Tlogomas Malang 65144

Arifatus_sa@yahoo.co.id

Abstrak
Kecamatan Sukapura merupakan salah satu kecamatan penghasil tanaman Kentang terbesar di
Kabupaten Probolinggo. Ketika musibah Gunung Bromo terjadi lagi dan menggagalkan usahatani kentang
maka kemungkinan lembaga keuangan mikro (LKM) dapat menjadi penolong usahatani tersebut dengan cara
memberikan bantuan dalam hal penyaluran uang atau modal sehingga usahatani kentang dapat sustainable.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran usahatani (biaya, penerimaan dan keuntungan serta
R/C) kentang,faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kentang di kecamatan Sukapura, dan
peran lembaga keuangan mikro terhadap usahatani kentang. Penelitian dilakukan di desa Ngadisari dan
Ngadirejo, dengan pengambilan sampel secara purposive. Data selanjutnya dianalisis dengan mengunakan
R/C, dan fungsi Cobb-Douglas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani kentang menguntungkan
dengan nilai R/C > 1, produksi kentang dipengaruhi oleh bibit, luas lahan, pupuk buatan, pupuk kandang,
tenaga kerja, dan pestisida, dan lembaga keuangan mikro mempunyai peran yang signifikan terhadap
usahatani kentang.
Kata kunci : Lembaga Keuangan Mikro, biaya, penerimaan, pendapatan, R/C.
Abstract
Sukapura subdistrict is one of the biggest horticulture crops (vegetables) producer in Probolinggo
regency. When the volcanic disaster of mount Bromo happened again and most of the crops potatoes are
failure to be harvested, there is a great opportunity for microfinance to help the farmer by funded them to
keep the sustainable farming activities. The aims of this research are to investigate the conception of
potatoes farm (cost, supply, benefits and R/C) factors that influence the vegetables farm productivity in
Sukapura, dan the role of microfinance on farm. The research was conducted in Ngadisari and Ngadirejo with
purposive sampling method. Data which is obtained from the research is analyzed using R/C and Cobb-
Douglass function. The results show that potatoes farm is beneficial with R/C value >1, the vegetables
production are influenced by seeds, land area, biofertilizer, labor, perticides and microfinance have significant
role on helping the farm.

Key words : micro finance, cost, return, profit, R/C

263
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
PENDAHULUAN
Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu sentra penghasil hortikultura kentang. Salah satu
daerah di Kabupaten tersebut yang penduduknya mayoritas mengusahakan kentang adalah Kecamatan
Sukapura, karena daerah ini sangat cocok untuk tanaman kentang dengan kondisi lingkungan yang
mendukung pertumbuhan kentang yaitu tanah yang subur karena dekat dengan gunung Bromo. Tetapi
disatu sisi dampak negatif yang harus dialami oleh petani pada tahun ini adalah adanya letusan Gunung
Bromo yang meluluhlantahkan usahatani sayuran yang ada di daerah tersebut. Tidak sedikit kerugian yang
harus ditanggung oleh petani akibat bencana Gunung Bromo. Bahkan tanaman yang belum waktunya untuk
dipanen, tetapi sudah dipanen oleh petani, karena bahaya dari guyuran abu vulkanik Bromo yang dapat
mematikan tanaman tersebut.
Kerugian lahan pertanian aneka tanaman yang rusak akibat abu vulkanik Gunung Bromo di
Kecamatan Sukapura Probolinggo ditaksir sudah mencapai sekitar puluhan milyar rupiah (tabel 1).

Tabel 1. Lahan pertanian yang tertimbun abu vulkanik Bromo


Jenis dan Luas Lahan Sayuran
Total
Nama Wortel luas Total
No Bawang
Desa Kentang Kubis Tomat Jagung dan lahan kerugian
daun
(ha) (ha) (ha) (ha) Sawi (ha)
(ha)
(ha)
1 Ngadirejo 126 215 22 30 49 18 460 8,6 milyar
2 Ngadisari 150 75 - 60 - 14 299 6,2 milyar
3 Wonotoro 178 45 - - 1 5 229 1,201 milyar
4 Jetak 60 10 - 4 1 2 77 1,828 milyar
5 Ngadas 130 51 5 - 2 3 191 4,880 milyar
6 Sapikerep 72 38 20 28 20 52 230 4,750 milyar
7 Kedasisi 48 40 8 18 84 10 208 4,527 milyar
8 Sukapura - - - - 23 - 23 184 juta
9 Desa Pakel 73 79 23 44 43 27 289 4,909 milyar
10 Wonokerto 105 85 8 10 2 3 213 4,810 milyar
11 Sariwangi 76 48 5 35 25 18 207 3,970 milyar
81,251
Jumlah 1018 686 91 229 274 152 2364
milyar
Sumber : Tim tanggap darurat bencana Bromo tahun 2011

Tabel 1. menunjukkan bahwa guyuran abu vulkanik Bromo sangat berdampak negatif dan merugikan
usahatani. Salah satu daerah di Kecamatan Sukapura yang areal tanam untuk usahatani Sayuran paling
luas dan juga paling parah kerusakan usahatani tersebut dialami Desa Ngadirejo, dan desa Ngadisari.
Dampak dari meletusnya Gunung Bromo mengakibatkan produksi usahatani kentang masyarakat di
Kecamatan Sukapura menurun secara signifikan, sehingga berakibat pada menurunnya ekonomi dan
kesejateraan masyarakat di daerah tersebut. Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) diharapkan
mampu berperan terhadap kelangsungan usahatani sayuran (hortikultura) di Kecamatan Sukapura pasca
meletusnya gunung Bromo. Bank Dunia (1996) dalam Arsyad (2008) menyebutkan bahwa ada tiga tujuan
utama LKM: pertama menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan melalui penciptaan dan
pengembangan usaha mikro, kedua meningkatkan produktifitas dan pendapatan kelompok-kelompok yang
rentan, terutama perempuan dan orang-orang miskin, dan yang ketiga mengurangi ketergantungan
masyarakat perdesaan terhadap panen yang berisiko gagal karena musim kemarau, atau lainnya melalui
diversifikasi kegiatan yang dapat meghasilkan pendapatan. Oleh karena itu keberadaan Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) di Kecamatan Sukapura diharapkan merupakan salah satu solusi yang sangat tepat sekali
264
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
sebagai penyalur bantuan keuangan untuk mewujudkan keberhasilan usahatani hortikultura khusunya
sayuran pasca meletusnya gunung Bromo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah Lembaga
Keuangan Mikro berpengaruh terhadap penguatan usahatani hortikultura di lokasi penelitian
METODE PENELITIAN
Metode Pengambilan Sampel
Lokasi penelitian ditentukan dengan cara purposive. Penelitian dilaksanakan pada daerah sentra
produksi kentang di Kabupaten Probolinggo. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sukapura, tepat di desa
Ngadisari dan Ngadirejo. Dasar pertimbangan pemilihan lokasi penelitian adalah disamping sebagai salah
satu daerah sentra produksi kentang, desa Ngadisari dan Ngadirejo merupakan wilayah yang kerugiannya
paling besar akibat terkena dampak letusan Gunung Bromo (Departemen pertanian, 2010). Unit sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah petani. Penentuan jumlah sampel pada setiap desa bersifat
relatif, tergantung pada heterogenitas populasi, tingkat representativitas yang dikehendaki dan ketersediaan
sumberdaya. Sampel Size dalam penelitian ini mengacu kepada rumus yang dikemukakan oleh Nursalam
(2003) sebagai berikut :
N
n
1 N d2  
..........................................................................................................................(1)

Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Bound of error (diharapkan tidak melebihi 10%)
Jumlah petani sampel dari masing-masing desa dialokasikan secara proporsional terhadap jumlah sub
populasinya dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Ni
ni  .n.................................................................................................................................(2)
N
Dimana :
ni = jumlah responden dari desa sampel ke-i
Ni = jumlah populasi di desa sampel ke-i
N = Jumlah seluruh populasi di desa sampel
n = jumlah seluruh responden (dari persamaan 1)
Dengan menggunakan persamaan (1) dan (2) jumlah responden dan distribusi jumlah responden
menurut desa untuk komoditas kentang di sajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 2. Jumlah Responden Menurut Komoditas dan Desa


Desa Sampel Jumlah Populasi (KK) Jumlah Sampel (KK)
Ngadirejo 117 23
Ngadisari 147 33
Jumlah 264 56
Sumber : Monografi Kecamatan Sukapura Tahun 2010

