Anda di halaman 1dari 37

BAB II

PEMBAHASAN
II. 1. Teori Umum
II. 1. 1 Pengambilan Sampel
Bahan berkhasiat obat telah disediakan oleh alam ini sebagai salah
satu sumbernya adalah tumbuhan yang terdapat secara liar, demikian
pula tanaman yang sengaja dibudidayakan karena telah diketahui sebagai
bahan dasar dalam pengobatan baik secara empiris maupun yang telah
dibuktikan khasiatnya dengan penelitian ilmiah. Dalam pengambilan
bahan alam diperlukan sebuah cara yang khusus karena sampel yang
akan diambil memiliki sifat yang berbeda dengan sampel yang lainnya,
begitu pula mengenai waktu pengambilannya dan alat yang digunakan
pada saat pengambilan serta cara pengolahannya setelah masa
pengumpulan/panen telah dilakukan. Berikut ini akan diuraikan secara
singkat cara pengambilan sampel yang berasal dari bagian
tumbuhan/tanaman, meliputi (Depkes RI, 2000):
a. Akar (Radix), diambil bagian yang berada di bawah tanah.
b. Batang (Caulis), diambil mulai dari cabang pertama sampai leher akar,
dipotong dengan panjang dan diameter tertentu.
c. Kulit batang/klika (Kortex), diambil dari batang utama dan cabang,
dikelupas dengan ukuran panjang dan lebar tertentu dan tidak
mengambilnya dengan satu lingkaran penuh pada batang.
d. Kayu (Lignum) diambil dari cabang atau batang, kulit dikelupas dan
dipotong-potong kecil.
e. Daun (Folium), diambil daun tua (bukan daun kuning) daun kelima dari
pucuk. Daun dipetik satu persatu secara manual.
f. Bunga (Flos), dapat berupa kucup, bunga mekar atau mahkota bunga
atau daun bunga, dipetik langsung dengan tangan.
g. Rimpang (Rhizoma), diambil dan dibersihkan dari bulu-bulu akar,
kemudian dipotong melintang dengan ketebalan tertentu. Dipanen
pada saat daun meluruh (layu)
h. Buah (Fructus), dapat berupa buah matang, buah muda, dipetik
dengan tangan.
i. Biji (Semen), buah dikupas dan biji dikumpulkan dan dibersihkan,
diambil dari buah yang masak.
j. Herba adalah bagian tanaman yang berada di atas tanah, diambil dan
dibersihkan.
Semua proses diatas dilakukan dengan dasar bahwa kandungan
bahan berkhasiat yang ada dalam tumbuhan/tanaman dalam keadaan
maksimal dan untuk sampel yang melakukan proses fotosintesis diambil
pada saat proses ini maksimum (pukul 10:00–12:00). Perlu diingat bahwa
ada komponen kimia yang dapat berinteraksi dengan alat yang digunakan
pada saat sampel tersebut dikumpulkan/dipanen, hal ini apabila dibiarkan
akan merusak komponen yang ada dalam sampel tersebut. Setelah
proses pengumpulan telah dilakukan maka tahapan selanjutnya adalah
pencucian yang bertujuan untuk membersikan sampel dari sisa-sisa
tanah/kotoran yang masih melekat dan memisahkannya dengan bagian
tumbuhan yang tidak diinginkan. Sampel yang basah sangat rentan
tehadap pertumbuhan mikroba, maka untuk mencegah hal ini diperlukan
tahapan selanjutnya yaitu proses pengeringan. Hal ini bertujuan untuk
memperoleh simplisia yang dapat disimpan lebih lama, susut pengeringan
yang diingikan adalah 10 %. Secara umum proses pengeringan
dipercepat dengan memotong-motong kecil sampel dengan derajat halus
4/18, akan tetapi untuk sampel yang mengandung minyak menguap
proses ini dilakukan setelah sampel kering, ini bertujuan untuk mencegah
menguapnya minyak yang terkandung dalam sampel dikonstankan
(Depkes RI, 2000).

II. 2 Pembuatan Simplisia


Simplisia yang aman dan berkhasiat adalah simplisia yang tidak
mengandung bahaya kimia, mikrobiologis, dan bahaya fisik, serta
mengandung zat aktif yang berkhasiat. Ciri simplisia yang baik adalah
dalam kondisi kering (kadar air < 10%), untuk simplisia daun, bila diremas
bergemerisik dan berubah menjadi serpihan, simplisia bunga bila diremas
bergemerisik dan berubah menjadi serpihan atau mudah dipatahkan, dan
simplisia buah dan rimpang (irisan) bila diremas mudah dipatahkan. Ciri
lain simplisia yang baik adalah tidak berjamur, dan berbau khas
menyerupai bahan segarnya (Herawati, dkk, 2012).
Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses
yang menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi
senyawa kandungan, kontminasi dan stabilitas bahan. Namun demikian
simplisia sebagai produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat di
perkecil, diatur atau dikonstankan (Depkes RI, 2000).
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku dan produk siap konsumsi
langsung dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter
standar umum (Depkes RI, 2000) :
1. Simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3
parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis
(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)
serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).
2. Simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat
tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma produk kefarmasian, yaitu
Quality–Safety-Efficacy (mutu-aman-manfaat).
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung
jawab terhadap respon biologis harus mempunyai spesifikasi kimia,
yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan.
Standarisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap
persyaratan sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari
produk seperti yang ditetapkan sebelumnya. Standarisasi simplisia
mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan yang
tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan
(Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung
dikonsumsi (serbuk jamu dsb.) masih harus memenuhi persyaratan
produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku. (Depkes RI,
2000).
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan sebagai berikut
(Depkes, 1985):
1. Pengumpulan bahan baku: kualitas bahan baku simplisia sangat
dipengaruhi beberapa faktor, seperti : umur tumbuhan atau bagian
tumbuhan pada waktu panen, bagian tumbuhan, waktu panen dan
lingkungan tempat tumbuh.
2. Sortasi basah: Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-
kotoran atau bahan asing lainnya setelah dilakukan pencucian dan
perajangan.
3. Pencucian: dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan
dengan air bersih.
4. Perajangan: dilakukan untuk mempermudah proses pengeringa,
pengepakan dan penggilingan. Perajangan dapat dilakukan dengan
menggunakan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga
diperoleh irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehedaki.
5. Pengeringan: mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak,
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan
mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan
dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.
6. Sortasi kering: tujuannya untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-
pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering.
7. Pengepakan
8. Penyimpanan dan pemeriksaan mutu.

