Anda di halaman 1dari 212

cover

PEMIKIRAN ISLAM
KONTEMPORER

Oleh:

Dr. Muhammad Azhar, MA.

2012

1
PRAKATA
Seiring dengan dinamika sosial yang terus dan semakin berkembang, sesuai natur
alam semesta, maka berbagai perubahan tersebut seharusnya diimbangi dengan
upaya peningkatan refleksi intelektualisme keislaman di negeri ini. Negara republik
Indonesia yang dihuni oleh mayoritas muslim ini semestinya ikut bertanggungjawab
terhadap masa depan peradaban bangsa muslim terbesar di dunia ini. Harapan
tertinggi untuk tercapainya masa depan peradaban bangsa yang cerah tersebut, pertama
dan paling utama tentunya diamanahkan ke pundak calon intelektual muslim yang
tersebar di berbagai perguruan tinggi – khususnya PT Islam – di tanah air. Dalam
realitas sosial dan akademik selama ini, sering terjadi adanya kesenjangan, di satu sisi
semakin meluasnya tantangan sosial yang ada, dengan lambannya perkembangan
refleksi pemikiran keislaman di sisi yang lain. Padahal secara ideal, gerak cepat
dinamika sosial yang ada harus dapat diimbangi bahkan sejajar dengan gerak dinamika
pemikiran Islam itu sendiri. Dengan demikian, ajaran mulia agama Islam tidak
berhenti pada dataran normatif-metafisis, namun dapat lebih membumi serta
menjadi acuan solutif atas berbagai tantangan sosial yang terus berkembang.

Sejalan dengan uraian di atas, maka buku ini tentunya lebih difocuskan pada
refleksi pemikiran keislaman kontemporer, mengingat masih minimnya teks
pengajaran yang dapat memperkaya wawasan kontemporer keislaman tersebut bagi
mahasiswa terutama di lingkungan Fakultas Agama Islam, maupun mahasiswa yang
mendalami ajaran Islam pada umumnya. Ratusan ribu bahkan jutaan alumni santri
muslim yang berdiaspora di berbagai perguruan tinggi Islam maupun umum,
dengan berbagai jurusan yang mereka pilih, umumnya – secara mindset - masih
mewarisi wawasan pemikiran Islam klasik yang sudah out of date dengan dinamika
zaman yang berkembang. Sebagai contoh: sikap antipati atau acuh tak acuh – karena
kurangnya wawasan - pelajar/mahasiswa muslim terhadap isu-isu: politik dan demokrasi;
ketidakpedulian dengan perubahan sosial; kurang berempati dengan isu lingkungan
hidup; ketidakcermatan dalam merespon isu sekularisme, pluralisme dan
2
fundamentalisme; pengabaian terhadap gagasan tentang kesejahteraan social; cuek atau
kurang memahami jejaring korupsi di tanah air; abai terhadap pentingnya wawasan
tentang sains; jender; merupakan isu-isu mendasar yang sangat signifikan bagi kehadiran
naskah buku ini nantinya.

Pada awalnya, buku ini merupakan hasil renungan penulis terhadap berbagai isu
sosial yang berkembang di tanah air, yang sedapat mungkin penulis berikan jawabannya
dari kekayaan khazanah pemikiran Islam yang lebih kontekstual dengan perkembangan
yang ada. Sebenarnya banyak isu yang berkembang di negeri ini, namun dalam
naskah ini penulis lebih focus pada pengantar ke pemikiran Islam, yang secara khusus
mengkaji tentang logosentrisme pemikiran Islam yang tradisional, modern maupun
postmodern; sebagai basis intelektualisme keislaman kontemporer dalam memahami isu-
isu aktual selanjutnya. Setelah itu, pembahasan penulis lanjutkan dengan perspektif Islam
tentang berbagai isu (current issues) sebagaimana yang telah penulis kemukakan
terdahulu.

Sepanjang pelacakan penulis, masih amat minim buku-buku teks perkuliahan


di perguruan tinggi yang berupaya mengaitkan antara wawasan pemikiran Islam dengan
berbagi isu kontemporer yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian, buku ini
diharapkan menjadi buku pengayaan bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah
PIK (Pemikiran Islam Kontemporer); MSI (Metodologi Studi Islam), maupun MK
keislaman terkait lainnya. Secara lebih luas, buku ini juga dapat menjadi sumber
tambahan informasi wawasan keislaman bagi mahasiswa umum, para peneliti, pengkaji
dan pemerhati sosial maupun para pengambil kebijakan di negeri ini.

Sebagaimana telah disinggung di atas, bentuk sistemtika buku ini didahului


dengan pengantar pemikiran Islam, lalu dilanjutkan dengan kaitannya dengan berbagai
isu (current isuues) yang menonjol di masyarakat Indonesia yang penulis prediksi akan
menjadi bahan kajian yang cukup intensif di masa-masa yang akan datang.

Akhirnya, penulis ucapan terimakasih kepada Direktorat Pembinaan Penelitian


dan Pengabdian pada Masyarakat Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional yang
telah memberi kesempatan untuk menyusun dan mempublikasikan naskah ini kelak. Tak

3
lupa juga ucapan terimakasih yang sama penulis sampaikan kepada LP3M UMY atas
dukungan untuk pengajuan naskah ini. Demikian pula halnya atas dukungan moril dari
isteri dan keluarga.

Wallahu a’lam bisshawab.-

DAFTAR ISI

BAB I: PENGANTAR PEMIKIRAN ISLAM


1.Logosentrisme Pemikiran Islam ………………………………………………………

2. Tipologi Pemikiran Islam: Tradisional dan Modern …………………………

3. Posmodernisme Pemikiran Islam …………………………………………………..

BAB II: PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL POLITIK


1. Pluralitas Mazhab Siyasah dalam Pemikiran Politik Islam ……………
2. Demokrasi dan Modernitas ………………………………………………………..

3. Pengembangan Nilai-Nilai Demokrasi dalam Keluarga dan Masya-

rakat …………………………………………………………………………………………….

4. Politik Islam di Indonesia: Ideologisasi, Substansiasi, Objektivikasi

dan Transformasi …………………………………………………………………………

5. Telaah tentang Fundamentalisme Islam ……………………………………..

6. Nalar Fundamentalisme Politik dan Fundamentalisme Autentik ..

BAB III: PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN


1. Pemikiran Islam tentang Pembangunan dan Perubahan Sosial ….

4
2. Problematika Lingkungan Hidup ……………………………… …………….. ..

3.Pemahaman tentang Sekularisme ……………………………… ………………

4.Masyarakat Kitab dan Pluralisme ……………………………………………….

5. Kepedulian Terhadap Anak Jalanan ………………………….. ……………..

6. Kapabilitas dan Akseptabilitas Kepemimpinan Kaum Perem-

Puan ………………………………………………………………………………………

BAB IV: PEMIKIRAN ISLAM DAN SOSIAL EKONOMI

1.Korupsi Kebudayaan dan Budaya Korupsi ……..………………...

2. Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia ..……………….

3. Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam ……………

BAB V: PEMIKIRAN ISLAM TENTANG SAINS DAN FUTUROLOGI


- Wacana Agama dan Sains dalam Epistemologi Islam

Kontemporer …………………………………………………. ………………..

- Bibliografi ……………………………………………………….
- Glossary ………………………………………………………….
- Daftar Riwayat Hidup ………………………………….. …

5
BAB I
PENGANTAR
PEMIKIRAN
ISLAM

6
1. Logosentrisme Pemikiran Islam

Istilah Logosentrisme mengandung dua arti, pertama, tradisi yang mencirikan


pemikiran Barat dan berdasarkan anggapan bahwa “ada” sama dengan kehadiran dan
yang benar adalah yang riil atau hadir. Kedua, kenyataan bahwa manusia tidak dapat
mengungkapkan diri dan malahan tidak dapat berpikir kecuali melalui bahasa, tradisi
kebahasaan, tradisi teks tertentu: “manusia berada di dalam kungkungan
logosentris” (clôture logocentrique). Istilah logosentrisme kedua ini merupakan
gambaran yang dipakai Jacques Derrida33

Aspek logosentrisme yang ditekankan Arkoun adalah kecenderungan manusia


untuk membicarakan – yang dianggap sebagai – kenyataan (realitas) dengan mengulang-
ulangi teks sebagai preteks (sebagaimana tersebut di atas) dan memaparkan kenyataan itu
secara mensistematisir dan mengotak-ngotakkan dalam tradisi teologi dan fikih Islam,
tetapi tidak terbatas pada lingkungan Muslim.34

Dalam pandangan Arkoun, ketika membaca sebuah, teks kita harus melihat unsur
informasi yang tersirat (implicit information) di dalamnya yang menggambarkan adanya
struktur mental serta keterkaitan teks dengan ruang budaya tertentu. Untuk dapat meneliti
hal tersebut tentu dibutuhkan adanya transdisiplin ilmu (sejarah, sosiologi, etnologi,
antropologi, linguistik, dan lain-lain). Ketika menemukan sebuah teks maka di situ ada
tiga hal yang tak boleh dilupakan yakni: tulisan (writing), teks (text) dan pembacaan
(reading).35

33
Lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
Jakarta: INIS, 1994, hlm. 311
34
Lihat Johan Meuleman, “Beberapa Catatan Kritis tentang Karya Mohammed Arkoun”, dalam Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LKiS,
hlm. 160
35
Lihat juga, Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 272-286

7
Dalam logika Yunani kita mengenal konsep logos (tuturan-nalar) yang dalam
bahasa Arabnya identik dengan nuthq yang berarti wicara yang terungkap. Dalam
konteks wicara dan nalar di sana ada logika (manthiq) serta penutur (nathiq).
Mengutip pandangan Aristoteles, Arkoun mengemukakan bahwa konsep logos sudah
tidak lagi bersifat profetik maupun bersifat dialektis. Logos cenderung mengabaikan
pendengar. Pada abad pertengahan, lanjut Arkoun, logos kenabian yang (open
minded) bergeser ke wacana pengajaran (closed minded).36

Lebih lanjut, wacana pengajaran tentang segala realitas – termasuk tentang


Allah – telah didominasi oleh prinsip kategori Aristotelian37. Dampak yang
dimunculkan dari fenomena ini adalah munculnya berbagai upaya penyelarasan,
polemik, apologi serta pengkotakan berbagai mentalitas. Walhasil, pelbagai
dialektika dan logika berpikir dalam studi keislaman telah dikungkung oleh prinsip
kategori dan hegemoni Aristotelianistik. Lebih lanjut, wacana tentang eksistensi
sesuatu maupun realitas duniawi lebih bersifat morfologik dan sintaksis, belum
beranjak jauh pada tataran ontologik. Di lingkungan pengguna bahasa Arab belum
muncul upaya riset baru secara lebih mendalam tentang hal ini. 38 Di sinilah, menurut
Arkoun, perlu adanya analisis wacana39 dalam studi keislaman baik yang bersifat
mitis-puitis (wilayah para penyair), maupun yang bersifat “ilmiah” dan logis (seperti
yang ditekuni Arkoun selama ini).

36
Ibid, hlm. 75. Bandingkan juga dengan Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary
Islamic Thought, New York: The Institute of Ismaili Studies 2002, p. 179-203
37
Bandingkan dengan al-Farabi, Kitab al-Huruf, Beirut: M. Mahdi, 1970. Ibnu Taimiyah, Radd ‘ala-
al-Manthiqiyyin, Bombay, 1949. Josep Van Ess, The Logical Structure of Islamic Theology, 1970,
Reprinted by Permission of Otto Harrassowitz. Lihat juga, Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab
Aristoteles, Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqh, Yogyakarta: Safiria Insani Press,
2004
38
Lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern … , hlm. 3
39
Untuk contoh kajian analisis wacana, baik juga dibandingkan dengan Eriyanto, Analisis Wacana,
Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2001 (Buku ini berisi pengantar metodologis dan
teoritis ke analisis wacana… Analisis wacana merupakan alternatif terhadap kebuntuan-kebuntuan
dalam analisis teks – kebetulan yang menjadi fokus studi dalam buku ini adalah teks media – yang
selama ini lebih didominasi oleh analisi isi (content analysis) konvensional dengan paradigma
positivis atau konstruktivis. Bila analisis isi lebih terfokus pada pertanyaan “why”, maka analisis
wacana lebih jauh pada “how” dari sebuah pesan atau teks yang dikaji. Lewat analisis wacana, kita
akan tahu bukan hanya tentang isi sebuah teks, tetapi bagaimana dan mengapa teks itu dihadirkan.
Bahkan kita lebih jauh dapat membongkar penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan
yang dijalankan dan diproduksi secara samar melalui teks tersebut).
Konsekwensi logis dari metode analisis wacana ini adalah perlunya studi
sejarah gagasan (the history of ideas) yang di dalamnya terkait tentang tulisan, teks
dan pembacaan. Menurut Arkoun, sebuah wacana begitu ditulis, ia lepas dari
pengawasan penulisnya dan memulai kehidupannya sendiri. Pembacalah yang
menentukan kekayaan/kehampaan sebuah teks, perluasan atau keringnya teks serta
pengabaian maupun pengaktifan kembali teks tersebut. Pembaca jarang sekali
menerima sebuah teks dengan memahami semua maknanya sebagaimana yang
dimaksudkan oleh penulis. Kata Arkoun, dalam perspektif analisis wacana, penulis
awalnya adalah pembaca, tetapi pembaca tidak selamanya penulis (every author is
originally a reader, while not every reader is an author)..Interaksi pembaca dengan
teks menentukan logos dan roh dalam satu bahasa yang kelak melahirkan pluralitas
bahasa. Dalam kaitan ini, bahasa ada yang bersifat terbuka yakni dalam wicara (the
spoken word atau kalam), dan ada yang bersifat tertutup yakni bahasa yang telah
dibakukan dalam sebuah tulisan (teks). Dengan kata lain, bahasa wicara tentunya
jauh lebih kaya dan mengandung banyak nuansa ketimbang bahasa tulisan. Intinya,
wicara jelas berbeda dengan tulisan.40

Dalam hal ini bisa dimaklumi bahwa bahasa berbeda dengan pemikiran,
dimana pemikiran tetap merupakan kegiatan bebas dan mampu memperbaharui
secara terus-menerus kemungkinan-kemungkinan baru ungkapan bahasa.
Sebagaimana terlihat dampaknya dalam wilayah pemikiran Yunani maupun
pengembangan sains pada era sesudahnya. Maka ketika kita melihat sebuah teks,
sikap kritis dan pembacaan secara produktif (production of meaning) harus
diterapkan, sebaliknya sikap pengulangan (reproduction of meaning)41 harus
dihindari demi ditemukannya berbagai kemungkinan baru bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di masa depan, tidak terkecuali di dalamnya pengembangan studi-studi
ilmu keislaman.

40
Bandingkan dengan Muhammad Azhar, “Pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang Bahasa dan
Makna” dalam Wawasan Sosial Politik Islam Kontekstual, Yogyakarta: UPFE UMY, 2005, hlm. 3-14
41
Untuk kajian komprehensif tentang pembacaan reproduction of meaning/qiraah mutakarrirah dan
production of meaning/qiraah muntijah ini, baca, Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif.
Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan (Jakarta:
ICIP, 2004)

2
Berdasarkan analisis di atas Arkoun berpandangan bahwa pemikiran Islam
sudah lama mengalami kungkungan logosentrisme seperti yang terlihat dalam tradisi
ushul fiqh yang telah lama memenjarakan proses ijtihad. Proses ijtihad melalui
mekanisme ijma’, qiyas dan “sunnah Nabi”42 lalu diklaim sebagai representasi wahyu
Allah. Padahal dalam mekanisme atau proses ijtihad itu sendiri pada hakikatnya tidak
terlepas dari pemikiran manusiawi para ulama juga yang tidak lepas dari proses
pembacaan terhadap kehendak Tuhan sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an. Apa
yang selama ini dianggap wahyu Tuhan sebenarnya juga merupakan hasil refleksi
pemikiran ulama juga. Konsep “kebenaran” yang ditransendenkan ke dataran ilahiah
sebenarnya juga bagian dari bentuk konkrit dari adanya keterkungkungan
logosentrisme. Dengan keras Arkoun bahkan menyatakan bahwa banyak mujtahid
yang telah menipu diri dan para pengikutnya karena mengharuskan adanya tafsir
monolitik tentang paham keagamaan yang sering menafikan adanya pluralitas
penafsiran. Bahkan al-Ghazali sendiri, oleh Arkoun, dianggap kurang memahami
mana wilayah transenden dan imanen dalam agama. Kalam Allah yang imanen
dianggap transenden.43

Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa pemahaman tentang agama


(religion), budaya (culture) dan negara (state)44 telah lama terpenjara oleh
logosentrisme yang akhirnya mengabaikan local genius atau pluralitas pemahaman
yang mungkin bisa diekspresikan. Pada akhirnya agama dan budaya menjadi sandi-
sandi yang formalistik dan resmi. Pemahaman agama dan budaya menjadi terikat
dengan pemaknaan yang sudah mapan (statis), lalu lupa pada upaya proses
pencarian makna secara terus-menerus (dinamis). Agama dan budaya sudah menjadi
tulisan (teks), fosil keilmuan. Kekayaan nuansa agama dan budaya yang terefleksikan
dalam wacana (discourse) menjadi tereliminasi dan hilang.
42
Contoh nalar-nalar aksiomatik yang mencerminkan kungkungan logosentrisme terlihat dalam
beberapa pandangan seperti berikut: ‘seorang sahabat Nabi tidak mungkin bohong”; “umat tidak
mungkin sepakat mengenai kesalahan (laa tajtami’u ummati ‘ala al-dlalalah)’; semua benar pada
masa nubuwwah; para sahabat mengetahui segalanya mengenai kehidupan dan ajaran Nabi;
kontradiksi antara al-Qur’an dan Sunnah hanya mungkin diakibatkan oleh perubahan sebuah teks oleh
seorang perawi; dan sebagainya). Bagi Arkoun, semua model penalaran ini harus dikaji secara lebih
kritis.
43
Lihat Arkoun, Nalar Islami, hlm. 80
44
Bahasan secara khusus dan mendalam tentang hubungan agama dan Negara dapat dilihat dalam bab
IV

3
Sejalan dengan keterpenjaraan logosentrisme model Arkoun di atas, ada
baiknya juga kita kemukakan di sini pandangan Francis Bacon (1561-1626) tentang
Idols of the Mind. Menurut Bacon, ada empat model penjara pikiran yang sering
membelenggu nalar kritis manusia: Pertama, Arca-arca Suku (Idols of the Tribe)
yang mengandung makna tentang seseorang atau sekelompok orang yang cenderung
menerima bukti-bukti atau kejadian-kejadian yang menguntungkan pihak atau
kelompoknya sendiri. Kedua, Arca-arca Gua (Idols of the Cave). Kita cenderung
untuk memandang diri kita sebagai pusat dunia dan menekankan pendapat kita yang
terbatas. Ketiga, Arca-arca Pasar (Idols of the Market), yang mendorong kita untuk
terpengaruh oleh kata-kata atau nama-nama yang kita kenal dalam percakapan kita
sehari-hari. Kita disesatkan oleh kata-kata yang diucapkan secara emosional.
Misalnya, bagi masyarakat (bangsa) Amerika, kata-kata komunis dan radikal.
Keempat, Arca Panggung (Idols of the Theatre) yang ditimbulkan karena sikap kita
yang berpegang pada partai, kepercayaan atau keyakinan (pemahaman agama).
Tingkah laku, cara-cara dan aliran-aliran pikiran adalah seperti panggung, dalam
pengertian bahwa mereka membawa kita kepada dunia khayal. Akhirnya arca
panggung membawa kita kepada kesimpulan yang salah arah. Penjara atau hambatan
pemikiran yang jernih ini dapat juga dikembangkan dengan istilah atau kata-kata
lain, seperti: purbasangka (prejudice), kerawanan terhadap propaganda
(susceptibility to propaganda), dan sumonggo-dawuhisme, ABS-isme, ketaatan
mutlak tanpa reserve kepada seseorang atau suatu badan, pemikiran atau
authoritarianism.45

45
Lihat Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm.
193-194

4
2. Tipologi Pemikiran Islam

Menurut Prof. Dr. Fazlur Rahman, paling tidak, ada empat tipologi
pemikiran keislaman yang pernah berkembang di dunia Islam. Tipologi gerakan
pemikiran yang pertama adalah Revivalisme Pra Modernis yang muncul pada abad
ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan Barat
ini memperlihatkan ciri-ciri umum: a) Keprihatinan yang mendalam tentang
degradasi sosio moral ummat Islam dan usaha untuk mengubahnya; b) Imbauan
untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahyul-tahyul yang
ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang
kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan
ijtihad; c) Imbauan untuk mengenyahkan corak predeterministik; d) Imbauan untuk
melaksanakan pembaruan ini lewat kekuatan bersenjata (jihad) jika perlu.

