Anda di halaman 1dari 12

PERKEMBANGAN KOTA BANGIL MASA KOLONIAL (1613-1942)

Abstrak

Nuri Izzatillah 1

Abstrak. Bangil adalah sebuah wilayah di Kabupaten Pasuruan yang


memiliki keunikan tersendiri karena statusnya sebagai kota sering berubah,
awalnya adalah sebuah Kabupaten, kemudian menjadi Kecamatan, dan saat
ini menjadi sebuah Ibu Kota Kabupaten. Bangil pada masa kolonial
merupakan wilayah yang strategis untuk dijadikan sebuah lokasi pertanian
dan perkebunan karena subur dan letaknya yang sangat strategis. Hal
tersebut didukung dengan dibangunnya Jalan Raya Pos pada masa Deandels
dan pada waktu pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah jalur rel
untuk mengangkut hasil perkebunan tebu.

Kata Kunci : Bangil, Masa Kolonial

Latar Belakang

Kabupaten Pasuruan adalah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia yang


terdiri dari 24 Kecamatan dan 341 Desa. Wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo
dan laut Jawa di Utara, Kabupaten Probolinggo di Jawa Timur, Kabupaten malang di Selatan,
Kota Batu di Barat Daya serta Kabupaten Mojokerto di Barat.
Presiden Joko widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP)
No.27 Tahun 2016 tentang pemindahan ibukota Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Ditandatanginya PP tersebut dengan mempertimbangkan untuk mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat, mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, serta dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di kabupaten Pasuruan. Dalam situs resmi
Kabupaten Pasuruan dijelaskan bahwa dengan ditetapkannya Bangil sebagai ibukota,
Pemerintah Kabupaten Pasuruan secara bertahap akan memindahkan semua perkantoran dan
administrasi pelayanan ke wilayah Bangil2.
Pemindahan tersebut juga menandakan bahwa Bangil memiliki arti penting di
Kabupaten Pasuruan. Dahulu Bangil pernah menjadi sebuah Kabupaten. Hal tersebut terbukti

1
Mahasiswa Pascasarjana UM angkatan 2016
2
Situs Resmi Kabupaten Pasuruan (www.pasuruankab.go.id )

1
dengan adanya catatan Belanda, ditemukannya makam Bupati Bangil RT Soendjotoningrat
dibelakang Masjid Agung Bangil sebelah barat Alun-alun dan selain itu zaman dahulu di
Bangil juga terdapat pendopo kabupaten dan ada rumah wedono (pembantu bupati).
Penulis disini ingin mengulas mengenai Bangil pada masa Kolonial dikerenakan
selama ini jarang ditemukan tulisan mengenai perkembangan Kota Bangil. Bangil sering
disamakan dengan Pasuruan sehingga sumber sejarah mengenai Bangil sendiri masih sedikit.
Bangil sendiri tergolong kota kecil yang unik dikarenakan status Bangil sebagai Kota sering
berubah-ubah, awalnya Kabupaten, kemudian menjadi Kecamatan, kemudian berubah lagi
menjadi Ibu Kota Kabupaten Sehingga Orang Awam sering bingung menyebut Bangil
sebagai Kota atau sebuah Desa. Kota dianggap lebih tinggi nilainya daripada desa. Perbedaan
antara desa dan kota pada awalnya adalah perbedaan tentang ruang, ruang kota, dan ruang
desa. Ruang kota biasanya digambarkan sebagai suatu ruang yang padat, baik padat karena
keberadaan bangunan yang terus tumbuh, maupun padat karena penghuninya (manusia) yang
terus bertambah (Basundoro, 2012: 4).
Bangil sendiri memiliki banyak julukan, ditahun 1950an Bangil terkenal dengan
sebutan “Bangil Kota Kemasan” karena rata-rata penduduknya bekerja sebagai pengrajin
emas. Di era 70’an bangil dikenal sebagai kota Santri dikarenakan banyak sekali pesantren
yang didirikan dan hingga saat ini sebutan itu terus melekat di Kota Bangil. Selain itu dari
tahun 2005 Bangil dikenal sebagai Kota Bordir dikarenakan industri bordir tumbuh subur
hingga mampu Ekspor ke berbagai negara diseluruh dunia.
Berbagai julukan yang diberikan kepada Kota Bangil tidak lepas dari Posisi
Geografis Kota Bangil yang menghubungkan Jalur Surabaya-Banyuwangi lewat jalan Utama
Pos atau kita lebih mengenal Jalan Raya Deandels dan juga jalur Kereta Api yang dibangun
untuk menghubungkan Surabaya-Malang. Istilah Bangil sudah digunakan jauh sebelum masa
Kerajaan Mataram, hal tersebut terbukti dengan ditemukannya makam Mbah Bangil di
daerah Kalirejo Bangil. Nisan makam tersebut diperkirakan terbuat dari batu bertuliskan arab,
namun sudah aus sehingga tidak dapat terbaca usianya.
Dari berbagai keunikan yang telah disebutkan maka penulis ingin membuat artikel
menggunakan pendekatan tematis yakni Perkembangan Bangil pada masa Kolonial (1613-
1942). Tulisan ini tergolong kajian lingkup sejarah lokal. Menurut Priyadi (2012:77) ada 4
corak studi Sejarah lokal di Indonesia, yaitu (1) Peristiwa Khusus, (2) Struktur, (3) Tematis,
(4) Sejarah Umum. Dalam penulisan ini menggunakan batasan tahun 1613 karena pada tahun
tersebut Pasuruan dan sekitarnya berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram dan pada tahun
1942 Belanda berhasil diusir oleh Jepang.

