1.1 PENDAHULUAN
1
1.2 Langkah-Langkah Kendali Mutu
Peralatan
Peralatan dalam suatu laboratorium serologi meliputi penangas air (water-
bath), inkubator, lemari pendingin, lemari beku, pH meter, neraca, sentrifus,
mikroskop, dan pemusing (rotator). Pemantauan dan pemeliharaan peralatan
secara rutin adalah bagian vital program kendali mutu dalam laboratorium
serologi. Servis pemeliharaan rutin harus dilakukan dengan inspeksi berkala
seluruh peralatan untuk penyesuaian-penyesuaian kecil. Catatan yang
menunjukkan tanggal inspeksi, pemeliharaan dan perbaikan hams dibuat untuk
setiap alat.
Penangas air hams dijaga agar bebas dari materi asing dan dikeringkan
serta dibersihkan tiap bulan. Suhu penangas air harus dikendalikan secara ketat
dan jangan berselisih lebih dari *l0 C; suhu alat hams diperiksa dan dicatat setiap
hari dan selama pemakaian. Sediakan tutup untuk mencegah pendinginan
pada permukaan air. Campuran antigen dan antibodi tidak boleh diinkubasi
sampai suhu yang diinginkan sudah tercapai selama sedikitnya satu jam. Tinggi
air hams sama dengan tinggi cairan dalam tabung atau botol yang ditempatkan
dalam penangas air.
Mikroskop sangat penting dalam uji Venereal Disease Research
Laboratory (VDRL) dan uji absorpsi antigen treponema fluoresen (FTA-Abs),
serta-haws dijaga dengan langkah pemeliharaan yang sebaik-baiknya. Setelah
pemakaian, okular, objektif, dan kondensor mikroskop harus dilap bersih dari
minyak dan kotoran dengan tisu yang tidak kasar. Pada saat tidak digunakan,
mikroskop harus ditutupi dan dilindungi terhadap kelembaban. Intensitas larnpu
merkuri pada mikroskop fluoresen hams diperiksa berulang-ulang dengan
pengukur cahaya (light meter).
Pemusing mekanik untuk uji VDRL dan uji rapidplasma reagin (WR)
harus diperiksa kecepatannya selarna pemakaian; adanya perubahan kecepatan
yang dapat berpengaruh buruk terhadap reaksi aglutinasi hams dikoreksi.
Pemusing mekanik hams dilumasi secara teratur.
Bahan
Alat yang terbuat dari kaca dan jarum yang digunakan dalam uji serologis
hams memenuhi spesifikasi yang dianjurkan pada uji-uji tersebut.
Semua barang pecah-belah, piringan, atau kaca objek yang gompal atau
tergores harus dibuang. Penggunaan barang pecah-belah yang kotor atau tidak
2
dibersihkan dengan benar, yang mungkin mempunyai residu bahan organik,
merupakan salah satu penyebab utama hasil yang menyesatkan.
Petunjuk untuk membersihkan peralatan kaca harus ditulis dengan jelas
dan dipasang di area cuci. Langkah-langkah dasar harus meliputi pembilasan
awal, pencucian dengan deterjen laboratorium yang sesuai, pembilasan dengan air
keran kemudian dengan air suling, pengeringan, dan pemeriksaan untuk
memastikan bahwa semua deterjen sudah hilang.
Semua pipet harus direndam tegak lurus dalam larutan deterjen sehingga
larutan mengisi bagian dalam pipet. Pipet kemudian dibilas selama sedikitnya 30
menit dengan air mengalir, kemudian dibilas dalam air suling. Piringan kaca yang
digunakan untuk uji VDRL harus dibersihkan dengan seksama sampai semua
deterjen dan residu minyaknya hilang.
Hindari merendam lama dalam larutan deterjen karena dapat melunakkan
dan mengelupaskan cincin keramik pada piringan. Piringan kaca dengan cincin
parafin harus dibersihkan menggunakan pelarut organik yang sesuai (misalnya,
bensin eter).
Pada uji RPR dan VDRL, digunakan jarum terkalibrasi untuk meneteskan
antigen dan larutan pengencer. Perangkat uji RPR mencakup jarum penetes, dan
jarum ini harus diperiksa sebelum dipakai. Periksalah jarum dengan menentukan
jumlah tetesan/ml; jarum ukuran 20G haws meneteskan 90 tetes/ml. Jarum RPR
yang tidak bekerja dengan baik harus dibuang. Setelah dipakai cucilah jarum
dengan air suling. Untuk menyiapkan dua jarum pada uji VDU, patahkan ujung
jarum dengan tang.
Periksalah jarum dengan menentukan jumlah tetesantml; jarum ukuran
18G harus meneteskan 60 tetes/ml dan jarum ukuran 21 atau 22G, 100 tetes/ml.
Jarum pada perangkat uji VDRL yang tidak meneteskan jumlah tetesan yang tepat
harus dibuang, atau disesuaikan dengan cara menekan atau melebarkan ujung
jarum. Setelah digunakan cucilah jarum dengan air, alcohol 70%, dan aseton.
Reagen
Bahan kimia yang digunakan dalam serologi hams mempunyai mutu
reagen dan harus memenuhi persyaratan untuk prosedur tersebut. Bahan ini hams
disimpan sesuai dengan instruksi pabrik pembuatnya. Gunakan air suling bermutu
tinggi dengan pH 7,0 untuk pembuatan reagen. Air suling hams disimpan dalam
botol kaca atau plastik yang tahan panas dengan tutup yang rapat serta diberi label
dan tanggal dengan benar.
