Anda di halaman 1dari 24

‫ِبْس ِم ٱِهَّلل ٱلَّر ْح َم ٰـ ِن ٱلَّر ِحيِم‬

1. Jelaskan makna Iman, Islam dan Ihsan secara rinci!


Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan).
Iman adalah ucapan dan perbuatan. Ucapan hati dan lisan, dan amal hati, lisan dan
anggota tubuh, iman itu bertambah dengan taat dan berkurang dengan maksiat.
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para
teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
1. Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2. Amal, perbuatan baik atau patuh.
3. Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4. Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb
(mengetahui dengan hati).
Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:
‫ان (رواه‬44‫عف االءيم‬44‫ك أض‬44‫ه وذال‬44‫تطع فبقلب‬44‫إن لم يس‬44‫انه ف‬44‫تطع فبلس‬44‫ان لم يس‬44‫من رأي منكم منكرا فليغيره بيده ف‬
)‫مسلم‬
Artinya: “Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran,
hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah
dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi
yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah” (H.R. Muslim)

Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman ada beberapa
pendapat antara lain:
1. Iman adalah tashdiq di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul
Allah. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat
dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah,
ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan
ajaran agama. Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian
penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
2. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain,
seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan
keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan
lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia.
Yang penting tashdiq dan ikrar. Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian
pengikut Maturidiah
3. Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan
perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena
itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut
oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.
Di samping masalah konsep iman, pembahasan di dalam ilmu tauhid/kalam juga
menyangkut masalah apakah iman.itu bisa bertambah atau berkurang atau tidak. Dalam
hal ini ada dua pendapat.
1. Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
2. Iman bisa bertambah atau berkurang. Ulama yang berpendapat seperti ini
terbagi pula kepada dua golongan:
a. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah atau berkurang itu adalah
tashdiq dan amal.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah dalam iman itu hanya
tashdiqnya.
Menurut sebagian ulama, bertambah atau berkurangnya tashdiq seseorang tergantung
kepada:
a. Wasilahnya. Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan dterima oleh
seseorang dapat menguatkan atau melemahkan tashdiq-nya.
b. Diri pribadi seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil
keimanan. Makin kuat daya serapnya, makin kuat pula tashdiq-nya. Sebaliknya,
jika daya serapnya lemah atau tidak baik, tashdiq-nya pun bisa lemah pula;
Pengamalan terhadap ajaran agama. Seseorang yang melaksanakan kewajiban-
kewajiban agama dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya tinggi, akan
merasakan kekeuatan iman/tashdiq yang tinggi pula. Makin baik dan tinggi frekuensi
amaliahnya, makin bertambah kuat iman/tashdiq-nya.

Tingkatan-tingkatan Iman:
Iman itu memiliki rasa, manis dan hakekat.
1. Adapun rasanya iman, maka Nabi menjelaskan dengan sabda-Nya:
((‫)َذ اَق َط ْع َم اِإليَم اِن َم ْن َر ِض َي ِباِهَّلل َر ًّب ا َو ِباِإلْس الِم ِد يًن ا َو ِبُم َح َّمٍد َر ُسْو ًال‬
"Yang merasakan nikmatnya iman adalah orang yang ridha kepada Allah sebagai
Rabb (Tuhan), Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul." (HR. Muslim)
2. Adapun manisnya iman, maka Nabi menjelaskan dengan sabdanya:
‫ َق اَل َث َالٌث َم ْن ُك َّن ِفيِه َو َج َد َح َالَو َة اِإليَم اِن َأْن َي ُك وَن ُهَّللا‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َع ْن َأَن ٍس َع ِن الَّن ِبِّى‬
‫ َو َأْن َي ْك َر َه َأْن َي ُعوَد ِفى اْلُكْف ِر َك َم ا َي ْك َر ُه‬، ‫ َو َأْن ُيِحَّب اْلَم ْر َء َال ُيِحُّبُه ِإَّال ِهَّلِل‬، ‫َو َر ُسوُلُه َأَح َّب ِإَلْيِه ِمَّما ِس َو اُه َم ا‬
‫َأ‬
‫ْن ُيْقَذ َف ِفى الَّن اِر‬
"Ada tiga perkara, jika terdapat dalam diri seseorang, niscaya dia merasakan
nikmatnya iman: bahwa Allah dan RasulNya lebih dicintainya dari apapun selain
keduanya, dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan dia benci kembali
kepada kekafiran sebagaimana dia benci dilemparkan dalam api neraka."
(Muttafaqun 'alaih. HR.Shohih bukhari.)
3. Adapun hakekat iman, maka bisa didapatkan oleh orang yang memiliki hakekat
agama. Berdiri tegak memperjuangkan agama, dalam ibadah dan dakwah,
berhijrah dan menolong, berjihad dan berinfak.

Agama Islam dalam istilah Arab disebut Dinul Islam. Kata Dinul Islam tersusun
dari dua kata yakni Din (‫دين‬4‫ )ال‬dan Islam (‫)مس ا‬. Arti kata din baik secara etimologis
maupun terminologis sudah dijelaskan di depan. Sedangkan kata ‘Islam’ secara
etimologis berasal dari akar kata kerja ‘salima’ yang berarti selamat, damai, dan
sejahtera, lalu muncul kata ‘salam’ dan ‘salamah’. Dari ‘salima’ muncul kata ‘aslama’
yang artinya menyelamatkan, mendamaikan, dan mensejahterakan. Kata ‘aslama’ juga
berarti menyerah, tunduk, atau patuh. Dari kata ‘salima’ juga muncul beberapa kata
turunan yang lain, di antaranya adalah kata ‘salam’ dan ‘salamah’ artinya keselamatan,
kedamaian, kesejahteraan, dan penghormatan, ‘taslim’ artinya penyerahan,
penerimaan, dan pengakuan, ‘silm’ artinya yang berdamai, damai, ‘salam’ artinya
kedamaian, ketenteraman, dan hormat, ‘sullam’ artinya tangga, ‘istislam’ artinya
ketundukan, penyerahan diri, serta ‘muslim’ dan ‘muslimah’ artinya orang yang
beragama Islam laki-laki atau perempuan (Munawwir, 1997: 654-656).
Makna penyerahan terlihat dan terbukti pada alam semesta. Secara langsung
maupun tidak langsung alam semesta adalah islam, dalam arti kata alam semesta
menyerahkan diri kepada Sunnatullah atau ‘hukum alam’, seperti matahari terbit dari
timur dan terbenam di barat yang berlaku sepanjang zaman karena dia menyerah
(islam) kepada sunatullah yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Ditegaskan dalam al-
Quran Surat Ali ‘Imran (3): 83:

‫َأَف َغْي َر ِديِن ِهَّللا َي ْب ُغ وَن َو َلُه َأْس َلَم َم ْن ِفي الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر ِض َط ْو ًعا َو َك ْر ًها َو ِإَلْيِه ُيْر َج ُعوَن‬
Artinya: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
padahal kepada-Nyalah (mereka) menyerah diri, segala apa yang (ada) di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa. Dan hanya kepada Allahlah mereka kembali
(mati).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 83).
Dengan demikian Islam mengandung pengertian serangkaian peraturan yang
didasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada para nabi/rasul untuk
ditaati dalam rangka memelihara keselamatan, kesejahteraan, dan Konsep Agama
Islam 39 perdamaian bagi umat manusia yang termaktub dalam kitab suci. Islam
merupakan satu-satunya agama yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada manusia
melalui para nabi/rasul-Nya mulai dari Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad saw. Inti
ajaran Islam yang dibawa oleh para nabi ini adalah satu, yaitu tauhid, yakni
mengesakan Allah atau menuhankan Allah yang Esa. Tidak ada satu pun di antara para
nabi Allah yang mengajarkan prinsip ketuhanan yang bertentangan dengan tauhid.
Dalam perjalanannya ajaran Islam kemudian berubah-ubah di tangan para
pengikutnya sepeninggal Nabi pembawanya. Umat Nabi Musa tidak lagi bisa
mempertahankan Islam yang diajarkan Nabi Musa, begitu juga umat Nabi Isa tidak lagi
mempertahankan Islam yang diajarkan Nabi Isa. Kedua agama ini hingga sekarang
masih dianut oleh sebagian besar umat manusia dengan segala perubahan yang
dilakukan oleh para penganutnya. Karena tidak lagi mengajarkan prinsip tauhid, kedua
agama itu tidak lagi bisa disebut Islam. Melalui al-Quran, Allah memberikan nama
khusus untuk kedua agama tersebut, yakni Yahudi untuk agama yang dianut oleh para
pengikut Nabi Isa. Ajaran ketuhanan dalam kedua agama ini sudah jauh berubah dari
prinsip tauhid, dan sudah mengarah kepada syirik, yakni mengakui keberadaan Tuhan
di samping Allah. Dari semua Islam yang ada tersebut, tinggal Islam yang dibawa Nabi
Muhammad saw. yang hingga sekarang masih tetap mempertahankan ajaran tauhid
dan semua ajaran lain yang secara rinci telah termaktub dalam kitab suci al-Quran.
Kitab al-Quran yang masih tetap autentik memberi jaminan akan orisinalitas ajaran
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. hingga sekarang. Islam inilah yang
merupakan agama terakhir yang berlaku untuk semua umat manusia hingga akhir
zaman.

4 dasar yang dapat menjelaskan pemahaman kita tentang Islam, yaitu:


1. Islam adalah agama yang benar di sisi Allah.
Maksudnya adalah bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang
diakui kebenarannya oleh Allah. Allah hanya menurunkan satu agama kepada
umat manusia sejak zaman Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad saw., karena
itulah maka Allah hanya mengakui Islam sebagai agama yang benar. Semua
agama yang diajarkan oleh nabi-nabi sebelum Muhammad juga disebut Islam.
Ketika Allah menurunkan Islam kepada Nabi Muhammad saw, agama-agama
Islam sebelumnya sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, ajarannya sudah mulai
berubah dari prinsip utamanya, tauhid. Karena itulah, sejak diutusnya Nabi
Muhammad saw. Allah hanya mengakui satu agama Islam, yakni Islam yang
dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini ditegaskan dalam al-
Quran sebagai berikut:

‫ِاَّن الِّد ْي َن ِع ْن َد ِهّٰللا اِاْلْس اَل ُم‬


Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridoi) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali
‘Imran [3]: 19).
2. Agama selain Islam tidak akan diterima di sisi Allah
Maksudnya adalah bahwa Allah tidak akan menerima seseorang yang
memeluk agama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lainnya.
Semua yang dilakukan oleh penganut agama selain Islam dalam rangka
pengamalan agamanya akan sia-sia, karena tidak akan diperhitungkan oleh Allah
sebagai amal baiknya. Allah menegaskan hal ini dengan firman-Nya:

‫َو َم ْن َّيْب َت ِغ َغْي َر اِاْلْس اَل ِم ِدْي ًن ا َف َلْن ُّي ْق َبَل ِم ْن ُۚه َو ُه َو ِفى اٰاْل ِخَر ِة ِمَن اْلٰخ ِس ِر ْي َن‬
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 85).
3. Islam adalah agama yang sempurna
Maksudnya adalah bahwa Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
adalah agama yang paling sempurna, karena ajarannya meliputi semua ajaran
yang pernah diturunkan oleh Allah kepada para nabi sebelum Muhammad. Ajaran
agama Islam juga meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, mulai aspek
ibadah dan muamalah hingga aspek-aspek lainnya. Kesempurnaan Islam ini
ditegaskan dalam al-Quran:
‫َاْلَي ْو َم َاْك َم ْلُت َلُك ْم ِدْي َن ُك ْم َو َاْت َم ْم ُت َع َلْي ُك ْم ِنْع َم ِتْي َو َر ِض ْي ُت َلُك ُم اِاْلْس اَل َم ِدْي ًن ۗا‬
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridoi Islam itu jadi agama
bagimu.” (QS. al-Maidah [5]: 3).
4. Islam adalah agama hidayah Allah
Maksudanya adalah bahwa orang yang memeluk atau menganur agama
Islam bukan semata-mata atas kehendaknya sendiri, melainkan atas petunjuk
atau hidayah dari Allah Swt. Sebaliknya, orang yang tidak dapat memeluk Islam
juga bukan karena semata-mata pengaruh orang lain, tetapi karena Allah
memang sengaja menyesatkan orang tersebut. Allah Swt. berfirman:
‫َف َم ْن ُّي ِر ِد ُهّٰللا َاْن َّيْه ِدَي ٗه َي ْش َر ْح َص ْد َر ٗه ِلِاْل ْس اَل ِۚم َو َم ْن ُّي ِر ْد َاْن ُّيِض َّلٗه َي ْج َع ْل َص ْد َر ٗه َض ِّي ًقا َح َر ًج ا‬
‫َك َاَّن َم ا َي َّصَّع ُد ِفى الَّس َم ۤا ِۗء َك ٰذ ِلَك َي ْج َع ُل ُهّٰللا الِّر ْج َس َع َلى اَّلِذْي َن اَل ُيْؤ ِم ُنْو َن‬
Artinya: “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan
barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah
menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-An’am [6]:
125).

Di samping empat ayat di atas, kata Islam juga disebutkan dalam empat
ayat al-Quran lainnya, yakni:
‫َي ْح ِلُفْو َن ِباِهّٰلل َم ا َق اُلْو اۗ َو َلَقْد َق اُلْو ا َك ِلَم َة اْلُكْف ِر َو َكَفُرْو ا َب ْع َد ِاْس اَل ِم ِه ْم َو َه ُّمْو ا ِبَم ا َلْم َي َن اُلْو ۚا َو َم ا َنَقُم ْٓو ا‬
‫ِآاَّل َاْن َاْغ ٰن ىُهُم ُهّٰللا َو َر ُسْو ُلٗه ِمْن َفْض ِلٖه ۚ َف ِاْن َّي ُتْو ُبْو ا َي ُك َخ ْيًر ا َّلُهْم ۚ َو ِاْن َّي َت َو َّلْو ا ُيَع ِّذ ْبُهُم ُهّٰللا َع َذ اًبا َاِلْيًما‬
‫ِفى الُّد ْن َي ا َو اٰاْل ِخَر ِةۚ َو َم ا َلُهْم ِفى اَاْلْر ِض ِمْن َّو ِلٍّي َّو اَل َن ِص ْي ٍر‬
Artinya: Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah,
bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya
mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah
Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka
tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah
melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu
adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan
mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka
sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.
(QS. al-Taubah [9]: 74)

‫ٰۤل‬
‫َاَف َم ْن َش َر َح ُهّٰللا َص ْد َر ٗه ِلِاْل ْس اَل ِم َف ُهَو َع ٰل ى ُنْو ٍر ِّمْن َّر ِّبٖه ۗ َفَو ْيٌل ِّلْل ٰق ِس َيِة ُقُلْو ُبُهْم ِّمْن ِذ ْك ِر ِهّٰللاۗ ُاو ِٕىَك‬
‫ِفْي َض ٰل ٍل ُّم ِبْي ٍن‬
Artinya: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan
orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka
yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan
yang nyata. (QS. al-Zumar [39]: 22)

‫َي ُم ُّن ْو َن َع َلْي َك َاْن َاْس َلُمْو اۗ ُقْل اَّل َت ُم ُّن ْو ا َع َلَّي ِاْس اَل َم ُك ْم ۚ َب ِل ُهّٰللا َي ُمُّن َع َلْي ُك ْم َاْن َه ٰد ىُك ْم ِلِاْل ْي َم اِن ِاْن‬
‫ُكْنُتْم ٰص ِد ِقْي َن‬
Artinya: Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman
mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku
dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat
kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-
orang yang benar". (QS. al-Hujurat [49]: 17)

‫ّٰظ‬
‫َو َم ْن َاْظ َلُم ِمَّم ِن اْف َتٰر ى َع َلى ِهّٰللا اْلَك ِذَب َو ُه َو ُيْد ٰع ٓى ِاَلى اِاْلْس اَل ِۗم َو ُهّٰللا اَل َي ْهِدى اْل َقْو َم ال ِلِمْي َن‬
Artinya: Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan
dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang zalim. (QS. As-Saff [61]: 7)

Dari empat ayat ini dapat diketahui bahwa hidayah Islam itu merupakan karunia
dan nikmat dari Allah Swt. kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Ihsan itu ialah bahwa “kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-
Nya,tetapi jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”

‫َأْن َت ْع ُبَد َهَّللا َك َأَّن َك َت َر اُه َف ِإْن َلْم َت ُك ْن َت َر اُه َف ِإَّن ُه َيَر اَك‬
Artinya: “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila
engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. (HR.
Muslim)

Ihsan juga adalah melakukan ibadah dengan khusyuk,ikhlas dan yakin bahwa
Allah senantiasa mengawasi apa yang dilakukannya.

Ihsan (‫ناسح‬I) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau
“terbaik.” Dalam terminologi agama Islam, Ihsan berarti seseorang yang menyembah
Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya,
maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat
perbuatannya.

Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu Iman,Islam, dan Ihsan. Oleh
karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas
akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan
bagian terbesar dari keislamannya.