Menurut Rahman, dasar pembaruan Revivalisme Pra Modernis ini kemudian


diambil alih oleh gerakan kedua, Modernisme Klasik, yang muncul pada

5
pertengahan abad ke-19 dan awal ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Yang baru
pada gerakan ini adalah perluasannya terhadap ‘isi’ ijtihad, seperti hubungan antara
akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status
wanita serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif
serta konstitusional lantaran kontaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat.
Usaha modernisme klasik dalam menciptakan yang baik antara pranata-pranata Barat
dengan tradisi Islam melalui sumber al-Qur’an dan Nabi, menurut Rahman,
merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artifisial atau terpaksa. Hakikat
penafsiran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ‘Sunnah Historis’ (yakni
biografi Nabi) sebagaimana dibedakan dengan ‘Sunnah teknis’ (yakni yang terdapat
di dalam hadits-hadits). Mereka umumnya skeptis terhadap hadits, tetapi skeptisisme
ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Modernisme Klasik telah memberikan pengaruh terhadap gerakan ketiga,


Neo Revivalisme atau Revivalisme Pasca Modernis, seperti dalam mendukung
gagasan demokrasi dan percaya serta mempraktekkan bentuk pendidikan Islam yang
relatif telah dimodernisir. Bahkan gerakan ketiga ini telah mendasari dirinya pada
basis pemikiran Modernisme Klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek
kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk
membedakan diri dari Barat, maka Neo Revivalisme merupakan reaksi terhadap
Modernisme Klasik. Mereka tidak menerima metode atau semangat Modernisme
Klasik; tetapi sayangnya, mereka tidak mampu mengembangkan metodologi apapun
untuk menegaskan posisinya, selain berusaha membedakan Islam dari Barat

Di bawah pengaruh Neo Revivalisme , tetapi juga merupakan tantangan


terhadapnya, Neomodernisme Islam muncul, dan Rahman mengklaim dirinya
sebagai juru bicara gerakan baru ini. Dengan tegas Rahman mengatakan bahwa
Neomodernisme Islam harus mengembangkan sikap kritis tentang Barat maupun
warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum muslimin harus mengkaji dunia Barat
serta gagasan maupun ajaran-ajaran dalam sejarah keagamannya sendiri. Bila hal ini
tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia modern

6
merupakan suatu hal yang mustahil, bahkan kelangsungan hidupnya sebagai Muslim-
Muslim akan sangat meragukan.1

Neomodernisme Islam ini, sebagaimana dinyatakan Rahman sendiri, ingin


merajut kembali kekayaan tradisi Muslim lalu dikemas secara metodologis untuk
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam kaitan ini Rahman menyatakan:
“Bersama-sama dengan rancangan ekonomi dan rencana-rencana lima tahun,
sekarang kaum Muslimin di seluruh dunia sedang mengalihkan perhatian mereka
kepada penafsiran kembali Islam sesuai dengan konteks zaman modern … maka
satu-satunya jalan, yang dapat mereka tempuh adalah merumuskan kembali garis-
garis kebijaksanaan yang positif sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer
dan berdasarkan petunjuk-petunjuk sosial dan moral yang diberikan oleh Islam …
Karena kita menyadari bahwa dalam beberapa abad ini ilmu pengetahuan Islam dapat
dikatakan lebih bersifat mekanis dan semantik daripada interpretasi ilmiah, maka
betapapun kecil dan bersahajanya perjuangan kita adalah untuk mencairkan
kebekuan di dalam dunia pemikiran Islam baik di dalam religius maupun moral. 2
Selanjutnya Rahman mengemukakan bahwa ‘satu-satunya jalan yang mungkin untuk
melakukan pembaruan adalah dengan cara merombak kembali asal-usul dan
pengembangan keseluruhan tradisi Islam, dengan cara dimana al-Qur’an dan Sunnah
Rasul didekati, ditangani dan ditafsirkan.3

Fazlur Rahman dengan Neomodernismenya mengingatkan umat Islam untuk


dapat membedakan secara jeli antara Islam normatif dan Islam historis. Dalam
memahami al-Qur’an perlu dibedakan aspek ideal moral (sebagai tujuan) dengan
ketentuan legal-spesifik; dimana aspek ideal moral yang lebih pantas diterapkan. Ciri
lain dari Neomodernisme Islam ini adalah metodologi penafsiran al-Qur’an harus
dilakukan dengan gerakan ganda (double movement) dari sitausi sekarang ke masa
al-Qur’an diturunkan dan kembali ke masa kini. 4 Sampai di sini kita cukupkan
1
Lihat Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung:
Mizan, l987), hlm. 18-19
2
Lihat Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. (Bandung: Pustaka, l983), hlm. v-vii
3
Lihat Fazlur Rahman, Islam & Modernitas, tentang Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka,
l982), hlm. 173
4
Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman (Bandung: Mizan, l989), hlm. l63,l94
sekedar pengantar awal perkembangan pemikiran Islam modern sebelum kita
memasuki wacana pemikiran Islam kontemporer sebagaimana yang ditawarkan oleh
Mohammed Arkoun. Menurut Penulis, refleksi metodologis dan epistemologis
pemikiran Islam modern pra Arkoun belum tampak secara serius menawarkan
keterkaitan antara pemikiran Islam dengan wacana ilmu-ilmu sosial kontemporer,
misalnya. Bahkan Fazlur Rahman sendiri belum begitu intensif mendalaminya,
walaupun telah mulai mencoba untuk menawarkannya. 5 Pada tahap perkembangan
pemikiran keislaman selanjutnya, Mohammed Arkoun tampaknya mulai merealisir
tentang persentuhan antara Islam dan wacana ilmu-ilmu sosial dimaksud, sebagai
salah satu prasyarat signifikansi dan relevansi wacana pemikiran keislaman
kontemporer.6

3. Posmodernisme Pemikiran Islam

Dalam wilayah studi Islam posmodern ini pada hakikatnya merupakan

penekanan secara lebih rigid lagi tentang pentingnya saling keterkaitan antara pola

studi Islam tradisional dan studi Islam modern. Kedua pola Islamic studies ini, pada

hakikatnya tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri (paralel), maupun bersifat linier,

5
(… di antara kelemahan Fazlur Rahman adalah kekurang-akrabannya dengan ilmu-ilmu sosial
modern. Rahman kurang mengapresiasi Ibnu Khaldun sebagai peletak dasar ilmu sosial dimaksud.).
Lihat, Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Usaha Penyingkapan Kembali Etika Al-Qur’an: Kesan
dan Pengamatan Seorang Murid”, makalah seminar yang diadakan oleh LSAF, Jakarta: 3 Desember
l988.
6
Bandingkan, Muhammad Azhar, “Pendekatan Empirik dalam Tradisi Pemikiran Islam”, Suara
Muhammadiyah, No.11 Th. Ke-83, 1-15 Juni l998, hlm.40-41
dalam pengertian studi Islam tradisional maupun studi Islam modern merasa

memiliki kelebihan dalam dirinya sendiri, dibanding model studi lainnya. Mengingat

semakin meluasnya persoalan yang dihadapi umat dan bangsa, serta semakin

kompleksnya permasalahan yang ada, maka untuk format studi keislaman mendatang

mau tidak mau harus bersifat saling melengkapi, 65 yang dalam bahasa penulis, studi

Islam mendatang harus dirumuskan secara lebih integratif.

Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa masih adanya ketegangan (tension)

antara mazhab Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu) dan Scientification of

Islam (Saintifikasi Islam), namun ketegangan yang ada tidak dapat mengabaikan satu

hal, yakni: betapa mendesaknya upaya pengayaan bahkan pengembangan dari model-

model studi keislaman yang ada, yang selama ini masih cenderung didominasi oleh

pola studi keislaman normatif-teologik-apologetik. Upaya ini merupakan sebuah

kemestian, sejalan dengan dinamika perkembangan zaman dan tantangan sosial yang

ada. Setiap angkatan generasi keilmuan, diharuskan untuk melahirkan format studi

keislaman yang baru, sesuai dengan semangat zamannya.66

Adapun masih ditemukannya ketegangan dalam penggunaan studi Islam

tradisional maupun modern, dapat diselesaikan melalui adanya sikap tenggang rasa

dan mentalitas akademis dari masing-masing aliran yang “berseteru”, untuk terus

melakukan berbagai eksperimen studi keislaman melalui pengayaan berbagai

pendekatan dan metode keilmuan oleh masing-masing penganut aliran pada lembaga

65
Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 223.
66
Perlu pembacaan productive of meanning/qiraah muntijah yang kontinu dalam studi Islam,
lihat Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 139.
kajian keislaman yang diminati, baik yang bersifat formal, seperti ISTAC/IIUM 67

maupun IAIN/UIN/STAIN, PTAIS.68 Bahkan dimungkinkan pula dikembangkan di

lembaga PTU seperti program ICRS UGM, selain studi Islam kontekstual 69 yang

sudah ada. Berbagai eksperimen di lembaga kajian Islam non-formal lainnya serta

berbagai media informasi keislaman yang digunakan, akan sangat membantu dalam

mempercepat proses pengayaan sekaligus pengembangan dari berbagai pola studi

keislaman yang sudah mapan. Secara jangka panjang, semuanya akan tumbuh

berkembang secara alami, sebagai bentuk upaya penyemaian benih-benih peradaban

Islam di masa depan.

Adapun mengenai pendapat penulis di atas, pada hakikatnya sejalan dengan

apa yang telah dirumuskan para pengkaji Islamic studies terdahulu, seperti Mukti Ali

dengan scientific-cum-doctriner; Nurcholish Madjid dengan Islam Peradaban;

Kuntowijoyo dengan Islam Ilmu; Amin Abdullah dengan Epistemologi studi

keislaman.70

Berdasarkan telaah di atas, tradisi baru studi keislaman masa depan

mengandaikan pentingnya untuk melakukan beberapa kerja ilmiah sebagai berikut:

67
Alumni ISTAC akan mendirikan perpustakaan Islam terlengkap di Indonesia melalui
wadah INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization), lihat iklannya dalam
jurnal Islamia, Thn I/No.4, Januari-Maret 2005, dan nomor-nomor berikutnya.
68
Program Doktor/S3 UMY, misalnya, akan menggabungkan dua aliran tersebut. Lihat
proposal S3 UMY 2006.
69
Program Pascasarjana ICRS (Indonesian Concorsium for Religious Studies), maupun studi
Islam Kontekstual pada strata 1 UGM Yogyakarta telah berjalan beberapa tahun yang lalu.
70
Lihat teori “spider web” dan tri “hadlãrah” versi Amin Abdullah dalam, Islamic Studies,
hlm.401, 404-405. Teori tri hadlãrah Amin Abdullah tersebut peneliti lengkapi dengan hadlãrah
siyãsah.
1. Merumuskan berbagai redefinition terhadap konsepsi keislaman yang sudah

ada atau sama sekali baru melalui pengadaan kamus-kamus dan berbagai

ensiklopedi keislaman yang baru dan kontekstual.

2. Upaya kompilasi berbagai metode keilmuan bersumber dari berbagai hasil

penelitian ilmiah terutama yang termuat dalam berbagai khazanah tesis

maupun disertasi yang sudah mulai menjamur di perguruan tinggi Islam.

Berbagai temuan metode keilmuan tersebut sudah saatnya untuk lebih

diintensifkan model aplikasinya bagi pengembangan keilmuan maupun sosial

kemasyarakatan di masa mendatang. Dengan demikian, berbagai hasil riset

yang ada akan dapat berhasil guna, tidak semata-mata menjadi bahan

pajangan di perpustakaan.

Terkait dengan pengembangan dimensi signifikansi metode keilmuan dalam

ruang lingkup studi keislaman dewasa ini, penggunaan sebanyak mungkin metode

keilmuan tersebut menjadi sangat dimungkinkan, sebagaimana yang disepakati

Fazlur Rahman maupun Mohammed Arkoun. Karena setiap metode atau pendekatan

keilmuan yang ada, selalu terbuka untuk dianalisis dan dikaji ulang secara terus

menerus.71 Secara konvensi akademis, setiap topik kajian akan dianggap benar bila

sesuai dengan metoda yang telah dirumuskan sesuai dengan topik yang telah

ditentukan. Namun demikian, setiap pengkaji studi Islam diharuskan untuk

melakukan kajian dengan metode critical thought, tidak hanya terpaku pada metode

pemikiran tertentu yang digunakan maupun objek pemikiran yang menjadi fokus
71
Lihat pernyataan Rahman berikut: “jelas tidak perlu bahwa sesuatu penafsiran yang telah
diterima harus diterima terus; selalu ada ruang maupun kebutuhan bagi penafsiran-penafsiran baru,
karena hal ini, sebenarnya adalah suatu proses yang terus berlanjut” (Fazlur Rahman, Islam dan
Modernitas, tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1982, hlm.
173); Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta:INIS, 1994), hlm. 311; Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 214.

11
penelitian. Bahkan dari hasil studi Islam yang ada – idealnya- selalu dapat dihasilkan

nuansa atau metode maupun konsepsi pemikiran keislaman yang baru. Hal ini sejalan

dengan kecenderungan era posmodernisme dan post-colonial theory, di mana faktor

pembaca (reader/qãri’) menjadi jauh lebih penting, lebih dari sekedar teks dan

penulis (author/muallif).72

Pada era posmodernisme ini, harus bisa dibedakan antara Islam ansich, as a

text/”absolute”, dengan Islam as a thought/al-madzhab/relative, Islam era klasik,

modern, dan postmodern. Di era posmodernisme Islam bermunculan beberapa ulama

atau intelektual muslim, yang masing-masing memberikan tawaran pendekatan

dalam studi keislaman, diantaranya: Fazlur Rahman (Pakistan) dengan paradigma

Neomodernisme Islam; Hassan Hanafi (Mesir) dengan “al-Yasar al-Islamy/Islamic

Left”; Asghar Ali Engineer (India) dengan teologi pembebasannya; Mahmoud Thaha,

Abdullahi Ahmed an-Na’im dengan “dekonstruksi syariahnya”; Nashr Hamid Abu

Zayd (Mesir) dengan kritik teks al-Qur’an; Mohamed Abed al-Jabiri (Maroko)

dengan teori bayānî, burhānĩ dan ‘irfãnĩ; Muhammad Syahrur (Suriah) yang dikenal

dengan teori nazhariyyat al-hudūd; Abdulkarim Soroush (Iran) dengan teori

penyusutan dan pengembangan Islam; Khaled Abou El-Fadl (otoritarianisme dalam

pemikiran keagamaan).

Terkait dengan penulisan disertasi ini, di sini peneliti memfokuskan pada

pemikiran Islam posmodernisme dalam perspektif Mohammed Arkoun. Bagi Arkoun,

cara berpikir dogmatis (dogmatic mind) pada hakikatnya tidak saja menimpa ranah

72
Bandingkan dengan, Khaled M. Abou Al-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law,
Authority and Women (Oxford: One World Publications, 2001) (reprinted 2003); Nasr Hamid Abu
Zaid, Naqd al-Khitãb ad-Dĩnĩ (Kairo: Dar Sina li al-Nasyr, 1992).

12
teologi agama-agama tradisional namun juga mencakup agama-agama sekuler

kontemporer. Hal yang sama juga menerpa pemikiran Islam yang telah didominasi

oleh dogmatic mind selama berabad-abad. Lebih lanjut Arkoun mengingatkan bahwa

penting sekali bagi para pengkaji agama khususnya Islam untuk tidak semata-mata

mencermati khazanah Islam secara tekstual belaka namun juga melihat aspek

psikologi, sosiologi, bahasa politik dan sistem keberagamaan dalam Islam. Dengan

perspektif itu pula kita dituntut untuk melihat berbagai fenomena kontemporer.

Arkoun mengemukakan pertanyaan seberapa penting para sosiolog mencermati

fenomena Islam yang menyejarah tersebut. Apakah perlu dirumuskan secara baru

nalar Islam sesuai dengan kondisi kekinian?

Di sini Arkoun dengan serius mengemukakan pendapatnya tentang

pentingnya mencermati fenomena Islam yang bersifat historis. Dengan kritis Arkoun

mempertanyakan tentang warisan pemikiran Islam yang seolah-olah sudah dianggap

baku oleh para ulama, baik dalam bentuk kodifikasi kitab suci al-Quran maupun

hadis-hadis Nabi, dimana kedua sumber tersebut menjadi rujukan berbagai khazanah

pemikiran Islam baik yang bersifat ritual, akhlaq, hukum, sosial kemasyarakatan,

ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Arkoun juga mengkritik para orientalis yang

mengkaji berbagai sumber rujukan Islam secara terbatas dan lahiriah saja, sehingga

para pengamat sosial dari Barat juga terjebak dengan model kajian orientalis yang

terbatas dimaksud.

Pada gilirannya model pengkajian orientalis tersebut lebih bercorak:

unilateral, backward dan dogmatic, yang sumber kajian Islam juga lebih banyak

diperoleh dari para pekerja muslim yang merantau ke dunia Barat. Di sini Arkoun

13
mengkritik hasil pengkajian para sosiolog itu sendiri. 73 Berdasarkan fenomena studi

Islam klasik di atas Arkoun ingin membongkar apa yang disebut dengan mindset atau

nasaq al-‘uqūl. Dalam konteks inilah Arkoun menawarkan perlunya kajian pemikiran

Islam dilakukan dengan pendekatan yang kombinatif antara pendekatan filologi,

linguistik, etnologi, sosiologi dan antropologi. Bukan semata-mata dengan

pendekatan filologi klasik seperti kaum orientalis.74 Bagi Arkoun untuk lebih dapat

memahami Islam maka semua cabang ilmu bisa digunakan.

Arkoun juga mengingatkan betapa mustahilnya melakukan teologisasi dalam

pemikiran Islam. Pendekatan teologisasi tersebut sangat sulit memahami pluralisme

sosial dewasa ini tanpa menggunakan dimensi psikologi, filosofis maupun

antropologis. Selama ini, lanjut Arkoun, terdapat dua model pendekatan dalam

memahami masalah kemanusiaan yakni model religius dan model sains. Arkoun

menggugat model religius Islami di mana struktur “aqidah”75 menjadi aspek

penghambat pengembangan pemikiran dikaitkan dengan kontribusi Islam dalam

penyelesaian masalah kemanusiaan universal. Dimensi akidah bagi semua agama

termasuk Islam merupakan struktur puncak yang dianggap sakral, dominatif,

legitimatif dan autentik Islam. Dengan demikian struktur akidah ini menjadi sumber

rujukan utama para ulama termasuk para kepala Negara dan birokrasinya. Konsep

akidah ini menjadi suatu legitimasi religius terhadap suatu kekuasaan politik Islam.
73
Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Ushûly wa Istihãlah al-Ta’shîl, Nahwa Tãrikh Ākhar li al-
Fikr al-Islãmy, (London: Dar al-Saqi, 2002), hlm. 329-333.
74
Adapun pengertian dari pendekatan filologi, yakni memahami kajian keislaman melalui
semata-mata pendekatan teks kebahasaan, tanpa secara lebih jauh melihat konteks ketika teks tersebut
ditulis. Pendekatan tekstual seperti yang sering dikaji orientalis cenderung mengabaikan dimensi
historisitas kehidupan umat di masa teks tersebut ditulis.
75
Arkoun memberi dua tanda kurung terhadap konsep “Aqidah”, karena bagi Arkoun
pentingnya mempersoalkan atau menjadikannya suatu hal yang problematis dalam kajian aqidah.

14
Dengan demikian, menurut Arkoun, kedudukan ulama hampir mirip dengan

kedudukan pendeta atau uskup,76 di mana para ulama yang dianggap paling berhak

merumuskan hukum-hukum dan undang-undang melalui metode ijtihad, dengan

kembali pada al-Quran dan Hadis bagi kaum Sunni, maupun pola imamah di

kalangan Syiah. Bila muncul perlawanan terhadap pandangan ulama tersebut berarti

dianggap melawan otoritas spiritual dan politik keagamaan umat.77

Dalam konteks ini Arkoun memberikan dua solusi: pertama, metode maupun

hasil ijtihad sepenuhnya diserahkan pada otoritas keagamaan tanpa harus

mengaitkannya dengan legitimasi suatu kekuasaan politik. Kedua, sebaliknya para

penguasa seharusnya memberikan kebebasan bagi para ulama untuk berijtihad. Di

sini dengan tegas Arkoun menolak pemaksaan paham keagamaan, baik oleh ulama

maupun oleh kekuasaan terhadap umat. Biarkanlah umat sendiri yang memberikan

penilaian terhadap berbagai pandangan atau hasil ijtihad para ulama. Umat Islam

harus belajar dari munculnya tirani kekuasaan yang terkait dengan teks al-Quran

maupun Hadis.78 Menurut Arkoun, para ulama yang memaksakan kehendaknya

76
Pernyataan Arkoun ini dibantah oleh para ideolog atau konservatif muslim bahwa tidak ada
sistem kependetaan dalam Islam (lãrahbãniyyah fil Islãm). Namun Arkoun mengemukakan – dengan
pendekatan sejarah – fakta historis bahwa dalam sejarah Islam juga pernah hal yang mirip terjadi
dalam sistem kependetaan atau kepausan Kristiani, di mana ulama menarik legitimasi agama kepada
kekuasaan politik. Seperti kasus oposisi Khawarij dan Syiah terhadap Umawiyah dan Abasiyah
maupun tekanan politik kekuasaan Muktazilah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal.
77
Adapun contoh perlawanan terhadap otoritas spiritual keagamaan ini bisa dilihat dalam
contoh oposisi Khawarij dan Syiah terhadap kekuasaan politik Umawiyah dan Abbasiyah. Demikian
pula contoh perlawanan yang muncul dari Ahmad bin Hanbal (w.855) dan pengikutnya terhadap para
khalifah beraliran Muktazilah yang berpandangan tentang penciptaan al-Quran. Dalam konteks ini
Arkoun sendiri lebih dekat ke Muktazilah dalam teori tentang penciptaan al-Quran. Namun yang
membedakan Arkoun dengan Muktazilah, ia tidak sependapat dengan penguasa Muktazilah yang
memaksa Imam Ahmad bin Hanbal untuk mengikuti pandangan Muktazilah tersebut. Lihat, Arkoun,
al-Fikr al-Ushûly, hlm. 342-343.
78
Ibid.

15
digolongkan sebagai ulama yang korup, karena dekat kekuasaan, dimana kekuasaan

telah memberikan para ulama tersebut posisi sosial yang menguntungkan bagi ulama.

Belajar dari sejarah mihnah dalam sejarah Islam, khususnya saat terjadinya

pembalasan kaum ortodoks muslim terhadap Mu’tazilah, maka belakangan muncul

proses takfîr terhadap Mu’tazilah yang berpandangan bahwa al-Quran diciptakan. Di

sinilah awal terbentuknya kemapanan kelompok yang belakangan disebut Sunni.

Demikian pula hal yang sama terjadi di Iran di mana Dinasti Safavid juga

memaksakan paham Syiah Imamiyah sebagai satu-satunya faham Islam yang benar.

Kemapanan Sunni-Syiah ini berdampak pada tertutupnya pluralisme paham aqidah

maupun bidang keagamaan lainnya, terlebih lagi setelah munculnya konsep takfir.

Di sini Arkoun juga mendorong para pengkaji studi keislaman untuk kembali

mengkaji secara kritis hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Mendengar aspirasi

kaum tradisional yang selama ini diabaikan paham modernisme Barat. Perlunya riset

keislaman yang baru pasca “mazhab” filologisme orientalis. Membongkar mentalitas

dualisme dan dogmatis pengkaji Islam. Membedakan antara keberagamaan

tradisional yang murni dengan paham keagamaan yang teologis-ideologis-

fundamentalis.

Bila ditinjau secara metodologis, pada hakikatnya, Mohammed Arkoun

menawarkan agar studi keislaman era posmodernisme menggunakan empat

pendekatan baru: sejarah, antropologi, sosiologi, dan bahasa (linguistik). Keempat

pendekatan ini merupakan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang baru muncul abad 19-

20. Dalam perspektif Arkoun, corak keimanan muslim tidak semata-mata bersifat

16
ritual ansich, namun juga sangat terkait dengan dimensi space and time yang terkait

dengan aspek kelembagaan, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Semua metode,

kitab, tulisan yang dilahirkan ulama dalam mengkaji Islam juga sangat terkait dengan

aspek dinamika kesejarahan, sosial, budaya ketika ulama itu hidup. Maka Arkoun

mencoba menggunakan pendekatan teori ilmu sosial baru era posmodernisme

sebagaimana yang terlihat dalam berbagai karyanya yakni berupa teori-teori

antropologi, sejarah, sosiologi, psikologi, filsafat, linguistik dan semiotik.

Menurut Amin Abdullah, Mohammed Arkoun telah memasuki periode ketiga

dari perkembangan studi Islam.79 Adapun periode pertama studi Islam lebih

menggunakan pendekatan filologi yang popular di kalangan orientalis. Kajian

filologi ini bersifat kebahasaan dalam mengkaji teks-teks keislaman klasik. Arkoun

sendiri mengkritik pendekatan orientalis yang cenderung “objektif” dan melupakan

dimensi subjektivitas ulama maupun dinamika sosial yang mengitari ketika teks

keislaman tersebut diproduksi.

Adapun fase kedua, studi kemasyarakatan mirip dengan studi sains. Dengan

demikian studi keislaman, sebagai bahagian dari studi kemasyarakatan tersebut,

harus dilakukan dengan pendekatan ilmu pengetahuan juga, yakni ilmu pengetahuan

versi ilmuan sosial, bukan pendekatan bahasa. Di sini masyarakat dilihat seperti

sebuah sistem versi Talcott Parsons. Kajian dengan pendekatan ini sangat erat dengan

konsep modernisasi.

79
Lihat Arkoun dalam, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Posmodernisme,
hlm.vi.

17
Adapun pada fase ketiga, studi-studi keislaman (Islamic studies) mulai

memperkaya kajian dengan memanfaatkan berbagai pendekatan kontemporer,

seperti: psikologi, antropologi, sosiologi, sejarah serta berbagai pendekatan social

sciences lainnya. Pada fase ketiga inilah, Mohammed Arkoun berada.

Dari perspektif tahapan studi keislaman di atas, rekonstruksi pemikiran

Mohammed Arkoun dalam studi keislaman era posmodernisme secara umum dapat

dikemukakan mengingat berbagai tulisannya yang masih bertebaran di berbagai buku

maupun jurnal atau makalah. Adapun garis besar dari rekonstruksi pemikiran Arkoun

dapat dilihat sebagai berikut:

1. Pada tahap awal, Arkoun melakukan dekonstruksi pemikiran Islam klasik

maupun era modern dengan membongkar episteme serta logosentrisme

pemikiran Islam; sekaligus mengkritisi pola pemikiran keislaman orientalis

yang filologis-hitoris. Di samping itu juga, Arkoun mengkritisi pemikiran

kaum fundamentalis (“jihad”, violence).

2. Kemudian dari hasil kritisismenya tersebut, Arkoun membangun paradigma

baru pemikiran Islam kontemporer yang dikenal dengan Islamologi terapan

sebagaimana telah peneliti kemukakan pada ulasan terdahulu, di mana

terdapat interaksi yang saling mempengaruhi antara: bahasa, akal dan sejarah,

melalui wacana Qurani, dengan menggunakan pendekatan antropologi agama

yang juga terkait dengan mitos dan sejarah.

3. Adapun beberapa isu yang diangkat Arkoun antara lain tentang: Islamisasai

ilmu; teologi keselamatan; sekularisasi; diskursus masyarakat kitab dan

pluralisme; titik temu antara peradaban Islam-Barat (studi kawasan

18
Mediterania); fungsionalisasi nalar; HAM dan citizenship; khilafah dan

nation state/kerajaan. Juga tentang politik Islam kontemporer, khususnya

etika politik Islam.