Larutan saline digunakan baik sebagai larutan saline maupun larutan
berdapar, seperti phosphatebuffered saline. Pada iklim lembab, natrium klorida
hams dikeringkan dalam oven udara panas selama 30 menit pada suhu 160-180°C
untuk menghilangkan kelembaban. Garam dilarutkan dalam air suling atau air
demineralisasi dan disimpan dalam botol kaca atau plastik tahan panas dengan
tutup yang rapat dan diberi label serta tanggal dengan benar. Jika membuat larutan
garam berdapar, pH larutan tersebut harus ditentukan sebelum dipakai. Serum
yang mengandung partikel kotoran hams disentrifugasi pada kecepatan 3000g
selama 10 menit, dan supernatannya digunakan untuk pemeriksaan. Serum yang
hemolisis atau terkontaminasi harus dibuang. Jika diperlukan serum yang tidak
aktif, panaskan serum pada suhu 56°C selama 30 menit. Jika serum tersebut tidak
digunakan dalam 4 jam setelah inaktivasi awal, inaktifkan ulang dengan
3
pemanasan pada suhu 56°C selama 10 menit sebelum diperiksa. Semua serum
hams dibiarkan mencapai suhu ruang sebelum pemeriksaan.
Penjabaran rinci mengenai beberapa prosedur serologis yang dikerjakan
secara rutin di banyak laboratorium medis akan dibahas dalam bab ini. Prosedur
tersebut kencakup uji serologis untuk pemeriksaan sifilis, uji Wright untuk
diagnosis bruselosis, dan uji anti-streptolisin 0 untuk diagnosis penyakit
pascainfeksi streptokokus.
Tiap penjabaran merujuk pada penggunaan perangkat uji komersial. Oleh
karena perangkat-perangkat tersebut disediakan oleh berbagai pabrik pembuat,
pengguna perangkat harus membaca petunjuk rinci yang terkandung dalam tiap
brosur kemasan dengan teliti:
Reaksi serologis
b. Reaksi aglutinasi
Pada uji aglutinasi, reagen, yang dapat berupa antigen atau
antibodi, difiksasi atau diserap pada mikropartikel. Berbagai partikel dapat
digunakan sebagai pembawa reagen, misalnya partikel lateks, partikel
gelatin, microbeads, bakteri, atau eritrosit. Teknik ini disebut juga
aglutinasi pasif. Jika eritrosit digunakan sebagai pembawa, uji ini disebut
uji koaglutinasi. Jika dicampur dengan antiserum spesifik, sel atau partikel
membentuk jaringan anyaman (lattice) yang menyebabkan penggumpalan
dan meninggalkan supernatan yang jernih. Jika digunakan antiserum yang
spesifisitasnya diketahui, dapat dilakukan uji untuk mengidentifikasi
mikroorganisme yang belum diketahui atau antigennya.
Uji ini dapat dikerjakan pada kaca objek, dan aglutinasi yang
terjadi dibaca secara makroskopik atau dengan mikroskop pembesaran
4
objektif rendah. Reaksi aglutinasi juga digunakan untuk memperkirakan
titer aglutinin antibakteri dalam serum pasien yang mengidap penyakit
yang belum diketahui. Peningkatan titer selama sakit sangat
mengindikasikan suatu hubungan sebab akibat. Aglutinasi dipercepat pada
suhu yang lebih tinggi (35-56°C) dan dengan pergerakan (misalnya,
menggoyang, mengaduk, atau sentrifugasi) yang meningkatkan kontak
antara antigen dan antibodi. Proses aglutinasi memerlukan garam. Suatu
masalah yang berpotensi serius pada uji aglutinasi adalah reaksi prozone:
jika terdapat terlalu banyak antibodi, anyaman tidak akan terbentuk dan
akan terjadi hambatan aglutinasi. Reaksi prozone memberi kesan bahwa
tidak ada antibodi; walaupun demikian, kesalahan ini dapat dicegah
dengan menguji pengenceran serum serial.
Uji aglutinasi yang sering dipakai menggunakan Staphylococcus
aureus, yang mengandung suatu protein, yaitu protein A, pada
permukaanya. Protein ini berikatan dengan fragmen Fc pada antibody IgG.
Stafilokokus yang bersalut (coated) antibodi IgG menghasilkan aglutinasi
yang tampak bila terdapat suatu antigen yang spesifik. Uji ini terutama
digunakan untuk mengidentifikasi organisme yang dibiakkan dari
spesimen klinis atau untuk mendeteksi antigen bakteri dalam cairan tubuh
pasien yang terinfeksi (cairan serebrospinal pada kasus meningitis). Uji
aglutinasi digunakan untuk diagnosis virus Epstein-Barr (mononukleosis
infeksiosa), rotavirus, rubella, dan untuk deteksi antigen bakteri (di
antaranya Haemophilus serta Streptococcus A dan B).
5
uji imunofluoresensi langsung karena lebih banyak antibodi berlabel
fluoresin yang terikat pada setiap situs antigen.
6
serum orang sehat, reaksi ini sering dikaitkan dengan penyakit
tertentu atau setelah vaksinasi. Reaksi positif palsu yang akut
seringkali bertiter rendah (1:s atau kurang) dan terutama
dijurnpai pada orang-orang dengan infeksi virus atau bakteri
(pneumonia atipik, psittakosis, mononukleosis infeksiosa dan
hepatitis infeksiosa), selama kehamilan atau tak lama setelah
vaksinasi. Reaksi positif palsu yang bertahan lama biasanya
mempunyai titer tinggi yang disebabkan oleh autoantibodi
(faktor reumatoid) pada pasien-pasien dengan lepra
lepromatosa, tuberkulosis, kelainan imun (misalnya, lupus
eritematosus, kolagenosis, penyakit rematik, sindrom SjGgren,
disgamaglobulinemia) dan kadang-kadang malaria, atau pada
orang dengan ketergantungan heroin. Uji VDRL reaktif atau
reaktif lemah jangan dianggap bukti konklusif sifilis pada
pasien, dan uji VDRL yang non-reaktif semata tidak
menyingkirkan diagnosis sifilis. Oleh karena itu, setiap sampel
uji yang memberikan hasil reaktif atau reaktif lemah tanpa
adanya bukti klinis sifilis hams diuji dengan uji treponemal
seperti FTA-Abs atau TPHA.