Tiga Aspek Pokok Dalam Ihsan


Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah,
muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam ihsan.
1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua
jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar,
yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak
akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan
ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat
(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa
memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-
Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya,
karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan
sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah
maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi,

‫َأْن َت ْع ُبَد َهَّللا َك َأَّن َك َت َر اُه َف ِإْن َلْم َت ُك ْن َت َر اُه َف ِإَّن ُه َيَر اَك‬
Artinya: “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya,
dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR.
Muslim).
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri
sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah
pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin,
mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk
mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw.
menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa
sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

2. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat
36, yang berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada


Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-
Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan
siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak
mendapatkan ihsan tersebut:
a. ihsan kepada kedua orang tua
b. ihsan kepada karib kerabat
c. ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin
d. ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat
e. ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya
f. ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia
g. ihsan dalam hal muamalah
h. ihsan dengan berlaku baik kepada binatang

Aspek ihsan dalam muamalah ini dijelaskan Allah SWT pada surah an-Nisaa’
ayat 36:

‫َو اْع ُبُد وا َهّٰللا َو اَل ُتْش ِر ُك ْو ا ِبٖه َش ْئًـا َّو ِباْلَو اِلَدْي ِن ِاْح َس اًن ا َّو ِبِذى اْل ُقْر ٰب ى َو اْلَي ٰت ٰم ى َو اْل َم ٰس ِكْي ِن‬
‫َو اْلَج اِر ِذى اْل ُقْر ٰب ى َو اْل َج اِر اْلُج ُنِب َو الَّصاِحِب ِباْلَج ْۢن ِب َو اْب ِن الَّس ِبْي ِۙل َو َم ا َم َلَكْت َاْي َم اُنُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا اَل‬
‫ُيِحُّب َم ْن َك اَن ُم ْخ َت ااًل َف ُخ ْو ًر ۙا‬
Artinya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri“ (QS : An-Nisaa’ [4] : 36.)

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada


Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-
Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan
siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Aspek muamalah dalam berihsan ini
dijelaskan memalui firman Allah di atas.

3. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan
muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia
telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits
yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan
melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka
sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah
menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan
dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang yang diperoleh dari hasil
maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah
kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia,
lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw mengatakan dalam sebuah hadits :
‫ُأل‬
‫ِإَّن َماُبِع ْث ُت َت ِّم َمَم َك اِر َم اَألْخ الِق‬
Artinya: “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia”
(HR.Muslim).

 Korelasi iman, islam dan ihsan


Suatu ketika malaikat Jibril dalam rupa seorang manusia datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam & para shahabat untuk mengajarkan tentang
pokok-pokok ajaran agama, yaitu Islam, Iman & Ihsan.

Hadits tersebut kemudian dikenal dengan Hadits Jibril, sebuah hadits yang
dipandang oleh para ulama mempunyai posisi yang sangat penting, karena mencakup
semua amal baik lahir maupun batin serta menjadi referensi ajaran Islam.

‫َأ‬
‫ َب ْي َن َم ا َن ْح ُن ُج ُلْو ٌس ِع ْن َد َر ُسْو ِل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلم َذ اَت َي ْو ٍم‬: ‫َع ْن ُع َمَر َر ِض َي ُهللا َع ْن ُه ْيًض ا َق اَل‬
‫ َال ُيَر ى َع َلْيِه َأَث ُر الَّس َفِر َو َال َي ْع ِر ُفُه ِم َّن ا‬, ‫ِإْذ َط َلَع َع َلْي َن ا َر ُجٌل َش ِدْي ُد َبَي اِض الِّث َياِب َش ِدْي ُد َس َو اِد الَّش ْع ِر‬
,‫ َو َو َض َع َك َّفْيِه َع َلى َف ِخ َذ ْيِه‬,‫ فَأْس َن َد ُر ْك َب َت ْيِه ِإَلى ُر ْك َب َت ْيِه‬,‫ َح َّت ى َج َلَس ِإَلى الَّن ِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلم‬, ‫َأَح ٌد‬
‫ َاِإلْس َالُم َأْن َت ْش َه َد َأْن‬: ‫ َفَقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلم‬, ‫ َي ا ُم َح َّم ُد َأْخ ِبْر ِنْي َع ِن اِإلْس َالِم‬: ‫َو َق اَل‬
‫ َو َت ُح َّج اْلَب ْيَت‬, ‫ َو َت ُصْو َم َر َمَض اَن‬,‫ َو ُتْؤ ِتَي الَّز َك اَة‬,‫ َو ُتِقْي ُم الَّص َالَة‬,‫َالِإ َلَه ِإَّال ُهللا َو َأَّن ُم َح َّم ًد ا َر ُسْو ُل ِهللا‬
: ‫ َق اَل‬, ‫ َف َأْخ ِبْر ِنْي َع ِن اِإلْي َم اِن‬: ‫ َق اَل‬.‫ َف َع ِج ْب َن ا َلُه َي ْس َئ ُلُه َو ُيَص ِّد ُقُه‬. ‫ َص َد ْق ُت‬: ‫ َق اَل‬.‫ِإِن اْس َت َط ْع َت ِإَلْيِه َس ِبْي ًال‬
: ‫ َق اَل‬. ‫ َص َد ْق َت‬: ‫ َق اَل‬.‫ َو ُتْؤ ِمَن ِباْل َقْد ِر َخ ْي ِر ِه َو َش ِّر ِه‬, ‫ َو اْل َي ْو ِم اآلِخ ِر‬,‫ َو ُرُسِلِه‬,‫ َو ُكُتِبِه‬,‫ َو َم َالِئَك ِتِه‬,‫َأْن ِباِهلل‬
‫ َف َأْخ ِبْر ِنْي َع ِن‬: ‫ َق اَل‬. ‫ َأْن َت ْع ُبَد َهللا َك َأَّن َك َت َر اُه َف ِإْن َلْم َت ُك ْن َت َر اُه َف ِإَّن ُه َيَر اَك‬: ‫ َق اَل‬, ‫َف َأْخ ِبْر ِنْي َع ِن اِإلْح َس اِن‬
‫ َأْن َت ِلَد اَألَم ُة‬: ‫ َق اَل‬,‫ َف َأْخ ِبْر ِنْي َع ْن َأَم اَر اِتَه ا‬: ‫ َق اَل‬. ‫ َم ا اْلَم ْس ُؤ ْو ُل َع ْن َه ا ِبَأْع َلَم ِمَن الَّساِئِل‬: ‫الَّساَع ِة َق اَل‬
‫ ُثَّم َق اَل‬,‫ َف َلِبْث ُت َمِلًّي ا‬, ‫ ثم َاْنَط َلَق‬, ‫ َو َأْن َت َر ى اْلُح َفاَة اْلُع َر اَة اْلَع اَلَة ِر َع اَء الَّش اِء َي َت َط اَو ُلْو َن ِفْي اْلُبْن َي اِن‬,‫َر َّب َت َه ا‬
‫ َر َو اُه‬. ‫ َف ِإَّن ُه ِج ْب ِر ْيُل َأَت اُك ْم ُيَع ِّلُم ُك ْم ِدْي َن ُك ْم‬: ‫ َق اَل‬.‫ ُهللا َو َر ُسْو ُلُه َأْع َلُم‬: ‫ َأَتْد ِر ْي َم ِن الَّساِئل؟ ُقْلُت‬,‫ َي ا ُع َم ُر‬:
‫ُمْس ِلٌم‬

Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :


Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat
putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan,
dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di
hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua
tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad!
Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak
ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di
bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu
melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia
pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-
kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan
yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau
melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta
pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang
menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya
kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah
Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no.8]

Islam, Iman & Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan satu
dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut
kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan ke lima rukun Islam. Sedangkan
pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara ihsan, sebagai upaya pendekatan diri
kepada Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan


dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan
lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan.
Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih
khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di
dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang
bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan
orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain.

Oleh karena itulah para ulama’ menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim,
karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam
hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap
muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak
meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan
lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak
tergolong mu’min dengan iman yang sempurna.

Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman:


‫َق اَلِت اَاْلْع َر اُب ٰا َم َّن اۗ ُقْل َّلْم ُتْؤ ِم ُنْو ا َو ٰل ِكْن ُقْو ُلْٓو ا َاْس َلْم َن ا َو َلَّما َي ْد ُخ ِل اِاْلْي َم اُن ِفْي ُقُلْو ِبُك ْم ۗ َو ِاْن ُتِط ْيُعوا‬
‫َهّٰللا َو َر ُسْو َلٗه اَل َي ِلْتُك ْم ِّمْن َاْع َماِلُك ْم َش ْئًـاۗ ِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِحْي ٌم‬
Artinya: “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah
‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al
Hujurat [49]: 14).

Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki


tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan
pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman,
kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan.
2. Bila ada orang yang tidak menjalankan perintah, melanggar larangan Allah,
namun dia rela menerima ketentuan Allah terhadap dirinya seperti saat ditimpa
kesulitan hidup, ia tak pernah mengeluh. Apa pendapatmu tentang orang seperti
ini?
Seorang muslim wajib baginya mengimani perkara-perkara yang telah diberikan
kepadanya berupa rukun iman. Seorang muslim yang baik bukan hanya mempercayai
saja namun jug mengamalkan dari setiap bagian rukun iman yakni: Iman Kepada Allah,
Iman Kepada Malaikat, Iman Kepada Kitab-kitab Allah, Iman Kepada Rasul, Iman
Kepada Hari Akhir dan Iman Kepada Qodho dan Qodar.
Seseorang bisa saja melupakan Tuhannya dengan meniadakan Allah di
sepanjang hembusan nafasnya. Seseorang bisa saja melupakan iman kepada malaikat
dan hari akhir karena hati yang tersesat dengan tidak mempercayai suatu hal yang
ghaib. Seseorang bisa saja melupakan iman kepada kitab-kitab Allah, dan Rasul Allah.
Namun tetap tidak bisa menghindari dari Qodho dan Qodar Allah.
Takdir atau lebih lengkapnya Qodho dan Qodar memiliki unsur ikatan
kesinambungan. Qodar berarti ketika Allah telah menetapkan sesuatu akan terjadi
pada waktunya dan Qodho adalah tibanya masa ketika ketentuan yang telah ditetapkan
terjadi. Oleh karenanya, Qodar yakni suatu ketetapan Allah berlaku terhadap segala
sesuatu sejak zaman azali serta Qodho adalah pelaksanaan Qodar ketika terjadi.
( Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,2007)
Rasul SAW berkata:

‫َأْن ُتْؤ ِمَن ِباِهلل َو َم َالِئَك ِتِه َو ُكُتِبِه َو ُرُسِلِه َو اْلَي ْو ِم اآلِخ ِر َو ُتْؤ ِمَن ِباْل َقَد ِر َخ ْي ِر ِه َو َش ِّر ِه‬
Artinya: Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada
qadar yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim no. 8)

Semua yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan dari Allah SWT seperti
adanya pergantian siang dan malam, adanya alam yang indah, sebaliknya adanya hal-
hal yang ditetapkan seperti bencana alam, musibah dan lain sebagainya. Begitu pula
adanya perbedaan keadaan manusia, Allah menciptakan manusia dengan bermacam
ragam, ada wujud yang sempurna atau kurang sempurna. Adapun Allah mengatur
setiap kebutuhan manusia dan menempatkan kondisi manusia dalam berbagai macam
hal yang berbeda.
Takdir yang baik dan buruk itu sudah pasti, oleh sebab itu, seseorang senantiasa
harus mampu menerima takdir yang sudah Allah tetapkan, baik itu takdir yang baik
maupun yang tidak baik. Karena disaat keadaan seseorang yang selalu dalam
mengerjakan perintah Allah, serta tidak melanggar larangan Allah maupun disaat
seseorang jauh dari segala perintah dan larangan Allah pun tetap akan sama-sama
menerima takdir yang baik maupun yang tidak baik atau Qodho dan Qodar. Sebab
ketetapan Allah itu sudah ada bahkan sebelum alam semesta diciptakan (sejak jaman
azali) dan itu semua sesuai kehendak-Nya yang berhubungan dengan makhluknya.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-
Hadiid (57): 22-23]

