Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Neoplasma di daerah sinus paranasal merupakan kasus yang jarang terjadi,

hanya sekitar 3% dari semua kasus neoplasma di saluran aerodigesti. Keganasan pada

rongga hidung juga termasuk dalam kelompok penyakit neoplasma ini. Gejala dari

penyakit ini biasanya berupa rhinosinusitis kronis akibat keterlambatan diagnosis.

Tumor pada sinus paranasal dapat dikelompokan menjadi tumor jinak dan tumor

ganas, dengan jenis tumor jinak tersering adalah papiloma dan tumor ganas yang

paling sering adalah karsinoma sel squamousa. Keganasan di daerah sinus paranasal

lebih umum terjadi dibandingkan dengan penyakit tumor jinak.

Setiap negara memiliki variasi kejadian tumor yang berbeda-beda. Beberapa

penelitian mengatakan hal tersebut dipengaruhi variasi dari kondisi geografis, faktor

budaya, sosial, lingkungan tempat tinggal dan kerja yang berbeda beda, menyebabkan

varisasi kejadian tumor yang tersering terjadi masing-masing negara di belahan dunia

berbeda pula.2 Insidensi tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2

sampai 3.6 per 100 penduduk per tahun. Di departemen THT FKUI RS Cipto

Mangunkusumo, keganasan ini ditemuakan pada 10-15 % dari seluruh tumor ganas

THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar

2:1.
Tumor yang termasuk dalam neoplasma di daerah maxila antara lain

bersumber dari mukosa epitalium, kelenjar seromusinus, jaringan lunak, tulang,

kartilago, jaringan neural/neuroectodermal, sel haematolymphoid dan aparatus

odontogenik. Asal tumor yang disebutkan tersebut bisa tumbuh di seluruh bagian

tubuh dan namun angka kejadiannnya sangat kecil. Tumor sinonasal yang khas untuk

daerah tersebut adalah neuroblastoma olfaktorius.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Maksila dan Sinus Paranasal

Maksila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, yang merupakan tulang

terbesar setelah mandibula (rahang bawah). Masing-masing maksila

mempunya bagian:

Corpus yang berbentuk pyramid dengan 4 permukaan dinding:

a. Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar cavum orbi

b. Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi

c. Facies infra temporalis yang menghadap postero-lateral

d. Facies anterior

Processus terdiri atas 4 proscessus yaitu:

a. Proc. Frontalis yang bersendi dengan os. Frontale, nasal dan lacrimale

b. Proc. Zygomaticus yang bersendi dengan os. Zygomaticus

c. Proc. Alveolaris yang ditempati akar gigi

d. Proc. Palatines yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris.

Corpus maksila merupakan bangunan berongga, berdinding tipis, terutama

pada facies nasalis. Rongga tersebut dinamakan sinus maksilaris, yang

merupakan sinus terbesar dari keempat sinus paranasalis yang ada. Di bawah

mukosanya, pada dinding anterior dan posterior, terdapat anyaman saraf yang

dibentuk cabang n. maksilaris yang masuk menuju sinus melalui canalis

alveolaris dan canalis infra orbitalis untuk mempersarafi gigi rahang atas.
Akar gigi yang tumbuh pada proc. Alveolaris maksila kadang-kadang dapat

menembus sinus, yaitu akar gigi dari M1. Terdapat juga otot-otot yang kecil

dan tipis yang melekat pada maksila yang mendapat persarafan motorik dari

nervus fasialis.

Gambar 1. Tulang Maksila

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada 4

pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu, sinus maksila, sinus

frontalis, sinus etmoid, dan sinus sfenoid.


Gambar 2. Sinus paranasal

2.1.1. Sinus maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar, berbentuk piramid.

Dinding anterior sinus tersebut adalah fosa kanina, dinding posterior berbatasan

dengan permukaan infra-temporal os maksila, dinding medialnya adalah dinding

lateral rongga hindung, dinding superior adalah dasar orbita dan dinding

inferiornya adalah prosessus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada

di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris

melalui infundibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1)

dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu

premolar (P1, P2) dan molar (M1, M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan

gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus

sehingga infeksi gigi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis, 2) Sinusitis

maksilaris dapat menyebabkan komplikasi di daerah orbita, 3) ostium sinus


maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase hanya

bergantung dari gerak silia.

2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal terletak di os frontal, dengan bentuk kanan dan kiri sinus ini

tidak simetris. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan

dalam 2 cm. sinus ini berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus

frontalis yang berhubungan dengan infudibulum etmoid.