Metode Analisis
1. Untuk mengetahui gambaran usahatani hortikultura kentang digunakan analisa kelayakan usaha yaitu
sebagai berikut : (Soekartawi, 2002).
𝜋 = TR – TC …................................................................…………...……......... (3)
TR = p.q ……............................………………........................................….............(4)
TC = TVC + TFC …....................................…….......................................................... (5)
TR
R/C  ….........................................................................…...................... (6)
TC
Dimana:
𝜋 = Profit / Keuntungan usahatani (Rp)
TR = Total Revenue / Total Penerimaan usahatani
265
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
TC = Total Cost / Biaya Total
P = Price / Harga jual output (Rp)
TVC = Total Variable Cost / total biaya variabel
TFC = Total Fixed Cost / total biaya tetap
Dengan kriteria keputusan:
Apabila R / C > 1, berarti usahatani kentang sudah efisien
Apabila R / C =1, berarti usahatani kentang tidak untung atau tidak rugi (impas)
Apabila R / C <1, berarti usahatani kentang tidak efisien.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kentang digunakan metode Kuadrat
Terkecil Biasa (OLS). Dengan formulasinya adalah: (Gujarati, 2006a).
Y = αX1β1Xnβn ..................................................................................... (7)
Persamaan diatas dalam penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
Y = αX1β1X2β2X3β3 X4β4 X5 β5 X6 β6 ................................................... (8)
Persamaan di atas dijabarkan lagi menjadi
LnY=Lnα+β1LnX1+β2LnX2+β3LnX3+β4LnX4+β5LnX5+β6LnX6..... (9)
Keterangan :
Y = Produksi
β = penaksir
X1 = bibit
X2 = luas lahan
X3 = pupuk buatan
X4 = pupuk kandang
X5 = tenaga kerja
X6 = Pestisida
3. Untuk mengetahui peran LKM pada usahatani kentang
Variabel Dummy digunakan yang pada dasarnya bersifat kualitatif misalnya lembaga keuangan mikro
(LKM). Satu metode untuk “membuatnya kuantitatif” dari atribut seperti itu adalah dengan membentuk
variabel buatan yang mengambil nilai 1 atau 0, 1 menunjukan bahwa petani tersebut menggunakan lembaga
keuangan mikro dan 0 menunjukan tidak menggunakan lembaga tersebut. Sehingga jika ditulis akan
dijumpai persamaan sebagai berikut: (Gujarati, 2006b)
LnY = Lnα + β1LnX1 + β2LnX2 + β3LnX3 + β4LnX4 + β5LnX5 + β6LnX6 +
β7DLnX6+ β6LnX6+ β6LnX6+ β6LnX6+ β6LnX6+ β6LnX6+ β6LnX6+ e

Keterangan :
Y = Produksi
β = penaksir
X1 = bibit
X2 = luas lahan
X3 = pupuk buatan
X4 = pupuk kandang
X5 = tenaga kerja
X6 = Pestisida
D = Lembaga keuangan mikro
= Dummy variabel
1 = menggunakan kredit atau lembaga keuangan mikro
0 = tidak menggunakan kredit atau lembaga keuangan mikro

HASIL DAN PEMBAHASAN


Biaya Produksi
266
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dinyatakan dalam bentuk uang selama dalam
proses produksi berlangsung untuk menghasilkan suatu produk tertentu (Moehar, 2004), dalam penelitian ini
keluaran yang dihasilkan berupa kentang, kubis dan bawang daun yang diukur dalam satuan kilogram per
hektar (kg/ha). Dan biaya produksi dibedakan menjadi dua yaitu biaya tetap (Fixed Cost) dan biaya tidak
tetap (Variable Cost).

Biaya Tetap (FC)


Biaya tetap adalah jenis biaya yang selama satu musim tanam tetap jumlahnya dan tidak mengalami
perubahan. Biaya yang termasukdalam komponen biaya tetap (Fixed Cost) padapenelitian ini meliputi biaya
pajak, dan penyusutan alat yang digunakan dalam berusahatani (cangkul, sprayer, power sprayer, keranjang
panen dan golok/arit), serta sewa lahan.
Tabel 3. Rata-Rata Penggunaan Biaya Tetap pada Usahatani Kentang di Kecamatan sukapura Tahun
2011
No Uraian Proporsi Biaya/Ha Persentase (%)
1. Pajak Lahan 25.000,00 0,42
2. Penyusutan Peralatan 92.244,96 1,57
3. Sewa Lahan 5.765.028,39 98,01
Jumlah 5.882.273,35 100,00
Biaya pajak lahan rata-rata dalam 1 ha yaitu Rp 25.000,00. Walaupun petani sampel seluruhnya
menggunakan tanah milik sendiri tetapi dalam penghitungan biaya tetap, sewa lahan wajib dihitung karena
untuk mengetahui seberapa besar petani harus mengeluarkan biaya tetap dalam mengusahakan
usahataninya. Besarnya rata-rata sewa lahan dalam satu hektar yaitu Rp 6.000.000,00.

Biaya Tidak Tetap (VC)


Biaya tidak tetap (Variable Cost) dalam penelitian ini meliputi biaya tenaga kerja, bibit, pupuk,
pestisida. Pupuk yang digunakan responden dalam penelitian ini adalah pupuk ZA, Urea, Phonska,
Kandang/Petroganik. Sebagian besar petani di wilayah penelitian pemeliharaan tanamannya sudah cukup
sesuai dengan anjuran budidaya kentang, seperti pemupukan, dilakukan pada saat tanaman mulai tumbuh
sampai tanaman tersebut besar. Jenis pestisida yang digunakan petani sampel terdiri dari sidin dan supemax,
dan paragron. Pemberian pestisida dilakukan pada saat tanaman kentang mulai terserang hama dan
penyakit.
Tabel 4. Rata-Rata Penggunaan Biaya Tidak Tetap pada Usahatani Kentang di Kecamatan sukapura
Tahun 2011
Rata-rata Biaya Persentase (%)
No Uraian
(Rp/Ha)
1. Tenaga Kerja 2.029.032,26 16,00
2. Bibit 7.752.866,30 61,14
3. Pupuk 2.454.035,17 19,35
4. Pestisida 444.228,53 3,51
Jumlah Biaya Total 12.680.162,26 100,00
Biaya tidak tetap terbesar yang harus dikeluarkan responden adalah untuk pembelian bibit.
Umumnya petani di lokasi penelitian adalah petani yang mudah mengadopsi inovasi, sehingga responden
disini seringkali mencari informasi tentang bibit unggul.

Total Biaya Produksi (TC)


Total biaya produksi (Total Cost) sayuran dalam penelitian ini meliputi penjumlahan total biaya tetap
(Total Fixed Cost) dan total biaya tidak tetap (TotalVariable Cost), yakni TC = TVC + TFC. Besarnya total
pengeluaran untuk usahatani sayuran disajikan pada tabel 5.

267
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 5. Rata-Rata Biaya Total pada Usahatani Sayur-sayuran di Kecamatan Sukapura Tahun 2011
NO Komponen Biaya Rata-rata Biaya (Rp/Ha) Persentase (%)
1 Biaya tetap 5.882.273,35 31,69
2 Biaya tidak 12.680.162,26 68,31
tetap
Jumlah Biaya 18.562.435,26 100,00
Total

Penerimaan Usahatani Kentang


Penerimaan usahatani (Total Revenue) hasil perkalian dari jumlah hasil dengan (Q) dengan harga
keluaran (P). Dalam penelitian ini harga kentang yang dijual berkisar antara Rp 2.500,00 – Rp 5.000,00/kg.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa turun naiknya harga tidak hanya berdasarkan kualitas sayuran saja
saja, tetapi kelangkaan sayuran yang ada di petani juga berpengaruh pada harga kentang. Produksi kentang
petani sampel berkisar antara 2.000 kg/ha – 18.500 kg/ha dan rata-rata produksi kentang sebesar Rp
9.004,41 kg/ha. Penerimaan petani sampel sangat beragam karena produksi dan harga jual kentang per
hektar yang dihasilkan juga beragam. Dalam penelitian ini penerimaan yang diterima oleh petani berkisar
antara Rp 8.680.000,00 – Rp 72.650.000,00 dan rata-rata penerimaannya adalah Rp 33.767.006,07/ha.

Tabel 6. Rata-rata Penerimaan, Pendapatan, dan R/C Usahatani Sayur-sayuran di Kecamatan Sukapura
Tahun 2011
No Uraian Jumlah (Rp/Ha)
1 Biaya yang dikeluarkan
- Biaya tetap 5.882.273,35
- Biaya tidak tetap 12.680.162,26
- Total biaya 18.562.435,26
4 Penerimaan 33.767.006,07
5 Pendapatan 15.204.570,81
6 R/C ratio 1,82
Pendapatan Usahatani Sayuran
Dengan harga kentang yang berkisar antara Rp 2.500,00 – Rp 5.000,00/kg, sebagian besar petani
mengemukakan bahwa pendapatan usahatani kentang sangat mengembirakan, tetap disatu sisi adanya juga
kekhawatiran petani kentang akan dampak dari letusan gunung Bromo yang sewaktu-waktu bisa
menghancurkan atau menggagalkan usahatani kentang mereka. Dengan seluruh biaya dan penerimaan yang
telah diuraikan diatas, petani kentang akan memperoleh pendapatan sebesar Rp15.204.570,81/ha dalam
waktu ±4 bulan masa produksinya. Menurut pendapat para responden tingginya pendapatan usahatani
kentang ini disebabkan kesuburan tanah yang meningkat akibat letusan gunung bromo. Namun demikian
dalam usahanya dibutuhkan biaya yang sangat besar sehingga diharapkan adanya bantuan modal.