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]

“Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga.”
Salah seorang dari mereka berkata, “Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan
(dalam beramal).” Kemudian beliau membaca ayat ini, “Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang
terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan
adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang
terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar [QS. Al-Lail (92):
5-10].” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan
baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka,
inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)

3. Ijma (consensus ulama) adalah salah satu sumber hukum Islam. Apa arti ijma, ada
berapa macam, dan berikan contohnya!
Secara bahasa, ijma berarti sebagai suatu hal berupa mengumpulkan berbagai
macam perkara yang kemudian memberi hukum atas perkara tersebut serta meyakini
hukum tersebut. Sedang secara umum, ijma adalah sebuah kebulatan atau keputusan
dari pendapat-pendapat yang berasal dari para ahli ulama ijtihad setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW serta menggunakan hukum syara’.
Selain itu, mengutip dari laman almanhaj, secara baasa, ijma berasal dari kata
ajma’a yjjimiu ijma’an dan memakai isim maf’ul mujma. Oleh karena itu, ijma
mempunyai dua arti atau dua makna. Pertama, kalimat ajma’a fulan ‘ala safar memiliki
arti bahwa ia telah bertekad dengan kuat untuk safat dan telah menguatkan niatnya.
Kemudian, makna kedua ijma adalah sepakat. Dalam kalimat ajma’ muslimun ‘ala
kadza artinya adalah mereka akan sepakat terhadap sebuah perkara atau masalah
yang sedang terjadi. Dengan begitu, umat Muslim menjadi lebih tenang ketika
menghadapi suatu permasalahan dan tidak akan tersesat dan berjalan di jalan yang
baik dan benar.

Dalil Alquran:
‫َو َك ٰذ ِلَك َج َع ْلٰن ُك ْم ُاَّم ًة َّو َس ًط ا ِّلَت ُك ْو ُنْو ا ُشَه َد ۤا َء َع َلى الَّن اِس َو َي ُك ْو َن الَّر ُسْو ُل َع َلْي ُك ْم َش ِه ْي ًد ا‬
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas kalian” (QS. Al-Baqarah: 143)

‫َو َم ْن ُّي َش اِقِق الَّر ُسْو َل ِم ْۢن َب ْع ِد َم ا َت َب َّي َن َلُه اْلُهٰد ى َو َي َّت ِبْع َغْي َر َس ِبْي ِل اْل ُمْؤ ِم ِنْي َن ُنَو ِّلٖه َم ا َت َو ّٰل ى َو ُنْص ِلٖه َج َه َّنَۗم‬
‫َو َس ۤا َء ْت َمِص ْيًر ا‬
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa pada
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)

‫ٰٓي َاُّي َه ا اَّلِذْي َن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّر ُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْن ُك ْۚم َف ِاْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفْي َش ْي ٍء َف ُرُّدْو ُه ِاَلى‬
‫ِهّٰللا َو الَّر ُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَي ْو اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخ ْيٌر َّو َاْح َس ُن َت ْأِو ْي اًل‬
‫ِم‬

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

Dalil Assunnah:
‫ال تجتمع أمتي على ضاللة‬
“Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud,
derajatnya hasan menurut Syeikh Albani)

،‫ وأمرهم جميع‬،‫فمن رأيتموه فارق الجماعة أو يريد أن يفرق بين أمة محمد صلى هللا عليه وسلم‬
‫ فإن يد هللا مع الجماعة‬،‫فاقتلوه كائنا من كان‬

“Siapa saja yang kalian pandang meninggalkan jama’ah atau ingin memecah belah
umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dalam perkara tersebut
mereka sepakat, maka bunuhlah ia siapapun gerangannya, karena sesungguhnya
tangan Allah bersama jama’ah” (HR. Ibnu Hibban dan lainnya, derajatnya sahih menurut
Syeikh Albani)

Macam-Macam Ijma’
Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati, ijma’ terbagi dua:
1. Ijma’ qath’i, yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui oleh seluruh
kalangan dari umat islam, tidak ada yang tak mengetahuinya dalam kondisi wajar,
dan tidak ada uzur untuk tidak mengetahuinya. Seperti ijma’ tentang wajibnya salat
lima waktu dan haramnya minuman keras.
2. Ijma’ dzanni, yaitu ijma’ yang tidaklah diketahui kecuali oleh para ulama. Karena
diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-teks kitab klasik dan ucapan-
ucapan ulama terdahulu.
Berdasarkan metode terjadinya, ijma’ terbagi dua:
1. Ijma’ bayani / sharih, yaitu ijma’ yang terjadi baik dengan perkataan maupun
perbuatan. Semisal dengan perbuatan para salaf dalam berbisnis model
mudharabah, sehingga dapatlah dikatakan bahwa mudharabah tersebut boleh
menurut ijma’, begitu juga jika ada seorang ulama yang berbicara suatu hukum lalu
para ulama lainnya berpendapat sama. Inilah dia asalnya ijma’, dan ketika disebut
kata ijma’ secara mutlak maka yang terbetik dalam benak adalah ijma’ sharih.
2. Ijma’ sukuti, berlawanan dengan yang pertama, bilamana terdapat perkataan
ataupun perbuatan ulama, sedang ulama lainnya diam tanpa mengomentari, maka
apakah itu ijma’? Berdasarkan cara pandang bahwa ulama lainnya tidak
mengingkari, maka bisa dikatakan ijma’. Namun, berdasarkan pandangan bahwa
diam bukan berarti setuju, bisa jadi karena faktor-faktor tertentu seperti segan atau
memaklumi ijtihad orang lain misalnya, maka tak dapat disebut ijma’.

