Anda di halaman 1dari 47

77

PROBLEMATIKA
AKTUAL
HALAQAH
JILID II

Solusi praktis mengelola


pengajian kelompok, ta’lim
usroh dan mentoring

Satria Hadi Lubis


PRAKATA

Segala puji bagi Allah, Rob yang wajib disembah. Salam dan sholawat kepada pemimpin umat manusia, Nabi Muhammad saw,
beserta para sahabatnya dan orang-orang sholih yang mengikuti beliau sampai akhir zaman.
Buku yang berjudul 77 Problematika Aktual Halaqah jilid II ini ditulis sebagai lanjutan dari buku 77 Problematika Aktual
Halaqah Jilid I. Alhamdulillah, sambutan pembaca terhadap buku Jilid I sangat luar biasa, sehingga cetakan pertamanya habis
dalam waktu hanya satu bulan! Hal ini menunjukkan antusias yang tinggi dari pembaca –khususnya mereka yang ingin atau telah
membina halaqah-- untuk memahami persoalan halaqah lebih baik lagi.
Halaqah adalah kelompok pengajian Islam dengan jumlah anggota terbatas (biasanya tidak lebih dari 12 orang). Di beberapa
kalangan aktivis dakwah, halaqah juga disebut dengan istilah pengajian kelompok, mentoring, ta’lim, usroh, tarbiyah, dan lain-lain.
Apapun istilahnya, halaqah merupakan sarana efektif untuk menumbuhkan kader-kader dakwah yang berkualitas. Hal ini sudah
dibuktikan oleh berbagai kelompok gerakan (harakah) Islam di seluruh dunia.
Namun dalam realitanya, membina halaqah bukanlah pekerjaan mudah. Ada berbagai kendala dan persoalan yang menghadang
perjalanan halaqah. Sayangnya, persoalan itu acapkali kurang ditanggapi serius. Bahkan mungkin dibiarkan selesai dengan waktu.
Hal ini akhirnya berdampak pada hasil pembinaan yang kurang optimal.
Oleh karena itu, di dalam buku ini penulis mencoba menawarkan berbagai solusi untuk memecahkan persoalan-persoalan yang
muncul dalam perjalanan halaqah. Dengan harapan agar para pembaca –khususnya mereka yang akan atau telah membina halaqah
—menjadi semakin terampil dalam membina halaqah.
Sama seperti jilid I, buku ini masih dengan gaya penulisan tanya jawab. Dimisalkan yang bertanya adalah seorang murobbi
(ustadz, mentor, naqib) yang menjadi pembina halaqah. Dapat dikatakan bahwa buku ini disusun dalam perspektif murobbi
(pembina) yang mencoba menyelesaikan persoalan halaqahnya. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca seolah-olah menjadi
murobbi dan merasa dekat dengan persoalan-persoalan yang terdapat di halaqah. Mudah-mudahan dari situ pembaca menjadi
termotivasi untuk menjadi murobbi yang lebih baik dan semakin peduli pada peserta halaqahnya.
Walau buku ini menonjolkan judul “problema”, tapi bukan maksud penulis untuk membuat pembaca memperoleh kesan bahwa
di halaqah banyak masalah. Problem adalah hal yang lazim terdapat dimana-mana, termasuk di halaqah. Namun kuantitas dan
kualitias problem di halaqah jauh lebih sedikit daripada problem yang ada di tempat lain. Hal ini karena halaqah adalah tempat
orang-orang yang ingin segera memperbaiki diri. Mereka sensitif terhadap problem yang ada di halaqah dan ingin segera
menyelesaikannya. Inilah juga yang mendorong penulis untuk menulis buku ini. Sebagai rasa tanggung jawab terhadap
perkembangan halaqah agar selalu menjadi tempat dari orang-orang yang peka terhadap problem. Sebab penulis meyakini, bahwa
orang yang peka terhadap problem adalah orang yang lebih beruntung dan lebih sukses daripada orang yang “tuli” terhadap
problem. Islam sendiri adalah ajaran yang menumbuhkan kehalusan jiwa, sehingga jiwa tersebut sensitif terhadap problem (dosa
dan kesalahan). Nabi Muhammad saw sendiri –sebagai teladan utama-- sangat peka terhadap problem. “Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. 9 : 128).
Apa yang diungkapkan dalam buku ini juga bukan merupakan hal yang mengada-ada atau menambah-nambahkan. Problem
yang diungkap disini adalah problem yang pernah terjadi, baik yang penulis alami sendiri sebagai murobbi, atau yang dialami
murobbi lain yang penulis ketahui. Dari berbagai problem tersebut, penulis merasa perlu untuk membukukannya agar para aktivis
dakwah memiliki tambahan bahan rujukan dalam memecahkan masalah di halaqahnya. Jadi semangat yang dihasung dalam buku
ini adalah semangat untuk menawarkan solusi, bukan menawarkan masalah, sehingga para murobbi dan calon murobbi menjadi
semakin terampil memecahkan masalah di halaqahnya.
Selain itu, latar belakang penulisan buku ini juga didasari oleh kondisi saat ini yang menuntut aktivis dakwah untuk lebih
sungguh-sungguh berdakwah. Salah satunya dengan mengintensifkan pembinaan melalui halaqah, sebagai ajang pembinaan yang
paling mumpuni dalam membentuk syakhsiyah Islamiyah (pribadi Islami).
Penulis berupaya membahas berbagai problem halaqah ini dengan pembahasan yang praktis dan menghindari teori bertele-tele.
Sama dengan buku jilid I yang terbagi dalam enam bab, maka pada buku jilid II juga ada enam bab. Namun pembagian babnya
berbeda. Pada buku jilid II ini, bab yang disajikan adalah Bab I tentang Problem Pemahaman, Bab II tentang Problem Sistem, Bab
III tentang Problem Personal, Bab IV tentang Problem Sistem, Bab V tentang Problem Murobbi dan Bab VI tentang Problem
Keakhwatan. Ada dua bab yang baru disajikan dalam jilid II ini, yaitu bab tentang Problem Pemahaman dan bab tentang Problem
Murobbi. Bab tentang Problem Pemahaman disajikan karena masalah di halaqah ternyata sedikit banyak juga terkait dengan
pemahaman yang makro terhadap dakwah dan jama’ah itu sendiri. Sedang bab tentang Problem Murobbi ditampilkan karena
masalah dari sang murobbi sendiri juga banyak yang dapat diungkapkan dan perlu dicarikan solusinya.
Khusus untuk bab tentang Problem Keakhwatan, jumlah problem yang disajikan lebih banyak dari jilid I. Pada jilid I hanya ada
5 problem, maka pada jilid II ini “membengkak” menjadi 19 problem. Hal ini karena banyak masalah khusus keakhwatan yang
belum diungkap pada jilid I. Alhamdulillah, pada jilid II ini dapat disajikan. Sekaligus hal ini juga menjawab “keluhan” sebagian
pembaca akhwat yang merasa buku Jilid I sangat sedikit membicarakan masalah khusus keakhwatan.
Namun jangan juga dipahami jika ada bab tentang keakhwatan, berarti bab-bab lain khusus untuk ikhwan. Semua bab berlaku
umum (problemnya bisa terjadi di kalangan ikhwan atau akhwat), kecuali bab khusus keakhwatan yang memang diistimewakan
khusus untuk akhwat. Ini juga sekaligus sebagai “isyarat” bahwa pembinaan di kalangan akhwat sama pentingnya dengan
pembinaan di kalangan ikhwan.
Pembaca dapat membaca buku ini sesuai dengan keperluan. Bagi Anda yang memiliki waktu cukup, alangkah baiknya jika
buku ini dibaca berurutan dari awal sampai akhir. Paling tidak hal itu akan menambah wawasan pembaca, terutama jika suatu ketika
mengalami situasi seperti yang disebutkan dalam buku ini. Bagi Anda yang sibuk dan hanya memiliki waktu sempit untuk membaca
buku ini, sebaiknya langsung ke topik yang diminati atau topik yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. Bagaimanapun cara
Anda membacanya, buku ini dapat dibaca kapan saja dan dimana saja sesuai kebutuhan Anda.
Jika Anda telah berkesempatan membaca buku ini, silakan beri penulis umpan balik. Umpan balik para pembaca begitu penting
sehingga penulis merasa perlu memasukkan Formulir Umpan Balik pada akhir buku ini. Anda bisa mengirimkannya melalui faks ke
Lembaga Manajemen LP2U (021) 53678452, atau email: lp2u_center@lycos.com.
Jika pembaca ingin berkonsultasi atau mengikuti pelatihan yang khusus membahas apa yang disampaikan pada buku ini,
silakan hubungi kami di Lembaga Manajemen LP2U Jl. Anggrek Nelimurni Blok B No. 12 Slipi – Jakarta Barat Telp. (021)
5494719.
Akhirnya, ucapan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya penulisan buku ini. Selain itu, penulis juga
ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Kingkin Anida, isteri setia yang selalu memberikan dukungan dan
masukan yang berharga. Juga kepada Bapak Moh. Tizar Zein (Bang Tizar) –yang jasa dan kasih sayangnya tak pernah terlupakan
dalam membina penulis di masa lampau-- dan rekan-rekan lainnya yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Ya Allah, perbaikilah dinku yang adalah merupakan pelindung urusanku, perbaikilah duniaku yang adalah merupakan
penegak kehidupanku, perbaikilah akhiratku yang adalah merupakan tempat penentuanku (HR. Muslim)

Selamat membina!

(Satria Hadi Lubis)


DAFTAR ISI

Prakata

Daftar Isi

BAB I – PROBLEM PEMAHAMAN

BAB II – PROBLEM SISTEM

BAB III – PROBLEM PERSONAL

BAB IV – PROBLEM MUROBBI

BAB V – PROBLEM KEAKHWATAN


BAB I

PROBLEM PEMAHAMAN

1. Perbedaan jama’ah dengan harakah dan organisasi umum


Apa perbedaan jama’ah dengan harakah? Dan apa perbedaan jama’ah dengan organisasi pada umumnya?

Jawab :
Jama’ah dan harakah sebetulnya memiliki makna yang sama. Jama’ah secara bahasa berarti sekelompok orang, golongan,
atau kebersamaan. Harakah secara bahasa berarti gerakan, sekelompok orang yang bergerak. Jama’ah dan harakah pada
dasarnya memiliki arti yang sama yaitu sekelompok orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini juga sama
dengan pengertian organisasi pada umumnya. Perbedaan jama’ah dan harakah hanya terletak pada konteksnya saja. Jika
jama’ah penekanannya kepada kerjasama, maka harakah penekanannya pada gerakan (dinamisasinya). Harakah
mencerminkan jama’ah yang selalu aktif bergerak untuk mencapai cita-cita Islami. Karena itu, kata harakah lebih sering
digunakan oleh kalangan aktivis dakwah daripada kalangan lain untuk menggambarkan aktivitas mereka yang dinamis. Sedang
kata jama’ah digunakan oleh berbagai kalangan untuk maksud yang lebih luas (seperti jama’ah sholat, jam’ah haji, jama’ah
pengajian, dan lain-lain).
Lalu apa perbedaan jama’ah (harakah) dengan organisasi pada umumnya? Jama’ah dalam pengertian harakah berbeda
dengan pengertian organisasi pada umumnya. Perbedaan tersebut bukan terletak pada pengertiannya (yaitu sekelompok orang
yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu), tapi terletak pada tiga hal, yaitu:
1. Motivasi (Mabda’)
Motivasi jama’ah (harakah) haruslah Lillahita’ala (karena Allah semata). Jadi niat mendirikannya semata-mata karena
ingin memperjuangkan Islam. Sedang organisasi pada umumnya, niat mendirikannya bisa beragam. Misalnya, karena
ingin memperoleh keuntungan materi, populeritas, mengembangkan keterampilan, dan lain-lain.
2. Metode (Manhaj)
Metode yang digunakan jama’ah (harakah) untuk mencapai tujuannya tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam.
Termasuk di dalamnya metode untuk memilih pemimpin, menghimpun anggota, menjalankan kegiatan dan lani-lain,
semua itu harus sesuai dengan syar’i. Sedang organisasi pada umumnya memiliki metode yang berbeda dalam
mencapai tujuannya. Bahkan ada organisasi yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
3. Tujuan (Ghoyah)
Tujuan dari suatu jama’ah (harakah) adalah Li’ilalikalimatillah (meninggikan Kalimat Allah). Dengan kata lain,
harakah bertujuan menegakkan kejayaan Islam di muka bumi. Sedang organisasi pada umumnya memiliki tujuan
beragam tergantung dari motivasi pendirinya. Bahkan mungkin ada organisasi yang tujuannya bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
Perbedaan inilah yang membuat istilah jama’ah (harakah) tidak bisa disamakan dengan istilah organisasi biasa. Sebab
organisasi bermakna luas dan umum, sedang jama’ah (harakah) lebih bermakna khusus, yaitu organisasi yang motivasi, metode
dan tujuannya harus Islami.
Perlu juga dipahami bahwa istilah harakah biasanya lebih ditujukan kepada jama’ah yang skalanya luas, yakni tingkat
nasional atau internasional. Harakah yang berskala nasional, misalnya Refah (di Turki), Hamas (di Palestina), atau FIS (di
Aljazair). Sedang harakah berskala internasional adalah jama’ah yang memiliki jaringan di berbagai negara, contohnya adalah:
Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, dan Hizbut Tahrir.

[Jama’ah adalah istilah khusus bagi organisasi yang ingin menegakkan Kalimatullah]

2. Pentingnya berjama’ah
Sampai sejauh mana urgensi berjama’ah dalam Islam? Dapatkah kita menjadi muslim yang baik tanpa berjama’ah?

Jawab :
Pentingnya berjama’ah tak perlu diragukan lagi dalam Islam. Banyak ayat Al Qur’an dan hadits yang memerintahkan kita
untuk selalu berada dalam kondisi berjama’ah. Sebagian ayat atau hadist tersebut adalah : “Sesungguhnya (agama tauhid) ini,
adalah agama kamu semua, agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka
(pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)” (QS. 512-53). “Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. 3 : 103). “Dan janganlah kamu menyerupai orang-
orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat” (QS. 3 : 105). “Barang siapa yang memisahkan diri dari jama’ah (walaupun) sejengkal,
maka ia telah melepaskan kalung Islam dari lehernya sehingga ia kembali (berjama’ah)” (HR. Turmudzi). “Barangsiapa yang
keluar dari jama’ah dan memisahkan dirinya dari jama’ah lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah” (HR. Muslim
dan Nasa’i).
Dari ayat dan hadits tersebut terlihat bahwa Islam sangat mementingkan kebersamaan. Islam adalah agama (dien)
kebersamaan (jama’ah). Bahkan Umar bin Khatab ra pernah berkata: “Tak ada Islam tanpa jama’ah. Tak ada jama’ah tanpa
pemimpin. Tak ada pemimpin tanpa bai’at. Tak ada bai’at tanpa keikhlasan.” Umar ra menganggap bahwa jama’ah penting
bagi Islam itu sendiri, sehingga baginya mustahil Islam itu langgeng keberadaannya jika tidak ditopang oleh keberadaan
jama’ah.
Namun pengertian jama’ah disini bisa dua macam, jama’ah dalam pengertian sekedar berinteraksi (bergaul) sesama
muslim tanpa terikat dalam struktur organisasi (tanzim) Islam tertentu dan jama’ah dalam pengertian terikat dengan struktur
organisasi (tanzim) Islam tertentu. Jama’ah dalam pengertian pertama bersifat umum dan jumhur (sebagian besar) ulama
sepakat tentang kewajibannya. Jama’ah dalam pengertian kedua (yakni terikat dalam tanzim tertentu) diperselisihkan
kewajibannya oleh ulama. Hal ini terkait dengan konteksnya yang berbeda. Jika jama’ah itu adalah jama’ah muslimin (jama’ah
yang melingkupi umat Islam sedunia), ulama sepakat tentang kewajiban untuk bergabung dengannya. Namun karena saat ini
tak ada lagi jama’ah muslimin (semenjak runtuhnya Khilafah Turki Utsmani), yang ada hanya jama’ah minal muslimin
(jama’ah yang dibentuk dan melingkupi sebagian kaum muslimin saja), maka kewajiban bergabung dengan jama’ah menjadi
diperselisihkan ulama. Ada yang tetap menganggap wajib untuk bergabung dengan salah satu jama’ah, ada yang
menganggapnya sunnah (dianjurkan), bahkan ada yang mengharamkannya.
Namun lepas dari perselisihan tersebut, berjama’ah (dalam pengertian bergabung dengan tanzim tertentu) memiliki banyak
manfaat, antara lain:
1. Dapat membangun persepsi yang sama dengan sesama muslim dalam rangka memajukan Islam dan peradaban manusia.
2. Dapat menjalin kerjasama berdasarkan program yang sama dalam suatu koordinasi yang solid.
3. Dapat mempelajari Islam secara lebih mendalam, karena biasanya jama’ah memiliki sarana pembelajaran Islam yang lebih
intensif.
4. Dapat merasakan manisnya ukhuwah. Sebab dalam jama’ah, interaksi para anggotanya berjalan lebih erat dan akrab.
5. Dapat membendung pengaruh dari nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam secara lebih efektif, karena dilakukan secara
bersama-sama.
6. Dapat mempercepat penyebarluasan dakwah Islam daripada jika dakwah itu dilakukan sendirian.
Tentu saja berbagai manfaat tersebut akan didapat jika kita bergabung dengan jama’ah yang benar, yakni jama’ah yang
berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunnah. Bukan jama’ah yang sesat dan menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah.
Berbagai manfaat tersebut tentu perlu dipertimbangkan agar kita dapat menjadi muslim yang baik. Muslim yang baik
bukanlah muslim yang hanya mengamalkan ibadah dan akhlak dengan baik. Bukan muslim yang hanya asyik memperbaiki diri
dan lupa memperjuangkan nasib umat. Muslim yang baik adalah muslim yang juga mau memperjuangkan nasib umat dengan
berdakwah secara sungguh-sungguh di muka bumi. “Siapakah yag lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
(berdakwah) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri (muslim)?” (QS. 41 : 33). Hal itu relatif akan lebih efektif jika kita bergabung dalam jama’ah (tanzim) tertentu
daripada kita berada di luar jama’ah (tanzim). Sebab dengan bergabung pada jama’ah tertentu, kita dapat berdakwah secara
berjama’ah pula. Sasaran dakwah yang besar tak mungkin tercapai jika kita sendirian (infirodiyah) dalam merealisasikannya.

[Eksistensi seorang muslim terkait dengan keikutsertaannya dalam jama’ah]

3. Kriteria jama’ah yang baik


Apa saja kriteria jama’ah yang baik, sehingga kita tidak salah langkah dengan mengikuti jama’ah yang kurang baik?

Jawab :
Kriteria jama’ah yang baik antara lain :
1. Berorientasi Ketuhanan (Robbaniyah)
Jama’ah harus berorientasi kepada Allah SWT (Robbani) dalam semua tujuan, cara dan motivasinya. Tidak boleh berorientasi
kepada selain Allah, karena hal itu akan menjauhkan jama’ah dari ridho Allah SWT. “Tidak wajar bagi seorang manusia yang
Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia; “Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang
robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (QS. 3 : 39).
2. Islamisasi sebelum berjama’ah (Islamiyah qobla jami’iyah)
Jama’ah yang baik adalah jama’ah yang mendahulukan proses Islamisasi sebelum mengajak orang bergabung menjadi anggota
jama’ahnya, sehingga orang-orang yang masuk ke dalam jama’ahnya adalah orang yang “bersih” dari nilai-nilai jahiliyah (non
Islam). Jama’ah yang baik adalah jama’ah yang mengajarkan orang tentang Islam, sebelum mengajak orang tersebut masuk ke
dalam jama’ahnya. Jama’ah yang tidak mengandalkan nama jama’ah sebagai daya tarik merekrut orang, tapi mengandalkan
Islam yang didakwahkan, sehingga pribadi-pribadi yang menjadi anggota jama’ah meyakini bahwa jama’ah hanyalah sarana
untuk memperjuangkan Islam. Bukan dibalik, Islam adalah sarana untuk memperjuangkan kepentingan jama’ah. Allah
berfirman: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke
dalam jama’ah hamba-hambaku” (QS. 89 : 27-29). Dari ayat tersebut terdapat isyarat bahwa yang bisa masuk ke dalam
jama’ah Allah adalah orang-orang yang telah kembali kepada Allah dengan jiwa yang tenang dan puas dengan ridho-Nya
(Islam).
3. Integral bukan parsial (Syamilah ghoiro juz’iyah)
Jama’ah yang baik adalah juga jama’ah yang mengajarkan Islam sebagai nilai-nilai yang mengatur seluruh kehidupan manusia
(integral). Tidak ada satu aspek kehidupanpun yang lepas dari nilai Islam. Islam adalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan
keamanan. Islam adalah hati, pikiran dan amal. Islam adalah syari’at yang utuh dan wajib ditegakkan secara menyeluruh dalam
seluruh sisi kehidupan manusia. Jama’ah yang baik bukan jama’ah yang hanya menekankan satu aspek saja dari seluruh nilai
Islam. Misalnya, hanya menekankan aspek politik dan jihad saja. Atau hanya menekankan aspek ibadah dan akhlak saja sambil
mengabaikan, bahkan menabukan, aspek politik dan jihad. “..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu..” (QS. 5 : 3). “Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan.
Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. 2 : 208).
4. Modern bukan konvensional (Ma’ashiroh ghoiro taqlidiyah)
Jama’ah yang baik adalah jama’ah yang modern dan selalu mengikuti perkembangan jaman. Tidak tabu untuk memakai
wasilah (sarana) terbaru di jamannya selama hal itu tidak bertentangan dengan syar’i. Jama’ah yang selalu melakukan proses
tajdid (pembaharuan) dan giat melahirkan para mufakkir (pemikir) dan mujtahid (orang yang berhak berijtihad). Jama’ah yang
tidak jumud (beku) dan tidak taqlid (ikut-ikutan) dengan tradisi secara membabi buta, tapi jama’ah yang mengikuti
perkembangan peradaban manusia dan memilah-milah secara kritis mana yang seharusnya diambil dan mana yang tidak. “ Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. 17 : 36).
4. Regional dan internasioanal (Mahaliyah wa ‘alamiyah)
Jama’ah yang baik semestinya memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah lokal dimana jama’ah itu berada. Ia juga
memiliki kepedulian terhadap permasalahan umat Islam di tempat lain, termasuk permasalahan umat Islam yang berskala
internasional, seperti masalah Palestina. Jama’ah yang memahami bahwa sesungguhnya umat Islam itu satu, tidak terpisah oleh
negara dan wilayah. Dimana ada umat Islam yang teraniaya maka disitulah ia harus berperan membelanya. Tanah airnya
bukanlah tanah air negaranya, tapi tanah air dimana umat Islam berada di dalamnya. Untuk itu, kekuatan jama’ah perlu
disebar ke seluruh penjuru dunia, sehingga menjadi jama’ah berskala internasional, tidak hanya berskala lokal atau nasional.
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’ (QS. 34 : 28).
5. Ilmiah (Ilmiyah)
Kriteria berikutnya dari jama’ah yang baik adalah jama’ah yang bergerak atas ilmu dan hasil analisa data/fakta. Bukan
bergerak di atas insting, mimpi atau wangsit para pemimpinnya. Jama’ah selalu mengedepankan usaha di atas prinsip akal
sehat dan sunnatullah (hukum-hukum Allah) sebelum bertawakkal. Jama’ah yang cinta ilmu dan pendidikan serta
membudayakan semangat menuntut ilmu bagi para anggotanya. Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang berilmu)” (QS. 35 : 28).
6. Kekebalan Islam (Manna’atul Islamiyyah)
Jama’ah yang baik juga jama’ah yang memiliki kekebalan Islam. Yaitu, jama’ah yang menjalankan Islam secara murni
(asholah) sesuai dengan apa yang dipraktekkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Bukan Islam yang sudah ditambah-
tambahkan atau dikurang-kurangkan akibat penafsiran dari orang-orang yang bodoh terhadap hakekat Islam. Jama’ah yang
kebal terhadap nilai-nilai jahiliyah yang berupaya masuk ke dalam tubuh jama’ah. Jama’ah yang merasa puas dan cukup hanya
dengan Islam dan tidak ingin mengambil nilai-nilai lain di luar Islam walau hal itu mengagumkan dan menarik banyak orang.
“Shibghoh Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghohnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah ”
(QS. 2 : 138). “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS.
2 : 147).
7. Pandangan Islam yang jelas (Bashirothul Islamiyyah)
Jama’ah juga memiliki pandangan Islam yang jelas. Artinya, ia menyeru manusia melalui hujjah (alasan) yang nyata, baik
secara naqli (alasan berdasarkan Al Qur’an dan hadits) maupun secara ‘aqli (logika). Setiap tindakan dan kebijakannya selalu
mempunyai hujjah yang nyata, sehingga tak memberi ruang bagi keragu-raguan. “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku
dan orang-orang yang mengikutimu mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. 12 : 108).
8. Perubahan drastis bukan perubahan tambal sulam (Inqilabiyah ghoiro tarqi’iyah)
Yang diinginkan dari jama’ah yang baik adalah perubahan masyarakat secara drastis bukan tambal sulam. Artinya, jama’ah
menginginkan perubahan yang benar-benar membawa manusia dari kondisi dzulumat (kegelapan) kepada nur (cahaya). Dari
kondisi tertindas menjadi merdeka, dari kezaliman menuju keadilan, dan dari kemaksiatan menuju ketaqwaan. Bukan
perubahan yang hanya mengganti rezim tapi tidak merubah sistem. Sistem yang ada harus dirubah dengan sistem yang sesuai
syariat Islam. Jama’ah yang baik adalah jama’ah yang memperjuangkan tegaknya syari’at Islam secara total, bukan setengah-
setengah. “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu,
sedang kamu mengetahui” (QS. 2 : 42). “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. 5 : 50).
Jama’ah yang semakin memenuhi berbagai kriteria di atas adalah jama’ah yang sebaiknya kita ikuti. Sebaliknya, jama’ah
yang semakin jauh dari kriteria di atas adalah jama’ah yang sebaiknya perlu dihindari dan jangan diikuti, karena jama’ah
semacam itu kemungkinan besar akan menyesatkan kita dari jalan Allah. “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya
tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penentang yang paling keras” (QS. 2 : 204).
[Jama’ah yang baik adalah jama’ah yang serius memperjuangkan Islam dan bersedia bekerjasama dengan siapa
saja yang juga serius memperjuangkan Islam]

4. Sikap terhadap berbagai harakah


Bagaimana sikap kita terhadap berbagai jama’ah (harakah) yang ada?

Jawab :
Berbagai jama’ah (harakah) yang ada saat ini muncul karena kepedulian mereka untuk mengembalikan manusia kepada ajaran
Islam. Keragaman jama’ah yang ada saat ini tak bisa dielakkan karena mereka berdiri atas dasar ijtihad (hasil pemikiran)
sekelompok muslim setelah tiadanya jama’ah muslimin (jama’ah yang melingkupi umat Islam sedunia) sejak runtuhnya
Khilafah Turki Utsmani. Karena berdiri atas ijtihad masing-masing, maka menjadi wajar jika uslub (tata cara) berbagai jama’ah
itu dalam memperjuangkan Islam menjadi berbeda-beda. Ada yang mengambil “garis keras”, “lunak” dan moderat.
Sikap kita sebagai muslim terhadap berbagai jama’ah (harakah) yang ada adalah menganggapnya sebagai aset umat.
Artinya, keberadaan mereka merupakan sarana (jalan) untuk bekerjasama dalam memperjuangkan Islam. Bahkan kalau bisa
dapat bersatu untuk mewujudkan kembali jama’ah muslimin yang telah hilang. Karena itu, agar cita-cita itu dapat terwujud,
sikap kita terhadap berbagai jama’ah yang ada adalah :
1. Tidak boleh menganggap suatu jama’ah sebagai yang paling benar, sedang yang lainnya salah. Selama jama’ah
yang lain tersebut tetap berjuang dengan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.
2. Dalam upaya mengajak orang untuk mengikuti jama’ahnya, tidak boleh menjelek-jelekkan jama’ah lain selama
jama’ah tersebut tetap konsisten dengan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.
3. Tidak boleh apriori terhadap keberadaan jama’ah yang beragam tersebut dengan tidak mau berinteraksi atau
bergabung dengan salah satu di antara jama’ah yang ada.
4. Membuka pintu dialog seintensif mungkin dengan jama’ah lain agar tidak terjadi salah paham dan untuk
membuka peluang kerjasama.
5. Berusaha untuk tetap menjalin kerjasama dengan jama’ah lain, terutama dalam masalah-masalah yang disepakati.
Selama sikap kita terhadap berbagai jama’ah yang ada masih seperti yang dikemukakan di atas, insya Allah keragaman
jama’ah tak akan membawa mudharat (kerugian) bagi perjuangan umat. Keragaman jama’ah menjadi mudharat, jika masing-
masing pihak menutup pintu dialog dan kerjasama, serta telah menjelek-jelekkan jama’ah lain dalam upaya merekrut
anggota/massa untuk jama’ahnya.

[Sikap terhadap berbagai harakah adalah kritis terhadap keberadaannya, tanpa menutup pintu dialog berazaskan
husnuzhon]

5. Kerjasama dengan harakah lain


Bolehkah kita bekerjasama dengan harakah lain? Adakah batasannya?

Jawab :
Bekerjasama dengan harakah lain bukanlah sesuatu yang tabu. Namun dalam realitanya, kerjasama antar harakah biasanya
hanya berlangsung secara teknis, monumental dan temporer. Masih jarang harakah yang bekerjasama dengan harakah lainnya
dalam skala yang lebih strategis, intensif dan berjangka panjang. Hal ini, khususnya di Indonesia, mungkin karena masih
tebalnya prasangka negatif satu sama lain, sehingga mempersulit terjalinnya kerjasama antar harakah.
Sebenarnya ada beberapa manfaat yang dapat dipetik dari kerjasama antar harakah :
1. Dapat meraih tujuan yang lebih besar lagi.
2. Dapat saling memanfaatkan kelebihan masing-masing.
3. Dapat saling menimba pelajaran dan pengalaman untuk memperbaiki kekurangan yang ada.
4. Dapat menjalin pengertian yang lebih mendalam lagi dan memperkecil prasangka negatif.
5. Dapat menjalin kerjasama yang lebih besar dan lebih strategis lagi di kemudian hari.
Namun kerjasama antar harakah sebaiknya berlangsung di atas azas win-win solution (sama-sama menguntungkan). Tidak
ada yang memanfaatkan jama’ah lain untuk kepentingan jama’ahnya sendiri. Juga berlangsung di atas azas kejujuran dan
sportivitas, sehingga tidak ada jama’ah yang merasa “dibohongi” atau “dicurangi”, yang hanya menyebabkan semakin tebalnya
prasangka buruk. Disini dibutuhkan kejernihan pikiran, kematangan jiwa dan kelapangan dada (terutama dari para
pemimpinnya), sehingga kerjasama betul-betul bermanfaat bagi masing-masing jama’ah dan bermanfaat juga bagi
kemaslahatan umat.