2.1.3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal sinus etmoid yang paling bervariasi dan

merupakan bagian paling penting karena merupakan fokus-fokus infeksi bagi

sinus lainnya. Bentuk sinus etmoid adalah seperti piramid. Ukurannya dari

anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebar 0.5 cm di bagian anterior dan

posteriornya 1.5 cm.

Sinus etmoid berongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon yang

terdapat dibagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan

dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus

etmoid anterior muaranya di meatus medius dan sinus etmoid posterior muaranya

di meatus superior.

Di bagian terdepan dari sinus etmoid terdapat bagian sempit yang disebut

sebagai resesus frontalis yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang

terbesar disebut sebagai bula etmoid, di daerah etmoid anterior terdapat pula

penyempitan yang disebut infundibulum etmoid. Bagian ini menghubungkan

sinus etmoid dengan sinus maksilaris. Atap dari sinus etmoid disebut sebagai
fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral dari sinus ini

adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan berbatasan dengan sinus etmoid

dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus ini berbatasan dengan sinus sfenoid.

2.1.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.

Sinus ini dibagi menjadi 2 bagian kanan dan kiri oleh sekat yang disebut septum

intersfenoid. Ukuran tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volum

sinus ini bervariasi 5-7.5 ml.

Batas-batas sinus sfenoid adalah superior terdapat fosa serebri media dan

kelenjar hipofisis, batas inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral

berbatasan dengan sinus kavernosus, dan a.karotis interna dan sebelah

posteriornya berbatasnya dengan fosa serebri posteriot di daerah pons.

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal

Sampai saat ini masih belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi

sinus paranasal. Ada beberapa yang berpendapat sinus tersebut tidak memiliki

fungsi apapun karena terbentuk sebagai akibat dari pertumbuhan tulang muka.

Beberapa teori yang dikemukakan mengenai fungsi sinus paranasal antara lain

(1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu

keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan

tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga

hidung.
2.3. Tumor Maksila

2.3.1. Definisi

Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat

pengaruh berbagai factor penyebab tumor yang menyebabkan jaringan

setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya.

Tumor sendiri merupakan penyakit pada gen, basis biologisnya adalah

kelainan genetic. Faktor penyebab tumor menimbulkan mutasi gen pada sel

tubuh hingga timbul kelainan genetic, manifestasi gen menjadi kacau, timbul

pada kelainan morfologi, metabolisme dan fungsi sel tumor yang berbeda dari

sel normal. Tumor maksila adalah tumor yang lokasinya berada di daerah

maksila.

2.3.2. Etiologi

Etiologi dari penyakit ini umumnya tidak diketahui. Menurut WHO faktor

predisposisi dari kejadian tumor ini berasal dari adanya paparan debu kayu

yang berasal dari kayu pohon beech atau oak.Dimana ekporsure tersebut

menyebabkan adanya inflamasi secara kronis dan menyebabkan terbentuknya

tumor carsinoma sinonasal. Mulculnya keganasan biasanya sekitar 40 tahun

setelah kontak pertama. Pada kasus tumor jinak ilmuawan percaya

terbentuknya proses tersebut sebagai akibat dari adanya trauma yang tidak

dterapikan dengan adekuat.


2.3.3. Klasifikasi

Tumor secara umum di kelompokkan sebagai 2 jenis yaitu tumor ganas

dan tumor jinak. Adapun yang termasuk dalam kelompok tumor jinak yang

berada di maksila antara lain kelompok epitel dan nonepitel serta tumor

odontogenik. Sedangkan tumor ganas terdiri dari tumor epitel dan nonepitel.

Tabel 1. Jenis-jenis Tumor Maksila

Tumor jiinak epitel antara lain: Tumor ganas epitel antara lain:

 Adenoma  Karsinoma sel squamousa

 Papiloma  Kanker kelenjar liur

Tumor jinak nonepitel antara lain:  Adenokarsinoma

 Fibroma Tumor ganas non epitelia antara

 Angiofibroma lain:

 Hemangioma  Hemangioperisitoma

 Neurilemomma  Osteogenic sarkoma

 Osteoma  Rabdominosarkoma

 Displasia fibrosa  Limfoma malignum

Tumor odontogenik  Plasmasitoma

 Ameloblastoma

 Adamantinoma

 Kista tulang
2.3.4. Epidemiologi

Tumor pada sinus paranasal dapat dikelompokan menjadi tumor jinak dan

tumor ganas, dengan jenis tumor jinak tersering adalah papiloma dan tumor

ganas yang paling sering adalah karsinoma sel squamousa.