Efisiensi Penggunaan Biaya Produksi Pada Usahatani Kentang


Efisiensi ekonomis usahatani (R/C) merupakan perbandingan antara penerimaan (return) dan biaya
(cost), karenanya usahatani yang menguntungkan harus memiliki R/C Ratio lebih besar dari 1 (satu) yang
berarti bahwa angka penerimaan lebih besar dari biaya produksi (Hernanto, 2003).
Tabel 6 menunjukkan bahwa usahatani Kentang sudah efisien karena nilai R/C lebih besar dari satu.
Nilai R/C ini juga merupakan indikator keberhasilan usahatani Kentang, yang berarti bahwa petani sudah
mampu mengalokasikan sumber-sumber biaya baik biaya bibit, pupuk, obat-obatan, maupun tenaga kerja.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kentang


Pengertian fungsi produksi menyangkut dua hal utama yang penting yaitu spesifikasi model yang
sesuai dan data yang dipercaya. Fungsi produksi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi
Cobb-Douglas. Untuk mendapatkan taksiran-taksiran yang dapat dipercaya dari fungsi produksi diperlukan
data yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Kriteria yang dimaksud adalah tidak hanya pengamatan yang
bersifat nol.Variabel-variabel yang berkaitan dengan uang hendaknya dipisahkan atau dikeluarkan dari
268
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
konsep fungsi produksi, hal ini dikarenakan dalam fungsi produksi dibatasi pada hubungan teknis yang
ditentukan. Kriteria lain yang menyangkut fungsi produksi ini adalah tidak adanya perbedaan diantara input
yang digunakan dalam proses produksi (Soekartawi, 2003)
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi kentang di kecamatan Sukapura meliputi : bibit,
luas lahan, pupuk buatan, pupuk kandang, tenaga kerja, dan obat-obatan/pestisida. Hasil analisis dengan
Cobb-Douglas diperoleh model persamaan sebagai berikut :
Y = 69,18 + 0,25 Ln Bbt + 0,32 Ln Lhn + 0,02 Ln Ppk buatan + 0,06 Ppk kandang + 0,04 ln TK +
0,03 Ln Pestisida
Tabel 7. Hasil Uji-t Terhadap Koefisien Regresi dari Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Kentang
di Kecamatan Sukapura Tahun 2011
Koefisien
Variabel Bebas Regresi thitung Signifikan Keterangan
Bibit 0,25 0,737 0,040 Signifikan
Luas lahan 0,32 163,068 0,537 Tidak signifikan
Pupuk buatan 0,02 0,833 0,217 Tidak signifikan
Pupuk kandang 0,06 0,445 0,002 Signifikan
Tenaga Kerja 0,04 0,288 0,001 Signifikan
Pestisida 0,03 11,707 0,812 Tidak signifikan
R 0,990
R2 0,979
Tabel 7 memperlihatkan hasil uji-t yang telah dilakukan, dimana dari hasil analisa didapat bahwa
faktor produksi yang berpengaruh secara signifikan adalah bibit, pupuk kandang, dan pestisida. Nilai
koefisien regresi bibit sebesar 0,25 mempunyai makna bahwa setiap kenaikan bibit sebesar 1% akan diikuti
dengan kenaikan produksi sebesar 0,25%. Begitu juga dengan pupuk kandang dan pestisida yang
mempunyai koefisien regresi masing-masing sebesar 0,04 dan 0,03, maka dapat diartikan dengan
penambahan 1% pupuk kandang akan meningkatkan produksi kentang sebesar 0,04% dan penambahan
pestisida sebesar 1% akan meningkatkan produksi sebesar 0,03%. Pupuk buatan secara statistik tidak
berpengaruh signifikan terhadap produksi kentang. Kondisi ini bisa jadi karena sifat tanah yang sudah jenuh
terhadap pupuk buatan sehingga penambahan pupuk buatan tidak signifikan terhadap kenaikan produksi.

Peran LKM Pada Usahatani Kentang


Variabel Dummy digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh atau peran LKM dalam
penguatan usahatani sayuran yang ada di Kecamatan Sukapura pasca meletusnya Gunung Bromo. Dengan
membentuk variabel buatan yang mengambil nilai 1 atau 0, 1 menunjukkan bahwa petani tersebut
menggunakan lembaga keuangan mikro dan 0 menunjukkan tidak menggunakan lembaga tersebut.
Analisis mengenai peran LKM lebih diarahkan pada efek yang ditimbulkan secara tidak langsung oleh
adanya bantuan terhadap produksi kentang. Hasil analisis dengan menggunakan fungsi Cobb-Douglas
diperoleh model sebagai berikut :
Y = 1,187 – 0,039 Ln Bbt + 0,018 Ln Lhn + 0,158 Ln Ppk Buatan + 0,251 Ln Ppk Kandang + 0,366
Ln TK - 0,066 Ln Pestisida + 0,710 D – 0,043 D*Ln bbt – 0,279 D*Ln Ppk Buatan + 0,336 D*Ln ppk
Kandang + 0,038 D*Ln TK + 0,030 D*Ln Pestisida

269
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Tabel 9. Hasil Uji-t Terhadap Koefisien Regresi dari Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Kentang
di Kecamatan Sukapura Tahun 2011
Koefisien
Variabel Bebas Regresi thitung Signifikan Keterangan
Bibit 0,039 2,807 0,007 Signifikan
Luas lahan -0,018 -0,803 0,426 Tidak Signifikan
Pupuk buatan 0,158 3,340 0,002 Signifikan
Pupuk kandang 0,251 11,681 0,001 Signifikan
Tenaga Kerja 0,366 44,071 0,001 Signifikan
Pestisida -0,066 -3,202 0,003 Signifikan
D 0,710 -2,168 0,036 Signifikan
D*Ln Bibit -0,043 -1,228 0,226 Tidak signifikan
D*Ln Ppk Buatan -0,279 -5,096 0,001 Signifikan
D*Ln Ppk Kandang 0,336 8,256 0,001 Signifikan
D*Ln TK 0,038 0,869 0,390 Tidak signifikan
D*Ln Pestisida 0,030 1,124 0,267 Tidak signifikan
Α 0,050
R 0,990
2
R 0,979

Tabel 9 menunjukkan bahwa Variabel dummy yang berupa penggunaan lembaga keuangan mikro
secara statistik berpengaruh nyata terhadap produksi kentang pada taraf kepercayaan 95%. Pengaruh
penggunaan bantuan dari LKM oleh petani digunakan untuk membeli pupuk kandang sehingga dengan
adanya bantuan dari LKM terjadi peningkatan penggunaan pupuk kandang sebesar 0,336%. Jika dilihat dari
tabel 9 ada penurunan jumlah pupuk buatan sebesar 0,279% dengan adanya bantuan dari LKM. LKM yang
ada di lokasi penelitian adalah PNPM dan BRI. PNPM dalam pelaksanaanya bekerja sama dengan para
penyuluh pertanian yang saat ini programnya adalah beralih ke pupuk organik.
Nilai koefisien regresi pada LKM adalah 5,634 dengan nilai thitung sebesar 2,277dimana angka ini lebih
besar dari nilai ttabel (2,000). Petani dengan menggunakan LKM Program Nasional Pemberdayaan Manusia
(PNPM) dan BRI produksi usahatani bawang daun lebih tinggi dari pada petani yang tidak menggunakan
LKM. Hal ini berarti peran LKM PNPM - Mandiri Perdesaan yang dialokasikan untuk usahatani kentangdi
Kecamatan Sukapura pasca meletusnya Gunung Bromo secara statistik berpengaruh nyata terhadap produksi
kentang di daerah penelitian. Berdasarkan fakta dilapangan dan hasil penelitian, bahwa petani yang
menggunakan LKM , luas usahataninya lebih dari satu hektar, sedangkan yang tidak menggunakan LKM
mayoritas kurang dari satu hektar. Alasan tersebut karena dengan meminjam uang ke LKM maka petani bisa
menambah modal atau input untuk usahataninya sehingga produksi kentang bisa meningkat dan berakibat
juga meningkatnya pendapatan petani tersebut.
LKM PNPM - Mandiri Perdesaan tersebut akan memberikan pinjaman hanya berdasarkan informasi
yang diperoleh secara langsung tentang sipeminjam, atau berdasarkan keterkaitan peminjam dengan
komunitasnya. Peran LKM ini dianggap sangat penting sebagai perantara keuangan yang bertujuan
menyediakan akses yang lebih mudah untuk memperoleh pinjaman bagi orang-orang berpenghasilan rendah
atau petani kentang di Kecamatan Sukapura yang sangat membutuhkan modal untuk usahatani kentang
pasca meletusnya Gunung Bromo. LKM ini juga memiliki kemampuan finansial untuk mencapai kemandirian.
Prosedur peminjaman LKM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)-Mandiri Perdesaan
yaitu kelompok proposal Kecamatan memeriksa proposal yang diajukan oleh kelompok peminjam atau petani
kentang yang membutuhkan pinjaman, kemudian petugas atau kelompok yang menangani proposal
mengadakan survei lapangan atau verivikasi setelah itu hasil pemeriksaan dilapangan dimusyawarahkan
antar Desa, apabila hasil musyawarah tersebut disetujui, maka dana tersebut akan disalurkan kekelompok
yang mengusulkan tanpa jaminan.

