Anda di halaman 1dari 60

Baku Mutu Lingkungan

Baku mutu lingkungan merupakan batas atau akadar makhluk hidup, zat, energi, atau
kompinen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar lingkungan yang
ditenggang adanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan
hidup.

terdapat 5 jenis baku mutu lingkungan, yaitu:


1. Baku mutu air
2. Baku mutu udara ambien
3. Baku mutu emisi gas dan partikel buang
4. Baku mutu air laut
5. Baku mutu limbah cair

Baku mutu dan nilai ambang batas sebenrany berbeda perbedaan itu antara lain:
1. Baku mutu untuk lengkungan ambien, sedangkan nilai ambang batas untuk
lingkungan kerja.
2. Waktu pemaparan pada baku mutu adalh 24jam, sedangkan pada nilai ambang
batas adalah 8jam per hari.
3. pada baku buku yang menjadi target terpapar adalah semua kelompok umur,
sedangkan pada nilai ambang batas adalah pekerja.
4. Baku mutu memiliki kadar yang lebih kecil sedangkan nilai ambang batas
memiliki kadar yang lebih besar.

Baku Mutu Air

Baku mutu air terbagi atas 2, yaitu baku mutu aliran dan baku mutu effluen.

Baku mutu aliran merupakan persyaratan mutu air bagi sumber air seperti sungai,
danau, air tanah yang disusun dengan mempertimbangkan pemanfaat air tersebut,
kemampuan mengencerkan dan membersihkan diri terhadap beban pencemaran dan
faktor ekonomis.
Ciri-ciri baku mutu aliran:
1. Untuk mengatur kualitas badan air
2. Untuk daerah yang sedikit industri
3. Pengawasan lebih sulit
4. Syarat untuk industri sejenis beda

Baku mutu effluen merupakan persyaratan mutu air limbah yang dialirkan ke sumber
air, sawah, tanah, dan tempat-tempat lain dengan mempertimbangkan pemanfaatan
sumber air yang bersangkutan dan faktor ekonomi pengelolaan air buangan.
Ciri-ciri baku mutu effluen;
1. Mengatur buangan ke badan air
2. Untuk daerah yang banyak industri
3. Pengawasan yang dilakukan lebih mudah
4. Syarat untuk industri sejenis sama.

Penggolongan badan air menurut PP No 2o Tahun 1990:


1. Golongan A, untuk air minum tanpa pengolahan
2. Golongan B, untuk bahan bak air minum
3. Golongan C, untuk keperluan perikanan dan pertanian
4. Golongan D, untuk pertanian, usaha perkotaan, industri
5. Golongan E, untuk selain di atas, seperti transportasi.
1.1 Latar Belakang
Pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup seyogyanya menjadi acuan
bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan
kelestarian fungsi sumber daya alam serta lingkungan hidup, sehingga keberlanjutan
pembangunan tetap terjamin.
Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya alam dan lingkungan
hidup dewasa ini, maka kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup ditujukan pada upaya mengelola sumber daya alam, baik yang
dapat diperbaharui maupaun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan
teknologi ramah lingkungan, serta menerapkan secara efektif penggunaan indikator-
indikator hidup. Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan sumber
daya alam yang berkelanjutan seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta
meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu lingkungan yang
ditetapkan.
Dewasa ini, ada banyak pendapat yang sering terjadi di masyarakat, misalnya
seseorang mengatakan bahwa sungai telah tercemar, tetapi ada juga yang mengatakan
bahwa sungai tersebut masih baik. Untuk mengatasi perbedaan pendapat yang sering
terjadi, dan supaya seseorang tidak memandang sesuatu dari sudut kepentingannya
sendiri, maka perlu adanya tolok ukur yang dapat digunakan bersama. Di antaranya
yaitu untuk mengatakan atau menilai bahwa lingkungan telah rusak atau tercemar,
dipakai baku mutu lingkungan. Penetapan baku mutu lingkungan diperlukan untuk
mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas industri
dan aktivitas manusia.

1.2 Tujuan
Setelah membaca makalah yang berjudul “Baku Mutu Lingkungan” pembaca
diharapkan:
1. Dapat memahami pengertian baku mutu lingkungan
2. Dapat mengetahui jenis-jenis baku mutu lingkungan
3. Dapat mengetahui contoh penerapan baku mutu lingkungan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Baku Mutu Lingkungan
Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan terhadap
makhluk hidup, tumbuhan atau benda lainnya.
Menurut pengertian secara pokok, baku mutu adalah peraturan pemerintah yang harus
dilaksanakan yang berisi spesifikasi dari jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang
atau jumlah kandungan yang boleh berada dalam media ambien. Secara objektif, baku
mutu merupakan sasaran ke arah mana suatu pengelolaan lingkungan ditujukan.
Kriteria baku mutu adalah kompilasi atau hasil dari suatu pengolahan data ilmiah
yang akan digunakan untuk menentukan apakah suatu kualitas air atau udara yang
ada dapat digunakan sesuai objektif penggunaan tertentu.
Contoh kriteria:
Kriteria bahan pencemar dalam media air untuk kehidupan ikan:
Konsentrasi Pencemar (mg/l) Pengaruh terhadap Ikan
0,01 Tidak ada pengaruh
0,05 Ikan menderita dalam taraf rendah
0,1 Kematian telah terjadi masih dalam
tingkat rendah
0,5 Tidak ada yang dapat hidup
Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas
industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap pencemaran
lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
Pada saat ini, pencemaran terhadap lingkungan berlangsung di mana-mana dengan
laju yang sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan sudah
semakin berat dengan masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia termasuk
logam berat.
Pencemaran lingkungan dapat dikategorikan menjadi:
1. Pencemaran air
2. Pencemaran udara
3. Pencemaran tanah

Baku mutu untuk mencegah berlimpahnya limbah sehingga mengakibatkan baku


mutu lingkungan tidak memenuhi syarat penghidupan bagi manusia.
Kemampuan lingkungan sering diistilahkan dengan daya dukung lingkungan, daya
toleransi dan daya tenggang, atau istilah asingnya disebut carrying capacity.
Sehubungan dengan batu mutu lingkungan, ada istilah nilai ambang batas yang
merupakan batas-batas daya dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau
kemampuan lingkungan. Nilai ambang batas tertinggi atau terendah dari kandungan
zat-zat, makhluk hidup atau komponen-komponen lain dalam setiap interaksi yang
berkenaan dengan lingkungan khususnya yang mempengaruhi mutu lingkungan. Jadi
jika terjadi kondisi lingkungan yang telah melebihi nilai ambang batas (batas
maksimum dan minimum) yang telah ditetapkan berdasarkan baku mutu lingkungan
maka dapat dikatakan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar.
Adanya peraturan perundangan (nasional maupun daerah) yang mengatur baku mutu
serta peruntukan lingkungan memungkinkan pengendalian pencemaran lebih efektif
karena toleransi dan atau keberadaan unsur pencemar dalam media (maupun limbah)
dapat ditentukan apakah masih dalam batas toleransi di bawah nilai ambang batas
(NAB) atau telah melampaui.
Dasar hukum baku mutu lingkungan terdapat dalam Undang-undang No. 4 Tahun
1982 Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut: “Perlindungan lingkungan hidup
dilakukan berdasarkan baku mutu lingkungan yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan.”
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
“Agar dapat ditentukan telah terjadi kerusakan lingkungan hidup perlu ditetapkan
baku mutu lingkungan, baik penetapan kriteria kualitas lingkungan hidup maupun
kualitas buangan atau limbah. Kriteria dan pembakuan ini dapat berbeda untuk setiap
lingkungan, wilayah atau waktu mengingat akan perbedaan tata gunanya. Perubahan
keadaan lingkungan setempat serta perkembangan teknologi akan mempengaruhi
kriteria dan pembakuan yang telah ditetapkan.”
Apabila pada suatu saat ada industri yang membuang limbahnya ke lingkungan dan
telah memenuhi baku mutu lingkungan, tetapi kualitas lingkungan tersebut
mengganggu kehidupan manusia, maka yang dipersalahkan bukan industrinya.
Apabila hal tersebut terjadi, maka baku mutu lingkungannya yang perlu dilihat
kembali, hal ini mengingat penjelasan dari Undang-undang No. 4 Tahun 1984 Pasal
15, seperti tersebut di atas.
Adapun langkah-langkah penyusunan baku mutu lingkungan:
1. Identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang harus
dilindungi (objektif sumber daya tersebut tercapai).
2. Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan
pengolahan dari berbagai informasi ilmiah.
3. Merumuskan baku mutu ambien dari hasil penyusunan kriteria.
4. Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dilepas ke dalam lingkungan yang
akan menghasilkan keadaan kualitas baku mutu ambien yang telah ditetapkan.
5. Membentuk program pemantauan dan penyempurnaan untuk menilai apakah
objektif yang telah ditetapkan tercapai.

2.2 Jenis-Jenis Baku Mutu Lingkungan


Sehubungan dengan fungsi baku mutu lingkungan maka dalam hal menentukan
apakah telah terjadi pencemaran dari kegiatan industri atau pabrik dipergunakan dua
buah sistem baku mutu lingkungan yaitu:
1. 1. Effluent Standard

Effluent Standard merupakan kadar maksimum limbah yang diperbolehkan untuk


dibuang ke lingkungan.
1. 2. Stream Standard

Stream Standard merupakan batas kadar untuk sumberdaya tertentu, seperti sungai,
waduk, dan danau. Kadar yang diterapkan ini didasarkan pada kemampuan
sumberdaya beserta sifat peruntukannya. Misalnya batas kadar badan air untuk air
minum akan berlainan dengan batas kadar bagi badan air untuk pertanian.
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam keputusannya No.
KEP-03/MENKLH/II/1991 telah menetapkan baku mutu air pada sumber air, baku
mutu limbah cair, baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi dan baku mutu air
laut.
Dalam keputusan tersebut yang dimaksud dengan:
1. Baku mutu air pada sumber air, disingkat baku mutu air, adalah batas kadar
yang diperolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam air, namun
air tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
2. Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada
sumber air, sehingga tidak menyebabkan dilampauinya baku mutu air;
3. Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan
terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan benda;
4. Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara,
sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien;
5. Baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain yang ada atau harus ada, dan zat atau bahan pencemar yang
ditenggang adanya dalam air laut.

1. Baku Mutu Air dan Limbah Cair

Kriteria mutu air diterapkan untuk menentukan kebijaksanaan perlindungan


sumberdaya air dalam jangka panjang, sedangkan baku mutu air limbah (effluent
standard) dipergunakan untuk perencanaan, perizinan, dan pengawasan mutu air
limbah dan pelbagai sektor seperti pertambangan dan lain-lain.
Kriteria kualitas sumber air di Indonesia ditetapkan berdasarkan pemanfaatan
sumber-sumber air tersebut dan mutu yang ditetapkan berdasarkan karakteristik suatu
sumber air penampungan tersebut dan pemanfaatannya.
Badan air dapat digolongkan menjadi 5, yaitu:
1. Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara
langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.
2. Golongan B, yaitu air baku yang baik untuk air minum dan rumah tangga dan
dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk
golongan A.
3. Golongan C, yaitu air yang baik untuk keperluan perikanan dan peternakan,
dan dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk
keperluan tersebut pada golongan A dan B.
4. Golongan D, yaitu air yang baik untuk keperluan pertanian dan dapat
dipergunakan untuk perkantoran, industri, listrik tenaga air, dan untuk
keperluan lainnya, tetapi tidak sesuai untuk keperluan A, B, dan C.
5. Golongan E, yaitu air yang tidak sesuai untuk keperluan tersebut dalam
golongan A, B, C, dan D.

