Anda di halaman 1dari 22

Tinjauan Pustaka

Perioperatif Care Pada Angiofibroma Nasofaring


Oleh
dr. Ida Ayu Alit Widiantari

PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan
rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai
dengan perkembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi dan reanimasi saat ini adalah cabang
ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak
nyaman serta ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan kehidupan
pasien selama mengalami kematian akibat obat anestesi.1
Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk memudahkan operator
dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan operasi tercapai. Adapun target anestesi itu
sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia,
relaksasi. Tidak terkecuali pada operasi ekstirpasi angiofibroma nasofaring, perlu dilakukan tindakan
anestesi agar pelaksanaan operasi lebih mudah.
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor nasofaring yang bersifat jinak secara histopatologis
namun secara klinis bersifat destruktif. Angiofibroma nasofaring mewakili 0,05-0,5% dari keseluruhan
tumor kepala dan leher namun merupakan tumor yang paling sering terjadi di daerah nasofaring. Tumor ini
lebih sering dijumpai pada pria usia remaja.1,2 Sebagian besar penulis mempertimbangkan tindakan bedah
sebagai penanganan utama terhadap angiofibroma nasofaring, meskipun terdapat beberapa kasus yang
diindikasikan untuk pengobatan radioterapi, terapi hormonal, ataupun gamma knife surgery.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Anestesi
Pada 16 Oktober 1846, untuk pertama kalinya eter digunakan pada operasi THT. Dr. William
Morton membius pasien Edward Gilbert Abbott untuk pengangkatan tumor leher oleh dr John Warren [1]
Sejak saat itu, kemajuan yang cukup signifikan antara anestesi THT dan operasi THT yang dilakukan.
Seorang ahli anestesi THT yang baik seharusnya tidak hanya memahami kondisi pasien sebelum operasi,
tapi juga harus mampu mengantisipasi komplikasi pembedahan pada pasien.
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani yang secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada
tahun 1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat
dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.

