Anda di halaman 1dari 17

TUGAS RESUME PANCASILA

PERKEMBANGAN ILMU DAN PANCASILA SEBAGAI DASAR


PENGAMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Disusun Oleh :
Nama : Kharisma Choirun Ilmi
NIM : 155040200111204
Kelas :Q
Dosen : Kamarudin,LLM

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
Perkembangan Ilmu dan Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan
I. Pendahuluan
Penyalahgunaan penemuan bom atom untuk menyerang Hiroshima pada Agustus
1945 membuat sang penemu mengerimkan hak paten keilmuannya ke Angkatan Laut Inggris
dengan tujuan untuk dirahasiakan hingga perang berakhir. Berkat kemajuan ilmu dan
teknologi yang cepat dan dapat memnuhi kebutuhannya maka hal ini dapat membuat
malapetaka yakni berkat perkembangan ilmu dan teknologi dijadikan alat untuk berperang.
Gejala debumanisasi semakin terasa akan hadirnya di era modern ini. Pada level
epistemologi, hal ini disebabkan oleh 2 hal :

1. Terjadi ruang pemisahan yang begitu lebarantar disiplin keilmun satu dengan disiplin
lainnya. Absennya saling sapa, kritik dan koreksi antar keilmuan ini pada akhirnya
menimbulkan pembacaan yang parsial, alias tidak utuh terhadap realitas.
2. gejala positivisme yang bebas nilai tidak hanya merambah ilmu osial, yang
merupakan wilayah yang nyata-nyata mempunyai dimensi aksiologi (Hardiman,2003
:20).

