Referat Gangguan Cemas Menyeluruh Muh Ramdani PDF
Referat Gangguan Cemas Menyeluruh Muh Ramdani PDF
Oleh:
Muh. Ramdani
C111 12 324
Residen Pembimbing:
dr. Dwiwahyu Ningsih S.
Dosen Pembimbing:
dr. Andi Suheyra Syauki, Sp.KJ, Ph.D
dr. Andi Suheyra Syauki, Sp. KJ, Ph.D dr. Dwiwahyu Ningsih S.
2
DAFTAR ISI
3
DAFTAR TABEL
4
PENDAHULUAN
5
namun bukti jelas menunjukkan bahwa peristiwa kehidupan yang traumatis dan
stres juga dapat menjadi penyebab yang cukup penting. 3
Pengalaman kecemasan memiliki dua komponen: kesadaran sensasi
fisiologis (misalnya, jantung berdebar dan berkeringat) dan kesadaran bahwa
mereka gugup atau ketakutan. Perasaan malu dapat meningkatkan kecemasannya
dan akan mengakui bahwa mereka sedang ketakutan.3
Selain efek motorik dan efek viseral, kecemasan dapat mempengaruhi
pemikiran, persepsi, dan belajar. Hal ini cenderung menghasilkan kebingungan
dan distorsi persepsi, tidak hanya waktu dan ruang tetapi juga dari orang dan
makna dari suatu peristiwa. Distorsi ini dapat mengganggu belajar dengan
menurunkan konsentrasi, mengurangi ingat, dan merusak kemampuan untuk
berhubungan dengan bagian lain untuk membuat asosiasi.3
Dalam referat ini, akan dibahas lebih mendetail mengenai gangguan cemas
menyeluruh, yakni mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, gambaran klinis,
diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, serta prognosis.3
DEFINISI
6
selalu dalam keadaan siaga. Beberapa pasien mengalami serangan panik dan
depresi.4
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI
7
Untuk memahami sepenuhnya kecemasan pasien dari pandangan
psikodinamik, seringkali berguna untuk berhubungan kecemasan atas
masalah-masalah perkembangan. Pada tingkat awal, kecemasan disintegrasi
mungkin ada. Kecemasan ini berasal dari ketakutan bahwa fragmen kehendak
diri karena orang lain tidak menanggapi dengan penegasan diperlukan sebagai
validasi. Kecemasan persecutory dapat dihubungkan dengan persepsi bahwa
diri sedang diserbu dan dimusnahkan oleh suatu kekuatan jahat dari luar.
Sumber lain dari kecemasan melibatkan anak yang takut kehilangan cinta atau
persetujuan orang tua atau kekasih. Pada tingkat yang paling dewasa, superego
kecemasan berhubungan dengan perasaan bersalah tentang tidak memenuhi
standar diinternalisasi perilaku moral yang berasal dari orang tua. Seringkali,
sebuah wawancara psikodinamik dapat menjelaskan tingkat utama dari
kecemasan yang menangani seorang pasien. Beberapa kecemasan jelas
berkaitan dengan konflik pada beberapa tingkat perkembangan yang
bervariasi.3
b. Teori Perilaku
Teori-teori perilaku adalah respon terkondisi terhadap rangsangan
lingkungan tertentu. Dalam model pengkondisian klasik, seorang gadis
dibesarkan oleh seorang ayah yang kasar, misalnya, dapat menjadi cemas
segera setelah ia melihat ayahnya yang kasar. Melalui generalisasi, dia
mungkin akan percaya semua orang. Dalam model pembelajaran sosial,
seorang anak dapat mengembangkan respon kecemasan dengan meniru
kecemasan di lingkungan, seperti orang tua cemas.3
c. Teori eksistensial
Teori kecemasan eksistensial menyediakan model untuk kecemasan
umum, di mana tidak ada stimulus khusus yang diidentifikasi untuk rasa
cemas yang sifatnya kronis.Konsep utama teori eksistensial adalah bahwa
perasaan orang pengalaman hidup di alam semesta tanpa tujuan. Kekhawatiran
eksistensial tersebut dapat meningkat sejak pengembangan senjata nuklir dan
bioterorisme.3
8
d. Teori kognitif-perilaku
Penderita GAD berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman,
disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal yang negatif pada
lingkungan, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan yang
sangat negative terhadap kemampuan diri untuk menghadapi ancaman. 4,8
e. Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien
GAD dan gangguan Depresi Mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari
keluarga tingkat pertama penderita GAD juga menderita gangguan yang sama.
