Resume Pancasila Fix
Resume Pancasila Fix
Disusun Oleh :
Nama : Kharisma Choirun Ilmi
NIM : 155040200111204
Kelas :Q
Dosen : Kamarudin,LLM
1. Terjadi ruang pemisahan yang begitu lebarantar disiplin keilmun satu dengan disiplin
lainnya. Absennya saling sapa, kritik dan koreksi antar keilmuan ini pada akhirnya
menimbulkan pembacaan yang parsial, alias tidak utuh terhadap realitas.
2. gejala positivisme yang bebas nilai tidak hanya merambah ilmu osial, yang
merupakan wilayah yang nyata-nyata mempunyai dimensi aksiologi (Hardiman,2003
:20).
Akibat pergulatan akbar hingga terjadinya pengadilan inkuisisi pada Galileo, memberikan
dampak pengaruh pada para ilmuwan hingga dua setengah abad alamanya. Perdebatan anara
ilmuwan dan agamawan berkisar pada perdebatan tentang kebebasan ilmu. Dan pertarungan
ini dimenangkan oleh ilmuwan dengan semboyan “ilmu itu bebas nilai”.. Akhirnya ilmu dan
otonominya melakukan penelitian secara nyata dan berujung adigium “ilmu untuk ilmu”.
Dan setelah kemenangan ini, ilmu berkembang pesat dan leluasa menggambarkan alam
dengan berbagai eksperimen. Dan mulailah penciptaan teknologi untuk menyelesaikan
berbagai maslah-masalah praktis. Dalam hal ini bukan hanya untuk menjelaskan gejala alam,
tetapi untuk memanipulasi faktor yang terkait dengan gejala tersebut untuk mengontrol dan
mengarahkan proses yang terjadi. Peralihan ini disebut dari tahap kontemplasi ke manipulasi.
Pada tahapan kontempelasi inilah muncul masalah mengenai etika, yang berkaitan dengan
ontologi keilmuan. Pada tahapan manipulasi, berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan
ilmiah. Secara filosofis dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat
masalah etika yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan. Sedangkan dalam penerapan terdapat
masalah pada etika dari segi aksiolgis keilmuan. Ontologi sering diartikan sebagai upaya
pengkajia tentang hakikat realitas, yang dariobjek/realitas menghasilkan sebuah pengetahuan
(epistemology), sedangkan di sisi lain aksiologi dapat diartikann sebagai teori tentang nilai
yang berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yangdiperoleh.
Secara garis besar , para ilmuwan terbagi secara polar menjadi 2, dalam menghadapi
masalah terpisahnya ilmu dari etika dan pengaruh positif ilmuu dan teknologi yang bersifat
deksdruktif bagi kemanusiaan.Kelompok pertama menginginkan ilmu bersifat netral terhadap
berbagai nilai baik ontologism maupun aksiologis. Dan kelompok kedua berpendapat
terjadinya netralitas ilm terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada aspek ontologism.
Sedangkan penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian maupun keilmuannya harus
berlandaskan etika. (Suriasumantri, 2007:235).
Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas, nilai, yaitu : Pertama,
ilmu harus bebas dari pengandaian pengandaian nilai, yakni bebas dari pengaruh eksternal
seperti: faktor pollitis, ideologis, agama, budaya , dan unsur kemasyrakatan istimewwa.
Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin. Kebebasan itu
menyangkaut kemungkinan yang yang tersedia dan penentuan diri. Ketiga, penelitian ilmiah
tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena
nilai etis sendiri bersifat universal.