Pokok pembahasan mempelajari sub-bahasan dari Pancasila sebagai paradigma ilmu


Pengetahuan. Pancasila sebagai paradigma ilmu sesungguhnya yang merupakan tugas untuk
mahasiswa untuk melakukan kajian di literatur yang dapat membentuk dan membangun
pemahaman tentang nila-nilai Pancasila yang menjadi dasar pengembangan ilmu.
Pembahasan ini juga diarahkan untuk memilah nilai dasar Pancasila sebagai dasar landasan
keilmuan baik alam dan teknologi, maupun ilmu sosial-humaniora.
A. Menelisik Sejarah Ilmu
Sejak awal, kelahiran ilmu identik dengan kegiatan berfilsafat yang berusaha melawan
corak-pikir mitologik. Berbagai macam konsep kosmogoni diera mitologi berusaha
menjelaskan proses kejadian dan keteraturan kosmos melalui cerita mitos, dan dengan konsep
theogoni-nya, masyarakat di era tersebut memposisikan peranan para dewa sebagai unsur
penentu ihwal keteraturan segala sesuatu. Model dan corak mitologik ini, meskipun begitu,
telah mendorong manusia berani menerobos keluar lebih jauh dari dunia gejala-gejala sehari
hari (pergejalaan), dan sudah mulai menyelidiki keberadaan terkait “sesuatu yang eka” ssuatu
yang tetap abadi, sesuatu yang berada dibalik yang bhineka (jamak), alias sesuatu yang
berada dibalik yang berubah dan yang sementara dari alam yang nampak ini (Wibisono,
2003)
Dari sudut epistemologi, manusia pra-pencerahan (baik pencerahan di yunani maupun
di eropa barat) tentu juga memiliki dimensi akal subjektif dan akal objektif. Namun kedua hal
tersebut belum berkembang secara seimbang dan terpilah. Kedua dimensi ini bersifat
manunggal dan mempunyai peran masing-masing dalam diri manusia. Hal ini dapat dilihat
dari istilah ‘logos’ dan ‘rasio’ yang berasal dari dunia yunani yang dapat diartikan sebagai
kemampuan berfikir diri subjek. Kemampuan berfikir yang subjek ini mampu menelurkan
konsep- konsep yang objetif, seperti konsep “ide”-nya Plato. Mitos yang berkembang dalam
masyarakat Yunani dianggap Plato sebagai objektivitas palsu, karena semata-mata hanya
merupakan ciptaan subjektif, alias tidak objekif. Dengan demikian perlu dibangun konsep
objektif dimana subjek menyadari bahwa konsep objektif yang diciptakannya itu merupakan
suatu bentuk objektif yang sesungguhnya.
Setelah terjadi gerakan demitologisasi yang dipelopori para filsuf pra-socrates, filsafat
(melalui rasionalitasnya), setapak demi setapak, mencapai puncak perkembangan seperti
ditunjukkan di era trio filsuf besar, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Sejak itulah filsafat
yang semula bercorak mitologik berkembang menjadi ilmu yang meliputi berbagai macam
bidang. Untuk pertama kalinya, Aristoteles-lah yang membuat bagan klasifikasi keilmuan.
Dalam pandangan aristoteles, secara garis besar ilmu dibagi menjadi dua, yakni ilmu poietis
(terapan), alias ilmu praktis (dalam arti normatif seperti politik, etika), dan ilmu teoritik. Ilmu
teoritik ini merupakan tipe ilmu yang didalamnya tercakup ilmu alam, ilmu pasti, dan filsafat
pertama” yang kemudian dikenal sebagai metafisika.
Ironisnya, pasca sepeninggalan Aristoteles, tradisi keilmuan dan pengembaraan
filsafat Yunani kuno justru berubah menjadi ajaran praktis bahkan mistis, sebagai mana yang
diajarkan oleh Stoa, Epicuri serta plotinus. Bersamaan dengan itu, pudarnya kekuasaan
Romawi menjadi isyarat akan datangnya tahapan baru, yakni filsafat harus mengabdi kepad
agama, menjadi hamba teologi :ancilla theologiae! Di abad “kegelapan” tersebut, muncullsh
Augustinus dan Thomas Aquinas yang telah memberi ciri khas filsafat pada abad tengah.
Filsafat Yunani Kuno yang dianggap sekuler dicirikan persesuaian dan antinominya dengan
doktrin gereja. Filsafat kemudian bercorak teologik.
Jika di Barat terjadi masa atau zaman ‘kegelapan’ yang menjadi filsafat sebagai budak
teologi, kondisi tersebut justru sangat berbeda dengan di kawasan Timur Tengah. Para filsuf
Islam seperti Al-kindi, Al-Farabi, Ibnu-shina, Ibnu Rusydi, Al-Ghazali dan lain sebagainya
justru telah melakukan kajian intelektual-filosofis secara rasional dan menyebarkan filsafat
Aristoteles. Pada wilayah keilmuan , lahirlah ilmuan-ilmuan muslim besar semisal Al-
khawarizmi, Al-Biruni, Ibnu Haitam, Al-Bathani dan lain sebagainya yang bersemangat
menghidupi tradisi ilmiah intelektual Arab secara umum. Para filsuf dan ilmuan ini aktif
berperan memperbaharui kategori-kategori ilmiah Yunani, meneliti aksioma-aksioma dan
asumsi- asumsi ilmu Aristoteles tersebut secara khusus, sehigga era kultural Arab bergerak
secara dinamis. Tradisi ilmiah ini mengantarkan mereka kepuncak zaman keemasannya.
Meskipun sempat terjadi keterputusan peradaban ilmiah dan rasional, tetapi sejarah mengakui
kapabilitas dan kempuan ilmuan-ilmuan muslim tersebut.
Dalam perkembangannya, tradisi ilmiah dan filsafat kritis masyarakat Islam ini
menyebar ke Cordova (spanyol), seiring penyebaran wilayah kekuasaan Islam di benua
Eropa. Lambat laun tradisi ilmiah tersebut menyebar dan kemudian “diambil” alih oleh Eropa
pada abad 12 M melalui kaum Patristik dan Skolastik. Semangat rasionalisme ibn rusyd lalu
menyebar ke dataran tersebut dan menciptaan gelombang pemikiran transformatif yang
menggerakkan roda kemajuan yang memberi peluang bagi ilmu untuk memainkan peran
historis dalam kebangkitan Eropa (al-Jabir, 2003). Dari sinilah muncul gerakan Renaissance
di abad ke-15 yang kemudian dimatangkan oleh gerakan Aufklarung di abad ke-18. Pad abad
ini, peradaban filsafat dan ilmu kembali memasuki babak baru.
Pada wilayah keilmuan –melampaui gerakan Aufklarung sebelumnya, lahirlah
ilmuan-ilmuan besar yang revolusioner seperti Copernicus, Galileo Galilei, Kepler Descartes,
dan Immanuel Kant. Kegiatn ilmiah para filsuf dan ilmuan tersebut memberikan dampak dan
implikasi yang amat luas dan mendalam bagi peradaban Eropa, khususnya bagi
perkembangan ilmu. Namun otonomi beserta segala kebebasan yang telah diraih kebudayaan
Eropa tersebut justru mengarahkan hidupnya ke dunia sekuler, sebuah bentuk kehidupan yang
penuh kebebasan dan pembebasan dari kungkungan ajaran teologi.
Bersamaan dengan inilah, agama (agama kristen) yang semula menguasai dan
menyatu dengan filsafat, akhirnya sevara bertahap ditinggal oleh dan berpisah dengan
filsafat. Keduanya akhirnya berdiri mandiri dan bekembang menurut dasar dan arah
pemikirannya sendiri-sendiri. Kedua entilas ini (filsafat dan agama) bagi anak-anak zaman
pencerahan mempunyai nalar yang berbeda dan tidak bisa dicampuraduk. Dalam
perkembangan selanjutnya, filsafatlah yang kemudian ditinggalkan oleh ilmu atau sains
modern. Inilah awal dari pemisahan antara filsafat dari agama.
Dalam peralanannya, manusia tidak mampu lagi berfikir konsep-konsep objektif,
malah mengingkarinya karena dianggap hanya khayalan belaka. Ia dikosongkan dari isi
pengetahuan karena karena semata-mata bersifat formal. Inilah aal dari dan apa yang sering
disebut sebagai formalisasi akal. Karakteristik formalisasi akal tercermin dalam bangunan
logika modern tersebut. Logika modern berkeyakinan bahw ia harus menjauhi isi
pengetahuan yang diadakan begitu saja. Bangunan logika semacam ini menghalangi
penemuan struktur pengetahuan manusia sejati. Karena, tugas logika modern hanya
menghitung, mengklasifikasi, memverifikasi, layaknya seperti yang dilakukan dalam ilmu
alam dan matematika, maka akal pada akhirnya dilarang berfikir bebas, berandai,
berimajinasi, dan bahkan berspekulasi (Sindhunata, 1993)
Bagi marcuse, logika tersebut adalah logika establishment, alias logika yang
dominatif karena membatasi setiap proses pemikiran padahukum-hukum formal berkala. Hal
ini justru berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang lebih menekankan isi pengetahuan
dengan lebih memberi ruang gerak berpikir Dialektis (Sastrapretedja, 1983: 137). Singkatnya
logika formal mengkanonisasikan dan mengorganisasikan pikiran dalam bentuk rangkaian
kerangka kerja di luar jangkauan yang tidak satupun hukum silogisme mampu menjebolnya
(Herbert Mercuse,2000: 201). Akibatnya, akal seakan tinggal kulitnya saja, dan kehilangan
isi, karena akhirnya semata-mata menjadi formal. Sifat kenetralan yang melekat padanya
dapat dipakai sebagai alat apa saja. Formalisasi akal tersebut dengan demikian memudahkan
ketergelinciran akal pada corak yang melulu bersifat instrumental, dikotomik, dan
positivistik. Nalar yang bersifat dikotomik ini memiliki kecenderungan untuk membedakan
segal realitas filsafat dan agama.
Secara lebih detail dan mungkin berbeda dengan pandangan para ahli filsafat pada
umumnya, Habermas melihat secara lain posisi hubungan agama dan filsafat, seiring gerak
transisi pemikiran dari mitos menuju logos. Menurutnya dilihat dari sudut pandang psiko-
historis, transisi “dari mitos ke logos” muncul sebagai perkembangan pararel terkait
kemunculan agama-agama besar dunia beserta nabi-nabinya. Dari prespektif ini, Socrates
dapat disejajarkan kedudukannya dengan tokoh lain seperti Budha, Kong Hu Cu, Musa,
