Anda di halaman 1dari 5

Tugas Perencanaan Strategis Sistem Informasi

yang dibina oleh


Rahmat Trialih, S.Kom., M.Kom.

Oleh:
Dwiky Rifandianto 155150400111050
Kadek Saka Andrika Putra 155150400111116
Royan Krisnanda Tiony 155150401111017
Toufan Khoirin Nasikhin 155150401111021
Tri Andre Mahadika Putra 155150401111136

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG


FAKULTAS ILMU KOMPUTER
JURUSAN SISTEM INFORMASI
2017
1. Teori Christensen Mengenai Disruptive Technology
Teori dari Christensen disruptive technology adalah salah satu teori yang populer untuk
menjelaskan keadaan buruk dari sebuah perusahaan. Disruptive technology adalah munculnya
inovasi baru yang menyebabkan suatu teknologi atau produk yang sudah dominan dan
mendominasi menjadi terganggu. Dia berpendapat bahwa berinvestasi pada disruptive technology
bukanlah hal yang baik pada bidang finansial, dikarnakan disruptive technology pada awalnya
memang tidak menguntungkan.

Ketika sebuah perusahaan dihadapkan dengan disruptive technology, Manajemen senior


harus melakukan perubahan yang signifikan dalam organisasi pada semua tingkatan. Untuk
beradaptasi dengan disruptive technology, Manajemen senior harus meyakinkan pegawai nya
untuk ke jalan yang baru.
Perluasan Pertama: Perjuangan Untuk Berubah

Dalam menghadapi disruptive technology, perusahaan harus menggunakan potensi dari karyawan
nya sendiri untuk membawa perubahan.

Dynamic Capabilities

Teori Dynamic Capabilites adalah teori yang berdasarkan sumber daya.


Dynamic Capabilites didefinisikan sebagai ''kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan,
membangun kompetensi eksternal untuk mengatasi perubahan lingkungan yang cepat". Teori ini
menunjukkan bahwa sebuah perusahaan memiliki tiga kelas aset untuk digunakan dalam mencari
bentuk baru keunggulan kompetitif yang terdiri dari proses yaitu aset spesifik perusahaan yang
mencakup individu dan kelompok, posisi yaitu aset spesifik termasuk plan dan perlengkapan,
pengetahuan dan reputasi, yang menentukan keuntungan pada titik waktu tertentu, dan path yaitu
urutan kejadian yang menentukan posisi perusahaan saat ini
Core Rigidities

Dynamic Capabilites mungkin tidak selalu memungkinkan perusahaan untuk mengatur ulang
bisnisnya sebagai respons terhadap ancaman eksternal. Leonard-Barton (1992) memperkenalkan
gagasan bahwa aktivitas inti perusahaan bisa menjadi begitu kaku sehingga tidak dapat merespons
inovasi baru. Terdapat 4 dimensi pada Core Capability Yaitu:
(a) pengetahuan dan keterampilan karyawan; (b) sistem teknis yang menanamkan pengetahuan
dan mendukung inovasi; (c) sistem manajerial yang memandu penciptaan dan pengendalian
pengetahuan dan (d) nilai dan norma yang terkait dengan berbagai jenis pengetahuan.
Leonard-Barton mengemukakan bahwa kemampuan inti yang sesuai dalam satu situasi mungkin
berubah menjadi tidak tepat.

Management Propensities
Kecenderungan manajemen menentukan hasil kemampuan dinamis dalam merespons
teknologi transformasional. Implikasi ini adalah perluasan penelitian yang menunjukkan
pentingnya manajer dalam menentukan hasil kinerja perusahaan. Manajer harus mengembangkan
strategi yang menekankan respons terhadap teknologi yang baru, dan mereka harus
mengkomunikasikan strategi ini ke seluruh perusahaan. Manajer senior harus mempelajari
teknologi baru dan mengembangkan kognisi bahwa perubahan teknologi itu perlu. Manajer juga
harus membantu bawahan mengembangkan kognisi yang merespons arah baru bagi perusahaan.

Perluasan Kedua: organization culture


Budaya organisasi membentuk kognisi organisasi dan memiliki peran yang sangat penting
dalam responnya terhadap transformasi berbasis teknologi. Budaya organisasi adalah pola asumsi
dasar yang diberikan oleh kelompok tertentu, ditemukan, atau dikembangkan dalam belajar
mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Pemimpin mengajar anggota
organisasi melalui tindakan mereka dan melalui proses ini, budaya dikembangkan, dipelajari dan
disematkan.

2. Kodak
George Eastman mendirikan Eastman Kodak Company pada tahun 1880 dan
mengembangkan kamera snapshot pertama di tahun 1888. Kodak banyak berinvestasi di film dan
menjadi perusahaan terbesar yang bergerak pada bidang perfilman dan fotografi. Penjualan Kodak
mencapai $ 10 miliar pada tahun 1981, namun kemudian tekanan persaingan, terutama dari Fuji,
menghambat kemajuan Kodak. Kodak menjalani tujuh restrukturisasi selama periode antara 1983
dan 1993. Pada tahun 1993 Kay Whitmore, orang dalam Kodak, mengundurkan diri sebagai
chairman untuk digantikan oleh George Fisher. Salah satu langkah strategis pertama Fisher adalah
memfokuskan kembali Kodak pada fotografi.