Di sini penulis menyimpulkan bahwa Arkoun, beserta para pemikir muslim

posmodernis lainnya, berada pada era dekonstruksi yang menimbulkan reaksi yang

cenderung apologis, ideologis, dibanding reaksi yang lebih akademis. Adapun

beberapa implikasi pemikiran dari para posmodernis muslim, khususnya Arkoun,

antara lain: pertama, bahwa Islam sebagai teks keagamaan secara tegas harus

dibedakan dengan Islam sebagai refleksi pemikiran para ulama. Kedua, pemikiran

Islam sangat evolutif terutama dalam wilayah social sciences (SS), humanities (H)

maupun natural sciences (NS). Ketiga, semua pemikiran pasti sangat tergantung

pada tokoh, literatur, konteks ruang dan waktu, dinamika sejarah yang berdampak

pada perubahan gaya pemikiran dan bahasa. Keempat, sebagaimana yang ditengarai

oleh Arkoun sendiri, pada hakikatnya perubahan pemikiran juga sangat tergantung

pada dinamika sosial budaya, politik, ekonomi dan tingkat pengetahuan masyarakat.

Kelima, pada era pasca posmodernisme Islam kelak akan muncul lagi berbagai

pendekatan baru dalam studi Islam yang saat ini masih termasuk dalam wilayah -

meminjam istilah Arkoun - unthought.

Berikut ini penulis kemukakan skema perbandingan antara pola era pra-

posmodern dengan pola kajian Islam era posmodern, sebagai berikut:

19
Pra Posmodernisme Islam: Posmodernisme Islam:
1. Corak keilmuan yang dogmatik 1. Corak keilmuan yang kritis
2. Struktur “Aqidah” yang monolitik 2. Pluralitas pemahaman aqidah
3. Fatwa keulamaan yang politis-ideologis 3. Fatwa keulamaan akademis
4. Teologi ahl al-Kitab dualistik-dikotomik, 4. Teologi masyarakat Kitab yang

plural-egaliter-humanis dominatif-hegemonik
5. Keterkaitan agama dan kekuasaan Politik 5. Menjaga jarak antara wilayah keulamaan
6. Mewarisi teks-teks historis apa adanya
7. Dimungkinkannya konsep mihnah dan takfîr dan kekuasaan
8. Paham keagamaan yang teologis-ideologis- 6. Perlunya kajian kritik histories secara

fundamentalis terus-menerus
9. Pengabaian terhadap aspirasi tradisional yang 7. Mewaspadai munculnya konsep mihnah

murni tradisional, bukan dan takfîr


10. Islam dalam teks 8. Paham keagamaan yang saintifik-kritis
11. Pemahaman al-Quran sebagai korpus resmi 9. Penghargaan terhadap aspirasi berdasar

tertutup teologi yang sempit


12. Studi keislaman orientalis yang unilateral, 10. Fenomena Islam yang menyejarah
11. Pembacaan al-Quran sebagai korpus
backward, dogmatic dan filologis
terbuka
12. Studi keislaman historis-kontekstual

(antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi,

semiotik, linguistik)

BAB II

20
PEMIKIRAN
ISLAM
DAN
SOSIAL POLITIK

1. Pluralitas Mazhab Siyãsah

Dalam Pemikiran Politik Islam


21
Pendahuluan

Dalam kehidupan umat manusia khususnya umat Islam, politik –


sebagaimana ekonomis, social, budaya – merupakan bagian yang inheren dan urgen.
Hampir semua lini kehidupan umat tidak ada yang terlepas dari pemikiran dan
kebijakan politik. Politik bukanlah suatu barang haram atau kotor. Baik buruknya
sebuah fenomena politik sangat ditentukan oleh tampilan aktor politik itu sendiri.
Bukankah Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, khususnya khulafã al-rãsyidîn
telah mampu menampilkan wawasan dan prilaku politik yang elegan dan terhormat
sesuai konteks zamannya.

Maka, tugas generasi Islam masa kini dan masa depan untuk melanjutkan
tradisi positif dari politik Islam era klasik dimaksud. Namun yang perlu dipahami
adalah dalam realitas historisnya, wawasan sosial politik Islam pada hakikatnya
tidaklah bersifat tunggal atau monolitik, namun lebih bersifat plural dan heterogen.

Dialektika Pemikiran Politik Islam di Kalangan Ulama

Filsafat politik al-Farabi1 terlihat jelas dilandasi oleh filsafat kenabian, dalam
hal ini al-Farabi tergolong filosof politik yang idealistik. Al-Farabi cenderung
menekankan baik hubungan antara politik dan pemerintah maupun hubungan antar
anggota masyarakat. Bagi al-Farabi, kebahagiaan hidup warga dan masyarakat akan
diperoleh melalui konsep kepemimpinan yang etis.

Menurut al-Farabi, aspek pemerintahan lebih bersifat keahlian, sedangkan


aspek politik merupakan bentuk operasionalnya.2 Aspek politik ini juga merupakan

1
Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, desa di Farab (Transoxania) tahun 870 M. Menurut
keterangan, ia berasal dari Turki dan orangtuanya adalah seorang jenderal. Ia sendiri pernah jadi
hakim. Dari Farab kemudian ia pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan saat itu. Di sana ia belajar
pada Bishr Matta ibnu Yunus (penerjemah) dan menetap di Baghdad selama 20 tahun. Selanjutnya ia
pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif al-Daulah, berkonsentrasi tentang ilmu pengetahuan dan
filsafat. Istana Saif al-Daulah adalah tempat pertemuan ahli-ahli pengetahuan dan filsafat di waktu itu.
Pada usia 80 tahun al-Farabi wafat di Aleppo, pada tahun 950 M (Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, cet.I, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 23).
2
Abu Ahmadi, dkk, Filsafat Islam (Semarang: Toha Putra, 1988), hlm. 138

22
tindakan sadar serta bentuk kepatuhan terhadap pemerintah yang berkuasa.

Al-Farabi memfokuskan perhatian pada pemimpin (kepala negara) serta


kaitannya dengan sistem pemerintahan “negara kota”. Bagi al-Farabi, antara negara
dan masyarakat memiliki keterkaitan seperti tubuh manusia yang sifatnya saling
mengisi satu sama lainnya. Lebih penting lagi menurut al-Farabi, seorang kepala
negara ibarat jantung sebuah pemerintahan. Al-Farabi memberikan 12 kriteria 3 bagi
seorang kepala negara yang ideal. Bahkan seorang kepala negara harus memiliki akal
fa’al (akal aktif) yang mampu menyerap ilham atau wahyu. Tentang kriteria terakhir
ini keinginan al-Farabi memang terlalu ideal, dimana filosof dan nabi merupakan
tokoh tertinggi yang layak sebagai kepala negara. Tetapi al-Farabi juga memberikan
alternatif dari idealismenya tersebut, dalam artian, bila masyarakat atau negara
kesulitan dalam mencari kepala negara yang berstatus Nabi atau filosof, bisa
digantikan dengan sistem presidium.4 Di sini tampak ada pengaruh pemikiran politik
Plato atau Socrates terhadap cara berpikir al-Farabi. Dibanding dengan al-Mawardi,
bila al-Farabi bersifat idealistik dan mengutamakan pemikiran politiknya tentang
kualitas pemimpin (kepala negara), maka al-Mawardi cenderung lebih realistik dan
berorientasi pada masalah konstitusi kenegaraan.
Bagi al-Mawardi, agar tercipta kerjasama yang baik antar warga masyarakat,
maka institusi negara menjadi sangat dibutuhkan. Penyelenggaraan pemerintah
(kenegaraan) harus melalui apa yang disebut dengan “kontrak sosial” (social
contract) yakni kooperasi antara kepala negara (eksekutif) dengan kelompok ahl al-
hall wa al-‘aqd (legislatif)5 Kepala negara merupakan khilafah kenabian.6 Beberapa
faktor pendukung utama negara adalah: penghayatan keagamaan yang kuat, penguasa
yang berwibawa, tegaknya nilai keadilan, stabilitas keamanan, basis ekonomi serta
sistem pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sistem
3
Al-Farabi, Ãrã’ Ahl al-Madînah al-Fadlîlah, diterjemahkan dan diberi komentar oleh Richard
Walzer, al-Farabi on the Perfect State (Oxford: Clarendon Press, 1985), hlm. 248 (Adapun 12 kriteria
dimaksud yakni kepala negara harus: 1) sehat jasmani; 2) baik inteligensianya; 3)kualitas intelektual;
4) piawi dalam mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti; 5) pecinta pendidikan dan gemar
mengajar; 6) tidak loba; 7) pecinta kejujuran; 8) berbudi luhur; 9) tidak mengutamakan keduniaan; 10)
bersifat adil; 11) optimisme dan besar hati; 12) kuat pendirian, penuh keberanian, antusiasme dan
tidak berjiwa kerdil).
4
Ibid.
5
Ibid, hlm. 67
6
Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, terj. (Yogyakarta: Pustaka LSI), 1991, hlm. 32

23
pemerintahan a la al-Mawardi bersifat realis karena berangkat dari kondisi riel
masyarakat itu sendiri. Al-Mawardi juga menekankan pentingnya suku Quraisy
sebagai prasyarat seorang pemimpin negara. Yang dimaksud di sini tentu karena
waktu itu suku Quraisy dianggap mewakili golongan elit sosial yang mahir dalam
memimpin, di samping karismatis.7 Bagi al-Mawardi konsep suksesi haruslah
melalui dewan legislatif (ahl al-ikhtiyãr). Menurut al-Mawardi ada tujuh syarat
kepala negara yang laik memimpin negara.8 Bentuk operasional suksesi bisa juga
melalui cara wasiat atas penunjukan. Tampaknya al-Mawardi tidak memastikan
secara mutlak bagaimana konsep suksesi itu dilaksanakan, karena tergantung situasi
dan kondisi. Jadi suksesi bisa dilaksanakan secara pemilihan, tergantung situasi dan
kondisi. Jadi situasi bisa dilakukan baik secara pemilihan (pemilu), team formateur
maupun penunjukan secara langsung.

Al-Mawardi ternyata telah lebih dulu memperkenalan teori kontrak sosial 9


pada awal abad XI M, dan baru lima abad kemudian (pertengahan abad XVI) mulai
bermunculan teori kontrak sosial di Barat, seperti Hubert Languet (1519-1581 M).
Thomas Hobbes (1588-1679 M), John Locke (1632-1704 M) dan Jean Jaques
Rousseau (1712-1778 M). Al-Mawardi juga merupakan satu-satunya pemikir politik
Islam sampai abad pertengahan

yang berpendapat bahwa kepala negara dapat diganti kalau ternyata tidak mampu
lagi melaksanakan tugas dengan baik disebabkan oleh persoalan moral, misalnya,
maupun oleh masalah-masalah lainnya. Namun Al-Mawardi belum memberikan
sistem atau mekanisme yang jelas tentang itu.10

7
Hak prerogatif bagi suku Quraisy menurut al-Mawardi didukung oleh sabda Rasulullah s.a.w.:
“Dahulukanlah orang Quraisy dan janganlah kalian mendahuluinya”. Teks ini diterima oleh semua
pihak, tidak ada yang meragukannya, dan tidak pula disanggahnya. Lihat al-Mawardi, Al-Ahkãm al-
Sulthãniyyah (Beirut: Dar el-Fikr, 1966), hlm.4-5
8
Ibid, hlm. 6
9
Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993),
hlm. 67
10
Munawir Syadzali. Islam dan Tatanegara. hlm. 67-69.

24
Pemikiran politik al-Ghazali11 memiliki kekhasan tersendiri baik dibanding
al-Farabi maupun al-Mawardi; al-Ghazali menekankan soal profesi kerja yakni:
pertanian, pemintalan (tenun), pembangunan dan politik. Tentang profesi politik,
menurut al-Ghazali, merupakan profesi terbaik, tentunya sesuai dengan kondisi
waktu itu. Al-Ghazali memperkenalkan empat departemen pokok dari profesi politik
ini yakni bidang agraria, hankam, kehakiman dan kejaksaan.12

Menurut al-Ghazali, kehidupan dunia ini merupakan ladang akhirat. Karena


itu negara butuh seorang pemimpin yang dapat menjamin terselenggaranya berbagai
profesi rakyat (soal lapangan kerja). Bagi al-Ghazali, agama dan negara (penguasa)
ibarat selain fondasi juga pelindung. Agama dan negara itu menyatu dan tidak
sekularistis. Agama dipimpin oleh Nabi, sedangkan negara dipimpin oleh raja;
keduanya merupakan manusia

11
Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad al-Tusi al-Ghazali (1058-1111) terkenal dengan Ihyã
‘Ulûm al-Dinnya. Ia juga dikenal dengan gelar hujjah al-Islãm, karena pandangannya yang luas
tentang agama. Dalam bidang politik ia dijuluki amîr al-muslimîn. Salah satu karya politiknya adalah
al-Ţibr al-Masbûk fi Naşîhah al-Mulk (Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 74).
12
Ibid, hlm. 74-75

25
39
pilihan Tuhan.13 Al-Ghazali juga mencetuskan bahwa Sultan merupakan bayangan Tuhan di bumi
(zhillullãh fî al-ardl). Konsep atau pemikiran politik al-Ghazali ini cenderung berwatak
teokratis.14

Al-Ghazali mengemukakan tujuh syarat kepala negara (sebagaimana telah terdahulu


keterangannya), dan kaum wanita tidak berhak untuk menjabat sebagai kepala negara
berdasarkan hadits Nabi: “Tidak akan sukses suatu masyarakat yang menyerahkan (untuk
memimpin) urusan mereka kepada perempuan”.15 Ada indikasi bahwa ketika hadits tersebut
disabdakan, secara kondisional dan situasional maupun sosio-geografis-kulturalderajat wanita
dalam masyarakat masih berada di bawah derajat lelaki; hanya laki-laki yang dianggap mampu
mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti itu tidak saja terjadi di Persia,
tetapi juga di jazirah Arab dan wilayah-wilayah sekitarnya.16

Dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin,
serta masyarakat bersedia menerima mereka sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita
dipilih dan diangkat menjadi pemimpin, termasuk kepala negara. 17 Di sisi lain, karena dekat
dengan sistem teokrasi, al-Ghazali tidak perlu berbicara tentang mekanisme suksesi kepala

13
Al-Ghazali, Al-Iqtişad fî al-I’tiqâd ,( Kairo, 1320 H), hlm. 125
14
Munawir Syadzali,Islam dan Tatanegara, hlm. 71-72
15
Ketujuh syarat itu adalah: 1) merdeka; 2) laki-laki; 3) mujtahid; 4) berwawasan luas; 5) adil; 6) dewasa; dan 7)
bukan perempuan, orang buta, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo. (Lihat al-Ghazali, al-Wajiz, juz II,
Beirut: Dar al-Fikr, tt., hlm. 237. Lihat juga Abu Ishâq al-Syairâzî, al-Muhâdz, juz II, hlm. 240). Tentang hadits
Nabi yang melarang perempuan menjadi pemimpin tersebut, lihat dalam al-Bukhari, Şahîh al-Bukhârî, juz IV,
hlm.228. Musnad Ahmad, juz V, hlm.38 dan 47; Sunan Turmudzî, juz III, hlm. 360. Jumhur ulama memahami hadits
tersebut – juga berdasarkan QS. An-Nisâ’: 34 - secara tekstual bahwa kaum perempuan dilarang menjadi baik hakim
maupun kepala Negara. Mereka menyatakan bahwa menurut syara’, perempuan hanya diberi tanggungjawab untuk
menjaga harta suaminya (al-Şan’ânî, Subul al-Salâm, juz IV, hlm. 123; Fath al-Bârî, juz VIII, hlm. 128). Namun
perlu dicatat bahwa hadits tersebut disabdakan Nabi tatkala beliau mendengar penjelasan dari sahabat tentang
pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Persia, namanya Buwaran binti Şairawaih bin Kisrâ bin Barwayz
yang ketika itu secara politik belum dianggap capable dan acceptable khususnya dalam konteks sosio-antropo-
historis bangsa Arab dan Persia (Bandingkan Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), hlm. 65; juga Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1986, hlm.314)
16
Qasim Amin telah menulis sejarah tentang kedudukan wanita dalam pandangan Islam, dalam dua buku: Tahrîr al-
Mar’ah (Kairo: tt.), h. 25-289; dan Al-Mar’ah al-Jadîdah (Kairo: tt.), h 3—223). Di Indonesia lahirnya UU No. 1/74
tentang perkawinan, menghendaki adanya hakim wanita. Karena itu Menteri Agama saat itu mengadakan pertemuan
ulama tingkat nasional untuk membicarakan boleh tidaknya wanita menjadi hakim, dan ternyata oleh pertemuan itu -
meskipun cukup alot - dapat disetujui yang ketika itu KH Ibrahim Hosen membolehkannya. Lihat Ibrahim Hosen,
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Putra Harapan, 1990), hlm. 146.
17
Syuhudi Ismail, ibid,hlm. 58. menjelaskan pandangan masyarakat terhadap wanita makin meningkat dan akhirrnya
dalam banyak hal diberi kedudukan yang sama dengan laki-laki. Al-Qur’an sendiri memberi peluang yang sama
kepada kaum wanita dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebajikan.

40
negara dan tidak pula menyinggung soal dapat dan tidaknya kepala negara digantikan dari
kedudukannya.18

Ibnu Taimiyah19 mengemukakan filsafat politik terutama yang berkaitan dengan teori
khilãfah. Ia mengatakan bahwa konsep khilãfah sebagaimana pemahaman di masa dinasti
Abbasiyah bukanlah bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Pemahaman konsep khilafah di masa
klasik (awal Islam) lebih ideal ketimbang masa Abbasiyah. Walaupun bagi Taimiyah, historisitas
khilafah hanya sebuah aksiden politik dan bukan suatu keharusan normatif. 20 Sikapnya ini
cenderung sering dinilai bahwa pemikiran politik Ibnu Taimiyah lebih dekat kepada kaum
Khawarij. Menurut Ibnu Taimiyah, konsep negara tidak ada dalam al-Qur’an, yang ada adalah
unsur-unsur negara itu sendiri seperti: keadilan, persaudaraan, pertahanan, kedamaian, kepatuhan
dan lain-lain. 21

Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya konsep negara tunggal seluruh dunia Islam, 22 dan
ini memang sangat utopis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah tidak
mengakui, secara implisit, istilah negara Islam atau sistem khilafah negara-negara Islam. Bagi
Ibnu Taimiyah, yang penting, setiap negara (secara nasional) tetap sebagai penyelenggara
syariah. Konsepsi Islam Ibnu Taimiyah mirip bentuk nomokrasi; ia menyatakan Islam bukan
monarki, aristokrasi dan bukan demokrasi. Ibnu Taimiyah agaknya bergeser dari pemikiran
sistem khilafah ke sistem pemerintahan modern yang lebih pragmatis, fungsional dan rasional. 23
Sungguh pun demikian, secara tekstual pemikiran Ibnu Taimiyah identik dengan al-Ghazali
dalam hal kepala negara, dimana eksistensi kepala negara itu diperlukan bukan saja sekedar
menjamin keselamatan jiwa serta harta rakyat dan telah terpenuhinya kebutuhan bidang material.
Namun, lebih dari itu, yaitu untuk menjamin berlakunya syariat.

18
Munawir Syadzali. Islam dan Tata Negara. hlm. 79
19
Ia lahir 22 Januari 1262 di Haran dekat Damaskus, dan meninggal di penjara pada tanggal 26 September 1328 M.
Nama lengkapnya Taqy al-Dîn Abu ‘Abbâs Ahmad Ibnu ‘Abd al-Halîm Ibnu ‘Abd al-Salâm Ibnu Taimiyah. Umur
25 tahun ia sudah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru dan khatib di masjid-masjid. Taimiyah dikenal
sebagai pemikir yang tajam, bebas, piawai dalam berpidato, penuh keberanian dan ketekunan (Khâlid Ibrâhîm
Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah, terj., Masrohin ( Surabaya: Risalah
Gusti, 1995), hlm. 21).
20
Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah (Islamabad:, Islamic Research Institute, 1973), p. 106-
107
21
Khalid Ibrahim Jindan, Ibid., hlm. 47
22
Ibnu Taimiyah, Al-Siyâsah al-Syarî’ah (Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, tt.,), hlm. 174
23
Bandingkan, Majmû’ Fatâwâ, jilid 28, hlm. 66-68

41
Kepala negara adalah bayangan Allah di muka bumi (zhillullãh fî al-ardl), sebagai wakil
yang berkuasa dan berwenang memerintah atas dasar syariat. Pada dimensi kontekstualnya, ia
lebih jauh ke depan daripada al-Ghazali. Ia pernah mengatakan bahwa keberadaan kepala negara
sekalipun zalim, masih lebih baik daripada tanpa kepala negara.24

Kalau saja kepala negara sebagai bayangan Allah di muka bumi, tentu tidak ada kepala
negara yang zalim. Namun karena Ibnu Taimiyah melihat dari analisis fungsional sosiologis, bisa
saja terjadi hal yang demikian. Bahkan lebih jauh lagi, bukan mustahil kepala negara yang adil
sekalipun kafir, lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil kendatipun muslim.

Adapun Ibnu Khaldun25 mengemukakan bahwa sistem politik itu sangat diperlukan untuk
terwujudnya stabilitas, dan nuansa politik tersebut amat relevan dengan kondisi manusia sebagai
makhluk sosial politik. Negara amat memerlukan adanya solidaritas politik. Agama juga
termasuk pendorong lahirnya solidaritas bahkan lebih dominan ketimbang aspek lainnya. Konsep
solidaritas yang pertama kali dicetuskan oleh Ibnu Khaldun ini demi terciptanya rasa
kebersamaan dari setiap warga negara.26

Adapun hakekat eksistensi penguasa dan rakyat, terletak pada adanya hubungan btin atau
solidaritas kepercayaan. Bagi seorang kepala negara, cara dan teknik memimpin (personal
approach) amat diutamakan oleh Ibnu Khaldun. Pemimpin tidak harus memiliki jarak yang jauh
dengan rakyat.27 Konsep kepemimpinan primus interpares ternyata telah diperkenalkan oleh Ibnu
Khaldun. Ini berarti bahwa kepemimpinan yang terlalu karismatik (Bapak bangsa) pada
hakikatnya kurang disetujui oleh Ibnu Khaldun. Selain itu, Ibnu Khaldun mensyaratkan etnis
Quraisy sebagai kepala negara, karena aspek kemampuan dan kecerdasannya (sesuai kondisi
waktu itu). Ibnu Khaldun juga menyatakan bahwa kepala negara harus dibantu dan didukung

24
Ibnu Taimiyah, Log.cit
25
Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan, filosof dan sosiolog yang diakui baik di dunia Timur maupun Barat. Ia
dilahirkan di Tunisia, Afrika Utara pada tahun 1332 M dan meninggal dunia pada tahun 1406 M. Dua pertiga
umurnya tidak pernah menikmati stabilitas politik, melainkan tempat kancah perebutan kekuasaan antar dinasti. Ibnu
Khaldun selalu berpindah-pindah jabatan dan sering pula bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Hal
itu pula yang memperkaya wawasannya tentang jatuh bangunnya sebuah dinasti atau pemerintahan (Munawir
Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 91-92). Karyanya yang cukup terkenal adalah Muqaddimah yang berisi
pemahaman mendasar tentang masalah negara dan kekuasaan (A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara:
Pemikiran Ibn Khaldun, Jakarta: Gramedia, 1992, hlm. ix-x).
26
Ibid, hlm. 160, 191
27
Bagi Ibnu Khaldun, penguasa yang terbaik bukanlah yang paling pintar, tetapi yang bersifat “di tengah-tengah”
dan “menengahi”, al-mahmûdah huwa al-tawâsuţ. Sebagaimana ungkapan hadits Nabi: “Berjalanlah sesuai dengan
langkah orang yang terlemah di antaramu” (Ibid, hlm. 192).