Yesus, dan Muhammad. Setelah terbebas dari mitos, agama-agama tersebut mencapai
dimensi eksistensial dan penalaran moral, sementara filsafat mencapai dimensi kognitifnya.
Pada kedua sisi itulah muncul kerangka konseptual yang memungkinkan akal manusia
berpikir dari sudut pandang transenden. Dengan kata lain, di satu sisi berada dalam dunia,
sementara sisi lainnya berad di ’luar’ dunia. Dengan demikian dipandang dari prespektif
transenden, agamawan dan filsuf sam-sama mengambil jarak terhadap dunia yang belum
pernah terjadi sebelumnya (Niznik dan Sanders. 2000: 23).
Di bawah bimbingan agamawan dan filsuf, “sang” dunia mendapat pemaknaan dalam
bentuknya yang baru. Sebuah konsep dunia yang berbeda dari dunia “milik kita” dimana
manusia hidup di dalamnya, yakni tempat dunia diobjektivasikan dari sudut pandang teoritis
dan moral (Niznik dan Sanders. 2000: 23). Keduanya (filsafat dan agam) mempelajari
bagaimana membedakan antara yang abadi dan yang tak terbatas, ataupun yang berubah dan
yang terbatas. Keduanya juga mempelajari “wujud”, “substansi”, dan ide-ide yang tidak
bergerak maupun ide-ide yang hadir melalui penampakan-penampakan dunia yang mengalir
terus tiada henti. Oleh filsafat, mitos yang mendasarkan hubungan fakta-teorinya secara
arbitrer (semena) dibongkar. Filsafat juga memilah dunia ini menjadi dua berupa; fenomena
luar dan essensi. Hal ini bisa dicontohkan dalam gagasan Plato terkait “dunia ideal-tetap”di
balik fenomena dunia ini, yang sering ia dihubungkan dengan laku pemikiran teoritis. Jika
kontemplasi filosofis yang sebelumnya oleh agama dipahami semata sebagai metode
pembersihan jiwa, maka dalam konteks filsafat, hal tersebut dianggap sebagai upaya manusia
untuk membebaskan diri dari kungkungan dunia mitos, yakni melalui sarana akal dan
pemikiran teoritisnya. Hal tersebut dapat berlangsung, jika kekuatan mitos dipandang akan
muncul sebagai kekuatan rasional (Niznik dan Sanders. 2000: 23).
Dapat disimpulkan filsafat dan agama mengganti kekuatan mitos dengan pengetahuan
atau pandangan universal. Akal, dengan kemampuan abstraksinya, sangat terobsesi oleh
keinginannya mengungkap dan menguasai alam. Dari abstraksi akallah muncup prinsip
“universal dari yang khusus”, “permanen dari yang temporal”, dan seterusnya. Namun begitu,
karena berangkat dari pengandaian yang sama tersebut, dimana agama berdasarkan pada
wahyu sementara filsafat berdasarkan ratio, maka justru ini menjadi awal biang
perselisihannya. Perbedaan yang dianggap mendasar ini menyebabkan filsafat memisahkan
diri dari agama dan menganggap diri mempunyai kemampuan dan kewenangan untuk
memutuskan kebenaran yang objektif. Hal itulah yang terjadi pada zaman Aufklarung abad
ke-18. Namun kenyataannya,semboyan sapere aude (beranilah berpikirsendiri/gunakanlah
akalmu) di zaman sekarang sudah usang. Ketika akal (filsafat) menyerang agama (wahyu)
justru apa yang disersangnya adalah konsep objektif dan metafisis dari akal itu sendiri.
Artinya filsafat sudah tidak yakin dengan akal objektif, sehingga bergeser dan mendasarkan
diri pada akal subjektif atau instrumental. Dan sejarah kemenangan “akal instrumental “ telah
dimulai dan mencapai masa kejayaannya hingga sekarang ini (Sindhunata, 1993: 100-101),
yakni melalui postifisme sebagai jalannya.
B. Paradigma Positivisme bagi ilmu Pengetahuan Modern
Dunia barat sangat berpengaruh dalam pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di
penjuru kehidupan. Ini terbukti bahwa banyak ilmuan yang menemukan pemuan hal-hal yang
baru dalam dunia penelitian ilmiah, dan inilah yang mendorong bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan semakin pesat. Para ilmuan yang mendorong pesatnya perkembangan ilmu
pengentauan antara lain : Helmholtz, pasteur, Darwin, dan Clerk Maxwell.
Menurut Aguste Comte (1798-1857), kebudayaan manusia dalam kerangka positivitik
dikotomik dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, Teologis yaitu persepsi tentang bersifat
fiktif. Tahap kedua, Metafisik yaitu kebenaran bersifat akaliah dan untuk tahap ketiga yaitu
tahap positif, dimana didasari dengan akal-pengetahuan. Klasifikasi menurut Aguste Comte
menurut Prof. Koento, dianggap sangat aktual dan relevan sehingga dapat mendukung cara
pandang masyarakat yang meyakini bahwa masyarakat industri merupakan acuan tercapainya
modernisasi.
Prinsip-prinsip ilmu modern telah dibangun sebegitu rupa dan bersifat universal yang
artinya ilmu teoristik atau empris-analiti masuk ke dalam teknologi. Pada tingkat
epistemologi ilmu mengarah pada konsep teori tradisional yaitu : Pertama, bersifat abistoris
yang artinya ilmu itu tidak menyerah. Kedua, bersifat netral yang artinya bangunan teori
dianggap sebagai semata suatu diskripsi tentang fakta, alias pengetahuan demi pengetahuan
itu sendiri. Ketiga, betolak dan netralitasnya alias teori demi teori itu sendiri, serta
mengabaikan dimensi nilai (aksiologi) dalam bangunan ilmu-ilmu modern.
Setelah positivme modern berkembang, sumbangan ilmu pengetahuan dari bangsa
indonesia sendiri juga mulai berkurang dan beralihnya ke ilmu filsafat yang independen yang
ruang geraknya dibatasi hanya pada metodologi dan prosedur ilmu. Maka karena hal ini,
Comte dan Mach mengakhiri epistemologinya dan menggantinya dengan metode ilmiah
ilmu. Karena positivisme menyamakan epistemologi dengan ilmu objektif maka ilmu-ilmu
alam adalah yang sesuai. Habermas artinya adalah makna pengetahuan yang dilakukan oleh
ilmu-ilmu melalui prosedur metodologi ilmiah. Hal ini juga disebut sebagai “saintism”.
Pengetahuan yang valid didasarkan pada fakta yang terjadi dan yang dirasakan oleh
indra kita. Prosedur yang dapat disetujui untuk mendapatkan data yang valid tersebut, maka
para ilmuwan harus melalui prosedur ilmu-ilmu alam. Cara menyalin fakta yang kita rasakan
ini disebut sebagai ilusi objektivitas yang mengakibatkan pengetahuan seseorang tidak dapat
terwujud secara nyata karena dipagari oleh aturan-aturan yang telah ditetapkan dan
ditanamkan sejak dini. Maka kebutuhan kehidupan menjadi terabaikan.. fakta tentang
kehidupan mengenai keresahan dan penderitaan seseorang dianggap sebagai kenyataan yang
tiadk tersentuh maka objektivitasnya hanya sebagai sesuatu yang tidak mendekati makna
sebenarnya. Manusia hanya dipandang sebagai “independent” bukan sebagai “independent
variabel”.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengungkapkan bahwa ilmu dibagi menjadi 2 corak
yaitu 1. Ilmu alam (Natuurwissenschaft), ilmu tentang dunia yang dimaksud dengan metode
“menjelaskan” 2. Ilmu sosial-humaniora (Geisteswissenschaft), ilmu tentang jiwa yang
menggunakan metode “memahami”. Kritik terhadap iptek berupa terkait dilema teori
keilmuan dan dampaknya pada perkembangan iptek berikutnya seperti makin tergusurnya
tenaga kerja yang memanfaatkan manusia karena sudah tergantikan oleh mesin-mesin
canggih, hilangnya kearifan lokal karena tergusurnya tenaga kerja manusia, para bos-bos
besar lebih mementingkan hasil yang tinggi tanpa memikirkan dampaknya pada tenaga kerja
yang telat mereka pecat, serta mereka juga tidak memedulikan dampaknya terhadap
lingunagn sekitar karena hanya mementingkan kondisi ekonomi perusahaannya saja.
Ilmu pengetahuan dibagi menjdai 3 yaitu ilmu pengetahuan alam (biologi, kimia,
fisika), ilmu pengetahuan kemasyarakatan (ilmu hukum, ilmu ekonomi), dan humaniora
(ilmu agama). Namun hal-hal ini tidak sejalan pada kenyataannya karena disilin yang satu
berbeda dengan disiplin yang lain serta hal ini juga mengakibatkan realitas kemanusiaan
terpilih atas dasar keilmuan.
Secara garis besar, klasifikasi ilmu berdasarkan pada model keilmuannya terpola
menjadi dua, yaitu ilmu teoritis dan ilmu praktis. Ilmu teoritis muncul dan berkembang
sebagai akibat problem-problem yang timbul dan disebabkan karena hubungan timbal balik
antara perumusan teori dan pengujiannya. Jika pada ilmu-ilmu praktis problem-problemnya
berangkat dari realotas konkret, maka ilmu teoritis justru bertujuan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan praktis. Habernas adalah filsuf kontemporer yang secara epistempologis
mempertautkan ketiga disiplin keilmuan yaitu empiris-analitis, historis-hermenutis, dan
sosial-kritis. Yang lebih penting dari penggolongan ketiga bentuk ilmu yang dibangun oleh
Habernas tersebut adalah bahwa ketiganya terkait secara inter-relasi "saling menyapa" dan
terkait secara interkoneksitas. Prof. Koento menggambarkan model inter-relasi sebagai
berikut:
1. Ilmu-ilmu empiris-analitis, mencegah ilmu-ilmu sosial kritis dari bahaya mitos-mitos
yang timbul karena sosio-analisis yang terlalu ideologis.
2. Ilmu-ilmu historis-hermenutis, mencegah ilmu-ilmu empiris-analisis dari bahaya
determinisme atau naturalisme yang berlebihan.
3. Ilmu-ilmu sosial-kritis, mencegah ilmu-ilmu empiris-analisis dari bahaya kesadaran
mitos-mitos scientisme.
C. Merajut Dimensi Aksiologis Ilmu Pengetahuan