2
Asal Usul Nama Bangil

Tidak ada yang tahu persis mengenai asal usul nama Bangil, namun terdapat beberapa
pendapat mengenai hal tersebut. Dalam Babad Pasuruan disebutkan Menurut Catatan
Tiongkok ada kabar berita dari Raja Ta Cheh/Ta Shih (Muawiyah bin Abu Sofyan)
mengirimkan utusan menyelidiki Kerajaan Kalingga (674/675M) yang mendarat di
Pelabuhan yang bernama Bang-il. Hal ini dijelaskan dalam Kitab “Ajaib al Hind” yang ditulis
Buzurq Syahriyar Al Ranhurmuzi meriwayatkan tentang kunjungan pedagang muslim yang
pergi ke Jawa. Selain itu adapun situs muslim makam Mbah Bangil di Desa Kalirejo, Bangil.
yang menggunakan batu candi dari abad ke-7M akan tetapi menggunakan Arab yang tidak
terbaca karena usianya yang terlalu tua. Menurut tradisi lisan setempat, Mbah Bangil adalah
orang yang mbabat alas untuk cikal bakal adanya Bangil (LPM UM, 2007:71).

Foto 1: Situs Makam Mbah Bangil di Desa Kalirejo Bangil


(Sumber : Dokumen Pribadi)
Adapula tradisi lisan dari Masyarakat setempat yang mengatakan bahwa asal usul
Bangil berasal dari kata mbah e Ngelmu (sebagai tempat mencari ilmu) karena begitu
banyaknya pesantren yang didirikan di Bangil. Bahkan dalam beberapa tulisan lokal
disebutkan bahwa sejak adanya agama Islam, maka sejak itu pula mulai ada Bangil, karena di
Bangil tidak ada sama sekali peninggalan Hindu Budha. Selain itu masyarakat umum
mengatakan bahwa nama Bangil berasal dari istilah mbah mbahe angel atau yang artinya
adalah watak dan karakteristik masyarakat Bangil sulit dirubah. Dan adapula sebagian

3
masyarakat setempat yang menganggap nama Bangil berasal dari kata bahasa Madura Bengel
yang artinya adalah Berani3.

Asal-usul nama Bangil yang bermacam-macam pendapat sebenarnya merupakan


cerminan ketidakberdayaan pikiran manusia pada waktu itu untuk menemukan asal usul
nama Bangil dengan benar, sehingga mereka mencoba untuk menerjemahkan kondisi
disekeliling mereka menggunakan nalar yang sedikit tidak rasional. Sesuai dengan pendapat
Basundoro (2012:51) Hampir semua lokasi pendirian kota pada awalnya adalah kawasan
yang kosong, hutan-hutan, atau tanah yang berawa-rawa. Dan pada waktu itu jarang
masyarakat Jawa yang menguasai ilmu bumi, ilmu geografi, geologi, ilmu pengairan, atau
landasan ilmiah yang lain. Sehingga jalan keluar untuk menerjemahkan kondisi disekeliling
mereka mengggunakan nalar yang tidak rasional (dalam konteks masa kini).