II. 3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih komponen dari
suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solven) sebagai
separating agent (Anonim, 2015).
Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction): solute
dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair.
Campuran diluen dan solven ini adalah heterogen ( immiscible, tidak
saling campur), jika dipisahkan terdapat 2 fase, yaitu fase diluen (rafinat)
dan fase solven (ekstrak) (Anonim, 2015).
Fase rafinat = fase residu, berisi diluen dan sisa solut.
Fase ekstrak = fase yang berisi solut dan solven.
Pemilihan solven menjadi sangat penting, dipilih solven yang
memiliki sifat antara lain (Anonim, 2015).:
a. Solut mempunyai kelarutan yang besar dalam solven, tetapi solven
sedikit atau tidak melarutkan diluen.
b. Tidak mudah menguap pada saat ekstraksi.
c. Mudah dipisahkan dari solut, sehingga dapat dipergunakan kembali.
d. Tersedia dan tidak mahal.
Macam-macam Metode Ekstraksi
1. Ekstraksi Cara Dingin
Metode ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses
ekstraksi berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa
yang dimaksud rusak karena pemanasanan. Jenis ekstraksi dingin
adalah maserasi dan perkolasi (Anonim, 2015).
a. Metode Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke
dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut
dengan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat
aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang
terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel
(Anonim, 2015).
b. Metode Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan jalan
melewatkan pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam
suatu percolator. Perkolasi bertujuan supaya zat berkhasiat tertarik
seluruhnya dan biasanya dilakukan untuk zat berkhasiat yang tahan
ataupun tidak tahan pemanasan. Cairan penyari dialirkan dari atas
ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan
zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak
kebawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan
di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk
menahan. Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya
berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa,
adesi, daya kapiler dan daya geseran (friksi) (Anonim, 2015).
2. Ekstraksi Cara Panas
Metode ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan
adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses penyarian
dibandingkan cara dingin. Metodanya adalah refluks, ekstraksi dengan
alat soxhlet dan infusa (Anonim, 2015).
a. Metode Refluks
Salah satu metode sintesis senyawa anorganik adalah refluks,
metode ini digunakan apabila dalam sintesis tersebut menggunakan
pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan biasa
maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai.
Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan
akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan
kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan
mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi
sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung.
Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar tidak ada uap air atau gas
oksigen yang masuk terutama pada senyawa organologam untuk
sintesis senyawa anorganik karena sifatnya reaktif (Anonim, 2015)
b. Metode Sokhlet
Sokletasi adalah suatu metode atau proses pemisahan suatu
komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan
berulang-ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga
semua komponen yang diinginkan akan terisolasi. Sokletasi
digunakan pada pelarut organik tertentu. Dengan cara pemanasan,
sehingga uap yang timbul setelah dingin secara kontinyu akan
membasahi sampel, secara teratur pelarut tersebut dimasukkan
kembali ke dalam labu dengan membawa senyawa kimia yang akan
diisolasi tersebut (Anonim, 2015) .

II. 4 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan proses untuk memisahkan komponen
campuran dari ekstrak menjadi berbagai kelompok dengan karakteristik
fisikokimia yang sama. Pengelompokan dapat berdasarkan kelarutan,
ukuran, muatan suatu senyawa dan beberapa fitur lainnya. Metode
fraksinasi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain presipitasi,
ekstraksi pelarut, dialisis, elektroforesis dan menggunakan prosedur
kromatografi (Houghton and Raman, 1998). Fraksinasi umumnya
dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi seperti Vacuum
Liquid Chromatography (VLC), Column Chormatography (CC), dan Size-
Exclusion Chromatography (SEC) (Sarker, et. al., 2006).
Vacuum liquid chromatography (VLC) merupakan metode
pemisahan kromatografi yang menggunakan vakum untuk mempercepat
kecepatan alir dari fase gerak. Kromatografi vakum cair memiliki beberapa
keunggulan, seperti peralatan yang sederhana, waktu pemisahan yang
cepat, resolusi yang lebih baik dan kapasitas pemisahan besar. VLC
menggunakan kolom berukuran pendek, kolom kromatografi dikemas
dengan dry adsorbent (Xu, et al, 2012).
Fase diam yang digunakan dalam VLC pada umumnya
menggunakan teknik dry packing. Dry packing merupakan metode yang
efektif untuk mengemas fase diam dalam sistem kromatografi dan
umumnya digunakan untuk fase diam berupa silica gel. Fase gerak yang
dianjurkan adalah kombinasi pelarut dengan polaritas yang berbeda untuk
mendapatkan hasil fraksinasi yang lebih baik terutama untuk ekstrak
bahan alam (Sarker, et. al., 2006).
Kromatografi lapis tipis (KLT) telah banyak digunakan dalam analisis
ekstrak suatu bahan alam dan juga memainkan bagian penting dalam
fraksinasi, isolasi dan deteksi senyawa aktif hadir dalam ekstrak tanaman
mentah. Dibandingkan dengan metode kromatografi lainnya, KLT
merupakan metode sederhana dan murah untuk mendeteksi adanya
senyawa aktif dalam suatu tanaman tanaman, sampel dan peralatan yang
dibutuhkan juga sedikit dan tidak membutuhkan waktu analisis yang lama.
Secara umum, sampel jarang memerlukan persiapan atau derivatisasi
sebelum TLC dan bisa langsung ditotolkan atau hanya memerlukan
pengenceran sebelum TLC. Hanya nanoliters untuk mikroliter volume
standar dan larutan yang harus ditotolkan pada plat KLT kemudian
dielusikan (Wagner dan Bladt, 1996).
Dalam mengidenfikasi adanya suatu senyawa kimia yang terdapat
dalam suatu ekstrak hanya valid bila memenuhi kriteria berikut ini
(Houghton and Rahman, 1998):
1. Senyawa aktif dan senyawa yang berperan sebagai pembanding
menunjukkan nilai Rf yang sama di setiap sistem KLT yang dilakukan.
2. Beberapa metode deteksi yang digunakan dan senyawa yang diuji dan
senyawa pembanding memiliki reaksi yang sama pada semua metode
deteksi yang dilakukan.
3. Sekurang-kurangnya 5 metode fase gerak digunakan untuk
menentukan rentang nilai Rf.
Reagen semprot dapat digunakan untuk senyawa yang dapat
memberikan reaksi berupa perubahan warna dan dapat digunakan setelah
senyawa ditotolkan pada plat KLT (Houghton and Rahman, 1998)
Penggunaan marker yang ditotolkan bersama dalam plate KLT perlu
untuk dilakukan untuk mengidentifikasi senyawa, dengan nilai Rf sekitar
0,5, ditotolkan disamping sampel, dan menunjukan nilai Rf pada semua
senyawa relatif pada marker. Setelah di running, bila nilai Rf senyawa
yang diuji sama dengan marker maka disebut 1. Bila lebih tinggi diatasnya
disebut >1 bila kurang dibawahnya disebut <1. Nilai Rf relatif lebih reliabel
dibandingkan nilai Rf absolut dalam membandingkan hasil KLT senyawa
(Houghton and Rahman, 1998).