1. Pemisahan Ilmu dengan Etika


Ilmu merupakan hal yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Semenjak zama
Aufklarung hingga kini ilmu menjadi sebuah sistem yang lebih modern. Tetapi terjai pula
krisis modern disini. Menurut (Mutansyir dan Munir,2003 :168), Kebenaran berdaya guna
biasanya hanya brhasil dan terdapat pada saat eksperimen.Hal ini menjadikan nilai
pragmantisme berkembang. Dan para ilmuwan cenderung menjaga jarak dengan problem
nilai yang secara langsung. Bebas nilai berarti bahwa ilmu pengetahuan harus murni tanpa
dicampuri dengan kepentingan. Dan ilmu erupakan objektivitas yang netral dan dipisahkan
dari kehidupab, maupun etika.(Hardiman, 129-131).
Hal ini tentu bertolak belakang dengan kenyataan,karena sejarah menyatakan
bahwasannya semenjak awal ilmu sudah terkait dengan masalah etika. Hal ini dapat
dicontohkan dengan teori semesta alam yang menemukan bahwa “bumi berputar mengelilingi
matahari” bukan sebaliknya seperti yang diajarkan oleh agama Kristen. Maka timbullah
dikotomi antara ilmu dan etika (yang berasal dari agama). Secara ontologism , di sisi ilmu
menginnginkan teolog menyingkap realitas apa adanya, tetapi di sisi agama ingin para teolog
mengungkapkan ilmu dengan dasar-dasar agama.. Dan perseteruan ini berujung pada
dihukumnya Galileo yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi. (Suriasumantri, 2007:233).