2.2 Anestesi Umum


Anestesi umum (general anestesi) disebut juga dengan nama narkose umum (NU). Anestesi
umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat pulih
kembali (reversible). Tanda-tanda anestesi umum telah bekerja adalah hilangnya koordinasi
anggota gerak, hilangnya respon saraf perasa dan pendengar, hilangnya tonus otot, terdepresnya
medulla oblongata sebagai pusat respirasi dan vasomotor dan bila terjadi overdosis akan
mengalami kematian. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari: hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot. Metode anestesi general dilihat dari cara pemberian obat:
1. Parenteral
Anestesi general yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intramuskuler biasanya digunakan
untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anestesi.
2. Perektal
Anestesi general yang diberikan perektal kebanyakan dipakai pada anak, terutama untuk induksi
anestesi atau tindakan singkat.
3. Perinhalasi
Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas ataucairan anestetika yang mudah menguap
(volatile agent) sebagai zat anestetika melalui udara pernapasan. 5
2.3 Manajemen Perioperatif
2 .2.1 Evaluasi Pra Anestesi
Evaluasi pra anestesi adalah langkah awal dari rangkaian tindakan anestesi yang bertujuan untuk
mengetahui status fisik pasien prabedah dan menganalisa jenis operasi sehingga dapat memilih jenis atau
teknik anestesi yang sesuai, juga dapat meramalkan penyulit yang terjadi selama operasi dan atau pasca
bedah dan kemudian mempersiapkan obat atau alat untuk menanggulangi penyulit tersebut. Tatalaksana
evaluasi praanestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, konsultasi dan koreksi
terhadap kelainan fungsi organ vital dan penentuan status fisik pasien praanestesi. Hal ini dilakukan untuk
menegakkan diagnosis sehingga persiapan pasien dapat dilakukan sesegera mungkin.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi pasien, riwayat penyakit yang pernah
atau sedang diderita misalnya gangguan faal hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah lumbal, syok,
anemia, dan kelainan tulang belakang, riwayat obat-obatan yang sedang atau telah digunakan, riwayat
operasi dan anestesia yang pernah dialami diwaktu yang lalu, serta kebiasaan buruk sehari-hari yang
mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti merokok. Pemeriksaaan fisik rutin meliputi
pemeriksaan tinggi, berat, suhu badan, keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, nadi dan lain-lain. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien angiofibroma nasofaring
adalah pemeriksaan darah (Hb, leukosit, golongan darah, faal hemostasis), foto polos AP/ lateral pada
bagian yang dicurigai fraktur, foto polos toraks, dan EKG. Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor
koagulasi harus dikoreksi terlebih dahulu.1,2,5
Berdasarkan hasil pemeriksaan praanestesia tersebut maka dapat disimpulkan status fisik pasien
praanestesia. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia
menjadi 5 kelas, yaitu :
 ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
 ASA 2 : pasien penyakit bedah dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dan tidak ada
gangguan aktivitas rutin.
 ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas
tetapi tidak mengancam nyawa
 ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik berat dan pasien tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
 ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin
ditolong lagi, dioperasi atau tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat maka dicantumkan tanda E
(emergency) di belakang angka.
2.2.2 Persiapan Pra Anestesi
Persiapan praanestesi adalah mempersiapkan pasien baik psikis maupun fisik agar pasien siap dan
optimal untuk menjalani prosedur anestesi dan diagnostik atau pembedahan yang direncanakan sesuai hasil
evaluasi praanestesi, persiapan juga mencakup surat persetujuan tindakan medis. Sebagai seorang ahli
anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan peritonitis adalah memperbaiki keadaan umum
pasien sebelum diambilnya tindakan operasi. Tindakan mencakup airway, breathing dan circulation.
Oksigenisasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan. Pemasangan infus bertujuan
untuk mengganti defisit cairan selama puasa dan mengkoreksi defisit cairan prabedah, sebagai fasilitas vena
terbuka untuk memasukan obat-obatan selama operasi dan sebagai fasilitas transfusi darah, memberikan
cairan pemeliharaan, serta mengkoreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi.
Berikut adalah tujuan dari terapi cairan, yaitu mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien
prabedah akibat puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau
dehidrasi.1,2,3,5 Cairan yang digunakan adalah:
- Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan
- Untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi berikan cairan kristaloid.
- Perdarahan akut berikan cairan kristaloid + koloid atau transfusi darah
Pedoman koreksinya sebagai berikut :
- Hitung kebutuhan cairan perhari (perjam)
- Hitung defisit puasa (lama puasa) atau dehidrasi (derajat dehidrasi)
- Jam pertama setelah infus terpasang berikan 50% defisit + cairan pemeliharaan/jam
- Pada jam ke dua, diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan per jam.
- Pada jam ke tiga, diberikan 25% defisit + cairan pemeliharaan per jam.
Pasien sebaiknya menggunakan kateter foley untuk memonitor pengeluaran urin. Untuk pasien yang sangat
berat dapat digunakan monitor hemodinamik untuk melihat kebutuhan resusitasi dan suport inotropik.
Persiapkan analgesia yang cukup dengan segera jika mampu dilakukan. Selain persiapan fisik, psikologis
pasien juga harus diperhatikan sebelum tindakan operatif. Persiapan psikologis adalah persiapan
farmakologis penting untuk anestesia dan pembedahan.
Persiapan di kamar operasi meliputi persiapan meja operasi, mesin anestesi, alat resusitasi, obat
resusitasi, obat anestesi, tiang infus, alat pantau kondisi pasien, kartu catatan medik anestesi, serta selimut
penghangat khusus untuk bayi dan orangtua. Pada pasien fraktur multipel harus ada persiapan khusus
misalnya koreksi gangguan fungsi organ yang mengancam, penanggulangan nyeri, serta persiapan transfusi
darah.7
2.2.3 Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka pelaksanaan
anestesi dengan tujuan : meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi
sekresi kelenjar, meminimalkan jumlah obat anestetik, serta mengurangi mual-muntah pasca bedah.
Premedikasi dapat diberikan secara suntikan intramuskuler (diberikan 30-45 menit sebelum induksi
anestesia) atau secara suntikan intravena (diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesi).
Obat-obatan yang digunakan untuk premedikasi adalah obat antikolinergik, obat sedatif, dan obat
analgetik narkotik. Pemberian obat golongan antikolinergik, contohnya sulfas atropin, bertujuan untuk
mengurangi sekresi kelenjar (saliva, saluran nafas, dan saluran cerna), mengurangi motilitas usus,
mencegah spasme laring dan bronkus, mencegah bradikardi, dan melawan efek depresi narkotik terhadap
pusat nafas. Pemberian obat golongan sedatif, contohnya midazolam, bertujuan untuk memberikan rasa
nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut.1,2,7
2.2.4 Manajemen intraoperatif
Pilihan anestesia-anelgesia yang akan diberikan kepada pasien yang akan menjalani pembedahan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya umur, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, keterampilan
dan fasilitas yang tersedia, serta permintaan pasien. Dalam praktek anestesi, ada 3 jenis anestesia-analgesia
yang diberikan pada pasien yang akan menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum, analgesia regional
dan analgesia lokal. Menentukan teknik anestesi harus didasari oleh 4 hal, yaitu lokasi operasi, posisi pasien
saat operasi, manipulasi yang dilakukan, serta durasi. Anestesi umum paling sering digunakan untuk operasi
pada fraktur multipel.1,7
Induksi dicapai dengan agen intravena diikuti intubasi trakea difasilitasi oleh perelaksasi otot.
Induksi pada anestesia umum dapat dilakukan dengan obat anestetik intravena kerja cepat (rapid acting).
Pada pasien dengan hipotensi, pemilihan induksi anestesia adalah bagian yang penting karena hampir
sebagian besar obat yang digunakan untuk induksi dapat menurunkan tekanan darah. Pemberian ketamin
hidroklorida (ketalar) dapat dipertimbangkan karena bersifat simpatomimetik sehingga menyebabkan
ketalar dapat meningkatkan darah dan denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh karena
efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Perelaksasi otot memiliki peranan penting
dalam mengurangi pergerakan pada lapangan operasi. Anestesia dapat dipertahankan dengan dosis
intermiten atau melalui infus yang berlanjut, dengan agen intravena.seperti thiopental, propofol dan opioid
dan dikombinasi dengan NO2. Anestesi halogen (halotan, enfluran, isofluran) adalah obat yang paling
sering dipakai. Obat-obatan tersebut dapat mengontrol refleks hemodinamik. Akan tetapi, isofluran dan
enfluran menjaga aliran darah hepar dan intestinal lebih baik dibandingkan halotan. Sevofluran dapat juga
dipertimbangkan karena memiliki efek yang mirip dengan isofluran, efek kardiovaskular cukup stabil dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Walaupun halonated agent dikombinasikan dengan perelaksasi
otot dapat membuat kondisi anestesi yang baik saat operasi abdomen, obat-obat ini sering digunakan dengan
kombinasi N2O dan opioid. N2O dapat digunakan pada permulaan operasi untuk memastikan status
anestesi ketika efek agen intravena telah menghilang. Penggunaan N2O juga dapat menurunkan konsentrasi
halonated agent sekitar 50% dan mempercepat pulihnya kesadaran pasien, sehingga digunakan untuk
pemeliharaan.2,7
Untuk terapi nyeri pasien intraoperatif dapat digunakan golongan opioid. Golongan opioid ini
bermanfaat pada intraoperatif maupun post-operatif obat yang paling populer saat ini adalah fentanyl.
Fentanyl mempunyai efek analgesia yang kuat, bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat, tidak berefek
pada sistem kardiovaskular dan berefek menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stres
anestesia dan pembedahan, sehingga kadar hormaon katabolik dalam darah tetap stabil.
Terapi cairan durante operasi juga perlu mendapat perhatian dengan perhitungan yang tepat dan
cermat. Tujuan terapi cairan durante operasi yaitu untuk fasilitas vena terbuka, koreksi kehilangan cairan
melalui luka operasi, mengganti pedarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ ekskresi.
Cairan yang digunakan adalah cairan pengganti, bisa kristaloid dan koloid atau transfusi darah. Pedoman
koreksinya adalah sebagai berikut:1,2,3
 Mengikuti pedoman terapi cairan prabedah
 Berikan tambahan cairan sesuai dengan jumlah perdarahan yang terjadi ditambah dengan
koreksi cairan sesuai dengan perhitungan cairan yang hilang berdasarkan jenis operasi
yang dilakukan, dengan asumsi :
- Operasi besar : 6 – 8 ml/kgbb/jam
- Operasi sedang : 4 - 6 ml/kgbb/jam
- Operasi kecil : 2 - 4 ml/kgbb/jam
 Koreksi perdarahan selama operasi :
 Dewasa :
- Perdarahan > 20% dari perkiraan volume darah = transfusi
- Perdarahan <20% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid sebanyak 2 - 3 x
jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah
perdarahan atau campuran kristaloid + koloid.
 Bayi dan anak :
- Perdarahan > 10% dari perkiraan volume darah = transfusi
- Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah = berikan kristaloid sebanyak 2 - 3 x
jumlah perdarahan atau koloid yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah
perdarahan atau campuran kristaloid + koloid.
 Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan :
- Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung
- Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah)
- Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% x jumlah yang terukur + terhitung (jumlah
darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan operasi)
Operasi yang invasif dan melibatkan struktur yang kaya pembuluh darah memiliki risiko yang lebih
besar terhadap terjadinya perdarahan intraoperatif, misalnya operasi maksilektomi. Maka dari itu penting
untuk mempersiapkan transfusi darah pra operatif. Pasien dengan anemia yang terjadi sebelum operasi
harus lebih diwaspadai. Pasien dikatakan anemia jika terdapat keadaan dimana massa eritrosit dan/atau
massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
tubuh. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung
eritrosit, dan hematokrit. Cut off point yang umum dipakai adalah kriteria WHO 1968 sebagai berikut: laki-
laki dewasa Hb < 13 g/dl; perempuan dewasa tak hamil < 12 g/dl; perempuan hamil < 11 g/dl; anak umur
6-14 tahun < 12 g/dl; anak 6 bulan-6 tahun < 11 g/dl. Derajat anemia adalah sebagai berikut: ringan sekali
Hb 10 g/dl – cut off point; ringan Hb 8 g/dl – 9,9 g/dl; sedang 6 g/dl – 7,9 g/dl; dan berat Hb < 6 g/dl.
Anemia salah satunya disebabkan oleh perdarahan akut, termasuk perdarahan intraoperatif.
Transfusi darah dapat diberikan dengan tujuan mengganti volume darah yang hilang selama operasi dan
koreksi terhadap faktor pembekuan. Indikasi diberikannya transfusi intra operatif antara lain jika volume
darah yang tersisa tidak cukup mengisi intra vaskular, yaitu perdarahan >20% pada orang dewasa dan >10%
pada bayi dan anak, jika oksigenasi tidak adekuat, atau terdapat defek faal hemostasis. Satu unit sel darah
merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematokrit 2-3% pada orang dewasa. Darah untuk
transfusi intraoperatif harus dihangatkan sampai 37°C terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusi
untuk mencegah terjadinya hipotermia.7,10
2.2.5 Tatalaksana Pasca Anestesia
Pasca anestesia dimulai setelah pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari
pengaruh anestesia.2,7
a) Risiko Pasca Anestesia
Berdasarkan masalah-masalah yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah maka pasien dibagi
menjadi 3 kelompok:2,3
1. Kelompok I
Pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan pernafasan dan kardiovaskular pasca
anestesia/bedah sehingga pasien tersebut langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah
tanpa menunggu pemulihan di ruang pulih.
2. Kelompok II
Mayoritas pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam kelompok ini. Tujuan perawatan pasca
anestesia/bedah adalah menjamin agar pasien secepatnya mampu mempertahankan respirasinya.
3. Kelompok III
Kelompok pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien pada kelompok ini
harus mempunyai respirasi yang adekuat dan bebas dari rasa mengantuk, ataksia, nyeri serta kelemahan
otot sehingga pasien dapat pulang.
b) Ruang Pulih
Ruang pulih adalah ruangan khusus pasca anestesia/bedah yang berada di kompleks kamar operasi.
Perawatan di ruang pulih bertujuan untuk mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi serta
melakukan pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medik yang terjadi. Secara garis besar
pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medik meliputi kesadaran, respirasi, sirkulasi, fungsi ginjal
dan saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, nyeri, dan posisi pasien.
Kriteria pengeluaran pasien dari ruang pulih mempergunakan Skor Aldrete seperti yang terlihat pada tabel
1
Tabel 1. Skor Aldrete Pasca Anestesia7

