Anda di halaman 1dari 17

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


a. Reagen berupa laruta tawas 10 gr/L : Koagulan
b. Beaker glass 500 mL 4 buah : Sebagai wadah pengujian
c. Pipet 5 mL, 10 mL, 25 mL : Mengambil dan mengukur volume reagen
d. pH meter : mengukur pH bahan perlakuan
e. Air limbah : sebagai bahan perlakuan
f. Stopwatch : menghitung waktu
g. Magnetic Stirrer : mengaduk larutan
h. Turbidimeter : mengukur kekeruhan bahan perlakuan

3.2 Cara Kerja

Alat dan Bahan

Disiapkan

Air Limbah

Diambil sebanyak 2L dan dimasukkan ke


dalam 4 gelas beaker masing-masing 500
mL

Tawas

Dibubukkan sebanyak 20 dan 22 mL

Air Limbah

Diaduk dengan magnetic stirrer dengan


kecepatan 500 rpm selama 1 menit.

Diberi perlakuan:
1. Dilakukan sedimentasi selama 10
menit
2. Dilakukan pengadukan lambat
dengan kecepatan 50 rpm selama 10
menit dan sedimentasi 10 menit

Pipet Ukur

Diambil air yang jernih sebanyak 10 mL


dari tiap gelas beaker

pH meter
Diukur pH

Turbidimeter

Diukur tingkat kekeruhan

Catat Hasil
BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Analisa Data Hasil Praktikum


Tabel Pengamatan 1
Pengamatan Dokumentasi
Perlakuan (Kondisi
20 mL 22 mL
Sampel)
Disiapkan 2 L Warna: hitam
sampel air pekat
sungai diisi Partikel: ada
dalam beaker yang
glass terendap dan
ada yang
mengapung
di permukaan

(koagulasi) (koagulasi)

(koagulasi-flokulasi) (koagulasi-flokulsai)
Ditambahkan 20 mL: warna
larutan tawas putih keruh
pada masing- dengan
masing beaker partikel
glass yaitu 20 mengendap
mL dan 22 mL sebagian
besar
22 mL: warna
lebih muda
dengan (koagulasi) (koagulasi)
partikel
mengendap

(koagulasi-flokulasi) (koagulasi-flokulasi)
Diaduk dengan 20 mL:
kecepatan 100 warnanya
rpm selama 1 bening dan
menit terbentuk flok
22 mL:
warnanya
keruh dan
terbentuk flok

Diaduk dengan 20 mL:


kecepatan 50 warnanya
rpm selama 10 lebih bening
menit dan flok
terendap,
masih
terdapat
partikel yang
mengapung
22 mL:
warnanya
lebih bening
dan flok
terendap
Koagulasi dan 20 mL:
Flokulasi warnanya
lebih bening
dan flok
mengendap
22 mL:
warnanya
lebih bening
dan flok
mengendap
Koagulasi 20 mL:
warnanya
lebih jernih
dan flok
terendap
22 mL:
warnanya
lebih jernih
dan flok
terendap
Setelah 20 mL:
sedimentasi 10 warnanya
menit lebih bening
dengan flok
mengendap
keseluruhan
22 mL:
warnanya
lebih bening
dengan flok
mengendap
keseluruhan
Pada praktikum materi ini air limbah yang digunakan adalah air limbah domestik dan
koagulan yang digunakan adalah tawas dengan dosis 20 dan 22 mL. Sebelum diberi tawas
air limbah berwarna hitam pekat dan partikel menyebar, ada yang mengendap dan ada yang
mengapung. Air limbah yang akan diuji diberikan dua perlakuan, perlakuan pertama hanya
proses koagulasi saja dan perlakuan kedua dengan proses koagulasi-flokulasi. Setelah
diberikan koagulan sebanyak 20 mL, warna air limbah berubah menjadi putih keruh dan
partikel sebagian mengendap. Sedangkan pada air limbah yang diberikan koagulan
sebanyak 22 mL warnanya berubah menjadi lebih muda dan partikelnya sebagian
mengendap. Pada perlakuan pertama dilakukan pengadukan dengan kecepatan 100 rpm
selama 1 menit dengan menggunakan magnetic stirrer, air limbah yang diberi dosis koagulan
20 mL warnanya lebih bening dan membentuk flok. Sedangkan pada air limbah yang diberi
dosis koagulan 22 mL warnanya menjadi lebih keruh dan membentuk flok.
Pada perlakuan kedua dengan pengadukan lambat dengan keceptan 50 rpm dan
sedimentasi selama 10 menit, air limbah dengan dosis koagulan 20 mL warnanya menjadi
lebih bening dengan flok terendap, namun masih terdapat flok yang mengapung. Sedangkan
pada air limbah dengan dosis 22 mL warnanya menjadi lebih bening dan flok mengendap.
Hasil dari air limbah yang hanya dilakukan koagulasi, pada dosis 20 dan 22 mL warnanya
lebih jernih dan flok terendap. Sedangkan pada air limbah yang diberikan perlakuan
koagulasi-flokulasi pada dosis 20 dan 22 mL warnanya lebih bening dan flok terendap. Hasil
dari sedimentasi setelah 10 menit, pada dosis 20 dan 22 mL warnanya lebih bening dengan
flok mengendap keseluruhan. Selanjutnya air limbah diambil dan diuji kekeruhan serta pH.