[Persaudaraan sesama muslim tak bisa dikekang dan dihalangi oleh keberagaman jama’ah]

6. Merekrut dengan mendiskusikan tentang perbandingan harakah


Bolehkah kita merekrut dengan mengajak orang yang kita rekrut membandingkan antara satu harakah dengan harakah lainya?

Jawab :
Mengajak orang untuk ikut halaqah dengan membanding-bandingkan satu harakah dengan harakah yang lain hanya dapat
dilakukan jika mad’u (orang yang didakwahi) adalah orang yang sudah banyak mempelajari atau telah malang melintang dalam
“dunia harakah”. Tapi bagi mad’u yang awam, hal ini sebaiknya dihindari, kecuali jika ia menanyakannya dan itupun hanya
perlu dijawab seperlunya saja (dijawab sesuai dengan pertanyaannya). Tidak perlu dijawab secara panjang lebar, sehingga dapat
menimbulkan kesalahpahaman terhadap berbagai harakah yang ada. Sebab bagi orang awam, keberagaman harakah mungkin
dipandang sebagai sesuatu yang membuat mereka phobi terhadap harakah.
Syarat yang kedua adalah jika kita, sebagai da’i, juga telah banyak tahu tentang harakah-harakah yang ada. Jangan sampai
karena ketidaktahuan, akhirnya kita malah menyebar fitnah tentang harakah lain.
Jika kedua syarat itu telah terpenuhi, masih ada etika yang perlu dijaga jika kita ingin mendiskusikan tentang perbandingan
harakah :
1. Yang kita sampaikan kepada mad’u adalah informasi yang benar, bukan fitnah.
2. Yang kita sampaikan kepada mad’u adalah karakteristik dari masing-masing harakah, tanpa terjebak dengan menjelek-
jelekkan harakah lain (kecuali harakah yang menyimpang dari aqidah ahlus sunnah wal jama’ah).
3. Jika kita ingin menyampaikan kepada mad’u bahwa harakah tertentu adalah sesat (karena berbeda aqidah), maka kita perlu
mengemukakan dalil naqli (Al Qur’an dan Hadits) dan dalil aqli (logika) secara jelas.
4. Kita tidak boleh memaksa (apalagi mengintimidasi) mad’u untuk memilih harakah kita. Yang dapat kita lakukan hanyalah
membeberkan sebanyak mungkin karakteristik masing-masing harakah (terutama sisi baik harakah kita sendiri). Penilaian
terakhir kita serahkan kepada mad’u.
5. Jika ia memilih harakah lain (walau menurut kita yang ia pilih itu adalah harakah yang sesat), kita jangan memutuskan
hubungan dengannya. Sebaiknya kita tetap menjalin hubungan dengannya. Mudah-mudahan ia masih dapat didakwahi dan
suatu ketika akhirnya memilih harakah kita. Atau paling tidak, antara kita dengannya dapat menjadi “penghubung” untuk
mendekatkan hubungan antar harakah di masa yang akan datang.

7. Istilah ikhwan/akhwat dan sikap terhadap istilah tersebut


Apa yang dimaksud dengan istilah ikhwan/akhwat? Dan apakah istilah tersebut khusus untuk aktivis harakah tertentu saja?

Jawab :
Istilah ikhwan/akhwat diambil dari bahasa Arab. Ikhwan artinya saudara laki-laki (jama’), tunggalnya adalah akhi. Akhwat
adalah saudara perempuan (jama’). Kalau saudara perempuan tunggal disebut dengan ukhti. Istilah ikhwan/akhwat pertama kali
digunakan oleh jama’ah Ikhwanul Muslimin (Mesir), tapi kemudian istilah ini menjadi umum dan dipakai oleh berbagai
jama’ah (harakah).
Istilah ikhwan/akhwat dalam arti sempit merujuk pada orang yang sudah halaqah (tarbiyah). Dengan kata lain, orang yang
sudah menjadi anggota sebuah jama’ah. Ikhwan untuk anggota jama’ah laki-laki dan akhwat untuk anggota jama’ah wanita.
Istilah ikhwan/akhwat dalam pengertian luas merujuk kepada siapa saja. Setiap orang yang berjenis kelamin laki-laki bisa
disebut dengan ikhwan dan setiap orang yang berjenis kelamin perempuan bisa disebut dengan akhwat. Namun yang berlaku
umum di kalangan aktivis harakah adalah penggunaan istilah ikhwan/akhwat dalam arti sempit. Yakni, memakai istilah tersebut
untuk menyebut sesama aktivis (anggota) dari harakah yang sama.
Sikap kita terhadap istilah tersebut adalah fleksibel. Tergantung dimana dan kapan kita menyebut istilah tersebut. Bahkan
jika berbicara dengan orang yang belum mengerti istilah tersebut lebih baik kita memakai istilah yang lebih umum (laki-
laki/perempuan).

[Istilah tidak boleh menutupi pengertian kita tentang hakekat di balik istilah tersebut]

8. Jama’ah sebagai partai politik


Apa maksud ungkapan al hizb huwal jama’ah dan al jama’ah huwal hizb yang sering dilontarkan oleh sebagian aktivis
dakwah?

Jawab :
Al hizb huwal jama’ah berarti partai adalah jama’ah. Al jama’ah huwal hizb berarti jama’ah adalah partai. Sebetulnya istilah
hizb sebagai jama’ah diambil dari Al Qur’an surat Al Ma’idah (5) ayat 56, surat Al Mujaadilah (58) ayat 22, dan ayat lainnya.
Hizb adalah partai, golongan atau pengikut. Dengan kata lain, istilah jama’ah sebetulnya identik dengan istilah hizb.
Namun “hizb” dalam istilah al hizb huwal jama’ah atau al jama’ah huwal hizb bisa juga diartikan bahwa partai politik
(parpol) adalah jama’ah dan jama’ah adalah partai politik (parpol). Pertanyaan adalah bisakah jama’ah yang tadinya bukan
berbentuk parpol berubah menjadi berbentuk parpol? Jawabannya, tentu saja bisa. Hal ini tergantung dari ijtihad para pemimpin
jama’ah tersebut. Masalah ini tak diatur secara qoth’i (pasti) dalam syar’i, sehingga ada ruang untuk berijtihad. Dalam masalah
strategi dakwah yang tak diatur secara qoth’i menurut syari’at, pemimpin jama’ah berhak berijtihad (sesuai dengan
kemampuannya) untuk menjadikan jama’ah berbentuk parpol, ormas (organisasi kemasyarakatan), atau OTB (Organisasi Tanpa
Bentuk). Asalkan organisasi tersebut tetap komitmen kepada tujuan dan manhaj Islam.
Para aktivis dakwah tak perlu merasa “resah” jika jama’ahnya berubah menjadi parpol, karena hal itu hanyalah wasilah
(sarana) yang dirasa paling tepat oleh para pemimpin jama’ah pada saat tertentu untuk berdakwah. Mungkin saja pada saat
yang lain, para pemimpin jama’ah merubah ijtihadnya dari parpol menjadi organisasi yang berbeda.
Sebagai anggota (kader) dari sebuah jama’ah, kita perlu tsiqoh (percaya) kepada keputusan pemimpin jama’ah. Sebab jika
kita tidak tsiqoh akan terjadi perpecahan dalam tubuh jama’ah yang hanya menguntungkan pihak yang tidak senang dengan
soliditas jama’ah. Jikapun kita merasa keputusan merubah jama’ah menjadi parpol kurang tepat, maka keberadaan kita sebagai
a’dho (anggota) jama’ah mengharuskan kita taat pada keputusan tersebut. Jikapun ternyata suatu ketika keputusan itu salah,
maka kita sebagai a’dho tetap mendapatkan pahala karena taat kepada pemimpin. Pemimpinpun akan belajar dari kesalahan,
sehingga lain kali keputusannya akan semakin bijaksana. Ujung-ujungnya semua pihak akan memperoleh manfaat dari
pengambilan keputusan tersebut.
Lagi pula dengan berubahnya jama’ah menjadi parpol, maka akan diperoleh berbagai keuntungan berikut :
1. Jama’ah semakin mudah dikenal oleh masyarakat, sehingga akses dakwah bisa mengalami akselarasi (percepatan).
2. Terhindarnya jama’ah dari fitnah karena bergerak secara syiriyah (rahasia). Dalam masa tertentu, bergerak secara rahasia
dapat menimbulkan fitnah yang mempersulit jama’ah untuk mempertahankan eksistensinya.
3. Adanya percepatan mobilitas vertikal dari yang tadinya sulit mempengaruhi lembaga-lembaga formal pemerintahan dan
negara menjadi lebih mudah mempengaruhi lembaga-lembaga tersebut.
4. Terbukanya berbagai peluang (dana, sarana, personal, dan lain-lain), yang tadinya sulit didapatkan kalau bergerak secara
syiriyah.
5. Memudahkan kerjasama dengan organisasi Islam lainnya, karena mereka mudah mengetahui siapa pemimpin jama’ah
tersebut dan bagaimana cara menghubunginya.
Adapun dampak negatif dari kemunculan jama’ah menjadi parpol juga ada, yakni sulitnya jama’ah untuk mengakses orang
atau institusi tertentu yang phobi dengan parpol. Sebab parpol dalam pandangan sebagian masyarakat memiliki stigma negatif,
yakni sebagai sarana memperoleh kekuasan dengan menghalalkan segala cara.
Stigma negatif itu harus “dilawan” oleh para aktivis dakwah dengan cara membuktikan secara serius kepada masyarakat
bahwa parpol (jama’ah) mereka berbeda dengan parpol-parpol lainnya. Aktivis dakwah harus membangun citra yang khas
tentang parpolnya. Bahwa parpol mereka adalah parpol yang Islami, elegan, dan peduli dengan rakyat.
Jangan malah stigma negatif masyarakat itu “menular” kepada para aktivis, sehingga mereka menjadi phobi juga dengan
jama’ah karena berbentuk parpol. Hal ini berarti para aktivis dakwah tak lagi menjadi agent of change (agen perubah) yang
seharusnya membentuk opini masyarakat, tapi malah mereka menjadi orang yang “termakan” oleh opini masyarakat.
Masa depan dakwah akan suram jika para aktivis dakwah tak lagi mampu membentuk opini masyarakat. Membentuk
jama’ah menjadi parpol di tengah stigma negatif masyarakat terhadap parpol dapat dijadikan sarana belajar bagi para aktivis
untuk membentuk opini masyarakat. Suatu ketika, jika Allah mengijinkan jama’ah memperoleh kekuasaan lebih besar, maka
para aktivis tak lagi canggung untuk membentuk opini masyarakat karena mereka sudah banyak belajar sebelumnya.

[Selama jama’ah tetap konsisten memperjuangkan Islam, kita perlu mendukungnya. Tak peduli dengan nama apa
ia bergerak]

9. Dakwah parlemen
Bagaimana sikap kita terhadap jama’ah yang berdakwah melalui parlemen?

Jawab :
Jama’ah berwujud parpol yang berdakwah melalui parlemen bukanlah suatu hal yang ditabukan. Kita tak boleh begitu mudah
menganggap mereka tidak mengikuti sunnah rasul karena “duduk” bersama orang-orang kafir atau fasik di suatu lembaga.
Apalagi sampai membawa-bawa ayat atau hadits Nabi untuk membenarkan pendapat kita. Antara lain, dengan berdalil pada
surat An Nisaa’ (4) ayat 140, “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu
mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta
mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah
kamu serupa dengan mereka. …”.
Berdakwah melalui parlemen (DPR/MPR) termasuk strategi dakwah yang sifatnya ijtihadi (mengambil keputusan
berdasarkan pertimbangan akal tanpa bertentangan dengan syar’i). Tidak ada dalil qoth’i yang melarang sebuah jama’ah
berdakwah via parlemen. Jika ada perbedaan pendapat antara jama’ah satu dengan yang lainnya tentang dakwah di parlemen
maka hal itu disebabkan perbedaan ijtihad para pemimpinnya. Bukan perbedaan yang menyangkut aqidah, sehingga kita tidak
boleh menganggap sesat jama’ah yang berdakwah melalui parlemen (untuk lebih jelasnya Anda dapat menyimak pendapat
Yusuf Qhardawi dalam bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II Bagian VIII-Lapangan Politik dan Pemerintahan).
Berdakwah melalui parlemen dapat dilakukan jama’ah bila mereka tetap konsisten memperjuangkan Islam. Menjadi
kelompok yang selalu menyuarakan kebenaran Islam dan membela kepentingan umat Islam, serta tidak terpengaruh dengan
nilai-nilai non Islam yang disuarakan kelompok lainnya.
Selama jama’ah masih konsisten memperjuangkan Islam, berdakwah melalui parlemen bahkan memiliki berbagai
keuntungan :
1. Aspirasi Islam dan umat Islam dapat disalurkan secara lebih sah (legitimate) melalui lembaga parlemen.
2. Dapat berdakwah kepada berbagai pemimpin pemerintahan dan masyarakat secara lebih terbuka dan dengan akses yang
lebih luas.
3. Dapat mewarnai terbentuknya undang-undang yang lebih berpihak kepada Islam dan umatnya.
4. Dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat untuk memperjuangkan asiprasi mereka melalui parlemen sebagai wakil
rakyat.
5. Dapat mengontrol jalannya pemerintahan secara formal dan sah.
6. Dapat memperoleh berbagai akses strategis (informasi, personal, dan lain-lain) yang berguna bagi kepentingan jama’ah.
7. Dapat mencegah terjadinya fitnah bagi jama’ah karena menyalurkan aspirasi di luar lembaga perwakilan formal
kenegaraan.

[Parlemen adalah lahan dakwah yang sama dengan lahan dakwah lainnya. Cepat atau lambat, jama’ah harus
berdakwah di dalamnya]

10. Ketika merekrut, mad’u menganggap direkrut ke parpol


Ada sebagian orang yang curiga bahwa kalau ia ikut halaqah (tarbiyah) berarti ia diajak mengikuti salah satu partai politik
tertentu. Betulkah kecurigaan itu? Bagaimana menyikapi orang yang anti terhadap parpol, padahal ia ingin ikut tarbiyah?

Jawab :
Kita harus menjelaskan kepadanya tentang hubungan halaqah dengan jama’ah yang berbentuk partai politik (parpol). Halaqah
adalah sarana tarbiyah yang utama untuk menjadi pribadi yang Islami dan da’iyah. Sedang jama’ah adalah salah satu sarana
pengamalan terhadap apa yang telah didapatkan dalam halaqah. Karena jama’ah merupakan sarana, maka ia dapat berwujud
apa saja selama hal itu dianggap efektif untuk mengamalkan Islam. Bisa berbentuk parpol, organisasi masyarakat, yayasan,
lembaga swadaya masyarakat, juga dapat berbentuk organisasi rahasia (sirriyatut tanzim). Jadi yang kita perlu jelaskan adalah
bahwa jama’ah sebagai parpol hanyalah sarana pengamalan Islam yang sifatnya situasional. Suatu ketika mungkin dapat
berubah bentuk menjadi organisasi berbeda. Yang penting bukanlah apa badan hukum dari jama’ah tersebut, tapi esensi dari
jama’ah tersebut. Jika jama’ah masih tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Hadits, maka masalah badan hukum adalah
masalah yang bersifat situasional. Dengan ijtihad, para pemimpin jama’ah menganggap bahwa parpol merupakan badan hukum
yang terbaik untuk keberlangsungan jama’ah pada situasi tertentu. Tapi mungkin suatu ketika pendapat itu berubah, tergantung
dari situasi yang berubah pula.
Kita juga perlu menjelaskan padanya bahwa jama’ah yang berwujud parpol bukanlah seperti parpol lainnya. Jama’ah
berbentuk parpol adalah partai yang menjadikan dakwah sebagai ujung tombaknya (partai dakwah), bukan partai yang
menjadikan politik sebagai ujung tombaknya. Karena itu kurang tepat sebenarnya jika disebut parpol, tapi lebih tepat disebut
hizb (partai). Yakni hizb yang artinya sama dengan jama’ah, sehingga bisa disebut bahwa partai adalah jama’ah (al hizb huwal
jama’ah) dan jama’ah adalah partai (al jama’ah huwal hizb). Sebab walau berbentuk parpol, tapi esensi keberadaannya tak
berbeda dengan jama’ah. Tetap bersifat integral (syamil) dan tidak hanya menonjolkan politik sebagai aktivitas utama.
Namun karena istilah hizb asing dalam lingkungan kita, maka kita memakai istilah yang lebih umum dipakai yakni partai.
Karena berdasarkan undang-undang yang disebut partai hanyalah partai politik (parpol), maka kita perlu mengikuti peraturan
perundangan tersebut, sehingga disebut sebagai parpol.
Mungkin, juga perlu dijelaskan mengapa jama’ah memilih parpol sebagai “kendaraan” dakwahnya pada saat tertentu. Hal
itu disebabkan pertimbangan berikut :
Era reformasi (demokratisasi) dalam suatu negara menyebabkan munculnya peluang bagi jama’ah untuk berkiprah di arena
politik. Berpolitik adalah sarana satu-satunya untuk menyalurkan aspirasi jama’ah secara formal kenegaraan. Dengan
berpolitik, jama’ah semakin mudah dan semakin cepat merealisasikan tujuannya, yakni membentuk masyarakat Islami. Untuk
berkecimpung dalam arena politik (formal) tak bisa tidak kecuali dengan membentuk parpol. Sebab hanya parpol yang
dibolehkan untuk berkecimpung dalam arena politik formal kenegaraan. Jadi, pertimbangan membentuk jama’ah menjadi
parpol semata-mata karena pertimbangan dakwah juga. Yaitu agar dakwah lebih cepat merealisasikan tujuannya.

[Yang penting bukan siapa yang mengajak, tapi terhadap apa kita diajak]

11. Dakwah dengan “cover” tertentu


Pada saat kapan dakwah perlu memakai “cover” tertentu? Sebaliknya, pada saat kapan dakwah tak perlu memakai “cover”
tertentu?

Jawab :
Yang dimaksud “cover” disini adalah jama’ah memakai nama organisasi yang berbeda dengan nama sebenarnya. Pemakaian
“cover” juga termasuk masalah ijtihadi yang tidak diatur secara qoth’i dalam syar’i. Hal ini berpulang kepada kebijakan
jama’ah itu sendiri. Jika jama’ah merasa perlu memakai “cover” untuk berdakwah kepada masyarakat, hal itu disebabkan
beberapa alasan :
1. Masyarakat lebih mengenal nama organisasi “cover” daripada nama resmi jama’ah.
2. Nama resmi jama’ah dipandang kurang dapat diterima karena ada stigma negatif di kalangan masyarakat tertentu terhadap
nama tersebut.
3. Melindungi nama jama’ah dari buruk sangka dan fitnah karena bergerak pada level yang masih kontroversial dalam
masyarakat.
4. Adanya kekhawatiran jika memakai nama jama’ah akan mempersulit akses dakwah.
5. Nama resmi jama’ah kurang populis dan familiar di mata sebagian masyarakat.
6. Adanya hambatan (larangan) dari pihak tertentu yang tidak senang dengan jama’ah (yang kekuatannya lebih besar dari
kekuatan jama’ah), sehingga jama’ah perlu memakai nama lain untuk tetap dapat berkiprah.
Dengan berbagai alasan tersebut, jama’ah dapat mengambil kebijakan untuk menggunakan nama “cover”, baik itu untuk skala
jama’ah secara menyeluruh maupun untuk pribadi-pribadi anggotanya.
Jadi boleh saja jama’ah secara menyeluruh atau pribadi anggota jama’ah menggunakan berbagai “cover” untuk mempermudah
dakwahnya. Yang penting dalam dakwah bukanlah dengan nama apa kita bergerak, tapi dengan apa kita bergerak. Sebab pada
dasarnya para aktivis dakwah hanya boleh menyeru kepada Islam, bukan mengajak orang menyeru kepada nama tertentu selain
Islam. Nama jama’ah atau nama “cover” hanyalah sarana untuk menyeru orang kepada Islam. Apapun nama yang dipakai, kita
harus tetap konsisiten menyeru manusia kepada Islam.
Jangan sampai para aktivis “terperangkap” dengan nama tertentu yang dipakai jama’ah. Alih-alih apakah nama itu disukai atau
tidak disukai olehnya. Sebab sebetulnya hanya ada satu nama bagi kita dan bagi kelompok kita, yakni muslim dan umat (jama’ah)
Islam. “..Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim (yang berserah diri kepada Allah)” (QS. 3 : 64). Sedang nama resmi
jama’ah atau nama “cover” hanya sarana untuk mempermudah mengidentifikasi orang-orang yang (diasumsikan) komitmen dengan
nilai-nilai Islam dan mau beramal jama’i (bekerja sama) dalam memperjuangkan Islam.

[Sesungguhnya hanya ada satu nama bagi kita; muslim. Nama lainnya hanyalah sarana untuk menuju kemusliman kita]

12. Sasaran dakwah


Jika peserta halaqah bertanya, apa sasaran dakwah yang ingin dicapai dari mengikuti halaqah dan tarbiyah, bagaimana
jawaban saya (sebagai murobbi) terhadap pertanyaan tersebut?

Jawab :
Anda perlu menjelaskan kepadanya tentang lima sasaran dakwah (ahdafud da’wah) berikut :
1. Membina pribadi Islami (Bina’ul fardil Islam)
Yakni membina terbentuknya pribadi-pribadi yang bertakwa kepada Allah dan aktif berdakwah di jalan Allah. Menjadikan
Allah sebagai tujuannya, Rasulullah sebagai teladannya, Al Qur’an sebagai peraturan hidupnya, jihad sebagai jalan hidupnya
dan mati di jalan Allah sebagai cita-cita tertingginya. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu” (QS.
2 : 207).
2. Membina keluarga Islami (Bina’ul usrotul Islam)
Dari pribadi-pribadi Islami diharapkan akan terbentuk keluarga-keluarga Islami. Yakni keluarga yang terdiri dari suami isteri
yang telah terbentuk kepribadian Islamnya. Juga keluarga yang telah siap secara lahir batin untuk melahirkan dan membesarkan
anak-anak yang berwatak Islami dan da’iyah sebagai penerus risalah Islamiyah di masa mendatang. “Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. 66 : 6).
3. Membina masyarakat Islami (Bina’ul mujtama’al Islam)
Keluarga-keluarga Islami yang telah terbentuk akan mewarnai dan membentuk masyarakat, sehingga masyarakat menjadi
Islami. Yakni masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah, sehingga Allah melimpahkan berkah kepada mereka dari
langit dan bumi. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi..” (QS. 7 : 96).
4. Membina negara Islami (Bina’ul daulatul Islam)
Setelah terbentuknya masyarakat Islami diharapkan akan terbentuk negara Islami. Yaitu negara yang pemerintahannya selalu
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar secara konsisten, sehingga tumbuh masyarakat yang adil, beradab, dan sejahtera. Negara
yang pemimpinnya beriman dan tunduk kepada hukum Allah. “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. 4 : 59).
5. Membina alam Islami (Bina’ul ustadziyatul alam)
Akhirnya, sasaran dakwah terakhir adalah terbentuk dan terbinanya alam semesta ini dengan nilai-nilai Islam. Dunia tunduk
pada ajaran Allah secara menyeluruh. Pada waktu itulah tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Kaum muslimin pada waktu itu
benar-benar telah menjadi rahmat bagi semesta alam. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam” (QS. 21 : 107).
Kelima sasaran dakwah tersebut harus dibentuk dan dibina secara bertahap dan berkesinambungan. Aktivis dakwah tidak
boleh cukup puas hanya sampai pada tahapan tertentu saja.
Terwujudnya sasaran dakwah bukanlah dihitung dari umur induvidu para aktivisnya. Dakwah merupakan perjalanan
panjang yang membutuhkan kesabaran, keteguhan dan kecerdikan. Tak peduli berapa lama waktu dan berapa banyak tenaga
yang dikorbankan, dakwah harus terus bergerak menuju sasaran akhirnya. Dakwah merupakan jalan bagi seorang muslim untuk
menuju ridho-Nya. “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan Allah; dan
Allah Maha penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (QS. 2 : 207).
[Berhenti pada satu sasaran dakwah adalah sikap pengecut. Sikap kepahlawanan muncul dari keberanian
memperjuangkan seluruh sasaran dakwah, betapapun berat dan sukarnya jalan ke arah sana]

13. Tahapan dakwah


Apa saja tahapan dakwah yang perlu dipahami oleh peserta halaqah?
Jawab :
Tahapan dakwah bukanlah tahapan secara induvidual, tetapi tahapan secara amal jama’i (aktivitas bersama). Tahapan yang
perlu dilalui oleh sebuah jama’ah untuk menuju sasaran dakwah. Tahapan tersebut adalah :
1. Tahapan/era keorganisasian (Mihwar tanzhimi)
Yang dimaksud mihwar tanzhimi adalah tahapan dimana para aktivis dakwah mengorganisir diri dalam sebuah jama’ah yang
terstruktur. Pada era ini, aktivis dakwah lebih banyak bekerja secara internal untuk mensolidkan dan mengkonsolidasikan
kekuatan jama’ah. Sasaran dakwah yang dituju pada tahapan ini adalah terbinanya pribadi Islami dan keluarga Islami.
2. Tahapan/era dalam kemasyarakatan (Mihwar sya’bi)
Pada tahapan ini, aktivis dakwah mulai berorientasi ke luar (masyarakat). Mereka mulai terjun ke masyarakat dan mewarnai
masyarakat dengan nilai-nilai Islam. Sasaran dakwah yang dituju, selain terbentuknya pribadi dan keluarga Islami, adalah
terbinanya masyarakat Islami.
14. Tahapan/era kelembagaan (Mihwar muassasi)
Pada tahapan ini, para aktivitis dakwah bukan hanya terjun ke masyarakat, tapi juga mulai memasuki lembaga-lembaga formal
pemerintahan dan negara. Sasaran dakwah yang dituju adalah mewarnai kebijakan publik dengan nilai-nilai Islam.
15. Tahapan/era kenegaraan (Mihwar dauli)
Pada tahapan ini, aktivis dakwah yang berada di lembaga-lembaga pemerintahan dan negara semakin banyak. Masyarakat juga
semakin terbina dengan nilai-nilai Islam dan mendukung pemerintahan yang Islami. Tahapan ini adalah tahapan dimana nilai-
nilai Islam telah menjadi dominan dan mempengaruhi keputusan dan kebijakan publik.
Pemindahan antar tahapan bukanlah merupakan keputusan induvidual, tapi merupakan keputusan kolektif (musyawarah)
dari para pemimpin jama’ah setelah mereka mengamati kondisi internal dan eksternal secara obyektif dan syar’i.

[Dakwah yang baik adalah dakwah yang bertahap. Dari A sampai Z, bukan dari Z ke A]

14. Tahapan tarbiyah


Apakah ada perbedaan antara tahapan dakwah dengan tahapan tarbiyah. Kalau beda, apa saja tahapan tarbiyah yang perlu
diketahui peserta halaqah?

Jawab :
Seperti yang telah disebutkan di muka, tahapan dakwah adalah tahapan kolektif. Tahapan yang dilalui oleh sebuah jama’ah.
Sedang tahapan tarbiyah adalah tahapan yang dilalui oleh masing-masing aktivis dakwah. Setiap aktivis secara induvidual
memiliki tahapan tarbiyah yang berbeda tergantung dari tingkat keterlibatan dan keterikatannya dengan jama’ah. Tahapan
tarbiyah juga mencerminkan status keanggotaan seseorang dalam jama’ah. Tahapan tarbiyah tersebut adalah :
1. Tahapan Pemula (Tamhidi)
Tahapan Pemula adalah tahapan dimana seorang muslim mulai mengikuti halaqah. Mereka yang berada di tahapan ini disebut
dengan Anggota Pemula. Pada tahapan ini, seorang muslim mulai membentuk dirinya agar memiliki kepribadian Islam. Materi-
materi yang diberikan pada tahapan ini adalah materi yang bersifat dasar-dasar Islam.
2. Tahapan Pendukung (Mu’ayyid)
Tahapan Pendukung adalah tahapan dimana seorang muslim mulai berperan sebagai da’i. Ia mulai membentuk dirinya dengan
kepribadian dai’yah. Mereka yang berada pada tahapan ini disebut dengan Anggota Muda. Materi-materi yang diberikan mulai
mengarah pada materi-materi dakwah dan kejama’ahan.
3. Tahapan Keterkaitan (Muntasib)
Setelah terbentuk kepribadin da’iyah, mulailah aktivis dakwah tersebut diajak untuk terikat dengan jama’ah. Anggota pada
tahapan ini dituntut untuk sami’na wa atho’na (dengar dan taat) kepada qiyadah (pemimpin) jama’ah. Mereka yang berada
pada tahapan ini disebut dengan Anggota Madya.
4. Tahapan Organisator (Muntadzhim)
Pada tahapan ini, seorang aktivis diharapkan telah menunjukkan kedewasaannya sebagai aktivis dakwah dan jama’ah. Dewasa
dalam berpikir, berperilaku, dan berperasaan. Merekalah tulang punggung jama’ah. Mereka yang berada pada tahapan ini
disebut dengan Anggota Dewasa.
5. Tahapan Pelaksana (‘Amilin)
Tahapan ini adalah tahapan dimana seorang aktivis betul-betul telah mencurahkan waktu dan tenaganya untuk dakwah dan
jama’ah. Mereka menjadi para pelaksana-pelaksana (pengurus) inti jama’ah, yang aktif dan ahli dalam dakwah dan jama’ah.
Anggota pada tahapan ini disebut dengan Anggota Ahli.
6. Tahapan Khusus (Takhasus)
Inilah tahapan tertinggi dalam keanggotaan jama’ah. Hasil dari tarbiyah yang lama dan matang, sehingga mereka yang berada
pada tahapan ini dianggap memiliki kekhususan dalam ilmu dan pengalaman. Mereka disebut dengan Anggota Purna.
Ada juga mereka yang disebut sebagai simpatisan, yakni orang yang simpatik pada dakwah yang dibawa oleh para aktivis
dakwah, tapi belum mengikuti halaqah (tarbiyah) secara mapan.
Perlu dipahami juga bahwa anggota yang berada pada tahapan 1 dan 2 pada tahapan tarbiyah disebut juga dengan kader.
Sedang tahapan 3 ke atas, anggotanya disebut juga dengan kader inti.

[Yang penting bukan mengejar tahapan tarbiyah, tapi tahapan keimanan kita di hadapan Allah]

15. Pengertian halaqah dan tarbiyah


Apakah sama pengertian halaqah dengan tarbiyah? Jika berbeda, apa perbedaan antara istilah halaqah dan tarbiyah?