Dalam masalah ini bisa kita golongkan sebagai ijma’, berdasarkan pendapat yang
kita pilih, dengan syarat perkara tersebut masyhur dan diketahui oleh seluruh ulama
mujtahid pada zaman itu. Namun, ijma’ ini lemah derajatnya, terlebih bilamana
terdapat indikasi yang menunjukkan sebaliknya, maka saat itu tidak dapat dianggap.
Selain itu sangatlah sulit mengklaim ijma’ macam ini karena syarat masyhur tersebut.

Berdasarkan jumlah pendapat yang ada, ijma’ terbagi dua:


1. Ijma’ basith, jika ijma’ tersebut merupakan kesepakatan terhadap sebuah pendapat
maka inilah yang disebut dengan basith ataupun sederhana. Dan inilah yang
dimaksud dengan ijma’ bila disebut secara mutlak.
2. Ijma’ murakkab, adapun jika ijma’ para ulama berselisih pendapat berlawanan
dengan jenis yang pertama, maka di sana terdapat ijma’ yang murakkab alias
tersusun dari beberapa pendapat tersebut. Sisi kesepakatannya adalah mereka telah
mufakat untuk tidak berselisih kecuali menjadi dua atau tiga pendapat tersebut, maka
tidak boleh untuk membuat pendapat berikutnya yang bertentangan atau menafikan
pendapat yang telah ada.

Sebagai contoh, para ulama berselisih mengenai niat dalam bersuci, sebagian
berpendapat harus berniat ibadah dalam setiap bersuci; wudu, tayamum, dan mandi
junub, sebagian lagi berpendapat hanya dalam tayamum saja, maka jika dikatakan
tidak harus maka inilah yang disebut membuat pendapat baru bertentangan yang
sudah ada, yaitu yang mengharuskan niat tersebut pada ketiganya sekaligus.
Adapun yang diperbolehkan seperti misalnya membuat pendapat jalan tengah di
antara pendapat-pendapat yang berselisih, atau membuat pendapat yang merinci,
bila kondisi begini maka pendapat ini berlaku, bila kondisi begitu maka pendapat itu
berlaku.

Berdasarkan metode untuk mengetahuinya, ijma’ terbagi dua:


1. Ijma’ mahshul, yaitu ijma’ yang didapat dengan usaha seorang mujtahid
mengeluarkan kesimpulan ijma’ dari kitab-kitab para ulama terdahulu, dimulai dari
mendata ucapan-ucapan mereka, pendapat-pendapat mazhab, dan seterusnya
hingga sampai pada kesimpulan bahwa dalam masalah ini tidak terdapat
perselisihan.
2. Ijma’ manqul, yaitu ijma’ yang diketahui dengan nukilan dari ulama terdahulu yang
mengatakan bahwa dalam perkara ini terdapat ijma’. Selama nukilan itu sahih dan
dapat dipertanggung jawabkan maka ijma’ dengan cara ini pun dapat dianggap, dan
tak perlu untuk meneliti apakah banyak yang meriwayatkannya atau hanya satu
orang.

Contoh-Contoh Ijma’
Berikut merupakan beberapa contoh ijma’.
1. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh
sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya
tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para
sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh
tersebut merupakan ijma’ sukuti.
2. Saudara-saudara seibu –sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan
wa al- a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan
ijma’.
3. Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as
Shiddiq r.a.
4. Menjadikan as Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.
Para mujtahid bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan as Sunah sebagai
salah satu sumber hukum Islam.
5. Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
Beliau bersabda: “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak
anak dan banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah
umatku kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.” (H.R. Ahmad)
6. Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada
Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan
cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23.
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup
ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat
tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
7. Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas keharaman
dagingnya.
8. Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar
bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini
disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
9. Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba
diharamkan.
10. Para imam madzhab sepakat atas keharaman Ghasab (merampas hak orang lain).
11. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’
tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum jelas
barangnya).
12. Para sahabat di zaman Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman dera
sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma’ tersebut termasuk
dzanni.
13. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam
atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah
Islamiyah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para
Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah.
14. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika
tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan,
sehingga bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana yang diperoleh
bapak, meski terdapat anak dari orang yang meninggal.
15. Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam
perhitungan zakatnya.
16. Ulama’ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa
diamnya nabi adalah membolehkan.
17. Ijma’ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengqiyaskan
kepada penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang
berhalangan.
18. Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua
rukun Islam.
19. Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
20. Jumhur ulama sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriah saja, tidak
secara batiniah.

