Anda di halaman 1dari 5

Geokimia Batuan Beku

Magma, Lava, dan Batuan beku (dalam GEOKIMIA)


Ini adalah postingan pertama gue yang diambil dari tugas - tugas kuliah gue d jurusan geologi. Kalo dalam penulisan ini, gue
pake bahasa yang sopan tapi agak santai namun ilmunya tetap tersampaikan (semoga). Gak perlu banyakan bacot, gue langsung
aja nih.
Ini adalah Tugas kedua yang dikasih sama dosen matkul geokima gue. Berupa makalah...
Pendahuluan
Sebelumnya saya mohon maaf bila tugas yang saya buat tidak menggunakan bahasa yang baku. Hal ini saya lakukan agar dalam
pembuatan tugas makalah / artikel ini tidak merasa bosan, namun walaupun tidak menggunakan bahasa yang baku dalam
pengerjaan tugas ini, saya tetap serius dalam pengerjaan agar apa yang saya tulis dan susun ini tetap tersampaikan maksud
atau ilmunya, dan tentunya saya akan bersemangat untuk mempelajarinya.
Nah, sebelum mengetahui lebih banyak lagi mengenai apa Geokimia itu sendiri, marilah kita samakan dulu frame berfikir kita
bahwa geokimia ini berasal dari dua buah disiplin ilmu yaitu ilmu geologi dan kimia, bukan penggabungan ilmu, namun
merupakan disiplin ilmu yang membantu menjelaskan fenomena geologi yang terjadi atau mengenai bumi yang dilihat dari
kimianya. Nah, untuk itu, tentu saja kita harus mengerti dan memahami ilmu geoligi dulu, sedangkan ilmu geologi itu sendiri
terdiri dari banyak cabang cabang juga, diantaranya : mineralogi, petrologi, sedimentologi, geomofologi, paleontologi, geologi
struktur stratigrafi, dan lainnya. Setelah itu barulah kita dapat lebih mudah mengerti dan memahami tentang geokimia.
Pastinya pertama-tama sekali kita akan bertanya-tanya, apa sih geokimia itu?? Oke, dijawab, menurut beberapa sumber yang
saya baca, Geokimia adalah ilmu yang mempelajari kandungan unsur dan isotop dalam lapisan bumi, terutama yang
berhubungan dengan kelimpahan (abundant), penyebaran serta hukum-hukum yang mengontrolnya. Dari dasar ini berkembang
beberapa cabang ilmu geokimia di antaranya yaitu geokimia panasbumi, geokimia mineral, geokimia petroleum dan geokimia
lingkungan. Pada pembahasan selanjutnya penulis akan lebih banyak membicarakan tentang geokimia mineral, khususnya pada
sedimentologi.
Lahirnya geokimia sebagai cabang ilmu geologi baru menyebabkan munculnya metoda dan data observasi baru mengenai
berbagai hal yang banyak menarik perhatian para ahli sedimentologi. Sebagian besar penelitian geokimia pada mulanya
diarahkan pada penelitian kuantitatif untuk mengetahui penyebaran unsur-unsur kimia di alam, termasuk penyebarannya dalam
batuan sedimen. Lambat laun data tersebut menuntun para ahli untuk memahami apa yang disebut sebagai siklus geokimia
(geochemical cycle) serta penemuan hukum-hukum yang mengontrol penyebaran unsur dan proses-proses yang menyebabkan
timbulnya pola penyebaran unsur seperti itu.
Baru-baru ini, kimia nuklir (nuclear chemistry) menyumbangkan sebuah “jam” dan “termometer” yang pada gilirannya
membuka era penelitian baru terhadap sedimen. Unsur-unsur radioaktif, khususnya 14C dan 40K, memungkinkan dilakukannya
metoda penanggalan langsung terhadap batuan sedimen tertentu. Metoda 14C, yang dikembangkan oleh Libby, dapat
diterapkan pada endapan resen. Metoda 40K/40Ar terbukti dapat diterapkan pada glaukonit, felspar autigen, mineral lempung,
dan silvit yang ditemukan dalam endapan tua. Analisis isotop dapat digunakan untuk menentukan temperatur purba. Metoda
Urey—berdasar-kan nisbah 16O/18O yang merupakan fungsi dari temperatur—dapat dipakai untuk menaksir temperatur
pembentukan cangkang fosil yang ada dalam endapan bahari. Meskipun “jam” dan “termometer” tersebut masih
memperlihatkan kekeliruan, namun harus diakui bahwa keduanya telah memberikan kontribusi yang berarti terhadap
pemelajaran sedimen.