Untuk melindungi sumber air sesuai dengan kegunaannya, maka perlu ditetapkan
baku mutu limbah cair dengan berpedoman kepada alternatif baku mutu limbah cair
yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup No. KEP-03/MENKLH/II/1991. Baku mutu limbah cair tersebut
ditetapkan oleh gubernur dengan memperhitungkan beban maksimum yang dapat
diterima air pada sumber air.
Baku mutu air dan baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan oleh gubernur
dimaksudkan untuk melindungi peruntukan air di daerahnya. Dengan demikian harus
diperhatikan dalam setiap kegiatan yang menghasilkan limbah cair dan yang
membuang limbah cair tersebut ke dalam air pada sumber air. Limbah cair harus
memenuhi persyaratan:
1. Mutu limbah cair yang dibuang ke dalam air pada sumber air tidak boleh
melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan.
2. Tidak mengakibatkan turunnya kualitas air pada sumber air penerima limbah.

Hal tersebut mengharuskan agar setiap pembuangan limbah cair ke dalam air pada
sumber air, mencantumkan kuantitas dan kualitas limbah.
1. Baku Mutu Udara

Baku mutu udara ambien dan emisi ditetapkan dengan maksud untuk melindungi
kualitas udara di suatu daerah.
Baku mutu udara ambien dan emisi limbah gas yang dibuang ke udara harus
mencantumkan secara jelas dalam izin pembuangan gas. Semua kegiatan yang
membuang limbah gas ke udara ditetapkan mutu emisinya dalam pengertian:
1. Mutu emisi dari limbah gas yang dibuang ke udara tidak melampaui baku
mutu udara emisi yang telah ditetapkan.
2. Tidak menyebabkan turunnya kualitas udara.

Baku mutu udara ambien terdiri dari 9 jenis:


1. Sulfur dioksida;
2. Karbon monoksida;
3. Oksida nitrogen;
4. Oksida;
5. Hidrogen sulfida;
6. Hidrokarbon;
7. Amoniak;
8. Timah hitam/timbal;
9. Debu.

Baku mutu udara ambien


Parameter Baku mutu Waktu
SO2, ug/M3 (ppm) 260 (0.1) 24 jam
CO ug/M3 (ppm) 2.260 (20) 8 jam
NOx ug/M3 (ppm) 92.5 (0.05) 24 jam
O3 ug/M3 (ppm) 200 (1.0) 1 jam
Debu ug/M3 (ppm) 260 24 jam
Pb ug/M3 (ppm) 60 24 jam
H2S ug/M3 (ppm) 42 (0.03) 30 menit
NH3 ug/M3 (ppm) 1.360 (2) 24 jam
HC ug/M3 (ppm) 160 (0.24) 3 jam
(KepMen KLH. No. 02/MENKLH/1988): 9
2.3 Penerapan Baku Mutu Lingkungan
Baku mutu lingkungan dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya
dalam penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui
penetapan beban pencemaran maksimum. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai
berikut:
1. Beban Pencemaran Maksimum (BPM)

BPM = (Cm)j x Dm x A x f…………………………..(II. 1. 1)


Keterangan:
BPM = Beban Pencemaran Maksimum yang diperbolehkan, dinyatakan dalam kg
parameter per hari
(Cm)j = kadar maksimum parameter j dinyatakan dalam mg/I.
Dm = Debit limbah cair maksimum dinyatakan dalam L limbah cair per detik per
hektar.
A = luas lahan kawasan yang terpakai dinyatakan dalam hektar
F = faktor konversi =
1 kg 24 x 3600 detik
——————x———————- = 0.086….(II. 1.2)
1000000 mg hari
1. Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut

BPA = (CA)j x (DA) x f …………… (II.2. 1)


Keterangan:
BPA = beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per hari
(CA)j = kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l
DA = debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik
f = faktor konversi = 0.086
1. Evaluasi

Penilaian beban pencemaran adalah:


BPA tidak boleh melewati BPM
1. Contoh Penerapan

Data yang diambil dari lapangan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair Kawasan
Industri adalah:
1. Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hektar, ha]
2. Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/liter]
3. Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]

Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri


Parameter Kadar Maksimum Beban Pencemaran
(mg/liter) Maksimum
(kg/hari/ha)
BOD5 50 4.3
COD 100 8.6
TSS 200 17.2
pH 6.0 – 9.0
Debit limbah cair maksimum: 1 L per detik per HA lahan kawasan yang terpakai.
Contoh perhitungan:
Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai 1500 hektar.
Parameter dari tabel di atas yang akan dijadikan contoh perhitungan adalah parameter
(j) BOD.
Dari tabel tersebut diketahui:
1. Debit maksimum yang diperbolehkan (Dm) = 1 liter/detik/ha
2. Untuk parameter BOD diketahui:

Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter


1. Beban maksimum yang diperbolehkan = 4.3 kg/hari/ha

Data lapangan
1. Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter
2. Debit hasil pengukuran (DA) = 1000 liter/detik
3. Luas lahan kawasan terpakai (A) = 1500 ha

Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk kawasan


industri tersebut (persamaan II. 1.1) adalah:
BPM = Cm x Dm x f x A
= 50 x 1 x 0.086 x 1500
= (4.3 kg/hari/ha) x 1500 ha
= 6450 kg/hari
Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri tersebut
(persamaan II. 2.1) adalah:
BPA = CA x DA x f
= 60 x 1000 x 0.086
= 5160 kg/hari
Dari contoh di atas, BPA (5160 kg/hari) lebih kecil daripada BPM (6450 kg/hari),
jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut memenuhi Baku Mutu Limbah Cair.

BAB III
KESIMPULAN
1. Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau
bahan pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan
terhadap makhluk hidup, tumbuhan atau benda lainnya.
2. Jenis-jenis baku mutu lingkungan, baku mutu air, baku mutu limbah cair,
baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi, dan baku mutu air laut.
3. Baku mutu untuk mencegah berlimpahnya limbah sehingga mengakibatkan
baku mutu lingkungan tidak memenuhi syarat penghidupan bagi manusia.
BAKU MUTU LINGKUNGAN
DAN
STANDARDISASI LINGKUNGAN

Oleh:

Prof DR Ir Soemarno,MS
Agustus 2007

I. PENDAHULUAN

Pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup seyogyanya menjadi


acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan
kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan
pembangunan tetap terjamin.
Pola pemanfaatan sumberdaya alam seharusnya dapat memberikan akses kepada
segenap masyarakat, bukan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat dan golongan
tertentu, dengan demikian pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi kesempatan
dan peran serta aktif masyarakat, serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Peranan pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam


harus dapat dioptimalkan, karena sumberdaya alam sangat penting peranannya terutama
dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, retribusi dan
bagi hasil yang jelas dan adil, serta perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan
otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan
peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi lingkungan.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam


harus dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam dan keselarasan peran antara pusat dan daerah serta antar sektor. Selain
itu peran serta aktif masyarakat dalam akses dan kontrol sumberdaya alam harus lebih
optimal karena dapat melindungi hak-hak publik dan hak-hak adat.
Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan
untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah antara lain pencemaran
industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan,
penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian,
penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan.

Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumberdaya alam dan


lingkungan hidup dewasa ini, maka kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup ditujukan pada upaya :

(1) mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat
diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan
daya dukung dan daya tampungnya;

(2) menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan
sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan;

(3) mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah


dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara bertahap;
(4) memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal;

(5) menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui


keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

(6) memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi
baru di wilayah tertentu; dan

(7) mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan


global.

Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam


yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring meningkatnya kesejahteraan
masyarakat serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu
lingkungan yang ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antar generasi, antar dunia usaha
dan masyarakat, dan antar negara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal.
II. ARAH KEBIJAKAN

Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan di atas, GBHN 1999
mengamanatkan bahwa :

1) Mengelola sumberdaya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi;

2) Meningkatkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan


melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan;

3) Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan


keterbaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui untuk
mencegah kerusakan yang tidak dapat balik;

4) Mendelegasikan secara bertahap wewenang peperintah pusat kepada pemerintah


daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup dengan kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur
dengan Undang-Undang;

5) Mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat


dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal
serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur UU.

III. INTERNALISASI PERDAGANGAN DAN LINGKUNGAN


MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Sejak tahun 1965, GATT telah memiliki "Komisi Perdagangan dan Pembangunan"
yang memperdulikan persoalan perdagangan di belahan bumi selatan.

Pada tahun 1972, komisi itu membentuk sebuah kelompok yang dinamakan
"Tindakan terhadap Lingkungan dan Perdagangan lnternasional". Kelompok ini dibentuk
setelah munculnya kecemasan bahwa kepentingan lingkungan akan menghambat
perdagangan.

Perangkat utama yang tersedia bagi GATT untuk menangani masalah lingkungan
adalah Pasal XX (yang tidak menggunakan kata lingkungan) dan Persetujuan mengenai
Hambatan Teknik terhadap Perdagangan (yang menggunakan kata lingkungan). Setiap
negara memiliki hak untuk menggunakan tindakan perdagangan seperlunya untuk
melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan dengan
pengawetan sumberdaya alam yang dapat habis.

Tindakan semacam ini juga dapat diterapkan untuk membatasi produksi dan/atau
konsumsi dalam negeri, namun tidak boleh menghasilkan diskriminasi yang sewenang-
wenang atau tidak boleh berlaku di semua negara dan tindakan itu tidak boleh merupakan
pembatasan terselubung atas perdagangan internasional.

Persetujuan mengenai Hambatan Teknis Terhadap Perdagangan memberikan


kerangka untuk menangani masalah yang berkaitan dengan perdagangan di tingkat
multilateral yang timbul akibat peraturan dan baku-mutu teknis.

Pasal XX GATT tidak boleh dibiarkan menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh
para proteksionis. Melanggar asas perdagangan bebas harus dilihat sebagai kekecualian,
dan sifat kekecualian ini harus pula dipertahankan bila ada bahaya terhadap lingkungan.

Beberapa asas dasar berikut ini harus dimasukkan ke dalam peraturan GATT untuk
menangani masalah lingkungan:

Keterbukaan: Persyaratan "pemberitahuan" perlu dimasukkan sehingga


semua peraturan mengenai lingkungan yang dapat berdampak terhadap
perdagangan tidak bermakna ganda secara internasional.

Keabsahan: Tindakan perlindungan lingkungan yang membatasi


perdagangan harus sah; jadi didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Badan atau
panel pakar ilmiah internasional harus dibentuk untuk menguji keabsahan
tindakan semacam itu. Kalau ancaman terhadap lingkungan sangat serius atau
tidak dapat diubah, GATT WTO harus menerapkan asas pencegahan.

Kesebandingan: Tindakan yang membatasi perdagangan tidak boleh melampaui


batas yang memang diperlukan untuk melindungi lingkungan.

Subsidioritas: Jika kepentingan lingkungan sudah terpenuhi tanpa tindakan


yang mempengaruhi perdagangan, maka tindakan yang mengganggu
perdagangan harus ditiadakan.

