Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apa pun juga dan kecuali dinyatakan
lain, berupa bahan yang dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral): (Depkes,
1983)
1. Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh,
bagian tanaman atau eksudat tanaman (isi sel yang secara spontan keluar
dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya ataupun
zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tanamannya dan belum berupa zat kimia murni).
2. Simplisia Hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang merupakan hewan utuh,
sebagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni.
3. Simplisia pelikan atau mineral
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan
pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara yang sederhana dan
belum berupa zat kimia murni.
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap
dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk
menyusun parameter standar mutu yaitu sebagai berikut: (Depkes,2000)
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya
mempunyai tiga parameter mutu umum suatu bahan (material),
yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari
kontaminasi kimia dan biologis), serta aturan penstabilan (wadah,
penyimpanan dan transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia
sebagai obat tetap diupayakan memiliki tiga paradigma seperti
produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy (mutu-
aman-manfaat).
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang
bertanggungjawab terhadap respons biologis untuk mempunyai
spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar)
senyawa kandungan.
II.2 Uji Tumbuhan Obat
Untuk mengetahui kebenaran dan mutu obat tradisional termasuk
simplisia, maka dilakukan analisis yang meliputi analisis kuantitatif dan
kualitatif. Analisis kuantitatif terdiri atas pengujian organoleptik, pengujian
makroskopik, pengujian mikroskopik, dan pengujian histokimia
(Depkes,1987).
1. Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
khususnya bau dan rasa simplisia yang diuji.
2. Uji Makroskopik
Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar
atau tanpa menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari
khususnya morfologi, ukuran, dan warna simplisia yang diuji.
3. Uji mikroskopik
Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang
derajat pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia
yang diuji dapat berupa sayatan melintang, radial, paradermal
maupun membujur atau berupa serbuk. Pada uji mikroskopik dicari
unsur-unsur anatomi jaringan yang khas. Dari pengujian ini akan
diketahui jenis simplisia berdasarkan fragmen pengenal yang
spesifik bagi masing-masing simplisia.
4. Uji Histokimia
Uji histokimia bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat
kandungan yang terdapat dalam jaringan tanaman. Dengan
pereaksi spesifik, zat-zat kandungan tersebut akan memberikan
warna yang spesifik pula sehingga mudah dideteksi.
II.3 Morfologi Tanaman
Deskripsi tanaman ini menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah batang
pokok berkayu, beruas-ruas dan tumbuh merambat dengan menggunakan
akar pelekat pada tiang panjat atau menjalar di atas permukaan tanah.
Akar tanaman lada merupakan akar tunggang.
Daun tanaman lada merupakan daun tunggal, berseling dan tersebar
(Tjitrosoepomo, 2004). Daun berbentuk bulat telur sampai memanjang
dengan ujung meruncing (Rismunandar, 2007). Buah merupakan produksi
pokok daripada hasil tanaman lada.
Buah lada berbentuk bulat, berbiji keras dan berkulit buah yang
lunak. Kulit buah yang masih muda berwarna hijau, sedangkan yang tua
berwarna kuning. Buah yang sudah masak berwarna merah, berlendir
dengan rasa manis. Buah lada merupakan buah duduk, yang melekat
pada malai. Besar kulit dan bijinya 4-6 mm. Sedangkan besarnya biji 3-4
mm. Berat 100 biji kurang lebih 38 gram atau rata-rata 4,5 gram. Kulit
buah atau pericarp terdiri dari 3 bagian, yaitu epicarp (kulit luar),
mesocarp (kulit tengah), endocarp (kulit dalam) (Ditjenbun, 2013).
Kulit ini terdapat biji-biji yang merupakan produk dari lada, biji-biji ini
juga mempunyai lapisan kulit yang keras (Sutarno dan Agus Andoko,
2005). Buah lada umumnya dikenal dalam dua jenis, yaitu lada hitam dan
lada putih yang membedakan kedua jenis ini adalah proses
pembuatannya. Proses pembuatan lada hitam (Gambar 2) adalah dengan
mengambil buah yang masih hijau, diperam, kemudian dijemur sampai
kering. Proses penjemuran diperoleh buah lada yang keriput dan
berwarna 7 kehitam-hitaman (Gambar 2). Sedangkan lada putih diambil
dari buah yang hampir masak, direndam, dan dikupas kulitnya yang
kemudian dijemur hingga berwarna putih (Rismunandar, 2007).
II.3.1 Klasifikasi Tanaman
Menurut Tjitrosoepomo (2007), klasifikasi tanaman lada adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Piperales
Genus : Piper
Family : Piperaceae
Species : Piper nigrum Linn.

