Anda di halaman 1dari 6

Penerapan teori konstruktivisme dalam pembelajaran

Karakteristik konstruktivis menyajikan pembelajaran proyek, aktivitas dan lingkungan.


Observasi diperlukan untuk memberikan wawasan yang mendalam sebagai jalan dalam filsafat
konstruktivis untuk diterjemahkan ke dalam praktik. Belakangan ini secara meningkat, peneliti
maupun pendidik sering menghubungkan konstruktivisme, teknologi dan belajar. Hal ini
dianggap tidak mengejutkan karena banyak orang melihat lingkungan belajar yang berbasis-
komputer mendukung kuat untuk prinsip filsafat konstruktivisme.

Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru berperan sebagai mediator dan fasilitator,
yang membantu agar proses belajar siswa berjalan baik, yaitu dengan :

1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab.


Memberi kuliah/ ceramah bukan lagi tugas utama guru
2. Menyediakan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa, dan membantu mereka
mengekspresikan gagasannya serta mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa sudah berjalan atau
tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa dapat
diberlakukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.

Learning cycle

Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu
model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaia
tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat
menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan
berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan
konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their
dalam Renner et al, 1988).

Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya
semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti
praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau
perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam
struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-
pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning)
yang diawali dengan katakata seperti mengapa dan bagaimana (Rahayu, 2005). Munculnya
pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh
fase berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju
kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsepkonsep yang
baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah
sumber pustaka dan berdiskusi.

Dikanl juga LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination,


Elaboration, dan Evaluation). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar
terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan
ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran
sebelumnya (Lorsbach, 2002). Pada LC 6 fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan
pembelajaran pada awal kegiatan (Johnston dalam Iskandar, 2005). Pada fase explanation, guru
harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta
bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada fase
elaboration (extention), siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui
kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving. Pada tahap akhir, evaluation,
dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap
pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam
konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut.

Tabel 2. 5 fase pada Lerning Cycle

No. Fase Tujuan Kegiatan


1 Engagement mempersiapkan diri pebelajar agar membuat prediksi-prediksi
terkondisi dalam menempuh fase tentang fenomena yang akan
berikutnya dengan jalan dipelajari dan dibuktikan dalam
mengeksplorasi pengetahuan awal tahap eksplorasi,
dan ide-ide mereka serta untuk membangkitkan minat dan
mengetahui kemungkinan keingintahuan (curiosity)
terjadinya miskonsepsi pada pebelajar dengan Demonstrasi
pembelajaran sebelumnya oleh guru atau siswa
2 Exploration menguji prediksi dan hipotesis pebelajar bekerja sama dalam
dan / atau membentuk hipotesis kelompok-kelompok kecil,
yang baru, mencoba alternatif dan menguji prediksi,
berdiskusi melakukan dan mencatat
pengamatan serta ide-ide :
Demonstrasi, praktikum,
mengerjakan LKS
3 Explanation Menciptakan kesadaran tentang ide siswa menjelaskan konsep
alternatif yang berbentuk ilmiah. dengan kalimat mereka sendiri,
Menyadari bahwa ide-ide yang ada guru meminta bukti
harus dimodifikasi, dikembangkan dan klarifikasi dari penjelasan
atau diganti dengan ide yang lebih mereka dan mengarahkan
ilmiah. kegiatan diskusi, pebelajar
Mengidentifikasi ide-ide alternatif menemukan istilah-istilah dari
dan memeriksa secara kritis ide-ide konsep yang dipelajari dengan
yang ada sendiri Mengkaji literature atau Diskusi
Menguji validitas ide-ide yang ada Kelas
Modifikasi, pemgembangan atau
konversi ide
Menguji validitas untuk ide-ide
baru yang dibangun
4 Elaboration Penguatan pada ide yang telah siswa menerapkan konsep dan
dibangun dalam situasi baru dan ketrampilan dalam situasi baru.
biasa •Demontrasi lanjutan
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
5 Evaluation Menyadari tentang perubahan ide evaluasi terhadap
murid. Murid dapat membuat pengetahuan, pemahaman
refleksi sejauh manakah ide asli konsep, atau kompetensi
mereka telah berubah. pebelajar dalam konteks baru
yang kadang-kadang
mendorong pebelajar
melakukan investigasi lebih
lanjut.
•Refleksi pelaksanaan
pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving

Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky

Ratumanan (2004) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide
utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks
historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem
isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang
berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian perkembangan kognitif
anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini
untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.

Menurut Slavin (dalam Ratumanan, 2004) ada dua implikasi utama teori Vygotsky
dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif
antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat
berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi
pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-
masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan
(scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil
tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.

a. Pengelolaan pembelajaran

Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi


perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan
dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik
melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang
mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan
memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.

b. Pemberian bimbingan

Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-
tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah
perkembangan terdekat mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat
perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam
daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat
mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.
Daftar Pustaka

Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok Pembelajaran
Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM.

Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instruction. Online
http://scienceclubforgirls.org/wp-content/uploads/2012/10/LearningCycle.pdf diakses 4 Februari
2017

Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan Strategi Pembelajaran Learning Cycle-Cooperative


Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM
-Dirjen Dikti Depdiknas.

Ratumanan, T. G. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: Unesa University Press.

Renner, J.W., Abraham M.R.,Birnie, H.H. 1988. The Necessity of Each Phase of The Learning
Cycle ini Teaching High School Physics. J. of Research in Science Teaching. Vol 25 (1), pp 39-
58.

Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice Sixth Edition. Boston: Allyn
and Bacon

Wertsch, J.V. (1985). Vygotsky and the Social Formation of Mind. Cambridge, MA: Harvard
University Press.

Anda mungkin juga menyukai