Jawab :
Halaqah dan tarbiyah merupakan dua istilah berbeda. Tarbiyah secara harfiah berarti pendidikan. Secara definisi, tarbiyah bisa
disebut sebagai proses belajar untuk merubah perilaku seseorang ke arah yang lebih Islami. Setiap bentuk pendidikan
(keislaman) bisa juga disebut dengan tarbiyah. Tarbiyah bisa dilakukan melalui berbagai sarana, seperti membaca buku Islam,
mendengarkan ceramah Islam di radio, menonton ceramah Islam di TV/VCD, menghadiri seminar, ceramah atau bedah buku
Islam, dan lain-lain. Bisa disimpulkan bahwa tarbiyah memiliki sarana belajar yang banyak dan beragam.
Halaqah berbeda pengertiannya dengan tarbiyah. Halaqah secara harfiah berarti lingkaran. Halaqah adalah sekelompok
orang yang mempelajari Islam secara kontinyu dan dibimbing oleh seorang murobbi (pembimbing/pembina). Halaqah diyakini
sebagai sarana utama tarbiyah. Sebab tanpa halaqah, tarbiyah tidak akan efektif untuk merubah seseorang menjadi
berkepribadian Islam. Sejarah perjalanan tarbiyah yang panjang di berbagai belahan dunia telah membuktikan bahwa halaqah
adalah satu-satunya sarana tarbiyah yang efektif untuk membentuk pribadi muslim yang baik.
Jadi dapat dikatakan bahwa tarbiyah bersifat umum, yakni mencakup segala aktivitas pembelajaran (Islam). Sedang
halaqah merupakan sarana yang terpenting dan utama dari tarbiyah Islamiyah.

[Tanpa halaqah, tarbiyah tak mungkin mampu mengantarkan kita menjadi orang yang sholih]

16. Ciri halaqah yang baik


Sekarang ini banyak terdapat halaqah dari berbagai jama’ah. Halaqah seperti apa yang sebaiknya diikuti?

Jawab :
Memang sekarang ini banyak terdapat halaqah dari berbagai jama’ah dengan sistem (manhaj) yang berbeda-beda. Apapun
sistem halaqah yang diterapkan, paling tidak ada 7 karakteritik halaqah (khoshoishul halaqah) yang baik, yaitu :
1. Orientasi kepada Allah (Robbaniyah)
Halaqah yang baik adalah halaqah yang murobbinya mengajak peserta hanya kepada Allah semata (robbaniyah). “Tidak wajar
bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia;
“Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu
mejadi orang-orang robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (QS. 3 :
39). Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan Nabi untuk mengajak orang hanya berorientasi kepada Allah semata. Tidak
boleh mengajak orang untuk mengabdi kepada Nabi. Hal ini tentu berlaku juga untuk da’i dan murobbi zaman sekarang.
Mereka tidak boleh mengajak peserta halaqah untuk mengabdi atau mengkultuskan murobbi (da’i)nya. Termasuk juga tidak
boleh mengajak peserta untuk mengkultuskan kelompoknya, sehingga peserta menganggap hanya kelompoknya yang benar,
sedang kelompok lainnya sesat.
2. Rutinitas (Istimroriyah)
Halaqah yang baik juga terlihat dari pelaksanannya yang rutin. Artinya, halaqah tersebut berjalan dengan jadwal yang tetap dan
pasti, misalnya sepekan sekali, dua pekan sekali, atau sebulan sekali. Kapanpun waktu pertemuan yang ditetapkan, yang jelas
halaqah harus memiliki jadwal yang rutin, sehingga peserta mendapatkan tarbiyah secara berkesinambungan.
Yang dimaksud rutinitas disini juga berarti halaqah harus diikuti madal hayah (seumur hidup). Tak ada kata berhenti atau
lulus dari halaqah. Bagaimanapun kondisi yang terjadi, halaqah harus tetap berjalan. Mungkin yang berubah hanya sistem dan
murobbinya saja, tapi halaqah sebagai sarana utama tarbiyah harus tetap diikuti oleh peserta halaqah sepanjang hidupnya.
3. Integral (Syamil)
Halaqah yang baik juga halaqah yang murobbinya menyampaikan ajaran Islam secara syamil (menyeluruh). Murobbi tidak
memilah-milah mana ajaran Islam yang disampaikan kepada peserta halaqah. Misalnya, ia hanya mau menyampaikan masalah
akhlak, tapi tidak mau menyampaikan masalah akidah. Ia hanya menyampaikan masalah-masalah ibadah dan akhlak, tapi tidak
mau menyinggung masalah politik. Islam bukanlah ajaran yang parsial (juz’iyah). Islam adalah ajaran yang mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak boleh membatasi ajaran Islam hanya sekedar
aspek tertentu saja. Sebab hal itu bertentangan dengan perintah Allah. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh…” (QS. 2 : 208).
4. Bertahap (Tadaruj)
Halaqah yang baik juga halaqah yang pesertanya mengikuti proses tarbiyah secara bertahap. Kurikulum pengajarannya dibuat
secara bertahap dan berkesinambungan. Hal ini penting diperhatikan sebab tarbiyah Islamiyah yang tidak berlangsung secara
bertahap besar kemungkinan akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap Islam. Pentahapan merupakan sunnatullah (hukum
Allah) di alam semesta ini. Karena itu, sudah sepatutnya tarbiyah Islamiyah juga berlangsung secara bertahap, tidak sekaligus
dan tidak pula acak. “Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu dapat membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian” (QS. 17 : 106).
5. Bersungguh-sungguh (Tajarud)
Halaqah yang baik diselenggarakan dengan sungguh-sungguh. Murobbi bersungguh-sungguh membina dengan mengorbankan
waktu, tenaga dan pikirannya. Begitu pula peserta halaqah. Kesungguhan tersebut juga tampak dari disiplin yang tinggi di
dalam halaqah. Murobbi dan peserta hadir secara rutin dan program berjalan dengan baik. “Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. 29 : 69).
6. Moderat (Wasith)
Ciri selanjutnya dari halaqah yang baik adalah membawa nilai-nilai moderat (pertengahan). Yaitu, nilai-nilai Islam yang tidak
mempersulit dan sebaliknya tidak terlalu menggampangkan orang untuk mengamalkan Islam. Nilai Islam yang tidak terlalu
kaku, tapi sebaliknya juga tidak terlalu longgar. Nilai Islam yang seimbang (tawazun) antara berbagai kebutuhan hidup. Yang
tidak mementingkan satu aspek, tapi mengabaikan aspek lainnya. Nilai Islam yang mementingkan pencapaian sukses duniawi
dan ukhrowi. Bukan nilai Islam yang hanya mementingkan duniawi belaka atau sebaliknya ukhrowi belaka. Islam adalah dien
moderat, seperti firman Allah, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.. ” (QS. 2 :
143).
7. Menghidupkan persaudaraan (ukhuwah)
Halaqah yang baik juga adalah halaqah yang menjunjung tinggi nilai-nilai ukhuwah. Halaqah yang berusaha dengan sungguh-
sungguh mengamalkan ukhuwah Islamiyah. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara…” (QS. 49 ; 10)
Di dalam halaqah tersebut ada proses saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun)
dan saling merasa senasib sepenanggungan (takaful) di antara sesama peserta, juga diantara peserta dengan murobbi. Hal itu
terlihat dari munculnya indikasi ukhuwah yang paling rendah, yaitu sangka baik (husnudzhon), sampai munculnya indikasi
ukhuwah yang paling tinggi, yakni sifat mengutamakan kepentingan orang lain (itsar).
8. Regenerasi (Tausi’ah)
Ciri berikutnya dari halaqah yang baik adalah adanya regenerasi dari halaqah tersebut. Artinya, halaqah tersebut mampu
membina pesertanya untuk menjadi da’i dan murobbi baru yang siap memikul beban dakwah dan membina halaqah-halaqah
baru. Regenerasi mutlak dibutuhkan untuk melanjutkan estafeta dakwah dan tarbiyah, sehingga Islam dapat menyebar ke
seluruh kalangan. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (21 : 107).
Delapan ciri halaqah yang baik di atas sebaiknya dijadikan parameter dalam memilih halaqah yang akan diikuti. Semakin
banyak ciri tersebut terdapat dalam halaqah, maka semakin ideal halaqah tersebut untuk diikuti. Sebaliknya, semakin sedikit
ciri tersebut ada dalam halaqah, maka semakin urgen halaqah tersebut untuk diperbaiki keberadaannya.

[Halaqah yang baik adalah halaqah yang mendekatkan diri kepada Allah, sehingga Anda semakin yakin untuk
menegakkan syari’at Allah di muka bumi]

17. Halaqah sebagai basis dakwah


Mengapa halaqah sering dikatakan sebagai basis dakwah? Apa maksud pernyataan halaqah merupakan basis dakwah?

Jawab :
Halaqah dikatakan sebagai basis dakwah disebabkan tanpa halaqah, dakwah tidak akan berjalan dengan baik. Halaqah
merupakan basis dakwah karena halaqah bukan hanya berfungsi sebagai wadah mempelajari Islam, tapi (yang lebih penting)
merupakan wadah koordinasi dan konsultasi bagi sesama aktivis dakwah. Halaqah ibarat markas bagi tentara. Tempat peserta
melapor dan berkoordinasi dengan murobbinya. Juga tempat ia “beristirahat” untuk menyegarkan dan meluruskan kembali
orientasinya. Fungsi ini tak akan tergantikan dengan wadah apapun.
Karena itu, jika seorang aktivis dakwah aktif berdakwah kemana-mana, tapi ia sering meninggalkan halaqah, maka ia
ibarat tentara yang terus berperang tapi tidak pernah melapor dan menggoordinasikan diri dengan komandannya (murobbinya).
Besar kemungkinan ia akan lebih banyak bergerak secara induvidual (infirodi), tidak lagi bergerak dalam kerangka amal jama’i
(aktivitas bersama). Maka yang terjadi bukan lagi kerja sama, tapi sama-sama kerja. Jika hal itu yang terjadi, maka dakwah
akan kehilangan efektivitasnya. Karena itu, Musthafa Masyhur (seorang ulama dakwah) pernah berkata bahwa tarbiyah
(halaqah) bukanlah segala-galanya, tapi segala-galanya tak mungkin terwujud tanpa tarbiyah (halaqah). Artinya, hanya
dengan halaqah, kita tak mungkin mewujudkan berbagai sasaran dakwah. Tapi tanpa halaqah, sasaran dakwah tak mungkin
terwujud. Sebab sasaran dakwah yang besar itu tak mungkin dikerjakan tanpa kebersamaan (amal jama’i), dan halaqah adalah
sarana yang paling efektif untuk beramal jama’i.
Hal inilah yang menyebabkan halaqah menjadi basis dakwah yang sangat penting bagi keberlangsungan dakwah. Setiap
aktivis dakwah harus menempatkan halaqah sebagai prioritas utama dalam dakwah. Jangan sampai karena kesibukan aktivitas
dakwah di tempat lain, maka halaqah jadi sering ditinggalkan. Justru yang benar sebaliknya, semua aktivitas boleh
ditinggalkan jika hal itu sering mengganggu rutinitas kehadiran dalam halaqah. Inilah yang dimaksud bahwa halaqah
merupakan basis dakwah.
[Halaqah menjadi basis dakwah karena tanpa halaqah, dakwah berubah menjadi acara seremonial belaka]

18. Halaqah sebagai prioritas dakwah


Sampai sejauh mana halaqah menjadi prioritas dakwah? Adakah batas toleransi untuk tidak menghadiri halaqah karena sesuatu
hal?

Jawab :
Pada prinsipnya halaqah harus menjadi prioritas pertama bagi seorang muslim. Bukan hanya proritas pertama dalam aktivitas
dakwahnya, tapi juga prioritas pertama dari seluruh aktivitasnya (bekerja, mengurus keluarga, dan lain-lain). Hal ini
disebabkan:
1. Halaqah merupakan sarana yang paling efektif dalam tarbiyah Islamiyah. Sedang tarbiyah (menuntut ilmu Islam)
merupakan kewajiban setiap muslim yang paling utama. Karena tanpa tarbiyah, tak mungkin seorang muslim bisa beramal
dengan baik. Keberadaan kita untuk menjadi seorang muslim yang baik terkait erat dengan kemauan kita untuk selalu
belajar (tarbiyah).
2. Halaqah adalah sarana amal jama’i yang paling efektif. Kerjasama dalam membangun kejayaan Islam tak bisa efektif
tanpa halaqah. Halaqah telah membuktikan “keampuhannya” untuk menggalang kerjasama. Hal ini telah dibuktikan oleh
berbagai gerakan Islam di seluruh dunia dari masa ke masa. Tanpa adanya halaqah, kerjasama akan rapuh dan seringkali
berlangsung semu. Hal ini dikarenakan sifat egoisme akan muncul. Masing-masig pihak (orang) tidak merasa terikat satu
sama lain. Namun dengan berkumpulnya mereka dalam halaqah, sifat egoisme dapat dikendalikan. Mereka juga lebih
merasa terikat satu sama lain, sehingga konflik dapat diperkecil dan kerjasama dapat ditingkatkan.
3. Halaqah juga merupakan sarana yang efektif untuk saling memberikan nasehat (tausiyah). Nasehat merupakan sendi utama
ajaran Islam. Bahkan Allah menyebut nasehat (amar ma’ruf nahi munkar) sebagai syarat untuk menjadi umat terbaik,
selain iman. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah..” (QS. 3 : 110). Halaqah telah membuktikan keefektivannya
untuk menasehati orang lain dan merubah orang lain ke arah yang lebih baik lagi. Banyak orang yang tidak dapat berubah
melalui berbagai sarana nasehat, tapi dapat berubah karena dinasehati melalui halaqah.
Ketiga hal itu merupakan sebab yang menjadikan halaqah harus diprioritaskan untuk dihadiri setiap muslim, khususnya
bagi aktivis dakwah. Jika seorang aktivis dakwah sering meninggalkan halaqah, maka berbagai manfaat halaqah tersebut tak
akan dirasakannya. Malah besar kemungkinan ia akan mudah tergelincir (inshilah) dari jalan dakwah tanpa disadarinya,
sehingga orientasinya tak lagi ikhlas, metodenya tak lagi benar, dan tujuannya tak lagi mencari ridho Allah.
Sejarah panjang perjalanan halaqah telah membuktikan bahwa tergelincirnya seseorang dari jalan dakwah sebagian besar
berawal dari tidak rutinnya ia mengikuti halaqah. Sebaliknya, orang yang rutin menghadiri halaqah akan lebih mudah
“diselamatkan” untuk tidak tergelincir dari jalan dakwah.
Jadi, pada prinsipnya kehadiran dalam halaqah harus menjadi prioritas pertama sebelum seseorang mengikuti berbagai
aktivitas lainnya, termasuk aktivitas dakwah di tempat lain.
Namun segala sesuatu tentu memiliki rukshoh (keringanan). Begitupun halaqah. Walau ia merupakan prioritas utama
dalam aktivitas, tapi ada toleransi yang menyebabkan seseorang boleh tidak menghadiri halaqah, yakni jika ada uzur syar’i
(halangan sesuai syar’i), seperti :
1. Ada tugas dakwah dari murobbi atau dari struktur jama’ah.
2. Ada aktivitas dakwah yang sifatnya pribadi dan tak bisa ditinggalkan karena menyangkut kepentingan banyak orang.
3. Ada aktivitas non dakwah, seperti pekerjaan di kantor, persiapan ujian, atau mengurus keluarga, yang jika ditinggalkan
akan berdampak buruk bagi orang tersebut atau bagi orang lain.
4. Ada halangan mendadak yang tidak dipredeksikan sebelumnya, seperti sakit, kecelakaan, hujan deras, dan lain-lain.
Dalam prakteknya, peserta harus meminta izin (bukan sekedar memberitahukan) kepada murobbi atas ketidakhadirannya
pada halaqah. Hal ini untuk mencegah penafsiran sepihak, sehingga peserta terlalu meringan-ringankan atau sebaliknya terlalu
memberat-beratkan uzur syar’i tersebut. Jadi tidak diputuskan sepihak oleh peserta halaqah, namun perlu menyertakan
pertimbangan murobbi.
Perlu juga dipahami bahwa uzur syar’i di atas hanya berlaku sesekali (temporer), tidak sering, apalagi rutin. Jika sering
atau rutin dilakukan, namanya tidak lagi uzur syar’i, tapi memang ada penyakit dakwah yang diidap, seperti kemalasan,
ketidakpahaman, atau kejenuhan.

[Halaqah menjadi prioritas pertama kegiatan seorang muslim karena segalanya berawal dari situ]

19. Membina berdasarkan wilayah


Apa urgensi membina halaqah berdasarkan wilayah? Betulkah kalau kita membina peserta halaqah di luar wilayah kita harus
ditransfer ke halaqah di wilayah tempat tinggal peserta tersebut?

Jawab :
Kita harus membedakan antara dakwah ‘ammah (umum) dengan dakwah khossoh (khusus). Dakwah ‘ammah, seperti
melakukan ceramah, seminar, dan lain-lain, dapat dilakukan dimana saja. Tidak tergantung pada wilayah tempat tinggal kita.
Prinsip dakwah ‘ammah adalah mabda’ furshoh (berdasarkan peluang). Dimana ada peluang disitulah kita berdakwah. Hal ini
berbeda dengan dakwah khossoh. Dalam tataran dakwah khossoh (membina halaqah), perlu diprioritaskan dakwah berdasarkan
wilayah. Artinya, dimana kita bertempat tinggal disitulah kita halaqah. Jadi murobbi dan peserta halaqahnya berada pada
wilayah tempat tinggal yang sama.
Ada beberapa alasan mengapa murobbi dan peserta halaqah sebaiknya berada pada wilayah yang sama (tempat tinggalnya
berdekatan), antara lain:
1. Mempermudah komunikasi dan koordinasi antara murobbi dengan peserta halaqah atau antar peserta halaqah itu
sendiri.
2. Mempermudah interaksi dan kerjasama (amal jama’i) antara murobbi dengan peserta halaqah atau antar peserta
halaqah itu sendiri.
3. Memungkinkan terjadinya interaksi dan kerjasama (amal jama’i) dengan halaqah-halaqah lain di wilayah yang
sama.
4. Membuat penataan jama’ah lebih solid dan mudah dikoordinasikan karena anggotanya (peserta halaqah) berada
pada wilayah yang sama.
5. Menghindari dakwah yang eksklusif dan menumbuhkan dakwah yang inklusif, yaitu dakwah yang menyebar
kepada masyarakat dimana aktivis dakwah tersebut bertempat tinggal.
6. Mempercepat penyebaran informasi dan penyelesaian masalah karena pemimpin jama’ah tingkat wilayah berada
pada wilayah yang sama.
Karena berbagai alasan tersebut, maka sebaiknya halaqah ditata sesuai dengan wilayah tempat tinggal masing-masing,
sehingga terjadi efisiensi dan efektifitas kerja jama’ah.
Namun penataan halaqah berdasarkan wilayah dapat diabaikan jika ada beberapa pertimbangan berikut ini :
1. Tingkat pemahaman peserta masih pemula. Semakin rendah tahapan tarbiyah seorang peserta, maka biasanya mereka
masih berfigur kepada sosok murobbi. Dikhawatirkan kalau langsung ditransfer ke wilayah tempat tinggalnya, maka
mereka belum tentu mau mengikuti halaqah dengan murobbi baru yang tidak dikenalnya. Nanti setelah tahapan
tarbiyahnya makin tinggi, maka peserta harus mengikuti aturan penempatan berdasarkan wilayah tempat tinggal.
2. Ada kebutuhan dakwah untuk membentuk halaqah dengan misi khusus yang anggotanya adalah orang-orang dengan
kapabilitas tertentu. Jika untuk mewujudkan halaqah khusus tersebut perlu mengambil anggota dari berbagai wilayah,
maka penataan halaqah berdasarkan wilayah dapat diabaikan.
Perlu juga dipahami bahwa yang dimaksud wilayah disini adalah relatif. Tergantung dari jama’ah tersebut membagi wilayah
dakwahnya. Biasanya semakin banyak anggota jama’ah, maka semakin banyak pembagian wilayahnya.

[Berdakwah berdasarkan wilayah berarti berdakwah dimanapun kita berada]

20. Mensikapi perbedaan mazhab


Bagaimana sikap kita terhadap perbedaan mazhab?

Jawab :
Perbedaan mazhab janganlah dijadikan sebagai hal yang mempersulit kita untuk beramal jama’i, selama mazhab tersebut tetap
berada pada aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Menurut para ulama, ada empat mazhab besar dalam ahlus sunnah wal
jama’ah, yaitu : Mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali. Keempat mazhab tersebut hanya berbeda dalam masalah fiqih
(hukum) yang bersifat furu’ (cabang agama), tapi tidak berbeda dalam masalah aqidah yang bersifat ushul (pokok agama).
Misalnya, masing-masing mazhab berbeda dalam menentukan apakah sholat subuh memakai qunut atau tidak, berbeda dalam
menentukan rakaat sholat tarawih (11 atau 23 raka’at), berbeda dalam menentukan azan sholat jum’at (apakah sekali atau dua
kali), dan masalah furu’ lainnya.
Perbedaan mazhab jangan sampai membuat kita berpecah belah dan sulit bekerja sama. Aktivis dakwah juga jangan terlalu
mempermasalahkan mazhab yang berbeda dari sesama aktivis dakwah lainnya. Sejarah panjang umat Islam telah membuktikan
bahwa perselisihan karena mazhab hanya membuang potensi umat secara sia-sia. Umat menjadi terpecah belah dan
menelantarkan masalah yang lebih besar, seperti kemiskinan, kebodohan, dan pemurtadan yang dilakukan orang-orang kafir,
karena mereka sibuk berdebat tentang mazhab.
Potensi umat yang terbuang sia-sia karena perbedaan mazhab harus diakhiri dan diganti dengan kerjasama (amal jama’i)
dan saling tolong menolong (ta’awun) atas dasar kesamaan aqidah. Suatu hal yang ironi jika ada orang atau kelompok Islam
yang bisa bekerjama dengan non Islam, tapi tidak bisa bekerjsama dengan sesama muslim hanya karena berbeda mazhab. Hal
ini hanya akan melemahkan kekuatan umat dan hanya akan menggembirakan orang-orang yang mempersekutukan Allah.
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah sholat dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi
beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. 30 : 31-32).

[Khilafiyah berbeda dengan bid’ah. Khilafiyah hanyalah perbedaan mazhab dalam fiqih. Bid’ah adalah mendustakan
agama]

21. Menghindari sikap eksklusif


Bagaimana agar peserta halaqah tidak menjadi orang yang ekslusif?
Jawab :
Eksklusif bisa berkonotasi positif dan negatif. Positif, jika yang dimaksud eksklusif adalah menutup diri dari pengaruh negatif
yang datangnya dari pergaulan. Negatif, jika yang dimaksud adalah menutup diri dari pergaulan, karena hanya mau bergaul
dengan orang-orang tertentu saja (sesama ikhwan). Dampaknya, orang tersebut menjadi kurang dikenal oleh lingkungannya.
Sikap eksklusif (yang negatif) perlu dihilangkan dari diri seorang aktivis dakwah, karena sikap ini akan menghambat
penyebaran dakwah. Padahal dakwah harus disebarkan ke seluruh kalangan (menjadi rahmat bagi semesta alam). Disamping
itu, sikap eksklusif juga dapat menimbulkan prasangka negatif dan kesalahpahaman dari lingkungan tentang apa yang dibawa
dan dilakukan oleh sang da’i tersebut.
Untuk menghindari sikap eksklusif dari peserta, Anda sebagai murobbi perlu melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Memberikan kesadaran kepada peserta tentang pentingnya memperkenalkan (mempromosikan) diri di lingkungan masing-
masing sebagai cara untuk mengakselari dakwah.
2. Mengingatkan peserta secara terus menerus tentang dampak buruk dari bersikap ekslusif.
3. Mengingatkan peserta untuk bersikap ramah dan berusaha untuk berani menyapa orang di sekelilingnya lebih dulu, baik
orang yang dikenalnya atau tidak.
4. Membiasakan peserta untuk berkomunikasi terbuka (transparan) selama hal itu memang bukan termasuk amniyah da’wah
(hal yang termasuk keamanan dakwah).
5. Meminta peserta mengikuti pelatihan tentang cara bergaul yang supel.
6. Meminta peserta mempelajari tentang cara Nabi Muhammad saw bergaul. Nabi adalah orang yang pandai bergaul dan
menjauhi sikap eksklusif.

[Sikap eksklusif bisa dihilangkan dengan meyakini bahwa hikmah tentang kebenaran ada dimana-mana]

22. Dakwah kepada orang non muslim


Mengapa sepertinya aktivis dakwah kurang memperhatikan dakwah kepada kelompok non muslim?

Jawab :
Pendapat tersebut tidak betul. Aktivis dakwah juga melakukan dakwah kepada non muslim. Namun khusus di negara-negara
yang sebagian besar penduduknya muslim, dakwah kepada non muslim memang belum menjadi prioritas utama. Hal ini karena
berdakwah kepada sesama muslim lebih urgen daripada berdakwah kepada non muslim. Coba Anda bayangkan jika penduduk
sebuah negeri yang mayoritas muslim berhasil didakwahkan dan kembali kepada ajaran Islam. Dampaknya akan jauh lebih
besar daripada berhasil mendakwahkan non muslim yang minoritas di suatu negeri yang penduduknya mayoritas muslim.
Lagi pula mendakwahkan sesama muslim relatif lebih mudah daripada mendakwahkan non muslim. Sebab berdakwah
kepada non muslim lebih banyak perbedaannya daripada persamaannya.
Ada anggapan bahwa berdakwah kepada non muslim perlu dilakukan sebagai counter (perlawanan) terhadap pemurtadan
yang dilakukan non muslim. Alasan ini kurang tepat, karena kalau energi dakwah dihabiskan hanya untuk memberikan
perlawanan kepada pemurtadan, maka ibarat menembak nyamuk dengan bom. Terlalu banyak energi yang dihabiskan untuk
menghadapi pemurtadan. Pemurtadan perlu dihadapi secara proporsional, tapi tidak perlu menjadi prioritas pertama dalam
agenda dakwah. Masih banyak masalah umat yang perlu lebih diproritaskan daripada masalah pemurtadan, yakni masalah
pendidikan (kebodohan), kemiskinan, dan kelemahan akidah kaum muslimin itu sendiri.
Jika dakwah diprioritaskan kepada sesama muslim dengan memperkuat akidah, memberantas kebodohan dan kemiskinan,
maka dengan sendirinya kesadaran tentang bahaya pemurtadan juga akan dimiliki oleh kaum muslimin. Pemurtadan sebenarnya
tak akan efektif jika kaum muslimin mempunyai imunitas (kekebalan) untuk tidak mau dimurtadkan. Karena itulah, maka
dakwah akan lebih efektif bila diarahkan kepada sesama muslim daripada kepada non muslim. Sebab akan menimbulkan
multiplier effect (dampak berganda) kepada kemajuan Islam itu sendiri.
[Upaya pemurtadan dapat dihindari dengan memperkuat iman kaum muslimin]

23. Mengapa murobbi hanya satu?


Apakah boleh jika peserta halaqah mempunyai lebih dari satu murobbi (halaqah)?

Jawab :
Peserta halaqah tidak boleh memiliki lebih dari satu halaqah atau murobbi pada saat yang sama. Peserta halaqah harus
memiliki hanya satu halaqah dengan satu orang murobbi. Hal ini disebabkan salah satu peran murobbi adalah sebagai qiyadah
(pemimpin) dakwah. Jika peserta mempunyai beberapa orang murobbi (qiyadah) maka akan terjadi over lapping (tumpang
tindih) dalam pemberian tugas. Peserta akhirnya akan bingung mana tugas atau perintah yang harus dilaksanakan. Apalagi
kalau tugas itu harus dilaksanakan pada saat bersamaan. Hal ini juga akan mempersulit strukturisasi dalam “bagan organisasi”
jama’ah, karena tidak jelas peserta berada dimana dan bertanggung jawab kepada siapa.
Namun peserta boleh memiliki lebih dari satu murobbi jika :
1. Peserta masih baru dalam halaqah (peserta pemula) dan masih perlu waktu untuk memilih kepada murobbi mana ia perlu
memberikan tsiqoh (kepercayaan) dan ketaatannya.
2. Keberadaan peserta pada halaqah lain hanya menjalankan misi untuk memotivasi peserta di halaqah lain tersebut (hanya
menjadi peserta “titipan”). Ketika halaqah itu sudah dapat berjalan dengan baik, ia tidak boleh lagi berada di halaqah
tersebut.
3. Keikutsertaan dia pada halaqah (murobbi) lain hanya sekedar mengikuti “halaqah khusus” (biasanya disebut dengan
pengajian atau majelis ta’lim), seperti halaqah fiqih, halaqah aqidah, halaqah akhlaq, dan lain-lain. Jadi keberadaan ia
disana hanya untuk menambah tsaqofah (wawasan) saja. “Murobbi” di “halaqah” itu hanya ditempatkannya sebagai
ustadz (guru) saja. Sedang ia memiliki halaqah (murobbi) lain sebagai tempat meletakkan ketaataannya. Murobbi di
halaqah yang lain tersebut yang ditempatkannya sebagai qiyadah (pemimpin) dakwahnya.
Ada anggapan pembatasan peserta hanya boleh memiliki satu murobbi (halaqah) saja akan membuat ia menjadi taqlid buta
dan mengkultuskan murobbinya. Anggapan ini bisa jadi benar jika murobbinya sendiri memang mengajarkan nilai-nilai yang
demikian. Tapi anggapan ini keliru jika murobbinya adalah murobbi sejati. Yaitu murobbi yang betul-betul memahami peran
dan kedudukannya dalam dakwah dan jama’ah. Murobbi yang benar akan mengarahkan peserta untuk tidak taqlid buta dan
mengkultuskannya. Ia malah menganjurkan peserta untuk menambah ilmu sebanyak-banyakya dari berbagai sumber. Namun ia
akan menekankan bahwa dalam masalah kepemimpinan dakwah peserta harus merujuk kepadanya. Karena hal itu, demi
soliditas dakwah dan jama’ah itu sendiri.

[Dimana-mana, kepemimpinan itu mengkerucut pada satu orang. Itulah sebabnya, mengapa murobbi (sebagai
pemimpin dakwah) hanya satu orang]

24. Alasan jumlah peserta dibatasi


Mengapa peserta halaqah dibatasi jumlahnya? Berapa jumlah yang ideal dari peserta halaqah yang perlu saya bina?