Tabel Pengamatan 2
Perlakuan 1 (koagulasi)
Jenis Sampel
Warna pH Kekeruhan (NTU)
(Volume Tawas)
Tanpa Tawas keruh 7,54 214
Agak jernih
0,5 mL dibandingkan sampel 7,63 26,63
tanpa tawas
1 mL Lebih jernih 7,63 17,43
Lebih jernih
dibandingkan dengan
2 mL sampel tanpa tawas 7,56 16,5
cenderung
kecoklatan
Lebih jernih
dibandingkan dengan
4 mL sampel tanpa tawas 7,49 11,7
cenderung
kecoklatan
8 mL bening 7,23 6,15
12 mL bening 7,09 13,36
Berwarna jernih
16 mL 6,97 7,96
kecoklatan
Lebih jernih
dibandingkan dengan
18 mL 6,82 4,38
sampel dosis
sebelumnya
20 mL Bening 6,76 8,37
22 mL Bening 6,76 6,20
Hasil dari praktikum setiap kelompoknya disatukan dan akan terbentuk grafik
hubungan antara dosis reagen dengan kekeruhan pada kedua perlakuan. Sebelum diberi
koagulan air limbah diuji terlebih dahulu pH dan kekeruhannya, hasilnya pH yang didapat
7,54 dan nilai kekeruhan 214 NTU dengan warna keruh. Selanjutnya diberi koagulan dengan
dosis 0,5 mL warnanya menjadi agak jernih dengan pH 7,63 dan kekeruhan 26,63 NTU.
Setelah diberi dosis 1 mL warnanya lebih jernih dengan pH 7,63 dan kekeruhan 17,43 NTU.
Selanjutnya diberi dosis 2 mL warnanya menjadi lebih jernih cenderung kecoklatan dengan
pH 7,56 dan kekeruhan 16,5 NTU. Kemudian diberi dosis 4 mL warnanya menjadi lebih
jernih cenderung kecoklatan dengan pH 7,49 dan kekeruhan 11,7 NTU. Selanjutnya diberi
dosis 8 mL warna air limbah menjadi bening dengan pH 7,23 dan kekeruhan 6,15 NTU.
setelah itu diberi dosis 12 mL warnanya bening dengan pH 7,09 dan kekeruhan 13,36 NTU.
Kemudian diberi dosis 16 mL berwarna jernih kecoklatan dengan pH 6,97 dan kekeruhan
7,96 NTU. Selanjutnya diberi dosis 18 mL warnanya lebih jernih dengan pH 6,82 dan
keketuhan 4,38 NTU. Kemudian diberi dosis 20 mL warnanya bening dengan pH 6.76 dan
kekeruhan 8,37 NTU. Dan terakhir diberi dosis 22 mL warnanya bening dengan pH 6,76 dan
kekeruhan 6,20 NTU. Dari data yang didapatkan dapat ditarik kesimpulan bahwa dosis
optimum untuk proses koagulasi saja adalah sebesar 18 mL.