270
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1)
usahatani Kentang di kecamatan Sukapura menguntungkan dengan nilai R/C > 1. (2) hasil analis Cobb-
Douglas terhadap masing-masing variabel bebas ( bibit, Luas lahan, Pupuk Buatan, Pupuk Kandang, Tenaga
Kerja, dan Pestisida) berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani Kentang di kecamatan Sukapura. (3)
LKM mempunyai peran yang signifikan terhadap usahatani Kentang di kecamatan Sukapura.
Beberapa saran yang yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini adalah 1) Untuk meningkatkan
produksi Kentang maka perhatian terhadap penggunaan sarana atau faktor produksi seperti bibit, luas lahan,
pupuk buatan, pupuk kandang, tenaga kerja, dan pestisida oleh para petani menjadi sangat penting.2)
Penyempurnaan mekanisme dan sosialisasi keberadaan LKM perlu segera dilakukan dengan memberdayakan
institusi yang sudah ada maupun penciptaan institusi baru. 3) Kerjasama antara LKM terutama PNPM
pedesaan dengan para penyuluh perlu ditingkatkan

Ucapan Terima Kasih


Terimakasih penulis sampaikan kepada DP2M Dikti yang telah membiayai penelitian penulis, dan ucapan
terima kasih juga penulis samapaikan kepada masyarakat tani di kecamatan sukapura, serta semua pihak
yang sudah mendukung penelitian penulis.

Daftar Pustaka
Sumber buku:
Arsyad, Lincolin, 2008. Lembaga Keuangan Mikro Institusi, Kinerja dan Sustanabilitas. Andi. Yogjakarta.
Gujarati, 2006a, Dasar-dasar Ekonometrika Jilid I, Erlangga, Jakarta
_______, 2006b, Dasar-dasar Ekonometrika Jilid II, Erlangga, Jakarta.
Hernanto. F, 2003. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ledgerwood, Joanna. 1999. Microfinance Handbook: An Institutional and Financial Perspective. Washington,
D.C.: the Word Bank
Moehar Daniel, 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit PT. Bumi Aksara
Soekartawi, 2002. Analisis Usahatani. UI Pers.Jakarta.
,2003. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Rajawali Pers. Jakarta.
,2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT Raja Gafindo Persada. Jakarta.
,2006. Agrobisnis Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT. Raja Gafindo Persada. Jakarta.

271
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
39.PERSEPSI DAN PRILAKU PRODUSEN DAN KONSUMEN TERHADAP
LABEL ASAL DAERAH (ORIGIN LABELLING) PADA MANGGA GEDONG
GINCU (MANGIFERA INDICA VAR.GEDONG)
Yosini Deliana1, Sri Fatimah2, Anne Charina3
Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
1
Jl.Raya Jatinangor Km.21 Sumedang
yosini22@yahoo.com

ABSTRAK

Mangga gedong gincu (Mangifere indica var.Gedong) banyak diusahakan di Jawa Barat dengan sentra
produksi Indramayu, Majalengka dan Cirebon. Hasil penelitian lapangan mengungkapkan bahwa mangga
gedong gincu dari Majalengka dan Cirebon lebih diminati konsumen daripada Gedong gincu dari Indramayu,
karena bentuknya lebih bulat, warnanya lebih menarik dan aromanya lebih tajam (Deliana, 2011).
Masalahnya adalah tidak ada jaminan kualitas bahwa mangga tersebut memiliki kematangan tertentu, rasa
dan bebas hama seperti harapan konsumen. Sejak tahun 2005 pedagang besar di Kabupaten Majalengka,
Cirebon dan Indramayu mencoba menempelkan label pada mangga gedong Gincu, tapi bukan label asal
daerah. Label asal daerah hanya dikeluarkan oleh Dinas Pertanian setempat dan hanya digunakan mangga
Gedong Gincu pada saat pameran atau sebagai oleh-oleh kepada tamu khusus yang berkunjung ke daerah
tersebut. Informasi label asal daerah ini penting diketahui oleh produsen dan konsumen untuk melihat
apakah perlu diberlakukan label asal daerah, pada harga berapa konsumen mau membayar lebih, apa
keuntungan, kerugiannya dan harapan bagi produsen dan konsumen. Penelitian dilakukan dari bulan Juli
sampai dengan September 2013 di Kecamatan Sedonglor Kabupaten Cirebon karena banyak pelaku pasar
sudah menggunakan label. Sampel petani diambil secara acak sebanyak 30 orang sedangkan data
konsumen diambil 200 orang. Data konsumen diambil di Kota Bandung dengan alasan mangga gedong gincu
dari Kecamatan Sedonglor banyak didistribusikan ke Supermarket di Kota Bandung. Konsumen adalah raja
dan pemasaran menjadi hal terpenting dalam keberlanjutan agribisnis mangga. Untuk meningkatkan
pemasaran mangga, harus ada program yang terintegrasi dan adanya saling keterkaitan antara konsumen,
produsen, pelaku pasar, dan penentu kebijakan. Harapannya ke depan, origin labeling dapat dikembangkan
menjadi Country of Origin labeling (COOL) dan menjadi titik awal untuk internasionalisasi mangga di pasar
global

Keywords : Persepsi, perilaku, produsen dan konsumen, label asal daerah (origin labelling)

ABSTRACK

Gedong Gincu Mango (Mangifere var.Gedong indica) is widely cultivated in West Java with a production
center Indramayu , Majalengka and Cirebon. Research show that gedong gincu mangos from Majalengka,
Cirebon and Cirebon are prefered by consumers to those from Indramayu because they have rounder shape,
more attractive color, and stronger aroma (Deliana, 2011). The main problem of marketing mangos is that
there is no guarantee for consumers regarding mango quality so that they are not prepared to pay premium
prices for quality mangos. Since 2005 wholesalers Majalengka , Cirebon and Indramayu try to attach a label
on gedong gincu mango, but not the origin labelling . Origin labelling issued only by the Department of
Agriculture and the local mango gedong gincu only used during the exhibition or as gifts to special guests
who visit the area . The information of label origin should be known by producers and consumers to see if it
needs imposed label area, at what price consumers are willing to pay more, what are the advantages ,
disadvantages and hope for producers and consumers . The study was conducted from July to September
2013 in the district of Cirebon Sedonglor because several the market agents have already used labels.
Samples were taken at random farmer of 30 people , while 200 people were taken as consumer. Consumer
272
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
data was taken in the city of Bandung because most of the mango production from Cirebon distributed to
supermarket in Bandung.
Consumer is potential buyer and marketing is important issue for mango agribusiness sustainability.
For improving the mango market, it should be integrated program and interrelationship between consumers ,
producers , traders , and policy makers. Hopefully in the future, origin labeling can be improved as to
Country of Origin Labeling (COOL) and this is the starting point for the internationalization of mangoes in the
global market

Keywords: Perception, Behavior, Producers and Consumers, Origin Labelling

273
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
40.DESKRIPSI AGRIBISNIS PADI ORGANIKDENGAN PENDEKATAN
SOFT SYSTEM METHODOLOGY(STUDI KASUS DI KABUPATEN
TASIKMALAYA)
Yayat Sukayat, Dika Supyandi, A. C. Tridakusumah1)
1) Laboratorioum Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Padjadjaran
dika_supyandi@yahoo.com

ABSTRAK

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan pelestarian lingkungan,
budidaya pertanian ramah lingkungan, termasuk usahatani padi organik, semakin mendapat perhatian. Salah
satu lokasi sentra pengembangan padi organik di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Tasikmalaya. Tidak
hanya memproduksi padi organik, sentra produksi ini juga telah mampu mengekspor produknya hingga pasar
luar negeri, yang tentu saja merefleksikan sejumlah sertifikasi yang menjadi prasyarat dapat dilaksanakannya
pemasaran luar negeri tersebut. Namun demikian dalam beberapa tahun ini telah terjadi penurunan luas
lahan tersertifikasi yang mengancam kemampuan sentra produksi ini untuk memenuhi peluang pasar luar
negeri yang telah tersedia. Tulisan ini berupaya mendeskripsikan agribisnis padi organik di sentra produksi
padi organik di Kabupaten Tasikmalaya, berupaya menggali persoalan utama yang menjadi penyebab
terjadinya penurunan lahan tersertifikasi tersebut, dan pada akhirnya menawarkan sejumlah solusi yang
dirumuskan berdasarkan masukan dari berbagai pelaku dan pihak terkait. Untuk menggambarkan interaksi
antar berbagai pelaku, mengidentifikasi permasalahan, dan tawaran solusi/tindakan yang dapat disarankan
digunakan salah satu pendekatan system thinking yaitu soft system metholodogy. Tulisan ini merupakan
rumusan dari sejumlah hasil wawancara pelaku, pengamatan lapangan dan kajian pustaka terkait.