7
Larutan saline steril(0,85% dan 10%)
Spuit, jenis Luer, 1 atau 2 ml
Botol emulsi antigen VDRL, 30 ml, bulat, bertutup kaca,
bermulut sempit, berdiameter sekitar 35mm dengan
permukaan bawah yang rata di bagian dalamnya
Penangas air (56°C)
8
4. Tambahkan 4,l m1 larutan saline berdapar ke dalam botol,
biarkan larutan mengalir pada dinding botol.
5. Pasang tutup kaca pada botol dan guncangkan botol ke
atas dan ke bawah sekitar 30 kali dalam 10 detik.
6. Biarkan emulsi antigen selama sedikitnya 10 menit
sebelum dipakai. Putar perlahan sebelum dipakai. Emulsi
antigen dapat digunakan sampai 8 jam ke depan.
7. Jika akan menguji cairan otak, encerkan emulsi antigen
lebih lanjut 1:2 dengan larutan saline 10% dengan volume
yang sama. Kocok botol perlahan selama 10 detik dan
biarkan selama sedikitnya 5 menit dan paling lama 2 jam
sebelum dipakai.
9
2. Ujilah setiap pengenceran serum dengan menggunakan
prosedur uji kualitatif.
3. Laporkan hasilnya, yaitu pengenceran serum tertinggi yang
memberi hasil reaktif (bukan reaktif-lemah) sesuai dengan
contoh di bawah ini:
b. Uji RPR
Suspensi antigen dalam uji RPR mengandung partikel
arang yang memungkinkan terjadinya flokulasi yang terlihat
secara makroskopik. Perbedaan utama antara uji RPR dengan
VDRL yaitu RPR menggunakan antigen yang telah distabilkan,
menggunakan kartu dan bukan piringan, menggunakan serum
selain juga plasma, dan serumnya tidak perlu dipanaskan.
Karena hanya sedikit sampel yangdiperlukan, dapat juga
digunakan plasma atau serum dari darah kapiler. Uji RPR tidak
dapat digunakan untuk menguji cairan otak. Pada uji RPR,
antigen sudah siap untuk dipakai segera. Antigen tidak perlu
dibuat atau diencerkan sebelumnya.
Reagen antigen yang belum dibuka mempunyai masa
simpan satu tahun; dianjurkan untuk menyimpannya di lemari
pendingin. Begitu dibuka, reagen antigen mempertahankan
reaktivitasnya selama 3 bulan jika disimpan dalam lemari
pendingin dalam dispenser plastiknya.
Uji RPR sedikit lebih sensitif daripada VDRL dan lebih
mudah serta cepat pengerjaannya. Reaksi positif palsu terjadi
sedikit lebih sering pada uji RPR dibanding VDRL. Beberapa
perangkat komersial memerlukan pemusing mekanik untuk
mencampur reagen, sedangkan perangkat lainnya dapat diputar
secara manual.
10
4. Kartu uji RPR yang berlapis plastik, masing-masing
dengan dua baris yang terdiri dari lima sumur
5. Suspensi antigen RPR yang sudah disiapkan
6. Pengaduk
11
dengan tangan dapat membantu membedakan sampel yang
reaktif lemah dari sampel yang nonreaktif.
9. Catat hasil uji:
Gumpalan flokulasi kecil sampai besar: reaktif
Kekeruhan suspensi partikel yang merata: non-reaktif
10. Siapkan pengenceran serial bagi serum yang reaktif untuk
memperkirakan titer antibodi.
12
(0,85%) dan lakukan pengenceran serial seperti yang
dijabarkan di atas.
13
Bahan dun reagen yang tersedia dalam perangkat uii FTA-
Abs
Larutan dapar
Serum kontrol, positif dan negatif
Anti imunoglobulin manusia yang berlabel fluoresin
(konjugat)
Ekstrak treponema Reiter yang diliofilisasi (penyerap)
Hapusan pallidurn yang difiksasi pada kaca objek
Bahan don reagen tambahan yang diperlukan untuk uii
FTA-Abs
Kaca penutup
Mikroskop fluoresen dengan lampu UV (objektif 40x)
Media untuk mounting
Larutan saline berdapar fosfat, pH 7,2 (PBS)
Tween 80 (2%)-PBS
U ji FTA-Abs
1. Keluarkan perangkat reagen dari lemari pendingin dan
biarkan reagen menghangat hingga mencapai suhu ruang.
2. Biarkan sejumlah kaca objek yang diperlukan menghangat
sampai mencapai suhu ruang selama 15 menit.
3. Encerkan 50 p1 serum dengan 0,2 m1 penyerap dan
campur. Encerkan kontrol positif dan negative secara
paralel, 1:S dalam larutan dapar dan 1:s dalam penyerap.
4. Tutupi sediaan hapus pada satu kaca objek dengan 10 p1
larutan dapar (kontrol konjugat) dan sediaan pada kaca
objek kedua dengan 10 p1 penyerap (kontrol penyerap).
5. Pada kaca objek yang tersisa, tutupi hapusan dengan 10 p1
serum yang diencerkan dan 10 p1 serum kontrol yang
diencerkan.
6. Letakkan kaca objek pada ruang yang lembab selama 30
menit pada suhu 37°C. Cucilah kaca objek selama 5 menit
dalam larutan Tween-PBS. Ulangi tiap pencucian. Bilas
dalam air suling, kemudian tiriskan, dan biarkan
mengering dalam kotak slide.
7. Tutupi hapusan pada semua kaca objek dengan 10 p1 anti-
itnunoglobulin manusia yang dilarutkan dalam larutan
dapar sesuai petunjuk pabrik pembuat.