Akibat pergulatan akbar hingga terjadinya pengadilan inkuisisi pada Galileo, memberikan
dampak pengaruh pada para ilmuwan hingga dua setengah abad alamanya. Perdebatan anara
ilmuwan dan agamawan berkisar pada perdebatan tentang kebebasan ilmu. Dan pertarungan
ini dimenangkan oleh ilmuwan dengan semboyan “ilmu itu bebas nilai”.. Akhirnya ilmu dan
otonominya melakukan penelitian secara nyata dan berujung adigium “ilmu untuk ilmu”.
Dan setelah kemenangan ini, ilmu berkembang pesat dan leluasa menggambarkan alam
dengan berbagai eksperimen. Dan mulailah penciptaan teknologi untuk menyelesaikan
berbagai maslah-masalah praktis. Dalam hal ini bukan hanya untuk menjelaskan gejala alam,
tetapi untuk memanipulasi faktor yang terkait dengan gejala tersebut untuk mengontrol dan
mengarahkan proses yang terjadi. Peralihan ini disebut dari tahap kontemplasi ke manipulasi.
Pada tahapan kontempelasi inilah muncul masalah mengenai etika, yang berkaitan dengan
ontologi keilmuan. Pada tahapan manipulasi, berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan
ilmiah. Secara filosofis dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat
masalah etika yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan. Sedangkan dalam penerapan terdapat
masalah pada etika dari segi aksiolgis keilmuan. Ontologi sering diartikan sebagai upaya
pengkajia tentang hakikat realitas, yang dariobjek/realitas menghasilkan sebuah pengetahuan
(epistemology), sedangkan di sisi lain aksiologi dapat diartikann sebagai teori tentang nilai
yang berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yangdiperoleh.
Secara garis besar , para ilmuwan terbagi secara polar menjadi 2, dalam menghadapi
masalah terpisahnya ilmu dari etika dan pengaruh positif ilmuu dan teknologi yang bersifat
deksdruktif bagi kemanusiaan.Kelompok pertama menginginkan ilmu bersifat netral terhadap
berbagai nilai baik ontologism maupun aksiologis. Dan kelompok kedua berpendapat
terjadinya netralitas ilm terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada aspek ontologism.
Sedangkan penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian maupun keilmuannya harus
berlandaskan etika. (Suriasumantri, 2007:235).
Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas, nilai, yaitu : Pertama,
ilmu harus bebas dari pengandaian pengandaian nilai, yakni bebas dari pengaruh eksternal
seperti: faktor pollitis, ideologis, agama, budaya , dan unsur kemasyrakatan istimewwa.
Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin. Kebebasan itu
menyangkaut kemungkinan yang yang tersedia dan penentuan diri. Ketiga, penelitian ilmiah
tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena
nilai etis sendiri bersifat universal.
Indikator pertama dan kedua menunjukkan upaya para ilmuan untuk menjaga objektivitas
ilmiah, sedangkan indikator kedua menunjukkan adanya faktor X yang tidak terhindarkan
dalam perkembangan ilmu, yaitu pertimbangan etis. Hampir dapat dipastikan bahwa mustahil
bagi para ilmuwan untuk menafikan pertimbangan etis ini, karena setiap ilmuwan memiliki
hati nurani sebagai institusi etika terkecil yang ada dalam dirinya. indikator lain yang di coba
dihindari oleh kebanyakan ilmuwan meski kehadirannya sulit untuk ditolak adalah
kekuasaan. Kekuasaan memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu, baik secara
langsung atau tidak, karena para ilmuwan sulit untuk memancangkan bendera otonomi ilmiah
di dalam suatu negara yang meletakkan kekuasaan sebagai faktor yang dominan dalam
mengambil suatu kebijakan. Kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara kedua belah
pihak antara ilmuwan dengan klaim kebenarannya (truthclaim-nya) dengan penguasa dengan
klaim kewenangannya (authority claim) sungguh berpeluang besar akan terjadi. Di negara-
negara yang sedang berkembang, konflik itu hamper dapat dipastikan dimenangkan oleh
pemegang kekuasaan, karena otoritas keilmuan hanya merupakan lingkup (akademik) yang
lebih kecil di banding lingkup yang lebih besar bernama otoritas kekuasaan (politik).
Habermas berpendirian bahwa teori merupakan prouk ilmiah yang tidak pernah bebas
nilai. Pendirian ini diwarisi Habernas dan pandangan Husserl yag melihat fakta atau objek
alam diperlukan oleh ilmu sebagai kenyataan yang sudah jadi (scientism). Fakta atau objek
itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam pengetahuan sehari-hari,
yakni di dalam lebenswelt atau dunia sebagaimana dihayati mausia . stiap ilmu mengambil
dari lebenswelt itu sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan-
kepentingan praktis. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu alam terbentuk
berdasarkan pengetahuan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya sama
sekali tidak lepas dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah juga ditentukan oleh kepentingan-
kepentingan praktis kendati dengan cara berbeda. Kepentingannya adalah memelihara saling
pengertian antar-manusia dan perbaikan komunikasi. Setiap kegiatan teoritis yang melibatkan
pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada
tiga bidang : (1) pekerjaan (2) Bahasa dan (3) otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilu
pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah, sedang otoritas merupakan
kepentingan ilmu social.
Melalui perspektif epistemologis, ilmu dan etika merupakan dua bidang kegiatan kultural
manusia. Ilmu yang dimengerti sebagai kegiatan kultural manusia dengan demikian
dimengerti sebagi kategri praktis dari sebuah kategori teoritis (bipotetetico-deductive-
verificative), sedangkan etika di sini dimengerti sebagai cabang ilmu f;safat yang secara kritis
dan sistematis merefleksikan masalah-maslah moral, yakni masalah yang berkaitan dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang menentukan baik-buruknya perbuatan manusia.
Pemahaman yang dikotomis antara ilmu dan etika ini cukup lama dilatarbelakangi oleh suatu
asumsi epistemology positifistik. Keduanya menurut cara pandang dikotomis ini merupakan
dua bidang yang tidak hanya berbeda, tetapi juga sama sekali terpisah dan tidak ada
kaitannya antar satu dengan yang lain. Segala bentuk ikhtiar untuk mengkaitkannya
dikhawatirkan justru akan merusak hakikat dan kekhasannya masing-masing. Ilmu dan etika
berurusan dengan pernyataan yang secara logis mempunyai bentuk yang berbeda. Ilmu
dianggap berurusan dengan pernyataan yang bersifat deskriptif : apa yang senyatanya ada,
sedangkan etika berursan dengan pernyataan – pernyataan normative, tentang apa yang
seharusnya dilakukan. Yang satu berurusan dengan fakta sedangkan yang lain berurusan
dengan nilai.
Dualisme epistemologis itu sesungguhnya berawal dari sebuah pemahaman tentang
objektivitas dan rasionalitas yang berakar pada dogma empirisisme. Dogma empirisisme
secara tegas mengklaim bahwa penyataan dalam bidang ilmu dengan fakta-fakta objektif dan
nyata tersebut dapat ditegaskan benar-salahnya secara empiris, sementara ungkapaan
perasaan, nilai, dan moral hanya bersifat subjektif yang tidak dapat dibuktikan secara
objektif.
Padahal kalau mau “setia” terhadap fenomenologi yang menekankan kesadaran manusia,
maka objektifitas semestinya lebih dimengerti secara luas sebagai suatu hal yang dapat diuji
kebenarannya secara intersubjective dalam suatu komunikasi yang rasional dan tidak dapat
dimengaerti secara sempit sebagai suatu hal yang dapat diverifikasi keberadaannya
berdasarkan pengertian empiris. Lebih tegas dikatan oleh van person bahwa justru daam segi
intersubjektif, makna intersubjektif meruakan hal-hal yang primer dalam kehidupan praktis.
Jelaslah bahwa pada sisi epistemologis pemisahan ilmu da etika terlihat rapuh, sementara
dari sudut pandang etis, pemisahan atara ilmu dan etika justru menimbulkan ‘bencana’
kemanusiaan global. Contoh konkret dari pemisahan ilmu dan etika adalah terjadinya global
warming atau pemanasan global yang merupakan bukti nyata dan pengaruh perkembngan
ilmu dan teknologi. Masa depan manusia sangat tergantung pada ketulusan para teknokrat,
ilmuwan, etikawan, atau para filsuf untuk saling bersapa dan terbuka dalam menyelesaikan
problem-problem ini.