Jawab :
Peserta halaqah dibatasi jumlahnya untuk memberi ruang interaksi yang cukup antar murobbi dengan peserta halaqah. Agar
murobbi dapat memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenal dan mengakrabkan diri dengan peserta halaqah, sehingga dari
situ dapat terjalin ukhuwah Islamiyah antara murobbi dengan peserta halaqah.
Jika peserta terlalu banyak maka kesempatan untuk berinteraksi menjadi kurang, sehingga salah satu tujuan halaqah, yaitu
menjalin ukhuwah, jadi sulit terealisir. Hal ini dapat berdampak lebih lanjut kepada sulitnya murobbi untuk memberikan “obat’
yang tepat kepada “penyakit” mad’unya, karena ia tidak mengenal dengan baik peserta halaqahnya. Dampak lebih jauh adalah
semakin sulit bagi murobbi untuk membentuk keperibadian Islami pada diri peserta karena tidak dapat memberikan terapi yang
tepat untuk membentuk kepribadian Islami peserta halaqahnya.
Karena itulah, peserta halaqah perlu dibatasi jumlahnya. Jumlah yang ideal adalah tidak lebih dari 12 orang. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa jumlah peserta yang lebih dari 12 orang akan cukup menyulitkan bagi murobbi untuk berinteraksi
secara akrab dengan peserta halaqahnya. Selain itu, juga karena alasan historis. Nabi Isa as ketika membina hawariyyun
(pengikut setia) berjumlah 12 orang. Nabi Muhammad saw ketika melakukan bai’atul aqabah I kepada sahabat utamanya juga
berjumlah 12 orang.

[Pembatasan jumlah peserta halaqah bukan untuk eksklusifitas, tapi untuk mempermudah interaksi dalam rangka
mewujudkan ukhuwah Islamiyah]

BAB II

PROBLEM SISTEM

25. Merekrut mad’u yang berlawanan jenis


Jika saya pria, bolehkah saya merekrut peserta (mad’u) wanita?

Jawab :
Pada dasarnya setiap orang boleh mendakwahi dan merekrut siapa saja, termasuk merekrut orang berbeda jenis kelaminnya
dengannya. Laki-laki boleh merekrut perempuan, sebaliknya perempuan boleh merekrut laki-laki.
Namun ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika seorang da’i ingin merekrut lawan jenis :
1. Dakwah yang dilakukan harus ikhlas karena Allah semata. Bukan karena ada “uang di balik batu”, misalnya merekrut
karena untuk mencari pacar (bakal isteri).
2. Pendekatan yang dilakukan harus tetap memperhatikan rambu-rambu syar’i, seperti tidak sering menatap, tidak
menyentuh, tidak berdua-duaan di tempat sepi dan tidak menggunakan kata-kata yang bisa ditafsirkan lain (misalnya
merayu).
3. Harus betul-betul dijaga kebersihan hati. Jangan sampai di tengah jalan ada maksud yang berubah, tidak lagi ikhlas karena
Allah.
4. Tidak boleh ada keakraban yang sifatnya sangat pribadi, sehingga dapat menimbulkan harapan berlebih dari masing-
masing pihak atau dari salah satu pihak (seperti pacaran atau perjodohan).
5. Jika mad’u yang berlawanan jenis tersebut sudah siap untuk mengikuti tarbiyah (halaqah), tindak lanjutnya harus
diserahkan kepada sesama jenis. Jika mad’u laki-laki diserahkan tindak lanjutnya kepada ikhwan. Jika mad’u perempuan
diserahkan tindak lanjutnya kepada akhwat. Jangan sampai tarbiyah yang lebih intensif (halaqah) diserahkan kepada lawan
jenis, karena dapat membuka peluang fitnah dan zina dalam pengertian yang luas.
Semua adab ini perlu dijaga agar dakwah tetap bersih dan mulia. Tidak dikotori oleh niat yang jauh dari ridho Allah.
Dakwah adalah pekerjaan mulia, sehingga perlu dilakukan dengan niat yang mulia pula (ikhlas).
Ada beberapa kasus yang membuktikan bahwa ketidakhati-hatian dalam menjaga adab di atas akan membuat sang da’i dan
mad’u tergelincir dari jalan Allah. Niat mereka yang semula ikhlas tergoda oleh bujuk rayu syetan. Mereka tergoda untuk
berhubungan lebih jauh (pacaran) dan juga berzina dalam pengertian yang luas. Nau’dzubillah min dzalik. Rasulullah saw
bersabda, “Bagi anak Adam (manusia) telah ditentukan bagian zinanya yang mana ia pasti mengerjakannya. Zina kedua mata
adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah berbicara, zina tangan adalah memukul, zina kaki
adalah berjalan, serta zina hati adalah bernafsu dan berangan-angan; yang semuanya itu dibuktikan atau tidak dibuktikan
oleh kemaluannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
.
[Motivasi dakwah harus ikhlas karena Allah semata, bukan karena kasihan atau sayang dengan orang yang didakwahi]

26. Membina peserta yang berlawanan jenis


Bolehkan saya membina peserta halaqah yang wanita, padahal saya pria? Sebaliknya, bolehkah seorang wanita membina
peserta halaqah laki-laki?

Jawab :
Membina peserta yang berlawanan jenis dikhawatirkan akan mengotori niat. Niat tidak lagi ikhlas, tapi berbelok pada pamrih
tertentu. Pamrih yang lebih sering muncul adalah munculnya rasa tertarik (cinta) antara pribadi peserta tertentu terhadap
murobbinya atau sebaliknya. Rasa tertarik itu muncul karena interaksi yang rutin dalam pertemuan halaqah. Apalagi jika di
antara peserta ada yang suka “curhat” kepada murobbinya. Besar kemungkinan akan menimbulkan “gesekan hati” yang
berdampak pada ketertarikan satu sama lain atau salah satu pihak.
Ketertarikan satu sama lain atau salah satu pihak akan berdampak pada munculnya kekotoran hati. Pikiran dan tindakan tak
lagi ikhlas karena Allah, tapi pamrih kepada orang yang ditaksirnya, sehingga dakwahnya tak lagi berharga di mata Allah.
Bahkan mereka mungkin akan terjerumus kepada perbuatan maksiat.
Karena itu, membina lawan jenis harus dihindari sebisa mungkin. Karena Allah menyuruh kita bersikap prefentif untuk
tidak mendekati zina, apalagi sampai berzina. “Dan janganlah kamu mendekati zina..” (QS. 29 : ….).
Membina lawan jenis (murobbi laki-laki membina peserta wanita atau murobbi wanita membina peserta laki-laki) hanya
boleh dilakukan dalam kondisi darurat, yakni ketika tidak ada murobbi/murobbiyah yang sama jenis kelaminnya dengan peserta
halaqah. Hal ini mungkin dapat terjadi di daerah-daerah rintisan dakwah. Inipun hanya dapat ditolerir jika murobbi yang
memegang peserta berlainan jenis tersebut dipandang cukup mampu menjaga hatinya. Sebaiknya, yang menangani peserta
berlainan jenis tersebut adalah murobbi yang telah menikah. Karena mereka relatif lebih mampu menjaga hati daripada
murobbi yang masih bujangan/gadis.
Karena sifatnya darurat, pembinaan dengan murobbi yang berlainan jenis hanya bersifat sementara. Perlu diupayakan agar
secepatnya mencari atau mengkader tenaga murobbi baru yang jenis kelaminnya sama dengan peserta halaqah. Setelah ada,
maka secepat mungkin peserta halaqah harus diserahkan kepada murobbi baru untuk dilanjutkan proses tarbiyahnya. Tidak
boleh ada keberatan sedikitpun dalam mentransfer. Termasuk keberatan kalau ditangani murobbi baru, pembinaan akan berjalan
kurang baik. Atau keberatan karena telah adanya hubungan yang akrab antara murobbi yang berlainan jenis tersebut dengan
peserta halaqah. Semua keberatan tersebut harus diabaikan demi menjaga agar pembinaan (tarbiyah) dapat berjalan dalam
kebersihan hati.

[Membina membutuhkan kebersihan hati. Itulah sebabnya, kita seyogyanya tidak membina orang yang berlainan
jenis]

27. Tidak halaqah, tapi membina halaqah


Apa yang perlu saya lakukan jika peserta masih membina halaqah padahal ia sendiri tidak lagi halaqah?

Jawab :
Peserta yang masih membina halaqah padahal ia sendiri tidak lagi halaqah dapat berdampak pada :
1. Pembinaan yang tidak jelas manhajnya (metode/kurikulumnya). Manhaj pembinaan diberikan secara estafeta. Jika peserta
tak lagi halaqah, ia tidak lagi mendapatkan manhaj pembinaan yang sistematis dan aktual. Jika ia memegang halaqah,
maka peserta “terputus” mendapatkan manhaj pembinaan dari jama’ah. Ia hanya mendapatkan “manhaj” pembinaan dari
pribadi murobbinya. Padahal halaqah adalah sarana pembinaan jama’ah terhadap anggotanya, bukan milik pribadi sang
murobbi. Akibatnya, hasil pembinaannya tak lagi dapat dipertanggungjawabkan secara kejama’ahan.
2. Amal jama’i dalam skala jama’ah akan terputus karena halaqah tak punya hubungan lagi dengan jama’ah. Semua kegiatan
dari halaqah tersebut tak lagi dapat dipantau dan dipertanggungjawabkan oleh jama’ah. Halaqah tersebut tidak lagi
merupakan bagian dari jama’ah.
3. Citra jama’ah yang negatif. Hal ini dapat terjadi jika peserta yang tidak lagi halaqah tersebut membina peserta di
bawahnya atas nama jama’ah. Kemudian ia membuat “manhaj” hasil pemikirannya sendiri yang bertentangan dengan
manhaj jama’ah. Jika manhaj hasil pemikirannya itu berdampak buruk bagi pembinaan maka yang cemar adalah nama
jama’ah. Padahal jama’ah tidak bertanggung jawab lagi atas perbuatannya.
Karena berbagai dampak negatif tersebut, peserta yang tidak lagi halaqah tidak boleh memegang halaqah di bawahnya. Ia
harus melepaskan halaqah di bawahnya.
Bagaimana jika ia tidak mau melepaskannya? Sebagai murobbi, Anda perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memberi penjelasan kepada peserta yang masih memegang halaqah tersebut agar mau mengikuti halaqah kembali.
Jelaskan bahwa halaqah yang dibinanya “terputus” jika ia tidak halaqah lagi. Penjelasan ini bisa saja tidak dilakukan oleh
Anda, tapi oleh ikhwah lain yang dekat kepadanya.
2. Jika ia tetap tidak mau halaqah lagi, minta ia agar mau melepaskan binaannya dan menyerahkannya kepada murobbi lain.
3. Jika ia tidak mau menyerahkan binaannya, Anda boleh menarik binaannya secara diam-diam tanpa sepengetahuannya.
Lakukan pendekatan kepada binaannya dan jelaskan posisi pembinaan sekarang yang “terputus” karena murobbinya tidak
lagi halaqah. Minta mereka agar mau pindah ke halaqah lain. Jika mereka mau, maka segera ditransfer ke halaqah lain.
Namun jika mereka tidak mau dipindahkan karena masih berfigur pada murobbinya, maka jangan dipaksa untuk
dipindahkan ke halaqah lain.

[Halaqah adalah struktur terkecil jama’ah. Jika murobbi tidak lagi halaqah, maka halaqah yang dibinanya terputus
dari struktur jama’ah]

28. Penggabungan halaqah


Saya memiliki tiga halaqah yang ingin saya gabungkan. Apa saja kriteria yang perlu saya perhatikan dalam menggabungkan
halaqah-halaqah tersebut?

Jawab :
Penggabungan halaqah kadangkala perlu dilakukan dalam rangka efisiensi tenaga dan waktu murobbi. Juga untuk
mengefektifkan amal jama’i (kerjasama) di antara peserta, karena jumlah peserta di masing-masing halaqah terlalu sedikit.
Penggabungan halaqah dapat dilakukan di antara halaqah yang dipegang oleh seorang murobbi atau di antara halaqah
yang dipegang oleh murobbi yang berbeda. Kriteria yang perlu diperhatikan dalam menggabungkan halaqah adalah :
1. Apakah jumlah pesertanya tidak terlalu banyak (misalnya lebih dari 12 orang) yang dapat berdampak pada sulitnya
interaksi dan koordinasi antara murobbi dengan peserta.
2. Apakah tingkat pemahaman (marhalah tarbiyah) dari peserta yang akan digabung relatif sama atau tidak.
3. Apakah tempat tinggal peserta yang akan digabung relatif berdekatan atau tidak.
4. Apakah latar belakang usia, status, pendidikan, sosial dan ekonomi peserta yang akan digabung relatif sama atau tidak.
5. Apakah potensi atau keterampilan peserta yang akan digabung relatif sama atau tidak.
6. Apakah lahan dakwah peserta yang akan digabung relatif sama atau tidak.
Jika jawaban dari enam pertanyaan di atas kebanyakan adalah “ya” maka peserta layak digabung, tapi jika kebanyakan dari
pertanyaan di atas jawabannya adalah “tidak”, sebaiknya mereka tidak digabung. Karena jika digabung dapat menimbulkan
hambatan dalam amal jama’i di antara mereka.
Perlu juga dipahami, semakin ke bawah enam pertanyaan di atas semakin berkurang bobotnya. Artinya, semakin ke bawah
semakin boleh untuk diabaikan dalam pertimbangan penggabungan halaqah. Sebaliknya, semakin ke atas semakin harus
dipertimbangkan dalam penggabungan halaqah.
Jika penggabungan itu terjadi dengan murobbi lain, maka sebaiknya halaqah hasil penggabungan tersebut ditangani oleh
murobbi yang dianggap lebih memiliki kemauan, kemampuan dan kesempatan untuk membina halaqah secara serius.

[Pertimbangan tentang tingkat pemahaman peserta perlu dijadikan prioritas utama dalam penggabungan halaqah]

29. Mendelegasikan pengisian halaqah pada murobbi lain untuk sementara waktu
Jika saya sibuk, bolehkah saya mendelegasikan untuk sementara waktu pengisian halaqah yang saya bina kepada murobbi lain?

Jawab :
Mendelegasikan untuk sementara waktu pengisian halaqah kepada murobbi lain diperbolehkan sepanjang memenuhi beberapa
faktor berikut:
1. Adanya uzur syar’i yang memaksa murobbi berhalangan hadir, misalnya sakit berkepanjangan atau pergi ke luar
kota/negeri untuk suatu tugas/keperluan yang penting. Jika karena alasan yang tidak syar’i, misalnya kesibukan yang tidak
jelas kepentingannya, malas, atau jenuh, maka hal itu belum layak untuk dijadikan alasan mendelegasikan untuk sementara
waktu pengisian halaqah kepada murobbi lain.
2. Adanya kesepakatan dengan murobbi yang didelegasikan tentang berapa lama waktu penggantiannya. Kesepakatan ini
penting agar murobbi yang didelegasikan dapat merancang program dan materi yang akan diberikan kepada peserta. Selain
itu agar pengembalian halaqah pada saat yang ditentukan berlangsung secara mulus, tanpa ada keinginan dari salah satu
pihak untuk menunda-nunda pengembalian halaqah kepada murobbi semula.
3. Waktu penggantiannya tidak terlalu lama (idealnya tidak lebih dari enam bulan). Jika terlalu lama, sebaiknya langsung
ditransfer saja kepada murobbi yang didelegasikan (jadi terjadi penggantian murobbi). Hal ini agar suasana halaqah tidak
terlalu lama berada dalam kondisi “transisi”. Kondisi “transisi” akan menyebabkan kurangnya kesungguhan dari murobbi
pengganti maupun peserta untuk berinteraksi secara serius di antara mereka.
4. Murobbi memberitahukan tentang penggantiannya yang sementara waktu kepada peserta halaqah. Sebab jika tidak
diberitahukan kepada peserta, maka rasa tsiqoh (percaya) dan hormat peserta kepada murobbi pengganti akan kurang.
Bahkan mungkin mereka berprasangka buruk dengan penggantian itu.
5. Murobbi memberitahukan tentang apa yang sebaiknya diberikan/dilakukan oleh murobbi pengganti selama ia mengisi
halaqah tersebut untuk sementara waktu.
Mengenai berapa lama waktu yang paling cepat untuk pendelegasian sementara waktu, maka hal ini terkait dengan tingkat
pemahaman (marhalah) peserta. Untuk peserta pemula, sebaiknya pendelegasian perlu segera dilakukan jika murobbi tidak
dapat hadir walau hanya dalam satu kali pertemuan. Hal ini karena peserta pemula belum solid. Jika mereka sudah ditinggalkan
murobbi walau hanya untuk satu kali pertemuan, maka bisa berdampak pada kehadiran mereka yang semakin melemah dalam
pertemuan selanjutnya.
Namun untuk halaqah yang sudah berlangsung lama (lebih dari satu tahun), pendelegasian tidak perlu terlalu cepat. Jika
murobbi berhalangan hadir sampai dengan sebulan, sebaiknya jangan langsung didelegasikan kepada murobbi lain. Biarkan
peserta berkumpul tanpa murobbi agar mereka belajar mandiri. Kalau perlu murobbi memberikan tugas kepada peserta agar
tetap berkumpul selama murobbi tidak hadir.

[Halaqah yang untuk sementara waktu didelegasikan penanganannya kepada murobbi lain tetap menjadi tanggung
jawab murobbi yang mendelegasikan]

30. Aktif di organisasi, tapi kurang aktif di halaqah


Bagaimana sikap saya terhadap peserta yang kurang aktif (jarang hadir) di halaqah, tapi aktif di organisasi atau lahan dakwah
yang ia tangani?

Jawab :
Peserta yang jarang hadir di halaqah, tapi aktif di organisasi atau lahan dakwah yang ditanganinya menunjukkan
ketidakpahamannya terhadap halaqah sebagai prioritas dakwah. Halaqah adalah basis dakwah, sehingga harus diprioritaskan
untuk dihadiri lebih dari aktivitas dakwah manapun. Kecuali jika kesibukan di lahan dakwah tersebut merupakan tugas dari
struktur jama’ah. Itupun hanya dapat ditolerir sesekali saja (tidak terus menerus meninggalkan halaqah).
Sebagai murobbi, Anda harus menjelaskan kepadanya tentang kedudukan halaqah yang perlu diprioritaskan dalam
dakwah. Halaqah perlu diprioritaskan kehadirannya karena ia merupakan tempat pembinaan diri. Membina diri harus lebih
diutamakan daripada membina orang lain (aktif berdakwah di suatu lahan dakwah). Allah berfirman : “Mengapa kamu suruh
orang lain (mengerjakan kebajikan, sedang kamu melupakan (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka
tidakkah kamu berpikir?” (QS. 2 : 44). Dengan aktif di lahan dakwah tapi jarang hadir di halaqah, lama kelamaan aktivis
tersebut akan kering hatinya. Orientasinya juga bisa berubah. Amalnya mungkin tak lagi sesuai syar’i. Bahkan mungkin ia juga
mengalami futur (lemah semangat) yang dapat membuatnya lari kepada hal-hal yang dilarang Allah SWT. Hal ini karena ia
sibuk mengurus orang lain, tapi lupa membenahi diri sendiri.
Halaqah juga merupakan tempat konsolidasi dakwah. Suatu hal yang riskan jika aktivis sibuk di lahan dakwahnya masing-
masing, tapi mereka jarang melakukan konsolidasi dakwah karena jarang datang ke halaqah. Mereka akhirnya akan sama-sama
kerja tapi tidak bekerja sama.
Halaqah juga tempat menyalurkan kebutuhan ukhuwah para aktivis. Dengan berhalaqah secara rutin, kebutuhan akan
pergaulan yang akrab berlandaskan kasih sayang akan tersalurkan dengan baik. Sedang aktivis yang jarang hadir dalam
halaqah akan sulit merasakan ukhuwah yang sesungguhnya.
Berbagai alasan tentang pentingnya kedudukan halaqah dalam dakwah perlu Anda sampaikan agar peserta
memprioritaskan kehadirannya dalam halaqah. Kalau perlu, Anda dapat memintanya untuk mengurangi aktivitas dakwah di
tempat lain agar ia dapat hadir ke halaqah secara rutin.
Namun, jika setelah diberikan penjelasan tentang pentingnya memprioritaskan halaqah ternyata ia masih lebih
memprioritaskan aktivitas dakwah di tempat lain, maka Anda dapat menyimpulkan (untuk sementara waktu) bahwa ia belum
paham tentang prioritas dakwah. Anda dapat menjadikan hal itu sebagai bahan evaluasi perkembangan tarbiyahnya.

[Kehadiran dalam halaqah harus lebih diprioritaskan daripada kehadiran dalam aktivitas lain, karena aktivitas
membenahi diri lebih utama daripada aktivitas apapun]

31. Hubungan antara murobbi dengan peserta kaku dan formal


Bagaimana agar hubungan seorang murobbi dengan peserta tidak berjalan secara kaku dan formal?
Jawab :
Hubungan antara murobbi dengan peserta halaqah sebaikya jangan terlalu formal dan kaku, tapi juga jangan terlalu informal.
Terlalu formal dapat menyebabkan hubungan yang kurang akrab dan kurang terbuka, sehingga akhirnya sulit bagi kedua belah
pihak untuk memahami kebutuhan masing-masing. Murobbi juga kurang dapat memecahkan masalah peserta secara tepat,
karena peserta tidak terbuka kepadanya.
Namun hubungan yang terlalu informal dan terlalu akrab juga kurang baik. Karena dapat membuat murobbi kehilangan
wibawa dan kharismanya. Peserta juga tidak dapat menempatkan murobbinya dengaan tepat karena saking akrabnya. Peran
murobbi sebagai qiyadah (pemimpin) dan ustadz (guru) akan sulit dijalankan jika murobbi terlalu akrab dengan binaannya.
Yang terbaik adalah hubungan yang ada di antara keduanya, tidak terlalu akrab tapi juga tidak terlalu kaku. Hubungan ini
tetap dapat menjaga wibawa murobbi dan tetap memberi peluang kepada peserta untuk bersikap terbuka kepada murobbinya.
Jika hubungan Anda sebagai murobbi dengan seluruh atau sebagian peserta terlalu formal dan kaku, maka yang perlu Anda
lakukan untuk mencairkan hubungan adalah:
1. Bersikap ramah dan murah senyum
2. Bertekad untuk berkomunikasi lebih terbuka, misalnya dengan terlebih dahulu menceritakan dirinya, menyampaikan
perasaannya, menyampaikan pendapat dengan lebih lugas, dan lain-lain.
3. Berinisiatif untuk membuka percakapan lebih dahulu, misalnya dengan mulai menyapa terlebih dahulu, menanyakan kabar
peserta terlebih dahulu, menelpon peserta, dan lain-lain.
4. Berusaha untuk berkomunikasi yang lebih mendalam dan tidak sekedar basa-basi.
5. Membuat dan memperbanyak acara yang sifatnya santai dan informal, baik di dalam halaqah maupun di luar halaqah.
6. Tidak terlalu bersifat posesif (membela diri) terhadap kritikan dari peserta.
7. Meningkatkan kemampuan sense of humour.
8. Sering menyalami/memeluk peserta ketika berjumpa serta menyentuh peserta ketika berbicara dengannya.
9. Jangan terlalu sering menggurui atau mendikte peserta.
10. Jangan terlalu kelihatan “super” di mata peserta, terutama dalam hal kepandaian. Sesekali perlu juga untuk menunjukkan
sisi ketidaktahuan dan “kesalahan” yang manusiawi.
11. Jangan terlalu gengsi untuk sesekali menunjukkan rasa butuh kepada peserta dengan meminta bantuan secara ekspilisit
kepada peserta.
12. Sesekali perlu juga berpakaian yang informal (kaos atau kemeja santai). Jangan terus menerus berpakaian formal (baju
koko, kemeja, peci, sorban, dan lain-lain) di hadapan peserta.

[Hubungan yang kaku antara murobbi dengan peserta akan mempersulit mereka untuk saling memahami]

32. Peserta cuma satu orang


Bagaimana kalau peserta halaqah yang saya bina hanya tinggal satu orang?

Jawab :
1. Jika peserta hanya ada satu orang, perjalanan halaqah menjadi kurang efektif. Mengapa kurang efektif? Karena salah satu
tujuan halaqah adalah membentuk amal jama’i (ukhuwah Islamiyah). Peserta yang hanya satu orang meniadakan
terwujudnya amal jama’i di antara peserta halaqah. Peserta yang tidak mengalami suasana amal jama’i dalam halaqah
kemungkinan akan berdampak pada munculnya sifat egois, karena ia tidak pernah belajar untuk memahami dan mengalah
terhadap pendapat orang lain. Juga kurangnya pengalaman beramal jama’i yang berdampak pada kurangnya pengalaman
memimpin dan dipimpin, berkomunikasi secara efektif, mengatasi konflik, mempercayai orang lain, mengarahkan dan
memotivasi orang lain, serta berbagai manfaat lain dari beramal jama’i. Padahal halaqah berkepentingan untuk
membentuk para da’i yang terampil beramal jama’i. Bukan da’i yang hanya pandai bicara, tapi tidak pandai beramal
jama’i. Sebab dakwah yang ingin dibentuk adalah dakwah yang beramal jama’i, bukan dakwah yang induvidual
(infirodiyah). Hal inilah yang menjadi salah satu tujuan halaqah, yaitu membentuk da’i berkarakter amal jama’i. Betapa
banyak orang yang pandai berdakwah, tapi tidak pandai berdakwah dalam kerangka amal jama’i. Karena itu, membina
peserta halaqah hanya satu orang sebaiknya dihindari. Kalaupun ingin ditangani juga, maka waktunya hanya sementara.
Untuk menunggu dikelompokkan dengan peserta halaqah lainnya. Namun jika telah sekian lama murobbi tak bisa mencari
“partner” bagi peserta yang seorang itu, sebaiknya ia ditransfer kepada murobbi lain yang memiliki halaqah dengan lebih
dari satu orang peserta.

[Halaqah berkepentingan itu membentuk da’i berkarakter amal jama’i, bukan da’i berkarakter egois dan sulit
bekerjasama]

33. Mabit atau rihlah tidak dijalankan


Bolehkah mabit atau rihlah tidak dijalankan? Sampai sejauh mana batas toleransinya sehingga program mabit/rihlah boleh
tidak dijalankan?

Jawab :
Mabit adalah menginap di suatu tempat untuk melakukan ibadah qiyamul lail bersama-sama. Sedang rihlah adalah rekreasi
(refreshing) yang bersifat positif dalam rangka menghilangkan kejenuhan dan mempererat ukhuwah. Kedua program tersebut
merupakan program penunjang dari halaqah. Namun walau program penunjang, mabit dan rihlah sangat penting diadakan
untuk mewujudkan tujuan halaqah. Hal ini karena mabit dan rihlah memiliki keistimewaan yang sulit tergantikan dengan
kegiatan lain. Mabit memiliki keistimewaan dalam menstimulus bangkitnya ruhiyah peserta. Sedang rihlah memiliki
keistimewaan untuk mewujudkan ukhuwah di antara anggota halaqah dan menghilangkan kejenuhan.
Meniadakan atau menunda terus menerus program mabit/rihlah kemungkinan besar berdampak pada :
1. Turunnya tingkat ruhiyah peserta dan murobbi.
2. Turunnya semangat ukhuwah di antara anggota halaqah.
3. Turunnya semangat kerja sama (amal jama’i) peserta halaqah.
4. Meningkatnya kejenuhan, terutama kejenuhan untuk menghadiri halaqah.
Karena dampak negatif dari meninggalkan mabit/rihlah cukup besar, maka program mabit dan rihlah harus tetap
dijalankan, baik itu di tingkat halaqah pemula maupun lanjutan. Jangan karena alasan kesibukan murobbi maupun peserta,
mabit/rihlah jadi terbengkalai untuk diadakan.
Sebaiknya mabit dijalankan sebulan atau dua bulan sekali. Sedang rihlah sebaiknya diadakan 6 bulan atau setahun sekali.
Khusus untuk mabit, jika sulit menyediakan waktunya dapat digabung dengan waktu pertemuan halaqah yang langsung
dilanjutkan dengan acara mabit. Namun idealnya, acara mabit (juga rihlah) diadakan tersendiri di luar waktu pertemuan
halaqah.

[Melalaikan program mabit dan rihlah berarti mempersiapkan halaqah untuk tidak mencapai tujuannya]

34. Halaqah berlangsung terlalu lama (lebih dari 10 tahun)


Adakah batasan lamanya usia halaqah untuk tahapan tarbiyah tertentu? Bagaimana jika halaqah berlangsung terlalu lama (lebih
dari 10 tahun)?