4. Apa perbedaan akhlak dan etika? Jelaskan!


 Akhlak
Akhlak berasal dari kata “akhlaq” yang merupakan jama’ dari “khulqu” dari
bahasa Arab yang artinya perangai, budi, tabiat dan adab. Akhlak itu terbagi dua
yaitu Akhlak yang Mulia atau Akhlak yang Terpuji (Al-Akhlakul Mahmudah) dan
Akhlak yang Buruk atau Akhlak yang Tercela (Al-Ahklakul Mazmumah).
Akhlak yang mulia, menurut Imam Ghazali ada 4 perkara; yaitu bijaksana,
memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan kekuatan
hawa nafsu) dan bersifat adil. Jelasnya, ia merangkumi sifat-sifat seperti berbakti
pada keluarga dan negara, hidup bermasyarakat dan bersilaturahim, berani
mempertahankan agama, senantiasa bersyukur dan berterima kasih, sabar dan
rida dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya.
 Menurut Ibnu Maskawaih : Menurutnya akhlak ialah "hal li nnafsi daa'iyatun
lahaa ila af'aaliha min ghoiri fikrin walaa ruwiyatin" yaitu sifat yang tertanam
dalam jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
 Menurut Abu Hamid Al Ghazali : Akhlak ialah sifat yang terpatri dalam jiwa
manusia yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan
senang dan mudah tanpa memikirkan dirinya serta tanpa adanya renungan
terlebih dahulu.
 Menurut Ahmad bin Mushthafa : Akhlak merupakan sebuah ilmu yang
darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan, dimana keutamaan itu ialah
terwujudnya keseimbangan antara tiga kekuatan yakni kekuatan berpikir,
marah dan syahwat atau nafsu.
 Menurut Muhammad bin Ali Asy Syariif Al Jurjani : Akhlak merupakan
sesuatu yang sifatnya (baik atau buruk) tertanam kuat dalam diri manusia yang
darinyalah terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa
berpikir dan direnungkan.
Dalam Al-Qur'an surat Al-Qolam ayat 4 dikatakan bahwa "Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) berada diatas budi pekerti yang agung". Dan
dalam sebuah haditspun dikatakan bahwa " Aku diutus hanya untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia".
Akhlak yang mulia yaitu akhlak yang diridai oleh Allah SWT, akhlak yang baik
itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada Allah yaitu dengan
mematuhi segala perintahnya dan meninggalkan semua larangannya, mengikuti
ajaran-ajaran dari sunnah Rasulullah, mencegah diri kita untuk mendekati yang
ma’ruf dan menjauhi yang munkar, seperti firman Allah dalam surat Al-Imran 110
yang artinya “Kamu adalah umat yang terbaik untuk manusia, menuju kepada yang
makruf dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah”
Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji seperti iri hati, ujub,
dengki, sombong, nifaq (munafik), hasud, suudzaan (berprasangka buruk), dan
penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan
berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di
sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya sebagai contohnya yakni
kegagalan dalam membentuk masyarakat yang berakhlak mulia samalah seperti
mengakibatkan kehancuran pada bumi ini, sebagai mana firman Allah Subhanahu
Wataala dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi:
Artinya
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Ruum:
41).
Seperti yang telah disebutkan di atas Akhlak juga dibagi kedalam 2 jenis
yaitu, Akhlak Mahmudah dan Akhlak Mazmumah. Akhlak mahmudah adalah akhlak
yang baik dan dibenarkan oleh Allah. Sedangkan Akhlak Mazmumah adalah
akhlak yang tidak dibenarkan oleh Allah.

 Etika
Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos”
yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang
dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat
laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang mebicarakan
masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan
mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika juga disebut ilmu normative, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-
ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Etika merupakan cabang filsafat yang mempelajari pandangan-pandangan
dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan, dan
kadang-kadang orang memakai filsafat etika, filsafat moral atau filsafat susila.
Dengan demikian dapat dikatakan, etika ialah penyelidikan filosofis mengenai
kewajiban-kewajiban manusia dan hal-hal yang baik dan buruk. Etika adalah
penyelidikan filsafat bidang moral. Etika tidak membahas keadaan manusia,
melainkan membahas bagaimana seharusnya manusia itu berlaku benar. Etika
juga merupakan filsafat praxis manusia. Etika adalah cabang dari aksiologi, yaitu
ilmu tentang nilai, yang menitikberatkan pada pencarian salah dan benar dalam
pengertian lain tentang moral.
Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam:
1. Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang
penilaian perbuatan seseorang.
2. Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya, seseorang
dikatakan etis apabila orang tersebut telah berbuat kebajikan.
3. Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-
persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Kita juga sering mendengar istilah descriptive ethics, normative ethics, dan
philosophy ethics.
a. Descriptive ethics, ialah gambaran atau lukisan tentang etika.
b. Normative ethics, ialah norma-norma tertentu tentang etika agar seorang dapat
dikatakan bermoral.
c. Philosophy ethics, ialah etika sebagai filsafat, yang menyelidiki kebenaran.
Pengertian etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurut beliau
etika berasal dati istilah Yunani ethos yang mempunyai arti adat-istiadat atau
kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut, etika berkembang menjadi
study tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan
waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan
manusia pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang
kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan
melalui kehendak manusia. . Berdasarkan perkembangan arti tadi, etika dapat
dibedakan antara etika perangai dan etika moral.
1. Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambaran
perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat di aderah-daerah tertentu, pada
waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati
masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku.
2. Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar
berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu
perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat
manusia yang disebut moral.
Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan
kesadaran, dan kesadaran adalah suara hati nurani. Dalam kehidupan, manusia
selalu dikehendaki dengan baik dan tidak baik, antara benar dan tidak benar.
Dengan demikian ia mempertanggung jawabkan pilihan yang telah dipilihnya itu.
Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan benar.
Apabila manusia melakukan pelanggaran etika moral, berarti dia berkehendak
melakukan kejahatan, dengan sendirinya berkehandak untuk di hukum. Dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, nilai moral dijadikan dasar hukum positif
yang dibuat oleh penguasa.

5. Salah satu sifat Allah SWT adalah qidam, apa arti qidam? Jelaskan
Sifat qidam berarti terdahulu atau sebuah awal karena Allah SWT sudah ada
terlebih dahulu jauh sebelum apapun yang diciptakannya. Qidam berasal dari bahasa
Arab yang berarti terdahulu, artinya tidak ada yang terdahulu sebelum Allah SWT di
dunia ini. Semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah SWT sebagai awal
dan pencipta dari kehidupan sekaligus yang mengakhirinya. Sifat Qidam Allah SWT
menunjukan dia maha mengetahui segala Sesuatu atas ciptaannya.
Sifat Qidam Allah SWT tertulis dalam Al-Quran surah Al-hadid ayat 3 berikut ini:

‫ُه َو اَاْلَّو ُل َو اٰاْل ِخ ُر َو الَّظ اِه ُر َو اْلَب اِط ُن ۚ َو ُه َو ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْي ٌم‬
Artinya: “Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid: 3)

‫َٰذ‬
‫ َخ اِلُق ُك ِّل َش ْي ٍء َفاْع ُبُدوُه‬, ‫ اَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُه َو‬, ‫ِلُك ُم ُهَّللا َر ُّب ُك ْم‬
Artinya: “demikian itu ialah Allah Tuhan kamu, tidak ada Tuhan selain Dia, Pencipta
segala sesuatu, maka sembahlah Dia….”

Anda mungkin juga menyukai