IV. STANDARDISASI, AKREDITASI, DAN


SERTIFIKASI BIDANG LINGKUNGAN

4.1. Perkembangan Global

Keterkaitan antara dunia usaha dan lingkungan hidup telah disadari sejak
dilaksanakannya "Conference on Human and Environment" oleh PBB pada tahun
1972 di Stockholm, yang dilanjutkan di Nairobi pada tahun 1982. Konperensi
tersebut melahirkan pemikiran bahwa pembangunan industri yang tidak terkendali
akan mempengaruhi kelangsungan dunia usaha itu sendiri.
Pemikiran tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan United Nations
Environment Program (UNEP) dan World Commission on Environment and
Development (WCED). lstilah "Sustainable Development" yang diperkenalkan dalam
laporan WCED pada tahun 1987 juga mencakup pengertian bahwa kalangan industri
sudah harus mulai mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan yang
dilaksanakan secara efektif. Selanjutnya diselenggarakan "United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED)" di Rio de Janeiro pada
tahun 1992.
Menindaklanjuti gagasan tersebut, lnggris mengeluarkan baku-mutu
pengelolaan lingkungan yang pertama kali di dunia pada tahun 1992, yaitu British
Standard (BS) 7750. Komisi Uni Eropa mulai memberlakukan Eco-Management
and Audit Scheme (EMAS) pada 1993. Dengan diberlakukannya EMAS, BS 7750
direvisi dan kembali ditetapkan pada tahun 1994. Beberapa negara Eropa yang lain
juga mulai mengembangkan standardisasi pengelolaan lingkungan.
Di tingkat internasional, dengan dorongan kalangan dunia usaha
"International Standardization Organization" (ISO) dan International
Electrotechnical Commission (IEC) membentuk "Strategic Advisory Group on the
Environment" (SAGE) pada bulan Agustus 1991. SAGE merekomendasikan kepada
ISO akan perlunya suatu Technical Committee (TC) yang khusus bertugas untuk
mengembangkan suatu seri standar pengelolaan lingkungan yang berlaku secara
internasional.
Pada tahun 1993, ISO membentuk TC 207 yang khusus bertugas
mengembangkan baku-mutu (standar) lingkungan yang dikenal sebagai ISO seri
14000. Standar yang dikembangkan mencakup rangkaian enam aspek, yaitu:

1. Environmental Management System (EMS).


2. Environmental Auditing (EA).
3. Environmental Labelling (EL).
4. Environmental Performance Evaluation (EPE).
5. Life Cycle Analysis (LCA).
6. Term and Definitions (TD).

Beberapa pokok pemikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan elemen-elemen dari suatu sistem pengelolaan lingkungan


yang efektif dan dapat dipadukan dengan persyaratan pengelolaan
lainnya.
2. Membantu tercapainya tujuan ekonomi dan lingkungan dengan
meningkatkan kinerja lingkungan dan menghilangkan serta mencegah
terjadinya hambatan dalam perdagangan.
3. Tidak dimaksudkan sebagai hambatan perdagangan non-tarif atau untuk
mengubah ketentuan-ketentuan hukum yang harus ditaati.
4. Dapat diterapkan pada semua tipe dan skala organisasi.
5. Agar tujuan dan sasaran lingkungan dapat tercapai maka harus didorong
dengan penggunaan Best Practicable Pollution Control Technology
(Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang Praktis) dan Best
Available Pollution Control Technology EconomicaIly Achieveable
(Teknologi Pengendalian Pencemaran Terbaik yang layak ekonomi).
Sistem Pengelolaan Lingkungan yang dikembangkan oleh ISO mengambil model
"continual improvement" yang didefinisikan sebagai:

"Process of enhancing the environmental management system, the purpose of


achieving improvements in overall environmentaI performance, not
necessarily in the areas of activity simultaneously, resulting from continuous
efforts to improve in line with the organization's environmental policy".

Arti dari ISO seri 14000 adalah Sistem Pengelolaan Lingkungan, yang dalam
pelaksanaannya didukung oleh beberapa alat bantu (support tools) tentang:

1. Kajian pelaksanaan program lingkungan dan Sistem Pengelolaan


Lingkungan: "Environmental Audits",
2. Evaluasi kinerja lingkungan yang dicapai organisasi: "EnvironmentaI
Performance Evaluation",
3. Pemberian label lingkungan terhadap produk: "Environmental Labelling",
dan
4. Kajian tentang daur hidup produk dari bahan mentah, proses (limbah)
hingga pada produk yang tak dapat dimanfaatkan kembali (sampah), ini
disebut dengan Life Cycle Assessment.

Beberapa keuntungan yang dapat dari pelaksanaan Sistem Pengelolaan Lingkungan


adalah:
1. Optimisasi penghematan biaya dan efisiensi.
2. Mengurangi risiko lingkungan.
3. Meningkatkan citra (image) organisasi.
4. Meningkatkan kepekaan terhadap perhatian publik.
5. Memperbaiki proses pengambilan keputusan.

4.2. STANDARDISASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI BIDANG


LINGKUNGAN di Indonesia

(KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMTAK


LINGKUNGAN
Nomor: Ke- 29/BAPEDAL/05/1997).

4.2.1. KETENTUAN UMUM

1. Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan Perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya

2. Standar bidang lingkungan adalah spesifikisi teknis atau sesuatu yang


dibakukan dalam bidang lingkungan, disusun berdasarkan konsensus semua
pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kelestarian fungsi
lingkungan, kesehatan, keselamatan, perkembangan iImu pengetahuan dan
teknologi, serta berdasarkan pengalaman , perkembangan masa kini dan masa
yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
3. Standardisasi adalah proses merumuskan, merevisi, menetapkan dan
menerapkan standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama
dengan semua pihak
4. Sistem Standardisasi Nasional, yang selanjutnya disingkat SSN,
adalah Sebagai tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi,
selaras dan terpadu yang meliputi perumusan standar, penerapan standar,
pembinaan dan pengawasan standardisasi kerjasama dan
informasi standardisasi, kerjasama dan informasi standardisasi metrologi dan
akreditasi

5. Standar Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut SNI, adalah standar


yang ditetapkan dan diberlakukan kepala badan Pengendalian dampak
lingkungan setelah mendapat persetujuan dari dewan standardisasi nasional
serta berlaku secara nasional di Indonesia
6. Perumusan standar adalah proses penyusunan SNI yang menjamin konsensus
nasional antara pihak-pihak yang berkepentingan termasuk instansi
pemerintah, swasta, organisasi profesi/ usaha, kalangan ahli/ pakar, produsen,
konsumen dan pihak terkait lainnya;
7. Konsensus adalah kesepakatan pihak-pihak berkepentingan terhadap suatu
konsep standar baik, langsung maupun tidak langsung yang menyatakan tidak
berkeberatan menjadi rancangan SNI;
8. Revisi standar adalah kegiatan menyempurnakan standar sesuai dengan
kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan perumusan standar;
9. Penerapan standar adalah kegiatan menggunakan SNI sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Akreditati adalah pengakuan formal dari Komite Akreditasi Nasional, atas
nama Dewan Standardisasi Nasional berdasarkan usul Komite Akreditasi
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, kepada unit / lembaga / institusi/
organisasi/ laboratorium penguji atas kemampuannya untuk melaksanakan
kegiatan tertentu dalam standardisasi bidang lingkungan , sesuai dengan
persyaratan dan kriteria yang ditetapkan Dewan Standardisasi Nasional;
11. Sertifikasi adalah proses yang berkaitan dengan sertifikat oleh suatu unit /
lembaga / institusi /organisasi / laboratorium Penguji yang telah diakreditasi;
12. Sertifikat adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian hasil proses sertifikasi
terhadap persyaratan yang ditentukan.
13. Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan adalah proses yang berkaitan
dengan pemberian sertifikat Sistem Manajemen Lingkungan kepada unit/
lembaga /institusi /organisasi yang telah mampu menerapkan standar Sistem
manajemen Lingkugan;
14. Sertifikasi Label Lingkungan adalah proses yang berkaitan dengan pemberian
sertifikat label Iingkungan kepada unit / lembaga/ institusi/ organisasi untuk produk
atau jasa tertentu yang telah memenuhi ketentuan atau kriteria label lingkungan

15. Sertifikasi Hasil Uji adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat
yang menyatakan hasil pengujian atas contoh uji sesuai dengan
spesifikasi/metode uji/standar tertentu;
16. Sertifikasi Auditor Lingkungan adalah Proses yang berkaitan dengan pemberian
sertifikat yang menyatakan bahwa seseorang telah memiliki kualifikasi Auditor
Lingkungan;
17. Lembaga Sertifikasi adalah lembaga yang netral, baik pemerintah maupun
swasta, yang telah diakreditasi untuk Melaksanakan sertifikasi tertentu:
18. Laboratorium Penguji adalah suatu laboratorium, yang akreditasi oleh Komite
Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan sertifikasi Hasil Uji berdasarkan
ruang lingkup akreditasi yang ditetapkan;
19. Sistem Manajemen Lingkungan adalah bagian dari keseluruhan sistem
manajemen yang meliputi struktur organisasi , perencanaan kegiatan tanggung
jawab, praktek/ pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya untuk
mengembangkan, menerapkan, mencapai, mengkaji dan memelihara
kebijaksanaan lingkungan;
20. Audit Lingkungan adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara
sistematik, terdokumentasi, periodik dan objektif tentang bagaimana suatu
kinerja organisasi , sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan
memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian
dampak lingkungan dan pengkajian Penataan kebijakan usaha atau kegiatan
terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan;
21. Auditor lingkungan adalah individu Yang telah disertifikasi menurut
kualifikasi tertentu yang ditetapkan dan/ atau ditugaskan untuk melaksanakan
sebagian atau seluruh fungsi yang berkaitan dengan penilaian suatu unit / institusi
/produk / jasa dalam rangka kegiatan standardisasi bidang lingkungan;

22. Label lingkungan adalah pernyataan atau tanda lingkungan dari produk atau
jasa yang menyatakan bahwa produk / jasa tersebut sesuai dengan ketentuan
kriteria yang ditetapkan,
23. Dewan Standardisasi Nasional, yang selanjutnya disebut DSN, adalah dewan
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 1984 jo
Keputusan Presiden Nomor 7 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional;
24. Komite Akreditasi Nasignal, yang selanjutnya disingkat KAN, adalah suatu
wadah non struktural yang bertugas untuk mengkoordinasikan,
mensinkronisasikan, membina dan mengawasi kegiatan akreditasi dan
sertifikasi di Indonesia yang berkedudukan di bawah dan bertanggung-jawab
kepada DSN.

25. Komite Akreditasi Badan Pengendalian Dampak Lingkunngan, yang


selanjutnya disebut Komite Akreditasi BAPEDAL adalah suatu wadah non
struk-tural di lingktungan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang
dibentuk sesuai dengan tugas, persyaratan dan kriteria yang ditetapkan DSN
26. Logo Akreditasi adalah logo KAN sebagaimana ditetapkan dalam pedoman
DSN;
27. Kepala adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

28. Badan Pengendalian DAMPAK Lingkungan, yang selanjutnya disebut


BAPEDAL, adalah suatu Lembaga Pemerintah Non Departernen yang bertugas
untuk mengendalikan dampak lingkungan yang meliputi pencegahan dan
penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta pemulihan
kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang
berlaku.

4.2.2. Kegiatan standardisasi

a. Perumusan dan pelaksanaan program standardisasi berdasarkan


Kebijaksanaan Standardisasi Nasional yang ditetapkan oleh DSN.
b. Penyusunan dan penetapan tatalaksana dan sistem kelembagaan
standardisasi.
c. Perumusan konsep standar bidang lingkungan untuk dikonsensuskan
menjadi rancangan SNI yang kemudian diajukan kepada DSN untuk
memperoleh persetujuan menjadi SNI.
d. Perumusan dan penetapan peraturan serta pedoman penerapan SNI.
e. Penyelenggaraan kerjasama teknis, pembinaan, pengawasan dan
peningkatan kemampuan teknis dalam rangka penerapan SNI.
f. Penyelenggaraan hubungan internasional dengan koordinasi
DSN, publikasi, publisitas, popularisasi, pendidikan dan pelatihan
standardisasi.
g. Pelaksanaan penilaian terhadap pemohon akreditasi atas dasar
penugasan yang diberikan oleh KAN.
h. Penyusunan panduan teknis operasional Komite Akreditasi
BAPEDAL dan persyaratan lembaga sertifikasi serta laboratorium penguji
berdasarkan persyaratan dan pedoman yang ditetapkan DSN.