II. 5 Kromatografi
II. 5. 1 Pengertian Kromatografi
Kromatografi merupakan suatu nama yang diberikan untuk teknik
pemisahan tertentu. Kromatografi pertama kali di perkenalkan oleh
Michael Tsweet pada tahun 1903 yang merupakan seorang di ahli botani
dari rusia. Dalam percobaannya Michael Tsweet berhasil memisahkan
klorofil dan pigmen pigmen warna lain dalam ekstrak tumbuhan dengan
menggunakan serbuk kalsium karbonat yang di isikan ke dalam kolom
kaca dan petroleum eter sebagai pelarut. Proses pemisahan itu di awali
dengan menempatkan larutan cuplikan dengan menempatkan larutan
cuplikan pada permukaan atas kalsium karbonat, kemudian di alirkan
pelarut petroleum eter, dan hasilnya berupa pita pita warna yang terlihat
sepanjang kolom sebagai hasil pemisahan komponen-komponen dalam
ekstrak tumbuhan. Cara asli telah diketengahkan pada tahun 1903 oleh
Tsweet, ia telah menggunakannya untuk menggunakan pemisahan
senyawa-senyawa yang berwarna, dan nama kromatografi diambil dari
senyawa yang berwarna. Meskipun demikian pembatasan untuk senyawa-
senyawa yang berwarna tak lama dan hampir kebanyakan pemisahan-
pemisahan secara kromatografi sekarang diperuntukkan pada senyawa-
senyawa yang tak berwarna, termasuk gas (Arsyad, 2001).
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan molekul berdasarkan
perbedaan pola pergerakan antara fase gerak dan fase diam untuk
memisahkan komponen (berupa molekul) yang berada pada larutan. Atau
kromatografi adalah proses melewatkan sampel melalui suatu kolom,
perbedaan kemampuan absorpsi terhadap zat-zat yang sangat mirip
mempengaruhi resolusi zat terlarut dan menghasilkan apa yang di sebut
kromatogram. Pada dasarnya, semua kromatografi menggunakan dua
fase yaitu satu fase tetap (stationary) dan yang lain fase bergerak
(mobile). Pemisahan-pemisahan tergantung pada gerakan relative dari
dua fase ini. Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan
sifat-sifat fase tetap, yang dapat berupa zat padat atau zat cair.
Jika fase tetap berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai
kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi.
Karena fase bergerak dapat berupa zat cair atau gas maka semua ada
empat system kromatografi. Prinsip pemisahan kromatografi yaitu adanya
distribusi komponen-komponen dalam fasa diam dan fasa gerak
berdasarkan perbedaan sifat fisik komponen yang akan dipisahkan
(Arsyad, 2001).
II. 5. 2 Jenis-Jenis Kromatografi
Umumnya metode kromatografi diklasifikasikan berdasarkan jenis
fasa yang digunakan dan sebagian berdasarkan mekanisme
pemisahannya. Berdasarkan fasa gerak dan fasa diamnya , kromatografi
dapat di bedakan atas berbagai tipe sebagai berikut (Keenan, 2002):
II. 5. 2. 1 Kromatografi cair-padat (Kromatografi Adsorpsi)
Kromatografi adsorpsi adalah teknik kromatografi tertua dioperasikan
berdasarkan retensi terlarut pada permukaan adsorben. Pada
kromatografi adsorpsi, fasa stasionernya terdiri atas zat padat dan fasa
mobilnya terdiri atas zat gas atau zat cair (Keenan, 2002).
Contoh– contoh yang termasuk kromatografi adsorpsi
• Kromatografi kolom Adsorpsi
• Kromatografi gas
• Kromatografi lapis tipis
II. 5. 2. 2 Kromatografi cair-cair (Kromatografi Partisi)
Fasa diam pada kromatografi Jenis ini berupa lapisan tipis cairan yang
terserap pada: padatan inert berpori, yang berfungsi sebagai fasa
pendukung(Keenan,2002).
II. 5. 2. 3 Kromatografi gas-padat (KGP)
Kromatografi gas termasuk dalam salah satu alat analisa (analisa
kualitatif dan analisa kuantitatif), kromatografi gas dijajarkan sebagai cara
analisa yang dapat digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa
organic. ada dua jenis kromatografi gas, yaitu kromatografi gas padat
(KGP), dan kromatografi gas cair (KGC) (Keenan, 2002).