Pada tahun 2001 penjualan kamera analog turun untuk pertama kalinya. Pada tahun 2002,
Kodak membeli Ofoto, sebuah layanan gambar online, menandakan komitmen yang lebih besar
terhadap fotografi digital. Surat ketua laporan tahunan Kodak tahun 2003 menyatakan bahwa
Kodak 'menerapkan strategi yang berorientasi digital untuk mendukung pendapatan dan
pendapatan berkelanjutan’.

Transformasi dari fotografi konvensional ke fotografi digital memakan waktu sekitar dua
dekade. Teknologi informasi dan komunikasi berperan penting dalam fotografi digital seperti
kamera.
Seiring turunnya harga dan kinerja kamera digital meningkat dalam kurun waktu 1998,
terjadi peningkatan penjualan produk digital secara dramatis. Pergerakan menuju fotografi digital
memiliki dampak buruk yang sangat besar pada perusahaan yang secara historis berkecimpung
dalam bisnis fotografi seperti Kodak, Fuji dan Konica Minolta. Ketika fotografi bergerak dari film
ke digital, ia mengundang sekelompok pesaing baru ke pasar.

3. Analisis Respon Kodak Terhadap Digital Photography


Bagi Kodak, penemuan dan pertumbuhan fotografi digital jelas merupakan disruptive
technology yang memiliki dampak dramatis pada penjualan film. Christensen berkomentar bahwa
disruptive technology biasanya menghasilkan produk yang biasanya lebih murah, lebih kecil dan
seringkali lebih nyaman digunakan daripada produk tradisional. Fotografi digital, seperti
disebutkan sebelumnya, bukan hanya sebuah produk, namun juga perubahan keseluruhan proses
pengambilan gambar dan transmisi gambar. Kodak dengan serius meremehkan seberapa cepat
permintaan akan teknologi baru ini akan tumbuh.
Teori Christensen memprediksi bahwa proses alokasi sumber daya perusahaan
menghambat investasi pada teknologi yang berpotensi mengganggu. Namun, bertentangan dengan
contoh industri disk drive-nya, Kodak melakukan investasi dalam jumlah besar dalam fotografi
digital. Tidak pernah banyak yang bisa ditunjukkan untuk itu. Pengembangan produk dan
penjualan tersebar di lebih dari selusin divisi, pada satu titik perusahaan memiliki 23 proyek
pemindai digital yang berbeda dalam pengembangan (Gavetti et al., 2004).
Christensen menyarankan untuk memberikan tanggung jawab terhadap disruptive
technology ke organisasi terpisah yang akan bekerja sama dengan pelanggan yang kemungkinan
besar akan membeli teknologi baru tersebut. Kodak mengalami sejumlah restrukturisasi dan
terkadang memiliki
Pada tahun 1994 Fisher memisahkan digital imaging dari divisi fotografi analog untuk
membuat divisi pencitraan digital dan terapan (Gavetti et al., 2004). Namun, tampaknya hal itu
tidak cukup terpisah karena ada pertikaian antara bisnis film tradisional dan unit fotografi digital.
Kodak mencoba sejumlah struktur organisasi yang berbeda untuk bisnis digital, sebagai contoh:
Pada musim gugur 2000 Kodak direorganisasi untuk menghadirkan pencitraan dan pencitraan
konsumen digital dan terapan di bawah satu organisasi, untuk mengakhiri perang internal antara
segmen film dan digital (Rochester Business Journal, 12/8/2000).
4. Penyebab Mundurnya Kodak
Menurut Henry C. Lucas Jr dan Jie Mein Goh (2009) terdapat dua sebab mengenai apa
yang terjadi pada Kodak yaitu:
a. Perubahan
Salah satu kegagalan utama Kodak adalah ketidakmampuannya untuk menghasilkan
perubahan: Kodak tidak mampu memanfaatkan kemampuan untuk mengubah dan melawan
permasalahan utama yang ada. Manajer tingkat menengah di Kodak tidak mampu melayani fungsi
penyaringan ide yang muncul dari tingkat organisasi yang leFbih rendah untuk menentukan apa
yang harus diteruskan ke manajemen senior seperti yang disarankan oleh Christensen. Manajer
menengah malah menolak fotografi digital, yang akhirnya sangat merugikan mereka. Fisher dan
manajemen senior lainnya tidak mampu mengatasi kekakuan ini. Kodak memiliki sejumlah
kemampuan dinamis, namun kemampuan dalam perfilman menutupi kemampuan dalam proses
digital. Hal ini membuat banyak karyawan masih sangat awam mengenai teknologi digital.
Karyawan-karyawan yang benar-benar fasih tentang teknologi digital adalah karyawan yang baru
di rekrut untuk membuat perubahan yang ternyata tidak berhasil karena perbedaan proses bisnis.
b. Budaya Organisasi
Kegagalan lain disebabkan oleh budaya perusahaan dan keyakinan kuat karyawan bahwa
Kodak hanya sebuah perusahaan film. Para manajer di semua tingkat di Kodak juga secara
konsisten meremehkan pertumbuhan pasar kamera digital dimana hal ini menjadi salah satu
penyebab kegagalan Kodak.
Untuk mencegah hal seperti ini terjadi lagi, kita dapat belajar dari kasus Kodak dimana
observasi yang paling penting adalah manajemen harus menyadari ancaman dan peluang dari
informasi ataupun teknologi baru. Upaya perubahan ini meliputi melawan kekakuan dari
organisasi ataupun budaya dari organisasi, dan melibatkan semua level karyawan dalam
memajukan organisasi.

Referensi :
Henry C. Lucas Jr., Jie Mein Goh (2009). “Disruptive Technology: How Kodak
Missed The. Digital Photography Revolution”.

Anda mungkin juga menyukai