4.2.3. STANDARDISASI BIDANG LINGKUNGAN

Penyusunan Program Kebijaksanaan Standardisasi

(1). BAPEDAL menyampaikan informasi rencana pelaksanaan kegiatan dan


mengajukan usulan program standardisasi kepada DSN sebagai baban untuk
menyusun program dan/atau kebijaksanaan standardisasi nasional.
(2). BAPEDAL memberikan tanggapan, masukan dan saran kepada DSN terhadap
konsep kebijaksanaan dan Standardisasi nasional khususnya bidang lingkungan,
(3). BAPEDAL menyusun kebijaksanaan dan/atau program staridardisasi sesuai
dengan kebijaksanaan dan program standardisasi nasional yang ditetapkan DSN.
(4). BAPEDAL mengkoordinasikan pelaksanaan perumusan standar bidang
lingkungan.
(5). Rancangan standar bidang lingkungan disusun dengan memperhatikan:
a. Upaya menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan.
b. Standar internasional atau standar lain di bidang lingkungan.
c. Efisiensi dan efektifitas penggunaan standar dalam rangka mencapai
tujuan pelestarian fungsi lingkungan,
d. Antisipasi diberlakukannya ketentuan-ketentuan lingkungan dalam
perdagangan.
Prosedur Perumusan Standar

(1) Prosedur perumusan standar bidang lingkungan dilaksanakan sesuai


dengan SSN yang ditetapkan oleh DSN.
(2) Dalam melaksanakan perumusan standar sesuai dengan prosedur,
BAPEDAL, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, instansi pemerintah,
suasta, organisasi profesi / usaha, kalangan ahli/ pakar, produsen, konsumen,
dan pihak terkait lainnya.
(3) Konsep standar yang telah dirumuskan olehh Panitia Teknis
Perumusan Standar disebar-luaskan oleh BAPEDAL kepada instansi terkait lainnya
yang bukan anggota panitia teknis untuk memperoleh tanggapan dan masukan.

(4) Waktu penyebarluasan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima)


hari sebelum Forum Konsensus diselenggarakan.
(5) Tanggapan dan masukan harus sudah diterima oleh Panitia Teknis
Perumusan Standar paling lambat 14 hari sebelum Forum Konsensus
diselenggarakan.

4.2.4. Forum Konsensus

(1) Forum konsensus adalah forum untuk membahas konsep standar untuk
mencapai kesepakatan menjadi rancangan SNI.
(2) Forum konsensus yang dibentuk oleh BAPEDAL terdiri atas PanitiaTeknis
Perumusan Standar dan pihak- lainnya yang berkepentingan.
(3) Ketentuan lebih rinci mengenai Fonun Konsensus ditetapkan lebih lanjut oleh
Kepala.

4.2.5. Penetapan dan penerapan SNI

(1) BAPEDAL menyampaikan rancangan SNI sebagaimana dimaksud dalam


pasal 6 kepada DSN untuk mendapat persetujuan menjadi SNI.
(2) Berdasarkan persetujuan DSN, kepala menetapkan, mensahkan dan
memberlakukan SNI.
(3) SNI dapat diberlakukan sebagai SNI wajib atau sukarela.
(4) Penerapan SNI wajib ditentukan oleh Kepala.
(5) Penerapan SNI sukarela dapat ditetapkan penerapannya seara wajib atas
pertimbangan lingkungan, teknis, ekonomis atau pertimbangan lainnya.

4.2.6. Peninjauan Kembali SNI

(1) SNI ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun sekali atau setiap saat apabila
diperlukan.

(2) Peninjauan kembali dapat berupa perubahan atau tanpa perubahan atau
pencabutan.
(3) Peninjauan kembali dapat diajukan oleh masyarakat maupun Panitia Teknis
Perumusan Standar kepada Kepala dan dilaksanakan atas pertimbangan lingkungan,
teknis, ekonomis atau pertimbangan lainnya.

(4) Peninjauan kembali dilaksahakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan DSN.
(5) Berdasarkan persetujuan DSN, Kepala menetapkan, mensahkan dan
memberlakukan perubahan SNI.

4.2.7. AKREDITASI BIDANG LINGKUNGAN

Komite Akreditasi BAPEDAL

(1) Akreditasi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan, Lembaga


Sertifikasi Label Lingkungan, Lembaga Sertifikasi Auditor Lingkungan dan
Laboratorium Penguji dilaksanakan oleh KAN atas nama DSN berdasarkan usul
Komite Akreditasi BAPEDAL.
(2) Komite Akreditasi BAPEDAL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
beranggotakan wakil dan unit-unit terkait di BAPEDAL dan Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup serta dan kalangan pakar, asosiasi profesi dan pihak
terkait lainnya.
(3). Struktur organisasi Komite Akreditasi BAPEDAL sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) akan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan DSN.

Prosedur Umum Pemberian Akreditasi


(1) Lembaga Sertifikasi / Laboratorium mengajukan permohonan kepada KAN
untuk mendapatkan akreditasi dengan tembusan kepada Komite Akreditasi
BAPEDAL.
(2) Atas Penugasan KAN, Komite Akreditasi BAPEDAL melakukan penilaian
sesuai dengan permohonan yang diajukan berdasarkan pedoman yang
ditetapkan DSN.
(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Komite
Akreditasi BAPEDAL menyampaikan rekomendasi dan berkas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada KAN.
(4) Berdasarkan hasil penilaian Komite Akreditasi BAPEDAL, KAN atas nama
DSN memberikan penjelasan tertulis kepada Lembaga Sertifikasi /
Laboratorium Penguji pemohonan yang belum mampu memenuhi persyaratan
yang ditetapkan.
(5) KAN atas nama DSN memberikan akreditasi kepada Lembaga Sertifikasi /
Laboratorium Penguji pemohonan yang telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
(6) Lembaga Sertifikasi / Laboratorium penguji yang telah diakreditasikan oleh
KAN berhak untuk menggunakan logo akreditasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi akan ditetapkan oleh Kepala sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan DSN.

4.2.8. SERTIFIKASI LINGKUNGAN

Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan, Sertifikasi Label Lingkungan,


Sertifikasi Hasil Uji serta Sertifikasi auditor Lingkungan dilaksanakan oleh lembaga-
lembaga Sertifikasi.
a. Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga
Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan
b. Sertifikasi Label Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Label
Lingkungan
c. Sertifikasi Auditor Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi
Personil Lingkungan.
d. Sertifikasi Hasil Uji dilaksanakan oleh Laboratorium Penguji.
Lembaga Sertifikasi laboratorium penguji adalah lembaga yang
diakreditasikan oleh KAN atas nama DSN berdasarkan usul Komte Akreditasi
BAPEDAL untuk melaksanakan kegiatan sertifikasi tertentu.
Lembaga Sertifikasi dan laboratorium penguji harus menyampaikan laporan
mengenai semua kegiatan yang berhubungan dengan Sertifikasi kepada Komite
Akreditasi BAPEDAL untuk diteruskan kepada KAN.

Prosedur Umum Pemberian Sertifikasi

(1) Unit / Lembaga / institusi / organisasi / personil mengajukan permohonan


kepada lembaga Sertifikasi untuk mendapatkan Sertifikasi tertentu.
(2) Lembaga Sertifikasi melakukan penilaian sesuai dengan pemohonan yang
diajukan oleh unit / lembaga / institusi / organisasi/personil berdasarkan
persyaratan Sertifikasi yang telah ditetapkan.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan oleh tim
auditor lingkungan seseai kriteria yang telah ditetapkan.
(4) Atas dasar penilaian seperti tersebut dalam ayat (3) lembaga Sertifikasi
memberikan keputusan hasil penilaian terhadap permohonan Sertifikasi.
(5) Lembaga Sertifikasi memberikan Serfifikasi kepada
unit/lembaga/institusi/organisasi/personil pemohonan sertifikat yang
mampu memenuhi persyaratan Sertifikasi yang telah ditetapkan.
(6). Lembaga sertifikasi memberikan penjelagan tertulis tentang
ketidaksesuaian yang ditemukan dalam penilaian kepada organisasi /
perusahaan /unit /personil / pemohon sertifikat yang belum mampu
memenuhi persyaratan sertifikasi yang telah ditetapkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi oleh KAN atas nama DSN
berdasarkan usul Komite Akreditasi BAPEDAL sesuai dengan Pedoman
yang ditetapkan-DSN.

Prosedur Umum Pemberian Sertifikat Hasil Uji Laboratoriurn


(1) Unit / Lembaga / institusi/organisasi/personil mengajukan permohonan
kepada Laboratorium Penguji untuk mendapatkan sertifikat.
(2). Laboratorium Penguji melakukan pengujian sesuai dengan permohonan yang
diajukan oleh unit / lembaga / instusi / organisasi/ personil berdasarkan
standar yang telah ditetapkan.
(3). Pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan oleh tim
penguji/analis sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
(4). Laboratorium Penguji memberikan sertifikat hasil uji kepada unit/ lembaga /
instansi / institusi / organisasi /personil yang mengajukan permohonan
pengujian sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
(5). Atas dasar pengujian seperti ayat (3) laboratorium penguji memberikan hasil
pengujian kepada pemohonan tidak memenuhi standar atau kriteria yang telah
ditetapkan.

Lembaga sertifikasi menjamin bahwa suatu unit / lembaga /institusi /


organisasi / personil yang telah memperoleh Sertifikat selalu dapat memelihara
kesesuaian standar yang diacu selama sertifikat tersebut masih berlaku, dengan
melakukan pemeriksaan secara berkala dan sewaktu- waktu sesuai dengan pedoman
yang telah ditetapkan DSN.

4.2.9. Label Lingkungan

Unit / lembaga /Institusi/organisasi yang telah mempunyai sertifikat dari


Lembaga Sertifikasi berhak untuk mendapatkan surat tanda pendaftaran dan
membubuhkan label lingkungan ataupun nomor SNI yang sesuai pada produk atau
penjelasan profil organisasi / jasa untuk jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan
Label lingkungan serta Nomor SNI diberlakukan oleh Kepala atas persetujuan
DSN.

V. SISTEM PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Berdasarkan pengalaman dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengelolaan


lingkungan selama ini, dipandang perlu untuk menyusun suatu sistem pengelolaan
lingkungan yang memberikan sarana lebih terstruktur dalam mencapai target
pengelolaan lingkungan.
Sistem Pengelolaan Lingkungan dapat diartikan sebagai integrasi dari struktur
organisasi, wewenang dan tanggung jawab, mekanisme dan prosedur/proses, praktek
operasional, dan sumberdaya untuk implementasi pengelolaan lingkungan.
Pengelolaan lingkungan meliputi segenap aspek fungsional pengelolaan untuk
mengembangkan, mencapai, dan menjaga kebijakan dan tujuan organisasi dalam isu-
isu lingkungan hidup.
Sistem Pengelolaan Lingkungan memberikan mekanisme untuk mencapai dan
menunjukkan kinerja lingkungan yang baik, melalui upaya pengendalian dampak
lingkungan dari kegiatan, produk dan jasa.
Agar dapat diimplementasikan secara efektif, Sistem Pengelolaan Lingkungan
harus mencakup beberapa elemen utama sebagai berikut:
1. Kebijakan lingkungan: pernyataan tentang maksud kegiatan pengelolaan
lingkungan dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mencapainya.
2. Perencanaan; mencakup identifikasi aspek lingkungan dan persyaratan
peraturan lingkungan hidup yang bersesuaian, penentuan tujuan pencapaian
dan program pengelolaan.
3. lmplementasi; mencakup struktur organisasi, wewenang dan tanggung
jawab, pelatihan, komunikasi, dokumentasi, pengendalian dan tanggap
darurat.
4. Pemeriksaan reguler dan tindakan perbaikan: mencakup pemantauan,
pengukuran, dan audit.
5. Kajian pengelolaan; kajian tentang kesesuaian dan efektifitas sistem untuk
mencapai tujuan dan perubahan yang terjadi di luar organisasi.

