Waktu:
Waktu penyampaian materi “Al islam dan Kemuhammadiyahan” adalah 90 menit
Metode penyampaian:
Metode penyampaian dalam bentuk diskusi aktif.
Penjabaran Pokok Materi:
Hal pertama dan wajib yang harus diketahui oleh setiap hamba Allah adalah mengetahui
tentang Tuhan atau bisa disebut juga dengan ilmu iman kepada Allah (ilmu tauhid). Secara
terminologi tauhid adalah mengesakan Allah dalam perkara-perkara yang menjadi kekhususanNya
meliputi rububiyah, uluhiyah, asma` wa sifatNya
Dua kalimat syahadat adalah dua kalimat yang mempunyai kedudukan paling sakral dalam
agama Islam. Seluruh bangunan dan sendi satu-satunya agama yang diridhai Allah swt itu, berdiri
diatas kedua kalimat tersebut. Sebagaimana bangunan bergantung kepada kualitas pondasinya,
begitu jualah keislaman seseorang bergantung kepada kualitas kedua kalimat syahadatnya.
Maksudnya adalah sejauh mana kekuatan keimanannya dan komitmennya terhadap dua kalimat
syahadat yang telah ia ikrarkan tersebut.
Bertolak belakang dengan keadaan dzahir dua kalimat itu, ternyata keduanya memiliki
konsekuensi yang tidak main-main terhadap siapa saja yang telah mengikrarkannya.
Mengapa demikian? Apa sebenarnya makna kedua kalimat sahadat itu? Dan apa saja konsekuensi
yang harus dipegang teguh oleh orang-orang yang meyakininya?
Oleh karena itu, dibutuhkanlah materi keislaman mengenai tauhid dan makna syahadatain
dalam rangkaian DAD (Darul Arqam Dasar) IMM Komisariat Al-Zahrawi FKUMM 2016.
Pengertian Tauhid
Secara etimologi tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhida yang berarti
menjadikan sesuatu satu atau dengan kata lain mengesakan. Secara terminologi tauhid adalah
mengesakan Allah dalam perkara-perkara yang menjadi kekhususanNya meliputi rububiyah,
uluhiyah, asma` wa sifatNya.
Pembagian Tauhid
Pembagian yang sangat populer di kalangan para ulama adalah pembagian pemahaman
tauhid menjadi tiga bagian, yaitu tauhid berupa rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat.
Pembagian tersebut terkumpul dalam firman atau sabda Allah di dalam Al Qur’an:
1. Tauhid rububiyah artinya adalah mengesakan Allah di dalam hal penciptaan, kepemilikan
serta pengurusan. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini di dalam firman Allah:
“Dan Nabi Ibrahim menjadikan kalimat syahadat ini kalimat yang kekal pada
keturunannya, agar mereka ini kembali ( kepada jalan yang benar ).” (QS. Az Zukhruf: 28 ).
Dalam definisi yang dipaparkan oleh Syaikh Abd al-Rahmân bin Hasan di atas, terdapat
dua unsur penting, yaitu: pertama, membebaskan diri dari segala sesembahan yang bathil, dan
kedua, pernyataan setia kepada sesembahan yang haq, yaitu Allah swt.
Kalimat Syahadat yang pertama mengandung dua unsur penting, yaitu: pertama,
membebaskan diri dari segala sesembahan yang bathil, dan kedua, pernyataan setia kepada
sesembahan yang haq, yaitu Allah swt. Kalimat syahadat yang kedua bermakna penetapan bahwa
Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul Allah swt. Ada 6 poin sebagai konsekuensi dua kalimat
syahadat bagi siapa saja yang telah mengikrarkannya, yaitu:
Konsekuensi-konsekuensi yang harus dipegang teguh oleh orang yang telah mengikrarkan
dua kalimat syahadat:
Pertama, harus Mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak dan wajib
disembah. Allah swt berfirman:
َاس أَجأ َم ِعين َّ سلَّ َم َال يُؤأ ِمنُ أ َ َح ُد ُك أم َحتَّى أَكُونَ أَح
ِ ََّب إِلَ أي ِه ِم أن َوا ِل ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن َ علَ أي ِه َو َ ع أَن أَنَ ٍس قَا َل قَا َل النَّبِ ُّي
َّ صلَّى
َ َُّللا
Artinya: “Dari Anas, ia berkata, “Nabi saw bersabda, “Tidak beriman salah seorang kamu,
sebelum aku (Muhammad) lebih dia cintai dari pada orang tua, anak-anak, dan manusia lain
keseluruhannya.”