Bangil pada Masa Awal Kolonial (Abad 17-18)

Bicara mengenai Bangil tidak terlepas dari Pasuruan karena saat ini Bangil termasuk
dalam wilayah Kabupaten Pasuruan. Sebelum zaman Islam, wilayah Pasuruan dan sekitarnya
dikuasai oleh Kerajaan Singhasari karena ditemukan banyak bukti peningalan dari Candi
yang menunjukkan bahwa raja-raja telah mendirikan tempat tinggal atau menggarap
perladangan di wilayah tersebut. Dalam kitab Nagarakertagama (abad ke-14), nama
Pasuruan berkali-kali disebutkan.

Menurut Graaf dan Pigeaud disebutkan bahwa pesisir adalah tempat Islam pertama
kali berkembang begitu pula di wilayah Pasuruan dan termasuk juga Bangil. Hal tersebut
dikuatkan oleh Graaf dan Piageaud (2003:202) yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke
daerah pesisir Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat secara bertahap. Hal tersebut
disebabkan juga oleh pengaruh pedagang asing yang kaya dan berwibawa dalam masyarakat.
Dan wilayah Bangil termasuk daerah pesisir Jawa Timur sehingga wajar apabila daerah
tersebut memiliki pengaruh agama Islam yang kental karena dimulai sejak awal abad ke-16.

Sultan Trenggana, raja ketiga dari Kerajaan Demak melakukan ekspansi ke Panarukan
untuk mengislamkan wilayah-wilayah yang masih menganut agama Hindu, Namun ia gugur
di Pasuruan pada tahun 1546. Kekacauan di Kerajaan Demak sesudah meninggalnya Sultan
trenggana pada tahun 1546, dan pengambil-alihan kekuasaan Kerajaan Islam di Jawa Tengah

3
. Aswaja.2014. Asal Usul nama Kota Bangil. Bangil: Aswaja Bangil

4
oleh Raja Pajang tidak menimbulkan keguncangan di Pasuruan maupun daerah-daerah di
Jawa Timur.

Pada awal abad ke-16 wilayah Pesisir Jawa Timur termasuk Bangil dan Pasuruan
daerah pesisir sudah banyak yang memeluk agama Islam, namun tidak dengan wilayah
Kerajaan Pasuruan yang masih memeluk agama Hindu. Hubungan raja-raja Pasuruan dan
daerah sekitarnya termasuk Surabaya sangat erat karena sama-sama menangkis masuknya
Islam ke wilayah mereka. Lebih Jelas Ricklefs (1999:65) menyebutkan bahwa dalam laporan
VOC, Pangeran Krapyak mengadakan kontak yang pertama dengan VOC pada tahun 1613,
dia mengirim duta kepada gubernur Jenderal Pieter Both (1610-14) untuk mengadakan
persekutuan antara VOC dengan Mataram melawan Surabaya dan Pasuruan. Hingga pada
tahun 1613M, cucu Senapati Mataram berhasil mengekspansi wilayah Pasuruan dan pada
tahun 1617M Pasuruan berhasil diduduki oleh Sultan Agung. Hal tersebut diperkuat dalam
Babad Pasoeroean, Seorang laksamana dari Pasuruan yang merupakan Pasukan dari Sultan
Trenggana bernama Narendra Agung memegang peranan penting dalam pertempuran
menaklukkan wilayah Pasuruan pada paruh pertama abad ke-16 (LPM UM, 2007: 70).

Namun Hubungan VOC dengan Mataram terus memburuk hingga pada abad ke-18
Belanda Berhasil menguasai Mataram (Sejak masa pemerintahan Amangkurat II). Belanda
dapat mengusai wilayah Pasuruan dan Bangil dengan perjuangan yang keras setelah
menghadapi pertempuran dengan pasukan Untung Surapati. Dalam Ali (1963:156) dijelaskan
bahwa pertempuran terakhir terjadi di Bangil pada tanggal 6 Oktober 1706 pukul 06.30 pagi.
Di Bangil Benteng pertahanan Untung Surapati sangat tebal. Di depan benteng terdapat dua
sungai kecil dan dibelakang mereka terdapat hutan. Ketika amunisi persenjataan mereka
sudah habis, mereka melempar pasukan Belanda dengan Batu. Namun akhirnya pada
pertempuran di Hari ke-9 Surapati terluka parah dan Belanda berhasil menguasai Bangil.