II. 5. 2. 4 Kromatografi Gas-Cair (KGC)


Pada kaimia organik kadang-kadang menyebutnya sebagai
kromatografi fasa uap (Keenan, 2002).
II. 5. 2. 5 Kromatografi Penukar Ion
Kromatografi pertukaran ion adalah salah satu teknik pemurnian
senyawa spesifik di dalam larutan campuran. Prinsip utama dalam metode
ini didasarkan pada interaksi muatan positif dan negatif antara molekul
spesifik dengan matriks yang barada di dalam kolom kromatografi. Secara
umum, teradapat dua jenis kromatografi pertukaran ion, yaitu Kromatografi
pertukaran kation dan kromatografi pertukaran anion (Keenan, 2002).
II. 5. 2. 6 Kromatografi Kertas (KT)
Kromatografi kertas merupakan salah satu metode pemisahan
berdasarkan distribusi suatu senyawa pada dua fasa yaitu fasa diam dan
fasa gerak. Pemisahan sederhana suatu campuran senyawa dapat
dilakukan dengan kromatografi kertas, prosesnya dikenal sebagai analisis
kapiler dimana lembaran kertas berfungsi sebagai pengganti kolom
(Keenan, 2002).
II. 5. 2. 7 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi jenis ini mirip dengan kromatografi kertas. Bedanya
kartas digantikan lembaran kaca atau plastik yang dilapisi dengan lapisan
tipis adsorben seperti alumina, silika gel. selulosa atau materi lainnya.
Kromatografi lapis tipis lebih bersifat reprodusibel (bersifat boleh ulang)
daripada kromatografi kertas (Keenan, 2002).
II. 5. 2. 8 Kromatografi Filtrasi Gel
Pada kromatografi jenis ini fasa diam berupa gel yang terbuat dari
dekstran, suatu bahan hasil ikatan silang molekul-molekul polisakarida
(Keenan, 2002).
II. 5. 2. 9 Kromatografi Elektroforesis Kontinyu
Kromatografi jenis ini merupakan bagian dari kromatografi kertas
dimana selama pengerjaannya diterapkan medan listrik tegak lurus pada
aliran pelarut. Arah aliran spesies ionik akan menyimpang dari arah aliran
semula tergantung atas muatan molekul dan gerakitasnya (Keenan,
2002).
II. 5. 2 Kromatografi Kolom
II. 5. 2. 1 Pengertian Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal
yang pertamakali di lakukan oleh D.T.Davy yaitu untuk membedakan
komposisi minyak bumi. Ditinjau dari mekanismenya kromatografi kolom
merupakan kromatografi serapan atau adsorbsi. Kromatografi kolom
digolongkan kedalam kromatografi cair–padat (KCP) kolom
terbuka. Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada
adsorpsi komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda
terhadap permukaan fase diam. Kromatografi kolom adsorpsi termasuk
pada cara pemisahan cair-padat. Substrat padat (adsorben) bertindak
sebagai fase diam yang sifatnya tidak larut dalam fase cair. Fase
bergeraknya adalah cairan (pelarut) yang mengalir membawa komponen
campuran sepanjang kolom. Prinsip yang mendasari kromatografi kolom
adsorpsi ialah bahwa komponen–komponen dalam zat contoh yang harus
diperiksa mempunyai afinitas yang berbeda-beda terhadap adsorben
dalam kolom. Apabila kita mengalirkan cairan ( elutor ) secara kontinyu
melalui kolom yang berisi zat contoh yang telah diadsorpsikan oleh
penyarat kolom, maka yang pertama–tama dihanyutkan elutor ialah
komponen yang paling lemah terikat kepada adsorben. Komponen–
komponen lainnya akan dihanyutkan menurut urutan afinitasnya terhadap
adsorben, sehingga terjadi pemisahan daripada komponen–komponen
tersebut (Sudjadi,1988).
Pemisahan tergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada
bidang antarmuka di antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak
serta kelarutan relatif komponen pada fase bergeraknya. Antara molekul-
molekul komponen dan pelarut terjadi kompetisi untuk teradsorpsi pada
permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses dinamis. Keduanya
secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan
masuk kembali pada fase bergerak. Pada saat teradsorpsi komponen
dipaksa untuk berpindah oleh aliran fase bergerak yang ditambahkan
secara kontinyu. Akibatnya hanya komponen yang mempunyai afinitas
lebih besar terhadap adsorben akan secara selektif tertahan. Komponen
dengan afinitas paling kecil akan bergerak lebih cepat mengikuti aliran
pelarut (Sudjadi,1988).
Teknik pemisahan kromatografi kolom partisi sangat mirip dengan
kromatografi kolom adsorpsi. Perbedaan utamanya terletak pada sifat dari
penyerap yang digunakan. Pada kromatografi kolom partisi penyerapnya
berupa materi padat berpori seperti kieselguhr, selulosa atau silika gel
yang permukaannya dilapisi zat cair (biasanya air). Dalam hal ini zat padat
hanya berperan sebagai penyangga (penyokong) dan zat cair sebagai
fase diamnya. Fase diam zat cair umumnya diadsorpsikan pada
penyangga padat yang sejauh mungkin inert terhadap senyawa-senyawa
yang akan dipisahkan. Zat padat yang penyokong harus penyerap dan
menahan fase diam serta harus membuat permukaannya seluas mungkin
untuk mengalirnya fase bergerak. Penyangga pada umumnya bersifat
polar dan fase diam lebih polar dari pada fase bergerak. Dalam
kromatografi partisi fase bergeraknya dapat berupa zat cair dan gas yang
mengalir membawa komponen-komponen campuran sepanjang kolom.
Jika fase bergeraknya dari zat cair, akan diperoleh kromatografi partisi
cair-cair. Teknik ini banyak digunakan untuk pemisahan senyawa-
senyawa organik maupun anorganik (Sudjadi,1988).
Resin penukar ion adalah suatu bahan padat yang memiliki bagian
(ion positif atau negatif) tertentu yang bisa dilepas dan ditukar dengan
bahan kimia lain dari luar. Berdasarkan jenis ion/muatan yang
dipertukarkan, resin dapat dibagi menjadi 2 yaitu resin penukar kation
adalah ion positif yang dipertukarkan dan resin penukar anion adalah ion
negatif yang dipertukarkan. Ion Exchange adalah proses penyerapan ion –
ion oleh resin dengan cara Ion-ion dalam fasa cair
(biasanya dengan pelarut air) diserap lewat ikatan kimiawi karena
bereaksi dengan padatan resin. Resin sendiri melepaskan ion lain sebagai
ganti ion yang diserap. Selama operasi berlangsung setiap ion
akan dipertukarkan dengan ion penggantinya hingga seluruh resin
jenuh dengan ion yang diserap (Sudjadi,1988).
Besarnya nilai kapasitas penukar dari resin penukar ion tergantung
pada jumlah gugus ion yang dapat ditukarkan yang terkandung dalam
setiap gram bahan resin tersebut. Semakin besar jumlah gugus-gugus
tersebut, maka semakin besar pula nilai kapasitas resinnya. Besarnya nilai
kapasitas resin diketahui agar dapat memperkirakan berapa banyaknya
resin yang diperlukan dalam analisa kimia dengan menggunakan metode
kromatografi kolom. Apabila resin telah mengikat jumlah ion yang sama
dengan kapasitas maksimumnya maka resin tersebut dikatakan telah
“exchausted”. Dalam keadaan demikian resin dapat dikembalikan ke
keadaan semula dengan jalan menuangkan larutan asam yang agak
pekat ke dalamnya sehingga terjadi reaksi kebalikan dari reaksi
penukaran ion. Resin penukar anion dapat berupa ko-polimer stiren dan
divinil benzen tetapi tidak mengandung gugusan-gugusan amin yang
bersifat basa dengan resin penukar anion terjadi pengubahan yang
jumlahnya ekuivalen (Sudjadi,1988).
Parameter yang di gunakan dalam mengevaluasi kinerja kolom,
setelah mengoptimumkan efesiensi pemisahan secara kromatografi, mutu
kromatografi dapat di kendalikan dengan menerapkan uji kesesuian
sistem tertentu. Salah satu diantaranya adalah perhitungan pelat pelat
teoritis untuk suatu kolom dan terdapat dua parameter utama lainnya
untuk menilai kinerja (Sudjadi,1988).
II. 5. 2. 2 Persyaratan kolom
Pola kecepatan arus elutor pada tiap irisan kolom yang dipilih di
sembarang tempat suddah tentu sedapat mungkin harus sama.
Keseragaman ini dapat dicapai dengan memilih adsorben yang ukuran
butir – butirnya sama ( diayak ) dan dengan cara penyaratan yang baik.
Makin kecil ukuran butir adsorben, makin cepat keseimbangan adsorpsi
akan tercapai, dan makin besar pula kecepatan elusi yang boleh
dipergunakan. Tetapi dilain pihak, makin kecil butir adsorben, makin besar
hambatan bagi cairan yang harus mengalir melalui kolom. Apabila
kecepatan lintas bagi cairan elutor terlalu kecil, dapat dipergunakan
pompa vakum yang menimbulkan tekanan rendah dalam ruang di bawah
kolom sehingga cairan dapat mengalir lebih cepat melalui kolom. Cara
yang lain ialah menambahkan tekanan dalam ruang di atas kolom dengan
menggunakan pompa pneumatic (Sudjadi,1988).
II. 5. 2. 3 Bentuk Kolom
Penempatan adsorben dalam kolom secara uniform betul sangat
sukar dilaksanakan. Sebagai akibatnya, zona – zona komponen yang
dipisahkan menjadi kurang teratur bentuknya. Bagi kolom yang lebar hal
ini dapat menyebabkan pembauran. Tetapi bagi kolom kecil bahaya ini
seberapa besar. Namun di lain pihak, kolom yang lebar dan pendek itu
lebih memudahkan dalam pemakaiannya. Oleh karena itu, tinggi
kebanyakan kolom ialah ± 20 kali diameternya. Di bawah tabung yang
umumnya terbuat dari gelas terdapat lempengan meduk yang terbuat dari
porselen atau dari serbuk gelas yang dipanaskan hingga melengket jadi
satu. Lempengan yang berbentuk cakram ini bergawai sebagai penahan
fasa yang stasioner. Di bagian tabung yang paling bawah terdapat kapiler
penyulur dilengkapi dengan pancur. Kapiler beserta pancur dirakitkan
dengan kolom memakai suku asah sehingga mudah dilepaskan guna
membersihkan kolom dan untuk meniup kolom sehingga menjadi bersih
dari cairan. Ruang antara pancur dan cakram penyaring harus sekecil
mungkin supaya tidak terjadi pembauran antara cairan – cairan yang
keluar dari kolom (Sudjadi,1988).
II. 5. 2. 4 Kecepatan arus
Semakin rendah kecepatan arus cairan, semakin baik akibatnya bagi
tercapainya keseimbangan adsorpsi dan akan semakin baik pula
pemisahannya. Bentuk zona pun menjadi lebih teratur. Tetapi kecepatan
arus yang terlalu rendah dapat menimbulkan efek difusi axial dalam fasa
mobil yang harus dihindarkan sejauh mungkin. Jadi dapat dikatakan
bahwa pemisahan yang terbaik dapat dicapai dengan mempergunakan
kolom yang panjang dan sempit, diisi dengan adsorben yang berbutir
halus, dan arus yang lambat. Elusi dapat dimulai apabila campuran yang
harus dipisahkan sudah dimasukan dalam kolom. Elusi ini dilakukan
dengan memasukan cairan elutor berenyai – renyai melalui kolom dan
harus dijaga supaya arusnya tidak berhenti. Komponen – komponen yang
telah diadsorpsikan oleh adsorben akan bergerak dalam bentuk gelang –
gelang atau zona dengan kecepatan yang berbeda – beda melalui kolom
dan ditampung di bawah kolom secara terpisah memakai beberapa
tabung yang dibubuhi tanda – tanda. Tabung – tabung ini ditempatkan
dalam sebuah fraksikolektor. Setelah itu fraksi – fraksi yang diperoleh
mulai dapat diselidiki (Sudjadi,1988).
II. 5. 2. 5 Perolehan data
Suatu integrator, jika berdasarkan mikroprosesor atau perakat lunak
pc, hanya mengukur jumlah total arus yang mengalir melewati lebar
puncak suatu kromatografi. Untuk melakukan hal ini , integrator mengukur
laju peningkatan tegangan lebih kurang 30 kali melintasi lebar puncak
tersebut. Parameter yang menunjukan waktu pengukuran harus di mulai
adalah ambang batas puncak tersebut, yang menentukan tingkat ketika
tegangan sinyal tersebut harus di naikkan sebelum akumulasi sinyal
terjadi. Untuk mencegah penyimpanan aliran garis dasar, kemiringan
kenaikan harus memiliki ketajaman tertentu sebelum di anggap suatu
puncak (Sudjadi,1988).
II. 5. 2. 6 Perhitungan Efesiensi Kolom
Semakin lebar suatu puncak kromatografi yang sebanding dengan
waktu retensinya, semakin kurang efesien kolom pengelusinya.
Persamaan 1
Dengan n adalah jumlah pelat teoretis.
Efesiensi kolom biasanya dinyatakan dalam pelat teoretis per meter:
n x 100/L
Pengukuran efesiensi kolom yang lebih ketat, terutama jika waktu retensi
analit tersebut singkat, di nyatakan dengan persamaan 2.
Persamaan 2
Dengan N eff adalah jumlah pelat yang efektif dan mencerminkan berapa
kali analit berpartisi antara fase gerak dan fase diam selama
pergerakannya melalui kolom dan t’r =tr – t0
N eff = 5, 54 (t’r : W1/2)²
Persamaan lain yang di gunakan sebagai pengukuran adalah H, “tinggi
pelat teoretis”
H=L/N eff
Dengan h adalah panjang kolom yang di butuhkan untuk berlangsungnya
satu tahap partisi (Watson, 2005).
II. 5. 2. 7 Pemisahan pada kolom
Pada pemisahan campuran-campuran pada kolom, solut di cirikan
dengan waktu retensi (tR) dan faktor retensi (k’) yang berbanding lurus
dengan D. Waktu retensi merupakan lamanya waktu yang di butuhkan
solut untuk melewati kolom. Waktu retensi dan faktor retensi di hubungkan
oleh persamaan berikut:
tR=tM(1+k’)
tM terkadang di tulis t0 dan di kenal sebagai waktu mati merupakan waktu
yang di butuhkan oleh solut yang tidak tertahan untuk melewati kolom.
Solut yang tidak tertahan akan bermigrasi dengan kecepatan yang sama
dengan fase gerak, karenanya perbandingan distribusi (D) dan faktor
retensinya adalah 0 akan tertahan secara profosional dan akan
mempunyai waktu retensi yang lebih besar dari pada tM, misal:
jika k’ = 1 maka tR= 2tM
jika k’ = 2 maka tR = 3tM
kondisi kromatografi umumnya di atur sedemikian rupa sehingga nilai k’
lebih kecil dari pada 20 untuk menghindari waktu retensi yang terlalu
panjang. Nilai k’ dapat di hitung dengan menyusun ulang persamaan di
atas:
tR=tM (1=k’) maka k’ = (tR-tM) / tM
dalam kromatografi ukuran eksklusi, solut di karakterisasi dengan volume
retensi (Vr) yang merupakan volume fase gerak yang di butuhkan untuk
mengelusi solut dari kolom. Waktu retensi berbanding langsung dengan
volume retensi pada kecepatan alir yang konstan sehingga persamaan di
atas dapat di tulis kembali:
Vr=Vm (1+k’)
Sementara nilai k dapat di ganti dengan:
k’=D(Vs / Vm)
dengan menggabungkan kedua persamaan ini maka akan di peroleh:
Vr=Vm(1+D Vs / Vm)
Atau
Vr=Vm+DVs
Vs dan Vm masing-masing merupakann volume fase diam dan volume
vase gerak dalam kolom.
Persamaan tersebut merupakan persamaan pundamental pada
kromatografi kolom karena berhubungan dengan volume retensi solut
terhadap perbandingan distribusinya (Watson, 2005).