Kata kunci: padi organik, system thinking, Tasikmalaya

I. Pendahuluan
Sebagai makanan pokok, dari tahun ke tahun kebutuhan beras terus meningkat. Dengan
pertumbuhan penduduk 1,9 % pertahun pada jumlah penduduk 231 juta jiwa kebutuhan beras Indonesia
mencapai 30,3 juta ton pertahun. Pemenuhan secara kuantitatif kebutuhan beras ini terus diatasi melalui
berbagai program pemberdayaan kepada petani. Percepatan peningkatan produksi padi terus ditingkatkan,
namun terjadi fenomena yang sangat merata di kalangan petani yaitu ketergantungan petani terhadap input
kimia yang menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan. Respon dilakukan dengan diterapkannya program
System of Rice Intensification (SRI), berupa budidaya padi organik. Pertanian organik, sebagaimana
diistilahkan oleh Reijntjes et al. (1992), dilaksanakan dengan input luar rendah dan berkelanjutan (Low
External Input and Sustanabity Agriculture-LElSA). Menurutnya, LEISA adalah sistem pertanian yang
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia yang tersedia di tempat (seperti tanah, air,
tumbuhan, tanaman, hewan lokal, tenaga manusia, pengetahuan, dan keterampilan), yang secara ekonomi
layak, mantap secara ekologis, disesuaikan menurut budaya dan sosial setempat.

Kebutuhan akan beras organik ini baik pasar lokal maupun ekspor dari tahun ke tahun juga terus
berkembang. Menurut Biocert (2008), peluang usaha budidaya beras organik masih terbuka lebar, terlihat
dengan adanya potensi ekspor ke negara-negara ASEAN dan Timur Tengah sebesar 100.000 ton, yang
belum mencapai 10% dari kebutuhan pasar global. Pangsa pasar pangan organik di negara-negara Eropa,
Oseania, Amerika Serikat, dan Kanada, diperkirakan akan tumbuh rata-rata sekitar 12,5 persen hingga tahun
274
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
2005. (Goenadi dan Isroi, 2003). Menurut data dari Organic Monitor dalam Simbolon (2003), pangsa pasar
pangan organik di Asia Pasifik, seperti Jepang, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Singapura, masih
terbuka lebar.

Kabupaten Tasikmalaya adalah kabupaten yang relatif bertahan dalam pengembangan beras
organik, luas tanam meningkat dan sejak tahun 2009 telah menembus pasar ekspor. Namun, permintaan
pasar ini tidak sepenuhnya memberikan kemudahan bagi petani untuk mengembangkan padi/beras organik
dengan baik. Indikasi ini terungkap dengan adanya fenomena penurunan lahan yang disertifikasi di
Kabupaten Tasikmalaya, dari luas 320 Ha pada tahun 2009, menjadi 60 Ha pada tahun 2011, yang
menunjukkan pudarnya komitmen rantai pasok yang sudah dibangun bersama untuk menghadapi pasar lokal
maupun pasar ekspor. Kondisi tersebut bisa terjadi karena adanya kesenjangan informasi, komunikasi, dan
orientasi di antara pelaku baik itu pelaku usaha, pelaku utama, konsumen serta pendukung lainnya.
Selanjutnya berdasarkan kondisi tersebut, timbul pertanyaan seberapa rinci peta permasalahan dalam rantai
pasok beras organik dan secara sistemik bagaimana kinerja dari setiap komponen sehingga membentuk
keterkaitan dan ketergantungan.

II. Metode Penulisan

Untuk mengidentifikasi interaksi antar pelaku agribisnis beras organik digunakan pendekatan soft
system methodology. Soft system methodology (SSM) telah digunakan di banyak bidang dan konteks
termasuk di dalamnya manajemen perubahan, perencanaan sistem kesehatan, perencanaan sistem
informasi, manajemen sumberdaya manusia dan analisis sistem logistik (Maqsood dkk, 2011). Setidaknya
lebih dari 250 referensi internasional dalam banyak bidang/area meliputi jurnal, makalah seminar dan buku
menggunakan SSM di dalamnya (Holwell, 2000 dalam Alamsyah, 2011). Dalam tulisan ini tujuh tahap dari
model SSM digunakan untuk kajian interaksi pelaku. Tujuh tahap tersebut merupakan sejumlah ilustrasi yang
disuling dari suatu proses iteratif sehingga dalam prakteknya, proses dapat dimulai dari mana saja. Ketujuh
tahap tersebut menurut Checkland & Scholes (1990) dalam Alamsyah (2011) adalah: (1) mengkaji masalah
yang tidak terstruktur (Rich Picture); (2) mengekspresikan situasi masalah (Analisis Budaya); (3)
membangun definisi masalah yang berkaitan dengan situasi masalah (CATWOE); (4) membangun model
konseptual (Human Activity System); (5) membandingkan model konseptual dengan situasi masalah; (6)
menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan; dan (7) melakukan tindakan perbaikan atas masalah
(Gambar 1). Wawancara dan pengamatan langsung di lokasi kajian dilakukan untuk menangkap fenomena
dan situasi kondisi lingkungan yang menjadi latar belakang terjadinya fenomena tersebut.

275
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

7. Action to
1. Problem improve the
situation problem situation
considered
problematic 6. Changes in
systematically
desirable culturally
feasible

2. Problem 5. Comparison of
situation models and real
expressed world

Real World

System Thinking about


Real World
4. Conceptual
3. Root definitions
models of the
of relevant
systems (holon)
purposeful activity
named in root
systems
definitions

Gambar 1. Tahapan SSM

Sumber: Checkland & Scholes (1990) dalam Alamsyah (2011)

III. Pembahasan

3.1. Pengusahaan Padi Organik di Lokasi Penelitian

Pada Desember 2008, berdasarkan kebutuhan pemasaran kelompok tani yang sudah melakukan
budidaya padi organik sejak tahun 2002, Gabungan Kelompok Tani Sistem Pertanian Padi Organik (Gapoktan
Simpatik) Kabupaten Tasikmalaya dibentuk, terdiri atas 25 kelompok tani yang tersebar di 8 kecamatan di
Kabupaten Tasikmalaya. Bulan Agustus 2009 Gapoktan Simpatik melakukan ekspor perdana beras organik ke
Amerika Serikat sebanyak 18 ton. Permintaan lain diperoleh dari sejumlah negara seperti Amerika Serikat,
Malaysia, Jerman, Singapura, Belanda, Belgia, dan Hongkong.

Sejak 2008 program sertifikasi lahan beras organik dilaksanakan di Gapoktan Simpatik bersama mitra
pemasaran Gapoktan Simpatik yaitu PT. Bloom Agro. Gapoktan Simpatik bertindak sebagai Internal Control
System (ICS), Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya memfasilitasi dan menjembatani
kegiatan External Control yang dilaksanakan oleh IMO (Institute for Marketecology), sebuah lembaga
sertifikasi organik dari Swiss. Tahun 2009 Gapoktan Simpatik memperoleh sertifikat organik Internasional
tersebut. Data Gapoktan Simpatik (2013) menyebutkan areal tersertifikasi organik internasional oleh IMO
adalah 292,24 hektar di 8 kecamatan, 17 desa dan 25 kelompok tani di Kabupaten Tasikmalaya. Untuk
tujuan pasar Amerika Serikat mengacu pada USDA-NOP (National Organic Program), pasar Uni-Eropa harus
memenuhi standar EU-Regulation 2092/91, dan pasar Jepang mengacu pada JAS (Japanese Agriculture
System). PT. Bloom Agro juga mendapatkan sertifikasi fair trade dari IMO melalui program Fair for Life,
karena telah berupaya menjalankan skema perdagangan yang adil, yang memperhatikan aspek lingkungan,
pekerja, ekonomi, sosial.
276
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

3.2. Soft System Methodology dalam Rantai Pasok Beras Organik

3.2.1. Problem Situation

3.2.1.1. Kondisi Ideal

Kepala Bidang Produksi Padi dan Palawija Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya
(2011) dalam Lulu (2013) menyatakan bahwa “dengan model sawah organik yang ada sekarang dan
keberhasilan petani menembus pasar ekspor, pemerintah daerah bertekad menjadikan Kabupaten
Tasikmalaya sebagai lumbung pangan organik di Jawa Barat”. Demikian pula Ketua Gapoktan Simpatik
menyatakan bahwa dengan mempertimbangkan permintaan pasar yang tinggi, maka perlu “melakukan
produksi beras organik sebanyak-banyaknya”. Sementara sejumlah petani juga menyatakan bahwa
“pertanian organik dapat diterapkan di seluruh lahan milik anggota kelompok; pemenuhan kebutuhan
pangan keluarga dapat tercukupi dan memiliki stok banyak dalam jangka waktu lama serta sisa padi yang
tidak dikonsumsi dapat dijual dalam jumlah banyak”.