Perlakuan 2 (Koagulasi dan Flokulasi)


Jenis Sampel
Warna pH Kekeruhan (NTU)
(Volume Tawas)
Tanpa Tawas Keruh 7,54 214
Agak jernih
0,5 mL cenderung 7,71 15,96
kekuningan
1 mL Lebih jernih 7,68 15,5
Lebih jernih
2 mL cenderung 7,43 19,57
kekuningan
Lebih jernih
4 mL dibandingkan dengan 7,42 9,09
sampel tanpa tawas
8 mL Bening 7,4 6,15
12 mL bening 7,07 5,91
Lebih jernih
16 mL dibandingkan dengan 6,85 3,85
sampel sebelumnya
Lebih jernih dari
18 mL 6,77 2,86
sampel ang lainnya
20 mL Bening 6,76 3,92
22 mL Bening 6,75 3,36

Hasil dari praktikum setiap kelompoknya disatukan dan akan terbentuk grafik
hubungan antara dosis reagen dengan kekeruhan pada kedua perlakuan. Sebelum diberi
koagulan air limbah diuji terlebih dahulu pH dan kekeruhannya, hasilnya pH yang didapat
7,54 dan nilai kekeruhan 214 NTU dengan warna keruh. Selanjutnya diberi koagulan dengan
dosis 0,5 mL warnanya menjadi agak jernih cenderung kekuningan dengan pH 7,71 dan
kekeruhan 15,96 NTU. Setelah diberi dosis 1 mL warnanya lebih jernih dengan pH 7,68 dan
kekeruhan 15,5 NTU. Selanjutnya diberi dosis 2 mL warnanya menjadi lebih jernih
cenderung kekuningan dengan pH 7,43 dan kekeruhan 19,57 NTU. Kemudian diberi dosis 4
mL warnanya menjadi lebih jernih dengan pH 7,42 dan kekeruhan 9,09 NTU. Selanjutnya
diberi dosis 8 mL warna air limbah menjadi bening dengan pH 7,4 dan kekeruhan 6,15 NTU.
setelah itu diberi dosis 12 mL warnanya bening dengan pH 7,07 dan kekeruhan 5,91 NTU.
Kemudian diberi dosis 16 mL warnanya lebih jernih dengan pH 6,85 dan kekeruhan 3,85
NTU. Selanjutnya diberi dosis 18 mL warnanya lebih jernih dengan pH 6,77 dan keketuhan
2,86 NTU. Kemudian diberi dosis 20 mL warnanya bening dengan pH 6.76 dan kekeruhan
3,92 NTU. Dan terakhir diberi dosis 22 mL warnanya bening dengan pH 6,75 dan kekeruhan
3,36 NTU. Dari data yang didapatkan dapat ditarik kesimpulan bahwa dosis optimum untuk
proses koagulasi dan flokulasi adalah sebesar 18 mL.

4.2 Analisa Grafik

Grafik Hubungan Dosis dengan Kekeruhan


(Koagulasi)
250
200
Kekeruhan (NTU)

150
100
50
0
0 5 10 15 20 25
-50
Dosis (mL)

Berdasarkan data hasil praktikum dapat digunakan untuk membuat grafik pengaruh
dosis koagulan dengan tingkat kekeruhan. Dari grafik yang dihasilkan menunjukkan
penurunan tingkat kekeruhan dengan semakin banyaknya dosis yang diberikan. Tingkat
kekeruhan tertinggi adalah pada saat tidak diberi tawas yaitu 214 NTU. Sedangkan nilai
kekeruhan terendah didapat dengan dosis koagulan sebesar 18 mL dengan niali 4,38 NTU.
Hubungan antara dosis koagulan dengan kekeruhan berbanding lurus.

Hubungan Dosis dengan Kekeruhan (Koagulasi


dan Flokulasi)
250
Kekeruhan (NTU)

200
150
100
50
0
0 5 10 15 20 25
-50
Dosis (mL)

Berdasarkan data hasil praktikum dapat digunakan untuk membuat grafik pengaruh
dosis koagulan dengan tingkat kekeruhan. Dari grafik yang dihasilkan menunjukkan
penurunan tingkat kekeruhan dengan semakin banyaknya dosis yang diberikan. Tingkat
kekeruhan tertinggi adalah pada saat tidak diberi tawas yaitu 214 NTU. Sedangkan nilai
kekeruhan terendah didapat dengan dosis koagulan sebesar 18 mL dengan niali 2,86 NTU.
Hubungan antara dosis koagulan dengan kekeruhan berbanding lurus.