Kurang lebih 60% kasus tumor ganas ini berasal dari sinus maksila, dikuti

kavum nasi 20-30%, sinus etmoid 10-15% dan sinus sfenoid dan sinus frontal

1%. Bila tumor kavum nasi tidak dimasukkan maka, 77% berasal dari sinus

maksila, 22% dari sinus etmoid dan 1% dari sfenoid dan frontal. Keganasan

ini dengan angka yang tinggi ditemukan di Jepang, China dan India.

Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per

100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di

Cina dan India. Di Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo,

keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-

laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar

2:1.

2.3.5. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda dari penyakit tumor ini bergantung dari asal primer

tumor dan arah perluasaannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tidak

bergejala. Gejala timbul setelah tumor membesar. Berikut ini beberapa

kategori gejala yang dapat timbul akibat perluasan dari tumor maksila:

a. Gejala nasal
Gejala pada nasal dapat berupa obstruksi hidung yang unilateral, dapat disertai

dengan rhinorea, dan epitaksis. Selain itu terjadi kelainan deformitas pada

hidung seperti deviasi septum nasi. Pada kasus keganasan di daerah maksila

dapat menyebabkan keluarnya sekret berbau disertai jaringan nekrotik.

b. Gejala orbita

Gejala pada orbita dapat berupa diplopia, proptosis, oftalmoplegia, gangguan

visus dan epifora.

c. Gejala oral

Gejala pada gigi dapat berupa nyeri menetap di daerah gigi meskipun gigi

telah di cabut. Perluasan tumor dapat juga menyebabkan munculnya benjolan

di daerah palatum.

d. Gejala fasial

Perluasan tumor maksila di daerah wajah dapat menyebabkan penonjolan

tulang pipi. Jika sudah sampai menekan nervus trigeminus maka dapat terjadi

parestesia atau anesteia di daerah wajah.

Gambar 3. Benjolan di daerah wajah


e. Gejala intrakranial

Jika terjadi perluasan tumor hingga ke daerah kepala dapat terjadi nyeri kepala

hebat.

2.3.6. Diangosis Banding

Diagnosis banding kasus tumor maksila antara lain, papiloma, calcifying

odontogenic cyst (Gorlin cyst), tumor odontogenik adenomatoid, tumor

calcifying epithelial odontogenic (Pindborg tumour), myxoma, osteoblastoma,

cementoblastoma, osteosarcoma, Paget’s disease, cemento-ossifying fibroma,

dan osteoma.

a. Papiloma

Papiloma merupakan tumor yang berasal dari invaginasi epitel dan poliferasi

dari membran schneiderian membentuk stroma. Umumnya terjadi lebih sering

pada laki-laki dibandingkan perempuan. Kejadian tersering pada usia 40-70

tahun dan jarang pada anak-anak.

Gambar 4. CT Scan dan tampilan jaringan tumor papiloma

b. Calcifying odontogenic cyst (Kista Gorlin)


Calcifying odontogenic cyst (Kista Gorlin) merupakan kista yang berasal dari

jaringan odontogenik, biasanya unilateral. Dapat tumbuh di tulang maksila

maupun mandibula. Biasanya berasal dari gigi seri ataupun gigi taring.

Umumnya pasien berumur 20-30 tahun.

c. Tumor odontogenik adenomatoid

Tumor odontogenik adenomatoid merupakan tumor yang paling sering terjadi

pada pasien di bawah usia 30 tahun. Angka kejadian perempuan lebih banyak

terjadi dibandingkan laki-laki. Lebih sering mengenai daerah maksila

dibandingkan dengan mandibula. Tumor ini biasanya bersumber dari gigi seri.

d. Tumor calcifying epithelial odontogenic (Tumor Pindborg)

Tumor calcifying epithelial odontogenic (Tumor Pindborg) jenis tumor yang

jarang terjadi biasanya menyerang usia 30-50 tahun. Perbandingan kejadian

tersering laki-laki dan perempuan masih belum ada bukti penelitian yang

mendukung. Tumor dapat tampak sebagai radiolusent unilokular maupun

multilokular pada foto rongten. Biasanya asal jaringan dari gigi molar tiga.

e. Myxoma

Jenis tumor yang sering pada usia 25-30 tahun. Tidak ada faktor predileksi

dari jenis kelamin. Biasanya mengenai posterior dari mandibula. Tumor ini

sangat kecil, kadang jarang bergejala. Radiografi menunjukan adanya

radiolusensi unilocular dan multilocular disertai dengan perubahan posisi dan


resorpsi gigi. Pada radiolucent area dapat muncul gambaran “soap bubble”

akibat terbentuknya tulang trabekula yang tipis.

f. Cementoblastoma

Cementoblastoma biasanya merupakan perkembangan tumor yang berasal

dari gigi molar dan premolar. Umumnya terjadi pada usia 30 tahun dapat

menyerang pria dan wanita. Gejala umum yang terjadi adalah rasa bengkak

dan nyeri. Pada radiologi tampak masa radioopaque pada 1 atau lebih akar

gigi.

g. Osteosarkoma

Tumor ini merupakan tumor ganas, tumbuh dari jaringan mesenkimal yang

memproduksi jaringan tulang dan tulang immatur. Sering pada laki-laki usia

30-40 tahun. Lesi ini biasanya mengenai bagian inferior dari maksila (alveolar

ridge, sinus floor, palate). Gejala klinis berupa bengkak, nyeri, gigi tanggal,

parestesia dan obstruksi dari hidung.Gambaran radiologi bervariasi dari

densitas radiolusen slerosis sampai campuran.