3.2.1.2. Kondisi Nyata

Kompleksitas persoalan yang dihadapi rantai pasok beras organik dan sejumlah ketidakpastian ikatan
sosial seperti lemahnya kolaborasi serta lemahnya koordinasi informasi dan komunikasi antar pelaku di
sepanjang rantai nilai, berdampak pada tidak optimalnya proses bisnis dalam pengembangan rantai pasok
beras organik. Berbeda dengan rantai pasok pada industri lain, seperti pada rantai pasok manufaktur, rantai
pasok beras organik berhadapan dengan sekian banyak pelaku, yang sebagian besar diantaranya adalah
pelaku-pelaku dengan skala usaha kecil.
Dalam kasus pengembangan beras organik di Kabupaten Tasikmalaya terjadi penurunan luas lahan
budidaya padi organik tersertifikasi dari semula seluas 362 hektar (2010) menjadi hanya sekitar 60 ha
(2011). Keterangan dari sejumlah informan di lokasi penelitian mengungkapkan sejumlah alasan penyebab
menurunnya luas lahan tersertifikasi ini, diantaranya:
 Lokasi pembudidayaan beras organik tidak ditentukan berdasarkan kesesuaian usaha dan kesiapan
petani, lokasi ditentukan hanya menurut “hasrat” dinas pertanian tanaman pangan saja, sebagai
upaya untuk mencapai harapan Kabupaten Tasikmalaya sebagai kabupaten organik terkemuka di
Jawa Barat.
 Di sejumlah kecamatan, sebagian besar petani adalah petani penggarap, sehingga faktor pemilik
lahan sangat menentukan teknis budidaya. Selain itu, penguasaan lahannya juga umumnya sempit.
 Tingginya biaya sertifikasi yang harus ditanggung oleh Gapoktan Simpatik.
Selain itu, informan juga menyebutkan bahwa walaupun hingga saat ini permintaan ekspor tinggi,
seringkali Gapoktan Simpatik tidak dapat memenuhi kuota ekspor tersebut. Terdapat dua alasan yang
mengemuka terkait hal ini, yaitu: tidak ada “barang” dari petani, karena produksi tidak sesuai dengan
rencana, di lain pihak pada kesempatan lain gapoktan tidak memiliki dana yang cukup untuk membeli beras
dari petani, meskipun produksi memenuhi. Hal ini mengindikasikan perlunya pengembangan beras organik
yang lebih intensif dan perlunya mekanisme kemitraan lain dengan pihak pembeli (eksportir) yang dapat
menjamin ketersediaan dana untuk membeli beras petani.Satu faktor lagi yang harus mendapat perhatian
adalah terdapat sejumlah program lain dari pemerintah daerah (khususnya dinas pertanian tanaman pangan)
yang seringkali kontra produktif denganprogram pengembangan padi organik, seperti adanya program
SLPTT, subsidi pupuk anorganik, dan sejumlah program lainnya.

3.2.2. Rich Picture

277
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Rich picture bertujuan untuk memahami situasi masalah dari berbagai perspektif, dan menekankan
struktur, proses, hubungan, konflik dan ketidakpastian, serta mengungkapkan masalah, nilai-nilai yang
diyakini, kemudian memvisualisasikan aspek abstrak tersebut melalui simbol-simbol.

Pro
Negara Tujuan Ters duk
ertifik
Ekspor a si

PT. Bloom
Agro

Pasar Modern Sertifikasi IMO


“Kami tidak tahu berapa
harga jual eksportir ke luar
“Kami akan jadikan negeri”
Kabupaten Tasikmalaya “Kita harus produksi beras
sebagai lumbung pangan organik sebanyak-banyaknya
organik Jawa Barat” untuk memenuhi permintaan
ekspor”

Dinas
Inspeksi Eksternal
Jumlah ICS
masih kurang
Inspeksi Internal

Penurunan Signifikan luas


lahan bersertifikasi,
sebanyak 223 ha ICS

Kelompok tani
dianggap sebagai
wadah belajar,
Harga Gabah Organik memperkuat jejaring
Kec. dan Konvensional tidak
Sukaraja Terlalu Jauh Berbeda
& Cineam

Terjadi
Petani di Sukaraja dan Cineam Kelompok Tani
persoalan Kelompok tani
umumnya mengelola lahan
pemilikan di Kp Naga, “Kami ingin organik dilaksanakan di seluruh
usahatani yang sempit
lahan Kec. Salawu kelompok tani”
Presentase penjualan produk
Perilaku instan “Pemerintah harus bisa mensupport petani
rendah dibandingkan dengan
petani, dalam menjalankan tani organik, BPP bisa
produk yang dihasilkan
menyebabkan sebagai sumber informasi/guru untuk petani”
Sebagian besar dari petani juga
kembali ke
merupakan petani penggarap,
metode
bukan pemilik lahan
konvensional

Petani
Petani Pada awalnya, tidak mudah mengubah
Membeli langsung ke petani
meskipun tidak/belum tersertifikasi, perilaku membudidayakan SRI, tetapi
tapi percaya dengan produk petani lama kelamaan menjadi bisa dan terbiasa.
Saat ini secara teknis, petani di Tasikmalaya
relatif sudah menguasai budidaya padi
organik dengan baik

Konsumen
Perorangan SRI

Gambar 2. Rich Picture Padi Organik Tasikmalaya

278
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
3.2.3. Analisis Budaya

Analisis budaya memandang intervensi sebagai masalah dan mengidentifikasi: 1) intervensi struktur
dan peran, 2) hubungan antara peran, nilai dan norma, serta 3) dimensi politik (Checkland dan Scholes 1990
dalam Lulu 2013).

3.2.3.1. Intervensi Struktur dan Peran

Tabel 1. Aspek dan Uraian Intervensi Struktur dan Peran

No Aspek Uraian
1. Klien Petani dalam kelompok tani anggota Gapoktan Simpatik; Gapoktan
Simpatik/pengurus Internal Control System; Fasilitator
sertifikasi/inspektor eksternal (IMO); PT.Bloom Agro/mitra
pemasaran; Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kab.Tasikmalaya/pembina dan fasilitator; Konsumen akhir (importir)
negara tujuan.
2. Aspirasi klien Memproduksi beras organik sebanyak-banyaknya untuk memenuhi
permintaan pasar ekspor, dengan prinsip berkelanjutan dan
berkeadilan.
3. Pemecahan Harus diupayakan peningkatan produksi melalui peningkatan luas
masalah areal tersertifikasi, pada tahap awal dengan sertifikasi lokal dahulu
(misal melalui Inofice); kolaborasi partisipatif antar pelaku usaha
harus ditingkatkan untuk menjamin aspek keberlanjutan dan keadilan.
4. Sumber daya Informasi dan pengetahuan yang baik mengenai teknis budidaya; tren
yang tersedia permintaan pasar; mitra dalam rantai pasok
5. Kendala Menurunnya lahan bersertifikat untuk proses produksi beras organik
6. Penyebab Perbedaan harga gabah organik dan konvensional tidak terlalu jauh
terjadinya sehingga menurunkan minat petani untuk membudidayakan; sebagian
kendala besar status petani yang beralih kembali ke budidaya konvensional
adalah petani penggarap dengan penguasaan lahan yang sempit
7. Implikasi dari Jika perbedaan harga gabah organik dan konvensional lebih tinggi,
masalah yang dapat meningkatkan minat petani untuk berusahatani padi organik;
dipilih jika pemilik lahan dapat didorong untuk mengusahakan padi organik,
dapat meningkatkan produksi padi organik untuk memenuhi peluang
pasar.
8. Alasan Berkurangnya potensi lahan produktif untuk memenuhi permintaan
menentukan pasar; kehilangan peluang pasar; kurangnya koordinasi dan
masalah kolaborasi yang efektif antar pemangku keputusan, terutama
Gapoktan dan petani (termasuk para pemilik lahan).
9. Nilai positif dari Transparansi dan keadilan bagi seluruh pelaku dalam rantai pasok
permasalahan (misalnya dalam penetapan harga) dapat menjamin keberlanjutan
produksi; meningkatkan kolaborasi antar pelaku rantai pasok beras
organik, termasuk pemilik lahan yang memiliki kekuatan memaksa
para penggarap lahan.