42
oleh para menteri serta beberapa departemen. Mekanisme kontrol terhadap kepala negara juga
amat diperlukan. Aturan kenegaraan tidak mesti bersifat normatif (wahyu) belaka dan sistem
perundang-undangan yang rasional dan berdasarkan sistem konvensi dibenarkan oleh Ibnu
Khaldun. Agak berbeda dari para pendahulunya, Ibnu Khaldun sangat menekankan aspek
solidaritas, mekanisme kontrol dan sistem perundang-undangan yang rasional (konvensional),
yang banyak segi kesamaan dengan sistem politik modern.28

Dalam konteks filsafat politik Islam era modern, dapat penulis kemukakan beberapa
corak pemikiran politik Islam seperti yang ditampilkan oleh baik Afghani, Abduh Ridha, Al-
Raziq, Al-Ikhwan, Haikal maupun Al-Maududi. Pada pemaparan berikut ini, penulis kemukakan
secara umum dari berbagai pemikiran mereka sekaligus beberapa catatan kritis.

Afghani29 dikenal sebagai tokoh inti bagi bangkitnya sentimen politik di dunia Islam
terutama pada abad XIX. Ia dikenal sebagai - oleh sementara ahli - agitator politik, bukan
pemikir.30 Hal ini karena reaksi yang diberikannya terhadap berbagai dominasi Barat di dunia
Islam. Namun tak dapat dipungkiri bahwa berbagai refleksi pemikirannya sangat besar
pengaruhnya di kalangan kaum muslimin. Afghani juga dikenal sangat selektif dan kritis
terhadap ideologi-ideologi sekuler.

Secara umum filsafat politik Afghani didasarkan pada ide Pan-Islamisme (al-Jâmi’ah al-
Islãmiyyah).31 Filsafat politiknya ini, dalam rangka menggalang solidaritas dunia Islam tanpa
menafikan eksistensi negara nasional umat Islam masing-masing. Untuk contoh kasus di jaman
sekarang, kehadiran lembaga Organisasi Konferensi Islam (OKI) 32 merupakan implikasi lanjut
dari filsafat Pan Islamisme-nya Afghani. Bila Pan-Islamisme a la Sultan Hamid II (Turki), lebih
bersifat internationalism, maka Pan-Islamisme al-Afghani lebih bercorak nasionalisme Islam.
Dalam pengertian solidaritas negara-negara Islam tanpa menafikan aspek nasionalitas negara
28
Bandingkan, Ibid, hlm. 198
29
Jamaluddin al-Afghani lahir di As’adabad, Afghanistan, pada tahun 1838 M. Dia mempelajari segala cabang ilmu
keislaman, filsafat dan ilmu eksakta. Ia banyak mengunjungi negeri-negeri seperti: India, Mesir, Inggris, Paris,
Persia, Rusia, Eropa, Turki (Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 116-120). Ia dikenal sebagai seorang
pemimpin pembaharuan politik di dunia Islam pada abad ke-19 (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam,
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 11). Ia banyak menguasai bahasa seperti:
Afghan, Arab, Turki, Persia, Perancis dan Rusia. Selain dunia politik, bidang pers juga cukup intens digeluti Afghan.
30
Lihat J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),
hlm. 282
31
Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 125
32
Untuk ulasan lebih mendalam tentang pemikiran politik OKI baca tesis penulis, Muhammad Azhar, Pemikiran
Politik OKI dan Tata Dunia, Pascasarjana UIN Yogyakarta, 1994 (belum diterbitkan).

43
muslim. Boleh dikatakan, Afghani merupakan politikus muslim yang ingin melakukan sintesis
antara pemikiran politik Islam Barat.

Salah satu kader Afghani yang menonjol adalah Muhammad ‘Abduh. Dipengaruhi oleh
latar belakang pemikiran teologisnya yang bercorak rasional (Mu’tazilah), prinsip qadariyah
(antroposentris) yakni kebebasan manusia dalam berkehendak (indeterminism), bagi ‘Abduh soal
bentuk pemerintahan Muslim juga bersifat “liberal” atau bebas dalam memilih bentuk atau
sistem pemerintahan apa saja, sepanjang dapat mensosialisasikan nilai-nilai Islam yang
universal. ‘Abduh juga membenarkan sistem khilafah sepanjang tetap bersifat terbuka (inklusif)
dengan perkembangan zaman.33 Tampaknya ‘Abduh tidak terlalu banyak mewariskan teori-teori
kenegaraan, boleh jadi akibat “liberalisme” politiknya tersebut, 34 membuat ia merasa tidak perlu
terlalu banyak untuk melahirkan teori-teori politik Islam. Dunia Islam pun lebih mengenal
‘Abduh sebagai pemikir bidang keilmuan dan pendidikan ketimbang pakar politik.

Walaupun Ridha adalah murid ‘Abduh, ternyata pemikiran politik ‘Abduh tidak terlalu
banyak mempengaruhi Ridha. Secara filosofis, malah Ridha ingin menghidupkan kembali
doktrin politik khilãfah, di mana doktrin ini erat kaitannya dengan penguasaan fiqh Islam. Oleh
para ahli, pemikiran Ridha ini masih dinilai konservatif, karena ingin menegakkan kekhilafahan
yang absolut dan otokratif. Sekalipun demikian ada hal positif dari Ridha yang mengakui
perlunya lembaga legislatif (ahl al-hall wa al-‘aqd)35 sebagai lembaga shũrâ, sebagai antisipasi
agar khilãfah tidak diwariskan secara turun temurun. Lembaga legislatif ini tidak hanya
mencakup para kaum birokrat akan tetapi juga ulama, pengusaha serta tokoh masyarakat
lainnya.36

Walaupun Ridha ingin mengembalikan lembaga khilãfah ini, namun ia belum banyak
merincikan teori khilãfah tersebut. Misalnya tentang mekanisme pemilihan seorang khalifah

33
Lihat ‘Abd. Al-‘Aţi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsî li al-Imâm Muhammad ‘Abduh (Mesir: al-Maiat al-
Mişriyyah al-‘Ammat li al-Kitâb, 1978), hlm. 69
34
Liberalitas pemikiran Abduh terlihat, misalnya, pandangannya mengenai syariat Islam. Bagi Abduh, syariat ada
yang sempit dan ada yang luas. Syariat dalam pengertian sempit adalah himpunan hukum-hukum Allah dan Rasul-
Nya, yaitu pokok-pokok ajaran Islam yang tidak berkembang dan tidak berubah. Adapun syariat Islam dalam
pengertian luas adalah kaidah-kaidah atau dasar-dasar yang mengatur kehidupan kaum muslimin yang dapat
disamakan dengan al-tasyrî’ al-Islâm. Perundang-undangan yang dihasilkan oleh ijtihad melalui penafsiran dasar-
dasar agama secara rasional di bidang muamalah selalu berkembang untuk memelihara kemaslahatan masyarakat
(Ibid, hlm. 151-152).
35
Rasyid Ridla, Al-Khilâfah au al-Imâmah al-‘Uzhmâ (Kairo: al-Manar, 1341 H), hlm. 73
36
Ibid, hlm. 136

44
secara tuntas, walaupun Ridha telah berupaya menawarkan pelatihan calon khalifah melalui
lembaga pendidikan tinggi Islam.37

Dalam soal seleksi calon khalifah, Ridha hanya menawarkan bahwa seorang khalifah
harus berilmu dan mampu berijtihad. Kedua syarat itu memungkinkan seorang khalifah lebih
mandiri serta memiliki pengetahuan yang esensiel tentang peradaban pada umumnya.

Bertolak belakang dengan filsafat politik Ridha di atas, maka ‘Ali ‘Abd. Al-Razîq
menolak sama sekali lembaga khilãfah tersebut yang lebih bersifat institusional. Bagi Al-Razîq
yang “sekuler” itu term khalifah identik dengan imãmah serta lebih berkonotasi historis, bukan
sesuatu yang normatif; karena term tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an, hadis maupun
ijtihad.

Lebih lanjut Al-Razîq mengemukakan bahwa term khalĩfah dan ulil amr itu bukan kepala
negara an sich, tetapi termasuk para ulama, tokoh-tokoh masyarakat sebagai rujukan umat.
Hadits-hadits Nabi tentang bai’at juga tidak ada hubungannya dengan khilãfah.38 Sependapat
dengan ‘Abduh, Al-Razîq memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan pilihan
tentang sistem khilãfah (pemerintahan) yang disukai sesuai dengan kondisi sosio kultural
masing-masing negara.

Figur Nabi di mata Al-Razîq hanya sebagai tokoh agama yang minus politik. Walaupun
Nabi mengurus soal-soal keduniaan, itu tidak lebih bahwa beliau adalah anggota masyarakat di
masanya.39 Bagi muslim fundamentalis, pendapat Al-Razîq ini dianggap kurang relevan, karena
cenderung memisahkan meaning keagamaan dari persoalan kenegaraan yang pada hakekatnya
amat membutuhkan adanya mekanisme yang obyektif dan edukatif di bawah sinaran moral
keagamaan. Term khalĩfah atau khilãfah di benak Al-Razîq lebih bersifat personal – individual.

37
Ibid.
38
‘Ali ‘Abd. Razîq, Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (Kairo: Mathba’ah Mişra Shirkah Musâhamah Mişriyyah, 1925),
hlm. 14
39
Ibid, hlm. 64

45
Bagi al-Ikhwãn al-Muslimĩn (al-Ikhwãn)40 filsafat politik Islam terlihat lebih didasarkan
pada konsepsi Islam yang revolusioner, yakni dalam rangka melawan baik berbagai korupsi
pemikiran, hukum, maupun sosial – moral. Konsep negara Islam merupakan cita-cita ideal bagi
anggota dan tokoh-tokoh Ikhwan. Dalam elaborasi pemikirannya, al-Ikhwan ingin kembali ke
era klasik Islam yang di situ pola kehidupan saat itu sebagai prototype yang cukup ideal.41

Pemikiran Ikhwan tentang negara supranasional terasa kurang realis bila dikaitkan
dengan kondisi negara-negara muslim dewasa ini yang lebih bersifat nasionalis.42 Di sisi lain,
aktivitas Ikhwan cenderung konfrontatif terhadap sistem pemerintahan yang ada, dan ini terasa
kurang strategis dalam dimensi perjuangan umat jangka panjang. Padahal dari berbagai fakta
sejarah, untuk merealisasikan nilai-nilai keislaman lebih-lebih dalam konteks kenegaraan,
amatlah diperlukan adanya dukungan struktural disamping dukungan kultural. Uniknya,
walaupun Ikhwan mendambakan adanya negara Islam, namun mereka membenarkan berbagai
model pemerintahan yang dipakai, sepanjang syariat Islam bisa berjalan.43 Tentang hal ini
memang terasa ada kontradiksi dengan dasar filosofi politik Ikhwan. Yang positif dari pemikiran
Ikhwan ini adalah keterlibatan mereka secara aktif dalam berbagai amal sosial seperti:
pendidikan, rumah sakit, masjid dan sebagainya. Secara sosiologis, gerakan Ikhwan ini banyak
kesamaan dengan organisasi Muhammadiyah – misalnya – walaupun secara ideologis-politis
jelas berbeda.

Filsafat politik Haikal44 lebih ditekankan pada prinsip-prinsip dasar Islam, seperti
konsepsi tentang Tauhid yang berimplikasi pada keharusan diwujudkan prinsip persatuan
kemanusiaan secara utuh. Filsafat politik Haikal juga amat mempertimbangkan apa yang dikenal
dengan psiko – sosio –antropologis atau realitas kondisional dan temporal dari sebuah

40
Al-Ikhwân al-Muslimîn adalah organisasi keagamaan yang didirikan di Ismâ’îliyyah, Mesir pada tahun 1928 oleh
Shaikh Hasan al-Bannâ. Oleh Amien Rais, organisasi ini dikelompokkan dalam gerakan Islam yang reformis-
radikalisme (Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 187-188). Pada
era yang lebih awal pemikiran politik al-Ikhwan lebih banyak diwakili oleh Hasan al-Bannâ, Sayid Quţb (salah satu
karyanya adalah Al-‘Adâlah al-Ijtimã’iyyah) dan Hasan Ismã’îl al-Hudlaibi (salah satu karyanya adalah Al-Ikhwân
al-Muslimîn: Du’ãt lã Qudhãt).
41
Ibid, hlm. 189
42
Bandingkan dengan Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 149-150
43
Ibid, hlm. 151
44
Muhammad Husein Haikal lahir di desa Kafr Ghanam, wilayah Mesir Hilir pada tanggal 30 Agustus 1888.
Pandangan politik Haikal banyak dipengaruhi gurunya Lutfi Sayyid, tokoh nasionalis terkemuka di Mesir. Pikiran-
pikiran politiknya dapat dibaca dalam karyanya Al-Hukûmah al-Islãmiyyah (Lihat Munawir Syadzali, Ibid, hlm.
182)

46
masyarakat.45 Boleh jadi ini merupakan bagian dari sikap kemanusiaannya maupun semangat
nasionalisme yang cenderung bersifat netral terhadap berbagai perbedaan. Bagi Haikal,
penyelenggaraan pemerintahan juga jangan sampai melanggar sunnatullãh (hukum alam maupun
sosial). Jadi aspek lingkungan sosial memang sangat menjadi perhatian Haikal.

Adapun filsafat politik al-Maudûdî,46 didasarkan pada segi kesempurnaan Islam itu
sendiri. Berdasarkan teori kesempurnaannya itu, maka al-Maudûdî berhasil melahirkan berbagai
uraian teoritik tentang kenegaraan. Al-Maudûdî memang dikenal sebagai penulis produktif serta
agigator dan konseptor yang mempesona para pengikutnya. Menurut al-Maudûdî, umat wajib
menjalankan semua perintah Tuhan. Bagi yang enggan melaksanakannya berarti orang itu
menolak agama (Islam) itu sendiri.47 Bagi al–Maudûdî, pola khulafã al-rãsyidîn merupakan pola
yang ideal.

Filsafat politik al-Maudûdî bercorak teokrasi atau teodemokrasi, yang di situ teori
kedaulatan Tuhan sebagai inti filsafat politiknya.48 Al-Maudûdî juga mengakui adanya trias
politica (pemisahan penyelenggaraan kekuasaan negara ke eksekutif, legislatif dan judikatif).
Namun al-Maudûdî tidak setuju dengan adanya kampanye politik terutama bagi para calon
penguasa.

Di antara filsafat politik al-Maudûdî lainnya adalah bahwa ia tidak terlalu mengikatkan
diri pada prinsip mayoritas atau minoritas dalam keputusan kebijakan. 49 Demikian pula soal
pertimbangan kesukuan (syarat kepemimpinan dari suku Quraish, misalnya) juga tidak menjadi
doktrin dalam pemikirannya. Adapun yang agak berbeda barangkali dengan kelaziman
demokrasi modern adalah bahwa sistem pemerintahan Islam haruslah hanya mengakui adanya

45
Prinsip tauhid dan kemanusiaan inilah yang menurut Haikal yang dilaksanakan dalam pemerintahan Islam periode
awal dan pengaruhnya berkembang secara nyata di negeri-negeri Arab (Bandingkan dengan Muhammad Husain
Haikal, Al-Hukûmh al-Islãmiyyah, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1983, hlm.54). Pemikiran Politik Haikal ini juga telah
ditulis dalam bentuk disertasi oleh Dr. Musdah Mulia, MA., Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal
(Jakarta: Paramadina, 2001).
46
Abu al-A’la al-Maudûdî adalah seorang pemikir yang berpengaruh luas baik di dunia Islam maupun non-Islam. Ia
lahir pada 25 September 1903 di Aurangabad, India Tengah, dan meninggal di New York pada 23 September 1979
(Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 158). Oleh Charles Adams, al-Maududi dinyatakan sebagai pemikir
yang paling efektif dalam menciptakan sentimen bagi berdirinya negara Islam setelah gerakan partisi di benua India
dan berdirinya Negara Pakistan (Charles Adams, “Maududi and the Islamic State”, dalam John L. Esposito (ed),
Voices of Resurgent Islam, New York: Oxford University Press, 1993, p. 99).
47
Abu al-A’la al-Maudûdî, Tafhîm al-Qur’ãn, vol.II (Lahore:, 1951), hlm. 343
48
Abu al-A’la al-Maudûdî, The Islamic Law and Constitutions, (translated and edited) by Khursid Ahmad (Lahore:
Islamic Publications Ltd., 1975), p. 157
49
Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, hlm. 168

47
satu partai belaka yakni Partai Kepala Negara.50 Selain itu, yang agak diskriminatif adalah
tentang masih diakuinya kategorisasi komunitas masyarakat pada kelompok baik muslim
maupun non muslim (dhimmĩ).51 Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, al-Maudûdî telah
melahirkan banyak karya politiknya yang menarik untuk dikaji sampai saat ini.

Dalam konteks pemikiran Islam kontemporer, Ismã’îl Rãjî al-Fãrûqî, 52 memperkenalkan


dua konsep utama yakni tauhîd, dan ummah (ummatisme); di samping konsep amãnah, khilãfah,
bay’ah dalam filsafat politiknya. Bagi al-Fãrûqî secara tauhid, Allah merupakan sumber
segalanya, termasuk sumber kekuasaan (hakim). Secara sosiologis – politis, manusia harus
melibatkan diri secara aktif dalam proses sejarah untuk menuju Tuhan yang transenden. Manusia
juga wajib mengubah dan mengelola alam sesuai dengan semangat etika Islam.53

Bagi al-al-Fãrûqî, konsep khilãfah dalam al-Qur’an cenderung bersifat politis


institusional.54 Padahal pada hakekatnya konsep khalifah tersebut lebih bersifat individual–
fungsional. Al-Fãrûqî juga memperkenalkan konsep bay’ah sebagai bagian dari filsafat politik
Islam. Kontrol terhadap penguasa serta majelis pertanggungjawaban kepala negara terhadap
rakyat, juga mutlak diperlukan. Konsep ummatisme al-Fãrûqî berdasarkan pada asas
kolektivisme sosial, dimana hukum Allah sebagai paradigma pemikiran politiknya (lã hukma
illã lillãh).55

Walaupun al-Fãrûqî mendasari filsafat politiknya pada konsep tauhîd, tapi anehnya, al-
Fãrûqî cenderung berorientasi pada nomokrasi (kekuasaan hukum) dan bukannya teokrasi
ansich; rakyat dan pemerintah sama-sama di bawah naungan hukum. Hal yang agak utopis dari
pemikiran al-Fãrûqî ini adalah pemahamannya tentang khilãfah yang berarti dibutuhkannya satu
pemerintahan Islam dan negara Islam seluruh dunia (internasionalisme Islam). Padahal secara
realistis, umat Islam kini terpecah belah menjadi beberapa negara Islam (nasionalis) yang
masing-masing memiliki batas-batas negara serta kecenderungan mazhab politik Islamnya

50
Ibid, hlm. 169
51
Ibid, hlm. 170
52
Ismã’il Rãji al-Fãruqî mantan guru besar universitas Temple (Philadelphia, AS). Pemikir asal Palestina ini juga
dikenal sebagai pendiri International Institute of Islamic Thought di Washington tahun 1401 H/1981 M
53
Ismã’il Rãji al-Fãruqî, Islamisasi Pengetahuan (terj.) (Bandung: Pustaka, 1984), hlm.76
54
Ibid.
55
Ismã’il Rãji al-Fãruqî , Tauhid (terj.) ( Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 77-78

48
masing-masing. Tetapi al-Fãrûqî juga mengakui bahwa golongan non Islam (seperti Yahudi dan
Nasrani) merupakan ummah tersendiri.

Syed Naquib al-Attas meletakkan dasar pemikiran politiknya pada konsep ad-dĩn.
Konsep dîn ini memberikan pengertian yang luas yakni adanya tatatertib kosmos atau kerajaan
Allah, dimana Allah sendiri sebagai penguasa tertinggi di dalamnya. Manusia, menurut al-Atas,
merupakan wakil Tuhan di alam dunia. Konsep dĩn ini juga ibarat sebuah kerajaan bisnis yang
mengedepankan konsep at-tijãrah dan bay’ah. Manusia dalam menekuni hidup di dunia ini
ibarat mikrokosmos (‘ãlam şaghĩr) sedangkan dunia, ibarat makro kosmos (alam kabĩr). Melalui
ilustrasi di atas, al-Attas berpendapat bahwa kerajaan-kerajaan atau sistem pemerintahan yang
ada di dunia ini haruslah tunduk pada kerajaan Allah Yang Maha Besar itu. 56 Hukum dan syariah
secara keseluruhan sudah diatur oleh Allah, manusia tinggal menjalankan saja dan tidak
dibenarkan membuat aturan baru yang rasional sebagaimana konsep Ibnu Khaldun. Tampaknya
al-Attas cenderung bersifat teokratis dalam pemikiran politiknya.

Neomodernisme Fazlur Rahman57 mendasari filsafat politiknya pada konsep musyawarah


(syũrã). Bagi Rahman, konsep syũrã dalam sejarah Islam belum sempat terlembagakan menjadi
semacam parlemen seperti di Barat. Rahman membenarkan secara konseptual sistem parlemen di
Barat, namun secara substantif—etik Rahman menilai parlemen tersebut berorientasi pada hal-
hal yang materiel belaka. Dengan demikian umat Islam bisa saja menerima sistem parlemen
dimaksud sepanjang substansi musyawarahnya berorientasi pada hal yang spiritualis. 58 Bila
dikaji secara lebih mendalam, pemikiran politik Neomodernisme Rahman cenderung menolak
inner cyrcle oriented, pola sabda ratu pandito yang lebih menafikan asas syũrã.

Rahman tidak menolak adanya kolaborasi dengan penguasa, sepanjang kolaborasi


tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat atau rakyat. 59 Rahman
56
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 90-94
57
Prof. Dr. Fazlur Rahman asal Pakistan terkenal sebagai pelopor Neomodernisme Islam. Aliran ini sebagai tawaran
solusif pasca Revivalisme Pra-Modernis, Modernisme Klasik, Neorevivalisme atau Revivalisme Pasca-Modernis.
Uraian lebih lanjut tentang ini lihat Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 33, 39. Lihat juga Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif
Neomodernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 18-19. Neomodernisme Islam menekankan
pentingnya pembedaan secara tegas antara Islam normatif dan Islam historis. Dalam memahami al-Qur’an dan
Hadits harus dibedakan antara wilayah ideal-moral dengan legal spesifik/adhoc yang terkandung dalam dua sumber
ajaran Islam tersebut Dalam konteks ini Rahman memperkenalkan teori double movement-nya. Bandingkan Taufik
Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 162-194).
58
Lihat Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 117-126
59
Redaksi Islamika, “Mempertimbangkan Fazlur Rahman”, No.2 Oktober-Desember 1993, hlm. 31

49
menekankan tentang pentingnya tata sosial politik yang egaliter dan penuh keadilan berdasarkan
etik al- Qur’an, karena menurut Rahman, masyarakat selalu akan bergerak menuju ke arah
tatanan moral ideal al-Qur’an. Rahman juga menekankan pentingnya pemerataan di bidang
ekonomi, demokratisasi bidang politik, anti berhalaisme (cultism) maupun korupsi dan
manipulasi oleh para tokoh agama.60

Dalam penyelenggaraan perundang-undangan negara, Rahman lebih mengedepankan


aspek moral ideal al-Qur’an ketimbang sisi adhoc (aspek parsial atau partikular) dari ayat-ayat
al-Qur’an. Rahman juga mementingkan tampilnya kelas menengah sebagai pendorong
terciptanya masyarakat egaliter dan berkeadilan, juga mementingkan stabilitas negara. Al-Qur’an
menurut Rahman, anti pada elitisme kepemimpinan, kelompok dessident, clandestine (kelompok
rahasia) atau kaum munafik yang penuh intrik dan cenderung mengacaukan sistem sosial
kemasyarakatan. Pada intinya Rahman mendambakan terciptanya masyarakat terbuka dan
demokratis (just open and democratic society). Sayangnya Rahman belum sempat melahirkan
teori sosial politik yang bercorak neomodernis serta berorientasi populis. Pemikiran politik
Rahman masih dianggap berpihak pada status quo.61

Filsafat politik Seyyed Hossein Naşr62 mencoba membedakan perspektif Tradisionalisme


Islam dengan modernisme Islam, fundamentalisme Islam, dan Messianisme atau Mahdiisme.
Menurut Naşr filsafat politik Islam harus beranjak dari dua hal, pertama berupaya memahami
karakter filosofis dari berbagai bentuk tantangan. Kedua, mencoba menjawab tantangan itu
dengan berpijak pada akar tradisi Islam sendiri secara universal (bukan secara adhoc). Jadi Naşr
percaya bahwa Islam tradisional mengakui Islam dalam bentuk berbagai ragam budaya,
sepanjang berakar pada tradisi Islam sendiri. Itulah sebabnya Naşr bisa menerima berbagai
bentuk khilãfah atau kesultanan (di kalangan Sunni) atau juga konsep imãmah ( di kalangan
Syi’i) karena semua itu dipandang tetap berakar pada tradisi Islam yang murni. 63
Sayangnya,Tradisionalisme Islam ala Nasr menolak – misalnya - sistem operasionalisasi politik

60
Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an (terj.) (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 92
61
Lebih lanjut tentang pemikiran politik Rahman, lihat, Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur
Rahman (UII Press, 2000)
62
Prof. Seyyed Hossein Nasr, asal Iran, guru besar pada George Washington University, AS. Ia cendekiawan
Muslim yang dibesarkan dalam dua tradisi yakni Islam “tradisional” dan Barat “modern”. Ia pernah studi di
Massachussetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University (keduanya di AS).
63
Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (terj.) (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 200-203; dan Islam
Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (terj.) (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 7 dan 8

50
sebagaimana tampak di Barat (kerangka modern) yang sebenarnya juga banyak berwatak Islami.
Ketakutan Naşr terhadap Barat membuatnya selalu menolak intervensi modern dalam pemikiran
Islam terutama di bidang institusi dan pemikiran politik. Pemikiran politik Naşşr juga cenderung
kurang kritis dengan konsep khilãfah, kesultanan maupun imamah yang diantaranya ada yang
dimanipulasi dalam sejarah (walaupun tidak seluruhnya).