8. Letakkan kaca objek pada ruang yang lembab selama 30
menit pada suhu 37°C. Cucilah kaca objek selama 5 menit
dalam Tween-PBS. Ulangi tiap pencucian. Bilas dalam air
suling, kemudian tiriskan dan biarkan mengering dalarn
kotak kaca objek.
9. Tutupi tiap hapusan dengan 2 tetes media mounting dan
kaca penutup.
10. Pastikan kontrol konjugat, penyerap, dan kontrol serum
negatif tidak berffuoresensi:
14
Tidak ada fluoresensi atau treponema yang agak
kehijauan: reaksi negative
Fluoresensi hijau dengan derajat yang bervariasi:
reaksi positi
Derajat fluoresensi dapat digolongkan sebagai:
Non reaktif 0
Borderline l+, 2+, 3+
Reaktif 4+
Reaksi 2+ atau lebih mengindikasi adanya infeksi 7:
pallidurn.
15
Titer tinggi juga kadang-kadang dilaporkan pada pekerja pejagalan
karena biakan darah mungkin tidak menunjukkan organisme selama
berminggu-minggu, jika ada, penetapan aglutinin Brucella dapat
mendukung diagnosis presumtif brucelosis akut. Isolasi organisme,
biasanya dari darah, memberikan bukti pasti adanya infeksi.
Walaupun demikian, pada kasus-kasus yang dicurigai dengan
biakan darah yang negatif, aspirat sumsum tulang sterna1 dapat
dibiakkan untuk memastikan diagnosis. Pasien-pasien dengan
brucelosis lokal mungkin tidak demam dan mungkin tidak mempunyai
titer aglutinin Brucella yang bermakna. Pada kasus-kasus tersebut,
infeksi hams dicurigai berdasarkan epidemiologi dan adanya kelenjar
getah bening yang berkalsifikasi pada foto rontgen, tetapi diagnosis
hams dipastikan dengan biakan. Uji cepat dengan kaca objek adalah
uji skrining yang dirancang untuk mendeteksi aglutinin, sedangkan uji
tabung adalah uji konfirmasi yang dirancang untuk mengukur
aglutinin secara kuantitatif. Hasil positif yang didapat dengan uji kaca
objek hams diverifikasi dengan uji tabung.
16
3. Gunakan pipet 0,2 ml untuk menambahkan 0,08; 0,04; 0,02;
0,Ol; dan 0,005 ml serum ke satu baris kotak pada piringan
kaca.
4. Tempatkan 1 tetes suspensi antigen, yang sudah tercampur
dengan baik untuk uji kaca objek, pada tiap tetes serum.
5. Campurlah campuran serum-antigen dengan batang pengoles,
dimulai dari pengenceran serum tertinggi. Pengenceran terakhir
kira-kira berkorelasi dengan pengenceran uji tabung
makroskopik dan dihitung berturut-turut sebagai 1 :20, 1:40, 1 :
80, 1 : 160, dan 1 :320.
6. Peganglah piringan kaca dengan kedua tangan dan putarlah
perlahan-lahan 15 20 kali. Periksalah campuran serum-antigen
secara makroskopik untuk melihat aglutinasi dalam 1 menit di
bawah cahaya yang cukup. Reaksi yang terjadi lebih lambat
mungkin disebabkan oleh reaktan yang mengering pada kaca
objek dan hams diverifikasi dengan uji tabung.
7. Catat hasil sebagai berikut:
Aglutinasi sempurna 4+
Sekitar 75% sel menggumpal 3 +
Sekitar 50% sel menggumpal 2+
Sekitar 25% sel menggumpal 1 +
Trace atau tidak ada aglutinasi -
17
aglutinasi yang jelas (granulasi); reaksi negatif menunjukkan
suspensi yang keruh tanpa aglutinasi.
8. Pengenceran serum tertinggi dalam tabung yang menunjukkan
aglutinasi adalah titernya.
9. Buanglah antigen jika tidak beraglutinasi dengan serum kontrol
yang diketahui positif, atau jika beraglutinasi dengan serum
kontrol yang diketahui negatif.
10. Aglutinin dapat ditemukan pada individu yang sehat; serum
tunggal dengan titer kurang dari 80 mempunyai makna yang
meragukan. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada serum
pasien yang terinfeksi Francisella tularensis atau divaksinasi
terhadap Vibrio cholerae. Tidak mungkin membedakan infeksi
B. abortus dengan B. melitemis menggunakan uji ini.
18
Bahan dun reagen tambahan yang diperlukan untuk uii aglutinasi
lateks AS0 dengan kaca obiek
Batang pengoles
Bahan dun reagen yang tersedia dalam perangkat uii AS0 dengan
tabung
Serum kontrol positif
Antigen streptolisin 0 yang tereduksi (preparat yang
dikeringkan)
Sel darah merah domba
Antibodi anti streptolisin 0 baku (preparat yang
dikeringkan, 20 IUI botol)
Dapar streptolisin 0 (larutan konsentrat 25 x)
19
3. Sebelum digunakan encerkan dapar streptolisin 0 (larutan
konsentrat 25x) dengan 480 m1 air suling. Dapar yang telah
diencerkan harus dibuang setelah satu minggu.
4. Cuci dan sentrifugasi 1 m1 eritrosit domba sebanyak tiga
kali dalam dapar streptolisin 0 dan buang cairan supematan
dengan pipet. Tarnbahkan dapar streptolisin 0 untuk
mendapatkan suspensi sel8%.
5. Biarkan reagen dan sampel serum mencapai suhu ruangan.
6. Buatlah pengenceran serum pasien 1:10 dalam tabung
reaksi (0,l m1 serum + 0,9 ml dapar streptolisin 0). Buat 2
pengenceran utama (master) dari pengenceran 1 : 10 seperti
yang tampak pada tabel di bawah ini:
20
Jika tidak terdapat hemolisis pada tabung dengan
pengenceran serum yang lebih tinggi, laporkan sebagai
"AS0 reaktif dengan titer tersebut".