II. 6 Purifikasi
Proses purifikasi adalah metode untuk mendapatkan komponen
bahan alam murni bebas dari komponen kimia lain yang tidak dibutuhkan.
Untuk tingkatan kemurnian (purity) suatu struktur senyawa tertentu,
kemurnian bahan harus 95-100% . Sedangkan ekstrak terpurifikasi harus
dijelaskan bahwa ekstrak terpurifikasi dari komponen apa sehingga tidak
menimbulkan multipersepsi. Komponen kimia dalam ekstrak yang tidak
dibutuhkan seperti lipid, pigmen (klorofil), tanin, plastisiser, dan pelumas
yang dapat berasal dari alat (Vogel, 1989).
Penggunaan ekstrak terpurifikasi adalah alternatif untuk
meminimalkan massa suatu ekstrak dalam tujuan praktis pembuatan
sediaan secara farmasetis karena beberapa komponen yang terkandung
dapat direduksi dengan proses tersebut. Hal ini juga untuk menjaga
beberapa kandungan kimia ekstrak yang berefek sinergisme sehingga
dapat memaksimalkan proses pengobatan karena dalam beberapa kasus,
komponen kimia yang telah diisolasi justru menunjukkan penurunan efek
(Vogel, 1989).
Hasil sintesis organik pada umumnya bercampur dengan pelarut dan
mengandung senyawa lain yang tidak diinginkan. Pemisahan hasil sintesis
tersebut antara lain dapat dilakukan melalui beberapa
metode. Filtrasimerupakan metode yang digunakan untuk memisahkan
pengotor hasil sintesis berupa padatan menggunakan penyaring. Filtrasi
dalam skala laboratorium biasa dilakukan menggunakan kertas saring,
penyaring Hirsch dan Buchner (Vogel, 1989).
Ekstraksi pelarut juga dapat digunakan untuk memisahkan
komponen dan menghilangkan pengotor dari suatu campuran (Adam,
1963). Metode ini didasarkan pada kelarutan komponen dalam pelarut,
sehingga membutuhkan pemilihan pelarut yang sesuai. Pelarut yang
dipilih bergantung pada kelarutan zat yang akan diekstraksi
dan kemudahan untuk dipisahkan dari zat terlarut (Vogel,
1989). Ekstraksi pelarut dilakukan dengan mengocok campuran yang
akan dipisahkan menggunakan pelarut yang sesuai dalam corong pisah.
Eter merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik dan memiliki
titik didih rendah sehingga mudah dipisahkan dari zat terlarut (Norris,
1924). Hasil ekstraksi biasanya dikeringkan terlebih dahulu melalui kontak
langsung dengan zat padat pengering. Pemilihan pengering diatur
berdasaran pertimbangan pengering tidak berinteraksi kimiawi dengan
hasil sintesis (seperti polimerisasi, reaksi kondensasi, auto-
oksidasi), dapat menyerap air dengan cepat, memiliki kapasitas
pengeringan yang efektif dan ekonomis (Vogel, 1989).
Adapun pemurnian senyawa organik padat dapat dilakukan
denganrekristalisasi dengan pelarut yang didasarkan pada prinsip
kelarutan. Zat-zat yang direkristalisasi dilarutkan dalam pelarut pada suhu
tinggi, dihilangkan pengotornya, disaring untuk menghilangkan residu
yang tak larut dan didinginkan. Kristal yang terbentuk kemudian disaring
pada tekanan rendah, dicuci dan dikeringkan (McKee, 1997). Pemilihan
pelarut merupakan hal yang penting dalam rekristalisasi. Kriteria pelarut
yang baik untuk rekristalisasi adalah mudah melarutkan senyawa yang
dimurnikan pada suhu tinggi dan sulit melarutkan pada suhu rendah,
menghasilkan kristal dengan baik dari senyawa yang dimurnikan, mudah
dipisahkan dari senyawa yang dimurnikan (memiliki titik didih yang relatif
rendah) dan tidak bereaksi dengan senyawa yang dimurnikan (Vogel,
1989).
Selain rekristalisasi, kromatografi juga sering digunakan untuk
memurnikan senyawa organik padat. Kromatografi biasanya terdiri dari
fasa diam dan fasa gerak. Fasa gerak yang membawa komponen dari
campuran melewati fasa diam, sedangkan fasa diam tersebut akan
berinteraksi dengan senyawa-senyawa yang dipisahkan dengan afinitas
yang berbeda-beda (Bresnick, 2003). Kromatografi kolom merupakan
metode kromatografi klasik yang masih banyak digunakan. Kromatografi
kolom digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah
yang banyak berdasarkandaya adsorpsi dan partisi. Adsorben yang umum
digunakan adalah silika gel, alumina, selulosa dan karbon aktif. Fasa
gerak (eluen) pada kromatografi kolom melalui fasa diam (adsorben) yang
berada dalam kolom, sehingga campuran akan terpisah membentuk pita-
pita karena perbedaan sifat kepolaran (Gritter, 1991).
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan proses pemisahan dan
pemurnian yang didasarkan pada perbedaan adsorpsi dan daya partisi
serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang bergerak mengikuti
kepolaran eluen. Adsorben yang umum digunakan adalah silika gel dan
alumina. Sedangkan partisi adalah kelarutan tiap-tiap komponen kimia
dalam cairan pengelusi (eluen) dimana arah gerakannya disebabkan oleh
interaksi komponen dengan eluen sehingga komponen kimia dapat
bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda dan menyebabkan
terjadinya pemisahan (Hostettmann et al., 1995). Campuran yang akan
dipisahkan dengan KLT dilarutkan pada suatu pelarut yang sesuai, lalu
ditotolkan pada bagian bawah plat KLT menggunakan pipa kapiler dan
dikeringkan. Plat selanjutnya dielusi dalam suatu bejana yang berisi
sistem pelarut yang jenuh dengan uap eluen. Pelarut kemudian naik
hingga bagian tertentu dari plat selanjutnya dikeringkan. Proses
penampakan noda pada plat KLT dapat dilakukan dengan penyinaran
dengan sinar ultraviolet, uap iodin atau dengan penyemprotan
menggunakan senyawa kimia tertentu, misalnya 2,4-dinitrofenilhidrazin
dan ninhidrin (Gritter et al., 1991). Kemurnian senyawa dapat diketahui
dari bentuk noda pada plat, jika noda yang tampak berupa noda tunggal,
maka senyawa tersebut sudah tidak bercampur dengan senyawa lainnya.
Uji kemurnian dengan metode ini harus dilakukan pada berbagai eluen
yang (Sudjadi, 1988).
Titik leleh merupakan salah satu sifat fisik padatan yang dapat
digunakan untuk menguji kemurniannya. Penentuan titik leleh ditentukan
dari pengamatan trayek lelehannya, dimulai saat terjadinya
pelelehan, transisi padat-cair, sampai seluruh padatan mencair.
Senyawa organik murni umumnya memiliki titik leleh yang tajam, yaitu
rentang titik leleh tidakmelebihi sekitar 0,5oC (Vishnoi, 1996). Pengotor
dalam jumlah sedikit dapat memperlebar trayek titik leleh dan
menyebabkan suhu awal terjadinya pelelehan lebih rendah atau tinggi dari
pada titik leleh senyawa murninya (Sudjadi, 1988).
II.7 Karakterisasi
Karakterisasi senyawa adalah usaha mengenali sifat kimia dan
fisika dari suatu senyawa baru untuk menyediakan informasi penting yang
berguna dalam prediksi parameter farmakokinetik dan efek biologis. Sejak
akhir tahun 90-an seiring dengan pengembangan ilmu autobiografi, telah
banyak usaha dilakukan dalam penemuan senyawa beraktivitas biologis
sebagai pengembangan penemuan obat baru yang diharapkan lebih baik
dalam segi aktivitas dan aman bagi tubuh. Dalam era modern,
pengembangan obat lebih bersifat optimasi disbanding pencarian seiring
dengan pengembangan ilmu kimia molekuler, dan senyawa yang telah
ditemukan di alam dimodifikasi gugusnya membentuk senyawa baru yang
diharapkan memiliki manfaat yang lebih optimal dan aman. Hal tersebut
membutuhkan karakterisasi sebagai langkah awal dalam pengembangan
obat (Volgyi, 2007)