Secara lebih spesifik, pemikiran etika politik Arkoun dapat dikemukakan dalam enam
subtema penting yakni: pertama, dimensi kewenangan (authority) dan kekuasaan (power)
dalam diri Nabi Muhammad s.a.w. yang menurut Arkoun antara keduanya tidak bersifat
dikotomik – sebagaimana dalam tradisi politik di dunia Barat yang bercorak Cartesian - tetapi
lebih simbiotik.

Kedua, terkait dengan gagasan pembangunan dan perubahan sosial, Arkoun


menekankan pentingnya faktor agama sebagai alat “pengubah dunia” lebih dari sekedar
menafsirkannya. Arkoun juga menekankan betapa pentingnya keterkaitan pembangunan dan
perubahan itu dengan wilayah hukum. Sembari menegaskan bahwa nalar politik Islam yang
dijadikan landasan yuridis pembangunan bukanlah nalar politik yang bercorak sloganis-formalis
sebagaimana yang sering dipropagandakan oleh muslim fundamentalis, tetapi juga bukan
sekedar upaya liberalisasi pemikiran keislaman yang terbatas pada wacana keagamaan yang
terkadang juga terjebak pada pola pikir Cartesian dan terkesan tidak memiliki orisinalitas
pemikiran. Lebih dari itu Arkoun menekankan betapa pentingnya wacana liberasi pemikiran
politik Islam diterjemahkan ke proses transformasi sosial. Arkoun juga mengingatkan para kaum
birokrat yang terjebak pada iptek yang kurang memiliki sikap rendah hati, serta sikap
skeptisisme yang melanda para peneliti ilmu humaniora. Superioritas sosial dan politik kaum
teknokrat harus dihindari. Selain itu, industrialisasi telah mereduksi wilayah dan jaringan
tradisional masyarakat Muslim, baik lapangan budaya, ekonomi, pendidikan, maupun yang lain-
lainnya. Kaum Muslim, lanjut Arkoun, kini hidup dalam kecenderungan asing, dan tidak mampu
mengekspresikan pengalaman historis mereka. Arkoun mengharapkan agar budaya pertukaran
pendapat di kalangan masyarakat Muslim harus terus dikembangkan untuk menghindari
kesalahpahaman, khususnya terkait dengan dialektika Islam dan modernitas.

Ketiga, tentang relasi agama dan negara, Arkoun menyatakan bahwa kebanyakan
negeri-negeri Muslim – terutama di Arab – mengalami berbagai benturan keras akibat

51
penjajahan asing. Faktor inilah yang membuat umat Islam menjadikan agama sebagai icon
perjuangan ideologi politik. Bagi Arkoun, keterkaitan antara agama dan negara secara historis
sangat bervariasi. Secara faktual, Nabi tidak meninggalkan pewaris tahta, dan masalah khilãfah
juga termasuk wilayah yang diperdebatkan di kalangan Muslim (khilãfiyah). Oleh sebab itu
Arkoun menyatakan bahwa konsep “syũrã” sebenarnya identik dengan demokrasi. Sistem
demokrasi parlementer bisa diterima sepanjang bisa mengakomodasi nilai-nilai universal dari
ajaran syariat Islam. Dengan sistem syũrã atau ‘demokrasi’ ini, penerapan syariat Islam lebih
bersifat rasional-diskursif dan substantif, tinimbang tekstual-normatif. Tentang gagasan khilãfah,
bagi Arkoun, itu merupakan sebuah gagasan yang sangat utopis. Arkoun berargumen bahwa isu
khilãfah ini tidak ada kesepakatan di kalangan umat, dikarenakan perbedaan penafsiran agama
serta latar belakang sosial budaya masing-masing negeri Muslim. Selain itu, intervensi negara
dalam wilayah keagamaan akan berdampak pada manipulasi simbol-simbol keagamaan dan akan
mereduksi kebebasan beragama dan berpolitik masyarakat. Bahkan akan membuka peluang
terjadinya kolusi antara penguasa dan otoritas keagamaan. Bagi Arkoun, otoritas keagamaan dan
politik kenegaraan harus berbeda, walaupun tetap ada hubungan. Arkoun menggambarkan, bila
negara bagai sebuah bingkai, maka agama yang menjadi isinya.

Keempat, tentang konsep Masyarakat Kitab dan Pluralisme, Arkoun mendorong


terwujudnya proses kehidupan yang lebih rasional dan demokratis, sekaligus mendorong
munculnya komunitas baik Muslim maupun non Muslim yang saling menghargai pluralitas dan
keterbukaan karena pengakuan adanya penghargaan terhadap aneka pemahaman teks keagamaan
secara lebih terbuka, baik secara internal (hubungan antar komunitas umat Islam) maupun
eksternal (hubungan antar umat Islam dengan non Muslim). Hasil akhirnya sudah dapat
diprediksi akan terwujudnya masyarakat kitab yang toleran, terbuka dan saling menjunjung
tinggi nilai persaudaraan dan perdamaian, sebagai wujud konkrit dari tujuan akhir diturunkannya
wahyu di muka bumi ini. Arkoun juga mengajak umat untuk kembali mengingat-ingat kejayaan
intelektual Islam masa lalu. Menurut Arkoun, Islam akan meraih kejayaannya kembali jika umat
Islam membuka diri terhadap pluralisme dan pluralitas pemikiran, seperti pada masa awal Islam
hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai apabila pemahaman agama dilandasi paham
kemanusiaan (humanisme), sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa saja. Menurut
Arkoun, secara fisik kolonialisme memang telah berakhir, namun pemikiran kita masih terjajah,
tidak mengikuti modernitas yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan

52
oleh umat Islam. Dengan tetap mempertahankan pluralisme dan pluralitas, seseorang akan tetap
menjadi kritis, baik dalam filsafat, teologi maupun politik. Pluralisme inilah yang hilang dalam
Islam. Islam dalam tataran teologis-filosofis, harus mempertahankan kebebasan bagi setiap
Muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi
di Negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.

Kelima, tentang demokrasi dan modernitas. Menurut Arkoun, secara historis antara
kaum Muslim dengan Barat sebenarnya memiliki pengalaman yang sama dalam masalah
peradaban yang demokratis-humanis, sebagaimana tercermin pada era keemasan sejarah Islam.
Tradisi demokrasi di Barat pada hakikatnya juga merupakan warisan humanis dari peradaban
Islam sebagaimana yang tercermin dari khazanah pemikiran Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan lain-
lain. Arkoun juga mengemukakan bahwa terjadinya ketegangan antara Barat dan Islam pada
dasarnya lebih disebabkan pengaruh dari endapan sejarah pemikiran – baik di kalangan Islam
maupun Barat – yang umumnya bersumber pada literatur-literatur abad pertengahan yang
polemis-apologis. Selain itu, Arkoun mengemukakan bahwa munãżarah merupakan jantung
demokrasi. Ketika antar warga masyarakat saling berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling
berhadapan muka (munãżarah). Dalam Islam memang ada yang disebut munãżarah untuk
bertukar pikiran. Tidak ada demokrasi tanpa munãżarah, karena dalam munãżarah setiap orang
bebas mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut Arkoun menjelaskan bahwa dalam tradisi Islam
klasik, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran dan
keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan al-Qur’an dan
mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci. Namun memasuki abad ke-13,
menurut Arkoun, umat Islam mulai melupakan baik filsafat maupun debat teologi.

Adapun dalam konteks modernitas, Arkoun menengarai bahwa masih banyak kaum
Muslim yang “kagok” dalam berhubungan dengan agama, sistem berpikir, dan sistem
pemerintahan di Barat, yang sangat menekankan pada modernitas. Dengan kata lain, masih
banyak kaum Muslim yang memandang Islam dan Barat berada pada dua kubu yang
berseberangan. Hal ini sesungguhnya tidak perlu terjadi mengingat proses globalisasi yang kian
“mengecilkan” jarak telah membuat interaksi penganut Islam, sementara itu masyarakat Barat
non-Islam juga kian intensif. Di samping itu Arkoun mengemukakan tentang modernitas versi
Islam. Dia menyatakan bahwa skenario modernitas yang selama ini disusun Eropa dan Barat

53
ternyata tidak selalu cocok dengan umat Islam itu sendiri. Menurutnya, Islam memiliki sendiri
sistem berpikir yang dengan sendirinya lebih pas untuk umatnya. Namun karena Barat adalah
“standar”, maka tak ada cara lain bagi kaum Muslim selain mengingatkan kembali pengajaran
akan sejarah pemikiran Islam – termasuk seluruh dimensinya – yang selama ini terlupakan,
terutama sejak masa kolonialisme.

Keenam, tentang sekuler, sekularisasi dan sekularisme. Menurut Arkoun, untuk


mengantisipasi sekularisme dalam politik bukan berarti umat Islam harus kembali ke “agama
tradisional”, tetapi lebih dari itu amat dibutuhkannya formulasi baru tentang humanisme spiritual
yang sudah barang tentu harus diperbandingkan dengan berbagai faham humanisme dan
kebebasan yang telah ada, dan dalam perspektif agama-agama. Sekularisasi di mata Arkoun
bukanlah menafikan agama, tetapi lebih pada perluasan ruang kebebasan berfikir secara kultural,
historis dan ilmiah, tidak semata-mata ideologis dan teologis. Bagi Arkoun, istilah sekularisasi
perlu dibedakan dalam konteks teologis atau politis (hubungan Islam dan negara). Sekularisasi
bukanlah upaya menafikan konsep spiritualitas agama, sehingga terjadi kekosongan makna
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebagaimana yang terjadi di Barat dewasa ini, tetapi
lebih bersifat usaha meninggalkan pola-pola pemahaman ajaran agama yang sudah out of date
dengan perkembangan zaman. Dalam kaitan ini sekularisasi sejalan dengan kontekstualisasi
nilai-nilai ajaran Islam.

Ketujuh, wacana keagamaan dan politik secara etis-akademis. Pemikiran Mohammed


Arkoun terletak pada model kajiannya yang menggunakan metodologi dan teori-teori ilmu-ilmu
sosial era post-positivism. Selain itu, Arkoun juga merindukan kembali munculnya fase
humanisme Islam yang inovatif dan kreatif sebagaimana yang pernah terjadi pada abad II dan
III Hijriyah yang bisa dijadikan teladan Islam, setelah masa kemunduran era keemasan Islam
sejak abad XI M. Namun untuk mewujudkan pemikiran model Arkounian ini memang
ditemukan – paling tidak – dua kesulitan, yakni: pertama, fokus pembahasan dalam mencari inti
pokok Al-Qur’an/Hadis. Kedua, adanya lapisan geologis pemikiran Islam atau endapan sejarah
umat (misi suci Nabi yang telah berubah menjadi fosil aqidah, fiqh, tarekat, dan lain-lain). Pada
gilirannya, Islam menjadi lebih parsial dan sarat dengan political interest, yang berdampak pada
munculnya ideologisasi dan mitologisasi ajaran Islam. Nilai-nilai moralitas kenabian (prophecy)
menjadi semakin tereduksi dan sejarah Islam mengalami distorsi nilai (muncul interest group

54
versus nilai universal). Pada akhirnya, yang menjadi perhatian Arkoun dalam membangun masa
depan peradaban Islam adalah fokus perhatiannya yang mendalam terhadap upaya rekonstruksi
pemahaman keislaman melalui penggunaan nalar akademis ketimbang nalar ideologis-politis.
Menurut Arkoun, umat Islam secara umum, cenderung mengedepankan nalar ideologis-politis
terutama dalam menyikapi fenomena kehidupan dunia modern. Penggunaan nalar ideologis-
politis ini sering melupakan dimensi rasionalitas dalam konteks pemikiran Islam termasuk yang
ada kaitannya dengan wacana politik. Jargon-jargon Islam ideologis oleh kaum fundamentalis
hanya untuk kepentingan politik sesaat, dan cenderung mengabaikan kekayaan humanitas,
kearifan dan spiritualitas Islam secara keseluruhan.

Telaah Komparatif Teoritik Politik Islam

● Dalam soal kepemimpinan, para pemikir Islam telah berupaya membahas tema
ini; Al-Farabi (dengan 12 kriteria pemimpin dan presidium sebagai alternatif
kepemimpinan), Al-Mawardi (dengan 7 kriteria kepala Negara dan kebolehan
pergantian pemimpin di tengah jalan); Al-Ghazali (dengan 7 kriteria yang sama,
namun secara lebih khusus menyatakan bahwa perempuan tidak boleh diangkat
menjadi pemimpin). Adapun Arkoun tidak menyinggung baik soal kriteria maupun
soal latar belakang seorang pemimpin harus dari suku Quraish (sebagaimana
pandangan al-Mawardi, juga Khaldun – dari segi kualitas kecerdasan orang
Quraish). Tentang soal kedekatan pemimpin – yang primus interpares - dengan
rakyat (Ibnu Khaldun), juga tidak disinggung oleh Arkoun. Begitu pula mengenai
pentingnya seleksi calon khalifah, sebagaimana yang dikemukakan Rashid Ridã.
Selain itu, Arkoun juga tidak menyitir sama sekali tentang penolakan adanya nuansa
elitisme kepemimpinan, seperti yang dituturkan Fazlur Rahman. Namun terkait
dengan pandangan bahwa seorang raja merupakan żillullãh fî al-ardl –
sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, secara tegas ditolak
oleh Arkoun. Demikian pula tentang penggunaan simbol-simbol kepemimpinan
politik keagamaan seperti: khalĩfah. Bagi Arkoun, gelar-gelar dan bahasa kekuasaan
feodalis, bersifat taqlid dan cultism harus dikritisi: seperti gelar-gelar atau bahasa
politik bay'ah, khalĩfah fî al-ardl (orientasi kekuasaan), amĩr, sulthãn, al-mu'taşim-

55
al-mutawakkil-al-hãdi billãh; dan sejenisnya. Menurut Arkoun, umat harus beralih
dari bahasa politik yang ideologis-politis dan apologis, kepada bahasa politik yang
lebih etis-akademis-responsif, agar agama jangan hanya dijadikan sebagai legitimasi
politik atau untuk mempertahankan status quo.

● Masalah konstitusi kenegaraan dan social contract (antara eksekutif dan


legislatif) sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Mãwardî, Arkoun sama sekali
tidak menyinggung hal ini.

● Masyarakat dan Negara bagaikan satu tubuh (pandangan al-Farãbî). Dalam


kaitan ini Arkoun mirip dengan Ibnu Khaldun tentang pentingnya unsur agama –
yang tidak terkungkung oleh logosentrisme Islam klasik - sebagai salah satu
penopang bagi terwujudnya solidaritas politik.

● Tentang urgensi profesi politik (versi al-Ghazãlî) atau pentingnya majlis-


majlis pembantu kepala Negara (Ibnu Khaldûn), Arkoun tidak menyinggung
hal ini.

● Konsep khilãfah. Berbeda dengan Rashid Ridhã dan Ismã’îl Rãjî al-Fãrûqî
yang mengakui adanya konsep khilãfah, tentang hal ini Arkoun lebih sejalan
dengan Ibnu Taimiyyah yang berpandangan bahwa konsep khilãfah tidak
ditemukan baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadis. Bagi Taimiyyah – juga
Arkoun – bahwa fakta khilãfah semata-mata hanya aksiden politik, bukan
keharusan normatif. Konsep “Negara” maupun konsep “Negara Tunggal di
Dunia” juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Namun Arkoun berbeda dari
Taimiyyah - yang anti monarki, aristokrasi dan demokrasi, karena Taimiyah
cenderung Nomokrasi (seperti al-Fãrûqî dan Naquib al-Attas dengan nuansa yang
lebih ketat) - sedangkan Arkoun malah dapat menerima konsep demokrasi
(sejalan dengan Fazlur Rahman). Dengan demikian, ide Pan Islamisme Afghani
yang cenderung anti Barat-sekuler, juga ditolak Arkoun, walaupun Arkoun
sependapat dengan Afghani dalam soal pentingnya eksistensi masing-masing
Negara Muslim (nation state). Namun Arkoun menambahkan tentang “bahaya”
fenomena the single party of nation-state di sebuah negara. Penolakan Arkoun

56
tentang khilãfah juga sama dengan ‘Ali ‘Abd al-Raziq, hanya bedanya, Al-Raziq
melihat figur Nabi Muhammad s.a.w. semata-mata sebagai agamawan, bukan
politisi; sedangkan Arkoun berpandangan bahwa dalam diri Nabi ada dimensi
kewenangan (kenabian) dan kekuasaan yang saling terkait secara simbiotik.

● Dalam soal bentuk Negara, tampaknya Arkoun lebih sejalan dengan ‘Abduh
yang “liberal”. Model Negara seperti apa pun dapat diterima, sepanjang dapat
mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang universal dan humanis. Dalam kaitan ini,
Arkoun jelas berbeda dari pandangan Ikhwãn al-Muslimîn yang merindukan
adanya Islamic state. Adapun Seyyed Hosein Naşr dapat menerima semua bentuk
Negara - khilãfah, kesultanan dan imãmah - karena semua itu bahagian dari
kekayaan tradisi Islam.

● Soal pentingnya lembaga Syũrã (ahl al-hãl wa al-‘aqd), Arkoun sejalan


dengan Rashid Ridha dan Fazlur Rahman.

● Kontrol terhadap Negara, sebagaimana yang dikemukan Ibnu Khaldun dan


al-Fãrûqî, serta pentingnya undang-undang yang rasional, dalam banyak hal
Arkoun memiliki kesamaan pendapat.

● Soal kepartaian, Arkoun berbeda dengan al-Maudûdî yang bisa menerima


partai tunggal (Partai Kepala Negara) dan adanya kategorisasi komunitas
Muslim dan non-Muslim (dhimmĩ). Bagi Arkoun, untuk yang terakhir ini,
dipandang sangat diskriminatif dan masih mencerminkan konsep ahl kitãb, dan
belum menuju masyarakat kitab.

● Dari perpsektif antroposentrik-humanistik (masses of Muslim/l’imaginaire


social), pemikiran politik Arkoun sejalan dengan pandangan Haikal dan Ibnu
Khaldun.

● Kolaborasi dengan penguasa dibenarkan oleh Fazlur Rahman, sepanjang


untuk kemaslahatan rakyat. Untuk poin ini Arkoun tidak menyinggung sama
sekali. Bahkan dalam beberapa tulisannya Arkoun kerap mengkritisi bagi

57
kemungkinan munculnya “perselingkuhan politik” antara agamawan dan
penguasa.

● Tentang pentingnya tata sosial politik yang egaliter dan berkeadilan


berdasar etik al-Qur’an, pemeratan ekonomi, demokratisasi politik, anti kultus,
korupsi dan manipulasi oleh tokoh agama, pentingnya peran kelas menengah,
stabilitas negara, lebih mengedepankan ideal moral al-Qur’an untuk penegakan
hukum, bahaya dessident dan clandestine (sebagaimana yang dikemukakan Fazlur
Rahman); dalam banyak hal tentunya Arkoun memiliki kesamaan pandangan.

● Secara lebih spesifik, untuk konteks fenomena politik kontemporer, Arkoun


menekankan baik kepada para Islamolog klasik maupun kalangan internal umat
Islam, untuk dapat melihat melihat (dunia) Islam secara pluralis, bukan
monolitik. Misalnya, melihat Mesir yang dikenal dengan peradaban klasik; Iran
dengan tradisi Islam (filosofis-mistis); Turki dengan sekularisme; Arab dengan
syair-estetis dan bisnis; Andalusia dengan empirical-sciences; Muslim Indonesia
dengan moderatisme dan toleransinya.

● Arkoun juga mengingatkan agar warga dunia mewaspadai kelompok


fundamentalis yang berlindung di balik slogan "kebangkitan Islam,
kebangunan Islam dan kembali pada agama" yang lebih bersifat ideologis-politis
dan apologis.

● Pembangunan sebuah negara tidak semata-mata bersifat material-


finansial, tetapi harus lebih bersandar pada basis budaya, spiritualitas, etika dan
intelektualisme.

Penutup

Demikianlah gambaran umum dari realita dan dialektika pemikiran politik Islam sejak
era klasik hingga kontemporer. Dari uraian di atas terbukti bahwa wawasan politik Islam tidak
dapat dilihat semata-mata dengan menggunakan pendekatan normatif-teologis, namun harus
dilengkapi dengan pendekatan lainnya baik yang bersifat historis, maupun sosiologis dan
psikologis. Masing-masing pemikir Islam di bidang politik memiliki perspektif yang berbeda

58
antara satu dengan lainnya. Untuk kajian era mendatang tampaknya perlu pendalaman lagi
ulasan pemikiran politik Islam di atas secara epistemologik-metodologik, serta implikasinya
dalam pengembangan Islamic studies.

2. Demokrasi dan Modernitas

59
Demokrasi

Konsep Demokrasi, seperti yang terdapat di Amerika Serikat dan Eropa Barat, pada
hakikatnya merupakan suatu paham liberal yang yang berakar dari para pemikir liberal seperti
Hobbes, Locke, Rousseau, Montesqueu, Voltaire dan lain-lain. Paham ini mengagung-agungkan
orang-orang dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya, yang dilaksanakan
dengan sistem perwakilan, serta kebebasan yang seluas-luasnya di bidang ekonomi, yang
melahirkan kapitalisme dan kolonialisme.93

Istilah demokrasi, secara etimologis, berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan
cratein atau cratos yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi artinya pemerintahan oleh rakyat
yang dalam Declaration of Independence adalah of the people, for the people and by the people.
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling baik dibanding dengan pemerintahan
yang bersifat absolut, fasis dan bentuk lainnya yang tidak menghargai nilai-nilai yang dimiliki
manusia.94

Secara formal seluruh bentuk demokrasi itu sama, tetapi secara material semua memiliki
perbedaan. Dalam proses perkembangannya konsep demokrasi itu mempunyai bermacam-
macam predikat yakni social democracy, liberal democracy, people democracy, guided
democary dan lain-lain. Berdasarkan hal di atas demokrasi bisa dikelompokkan ke dalam dua
golongan besar yaitu: pertama, demokrasi yang berdasarkan kepada kemajuan di bidang sosial
dan ekonomi. Kedua, demokrasi yang berdasarkan kepada kemerdekaan dan persamaan.95

Dari sudut pandang struktural, sistem politik demokrasi secara ideal ialah sistem politik
yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Ini berarti, secara filosofis,
demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara individu,
di antara berbagai kelompok, di antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah,
kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah.

93
A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibn Khaldun (Jakarta: Gramedia, l992),
hlm. 154.
94
Ibid., hlm. 73.
95
Ibid., hlm. 74.