2. Dialog Antara Filsafat, Etika, dan Ilmu


Keterkaitan ilmu dengan konepsi-konsepsi, angan-angan social, pola kebudayaan, dan
pra-anggapan etafisis justru berperan pada pola hubunggan yang perlu dimiliki secara
intrinsik oleh sistem ilmiah, baik dari heuristic maupun dengan etika (Van Peursen, 1985: 96)
Heuritik adalah teori menemuka jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah.
Heuristic biasanya dianggap sebagai medan yang tidak dapat disepadani (diberi batas) secara
tajam.
Ilmu muncul dan tumbuh dari anggapan-anggapan metafisis atapun dari lingkup
social budaya dan sajarah. Di luar ilmu atau batas kognitif sendiri, konsep heuristic sangan
berperan dan juga membawa sifat rasionalitas sendiri, meskipun rasionalitas ini masih dalam
batas keterampilan (skills), pertukangan, keyakinan religius, serta tujuan adat ataupun norma-
norma. Bahan keyakinan metafisis kadang-kadang bersifat ilmu dan atau bahkan menjadu
super ilmu, yang dalam itilah Kant disebut “hiperfisis” (Van Peursen, 1985:98)
Raionalitas pengetahuan dan keahlian pra ilmiah ini memiliki fungsi heuristic dalam
dunia kehidupan, yakni untuk menemukan penyelesaian praktis maupun untuk memaknai
masalah-masalah dan persoalan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Rasionalitas ini
mengandaikan orang menanggapi dunia ini serta kenyataan yang mendesak. Orang-orang
menyesuaikan diri deengan aturan dunia dan sekaigus berusaha mengalihragamkannya. Hal
ini terjadi melaluikegiatan nir-ilmiah dan lambing-lambang kebudayaan seperti mitos,
upacara-upacara, kesenian, adata social dan seterusnya.
Ilmu merupakan kelanjutan dari pra-anggapan dunia kehidupan sehari-hari. Angan-
angan social, sesuatu yang pra-ilmiah, dan mitos-mitos lalu dibuah dan digeser dengan sikap
rasional dan sikap ilmiah.
Heuristic telah menunjukan jalan baru kepada kita mengenai hubungan yang sangat
erat antara ilmu dengan pertimbangan etis. Ada beberapa kaidah dalam heuristika :
1. Tahap awal, strategi ilmu masih pada level penajjakan berbagai kemungkinan yang
dapat digunakan untuk pengembangan ilmu. Peahaman rasionalitas bukan hanya
mencakup dimensi ilmiah akan tetapi juga pada wilayah kehidupan sehari-hari.
2. Kemungkinan-kemungkinan yang muncul dapat berupa pra-anggapan yang bersatu
dengan sitem atau berupa keeluruhan kerangka berpikir historis atau budaya, sehingga
tidak terlihat.
3. Kaidah heuristic juga berusaha untuk memajuka keseimbangan, namun dengan jalan
membalik metode konvensional yang selama ini digunakan. Berdasarkan analisis
heuristis, bahwa penguasaan teoritis terhadap gejala-gejala terjadi karena
pemanipulasian terhadap manusia pada saat ilmu itu diterapkan.
4. Kepekaan terhadap masalah sebagai salah satu kaidah heuristic dipandang lebih luas
daripada hanya mempermasalahkan sesuatu secara kognitif ataupun teoritis. Artinya
keterbukaan keepada matra kenyataan hidup yang lebih luas.