Bangil hingga pada Masa Akhir Kolonial (abad 19 dan 20)

Secara umum pembabakan sebuah kota pembabakannya menjadi 3, yaitu: era kota
tradisional, era kota kolonial, era kota pascakolonial. Bangil termasuk ke dalam Ciri Era Kota
Tradisional. Yang dimaksud Kota tradisional adalah perkembangan kota ketika berada di
bawah kekuasaan penguasa-penguasa lokal, seperti raja dan bupati, sebelum kedatangan
bangsa penjajah di kawasan tersebut. Kotanya secara fisik memiliki ciri yang khas yang
berpusat di seputar pendopo dimana penguasa tradisional tersebut tinggal. Ciri kota

5
tradisional tidak serta merta menghilang manakala kolonialisme datang menggantikan era
tradisional tersebut.

Dalam Buku Laporan Jurnalistik Kompas (2008: 31) Berdasarkan dokumen yang
ada, Deandels diangkat menjadi Gubernur Jenderal di wilayah Hindia Timur pada 28 Januari
1807. Menjadi seorang Gubernur Jenderal di Hindia artinya sebagai perwakilan kuasa negara
Belanda di bawah perintah Menteri Perdagangan dan Koloni. Ia akan menjalankan kekuasaan
tertinggi atas semua wilayah, benteng, permukiman dan tempat pejabat negara di Asia dan
sebagai penguasa tertinggi Angkatan Darat, Laut dan Udara di Wilayah Asia. Bangil
termasuk salah satu yang terkena dampak dari Pembangunan Jalan Raya Pos atau yang lebih
dikenal dengan nama Groote Postweg.

Peta 2: Menunjukkan posisi Bangil pada tahun 1920 sangat Strategis karena dilalui oleh Jalur
darat dan Jalur Rel
(Sumber: https://petapasuruan.wordpress.com/tag/peta-bangil/)

Kota Pasuruan menjadi Ibu Kota Karisidenan pada tahun 1812. Sejalan pembangunan
Jalan Raya Pos, dengan pertimbangan strategis maka ibu Kota Kabupaten dipindahkan ke
pinggir Jalan tersebut, termasuk Bangil dijadikan sebagai Afdeeling. Afdeeling adalah sebuah
wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonal Hindia Belanda setingkat Kabupaten.
Administratornya dipegang oleh asisten residen. Afdeeling merupakan bagian dari suatu
karisidenan, dan Bangil termasuk wilayah Karisidenan Pasuruan. Suatu Afdeeling terdiri dari

6
beberapa onderafdeling (setingkat kawedanan) yang dipimpin oleh seorang wedana bangsa
Belanda yang disebut Controleur. Dan Landschap yang dikepalai oleh seorang Bumiputera
yang disebut Hoofd atau kepala.

Jalan raya yang dibangun oleh Deandels memiliki arti penting bagi Kota Bangil,
karena sejak itu pula wilayah Bangil menjadi semakin padat penduduknya dikarenakan
daerah yang dilewati oleh Jalan Deandels akan dimaksimalkan untuk daerah Pertanian dan
Perkebunan termasuk Bangil yang gunakan untuk daerah Perkebunan Tebu, dan dibangun
sebuah Pabrik Gula di Bangil. Hal tersebut diperkuat oleh Pranoto (2010:35) Karisidenan
Pasuruan sejak Jawa Kuna sudah dijadikan persawahan. Daerah-daerah sekitarnya tersebut
diantaranya adalah Bangil Persawahannya sudah maju dan penduduknya padat.