Indikator pertama dan kedua menunjukkan upaya para ilmuan untuk menjaga objektivitas
ilmiah, sedangkan indikator kedua menunjukkan adanya faktor X yang tidak terhindarkan
dalam perkembangan ilmu, yaitu pertimbangan etis. Hampir dapat dipastikan bahwa mustahil
bagi para ilmuwan untuk menafikan pertimbangan etis ini, karena setiap ilmuwan memiliki
hati nurani sebagai institusi etika terkecil yang ada dalam dirinya. indikator lain yang di coba
dihindari oleh kebanyakan ilmuwan meski kehadirannya sulit untuk ditolak adalah
kekuasaan. Kekuasaan memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu, baik secara
langsung atau tidak, karena para ilmuwan sulit untuk memancangkan bendera otonomi ilmiah
di dalam suatu negara yang meletakkan kekuasaan sebagai faktor yang dominan dalam
mengambil suatu kebijakan. Kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara kedua belah
pihak antara ilmuwan dengan klaim kebenarannya (truthclaim-nya) dengan penguasa dengan
klaim kewenangannya (authority claim) sungguh berpeluang besar akan terjadi. Di negara-
negara yang sedang berkembang, konflik itu hamper dapat dipastikan dimenangkan oleh
pemegang kekuasaan, karena otoritas keilmuan hanya merupakan lingkup (akademik) yang
lebih kecil di banding lingkup yang lebih besar bernama otoritas kekuasaan (politik).
Habermas berpendirian bahwa teori merupakan prouk ilmiah yang tidak pernah bebas
nilai. Pendirian ini diwarisi Habernas dan pandangan Husserl yag melihat fakta atau objek
alam diperlukan oleh ilmu sebagai kenyataan yang sudah jadi (scientism). Fakta atau objek
itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengetahuan sehari-hari,
yakni di dalam lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati mausia . stiap ilmu mengambil
dari lebenswelt itu sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan-
kepentingan praktis. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu alam terbentuk
berdasarkan pengetahuan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya sama
sekali tidak lepas dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah juga ditentukan oleh kepentingan-
kepentingan praktis kendati dengan cara berbeda. Kepentingannya adalah memelihara saling
pengertian antar-manusia dan perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoritis yang melibatkan
pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada
tiga bidang : (1) pekerjaan (2) Bahasa dan (3) otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilu
pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah, sedang otoritas merupakan
kepentingan ilmu social.
Melalui perspektif epistemologis, ilmu dan etika merupakan dua bidang kegiatan kultural
manusia. Ilmu yang dimengerti sebagai kegiatan kultural manusia dengan demikian
dimengerti sebagi kategri praktis dari sebuah kategori teoritis (bipotetetico-deductive-
verificative), sedangkan etika di sini dimengerti sebagai cabang ilmu f;safat yang secara kritis
dan sistematis merefleksikan masalah-maslah moral, yakni masalah yang berkaitan dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang menentukan baik-buruknya perbuatan manusia.
Pemahaman yang dikotomis antara ilmu dan etika ini cukup lama dilatarbelakangi oleh suatu
asumsi epistemology positifistik. Keduanya menurut cara pandang dikotomis ini merupakan
dua bidang yang tidak hanya berbeda, tetapi juga sama sekali terpisah dan tidak ada
kaitannya antar satu dengan yang lain. Segala bentuk ikhtiar untuk mengkaitkannya
dikhawatirkan justru akan merusak hakikat dan kekhasannya masing-masing. Ilmu dan etika
berurusan dengan pernyataan yang secara logis mempunyai bentuk yang berbeda. Ilmu
dianggap berurusan dengan pernyataan yang bersifat deskriptif : apa yang senyatanya ada,
sedangkan etika berursan dengan pernyataan – pernyataan normative, tentang apa yang
seharusnya dilakukan. Yang satu berurusan dengan fakta sedangkan yang lain berurusan
dengan nilai.
Dualisme epistemologis itu sesungguhnya berawal dari sebuah pemahaman tentang
objektivitas dan rasionalitas yang berakar pada dogma empirisisme. Dogma empirisisme
secara tegas mengklaim bahwa penyataan dalam bidang ilmu dengan fakta-fakta objektif dan
nyata tersebut dapat ditegaskan benar-salahnya secara empiris, sementara ungkapaan
perasaan, nilai, dan moral hanya bersifat subjektif yang tidak dapat dibuktikan secara
objektif.