II. 8 Uraian Tanaman

Gambar 1. Daun Kelor


(Roloff, 2009).
II. 8. 1 klasifikasi tanaman kelor
Regnum : Plantae
Division : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Classis : Dicotyledoneae
Subclassis : Dialypetalae
Ordo : Rhoeadales (Brassicales)
Familia : Moringaceae
Genus : Moringa
Species : Moringa oleifera
(Roloff, 2009).
II. 8. 2 Morfologi
Kelor (Moringa oleifera) tumbuh di dataran rendah maupun dataran
tinggi sampai di ketinggian ± 1000 dpl. Kelor banyak ditanam sebagai
tapal batas atau pagar di halaman rumah atau ladang. Daun kelor dapat
dipanen setelah tanaman tumbuh 1,5 hingga 2 meter yang biasanya
memakan waktu 3 sampai 6 bulan. Namun dalam budidaya intensif yang
bertujuan untuk produksi daunnya, kelor dipelihara dengan ketinggian
tidak lebih dari 1 meter. Pemanenan dilakukan dengan cara memetik
batang daun dari cabang atau dengan memotong cabangnya dengan
jarak 20 sampai 40 cm di atas tanah (Kurniasih, 2014).
Daun kelor di Indonesia dikonsumsi sebagai sayuran dengan rasa
yang khas, yang memiliki rasa langu dan juga digunakan untuk pakan
ternak karena dapat meningkatkan perkembangbiakan ternak khususnya
unggas. Selain dikonsumsi daun kelor juga dijadikan obat-obatan dan
penjernih air
II. 8. 3 Komposisi zat gizi daun kelor
Menurut Simbolan et al., (2007), kandungan kimia yang dimiliki daun
kelor yakni asam amino yang berbentuk asam aspartat, asam glutamat,
alanin, valin, leusin, isoleusin, histidin, lisin, arginin, venilalanin, triftopan,
sistein dan methionin. Daun kelor juga mengandung makro elemen seperti
potasium, kalsium, magnesium, sodium, dan fosfor, serta mikro elemen
seperti mangan, zinc, dan besi. Daun kelor merupakan sumber provitamin
A, vitamin B, Vitamin C, mineral terutama zat besi. Akar, batang dan kulit
batang kelor mengandung saponin dan polifenol. Selain itu kelor juga
mengandung alkaloida, tannin, steroid, flavonoid, gula tereduksi dan
minyak atsiri. Akar dan daun kelor juga mengandung zat yang berasa pahit
dan getir. Sementara biji kelor mengandung minyak dan lemak (Utami dan
Puspaningtyas, 2013). Menurut Krisnadi (2014) teh daun kelor kaya
dengan kandungan polifenol catechin, terutama epigallocatechin gallate
(EGCG). EGCG berfungsi untuk menghambat pertumbuhan sel kanker,
membunuh sel kanker, efektif dalam menurunkan kadar kolesterol LDL,
dan menghambat pembentukan bekuan darah abnormal yang menjadi
penyebab utama serangan jantung dan stroke. Hasil studi kandungan
EGCG pada daun kelor menunjukkan bahwa kandungan EGCG dari 3 g
teh daun kelor yang dilarutkan dengan 200 ml air dengan suhu 90oC yaitu
114.37 mg (Putri, 2014).
Hasil studi fitokimia daun kelor (Moringa oleifera) menyebutkan
bahwa daun kelor mengandung senyawa metabolit sekunder flavonoid,
alkaloid, phenols yang juga dapat menghambat aktivitas bakteri.
Komposisi dan konsentrasi senyawa fitokimia mengalami perubahan
selama pertumbuhan tanaman. Daun yang lebih muda mempunyai
kandungan fitokimia paling tinggi (Nugraha, 2013).
II. 8. 4 Manfaat Tanaman Kelor
Tanaman kelor di daerah pedesaan biasanya digunakan sebagai
tapal batas rumah atau ladang. Akar kelor dapat dimanfaatkan sebagai
antilithic (pencegah terbentuknya batu urine), rubefacient (obat kulit
merah), vesicant (menghilangkan kutil), antifertilitas dan antiinflamasi
(peradangan). Batang kelor dimanfaatkan sebagai rubefacient, vesicant,
menyembuhkan penyakit mata, untuk pengobatan pasien mengigau,
mencegah pembesaran limpa dan untuk menyembuhkan bisul (Krisnadi,
2014).
Getah kelor dicampur dengan minyak wijen digunakan untuk
meredakan sakit kepala, demam, keluhan usus, disentri, dan asma. Bunga
kelor dapat digunakan untuk menyembuhkan radang, penyakit otot,
histeria, tumor, dan pembesaran limpa dan menurunkan kolesterol. Daun
kelor secara tradisional telah banyak dimanfaatkan untuk sayur hingga
saat ini dikembangkan menjadi produk pangan modern seperti tepung
kelor, kerupuk kelor, kue kelor, permen kelor dan teh daun kelor. Selain itu
ekstrak daun kelor dapat berfungsi sebagai antimikroba dan biji kelor
digunakan untuk menjernihkan air (Krisnadi, 2014).