Akhirnya heuristic sebetulnya berg=fungsi sebagai jembatan yang menunjukan


hubungan mutlak antara ilmu dengan pengertian dan sikap-sikap di luar ilmu. Keteraturan
suatu ilmu diakibatkan oleh adanya kerangka saling menafsirkan secara teoritis dengan gejala
yang erring ulit untuk diatur berdasarkan kehendaknya. Namun, struktur kenyataan tersebut
tidak dapat dibuat baku olehilmu secara menyeluruh dan lengkap, sebab kenyataannya
realitas kehidupan manusia lebih luas daripada hanya melalui proses kognitif atau teoris
belaka. Maka, pengambilan keputusan dalam setiap bidang keilmuan harus memperhatikan
“saran” dari alam sekitarnya, agama, estetis, dan etis.
Salah satu kemungkinan bentik dialog antara ilmu dan etika adalah engusahakan agar
percaturan antara disiplin ilmu pengetahuan sebagai sarana pengambilan keutusan etis
bersama-sama dalam menghadapi msalah-masalah social yang dewasa ini semakin mendesak
untuk dipecahkan.
Menaggapi pengetahuan yang emakin terspesialisai, bentuk dialog etika dan ilmu
pengetahuan yang mungkin adalah dengan mengembangkan etika terapan. Etika terapan ini
berusaha menjembatani antara teori etik dengan masalah-masalah moral yang konkret dalam
praktis kehidupan. Dengan begitu, lewat model dialegtika antar-etika terapan dengan masalah
moral praktis akan mampu membangun sebuah dialog yang bersifat inklusif tanpa ada oposisi
biner.

3. Strategi pengembangan ilmu berparadigma pancasila

Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang memiliki dasar pembenaran,


bersifat sistematik, serta bersifat intersubjektif. Ketiga ciri ini saling terkait dan merupakan
persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut sebagai pengetahuan ilmiah atau ilmu.
Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dasar pembenaran menuntut pengaturan kerjasama ilmiah yang diarahkan pada


perolehan derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus didasarkan atas
pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil kajian empiric.
2. Sifat sistematik maupun sistemik masing-masing menunjukkan pada susunan
pengetahuan yang didasarkan pada penyeledikan(riset) ilmiah yang keterhubungannya
merupakan suatu kebulatan berdasar komperasi dan generalisasi secara teratur
3. Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan ilmiah tidak didasarkan intuisi dan sifa
subjektif orang-seorang, melainkan didasarkan pada kesepakatan dan pengakuan akan
kadar kebenaran dari ilmu tersebut di dalam setiap bagian maupun di dalam hubungan
menyeluruh ilmu tersebut, sehingga tercapai intersubjektivitas. Istilah “intersubjektif”
secara lebih eksplisit menunjukkan bahwa pengetahuan yang telah diperoleh seorang
subjek harus (terus) mengalami verifikasidari subjek-subjek lain supaya pengetahuan
itu lebih terjamin keabsahannya atau kebenarannya(Semiawan dkk. 2005:101)
Disamping itu pengetahuan ilmiah juga harus diletakkan pada tolak ukur dalam
dimensi fenomenal dan strukturalnya. Dalam dimenssi fenomenal dan strukturalnya.
Dalam dimensi fenomenal, ilmu menampakkan diri pada hal-hal sebagai berikut ini :
1. Masyarakat elit yang dalam hidup kesehatannya sangat concern dan memiliki
komitmen pada kaidah-kaidah unversalisme, komunalisme, disinterestedness , dan
skeptisisme, yang terarah dan teratur.
2. Proses pengetahuan ilmiah dengan jalan refleksi, kontemplasi, imajinasi,
observasi, ekperimentasi, komparasi, dan seterusnya yang tidak pernah mengenal
titik henti untuk terus mencari dan menemukan kebenaran ilmiah.
3. Menghasilkan produk yang berupa dalil-dalil, teori-teori, dan paradigma-
paradigma beserta hasil penerapannya, baik yang bersifat fisi, maupun non fisik.
Pencapaian pengetahuan ilmiah memerlukan sebuah riset sebagai pondasi praktik
ilmiah selanjutnya. Apa yang dicapai harus bersifat baru, belum pernah ada sebelumnya.
Selain itu, pencapaian tersebut juga harus bersifat terbuka sehingga praktik selanjutnya oleh
kelompok ilmiah lainnya menjadi satuan fundamental bagi yang memepelajari perkembangan
ilmu tersebut. Satuan ini tidak dapat direduksi sehingga secara logis satuan-satuan ini juga
menjadi kaidah dan standar praktik ilmiah yang disebut paradigma (Semiawan, dkk, 2005:
99-100). Secara lebih detail, sikap dan tanggung jawab akademik dapat berupa: curiocity
(keingintahuan yang tidak mengenal henti); wawasan yang luas; bersifat terbuka; open-
mindedness (terbuka atas saran dan kritik); jujur, dan inedependen.

Tanggung jawab seorang ilmuwan bukan hanya terbatas pada tanggung jawab ilmiah-
akademik semata, akan tetapi tanggung jawab social-moral, yang sungguh berat diembannya.
Sebagai bentuk tanggung jawab social moral, para ilmuan terikat dengan strategi
pengembangan ilmu. Setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai strategi pengembangan
ilmu dewasa ini, yakni:

1. Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu yang berkembang dalam prinsip otonomi dan
sifat tertutup, dalam arti pengaruh konteks social-budaya dibatasi bahkan di
singkirkan. Kelompok ini selalu bersemboyan: “science for the sake of science only”
2. Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks. Ilmu tidak hanya
memberikan refleksi, namun juga bahkan memberikan justifikasi. Pandangan yang
mengembangkan ilmu dengan cara masuk ke dalam realitas dan sifat
membenarkannya ini cenderung membuatnya bersifat ideologis.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling
memberi pengaruh agar dirinya beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam
kemiskinan relevansi dan aktualitasnya. Science for sake human progress adalah
dirinya (wibi sono, 2003:13)
Dalam konteks keIndonesiaaan, strategi pengembangan ilmu membutuhkan beberapa
syarat: Pertama, Terbangunnya komunitas ilmiah yang mempunyai posisi tawar, baik
dengan pemerintah maupun dengan perusahaan-perusahaan besar disinilah letak pentingya
ilmu sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat sebagaimana yang diterangai oleh
Daoed Joesoef. Dalam pandangan Jean Franchois Nlyotard, transformasi ilmu kini akan
semakin memperhatikan kekuatan publik yang ada. Kekuatan mereka ini—terutama civil
society—justru akan dipertimbangkan kembali dalam hubungan perusahaan-perusahaan besar
baik secara de jure maupun defacto.
Ironisnya kalangan intelektual dalam hal ini belum sepenuhnya berperan secara
maksimal dan strategis untuk membangun civil society. Mungkin saja hal ini diakibatkan
karena minimnya pemikiran-pemikiran alternative yang mereka tanamkan atau barangkali
karena kedekatan mereka dengan lingkar kekuasaan. Sementara cendikiawan yang berumah
diatas angina (seperti istilah rendra) tidak begitu besar peranannya dalam menentukan
kebijakan pembangunan di Indonesia.mereka nyaris tidak memiliki bargaining power
pemerintah. Kondisi tersebut agak bergeesar saat reformasi bergeser, dimana arus perubahan
telah cukup berhasil menciptakan kemandirian dikalangan akademik, yang tidak terlalu
bergantung pada keuangan Negara (Mustasyir dan Misnal 2003:168).
Meskipun demikian, sebagian kecil kelompok ilmiah justru berada pada pusat-pusat
kekuasaan pemerintah di Indonesia, mengingat para birokrat dipemerintahan adalah juga
sekaligus ilmuan atau yang biasa dikenal dengan istilah kelompok elit. Dalam hal kelompok
elit ini Saafrodi Bahar mengutip pendapat Robert D Punam yang menyebutkan 3 cara untuk
mengenal apakah seseorang termasuk kedalam kelompok elit atau tidak, yaitu:
1. Analisis posis formal, kedudukan presmia dalam pemerintahan
2. Analisis reputasi, peranannya yang bersifat informal dalam masyarakat
3. Analisis keputusan, peranann yang dimainkannya dalam pembuatan atau
penentanganterhadap keputusan politik
(Mustasyir dan Misnal 2003:168).
Kedua, pengembangan ilmu di Indonesia tidak boleh bebas nilai (value free),
melainkan harus memperhatikan landasan metafisis, epistomologis dan aksiologis dari
pandangan hidup bangsa Indonesia. Fan Melshon menekankan arti pentingnya hubungan
antara ilmu dan pandangan hidup, karena ilmu tidak pernah dapat memberikan penyelesian
akhir dan menentukan, lantaran tidak ada ilmu yang mendasarkan pada dirinya pada abosulut.
Disinilah perlunya pandangan hidup, terutama peletakan landasan ontologis, epistomologis
dan aksiologis bagi ilmu, sehingga terjadi harmoni antara rasionalitas dan kearifan
(Munstasyir dan Munir 2003:176).
Ketiga, haruslah memperhatikan relasi antar imu tanpa membebankan otonomi antar
masing-masing ilmu dalam pengembangan di Indonesia. Dalam posisi ini dibutuhkan filsafat
sebagai moderator, terutama dibidang filsafat ilmu. Adanya hubungan yang erat antar imu
dan filsafat, filsafat disatu sisi harus mampu memodifikasi bahasa teknisnya gaar dapat
memahami perkembangan ilmu dewasa ini. Sebaliknya ilmu disisi lain harus dapat
memanfaatkan kreatifitas filsafat. Disinilah diperlukan filsafat ilmu, sebab filsafat ilmu
mendorong upaya kearah mendorong pemahaman disiplin ilmu lain, interdispliner system.
Keempat, pengembangan ilmu di Indonesia harus memperhatikan dimensi
religiusitas, karena menimbang kondisi ihwal masyarakat Indonesia yang memang masih
sangat kental dengan nuansa religuisitanya. Walaupun bisa terjadi kendala pengembangan
ilmu yang disebabkan oleh agama dalam arti eksoteris (lembaga atau pranata keagamaanya),
meski bukan dalam arti eksetoris(nilai universal keagamaanya). Oleh karena itu dimensi
esoteric keagamaan perlu digali agar masyarakt ilmiah dapat memadukan dimensi ilmu
dengan nilai-nilai religious atau mengembangkan sinyal-sinyal yang terkandung secara
implisit dalam ajaran agama tentang manfaat ilmu bagi umat manusia.
Dengan demikian strategi pembabangunan ilmu di Indonesia sebetulnhya tidak dapat
dilepaskan garis politik pembangunan nasional yang aktualisnya berupa :
1. Visi dan orientasi filsafatnya haruslah diletakkan pada nilai-nilai pancasila sebagai
cermin budaya bangsa.
2. Visi dan orientasi praktisnya haruslah diletakkan pada sifat teologis, etis, dan
integrative.
Teologis sama dengan ilmu sebagai akses pembangunan diarahkan untuk mencapai
suatu tujuan (teleos, yakni standart ideal tersebut sebagai mana digariskan didalam
pembukaan UUD 1945).
Etis dalam arti bahwa ilmu diartikan harkat dan martabat manusia.Integratif adalah
penerapan ilmu selain untuk menaikkan harkat dan martabat manusia atau kualitas sdm, juga
dimaksudkan untuk menaikkan struktur dan masyarakat.

Kesimpulan
Manusia mengalami dilema ketika berhadapan dengan ilmu, teknologi dan
kemanusiannya. Dilema manusia antara menghalalkan semua cara menerima ilmu
pengetahuan dan dogma sempit bangsa yang menjadikan manusia buta akan kuasa. Masalah
dilema ini dapat diselesaikan dengan cara mengaitkan kembali hubungan antar keilmuan
dalam berbagai dekade dan mengkomunikasikan antara filsafat, etika, dan ilmusebagai sarana
pengambilan keputusan bersama-sama.

Anda mungkin juga menyukai