4.3 Dimana Titik Optimum Reagen Pada Saat Praktikum


Pada saat praktikum kelompok dosis yang digunakan adalah 20 dan 22 mL. setelah
diuji dosis yang paling optimum dari keduanya adalah 22 mL. Sedangkan ketika data
digabungkan dengan kelompok lain dosis yang paling optimum adalah 18 mL. Dikarenakan
air limbah yang diberi dosis 18 mL pada proses koagulasi saja memiliki pH 6,82 dan nilai
kekeruhan 4,38 NTU. Sedangkan pada proses koagulasi dan flokulasi air limbah memiliki pH
6,77 dan nilai kekeruhan 2,86 NTU.

4.4 Tugas Khusus


4.4.1 Sebutkan faktor penting dalam jar test
Metode jar test mempunyai tiga tahap penting, yaitu tahap pertama pelarutan reagen
dengan pengadukan cepat selama 1 menit dengan kecepatan 100 rpm. Tahap kedua
pengadukan lambat untuk pembentukan flok-flok selama 10 menit dengan kecepatan 60
rpm. Tahap ketiga proses sedimentasi selama 10 menit (Chamdan, 2013). Dalam praktikum
tahap-tahap tersebut sudah dilakukan, sehingga dosis optimum yang didapatkan sudah
sesuai.

4.4.2 Sebutkan macam-macam koagulasi yang anda ketahui


Terdapat 2 penggunaan koagulan pada proses koagulasi yaitu, menggunakan metal
dan polymer. koagulan logam memiliki kecenderungan yang jelas untuk dipolimerisasi
selama reaksi hidrolik. karena tingkat hidrolisis meningkat, bentuk spesies polynuklear
semakin tinggi. pada adsorpsi spesies polimer semacam itu ke partikel, sebuah jembatan
koagulan yang terbentang antara partikel yang berdekatan dibentuk sehingga mendorong
destabilisasi. polyelectrolytes adalah kelas khusus polimer yang mengandung kelompok
fungsional tertentu di sepanjang tulang punggung polimer yang dapat diionisasi. Jika ada,
bila gugus yang dapat diionisasi dipisahkan, molekul polimer menjadi bermuatan positif atau
negatif, bergantung pada kelompok fungsional spesifik yang ada, dan karenanya disebut
sebagai polihektrik kationik atau anionik masing-masing. poymers yang memiliki kedua situs
bermuatan positif dan negatif disebut sebagai ampholitik, sedangkan yang tidak memiliki
gugus fungsional yang dapat diionisasi disebut polimer nonionik. semua polielektrolit adalah
koloid hidrofilik khas, memiliki berat molekul umumnya berkisar pada 104 sampai 107 dan
larut dalam air karena hidrasi gugus fungsional (Bratby, 2016).

4.4.3 Jelaskan pentingnya proses koagulasi /flash mix dalam penurunan kekeruhan
Kebutuhan koagulan tergantung pada kekeruhan. Kekeruhan yang tinggi dapat
menyebabkan proses koagulasi menjadi lebih efektif, tetapi penambahan koagulan tidak
selalu berkorelasi linier terhadap kekeruhan. Demikian juga dengan penurunan warna < 5
PtCo sangat sulit dengan proses koagulasi karena membutuhkan dosis yang tinggi, tetapi
penurunan warna sampai ± 15 PtCo lebih mudah dilakukan (Rosariawati, 2013). Pada
praktikum tingkat kekeruhan air limbah sangat tinggi yaitu 214 NTU. Dengan pemberian
dosis yang semakin banyak, nilai kekeruhan yang didapat semakin kecil. Hal ini
menunjukkan efektifitas dalam proses koagulasi.

