Anda di halaman 1dari 2

BAGAIMANA MENJADI PENGIKUT YESUS

LUKAS 14:25-35
KAMIS, 8 SEPTEMBER 2016
Dalam mengambil suatu tindakan ataupun keputusan yang bijak, pastinya kita sudah melakukan
perhitungan akan kesanggupan ataupun resiko yang akan terjadi. Demikian halnya dengan orang yang
berkendaraan, jika salah perhitungan ataupun memaksakan melaju kendaraan sementara dia tidak
mempunyai perhitungan yang pasti, akibatnya adalah kecelakaan.
Demikian halnya dalam pengajaran Tuhan Yesus kali ini yang membuat suatu perumpamaan
seorang yang mendirikan menara tanpa anggaran biaya dan juga seperti seorang raja yang hendak
berperang tanpa memperhitungkan pasukannya dengan pasukan lawannya.
Makna dari perumpamaan itu mengarah kepada hal mengikut Yesus. Mengikut Yesus bukanlah
hal yang sepele, menjadi seorang Kristen itu bukan untuk ‘ikut-ikutan’ tetapi harus menjadi
pengikut, berasal dari kata “ikut” maka kita harus siap untuk maju ke depan dengan mempercayakan diri
kepada yang kita ikuti tanpa ragu dan dengan tulus menuruti perintah dan teladan yang ada di depan kita.
Mengikut Yesus berarti harus menjadi muridNya, siap untuk di ajar di bimbing, di arahkan oleh Guru
Agung kita yaitu Yesus Kristus.
Untuk memahami pengajaran Yesus melalui perumpamaanNya itu dapat dikatakan bahwa untuk
mendapatkan hasil yang terbaik dan untuk memperoleh kemenangan harus terlebih dahulu melihat
kesiapan dan kematangan kita menghadapi tujuan yang hendak kita capai. Maka dalam hal menjadi
murid Yesus, kita perlu melihat diri kita, kesiapan, tekat dan keputusan yang matang. Sebab untuk
mengikut Yesus ada banyak yang harus kita korbankan untuk benar-benar menjadi pengikutNya.
Tuhan Yesus mengajarkan hal mengikut Yesus ketika banyak orang yang mengikuti Yesus dari
belakang dan menyatakan bahwa untuk mengikutiNya harus meninggalkan apa yang ada padanya bahkan
keluarga sekalipun dan harus siap memikul salib.
Masih banyak dari orang Kristen yang bisa dikatakan sulit memahami ucapan Yesus yang
mengatakan “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya,
anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak
dapat menjadi murid-Ku”. Banyak yang bertanya apakah demikian adanya untuk mengikut Yesus?
Menjadi muridNya harus membenci bapa, ibu, anak, istri dan saudara-saudaranya?. Kata “membenci”
yang dimaksud disini bukanlah seperti yang kita pahami secara umum, tetapi “tidak mengacuhkan”.
Jika dari konteks nas ini disampaikan oleh Yesus pada saat itu, maka nas ini tidak perlu kita jauh
dan pusing untuk menerjemahkan maksudnya. Karena memang orang yang banyak yang tertarik dan
takjub akan perbuatan dan pengajaran Yesus adalah orang-orang yang masih terikat oleh agama dan adat
Yahudi.
Sebagaimana kita mengetahui bahwa Yesus sudah melihat bagaimana kebencian dan penolakan
para pemuka Yahudi kepada Yesus. System kekerabatan keluarga dan agama yang mengitu kental dalam
diri orang Yahudi akan menjadi tantangan tersendiri bagi orang yang mau mengikut Yesus. Jika siap
mengikut Yesus menjadi muridNya berarti siap untuk dikucilkan dan di singkirkan dari komunitas
kekerabatan keluarga dan juga agama. Bagaimana seorang pengikut siap untuk tidak lagi di anggap
sebagai bapa, ibu, anak ataupun sebagai saudara. Maka seorang pengikut Yesus harus siap untuk
mengacuhkan itu semua.
Namun dalam konteks kita saat ini (terkecuali seseorang yang masih menganut agama lain dan
sedang bergumul untuk menentukan keputusan untuk percaya kepada Yesus) dapat dikatakan bahwa kita
yang sudah lahir dari keluarga yang sudah percaya kepada Yesus bukanlah maksudnya kita menjadi
membenci keluarga kita. Tetapi kita dapat memahami ucapan Yesus ini dalam hal kesungguhan menjadi
seorang Kristen. Contohnya: bagaimana kita siap untuk dikatakan tidak ‘gaul’ ataupun kita siap untuk di
ejek atau di lecehkan bahkan siap untuk di rendahkan ketika kita memiliki komitmen untuk tidak ikut
melakukan perbuatan yang melanggar firman Tuhan. Atau contoh lain bisa juga kita siap menjadi
“pejabat miskin” karena kita tidak mau untuk korupsi, atau kita siap meninggalkan kekasih atau “pacar”
jika harus meninggalkan iman kita kepada Yesus.
Ada beberapa refleksi yang dapat kita pelajari dari nas ini:
1. Jangan jadi pengikut Yesus yang asal-asalan
Tuhan Yesus menggambarkan dengan “garam yang menjadi tawar”, bahwa garam
mempunyai fungsi yang baik dan banyak manfaatnya, namun jika garam itu sendiri tidak
mempunyai rasa asin sebagaimana hakikatnya garam, maka tidak akan ada artinya selain untuk
dibuang. Jangan kita asal-asalan menjadi orang Kristen, hanya sebatas agama di KTP (kartu
identitas) namun harus benar-benar menjadi orang Kristen yang setia dan taat akan Firman Tuhan.
Buat apa kita menjadi Kristen jika hidup kita sendiri tidak mencerminkan ajaran Kristen
sesungguhnya. Seorang yang menamakan dirinya Kristen seharusnya seperti garam yang
mempunyai dampak yang baik bagi sekitarnya, namun apalah gunanya jika garam itu menjadi
tawar?
2. Menjadi Kristen harus benar-benar mempersiapkan diri menjadi pengikut Kristus
Jika Tuhan Yesus mengatakan untuk meninggalkan sanak saudara ataupun apa yang ada
pada kita untuk mengikut Yesus bukan artinya untuk meninggalkannya dan membencinya, namun
kita harus utamakan Firman Tuhan dalam hidup kita diatas segalanya dan juga memakai apa yang
ada pada kita untuk Tuhan Yesus.
Jika kita lebih mementingkan diri kita daripada Tuhan Yesus akibatnya adalah kita akan
terjerumus akan godaan iblis, kita ingat bagaimana Tuhan Yesus mengalahkan godaan iblis
dipadang gurun di dalam Matius 4:1-11, bahwa Yesus lebih mengutamakan apa yang difirmankan
oleh Allah daripada kepentingan diriNya sendiri. Misalkan kita jatuh sakit, jika kita lebih
mementingkan diri kita daripada Allah, maka kita akan pergi ke dukun dengan harapan yang
penting bisa sembuh, sehingga Allah telah kita sampingkan. Jika tidak sanggup untuk memikul
salib, silahkan tinggalkan Yesus.............

Anda mungkin juga menyukai