21
b. Pada uji ELISA, larutan sampel dan antigen dilewatkan melalui
membran yang berlapis antibody (antibodi ini biasanya
monoklonal). Selanjutnya, membran dilapisi dengan larutan
antibody monoklonal kedua yang terkonjugasi dengan enzim.
Adanya kompleks antigen-antibodi enzim pada membran
dideteksi dari reaksinya dengan substrat kromogenik yang
ditambahkan dalam larutan.
c. Pada gold immunoassay, larutan sampel dan antigen dibiarkan
berdifusi pada suatu membran, yang kemudian diperiksa.
d. Pada optical immunoassay, antibodi dilekatkan pada wafer
silikon dengan sifat pemantul (reflektif). Jika antigen bereaksi
dengan antibodi spesifik pada wafer, terjadi perubahan pada
lapisan permukaan, yang menyebabkan perubahan pantulan
cahaya.
22
Hasil positif dicatat bila antigen yang dicampur antibodi
menunjukkan aglutinasi, yaitu suspense menunjukkan penggumpalan
atau berbutir sampai seperti bubur. Aglutinasi paling mudah dilihat
dengan cara memiringkan kaca objek sedikit sehingga cairan mengalir
ke batas bawah persegi tersebut.
1.3.5 Uji Serologis untuk Hepatitis B (Deteksi HBsAg dan HBeAg dalam
Saliva Pengidp Virus Hepatitis B)
Hepatitis virus B adalah suatu penyakit radang yang disebabkan
oleh virus hepatitis B, dapat dalam bentuk akut mauun kronik. Bentuk
kronik aktif dapat mengakibatkan terjadinya serosis, kanker hati
sampai kematian.
Telah diketahui bahwa sumber penularan yang terpenting adalah
darah serta produkya, namun sekarang ternyata penularan dapat terjadi
melalui cairan tubuh lain seperti urine dan saliva. Sehubungan dengan
terjadinya penularan melalui saliva ini maka dokter gigi termasuk
golongan beresiko tinggi tertular dalam tindakan perawatan
kedokteran gigi. Menurut Schiff (cit. Setianingsih R): urutan insiden
infeksi virus hepatitis B adalah ahli bedah mulut 24%, prostodontis
17%, teknisi laboratorium 14%, dan perawat gigi 13%, sedangkan
populasi umum 3-5%. Dahulu cara penularan virus hepatitis B
dikatakan hanya dapat parenteral yaitu melalui tusukan perkutan
dengan jarum suntik atau alat tajam yang terkontaminasi, tetapi saat
ini ada dugaan penularan terjadi secara non-parenteral.
Dalam bidang kedokteran gigi yang paling memegang peranan
adalah penularan VHB melalui darah dan saliva. Cara penularan VHB
dalam bidang kedokteran gigi adalah secara parenteral, sedangkan
lukanya sendiri merupakan “Port of D’entry” dari VHB. Potensi saliva
dalam penyebaran VHB telah ditunjukkan secara eksperimental
kepada binatang percobaan. Penularan VHB dalam kedokteran gigi
dapat terjadi antara pasien dengan dokter gigi secara timbale balik,
atau antara pasien dengan pasien melalui alat-alat yang digunakan.
Cara pencegahan penularan VHB menurut “The Expert Group of
The Chief Medical and Dental Officer of Hold Department of The
Great Britain” yaitu:
1. Kebersihan ruang praktik secara keseluruhan
2. Penggunaan sarung tangan, masker, dan kacamata oleh
dokter gigi dan tenaga medis lainnya
3. Sebaiknya digunakan alat-alat sekali pakai, terutama jarum
suntik dan analgetik dalam cartridge
4. Sterilisasi alat-alat yang akan digunakan kembali terutama
untuk mencegah penularan VHB antar pasien.
Banyak faktor yang mempengaruhi besar kecilnya resiko penularan
VHB dalam bidang kedokteran gigi, antara lain penggunaan jarum
suntuk dan alat-alat tajam yang memungkinkan timbulnya luka,
penggunaan alat turbin berkecepatan tinggi disertai semprotan air pada
waktu pengeboran gigi yang disertai keterlibatan saliva didalamnya.
23
VHB yang lengkap terdiri atas HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan
partikel DNA. Virus yang lengkap inilah dianggap paling infeksius
( mempunyai daya tular yang tinggi). Keberadaan virus hepatitis B
dalam darah dan saliva dapat dideteksi dengan adanya HBsAg,
sedangkan keberadaan HBeAg dalam darah dan saliva menandakan
keadaan infeksius.
Berdasarkan permasalahan diatas perlu diperhatikan tindakan
pencegahan penularan VHB dalam perawatan kedokteran gigi,
terutama penularan dari pasien pengidap ke arah dokter gigi yang
merawatnya atau antar pasien yang dirawat ditempat yang sama.
1. Penggunaan Rubber-dam untuk daerah kerja restorasi
2. Menghindari semprotan cairan ( ludah atau darah ) dari dalam
mulut
3. Penggunaan desinfektan untuk seluruh permukaan kerja
4. Tangan segera dicuci setelah perawatan selesai
Metodologi
1. Rancakangan dan variable penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, dengan
populasi penelitian adalah pengidap VHB. Subjek penelitian
adalah populasi tersebut diatas yang datang ke Pusat Pelayanan
24
Kesehatan pada kurun waktu Agustus 1994- Mei 1995. Dilakukan
pemeriksaan HBeAg darah untuk membedakan kelompok
infeksius dan kelompok tidak infeksius. Kemudian dilakukan
pemeriksaan untuk mendeteksi ada atau tidaknya HBsAg dan
HBeAg dalam saliva pengidap VHB. Variable lain yang diamati
adalah jenis kelamin dan umur.