4.4.4 Pengaruh pH terhadap koagulasi flokulasi


Setiap jenis koagulan mempunyai jarak/range pH yang berbeda untuk bekerja secara
efektif, sehingga stabilitas koloid untuk berubah bentuk menjadi flok yang baik harus terjadi
pada kondisi pH tertentu. Menurut beberapa ahli pada pH dan air limbah tertentu
memungkinkan terjadi proses koagulasi dengan baik. Alkalinitas dapat digunakan untuk
membentuk proses pembentuk flok dan sebagai pengatur pH sebelum koagulasi dilakukan
(Elykurniati, 2010).
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel menjadi flok dengan mencampurkan
koagulan dengan melakukan pengadukan yang cepat. Sedangkan flokulasi merupakan
pengadukan lambat yang dimaksudkan untuk membentuk flok yang lebih besar agar dapat
mengendap. Koagulasi dan flokulasi bertujuan untuk menurunkan tingkat kekeruhan pada
pengolahan limbah. Koagulan yang digunakan pada saat praktikum adalah tawas/alumunium
sulfat. Untuk menurunkan tingkat kekeruhan diperlukan dosis koagulan yang optimum agar
lebih efektif. Pada praktikum dosis yang paling optimum untuk 500 mL air limbah adalah 18
mL koagulan, dengan nilai kekeruhan yaitu 2,86 NTU. Hal ini dipengaruhi oleh pH, jenis
koagulan, tingkat kekeruhan, dosis koagulan, dan kecepatan pengadukan.

5.2 Saran
Praktikum sudah berjalan sangat baik. Untuk praktikan agar lebih teliti dan fokus
dalam melakukan praktikum. Selain itu dalam mencatat data hasil praktikum lebih rinci lagi.
Semoga praktikum yang akan datang bisa berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Kristijarti, A Prima, Ign Suharto dan Marieanna. 2013. Penentuan Jenis Koagulan dan Dosis
Optimum untuk Meningkatkan Efisiensi Sedimentasi dalam Instalasi Pengolahan Air
Limbah Pabrik Jamu X. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.

Narita, Kadek dkk. 2016. Penerapan Jaringan Syaraf Tiruan untuk Penentuan Dosis Tawas
pada Proses Koagulasi Sistem Pengolahan Air Bersih. Surabaya: Institut Sepuluh
Nopember.

Oktaviasari, Sakura Ayu dan Muhammad Mashuri. 2016. Optimasi Parameter Proses Jar
Test Menggunakan Metode Taguchi dengan Pendekatan PCR-TOPSIS (Studi Kasus:
PDAM Surya Sembada Kota Surabaya). JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5 No. 2
(2016) 2337-3520 (2301-928X Print). Surabaya: Institut Sepuluh Nopember.

Permatasari, Tri Juliana dan Erna Apriliani. 2013. Optimasi Penggunaan Koagulan Dalam
Proses Penjernihan Air. Jurnal Sains Dan Seni POMITS Vol. 2, No.1, (2013) 2337-
3520 (2301-928X Print). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Putra, Sugili, Suryo Rantjono dan Trisnadi Arifiansyah. 2009. Optimasi Tawas Dan Kapur
Untuk Koagulasi Air Keruh Dengan Penanda I-131. Batan: Sekolah Tinggi Teknologi
Nuklir.

Rahimah, Zikri, Heliyanur Heldawati dan Isna Syauqiyah. 2016. Pengolahan Limbah
Deterjen Dengan Metode Koagulasiflokulasi Menggunakan Koagulan Kapur Dan Pac.
Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.

Tzoupanos, N. D. dan A. I. Zouboulis. 2008. Coagulation-Flocculation Processes In Water/


Wastewater Treatment: The Application Of New Generation Of Chemical Reagents.
Thessaloniki: Aristotle University.

DAFTAR PUSTAKA TAMBAHAN

Bratby, John. 2016. Coagulation and Floculation in Water and Wastewater Treatment Third
Edition. London: IWA Publishing.

Chamdan, Achmad dan Alfan Purnomo. 2013. Kajian Kinerja Teknis Proses dan Operasi
Unit Koagulasi-Flokulasi-Sedimentasi pada Instalasi Pengolahan Air (IPA)
Kedunguling PDAM Sidoarjo. JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN:
2337-3539 (2301-9271 Print). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Elykurniati. 2010. Pengendapan Koloid pada Air Laut dengan Proses Koagulasi-Flokulasi
Secara Batch. Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.

Rosariawati, Firra dan M. Mirwan. 2013. Efektifitas PAC dan Tawas untuk Menurunkan
Kekeruhan pada Air Permukaan. Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jawa Timur.
LAMPIRAN TAMBAHAN

Anda mungkin juga menyukai