Setiap organisasi, tanpa batasan bidang kegiatan, jenis kegiatan, skala kegiatan
dan status organisasi, dapat mengimplementasikan Sistem Pengelolaan Lingkungan
tersebut untuk mencapai kinerja lingkungan yang lebih baik secara sistematis.
lmplementasi sistem tersebut bersifat sukarela dan berperan sebagai alat pengelolaan
untuk memanajemen organisasi masing-masing.

5.1. AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan

Setiap kegiatan pembangunan secara potensial mempunyai dampak terhadap


lingkungan. Dampak-dampak ini harus dipelajari untuk merencanakan upaya
mitigasinya. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 (PP 51/1993) tentang Analisis
Mengenal Dampak Lingkungan (AMDAL) menyatakan bahwa studi tersebut harus
merupakan bagian dari studi kelayakan dan menghasilkan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
1. Kerangka Acuan (KA) ANDAL, yang memuat lingkup studi ANDAL yang
dihasilkan dari proses pelingkupan.
2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), yang merupakan inti studi
AMDAL. ANDAL memuat pembahasan yang rinci dan mendalam tentang
studi terhadap dampak penting kegiatan yang diusulkan.
3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), yang memuat usaha-usaha yang
harus dilakukan untuk mitigasi setiap dampak lingkungan dari kegiatan
yang diusulkan.
4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), yang memuat rencana
pemantauan dampak lingkungan yang akan timbul.

RKL dan RPL merupakan persyaratan mandatory menurut PP 51/1993,


sebagai bagian kelengkapan dokumen AMDAL bagi kegiatan wajib AMDAL. Untuk
kegiatan yang tidak wajib AMDAL, penanggulangan dampak lingkungan yang
timbul memerlukan:
1. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
2. Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
3. Pertanggung-jawaban pelaksanaan audit, antara auditor dan manajemen
organisasi.
4. Komunikasi temuan-temuan audit.
5. Kompetensi audit.
6. Bagaimana audit akan dilaksanakan.

Sebagai dasar pelaksanaan Audit Lingkungan di Indonesia, telah dikeluarkan


Kepmen LH No. 42/MENLH/11/1994 tentang Prinsip-Prinsip dan Pedoman Umum
Audit Lingkungan. Dalam Lampiran Kepmen LH No. 41/94 tersebut didefinisikan
bahwa:

"Audit lingkungan adalah suatu alat pengelolaan yang meliputi evaluasi


secara sistematik terdokumentasi, periodik dan obyektif tentang bagaimana
suatu kinerja organisasi, sistem pengelolaan dan pemantauan dengan tujuan
memfasilitasi kontrol pengelolaan terhadap pelaksanaan upaya pengendalian
dampak lingkungan dan pengkajian kelayakan usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan".

"Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat


pengelolaan yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau kegiatan
sebagai tanggungjawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit
lingkungan bukan merupakan pemeriksaan resmi yang diharuskan oleh suatu
peraturan perundang-undangan, melainkan suatu usaha proaktif yang
diIaksanakan secara sadar untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan
yang akan timbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya".

Peraturan tersebut menggaris-bawahi pentingnya implementasi suatu sistem


pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan kinerja lingkungan. Hal ini selaras
dengan substansi dari ISO seri 14000.

5.2. Produksi Bersih dalam Pengelolaan Lingkungan

Berdasarkan pengalaman pelaksanaan upaya pengendalian dampak


lingkungan selama ini, dapat dikaji beberapa pokok penting sebagai berikut:
1. Produksi limbah terus meningkat.
2. Karakteristik limbah semakin kompleks sehingga limbah semakin sulit
diolah.
3. Biaya pengolahan dan pembuangan limbah semakin mahal.
4. Mengolah limbah ternyata lebih mahal daripada mencegah terbentuknya
limbah.
5. Pengolahan limbah hanya memindahkan limbah dari satu media ke media
lainnya.
6. Pencemaran lingkungan terus berlanjut.
7. Peraturan yang ada masih terfokus pada pengolahan dan pembuangan
limbah dan belum mencakup usaha-usaha pencegahannya.
8. Adanya dampak globalisasi terhadap daya saing produk di pasar
lnternasional.

Berdasarkan hal~hal tersebut di atas, maka pengendalian dampak lingkungan


harus berpola proaktif dengan urutan prioritas:
1. Prinsip pencegahan pencemaran (pollution prevention)
2. Pengendalian pencemaran (pollution control),
3. Remediasi (remediation).

Upaya pencegahan pencemaran secara sistematik dapat dilaksanakan melalui


pelaksanaan program Produksi Bersih (Cleaner Production). lstilah Cleaner
Production mulai diperkenalkan oleh UNEP pada bulan Mei 1989 dan diajukan
secara resmi pada bulan September 1990 pada "Seminar on the Promotion of Cleaner
Production" di Cantebury, lnggris.
UNEP mendefinisikan Produksi Bersih sebagai:

"Pelaksanaan yang terus menerus untuk mengurangi sumber pencemaran


secara terpadu guna mencegah pencemaran udara, air dan tanah pada proses
industri dan produknya, serta meminimalkan risiko bagi populasi manusia dan
lingkungan”.

Untuk “proses”, produksi bersih mencakup upaya penghematan bahan baku


dan energi, tidak menggunakan bahan baku B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun),
mengurangi jumlah toksik semua limbah dan emisi yang dikeluarkan sebelum produk
meninggalkan proses.
Untuk “produk”, produksi bersih memfokuskan pada upaya pengurangan
dampak yang timbul di keseluruhan daur hidup produk, mulai dari ekstraksi bahan
baku sampai pembuangan akhir setelah produk tidak dapat digunakan lagi.
Strategi produksi bersih mencakup upaya pencegahan pencemaran melalui
pilihan jenis proses yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup,
dan teknologi bersih.
Keuntungan yang didapat melalui penerapan produksi bersih adalah:
1. Sebagai pedoman bagi perbaikan produk dan proses.
2. Penghematan bahan baku dan energi yang sekaligus pengurangan ongkos
produksi per satuan produk.
3. Peningkatan daya saing mefalui penggunaan teknologi baru dan/atau
perbaikan teknologi.
4. Pengurangan kebutuhan bagi penaatan baku mutu dan peraturan yang lebih
banyak.
5. Perbaikan citra perusahaan di mata masyarakat.
6. Pengurangan biaya secara nyata sebagai alternatif solusi pengolahan “ujung
pipa” yang mahal.
VI. BAKU MUTU LINGKUNGAN

6.1. Konsep dan Pengertian

Baku mutu air pada sumber air, disingkat baku mutu air, adalah batas kadar
yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam air, naun air tetap
berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber
air , sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu air.
Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan terhadap
makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda
Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara, sehingga tidak
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien
Baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau
komponen lain yang ada atau harus ada , dan zat atau bahan pencemar yang
ditenggang adanya dalam air laut.

6.2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri


(KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN RIDUP,
NOMOR: KEP-03/MENLH/l/1998)

Dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat


bagi manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap
pembuangan limbah cair ke media lingkungan. Kegiatan pembuangan limbah cair
oleh kawasan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan
hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian.
Untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah
ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendatian Pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut Baku Mutu Limbah Cair.
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola
oleh Perusahaan Kawasan hidustri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan
pengembangan dan/atau pengelolaan Kawasan Industri.
Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum
limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingk-ungan hidup dari suatu
Kawasan Industri.
Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh
kegiatan Kawasan Industri yang dibuang ke lingkungan hidup dan diduga dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup.

Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit,
kadar dan beban pencemar.
Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan hidup.

Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolebkan dibuang ke


lingkungan hidup.
Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih
diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup.
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah mempunyai Unit
Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini. Bagi
Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat berlaku
Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit
limbah maksimum sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini dapat dilampaui
sepanjang beban pencemaran maksimum tidak dilampaui (Pasal 2).
Gubemur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini dengan persetujuan
Menteri (Pasal 3).
Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini. Apabila Gubemur tidak
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair yang lebih ketat maka berlaku Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini. (Pasal 4).
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri
mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri tersebut
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan (Pasal 5 ).

Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan lndustri wajib untuk (Pasal 6):
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang
dibuang ke lingkungan hidup tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah
ditetapkan;

b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga


tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan;
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair secara periodik
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan;
e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan limpasan air
hujan;

f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai, catatan debit


harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sekurang-kurangnya 6
bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda
Tingkat II, Instansi Teknis yang membidangi kawasan industri, dan instansi
lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Setiap penanggungjawab Perusahaan Kawasan industri dilarang melakukan


pengenceran limbah cair (Pasal 7).
Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan kawasan industri telah ditetapkan
sebelum Keputusan ini maka (Pasal 8):
(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;

(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar daripada Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini wajib disesuaikan
dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan
ini.
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN


MAKSIMUM
(mg/liter) (kg/hari.Hari)
BOD5 50 4.3
COD 100 8.6
TSS 200 17.2
pH 6.0 - 9.0
DEBIT LIMBAH CAIR MAKSIMUM: 1 L per detik per HA lahan kawasan yang
terpakai.

PERHITUNGAN BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM UNTUK


MENENTUKAN MUTU LIMBAH CAIR

Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui
penetapan beban pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
didasarkan pada juralah unsur pencemar yang terkadung dalam aliran limbah cair.
Untuk itu digunakan perbitungan sebagai berikut :

Beban Pencemaran Maksimum (BPM)

BPM = (Cm)j x Dm x A x f........................ (II. 1. 1)

Keterangan :

BPM = Beban Pencemaran Maksimum yang diperbolehkan, dinyatakan dalam kg


parameter per hari
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam Lampiran I
Keputusan ini, dinyatakan dalam mg/I.
Dm = Debit limbah cair maksimum seperti tercantuin dalam Lampiran 1, dinyatakan
dalam L limbah cair per detik per hektare.
A = Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hektare (HA)
f = faktor konversi =

1 kg 24 x 3600 detik
--------------------x -------------------------- = 0.086 …. (II.1.2)
1.000.000 mg hari

2. Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut

BPA = (CA)j x (DA) x f ................. (II.2. 1)

Keterangan

BPA = Beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per hari


(CA)j = Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l
DA = Debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik
f = faktor konversi = 0,086

3. Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :

BPA tidak boleh melewati BPM

4. Contoh Penerapan

Data yang diambil dari lapanan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair Kawasan
Industri adalah:
- Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hektare,ha]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/liter]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]

Contoh perhitungan:
Suatu kawasan industri mempunvai luas lahan kawasan terpakai 1.500 hektar.
Parameter dari Lampiran 1 yang akan dijadikan contoh perhitungan adalah
parameter (j) BOD.

Dari Lampiran 1 diketahui :

- Debit maksimum yang diperbolehkan (Dm) = 1 liter/detik/ha

- Untuk parameter BOD diketahui:

Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter

- Beban maksimum yang diperbolehkan = 4.3 kg/hari/ha

Data Lapangan:

- Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter


- Debit hasil pengukuran (DA) = 1000 liter/detik
- Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1500 ha.

Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk


kawasan industri tersebut (persamaan II.1.1) adalah:

BPM = Cm x Dm x f x A
= 50 x 1 x 0.086 x 1.500
= ( 4.3 kg/hari/ha ) x 1.500 ha
= 6.450 kg/hari

Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri tersebut


(persamaan ll.2.1) adalah:

BPA = CA x DA x f = 60 x 1.000 x 0.086 = -;.160 ka',iarl

Dari contoh di atas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450 kg/hari),
jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut menenuhi Baku Mutu Limbah .
PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG
NOMOR 12 TAHUN 2010
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERIKANAN DAN
KELAUTAN
DI KABUPATEN TULUNGAGUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI TULUNGAGUNG,
Menimbang : a. bahwa sebagai kekayaan alam hayati daerah maka usaha
perikanan dan kelautan perlu ditata dan dikendalikan
sehingga terwujud ketertiban dan pemerataan kesempatan
berusaha di bidang perikanan dan kelautan yang akan
berdampak pada peningkatan kehidupan nelayan dan
pembudidaya ikan sekaligus memberikan manfaat sebesarbesarnya
bagi perkembangan perekonomian daerah;
b. bahwa upaya penataan, pengendalian dan pemanfaatan
sumberdaya ikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
diwujudkan melalui pembentukan regulasi di bidang perijinan
usaha perikanan, perlindungan serta pengawasannya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, maka perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Usaha Perikanan dan
Kelautan di Kabupaten Tulungagung.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan
Provinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 9) ;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3207);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3260);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5073);
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5049 );
10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4230);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota;
13. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.12/
MEN/ 2007 tentang Perijinan Usaha Pembudidaya Ikan;
14. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.05/
MEN/ 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap;
15. Keputusan Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan Nomor 45
Tahun 2000 tentang Perijinan Usaha Penangkapan Ikan;
16. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.10/
MEN/ 2003 tentang Perijinan Usaha Penangkapan Ikan;
3
17. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.38/
MEN/ 2003 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan;
18. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
KEP.30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan
Rumpon;
19. Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 5 Tahun
2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Daerah Kabupaten Tulungagung.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN TULUNGAGUNG
dan
BUPATI TULUNGAGUNG
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN
TULUNGAGUNG
TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERIKANAN DAN
KELAUTAN DI KABUPATEN TULUNGAGUNG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Tulungagung.
2. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Tulungagung.
4. Bupati adalah Bupati Tulungagung.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tulungagung.
6. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung.
7. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan Lingkungan mulai dari praproduksi,
produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam
suatu system bisnis perikanan.
8. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk
menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan,
mendinginkan atau mengawetkan untuk tujuan komersial.
9. Perusahaan perikanan adalah perusahaan yang melakukan usaha perikanan
dan dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum
Indonesia.
4
10. Usaha penangkapan ikan adalah, kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan
yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan untuk tujuan
komersil.
11. Usaha pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan
atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya dengan alat atau cara apapun,
termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan, atau mengawetkannya untuk
tujuan komersil.
12. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta
penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan
yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk
mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati.
13. Pengendalian adalah suatu kegiatan dan atau perlakuan yang tetap menjamin
kelestarian sumberdaya secara kesinambungan, berkeadilan
14. Pengawasan adalah suatu kegiatan dan atau perlakuan yang dapat menjaga
segala usaha pengelolaan sumber daya berjalan sesuai ketentuan untuk
kesejahteraan masyarakat.
15. Usaha pengumpulan atau penampungan hasil perikanan adalah, kegiatan
untuk mengumpulkan dana menampung hasil perikanan selama jangka waktu
tidak lebih dari 90 hari termasuk kegiatan memelihara, mengangkut,
mendinginkan atau mengolah hasil perikanan dengan cara dan alat apapun
untuk tujuan komersil.
16. Sumber Daya pesisir dan Pulau – Pulau kecil adalah sumber daya hayati,
sumber daya nonhayati sumber daya buatan dan jasa – jasa Lingkungan;
sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove
dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar
laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan dan jasa – jasa lingkungan berupa keindahan alam,
permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan
dan perikanan serta energi gelombang laut yang tedapat di wilayah pesisir.
17. Usaha Eksplorasi Kelautan adalah semua kegiatan penyelidikan dan
penjajakan kekayaan laut ataupun kandungan laut.
18. Usaha Eksploitasi Kelautan adalah semua usaha yang berhubungan dengan
kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut non ikan.
19. Hasil perikanan adalah, semua jenis ikan dan biota air lainnya yang dapat
dipakai sebagai bahan makanan manusia, kesenangan atau pelihara untuk
dibesarkan.
20. Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis
yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan
dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.
21. Pembudidaya ikan adalah, orang yang mata pencahariannya bersumber dari
usaha pembudidayaan ikan.
22. Nelayan adalah, orang yang mata pencahariannya bersumber dari usaha
penangkapan ikan.
23. Korporasi adalah kumpulan orang dan / atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
5
24. Rumpon adalah, alat bantu pengumpul ikan yang berupa benda atau struktur
yang dirancang atau yang dibuat dari bahan alami atau buatan yang
ditempatkan secara tetap atau sementara pada perairan laut.
25. Izin pemasangan rumpon adalah izin tertulis yang harus dimiliki oleh setiap
orang atau perusahaan perikanan untuk memasang rumpon sebagai upaya
untuk meningkatkan pendapatan dan/atau produksi perikanan.
26. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di
sekitarnya dengan batas – batas tertentu sabagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang di pergunakan
sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/ atau bongkar muat
ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjang perikanan.
27. Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lain yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkatan ikan, pengolahan ikan,
pelatihan perikanan, penelitian / eksplorasi dan ekspolitasi perikanan.
28. Perahu adalah alat apung yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan
ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkut
ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/ eksplorasi perikanan dengan tidak
menggunakan motor penggerak.
29. Kapal perikanan bermotor luar (out board) dan/ atau kapal motor tempel adalah
kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan termasuk menampung, menyimpan, mendinginkan atau
mengawetkan dengan menggunakan mesin penggerak di luar kasko kapal.
30. Kapal penangkap ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk
menangkap ikan termasuk menampung, menyimpan, mendinginkan atau
mengawetkan.
31. Kapal pengangkut ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk
mengangkut ikan termasuk memuat, menampung, menyimpan, mendinginkan
atau mengawetkan.
32. Surat Izin Penangkapan Ikan yang selanjutnya disebut SIPI adalah izin tertulis
yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.
33. Pengujian Kapal Perikanan adalah segala kegiatan pemeriksaan atau
pengukuran terhadap besaran, jenis, tipe, dan mesin kapal termasuk peralatan
bantu dan alat penangkap ikan yang ada di kapal.
34. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan yang selanjutnya disingkat SIKPI adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan
pengangkutan ikan.
35. Surat Izin Pemanfaatan Jasa Kelautan yang selanjutnya disingkat SIPJK
adalah surat yang harus dimiliki oleh orang atau korporasi yang melakukan
kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi yang meliputi usaha pemasangan rumpon,
penanaman, atau pemasangan kabel atau pipa serta pemancangan tiang
dengan sarana dan prasarana lainnya.
36. Surat Keterangan Pengujian Kapal Perikanan, yang selanjutnya disingkat
SKPKP adalah surat yang harus dimiliki oleh setiap pemilik kapal sebagai salah
satu persyaratan dikeluarkannya perizinan kapal perikanan dari Pemerintah
Daerah.
37. Laboratorium adalah Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil
Perikanan yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dinas/ instansi yang
membidangi Kelautan dan Perikanan.
6
38. Standard Mutu adalah nilai suatu produk yang memenuhi persyaratan identitas,
hygienis, kimiawi, keseragaman mengenai ukuran berat atau isi, jumlah, rupa,
label dan sebagainya.
39. Sertifikat Mutu adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh dinas/instansi
yang membidangi kelautan dan perikanan Provinsi Jawa Timur Cq.
Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan yang
menerangkan bahwa suatu produk akhir yang akan diekspor atau antar pulau
telah memenuhi standard mutu.
40. Ekspor Hasil Perikanan adalah perdagangan hasil-hasil perikanan ke luar
negeri baik langsung maupun tidak langsung dari wilayah daerah.
41. Surat Keterangan Asal (SKA) adalah surat yang menerangkan asal-usul dan
mutu hasil perikanan yang akan dikirim keluar daerah.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang Lingkup usaha perikanan dan kelautan meliputi :
a. Usaha perikanan terdiri dari usaha penangkapan ikan dan / atau usaha kapal
pengangkut ikan dan /atau usaha pembudidayaan ikan di wilayah kewenangan
pengelolaan perikanan dan kelautan daerah;
b. Usaha Kelautan terdiri dari usaha pengangkutan hasil eksploitasi kelautan
dan/atau usaha pemasangan rumpon, penanaman, pemancangan sarana laut
di wilayah kewenangan pengelolaan perikanan dan kelautan daerah.
BAB III
WILAYAH PENGELOLAAN USAHA PERIKANAN
Pasal 3
Wilayah pengelolaan usaha perikanan dan kelautan daerah untuk penangkapan
ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi sungai, waduk , danau, rawa dan
genangan air lainnya yang dapat di usahakan untuk usaha perikanan dan perairan
laut kurang dari 4 mil diukur dari garis pantai dalam wilayah perairan daerah serta
lahan pembudidayaan ikan di daerah.
BAB IV
PENGELOLAAN PERIKANAN
Pasal 4
(1) Pengelolaan usaha perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan
dilakukan agar diperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta
terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.
(2) Pengelolaan usaha perikanan dilakukan untuk memberikan perlindungan dan
kesejahteraan bagi nelayan dan pembudidaya ikan.
7
(3) Pemerintah Daerah mengatur dan mengembangkan penggunaan sarana dan
prasarana pembudidayaan ikan dalam rangka pengembangan pembudidayaan
ikan.
Pasal 5
(1) Untuk meningkatkan produksi perikanan dan pendapatan masyarakat,
perorangan atau perusahaan perikanan dapat memasang dan/ atau
memanfaatkan rumpon;
(2) Rumpon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipasang di wilayah
perairan laut mulai dari 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut, diukur dari garis
pantai pada titik surut terendah.
BAB V
KETENTUAN PERIZINAN
Bagian Pertama
Kewajiban Memiliki SIUP
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan-kegiatan usaha
perikanan di wilayah Kabupaten Tulungagung wajib memiliki Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP).
(2) SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang usaha
penangkapan, pembudidayaan, pembenihan, penampungan, perdagangan dan
ekspor hasil perikanan.
Pasal 7
Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) meliputi :
a. Kegiatan penangkapan dan pengangkutan oleh nelayan dengan menggunakan
kapal perikanan dengan ukuran 5-10 GT atau kegiatan pengangkutan ikan
segar dengan fasilitas apapun yang memiliki kapasitas daya angkut sampai
dengan 10 (sepuluh) ton.
b. Kegiatan pembudidayaan ikan di air tawar dengan luas areal lebih dari 0,05
(nol koma nol lima) hektar untuk budidaya di kolam dan lebih dari 0,01 (nol
koma nol satu) hektar untuk budidaya di keramba atau jaring apung dan
pembudidayaan ikan dan udang atau sejenisnya di air payau dengan luas areal
lebih dari 0,1 (nol koma satu) hektar serta pembudidayaan ikan atau sejenisnya
di air laut lebih dari 0,05 (nol koma nol lima) hektar.
c. Kegiatan pengolahan hasil perikanan dengan kapasitas 5 (lima) ton perbulan.
d. Kegiatan pembenihan dengan kapasitas produksi lebih dari 10.000 (sepuluh
ribu) ekor perbulan untuk ikan hias dan 500.000 ekor untuk ikan konsumsi.
e. Kegiatan penampungan dan perdagangan hasil perikanan dengan kapasitas
lebih dari 5 (lima) ton perbulan untuk ikan segar dan ikan hidup, dan 5.000
(lima ribu) ekor ikan hias perbulan.
8
Pasal 8
(1) SIUP untuk penggunaan kapal air wajib dilengkapi dengan Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI);
(2) Dalam SIPI dicantumkan penetapan mengenai daerah penangkapan ikan dan
jenis/ ukuran alat penangkap ikan yang dipergunakan;
(3) SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 1 (satu) tahun dan
dapat diperpanjang sepanjang sarana atau prasarana usahanya masih
digunakan perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan
berbendera Indonesia maupun berbendera asing yang digunakan untuk
melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan daerah wajib
memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI ).
(2) Setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah
pengelolaan perikanan daerah wajib membawa SIKPI asli.
(3) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
membawa SIKPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi
nelayan kecil dan/atau pembudi daya ikan kecil.
Bagian Kedua
Tatacara Pemberian dan Pencabutan Izin
Pasal 10
(1) Setiap orang atau Badan Hukum yang memerlukan SIUP,SIPI dan
SIKPI harus mengajukan permohonan tertulis kepada Bupati atau pejabat
yang ditunjuk;
(2) SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Usaha penangkapan ikan;
b. Usaha budidaya ikan air tawar, air payau dan air laut;
c. Usaha budidaya di keramba/ jaring apung;
d. Usaha budidaya rumput laut dan mutiara;
e. Usaha penampungan/ pengumpulan hasil-hasil perikanan;
f. Usaha pengangkutan ikan;
g. Usaha perdagangan dan eksportir hasil-hasil perikanan;
h. Usaha pembekuan ikan/ cold storage
i. Pembenihan Ikan dan Udang;
j. Pemasangan rumpon
k. Pengolahan hasil-hasil perikanan;
l. Toko ikan/ aquarium;
(3) SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama pemegang izin
melakukan usaha perikanan dengan kewajiban mendaftar ulang (heregristasi
SIUP) setiap tahunnya;
9
(4) Penetapan mengenai daerah penangkapan ikan dan/atau jumlah serta jenis
alat penangkapan yang digunakan dan/atau jumlah serta jenis hasil perikanan
yang ditampung/ diperperdagangkan oleh setiap pemegang SIUP akan ditinjau
kembali setiap tahunnya;
(5) Perusahaan perikanan yang telah memiliki SIUP dapat melakukan perluasan
usaha perikanannya setelah mendapatkan persetujuan dari Bupati.
Pasal 11
(1) Permohonan SIUP ditolak apabila tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan;
(2) Penolakan atas permohonan SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan secara tertulis dengan disertai alasan-alasannya;
Pasal 12
(1) Bupati menetapkan jenis dan ukuran kapal perikanan atau alat tangkap yang
boleh dipergunakan dalam penangkapan ikan;
(2) Bupati menetapkan jumlah, jenis dan ukuran hasil perikanan yang
boleh diperdagangkan;
Pasal 13
(1) SIUP tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa izin tertulis dari
Bupati;
(2) SIUP perseorangan yang pemegangnya meninggal dunia masih dapat berlaku
sepanjang usahanya diteruskan oleh ahli warisnya;
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh SIUP,SIPI dan SIKPI diatur
dengan Peraturan Bupati.
Pasal 14
SIUP dapat dicabut apabila pemegang SIUP :
a. tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam SIUP;
b. melakukan perluasan usaha tanpa persetujuan dari Bupati;
c. tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha dua tahun berturut-turut atau
dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar;
d. memindahtangankan SIUP yang dimiliki tanpa persetujuan tertulis dari Bupati;
e. selama 1 (satu) tahun berturut-turut sejak SIUP diberikan tidak melaksanakan
kegiatan usahanya;
f. melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan daerah ini dan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
g. menyatakan tidak melanjutkan usahanya kembali.
10
Pasal 15
SIPI dapat dicabut dalam hal perusahaan perikanan yang bersangkutan:
a. tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum didalam SIPI;
b. tidak lagi menggunakan kapal perikanan yang ditetapkan dalam SIPI tersebut;
c. SIUP yang telah dimilikinya dicabut.
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pencabutan SIUP dan SIPI diatur dengan Peraturan
Bupati.
Bagian Ketiga
Usaha Perikanan Yang Tidak Memerlukan SIUP
Pasal 17
(1) Nelayan dan pembudidaya ikan atau perseorangan lainnya yang sifat usahanya
hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari atau untuk tujuan olah
raga tidak dikenakan kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi kegiatan
perikanan untuk tujuan penelitian dan ilmu pengetahuan atau untuk
kepentingan Dinas/ Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Pasal 18
(1) Usaha perikanan yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan diluar
kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (2) tidak diwajibkan
memiliki SIUP atau SIPI.
(2) Usaha perikanan yang tidak diwajibkan memiliki SIUP dan/atau SIPI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendaftarkan usahanya kepada
dinas yang membidangi kelautan dan perikanan.
(3) Usaha perikanan yang telah mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan Surat Tanda Daftar Perikanan yang kedudukannya disamakan
dengan SIUP dan setiap tahunnya harus didaftarkan ulang .
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemegang SIUP
Pasal 19
(1) Pemegang SIUP berhak Untuk :
a. mendapatkan bimbingan dan Pembinaan dari dinas yang membidangi
kelautan dan perikanan.
b. mendapatkan legalitas atas pengelolaan usaha kelautan dan perikanan.
(2) Pemegang SIUP diwajibkan :
a. melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP;
b. memohon persetujuan tertulis dari Bupati apabila bermaksud
memindahtangankan SIUP-nya;
c. menyampaikan laporan kegiatan usahanya setiap tahun kepada Bupati;
11
(3) Pada saat melakukan usaha perikanan, pemegang SIUP harus dapat
menunjukkan SIUP atau SIPI bila sewaktu-waktu diadakan pemeriksaan oleh
instansi yang berwenang;
(4) Dalam melaksanakan usahanya, pemegang SIUP wajib memperhatikan dan
menjaga kelestarian sumber daya perikanan yang ada agar dapat
dimanfaatkan secara maksimal dan terus-menerus;
BAB VI
KETENTUAN LARANGAN
Pasal 20
(1) Pemegang SIUP dilarang:
a. melakukan kegiatan perikanan dengan menggunakan bahan atau alat yang
dapat merusak dan/atau mencemari sumber daya perikanan dan lingkungan;
b. melakukan kegiatan perikanan di tempat berpijah pada waktu musim
memijah;
c. memasukkan dan atau mengeluarkan ikan hidup dari dan atau keluar daerah
tanpa izin Bupati.
(2) Setiap orang dan/atau korporasi di larang melakukan penangkapan ikan
dengan menggunakan listrik atau strum, bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungan di wilayah
pengelolaan ikan daerah.
(3) Setiap orang dan/atau korporasi dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan daerah.
(4) Setiap orang dan/atau korporasi dilarang membudidayakan ikan yang dapat
membahayakan sumberdaya ikan, lingkungan sumberdaya ikan, dan/atau
kesehatan manusia diwilayah pengelolaan perikanan daerah.
(5) Setiap orang dan/atau korporasi dilarang menggunakan obat – obatan dalam
pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumberdaya ikan, lingkungan
sumberdaya ikan dan/atau kesehatan manusia diwilayah pengeloaan perairan
daerah.
(6) Setiap orang dan/atau korporasi dilarang memasukkan, mengeluarkan,
mengadakan, mengedarkan dan/atau memelihara ikan yang merugikan
masyarakat, pembudidayaaan ikan, sumberdaya ikan dan/atau lingkungan
sumberdaya ikan ke dalam dan/atau keluar wilayah pengelolaan perikanan
daerah.
(7) Setiap orang dan/atau korporasi dilarang mengolah hasil perikanan dan
memproduksi hasil perikanan yang tidak memenuhi persyaratan kelayakan
pengolahan ikan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan yang
dapat membahayakan kesehatan manusia.
12
Pasal 21
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) tidak berlaku untuk
kepentingan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya yang diatur dengan peraturan
Bupati.
BAB VII
PEMBINAAN MUTU HASIL PERIKANAN
Pasal 22
(1) Setiap hasil perikanan yang diperdagangkan keluar wilayah wajib memenuhi
ketentuan pemeriksaan mutu dan kualitas pengolahan sesuai dengan
standard mutu serta dilengkapi Surat Keterangan Asal (SKA) ikan yang
diterbitkan oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan daerah.
(2) Pemeriksaan mutu dan kualitas pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui pengujian oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Jawa Timur.
(3) Hasil pengujian mutu dan kualitas pengolahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dituangkan kedalam dokumen Sertifikat Mutu.
Pasal 23
(1) Hasil perikanan yang wajib diperiksa mutu dan kualitas pengolahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) adalah :
a. Lobster, udang segar/ beku;
b. Ikan segar/ beku ;
c. Paha kodok segar/ beku;
d. Kerupuk ikan/ udang;
e. Ikan kaleng;
f. Ubur-ubur;
g. Kepiting, kerang hidup/ segar/ beku;
h. Rumput laut/ troca/ lola;
i. Ikan asin/ kering;
j. Tepung ikan.
k. Pemindangan;
l. Pemanggangan.
(2) Pemeriksaan terhadap hasil perikanan selain yang tercantum pada ayat (1) dan
biaya pengujian mutu akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB VIII
PELABUHAN PERIKANAN
Pasal 24
(1) Pelabuhan perikanan yang di miliki oleh Pemerintah Daerah dikelola oleh Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).
(2) Pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Pangkalan Pendaratan Ikan ( PPI ) yang berada di pantai Popoh.
13
Pasal 25
(1) Pengelolaan pelabuhan perikanan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah di
pimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan.
(2) Kepala Pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berasal dari PNS .
(3) Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam
peyelenggaraan pelabuhan perikanan.
(4) Kepala Pelabuhan Perikanan bertanggungjawab atas pemeliharaan fasilitas yang
berada di pelabuhan perikanan.
(5) Dalam menata dan menertibkan pengelolaan pelabuhan perikanan, Kepala
Pelabuhan Perikanan dapat melakukan pengaturan yang berkaitan dengan
kepelabuhan.