Gambar 5. Tampilan radiologi dan jaringan osteosarkoma


h. Paget’s disease

Penyakit ini menyebabkan abnormal resorpsi dan deposisi tulang. Biasanya

mengenai tulang rahang pada usia pertengahan. Gejala biasanya berupa

hidung tersumbat, perluasan daerah turbinasi, sinus mengalami olbiterasi dan

deviasi septum.

i. Osteoma

Osteoma adalah penyakit tumor jinak pada tulang baik tulang padat

(kompakta) ataupun tulang spongiosa (cancelleous bone). Osteoma

merupakan tumor jinak yang paling sering ditemukan (39,3%) dari seluruh

tumor jinak tulang terutama terjadi pada usia 20 – 40 tahun. Bentuknya kecil

tapi dapat menjadi besar tanpa menimbulkan gejala-gejala yang spesifik.

Gambar 6. Gambaran CT Scan Karsinoma Dinding Maksilaris Kanan

dengan Ekstensi kedalam Kavum Nasalis Kanan

2.3.7. Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnostik dapat melalui foto CT scan kepala, biasanya

ditemukan gambaran hiperdens pada daerah sinus paranasal. Selain CT Scan

dapat pula ditemukan gambaran masa pada pemeriksaan foto rongten.

Pemeriksaan berupa biopsi histopatologi dapat pula diajukan sebagai

untuk mengetahui jenis dari tulang ataupun asal daerah pertumbuhan tumor

yang terjadi tersebut.

2.3.8. Stadium

Penilaian stadium tumor menggunakan klasifikasi AJCC (American

Joint Committee on Cancer) edisi ke-6 tahun 2002, yang mengklasifikasikan

tumor berdasarkan ukuran tumor primer (T), metastasis kelenjar getah bening

regional (N) dan metastasis jauh (M).

Penentuan tumor primer bersadarkan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan

neurologi saraf kranial. Pemeriksaan dengan endoskopi dianjurkan.

Pemeriksaan pencitraan baik Computed Tomography scan (CT scan) atau

Magnetic Resonance Imaging (MRI) diperlukan untuk mendapatkan stadium

yang akurat sebelum pengobatan.

Penilaian pembesaran kelenjar getah bening leher dilakukan dengan

palpasi dan pencitraan, sedangkan metastasis jauh ditentukan dengan berbagai

pemeriksaan seperti radiologi, kimia darah dan pemeriksaan lain sesuai

indikasi. Klasifikasi menurut AJCC 2002.


Tumor Maksila, Tumor Primer (T) Rongga hidung dan sinus etmoid
 TX Tumor primer tidak dapat dinilai  T1 Tumor terbatas pada satu sisi
 T0 Tidak terdapat tumor primer dengan atau tanpa invasi ke tulang.
 Tis Carcinoma in situ Sinus maksila  T2 Tumor telah mengenai dua sisi
 T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus dengan atau tanpa perluasan ke
maksila, tidak terdapat erosi atau jaringan sekitar di kompleks
destruksi tulang. nasoetmoid dengan atau tanpa
 T2 Tumor menyebabkan erosi atau invasi tulang.
destruksi tulang termasuk perluasan ke  T3 Tumor telah meluas ke dinding
palatum durum, dan/ atau meatus medius medial atau lantai orbita, sinus
namun tidak terdapat perluasan ke maksila, palatum atau fossa
dinding posterior sinus maksila dan kribriformis.
fossa pterigoid.  T4a Tumor telah mengenai orbita
 T3 Tumor telah mengenai tulang anterior, kulit hidung atau pipi,
dinding posterior sinus maksila, jaringan perluasan minimal ke fossa kranial
subkutan, dinding medial atau lantai anterior, pterygoid plates, sinus
orbita, fossa pterigoid, sinus etmoid. sfenoid atau sinus frontal.
 T4a Tumor telah mengenai orbita  T4b Tumor telah mengenai apeks
anterior, kulit pipi, pterygoid plates, orbita, dura, otak, fossa kranial
fossa infratemporal, fossa kribriformis, media, saraf kranial selain N.V2,
sinus sfenoid atau sinus frontal. nasofaring atau clivus.
 T4b Tumor telah mengenai apeks orbita,
dura, otak, fossa kranial media, saraf
kranial selain N. Maksilaris (V2),
nasofaring atau clivus.