Aldrete Nilai warna Pernapasan Sirkulasi kesadaran Aktivitas


skore

2 Merah Dapat TD <20% Sadar, Seluruh


muda bernapas dari normal siaga, dan ekstremitas
dalam dan orientasi dpt
batuk digerakkan
1 Pucat Dangkal TD 20-50 % Bangun Dua
namun dari normal namun ekstremitas
pertukaran cepat dpt
udara kembali digerakkan
adekuat
0 Sianosis Apnoe atau TD >50% Tidak Tidak dpt
obstruksi dari normal berespons digerakkan

c) Pengelolaan Nyeri Post Operasi


Suatu luka operasi dapat menimbulkan nyeri pada pasien, maka penanganan nyeri pasca operasi
perlu diperhatikan. Penanganan nyeri tidak hanya faktor kemanusiaan, tetapi dengan mengatasi nyeri pasca
operasi dapat meningkatkan fisiologi tubuh untuk proses penyembuhan, mempercepat perawatan pasca
operasi dan mencegah terjadinya sindrom nyeri kronis. Penanganan nyeri pasca operasi bersifat individu.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon nyeri, yaitu lokasi operasi, jenis kelamin, umur pasien,
kepribadian, pengalaman pembedahan sebelumnya, dan motivasi pasien untuk sembuh. Manajemen nyeri
pasca operasi sebagai berikut:7,9
a. Analgesik narkotik :
- Keuntungan : efek analgesia, sedasi, peningkatan mood, menekan batuk
- Efek samping: gatal, mual, muntah, disforia, sedasi, retensi urine, depresi napas
- Dapat digunakan dalam metode PCA (patient–controlled analgesia) dimana pasien dapat
menggunakan sendiri opioid IV atau kadang-kadang epidural untuk memperoleh analgesia maksimal
dan efek samping minimal. Teknik ini membantu pasien mempertahankan minimal efective analgesic
concentration (MEAC), dibawah tingkat nyeri yang dirasakan. Pasien akan lebih tenang karena
merasa pengobatannya akan terus terpenuhi
- Dapat pula digunakan dalam metode terapi narkotik perispinal yang menempatkan opioid di dekat
lokasi kerja medula spinalis. Opioid akan menghambat neuron pre dan post sinaptik di kornu dorsalis
diperoleh efek analgesia yang lebih lama dan kuat. Pemberian secara epidural kini lebih sering
dibanding subarakhnoid karena kateternya dapat digunakan untuk anestesia, dapat menjangkau tiap
segmen medula spinalis, dan efek samping yang lebih rendah. Narkotik perispinal digunakan bersama
dengan obat anestetik lokal supaya dapat memakai dosis lebih kecil dan dapat menanggulangi nyeri
lewat mekanisme kerja yang berbeda
b. Teknik analgesia regional
- Kelebihan : pasien lebih tenang ketika sadar, respon stress, dan windup lebih rendah, kebutuhan akan
opioid lebih sedikit, mobilisasi lebih cepat
- Kerugian : efek samping blok sensoris atau motoris, harus selalu diulang dan dipantau, jarang orang
yang dapat melakukannya, membutuhkan peralatan tambahan seperti kateter epidural.
c. Analgesia non narkotik
- Agonis-antagonis narkotik : memiliki potensi serupa opioid namun kurang mendepresi napas
- Obat anti inflamasi non steroid (NSAID) : digunakan untuk pasien dengan inflamasi sebagai
penyebab nyerinya. Dapat menyebabkan gangguan ginjal, fungsi platelet, dan perdarahan saluran
cerna.
- Obat adjuvan : untuk mengurangi dosis opiat yaitu anti ansietas (mengurangi agitasi), anti histamin
(efek sedasi), dan fenotiazin (meningkatkan potensiasi opioid)