Sedangkan penelitian pada pasangan kembar didapatkan angka 50% pada
kembar monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik.4,8
2. Kontribusi Ilmu Biologi
a. Sistem saraf otonom
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu contoh pada
sistem kardiovaskular (misalnya, takikardia), otot (misalnya, sakit kepala),
pencernaan (misalnya, diare), dan pernapasan (misalnya, takipnea). Sistem
saraf otonom dari beberapa pasien dengan gangguan kecemasan, terutama
mereka yang memiliki gangguan panik, menunjukkan nada simpatik yang
meningkat, beradaptasi perlahan terhadap rangsangan berulang-ulang, dan
merespon berlebihan terhadap rangsangan moderat.3
b. Neurotransmitter
Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan kecemasan dengan dasar
dari studi hewan dan tanggapan terhadap terapi obat adalah norepinefrin (NE),
serotonin, dan gama-ainobutyric acid (GABA).Salah satu eksperimen tersebut
untuk mempelajari kecemasan adalah tes konflik, di mana hewan secara
bersamaan disajikan dengan rangsangan yang positif (misalnya makanan) dan
negatif (misalnya, sengatan listrik). Anxiolytic narkoba (misalnya
benzodiazepin) cenderung memfasilitasi adaptasi hewan untuk situasi ini,
sedangkan obat lain (misalnya, amfetamin) lebih lanjut mengganggu respon
perilaku hewan.3
9
c. Norepinefrin
Gejala kronis yang dialami oleh pasien dengan gangguan kecemasan,
seperti serangan panik, insomnia, terkejut, dan hyperarousal otonom,
merupakan karakteristik fungsi noradrenergik yang meningkat. Itu teori umum
tentang peranan norepinefrin pada gangguan kecemasan dimana pasien yang
terkena mungkin memiliki sistem noradrenergik yang buruk. Badan sel dari
sistem noradrenergik terutama terlokalisasi pada lokus seruleus di pons rostral,
dan mereka memproyeksikan akson mereka ke korteks otak, sistem limbik,
batang otak, dan sumsum tulang belakang. Percobaan pada primata telah
menunjukkan bahwa stimulasi dari lokus seruleus menghasilkan respon
ketakutan pada hewan dan bahwa ablasi dari daerah yang sama atau sama
sekali menghambat menghambat kemampuan hewan untuk membentuk respon
ketakutan.3
Studi pada manusia telah menemukan bahwa pada pasien dengan
gangguan panik, agonis reseptor adrenergik (misalnya, isoproterenol [Isuprel])
dan adrenergik antagonis reseptor (misalnya, yohimbine [Yocon]) dapat
memicu serangan panik yang sering dan cukup parah. Sebaliknya, clonidine
(Catapres), sebuah beta 2-reseptor agonis, mengurangi gejala kecemasan
dalam beberapa situasi eksperimental dan terapeutik. Temuan yang kurang
konsisten adalah bahwa pasien dengan gangguan kecemasan, terutama
gangguan panik, memiliki cairan serebrospinal tinggi (CSF) atau tingkat urin
metabolit noradrenergik 3-metoksi-4-hydroxyphenylglycol (MHPG).3
d. Hipotalamus-hipofisis-adrenal Axis
Bukti yang konsisten menunjukkan bahwa banyak bentuk stres psikologis
meningkatkan sintesis dan pelepasan kortisol.Kortisol berfungsi untuk
memobilisasi dan untuk melengkapi penyimpanan energi dan kontribusi untuk
gairah meningkat, kewaspadaan, perhatian terfokus, dan pembentukan
memori; penghambatan pertumbuhan dan sistem reproduksi, dan penahanan
dari respon kekebalan.Sekresi kortisol yang berlebihan dan berkelanjutan
dapat memiliki efek samping yang serius, termasuk hipertensi, osteoporosis,
imunosupresi, resistensi insulin, dislipidemia, dyscoagulation, dan, akhirnya,
aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. Perubahan dalam hipotalamus-
10
hipofisis-adrenal (HPA) fungsi sumbu telah dibuktikan dalam PTSD. Pada