Keenam, harus menjadikan Rasulullah saw sebagai contoh teladan dalam segala aspek
kehidupan, terutama aspek ibadah. Allah swt berfirman,
َّللاَ َك ِثيرا َّ سنَةٌ ِل َم أن كَانَ يَ أر ُجو
َّ َّللاَ َوا أليَ أو َم أاْل ِخ َر َوذَك ََر َّللاِ أ ُ أ
َ س َوةٌ َح ُ لَقَ أد كَانَ لَ ُك أم فِي َر
َّ سو ِل
Artinya: “Sungguh telah ada pada diri Rasululah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan yang banyak
mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21).
َّ َّللاَ َفاتَّبِعُونِي يُحأ بِ أب ُك ُم
َُّللا َّ َقُ أل إِ أن ُك أنت ُ أم ت ُِح ُّبون
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku,
niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31).
Hakikat Islam
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad1 untuk
mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, dirinya dan sesamanya.2 Karena itu Islam adalah
agama yang sempurna dan mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Kita pun
diperintahkan oleh Allah SWT agar memeluk Islam secara kâffah, tidak setengah-setengah:
ِ ش أي َط
َ ان ۚ إِنَّهُ لَ ُك أم
ٌعد ٌُّو ُّمبِين َّ ت ال
ِ ط َوا ّ ِ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ا أد ُخلُوا فِي ال
ُ س أل ِم كَافَّة َوالَ تَتَّبِعُوا ُخ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagi kalian” (QS al-Baqarah [2]: 208).
Sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Sempurna, Islam
diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah SWT menegaskan dalam Kitab Suci-
Nya:
“Kami tidak mengutus kamu [Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam “(QS
al-Anbiya’ [21]: 107).
Memang tampak ayat ini menjelaskan bahwa menjadi “rahmat” adalah tujuan. Namun,
tujuan syariah Islam untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan mencegah kemafsadatan
dari diri mereka, dalam konteks ayat ini, tidak terletak pada satu-persatu hukum, melainkan syariah
Islam sebagai satu kesatuan. Karena itu, perwujudan kemaslahatan dan pencegahan kemafsadatan,
dalam konteks ini, tidak bisa disebut sebagai ‘illat (alasan hukum) pensyariatan hukum syariah.
Karena itu kerahmatan Islam bagi alam semesta [Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn]
merupakan konsekuensi logis dari penerapan Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan
manusia. Kerahmatan Islam tidak akan terwujud jika Islam hanya diambil sebagai simbol, slogan,
asesoris dan pelengkap “penderita” yang lain. Kerahmatan Islam tidak akan ada jika Islam hanya
diambil ajaran spiritual dan ritualnya saja, sementara ajaran politiknya ditinggalkan. Pada saat
yang sama, paham politiknya diambil dari Kapitalisme maupun Sosialisme, yang notabene
bertentangan dengan Islam.
Inilah Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn yang sesungguhnya. Inilah Islam sebagaimana yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad saw. Inilah Islam yang benar-benar
pernah diterapkan selama 14 abad di seluruh dunia; yang pernah memimpin umat manusia, dari
Barat hingga Timur, Utara hingga Selatan. Di bawah naungannya, dunia pun aman, damai dan
sentosa, dipenuhi keadilan. Muslim, Kristen, Yahudi dan penganut agama lain pun bisa hidup
berdampingan dengan aman dan damai selama berabad-abad lamanya.
Begitulah Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn, yang telah terbukti membawa kerahmatan bagi
seluruh alam. Inilah Islam yang dirindukan oleh umat manusia untuk kembali memimpin dunia;
membebaskan umat manusia dari perbudakan dan penjajahan oleh sesama manusia; serta
menebarkan kebaikan, keadilan dan kemakmuran di seluruh penjuru dunia. Itulah Islam yang
hidup sebagai peradaban di tengah umat manusia, diterapkan, dipertahankan dan diemban oleh
umat manusia di bawah naungan Khilafah Rasyidah.
Konsep Ibadah
Ibadah merupakan salah satu dimensi yang begitu asasi didalam ajaran islam. Ibadah tidak
cuma terkait dengan ritual-ritual antara manusia dengan Sang Khalik, namun juga mengandung
sejumlah keutamaan bagi diri manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya. Dalam
konsep ajaran islam, manusia diciptakan tak lain dan tak bukan untuk beribadah kepada Allah.