2. Proses pengambilan data dan rancangan analisis :
2.1. Proses pengambilan data.
Bahan pemeriksaan berupa darah dan saliva dari 97 orang
pengidap VHB, yang diperiksa secara serologis dengan
metode ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
untuk mendeteksi HBsAg dan HBeAg.
Berdasarkan pemeriksaan HBeAg darah, terdapat 2
kelompok yaitu:
Kelompok I: HBsAg dan HBeAg positif (infeksius).
Kelompok II: HBsAg positif dan HBeAg negative
(non-infeksius).
Dari kelompok I dan kelompok II, dideteksi adanya HbsAg
dan HBeAg dalam saliva. Selain itu, dicatat pula variable
jenis kelamin dan umur.
Hasil penelitian
Dari seluruh subjek berjumlah 97 orang terdapat 71 orang laki-laki
dan 26 orang perempuan, dengan rentang umur 8 sampai 62 tahun.
Dari seluruh subjek tersebut terdapat 56 orang dengan HBsAg positif
dan HBeAg positif dalam darah sebagai kelompok I (infeksius) dan 41
orang dengan HBsAg positif dan HbeAg negative dalam darah
sebagai kelompok II (tidak infeksius).
Table I. Distribusi responden berdasarkan HBsAg dan HBeAg
dalam darah serta jenis kelamin
25
Dari table di atas, nampak bahwa pengidap VHB sebagian besar
adalah laki-laki. Pada kelompok laki-laki maupun perempuan Nampak
bahwa proporsi yang infeksius lebih besar daripada yang tidak
infeksius.
Table II. distribusi penderita berdasarkan HBsAg dan HBeAg
dalam darah serta kelompok umur.
26
Pembahasan
Berdasarkan variable jenis kelamin, dari 97 orang pengidap VHB
71 (73.2%) adalah laki-laki. Hal yang sesuai dengan penelitian
terdahulu dan juga sesuai dengan teori imunologi dimana kaum laki-
laki memiliki imunologik lebih jelek dibandingkan kaum perempuan,
sehingga kaum perempuan lebih mampu menghadapi berbagai infeksi
dengan kemudahan pembentukan antibodinya.
Pada kedua kelompok, laki-laki maupun perempuan terlihat
keadaan infeksius lebih besar dari keadaan non infeksius, ini
disebabkan karena penelitian ini hanya dilakukan terhadap para
pengidap yang datang pada pusat pelayanan kesehatan tertentu bukan
penelitian komunitas.
Berdasarkan variabel umum, keadaan infeksius yang terbanyak
didapati pada umur 21-30 tahun, sedangkan keadaan non infeksius
yang terbanyak didapati pada umur diatas 40 tahun. Hal ini dapat
diteranagkan bahwa umur dewasa muda lebih banyak melakukan
aktivitas seksual, sehingga terjadi penularan virus melalui saliva pada
saat berciuman. Perlu juga dipikirkan bahwa mereka sudah
mendapatkan penularan VHB sejak anak-anak, secara vertical dari
orang tuanya maupun secara horizontal. Pada umur 40 tahun keatas,
keadaan infeksius sudah terlewati dengan terbentuknya antibody pda
pengidap kronis.
Pada pemeriksaan saliva secara serologis dengan metode ELISA,
didapatkan 48 (85.07%) dari 56 pengidap VHB yang infeksius,
salivanya juga mengandung HBeAg yang menandakan keadaan
infeksius. Terdapatnya VHB dalam saliva dapat diterangkan dengan
hipotesis transudasi dan eksudasi dari pembuluh darah ke saliva.
Dokter gigi dalam pekerjaan sehari-hari selalu berkontak dengan
saliva dengan atau tanpa darah, dan sering menggunakan alat-alat
tajam sehingga kemungkinan besar terjadi luka pada tangan karena
tertusuk yang akan merupakan “Port D’Entry”, maka dokter gigi dapat
dikatakan termasuk golongan yang berisiko tinggi tertular. Penularan
antar pasien melalui alat-alat yang terkontaminasi juga tidak dapat
diabaikan. Dalam praktik bidang spesialis, maka spesialis bedah
mulut berisiko tertular paling tinggi, karena dalam pekerjaannya selalu
berkontak dengan cairan ludah bercampur dengan darah. Juga
spesialis jaringan penyangga gigi yang dalam pekerjaannya juga
sering melakukan “Curettage” dan “Flap-Operation” yang akan
disertai dengan pendarahan. Kemudiaan diikuti dengan bidang
spesialis lainnya. Disamping urutan bidang tersebut, bidang spesialis
gigi tiruan (Prosthodontis) juga termasuk bidang yang berisiko cukup
27
tinggi tertular, karena dalam pengerjaannya selalu berkontak dengan
cairan ludah yaitu waktu mencetak rahang, mencoba gigi tiruan,serta
pemasangannya dalam mulut.
Berdasarkan hal diatas perlu dilakukan tindakan pencegahan,
penularan, dan penyebaran VHB melalui perawatan kedokteran gigi,
dengan cara melakukan control infeksi secara optimal.
Memperhatikan sejarah kesehatan pasien dan dokter gigi sebaiknya
melindungi diri dengan imunisasi.
1.3.6 Uji Serologi IgA Karakter KNF EBNA1+VCA p-18 pada Penderita
Keluhan Kronis Kepala Leher
Epstein-Barr virus (EBV) merupakan virus herpes yang umum
menginfeksi sebagian besar populasi dunia (90%). Di negara
berkembang, EBV sering dihubungkan dengan rendahnya kondisi
sosial ekonomi dan infeksi primernya terjadi pada masa kanakkanak
tanpa diikuti gejala klinis yang berarti.
Di negara maju, infeksi terjadi pada usia remaja dan biasanya
diikuti manifestasi mononukleosis infeksiosa dengan gejalagejala
menyerupai flu (flu-like syndrome). Infeksi primer EBV terjadi pada
sel limfosit B, dan secara in vitro mengakibatkan 3 sel-sel tersebut
mampu berproliferasi tidak terbatas.