Gambar 3. Algoritma penanganan nyeri post operasi


d. Modulasi sensoris, didasarkan bahwa hiperstimulasi sistem saraf akan menarik pesan nyeri yang ke
SSP sehingga mencegah jalur fisiologis selanjutnya dengan berbagai cara antara lain:
- Pijat : dapat menenangkan pasien, mengurangi nyeri dan spasme otot
- TENS : noninvasif, tidak mempengaruhi terapi lainnya, dan pasien terkontrol
- Akupunktur
- Pemberian hawa panas dan dingin bergantian
e. Teknik psikologis atau pengaturan diri sendiri
- Penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga sehingga pasien mengerti apa yang dihadapi
dan kemungkinan yang dapat terjadi
- Hipnosis : memfokuskan perhatian yang dapat dilakukan oleh berbagai orang dalam situasi
berbeda. Meskipun butuh waktu, dapat memberikan efek analgesik dan anxiolitik.

2.4 Agiofibroma
2.4.1 Definisi Angiofibroma
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor di daerah nasofaring yang terdiri dari jaringan
fibrosa dan pembuluh darah yang secara histologi bersifat jinak namun secara klinis dapat bersifat
invasif lokal. Tumor ini dapat mendestruksi tulang di sekitarnya dan dapat meluas ke sinus
paranasal, fossa pterigomaksila, fossa infratemporal, fossa temporal, pipi, orbita, dasar
tengkorakdan rongga intrakranial.1,3,4

2.4.2 Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan. Angiofibroma
nasofaring sering ditemukan pada remaja pria berusia antara 14-25 tahun dan diperkirakan
insidensinya hanya 0,05-0,5% dari semua tumor jinak yang ada di kepala dan leher. Hondousa et
al melaporkan bahwa rerata insiden tumor ini 1:50.000 dari seluruh pasien THT di berbagai negara.
Pradillo et al melaporkan bahwa insiden pada pasien dengan usia lebih dari 25 tahun hanya sekitar
0,7% dari semua insiden angiofibroma nasofaring.3,6 Tang et al melaporkan 13 penderita
angiofibroma nasofaring sejak tahun 1995-2005 di RS Malaya Malaysia dimana semua penderita
berjenis kelamin pria dengan rentang usia 14-28 tahun.1

2.4.3 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab pasti dari angiofibroma nasofaring belum diketahui dengan jelas. Teori yang
paling diterima adalah bahwa angiofibroma nasofaring berasal dari jaringan hamartoma yang
berlokasi di kartilago konka yang distimulasi oleh hormon seks. Adanya pengaruh hormonal
menjelaskan mengapa tumor ini jarang terjadi setelah pubertas.3 Terdapat faktor lain yang juga
berperan dalam perkembangan tumor. Faktor pertumbuhan angiogenik (vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan transforming growth factor (TGF-β)) ditemukan terlokalisasi pada sel
endotelial dan sel stromal, mengindikasikan bahwa kedua sel tersebut berperan dalam
perkembangan tumor. Overekspresi dari insulin-like growth factor II (IGFII) juga telah ditemukan
pada beberapa kasus ANB. Gen IGFII berlokasi di lengan kromosom 11 dan pada lokasi tersebut
target dari imprinting gen hanya mengekspresikan alel paternal saja. Hal ini menyiratkan bahwa
overekspresi IGFII berhubungan dengan tendensi untuk terjadinya rekurensi dan prognosis
angiofibroma nasofaring yang buruk.7
Angiofibroma nasofaring juga dilaporkan terjadi 25 kali lebih sering pada pasien-pasien
dengan riwayat poliposis adenomatosa familial, yaitu suatu kondisi yang berhubungan dengan
mutasi gen adenomatous polyposis coli (APC). Mutasi ini mengakibatkan terjadinya mutasi
germline di dalam gen APC pada kromosom 5q yang juga terlibat dalam patogenesis angiofibroma
juvenil sporadis. Gen ini meregulasi β-catenin pathway yang mempengaruhi adhesi antar sel.
Mutasi dari β-catenin ditemukan pada angiofibroma juvenil sporadis dan angiofibroma juvenile
rekuren. Lokasi β-catenin hanya terdapat di nukleus sel stromal, dimana hal ini menunjukkan
bahwa sel stromal berperan penting dalam perkembangan neoplasma-neoplasma ini.7,8
2.4.4 Diagnosis
Angiofibroma nasofaring tidak berkembang secara cepat namun terjadi dalam hitungan
bulan hingga tahun. Studi-studi menunjukkan bahwa tanda dan gejala angiofibroma nasofaring
biasanya telah muncul sekitar 6 bulan sebelum ditegakkannya diagnosis. Dua tanda kardinal
angiofibroma nasofaring adalah obstruksi hidung (80-90%) dan epistaksis berat yang rekuren (45-
60%). Epistaksis bervariasi dalam tingkat keparahannya. Pasien juga dapat mengeluhkan hiposmia
atau anosmia. Gambaran klinis bervariasi berdasarkan luasnya penyakit namun perluasan ke dalam
sinus sfenoid ataupun sinus-sinus lainnya, orbita, fossa infratemporal dan fossa kranial media
seringnya tidak bergejala.4,7,14
Pada pasien dapat ditemukan suara sengau jika tumor membesar ke dalam palatum mole.
Terbloknya orifisium tuba eustasius dapat menyebabkan tuli dan otalgia. Sakit kepala dapat terjadi
pada kasus-kasus lanjut. Jika terjadi sakit kepala, dapat merupakan indikasi adanya perluasan ke
sinus paranasal. Perluasan intrakranial dapat juga menjadi penyebab sakit kepala pada pasien-
pasien tersebut. Diplopia dapat terjadi secara sekunder akibat erosi tumor ke dalam kavitas kranial
sehingga menyebabkan tekanan pada kiasma optikus. Penglihatan juga dapat terganggu akibat
penekanan tumor ke nervus optikus.3,15
Rinoskopi anterior menunjukkan adanya gambaran sekresi nasal yang purulen dan banyak,
bersamaan dengan septum nasal yang membengkok ke sisi yang sehat. Posisi palatum mole sering
terdorong ke inferior dikarenakan pembesaran tumor yang mengisi ruang nasofaring. Rinoskopi
anterior dan posterior dapat menunjukkan adanya massa berwarna merah atau merah muda yang
mengisi rongga nasofaring. Dikarenakan ukuran lesi yang besar, terkadang sulit untuk menentukan
asal lokasi tumor yang tepat. 3,4,7
Pada endoskopi nasal, akan terlihat massa vaskular dan submukosa yang lunak yang
terletak di luar konka media. Pemeriksaan radiologi dan imaging (CTscan dengan kontras
intravena ataupun MRI) berperan penting tidak hanya untuk penegakan diagnosis tetapi juga untuk
menilai penjalaran massa. Gambaran klasik radiologi angiofibroma nasofaring berupa
pembengkokan dinding maksilaris posterior ke arah anterior atau yang dikenal dengan “Holmann
Miller sign”. Gambaran radiologi klasik lainnya berupa perluasan massa dari yang berpangkal
pada foramen sfenopalatina ke fossa pterigopalatina, sinus sfenoid dan fossa infratemporaldan
setelah injeksi intravena massa menunjukkan suatu gambaran hipervaskularisasi.
Pertimbangan adanya kemungkinan terjadinya perdarahan yang berat setelah tindakan
biopsi, maka biopsi pre-operatif hanya dilakukan pada kasus-kasus yang meragukan melalui
pemeriksaan imaging. Pemeriksaan angiografi pre-operatif bermanfaat untuk mengevaluasi
sumber asupan aliran darah bagi tumor dan juga untuk mengetahui adanya embolisasi terutama
pada tumor-tumor stadium lanjut.14,18-20
Secara makroskopis, angiofibroma nasofaring tampak sebagai massa tumor berdinding
tegas, berlobul dan ditutupi oleh mukosa nasofaringeal. Secara mikroskopis pada pemeriksaan
histopatologi, angiofibroma nasofaring selalu tersusun atas pembuluh darah dan stroma fibrosa.
Pembuluh darah tumor bersifat ireguler mulai dari kapiler yang kecil hingga pembuluh sinusoid
yang besar, sel-sel penyusunnya sering tampak sebagai gambaran bintang atau “staghorn
appearance” yang dibatasi oleh kelompok-kelompok sel endotelialdan khasnya hanya memiliki
sedikit otot halus dan serat elastis, sehingga pada tumor sering terjadi perdarahan yang terus-
menerus. Bagian stroma fibrosa tumor berbentuk kumparan dengan banyak mengandung jaringan
ikat, tersusun oleh sel-sel padat yang berbentuk seperti gelendong atau bintangdan mengandung
kolagen dengan jumlah yang bervariasi dimana hal inilah yang menyebabkan beberapa tumor
bersifat sangat keras dan beberapa lagi bersifat lunak.2,21,22