Metastasis ke kelenjar getah bening Metastasis jauh(M)


regional (N)  MX Metastasis jauh tidak dapat
 NX Pembesaran kelenjar getah bening ditentukan.
(KGB) regional tidak dapat dinilai.  M0 Tidak terdapat metastasis jauh.
 N0 Tidak terdapat pembesaran KGB  M1 Terdapat metastasis jauh.
 N1 Metastasis ke KGB singel ipsilateral
dengan diameter terpanjang ≤3 cm. Stadium tumor
 N2 Metastasis ke KGB singel ipsilateral  Stadium 0 Tis N0 M0
lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6  Stadium I T1 N0 M0
cm, atau multiple ipsilateral ≤6 cm atau  Stadium II T2 N0 M0
bilateral atau kontralateral ≤6 cm.  Stadium III T3 N0 M0
 N2a Metastasis ke KGB singel T1 N1 M0
ipsilateral lebih dari 3 cm tapi tidak T2 N1 M0
lebih dari 6 cm. T3 N1 M0
 N2b Metastasis ke KGB multipel  Stadium IVA T4a N0 M0
ipsilateral ≤ 6 cm. T4a N1 M0
 N2c Metastasis ke KGB bilateral atau T1 N2 M0
kontralateral ≤6 cm. T2 N2 M0
 N3 Metastasis ke KGB dengan diameter T3 N2 M0
terpanjang > 6 cm. T4a N2 M0
 Stadium IVB T4b setiap N M0
Setiap T N3 M0
 Stadium IVC Setiap T setiap N M1

Tabel 2. Stadium Tumor Menurut AJCC

2.3.9. Penatalakasanan

Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya

seperti radiasi dan kemoterapi sebagai ajuvan sampai saat ini masih

merupakan pengobatan utama untuk keganasan dihidung dan sinus paranasal.

Pembedahan dikontraindikasikan pada kasus-kasus yang telah bermetastasis


jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau tumor sudah mengenai

kedua orbita. Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin.

Bila perlu dilakukan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving.

Untuk tumor ganas dilakukan tindakan radikal seperti maksilektomi, dapat

berupa maksilektomi media, total dan radikal. Maksilektomi radikal biasanya

di lakukan misalnya pada tumor yang sudah infiltrasi ke orbita, terdiri dari

pengangkatan maksila secara endblok disertai eksterasi orbita, jika tumor

meluas ke rongga intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial atau kraniotomi,

tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf.

Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastase atau yang

residif atau jenis yang sangat baik dengan kemoterapi, misalnya limfoma

malignum. Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal

biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri

dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan

cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan

radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan

hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan resiko pembedahan

yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan operasi dipertimbangkan

untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi.

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan

atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal

tetapi tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel

tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi
sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat

diperkirakan.

2.3.10. Komplikasi

Harus diperhatikan kecenderungan neoplasma yang dapat menyerang

tulang atau jaringan yang berdekatan, sehingga terjadi perluasan kejaringan

atau organ penting pada daerah wajah dan leher. Dengan CT dan MRI, dapat

menentukan tingkat tumor secara akurat.

2.3.11. Prognosis

Prognosis dari tumor maksila bergantung dari jenis tumor. Usia

harapan hidup pasien dengan tumor jinak lebih baik dibandingkan dengan

tumor ganas.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. PK

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Puncak, 15 Desember 1959

Alamat : Doyo Baru Sentani

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Kristen Protestan

No. RM : 446829

Tanggal Diperiksa : 16 April 2018

3.2. Anamnesis

a. Keluhan utama

Pasien datang dengan keluhan benjolan digusi kiri atas sejak tiga tahun yang

lalu, awalnya kecil lalu membesar dan tidak sakit.

b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang membawa rujukan dari puskesmas sentani dengan keluhan

benjolan digusi sebelah kiri atas yang timbul sejak tiga tahun yang lalu. Awal

timbul benjolan secara spontan berukuran kecil namun semakin lama benjolan

tersebut dirasakan semakin bertambah besar dan nyeri tidak dirasakan pada

benjolan tersebut sejak pertama kali benjolan muncul hingga saat ini. Pasien

tidak memeriksakan dirinya ke Rumah sakit sejak awal timbulnya benjolan

dikarenakan tidak ada gangguan yang berarti, seperti gangguan makan,


minum, menelan dan berbicara. Tidak ada riwayat trauma atau jatuh pada

tempat terjadinya benjolan.