Jawab :
Seperti telah dijelaskan pada problema no. 17 (Tahapan Tarbiyah), ada enam tahapan tarbiyah. Tidak ada batasan berapa lama
halaqah untuk tahapan tarbiyah tertentu. Usia halaqah untuk tahapan tarbiyah tertentu tergantung dari tingkat pemahaman dan
interaksi masing-masing peserta terhadap dakwah dan jama’ah. Ada peserta yang cepat perkembangannya, sehingga ia hanya
sebentar pada tahapan tarbiyah tertentu. Tapi ada juga yang lambat perkembangannya, sehingga ia bisa lama berada pada
tahapan tarbiyah tertentu. Bahkan ada yang sampai lebih dari sepuluh tahun berada pada tahapan tarbiyah tertentu.
Idealnya untuk tahapan pertama (Anggota Pemula) dan tahapan kedua (Anggota Muda), halaqah berlangsung tidak lebih
dari tiga tahun untuk masing-masing tahapan. Sedangkan untuk tahapan ketiga dan seterusnya dapat berlangsung lebih lama
dari tiga tahun.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan peserta terlalu lama berada pada tahapan tarbiyah tertentu :
1. Peserta belum mencapai 10 muwashofat (sasaran) tarbiyah yang diharapkan, yaitu aqidah yang bersih (salimul aqidah),
ibadah yang benar (shohihul ibadah), akhlaq yang kokoh (matinul khuluq), penghasilan yang baik dan cukup (qodirul ‘alal
kasbi), pikiran yang berwawasan (mutsafaqul fikr), tubuh yang kuat (qowiyul jism), kemampuan memerangi hawa nafsu
(mujahidu linafsihi), kemampuan mengatur segala urusan (munazhom fi syu’unihi), kemampuan memelihara waktu
(haritsun ‘ala waqtihi), dan bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi).
2. Peserta dipandang belum memberikan kontribusi yang cukup layak bagi jama’ah, baik dalam kontribusi da’wiyah
(dakwah), atau ilmiyah (intelektual), atau fanniyah (keterampilan).
3. Peserta pernah atau sering melakukan kesalahan yang dianggap cukup fatal, seperti pacaran, bermaksiat, melanggar
amniyah, mengabaikan amanah, tidak melapor/memberitahu dalam hal yang penting, dan lain-lain.
4. Peserta belum menunjukkan kedisiplinan dalam melaksanakan tugas, termasuk belum disiplin hadir dalam halaqah.
5. Peserta memiliki masalah pribadi yang cukup berat, seperti masalah dengan isteri/suami, masalah dengan keluarga
besarnya, memiliki utang yang cukup besar, masalah di tempat kerja, dan lain-lain, yang dianggap dapat menghambat
perkembangan dakwahnya.
6. Peserta mempunyai sifat atau akhlaq tercela, seperti suka berbohong, menipu, sombong, egois, pendendam, penakut,
jiwanya labil, dan lain-lain.
Faktor-faktor tersebut dievaluasi oleh murobbi dan ikhwah di sekitarnya. Namun murobbi memiliki peran yang lebih besar
dalam mengevaluasi perkembangan peserta. Hal ini wajar, karena murobbi adalah pembina dari peserta.
Selain karena faktor pesertanya sendiri, terlalu lamanya peserta berada dalam tahapan tarbiyah tertentu bisa juga karena
faktor murobbi dan mekanisme/administrasi tarbiyah di suatu daerah. Beberapa faktor murobbi yang dapat membuat peserta
berada terlalu lama dalam tahapan tarbiyah tertentu, misalnya:
1. Murobbi kurang paham tentang mekanisme tahapan tarbiyah.
2. Murobbi kurang peduli untuk “menaikkan” tahapan tarbiyah peserta halaqahnya.
3. Murobbi terlalu sayang melepaskan peserta halaqahnya (karena “naiknya” tahapan tarbiyah peserta dapat mengakibatkan
peserta tidak lagi dibinanya).
4. Murobbi terlalu sibuk, sehingga tidak sempat mengevaluasi peserta halaqah untuk “kenaikan” tahapan tarbiyahnya.
Sedang faktor mekanisme/administrasi tarbiyah di suatu daerah bisa berupa mekanisme/administrasi yang terlalu berbelit-
belit untuk “kenaikan” tahapan tarbiyah peserta halaqah, kurang seriusnya kerja eleman struktur tarbiyah di daerah tersebut,
kurangnya kepedulian dari pimpinan jama’ah di daerah tersebut terhadap mekanisme “kenaikan” tarbiyah peserta halaqah, dan
lain-lain.
Peserta yang terlalu lama (lebih dari 10 tahun) berada pada tahapan tarbiyah tertentu sebenarnya perlu mendapat perhatian
secara khusus. Artinya, murobbi perlu dibantu oleh ikhwah di sekitarnya untuk mengevaluasi secara obyektif mengapa seorang
peserta terlalu lama berada pada tahapan tarbiyah tertentu. Apakah karena faktor peserta itu sendiri, murobbinya, atau
mekanisme/admistrasinya. Dari evaluasi tersebut baru dicari jalan keluarnya. Misalnya, jika disebabkan peserta itu sendiri,
maka perlu dicari solusi untuk memperbaiki peserta. Jika karena murobbinya, maka murobbi perlu diingatkan. Kalau perlu,
peserta ditransfer ke murobbi lain yang lebih siap untuk memproses “kenaikan” tahapan tarbiyah peserta. Jika karena
mekanisme/administrasinya, maka perlu ada perbaikan dalam mekanisme /administrasi tarbiyah di daerah tersebut agar
“kenaikan” tahapan tarbiyah dapat berjalan dengan lancar.
Sesungguhnya yang diharapkan jama’ah adalah bagaimana peserta halaqah tidak terhambat perkembangannya pada
tahapan tarbiyah tertentu. Sebab hal itu akan berdampak pada terhambatnya kaderisasi anggota jama’ah secara proporsional.

[Peserta yang terlalu lama berada pada tahapan tarbiyah tertentu dapat berdampak pada terhambatnya proses
kaderisasi jama’ah secara proporsional]

35. Menyatukan beberapa halaqah untuk kegiatan tertentu


Ada murobbi yang saya kenal, ia suka menyatukan kegiatan binaannya yang berasal halaqah berbeda? Bolehkah kegiatan
semacam itu?

Jawab :
Menyatukan (mengumpulkan) beberapa halaqah dalam satu kegiatan yang sama, baik halaqah itu berasal dari satu murobbi
atau lain murobbi, pada prinsipnya dibolehkan. Namun ada beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan murobbi sebelum
menyatukan beberapa halaqah dalam satu kegiatan:
1. Apakah ada alasan yang cukup kuat untuk menyatukan kegiatan peserta?
2. Apakah tahapan tarbiyah peserta tidak terlalu senjang?
3. Apakah tempat kegiatan cukup mampu menampung jumlah peserta?
4. Apakah dana, peralatan dan personal panitia cukup untuk memenuhi kebutuhan peserta?
5. Apakah sudah dipertimbangkan dampak dari tanggapan masyarakat/lingkungan terhadap penyatuan kegiatan tersebut?
6. Untuk kegiatan yang memiliki bobot amniyah (keamanan) yang tinggi, apakah peserta telah mampu menjaga amniyah?
Semakin banyak jawaban positif dari pertanyaan di atas, maka semakin layak murobbi menyatukan beberapa halaqah untuk
kegiatan bersama. Namun jika semakin banyak jawaban negatif terhadap pertanyaan di atas, maka semakin tidak dianjurkan
murobbi menyatukan beberapa halaqah dalam satu kegiatan.
Perlu juga dipahami bahwa menyatukan (mengumpulkan) beberapa halaqah dalam satu kegiatan memiliki beberapa
keuntungan, antara lain:
1. Peserta dapat memperluas pergaulan dengan ikhwah di luar halaqahnya.
2. Peserta dapat memperoleh wawasan baru dari ikhwah yang berbeda halaqah dengannya.
3. Peserta bertambah semangat dan loyalitasnya terhadap dakwah karena mengetahui ada banyak ikhwah yang sepaham
dengannya.
4. Untuk unjuk kekuatan (show of force) kepada masyarakat/lingkungan tentang banyaknya anggota jama’ah.
5. Pada umumnya lebih efisien dari sisi pendanaan, waktu dan tenaga dibandingkan jika kegiatan itu dilakukan sendiri-sendiri
oleh masing-masing halaqah.

[Sebelum menyatukan berbagai halaqah untuk kegiatan bersama perlu dipertimbangkan terlebih dahulu secara
matang dampak positif dan negatifnya]

36. Mengetahui peningkatan iman dan amal peserta


Bagaimana cara yang paling efektif supaya saya sebagai murobbi dapat mengetahui perkembangan iman dan amal peserta?

Jawab :
Untuk mengetahui perkembangan iman dan amal peserta ada banyak cara yang dapat dilakukan antara lain :
1. Dengan memperhatikan sikap dan tingkah lakunya pada saat Anda berada dekat dengannya, termasuk pada saat ia
berbicara dengan Anda.
2. Menanyakan langsung kepada peserta yang bersangkutan tentang perkembangan iman dan amalnya.
3. Mencari informasi tentang perkembangan iman dan amal peserta melalui ikhwah yang sering berinteraksi dengannya.
4. Menguji peserta dengan memberikan suatu tugas tertentu, misalnya mengisi dauroh, menangani halaqah, menghapal
ayat/hadits, dan menjadi panitia kegiatan tertentu. Kemudian lihat bagaimana ia melaksanakan tugas tersebut.
5. Memperhatikan tingkat kehadiran dan kesungguhannya dalam halaqah.
Mengetahui perkembangan iman dan amal peserta penting dilakukan agar murobbi dapat bertindak adil dan proporsional
kepada peserta. Jangan sampai murobbi over estimate (memandang lebih) atau under estimate (memandang rendah) kepada
peserta, terutama saat mengevaluasi perkembangan tarbiyahnya.
Namun ada cara yang paling baik untuk mengetahui perkembangan iman dan amal peserta, tapi cara ini membutuhkan
ketekunan murobbi untuk mengerjakannya, yaitu dengan membuat semacam rapot yang menggambarkan perkembangan
masing-masing peserta. Dalam “rapot” tersebut dimuat berbagai hal, antara lain:
1. Tingkat muwashofat (sasaran) tarbiyah yang telah dicapai, meliputi aqidah yang bersih (salimul aqidah), ibadah yang benar
(shohihul ibadah), akhlaq yang kokoh (matinul khuluq), penghasilan yang baik dan cukup (qodirul ‘alal kasbi), pikiran
yang berwawasan (mutsafaqul fikr), tubuh yang kuat (qowiyul jism), kemampuan memerangi hawa nafsu (mujahidu
linafsihi), kemampuan mengatur segala urusan (munazhom fi syu’unihi), kemampuan memelihara waktu (haritsun ‘ala
waqtihi), dan bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi).
2. Absensi kehadiran dan keterlambatan dalam halaqah.
3. Absensi kehadiran peserta dalam acara-acara yang ditugaskan untuk menghadirinya.
4. Daftar tugas yang telah diberikan dan sampai sejauh mana hasil pelaksanaan tugas tersebut.
5. Daftar prestasi/kontribusi yang pernah dilakukannya.
6. Daftar masalah/kesalahan yang pernah dilakukannya.
7. Daftar perkembangan aktivitas dan ibadah yaumiah (harian) yang dilakukannya.
8. Grafik perkembangan peserta dari waktu ke waktu.
“Rapot” tersebut dibuat untuk masing-masing peserta dan diisi secara teratur oleh murobbi. “Rapot” ini akan membuat
murobbi mengevaluasi perkembangan peserta secara obyektif, sehingga tidak terjadi paradigma murobbi yang pilih kasih dan
salah pilih dalam memperlakukan peserta.
Sumber data untuk mengisi “rapot” peserta dapat diambil dari dua sumber, yaitu:
1. Pengamatan murobbi atau informasi terpercaya yang didapat murobbi terhadap perkembangan peserta (terutama untuk data
bersifat kualitatif).
2. Notulen/berita acara halaqah dan acara lainnya. Khusus untuk notulen/berita acara halaqah, Anda perlu membuatnya
secara rutin. Pelaksanaanya dapat dibantu oleh peserta yang Anda tunjuk sebagai sekretaris halaqah. Dalam berita
acara/notulen halaqah sebaiknya termuat data tentang : hari/tanggal pertemuan, tempat pertemuan, absensi kehadiran
peserta (termasuk keterlambatan peserta), jumlah infaq halaqah, halaman tilawah bersama yang telah dilakukan, materi
(madah) yang disampaikan, agenda acara yang dilakukan (waktu dan bahasannya), rencana dan evaluasi program yang
dibicarakan, permasalahan yang muncul, laporan aktivitas/ibadah yaumiah peserta dan data lain yang dibutuhkan oleh
masing-masing halaqah.
Khusus untuk laporan aktivitas/ibadah yaumiah, perlu disepakati terlebih dahulu dengan peserta tentang
aktivitas/ibadah apa yang harus dilaporkan dan berapa frekuensi minimalnya. Misalnya, ditetapkan bahwa yang akan
dilaporkan adalah tilawah Al Qur’an yang harus dibaca peserta setiap harinya minimal ½ juz. Atau sholat tahajjud yang
harus dilakukan peserta minimal 1 kali dalam sepekan. Contoh aktivitas/ibadah yaumiah lainnya yang perlu dilaporkan
adalah shaum sunnah, sholat di masjid, zikir/ma’tsurot, membaca buku, hapalan Al Qur’an/hadist, olahraga, dan
silaturahmi.

[Membuat “rapot” bagi peserta halaqah akan menghindari evaluasi yang pilih kasih dan salah pilih]

37. Halaqah berubah menjadi kegiatan rapat dakwah


Sebagai murobbi, saya sering menggunakan forum halaqah untuk membahas program dakwah. Bolehkah hal tersebut saya
lakukan?

Jawab :
Tentu saja boleh. Salah satu fungsi halaqah memang untuk membahas program dakwah, terutama program dakwah yang terkait
dengan peserta. Misalnya, membahas kegiatan manuver dakwah yang akan dilakukan peserta, membahas permasalahan dakwah
yang terjadi pada lahan tertentu yang dikelola peserta, membahas kegiatan peningkatan kualitas peserta, seperti mengadakan
dauroh tarkiyah, dauroh jana’iz (jenazah), kursus bahasa Arab, dan lain-lain. Bahkan sangat dianjurkan bagi setiap murobbi
untuk senantiasa mempunyai agenda acara halaqah yang terkait dengan pembahasan program dakwah. Hal ini untuk membuat
peserta selalu terlibat dan terikat dengan kegiatan dakwah. Selain itu juga agar terjadi koordinasi dakwah, sehingga dakwah
tetap berada dalam koridor amal jama’i dengan murobbi sebagai qiyadah (pemimpin) dakwahnya.
Namun perlu diingat, bahwa pembahasan program dakwah hanyalah satu satu agenda acara halaqah. Ia tidak boleh menyita
sebagian besar waktu halaqah, sehingga halaqah akhirnya berubah menjadi rapat dakwah. Sebab jika hal itu terjadi, maka
halaqah akan mengalami distorsi fungsi. Fungsi-fungsi halaqah lainnya, seperti fungsi menuntut ilmi (tholabul ‘ilmi), fungsi
menjalin persaudaran (ukhuwah), dan fungsi konsultasi pemecahan masalah pribadi peserta, akan hilang. Anda sebagai
murobbi harus ingat bahwa fungsi Anda di halaqah bukan hanya sebagai qiyadah (pemimpin) yang mengkoordinasikan dakwah
peserta, tapi juga berfungsi sebagai ustadz (guru) yang memberikan ilmu, shohabah (sahabat) yang menjalin ukhuwah dengan
peserta dan abah (bapak) yang membantu memecahkan permasalahan peserta.
Acara halaqah yang dominan membahas permasalahan dakwah hanya boleh dilakukan sesekali. Tidak boleh dilakukan
terus menerus. Sebab hal itu akan membuat halaqah kehilangan nuansa kekeluargaannya dan berubah menjadi forum
birokratis yang kaku. Cepat atau lambat peserta akan mengalami penurunan ruhiyah dan kejenuhan, sehingga akhirnya menjadi
malas untuk hadir di halaqah.
Jika memang Anda sebagai murobbi merasa penting untuk membahas program dakwah secara kontinyu, maka sebaiknya
pembahasan tersebut dilakukan di luar waktu halaqah. Dengan membuat acara (rapat) khusus untuk membahas permasalahan
dakwah tersebut. Hal ini juga berlaku untuk masalah lainnya yang perlu dibahas secara kontinyu dan intens, seperti kegiatan
bisnis, walimah peserta, dan lain-lain.

[Agenda halaqah yang didominasi oleh pembahasan tentang program dakwah akan berdampak pada keringnya ruhiyah
dan ukhuwah peserta]

BAB III

PROBLEM PERSONAL

38. Berkali-kali pindah halaqah karena memilih-milih murobbi


Bagaimana sikap saya terhadap peserta yang sudah berkali-kali pindah halaqah karena terlalu memilih-milih murobbi?

Jawab :
Peserta yang sering berpindah halaqah karena terlalu memilih murobbi sebenarnya memiliki penyakit hati, yaitu penyakit
kurang bersyukur. Berpindahnya ia dari satu murobbi ke murobbi lainnya disebabkan keinginannya untuk mendapatkan
murobbi yang ideal. Ia kurang bersyukur atas nikmat Allah berupa hidayah mengikuti halaqah yang dibimbing murobbi
tertentu. Padahal tidak semua orang diberi-Nya hidayah untuk mengikuti halaqah. Ia tak pernah puas dengan murobbi yang
sekarang, ia ingin terus mencari murobbi ideal. Padahal murobbi ideal tak pernah ada, kecuali Rasulullah saw.
Orang yang suka memilih-milih murobbi juga menunjukkan sifatnya yang ingin dipahami orang lain, tapi kurang
memahami orang lain. Jika ia melihat murobbinya tidak memahami keinginannya, ia kecewa. Kemudian pindah ke murobbi
lain dengan harapan murobbi barunya lebih memahami keinginannya. Tapi jika hal itu tak didapatkan, ia pindah lagi ke
murobbi lain. Begitu seterusnya. Ia mencari orang yang mau memahaminya, padahal ia sendiri tak mau memahami orang lain.
Harapannya tak pernah terwujud. Sebab sesungguhnya jika mau dipahami orang lain rumusnya adalah memahami orang lain
terlebih dahulu. Namun karena ia egois, maka keinginannya tak pernah terpenuhi. Hingga akhirnya ia menjadi ikhwah
“petualang” yang tak pernah puas dengan kondisi yang diterimanya.
Sikap Anda terhadap peserta yang mempunyai riwayat suka memilih-milih murobbi adalah mengingatkannya tentang dua
hal diatas. Yaitu, tentang pentingnya bersyukur terhadap nikmat Allah yang masih memberikan padanya kesempatan
mengikuti halaqah. Bahwa bagaimanapun tipe murobbi yang diterima maka hal itu adalah takdir Allah yang patut disyukuri.
Jangan selalu tidak puas dengan murobbi yang ditakdirkan Allah untuk membinanya. Barangsiapa yang pandai bersyukur, maka
Allah akan menambah nikmat kepadanya. Sebaliknya jika kurang bersyukur maka Allah akan menambah azab kepadanya.
“Dan (ingatlah juga), tatkal aTahanmu mema’lumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. 14 : 7).
Mungkin dengan cara dipindahkan ke murobbi lain yang lebih buruk dari murobbi sebelumnya. Atau malah dibalikkan hatinya
untuk tidak lagi tertarik dengan halaqah (tarbiyah), sehingga akhirnya tergelincir dari jalan dakwah. Na’udzubillah min dzalik.
Anda juga perlu mengingatkan peserta tersebut tentang pentingnya sikap memahami orang lain sebelum minta dipahami
orang lain. Bersikap toleran terhadap perbedaan yang ada dan jangan selalu menuntut bahwa orang lain harus memahaminya.
Justru dengan sungguh-sungguh memahami orang lain maka orang lain akan tergerak hatinya untuk memahami kita. Jikapun
orang lain (murobbi) kurang memahami kita, anggaplah itu sebagai ujian kesabaran. Yang Insya Allah, suatu ketika akan terlihat
hikmahnya.

[Bersyukur kepada Allah berarti menerima takdir Allah. Menerima dengan lapang dada murobbi yang menangani kita
berarti bersyukur terhadap takdir Allah]

39. Terpaksa ikut halaqah


Bagaimana sikap saya terhadap peserta yang terpaksa ikut halaqah (misalnya, karena tidak enak dengan ajakan temannya,
disuruh orang tua, syarat kelulusan program pendidikan tertentu, dan lain-lain)?

Jawab :
Idealnya orang harus mengikuti halaqah dengan kerelaan dan kesadaran. Bukan dipaksa oleh hal-hal tertentu di luar
kesadarannya. Namun kadangkala orang baru menyadari sesuatu karena dipaksa terlebih dahulu. Misalnya saja sholat. Seorang
anak kecil seringkali harus dipaksa lebih dulu oleh orang tuanya untuk sholat. Anak itu akhirnya sholat dengan terpaksa.
Namun suatu ketika (setelah dewasa) ia akan sholat dengan kesadarannya sendiri, karena sudah memahami betapa pentingnya
sholat bagi kehidupannya. Begitu pula mengikuti halaqah. Kadangkala orang perlu “dipaksa” lebih dulu mengikuti halaqah
agar tumbuh kesadarannya tentang pentingnya halaqah. “Pemaksaan” ini dapat berupa ajakan dari temannya yang sungkan ia
tolak, atau karena disuruh orang tuanya. Bisa juga karena syarat kelulusan untuk mata kuliah agama di perguruan tinggi.
Dengan cara apa pun, “pemaksaan” boleh dilakukan selama hal itu dilakukan dengan cara yang rasional.
Murobbi yang membina peserta karena “terpaksa” tentu harus memiliki kesabaran dalam menumbuhkan kesadaran tentang
pentingnya halaqah. Ia perlu berulang-ulang mengingatkan pentingnya halaqah kepada peserta tersebut. Beberapa alasan
tentang pentingnya halaqah yang dapat dikemukakan adalah :
1. Halaqah adalah sarana utama dalam tarbiyah (pendidikan) Islam. Orang yang tidak halaqah sulit untuk mengikuti
tarbiyah dengan baik. Hal ini karena tarbiyah dalam bentuk lain, seperti membaca buku, mendengarkan ceramah umum,
atau belajar Islam secara privat, tak memiliki keistimewaan yang dimiliki oleh halaqah. Di halaqah, peserta dimotivasi
terus menerus untuk mengamalkan Islam. Pengamalan Islam merupakan hal yang diprioritaskan dalam halaqah. Halaqah
memiliki sistem tausiyah (saling menasehati) yang intensif dan ketat. Peserta dirangsang untuk selalu beramal sholeh.
Sebaliknya, mereka diminta untuk tidak melanggar syariat secara serius. Hal ini yang membuat halaqah relatif lebih
mampu mencetak pribadi muslim yang serius mengamalkan Islam daripada melalui sarana tarbiyah lainnya. “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. 3 : 104).
2. Halaqah adalah sarana tarbiyah Islam yang syamil (utuh). Banyak sarana tarbiyah Islam, tapi sedikit yang mengajarkan
Islam secara syamil. Ada sarana tarbiyah yang lebih mementingkan aspek ruhi (rohani), tapi menelantarkan aspek fikri
(pemikiran) dan amali (perbuatan). Ada sarana tarbiyah yang mementingkan aspek fikri, tapi menelantarkan aspek amali
dan ruhi. Begitu pula, ada sarana tarbiyah yang mementingkan aspek amali, tapi melupakan aspek ruhi dan fikri. Namun
dalam halaqah, semua aspek tersebut dipentingkan dan diutamakan.
Selain itu, halaqah juga mengajarkan Islam sebagai nilai-nilai yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Halaqah mengajarkan bahwa Islam adalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Tidak ada aspek kehidupan
yang tak disentuh oleh Islam. Hal ini menyebabkan orang yang mengikuti halaqah hidupnya tidak sekuler, karena ia tahu
seluruh hidupnya diatur oleh Islam. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya..” (QS. 2 : 208).
3. Halaqah adalah sarana pengaplikasian nilai-nilai ukhuwah yang paling efektif. Dengan berhalaqah, seseorang dapat
berpeluang untuk merasakan manisnya ukhuwah. Sesuatu yang langka didapatkan saat ini. Hal ini karena halaqah
memiliki sistem yang membatasi pesertanya sampai jumlah tertentu (biasanya tak lebih dari 12 orang). Peserta juga adalah
peserta tetap, tidak berganti-ganti. Dengan terbatas dan tetapnya peserta, mereka berinteraksi secara rutin. Wajar jika dari
interaksi yang terbatas, tetap dan rutin itu muncul ukhuwah di antara mereka. Apalagi adab halaqah yang selalu dihidupkan
juga menekankan pentingnya nilai-nilai ukhuwah dalam pergaulan antar peserta. “..lalu menjadilah kamu karena nikmat
Allah orang-orang yang bersaudara..” (QS. 3 : 103).
4. Halaqah adalah sarana berjama’ah yang paling rapi dan teratur. Dengan berhalaqah, sebenarnya seseorang terlibat dalam
jama’ah. Ia menjadi anggota sebuah jama’ah yang rapi dan teratur. Sedang berjama’ah dalam sebuah barisan yang teratur
dan rapi sangat dicintai Allah. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan
yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” QS. 61 : 4).
Dengan memberikan penjelasan tentang pentingnya mengikuti halaqah, mudah-mudahan peserta dapat tumbuh
kesadarannya, sehingga ia tidak lagi “terpaksa” menghadiri halaqah. Sesungguhnya yang diharapkan dari peserta halaqah
adalah mereka mengikuti halaqah dengan ikhlas berdasarkan kesadaran, bukan karena “dipaksa” atau “dikondisikan”.

[Kadangkala kita perlu memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu demi kebaikannya sendiri]

40. Jarang hadir di halaqah karena masalah ekonomi atau masalah pendidikan
Ada peserta di halaqah saya yang jarang hadir karena mempunyai masalah ekonomi. Bagaimana sikap saya terhadapnya?

Jawab :
Masalah ekonomi tak dapat dijadikan alasan untuk tidak hadir di halaqah. Yang dimaksud masalah ekonomi disini adalah
penghasilan yang kecil, sehingga sulit memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Masalah adalah bagian yang tak terpisahkan dari
hidup itu sendiri. Jangan karena alasan ekonomi peserta membenarkan dirinya untuk tidak hadir di halaqah. Anda bahkan perlu
menjelaskan kepadanya bahwa kehadirannya yang rutin dalam halaqah, Insya Allah dapat menjadi wasilah (jalan) bagi
turunnya rezeki Allah. Sebab Allah membantu manusia dari arah yang tak disangka-sangka. “..Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-
sangka” (QS. 65 : 2-3). Syaratnya adalah taqwa kepada Allah. Dengan taqwa, rezeki menjadi mudah didapat. Sedang untuk
bertaqwa dibutuhkan wasilah yang tepat. Salah satunya adalah dengan hadir di halaqah. Anda perlu menjelaskan kepadanya,
mudah-mudahan dengan kehadirannya yang rutin di halaqah justru rezekinya menjadi bertambah. “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada
jalan-Nya, supaya kamu beruntung” (QS. 5 : 35).
Jika masalah ekonomi peserta sampai membuat ia tak punya ongkos untuk datang ke tampat halaqah, maka Anda perlu
memberikan motivasi kepada peserta halaqah lainnya untuk ta’wun (menolong) dalam bentuk infaq bersama untuk peserta
yang kesulitan hadir di halaqah dikarenakan tidak punya ongkos tersebut.
Begitu pula dengan masalah pendidikan. Tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak hadir secara rutin dalam halaqah.
Sesibuk-sibuknya belajar, pasti masih ada waktu luang untuk mengikuti halaqah. Apalagi halaqah hanya berlangsung sebentar
(biasanya setiap pekan hanya 2 jam). Jadi tidak ada alasan bahwa kalau ikut halaqah akan mengganggu konsentrasi belajar.
Hal itu hanya alasan yang dibuat-buat. Alasan sebenarnya adalah malas, jenuh, atau tidak mampu mengatur waktu dan
konsentrasi. Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk tidak malas atau jenuh “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan
ringan ataupun merasa berat…” (QS. 9 : 41). Allah juga telah memerintahkan kita untuk pandai mengatur waktu dan
konsentrasi. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain” (QS. 94 : 7).
Jadi sesungguhnya tak ada alasan apapun yang dapat dibenarkan untuk tidak menghadiri halaqah secara rutin, kecuali
karena uzur syar’i (halangan sesuai syar’i), seperti :
1. Ada tugas dakwah dari murobbi atau dari struktur jama’ah.
2. Ada aktivitas dakwah yang sifatnya pribadi dan tak bisa ditinggalkan karena menyangkut kepentingan banyak orang.
3. Ada aktivitas non dakwah, seperti pekerjaan di kantor, persiapan ujian, atau mengurus keluarga, yang jika ditinggalkan
akan berdampak buruk bagi orang tersebut atau bagi orang lain.
4. Ada halangan mendadak yang tidak dipredeksikan sebelumnya, seperti sakit, kecelakaan, hujan deras, dan lain-lain.

[Kehadiran kita di halaqah merupakan wasilah dari turunnya rezeki dan pertolongan Allah]

41. Sering berbohong


Bagaimana menghadapi peserta halaqah yang ketahuan sering berbohong?

Jawab :
Menghadapi peserta yang ketahuan sering berbohong, Anda perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Memberikan materi tentang bahaya dusta dalam Islam. Kalau perlu materi ini disampaikan berulang dengan gaya dan dalil
yang berbeda-beda.
2. Menguji penyakit bohongnya, apakah sudah sembuh atau belum. Cara mengujinya dengan menanyakan informasi tentang
sesuatu yang Anda sendiri sebenarnya tahu persis mengenai informasi tersebut. Bisa juga dengan memberikannya tugas
dan Anda meminta ikhwah lain untuk memantaunya. Nanti ketika ia melapor kepada Anda, tinggal Anda lihat apakah
laporannya sama tidak dengan laporan ikhwan yang Anda minta memantaunya. Anda dapat juga melakukan cara yang lain
sesuai dengan situasi yang Anda anggap tepat.
3. Orang yang suka berbohong biasanya tidak lagi merasa terlalu bersalah kalau berbohong. Ia menjadi terbiasa dengan
kedustaannya, sehingga di sisi Allah ia dicatat sebagai seorang pendusta. “…Dan sesungguhnya dusta menunjukkan pada
kefasikan dan sesungguhnya kefasikan menunjukkan pada neraka dan sesungguhnya orang yang dusta akan dicatat di sisi
Allah sebagai pendusta” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena itu, Anda harus hati-hati terhadap informasi yang disampaikan
olehnya. Jangan begitu saja percaya, tapi harus di-crosscheck kepada sumber informasi lain.
4. Sebelum Anda yakin bahwa ia telah berubah. Jangan dulu diberikan kepadanya amanah atau tugas yang penting. Sebab
besar kemungkinan ia tidak akan melaksanakan tugas tersebut dengan baik (walau laporannya baik).
5. Jika ia tidak berubah juga walau telah diberi taujih berkali-kali, maka Anda perlu memberi peringatan kepadanya secara
vulgar. Kalau perlu dengan memberikan sanksi yang mendidik kepadanya agar ia mau merubah kebiasaannya.
6. Jangan dulu menyebarkan kebiasaan bohongnya kepada banyak orang, kecuali jika memang terbukti ia sulit berubah dan
tidak lagi halaqah. Hal ini, untuk melindungi orang lain dari perangkap bohongnya. Sebab orang yang suka berbohong
sangat potensial untuk menipu orang lain.

[Orang yang sering berbohong tak mampu lagi membedakan mana yang realita dan mana yang imajinasi]

42. Menikah dengan cara mencari sendiri


Bagaimana kalau ada peserta halaqah yang menikah dengan cara mencari sendiri pasangannya?

Jawab :
Ada tiga cara yang dapat ditempuh peserta halaqah untuk menikah :
1. Meminta bantuan murobbi untuk mencarikan jodohnya
2. Meminta bantuan ikhwah lain untuk mencarikan jodohnya
3. Mencari jodoh sendiri
Jadi menikah dengan cara mencari jodoh sendiri dibenarkan selama hal tersebut tetap memperhatikan rambu-rambu berikut
:
1. Tidak boleh ada pendekatan yang sifatnya langsung, apalagi pacaran. Contohnya mengobrol dengan calon jodohnya
yang sifatnya pribadi, baik melalui telpon, SMS (Short Message Service), chatting, e-mail atau temu muka langsung.
Apalagi sampai berdua-duaan (pacaran). Yang dibolehkan hanya sebatas mengenal calonnya secara fisik dan mengenal
sedikit riwayat hidupnya melalui informasi orang lain.
2. Mencari sendiri disini pengertiannya bukan berarti boleh jalan sendiri. Peserta harus tetap minta izin (bukan sekedar
memberi tahu) kepada murobbi. Ia harus meminta pendapat murobbi tentang calon yang diinginkannya.
3. Jika murobbi keberatan terhadap calon tersebut, peserta harus memperhatikan dengan serius keberatan murobbinya.
Jangan sampai peserta memaksakan kehendaknya dan mengabaikan keberatan murobbinya dengan alasan dialah yang
akan menikah. Pernikahan bagi aktivis dakwah bukanlah bernilai pribadi, tapi bernilai amal jama’i. Pernikahan dalam
rangka membangun masyarakat Islam, sehingga tidak boleh seorang aktivis menikah dengan cara semau sendiri.
4. Jika murobbi setuju dengan calon tersebut, proses ta’aruf (perkenalan), khitbah (melamar) dan akad nikah harus tetap
dijalankan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Untuk itu, peserta perlu secara intensif melaporkan/mengkonsultasikan
jalannya proses pernikahannya kepada murobbi. Murobbi sebaiknya memberikan masukan terhadap proses pernikahan
peserta dan membantu semampunya.