60
Namun demokrasi hanya akan mentolerir konflik yang tidak menghancurkan sistem. Di
sini ada mekanisme penyaluran konflik dan “penyelesaian” konflik dalam bentuk kesepakatan
(konsensus). Berkaitan ini ada lima prinsip dasar utama yang dibangun dari mekanisme
prosedural di atas.
a.1. Kebaikan bersama

Persamaan kesempatan politik bagi setiap individu dijamin oleh hukum yakni
kesempatan dalam soal kebebasan dan meraih tujuan hidup. Dengan demikian, setiap individu
harus menggunakan kesempatan politik dengan menggabungkan diri ke dalam organisasi
sukarela untuk bersama-sama mempengaruhi pemerintah dan membuat kebijakan yang
menguntungkan mereka. Selain itu sistem ini menekankan persamaan kesempatan ekonomi
daripada pemerataan hasil oleh pemerintah. Hal ini berarti setiap individu bebas mencari,
dan mendayagunakan kekayaan sepanjang dalam batas-batas yang disepakati bersama, seperti
persaingan bebas yang wajar, undang-undang antimonopoli, dan peka pada lingkungan hidup.
a.2. Identitas Bersama

Pemikiran politik demokrasi juga mempunyai prinsip bersatu dalam perbedaan.


Contohnya, Bhinneka Tunggal Ika untuk Indonesia dan Unity in Diversity untuk Amerika
Serikat. Artinya, pada satu pihak penduduk tetap mempertahankan keterikatan dengan setiap
subkultur, seperti suku, daerah, ras, agama dan adat-istiadat. Pada pihak lain, seluruh penduduk
mempunyai keterikatan yaitu suatu dasar dan tujuan yang sama. Dasar yang sama itu berupa
keterikatan pada lembaga demokrasi, saling percaya, dan kesediaan hidup berdampingan secara
rukun dan damai, dan kesediaan berkompromi dan bekerjasama.

a.3. Hubungan Kekuasaan

Sistem demokrasi juga mempunyai prinsip adanya distribusi kekuasaan yang relatif
merata di antara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan. Situasi ini akan menimbulkan
persaingan dan saling kontrol antara kelompok yang satu dengan kelompok lain, antara lembaga
pemerintah yang satu dengan yang lain (legislatif, eksekutif dan yudikatif), dan antara kelompok
sosial dan lembaga pemerintah. Distribusi kekuasaan, otonomi, dan konflik inilah yang disebut
sistem politik demokrasi pluralisme.

61
Namun di pihak lain, baik kelompok-kelompok sosial maupun lembaga-lembaga
pemerintah mempunyai suatu kesadaran dan kesepakatan bersama bahwa kekuasaan hanya
sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat umum. Untuk mewujudkan
kesejahteraan umum diperlukan kesediaan lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat, perlu memiliki kekuasaan yang memadai untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum. Jadi, persaingan dan saling kontrol di antara pusat-pusat kekuasaan akan melahirkan
konflik, sedangkan kesadaran dan kesepakatan akan melahirkan konsensus.

a.4. Legitimasi Kewenangan

Prinsip kewenangan dan legitimasi dalam sistem ini bersifat prosedural (rule of law)
yang diatur dalam konstitusi. Artinya, penguasa mendapat kewenangan berdasarkan prosedur
yang disusun dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan, sedangkan anggota
masyarakat menaati kewenangan penguasa karena penguasa dipilih atau diangkat berdasarkan
prosedur yang ditetapkan dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan. Dalam konstitusi
biasanya diatur hak-hak warga Negara, seperti kebebasan berbicara dan berasosiasi, kebebasan
menjalankan ibadah, hak menjalankan usaha ekonomi, hak akan keadilan, hak mendapatkan
pelayanan dari pemerintah, memilih pejabat Negara, mengajukan aspirasi, dan mengontrol
pemerintah, pelaksanaan hak-hak ini akan melahirkan konflik

a.5. Hubungan Politik dan Ekonomi

Berdasarkan koordinasi unit ekonomi maupun dalam pemilikan barang dan jasa,
pemerintah dan swasta ikut ambil bagian secara aktif sesuai dengan setiap porsinya. Artinya,
disamping mekanisme pasar dibiarkan mengatur kegiatan ekonomi, tetapi dalam hal-hal yang
menyangkut hidup orang banyak pemerintah ikut mengatur dan mengarahkan kegiatan ekonomi,
redistribusi, dan pengadaan barang dan jasa. Koordinasi unit ekonomi dengan mekanisme pasar,
pemilikan sarana, dan alat produksi dengan kalangan swasta akan melahirkan konflik antara
penguasa (produsen) dan pengusaha, antar pengusaha dan konsumen.
Dalam konflik ini, pengusaha lemah akan kalah penting dengan pengusaha kuat,
sedangkan konsumen akan lebih ditentukan oleh pengusaha. Disamping itu, mekanisme pasar
dan pemilikan sarana dan alat produksi oleh swasta tidak mampu mengadakan distribusi yang
merata kepada masyarakat karena pihak yang kuat akan mendapatkan apa yang dikehendaki,

62
sedangkan pihak yang lemah tidak kebagian. Jadi, mekanisme pasar dan pemilikan sarana
produksi oleh swasta juga akan melahirkan konflik. Di sini campur tangan pemerintah amat
diperlukan untuk melahirkan keseimbangan antara konflik dan konsensus. Namun yang
terpenting, segala prosedur dan mekanisme penentuan pemerintah harus berdasarkan pada
prinsip kedaulatan rakyat, dan adanya aturan main bagi kelompok-kelompok untuk bersaing
mempengaruhi pemerintah demi membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.96

Berkaitan dengan pemahaman tentang konsep demokrasi, tampaknya Arkoun tidak


merinci pandangannya sebagaimana lazimnya telaah demokrasi seperti yang telah lama muncul
dalam studi politik di Barat, seperti yang selintas kita kutip di atas. Kajian Arkoun tentang
demokrasi lebih dikaitkan dengan dimensi metodologi maupun epistemologi pemikiran
keislaman yang terkait dengan konsep demokrasi itu sendiri. Pandangan Arkoun tentang
demokrasi yang terkait dengan perspektif keislaman dapat dilihat dalam tulisannya berjudul
“Democracy: A Challenge to Islamic Thought”97 dimana Arkoun mengemukakan bahwa hampir
seluruh dunia Islam yang ia kunjungi sangat apresiatif dengan pemikirannya – terutama yang
terkait dengan konsep Islam dan demokrasi - baik ia sebagai seorang guru besar, sarjana maupun
seorang warga Negara dari dunia Islam. Arkoun mengklaim bahwa dirinya – pada saat yang
sama juga - merupakan seorang warga negara dari sebuah komunitas Eropa melalui
kewarganegaraannya di Perancis. Dirinya, lanjut Arkoun, tidak dapat memisahkan dimensi ke-
Perancis-an dan ke-Aljazair-an sekaligus yang inheren dalam dirinya.

Lebih dari itu, Arkoun juga memiliki tiga pengalaman kewarganegaraan (citizenship)
dalam wilayah Negara Maghribi yakni Aljazair, Tunisia dan Maroko. Ketiga negara ini, menurut
Arkoun, termasuk dalam wilayah Mediterania. Wilayah Mediterania memiliki geo-historical
identity yang dulunya dibangun melalui sejarah pemikiran Yunani (Greek) maupun kebudayaan
Roman/Romawi dalam wilayah Mediterania. Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa bila kita
mengunjungi Tunisia, Libya atau Aljazair, maka kita akan menemukan puing-puing sejarah yang
masih terpelihara (preserved ruins) yang setiap saat bisa dikunjungi, seperti layaknya kita
mengunjungi puing-puing historis di Itali, Perancis, Spanyol, dan lain-lain. Peninggalan sejarah
itu sudah ada di sana sejak beberapa abad yang lalu (They are there, they have existed for

96
Ramlan Surbakti, Memahami, hlm.228-231; Bandingkan dengan David Thomson, Pemikiran, hlm. 146-147;
Malelo Siregar, Kupasan, hlm. 27-32.
97
Lihat situs “Mohammed Arkoun” yang memuat tentang tulisan dimaksud.

63
centuries). Menurut Arkoun, kenyataan ini merupakan hal penting yang harus diketahui terutama
oleh umat Islam. Sayang hal ini tidak begitu banyak diketahui secara baik.

Wilayah Mediterania, lanjut Arkoun, pada hakikatnya mencakup keseluruhan daerah


yang meliputi sejak sungai Indus hingga ke Barat termasuk Iran. Iran kuno, lanjut Arkoun, telah
memainkan peranan yang cukup besar dalam menata dan menjaga frame intelektual maupun
frame spiritual, dimana kebudayaannya dibangun dan diperluas ke seluruh wilayah Mediterania.

Namun di sana ada problem ideologis. Kehadiran Islam di Mediterania membawa


tantangan yang bersifat teologis, dimana Islam begitu cepat meluas dan menjadi kekuatan
sejarah di wilayah itu. Akibatnya, muncul reaksi teologis baik dari komunitas Yahudi maupun
Kristen yang telah lebih dahulu eksis di sana, terutama di kawasan Timur Tengah sejak beberapa
abad sebelum Islam.

Menurut Arkoun, hal ini merupakan reaksi yang normal belaka sebagai akibat logis dari
tantangan teologis yang dikemukakan al-Qur’an yakni ketika al-Qur’an menyatakan kepada
komunitas Yahudi “You have altered the scripture”. Akibat gugatan al-Qur’an ini komunitas
Yahudi memberikan reaksi yang lebih bernuansa politis, ideologis maupun teologis ketimbang
menggunakan pendekatan secara intelektual.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, problem yang dihadapi komunitas tiga agama
tersebut memang cukup mendalam, karena menyangkut sejarah pemikiran di kawasan
Mediterania. Problem inilah yang belum tuntas didialogkan di hampir semua perguruan tinggi,
baik di dunia Muslim maupun Eropa. Problem ini lebih bersifat ideologis-politis ketimbang
saintifik. Kehadiran Islam memiliki tantangan ganda baik secara ideologis maupun kultural-
intelektual dimana kita mewarisi berbagai tulisan yang bersifat polemis in the Medieval ages,
baik di kalangan Yahudi, Muslim maupun Kristen, sejauh yang dapat kita baca maupun
interpretasikan.

Sistem teologi yang dibangun oleh pihak Muslim berisi penyangkalan terhadap Yahudi
dan Kristen. Di sisi lain, tentunya, Yahudi dan Kristen pun berupaya untuk membangun sistem
teologi mereka dalam rangka mengisi sekaligus memproteksi diri mereka sendiri, terutama di
saat Islam belakangan menjadi lebih kuat, dan secara politik digunakan untuk melindungi

64
pertahanan diri mereka (Yahudi dan Kristen) dalam rangka melawan kejayaan Islam. Hal ini
berlangsung selama lebih kurang tujuh abad di wilayah Mediterania.

Lebih lanjut Arkoun menyatakan – seperti di awal paparannya di atas - ketika dirinya
mengklaim sebagai seorang warga yang memiliki kewarganegaraan ganda, hal ini adalah dalam
konteks penggunaan pendekatan sejarah pemikiran di Mediterania. Dewasa ini, lanjut Arkoun,
yang tengah kita hadapi adalah problem Palestina maupun perjuangan rakyat Aljazair di
Mediterania, setelah lebih kurang 100 tahun mengalami kolonisasi.

Apa yang terjadi di Timur Tengah sejak abad 19 merupakan kumpulan peristiwa yang
berkaitan dengan sejarah yang sama, yang selama ini belum dikemukakan secara terbuka,
dengan pikiran yang terbuka pula, dengan menulis ulang, misalnya, tentang sejarah berbagai
teologi agama-agama. Kajian tentang truth umumnya masih berkutat pada “satu kebenaran”
untuk Yahudi belaka, untuk Kristen saja atau untuk Muslim semata.

Selain itu, telaah filsafat atau pemikiran telah dimulai sejak Yunani Kuno, namun
meloncat jauh melampaui abad pertengahan dan langsung ke era Descartes, Spinoza dan
Leibniz. Sejarah pemikiran pada abad 7 hingga abad 13 M seolah terlampaui atau terabaikan
sama sekali. Namun, akhir-akhir ini sudah muncul berbagai studi yang berkaitan dengan Ibnu
Rusyd, Ibnu Sina dan semacamnya, namun sayangnya masih bersifat pinggiran (marginal),
belum merupakan mainstream, belum terintegrasi ke dalam konteks keseluruhan wilayah, yang
disebut Arkoun dengan, sejarah umum di wilayah Mediterania, baik studi-studi yang dilakukan
secara metodologis maupun epistemologis.98

Apa yang ingin dikemukakan oleh Arkoun di atas yakni tentang adanya pengalaman
peradaban demokratis-humanis yang sama antara kaum Muslim dengan Barat, sebagaimana
tercermin pada era keemasan sejarah Islam. Tradisi demokrasi di Barat pada hakikatnya juga
merupakan warisan humanis dari peradaban Islam sebagaimana yang tercermin dari khazanah
pemikiran Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan lain-lain. Arkoun juga mengemukakan bahwa terjadinya
ketegangan antara Barat dan Islam pada dasarnya lebih disebabkan pengaruh dari endapan
sejarah pemikiran – baik di kalangan Islam maupun Barat – yang umumnya bersumber pada
literatur-literatur abad pertengahan yang polemis-apologis.99
98
Ibid.
99
Bandingkan dengan Arkoun, Nalar Islami, hlm. 274-277.

65
Selain itu, Arkoun mengemukakan bahwa munazharah merupakan jantung demokrasi.
Ketika antar warga masyarakat saling berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan
muka (munãzharah). Dalam Islam memang ada yang disebut munãzharah untuk bertukar
pikiran. Tidak ada demokrasi tanpa munãzharah, karena dalam munãzharah setiap orang bebas
mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut Arkoun menjelaskan bahwa dalam tradisi Islam klasik,
ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran dan
keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan al-Qur’an dan
mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci.100

Perlu pula ditambahkan di sini bahwa konsep demokrasi sering diparalelkan dengan syũra
sebagaimana yang dikemukakan Gurdun Kramer, Profesor Studi Islam dari Freire Universitat,
Berlin. Menurut Kramer, pemerintah dalam pandangan Islam Suni kontemporer adalah bagian
dari kewajiban sosial (mu’ãmalah), sehingga dapat berubah-ubah. Mekanisme dan prosedurnya
dapat diadaptasi dari sumber-sumber di luar Islam, asalkan sesuai dengan norma dan nilai-nilai
Islam, dan tentunya tidak mengabaikan atau bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Ketentuan tersebut, kata Kramer, memberi ruang gerak yang luas bagi organisasi sosial
dan politik. Dalam hal ini Tuhan memberikan kesempatan pada umat Islam untuk menentukan
detail organisasi politik yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi yang berkembang. Tuhan
bahkan tidak menjamin warisan kepemimpinan kepada putra Rasulullah s.a.w. Ajaran Islam
memerintahkan konsultasi (syũra), sehingga Islam dianggap ekuivalen dengan demokrasi
parlementer modern.101 Islam juga memberikan kebebasan untuk memilih – yang oleh banyak
orang ini disebut dengan demokrasi.

Kramer mengakui, “kebebasan” tersebut membuka pintu bagi proses sekularisasi


meskipun Islam sendiri tak menghendakinya. Namun semua itu tergantung pada political will
dari para “penerjemah” nilai-nilai dan hukum Islam itu sendiri serta seberapa besar kekuasaan
politik yang mereka pegang.

100
Panji Masyarakat, No.52/Th.III, 19 April 2000, hlm. 96.

101
Bandingkan dengan Fazlur Rahman, “A Recent Controversy over the Interpretation of Syũrã”, History
of Religion, Vol. 20, No. 4/Mei 1981, hlm. 293-301.

66
Dalam kaitan ini Kramer melihat adanya sebagian “Islamis yang radikal dan militan”
yang berpendapat bahwa tidak ada Negara yang bisa diklaim Islami jika tidak menerapkan
hukum syariat secara eksklusif. Mereka yang tidak mengikuti hukum Allah – yang
diidentifikasikan sebagai syariah – dianggap sebagai para pelaku bid’ah dan tidak dianggap
sebagai bagian dari masyarakat Islam (takfĩr).102

Sebagian besar penulis Islam, kata Kramer, memandang syũra bersifat mengikat dan
wajib dilakukan oleh penguasa. Dengan syũra seluruh pihak harus menerima keputusan
mayoritas sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Segala kepentingan harus dikesampingkan dari
proses syũra ini kecuali kepentingan masyarakat dan Islam itu sendiri. Di sini perlu peneliti
tambahkan pola berpikir kaum radikal-militan-fundamentalis ini yang dalam studi Islam
cenderung menggunakan epistemologi bayani.103

Secara teoritis tidak ada pertentangan kepentingan antara keduanya. Tuhan sendiri
mengatakan bahwa Ia menciptakan manusia untuk saling berbeda. Dengan demikian, perbedaan
pendapat (ikhtilãf) adalah hal yang wajar, bahkan berguna bagi manusia dan masyarakat Islam
asalkan masih tetap dalam aturan main Islam. Terlepas dari prakteknya, jelas bahwa prinsip
Islam yang didasarkan pada keadilan, syũra, partisipasi, moral dan harmonisasi, telah mengalami
proses penginterpretasian kembali di tengah-tengah gagasan (politik) modern. Diakui atau tidak,
kata Kramer, secara umum Islam telah memberi legitimasi pada konsep modern meski baru
sebatas wacana moral ketimbang wacana politik yang terbuka.104

Modernitas

Adapun tentang dialektika Islam dengan modernitas Barat di sini kita kemukakan
pandangan Prof. Dr. Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa Islam sebagai sosok yang

102
Bandingkan dengan Harifuddin Chawidu, Konsep Kufur dalam Al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
103
Bandingkan dengan M. Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000),
hlm. xlii, liii.
104
Lihat Republika, 14 April 2000, hlm. 11.

67
perlu diwaspadai dunia Barat. Menurutnya, setelah Uni Soviet runtuh maka Barat akan
berhadapan dengan musuh baru: Islam.105

Pendapat Huntington tersebut sangat tidak relevan dengan masa depan peradaban dunia,
namun sayangnya apa yang dikemukakan Huntington tersebut langsung diamini oleh para
pengikutnya. Dunia pun memandang Islam dengan penuh rasa was-was dan kecurigaan
(Islamophobia). Wajah Islam yang cantik, ramah dan damai menjadi terselewengkan, sehingga
yang tampak adalah wajah yang keras dan bahkan beringas. Dalam kaitan ini, Mohammed
Arkoun menyatakan, banyak sekali ajaran-ajaran dalam Islam yang disalahpahami. Tidak hanya
di Barat, bahkan oleh umat Islam sendiri, salah satunya mengenai konsep jihãd.106

Arkoun mengemukakan pengalamannya ketika bertanya tentang konsep perang kepada


mendiang Presiden Prancis Francois Miterrand dan mantan Presiden, George Bush. Saat itu
keduanya tengah getol melancarkan operasi badai gurun (desert storm).Mereka mengatakan
bahwa jihad itu ‘hanya perang’. Kaum sufi tentu tidak akan setuju akan konsep jihad sebagai
‘hanya perang’.

Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa untuk memahami suatu konsep dalam Islam
tidak bisa dilakukan di luar kerangka antropologi pencarian, analisa, dan interpretasi. Untuk
membuka dialog ke arah pemahaman antara kedua budaya – Islam dan Barat – penting sekali
untuk mencari benang merah yang mempertemukan pandangan Islam mengenai Barat dan
pandangan Barat mengenai Islam.

Arkoun menyarankan agar umat Islam maupun Barat untuk melihat kembali pada catatan
sejarah dunia. Sebelum runtuhnya paham sosialis pada 1989 yang ditandai dengan hancurnya
Uni Soviet, secara filosofis, dunia menghadapi pertarungan antara dua ideologi. Di satu pihak,
ada ideologi yang berdasarkan pada Marxisme yang menjadi modul Komunisme untuk
membangun demokrasi. Sementara di lain pihak hadir ideologi Liberalisme yang memberikan
penekanan pada harga diri setiap individu dalam membangun demokrasi.

105
Lihat majalah Time, June 28, 1993, hlm. 42.
106
Tentang makna jihad secara lebih mendalam, lihat Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di
Indonesia, Modernis vs Fundamentalis, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.

68
Di antara pertarungan dua ideologi tersebut, umat Islam harus berjuang memperoleh citra
diri sendiri. Hal ini sangat jelas misalnya dalam perang di Aljazair. Ini sebuah model perjuangan
untuk menunjukkan kepribadian Islami dalam tatanan sejarah manusia. Selama ini umat Islam
memang belum berinisiatif untuk menciptakan kebijakan dan pemerintahan yang dapat
meningkatkan citranya dalam budaya, debat intelektual, dan sistem baru dalam pendidikan. Ini
jelas menyedihkan, karena sesungguhnya Islam, selain mengatur hubungan manusia dengan
Khaliknya, juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam masyarakat.

Ketidaksiapan ini, antara lain, membuat masih banyak kaum Muslim yang “kagok”
dalam berhubungan dengan agama, sistem berpikir, dan sistem pemerintahan di Barat, yang
sangat menekankan pada modernitas. Dengan kata lain, masih banyak kaum Muslim yang
memandang Islam dan Barat berada pada dua kubu yang berseberangan. Hal ini sesungguhnya
tidak perlu terjadi mengingat proses globalisasi yang kian “mengecilkan” jarak telah membuat
interaksi penganut Islam, dan masyarakat Barat non-Islam juga kian intensif.

Saat ini, sebagai misal, ada sekitar 10 juta umat Islam yang hidup di Negara-negara non-
Islam. Sebaliknya, di banyak Negara Islam ada ribuan orang asing (baca: Barat) yang bekerja
mencari nafkah di sana. Masing-masing tentu dengan membawa identitas budaya dan agamanya.
Itulah sebabnya kita harus terus-menerus berpikir tanpa pengkotakan, karena itu adalah hal yang
salah.

Di samping itu Arkoun mengemukakan tentang modernitas versi Islam. Dia menyatakan
bahwa skenario modernitas yang selama ini disusun Eropa dan Barat ternyata tidak selalu cocok
dengan umat Islam itu sendiri. Menurutnya, Islam memiliki sendiri sistem berpikir yang dengan
sendirinya lebih pas untuk umatnya. Namun karena Barat adalah “standar”, maka tak ada cara
lain bagi kaum Muslim selain mengingatkan kembali pengajaran akan sejarah pemikiran Islam –
termasuk seluruh dimensinya – yang selama ini terlupakan, terutama sejak masa kolonialisme.

Sebagai akibat kolonialisme, Islam telah diabaikan sejak abad 13. Beragam prestasi
gemilang telah dicapai umat Islam pada abad ke-7 hingga ke-13. Namun semua itu mulai lenyap
pada abad ke-13. Arkoun mengajak umat Islam untuk memikirkan kembali (rethinking)
mengenai konsep modernitas. Menurutnya, modernitas adalah perjuangan penting bagi
kemanusiaan untuk dapat berdiri sendiri, untuk berinisiatif dengan kekuatan sendiri.

69
Tradisi berpikir dalam Islam perlu dihidupkan kembali. Para ilmuwan cemerlang seperti
Al-Farabi dan Ibnu Sina adalah produk dari tradisi berpikir umat Islam ketika itu. Ajaran Islam
bersumber pada wahyu (revelation). Wahyu ini memiliki dua dimensi, yaitu dimensi
transcendental berupa firman Allah yang tidak bisa diutak-atik, dan dimensi kedua yang
memungkinkan firman tersebut diinterpretasikan. Manusia kemudian mengolahnya ketika
melakukan interpretasi saat membaca al-Qur’an. Ini yang kemudian menghasilkan
keanekaragaman yang tetap bermuara pada satu jalan.10

Nalar demokrasi yang dalam dirinya mengandung unsur persamaan, kebebasan, pro
rakyat, adanya sistem perwakilan, keadilan sosial dan ekonomi, pengelolaan potensi konflik dan
konsensus melalui mekanisme demokrasi; oleh mayoritas pemikir politik - terutama Muslim –
dinilai lebih berwatak sekular-humanistik. Namun, bila dikaji secara histories-akademis,
kehadiran “Islam” dan “Barat” sebenarnya memiliki banyak kesamaan pengalaman intelektual
maupun spiritual pada wilayah Mediterania sebagai pusat pertemuan dunia “Islam” dan “Barat”,
dimana pada awalnya memungkinkan berkembangnya prinsip-prinsip humanism, democracy,
munãzharah dan syũra. Inti demokrasi dan syũra pada hakikatnya sama, sedangkan bentuk dan
mekanisme proseduralnya yang historis bisa saling berbeda. Unsur kesamaan antara syura dan
demokrasi ini, serta lebih luas lagi antara “Islam” dan “Barat”, belakangan cenderung menjauh
bahkan semakin berhadapan, sebagai akibat dari berkembangnya berbagai literatur abad
pertengahan yang bercorak ideologis-teokratis.