Van Hoff adalah orang pertama yang memanfaatkan azas fasa untuk mempelajari kristalisasi larutan garam dan
pembentukan endapan garam. Mulanya penelitian eksperimental terhadap campuran yang dapat menghasilkan kristal, terutama
sistem silikat temperatur tinggi, dilakukan oleh para ahli petrologi batuan beku dan metamorf. Baru pada beberapa dasawarsa
terakhir ini saja hal itu menarik perhatian para ahli sedimen. Sebagai contoh, Milton & Eugster (1959) memakai ancangan itu
untuk meneliti endapan non-marin dan mineral-mineral yang mencirikan Green River Formation di Wyoming dan Colorado. Zen
(1959) menunjukkan bahwa azas fasa yang dikemukakan oleh Gibbs dapat diterapkan untuk menganalisis hubungan antara
mineral lempung dan mineral karbonat. Hasil penelitian Zen kemudian diterapkan oleh Peterson (1962) terhadap larutan
karbonat di bagian timur Tennessee. Perkembangan metoda yang relatif baru itu dapat dibaca dalam karya tulis Eugster (1971).

Van Hoff
Berbagai kajian teoritis dan eksperimental tentang stabilitas mineral pada berbagai kondisi oksidasi-reduksi (Eh) dan pH
dilakukan oleh Garrels dan beberapa ahli lain (lihat Garrels & Christ, 1965). Penelitian aspek-aspek geokimia sedimen banyak
menambah pengertian kita tentang endapan sedimen. Buku-buku yang membahas tentang topik-topik geokimia sedimen antara
lain adalah Geochemistry of Sediments karya Degens (1965) dan Principles of Chemical Sedimentology karya Berner (1971).

Aplikasi atau contoh nyata yang dapat dilihat dari geokimia salah satunya adalah metode yang digunakan oleh sedimentologist
dalam mengumpulkan data dan bukti pada sifat dan kondisi depositional batuan sedimen, yaitu analisis kimia dari batu,
melingkupi geokimia isotop, termasuk penggunaan penanggalan radiometrik, untuk menentukan usia batu, dan kemiripan
dengan daerah sumber. Metode ini pertama kali dipakai pada tahun 1970an dimana penelitian sedimentologi mulai beralih dari
makroskopis dan fisik ke arah mikroskopis dan kimia.
Dengan perkembangan teknik analisa dan penggunaan katadoluminisen dan mikroskop elektron memungkinkan para ahli
sedimentologi mengetahui lebih baik tentang geokimia. Perkembangan yang pesat ini memacu kita untuk mengetahui hubungan
antara diagenesa, pori-pori dan pengaruhnya terhadap evolusi porositas dengan kelulusan batupasir dan batugamping.
Saat ini berkembang perbedaan antara makrosedimentologi dan mikrosedimentologi. Makrosedimentologi berkisar studi
fasies sedimen sampai ke struktur sedimen. Di lain pihak, mikrosedimentologi meliputi studi batuan sedimen di bawah
mikroskop atau lebih dikenal dengan petrografi.
Magma

Magma ? Apasih magma itu ? dari ilmu yang ditangkap otak saya saat
disampaikan Pak Hill waktu pelajaran Krismin semester satu kemarin, magma itu adalah larutan silika pijar, kental, panas,
bersifat mobile, dan terjadi secara alamiah. Dan adapun pengertian magma sendiri menurut beberapa artikel yang saya
simpulkan bahwa magma adalah cairan panas yang liat yang berasal dari dalam Bumi. Magma yang muncul di permukaan Bumi
berasal dari Mantel. Di permukaan Bumi, magma membeku dan membentuk batuan yang disebut sebagai batuan beku
atau igneous rock. Oleh karena itu, magma secara sederhana sering didefinisikan sebagai batuan cair atau molten rock.