pasien dengan gangguan panik, tumpul hormon adrenocorticoid (ACTH)
terhadap berbagai corticotropin-releasing factor (CRF) telah dilaporkan dalam
beberapa penelitian dan tidak pada orang lain.3
e. Corticotropin-releasing hormone (CRH)
Salah satu mediator yang paling penting dari respon stres, CRH
mengkoordinasikan perubahan perilaku dan fisiologis adaptif yang terjadi
selama stres.Tingkat CRH di hipotalamus meningkat pada orang dengan stres,
mengakibatkan aktivasi dari sumbu HPA dan meningkatkan pelepasan kortisol
dan dehydroepiandrosterone (DHEA). CRH juga menghambat berbagai fungsi
neurovegetative, seperti asupan makanan, aktivitas seksual, dan program
endokrin untuk pertumbuhan dan reproduksi.3
f. Serotonin
Identifikasi jenis reseptor serotonin telah mendorong pencarian untuk
peran serotonin dalam patogenesis gangguan kecemasan. Berbagai jenis hasil
stres akut pada omset 5-hidroksitriptamin (5-HT) meningkat pada korteks
prefrontal, amigdala, dan hipotalamus lateral. Kepentingan dalam hubungan
ini pada awalnya didorong oleh pengamatan bahwa antidepresan serotonergik
memiliki efek terapi dalam beberapa gangguan kecemasan misalnya,
clomipramine (Anafranil) di OCD.Efektivitas buspirone (BuSpar), suatu
serotonin 5-HT1A agonis reseptor, dalam pengobatan gangguan kecemasan
juga menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara serotonin dan
kecemasan.
Badan sel neuron serotonergik kebanyakan terletak di inti raphe di batang
otak dan sel – sel yang menuju ke korteks, sistem limbik (khususnya amigdala
dan hippocampus), dan hipotalamus. Beberapa laporan menunjukkan bahwa
meta-chlorophenylpiperazine (MCPP), obat serotonergik, dan fenfluramine
(Pondimin), yang menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan
kecemasan meningkat pada pasien dengan gangguan kecemasan, dan banyak
laporan menunjukkan bahwa serotonergik halusinogen dan stimulansia
misalnya, asam diethylamide lysergic (LSD) dan 3,4-
11
methylenedioxymethamphetamine (MDMA) terkait dengan perkembangan
gangguan kecemasan akut dan kronis pada orang yang menggunakan obat ini. 3
g. GABA
Peran GABA pada gangguan kecemasan sebagai contoh penggunaan
golongan benzodiazepin, yang meningkatkan aktivitas GABA pada jenis
reseptor GABA A (GABAA), dalam pengobatan beberapa jenis gangguan
kecemasan. Meskipun potensinya rendah, benzodiazepin adalah obat yang
paling efektif untuk mengatasi gejala dari gangguan kecemasan umum,
potensi tinggi obat – obat golongan benzodiazepin, seperti alprazolam
(Xanax), dan clonazepam efektif dalam pengobatan gangguan panik. Sebuah
antagonis benzodiazepin, flumazenil (Romazicon), menyebabkan serangan
panik sering berat pada pasien dengan gangguan panik. Data ini telah
membawa para peneliti berhipotesis bahwa beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan memiliki fungsi abnormal dari reseptor GABAA mereka,
meskipun hubungan ini belum terbukti secara langsung.3
h. Aplysia
Sebuah model neurotransmitter untuk gangguan kecemasan didasarkan
pada studi Aplysia californica, oleh pemenang Hadiah Nobel Eric Kandel, MD
Aplysia adalah siput laut yang bereaksi terhadap bahaya dengan menghindar,
menarik diri ke dalam cangkangnya.Perilaku ini dapat dikondisikan secara
klasik, sehingga siput merespon stimulus netral seolah-olah itu stimulus
berbahaya.Siput juga bisa menjadi peka dengan guncangan acak, sehingga
menunjukkan respon walaupun dengan tidak adanya bahaya nyata.Aplysia
klasik dikondisikan menunjukkan perubahan terukur dalam fasilitasi
presynaptic, sehingga terjadi peningkatan pelepasan jumlah neurotransmitter.