2.4.5 Penatalaksanaan
Seperti pada tumor-tumor jinak lainnya, pembedahan merupakan modalitas utama bagi
penatalaksanaan angiofibroma nasofaring. Angiofibroma nasofaring dilaporkan dapat mengalami
regresi setelah masa remaja namun hal ini tidak umum terjadi dan bukan merupakan hal yang dapat
diandalkan bagi tumor nasofaring tipe vaskular yang berpotensi tinggi mengalami perdarahan.
Terapi radiasi dipilih bagi tumor-tumor stadium lanjut atau tumor yang tidak dapat dilakukan
pembedahan.3,4
1. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan membutuhkan perencanaan yang baik. Perhatian juga diberikan
terhadap usaha pengecilan tumor terlebih dahulu melalui pretreatment dengan terapi anti-androgen
dan devaskularisasi tumor dengan embolisasi tumor.4,14
a. Pre-treatment pengecilan ukuran tumor melalui pengobatan antiandrogen
Pengobatan estrogen pertama kali diperkenalkan pada pertengahan abad ke-20 namun
kemudian ditinggalkan karena menimbulkan efek feminisasi dan tidak menunjukkan efikasi yang
jelas. Saat ini dengan tersedianya generasi terbaru anti-androgen yang memiliki efek samping yang
lebih ringan telah mendorong penggunaan anti-androgen kembali sebagai pengobatan adjuvan
terhadap tindakan pembedahan.
b. Embolisasi pre-operatif
Embolisasi pre-operatif saat ini telah menjadi tindakan rutin dan sering dilakukan dengan
menggunakan gel foam atau partikel polyvinyl alcohol 1-2 hari sebelum tindakan bedah.
Embolisasi dapat mengurangi perdarahan intraoperatif dan memperbaiki area pembedahan
sehingga membantu eksisi tumor yang lebih sempurna. Douglas et al menyatakan bahwa
embolisasi pre-operatif dapat mengurangi perdarahan intraoperatif hingga 1000 ml. Pada kasus-
kasus angiofibroma nasofaring yang besar, tumor dapat menerima aliran darah dari dua sisi
sehingga memerlukan embolisasi bilateral.
c. Eksisi bedah
Eksisi seluruh tumor merupakan tujuan utama dari pengobatan pembedahan namun hal ini
dapat terhambat karena adanya kendala terbatasnya lapangan pandang operasi, visualisasi yang
tidak adekuat dan risiko perdarahan selama pembedahan. Pilihan teknik pendekatan bedah
bergantung pada usia pasien, luas penyakit, derajat pembedahan (primer atau revisi), vaskularisasi,
keefektifan embolisasidan pengalaman operator.
Strategi intraoperatif untuk mengurangi perdarahan mencakup elevasi puncak kepala,
anestesi dengan teknik hipotensif, diseksi subperiosteal, kauterisasi mukosa diatas tumor, serta
penggunaan pelindung sel (untuk ekstensi sinus kavernosus). Berbagai teknik tambahan telah
terbukti bermanfaat dalam mendukung tindakan bedah seperti laser Nd-YAG dan laser KTP,
skalpel harmoni dan microdebrider jaringan.
Beberapa teknik pendekatan bedah yang umum digunakan yaitu endoskopi nasal,
pendekatan trans-palatal, trans-hioid, trans-mandibular, trans-zigomatikus, trans-maksilaris,
rinotomi lateral, maksilektomi medial, midfacial degloving, Le-fort I osteotomy, maxillary swing
atau pendekatan translokasi fasial, pendekatan dasar tengkorak lateral, ataupun kombinasi dari dua
teknik pendekatan.4,24 Teknik endoskopi eksisi saat ini mulai diminati untuk lesi-lesi angiofibroma
nasofaring stadium dini. Adanya lapangan pandang yang baik melalui endoskopi dapat
memastikan akses yang lebih baik tanpa membutuhkan pembuangan tulang ataupun osteotomi
yang luas seperti pada teknik-teknik konvensional lainnya. Pada teknik ini, embolisasi preoperatif
rutin dilakukan. Kelebihan teknik ini yaitu sudut pandang yang dihasilkan lebih baik daripada
pendekatan rinotomi lateral sehingga identifikasi terhadap anatomi dan hubungan tumor-jaringan
juga lebih baik, dapat mencegah terjadinya insisi fasial dan osteotomi sehingga dapat mengurangi
dampak pertumbuhan skeletal midfasial dikemudian hari pada pasien-pasien remajadan
selanjutnya dapat membantu pembersihan tumor dari lokasi-lokasi tersembunyi pada tulang
sfenoid. Kekurangan teknik ini yaitu teknik ini membatasi ruang bebas untuk bekerja di area-area
sekitar tumor. Akses yang terbatas melalui apertura nasal membatasi lapangan operasidan dapat
menyebabkan traksi pada tumor. Selain itu, adanya perdarahan yang minimal saja dapat
mengaburkan lapangan pandang operasi. Adanya keterlibatan sinus kavernosus atau ekstensi
tumor ke depan arteri karotis interna melalui foramen laserum dapat menjadi risiko perdarahan
sehingga dapat membatasi proses pengerjaan endoskopi.4,7
2. Pengobatan Untuk Angiofibroma Nasofaring Intrakranial
Pendekatan bedah untuk tumor sangat bergantung pada hubungannya dengan sinus
kavernosus. Tumor yang terletak lateral terhadap sinus kavernosus paling baik dibedah melalui
pendekatan dasar tengkorak lateral (pendekatan subtemporal preaurikular atau pendekatan Fisch
tipe D) dimana eksisi sempurna dicapai pada 80% kasus. Tumor yang terletak medial terhadap
sinus kavernosus paling baik diakses melalui pendekatan transmaksilaris anterior. Maxillary swing
atau teknik translokasi fasial menyediakan paparan yang luas dan memungkinkan diseksi
metikulus tumor dari dura, sinus kavernosus dan nervus optikus. Kraniotomi dapat dihindari pada
tumor-tumor dengan derajat ekstensi intrakranial yang rendah dan tidak berhubungan langsung
dengan sinus kavernosus. Akses ke tumor selanjutnya dapat diperoleh melalui penyusuran tumor
disepanjang rute penjalarannya, dimana hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan trans-nasal
terbuka dengan akses luas yang diperoleh melalui pendekatan maxillary swing.4,15
3. Pengobatan Untuk Angiofibroma Nasofaring Residual Atau Rekuren
Rekurensi merupakan gambaran yang mencolok dalam perjalanan klinis angiofibroma
nasofaring. Keterlibatan fossa infratemporal, sinus sfenoid, dasar pterigoid, bagian medial dari
sinus kavernosus, foramen laserum dan fossa anterior telah dihubungkan dengan peningkatan
risiko rekurensi pada penyakit ini.4,15 Perhatian terhadap prinsip pembedahan seperti optimalisasi
prapembedahan, paparan visualisasi bedah yang adekuat, pengontrolan aliran vaskulardan
pembuangan tumor yang sistematis dapat meminimalkan kejadian rekurensi. Direkomendasikan
follow-up dengan endoskopi dan radiologi setiap 3-4 bulan setelah pembedahan untuk memantau
sisa atau rekurensi penyakit. Tumor-tumor yang besar dan simtomatis atau tumor-tumor yang
progresif pada pemeriksaan imaging membutuhkan revisi bedah. Gamma knife treatment dan
radioterapi konvensional merupakan alternatif lain untuk sisa-sisa tumor intrakranial.4,15