Padahal kalau mau “setia” terhadap fenomenologi yang menekankan kesadaran manusia,
maka objektifitas semestinya lebih dimengerti secara luas sebagai suatu hal yang dapat diuji
kebenarannya secara intersubjective dalam suatu komunikasi yang rasional dan tidak dapat
dimengaerti secara sempit sebagai suatu hal yang dapat diverifikasi keberadaannya
berdasarkan pengertian empiris. Lebih tegas dikatan oleh van person bahwa justru daam segi
intersubjektif, makna intersubjektif meruakan hal-hal yang primer dalam kehidupan praktis.
Jelaslah bahwa pada sisi epistemologis pemisahan ilmu da etika terlihat rapuh, sementara
dari sudut pandang etis, pemisahan atara ilmu dan etika justru menimbulkan ‘bencana’
kemanusiaan global. Contoh konkret dari pemisahan ilmu dan etika adalah terjadinya global
warming atau pemanasan global yang merupakan bukti nyata dan pengaruh perkembngan
ilmu dan teknologi. Masa depan manusia sangat tergantung pada ketulusan para teknokrat,
ilmuwan, etikawan, atau para filsuf untuk saling bersapa dan terbuka dalam menyelesaikan
problem-problem ini.
Tanggung jawab seorang ilmuwan bukan hanya terbatas pada tanggung jawab ilmiah-
akademik semata, akan tetapi tanggung jawab social-moral, yang sungguh berat diembannya.
Sebagai bentuk tanggung jawab social moral, para ilmuan terikat dengan strategi
pengembangan ilmu. Setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai strategi pengembangan
ilmu dewasa ini, yakni:
1. Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu yang berkembang dalam prinsip otonomi dan
sifat tertutup, dalam arti pengaruh konteks social-budaya dibatasi bahkan di
singkirkan. Kelompok ini selalu bersemboyan: “science for the sake of science only”
2. Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks. Ilmu tidak hanya
memberikan refleksi, namun juga bahkan memberikan justifikasi. Pandangan yang
mengembangkan ilmu dengan cara masuk ke dalam realitas dan sifat
membenarkannya ini cenderung membuatnya bersifat ideologis.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling
memberi pengaruh agar dirinya beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam
kemiskinan relevansi dan aktualitasnya. Science for sake human progress adalah
dirinya (wibi sono, 2003:13)
Dalam konteks keIndonesiaaan, strategi pengembangan ilmu membutuhkan beberapa
syarat: Pertama, Terbangunnya komunitas ilmiah yang mempunyai posisi tawar, baik
dengan pemerintah maupun dengan perusahaan-perusahaan besar disinilah letak pentingya
ilmu sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat sebagaimana yang diterangai oleh
Daoed Joesoef. Dalam pandangan Jean Franchois Nlyotard, transformasi ilmu kini akan
semakin memperhatikan kekuatan publik yang ada. Kekuatan mereka ini—terutama civil
society—justru akan dipertimbangkan kembali dalam hubungan perusahaan-perusahaan besar
baik secara de jure maupun defacto.
Ironisnya kalangan intelektual dalam hal ini belum sepenuhnya berperan secara
maksimal dan strategis untuk membangun civil society. Mungkin saja hal ini diakibatkan
karena minimnya pemikiran-pemikiran alternative yang mereka tanamkan atau barangkali
karena kedekatan mereka dengan lingkar kekuasaan. Sementara cendikiawan yang berumah
diatas angina (seperti istilah rendra) tidak begitu besar peranannya dalam menentukan
kebijakan pembangunan di Indonesia.mereka nyaris tidak memiliki bargaining power
pemerintah. Kondisi tersebut agak bergeesar saat reformasi bergeser, dimana arus perubahan
telah cukup berhasil menciptakan kemandirian dikalangan akademik, yang tidak terlalu
bergantung pada keuangan Negara (Mustasyir dan Misnal 2003:168).
Meskipun demikian, sebagian kecil kelompok ilmiah justru berada pada pusat-pusat
kekuasaan pemerintah di Indonesia, mengingat para birokrat dipemerintahan adalah juga
sekaligus ilmuan atau yang biasa dikenal dengan istilah kelompok elit. Dalam hal kelompok
elit ini Saafrodi Bahar mengutip pendapat Robert D Punam yang menyebutkan 3 cara untuk
mengenal apakah seseorang termasuk kedalam kelompok elit atau tidak, yaitu:
1. Analisis posis formal, kedudukan presmia dalam pemerintahan
2. Analisis reputasi, peranannya yang bersifat informal dalam masyarakat
3. Analisis keputusan, peranann yang dimainkannya dalam pembuatan atau
penentanganterhadap keputusan politik
(Mustasyir dan Misnal 2003:168).