Pasien mengatkan bahwa tidak pernah mengalami sakit gigi pada

daerah benjolan maupun daerah lainny namun pada saat benjolan semakin

membesar terjadi pelepasan pada gigi premolar 1 Rahang kiri atas yang tidak

disadari oleh pasien. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan apapun

untuk mengobati benjolan yang ada.

Menurut pengakuan pasien bahwa orang tua (ayah) dari pasien

meninggal akibat sakit berupa benjolan pada daerah paha kiri sebelah dalam.

Adapun gejala yang ditemukan pada benjolan tersebut adalah berupa nyeri,

panas dan bernanah.

c. Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat diabetes melitus (-)

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat alergi obat dan makanan (-)

 Riwayat gangguan perdarahan (-)

 Riwayat asma (-)

 Riwayat trauma (-)

 Riwayat Tuberkulosis (-)

 Anemia (-)

 Panas tinggi (-)

 Kejang (-)
d. Riwayat penyakit keluarga

 Riwayat Tumor (+): ayah kandung pasien pada region femur medial.

 Riwayat diabetes melitus (-)

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat alergi obat dan makanan (-)

 Riwayat gangguan perdarahan (-)

 Riwayat asma (-)

 Riwayat Tuberkulosis (-)

e. Riwayat sosial dan ekonomi

 Riwayat mengkonsumsi alkohol (-)

 Riwayat mengkonsumsi pinang (-)

 Riwayat merokok (-)

f. Riwayat operasi

Tidak ada.

3.3. Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Status generalis

Keadaan Umum Tampak sakit ringan

Kesadaran Compos mentis

Tanda vital TD: 120/70 mmHg

Respirasi: 20x/menit

Nadi: 86x/menit

SB: 36,5oC
SpO2: 96%

Kepala Jejas (-), Edema (-)

Mata Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), sekret (-)

Telinga Jejas telinga (-), sekret (-)

Hidung Jejas (-), sekret (-)

Leher Pembesaran KGB (-)

Thorax

Paru Inspeksi: (-)

Palpasi: (-)

Perkusi: (-)

Auskultasi: suara nafas (-), Rhonki (-), Wheezing (-)

Jantung Inspeksi: (-)

Palpasi: (-)

Perkusi: (-)

Auskultasi: murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi: datar, jejas (-)

Auskultasi: bising usus (-)

Palpasi: perbesaran hepar/lien (-), nyeri tekan (-), shifting

dullness (-)

Perkusi: (-)

Ekstremitas Dalam batas normal

-
3.3.2 Status lokalis

1. Ekstra oral: Regio Facial : asimetris wajah (+), massa (+) pada regio bucal

sinistra superior , dengan ukuran diameter ± 5x5x3 cm, lonjong, hyperemi

(-), ulkus(-), nyeri tekan (-), panas (-), keras (+), tidak bergerak (+),

permukaan rata (+), terfiksasi (+).

(a) lateral sinitra (a) lateral Dextra

(b) anterior
Gambar 7 .Tampak Ekstra Oral.
2. Intra oral: tampak massa pada regio maksila anterior sinistra dari gigi

premolar 1 (24) sampai molar 3 (28) dengan warna sama dengan mukosa

sekitarnya dan diameter ± 5x5x3 cm, permukaannya rata, hyperemi (-),

darah (-), ulkus (-), pus (-), ada gigi hilang pada premolar 2 rahang kiri atas

(25), nyeri tekan (-), masa keras, berbatas tegas dan terfiksasi,

hipervaskularisasi (+).

Gambar 8 .Tampak Intra Oral

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium

darah, foto panoramik dan CT-Scan.

3.4.1 Laboratorium
Hematologi Lengkap
Hemoglobin : 9,2 g/dL
Hematokrit : 29,5%
Eritrosit : 9.60 x 106 uL
Lekosit : 8.10 x 103 uL
Trombosit :305x103 uL
Koagulasi
PT (waktu protrrombin) : 10.6 detik
APTT : 26.7 detik
Kimia Darah
Glukosa Darah Sewaktu : 189mg/dL
SGOT : 30.7U/L
SGPT :-
BUN : 20.2 mg/dL
Creatinin :0.02 mg/dL
Na, K, Cl
Kalium Darah : 4,62 mEq/L
Natrium darah :144.00 mEq/L
CL darah :110.70 mEq/L
Calcium ion :122 mEq/L
3.4.2 Foto Panoramik

Gambar 9. Foto Panoramik


Interprestasi : Tampak massa radioopak dengan batas yang jelas pada regio bucalis

sinistra atas , ukuran diameter ±5 cm, berbentuk bulat oval destruksi

tulang (-), tampak bergesernya (migrasi) gigi molar 1 jauh dari

tempat asal dan terdapat gigi hilang pada premolar 2 rahang kiri atas

(25).