2.4.6 Komplikasi dan Prognosis


Sejauh ini rekurensi merupakan komplikasi angiofibroma nasofaring yang umum terjadi
dan dilaporkan sekitar 25-40% kasus angiofibroma nasofaring dapat mengalami rekurensi setelah
satu tahun pembedahan. Rekurensi biasanya terjadi pada tumor stadium lanjut atau akibat tindakan
pembedahan yang tidak sempurna. Dari sudut pandang pembedahan, kebanyakan rekurensi terjadi
akibat invasi tumor ke basis sfenoid.3,7 Semakin luas ekstensi yang dilakukan maka semakin besar
pula kemungkinan menimbulkan permasalahan okular seperti oftalmoplegia dan gangguan
penglihatan.3,7
Prosedur maksilektomi memiliki beberapa komplikasi. Kehilangan darah yang signifikan dapat
terjadi pada maksilektomi. Kehilangan darah meningkat seiring dengan pembedahan yang terjadi pada arah
anteroposterior. Terkenanya Pleksus pterygoid biasanya menyebabkan kehilangan darah yang signifikan.
Mungkin diperlukan rekonstruksi jika dasar orbital terkena saat operasi. Eksenterasi orbita mungkin
diperlukan saat tumor mendestruksi dan menginfiltrasi ke intraorbital. Komplikasi meliputi diplopia,
enophthalmos, ectropion, blepharitis, konjungtivitis, paparan keratopati, epiphora, dan atrofi optik. Dapat
terjadi gangguan proses menelan. Perubahan bicara sering terjadi pada maksilektomi akibat hilangnya
kompetensi palatal dan meningkat ucapan resonansi. Infeksi dan kelumpuhan saraf kranial multipel.
Anatomi Nervus optik, cabang rahang atas Nervus trigeminal dan Nervus sphenopalatina beresiko selama
reseksi maksilektomi. Manajemen jalan napas post maksilektomi biasanya bukan tantangan dan jarang
terjadi kebocoran cairan serebrospinal. Hanya 7,7% pasien yang membutuhkan trakeostomi setelah
rekonstruksi dan sindrom nyeri wajah yang bersifat kronis.