Kedua, pengembangan ilmu di Indonesia tidak boleh bebas nilai (value free),
melainkan harus memperhatikan landasan metafisis, epistomologis dan aksiologis dari
pandangan hidup bangsa Indonesia. Fan Melshon menekankan arti pentingnya hubungan
antara ilmu dan pandangan hidup, karena ilmu tidak pernah dapat memberikan penyelesian
akhir dan menentukan, lantaran tidak ada ilmu yang mendasarkan pada dirinya pada abosulut.
Disinilah perlunya pandangan hidup, terutama peletakan landasan ontologis, epistomologis
dan aksiologis bagi ilmu, sehingga terjadi harmoni antara rasionalitas dan kearifan
(Munstasyir dan Munir 2003:176).
Ketiga, haruslah memperhatikan relasi antar imu tanpa membebankan otonomi antar
masing-masing ilmu dalam pengembangan di Indonesia. Dalam posisi ini dibutuhkan filsafat
sebagai moderator, terutama dibidang filsafat ilmu. Adanya hubungan yang erat antar imu
dan filsafat, filsafat disatu sisi harus mampu memodifikasi bahasa teknisnya gaar dapat
memahami perkembangan ilmu dewasa ini. Sebaliknya ilmu disisi lain harus dapat
memanfaatkan kreatifitas filsafat. Disinilah diperlukan filsafat ilmu, sebab filsafat ilmu
mendorong upaya kearah mendorong pemahaman disiplin ilmu lain, interdispliner system.
Keempat, pengembangan ilmu di Indonesia harus memperhatikan dimensi
religiusitas, karena menimbang kondisi ihwal masyarakat Indonesia yang memang masih
sangat kental dengan nuansa religuisitanya. Walaupun bisa terjadi kendala pengembangan
ilmu yang disebabkan oleh agama dalam arti eksoteris (lembaga atau pranata keagamaanya),
meski bukan dalam arti eksetoris(nilai universal keagamaanya). Oleh karena itu dimensi
esoteric keagamaan perlu digali agar masyarakt ilmiah dapat memadukan dimensi ilmu
dengan nilai-nilai religious atau mengembangkan sinyal-sinyal yang terkandung secara
implisit dalam ajaran agama tentang manfaat ilmu bagi umat manusia.
Dengan demikian strategi pembabangunan ilmu di Indonesia sebetulnhya tidak dapat
dilepaskan garis politik pembangunan nasional yang aktualisnya berupa :
1. Visi dan orientasi filsafatnya haruslah diletakkan pada nilai-nilai pancasila sebagai
cermin budaya bangsa.
2. Visi dan orientasi praktisnya haruslah diletakkan pada sifat teologis, etis, dan
integrative.
Teologis sama dengan ilmu sebagai akses pembangunan diarahkan untuk mencapai
suatu tujuan (teleos, yakni standart ideal tersebut sebagai mana digariskan didalam
pembukaan UUD 1945).
Etis dalam arti bahwa ilmu diartikan harkat dan martabat manusia.Integratif adalah
penerapan ilmu selain untuk menaikkan harkat dan martabat manusia atau kualitas sdm, juga
dimaksudkan untuk menaikkan struktur dan masyarakat.
Kesimpulan
Manusia mengalami dilema ketika berhadapan dengan ilmu, teknologi dan
kemanusiannya. Dilema manusia antara menghalalkan semua cara menerima ilmu
pengetahuan dan dogma sempit bangsa yang menjadikan manusia buta akan kuasa. Masalah
dilema ini dapat diselesaikan dengan cara mengaitkan kembali hubungan antar keilmuan
dalam berbagai dekade dan mengkomunikasikan antara filsafat, etika, dan ilmusebagai sarana
pengambilan keputusan bersama-sama.