3.4.3. Foto Scan

Interprestasi : Tampak masa isodens pada maxillarys kiri sisi anterior meluas

mengikuti os maxilla kearah medial kedalam kavum nasi mendesak

concha nasi kiri dengan obliterasi. Tampak massa tersebut juga

melebar ke cranial kedalam kavum orbita inferior kiri tampak

mengalami pengikisan minimal, dasar orbita minimal oblitersi.

Struktur fossa lakrimalis kanan kesan menyempit kiri tampak

normal.struktur sinus etmoidalis dan dinding medial orbita kanan

menyempit, kiri tampak normal. Sinus etmoidalis kiri terdorong


massa, sinus maxillaris kiri sebagian terisi massa tersebut. Massa

tersebut pada pemberian kontras tampak kontras enhacement.

Kesimpulan : Gambaran degenerasi malignan di daerah os maxilla kiri yang meluas

ke kavum orbita mendorong disertai destruksi dasar orbita kiri

meluas juga ke chonca nasi kiri, destruksi tulang dinding os

maxillaris kiri sutau osteosarkoma pada os maxill kiri.

3.5. Diagnosis kerja

Tumor maxilla sinistra

3.6. Diagnosis banding

1. Osteoma
2. Papiloma
3. Myxoma
4. Cementoblastoma
3.7. Penatalaksanaan

Pemeriksaan darah lengkap, foto panoramic dan CT-Scan untuk melihat keadaan

umum pasien sebelum dilakukan tindakan pembedahan.

3.8. KIE

1.Menginformasikan kepada pasien dan keluarganya bahwa kondisi yang terjadi

harus ditangani dengan jalan operasi

2.Menjelaskan prosedur operasi dan resiko operasi

3.Menjelaskan perlunya dilakukan tindakan biopsi pada tumor yang telah diangkat

untuk mendapatkan diagnostik pasti penyebab terjadinya masalah pada pasien

3.9. Prognosis
Ad functionam : dubia ad malam Ad vitam : dubia ad bon
sBAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien atas

nama Ny. PK/ 59Th/ di diagnosa Tumor maxilla sinistra.

Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat pengaruh

berbagai factor penyebab tumor yang menyebabkan jaringan setempat pada tingkat gen

kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya. Tumor maksila adalah tumor yang lokasinya

berada di daerah maksila.

Berdasarkan anamnesa pada pasien didapatkan keluhan benjolan digusi sebelah kiri atas

yang timbul sejak tiga tahun yang lalu. Awal timbul benjolan secara spontan berukuran kecil

namun semakin lama benjolan tersebut dirasakan semakin bertambah dan nyeri tidak

dirasakan pada benjolan tersebut sejak pertama kali benjolan muncul hingga saat ini. Pasien

tidak memeriksakan dirinya ke Rumah sakit sejak awal timbulnya benjolan dikarenakan tidak

ada gangguan yang berarti, seperti gangguan makan, minum, menelan dan berbicara. Tidak

ada riwayat trauma atau jatuh pada tempat benjolan. Menurut pengakuan dari pasien bahwa

tidak pernah mengalami sakit gigi pada daerah benjolan maupun daerah lainnya. Pada saat

benjolan semakin membesar terjadi pelepasan pada gigi premolar 1 Rahang kiri atas yang

tidak disadari oleh pasien. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan apapun untuk

mengobati benjolan yang ada. Menurut pengakuan pasien bahwa orang tua (ayah) dari pasien

meninggal akibat sakit berupa benjolan pada daerah paha kiri sebelah dalam. Adapun gejala

yang ditemukan pada benjolan tersebut adalah berupa nyeri, panas dan benanah.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan benjolan di daerah maksila sinistra berjumlah satu

buah dengan batas yang tegas. Ukuran ± 5x5x3cm dan benjolan teraba keras, permukaan rata,

30
tidak mobile, dan nyeri tekan (-). Pemeriksaan penunjang foto panoramic ditemukan Tampak

lesi radioopak dengan batas jelas pada regio bucalis sinistra atas , ukuran diameter ±5 cm,

berbentuk bulat oval destruksi tulang (-), tampak bergesernya gigi molar 1 jauh dari tempat

asal dan terdapat gigi hilang pada premolar 2 rahang kiri atas (25).