Sebagai alternatif dari dikotomi historis tersebut, peneliti menawarkan konsep religious
democracy, bukan demokrasi murni yang nir-spirituality, atau sama sekali menolak dan anti-
demokrasi. Dalam ungkapan peneliti, demokrasi yang dikembangkan bukan dalam
pengertiannya yang objektif (objective democracy), tetapi lebih bersifat subjektif (subjective
democracy). Penggalian kembali nilai-nilai demokrasi subjektif – local democracy - akan dapat
meningkatkan kualitas progresifitas dan kemandirian umat, dalam menghadapi tantangan dunia
moderni. Penghadapan antara “Islam” dan “Barat” akan merugikan umat Islam sendiri yang ada
di Barat maupun non-muslim di bumi Muslim.

107
Republika, 14 April 2000, hlm. 11.

70
3. Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi

dalam Keluarga dan Masyarakat

71
Pendahuluan

Arah baru kehidupan bangsa Indonesia di masa depan semakin mengarah kepada model
interaksi sosial yang mendambakan terwujudnya nilai-nilai demokrasi. Fenomena baru ini
merupakan peluang emas yang terlalu mahal untuk diabaikan. Dengan demikian, upaya
pengembangan nilai-nilai demokrasi, khususnya, melalui domain keluarga maupun kehidupan
sosial kemasyarakatan merupakan hal yang amat signifikan. Demokrasi di tingkat negara
sangatlah membutuhkan adanya dukungan dari berbagai lapisan sosial terutama dukungan unit-
unit keluarga maupun berbagai komunitas sosial lainnya.

Demi terwujudanya cita-cita kehidupan berdemokrasi di atas, maka setiap warga


sebagaimana tercermin dalam berbagai kompomnen yang dapat menopang terealisirnya
kehidupan demokratis dimaksud, diantaranya pemahaman tentang hak dan tanggungjawab dalam
sebuah keluarga maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Demikian pula, betapa
pentingnya setiap anggota keluarga maupun anggota masyarakat mendapatkan sekaligus
memberikan berbagai bentuk diukungan maupun perlindungan terutama yang bersifat moril –
demi terwujudnya akselerasi kehidupan sosial yang demokratis dan berkeadapan.

Selain itu,upaya penanaman nilai-nilai akhlak mulia bagi segenap anggota keluarga dan
masyarakat juga tidak kalah pentingnya, karena hal ini menyangkut tentang munculnya wawasan
moral sebagai salah satu tiang penyangga kehidupan negara yang demokratis di masa depan.

Hak dan Tanggungjawab dalam Keluarga

Dalam kehidupan berkeluarga segenap elemen yang ada dalam keluarga tersebut
memiliki hak dan tanggungjawab yang sama walaupun dalam bentuk yang berbeda. Secara
umum, dalam sebuah keluarga tentunya terdiri dari bapak/sumi, ibu/isteri, anak serta anggota
keluarga lainnya termasuk para pembantu rumah tangga.

Secara normatif, setiap keluarga diharapkan dapat mewujudkan suasana ekeluargaan


yang penuh dengan nuansa sakinah (Q.S. Ar-Rum/30:21) yang setidaknya ditopang oleh tiga

72
prinsip lainnya yakni konsep mahabbah (kecintaan yang lebih bersifat biologis-maternal dan
lahiriah). Selanjutnya konsep mawaddah (rasa cinta kasih yang bersifat batiniah yang melampaui
batas-batas kecintaan yang bersifat biologisa-materialistik). Terakhir adalah konsep rahmah
berupa respon kecintaan ilahi terhadap keluarga yang dikasihiNya yakni keluarga yang dapat
memadukan jalinan cinta kasih balik yang bernuansa mahabbah maupun mawaddah.

Secara irfani (spiritualistik), suasana lingkungan keluarga yang demikian tercermin


keadaan keluarga yang antar satu dengan komponen keluarga lainnya benar-benar memiliki
jaringan spiritualitas yang tinggi yakni adanya suasana kebatinan yang sinergis antara
bapak/suami, ibu/isteri, anak serta anggota keluarga lainnya (termasuk pembantu, misalnya).

Dengan demikian secara burhani, setiap keluarga haruslah dapat saling memenuhi
tuntutan normativitas irfaniah di atas sesuai dengan kontekstualitas zaman yang mengitari sebuah
keluarga tersebut. Aktualitas nilai-nilai demokrasi di tengah pergaulan keluarga kontemporer
dewasa ini baisa diwujudkan, misalnya, melalui prinsip penegakan rule of law yang disepakati
bersama. Sebagai contoh, sebuah keluarga bisa saling mematuhi jadwal jam belajar keluarga, jam
menonton tayangan tv maupun pola pengaturan waktu “sistem pekerjaan kerumahtanggaan”
khususnya pada hari minggu atau hari libur. Demikian pula tentang sosialisasi kesepakatan
dalam mengisi hari libur maupun aktivitas keluarga lainnya.

Selain penegakan rule of law, maka nilai musyawarah juga bisa sejak dini dieujudkan
dalam sebuah keluarga. Sebagai contoh ideal, kita bisa belajar dari model keluarga nabi Ibrahim
as. yakni ketika Ibrahim mendapat perintah – melalui mimpi – dari Allah SWT untuk
menyembelih anaknya (Ismail as). Pelajaran demokrasi yang cukup menarik dapat kita ambil
dari kisah Ibrahim itu adalah betapa nabi Ibrahim tidak serta merta melaksanakan perintah,
sekalipun itu berupa perintah metafisis dari Allah SWT. Terlebih dahulu nabi Ibrahim berdialog
dari hati ke hati kepada anaknya Ismail as. Perintah Allah SWT mesti didialogkan terlebih dahulu
sebelum dilaksanakan, apalagi sekedar perintah dari manusia bisaa, mestinya harus lebih
didialogkan secara lebih seksama secara terbuka, khususnya sesama antara keluarga.

Dengan demikian, masing-masing anggota keluarga memiliki hak dan tanggungjawab


yang sama. Bapak/suami sebagai kepala keluarga mempunyai hak untuk ditaati selama tidak
bertentangan dengan ketaatannya kepada Allah SWT – sekaligus pula bapak/suami memiliki

73
tanggungjawab yang setimpal untuk melindungi / mendampingi dan menafkahi segenap anggota
keluarga. Demikian pula para ibu/isteri memiliki hak untuk dilindungi/didampingi dan dinafkahi
oleh bapak/suami tetapi juga sekaligus memiliki tanggungjawab untuk menjaga keutuhan
rumahtangga terutama pada saat suami tidak ada di rumah (khususnya bagi wanita yang tidak
tergolong pada wanita karir). Selain itu, isteri – termasuk bapak/suami – juga memiliki
tanggungjawab yang sama dalam mendidik anak sekaligus melindungi dan menyayangi anggota
keluarga lainnya. Dengan adanya prinsip raule of law, masing-masing pihak bisa mendapatkan
dan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing secara lebih adil, transparan dan
berkeadaban. Bila masing-masing anggota keluarga dapat memenuhi hak dan tanggungjawab
masing-masing, maka akan berimplikasi positif bagi upaya pengembangan nilai-nilai di atas ke
tengah-tengah kehidupan masyarakat luas.

Hak dan Tanggungjawab dalam Masyarakat

Setiap anggota masyarakat wajib menyadari bahwa demokrasi mensyaratkan adanya


pemerintaan mandiri yang bertanggung-jawab dari tiap individu. Karakter privat seperti
tanggungjawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat, manusia dari
setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai
warganegara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan
untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan
agar domokrasi berjalan sukses.

Dalam buku Belajar Civic Education dari Amerika (1999; 23-25) dikemukakan beberapa
karakter publik dan privat tersebut sebagai berikut:

1. Menjadi anggota masyarakat yang independent. Karakter ini meliputi kesadaran secara
pribadi untuk bertanggungjawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau
pengawasan dari luar, menerima tanggung-jawab akan konsekuensi dari tindakan yang
diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota masyarakat
demokratis.

74
2. Memenuhi tanggung-jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik.
Tanggung-jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan merawat
keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk apula mengikuti informasi tentang isu-
isu publik, voting, mebayar pajak, menjadi juru di pengadilan, kegiatan pelayanan
masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
3. Menghormati harkat dan martabat manusia tiap individu. Menghormati orang lain
berarti mendengarkan pendapat mereka, bersifat sopan, menghargai hak-hak dan
kepentingan-kepentingan sesama warganegara, dan mengikuti aturan “prinsip mayoritas”
namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk berpendapat.
4. Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana.
Karakter ini merupakan sadar informasi sebelum menentukan pilihan (voting) atau
berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang santun dan serius, serta
memegang kendali dalam kepemimpinan bila diperlukan. Juga membuat evaluasi tentang
kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warganegara harus dikesampingkan
demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena
kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan mengolah tuntutan-tuntutan
kewarganegaraan tertentu.
5. Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini
meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan
penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional, memonitor keputusan
para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip
tadi serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangannya. Karakter
ini mengarahkan warga negara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal dalam
rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak bijaksana.

Untuk dapat terwujudnya berbagai pemikiran di atas, maka sangat diperlukan adanya
berbagai bentuk dukungan maupun perlindungan dari dan oleh anggota keluarga maupun
masyarakat terhadap sesama. Maka berikut ini penting pula dicermati demi lebih terwujudnya
nilai-nilai demokrasi di tengah kehidupan umat dan bangsa.

75
Bentuk-bentuk Dukungan dan Perlindungan dalam Keluarga

Masalah demokrasi yang tidak kalah pentingnya di tengah-tengah kehidupan keluarga


dalah masalah dukungan dan perlindungan dari dan terhadap komponen keluarga itu sendiri. Di
tengah suasana transisi demokrasi di Indonesia dewasa ini, masalah dukungan dan perlindungan
terhadap komunitas keluarga memang dapat menjadi ancaman yang cukup serius. Terkait dengan
hal ini pula menjadi bahan renungan kita bersama, apakah suasana otoriterianisme keluarga, atau
sebaliknya, otoriterianisme keluarga yang merupakan implikasi dari kekerasan yang dilakukan
oleh negara?

Terlepas dari pertanyaan di atas, secara alamiah, era transisi di mana pun cenderung
menimbulkan ketegangan di masyarakat termasuk keluarga. Era transisi baisanya mendorong
suatu masyarakat dan keluarga untuk mulai meninggalkan pola-pola kehidupan yang lama,
sementara pegangan pola kehidupan yang baru, biasanya, belum terwujud secara konkrit.
Suasana yang demikian selalu menimbulkan ketegangan psikologi dan spiritual yang sudah
barang tentu berimplikasi pada wilayah kehidupan keluarga lainnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, setiap keluarga hendaknya dapat berupaya menciptakan
suasana kehidupan internal keluarga yang penuh dengan kenyamanan eksistensial maupun
eksperimental. Setiap anggota keluarga dapat terus didorong untuk saling belajar dengan resiko
trial and error. Karena untuk mendapatkan sebuah pengalaman berkeluarga secara baru di era
transisi ini tidak bisa lepas dari proses trial and error dimaksud. Keinginan sebuah keluarga
untuk menjadi keluarga sejati tidaklah dapat diwujudkan dalam bentuk sekali jadi. Bagaimana
pun juga sangat membutuhkan berbagai pengayaan pengalaman dan proses waktu yang relatif
lama. Bentuk-bentuk dukungan moral dan psikologis – terutama dari bapak/suami sebagai kepala
keluarga – amatlah dibutuhkan. Berbagai bentuk pencederaan baik psikologis,verbalistik maupun
fisik sedapat mungkin dihindari. Dalam proses belajar berdemokrasi dengan konsep trial and
error menjadi dimungkinkan adanya peluang untuk “belajar salah” dalam rangka menuju
pencapaian terwujudnya keluarga demokratis secara lebih bermakna. Bukanlah pengalaman
merupakan guru yang paling berharga. Setiap anggota keluarga harus dididik untuk dapat saling
belajar berdemokrasi.

76
Bentuk-bentuk Dukungan dan Perlindungan dalam Masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat setiap warga saling menerima dan memberikan


dukungan maupun perlindungan antar sesama. Secara normatif, Allah SWT menyatakan agar
setiap komunitas sosial untuk saling tolong-menolong dalam masalah kebajikan dan ketaqwaan,
sebaliknya dilarang untuk saling berpartisipasi dalam soal dosa dan permusuhan (wata’aawanu
‘alal birri wattaqwa, wa laa ta’aawanu ‘alal itsmi wa ‘udwan). Doktrin normatif di atas
mengandaikan pada kita maupun aspek perlindungan sosial lainnya haruslah berada pada
landasan etika kebajikan dan ketaqwaan. Di luar itu tidak dibenarkan adanya bentuk-bentuk
dukungan maupun perlindungan baik secara moral, politik, ekonomi maupun aspek sosial
lainnya.

Secara irfani dan filosofi maupun burhani (empiris) setiap upaya dukungan maupun
perlindungan moral atau material yang bersifat negatif-destruktif (‘alal itsmi wal ‘udwan) pada
hakikatnya memiliki implikasi yang negatif pula pada kehidupan sosial kemasyarakatan.
Mungkin secara lahiriah dan jangka pendek bentuk-bentuk dukungan dan perlindungan destruktif
dimaksud memiliki “keuntungan” praktis, namun bila ditelusuri secara lebih mendalam dan
dalam perspektif jangka panjang justeru akan berdampak negatif pada kehidupan sosial
keseluruhan.

Sebagai contoh, bila upaya lokalisasi perjudian diberi dukungan bahkan legitimasi secara
hukum dan perundang-undangan, secara jangka pendek dan berdasarkan pertimbangan pragmatis
mungkin “menguntungkan”. Namun tidakan lokalisasi dimaksud pada hakikatnya hanya
menguntungkan segelintir orang namun berdampak negatif bagi mayoritas warga lainnya. Dan
secara filosofis maupun irfani (spiritual), “keuntungan” dari suatu pekerjaan yang haram maka
akibat jangka panjangnya juga akan merugikan, tidak hanya kerugian politik, sosial, budaya dan
moral, tetapi juga ekonomis. Sekali lagi, setiap bentuk dukungan dan perlindungan yang sifatnya
parsial dan negatif, pastilah akan menghasilkan sesuatu yang negatif pula. Maka demi
terwujudnya kehidupan sosial yang demokratis dan bermoral maka setiap anggota masyarakat
memiliki kewajiban moral dan politik untuk memberi ruang yang seluas-luasnya bagi setiap
upaya yang positif dan konstruktif serta berdimensi jangka panjang, sebaliknya setiap warga
haruslah dilindungi dari setiap upaya yang negatif-destruktif walaupun secara jangka pendek
kelihatannya upaya negatif tersebut “menguntungkan”.

77
Demi terjaminnya perlindungan sosial bagi setiap anggota masyarakat maka tugas para
pemimpin – formal (legislatif, eksekutif, maupun yudikatif) dan informal (para cendekiawan,
ulama, tokoh adat/masyarakat, tokoh pers) – untuk selalu menjaga dan mengantisipasi berbagai
kecenderungan negatif yang akan muncul di masyarakat. Setiap segmen kepemimpinan di atas
memiliki kewajiban moral untuk melakukan empowering society sekaligus upaya pembebasan
dari berbagai pengaruh yang dapat merusak akhlaq bangsa, sesuai dengan kapasitas dan
fungsinya masing-masing, yakni dengan cara memberikan pelayanan yang terbaik bagi segenap
anggota masyarakat, baik bersifat santunan moral, ilmu, sosial maupun santunan di bidang
pemenuhan kebutuhan fisik-material lainnya terutama di saat bangsa dilanda berbagai bentuk
krisis sekarang ini. Demi terpenuhinya berbagai bentuk dukungan dan perlindungan dimaksud
maka uapaya pengembangan nilai-nilai akhlaq dalam keluarga dan masyarakat menjadi sangat
signifikan.

Pengembangan Nilai-nilai Akhlaq dalam Keluarga

Di dalam buku Pedoman Hidup Islam Warga Muhammadiyah (2001: 16-18) dinyatakan
bahwa keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi
nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan karenanya menjadi kewajiban bagi setiap warga
muslim untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sejahtera (sakinah, mawaddah wa rahmah).

Setiap keluarga muslim disamping memiliki kewajiban untuk mensosialisasikan nilai-


nilai Islami, keluarga mualim juga berfungsi sebagai media kaderisasi kepemimpinan umat dan
bangsa. Keluarga-keluarga muslim dituntut keteladanan (uswah hasanah) dalam mempraktekkan
kehidupan Islami yakni tertanamnya kabaikan (ihsani) dan bergaul dengan ma’ruf (Q.S. An-
Nisa’/4: 19,36,128) saling menyayangi dan mengasihi (Q.S. Ar-rum/30:21) menghormati hak
hidup anak (Q.S. Al-an’am/6:151) saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga,
memberikan pendidikan akhlaq yang mulia secara paripurna (Q.s. Al-Ahzab/33:59), menjauhkan
segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka (Q.S. T-Tahrim/66:6), membiasakan
bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan (Q.S. Al-Thalaq/65:6), berbuat adil dan ihsan (Q.S.
AL-Maidah/5:8), memelihara persamaan hak kewajiban (Q.S. Al-Baqarah/2:28), dan menyantuni
anggota keluarga yang tidak mampu (Q.S. Al-Isra’/17:26).

78
Selanjutnya, di tengah arus media elektronik dan media cetak yang terbuka, keluarga-
keluarga muslim kian dituntut perhatian dan kesungguhan dalam mendidik anak-anak dan
menciptakan suasana yang harmonis agar terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif dan
terciptanya suasana pendidikan keluarga yang positi sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Keluarga mislim yang demokratis juga dituntut keteladanannya untuk menunjukkan


penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap anak-anak dan perempuan, para pembantu
rumah tangga serta menjauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan maupun menelantarkan
kehidupan terhadap anggota keluarga. Keluarga muslim juga perlu memiliki kepedulian sosial
dan membangun hubungan sosial yang ihsan, ishlah, dan ma’ruf dengan tetangga sekitar maupun
dalam kehidupan sosial yang lebih luas di masyarakat sehingga tercipta qaryah thayyibah dalam
masyarakat setempat. Pelaksanaan shalat dalam kehidupan keluarga harus menjadi prioritas
utama, dan kepala keluarga jika perlu memberikan sanksi yang bersifat mendidik. Apabila
kesemua ajaran di atas dapat dikembangkan secara edukatif dan apresiatif di tengah-tengah
keluarga, secara jangka panjang akan terwujud keluarga-keluarga umat dan bangsa yang
demokratis dan berakhlaq mulia dan tentunya akan memberikan kontribusi positif bagi masa
depan demokratis di tanah air.

Pengembangan Nilai-nilai Akhlaq dalam Masyarakat

Mengenai upaya pengembangan nilai akhlaq, dalam Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah (2001: 18-19) disebutkan bahwa Islam mengajarkan agar setiap muslim
menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota
masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama
muslim maupun dengan non muslim, dalam hubungan ketetanggaan bahkan Islam memberikan
perhatian sampai ke area 40 rumah yang dikategorikan sebagai tetangga yang harus dipelihara
hak-haknya.

Pada level yang lebih luas, setiap anggota keluarga maupun warga masyarakat haruslah
menunjukkan sikap-sikap sosial yang didasarkan atas prinsip menjunjung tinggi nilai kehormatan
manusia (Q.S. Al-Isra’/17:70), memupuk rasa persaudaraan dan rasa kesatuan kemanusiaan (Q.S.

79
Al-Hujarat/49:13), mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat shejahtera lahir
danbatin (Q.S. Al-Maidah/5:2), memupuk jiwa toleransi (Q.S. Fushilat/41:34), menghormati
kebebasab orang lain (Q.S. Al-Baqarah/2:256), menegakkan budi baik (Q.S. Al-Qalam/68:4),
menegakkan amanat dan keadilan (Q.S. An-Nisa//4:57-58), perlakuan yang sama (Q.S. Al-
Baqarah/2:194), menepati janji (Q.S. Al-Isra’/17:34), menanamkan kasih sayang dan mencegah
kerusakan (Q.S. Al-Hasyr/59:9), menjadikan masyarakat menjadi masyarakat yang shalih dan
utama (Q.S. Ali Imran/3:114), bertanggungjawab atas baik dan buruknya masyarakat dengan
melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar (Q.S. Ali Imran/3:104, 110), berusaha untuk menyati
dan berguna / bermanfaat bagi masyarakat (Q.S. Al-Maidah/5:2), memakmurkan masjid,
menghormati dan mengasihi antara yang tua dan yang muda, tidak merendahkan sesama (Q.S.
Al-Hujarat/49:11), tidak berprasangka buruk terhadap sesama (Q.S. An-Nur/24:4), peduli kepada
orang miskin dan yatim (Q.S. Al-Baqarah/2:220), tidak mengambil hak orang lain (Q.S. Al-
Maidah /5:148), dan hubungan-hubungan sosial lainnya yang bersifat Islami.

Nilai-nilai demokrasi di atas, secara berhani, haruslah diimplementasikan secara inklusif,


tidak eksklusif (berdasarkan pada fanatisme keagamaan atau golongan yang sektarian). Adapun
bentuk kontritnya dapat saja disesuaikan dengan pola hidup, adat istiadat masing-masing
komunitas masyarakat, sepanjang tidak mereduksi nilai-nilai demokrasi yang sifatnya universal.
Secara substantif, nilai-nilai kebaikan di atas berlaku untuk semua orang, lintas, suku, status
sosial bahkan lintas agama. Adapun yang terkait dengan masalah-masalah ritual keagamaan
sudahbarang tentu lebih diimplementasikan secara eksklusif oleh masing-masing kelompok
keagamaan dengan sikap saling menghormati kepercayaan masing-masing pemeluknya.
Sedangkan dalam wilayah social interaksi antar umat berbeda agama bisa diwujudkan secara
lebih terbuka dan universal. Demikianlah uraian ini dikemukakan semoga menjadi semacam
guide line bagi para pecinta dan pejuang demokrasi di negeri ini.

4. Politik Islam di Indonesia:

Ideologisasi, Substansiasi, Objektivitikasi dan


Transformasi

80
Dalam mencermati peta politik peta pemikiran politik Islam di Indonesia sejak awal
kemerdekaan sampai sekarang ini telah banyak hal yang menjadi bahan kajian menarik dari
berbagai lontaran isu politik yang ada,baik isu-isu politik yang bermuara pada aspek state atau
institusi politik di luar state, maupun aspek political behaviour sebagaimana yang dianut para
pelaku politik maupun institusi-institusi politik yang ada berkaitan dengan Islam sebagai acuan
paradigma politik. Sebagai contoh, apakah istilah atau konsep Negara memang ada di dalam
kitab suci al-Quran, bila memang ada, bagaimakah bentuk ideal Negara Islam tersebut, dan bila
tidak ditemukan, layakkah klaim universalitas Islam yang mencakup berbagai aspek kehidupan
termasuk politik-malah tidak memiliki konsep sama sekali tentang apa yang disebut sengan
Negara Islam?Ataukah, ajaran Islam malah berada dalam konteks hubungan antara keduanya-
antara yang menerima konsep Negara Islam maupun yang menolaknya? (Muhammad Azhar,
1996;14-15).