BAB IX
PEMANFAATAN PELABUHAN PERIKANAN
Pasal 26
(1) Pelabuhan Perikanan yang dimiliki Pemerintah Daerah dapat di manfaatkan.
(2) Pemanfaatan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa sewa terhadap fasilitas dan/atau pelayanan jasa.
(3) Penyewaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Sewa Lahan;
b. Sewa Bangunan;
c. Sewa Peralatan.
(4) Pelayanan jasa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. Pelayanan kapal;
b. Pelayanan barang dan alat;
c. Pelayanan pemenuhan perbekalan kapal perikanan;
d. Pelayanan Cold storage;
e. Pelayanan perbaikan kapal;
f. Pelayanan pelelangan ikan;
g. Pelayanan pas masuk dan parkir;
h. Jasa lainnya sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku.
(5) Pemanfaatan pelabuhan perikanan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk Kerja
Sama Operasi (KSO) sesuai dengan peraturan perundangan – undangan yang
berlaku.
(6) Hasil pemanfaatan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disetor secara bruto ke Kas Daerah.
(7) Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diukur
berdasarkan jangka waktu, jumlah, dan nilai harga jual ikan setiap pelelangan.
(8) Hasil pelayanan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f
diperuntukkan untuk :
a. Pemerintah Daerah;
b. Kesejahteraan nelayan pada saat paceklik;
c. Biaya operasional penyelenggara;
d. Perawatan dan pemeliharaan TPI.
14
BAB X
PENGELOLAAN USAHA KELAUTAN
Pasal 27
Eksplorasi, eksploitasi dan segala pemanfaatan sumber daya laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil yang ada harus mendapatkan persetujuan dan rekomendasi dari
dinas yang membidangi kelautan dan perikanan serta harus mengikuti arahan dan
petunjuk dari dinas/instansi yang terkait.
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 28
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan izin usaha perikanan
dilakukan oleh Bupati;
(2) Bupati dapat melimpahkan kewenangan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kepala dinas/instansi yang
membidangi kelautan dan perikanan;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dengan
Peraturan Bupati.
BAB XII
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 29
(1) Setiap pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban perijinan dikenakan sanksi
administrasi;
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. Pencabutan SIUP,SIPI dan SIKPI;
b. Penghentian kegiatan usaha;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 30
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang kelautan dan perikanan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri
sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
15
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penyitaan benda dan atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka;
g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
penyidik umum tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik umum
memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang berlaku yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
Setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan-kegiatan usaha
perikanan di wilayah Kabupaten Tulungagung tanpa memiliki Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Surat Izin Kapal
Pengangkut Ikan ( SIKPI ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 32
Pemegang SIUP yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Pasal 19 ayat (2) dan ayat (4) atau setiap orang dan/atau
korporasi yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling
banyak Rp.50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah ).
BAB XV
PENUTUP
Pasal 33
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, maka Peraturan Daerah Kabupaten
Tulungagung Nomor 37 Tahun 2001 tentang Retribusi Penjualan Produksi Usaha
Daerah sepanjang mengatur mengenai perikanan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
16
Pasal 34
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 35
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Tulungagung.
Ditetapkan di Tulungagung
pada tanggal 29 September 2010
BUPATI TULUNGAGUNG
Ttd.
Ir. HERU TJAHJONO,MM.
Diundangkan di Tulungagung
pada tanggal 2 Desember 2010
SEKRETARIS DAERAH
Ttd.
Drs. MARYOTO BIROWO, MM.
Pembina Utama Madya
NIP. 19530808 198003 1 036
Lembaran Daerah Kabupaten Tulungagung
Tahun 2010 Nomor 02 Seri E
17
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG
NOMOR 12 TAHUN 2010
TENTANG
PENGELOLAAN USAHA PERIKANAN DAN
KELAUTAN
DI KABUPATEN TULUNGAGUNG
I. PENJELASAN UMUM
Program dan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan di bidang
perikanan telah menunjukkan hasil yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan produksi dan ekspor hasil perikanan serta kemajuan di berbagai
bidang yang mendukung sektor perikanan. Di samping itu respon positif dari
masyarakat terhadap program dan kegiatan pembangunan perikanan juga
semakin meningkat.
Sumber daya perikanan telah menjadi tumpuan bangsa Indonesia, hal ini
didasarkan pada fakta fisik bahwa dua pertiga dari wilayah Indonesia berupa laut
yang membentuk sekitar 81.000 km garis pantai dan terdiri dari sekitar 17.508
pulau.
Sumberdaya ikan yang cukup melimpah tersebut diarahkan sebesarbesarnya
untuk kemakmuran rakyat banyak serta untuk memperbaiki tingkat
kehidupan nelayan dan pembudidaya ikan, diharapkan para pelaku usaha
kelautan dan perikanan menerapkan manajemen perikanan secara terpadu dan
terarah agar pemanfaatan Sumber Daya Ikan dapat dilakukan secara
berkelanjutan.
Penerapan manajemen perikanan merupakan wujud implementasi dari
komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola perikanan secara lebih
bertanggung jawab. Perwujudan manajemen perikanan adalah dengan
pengendalian usaha kelautan dan perikanan melalui perizinan dalam rangka
pengembangan pembinaan dan pengawasan usahaperikanan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dipandang perlu
membentuk suatu kebijakan yang bertujuan menjaga kelestarian sumberdaya
kelautan dan perikanan di wilayah pengelolaan kelautan dan perikanan
Kabupaten Tulungagung dengan Peraturan Daerah.