Semua hal tersebut menimbulkan kecenderungan terjadinya tumor di daerah tumor

maksila. Berdasarkan sifatnya sendiri osteoma memiliki karakteristik sesuai dengan tulang

yang terkena dan gejala yang timbul bisa menyerupai sinusitis. Namun kecurigaan ke arah

penyakit lain seperti papiloma, myxoma, cementoblastoma, osteosarkoma masih belum dapat

dihilangkan. Hal ini dikarenakan hasil pemeriksaan histopatologi anatomi pasien belum

dilakukan.Selain itu biopsi dilakukan untuk menentukan tumor yang terjadi apakah suatu

masa jinak atau ganas. Walaupun dari klinis pasien kecurigaan masa menunjukan adanya

tanda-tanda tumor jinak namun, pemeriksaan biopsi tetap dilakukan untuk mengetahui secara

pasti sehingga terapi selanjutnya dapat ditentukan.

Tindakan pada tumor maksila dilakukan tindakan eksisi dan biopsi dari jaringan tumor os

maksila sinistra. Tindakan operasi dilakukan berupa tindakan operasi sesegera mungkin

sebelum tumor tersebut menimbulkan gejala yang lebih hebat. Pada pasien tumor os maksila

yang terjadi merupakan tumor stadium 1 (T1N0M0).

31
BAB V
KESIMPULAN

1. Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat pengaruh

berbagai factor penyebab tumor yang menyebabkan jaringan setempat pada tingkat

gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya.

2. Tumor maksila adalah tumor yang lokasinya berada di daerah maksila.

3. Tumor secara umum di kelompokkan sebagai 2 jenis yaitu tumor ganas dan tumor

jinak dan Etiologi dari penyakit ini umumnya tidak diketahui. Menurut WHO faktor

predisposisi dari kejadian tumor ini berasal dari adanya paparan debu kayu yang

berasal dari kayu pohon beech atau oak

4. Gejala dan tanda dari penyakit tumor ini bergantung dari asal primer tumor dan arah

perluasaannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tidak bergejala. Gejala timbul

setelah tumor membesar.

5. Penegakan diagnostik dapat melalui foto CT scan kepala, biasanya ditemukan

gambaran hiperdens pada daerah sinus paranasal. Selain CT Scan dapat pula

ditemukan gambaran masa pada pemeriksaan foto rongten.

Pemeriksaan berupa biopsi histopatologi dapat pula diajukan sebagai untuk

mengetahui jenis dari tulang ataupun asal daerah pertumbuhan tumor yang terjadi

tersebut.

6. Penilaian stadium tumor menggunakan klasifikasi AJCC (American Joint Committee

on Cancer) edisi ke-6 tahun 2002, yang mengklasifikasikan tumor berdasarkan

ukuran tumor primer (T), metastasis kelenjar getah bening regional (N) dan

metastasis jauh (M).

32
7. Penatalakasanan berupa pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas

terapi lainnya seperti radiasi dan kemoterapi sebagai ajuvan sampai saat ini masih

merupakan pengobatan utama untuk keganasan dihidung dan sinus paranasal.

8. Diagnosis banding kasus tumor maksila antara lain, papiloma, calcifying odontogenic

cyst (Gorlin cyst), tumor odontogenik adenomatoid, tumor calcifying epithelial

odontogenic (Pindborg tumour), myxoma, osteoblastoma, cementoblastoma,

osteosarcoma, Paget’s disease, cemento-ossifying fibroma, dan osteoma.

9. Prognosis dari tumor maksila bergantung dari jenis tumor. Usia harapan hidup pasien

dengan tumor jinak lebih baik dibandingkan dengan tumor ganas.

33
DAFTAR PUSTAKA

Delibasi C, et al. 2009. A Large Mass in the Maxilla: Clinical Features and Differential
Diagnosis. JCDA.
Dewi, S.P. 2016. Laporan Pendahuluan Tumor Maksila. Malang: Fakultas Kedokteran
pBrawijaya.
Moretti, et al. 2004. Osteoma of Maxillary Sinus: Case Report. Acta Otorhinolaryngol Italy.
Nathasia S. & Andri F. 2014. Tumor Maxilla yang disebabkan oleh Kelainan Odontogen dan
Non-odontogen. Jakarta: FK Universitas Pelita Harapan.
Rahman S, & Firdaus A. 2012. Tumor Sinus Paranasal Dengan Perluasan Intrakranial dan
Metastasis ke Paru. Jurnal Kesehatan Andalas.
Roezin A, & Armiyanto.2007. Tumor Hidung dan Sinonasal. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher edisi keenam. Jakarta: FKUI.
Soejitpto D, & Mangunkusumo E. 2007. Sinus Paranasal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher edisi keenam. Jakarta: FKUI.
Wan Desen, et al. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: FKUI.

34

Anda mungkin juga menyukai