Sementara itu, di permukaan Bumi magma muncul di tiga lokasi yaitu di daerah pemekaran lempeng, di jalur vokanik yang
berasosiasi dengan zona penunjaman lempeng, dan di daerah hot spot yang muncul di lantai samudera.

Magma yang muncul di zona pemekaran lempeng kerak Bumi berasal dari mantel dan membeku membentuk kerak samudera.
Demikian pula magma yang muncul sebagai hot spot, berasal dari mantel. Hot spot ini di lantai samudera membentuk
gunungapi atau pulau-pulau gunungapi di tengah samudera. Karena lempeng samudera terus bergerak, maka terbentuk deretan
pulau-pulau tengah samudera, seperti Rantai Pulau-pulau Hawai di Samudera Pasifik.

Sementara itu, magma yang muncul di zona penunjaman berasal dari kerak samudera yang meleleh kembali ketika dia
menunjam masuk kembali ke dalam mantel. Ketika berjalan naik ke permukaan Bumi, magma ini juga melelehkan sebagian
batuan yang diterobosnya. Kemunculan magma ini membentuk deretan gunungapi. Di Indonesia, sebagai contoh, deretan
gunungapi seperti ini memanjang mulai dari Sumatera, Jawa, Nusatenggara sampai ke Maluku. Di sekeliling Samudera Pasifik,
deretan gunungapi ini membentuk apa yang dikenal sebagai Ring of fire.

Nah, magma sendiri memiliki komposisi – komposisi. Pembahasan tentang komposisi magma ini adalah pembahasan inti dalam
mengenal magma dari segi geokimia.

Karena suhu magma sangat tinggi dan keberadaannya sangat jauh di dalam Bumi, maka kita tidak dapat mengambil sampel
magma dan kemudian mempelajarinya untuk mengetahui komposisinya. Oleh karena itu, untuk mengetahui komposisi magma
dilakukan melalui pendekatan dengan mempelajari batuan beku yang berasal dari magma yang membeku. Pendekatan dengan
menganalisa batuan beku masih kurang, karena belum dapat mengetahui komponen penyusun magma yang berupa gas. Karena
gejala volkanisme adalah manifestasi dari kemunculan magma di permukaan Bumi, maka untuk mengetahui kandungan gas
dalam magma dipelajari aktifitas vulkanisme.
Dari uraian di atas maka, secara sederhana dapat kita katakan bahwa seluruh unsur kimia yang ada di Bumi, kecuali buatan,
terdapat di dalam magma; hanya kelimpahan dari unsur-unsur tersebut yang berbeda.
Komposisi kimia magma sangat kompleks. 99% dari magma tersusun oleh 10 unsur kimia, yaitu Silikon (Si), Titanium (Ti),
Aluminium (Al), Besi (Fe), Magmesium (Mg), Kalsium (Ca), Natrium (Na), Kalium (K), Hidrogen (H), dan Oksigen (O).
Dengan konvensi, komposisi kimia magma dinyatakan dalam persen berat (% berat). Dalam bentuk senyawa kimia, unsur-unsur
tersebut dinyatakan dalam bentuk SiO2, TiO2, Al2O3, FeO, MgO, CaO, Na2O, K2O dan H2O.
Tentang kelimpahannya, secara umum, SiO2 adalah yang paling banyak, menyusun lebih dari 50 % berat magma.
Kemudian, Al2O3, FeO, MgO, CaO menyusun 44 % berat magma, dan sisanya Na2O, K2O, TiO2 dan H2O menyusun 6 % berat
magma. Pada kenyataannya, kelimpahan unsur-unsur tersebut sangat bervariasi, tergantuk pada karakter komposisi magma.
Tipe dan Sifat Magma, Magma dapat dibedakan berdasarkan kandungan SiO2. Dikenal ada tiga tipe magma, yaitu:
Magma Basaltik (Basaltic magma) – SiO2 45-55 %berat; kandungan Fe dan Mg tinggi; kandungan K dan Na rendah.
Magma Andesitik (Andesitic magma) – SiO2 55-65 %berat, kandungan Fe, Mg, Ca, Na dan K menengah (intermediate).
Magma Riolitik (Rhyolitic magma) – SiO2 65-75 %berat, kandungan Fe, Mg dan Ca rendah; kandungan K dan Na tinggi.
Tiap-tiap magma memiliki karakteristik yang berbeda. Rangkuman dari sifat-sifat mangma itu seperti terlihat di dalam Tabel.