II.4 Pembuatan Simplisia


1. Bahan baku
Sebagai sumber simplisia, tanaman obat dapat berupa
tumbuhan liar atau berupa tumbuhan budidaya. Tumbuhan liar
adalah tumbuhan yang tumbuh dengan sendirinya di hutan atau di
tempat lain, atau tanaman yang sengaja ditanam dengan tujuan
lain, misalnya sebagai tanaman hias, tanaman pagar, tetapi bukan
dengan tujuan untuk memproduksi simplisia. Tanaman budidaya
adalah tanaman tanaman yang sengaja ditanam untuk tujuan
produksi simplisia.
2. Dasar Pembuatan
a. Simplisia dibuat dengan cara pengeringan
Pembuatan simplisia dengan cara ini pengeringannya dilakukan
dengan cepat, tetapi pada suhu yang tidak terlalu tinggi.
Pengeringan dengan waktu lama akan mengakibatkan simplisia
yang diperoleh ditumbuhi kapang. Pengeringan yang dilakukan
pada suhu terlalu tinggi akan mengakibatkan perubahan kimia
pada kandungan senyawa aktifnya. Untuk mencegah hal
tersebut, bahan simplisia yang memerlukan perajangan perlu
diatur perajangannya sehingga diperoleh tebal irisan yang pada
pengeringannya tidak mengalami kerusakan.
b. Simplisia dibuat dengan proses fermentasi
Proses fermentasi dilakukan dengan saksama agar proses
tersebut tidak berkelanjutan kearah yang tidak diinginkan.
c. Simplisia dibuat dengan proses khusus
Pembuatan simplisia dengan cara penyulingan, pengentalan
eksudat nabati, pengeringan sari air dan proses khusus lainnya
dilakukan dengan berpegang pada prinsip bahwa simplisia yang
dihasilkan harus memiliki mutu sesuai dengan persyaratan.
d. Simplisia pada proses pembuatan memerlukan air
Pati, talk, dan sebagainya pada proses pembuatannya
memerlukan air. Air yang digunakan harus bebas dari
pencemaran racun serangga, kuman patogen, logam berat, dan
lain-lain (Anonim,1985).
3. Tahap Pembuatan
a. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda
antara lain tergantung pada:
1) Bagian tanaman yang digunakan
2) Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen
3) Waktu panen
4) Lingkungan tempat tumbuh
Waktu panen sangat erat hubunganya dengan pembentukan
senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen
yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa
aktif dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif tersebut secara maksimal
di dalam bagian tanaman atau tanaman pada umur tertentu. Di samping
waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat
panen dalam sehari. Dengan demikian untuk menentukan waktu panen
dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimia dan fisik senyawa aktif
dalam simplisia terhadap panas sinar matahari.
Bagian tanaman dan cara pengumpulan: (Depkes, 1985)
No
Bagian Tanaman Cara Pengambilan
.
Dari batang utama dan cabang, dikelupas
dengan ukuran panjang dan lebar tertentu;
1. Kulit Batang untuk kulit batang mengandung minyak atsiri
atau golongan senyawa fenol digunakan alat
pengelupas bukan logam.
Dari cabang, dipotong-potong dengan
2. Batang panjang tertentu dan dengan diameter
cabang tertentu.
Dari batang atau cabang, dipotong kecil atau
3. Kayu
diserut (disugu) setelah dikelupas kulitnya.
Tua atau muda (daerah pucuk), dipetik
4. Daun
dengan tangan satu persatu
Kuncup atau bunga mekar atau mahkota
5. Bunga bunga, atau daun bunga, dipetik dengan
tangan.
Pucuk berbunga; dipetik dengan tangan
6. Pucuk
(mengandung daun muda dan bunga)
Dari bawah permukaan tanah, dipotong-
7. Akar
potong dengan ukuran tertentu.
8. Rimpang Dicabut, dibersihkan dari akar; dipotong
melintang dengan ketebalan tertentu.
Masak, hampir masak; dipetik dengan
9 Buah
tangan.
Buah dipetik; dikupas kulit buahnya dengan
10. Biji mengupas menggunakan tangan, pisau,
atau menggilas, biji dikupas dan dicuci.
Seperti biji, kulit buah dikumpulkan dan
11. Kulit buat
dicuci.
Tanaman dicabut, bulbus dipisah dari daun
12. Bulbus
dan akar dengan memotongnya, dicuci.
b. Sortasi Basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran
atau bahan-bahan asing lainya dari bahan simplisia. Misalnya
pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan
-bahan seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang
telah rusak, serta pengotor lainya harus dibuang.
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan
pengotoran lainya yang melekat pada bahan simplisia.
Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata
air, air dari sumur atau air PAM.
d. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses
perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk
mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan
penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung
dirajang tetapi dijemur dengan keadaan utuh selama 1 hari.
Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin
perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan
dengan ukuran yang dikehendaki.
e. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang
tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang
lebih lama. Dengan mengurang kadar air dan menghentikan
reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan
simplisia.
f. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap
akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan
benda-benda asing seperti bagian -bagian tanaman yang tidak
diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering.
g. Pengepakan dan penyimpanan
Pada penyimpaan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal
yang dapat mengakibatkan kerusakan simplisia, yaitu cara
pengepakan, pembungkusan dan pewadahan, persyaratan
gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu, serta
cara pengawetanya. Penyebab kerusakan pada simplisia yang
utama adalah air dan kelembaban. Cara pengemasan simplisia
tergantung pada jenis simplisia dan tujuan penggunaan
pengemasaan. Bahan dan bentuk pengemasan harus sesuai,
dapat melindungi dari kemungkinan kerusakan simplisia, dan
dengan memperhatikan segi pemanfaatan ruang untuk
keperluan pengangkutan maupun penyimpananya.
h. Pemeriksaan mutu
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu
penerimaan atau pembelian dari pengumpul atau pedagang
simplisia. Simplisia yang diterima harus berupa simplisia murni
dan memenuhi persyaratan umum untuk simplisia seperti yang
disebutkan dalam Buku Farmakope Indonesia, Ekstra
Farmakope Indonesia ataupun Materia Medika Indonesia Edisi
terakhir (Depkes,1985).
II.4 Ekstraksi Tumbuhan Obat
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya
dengan menggunakan pelarut. Jadi, ekstrak adalah sediaan yang
diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat dengan ukuran pertikel
tertentu dan menggunakan medium pengekstrasi (menstrum) yang
tertentu pula. Ekstraksi dapat dilakukan menurut berbagai cara. Ekstrak
yang diperoleh sesudah pemisahan cairan dari residu tanaman obat
dinamakan “micela”. Micelle ini dapat diubah menjadi bentuk obat siap
pakai, seperti ekstrak cair dan tinktura atau sebagai produk/bahan antara
yang selanjutnya dapat diproses menjadi ekstrak kering (Agoes.G,2007).
II.5 Cara Ekstraksi
1. Maserasi