Pusat Perkebunan tebu salah satunya terletak di Bangil, hal tersebut juga diperkuat
oleh Toer (2005:119) Bangil merupakan salah satu pusat lalu lintas yang menghubungkan
Surabaya di Utara, Pasuruan di timur, dan Malang di Selatan. Juga berpenduduk cukup
banyak dengan kebun-kebun kopi bersebaran. Juga kebun tebu dengan pabrik gulanya
sekalian. Sedang di Timur dan Utara tikungan membentang tambak-tambak perikanan rakyat,
bersambung dengan yang telah ada di Porong, Sidoarjo, dan Surabaya di utaranya.

Pemerintah kolonial juga mengupayakan alat transportasi gula dan produksi lainnya
dengan membangun infrastruktur kolonial yang meliputi kantor, rumah, gereja pasar, dan
juga jalan besar. Jalan besar Surabaya-Malang dan Gempol ke Timur sampai Lumajang
adalah jalan produksi ke Pelabuhan Pasuruan dan Surabaya. Selain itu juga dibangun jalan
kereta api dan cabang-cabangnya pada tahun 1899-1908. Salah satu stasiun yang penting
untuk sarana transportasi mengangkut barang dari Malang ke Surabaya dan sebaliknya adalah
stasiun Bangil.

Dalam Sejarah Perkeretaapian Indonesia (1997:62) Jalur Surabaya – Pasuruan dibuka


pada tanggal 16 Mei 1878 berdasarkan data yang dimiliki oleh DAOP 1 Bandung. Pada saat
itu Hindia Belanda memusatkan untuk transportasi barang. Bukan untuk jasa. Yakni untuk
memudahkan pengangkutan bahan-bahan seperti hasil panen tebu untuk keperluan gula. Dan
Belanda melihat Stasiun Bangil sebagai lokasi yang strategis untuk mobilitas sehingga pada
akhirnya pada 1 November 1878 untuk Bangil-Sengon kemudian dibuka Jalur Bangil –
Malang pada 20 Juli 1879. Dahulu pada awalnya Stasiun Bangil merupakan sebuah
perempatan, yakni jalur Bangil-Surabaya, Bangil-Pasuruan, Bangil-Pandaan, dan Bangil-
Malang. Namun kini jalur Bangil-Pandaan sudah tidak difungsikan lagi.

7
Gambar 1: Jalur Rel Kereta pada masa Hindia Belanda abad ke-19
(Sumber : www.kit.nl)

Bangil sejak abad ke-19 memiliki sebuah tata kota tradisional, yakni alun-alun,
masjid, pasar, penjara, dan rumah penguasa lokal yang merupakan salah satu ciri yang
menonjol dari kota-kota tradisional. Basundoro (2012:51) dengan mengutip Disertasi Hosein
Djajadiningrat yang mengutip Sejarah Banten, menunjukkan bahwa kota-kota tradisional di
Indonesia, terutama pusat pemerintah berdiri dengan sebuah perencanaan yang teratur dengan
syarat-syarat tertentu yang mutlak harus ada. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah rumah
untuk raja (keraton), alun-alun, pasar, serta masjid. Kota-kota tradisional yang merupakan
warisan dari tradisi India merupakan cerminan kemauan jagad raya (cosmic pretentions) sang
raja.

Bangil termasuk kedalam wilayah dataran rendah yang sering terdampak Banjir,
bahkan dalam sebuah laporan Bencana Alam di Jawa Timur tahun 1890-1977 tercatat bahwa
se-Kabupaten Bangil tercatat ada 9 kasus Banjir yang mengakibatkan rumah rusak. Kasus
Banjir tersebut terdapat di daerah Gempol, Purworedjo, Pandaan, Wonorejo dan dalam
Laporan tersebut Banjir terparah setinggi 25m terjadi pada tanggal 17 Desember 1897 di
Jalan dari Pandaan menuju Purworedjo akibat meluapnya Kalisurak. Sedangkan selain Kasus

8
Banjir, di Kabupaten Bangil pada tahun 1891 dan 1898 terjadi 2 kasus kebakaran. Tahun
1891 terjadi Kebakaran di Desa Ledok yang menyebabkan 10 rumah terbakar yang
kerugiannya ditaksir hingga 325 gulden, sedangkan di desa Sukorejo dilaporkan pernah
terjadi kebakaran sebuah pabrik gula yang menyebabkan kerugian hingga 7325,20 gulden
pada tanggal 19 Juli 1898. (Laporan Bencana Alam di Jawa Timur, 2005:1-27)