Setelah infeksi primer, EBV memasuki fase laten dan menetap di
dalam tubuh inang. Fase ini ditandai dengan terbentuknya antibodi
IgG terhadap antigenantigen EBV yang dapat dideteksi pada
konsentrasi rendah. Berbagai situasi seperti induksi bahan kimia,
paparan sinar UV dan hormon dapat memicu fase litik EBV.
Pada fase litik, EBV mengalami replikasi dan membentuk virion
yang mampu menginfeksi lebih banyak sel limfosit B. EBV terbukti
memiliki hubungan etiologi dengan beberapa jenis keganasan, seperti
limfoma Burkitt, limfoma sel B dan T, keganasan pascatransplantasi,
oral hairy leukoplakia pada penderita AIDS, penyakit Hodgkin,
keganasan lambung serta karsinoma nasofaring (KNF). Pada penderita
KNF, dijumpai kadar antibodi IgG dan IgA yang tinggi terhadap
protein-protein EBV. Tingginya respons IgA terhadap protein EBV
merupakan ciri khas KNF, karena keganasan ini terjadi di sel epitel
(mukosa) nasofaring.1 Beberapa studi di Cina dan Taiwan
menunjukkan bahwa subjek normal dengan titer antibodi relatif serupa
penderita KNF memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi
KNF. Oleh penelitianpenelitian tersebut serologi dipergunakan
sebagai metode penegakan diagnosis KNF yang bersifat tidak invasif.
Metode standar serodiagnosis EBV pada KNF adalah
immunofluorescence assay (IFA), tetapi metode ini tidak praktis,
subjektif dan relatif mahal.
Pemeriksaan
ELISA IgA (EBNA 1+VCAp-18) merupakan metode yang sudah
dikembangkan, tetapi aplikasi ELISA hanya dapat dilakukan di
28
laboratorium menengah, memerlukan kecakapan teknis yang memadai
dan memerlukan waktu beberapa jam untuk mengetahui hasilnya.
Diagnosis dini KNF sangat sulit oleh karena secara anatomi letak
nasofaring tersembunyi sehingga tidak menimbulkan gejala yang
khas, maka penderita sering datang berobat dalam stadium lanjut
(advance stage).
Oleh karena itu, skrining KNF dapat dilakukan pada populasi
berisiko tinggi, salah satunya pada individu dengan gejala-gejala
kronis di daerah kepala dan leher. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kadar IgA dengan karakter KNF pada individu dengan
gejala kronis di daerah kepala dan leher, serta mengetahui apakah
kadar IgA dapat digunakan sebagai tanda awal terjadinya KNF.
Diharapkan individu dengan gejala kronis di daerah kepala dan leher
dapat diobservasi secara ketat untuk mengetahui potensi
perkembangan KNF berdasarkan kadar IgA dengan karakter KNF,
dengan demikian kasus KNF dapat diantisipasi dan ditangani pada
stadium lebih dini.
METODE
Penelitian ini merupakan kajian analitik observasional yang
dilakukan di poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sejak
bulan Juli 2006 sampai bulan September 2010. Subjek penelitian
adalah penderita yang berobat ke poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta dengan gejala kronis di daerah kepala dan leher yang
memenuhi criteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi: 1) penderita dengan gejala kronis di kepala dan
leher, antara lain rinitis kronis, hidung tersumbat, epistaksis, tinitus,
gangguan pendengaran, telinga rasa penuh, nyeri kepala kronis, nyeri
wajah dan vertigo; 2) tidak menderita penyakit sistemik berat; 3)
bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi pada penelitian ini
adalah apabila data penderita tidak lengkap. Selanjutnya pemeriksaan
kadar IgA karakter KNF dengan menggunakan teknik ELISA
dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler, Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Darah penderita diambil
sebanyak 5 ml untuk pemeriksaan IgA (EBNA1+VCA p-18) dengan
teknik ELISA seperti yang dijelaskan pada publikasi sebelumnya.
Pemeriksaan ELISA ini bertujuan untuk mengetahui seroreaktivitas
IgA (EBNA1+VCAp18), dengan nilai (OD450) 0,3536 dimasukkan
dalam kategori rendah dan di atas nilai tersebut dimasukkan dalam
kategori tinggi.
HASIL
Sebanyak 218 penderita dengan gejala kronis di daerah kepala dan
leher, masuk dalam kriteria inklusi. Karakteristik sampel secara
lengkap adalah sebagai berikut: 1) berdasarkan jenis kelamin, terdapat
90 penderita laki-laki (41,3%) dan 128 penderita perempuan (58,7%)
dengan perbandingan 1:1,4; 2) berdasarkan kelompok usia, subjek
penelitian didominasi oleh kelompok umur 21-30 tahun (28,4%); 3)
29
berdasarkan gejala utama, gejala rinitis kronis merupakan gejala
terbanyak, yaitu mencapai 106 penderita (48,6%) diikuti dengan
gejala obstruksi hidung sebanyak 50 penderita (22,9%). Karakteristik
sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
30
Gambar 1. Kadar IgA karakter KNF berdasarkan jenis
Kelamin
31
kadar IgA tinggi, menunjukkan 3 penderita KNF setelah dilakukan
pemeriksaan tomografi computer dan biopsi nasofaring.