Proses maserasi merupakan proses sederhana untuk


mendapatkan ekstrak dan diuraikan dalam kebanyakan farmakope.
Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri.
Proses yang paling sederhana hanya menuanngkan pelarut pada
simplisia. Sesudah mengatur waktu sehingga sesuai untuk tiap-tiap
bahan tanaman (simplisia), ekstrak dikeluarkan, dan ampas hasil
ekstraksi dicuci dengan pelarut yang segar sampai didapat berat
yang sesuai. Prosedur ini sama dengan pembuatan tingtur atau
ekstrak khusus, dan kadang-kadang merupakan satu-satunya
prosedur untuk tanaman yang mengandung zat berlendir
(musilago) tinggi. Sebetulnya cara ini tidak begitu berguna karena
tidak pernah dapat menarik zat berkhasiat dari tanaman secara
sempurna. Ampas menahan sejumlah besar solute, yang untuk
perolehanya harus dilakukan proses pemerasan (penekanan) atau
cara sentrifugasi (Agoes.G,2007).
2. Perkolasi

Pada perkolasi sederhana dan berkesinambungan, sasaran


proses biasanya adalah untuk menarik bahan berkhasiat dari
tanaman secara total. Pada perkolasi sederhana, bahan
berkhasiat diekstraksi sampai habis menggunakan pelarut segar.
Proses ini merupakan proses yang memakanwaktu (lama) dan
mahal karena dibutuhkan sejumlah besar pelarut yang bergantung
pada beberapa parameter berikut: (Agoes.G.2007)
a. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan
pelarut solute.
b. Kuantitas pelarut yang dibutuhkan untuk menghasilkan
ekstraksi pertama dalam skala ekonomi yang memadai.
c. Kuantitas pelarut yang dibutuhkan untuk mengencerkan
secara sempurna kuantitas solut yang tertahan oleh ampas
dari ekstraksi pertama.
3. Ekstraksi sinambung

Ekstrasksi sinambung dilakukan dengan menggunakan alat


Soxhlet. Pelarut penyari yang ditempatkan di dalam labu akan
menguap ketika dipanaskan, melewati pipa samping alat Soxhlet
dan mengalami pendinginan saat melewati kondensor. Pelarut yang
telah berkondensasi tersebut akan jatuh pada bagian dalam alat
Soxhlet yang bersimplisia dibungkus kertas saring dan menyisiknya
hingga mencapai bagian atas tabung sifon. Seharusnya seluruh
bagian linarut tersebut akan tertarik dan ditampung pada labu
tempat pelarut awal. Proses ini berlangsung terus menerus sampai
diperloleh hasil ekstraksi yang dikehendaki.
Keuntungan ekstraksi sinambung adalah pelarut yang
digunakan lebih sedikit dan pelarut murni sehingga dapat
menyaring senyawa dalam simplisia lebih banyak dalam waktu
lebih singkat dibandingkan dengan maserasi atau perkolasi.
Kerugian cara ini adalah tidak dapat digunakan untuk
senyawasenyawa termolabil (Harborne. J.B,1987).
II.6 Skrining Fitokimia
Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan obat adalah
penapis senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman. Cara ini
digunakan untuk mendeteksi senyawa tumbuhan berdasarkan
golongannya. Sebagai informasi awal dalam mengetahui senyawa kimia
apa yang mempunyai aktivitas biologi dari suatu tanaman. Informasi yang
diperoleh dari pendekatan ini juga dapt digunakan untuk keperluan
sumber bahan yang mempunyai nilai ekonomi lain seperti sumber tanin,
minyak untuk industri, sumber gum, dll. Metode yang telah dikembangkan
dapat mendeteksi adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, senyawa
fenolat, tannin, saponin, kumarin, quinon, steroid/terpenoid (Teyler.V.E,
1988).
a. Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang
terbesar. Pada umumnya alkaloid menccakup senyawa bersifat
basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya
dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid
seringkali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai
kegiatan fisiologi yang menonjol yang digunakan secara luas
dalam bidang pengobatan.alakoloid biasanya tanpa warna,
seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk Kristal
tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina pada
suhu kamar) (Harbrone.J.B,1987).
b. Fenol
Senyawa asam fenolat ada hubungannya dengan lignin terikat
sebagai ester atau terdapat pada daun di dalam fraksi yang
tidak larut dalam etanol; atau mungkin terdapat dalam fraksi
yang larut dalam etanol, yaitu sebagai glikosida sederhana.
Deteksi asam fenolat dan lignin dalam jaringan tumbuhan.