Ilustrasi Gambar diatas menunjukkan bahwa perbedaan kota Bangil antara abad ke -
19 hingga saat ini tidak begitu mencolok. Ketika Jalan Raya Pos dibangun oleh Deandels
pada tahun 1808, disepanjang pantai utara Pulau Jawa telah muncul dan tumbuh kota-kota.
Diantaranya Semarang, Pati, Rembang, Lamongan, Pasuruan, Besuki dan Panarukan.
Beberapa kota tersebut sampai saat ini masih tumbuh dan berkembang, sementara yang
lainnya telah meredup bahkan mati. Dalam Ekspedisi Kompas (2008:325) disebutkan
terdapat 4 Faktor yang menyebabkan kota-kota tumbuh dan ditinggalkan, yakni: (1) faktor
kebijakan politik administrasi kepemerintahan, (2) faktor jaringan dan transportasi, (3) faktor
pengembangan sumber daya ekonomi, dan (3) faktor alam.

Karisidenan Pasuruan mengalami dampak Kebijakan politik administrasi


kepemerintahan dalam bentuk penggabungan wilayah karisidenan yang menyebabkan
redupnya kota-kota yang tergabung, pada tahun 1901 Probolinggo digabungkan ke wilayah
Karisidenan Pasuruan. Namun upaya pembangunan jalur rel sebagai alat pengangkut barang
dari Surabaya ke Malang, serta perubahan ekonomi dan sosial di Malang sejak 1 Juli 1928,
yang menyebabkan Malang dibanjiri oleh perkembangan infrastruktur dan populasi, juga
krisis ekonomi yang melanda Hindia Belanda, memaksa pemerintah untuk mengurangi
anggaran negara dengan menggabungkan dua Karesidenan menjadi satu. Penggabungan
wilayah karesidenan tersebut membuat Malang menjadi semakin ramai dengan

9
perkembangan infrastruktur dan meningkatnya jumlah penduduk di Malang sebagai pusat
pemerintahan Karesidenan sekaligus menjadi ibukota Karesidenan. Sehingga Bangil dan
Pasuruan ikut di dalam wilayah Karisidenan Malang pada tahun 1931.

Peta 1: Menunjukkan pembagian wilayah Kabupaten Bangil dan Wilayah Kabupaten Pasuruan
pada tahun 1931
(Sumber: https://petapasuruan.wordpress.com/page/2/)

Peta diatas menunjukkan wilayah Karisidenan Malang pada tahun 1931 diantaranya
adalah Kabupaten Bangil dan Kabupaten Pasuruan. Wilayah Kabupaten Pasuruan meliputi
beberapa Kecamatan, yakni Wangkal, Kebon Candi, Grati, dan Tengger. Dan Wilayah
Kabupaten Bangil meliputi Kecamatan Pandaan, Kecamatan Purworedjo, dan Kecamatan
Gempol. Tidak diketahui secara pasti kapan Bangil akhirnya digabung dengan wilayah
Kabupaten Pasuruan, namun pada dokumen pemerintah daerah Pasuruan pada tahun 1950,
tertulis Bangil sudah menjadi salah satu kecamatan wilayah Kabupaten Pasuruan.

Nilai Historiografi Penulisan Perkembangan Kota Bangil

Pada masa lampau nenek moyang telah menghasilkan sejarah lokal bersama dalam
bentuk babad, folklor, atau tradisi lisan (legenda atau mitos). Dan Kementrian dalam Negeri
sedang mengerahkan penulisan sejarah desa-desa di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Sejarah lokal di Indonesia merupakan pekerjaan yang tidak sepele karena harus
mencerminkan berbagai aspek kebudayaan yang melatarbelakangi terbentuknya sebuah
desa/kota. Dalam proses perjalanannya, seorang bukan sejarawan atau sejarawan dapat
berkembang menjadi seorang profesional kalau ia menggeluti sebuah lokalitas karena ia akan
menjadi ahlinya di lokalitas itu.