II. 9 Jurnal
II. 9. 1 Latar Belakang
Banyak penyakit disebabkan oleh bakteri ditemukan di Indonesia
terutama disebabkan oleh kurangnya kebersihan. Penanganan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri selama ini lebih banyak menggunakan obat–
obat sintetik dengan berbagai efek samping yang ditimbulkan. Oleh sebab
itu perlu adanya alternatif salah satunya dengan memanfaatkan bahan-
bahan alamiah di sekitar kita. Pemanfaatan tanaman obat merupakan
warisan nenek moyang sejak dulu kala. Eksplorasi dan budidaya tanaman
obat terus dikembangkan dengan tujuan jangka panjang mengurangi
impor bahan baku obat sintetik demi menghemat devisa negara. Salah
satu tanaman yang berkhasiat obat adalah kelor. Kandungan kimia pada
daun kelor adalah fenol, hidrokuinin, flavonoid steroid, triterpenoid, tanin
alkaloid dan saponin (Kiswandono, 2008). Berbagai penelitian telah
membuktikan bahwa kandungan bioaktif dalam daun kelor berpotensi
sebagai senyawa obat diantaranya sebagai antiinflamasi (Sashidara, et al,
2007), antifungi (Chuang, et al, 2006), antikanker (Jayaardhanan, 2004),
hepatoprotektif (Hamza, 2007, Uma et al, 2007) serta antioksidan
(Benabdeselam, 2007; Chumark, 2007). Penelitian ini dilakukan untuk
menguji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun kelor dengan metode
dilusi cair dengan perhitungan Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar
Bunuh Minimal (KBM) (Jawetz, 1996) selanjutnya dilakukan isolasi
senyawa bioaktif berkhasiat antibakteri. Identifikasi senyawa yang
dihasilkan menggunakan HPLC.Hasil penelitian menunjukkan fraksi Fraksi
etil asetat merupakan fraksi teraktif sebagai antibakteri pada kadar 20%
b/v. Isolat yang diperoleh secara kromatografi lapis tipis preparatif
dinyatakan murni secara KLT. Karakterisasi isolat dengan menggunakan
HPLC menunjukkan kromatogram yang mirip dengan kuersetin sebagai
senyawa standar.
II. 9. 2 Metode
II. 9. 2. 1 Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah daun kelor, etanol 80%
sebagai larutan penyari. Bahan untuk fraksinasi ekstrak adalah n-heksan,
etil asetat dan aquades. Bahan uji antibakteri antara lain media BHI (Brain
Heart Infusion), median BHI DS ( Brain Heart Infusion) Double Strength,
NaCl 0,9%, media pertumbuhan agar darah, aquadest steril, standar
McFarland, biakan murni Staphylococcus aureus. Alat yang digunakan
meliputi: alat-alat gelas, perangkat ekstraksi, rotary ev aporator, chamber,
blender, neraca analitik, perangkat KLT, almari pendingin.
II. 9. 2. 1 Ekstraksi Sampel
Sebanyak 1 kg daun kelor dimaserasi dengan 7 L etanol 80% selama
5 hari terlindung dari cahaya sambil diaduk berulang-ulang. Setelah 5 hari
disaring dengan penyaring vakum dan residu dimaserasi kembali dengan
2 L etanol 80% selama 24 jam. Maserat yang didapat dipekatkan sampai
pekat dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 60oC dan hasil yang
didapat adalah ekstrak kental etanol daun kelor.
II. 9. 2. 1 Fraksinasi Ekstrak Etanol Daun Kelor
Sebelum difraksinasi ekstrak etanol dideteksi senyawa fenolik dan fla
vonoid dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Analisis kualitatif
senyawa fenolik dengan KLT menggunakan fase diam silika gel F254
dengan fase gerak etil asetat:metanol:air (100:13,5:10 /) dengan pereaksi
semprot FeCl3 dan sebagai baku pembanding digunakan asam galat.
Analisis kualitatif senyawa flavonoid dengan KLT menggunakan fase diam
silika gel F254 dengan fase gerak BAW ( 4:5:1) dan metanol:air dengan
pereaksi sitroborat dan uap amonia. Sebagai baku pembanding digunakan
fla vonoid rutin. Tahapan selanjutnya adalah fraksinasi ekstrak etanol daun
kelor. Ekstrak etanol ditambahkan aquadest dan n-heksan kemudian
disentrifuge dan akan membentuk 2 lapisan yaitu fraksi larut air dan fraksi
larut n-heksan. Pada fraksi larut air selanjutnya ditambahkan etilasetat
dicampur dan disentrifuge membentuk 2 lapisan yaitu fraksi etilasetat dan
fraksi tidak larut etilasetat.
II. 9. 2. 3 Uji Antibakteri
Penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM)
Diambil sebanyak 0,5 ml suspensi bakteri Staphylococcus aureus
106CFU/ml dan dimasukkan ke dalam tabung uji yang berisi 0,5 ml ekstrak
etanol pada konsentrasi 62,5%; 60%; 57,5%; 55%; 52,5% dan 50 %
Konsentrasi ekstrak etanol ditentukan berdasarkan uji pendahuluan.
Konsentrasi akhir setelah dicampur menjadi 31,25%; 30%; 28,75%;
27,5%; 26,25% dan 25%. Selanjutnya tabung diinkubasi pada suhu 370C
selama 18-24 jam. Diamati ada tidaknya kekeruhan larutan dan
dibandingkan dengan larutan kontrol untuk menentukan pada mulai
konsentrasi berapa ekstrak etanol mampu menghambat pertumbuhan
bakteri. Larutan kontrol yang digunakan adalah kontrol pelarut yaitu
aquadest dalam media BHI DS, kontrol media yaitu kontrol BHI DS, kontrol
ekstrak yaitu kontrol ekstrak etanol daun kelor dalam media BHI DS dan
kontrol suspensi bakteri 106 CFU/ml.
Penentuan Kadar Bunuh Minimum (KBM)
Penentuan KBM dilakukan dengan cara larutan ekstrak etanol hasil uji
dilusi cair pada KHM digoreskan pada media agar darah untuk
Staphylococcus aureus. Dilihat ada tidak adanya pertumbuhan bakteri dan
dibandingkan dengan kontrol untuk menentukan konsentrasi terendah
ekstrak etanol daun kelor yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri
(KBM). Bagan penentuan KHM dan KBM sebagai berikut:
Gambar 2. Skema uji KHM dan KBM

Penentuan uji KHM dan KBM dilakukan untuk semua larutan uji meliputi
ekstrak etanol daun kelor, hasil dari fraksinasi ekstrak etanol daun kelor
(fraksi n-heksan, fraksi aquadest, fraksi etil asetat), dan isolat fraksi
teraktif.