Standar Kualitas Lingkungan

Beberapa negara bersedia menerima pencemaran lingkungan sebagai pengorbanan


bagi pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Merebaknya pakaian bekas dari negara
tetangga masuk ke Indonesia didasari bahwa barang buangan dinilai sebagai modal.
Pada kasus seperti ini barang lingkungan dianggap sebagai barang modal yang dapat
susut. Alasan lain untuk menerima pencemaran adalah persaingan harga di pasar
internasional. Akan tetapi suatu negara atau daerah harus menghentikan proses
pencemaran yang sedang terjadi bila :
• Biaya kerusakan yang disebabkan pencemaran lebih besar daripada biaya untuk
mencegah terjadinya pencemaran / kerusakan.
• Kebutuhan masyarakat terhadap barang lingkungan yang bersih (agar kualitas
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih tinggi) adalah lebih besar
dibanding dengan persediaan pada harga nol.

Pemerintah sebagai pemilik ”hak pakai” barang lingkungan (udara, air dan tanah)
dapat melaksanakan program pencegahan pencemaran lingkungan hidup dengan
menetapkan peraturan tentang; ”Standar Kualitas Lingkungan” dan ”Standar Kualitas
Zat Buangan”. Pengaruh zat beracun terhadap kehidupan manusia, hewan ataupun
tumbuh-tumbuhan dapat diketahui berdasarkan penyelidikan-penyelidikan yang
dilakukan oleh ahli ilmu kesehatan masyarakat. Hasil penyelidikan berupa berbagai
angka maksimum konsentrasi zat tertentu yang boleh ada di dalam lingkungan hidup.
Konsentrasi zat tersebut di atas angka yang diijinkan akan menyebabkan kerusakan
pada kesehatan manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan. Angka ini harus ditepati agar
tujuan yang diinginkan tercapai. Penelitian selanjutnya dapat diketahui hubungan
antara kadar pencemaran di suatu daerah dengan kegiatan suatu sumber pencemaran
tertentu.

Contoh
Hubungan antara kadar karbonmonoksida di dalam udara di suatu daerah dengan
kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Bila PLTD beroperasi X jam
dengan beban Z kiloamper akan mengeluarkan gas buang yang menyebabkan kadar
karbonmonoksida Y prosen, bila bekerja X+1 jam maka konsentrasi menjadi Y+1
prosen dan seterusnya. Dengan demikian dapat dibuat suatu persamaan yang
menyatakan hubungan antara kadar pencemaran zat tertentu di suatu daerah dengan
aktivitas suatu sumber pencemaran yang berlaku bagi daerah tersebut. Berdasar
perhitungan tersebut, pemerintah melalui lembaga pelaksana program pencegahan
pencemaran dapat menetapkan, melalui undang-undang, angka maksimum kadar
zat pencemar yang boleh ada dalam zat buang / limbah buangan. Dengan adanya
angka standar ini konsumen / produsen terpaksa membatasi kegiatannya. Pemerintah
berdasarkan angka standar ini dapat mendenda sesuatu kegiatan tertentu yang
membuat zat pencemar melebihi angka standar. Besarnya denda / pajak ditetapkan
dengan tujuan angka standar tersebut dipenuhi, dan bukan didasarkan pada besarnya
kerusakan sosial akibat pencemaran.. Mempergunakan ketetapan besarnya pajak
untuk tujuan mencapai angka standar relatif lebih mudah diterapkan, karena tidak
didasarkan pada nilai kerusakan sosial.

Catatan
Kelemahan kebijaksanaan penentuan Standar Kualitas Lingkungan dan Standar
Kualitas Zat Buang sebagai tindakan pencegahan pencemaran lingkungan diperlukan
pertimbangan yang masak Standar yang ditetapkan memuat daftar angka
maksimum/minimum zat pencemar yang boleh ada di udara, di air, di dalam
makanan, minuman atau barang lain. Standar kualitas berfungsi pula sebagai
pengganti permintaan akan barang lingkungan, merupakan tujuan bagi kemurnian
barang lingkungan, dimaksudkan untuk melindungi penduduk. Standar yang
dikeluarkan merupakan hasil dari pertimbangan Hukum, Ekonomi, Politik, perasaan
estetika dan moral.

Standar mempunyai tiga kelemahan :


• Pemisahan semua dari zat pencemar.
Perlu disadari bahwa satu jenis zat pencemar tersendiri tak pernah ada di alam ini,
selalu bersama-sama dengan zat lainnya. Jumlahnya berubah-ubah secara ganda
sesuai dengan keadaan sekeliling seperti suhu udara, gerak dan kecepatan angin,
reaksi biokimia. Bila diteliti pengaruh satu jenis zat pencemar terhadap manusia,
maka kita tak dapat memastikan apakah akibat yang timbul disebabkan oleh zat
pencemar itu sendiri atau oleh faktor yang tersembunyi, tak pernah orang mengetahui
secara pasti.
Di laboratorium, dimana dapat dibuat ”dunia tiruan” dengan manusia atau hewan
sebagai obyeknya sebetulnya dilakukan esktrapolasi dari dunia tiruan ke dunia nyata
yang lebih ruwet, kompleks, tak pasti. Karena itu dengan alasan etika maka tak
pernah dilakukan percobaan dengan manusia. Padahal, fisiologi hewan berbeda
dengan manusia dan kita tak bisa memastikan apakah reaksi hewan dan manusia itu
sama.
• Keterbatasan membahas faktor waktu
Dalam menentukan angka standar para ahli secara implisit atau eksplisit
mempergunakan kurva reaksi manusia atau makhluk lainnya terhadap berbagai zat
pencemar. Keterangan-keterangan mengenai berbagai akibat dari zat pencemar di
dapat dari publikasi atau buku pelajaran yang mengambil dari hasil pengamatan di
laboratorium, industri atau rumah sakit. Pengamatan yang dilakukan terbatas
waktunya, sejauh yang bisa dicatat, diamati oleh peneliti. Mungkin pengaruh yang
lebih berat disebabkan oleh dosis yang lebih kecil tetapi pengaruh tersebut baru
terlihat dalam jangka waktu yang relatif lebih lama Sebagai contoh, penyebab
penyakit kanker belum bisa diketahui untuk beberapa dekade ini. Demikian pula
pengaruh genetika (keturunan) belum bisa diketahui untuk satu, dua generasi atau
lebih.
• Hanya berlaku bagi sebagian penduduk.
Standar kualitas ditujukan bagi penduduk yang memiliki reaksi berbeda-beda atas
racun yang berasal dari zat pencemar, seperti SO2. Bila SO2 dengan kadar tertentu
dihisap oleh banyak orang maka pengaruhnya akan berbeda-beda. Sebagian orang
akan sakit, namun yang lainnya tidak berpengaruh sama sekali. Terbanyak ada di
antara dua hal yang ekstrem itu.
Standar yang diterapkan tidak mungkin nol, atau artinya tidak ada zat pencemar
sama sekali. Bila standar ditetapkan pada suatu angka, maka tidak seluruh penduduk /
populasi yang dilindungi, namun ada beberapa orang yang menderita.

Walaupun banyak kelemahannya, penentuan tarif limbah banyak dipraktekkan di


negara-negara yang telah maju, dengan tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi.
Bagaimana dengan di Indonesia ?. Kombinasi dari kebijaksanaan yang ada mungkin
lebih baik hasilnya, tergantung pada situasi dan kondisi setempat.
Catatan
Pada saat ini di negara yang sedang akan berkembang, pemerintah masih harus
berjuang untuk mencukupi kebuthan pokok manusia. terutama makan dan pakaian.
Keadaam gizi buruk yang banyak diderita oleh anak balita di negara yang sedang
akan berkembang, menunjukkan masih kekurangan makan. Pemalsuan produk,
penambahan melamin pada susu bubuk yang terketahui oleh masyarakat pada bulan
September 2008, menurut pengakuan produsen susu danberbagai makanan yang
berbahan susu, kejadian tersebut sudah berlangsung cukup lama. Namun, mengapa
pimpinan di negara ketiga seolah-olah tidak mengetahui akan hal tersebut. Salahkah
produsen tidak cermat dan tidak segera menghentikan produksinya. Kejadian yang
telah merugikan kesehatan tidak kurang dari 1500 orang, penarikan produk dilakukan
atas desakan masyarakat. Masih ingat, beras yang dicampur dengan fluorida agar
menjadi lebih putih, namun ternyata beras yang sudah ”dibersihkan” menjadi tidak
layak dimakan manusia. Kasus mie basah yang dicampur formalin, bakso yang
dicampur dengan borax, daging gelonggongan, semua itu semata-mata sebagai
indikator ”kemiskinan”.

Anda mungkin juga menyukai