[Menikah adalah bagian dari membangun masyarakat Islam. Karena itu, tidak boleh seorang aktivis menikah
dengan semaunya sendiri]

43. Sering menyanggah pendapat murobbi, terutama dalam masalah fiqih


Saya mempunyai peserta halaqah yang suka menyanggah pendapat saya, terutama dalam masalah fiqih. Bagaimana sikap saya
seharusnya?

Jawab :
Anda perlu memberikan penjelasan kepadanya bahwa fiqih adalah masalah yang rentan dengan khilafiyah (perbedaan
pendapat). Dari dahulu, fiqih menjadi ruang perdebatan yang tak ada habisnya bagi sesama muslim. Bahkan dari perdebatan
tersebut dapat timbul permusuhan dan pertumpahan darah. Karena itu, para ulama sholih telah melarang kita untuk berdebat
tentang fiqih, kecuali ahlinya.
Masalah fiqih sebaiknya dikembalikan pada keyakinan masing-masing. Sebab khilafiyah dalam fiqih bersumber dari
perbedaan interpretasi dalam mengambil dalil naqli (Al Qur’an dan hadits). Beda dengan bid’ah yang tak ada dalil naqlinya
sama sekali.
Karena fiqih rentan dengan masalah khilafiyah, sebaiknya setiap muslim tak perlu ngotot mempertahankan pendapatnya
masing-masing dan menyalahkan pendapat orang lain. Sebab hal itu dapat menghancurkan persaudaraan (ukhuwah). Padahal
mempertahankan ukhuwah jauh lebih penting daripada meributkan masalah fiqih. “Dan janganlah kamu menyerupai orang-
orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat” (QS. 3 : 105). Sejarah membuktikan bahwa hanya gara-gara fiqih sesama umat Islam bisa
saling bermusuhan, bahkan bisa saling membunuh satu sama lain. Hal inilah yang perlu Anda jelaskan kepadanya, sehingga ia
paham bahwa dalam masalah fiqih tak perlu ngotot mempertahankan pendapat sendiri dan suka menyanggah pendapat orang
lain.
Anda sebagai murobbi juga jangan terlalu banyak membicarakan fiqih (kecuali kalau Anda ahli fiqih). Apalagi memaksa
peserta untuk mengikuti mazhab fiqih tertentu. Sebaiknya pembicaraan lebih banyak diarahkan pada masalah ushul (pokok-
pokok agama), seperti aqidah, ibadah, akhlaq, dakwah dan jihad.
Jika ada peserta yang bertanya kepada Anda tentang fiqih sebaiknya Anda menjawabnya secara umum saja. Atau
menjawabnya dengan menerangkan berbagai khilafiyah (jika ada) dalam masalah tersebut. Jadi tetap memberikan toleransi
kepada peserta untuk berbeda pendapat tentang masalah fiqih.

[Dakwah bukan untuk memperdebatkan fiqih, tapi untuk menyampaikan kebenaran ilahi]

44. Tidak terbiasa mencatat


Bagaimana menghadapi peserta yang tidak terbiasa dan tidak mau mencatat materi yang diberikan?

Jawab :
Peserta yang tidak mau mencatat mungkin karena ia terbiasa mengikuti pengajian model analog. Dimana sang penceramah
menyampaikan materi dan mad’u (audience) sekedar mendengar saja. Namun untuk mengikuti halaqah, kebiasaan tidak
mencatat ini kurang baik karena :
1. Dengan tidak mencatat, peserta akan cepat lupa dengan materi yang telah disampaikan.
2. Dengan tidak mencatat, peserta akan sulit memperdalam materi yang telah diberikan, jika ia ingin mendalami materi
tersebut.
3. Dengan tidak mencacat, peserta tidak bisa mentransfer materi yang telah diberikan kepada orang lain, terutama jika ia
kelak menjadi murobbi.
Ketiga dampak negatif tersebut perlu Anda sampaikan kepada peserta yang tidak terbiasa mencatat agar mereka mau
mencatat materi.
Kemudian agar mereka menjadi cepat terbiasa mencatat, Anda perlu membantu mereka dengan cara :
1. Mengingatkan mereka (kalau perlu berulang-ulang) tentang pentingnya membawa buku catatan dan alat tulis ketika
menghadiri halaqah.
2. Gunakan papan tulis sebagai media bagi mereka untuk menyalin materi ke buku catatan masing-masing.
3. Jangan terlalu banyak menulis di papan tulis tanpa memberikan waktu kepada mereka untuk menyalinnya.
4. Menulis di papan tulis dengan huruf-huruf besar agar mereka mudah menyalinnya.
5. Menulis di papan tulis dengan bahasa yang mudah mereka mengerti (bahasa Indonesia). Jangan terlalu banyak
menggunakan bahasa yang sulit dimengerti oleh mereka (bahasa Arab/Inggeris).
6. Memberi waktu jeda untuk mencatat dan tidak langsung menerangkan atau beralih ke topik lain.
7. Cara lainnya dengan membuat tulisan mengenai pokok-pokok pikiran yang akan Anda sampaikan di kertas. Kemudian
bagikan kertas tersebut kepada peserta, sehingga mereka hanya tinggal menambahkan catatan tambahan di kertas tersebut.
8. Cara lainnya lagi dengan mendiktekan kepada mereka apa yang perlu mereka catat di buku catatan masing-masing.
9. Sesekali Anda perlu juga menegur langsung peserta yang tidak mencatat padahal teman lainnya sedang sibuk mencatat.
10. Jika ada peserta yang tidak mencatat dengan alasan tidak membawa alat tulis atau buku catatan, minta ia agar meminjam
kepada teman halaqahnya.

[Ilmu itu langgeng karena dicatat]

45. Meningkatkan minat baca


Bagaimana kiat meningkatkan minat baca peserta halaqah?

Jawab :
Cara meningkatkan minat baca peserta halaqah adalah dengan :
1. Memberikan taujih (pengarahan) tentang pentingnya membaca. Kalau perlu disampaikan berulang-ulang dengan sudut
pandang dan dalil yang berbeda-beda.
2. Mengajarkan kepada mereka tentang teknik membaca yang baik dan tidak membosankan/melelahkan. Juga teknik
membaca cepat (speed reading).
3. Meminta mereka untuk meringkas (resume) buku tertentu.
4. Membuat perpustakaan halaqah dan meminta mereka membaca buku yang ada di perpustakaan halaqah secara bergilir.
5. Mengadakan acara presentasi buku yang telah dibaca. Setiap peserta mempresentesikan buku terakhir yang dibacanya.
6. Mengadakan acara kunjungan ke perpustakaan atau ke toko buku.
7. Sering mengadakan acara bedah buku. Setiap peserta diminta untuk membaca bagian tertentu atau seluruh buku tersebut.
8. Memberikan tugas kepada mereka untuk meng-kliping artikel tertentu.
9. Memberikan tugas kepada peserta untuk membuat makalah dengan daftar referensi dari buku-buku yang pernah dibaca
oleh mereka.
10. Meminta mereka melaporkan secara rutin buku apa yang mereka baca dan berapa lama dalam seminggu mereka membaca
buku. Kalau perlu dengan memberikan penghargaan kepada mereka yang sering membaca buku dan memberikan sanksi
(hukuman) yang mendidik bagi peserta yang jarang membaca buku.
11. Sebagai murobbi, Anda juga perlu memberikan keteladaan tentang membaca dengan sering menceritakan kepada peserta
tentang buku terakhir yang Anda baca.

[Membaca adalah gerbang ilmu. Tidak suka membaca berarti menutup datangnya ilmu kepada kita]

46. Pernah berzina


Suatu ketika peserta halaqah yang saya bina curhat (mencurahkan isi hati) kepada saya bahwa ia dulu pernah berzina
(bersetubuh). Apa yang perlu saya lakukan?

Jawab :
Peserta yang mengaku ia pernah berzina di masa lalu merupakan hal yang langka. Karena itu berarti menceritakan aibnya
sendiri. Tapi di sisi lain, juga menunjukkan kepercayaan (tsiqoh) yang tinggi terhadap Anda. Sikap Anda sebagai murobbi,
pertama kali adalah memahami dalam konteks apa ia bercerita kepada Anda. Apakah karena merasa dikejar-kejar dosa, karena
ingin menikah dan takut menjadi ganjalan dalam pernikahannya kelak, atau maksud lainnya. Setelah mengetahui latar belakang
mengapa ia menceritakannya kepada Anda, maka Anda mencarikan solusi yang tepat untuknya.
Jika ia bercerita kepada Anda karena merasa dikejar-kejar dosa, maka Anda perlu meyakinkannya bahwa Allah Maha
Pengampun dan Penyayang. Allah akan mengabulkan semua dosa asalkan hamba-Nya betul-betul bertobat kepada-Nya dan
mengganti kesalahannya dengan amal solih. “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal sholih;
maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 25 :
70). Motivasi ia agar tidak terlalu dihantui oleh perasaan bersalah, sehingga menghambat perkembangan jiwa dan pikirannya.
Minta ia agar lebih berkonsentrasi kepada masa depan bukan masa lalu, yakni dengan cara tidak mengulangi perbuatannya dan
memperbanyak amal sholih.
Jika ia bercerita karena khawatir akan menjadi ganjalan bagi pernikahannya kelak, maka Anda perlu menghiburnya bahwa
tidak semua pasangan mempermasalahan keperawanan/keperjakaan calonnya. Apalagi kalau ia dapat menunjukkan
kesungguhan tobatnya kepada pasangannya. Juga tidak perlu kuatir sulit mendapat jodoh, karena masalah jodoh adalah urusan
Allah. Tidak ada hubungannya dengan keperawanan/keperjakaan seseorang. Allah akan memberikan jodoh sesuai dengan
kapasitas seseorang. Jika seseorang telah bertobat dari zina, insya Allah ia akan diberikan Allah jodoh yang baik. Yang dimakud
“pezina adalah untuk pezina” seperti yang terdapat pada surat An Nuur (24) ayat 3 adalah bagi orang yang belum bertobat.
Namun bagi orang yang telah bertobat, (insya Allah) Allah tetap memberikan peluang kepadanya untuk mendapatkan jodoh
yang sholih.
Yang penting juga Anda pahami sebagai murobbi adalah jangan sekali-kali menceritakan aib peserta tersebut kepada orang
lain tanpa alasan yang kuat. Begitu pula jika Anda hanya mendengar dari orang lain bahwa ia pernah berzina. Jangan sekali-kali
menanyakan hal itu langsung kepadanya. Sebab selain hal itu dapat melukai perasaannya dan membuatnya malu, Anda dapat
termasuk orang yang suka mengorek-orek aib orang lain. Padahal mengorek-orek aib orang lain dilarang Allah SWT dan Rasul-
Nya.

[Allah mengampuni seluruh dosa, termasuk dosa para pezina yang bertaubat]

47. Sering menjelek-jelekkan orang lain


Bagaimana menghadapi peserta yang suka menjelek-jelekkan orang lain?

Jawab :
Peserta yang suka menjelek-jelekkan orang lain, apalagi sesama teman halaqahnya, menunjukkan sifat dengkinya kepada orang
lain. Dengki adalah salah satu penyakit hati. Anda perlu memberikan penjelasan kepadanya tentang bahaya penyakit dengki dan
suka menjelek-jelekkan orang lain, antara lain :
1. Menghilangkan amal, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadist. “Bahaya melepaskan dua srigala lapar di kandang
kambing, tidak lebih besar dari bahayanya seorang muslim yang rakus terhadap harta dan dengki terhadap dien.
Sesungguhnya hasad (dengki) itu memakan (mengikis) amal kebaikan sebagaimana api melahap kayu” (HR. Turmudzi).
2. Mengotori hati dan membuat hati sulit dekat dengan Allah.
3. Membuat hati selalu gelisah jika melihat keberhasilan orang lain.
4. Membuat hati sibuk memikirkan kejelekan orang lain dan lupa untuk memperbaiki diri sendiri.
5. Menyakiti hati orang lain, terutama orang yang dijelek-jelekkan.
6. Menjadi orang yang dijauhi dalam pergaulan, karena orang tak mau bergaul dengan mereka yang hatinya dengki.
7. Menjadi putus asa karena merasa orang lain lebih sukses darinya, sehingga akhirnya ia jadi apatis terhadap kehidupannya.
8. Selalu curiga dengan orang lain dan menganggap orang lain sebagai “saingan” yang perlu dijatuhkannya.
Selain dengan memberikan taujih (kalau perlu berulang-ulang), Anda juga perlu memberikan kiat berikut ini agar peserta
tersebut menghilangkan kebiasaan yang suka menjelek-jelekkan orang lain :
1. Jika ingin menjelek-jelekkan orang lain, segera ganti keinginan itu dengan sebaliknya, yaitu memujinya.
Dengan selalu memuji orang lain, Insya Allah kebiasaan suka menjelekkan-jelekkan orang lain bisa hilang.
2. Jika tidak mampu memujinya, ingatkan diri untuk lebih baik diam. Diam lebih baik daripada menjelek-
jelekkan orang lain.
3. Minta juga ia agar lebih banyak bersyukur dengan kelebihan/keberhasilan yang ada pada dirinya. Dengan
bersyukur, maka orang tidak sempat lagi menjelek-jelekkan orang lain. Hal itu karena ia tidak lagi minder
terhadap keberhasilan orang lain. Kebiasaan menjelek-jelekkan orang lain sesungguhnya muncul karena ada
perasaan minder terhadap keberhasilan orang lain.
4. Ketika ia berbicara dengan Anda, maka Anda perlu dengan tegas mengingatkannya jika ia sudah ngelantur
dengan menjelek-jelekkan orang lain. Dengan lebih sering diingatkan oleh Anda, ia akan lebih cepat
meninggalkan kebiasaan jeleknya tersebut.

[Orang yang menjelek-jelekkan orang lain sebenarnya sedang menjelek-jelekkan dirinya sendiri]

48. Minta perhatian lebih


Bagaimana mengatasi peserta yang suka minta perhatian lebih kepada murobbinya?

Jawab :
Peserta yang minta perhatian lebih bisa disebabkan beberapa hal :
1. Kurang mendapat perhatian dari lingkungannya, sehingga ia beralih mencari perhatian kepada Anda sebagai murobbinya.
2. Ingin menonjol (popular) di hadapan Anda lebih dari teman-teman satu halaqahnya.
3. Ingin dimanjakan, seperti dahulu ia pernah dimanjakan orang tuanya dan ia menganggap Anda sebagai pengganti orang
tuanya.
Biasanya peserta yang minta perhatian lebih akan terlihat pada sikapnya yang suka mendominasi pembicaraan di halaqah,
sering berkonsultasi kepada Anda padahal masalahnya sepele, menceritakan prestasi yang sudah dilakukannya dengan
berlebihan (terutama prestasi dalam melaksanakan tugas dari Anda), sering mengutip pendapat Anda ketika berbicara dengan
Anda, suka membela pendapat Anda ketika Anda bermusyawarah dengan teman satu halaqahnya, dan suka memberikan
sesuatu kepada Anda (walau suka memberi sesuatu motifnya bisa macam-macam).
Peserta yang minta perhatian lebih sebenarnya tidak baik bagi perkembangan halaqah, karena hal tersebut dapat
berdampak pada :
1. Munculnya niat yang tidak ikhlas dari peserta tersebut karena mencari perhatian kepada selain Allah.
2. Dapat membuat cemburu dan iri teman satu halaqahnya.
3. Peserta tersebut akan kecewa berlebihan jika suatu ketika murobbinya tidak membalas perhatiannya
4. Murobbi jadi disibukkan dengan masalah-masalah sepele yang muncul dari peserta tersebut.
5. Murobbi cenderung bersikap pilih kasih kepada peserta tersebut dan mengabaikan peserta lainnya
6. Munculnya sifat terlalu memfigurkan murobbi yang dapat berdampak pada hilangnya sikap kritis, hilangnya inisiatif dan
kreativitas, hilangnya kemandirian dan akhirnya peserta tersebut jadi sulit dipindahkan jika suatu saat perlu dipindahkan
halaqahnya.
Cara menghadapi peserta yang minta perhatian lebih adalah dengan tidak melayaninya. Anda perlu bersikap wajar
kepadanya dan jangan terpancing untuk melebihkan perhatian kepadanya. Misalnya, jika ia sering meminta waktu untuk
konsultasi dengan Anda, bilang kepadanya bahwa Anda sibuk. Atau jika ia sering mendominasi pembicaraan di halaqah, tegur
ia dengan tegas agar memberikan kesempatan kepada yang lainnya untuk bicara.
Sikap Anda yang tidak melayani peserta yang minta perhatian sesungguhnya untuk kebaikan peserta itu sendiri. Agar
peserta tidak terlalu tergantung dan terlalu berharap banyak kepada Anda. Juga agar berbagai dampak negatif dari meminta
perhatian lebih seperti yang telah disebutkan di muka tidak terjadi pada halaqah Anda.

[Mintalah perhatian kepada Allah, bukan kepada manusia]

49. Penampilan kurang rapi


Sampai sejauh mana urgensi berpenampilan rapi bagi seorang aktivis dakwah? Bagaimana cara memberikan tausiyah (nasehat)
kepada peserta halaqah yang penampilannya kurang rapi?

Jawab :
Berpenampilan rapi penting bagi seorang da’i (aktivis dakwah), terutama ketika ia tampil di hadapan masyarakat. Namun
penampilan rapi sangat bersifat subyektif dan situasonal. Sebagai misal, jika Anda berada di antara pekerja kantor maka yang
dimaksud rapi adalah memakai kemeja yang bawahannya dimasukkan ke dalam celana. Ketika Anda berada di sebuah resepsi,
maka tidak layak kalau Anda hanya memakai sandal jepit. Di kalangan artis, mungkin yang dimaksud rapi itu adalah
berpakaian yang modis, bukan berpakaian seperti pekerja kantor.
Karena berpakaian rapi itu sangat subyektif maka yang penting bagi aktivis dakwah adalah berpakaian yang sesuai dengan
situasi dimana ia berada. Untuk itu ia perlu mengenal mode pakaian dimana ia akan berdakwah. Dan kemudian berpakaian
sesuai dengan situasi dan tempat dimana ia berdakwah.
Jika Anda melihat ada peserta yang kurang mampu berpakaian sesuai dengan lingkungannya, maka Anda perlu
memberikan tausiyah (nasehat) kepadanya secara empat mata. Sebab masalah penampilan seringkali agak sensitif untuk
dibicarakan di hadapan banyak orang.
Khusus untuk akhwat, yang dimaksud berpakaian rapi, selain dengan tetap memperhatikan situasi yang ada, tentu saja
harus tetap memakai jilbab yang memenuhi tuntutan syar’i (tidak transparan, tidak membentuk lekuk tubuh dan menutup
anggota tubuh, kecuali muka dan telapak tangan).

[Penampilam yang rapi adalah penampilan yang sesuai dengan situasi dan tempat di mana kita berada]

50. Setelah menikah, berkurang aktivitasnya


Sebelum menikah, ada peserta di halaqah saya yang sangat aktif berdakwah, tapi setelah menikah aktivitas dakwahnya sangat
menurun. Apa faktor penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya agar ia kembali aktif berdakwah seperti dulu?

Jawab :
Menikah merupakan salah satu titik kulminasi dari perjalanan dakwah seorang aktivis. Titik kulminasi lainnya adalah memilih
pekerjaan dan memilih tempat tinggal. Yang dimaksud titik kulminasi disini adalah bahwa pilihan dalam tiga hal tersebut
(memilih jodoh, memilih pekerjaan, dan memilih tempat tinggal) sangat menentukan kemajuan atau kemunduran aktivitas
dakwah seorang da’i.
Meningkat atau menurunnya aktivitas dakwah seorang da’i setelah menikah tergantung dari bagaimana ia memilih
pasangannya. Jika pasangannya adalah orang yang mampu memberi motivasi dan paham terhadap dakwah, maka dakwah dari
sang da’i tersebut akan meningkat. Sebaliknya jika pasangannya adalah orang yang tidak bisa memberi motivasi dakwah,
bahkan “merongrong” pasangannya untuk meninggalkan dakwah, maka dakwah dari aktivis tersebut akan menurun. Apalagi
jika sang da’i tersebut tidak mampu membina pasangannya, maka semakin terpuruk ia dari jalan dakwah.
Karena itu, sebelum menikah penting sekali diteliti seberapa jauh tingkat pemahaman calon pasangan kita terhadap
dakwah. Penelitian ini bisa dilakukan pada saat ta’aruf (perkenalan) atau dengan mencari informasi sebanyak mungkin melalui
orang yang mengenal calon pasangan kita. Sebab salah memilih pasangan dapat membuat kita futur (melemah) dari jalan
dakwah.
Itulah sebabnya jika seorang aktivis akan menikah, penting sekali untuk melibatkan orang lain (terutama murobbi) dalam
memilih pasangannya. Hal ini agar ia dapat memilih pasangannya lebih obyektif. Jika ia memilih sendiri, besar kemungkinan
subyektivitasnya akan tinggi. Berbagai kasus di lapangan menunjukkan bahwa mereka yang memilih sendiri pasangannya lebih
rentan untuk menurun aktivitas dakwahnya setelah menikah daripada mereka yang dicarikan pasangannya oleh murobbi atau
oleh mediator (ikhwan) lain. Hal ini karena dengan memilih sendiri pasangannya yang menonjol dipertimbangkan biasanya
hanya faktor zhohir (yang kelihatan) saja, seperti kecantikan/kegantengan, keturunan, status, atau kekayaan. Sedang faktor
pemahaman dakwahnya dikesampingkan, sehingga akhirnya di kemudian hari baru ketahuan ternyata pasangannya tidak bisa
menjadi partner dakwah, tapi malah menjadi penghalang dakwah.
Cara mengatasi peserta yang menurun aktivitas dakwahnya setelah menikah adalah dengan memberikan motivasi
kepadanya untuk bersemangat kembali berdakwah. Katakan kepadanya bahwa menikah bukanlah alasan untuk menurunkan
aktivitas dakwah, justru seharusnya menjadi alasan untuk meningkatkan aktivitas dakwah. Karena logikanya, setelah menikah
ada partner yang bisa saling membantu untuk memperlancar dakwah.
Hal ini juga berlaku untuk akhwat. Bukan alasan bagi akhwat setelah menikah untuk menurunkan aktivitas dakwahnya
dengan alasan prioritasnya sekarang beralih ke keluarga. Yang diperlukan bagi akhwat bukan pengurangan aktivitas dakwah,
tapi pengaturan aktivitas dakwah, sehingga keluarga dan dakwah di luar rumah tetap dapat terlayani dengan baik. Suatu hal
yang ironi, jika para akhwat memiliki pandangan harus menurunkan aktivitas dakwahnya di luar rumah setelah menikah. Jika
kebanyakan akhwat meninggalkan dakwah di luar rumah karena menikah, lalu siapa yang mendakwahi para wanita? Apakah
ikhwannya? Atau diserahkan pada akhwat pemula yang belum nikah? Atau diserahkan pada segelintir ummahat (akhwat yang
menikah) yang memiliki kemampuan “super”? Tentu hal ini tidak akan baik bagi perkembangan dakwah. Karena itu, menikah
seharusnya justru dijadikan sarana untuk meningkatkan --paling tidak mempertahankan-- aktivitas dakwah yang telah
dilakukan.
Untuk itu, dibutuhkan kerjasama antara suami istri dalam memperlancar dakwah masing-masing. Dibutuhkan dari kedua
belah pihak kemampuan untuk membimbing dan memberi motivasi kepada pasangannya agar selalu berdakwah. Bukan
sebaliknya, saling melemahkan dan menjauhkan pasangannya dari dakwah.
Mungkin ayat di bawah ini patut direnungkan dalam memacu semangat kita untuk tetap berdakwah walau telah menikah.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Robnya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhoaNya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini;
dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadanya itu melewati batas” (QS. 18 : 28).

[Menikah bukanlah alasan untuk mengurangi aktivitas dakwah, tapi justru menjadi alasan untuk meningkatkan
aktivitas dakwah]

BAB IV
PROBLEM MUROBBI

51. Wawasan dan keterampilan murobbi


Bagaimana cara meningkatkan wawasan dan keterampilan saya sebagai seorang murobbi?

Jawab :
Sebagai murobbi, Anda perlu meningkatkan wawasan dan keterampilan agar tidak ditinggalkan peserta. Sangat ironis, jika
murobbi sebagai pembina tertinggal wawasan dan keterampilannya dibandingkan peserta yang dibinanya.
Untuk selalu meningkatkan wawasan, Anda perlu melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Banyak membaca buku, terutama buku-buku agama, politik, manajemen, psikologi, dan sosial budaya.
2. Berlangganan minimal satu surat kabar/majalah, terutama surat kabar/majalah yang banyak menginformasikan tentang
perkembangan Islam.
3. Rajin mendengarkan siaran berita di televisi atau radio.
4. Suka menghadiri forum-forum kajian, seperti seminar, bedah buku, talk show, ceramah umum, dan lain-lain.
5. Suka bertanya dan berdiskusi, terutama tentang perkembangan Islam kontemporer.
6. Rajin mengakses internet, terutama situs yang terkait dengan perkembangan Islam.
7. Melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi atau mengikuti pendidikan informal (kursus-kursus).
Sedang untuk mengembangkan keterampilan, minimal Anda perlu memiliki keterampilan di bidang kemampuan bahasa
Arab, komunikasi efektif, manajemen/organisasi, dan kepemimpinan. Ditambah keterampilan khusus yang sesuai dengan bakat
Anda, seperti komputer, teknik, kesehatan, otomotif, menulis, dan lain-lain.
Untuk meningkatkan keterampilan, selain membutuhkan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan keterampilan yang
dikembangkan, juga dibutuhkan pengalaman. Biasanya semakin banyak pengalaman pada bidang tertentu, semakin terampil
kita di bidang tersebut.

[Selalu mengembangkan wawasan dan keterampilan merupakan prasyarat murobbi sukses]

52. Tidak dapat menjawab pertanyaan peserta


Saya pernah ditanya peserta tentang sesuatu hal, tapi saya tak dapat menjawabnya. Apa yang harus saya lakukan jika saya tak
dapat menjawab pertanyaan peserta?

Jawab :
Jika Anda ditanya peserta dan tak mampu menjawabnya, maka jangan sekali-jkali Anda mereka-reka jawabannya. Apalagi jika
pertanyaan tersebut berkenaan dengan hukum (syari’at). Lebih baik menjawab terus terang bahwa Anda tidak tahu. Anda tak
perlu kuatir jawaban itu akan menurunkan kredibilitas Anda (kecuali jika kerapkali menjawab tidak tahu kalau ditanya). Justru
kredibilitas Anda akan turun jika menjawab sekenanya dan peserta mengetahuinya.
Jika Anda tidak tahu, Anda bisa melemparkan pertanyaan tersebut kepada peserta lainnya. Mungkin di antara mereka ada
yang lebih mengetahui jawabannya. Hal ini juga menunjukkan penghargaan Anda kepada pengetahuan peserta. Namun jika
peserta lain juga tak ada yang bisa menjawab, sebaiknya pertanyaan itu ditangguhkan jawabannya.
Akan lebih baik lagi jika Anda kemudian mencoba mencari jawabannya dengan menghubungi ikhwah yang lebih paham
atau melalui sumber informasi lain. Lalu menyampaikan jawaban tersebut kepada peserta yang bertanya pada pertemuan
halaqah selanjutnya. Hal ini akan membuat peserta respek (hormat) kepada Anda karena Anda dilihat serius memperhatikan
kebutuhan peserta.

[Orang yang sok tahu biasanya karena minder dengan kekurangannya]

53. Bingung memberikan materi yang seharusnya diberikan


Seharusnya pada pertemuan pekan ini saya memberikan materi “X”, tapi saya bingung menguraikan materi itu kepada peserta.
Apa yang perlu saya lakukan?

Jawab :
Bingung memberikan materi yang seharusnya diberikan bisa disebabkan:
1. Bahan materi hilang atau tidak ditemukan.
Langkah yang perlu diambil adalah mengingat-ingat dimana bahan materi itu berada. Mungkin dipinjam, jatuh, atau diletakkan
di tempat yang tidak biasa. Jika setelah dicari tidak ketemu juga, maka cari bahan materi lain sebagai “selingan” selama bahan
materi yang seharusnya diberikan belum ditemukan. Sebaiknya materi “selingan” tidak jauh berbeda temanya dengan materi
yang seharusnya diberikan.
2. Bahan materi sulit dibaca, karena tulisan tidak jelas, kotor, kena air, dan sebagainya.
Langkah yang perlu dilakukan adalah mencoba mereka-reka apa sesungguhnya tulisan tersebut. Jika tidak terbaca juga,
tanyakan kepada murobbi atau ikhwah yang dahulu pernah mendapatkan materi yang sama. Kalau sulit menghubungi murobbi
atau ikhwah yang bersangkutan, cari bahan materi lain sebagai “selingan” selama bahan materi yang seharusnya diberikan
belum terbaca. Kalau bisa materi “selingan” tidak jauh berbeda temanya dengan materi yang seharusnya diberikan.
3. Bagian materi tertentu ditulis dalam bahasa Arab yang tidak dipahami artinya.
Langkah yang perlu diambil adalah menghubungi murobbi atau ikhwah yang pandai bahasa Arab. Tanyakan kepadanya apa arti
bahasa Arab tersebut. Jika tidak berhasil menghubungi murobbi atau ikhwah yang pandai bahasa Arab, cari bahan materi lain
sebagai “selingan” selama bahan materi yang seharusnya diberikan belum dipahami maksudnya. Kalau bisa materi “selingan”
tidak jauh berbeda temanya dengan materi yang seharusnya diberikan.
4. Bagian materi tertentu tidak dipahami maksudnya.
Langkah yang perlu dilakukan adalah menghubungi murobbi atau ikhwah yang dahulu pernah mendapatkan materi yang sama
dan menanyakan apa maksud materi tersebut. Jika tidak terhubung, cari bahan materi lain sebagai “selingan” selama bahan
materi yang seharusnya diberikan belum dipahami maksudnya. Upayakan agar materi “selingan” tidak jauh berbeda temanya
dengan materi yang seharusnya diberikan.
5. Kesulitan untuk menjelaskan bagian materi tertentu, baik dari sisi argumentasi, dalil naqli (Al Qur’an dan hadits), ilustrasi
atau contoh kasus.
Langkah yang perlu diambil adalah mencari referensi berupa buku-buku yang bisa memperkaya uraian materi tersebut. Dari
buku-buku referensi tersebut, Anda kemudian membuat bahan materi, termasuk di dalamnya mencantumkan dalil, membuat
ilustrasi dan contoh kasus. Bisa juga dengan cara menghubungi murobbi dan meminta ia untuk menerangkan kembali materi
tersebut secara singkat.