Gambar 3. Skema kerja penelitian


II. 9. 3 Hasil dan Pembahasan
Sebelum dilakukan uji aktivitas antibakteri terlebih dahulu dilakukan
skrining fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia yang berhubungan
dengan aktivitas biologinya. Sehingga dengan skrining fitokimia
diharapkan akan didapatkan gambaran kandungan kimia yang berpotensi
sebagai antibakteri. Hasil uji skrining fitokimia menunjukkan kandungan
senyawa golongan polifenol dan flavonoid sehingga selanjutnya dilakukan
identifikasi polifenol dan flavonoid secara kromatografi lapis tipis (KLT).

Tabel 1. Hasil uji skrining fitokimia

II. 9. 3. 1 Identifikasi senyawa polifenol


Hasil kromatogram yang didapat setelah KLT disemprot dengan
FeCl3 didapat bercak berwarna hitam pada sampel. Hal ini menunjukkan
adanya polifenol dalam sampel.

Gambar 4. Profil kromatografi identifikasi polifenol


Keterangan:
Fase diam : silika gel F254
Fasegerak : etilasetat:metanol:air (100:13,5:10)
Urutan sampel dari kiri ke kanan: pembanding asam galat;fraksi heksan;
fraksi etilasetat; ekstrak etanol daun kelor
1. Penampak bercak UV 254
2. Penampak bercak UV 366
3.Pereaksi semprot FeCl3 pada sinar tampak
Tabel 2. Nilai Rf identifikasi polifenol

II. 9. 3. 2 Identifikasi senyawa flavonoid


Flavonoid diidentifikasi melalui terbentuknya bercak berwarna kuning
pada kromatogram yang semakin intensif setelah dilewatkan uap amonia.
Hal ini disebabkan dengan penambahan uap amonia (basa) menyebabkan
gugus hidroksil pada flavonoid terionisasi sehingga terjadi pergeseran
panjang gelombang kearah panjang gelombang yang lebih besar
menyebabkan warna kuning yang terbentuk lebih intensif.
Gambar 5. Profil kromatografi identifikasi flaonoid
Keterangan
Fase diam : silika gel F254
Fase gerak : metanol:kloroform
Urutan sampel dari kiri ke kanan: pembanding rutin;fraksi heksan; fraksi
etilasetat; ekstrak etanol daun kelor
1. Sinar tampak pereaksi uap ammonia
2. Penampak bercak UV 254
3.Penampak bercak UV 366
II. 9. 3. 3 Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak etanol daun kelor,
fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat pada konsentrasi 20% berdasarkan
hasil uji pendahuluan. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak
etanol daun kelor, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat maka larutan
sampel yang telah diujikan dengan S. aureus digoreskan pada media MH.
Pada gambar 6 dan 7 terlihat fraksi etilasetat pada konsentrasi 20% telah
dapat membunuh bakteri S. aureus yang mana pada kadar tersebut sudah
tidak ada koloni bakteri sehingga dapat dikatakan bahwa fraksi
etilasetatlah yang paling poten terhadap bakteri S. aureus.
Gambar 6. Hasil goresan pada media agar MH untuk kelompok kontrol
Keterangan:
KM : Kontrol Media
KP : Kontrol Pelarut
KFE : Kontrol Fraksi etilasetat
KFH : Kontrol Fraksi n-heksan
KE : Kontrol Ekstrak etanol
KS : Kontrol Suspensi Bakteri

Gambar 7. Hasil goresan pada media agar MH untuk kelompok sampel


Keterangan:
E : Ekstrak etanol daun kelor
FH : Fraksi n-heksan
FE : Fraksi etilasetat
II. 9. 3. 4 Isolasi dan Karakterisasi senyawa Bioaktif
Isolasi dilakukan terhadap fraksi etilasetat dengan metode
Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP). Isolat yang didapat dilakukan
uji KLT. Karakterisasi isolat dilakukan dengan HPLC dengan pembanding
kuersetin.

Gambar 8. Kromatogram standar kuersetin

Gambar 9. Kromatogram isolat daun kelor

Pada gambar 9 menunjukkan isolat daun kelor tidak memisah


sempurna, namun jika dibandingkan dengan kromatogram standar
kuersetin memberikan waktu retensi yang mirip. Waktu retensi isolat 1,315
sedangkan waktu retensi standar kuersetin 1,672. Perbedaan ini
kemungkinan disebabkan isolat yang belum murni.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, M. Natsir. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Jakarta:
Gramedia.
Bresnick, S., 2003, Intisari Kimia Organik, Terjemahan Hadian Kotong,
Hipokrates, Jakarta
BPOM, 2014, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Persyaratan
Mutu Obat Tradisional, Bpom: Jakarta.
Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Depkes RI, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, Depkes: Jakarta.
Gritter, R. J., Bobbitt, J. M., Schwarting, A. E., 1991, Pengantar
Kromatografi, Terjemahan Kokasih Padmawinata, Edisi Kedua,
Penerbit ITB, Bandung
Herawati, Nuraida, dan Sumarto, 2012, Cara Produksi Simplisia Yang
Baik, Seafast Center, Bogor.

Houghton P.J., Raman A., 1998, Laboratory Handbook for the


Fractionation of Natural Extracts, 1st ed., Chapman and hall.
Johnson, J. R., Wilcox, C. F., 1963, Laboratory Experiments in Organic
Chemistry, The Macmillan Company, New York
Keenan, Charles W, dkk. 2002. Kimia Untuk Universitas Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
MenKes, 2009, Keputusan Menteri Kesehatan RI No 261 tentang
Farmakope Herbal edisi pertama, Jakarta.
McKee, J. R., Zanger, M., 1997, Essential of Organic Chemistry, Small
Scale Laboratory Experiments, Wm. C. Brown Publishers, Dubuque,
USA.
Norris, J. F., 1924, Experimental Organic Chemistry, McGraw-Hill Book
Company Inc., New York.
Pine, S. H., Hendrickson, J. B., Cram, D. J., Hammond, G. S., 1988, Kimia
Organik 1, Terjemahan Roehyati Joedodibroto dan Susanti W. Purbo-
Hadiwidjoyo, Edisi Keempat, Penerbit ITB, Bandung

Sarker, S.D., et al, 2006, Methods in Biotechnology : Natural Products


Isolation, 2nd ed, Humana Press : New Jersey
Sudjadi.1988.Metode Pemisahan.: Yogyakarta: Konsius.
Sarker, S.D., et al, 2006, Methods in Biotechnology : Natural Products
Isolation, 2nd ed, Humana Press : New Jersey.
stettmann, K., Hostettmann, M., dan Marston, A., 1995, Cara Kromatografi
Preparatif, Terjemahan Kokasih Padmawinata, Penerbit ITB,
Bandung
Vishnoi, N. K., 1996, Advance Practical Organic Chemistry, Vika’s
Publishing House Pvt. Ltd., Kanpur
Watson, G David. 2005. Analisis Farmasi edisi 2. Jakarta: Buku
Kedokteran.
Wagner H., Sabine, B., 1996, Plant Drug Analysis, Thin Layer
Chromatography Atlas, 2nd ed, Springer, New York.
Vogel, A. I., 1989, Textbook of Practical Organic Chemistry, Fifth Edition,
Longman Group, London

Ad

Anda mungkin juga menyukai