Anda di halaman 1dari 8

Setelah kita mengetahui iman itu bertambah dan berkurang, maka mengenal sebab-sebab

bertambah dan berkurangnya iman memiliki manfaat dan menjadi sangat penting sekali. Sudah
sepantasnya seorang muslim mengenal kemudian menerapkan dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, agar bertambah sempurna dan kuat imannya. Juga untuk menjauhkan diri
dari lawannya yang menjadi sebab berkurangnya iman sehingga dapat menjaga diri dan selamat
didunia dan akherat.

Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa seorang hamba yang


mendapatkan taufiq dari Allah Ta’ala selalu berusaha melakukan dua perkara:

1. Merealisasikan iman dan cabang-cabangnya serta menerapkannya baik secara ilmu dan
amal secara bersama-sama.
2. Berusaha menolak semua yang menentang dan menghapus iman atau menguranginya dari
fitnah-fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, mengobati kekurangan dari awal
dan mengobati yang seterusnya dengan taubat nasuha serta mengetahui satu perkara
sebelum hilang.[1]

Mewujudkan iman dan mengokohkannya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab


bertambahnya iman dan melaksanakannya. Sedangkan berusaha menolak semua yang
menghapus dan menentangnya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab berkurangnya iman dan
berhati-hati dari terjerumus di dalamnya.

Sebab-sebab Bertambahnya Iman

Pertama: Belajar ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur`aan dan as Sunnah. Hal ini
menjadi sebab pertambahan iman yang terpenting dan bermanfaat karena ilmu menjadi sarana
beribadah kepada Allah Ta’ala dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas. Pertambahan
iman yang didapatkan dari ilmu bisa terjadi dari beraneka ragam sisi, di antaranya:

1. Sisi keluarnya ahli ilmu dalam mencari ilmu


2. Duduknya mereka dalam halaqah ilmu
3. Mudzakarah (diskusi) di antara mereka dalam masalah ilmu
4. Penambahan pengetahuan terhadap Allah dan syari’at-Nya
5. Penerapan ilmu yang telah mereka pelajari
6. Tambahan pahala dari orang yang belajar dari mereka

Kedua: Merenungi ayat-ayat kauniyah. Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan
makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang beraneka ragam dan menakjubkan merupakan faktor
pendorong yang sangat kuat untuk beriman dan mengokohkan iman.

Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan faktor pendorong
keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-
makhuk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini
semua adalah faktor pendorong yang kuat untuk meningkatkan iman”.[2]

Ketiga: Berusaha sungguh-sungguh melaksanakan amalan shalih dengan ikhlas, memperbanyak


dan mensinambungkannya. Hal ini karena semua amalan syariat yang dilaksanakan dengan
ikhlas akan menambah iman. Karena iman bertambah dengan pertambahan amalan ketaatan dan
banyaknya ibadah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah menuturkan, “Di antara sebab
pertambahan iman adalah melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai
dengan bagusnya pelaksanaan, jenis dan banyaknya amalan. Semakin baik amalan, semakin
besar penambahan iman dan bagusnya pelasanaan ada dengan sebab ikhlas dan mutaba’ah
(mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan jenis amalan, maka yang wajib
lebih utama dari yang sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih ditekankan dan utama dari yang
lainnya. Semakin utama ketaatan tersebut maka semakin besar juga penambahan
imannya. Adapun banyak (kwantitas) amalan, maka akan menambah keimanan, sebab amalan
termasuk bagian iman. Sehingga pasti iman bertambah dengan bertambahnya amalan.”[3]

Sebab-sebab Berkurangnya Iman

Sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri (faktor
internal) dan ada yang berasal dari luar (faktor eksternal).

Faktor internal berkurangnya iman


Pertama: Kebodohan. Ini adalah sebab terbesar berkurangnya iman, sebagaimana ilmu adalah
sebab terbesar bertambahnya iman.

Kedua: Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu
sebab penting berkurangnya iman.