DISKUSI
Diagnosis dini KNF masih sulit dilakukan mengingat lokasi
nasofaring yang tersembunyi dan gejala awal yang tidak khas. Gejala-
gejala yang timbul menyerupai flu (flu-like syndrome) seperti pilek
kronis, hidung tersumbat, dan sakit kepala atau gejala-gejala pada
telinga dan mata yang disebabkan oleh karena kedua organ tersebut
berada dekat nasofaring. Penelitian intensif di daerah endemik seperti
Cina dan Taiwan, telah berhasil mengidentifikasi populasi berisiko
tinggi terkena KNF, yaitu individu dengan: 1) keluarga pengidap
KNF; 2 dengan gejala-gejala tertentu di daerah kepala dan leher (yang
juga sering dikaitkan dengan gejala klinis umum); dan 3) kadar IgA
terhadap komponen EBV yang tinggi. Hasil tersebut mendukung hasil
yang didapatkan pada penelitian ini. Oleh karena itu, uji serologi IgA
dengan karakter KNF perlu dilakukan pada penderita dengan keluhan
dan atau gejala di daerah kepala dan leher, sebagai salah satu metode
untuk deteksi dini terjadinya KNF. Dengan uji IgA secara dini,
penderita KNF akan terdeteksi pada stadium awal sehingga
prognosisnya akan jauh lebih baik. Sejumlah penelitian yang
menggunakan serologi IgA sebagai uji diagnostik maupun prognostik
terhadap keganasan membuktikan reaktivasi dan fase litik replikasi
virus. Studi di Cina dan Taiwan, mengindikasikan bahwa individu
yang terdeteksi dengan tingkat IgA VCA dan DNAse EBV yang tinggi
berisiko lebih besar untuk menjadi KNF pada tahuntahun berikutnya.
Disebutkan pula bahwa individu dengan peningkatan titer salah satu
dari uji serologi tersebut memiliki risiko relatif (RR) 4 kali lebih
tinggi dibanding individu seronegatif. Individu dengan nilai positif
untuk kedua uji serologi tersebut memiliki risiko relatif (RR) sebesar
33 kali dalam follow-up 16 tahun.
32
Fachiroh et al. membandingkan beberapa uji serologi pada
penderita KNF dengan populasi sehat sebagai kontrol. Hasilnya
menunjukkan bahwa uji serologi antibodi IgA EBNA1 memiliki
sensitivitas 88,5% dan spesifisitas 80,1%, sementara serologi antibodi
IgA VCA p-18 memiliki sensitivitas sebesar 79,8% dan spesifisitas
70,9%. Kombinasi serologi antibodi IgA (EBNA1+VCA p-18)
memiliki sensitivitas 90,1% dan spesifisitas 85,4%.7 Dengan nilai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, maka IgA
(EBNA1+VCA p-18) dengan karakter KNF dapat digunakan sebagai
alat skrining KNF yang lebih peka terutama pada penderita dengan
gejala-gejala kronis di daerah kepala dan leher. Pada kasus KNF,
perbandingan berdasarkan jenis kelamin antara laki-laki dan
perempuan adalah 2-3:1.
Hasil serologi
IgA pada subjek penelitian ini menunjukkan persentase yang lebih
besar pada wanita, walaupun tidak memberikan kemaknaan secara
statistik. Beberapa peneliti membuktikan adanya hubungan respons
imun terhadap EBV dengan status hormonal. Sangat mungkin status
hormon juga mempengaruhi hasil studi ini. Kemungkinan penyebab
lainnya adalah bahwa tingkat kesadaran terhadap suatu gejala penyakit
dan kesegeraan untuk mencari pengobatan lebih tinggi pada kaum
perempuan.
Frekuensi kadar IgA yang tinggi meningkat secara linier terhadap
peningkatan usia, hal ini menunjukkan bahwa populasi berisiko tinggi
meningkat sesuai peningkatan usia. Tidak berbeda dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa rentang umur
terbanyak pada kasus KNF adalah pada rentang 40-51 tahun. Hal ini
juga membuktikan bahwa potensi reaktivasi EBV meningkat sesuai
dengan peningkatan usia.
Rinitis kronis merupakan keluhan terbanyak pada populasi sampel
yang digunakan, diikuti dengan hidung tersumbat. Infeksi yang
disebabkan virus Epstein-Barr seringkali memberikan gejala-gejala
yang menyerupai flu (flu-like syndrome). Infeksi 8 EBV dapat pula
mempengaruhi transformasi sel menjadi maligna pada sel limfoid dan
sel epitel. Penelitian di Taiwan yang dilakukan Chien et al.
menyebutkan bahwa riwayat sinusitis merupakan salah satu faktor
risiko pada populasi laki-laki dengan titer IgA VCA dan DNAse anti-
EBV yang tinggi. Pada penelitian ini didapatkan 4,1% penderita
dengan gejala kronis di kepala dan leher dengan kadar IgA karakter
KNF yang tinggi yang berkembang menjadi KNF.
Ketiga kasus tersebut timbul dalam kurun waktu dua tahun follow-
up. Hal ini mengindikasikan bahwa penderita dengan keluhan dan atau
gejala di kepala leher yang mempunyai kadar IgA karakter KNF tinggi
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena KNF.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lebih dari 33%
penderita dengan gejala kronis di daerah kepala dan leher memiliki
kadar IgA karakter KNF yang tinggi, dan ada kecenderungan
33
meningkat dengan peningkatan usia penderita. Kadar IgA karakter
KNF yang tinggi dapat digunakan sebagai tanda awal kejadian KNF.
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG
antibody terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi
partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi.
ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes
dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan
Western blot atau IFA.
34
Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil
serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji
Western blot menemukan keberadaan antibodi yang melawan
protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang
(ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan
bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil
positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil
Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada
individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur
virus, tes amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test
(NAATs) , test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA
arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk
protein kapsid virus (antigen p24)).
Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus
lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS.
Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan
biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus
atau untuk antigen spesifik virus.
35
dengan amplifikasi PCR, menggunakan metode enzimatik untuk
mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda
prediktif penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu
yang bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus.
36
Daftar Pustaka
Lesmana R.A.1998. Deteksi HBsAg dan HBeAg Dalam Saliva Pengidap Virus
Hepatitis B. Bagian Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
Vol.5.No.1.,1998
Herdini C.,dkk. Uji Serologi IgA Karakter KNF EBNA1+VCA p-18 pada
Penderita Keluhan Kronis Kepala Leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
37