Lignin ialah polimer fenol yang terdapat dalam dinding sel
tumbuhan, yang bersama selulosa, menyebabkan kekakuan
dan kekokohan batang tumbuhan. Lignin terutama terdapat
pada tumbuhan berkayu karena sampai 30% bahan organik
pepohonan terdiri atas zat ini. Bila dioksidasi dengan
nitrobenzene, lignin menghasilkan tiga aldehida fenol sederhana
yang ada kaitannya dengan asam fenolat tumbuhan
umum (Harbrone.J.B,1987).
c. Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam
angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut
batasanya, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk ke
polumer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam industri, tanin
adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu
mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai
karena kemampuanya menyambung silang protein.
Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan
enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila
hewan memakanya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi.
Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan
pencernaan hewan. Pada kenyataanya, sebagian besar
tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan
tumbuhan karena rasanya yang sepat. Kita menganggap salah
satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak
hewan pemakan tumbuhan. Secara kimia terdapat dua jenis
utama tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia tumbuhan.
Tanin terkondensasi hampir terdapat semesta di dalam paku-
pakuan dan gimnosperae, serta tersebar luas dalam
angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu.
Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan penyebaranya terbatas
pada tumbuhan berkeping dua (Harbrone.J.B,1987).
d. Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran,
jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan
tumbuhan. Disamping itu, sering terdapat campuran yang terdiri
atas flavonoid yang berbeda kelas. Penggolongan jenis
flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan pada
telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Kemudian diikuti
dengan pemeriksaan ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis
secara kromatografi (Harbrone.J.B,1987).
e. Steroid dan Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya
berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis
diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena.
Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat
golongan senyawa: triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan
glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya
triterpena atau steroid yang terutama terdapat sebagai
glikosida. Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya
system cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol
terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormone
kelamin, asam empedu, dll), tetapi pada tahun – tahun terakhir
ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam
jaringan tumbuhan (Harbrone.J.B,1987).
f. Kuinon
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor
dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua
gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap
karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi, kuinon dapat dipilah
menjadi empat kelompok: benzokuinon, naftokuinon,
antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama
biasanya terhidroklisasi dan bersifat senyawa fenol serta
mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula
sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol.
Untuk memastikan adanya adanya suatu pigmen termasuk
kuinon atau bukan, reaksi warna sederhana masih tetap
berguna. Reaksi yang khas ialah reduksi bolak balik yang
mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian
warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara (Harbone.J.B,
1987).
DAFTAR PUSTAKA
Agoes.G.2007. Teknologi Bahan Alam. 21,38 – 39. Bandung: ITB Press
Departemen Kesehatan. 1987. Analisis Obat Tradisional. 2-3. Jakarta :
Depkes RI
Departemen Kesehatan. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. 2-22. Jakarta :
Depkes RI
Departemen Kesehatan. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat. 3-5. Jakarta : Depkes RI