Meskipun siput laut adalah hewan sederhana, karya ini menunjukkan
pendekatan eksperimental untuk proses neurokimia kompleks yang berpotensi
terlibat dalam gangguan kecemasan pada manusia.3
i. Neuropeptida Y
Neuropeptide Y (NPY) adalah asam amino peptida, yang merupakan salah
satu peptida yang paling berlimpah ditemukan di otak mamalia. Bukti yang
menunjukkan keterlibatan amigdala dalam efek ansiolitik NPY yang kuat, dan
12
mungkin terjadi melalui reseptor NPY-Y1. NPY memiliki efek regulasi
counter pada sistem CRH dan LC-NE di lokasi otak yang penting dalam
ekspresi kecemasan, ketakutan, dan depresi. Studi awal dalam tentara operasi
khusus di bawah tekanan yang ekstrim pelatihan menunjukkan bahwa tingkat
NPY tinggi berhubungan dengan kinerja yang lebih baik.3
j. Galanin
Galanin adalah polipeptida yang pada manusia ditemukan mengandung 30
asam amino. Galanin telah terbukti terlibat dalam sejumlah fungsi fisiologis
dan perilaku, termasuk belajar dan memori, mengontrol rasa sakit, asupan
makanan, kontrol neuroendokrin, regulasi kardiovaskular, dan terakhir
kecemasan. Sebuah galanin immunoreactive padat serat sistem yang berasal
dari LC innervasi otak depan dan struktur otak tengah, termasuk hippocampus,
hipotalamus, amigdala, dan korteks prefrontal. Studi pada tikus telah
menunjukkan bahwa galanin dikelola terpusat memodulasi kecemasan terkait
perilaku. Galanin dan agonis reseptor NPY mungkin menjadi target baru
untuk pengembangan obat anti ansietas.3
GAMBARAN KLINIS
13
3. Tidak bisa diam
4. Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas Otonomik 5. Nafas pendek/terasa berat
6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah/dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing/rasa melayang
10. Mual, mencret, perut tak enak
11. Muka panas/ badan menggigil
12. Buang air kecil lebih sering
Kewaspadaan berlebihan dan 13. Perasaan jadi peka/mudah ngilu
Penangkapan berkurang 14. Mudah terkejut/kaget
15. Sulit konsentrasi pikiran
16. Sukar tidur
17. Mudah tersinggung
14
mengakibatkan penurunan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Pada
kecemasan yang kronis, kadar adrenalin terus meninggi, sehingga kepekaan
terhadap rangsangan yang lain berkurang dan akan terlihat tekanan darah
meninggi. Pada gangguan cemas menyeluruh yang terutama berperan adalah
neurotransmiter serotonin. Pada saat ini telah diidentifikasi tiga reseptor serotonin,
yaitu : 5-HT1, 5-HT2 dan 5-HT3 . Menurut Kabo reseptor 5-HT1 bersifat sebagai
inhibitor, sedangkan reseptor 5-HT2 dan reseptor 5-HT3 bersifat sebagai eksitator.
Menurut Gothert, aktivasi reseptor 5-HT1 akan mengurangi kecemasan sedangkan
aktivasi reseptor 5-HT2 akan meningkatkan tekanan darah.8
DIAGNOSIS
15
anoreksia nervosa), menderita keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan
somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada hipokondriasis) serta
kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata selama gangguan stres
pasca trauma.
5. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.
6. Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari
suatu zat (misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum
(misalnya hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu
gangguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan pervasif.
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh berdasarkan PPDGJ-III sebagai
berikut:10
1. Pasien harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung
hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja
(sifatnya “free floating” atau “mengambang”)
2. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk,
sulit konsentrasi, dan sebagainya);
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai);
dan
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering dan sebagainya).
3. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang
menonjol.
4. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan cemas
Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
16
depresif (F32.-), gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0),
atau gangguan obsesif-kompulsif (F42.-).
DIAGNOSIS BANDING
17
PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine dimulai
dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respons terapi.
Pengguanaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat
mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-
6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1-2 minggu. Spektrum
klinis Benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas, antikonvulsan, anti-
insomnia, dan premedikasi tindakan operatif. Adapun obat-obat yang
termasuk dalam golongan Benzodiazepin antara lain :11
• Diazepam, dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 2-10 mg
9im/iv), broadspectrum.
• Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari, broadspectrum.
• Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas,
untuk pasien-pasien dengan kelainan hati dan ginjal.
• Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas,
psychomotor performance paling kurang terpengaruh, untuk pasien
dewasa dan usia lanjut yang masih ingin tetap aktif.
• Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
• Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif untuk anxietas
tipe antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan mempunyai komponen
efek anti-depresi.
b. Non-benzodoazepin (Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron lebih efektif
dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding gejala somatik. Tidak
menyebabkan withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10 mg/hari. Kekurangannya
adalah, efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa
penderita GAD yang sudah menggunakan Benzodiazepin tidak akan
18
memberikan respon yang baik dengan Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan
bersama antara Benzodiazepin dengan Buspiron kemudian dilakukan tapering
Benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi Buspiron sudah
mencapai maksimal.11
Dosis
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan
Anjuran
1. Diazepam Diazepin Tab. 2-5 mg 10-30 mg/h
Lovium Tab. 2-5 mg
Stesolid Tab. 2-5 mg
Amp.
10mg/2cc
2. Chlordiazepoxide Cetabrium Drg. 5-10 mg 15-30 mg/h
Arsitran Tab. 5 mg
Tensinyl Cap. 5 mg
3. Lorazepam Ativan Tab. 0,5-1-2 2-3 x 1 mg/h
Renaquil mg
Tab. 1 mg
4. Clobazam Frisium Tab. 10 mg 2-3 x 1m
mg/h
5. Alprazolam Xanax Tab. 0,25-0,5 0,75-1,50
Alganax mg mg/h
Tab. 0,25-0,5
mg
6. Sulpiride Dogmatil Cap. 50 mg 100-200 mg/h
7. Buspirone Buspar Tab. 10 mg 15-30 mg/h
8. Hydroxyzine Iterax Caplet 25 mg 3x25 mg/h
19
2. Psikoterapi
a. Terapi kognitif perilaku
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran
manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, dimana
proses kognisi akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana
manusia berpikir, merasa dan bertindak. Terapi kognitif perilaku diarahkan
kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan
peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan
memutuskan kembali. Dengan mengubah arus pikiran dan perasaan, klien
diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi
positif.Tujuan terapi kognitif perilaku ini adalah untuk mengajak pasien
menentang pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti
yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi.
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara kangsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.
Teknik utama yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi
dan biofeedback.6,11
b. Terapi suportif
Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi
yang ada dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.6
c. Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik
bawah sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self pasien.
Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis
dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk menjadi lebih
matur, bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat
beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.6
PROGNOSIS
20
Karena tingginya insidensi gangguan mental komorbid pada pasien dengan
gangguan kecemasan menyeluruh, perjalanan klinis dan prognosis gangguan
cemas menyeluruh sukar untuk ditentukan.Namun demikian, beberapa data
menyatakan bahwa peristiwa kehidupan berhubungan dengan onset gangguan
kecemasan umum. Terjadinya beberapa peristiwa kehidupan yang negatif secara
jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya gangguan cemas menyeluruh.
Menurut definisinya, gangguan kecemasan umum adalah suatu keadaan kronis
yang mungkin seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami
gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor. 4
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh, perlu
diingat bahwa banyak segi yang harus dipertimbangkan. Hal ini berhubung
dengan dinamika terjadinya gangguan cemas serta terapinya yang begitu
kompleks.Keadaan penderita, lingkungan penderita, dan dokter yang
mengobatinya ikut mengambil peran dalam menentukan prognosis gangguan
cemas menyeluruh.
Ditinjau dari kepribadian premorbid, jika penderita sebelumnya telah
menunjukkan kepribadian yang baik di sekolah, di tempat kerja atau dalam
interaksi sosialnya, maka prognosisnya lebih baik daripada penderita yang
sebelumnya banyak menemui kesulitan dalam pergaulan, kurang percaya diri, dan
mempunyai sifat tergantung pada orang lain. Kematangan kepribadian juga dapat
dilihat dari kemampuan seseorang dalam menanggapi kenyataan-kenyataan,
keseimbangan dalam memadukan keinginan-keinginan pribadi dengan tuntutan-
tuntutan masyarakat, integrasi perasaan dengan perbuatan, kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan lain sebagainya. Semakin matang
kepribadian premorbidnya, maka prognosis gangguan cemas menyeluruh juga
semakin baik.