3.2.3.2. Hubungan antara Peran, Nilai, dan Norma

Sebagai bentuk budidaya padi yang menjunjung tinggi aspek lingkungan, kesehatan, keadilan dan
keberlanjutan, sistem pertanian organik telah menjadi pendorong yang sangat kuat bagi petani untuk
merintis beras organik pada tahun 2008. Adanya program “Go Organic!” dari Dinas Pertanian Tanaman

279
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Pangan Kab. Tasikmalaya di tahun 2010 menjadi pendorong tambahan lainnya. Semangat petani untuk
mensertifikasi produk, meskipun dihadapkan dengan kerumitan administrasi dan pencatatan, menjadi awal
keberhasilan Gapoktan Simpatik untuk melakukan sejumlah aktivitas ekspor ke sejumlah Negara .
Namun demikian, karena sejumlah alasan seperti kepemilikan lahan yang sempit, menginginkan
proses yang instan dan tidak serumit organik, menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetik, serta
perbedaan harga gabah yang tidak terlalu jauh, pada tahun 2011 beberapa petani di wilayah selatan yaitu
Kecamatan Sukaraja, mulai mengubah kebiasaan budidaya atau bertani organik kepada bertani
konvensional. Hal ini menyebabkan berkurangnya lahan pertanian yang tersertifikasi organik dan
menurunkan produksi padi organik yang dapat memenuhi pasar ekspor. Adanya program pemerintah yang
tidak didasarkan pada sudut pandang budidaya organik juga telah secara kontraproduktif menurunkan minat
petani untuk berusaha tani organik. Dalam keadaan ini nampak bahwa tidak terjadi keselarasan antara peran
yang seharusnya dijalankan oleh seluruh pelaku dengan nilai dan norma yang sebelumnya sudah disepakati
(atau sebelumnya “dipaksa”) untuk secara bersama-sama mengupayakan tercapainya tujuan pembudidayaan
organik ini.

3.2.3.3. Dimensi Politik


Sejumlah pelaku memiliki power untuk mengubah atau menentukan perubahan, sebagaimana
diuraikan berikut:

 PT. Bloom Agro dapat menentukan harga beras organik secara tidak langsung sampai pada tingkat
petani. Dengan menetapkan harga setiap tahun sekali (dalam kondisi fluktuasi harga beras sepanjang
tahun relatif tinggi), PT. Bloom Agro memiliki power untuk menyesuaikan harga gabah, melalui revisi
harga setiap tahun. Di sisi lain, ketiadaan transparansi terlihat karena Gapoktan tidak mendapatkan
informasi harga beras yang dijual PT. Bloom Agro kepada importir.
 Pemilik lahan yang kurang/tidak perduli terhadap proses produksi organik memiliki power untuk
menentukan teknis budidaya, secara organik atau tidak.
 Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Tasikmalaya memiliki power untuk menentukan regulasi dan
kebijakan yang harus dijalankan oleh gapoktan hingga berpengaruh sampai tingkat petani. Koordinasi
antar level pemerintah juga harus ditingkatkan, sehingga satu sama lain saling mendukung dan tidak
saling mengsubordinasi.
 Konsumen di negara-negara tujuan ekspor memiliki power untuk mengubah perilaku budidaya dengan
mensyaratkan sertifikasi beras organik berdasarkan standar mereka.

3.2.4. Definition of Relevant System (CATWOE)

3.2.4.1. Formulasi Transformasi (T)

T: meningkatkan luas lahan bersertifikasi di tahun sertifikasi IMO berikutnya, dengan menjunjung asas
transparansi dan keadilan.

3.2.4.2 CATWOE berdasarkan Transformasi

a) C: Customer (penerima manfaat): petani


b) A: Actor (pelaku yang melakukan transformasi): Gapoktan Simpatik/ ICS, petani.
c) T: Transformation (perubahan): meningkatkan luas lahan bersertifikasi, dengan menjunjung
asas transparansi dan keadilan.
d) W: Weltanschauung-perspektif bermakna: budidaya padi organik sesuai standar dan lulus uji
sertifikasi organik.
e) O: Owner (pihak yang mungkin menghentikan Transformasi): Gapoktan Simpatik/ ICS, petani.
f) E: Environment (kendala lingkungan): budaya dan sikap petani menjadi kendala yang
mengakibatkan sejumlah petani tidak lagi budidaya padi secara organik.
280
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

3.2.4.3 Root Definition

Luas lahan bersertifikat di tahun sertifikasi IMO meningkat untuk memenuhi permintaan dari importir
jejaring PT. Bloom Agro. Sertifikasi lahan untuk tujuan ekspor harus menjamin dipenuhinya asas transparansi
dan keadilan. Berbagai sikap dan budaya petani yang dapat menjadi kendala budidaya organik dikontrol
dengan aktivitas yang dilaksanakan oleh ICS.

3.2.5. Modeling Relevant System

3.2.5.1. Formulasi “5 E”

Evaluasi terhadap rencana implementasi atas aktivitas manusia untuk mewujudkan transformasi
dikontrol dengan pendekatan analisis logis yang dikenal dengan “5E”. Dengan demikian rencana aktivitas
dapat sepenuhnya mencapai transformasi yang diinginkan.

Tabel 2. Formulasi “5E”

No Aspek Formulasi
1 Efficacy transparansi dan kolaborasi dalam seluruh proses agribisnis padi
organik
2 Efficiency sumber daya yang digunakan sesuai dengan prinsip organik budidaya
SRI
3 Effectiveness persiapan sertifikasi dilaksanakan optimal untuk menjamin tercapainya
persyaratan sertifikasi
4 Ethicality proses sertifikasi organik tidak mengurangi hak petani untuk
menentukan usaha taninya sendiri
5 Elegance seluruh proses sertifikasi dilakukan dengan mempertimbangkan asas
keberlanjutan untuk mewujudkan transformasi
3.2.5.2 Human Activity System

Dalam kajian ini Human activity system (HAS) menunjukkan keterkaitan aktivitas pelaku rantai pasok
beras organik yang diperlukan untuk mewujudkan transformasi, yaitu mempertahankan dan meningkatkan
lahan bersertifikasi di tahun sertifikasi IMO selanjutnya, dengan menjunjung asas transparansi dan keadilan.

1. Transparansi 4. Mendesak
Harga pada Seluruh Keterpaduan
Pelaku Regulasi
Pengusahaan Padi Pemerintah pada
Organik Seluruh Level

5. Sharing dan
Diseminasi
2. Reassessment
Informasi terkait
dan Evaluasi
Padi Organik
Penerapan Fair
Trade

3. Kontrol Aktivitas
Proses Produksi
Padi Organik

Monitor dan
Sesuaikan
dengan “5E”

Gambar 3. Human Activity System Padi Organik Tasikmalaya

281
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
3.2.6. Perbandingan Model dengan Dunia Nyata
Pemangku kepentingan membandingkan model konseptual (Human Activity System) dengan dunia
nyata melalui sejumlah pertanyaan berikut:

Tabel 3. Perbandingan Model dengan Dunia Nyata


Aktivitas pada Ada/ Bagaimana? Siapa? Baik/ Alternatif
Model Tidak? Buruk?
Transparansi Tidak Ada revisi harga setiap Eksportir, Baik Harga transparan
Harga pada tahun, namun Gapoktan Gapoktan, sejak dari harga
Seluruh Pelaku tidak pernah tahu harga Kelompok ekportir hingga petani
Pengusahaan Padi jual oleh eksportir tani, Petani untuk menjaga
Organik keadilan dan
keberlanjutan
Reassessment dan Tidak Evaluasi terhadap 4 Petani, ICS, Baik Pengajuan kembali
Evaluasi prinsip fair trade: eksportir penilaian skema fair
Penerapan Fair lingkungan, pekerja, trade yang telah habis
Trade ekonomi, sosial masa berlakunya
Kontrol Aktivitas Ada ICS memastikan proses Kelompok Baik -
Proses Produksi produksi memenuhi tani, ICS
Padi Organik persyaratan budidaya
organik
Mendesak Tidak Regulasi pemerintah Gapoktan, Baik -
Keterpaduan pada seluruh tingkatan Pemerintah
Regulasi harus memastikan (daerah)
Pemerintah pada dukungan yang sejalan
Seluruh Level dengan pengembangan
padi organic
Sharing dan Ada Terdapat pertemuan Petani, Baik Bertukar petani-petani
Diseminasi rutin kelompok dan kelompok berprestasi untuk
Informasi terkait penggunaan teknologi tani, ICS menyampaikan
Padi Organik (telpon genggam informasi di lokasi luar
misalnya) kecamatannya
Sumber: Model diadaptasi dari Lulu (2013)
3.2.7. Perumusan Perubahan
Sebagai hasil dari tahap HAS yang dibandingkan dengan keadaan dunia nyata, pemangku
kepentingan kemudian merumuskan perubahan yang diinginkan secara sistematis dan secara kultural layak,
relevan, bermakna, dan memenuhi kebutuhan serta keinginan pemangku kepentingan (Checkland 1990
dalam Lulu 2013). Rumusan perubahan tersebut disusun dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada
tabel berikut:

Tabel 4. Rumusan Perubahan Proses SSM


Kegiatan Diperlukan? Dapat Kemungkinan Aksi Nyata
Dilakukan?
Transparansi Harga Ya Dapat Kolaborasi antara eksportir, Gapoktan dan petani
pada Seluruh Pelaku dioptimalkan, meminta eksportir untuk membuka
Pengusahaan Padi nilai harga jualnya (transparent margin) untuk
Organik menjaga keadilan dan keberlanjutan
Reassessment dan Ya Dapat Optimalisasi peran ICS, meningkatkan insentif ICS,
Evaluasi Penerapan menentukan dan melaksanakan indikator nyata yang
Fair Trade terukur terhadap pencapaian 4 aspek fair trade
Kontrol Aktivitas Ya Dapat Melibatkan petani dan kelompok tani secara lebih

282
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Kegiatan Diperlukan? Dapat Kemungkinan Aksi Nyata
Dilakukan?
Proses Produksi Padi aktif, mengangkat anggota kelompok tani sebagai
Organik mitra ICS, mengoptimalkan peran ICS
Mendesak Ya Dapat Konsultasi dan audiensi berkala dari Gapoktan
Keterpaduan Regulasi kepada pemerintah (daerah) terkait perkembangan
Pemerintah pada usaha tani padi organik dan menyampaikan
Seluruh Level kebutuhan dari sisi kebijakan.Sebaliknya, pemerintah
juga diharapkan berperan secara proaktif
Sharing dan Ya Dapat Optimalisasi pertemuan berkala Gapoktan dengan
Diseminasi Informasi kelompok tani, serta kelompok tani dengan petani.
terkait Padi Organik Meminta sejumlah petani berprestasi untuk
melakukan diseminasi berkeliling kepada seluruh
kelompok tani di seluruh kecamatan di Tasikmalaya

3.2.8. PengambilanTindakan
Pengambilan tindakan dilakukan pada tahap terakhir setelah melaksanakan analisis: 1) rich picture,
2) analisis budaya dari para pemangku keputusan, 3) definisi sistem relevan/ CATWOE, 4) sistem pemodelan
relevan menggunakan konsep Human Activity System (HAS), 5) perbandingan model konseptual dengan
dunia nyata, dan 6) perumusan perbaikan. Tahap terakhir pengambilan tindakan sepenuhnya diserahkan
kepada para pemangku kepentingan sebagai pelaku rantai pasok beras organik. Perbaikan tindakan
direkomendasikan untuk dilaksanakan sebelum sertifikasi organik, agar terdapat waktu yang memadai untuk
melakukan implementasi konsep perbaikan yang direkomendasikan.

IV. Kesimpulan dan Saran


Pengembangan padi organik di Tasikmalaya sudah dilakukan dengan berorientasi pada
pengembangan rantai pasok yang berorientasi ekspor, didasarkan pada berbagai standar yang berlaku di
sejumlah negara seperti Amerika Serikat (USDA-NOP), Jepang (JAS) dan Uni Eropa (EU-Regulation 2092/91).
Ditemukan bahwa, meskipun telah dijamin oleh sertifikasi IMO dan fair trade, transparansi harga pada
seluruh rantai pasok belum terjadi. Jika hal ini tidak diperbaiki, dapat mengganggu terpenuhinya asas
keadilan dan keberlanjutan usaha.
Dari temuan di atas, Gapoktan Simpatik disarankan menerapkan sejumlah langkah perbaikan yang
muncul dari hasil kajian SSM ini. Eksportir harus mempertimbangkan keberlanjutan usaha sehingga asas
keadilan dan transparansi harus dilaksanakan. Perhatian terhadap petani yang tidak lagi membudidayakan
padi secara organik juga harus dilakukan. Kajian terhadap kondisi sosial budaya masyarakatnya dapat
dijadikan penelitian lebih lanjut.

Daftar Pustaka

Alamsyah, Purnama dan Iin Surminah. 2011. Ilustrasi Penggunaan Soft System Methodology dalam
Memahami Kemitraan antara Lembaga Litbang Pemerintah dengan Industri. Warta Kebijakan Iptek
dan Manajemen Litbang. LIPI. Jakarta
Balogun, Julia and Veronica Hope Hailey. Exploring Strategic Change. 1999. Prentice Hall Europe. London
Biocert. 2008. Potret Perkembangan Pertanian Organik Asia. Newsletter Trust in Organic Edisi 9/Th.2 (Jan -
Mar 2008).
Goenadi dan Isroi. 2003. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Efisiensi Agribisnis yang Berkelanjutan .
http:/www.ipard.com/art perkebun/dhg l.asp.
Lika Lulu. 2013. Manajemen Rantai Pasok Ramah Lingkungan pada Beras Organik Standar IMO (Studi Kasus
Gapoktan Simpatik, Kabupaten Tasikmalaya). Skripsi Program Studi Agribisnis Universitas Padjadjaran

283
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Maqsood, Tayyab., Finegan, Andrew D., & Walker, Derek H. 2001. Five case studies applying soft system
methodology to knowledge management. In conference‟s name unknown.
http://eprints.qut.edu.au/27456.
Reijntjes, C., Bartus, H., dan Water-Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan. Kanisius, Yogyakarta
Simbolon, HB. 2003. Peranan Pertanian Organik dalam Pertanian Berkelanjutan dan Peluang Penerapannya di
Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

284
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX

41.MODEL PERILAKU PETANI DALAM ADOPSI SISTEM USAHATANI


PADI ORGANIK: PARADOKS SOSIAL-EKONOMI-LINGKUNGAN

Mahra Arari Heryanto, Yayat Sukayat, dan Dika Supyandi1)

1) Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian

Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

E-mail: mahra.arari@unpad.ac.id; yayatsukayat@yahoo.com; dika_supyandi@yahoo.com

ABSTRAK

Usahatani padi dengan sistem organik bukan merupakan hal baru dalam komoditas padi. Pasca Revolusi
Hijau yang akhir-akhir ini dirasakan dampak negatifnya, telah banyak menggugah kesadaran petani akan
pentingnya sistem pertanian organik yang lebih ramah lingkungan. Namun demikian, peralihan dari sistem
usahatani padi yang konvensional menuju ke sistem usahatani padi organik tidak dengan mudah diterima
petani. Isu kerusakan ekosistem sawah tidak begitu saja mengubah perilaku petani untuk beralih ke sistem
usahatani organik. Minimnya pengetahuan petani akan sistem usahatani padi organik, memperlambat laju
peralihan dari usahatani padi konvensional ke usahatani padi oganik. Tantangan menjadi semakin berat
tanpa adanya insentif yang berarti bagi para petani padi organik karena perbedaan harga yang diterima
petani antara padi organik dan kovensional hanya berbeda sedikit. Alih-alih menambah jumlah petani dan
luas lahan sawah yang ditanamai padi dengan sistem organik, petani yang telah menggunakan sistem
organik setelah berhitung secara ekonomi banyak yang kembali beralih ke sistem konvensional. Berbagai
paradoks persoalan usahatani padi organik ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan berpikir sistem
(system thinking) dalam suatu struktur diagram kausalitas. Masih diperlukan upaya yang lebih keras dan
masif untuk meningkatkan produksi organik dari aspek luas lahan dan petaninya terutama pada aspek sosial
dan ekonomi yang secara langsung dialami oleh para petani.

Kata Kunci: padi organik, berpikir sistem, manajemen pengetahuan petani, lingkungan

ABSTRACT

Organic rice farming system is not a new thing anymore in paddy commodity. Now a day, negative impact of
Green Revolution have already construct the awareness of farmers about the importance of organic
agricultural system with more environmentally friendly. Nevertheless, the changing from conventional
farming system to organic farming system was not easily accepted by the farmers. The decay of rice field
ecosystem is not directly change the farming system to organic. The lack of farmers‟ knowledge in organic
farming system, make slow the changing rate down from conventional to organic farming. The challenge
more difficult since there was no significant incentive for the farmers because of price that was received by
the farmers between organic rice and conventional rice were slightly different only. Instead of develop the
number of farmers and organic cultivation area, many farmers that have already applied the organic farming
system, after make an economic calculation switch return back to the conventional farming system. These
many paradoxal farming problems were analyzed using system thingking perspective in a structured causal
diagram. It needs greater and massive effort to improve production of organic rice in land cultivation and
farmers, ecspecially social and economy aspec that experienced by the farmers directly.

285
Seminar Nasional
Penerapan Ilmu Sistem dan Kompleksitas Dalam Pengembangan Agribisnis Nasional
Jatinangor, 16 November 2013
ISBN: XXXXXX
Keywords: organic rice, system thinking, farmer‟s knowledge management, environment

286

Anda mungkin juga menyukai