Ditjenbun. 2013. Direktorat Tanaman Rempah dan Penyegar Perkebunan


Kementerian Pertanian RI. Retrieved 11, 10, 2014
Harborne. J.B.,1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan
I. Soediso, 69 – 94, 142-158, 234-238. Bandung : ITB Press.
Noorhamdani, Yosef dan Rosalia. 2014. Uji Ekstrak Daun Kersen
(Muntingia calabura) Sebagai Antibakteri Terhadap Methicillin-
Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Secara in Vitro.
Laboratorium Fakultas Kedokteran. Universitas Brawijaya; Malang.

Meiliza, E.R., dan Hariyatmi, 2013. Pengaruh jus buah Kersen terhadap
kadar asam urat.

Kosasih, E., Supriatna, N., Ana, E., (2013), Informasi Singkat Benih
Kersen/Talok (Muntingia calabura L.), Balai Perbenihan Tanaman
Hutan Jawa dan Madura.
Rismunandar. 200. Lada Budidaya dan Tata Niaga. Jakarta. Penebar
Swadaya.
Teyler.V.E.et.al.1988. Pharmacognosy.9th Edition. 187-188. Phiadelphia:
Lea & Febiger.
Tjitrosoepomo G. 2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta).
Yogyakarta. UGM University Press.
Tjitrosoepomo G. 2007. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta).
Yogyakarta. UGM University Press.

Anda mungkin juga menyukai