[Orang yang bingung adalah orang yang tidak berani mengambil keputusan]

54. Bila peserta teman murobbi


Dapatkah hubungan antara murobbi dan peserta dilanjutkan jika mereka dahulu merupakan teman akrab?

Jawab :
Selama peserta tidak merasa keberatan, sebenarnya tak ada halangan yang prinsip untuk meneruskan hubungan pertemanan
menjadi hubungan antara murobbi dan peserta halaqah. Bahkan ada keuntungannya, yaitu murobbi lebih mudah “mengobati
penyakit” peserta karena ia telah mengenalnya dengan akrab.
Namun murobbi yang membina teman akrabnya sendiri perlu memiliki mental yang kuat. Sebab membina teman sendiri
memiliki hambatan psikologis, yaitu sulitnya murobbi menempatkan diri sebagai qiyadah (pemimpin) di hadapan peserta yang
juga temannya itu. Kesulitan ini bisa menjadi kendala dalam koordinasi dakwah, karena akhirnya murobbi sungkan menegur
atau memberikan tugas kepada peserta tersebut. Karena itu, jika murobbi belum siap mental untuk membina temannya sendiri
lebih baik temannya itu diserahkan kepada murobbi lain untuk dibina.
[Dibutuhkan mental yang kuat, jika seorang murobbi ingin membina temannya sendiri]

55. Peserta lebih tua usianya dari murobbi


Bolehkah peserta halaqah usianya lebih tua dari murobbinya? Bagaimana sikap saya sebagai murobbi menghadapi peserta yang
usianya jauh lebih tua dari saya?

Jawab :
Bukan hal yang tabu jika murobbi membina peserta yang lebih tua usianya. Apalagi jika peserta itu rela dipimpin oleh murobbi
yang usianya di bawah dia. Namun Rasulullah SAW mengajarkan bahwa kita harus menghormati mereka yang usianya lebih
tua. “Bukan dari golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita”
(HR. Thabrani). Sejalan dengan hadits tersebut, sebaiknya sikap murobbi kepada peserta yang usianya lebih tua adalah tetap
menghormatinya. Misalnya, jika memberikan tugas dengan cara yang tidak menyuruh. Jika menasehati dengan cara yang tidak
menggurui. Mendahulukannya dalam berbagai kesempatan, seperti mencicipi makanan, memimpin sholat, dan lain-lain. Akan
tetapi sikap murobbi yang menghormati peserta yang lebih tua tidak mesti membuat murobbi sungkan memimpin atau menegur
peserta tersebut. Jadi sikap menghormati peserta yang lebih tua tidak boleh menghilangkan sikap asertif (tegas) murobbi
terhadap binaannya. Disini dibutuhkan kesiapan mental murobbi. Jika murobbi tidak siap mental untuk membimbing peserta
yang lebih tua usianya, sebaiknya peserta tersebut diserahkan kepada murobbi lain.

[Usia yang lebih tua sudah cukup layak untuk membuat kita menghormati seseorang. Tidak peduli siapapun ia]

56. Memobilisasi peserta untuk muzhoharoh (aksi damai)


Bagaimana cara memobilisasi peserta agar mau mengikuti muzhoharoh (aksi damai)? Sampai sejauh mana kepentingan
muzhoharoh bagi peserta halaqah saya?

Jawab :
Muzhoharoh (aksi damai) adalah kegiatan menyampaikan aspirasi tertentu kepada lembaga negara atau institusi tertentu.
Kegiatan ini biasanya merupakan gabungan dari beberapa halaqah yang diprogram oleh jama’ah. Dalam melaksanakan
kegiatan ini ada banyak hikmah yang dapat dipetik, antara lain :
1. Peserta belajar tentang keberanian, baik keberanian menyatakan pendapat, keberanian menghadapi orang (provokator)
yang berupaya mengacaukan aksi damai, keberanian untuk bernegosiasi dengan aparat, dan lain-lain.
2. Peserta belajar tentang kerjasama pada tingkat yang lebih sulit.
3. Peserta belajar untuk menghadapi reaksi publik
4. Peserta belajar untuk berkorban waktu, tenaga dan dana.
5. Peserta belajar untuk menghadapi pressure (tekanan) yang tinggi dari aparat atau orang yang tidak senang dengan aspirasi
jama’ah.
Semua hikmah tersebut bermanfaat untuk tarbiyah jihadiyah (mendidik semangat jihad) peserta. Hal ini penting agar suatu
ketika jika terjadi mi’nah (cobaan) terhadap dakwah dan jama’ah, peserta sebagai anggota jama’ah sudah siap untuk ikut
menanggungnya.
Sebagai murobbi, Anda perlu menegaskan kepada peserta bahwa dakwah bukanlah jalan yang mulus. Banyak cobaan yang
akan dihadapi jika ingin istiqomah (komitmen) di jalan dakwah. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. 29 : 2). Karena itu, peserta halaqah perlu dibekali
dengan tarbiyah jihadiyah agar siap menghadapi berbagai cobaan. Muzhoharoh adalah salah satu sarana yang tepat untuk
tarbiyah jihadiyah. Hal inilah yang harus Anda tekankan kepada peserta agar mereka mau mengikuti muzhoharoh.
Realita di lapangan memang menujukkan adanya peserta yang takut atau tidak menganggap penting muzhoharoh, sehingga
akhirnya tidak hadir dalam muzhoharoh yang diperintahkan murobbinya. Jika alasannya ketidak ikutsertaannya adalah syar’i,
misalnya karena sakit, tidak dapat izin keluar kantor, atau ada tugas lain dari jama’ah, maka hal itu dapat ditolerir. Namun jika
alasan sebenarnya adalah takut atau tidak menganggap penting, berarti ada “penyakit” dakwah yang perlu disembuhkan pada
diri peserta.
Terhadap peserta yang takut, murobbi perlu memberikan penjelasan bahwa tidak boleh takut kepada siapapun kecuali
Allah. Apalagi takut kepada sesuatu yang belum tentu menimpa kita. Ketakutan kepada selain Allah dapat menjerumuskan
seseorang kepada syirik (mempersekutukan Allah). “..Mengapa kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak
kamu takuti, jika kamu benar-benr orang yang beriman” (QS. 9 : 13).
Sedang kepada peserta yang tidak menganggap penting muzhoharoh perlu dijelaskan bahwa muzhoharoh bukan hanya
penting bagi tarbiyah jihadiyah, tapi juga penting bagi pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan kewajiban
setiap muslim dan setiap jama’ah. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. 3 : 1-04).

[Amar ma’ruf nahi mungkar harus dilakukan dengan berbagai cara dan sarana yang hikmah]

57. Bila peserta memiliki kapabilitas fikri (pemikiran) dan mobilitas dakwah yang lebih tinggi daripada murobbi
Saya menangani peserta yang kapabilitas pemikirannya dan mobilitas dakwahya jauh di atas saya? Saya jadi agak minder
menghadapinya. Bagaimana saya harus bersikap kepadanya?

Jawab :
Seharusnya Anda tidak perlu minder terhadap peserta yang kapabilitas pemikiran dan dakwahnya lebih tinggi dari Anda, karena
bagaimanapun Anda telah ditakdirkan Allah untuk lebih tinggi darinya dalam masalah kepemimpinan. Justru seharusnya
peserta tersebut menjadi pemicu semangat bagi Anda untuk meningkatkan kapabilitas diri Anda, sehingga semakin tidak
tertinggal dengannya. Caranya bisa dengan “memanfaatkannya”, yaitu dengan meminta kepadanya “mengajari” Anda. Bahkan
Anda bisa “memanfaatkannya” untuk meningkatkn kapabilitas teman-teman satu halaqahnya. Misalnya dengan memberikan
waktu khusus kepadanya untuk “mengajari” Anda dan teman-teman satu halaqahnya tentang sesuatu yang merupakan
kelebihan dirinya. Insya Allah, ia akan senang melakukannya. Anda juga akan lebih dihormatinya, karena dilihatnya Anda
menghargai kapabilitasnya.

[Jangan minder terhadap orang yang kapabilitasnya lebih tinggi dari Anda. Justru Anda perlu mendekatinya untuk
“mengajari” Anda]

58. Murobbi yang kehabisan bahan materi


Apa yang harus saya lakukan jika materi paket (kurikulum) yang saya miliki sudah saya berikan seluruhnya kepada peserta?

Jawab :
Ada beberapa sebab mengapa Anda sampai kehabisan materi paket (materi yang sesuai kurikulum):
1. Karena Anda terlalu cepat memberikan materi, sehingga materi paket habis sebelum waktunya.
2. Karena Anda sering tidak ikut halaqah, sehingga “pasokan” materi dari murobbi Anda tidak begitu banyak yang Anda
terima.
3. Karena Anda memegang halaqah terlalu lama, sehingga materi paket yang terbatas waktunya menjadi habis.
4. Karena Anda tidak mempunyai catatan materi yang rapi, sehingga banyak materi yang tercecer dan Anda hanya memegang
sedikit materi.
Sebenarnya jika pandai menata halaqah, Anda tidak akan mengalami kondisi kehabisan materi. Misalnya, dengan mengatur
pemberian materi sesuai dengan prediksi waktu Anda dalam memegang halaqah tersebut. Atau rajin menghadiri halaqah, rajin
mencatat materi dan rapi menyimpannya.
Bagaimana caranya jika materi paket sudah habis diberikan? Caranya adalah dengan memberikan materi bebas (materi
yang Anda dapat dari sumber manapun) atau materi “modifikasi” (materi yang Anda buat sendiri). Tentu dengan syarat materi
tersebut tidak menyimpang dari materi paket. Bahkan melengkapi dan menunjang pemberian materi paket. Dan agar Anda tidak
kehilangan kredibilitas sebagai murobbi, maka tak perlu menyampaikan kepada peserta bahwa Anda telah kehabisan materi
paket.
Namun kalau Anda tidak punya waktu untuk mencari atau membuat materi, maka halaqah tersebut sebaiknya ditransfer ke
murobbi lain yang lebih banyak mempunyai bahan materi. Sebab suatu hal yang musykil jika Anda memegang halaqah tapi
tidak pernah lagi atau jarang memberikan materi. Kalau itu yang terjadi, maka halaqah akan kehilangan salah satu fungsinya,
yaitu memberikan tarbiyah fikriyah (peningkatan wawasan) kepada pesertanya.

[Sesungguhnya banyak sekali hal yang dapat kita sampaikan kepada orang lain. Asalkan kita mampu meramunya
secara menarik dan mudah dipahami]

59. Medan dakwah peserta dan murobbi sama


Bagaimana jika murobbi dan peserta yang dibinanya sama-sama aktif di medan dakwah yang sama?

Jawab :
Tidak ada larangan bagi murobbi dan peserta halaqah untuk berada pada medan dakwah yang sama. Bahkan hal itu akan lebih
memudahkan dalam:
1. Koordinasi dan kerjasama antara murobbi dengan peserta.
2. Memantau peserta, sehingga murobbi tahu banyak tentang perkembangan peserta.
3. Mengakrabkan hubungan antara murobbi dengan peserta.
4. Mencari solusi terhadap masalah peserta.
Namun adakalanya peserta yang berada pada satu medan dakwah dengan murobbi bisa menjadi kurang mandiri dan kreatif
dalam berdakwah, karena murobbi juga mengatur kerja dakwah yang sifatnya teknis. Untuk menghindari dampak negatif
tersebut, sebaiknya murobbi tidak perlu terlalu campur tangan dalam masalah teknis. Sebaiknya peran murobbi di medan
dakwah tersebut sebagai pembina atau penasehat, bukan pengurus langsung. Jikapun murobbi, karena pertimbangan tertentu,
harus menjadi pengurus, maka murobbi perlu lebih banyak mendelegasikan wewenangnya kepada pengurus lain yang menjadi
binaannya.

[Pendelegasian adalah jalan untuk mengembangkan kemandirian dan kreativitas orang lain]
60. Cara mengkritik murobbi
Bagaimana cara mengkritik (menasehati) murobbi yang tidak membuat ia tersinggung?

Jawab :
Cara mengkritik (menasehati) murobbi memang berbeda dengan menasehati ikhwah atau orang lain. Murobbi secara psikologis
seringkali menganggap dirinya yang perlu menasehati peserta, bukan sebaliknya. Padahal dalam realitanya murobbi juga
memiliki kekurangan yang perlu mendapatkan nasehat dari orang lain, termasuk dari peserta halaqah itu sendiri.
Cara peserta untuk mengkritik (menasehati) murobbi adalah memperhatikan hal-hal berikut :
1. Tidak menggunakan kata-kata yang langsung dan vulgar, tapi menggunakan kata-kata sindiran, pertanyaan atau contoh
perilaku dari peserta sendiri. Misalnya, jika murobbi kurang rajin membaca Al Qur’an, peserta bisa “mengkritiknya”
dengan menceritakan kisah para sahabat yang rajin membaca Al Qur’an ketika ia berkesempatan mengobrol dengan
murobinya. Bisa juga dengan melempar pertanyaan, seperti: “Bagaimana ya caranya supaya kita bisa membaca Al
Qur’an lebih rajin lagi?”. Bisa juga “mengkritiknya” dengan cara memberikan contoh dengan melaporkan kepada
murobbi tentang sejauh mana bacaan Al Qur’an peserta.
2. Tidak menyampikan kritik terhadap murobbi di depan banyak orang (apalagi di hadapan peserta lainnya). Lebih baik
dilakukan secara empat mata dan langsung (tidak melalui sarana telekomunikasi).
3. Sampaikan kritik dengan sabar dan berulang-ulang, tapi dengan cara dan situasi yang berbeda-beda.
4. Bisa juga kritik kepada murobbi disampaikan dengan mengajukan usulan program halaqah untuk memperbaiki
kekurangan murobbi. Misalnya, jika murobbi terlihat lemah semangatnya (futur), peserta bisa mengusulkan kepada
murobbi agar mengadakan program mabit atau jalasah ruhiyah (pertemuan ruhiyah).
5. Bisa juga kritik peserta disampaikan melalui “perantara” yaitu ikhwah lain yang disegani atau dekat dengan murobbi.
Sampaikan permasalahannya tanpa menjelek-jelekkan murobbi dan minta tolong agar ikhwah tersebut
menyampaikannya kepada murobbi.
6. Jika murobbi tersinggung dan marah terhadap kritik yang disampaikan peserta, walau peserta telah berusaha
mengkritiknya secara halus, sebaiknya peserta segera meminta maaf dan mengatakan kepada murobbi bahwa kritiknya
dilakukan tanpa tendensi apapun. Semata-mata sebagai wujud rasa kasih peserta terhadap murobbinya.
7. Jika murobbi setelah dikritik berulang-ulang dan dengan berbagai cara ternyata tidak berubah juga, maka ada dua hal
yang bisa dilakukan peserta. Pertama, menerima kekurangan murobbi selama hal itu tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip ajaran Islam (selama kekurangannya bersifat kecil dan sepele). Kedua, jika kekurangan murobbi bersifat
prinsipil dalam Islam, bahkan termasuk dosa besar, peserta sebaiknya mencari murobbi lain yang lebih baik. Dengan
catatan, kepindahan peserta tersebut dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin.

BAB V
PROBLEM KEAKHWATAN

61. Pakai jilbab, tapi jilbab “gaul”


Bagaimana sikap saya sebagai murobbi jika ada peserta halaqah yang menggunakan jilbab tapi belum sempurna (alias jilbab
“gaul”)?

Jawab :
Sikap murobbi tergantung dari tahapan tarbiyah peserta. Jika peserta masih pemula, maka peserta yang memakai jilbab “gaul”
tak perlu dipermasalahkan. Bahkan perlu disyukuri, karena hal itu lebih baik daripada ia sama sekali belum berjilbab. Anda
tidak perlu memaksanya untuk memakai jilbab yang lebih sempurna. Biarkan ia mengikuti halaqah, walau jilbabnya belum
sempurna. Perlakukan ia sama dengan teman satu halaqahnya yang sudah berjilbab dengan sempurna. Jangan “dianaktirikan”.
Yang penting, Anda terus memberikan materi dasar-dasar Islam kepadanya. Nanti setelah ia memahami Islam dan memahami
kewajiban seorang muslimah (termasuk kewajiban memakai jilbab dengan baik ), maka dengan sendirinya ia akan memakai
jilbab yang lebih sempurna.
Namun jika peserta itu sudah lama halaqahnya, Anda perlu bersikap lebih tegas. Sebab ia telah mendapatkan materi
tentang Islam dan tentang kewajiban seorang muslimah berjilbab dengan sempurna. Jilbab “gaul” bukanlah jilbab dalam
pengertian sesungguhnya (ketat, transparan, dan masih memperlihatkan bagian tubuh terlarang). Ia hanya pakaian biasa yang
menyerupai jilbab dan masih bertentangan dengan syar’i. Rasulullah bersabda, “Hai Asma, sesungguhnya anak wanita itu
kalau sudah sampai datang bulan, tidak pantas terlihat tubuhnya, kecuali ini dan ini. Beliau berkata demikian sambil
menunjuk kepada muka dan telapak tangnnya” (HR. Abu Daud).
Oleh karena itu, Anda perlu memintanya untuk memakai jilbab yang lebih sempurna. Jika ia tetap menolak, berikan
peringatan dua kali lagi pada rentang waktu yang sama. Jika ia tetap tidak mau berjilbab yang sempurna, keluarkan ia dari
halaqah dengan cara yang baik (misalnya, dengan mengembalikan ia ke ta’lim ‘ammah/pengajian umum). Ia belum layak ikut
halaqah, karena halaqah adalah tempat bagi orang yang serius mengislamkan dirinya.
[Jilbab bukanlah jilbab, jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi]

62. Konflik dengan ikhwah di medan dakwah tertentu


Peserta akhwat saya konflik dengan ikhwan (aktivis dakwah pria) di medan dakwahnya. Bagaimana sikap saya sebagai
murobbinya?

Jawab :
Akhwat yang konflik dengan ikhwah di medan dakwah yang sama sebetulnya tak perlu terjadi. Biasanya konflik itu bermula
dari komunikasi yang tidak transparan dan tersendat, sehingga menimbulkan prasangka negatif dan ketersinggungan. Kemudian
jika tidak cepat diselesaikan, berkembang menjadi konflik yang makin lama makin besar.
Karena itu, peran Anda sebagai murobbi adalah menekankan kepada peserta untuk berkomunikasi dengan ikhwannya
secara lebih terbuka dan cepat. Kalau perlu Anda membantu mereka untuk membuat sistem komunikasi di medan dakwah
tersebut. Misalnya, dengan membuat rapat koordinasi rutin antara ikhwan dan akhwat. Menunjuk orang tertentu sebagai
penghubung antara ikhwan dan akhwat. Bahkan kalau perlu memanfaatkan teknologi informasi (komputer) untuk membuat
mailing-list atau homepage.
Jikapun ada hal-hal amniyah (keamanan) yang tidak boleh diketahui oleh sembarang ikhwah/akhwat, maka hal itu harus
dibuat sistemnya dengan jelas dan harus dipahami oleh kedua belah pihak (ikhwan/akhwat).
Biasanya, jika komunikasi sudah terbuka dan lancar, banyak masalah yang tadinya sulit diselesaikan menjadi lebih mudah
untuk diselesaikan.

[Sebagian besar konflik bermula dari komunikasi yang tersendat dan tertutup]

63. Bawa anak ke halaqah


Peserta halaqah saya (akhwat) ada yang sering membawa anak ketika halaqah dengan alasan sambil mengasuh anak. Bolehkah
kita membawa anak ketika halaqah?

Jawab :
Idealnya seorang akhwat yang menghadiri halaqah tidak membawa anak. Sebab hal itu dapat mengganggu konsentrasi peserta
itu sendiri, murobbi, maupun teman-teman satu halaqahnya. Apalagi jika yang membawa anak lebih dari satu orang. Halaqah
akan berlangsung kurang khidmat karena berisik dengan suara teriakan dan tangisan anak. Hal ini akhirnya akan berpengaruh
pada efektivitas tarbiyah peserta.
Namun peserta yang membawa anak ke halaqah biasanya beralasan karena tidak ada yang mengurus anaknya di rumah.
Mungkin karena tidak ada khodimat (pembantu rumah tangga), suami bekerja, atau anak masih perlu menyusui.
Menghadapi persoalan ini, sebagai murobbi Anda perlu bersikap sebagai berikut :
a. Untuk peserta pemula, Anda perlu bersikap persuasif dengan menghimbau agar mereka tidak membawa anak.
Jelaskan dengan sabar bahwa membawa anak ketika halaqah membuat suasana menjadi kurang khidmat dan mengganggu
konsentrasi peserta halaqah dan murobbi. Kalau perlu, Anda membantu mereka mencari solusi agar anaknya tidak dibawa
ke halaqah. Namun jika peserta tetap membawa anaknya ke halaqah dengan berbagai alasan, maka Anda tidak perlu
memaksanya. Biarkan hal itu berlangsung untuk sementara waktu. Walau untuk itu, Anda harus lebih sabar menangani
halaqah yang suasananya kurang khidmat tersebut.
b. Untuk peserta yang sudah lama tarbiyah dan sudah tsiqoh (percaya) kepada Anda, maka perlu diambil sikap yang
lebih tegas. Anda perlu melarang mereka untuk membawa anak ketika halaqah. Hal ini karena masih ada solusi alternatif
yang sebenarnya bisa diambil jika peserta mau sungguh-sungguh untuk tidak membawa anaknya ke halaqah. Kalau perlu
Anda dapat membuat kesepakatan dengan mereka untuk memberikan sanksi (yang mendidik) kepada peserta yang masih
tetap membawa anak.

[Bukan hanya sholat yang perlu khusyu’. Segala amal sholih juga harus dilakukan dengan khusyu’, termasuk
menghadiri halaqah]

64. Akhwat yang bekerja, sehingga sulit ikut halaqah


Bagaimana menghadapi peserta akhwat yang jarang hadir halaqah karena kesibukannya di tempat kerja?

Jawab :
Sebenarnya tak ada alasan bagi akhwat untuk tidak menghadiri halaqah, termasuk alasan kesibukan kerja. Jika kesibukan
kerja akhwat sampai membuat ia tak dapat atau jarang menghadiri halaqah, berarti ia sudah bekerja berlebihan. Ia sebenarnya
tidak hanya sekedar bekerja mencari nafkah, tapi sudah berkarir. Padahal dalam Islam, akhwat tidak dibenarkan berkarir sampai
menelantarkan sesuatu yang lebih penting, seperti mengurus keluarga atau mentarbiyah dirinya (mengikuti halaqah).
Jadi sesungguhnya tak ada alasan bagi akhwat untuk tidak menghadiri halaqah karena alasan kesibukan kerja. Anda perlu
menekankan hal ini padanya agar ia bisa bersikap proporsional dalam memandang kerja dan tarbiyah.
[Seorang muslimah tidak wajib bekerja, yang wajib adalah mentarbiyah dirinya. Karena itu, kesibukan kerja tak bisa
menghalangi kehadiran seorang muslimah dalam halaqah]

65. Suami yang perkembangan dan kesibukan dakwahnya “di bawah” isteri
Bagaimana jika seorang akhwat mempunyai suami yang perkembangannya “di bawah” istrinya? Apa sikap yang perlu diambil
oleh akhwat tersebut?

Jawab :
Jika perkembangan suami “di bawah” isteri, maka isteri harus mampu menempatkan diri agar suaminya tidak merasa
“dilangkahi”. Artinya, sang isteri tetap perlu menghormati dan mentaati suami (dalam hal yang tidak bertentangan dengan
Islam). Isteri juga jangan membanggakan aktivitas dakwahnya yang lebih dari suaminya karena hal itu dapat membuat
suaminya minder. Isteri juga tetap harus mampu menunjukkan pada suami bahwa walau ia sibuk berdakwah, tapi pelayanan
terhadap suami dan mengurus anak tetap bisa dilakukan dengan baik.
Jika isteri tidak bisa bersikap seperti yang disebutkan di atas, besar kemungkinan ada “perlawanan” dari suami terhadap
kesibukan dakwah isteri. Ia akan mencari-cari alasan untuk “menghalangi” dakwah isteri. Dan jika isteri tetap tidak bisa
bersikap bijaksana menghadapi suami yang mencoba “menghalangi” dakwahnya, maka yang terjadi adalah pertengkaran suami
isteri. Rumah tangga bisa berjalan kurang harmonis. Kalau hal ini berlangsung terus menerus, bukan hanya akan berdampak
negatif bagi suami isteri itu saja, tapi juga akan berdampak negatif bagi citra dakwah.

[Pemahaman seseorang terkait erat dengan siapa ia bergaul]


66. Suami yang perkembangan dan kesibukan dakwahnya “di atas” isteri
Kalau sebaliknya bagaimana? Yaitu kesibukan dakwah suami jauh lebih banyak dari istrinya?

Jawab ;
Merupakan hal yang wajar jika kesibukan dakwah suami lebih banyak dari isterinya. Karena dalam Islam, beban dakwah suami
di luar rumah memang harus lebih banyak dari isterinya. Isteri harus lebih banyak berdakwah di dalam rumah (mengurus
keluarga), sedang suami di luar rumah. Jadi hal ini tak perlu dipermasalahkan.
Akan menjadi persoalan jika hal ini tidak diiringi dengan pemahaman isteri tentang kesibukan dakwah suami. Ini bisa
terjadi jika suami sangat sibuk berdakwah, sedang isteri “tenggelam” di rumah mengurus keluarga atau sibuk berkarir di tempat
kerjanya. Ia jarang bergaul dengan sesama akhwat dan jarang menghadiri halaqah. Kondisi semacam ini potensial untuk
munculnya kesenjangan pemahaman hingga akhirnya isteri mulai menuntut suami agar mengurangi kesibukan dakwahnya.
Alasannya bisa macam-macam, dari menelantarkan anak, sibuk sendiri dan tak mau membantu isteri, tuntutan ekonomi, dan
lain-lain. Pada situasi itu, jika suami tak mampu bersikap bijaksana, maka yang terjadi adalah konflik rumah tangga.
Mestinya disini dituntut kemampuan suami untuk membimbing isterinya agar paham tentang kesibukan dakwah yang
dilakukannya. Bukan malah sebaliknya, suami “mengalah” pada tuntutan isteri sehingga mengurangi, bahkan “pensiun” dari
dakwah. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 64 : 14). Jika isteri
menghalangi dakwah suaminya, ia bisa termasuk isteri yang disebutkan Allah pada ayat tersebut. Karena itu, Allah meminta
suami bersikap hati-hati dan mampu membimbing isteri dengan lemah lembut agar ia tidak menghalangi dakwah suaminya. Di
sisi lain, suami juga perlu mengatur aktivitas dakwahnya agar tidak menelantarkan kewajibannya sebagai suami dan kepala
rumah tangga.
Hal inilah yang perlu dijelaskan oleh murobbi terhadap peserta akhwat jika ia mulai mengeluh dan merasa keberatan
terhadap kesibukan dakwah suaminya.

[Idealnya, beban dakwah suami harus lebih banyak daripada beban dakwah isteri]

67. Tidak hadir halaqah karena mengurus keluarga


Sampai sejauh mana toleransi saya sebagai murobbi terhadap peserta akhwat yang tidak hadir halaqah dengan alasan kesibukan
keluarga (mengurus suami/anak)?

Jawab :
Jika peserta akhwat tidak hadir di halaqah karena alasan kesibukan mengurus keluarga, maka hal itu bisa termasuk uzur syar’i
(halangan sesuai syar’i), sehingga boleh meninggalkan halaqah. Dalam Islam, prioritas kegiatan akhwat adalah mengurus
keluarga. Setelah itu mentarbiyah dirinya (mengikuti halaqah), kemudian baru kegiatan-kegiatan lainnya (bekerja, aktif di
organisasi, dan lain-lain).
Namun alasan mengurus keluarga bisa menjadi tidak syar’i jika karena alasan tersebut ia menjadi sering meninggalkan
halaqah. Yang terjadi disini bukannya memprioritaskan keluarga, tapi ketidakmampuan membagi waktu untuk
menyeimbangkan antara berbagai kewajiban syar’i. Atau mungkin karena alasan lain. Mungkin karena ia malas atau bosan
menghadiri halaqah. Mungkin juga karena dilarang suami.
Jika sebabnya karena ketidakmampuan mengatur waktu antara mengurus keluarga dan menghadiri halaqah, maka perlu
dijelaskan kepadanya tentang bagaimana cara mengatur waktu.
Jika sebabnya karena malas atau jenuh menghadiri halaqah, maka Anda perlu memberikan motivasi kepadanya dan
menjelaskan urgensi halaqah dalam kehidupannya.
Jika alasannya karena dilarang suami, maka Anda perlu menjelaskan kepadanya tentang bagaimana cara menghadapi
suami yang sering melarang isterinya untuk menghadiri halaqah.

[Uzur syar’i yang disampaikan berkali-kali berarti bukan uzur syar’i]

68. Sulit halaqah karena kurang disetujui/didukung suami


Ada peserta akhwat saya yang kurang disetujui dan tidak didukung suaminya untuk ikut halaqah? Apa yang mestinya ia
lakukan?