III PEMBAHASAN
Pembedahan merupakan modalitas utama bagi penatalaksanaan angiofibroma nasofaring.
Pembedahan dengan pendekatan tertentu ditentukan berdasarkan lokasi tumor, perluasannya dan keahlian
operator. Maksilektomi dilakukan dengan anestesi umum. Penderita angifibroma nasofaring biasanya usia
muda sehingga teknik bedah yang digunakan harus memperhatikan efek bedah pada kraniofasial.
Pembedahan yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada kraniofasial meliputi elevasi jaringan
lunak dan periosteum, pembedahan mucoperiosteum pada langit-langit mulut, ethmoidectomy, osteotomi
pada wajah dan penggunaan fiksasi pelat logam. Pendekatan bedah bisa inferior, lateral dan anterior.
Pendekatan inferior meliputi transpalatal dan transoral-transpharyngeal routes. Pendekatan anterior
meliputi transnasal, Le Fort I maxillotomy dan medial maksilektomi. Pendekatan lateral mencakup
pendekatan fossa infratemporal.
Pendekatan transpalatal dan transoral transpharyngeal paling sesuai untuk tumor yang
terlokalisasi di rongga hidung dan nasofaring, namun pendekatan transpalatal yang dimodifikasi
dengan eksisi pterygoid plate dapat mengakses fossa pterygopalatine. Pendekatan transnasal dapat
digunakan untuk tumor yang terbatas pada nasofaring, rongga hidung dan sinus sphenoid. Menurut
Mann dkk pendekatan endonasal tidak dianjurkan pada angiofibroma stadium IV dan beberapa
kasus stadium III dengan perluasan ke dalam fosa kranial. Pendekatan maxillotomy Le Fort I
memberi akses pada tumor yang terbatas pada nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal, fosa
pterygopalatine dan tumor yang meluas ke fosa infratemporal. Pendekatan maxillotomy medial
memberikan akses pada tumor pada nasofaring, orbita, etmoids, sinus sphenoid, fosa
pterygopalatine, fossa infratemporal, dan bagian medial sinus kavernosus. Teknik ini dapat
dilakukan melalui rhinotomy lateral, atau pendekatan Weber-Ferguson, atau dengan degloving
midfacial, atau degloving midfacial yang dimodifikasi.
Persiapan praoperasi bertujuan mengantisipasi komplikasi yang mungkin terjadi seperti perdarahan
massif dengan persiapan transfusi. Terapi hormon seperti androgen dan estrogen diberikan untuk
mengurangi vaskularisasi dan ukuran tumor angiofibroma nasofaring, namun setelah ditemukan embolisasi
angiografi maka hal ini tidak diperlukan lagi.
Menurut Ezri dkk, dilaporkan beberapa teknik untuk menurunkan resiko perdarahan. Salah satunya
dengan teknik hipotensi dan hipotermi disertai rapid sequence induction. Juga disarankan melakukan
ekstubasi beberapa jam setelah operasi. Pasien dibuat dalam kondisi hipotensi saat diinduksi (MAP 55-65
mmHg).
Teknik hipotensi sangat menolong untuk mengurangi kehilangan darah. Tekanan perfusi dari otak
sangat ditoleransi, bila tumor melibatkan arteri karotis (yang mengurangi tekanan arteri serebral) atau vena
jugularis (meningkatkan tekanan vena serebral). Kemudian posisi head-up juga meningkatkan
kemungkinan terjadinya emboli udara pada vena. Sebagai akibat reanastomosis dari flap mikrovaskular,
tekanan darah juga harus dipelihara pada baseline tekanan darah pasien. Obat vasokonstrikisi seperti
phenylephrine juga harus dihindari karena walaupun tekanan darah sistemik meningkat, perfusi dari flap
akan berkurang dikarenakan oleh vasokonstriksi dari graft pembuluh darah. Selain itu, vasodilator seperti
sodium nitroprusside atau hydralazine juga harus dihindari untuk mencegah terjadinya penurunan tekanan
perfusi.
Pasien dengan kemungkinan perdarahan massif perlu pengawasan yang ketat seperti tekanan darah,
gas darah, dan pemantauan hematokrit. Jika perlu ditambahkan akses melalui vena femoralis dan antecubiti.
Jika perlu flap lengan maka jalur intravena tidak boleh dipasang di lengan. Minimal dua jalur infus yang
paten (sebaiknya dengan alat pemantau suhu) dan kateter Foley terpasang. Udara inspirasi harus dipanaskan
dan dilembabkan serta selimut pemanas udara harus diposisikan di atas ekstremitas bawah untuk membantu
mempertahankan suhu tubuh tetap normal. Hipotermia intraoperatif dan vasokonstriksi sangat merugikan
perfusi dari flap mikrovaskuler.
Sebaiknya pasien menjalani angiografi untuk mengkonfirmasi vaskularitas angiofibroma
nasofaring, yang memainkan peran utama dalam embolisasi pra operasi. Embolisasi harus dilakukan 24
jam sebelum operasi karena angiofibroma nasofaring diketahui mencapai revaskularisasi cepat. Dilaporkan
bahwa embolisasi meningkatkan risiko eksisi yang tidak komplit karena defek batas tumor yang berkurang,
terutama bila terjadi invasi ke tulang sphenoid. Namun, Andrade dkk melaporkan bahwa embolisasi tidak
diperlukan karena reseksi tumor angiofibroma nasofaring yang komplit sangat sulit. Terlepas dari risiko
eksisi yang tidak lengkap, embolisasi tetap menjadi pilihan terapi.
Keputusan untuk melakukan trasnfusi harus diseimbangkan dengan problem medis pasien dengan
kemungkinan terjadinya keganasan pasca transfusi sebagai akibat dari supresi imun. Pemakaian faktor
rheologis lebih disukai karena akan menyebabkan turunnya hematokrit ketika bedah freeflap mikrovaskuler
dilakukan. Obat diuresis sebaiknya dihindari selama bedah free-flap mikrovaskular untuk menyediakan
perfusi yang adekuat pasca operasi.
Manipulasi dari sinus karotikus dan ganglion stelata selama bedah diseksi radikal leher telah
diasosiasikan dengan variasi tekanan darah yang lebar, bradikardia, aritmia, sinus arrest, dan pemanjangan
qt interval. Infiltrasi dengan obat anestesi lokal pada selaput pelindung karotis biasanya akan memperbaiki
masalah tersebut. Diseksi bilateral pada leher akan menghasilkan terjadinya hipertensi postoperasi dan juga
kehilangan dari pengaturan hipoksik karena kehilangan persarafan dari sinus karotis dan tubuh.
Pengelolaan jalan nafas kemungkinan mengalami kesulitan oleh karena tumor yang menghalangi.
Jika terjadi masalah saluran napas yang potensial maka harus dihindari induksi intravena sebelum
laringoskopi dan mampu mempertahankan ventilasi spontan. Dalam kasus ekstirpasi angiofibroma
nasofaring, peralatan dan personil yang dibutuhkan untuk trakeostomi darurat harus tetap tersedia. Diskusi
mengenai manajemen jalan napas harus dilakukan dan kemungkinan ventilasi postoperatif atau
trakeostomi.Trakeostomi elektif dengan anestesi lokal adalah pilihan yang bijaksana, terutama jika
laringoskopi tidak langsung menunjukkan bahwa lesi rentan terhadap dislodgment selama intubasi. Studi
pencitraan seperti MRI dan CT scan sangat membantu merencanakan manajemen jalan nafas.
Endotrakea tube sebaiknya ditempelkan di bagian bawah bibir dan di sisi yang berlawanan dari
lokasi insisi. Jika ada kesulitan di jalan napas, pertimbangkan teknik bangun untuk amankan jalan napas.
Dekompresi abdomen harus dipertimbangkan pada akhir operasi karena kemungkinan ada darah yang
tertelan. Pasang minimal dua akses cairan intravena dan kateter Foley untuk tindakan maksilektomi dengan
waktu yang panjang. Pertimbangkan pasien yang diintubasi dengan propofol untuk mencegah episode
hipertensi dan pembentukan hematoma, terutama di pasien yang memiliki rekonstruksi flap.
Pasca perawatan anestesi sebaiknya tetap mempertahankan tekanan darah normal untuk mencegah
pendarahan yang berlebihan atau pembentukan hematoma. Pasca operasi akan lebih aman bila dilakukan
ventilasi spontan / terkontrol melalui Tabung ETT atau trakeostomi daripada ekstubasi langsung.
Mempertahankan akses jalan nafas secara terus menerus pasca ekstubasi merupakan hal penting.
Saraf kranial V, VI, VII, IX, X yang bertanggung jawab atas sakit kepala akut dan kronis, wajah
dan leher. Rasa sakit bisa ditandai juga nociceptive (somatik atau viseral) atau neuropati (paroksismal, sakit
lancinating). Manajemen nyeri terdiri dari banyak modalitas baik farmakologis, herbal, fisioterapi dan
teknik nyeri intervensi. Nyeri kanker merespon dengan baik terhadap opioid, sementara neuropati
merupakan rasa sakit yang lebih mudah merespons antidepresan trisiklik dan antikonvulsan. Manajemen
nyeri harus berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pedoman American Pain Society.
Pendekatan tiga jenjang yang terdiri dari anti-inflamasi non steroid, opioid, dan adjuvant. Obat adjuvan
meningkatkan efek analgesik atau mengurangi gejala lainnya yang memperberat rasa sakit. Contoh obat
adjuvan meliputi trisiklik, antidepresan, antikonvulsan, cannabinoids, antispasmodik, bifosfonat,
adrenergik, steroid, dan kalsitonin.