Mengenai hubungan dengan terapi, semakin cepat dilakukan terapi pada
gangguan kecemasan menyeluruh, maka prognosisnya menjadi lebih baik.
Demikian pula dengan situasi tempat pengobatan, semakin pasien merasa nyaman
dan cocok dengan situasinya, maka hasilnya akan lebih baik dan akan
mempengaruhi prognosisnya. Pengobatan sebaiknya dilakukan sebelum gejala-
gejala menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan sampingan
21
misalnya untuk mendapatkan simpati, perhatian, uang, dan peringanan dari
tanggung jawabnya. Jika gejala-gejala sudah merupakan alat untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan tersebut, maka kemauan pasien untuk sembuh berkurang
dan prognosis akan menjadi lebih jelek.
Faktor stres juga ikut menentukan prognosis dari gangguan cemas
menyeluruh. Jika stres yang menjadi penyebab timbulnya gangguan cemas
menyeluruh relatif ringan, maka prognosis akan lebih baik karena penderita akan
lebih mampu mengatasinya. Kalau dilihat dari lingkungan hidup penderita, sikap
orang-orang di sekitarnya juga berpengaruh terhadap prognosis. Sikap yang
mengejek akan memperberat penyakitnya, sedangkan sikap yang membangun
akan meringankan penderita. Demikian juga peristiwa atau masalah yang
menimpa penderita misalnya kehilangan orang yang dicintai, rumah tangga yang
kacau, kemunduran finansial yang besar akan memperjelek prognosisnya.
KESIMPULAN
22
Penatalaksanaan GAD meliputi farmakoterapi, golongan Benzodiazepin
merupakan drug of choice sebab mempunyai efek anti-anxietas, spesifitas, potensi
dan keamanan yang paling baik. Selain itu, pasien juga diberikan psikoterapi,
berupa terapi kognitif-perilaku (CBT), terapi suportif dan psikoterapi berorientasi
tilikan.
Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang
mungkin berlangsung seumur hidup.Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami
gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh, perlu
diingat bahwa banyak segi yang harus dipertimbangkan.Hal ini berhubung dengan
dinamika terjadinya gangguan cemas serta terapinya yang begitu
kompleks.Keadaan penderita, lingkungan penderita, dan dokter yang
mengobatinya ikut mengambil peran dalam menentukan prognosis gangguan
cemas menyeluruh.
Hal lain yang juga memegang peranan penting dalam menentukan baik
tidaknya prognosis gangguan cemas menyeluruh antara lain kepribadian
premorbid pasien, efektifitas terapi, faktor stres, serta dukungan lingkungan.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Saddock BJ. Gangguan Kecemasan. In : Wiguna M, editor.
Sinopsis Psikiatri. Edisi ketujuh. Jilid Satu : Phyladelphia. Hal.1-8.
2. Hutagalung, Evalina Asnawi. Tatalaksana Diagnosis dan Terapi Gangguan
Anxietas. [Internet] 2007 [cited 2016 December 10]. Available from :
http://gangguan_anxietas.htm
3. Saddock BJ, Saddock VA. Anxiety disorder. In : Kaplan Saddock’s Synopsis
of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Tenth Edition.. New
York: Lippincott Williams & Wilkins: 2007; Pg 580-8.
4. DSM IV-TR. (2000). Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders
(DSM IV-TR). Washington DC: American Psychiatric Association.American
Psychological Association.
5. Generalized Anxiety Disorder.[Internet]. [cited 2016, December 8]. Available
from : http://www.Helpguide.org
6. Shear, Katherine M. Anxiety Disorders “Generalized Anxiety Disorder” in :
Dale DC, Federman DD, editors. ACP Medicine. 3rd Edition. Washington:
WebMD Inc. : 2007.
7. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Generalized Anxiety
Disorder in : Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry : Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams &
Wilkins: 2007. p. 623-7
8. Idrus, Faisal. Pola Tekanan Darah pada Gangguan Cemas
Menyeluruh.[Internet]. [cited 2016, December 10]. Available from
:http://www.artikelkedokteran.com/304/pola-tekanan-darah-pada-gangguan-
cemas-menyeluruh.html.
9. Stevens V. Anxiety Disorders. In : Goljan EF, editor. Behavioral Science.
Elsevier Science.
10. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya:
2003. Hal. 74
24
11. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi
Ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya: 2007.
Hal.36-41.
25