klik gambar untuk memperbesar


Magma mengandung gas-gas terlarut. Gas-gas yang terlarut di dalam cairan magma itu akan lepas dan membentuk fase
tersendiri ketika magma naik ke permukaan bumi. Analoginya sama seperti gas yang terlarut di dalam minuman ringan
berkaborasi di dalam botol dengan tekanan tinggi. Ketika, tutup botol dibuka, tekanan turun dan gas terlepas membentuk fase
tersendiri yang kita lihat dalam bentuk gelembung-gelembung gas. Juga sering kita lihat ketika pemberian meali bagi para
pemenang balap kenderaan. Kepada mereka diberikan minuman di dalam botol dan kemudian mereka mengkocok-kocok botol
tersebut sebelum membuka tutupnya. Kemudian, ketika tutup botol yang telah dikocok itu dibuka, maka tersemburlah isi botol
tersebut keluar. Demikian pula halnya dengan magma ketika keluar dari dalam bumi. Kandungan gas di dalam magma ini akan
mempengaruhi sifat erupsi dari magma bila keluar ke permukaan bumi.
Viskositas adalah kekentalan atau kecenderungan untuk tidak mengalir. Cairan dengan viskositas tinggi akan lebih rendah
kecenderungannya untuk mengalir daripada cairan dengan viskositas rendah. Demikian pula halnya dengan magma. Viskositas
magma ditentukan oleh kandungan SiO2 dan temperatur magma. Makin tinggi kandungan SiO2 maka makin rendah viskositasnya
atau makin kental. Sebaliknya, makin tinggi temperaturnya, makin rendah viskositasnya. Jadi, magma basaltik lebih mudah
mengalir daripada magma andesitik atau riolitik. Demikian pula, magma andesitik lebih mudah mengalir drripada magma
riolitik.
Perubahan Komposisi Magma, Proses pembekuan magma menjadi batuan dimulai dari pembentukan kristal-kristal mineral.
Sesuai dengan komposisi kimianya, pembentukan kristal-kristal mineral itu terjadi pada temperatur yang berbeda-beda. Perlu
dipahami bahwa dengan terbentuknya kristal, berarti ada unsur-unsur kimia dari larutan magma yang diambil dan diikat ke
dalam kristal, sehingga kandungan unsur itu di dalam cairan atau larutan magma berkurang.
Bila kristal-kristal yang terbentuk di dalam magma memiliki densitas lebih besar daripada magma, maka kristal-kristal akan
mengendap dan cairan akan terpisah dari kristal.. Sebaliknya bila kristal-kristal yang terbentuk lebih rendah densitasnya
dripada magma, maka kristal-kristal akan mengapung. Bila cairan magma keluar karena tekanan, maka kristal-kristal akan
tertinggal. Keadaan tersebut akan merubah komposisi kimia cairan magma sisa. Apabila banyak komposisi kimia yang berkurang
dari magma awal karena pembentukan kristal-kristal mineral, maka akan terbentuk magma baru dengan komposisi yang
berbeda dari magma awalnya. Perubahan komposisi kimia magma seperti itu disebut sebagai diferensiasi magma oleh fraksinasi
kristal (magmatic differentiation by crystal fractionation). Proses inilah yang dapat menyebabkan magma basaltik di dalam
suatu gunungapi dapat berubah dari basaltik menjadi andesitik dan bahkan riolitik. Perubahan komposisi magma inilah yang
dapat merubah tipe erupsi suatu gunungapi.

Lava

Sebelum lebih jauh membahas lava, ada baiknya bila kita mengenal dulu apa itu lava. Menurut wikipedia, Lava adalah cairan
larutan magma pijar yang mengalir keluar dari dalam bumi melalui kawah gunung berapi atau melalui celah (patahan) yang
kemudian membeku menjadi batuan yang bentuknya bermacam-macam.