Dengan kata lain untuk menyembah Allah dalam berbagai bentuk dan manifestasinya baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Pengertian ibadah secara bahasa, kata ibadah adalah bentuk dasar (mashdar) dari fi’il (kata
kerja) ‘abada-ya’budu yang berarti: taat, tunduk, hina, dan pengabdian. Berangkat dari arti ibadah
secara bahasa, Ibnu Taymiyah mengertikan ibadah sebagai puncak ketaatan dan kedudukan yang
didalamya terdapat unsur cinta (al-hubb). Seseorang belum dikatakan beribadah kepada Allah
kecuali bila ia mnecintai Allah lebih dari cintanya kepada apapun dan siapapun juga. Adapun
definisi ibadah menurut Muhammadiyah adalah “mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mengamalkan apa saja
yang diperkenankan oleh-Nya. (Himpunan Putusan Tarjih, 278)
Ibadah artinya penghambaan diri kita sebagai makhluk dan Allah sebagai Tuhan kita atau
dengan kata lain segala sesuatu yang kita kerjakan dalam rangka mentaati perintah-perintah-Nya
adalah ibadah. Ibadah meliputi apa saja yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, menyangkut seluruh
ucapan dan perbuatan yang tampak dan tidak tampak, seperti solat, zakat, puasa, menunaikan
ibadah haji, berkata yang baik dan benar, belajar, silaturahmi, membaca Al-Qur’an, berdagang dan
lain sebagainya. Adapun pengertian ibadah secara luas terkait dengan beberapa arti, secara aqidah
bisa berarti mentauhidkan Allah SWT, secara fiqih ia bisa berarti menegakkan hukum Allah SWT
dan secara akhlaq berarti berperilaku sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Firman Allah SWT di
dalam Al-Qur’an yang artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 21)
Kemuhammadiyahan
1. Sejarah Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan
momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis
terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus
pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan
oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau
Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta. Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa
berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk
menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad.
Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai
berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu
ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam.
Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang
ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan
dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu
dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.” Kelahiran
dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari
gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang
menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua
kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air.
Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia
yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari
Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah
membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil
Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya
para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai
Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan
pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330
Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama
”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember
1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang
pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22
Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan
ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam
artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November
1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya
(Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu
‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan
hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”
Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata
”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang
selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Dahlan hingga tahun
1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun
1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu:
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas.
Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang
benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang
dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan
sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam
beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke
akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan
ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik
untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan
simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir
keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah
meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita
menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang
demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang
dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya
sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai
Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup
umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan
dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara
lain:
1. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga
menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam
tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam
tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
2. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya
ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
3. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-
kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
4. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta
berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
5. dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama
Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang
semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat
Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan
tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan
yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3)
Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan
serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
2. Ciri – ciri Perjuangan Muhammadiyah
Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH
Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap Alquranul
Karim. Faktor inilah yang sebenarnya paling utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah,
sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang atau faktor perangsang
semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap mengkaji ayat-ayat Alquran,
khususnya ketika menelaah surat Ali Imran, ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret,
yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan sehingga dari
hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad Dahlan dengan
kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang didalammya tergambar secara jelas asal-usul
ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa sesungguhnya
kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-
ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata
untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan Muhammadiyah, baik
dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan
sebagainya tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam.
Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam
wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat
sebagai rahmatan lil’alamin.
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri yang
kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tidak terpisahkan dalam jati diri
Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa faktor utama yang
mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA Dahlan
terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104. Berdasarkan Surat
Ali Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya,
yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai
medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat bangsa
Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh
hajat orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga
perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya.
Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah
islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan
sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan
Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah
satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang
tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang
terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat
gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali
oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara
total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua
itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas
pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya,
melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara
pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara
penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara
pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat
Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat
disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi
(reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid,
maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.
3. Sejarah Muhammadiyah
Pengertian Strategi
Perkataan strategi pada mulanya dihubungkan dengan operasi militer dalam skala besar-
besaran. Oleh sebab itu, strategi dapat berarti “ilmu tentang perencanaan dan pengarahan operasi
militer secara besar-besaran”. Disamping itu dapat pula berarti “kemampuan yang terampil dalam
menangani dan merencanakan sesuatu”. Sedangkan tujuan suatu strategi ialah untuk merebut
kemenangan atau meraih suatu hasil yang diinginkan.