IV. KESIMPULAN
Prosedur maksilektomi memberikan tantangan bagi ahli anestesi. Diantaranya adalah perlu
manajemen yang tepat untuk mengatasi kehilangan darah yang massif, pemantauan saraf kranial dan
manajemen jalan nafas. Operasi yang berhasil melibatkan dialog terbuka antara ahli anestesi dan ahli THT-
KL. Seyogyanya perlu ditetapkan tentang pengelolaan perioperatif pada pasien maksilektomi secara
kolaboratif dan rencana perawatan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Thakar A, Hota A, Pookamala S. Nasopharyngeal angiofibroma. The


otorhinolaryngologist. 2013; 6(1):25-34.
2. Ardehali MM, Ghorbani J. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma, new aspects in
management. Iranian journal of otorhinolaryngology. 2011;23(3):61-8.
3. Gaillard AL, Anastacio VM, Piatto VB, Maniglia JV, Molina FD. A seven year experience
with patients with juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Braz J Otorhinolaryngol. 2010;
76(2):245-50.
4. Pham V, Mukerji S, Quinn FB. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma: evaluation and
treatment. UTMB health. 2010:1-10.
5. Alimli AG, Oztunali C, Akkan K, Boyunaga O. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
magnetic resonance imging findings. Journal of the Belgian society of radiology. 2016;
100(1):1-8.
6. Boghani Z, Husain Q, Kanumur V. Nasopharyngeal angiofibroma: a systematic review and
comparison of endoscopic, endoscopic-assisted, and open resection in 1047 cases. The
laryngoscope. 2013; 123:859-69.
7. Szymanska A, Szymanski M, Morshed K, Chehab EC. Extranasopharyngeal angiofibroma:
clinical and radiological presentation. Eur arch otorhinolaryngol. 2013; 270:655-60.
8. Mattei TA, Nogueira GFN, Ramina R. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma with
intracranial extension. Otolaryngology head and neck surgery. 2011; 145(3):498-504.
9. Hodges JM, McDevitt AS, Ali AI, Sebelik ME. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
current treatment modalities and future considerations. Indian J Otolaryngol Head Neck
Surg. 2010; 62(3):236-47.
10. Mangku G. dan T. G. A. Senapathi. 2009. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks
11. Massachusetts General Hospital. 2005. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts
General Hospital. Massachusetts
12. Braden, H. 2002. Anesthesia and Resuscitation. MCCQE 2002: hal 6-18
13. Latief, S.A., K.A. Suryadi, M.R. Dachlan. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
14. Katzung, B.G., S.B. Masters, dan A.J. Trevor. 2009. Basic & Clinical Pharmacology 11th
edition. San Fransisco: McGraw-Hill Companies
15. Schug, S.A. dan P. Dodd. 2004.Perioperative Analgesia. Australia Prescribe
2004;27:hal152–4
16. Ivandri. 2011. Penanganan Nyeri Pasca Bedah. Jakarta. Tersedia di http://ivan-
atjeh.blogspot.com/p/contact.html (Diakses tanggal 5 Agustus 2012)
17. Spiro RH, Strong EW, Shah JP.Maxillectomy and its classification. Head Neck 1997; 19(4):309–14.
18. Lin HS, Wang D, Fee WE, Goode RL, Terris DJ. Airway management after maxillectomy:routine
tracheostomy is unnecessary. Laryngoscope 2003;113(6):929–32.
19. Cooper RM. Extubation and changing endotracheal tubes. In Hagberg C, ed. Benumof's Airway
Management. Philadelphia: Mosby Elesevier; 2007. pp. 1146–80.
20. Practice guidelines for cancer pain management. A report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Pain Management, Cancer Pain Section. Anesthesiology 1996;
84(5):1243–57.
21. Little J, Bumpous J. Complications of maxillectomy. In Eisele D, Smith R, eds. Complications in
Head and Neck Surgery, 2nd edn. Philadelphia: Mosby/Elsevier; 2009. pp. 577–80
22. Carpenter RL, Rauck RL. Refractory head and neck pain. A difficult problem and a new alternative
therapy. Anesthesiology 1996;84(2):249–52.

Anda mungkin juga menyukai