Jawab :
Semestinya suami mendukung isteri untuk ikut halaqah. Bahkan kalau bisa rela menanggung sebagian tugas rumah tangga atau
mengantarnya agar isterinya bisa menghadiri halaqah secara rutin. Kadangkala ada suami yang egois. Ia tidak mau tahu tentang
jadwal halaqah isterinya. Pokoknya setiap ia membutuhkan isterinya, maka isterinya harus siap membantunya. Walau untuk itu,
isterinya terpaksa tidak hadir dalam halaqah. Alasannya, taat kepada suami lebih utama daripada taat kepada murobbi. Suami
semacam ini kurang menyadari bahwa kalau isteri sering meninggalkan halaqah maka yang rugi adalah isteri dan suami itu
sendiri.
Suami rugi karena isterinya tidak mendapat pendidikan keislaman yang baik. Yang dapat berdampak pada pemahamannya
yang lemah dalam mengelola rumah tangga dan mendidik anak secara Islami. Juga akan berdampak pada pemahamannya yang
lemah terhadap Islam dan dakwah. Cepat atau lambat, akan terjadi kesenjangan pemahaman antara suami isteri. Suami mungkin
heran mengapa isterinya sekarang berubah. Semakin tidak memahami cara mengelola rumah tanga secara Islami atau tidak
memahami dakwah. Ia lupa bahwa sebabnya adalah dirinya sendiri yang sering melarang isterinya untuk ikut tarbiyah
(halaqah).
Isteri juga rugi karena ia tak dapat memenuhi kewajibannya untuk mentarbiyah dirinya sendiri. Mungkin isteri juga punya
pemikiran bahwa tarbiyah di halaqah bisa digantikan dengan tarbiyah dalam bentuk lain, termasuk tarbiyah dengan suaminya.
Padahal tarbiyah di halaqah tak bisa digantikan dengan tarbiyah dalam bentuk lain. Tarbiyah di halaqah memiliki
keistimewaan yang khas, seperti adanya ukhuwah, tausiyah yang rutin, materi yang khas, informasi perkembangan dakwah dan
Islam, tugas-tugas pengembangan diri, tugas-tugas amal jama’i serta kontrol dari murobbi dan jama’ah. Semua keistimewaan
itu belum tentu bisa didapatkan melalui sarana tarbiyah lain.
Oleh karena itu, jika isteri sering atau sama sekali dilarang suami untuk ikut halaqah, maka larangan itu adalah larangan
yang bertentangan dengan syar’i. Sebab mentarbiyah diri hukumnya wajib. “Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi muslim
dan muslimah” (HR. Ibnu Majah). Sedang halaqah adalah sarana tarbiyah yang paling efektif karena berbagai keistimewannya.
Sebab itu, isteri tak perlu patuh kepada suami jika suaminya sering melarang ia ikut halaqah. Walau alasan suami adalah demi
anak dan keluarga atau alasan jika mendurhakai suami berarti tidak bisa masuk surga. Alasan tersebut tidak bisa menghalangi
isteri untuk ikut halaqah. Isteri hanya boleh mematuhi perintah suami jika perintah tersebut tidak bertentangan dengan syar’i.
Tapi jika sudah bertentangan, maka haram hukumnya isteri mematuhi suami.
Suami yang memerintahkan isterinya untuk tidak datang tarbiyah (halaqah) berarti memberikan perintah yang
bertentangan dengan perintah Allah agar setiap pribadi mentarbiyah (menuntut ilmu) untuk kemaslahatan dirinya. Perintah
Allah harus didahulukan daripada perintah suami. Oleh sebab itu, dalam hal ini isteri boleh tidak mentaati perintah suaminya.
Hal ini tidak berlaku, jika larangan suami tersebut mempunyai alasan syar’i yang kuat. Misalnya, ia melarang isterinya
datang ke halaqah karena situasi menuju tempat halaqah tidak aman, sedang ia sendiri tidak bisa mengantarkan isterinya
karena sakit. Atau isteri sedang sakit yang dikhawatirkan suaminya penyakitnya akan semakin parah. Atau alasan lainnya yang
sesuai syar’i. Sebaiknya, syar’i atau tidaknya alasan suami melarang istrinya perlu didiskusikan antar suami isteri, sehingga
tidak terjadi kesalahpahaman. Kalau perlu libatkan orang ketiga (ikhwah) yang mengerti syar’i agar keputusanna lebih obyektif.
Namun walau alasannya syar’i, larangan suami terhadap isterinya untuk tidak mengikuti halaqah hanya bersifat temporer.
Ketika situasi yang mengakibatkan larangan itu sudah tidak ada lagi, maka isteri harus kembali diperbolehkan untuk
menghadiri halaqah. Suami yang melarang isterinya untuk terus menerus tidak menghadiri halaqah adalah indikasi dari belum
utuhnya pemahaman suami terhadap pentingnya tarbiyah bagi isteri.
Hal inilah yang perlu dijelaskan oleh murobbi kepada peserta akhwat yang sering atau sama sekali dilarang suaminya untuk
ikut halaqah. Murobbi juga perlu menganjurkan kepada peserta tersebut untuk melakukan langkah-langkah berikut :
1. Menjelaskan kepada suaminya mengenai urgensi halaqah. Juga mendiskusikan hal-hal apa saja yang menjadi keberatan
suami jika isterinya ikut halaqah. Kalau perlu, libatkan orang ketiga (ikhwah) yang disegani suami untuk menjelaskan
urgensi halaqah bagi seorang istri.
2. Jika suami tetap melarang, padahal alasan pelarangan tersebut tidak syar’i, istri harus tetap mengikuti halaqah walau
secara diam-diam (tidak perlu minta izin suami).
3. Jika suami mengetahui dan marah, maka isteri harus tetap mengikuti halaqah. Perintah Allah untuk mentarbiyah diri harus
didahulukan daripada perintah suami yang melarang istri mengikuti tarbiyah. Anggap hal itu sebagai cobaan dari Allah dan
minta kepada Allah agar suami diberikan hidayah.
.
[Suami yang melarang istrinya ikut halaqah bisa menjerumuskan dirinya sendiri dan isterinya ke jurang kebinasaan]

69. Suami yang ingin menikah lagi


Peserta akhwat saya menceritakan kepada saya sebagai murobbinya bahwa suaminya ingin menikah lagi? Apa yang perlu saya
lakukan?

Jawab :
Anda perlu memberikan masukan kepada peserta akhwat tersebut bahwa pada prinsipnya Islam membolehkan suami untuk
menikah lagi (poligami). “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. 4 : 3). Namun, seperti yang disebutkan pada ayat tersebut, syaratnya
suami mampu berlaku adil. Jika suami kelihatannya belum mampu berlaku adil, terutama dalam nafkah, maka suami perlu
menahan diri untuk poligami (ta’adud). Sebab jika ia memaksakan diri untuk menikah lagi, besar kemungkinan isterinya akan
teraniaya. Hal inilah yang perlu Anda sampaikan kepada peserta akhwat tersebut.
Peserta perlu bertanya secara jujur kepada dirinya sendiri apakah suaminya telah mampu berlaku adil. Jika peserta
meyakini suaminya telah berlaku adil dan tetap dapat berlaku adil setelah menikah lagi nantinya, maka ia tidak boleh
menghalangi suaminya untuk menikah lagi. Akan tetapi jika peserta tidak yakin suaminya mampu bersikap adil, ia perlu
memberikan tausiyah (nasehat) kepada suaminya. Kalau perlu, untuk memberikan nasehat itu ia meminta bantuan kepada orang
yang disegani suami.
Dalam memberikan nasehat, perlu disampaikan argumentasi yang kuat (berdasarkan dalil naqli dan aqli) serta contoh-
contoh kasus yang menunjukkan belum mampunya suami bersikap adil. Disini perlu dijaga agar tausiyah tetap berlangsung
secara obyektif dan rasional, tanpa terlalu melibatkan emosi. Sebab jika tausiyah sudah emosional, maka yang terjadi adalah
sikap keras kepala dari masing-masing pihak yang menyimpang dari syar’i.
Jika suami, yang sebenarnya belum mampu berlaku adil itu, tetap bersikeras untuk menikah lagi, maka hal itu menjadi
tanggung jawab pribadi suami terhadap Allah. Ia akan menanggung dosa besar karena telah berbuat aniaya kepada isterinya.
Namun isteri jangan dulu buru-buru minta cerai karena yakin suaminya tidak mampu berlaku adil. Apalagi sampai minta cerai
karena tidak mau dimadu. Seorang isteri perlu mengendalikan perasaannya di bawah aturan syar’i. Permintaan cerai hanya
boleh dilakukan isteri jika suami nyata-nyata telah melanggar hukum Allah dalam kehidupan rumah tangga. Jadi biarkan ia
menikah dulu, lalu lihat apakah ia tetap mampu berlaku adil setelah menikah lagi. Jika mampu, maka tak ada alasan kuat bagi
isteri untuk minta cerai. Tapi jika ia tidak mampu, bahkan semakin sewenang-wenang terhadap hak-hak isteri dan anak-
anaknya, maka isteri boleh meminta cerai. Hal ini karena suaminya telah melanggar hukum Allah dalam kehidupan rumah
tangga (tidak mampu berlaku adil). Namun juga isteri ingin bertahan dengan perlakuan suaminya, maka ia perlu menambah
kesabaran dan terus mentausiyah suaminya. Sebaiknya, kesimpulan tentang bisa atau tidaknya suami berlaku adil setelah
menikah lagi ini dimusyawarahkan isteri dengan orang-orang yang mampu bersikap obyektif, sehingga keputusannya tidak
sarat dengan muatan emosi.
Yang perlu Anda sampaikan juga kepada peserta akhwat tersebut adalah tentang motif suami yang ingin menikah lagi.
Motif tersebut bisa bermacam-macam, dari yang kelihatannya “hina” sampai yang kelihatannya mulia. Motif suami untuk
menikah lagi tidak bisa dijadikan alasan bagi isteri untuk menghambat suami menikah lagi. Sebab dalam Islam, poligami boleh
dilakukan dengan berbagai motif (alasan). Tidak mesti alasannya harus semulia Nabi Muhammad saw ketika beliau melakukan
poligami. Yang dapat menjadi penghalang suami untuk menikah lagi hanyalah masalah keadilan, seperti yang Allah firmankan
dalam surat An Nisaa ayat 3 di atas.

[Tak ada alasan isteri untuk menolak keinginan poligami suaminya, kecuali masalah keadilan]

70. Suami yang poligami


Bagaimana sikap saya jika ada peserta akhwat yang suaminya poligami?

Jawab :
Tidak ada masalah bagi Anda jika ada peserta akhwat yang suaminya ta’adud (poligami). Tak perlu juga dianggap peserta
tersebut perlu dikasihani karena suaminya poligami. Yang penting bukan poligaminya, tapi harmonis atau tidaknya rumah
tangga seseorang.
Anda perlu menganggap hal itu menjadi masalah jika peserta tersebut mengadu kepada Anda bahwa rumah tangganya tidak
harmonis. Jika ia tidak mengadu (walau ada ketidakharmonisan dalam rumah tangganya), Anda juga tak perlu ikut campur.
Biarkan ia menyelesaikan masalahnya sendiri. Islam mengajarkan kepada kita untuk tidak usil dengan urusan rumah tangga
orang lain.
Namun jika Anda tahu masalahnya semakin besar dan mengganggu kehadirannya dalam halaqah atau berpotensi
mencemarkan citra dakwah, maka Anda perlu mengambil tindakan sebagai berikut :
1. Memanggil peserta tersebut dan meminta ia menyampaikan persoalan rumah tangganya secara terus terang. Lalu beri ia
masukkan untuk menyelesaikan persoalannya.
2. Jika langkah pertama tidak menyelesaikan persoalan, hubungi murobbi dari suaminya untuk melakukan koordinasi
mengenai persoalan rumah tangga peserta. Minta juga agar murobbi suami peserta memberikan nasehat kepada suami
peserta tersebut.
3. Jika belum selesai juga, minta peserta dan suaminya untuk melakukan musyawarah didampingi Anda dan murobbi suami
peserta sebagai penengah.

[Yang penting bukan poligaminya. Yang penting harmonis atau tidaknya rumah tangga seseorang]

71. Masalah seksual dengan suami


Bagaimana sikap saya jika ada peserta saya (akhwat) yang menceritakan masalah seksual dengan suaminya?

Jawab :
Hubungan seksual antara suami isteri dilarang dalam Islam untuk diceritakan kepada pihak ketiga. Namun jika hubungan
seksual antara suami isteri menimbulkan masalah, maka boleh kita mencari bantuan orang yang bisa dipercaya untuk membantu
memecahkannya. Murobbi adalah salah satunya. Jadi jika Anda diminta untuk membantu memecahkan masalah seksual peserta
Anda, maka Anda tak perlu sungkan dan malu membantunya. Rasulullah saw sendiri juga pernah dimintai bantuan untuk
memecahkan masalah seksual yang dialami sebagian sahabat sebagai binaannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Anda dalam membantu memecahkan masalah seksual peserta adalah :
1. Bicarakan masalah seksual di tempat tertutup (bukan di depan banyak orang).
2. Gunakan kata-kata yang tidak berkonotasi jorok/porno, apalagi yang merangsang nafsu seksual. Sebaiknya
gunakan kata-kata kiasan tapi tetap mudah dipahami orang lain.
3. Berikan solusi yang sesuai dengan aturan seksual dalam Islam. Jangan terpancing untuk memberikan solusi
seksual yang bertentangan dengan Islam, walau hal itu mungkin lazim dilakukan di lingkungan Anda atau tampak
“ilmiah”.
4. Jika Anda merasa tidak tahu pemecahannya (mungkin karena belum memiliki wawasan atau pengalaman tentang
hal tersebut), minta agar peserta berkonsultasi kepada ikhwah atau orang lain yang pakar tentang masalah seksual
dengan pemecahan yang Islami.
5. Jangan sekali-kali masalah seksual peserta, Anda ceritakan kepada orang lain. Jikapun Anda ingin menceritakan
kepada orang lain sebagai ibroh (pelajaran), maka jangan sebut nama dan identitasnya.

[Pendidikan seksual perlu dilakukan dengan kata-kata yang sopan, menjauhi eksploitasi syahwat, dan tidak
dipublikasikan secara terbuka]

72. Menikah dengan orang yang belum tarbiyah


Bolehkah akhwat menikah dengan laki-laki yang belum tarbiyah?

Jawab :
Sebaiknya akhwat menikah dengan laki-laki yang sudah tarbiyah (ikhwan). Hal ini agar pembentukan rumah tangga Islami
dapat terwujud di atas pemahaman dien (agama) yang sama. Akan tetapi jika sampai usia tertentu (yang dianggap sudah cukup
tua untuk menikah), akhwat tersebut belum juga dilamar ikhwah, ia boleh menikah dengan laki-laki yang belum tarbiyah.
Memang, kondisi tersebut adalah kondisi “keterpaksaan”. Mungkin karena jumlah akhwat yang siap nikah di suatu daerah lebih
banyak dari ikhwah yang siap nikah, sehingga daripada akhwat tidak menjalankan sunnah Rasul (menikah), maka lebih baik
mereka tetap menikah walau dengan laki-laki yang belum tarbiyah.
Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika akhwat ingin menikah dengan laki-laki yang belum tarbiyah:
1. Proses mencari jodohnya tetap tidak boleh melalui pacaran atau yang seperti pacaran. Begitu pula proses pernikahannya
(ta’aruf, khitbah, ijab qabul, dan walimah) harus tetap memperhatikan adab-adab pernikahan dalam Islam.
2. Tetap memerlukan izin dan dukungan dari murobbiyah, termasuk tetap menjadikan murobbiyah atau akhwat di sekitarnya
sebagai “konsultan” pernikahannya.
3. Calon suami perlu diselidiki lebih dahulu apakah termasuk orang yang hanif (baik) dan mempunyai potensi untuk diajak
tarbiyah (halaqah) atau tidak. Lebih baik lagi, jika calon suami sudah halaqah (walau baru pemula) sebelum menikah
dengan akhwat tersebut.
4. Tetap menghindari motivasi menikah karena harta, kegantengan, status atau keturunan calon suami. Niat nikah harus tetap
dijaga semata-mata karena faktor diennya yang baik (hanif).
5. Setelah nikah, isteri memiliki tugas (misi) untuk mengajak suaminya mengikuti halaqah. Atau setidak-tidaknya
memberikan pemahaman kepada suami bahwa isterinya adalah aktivis dakwah, sehingga tetap diperbolehkan menjalankan
aktivitas dakwah dan halaqah dengan izin suaminya.
Perlu juga dipahami bahwa kemungkinan ikhwan untuk menikah dengan bukan akhwat (perempuan yang belum tarbiyah)
relatif lebih kecil daripada akhwat. Hal ini karena (di banyak daerah) jumlah ikhwan yang siap menikah relatif lebih sedikit
daripada akhwat yang siap nikah. Karena itu, suatu hal yang ironis jika ada ikhwan yang memilih jodoh bukan akhwat, padahal
jumlah akhwat di daerah tersebut lebih banyak. Motivasinya pasti bukan karena faktor dien, tapi karena faktor duniawi
(kecantikan, status, kekayaan atau keturunan). Rasulullah bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat perkara; karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena diennya. Dapatkanlah wanita yang memiliki dien, niscaya
kedua tanganmu akan penuh dengan debu (mendapatkan berkah)” (HR. Bukhari dan Muslim)

[Dien adalah satu-satunya faktor yang bisa menjamin langgengnya pernikahan harmonis]

73. Dipaksa menikah oleh ortu


Bagaimana sikap saya jika ada peserta (akhwat) yang dipaksa menikah (dijodohkan) oleh orang tuanya?

Jawab :
Peserta (akhwat) yang dipaksa menikah dengan jodoh tertentu oleh orang tuanya biasanya dikarenakan alasan yang sifatnya
duniawi. Hal ini karena orang tua belum memiliki pemahaman yang utuh tentang dien (agama). Orang tua sering menganggap
yang dimaksud dien yang baik adalah jika jodoh anaknya sudah bisa sholat, bisa baca Qur’an, bisa shaum (puasa), dan sifatnya
baik. Padahal hal itu tidak cukup bagi jodoh anaknya. Dien yang baik adalah muslim yang bukan hanya melaksanakan rukun
Islam, tapi juga mengamalkan dan mendakwahkan Islam secara sungguh-sungguh dalam kehidupan nyata.
Sikap Anda sebagai murobbi terhadap peserta yang dijodohkan oleh orang tuanya adalah :
1. Berusaha mencari tahu sampai sejauh mana pribadi orang yang akan dijodohkan dengan peserta.
2. Jika jodoh peserta adalah orang yang diennya baik (mengamalkan dan mendakwahkan Islam secara serius) sebaiknya Anda
dukung orang tua peserta untuk menjodohkan anaknya.
3. Jika jodoh peserta adalah orang yang diennya kurang baik sebaiknya Anda beri pengertian peserta untuk secara halus
menolak jodoh dari orang tuanya.
4. Jika orang tua bersikeras untuk tetap menjodohkan anaknya padahal anak sudah berusaha menyatakan keberatannya
terhadap jodoh yang diennya kurang baik tersebut, jika memungkinkan, Anda mencoba menjadi penengah dengan
menjelaskan kepada orang tuanya mengenai keberatan anaknya. Hal ini dengan catatan jika peserta sendiri juga setuju
untuk menolak jodoh dari orang tuanya. Namun jika peserta sendiri tidak berani (mau) menerima jodoh yang diennya
kurang baik tersebut, maka permasalahannya bukan hanya terletak pada orang tuanya, tapi juga pada diri peserta yang
belum mengerti pentingnya dien sebagai bahan pertimbangan utama dalam menikah.
5. Jika orang tua tetap bersikeras walau Anda telah berupaya menjadi penengah, maka keputusannya berpulang kepada
peserta itu sendiri. Bila ia ingin “melawan” orang tuanya karena dijodohkan dengan orang yang diennya kurang baik, Anda
perlu mendukungnya dengan sepenuh hati. “Melawan” orang tua diperbolehkan bila perintah orang tua bertentangan
dengan Islam. Memaksa anak menikah dengan jodoh yang diennya kurang baik termasuk perintah yang bertentangan
dengan Islam, sehingga anak boleh menolak perintah orang tuanya. “Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik..” (QS. 31 : 15). Namun jika anak “mengalah” kepada kemauan
orang tuanya, maka Anda tidak dapat berbuat apa-apa. Doakan saja semoga peserta tetap dapat aktif dalam dakwah dan
jodoh dari orang tuanya bisa diajak mengikuti tarbiyah. Doakan juga agar mereka dapat membentuk keluarga yang
mawaddah war rohmah (bahagia dan saling berkasih sayang).

[Ridho orang tua di bawah ridho Allah. Karena itu, tidak boleh mentaati orang tua yang perintahnya bertentangan
dengan perintah Allah]

74. Murobbi “kurang gesit” mencarikan jodoh


Jika ada peserta halaqah yang mengeluh bahwa murobbinya kurang “gesit” mencarikan jodoh untuknya, maka apa yang perlu
dilakukannya?

Jawab :
Kurang “gesitnya” murobbi dalam mencarikan jodoh, padahal peserta sudah meminta bantuan kepadanya, mungkin disebabkan
beberapa hal:
1. Murobbi tidak mempunyai banyak relasi, terutama relasi yang menghubungkannya dengan komunitas ikhwan (misalnya, ia
sendiri masih gadis, orang baru di daerah tersebut, atau tinggal di daerah yang belum banyak ikhwannya).
2. Murobbi sibuk, sehingga ia tidak punya banyak waktu untuk mengurus jodoh peserta halaqahnya.
3. Murobbi kurang peduli dan terkesan membiarkan peserta mencari jodohnya sendiri. Sikap ini disebabkan kurangnya
pemahaman murobbi terhadap pentingnya membentuk jama’ah dengan basis rumah tangga Islami.
4. Murobbi trauma karena pernah gagal menjodohkan peserta lain di masa lalu.
5. Murobbi kesulitan mencarikan jodoh bagi peserta karena peserta sendiri memberikan kriteria jodoh yang terlalu idealis.
Semua faktor di atas bisa membuat murobbi terkesan kurang “gesit” dalam mencarikan jodoh bagi pesertanya.
Sebenarnya, jika murobbi kurang “gesit” mencarikan jodoh peserta halaqahnya, peserta dapat berinisiatif mencari jodoh
melalui “jalur lain”. Misalnya, ia dapat menghubungi ikhwah lain yang dipercayainya atau juga mencari sendiri (dalam
pengertian tetap tidak boleh pacaran). Dalam Islam, perempuan boleh berinisiatif untuk “melamar” laki-laki melalui perantara,
seperti yang dilakukan Khadijah ra terhadap Rasulullah saw. Namun semua cara melalui “jalur lain” tersebut tetap perlu
dikonsultasikan kepada murobbinya.

[Jodoh perlu dicari bukan dengan cara mendekati sang jodoh, tapi dengan cara mendekati Sang Pemilik Jodoh
(Allah SWT)]

75. “Isyarat” cinta dari ikhwan


Jika ada isyarat cinta dari ikhwan, bolehkah seorang akhwat membalasnya?

Jawab :
Yang dimaksud “isyarat cinta” bisa bermacam-macam. Bisa berupa mimik atau gerak gerik tubuh yang memiliki kesan tertentu,
kata-kata yang menjurus, pemberian hadiah yang memiliki pesan tertentu, sampai dengan surat cinta. Biasanya “isyarat cinta”
ini diberikan berkali-kali untuk mengetahui reaksi dari orang yang ditaksirnya.
Sikap akhwat terhadap berbagai “isyarat cinta” dari ikhwan adalah dengan tidak memperdulikannya. Tidak perlu
ditanggapi dan dilayani. Sebab “isyarat cinta” dapat membuat rusaknya keikhlasan dalam beramal dan berdakwah. Membuat
munculnya pikiran yang bukan-bukan dan mengganggu konsentrasi ibadah. Bahkan bisa membuat pelakunya terjerumus pada
zina (mulai dari zina hati sampai zina anggota tubuh).
Seorang akhwat tidak perlu “bermain” perasaan dengan “isyarat cinta”. Seorang akhwat hanya perlu menanggapi sesuatu
yang pasti, yaitu lamaran dari ikhwannya. Selama belum ada ikhwan yang melamar, jangan terpancing untuk “bermain isyarat
cinta” dengan siapapun. Serahkan masalah jodoh kepada Allah SWT karena hal itu merupakan takdir-Nya. Tugas akhwat
hanyalah memperbaiki diri dan memperluas pergaulan sampai Allah memberikan jodoh kepadanya.
Yang juga perlu dipahami bahwa apa yang disebutkan di atas juga berlaku untuk ikhwannya. Ikhwan sebaiknya tidak perlu
menanggapi dan melayani “isyarat cinta” dari akhwat. Sebab hal itu bisa membuat pelakunya terjerumus kepada perbuatan
zina. “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk” (QS. 17 : 32).

[Bagi seorang muslim, tak ada yang namanya “isyarat cinta”. Yang ada hanyalah melamar atau dilamar]

76. Tidak berani menyatakan keinginan untuk menikah


Bagaimana menghadapi peserta halaqah yang tidak berani mengungkapkan keinginannya untuk menikah kepada saya sebagai
murobbinya?

Jawab :
Sebenarnya murobbi tidak perlu menunggu peserta untuk mengungkapkan keinginannya untuk menikah. Murobbi perlu
berinisiatif menanyakan kesiapan peserta untuk menikah, terutama jika dilihatnya peserta sudah siap dari sisi umur. Hal ini
karena, ada peserta yang malu menyatakan dirinya siap menikah. Juga ada peserta yang suka mengulur-ulur waktu untuk
menikah dengan berbagai alasan yang seringkali kurang syar’i (untuk meniti karir, menunggu kakak perempuannya yang belum
menikah, tidak enak dengan akhwat yang usianya lebih tua, ingin mengurus orang tuanya atau saudara-saudaranya lebih dahulu,
dan lain-lain), padahal usianya sudah layak untuk menikah. Jadi, murobbi perlu berinisiatif untuk menanyakan langsung kepada
peserta tentang kesiapannya untuk menikah tanpa perlu menunggu peserta mengungkapkannya lebih dahulu.

[Salah satu tugas murobbi adalah membantu peserta halaqahnya mendapatkan jodoh yang baik]

77. Peserta enggan menikah karena murobbinya belum menikah


Peserta saya sungkan untuk menikah karena dilihatnya saya sebagai murobbinya belum menikah? Betulkan sikap demikian?
Bagaimana cara mengatasinya?

Jawab :
Sikap peserta yang sungkan menikah dengan alasan murobbinya sendiri belum menikah adalah sikap yang keliru. Anda sebagai
murobbinya perlu bersikap sebagai berikut :
1. Memberikan penjelasan kepadanya bahwa jodoh itu di tangan Allah. Allah telah menetapkan kapan seseorang akan
bertemu jodohnya. Karena itu, peserta tidak perlu menunggu murobbinya, jika ingin menikah lebih dahulu. Apalagi jika
umur peserta memang sudah layak untuk menikah. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk
menikah, lalu ia tidak menikah, maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
2. Untuk menunjukkan kepada peserta bahwa Anda tidak kecewa jika peserta menikah lebih dahulu, maka Anda perlu
membantu peserta untuk mencarikan jodohnya.
3. Anda sendiri sebagai murobbinya perlu memberikan teladan tentang kesungguhan Anda untuk mencari jodoh bagi diri
Anda sendiri.

[Menunda-nunda menikah berarti menunda-nunda datangnya nikmat Allah]


SEKILAS TENTANG LP2U

LP2U adalah Leap To You. Lembaga yang khusus bergerak dalam bidang manajemen. LP2U berambisi membuat orang-orang yang
merasakan jasanya “melompat jauh ke depan”. Melewati batas-batas yang menghambat perkembangan diri dan organisasinya.
LP2U mempunyai misi untuk turut serta mencetak orang-orang terbaik di masanya (khoiro ummatin linnas) seperti yang dititahkan
Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 110. Didukung oleh tekad yang bulat dari beberapa aktivis, LP2U didirikan pada bulan Agustus
1994 dengan akta notaris Sofjan Junus, SH. No. 26/25/Agustus 1994 dan sekarang ini beralamat di Jalan Anggrek Nelimurni Blok
B. No. 12 Slipi - Jakarta Barat (11480). Kegiatan yang dilakukan meliputi training (pelatihan) dan konsultasi di bidang manajemen,
pengembangan pribadi (self development), dan kepemimpinan. Semua jasa yang ada di LP2U merupakan “produk” khas yang
disebut dengan Manajemen Haroki. Khas karena berlandaskan Islam dan memperhatikan perkembangan ilmu manajemen modern.
Dalam pelatihannya, LP2U mengadakan pelatihan bernuansa Islam serta menggabungkan unsur pendidikan (education) dengan
unsur hiburan (entertainment) sehingga menjadi sebuah pelatihan yang interaktif dan Islami. Bermoto If You Don’t Change, You’ll
Die, LP2U dengan Manajemen Haroki-nya menyediakan jasa pelatihan dan konsultasi di bidang manajemen diri (pengembangan
pribadi), manajemen organisasi, manajemen bisnis, manajemen dakwah dan manajemen publik. Sebagian serial Manajemen Haroki
itu telah diterbitkan dalam bentuk buku. Adapun mitra yang ditangani LP2U meliputi, mahasiswa, perusahaan, organisasi, dan
masyarakat umum.
FORMULIR EVALUASI DAN UMPAN BALIK

Kami membutuhkan bantuan saran Anda untuk terus memperbaiki produk-produk kami. Masukan dan saran Anda untuk buku ini,
dan juga buku-buku yang lain, sangat kami hargai.

Silakan isi formulir ini dan kirimkan kepada kami. Atas umpan balik Anda, kami mengucapkan banyak terima kasih.

Judul Buku : __________________________________________________________

1. Secara keseluruhan, bagaimana tingkat kepuasan Anda terhadap buku kiat ini? Lingkari jawaban Anda.

Sangat Tidak Puas Puas Sangat Puas


1 2 3 4 5
2. Konsep atau metode khusus apa yang menurut Anda paling banyak membantu?
________________________________________________________________________
3. Konsep atau metode khusus apa yang menurut Anda paling sedikit membantu?
________________________________________________________________________
4. Apabila Anda kelak membeli buku kiat yang lain, faktor apa yang paling menentukan untuk membeli buku?
_____________________________________________________________________
5. Subjek/topik apa yang menurut Anda sebaiknya disajikan dalam buku kiat berikutnya?
_____________________________________________________________________
Nama : _______________________________________________________________
Alamat : ______________________________________________________________
Kota : ________________ Kode Pos :___________Telepon : ( ) ___________

JAWABAN ANDA HARAP DIKIRIM MELALUI FAKS NO. (021) 53678452


EMAIL: lp2u_center@lycos.com ATAU KE ALAMAT :

LEMBAGA MANAJEMEN LP2U


Jl. ANGGREK NELIMURNI Blok B/12
JAKARTA 11480

Biografi Singkat Penulis:

Satria Hadi Lubis, MM., MBA lahir di Jakarta pada 19 September 1965 adalah Direktur Eksekutif Lembaga Manajemen LP2U
yang bergerak dalam bidang pemberdayaan manusia (Human Resources). Selain sebagai widyaiswara di Departemen Keuangan
dan dosen di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), aktivitas ayah dari lima orang anak ini juga menjadi trainer pelatihan
tentang manajemen dan kepemimpinan dengan lebih dari 3000 jam pelatihan, penceramah dan pembicara di berbagai seminar. Ia
juga menjadi wiraniaga di berbagai usaha yang saat ini sedang dikembangkan. Peraih gelar Magister Manajemen (MM) dan
Master of Business Administartion (MBA) ini aktif di berbagai kegiatan dan organisasi sejak mahasiswa tahun pertama. Termasuk
aktif membina berbagai halaqah selama lebih kurang 15 tahun (1988 sampai sekarang). Selain buku ini, ia juga telah menulis buku
serial Manajemen Haroki lainnya: Breaking The Time, 77 Problematika Aktual Halaqah Jilid I, Menjadi Murobbi Sukses, Burn
Your Self!. Buku lain yang tengah disusunnya, antara lain : Manajemen Haroki, Menghilangkan Kejenuhan di Halaqah dan Usrah,
Murobbi Skills, Manajemen Halaqah, Sukses Tanpa Henti, dan Kreativitas Plus.

Anda mungkin juga menyukai