Ketiga: Perbuatan maksiat dan dosa. Jelas kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki
pengaruh jelek terhadap iman. Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Ta’ala menambah iman,
demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Ta’ala mengurangi iman. Namun tentunya dosa
dan kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya,
sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah
pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal
shalih pun bertingkat–tingkat”.[4]

Keempat: Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratu bissu’). Inilah nafsu
yang ada pada manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan,
sebagaimana Allah Ta’ala jelaskan dalam menceritakan istri al-Aziz ,

ٌ ُ‫ُّوء إِّ ََّّل َما َر ِّح َم َربِّي إِّ َّن َربِّي َغف‬
‫ور َر ِّحي ٌم‬ َ ‫س ََل َ َّم‬
ِّ ‫ارة ٌ بِّالس‬ ُ ‫َو َما أُبَ ِّر‬
َ ‫ئ نَ ْفسِّي إِّ َّن النَّ ْف‬

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs Yusuf: 53)

Nafsu ini menyeret manusia kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita
berlindung kepada Allah Ta’ala darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal dan
setelahnya.

Faktor eksternal berkurangnya iman

Pertama: Syeitan musuh abadi manusia yang merupakan satu sebab penting eksternal yang
mempengaruhi iman dan mengurangi kekokohannya.

Kedua: Dunia dan fitnah (godaan)nya. Menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya
termasuk sebab yang dapat mengurangi iman. Sebab semakin semangat manusia memiliki dunia
dan semakin menginginkannya, maka semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan
mencari kebahagian akherat, sebagaiman dituturkan Imam Ibnul Qayyim.

Ketiga: Teman bergaul yang jelek. Teman yang jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat
berbahaya terhadap keimanan, akhlak dan agamanya. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallamtelah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau,

ُ ‫ِّين َخ ِّلي ِّل ِّه فَ ْليَ ْن‬


‫ظ ْر أ َ َحد ُ ُك ْم َم ْن يُخَا ِّل ُل‬ ِّ ‫علَى د‬
َ ‫الر ُج ُل‬
َّ

“Seorang itu berada di atas agama kekasihnya (teman dekatnya), maka hendaknya salah
seorang kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.”[5]

Demikianlah perkara yang harus diperhatikan dalam iman, mudah-mudahan hal ini dapat
menggerakkan kita untuk lebih mengokohkan iman dan menyempurnakannya.

Wabillahi taufiq.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Artikel www.muslim.or.id

[1] At-taudhih wa al-Bayaan Lisyajarat al-Imaan hlm 38


[2] Ibid hlm 31

[3] Fathu rabbi al-Bariyah hlm 65

[4] Ighaatsatu al-Lahafaan 2/142

[5] HR at-Tirmidzi 4/589 dan dinilai hasan oleh iman al-Albani.


Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah
pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan
makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara
bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk.
Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il
muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)

Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat
[dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional] :

Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits
serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para
pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi
iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota
badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur
keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga
bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).

Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan
oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan
pembenaran dengan hati.

Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan
bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun
diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari
definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna
keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan
ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas
kekeliruannya.

Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah-
berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah
yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh
lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan
maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang
beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was
salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada
Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua
melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), ”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu
dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam
pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah
bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya),
”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al
Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang
Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa
bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa
berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan
amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal.
101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih
dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih
bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul
Baari, I/60)

Penjelasan definisi iman

‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh
Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat
syahadat‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan
‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan
beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan
kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)

Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa
iman itu bertambah dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102). Hal ini telah
ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu
firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka
yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).

Dalil dari As Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sosok
kaum perempuan, ”Tidaklah aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan agamanya dan lebih
cepat membuat hilang akal pada diri seorang lelaki yang kuat daripada kalian ini (kaum
perempuan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam
hadits tersebut terdapat penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga masing-masing dalil
ini menunjukkan adanya pertambahan iman. Dan secara otomatis hal itu juga mengandung
penetapan bisa berkurangnya iman, begitu pula sebaliknya. Sebab pertambahan dan pengurangan
adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak masuk akal keberadaan salah satunya
tanpa diiringi oleh yang lainnya.

Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5 karakter : keyakinan,
ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa diringkas menjadi 3 : keyakinan,
ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara otomatis iman bisa bertambah dan
berkurang. Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal, sebab keyakinan
sudah termasuk dalam amal yaitu amal hati. Wallahu a’lam.

Penyimpangan dalam mendefinisikan iman

Keyakinan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang adalah aqidah yang sudah paten, tidak
bisa diutak-atik atau ditawar-tawar lagi. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang
menyimpang dari pemahaman yang lurus ini. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan
bahwa orang-orang yang menyimpang tersebut terbagi menjadi dua kelompok yaitu : Murji’ah
dan Wai’diyah.

Murji’ah tul

Anda mungkin juga menyukai