Bila cairan tersebut encer akan meleleh jauh dari sumbernya membentuk aliran seperti sungai melalui lembah dan membeku
menjadi batuan seperti lava ropi atau lava blok (umumnya di Indonesia membentuk lava blok). Bila agak kental, akan mengalir
tidak jauh dari sumbernya membentuk kubah lava dan pada bagian pinggirnya membeku membentuk blok-blok lava tetapi
suhunya masih tinggi, bila posisinya tidak stabil akan mengalir membentuk awan panas guguran dari lava. Jadi, lava itu
berbeda dengan magma.

Jika membicarakan soal lava, ada hal yang sangat berhubungan. Yaitu kejadian “erupsi”.

Erupsi adalah fenomena keluarnya magma dari dalam bumi. Erupsi dapat dibedakan menjadi erupsi letusan (explosive
erupstion) dan erupsi non-letusan (non-explosive eruption). Jenis erupsi yang terjadi ditentukan oleh banyak hal seperti
kekentalan magma, kandungan gas di dalam magma, pengaruh air tanah, dan kedalaman dapur magma (magma chamber).
Kekentalan magma dan kandungan gas di dalam magma ditentukan oleh komposisi kimia magma. Pada erupsi letusan, proses
keluarnya magma disertai tekanan yang sangat kuat sehingga melontarkan material padat yang berasal dari magma maupun
tubuh gunungapi ke angkasa.
klik gambar untuk memperbesar
Pada erupsi non-letusan, magma keluar dalam bentuk lelehan lava atau pancuran lava (lava fountain), gas atau uap air.
Di dalam Bahasa Indonesia, kata erupsi sering diterjemahkan sebagai “letusan”. Sebenarnya, terjemahan itu tidak sepenuhnya
tepat. Terjemahan tersebut hanya tepat untuk tipe erupsi letusan.

Ada dua jenis utama dari lava, yaitu lava Dasar dan Asam. Lava dasar adalah lava yang panas dan berwarna gelap yang kaya
akan magnesium zat besi, seangkan lava asam benar-benar sangat padat dan berwarna terang. Kali ini kita akan membahas dua
jenis lava. Lava Basa: Lava basa adalah lava yang sangat panas, yaitu sekitar seribu derajat celcius. Lava basa berwarna gelap
seperti basalt, kaya akan zat besi (Fe) dan magnesium (Mg), tapi miskin akan silika. Lava basa mempengaruhi daerah yang luas
dan cepat menyebar keluar sebagai seets tipis. Gunung api yang menghasilkan lava semacam ini adalah gunung api yang
cenderung landai dengan diameter lebar dan berbentuk perisai atau kubah. Viskositasnya cenderung rendah.

Lava Asam: Lava asam adalah lava yang sangat kental dengan titik lebur yang tinggi. Lava asam berwarna terang, kepadatan
rendah, dan memiliki presentase silika yang tinggi. Viskositasnya cenderung tinggi.