10
Sejarawan lokal harus saling berinteraksi dan bertransaksi agar sejarah interlokal
dapat dihasilkan. Sejarah interlokal merupakan suatu tahapan untuk menuju SNI yang
kohesif. Lokal-lokal yang ada bukanlah penghasil micro-unit yang berdiri sendiri. Sejarawan
lokal seyogyanya harus mencermati saling pengaruh antarlokal sehingga sejak awal sudah
dikenali fenomena tersebut. Kohesi antarsejarah lokal itulah sebenarnya yang bisa
disumbangkan kepada SNI. Jika sejarah lokal tidak diwajibkan memberi sumbangan untuk
SNI, maka SNI akan mengalami kekosongan yang berkepanjangan dan terus-menerus.
Sebenarnya keharusan sejarah lokal untuk memberi sumbangan kepada SNI itu diubah
menjadi kesadaran untuk menyumbang SNI (Priyadi, 2012:88).

Penulisan Mengenai Perkembangan kota Bangil masa kolonial akan menambah


wacana sejarah lokal di Indonesia. Karena Bangil merupakan penghubung antara Surabaya
dan Banyuwangi yang termasuk Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Deandels dari Anyer
hingga Panarukan, namun selama ini belum ada penulisan yang khusus mengenai sejarah
Bangil.

Kesimpulan

Bangil sudah lama menjadi sebuah kota yang strategis dikarenakan terletak di jalur
perdagangan. Ketika Deandels berkuasa pada abad tahun 1808 dan membangun sebuah Jalan
Pos membuat kota ini semakin ramai sehingga Bangil dijadikan sebuah Afdeeling atau
setingkat dengan Kabupaten. Dibangunnya jalur kereta api membuat pergeseran dalam
bidang perdagangan yang awalnya memanfaatkan jalur laut menjadi jalur rel membuat
turunnya fungsi Pelabuhan Pasuruan, perubahan ekonomi dan sosial di Malang, juga krisis
ekonomi yang melanda Hindia Belanda, membuat pemerintah menggabungkan 2 karisidenan
menjadi satu, Sehingga Bangil dan Pasuruan ikut di dalam wilayah Karisidenan Malang pada
tahun 1931. Dampaknya adalah Malang tumbuh menjadi kota yang sangat ramai.

Tidak lama setelah peristiwa tersebut, Status kabupaten Bangil pun dilebur menjadi
kecamatan yang ikut kedalam wilayah Kabupaten Pasuruan, namun hal tersebut tidak
membuat banyak perubahan dikarenakan posisi kota Bangil yang strategis sehingga Bangil
tetap tumbuh menjadi sebuah kecamatan yang maju dan ramai. Dan hal tersebut pula yang
menjadikan sebuah pertimbangan di akhir abad ke-20 untuk mengembalikan pusat ibu kota
kabupaten Pasuruan kembali ke Bangil yang akhirnya baru diresmikan pada masa
Pemerintahan Joko Widodo dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.27 Tahun 2016 tentang
pemindahan ibukota Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

11
DAFTAR RUJUKAN

Ali, Mohomed. 1963. Perdjuangan Feodal. Djakarta: Ganaco


Aswaja.2014. Asal Usul nama Kota Bangil. Bangil: Aswaja Bangil
Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Ombak
Laporan Jurnalistik Kompas. 2008. Ekspedisi Anjer – Panaroekan. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara
LPM UM. 2007. Babad Pasoeroean: Sebuah Dokumentasi Kesejarahan kabupaten
Pasuruan. Yogyakarta: Galangpress
Pranoto, Suhartono. 2010. JAWA: Bandit-bandit Pedesaan (Studi Historis 1850-1942).
Yogyakarta: Graha Ilmu
Priyadi, Sugeng. 2012. Sejarah Lokal: Konsep Metode dan Tantangannya. Yogyakarta:
Ombak.
Ricklefs.1999. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press
Toer, Pramodya Ananta. 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Deandels: Esai dan Narasi. Jakarta:
Lentera Dipantara

Tim Telaga Bakti Nusantara. 1997. Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1. Bandung:
Angkasa
Tim Penyusun Laporan Bencana Daerah JATIM. 2005. Laporan Bencana Alam di Jawa
Timur 1890-1977. Surabaya: Badan Arsip Jawa Timur
www.pasuruankab.go.id
https://id.wikipedia.org/wiki/Alun-alun

12

Anda mungkin juga menyukai