Geokimia Batuan Beku


Batuan beku adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan atau tanpa
proses kristalisasi, baik di bawah permukaan sebagai batuan intrusif (plutonik) maupun di atas permukaan sebagai
batuan ekstrusif(vulkanik). Magma ini dapat berasal dari batuan setengah cair ataupun batuan yang sudah ada, baik
di mantel ataupun kerak bumi. Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh salah satu dari proses-proses berikut:
kenaikan temperatur, penurunan tekanan, atau perubahan komposisi. Lebih dari 700 tipe batuan beku telah berhasil
dideskripsikan, sebagian besar terbentuk di bawah permukaan kerak bumi.
Menurut para ahli seperti Turner dan Verhoogen (1960), F. F Groun (1947), Takeda (1970), magma didefinisikan sebagai cairan
silikat kental yang pijar terbentuk secara alamiah, bertemperatur tinggi antara 1.500–2.5000C dan bersifat mobile (dapat
bergerak) serta terdapat pada kerak bumi bagian bawah. Dalam magma tersebut terdapat beberapa bahan yang larut, bersifat
volatile (air, CO2, chlorine, fluorine, iron, sulphur, dan lain-lain) yang merupakan penyebab mobilitas magma, dan non-volatile
(non-gas) yang merupakan pembentuk mineral yang lazim dijumpai dalam batuan beku.
Pada saat magma mengalami penurunan suhu akibat perjalanan ke permukaan bumi, maka mineral-mineral akan terbentuk.
Peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa penghabluran. Berdasarkan penghabluran mineral-mineral silikat (magma), oleh
NL. Bowen disusun suatu seri yang dikenal dengan Bowen’s Reaction Series.
Komponen-komponen kima yang terdapat dalam magma tentunya sangat berkaitan denngan komposisi akhir batuan beku yang
terbentuk. Secara lebih jauh, sebenarnya magma dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan kandungan-
kandungan unsur kimia tertentu, namun pada akhirnya pada proses pembekuan magma menjadi batuan beku mengalami proses-
proses yang tiidak jauh berbeda. Proses-proses yang terjadi pada saat pembekuam magma secara kimiawi adalah terjadinya
proses pengelompokan unsur-unsur kimia sejenis, yang nantinya akan membentuk kristal atau mineral-mineral tertentu sesuai
dengan sifatnya, asam atau basa. Proses ini dapat dijelaskan secara diagramatik dalam Bowen’s Reaction Series.
Klik gambar untuk memperbesar
Pada seri reaksi Bowen ini sacara garis besar menjelaskan bahwa pada saat proses pendinginan magma, sebenarnya magma
tidak langsung semuanya membeku, namun terjadi proses pembentukan mineral-mineral seiring dengan turunnya suhu magma
secara perlahan, dan pada tiap penurunan suhu tertentu menghasilkan jenis mineral yang berbeda. Mineral-mineral yang
terbentuk pertama, seperti Olivine, Anortit, dan lain-lain, merupaka mineral-mineral yang bersifat basa, memiliki kristal besar
karena proses pembekuan yang lambat, serta secara lebih jauh batuan beku yang mengandung mineral-mineral bersifat basa ini
juga akan bersifat basa.
Sedangkan mineral-mineral yang terbentuk di akhir reaksi Bowen, seperi Muscovite dan Quartz merupakan mineral yang
bersifat asam. Dan dari seri reaksi Bowen, semakin asam mineral, maka kandungan unsur-unsur silikanya semakin banyak. Jadi,
salah satu komponen yang diperhitungkan dalam pengklasifikasian batuan beku secara kimiawi dapat dilihat dari kandungan
unsur silika dalam batuan dan karena secara kimiawi unsur-unsur terdapat dalam mineral, maka batuan beku juga
diklasifikasikan berdasarkan mineralogi yang sebenarnya merupakan representasi lebih kompleks dari pengklasifikasian
berdasarkan komposisi kimianya. Selanjutnya, kahadiran mineral-mineral tertentu dalam batuan beku ini mempengaruhi
pemberian nama serta memberikan gambaran proses pembentukan, serta menggambarkan komposisi kima batuan.
Adapun Berdasarkan kandungan senyawa kimia (kandungan silikanya) maka batuan beku dapat dibagi menjadi :
1. Batuan beku Asam : Silika > 65 %
2. Batuan beku Menengah : Silika 65 - 52 %
3. Batuan beku Basa : Silika 52 - 45 %
4. Batuan beku Ultrabasa : Silika < 45 %

Whitford ( 1975) membuat suatu diagram klasifikasi untuk mengetahui seri dan jenis batuan berdasarkan atas kandungan
potassium dan silikanya. Whitford membagi seri batuan menjadi seri toleitik, seri calc-alkaline, dan seri high k calc-alkaline.
Sedangkan jenis batuannya adalah basalt, andesite basaltic, andesite, dan dacite.
Menurut Whitford (1975), setiap peningkatan K2O dan SiO2 akan mengalami perubahan seri magmatik mulai dari seri
toleitik-calc alkaline sampai high k calc alkaline, begitu pula akan mengalami perubahan jenis batuan mulai dari basalt,
andesite basaltic, andesite, sampai dacite.

Anda mungkin juga menyukai