Demikian pula halnya tentang perilaku politik (political behaviour), muncul persoalan,
antara lain sebagai berikut; dapatkah nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat universal dan
kosmopolit yang diorientasikan kepada pemahaman politik Islam yang lebih politis-ideologis
(idiologisasi Islam). Apakah tidak lebih baik bila pemikiran politik Islam lebih dititikberatkan
pada aspek subtansiasi atau subtantivikasi nilai-nilai etik keislaman ke dalam berbagai kehidupan
sosial secara lebih inklusif, tanpa mengedankan label keislaman itu sendiri? Lebih lanjut,
cukupkah sosialisasi nilai-nilai politik Islam ditekankan pada internalisasi nilai-nilai etik
keislaman, tanpa dibarengi dengan upaya-upaya eksternalisasi ajaran sebagaimana tercermin
dalam proyek objektivikasinya Kontowijoyo, dengan demikian umat Islam akan lebih memiliki
acuan teoritik-konseptual sekaligus lebih menegaskan hadirnya indentitas politik umat secara
lebih transparan, walaupun diletakkan dalam dataran yang lebih obyektif-rasional, sehingga
dapat dimilikisemua orang termasuk non-muslim. Bukankah berbagai tipologi pemikiran politik
Indonesia di atas: ideologisasi, substansiasi dan objektivikasi, masih berada pada dataran
filosofis-intelektual dan cenderung elitis, namun belum menyerah kepada akar persoalan yang
secara keseharian digeluti oleh mayoritas umat di negeri ini? Tidakkah mayoritas umat lebih
mendambakan munculnya paradigma pemikiran plus aksi politik Islam yang lebih transformatif?

81
Dalam tulisan ini akan dicoba untuk menguak lebih jauh berbagai potensi, aktualisasi
serta kelebihan dan kekurangan masing-masing paradigma pemikiran politik Islam yang ada, dan
di akhir tulisan akan dicoba direkomendasikan beberapa lontaran gagasan alternatif demi untuk
pencerahan dan pemberdayaan umat.

Dalam tulisan ini akan sedikit disinggung implikasi pemikiran yang ada bila dikaitkan
dengan topik-topik aktual semacam; regenerasi kepemimpinan nasional, pemberantasan korupsi
dan kolusi, fenomena konglomerasi dan monopoli, serta kerukunan antar umat beragama,
maupun upaya pemberdayaan potensi kepemimpinan kaum perempuan.

Proyek Ideologisasi Islam

Kelompok pemikiran politik ini lebih bersifat normatif-teologis dalam mencermati


fenomena sosial umat, dimana mereka lebih mengdepankan nilai-nilai keislaman yang bernuansa
jihad dengan sedikit mereduksi potensi intelektulitas umat (ijtihad) dalam mensosialisasikan
ajaran agama di tengah-tengah masyarakat. Untuk kasus politik di Indonesia, tipe ideologisasi
Islam ini memang dikondisikan oleh realitas umat yang masih bercirikan sebagai komunitas yang
sedikit eksklusif, terutama ketika komunitas umat harus berhadapan dan diperhadapkan dengan
komunitas sekuler atau kelompok nasionalis.

Pasca era mitos, dalam bahasa Kontowijoyo, umat Islam Indonesia mulai memasuki era
idiologi, khususnya pasca kemerdekaan bangsa. Masa transisi dan kevakuman kepemimpinan
politik nasional di tanah air pada awal kemerdekaan, membuat segenap potensi bangsa -
termasuk umat Islam – saling berebutan untuk meraih obor kepemimpinan politik, sesuai visinya
masing-masing Dalam keadaan seperti ini, upaya penegasan identitas politik masing-masing dari
kelompok sosial menjadi tidak terelakkan.Umat Islam pun dikarenakan adanya perasaan sebagai
suatu komunitas yang berjasa dalam mengusir penjajah, mencoba merebut peluang dari
kevakuman kepemimpinan politk dimaksud. Namun oleh sementara ahli, karena kesalahan
strategis atau pendekatan kultural yang kurang tepat, membuat kelompok ideologis Islam
menjadi marginal, dikalahkan oleh kelompok nasionalis-sekuler. Proyek ideologisasi Islam ini
bisa disebut sebagai mewakili kelompok Islam politik.

82
Substansiasi Politik Islam

Sekitar awal tahun 70-an generasi kepemimpinan umat Islam kedua - pasca kemerdekaan
- mulai menyadari kelemahan strategi politik yang dianut oleh para pendahulu mereka. Mereka
menilai bahwa ideologi Islam politik harus diganti dengan ideologi Islam kultural.Cita-cita sosial
politik Islam pada hakekatnya bisa disosialisasikan melalui instrumen paradigma politik yang
lebih subtantivistik, bukan melalui jalur idiologisasi Islam. Ternyata tawaran generasi muda
Islam ini mendapat respon positif dari para elit Orde Baru yang secara bersamaan mulai
mengedepankan paradigma program, ketimbang idiologi. Di bidang pengembangan politik
secara nasional, kelompok generasi kedua Islam ini pun mencoba menyamakan persepsi politik
Islam mereka dengan “keinginan”elit Orde Baru di bawah komando Presiden Soeharto. Maka
jargon-jargon perjuangan Islam secara kultural, dari nahi munkar ke amar ma’ruf, dari rekatif ke
pro-aktif; menjadi lebih populer ketimbang jargon-jargon perjuangan Islam yang heroik dan
militan. Berbagai peluang beramar maruf sepanjang tidak menggangu stabilitas politik Orde
Baru, semakin mendapat tempat bahkan didukung secara terbuka.

Munculnya fenomena perbankan Islam kesemarakan festival Islam, beragam serta


semakin intensnya rutinitas keislaman lainnya menunjukkan hal ini. Tetapi di sisi lain, suasana
semaraknya fenomena keberagaman tersebut tetap berjalan seiring dengan semakin
menggejalanya fenomena korupsi dan kolusi, dari tingkat elit hingga akar rumput. Hal ini
ditambah lagi semakin menganganya berbagai kesenjangan sosial-ekonomi dan hedonisnya ritus-
ritus budaya serta semakin mantapnya stabilitas mekanisme politik kenegaraan yang eksklusif
dan feodalistik. Tidak sedikit pula tokoh-tokoh substansiasi politik Islam ikut mendukung sistem
politik yang korup tersebut dan lebih terkesan sebagai abdi dalem yang manis dan loyal. Apakah
para substansialis Muslim tersebut sedang melakukan “politik antara“ sambil menunggu
hilangnya kabut politik yang sedang menyelimuti tanah air sambil melakukan berbagai upacara
”pembersihan” baik secara institusional maupun moral-politik? Sementara para elit pemegang
kunci kekuasaan justru “memanfaatkan” mereka untuk kepentingan “legitimasi” kepemimpinan
bangsa. Perlu dicatat bahwa pemikiran politik Islam substantivistik ini dilakukan melalui dua
arah strategi perjuangan politik yakni dari dalam (struggle from within).

83
Untuk jalur pertama ini dilakukan oleh tokoh seperti Munawir Sadzali (mantan Menteri
Agama RI), sedangkan yang kedua bersifat perjuangan dari luar (struggle from without) seperti
yang dilakukan oleh Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo secara individual, maupun Adi Sasono
(ICMI), Abdurrahman Wahid (NU), Amien Rais (Muhammadiyah) secara institusional.
Belakangan tiga tokoh terakhir (Adi Sasono, Gus Dur, Amien Rais) lebih maju lagi, yakni dari
politik Islam substanvistik menuju transformatif.

Objektivikasi Pemikiran Politik Islam

Pasca substansial politik Islam, muncul ”teori” baru pemikiran politik Islam di Indonesia
sebagaimana yang dipelopori oleh Kuntowijoyo. Bila substansiasi Islam lebih bersifat
perjuangan kultural yang lebih mengedapankan pikiran-pikiran kritis keagamaan secara etik
substansial, maka objektivikasi Islam lebih bersifat teoritik konseptual. Sebagaimana
dikemukakan dalam buku yang ditulis Kuntowijoyo, ia menjelaskan hakikat dari
objektivikasinya tersebut, dimana objektivikasi (objectivication) berbeda dengan objektivasi,
yang mengandung pengertian menganggap atau memperlakukan sesuatu atau seseorang sebagai
benda. Sedangkan objektivikasi lebih mengandung makna penerjemahan nilai-nilai internal ke
dalam katagori-katagori objektif. Objektivikasi juga merupakan konkretisasi dari keyakinan
internal suatu perbuatan baru dikatakan objektif, bila perbuatan baik tersebut juga dirasakan
positifnya oleh orang non muslim sekalipun yakni secara natural (sewajarnya), bukan dirasakan
secara keagamaan yang eksklusif. Dengan objektivikasi akan terhindar dari dua hal: sekularisasi
dan dominasi oleh mayoritas umat beragama (Kontowijoyo,1997: 66-68).

Menuju Politik Islam Transformatif

Secara teoritik, Kontowijoyo juga sudah melangkah dari objektivikasi menuju


transformasi. Tetapi secara lebih konkrit, Adi Sasono melalui CIDES, Gus Dur melalui NU dan
koalisi kelompok pro demokrasi, serta Amien Rais melalui “aliansi bersih” mulai menuju politik

84
Islam transformatif dimaksud. Bahkan Nurcholish Madjid juga pernah berupaya melakukan
politik Islam trnsformatif ini melalui KIPP, namun belakangan gerakan Nurcholish Madjid
tersebut agak “kandas” di tengah jalan. Pola pemikiran politik Islam transformatif ini
berkeyakinan bahwa upaya perubahan masyarakat tidak cukup hanya mengandalkan perubahan
etik substansial sebagaimana yang digandrungi oleh pola pemikiran politik Islam substansial,
tetapi lebih dari itu sangat dibutuhkan adanya upaya transformasi masyarakat secara struktural
baik dalam bidang struktur politik ekonomi maupun elemen struktur sosial lainnya, baik secara
lokal lebih-lebih dalam skala nasional. Pola pemikiran politik Islam trasformatif ini selalu
mengetengahkan idiom-idiom pemberdayaan umat, penataan kembali mekanisme dan sistem
politik serta ekonomi yang lebih egaliter dan kondusif bagi tumbuhnya kesadaran dan partisipasi
masyarakat, peningkatan kualitas SDM dan partisipasi kaum perempuan, pemberdayaan kaum
tani dan buruh, penyelamatan berbagai asset Negara berupa kekayaan sumber daya alam,
keluarga sebagai sebuah institusi politik seperti yang diinginkan oleh Hibbah Rauf Izzat.

Sebagai representasi dari gerakan politik Islam transformatif ini bisa kita lihat dari kiprah
para tokohnya antar lain – misalnya - Adi Sasono yang dulunya lebih memilih berjuang dari luar
pagar kekuasaan (struggle from without), akhirnya mulai mencari arena baru perjuangan politik
transformatif dari dalam - walaupun belum sepenuhnya masuk dalam struktur kekuasaan - yakni
melalui wadah ICMI. Melalui salahsatu badan intern ICMI (CIDES), Adi Sasono lebih
berpeluang untuk mengimplementasikan gagasan-gagasan transformatifnya lewat studi-studi
pembangunan yang bernuansa kerakyatan, sekaligus melakukan aksi-aksi sosial yang kreatif dan
solutif. Penerbitan media pembangunan masyarakat semacam AFKAR, SINTESIS dan FOKUS
merupakan bagian dari karya Adi Sasono disamping tokoh CIDES lainnya. Demikian pula
program pembinaan kaum dluafa, dompet dluafa, renovasi pasar yang berorientasi pada kaum
ekonomi lemah maupun proyek pembangunan lainnya, ternyata lebih memudahkan Adi Sasono
dalam mengembangkan misalnya ketimbang hanya berjuang melalui LSM.

Adapun Abdurrahman Wahid, walaupun sering mendapat “goyangan” politik baik dari
kalangan internal maupun eksternal NU, dia tetap konsisten dengan humanisme keislamannya
yakni upaya peningkatan martabat dan harkat kemanusiaan secara universal.tanpa memandang
background kultural maupun agama dari setiap orang yang dibimbingnya. Konsistensinya
terhadap pembelaan kaum lemah membuat ia tidak bersikap canggung untuk akrab dengan

85
berbagai lapisan sosial bangsa dalam berbagai ragam kultur yang ada. Walaupun untuk itu
semua, sesekali - bahkan seringkali - ia harus berhadapan dengan kekuasaan yang refresif dan
otoriter. Dalam kiprah politiknya ia lebih memilih “muslim kaki lima” ketimbang harus
bergabung dengan wadah ICMI, tempat berkumpulnya para cendikiawan muslim yang dinilainya
sebagai kelompok muslim sektarian dan elitis. Gagasan trasformatif Gus Dur lebih terlihat
bersifat pragmatis dan fragmentaris, karena sebagai aktivis gerakan Islam dia menghadapi logika
politik situasinal secara langsung, sehingga pikiran-pikiran politiknya tidak tersusun secara
sistematis (Bandingkan, Shamsul Amri Baharuddin,1997-99).

Tokoh lainnya, Amien Rais, pada dekade terakhir melontarkan pentingnya wacana
Tauhid Sosial sebagaimana yang dilontarkan pada Muktamar Muhammadiyah ke – 43, Juli 1995,
di Banda Aceh. Pada intinya, Tauhid sosial yang dicetuskan tersebut mengandung aspek keesaan
Allah (unity of Godhead), kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan, (unity
of mankind), kesatuan pedoman hidup berdasar agama wahyu (unity of guidance), dan terakhir
tentang kesatuan akan tujuan hidup (unity of the purpose of life) (Buku panduan Seminar LP3M
UMY, 22-23 Nopemberv 1955). Amien Rais sejak beberapa tahun terakhir banyak melakukan
lontaran kritik yang cukup pedas khususnya bagi para elite Orde Baru yang sedang memegang
tampuk kekuasaan. Di antara lontaran gagasan transformatif Amien Rais antara lain: perlu
suksesi kepemimpinan nasional tahun 1998, persoalan Freeport dalam kasus Busang, pentingnya
agena peningkatan kualitas SDM, upaya mengatasi kesenjangan sosial, penyelamatan asset
Negara untuk diwariskan kepada anak cucu di kemudian hari, hingga perlunya tobat nasional dan
dialog nasional tentang masalah-masalah bangsa. Menarik juga diamati, Amien Rais yang selama
ini lebih dikenal secara eksklusif sebagai pimpinan umat khususnya di kalangan intern
Muhamadiyah, belakangan ini telah keluar orbit Muhammadiyah/komunitas muslim dan tampil
menjadi ‘negarawan pemula’ dengan kesiapannya untuk dicalonkan sebagai Presiden sekaligus
menyiapkan beberapa agenda kerja nasional serta menggalang kerjasama yakni melakukan
aliansi atau koalisi bersih dengan berbagai pihak, baik dari kalangan sipil, militer ataupun
segmen sosial lainnya, bahkan beliau bersedia menuangkan gagasan transformatifnya di harian
.Kompas yang selama ini sulit untuk ia lakukan

Menurut penulis, ada tiga hal yang menyebabkan munculnya pola pemikiran politik Islam
transformatif tersebut: pertama, semakin jelasnya kesenjangan yang terjadi di kalangan

86
nasyarakat, baik yang bersifat politis - antara yang berkuasa dengan yang dikuasai - ekonomis
(antara yang kaya dengan fakir miskin ), sosial: yang memiliki status yang tinggi dengan yang
tidak memiliki status sama sekali atau tertindas. Kedua, juga disebabkan munculnya fenomena
semakin represifnya kekuasaan yang ada di berbagai segmen sosial, baik yang dilakukan oleh
pihak penguasa maupun elite sosial lainnya. Ketiga, kurangnya ’kemampuan’ para ulama dan
kebanyakan tokoh Islam menerjemahkan ajaran Islam dalam konteks kehidupan sosial yang
bersifat membebaskan umat dari berbagai keterbelakangan, baik di bidang politik, ekonomi,
iptek, maupun sosial budaya.

Bila berbagai pemikiran politik Islam di atas dikaitkan dengan frame pemikiran politik
Islam secara lebih global, maka pola ideologisasi Islam (formalisme Islam) dapat diasosiasikan
kepada pola pemikiran politik Islam sebagaimana yang dicetuskan oleh Hasan al-Banna, Sayyid
Quthb, Muhammad Rasyid Ridla maupun Abul Ala al-Maududi. Sedangkan pola substansiasi
politik Islam lebih mengacu pada pola pemikiran Muhammad Husein Haikal, dan dalam
beberapa hal bisa juga dikaitkan dengan pemikiran Ali Abdul al-Raziq maupun Thaha Husein
(bandingkan, Munawar Sadzali, 1993: 1-3), khusus untuk mencarikan rujukannya. Bisa jadi pola
yang ditawarkan Kuntowijoyo termasuk sedikit unik dan original, dimana ia dapat
mensintesiskan antara paradigm Islam maupun pendekatan ilmu sosial Barat secara genuine.

Adapun pola pemikiran transformasi Islam bisa dikaitkan dengan pola pemikiran politik
Islam kontemporer sebagaimana yang diusulkan oleh Asghar Ali Engineer dan Hasan Hanafi.
Menurut Asghar, secara teologis, politik Islam haruslah berupaya membebaskan manusia dari
sistem penindasan dan perbudakan, baik di bidang ekonomi, politik sosial budaya dan
sebagainya. Menurut Asghar, kelompok penindas disebut dengan istilah mustakbirin yang dalam
bahasa al-Qur’an disebut kafir sejati, sementara kelompok yang tertindas disebut mustad’afin
sebagai mukmin sejati. Bagi Asghar, ‘orang kafir yang sesungguhnya adalah orang yang arogan
dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak
menegakkan yang ma’ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar (Asghar Al Engineer,1993).

Adapun Hasan Hanafi melalui kiri Islam (al-yasar al-Islami) juga bertujuan untuk
merekontruksi pemikiran politik Islam ke arah yang dapat membebaskan kaum muslimin dari
segala bentuk penindasan. Kiri Islam-nya Hasan Hanafi juga melakukan evaluasi kritis terhadap
berbagai tradisi Islam dan peradaban Barat. Menurut Hasan Hanafi, Kiri Islam ini memang

87
diperuntukan bagi kelompok yang dikuasai dan diharapkan akan menciptakan persamaan dengan
merebut hak-hak mereka dari kelompok yang berkuasa. Kiri di sini juga berarti perlawanan dan
.kritisisme terhadap segala bentuk kemapanan yang menindas massa (Islamika No. 1,1993: 3)

Beberapa Agenda ke Depan

Untuk mengakhiri topik ini beberapa hal dapat dikemukakan:

1. Perjalanan pemikiran politik Islam di Indonesia pada hakekatnya sangat tergantung pada aspek
situasional serta momentum historis yang menguasainya.Walaupun terdapat pluralisme
pemikiran, namun tetap bermuara pada keinginan untuk mewujudkan konsep Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin.

2. Untuk menindaklanjuti berbagai tawaran pemikiran politik yang ada, sudah saatnya para
cendekiawan politik Islam melakukan kajian analisis-historis dan solutif, agar dinamika
pemikiran dimaksud dapat dipadukan secara lebih strategis-antisipatif, tidak hanya dibiarkan
bersifat fragmentaris dan temporal. Dengan demikian, harapan dan “angan-angan sosial”
(meminjam istilah Muhammad Arkoun) untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan umat tidak
hanya berada pada dataran logik-metafisik tetapi bisa lebih menukik dan membumi secara logik-
empirik di masa-masa mendatang.

3. Beberapa pusat kajian keislaman ada di tanah air bisa diidentifikasi secara lebih rinci agar para
pemikir Islam memiliki database tentang potensi politik umat yang bisa diandalkan untuk
dijadikan bargaining position terhadap pusat-pusat kekuasaan. Dalam kaitan ini, pusat-pusat
studi Islam bisa mengambil peran tersendiri dalam kajian-kajian keagamaan yang berkaitan erat
dengan studi-studi peradaban.

4. Perlu jaringan atau aliansi dan koalisi bersih antar berbagai pusat kajian Islam serta berbagai
potensi kekuatan umat maupun bangsa dalam upaya membangun Negara Indonesia modern dan
demokratis di masa depan. Untuk itu, dialog antar generasi dan potensi umat dan bangsa bisa
ditumbuhkembangkan sekaligus ditindaklanjuti pada dataran praktis-empiris.

88
5. Upaya edukasi yang bersifat formal maupun informal tetap penting untuk dilakukan; upaya
rekontruksi epistemologi keilmuan juga aplikasinya dalam berbagai lembaga pendidikan maupun
pelatihan, mendesak untuk segera diwujudkan kegiatan-kegiatan reflektif harus diteruskan pada
dataran aksi yang lebih transformatif.

6. Perlunya upaya penggalangan potensi ekonomi umat melalui pemberdayaan SDM dan
peningkatan kualitas manajemen masjid untuk mengantisipasi perkembangan kekuatan politik
dan ekonomi umat.

7. Secara lebih konkret berbagai pusat kajian Islam dapat melakukan riset aksi berupa pendataan
kembali aset umat dan bangsa yang secara kondusif dapat mewujudkan poin-poin di atas.
Berbagai upaya identifikasi problema umat dan bangsa, penerbitan jurnal dan buku ilmiah, serta
membangun jaringan informasi melalui multimedia, mendesak untuk diwujudkan dalam rangka
mengejar berbagai ketertinggalan yang ada selama ini. Dengan menggunakan secara multi
media, berbagai wadah Islam akan lebih cepat dan responsif mengantisipasi perubahan yang ada,
secara sistematis, logis, etis dan estetis.

5. Telaah tentang Fundamentalisme Islam

89
Istilah fundamentalisme, sebenarnya tidak pernah dikenal di dalam Islam. Istilah tersebut
lebih banyak terkait dengan sejarah gereja di dunia Barat, khususnya lagi di Amerika dan Kanada
sebagai reaksi terhadap adanya gerakan reformisme dan liberalisme. Media massa Barat lebih
banyak berperan di dalam mengaitkan istilah tersebut dengan perkembangan di dunia Islam
terutama sesudah terjadinya Revolusi Islam di Iran. Istilah Ususiah merupakan terjemahan
fundamentalisme ke dalam bahasa Arab yang kemudian banyak pula digunakan oleh media
massa di kawasan itu. Bagi dunia Barat, istilah fundamentalism dikaitkan dengan sikap
ekstremisme bahkan terorisme.80

Di kalangan kaum fundamentalis Islam, Koran dwi mingguan terbitan Toronto Crescent
International boleh dikatakan sebagai media mereka. Dengan subjudul “Newsmagazine of the
Islamic Movement”, setiap terbit Koran ini menyajikan gejolak dunia Islam yang umumnya lolos
dari perhatian media massa yang lain.81

Menurut Jalaludin Rakhmat, ada empat pengertian tentang fundamentalisme Islam.


Pertama, fundamentalisme sebagai gerakan tajdid seperti yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah –
dianggap sebagai bapak fundamentalisme Islam pada zaman modern – Muhammad ibn Abd. Al-
Wahab, Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh. Istilah Wahabiah dan Salafiyah (corak
pemikiran Afgani dan Abduh) belakangan dikaitkan juga dengan fundamentalisme Islam.

Kedua, fundamentalisme yang dikelompokkan sebagai gerakan yang timbul sebagai


reaksi pada Modernisme. Modernisme Islam sebagai antitesa terhadap Wahabiah dan Salafiyah
(fundamentalisme lama). Benturan antara keduanya Wahabiah/Salafiyah versus Modernisme
Islam melahirkan neo-fundamentalisme (sebagai sintesis).

Neo-fundamentalisme berusaha menemukan kembali makna risalah Islamiah tanpa


penyimpangan dan distorsi historis dan tanpa dibebani tradisi selipan, bukan saja untuk
kepentingan umat Islam tetapi juga sebagai tantangan terhadap dunia pada umumnya dan Barat
pada khususnya. Menurut Nurcholish Madjid, Neo-fundamentalisme ini kurang menghargai

80
Ismail Banjar, “Arah Gerakan Fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara”, Jurnal Ilmu
Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), No, 12, hlm. 41.
81
Jalaludin Rakhmat, “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas, Jurnal Prisma, nomor Ekstra, 1984, hlm.
78.

90
warisan intelektual Islam klasik, karenanya akan mengalami pemiskinan intelektual. Alternatif-
alternatif mereka sangat terbatas, dan konsep-konsep mereka yang secara intelektual miskin itu
tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat. Beberapa
karakteristik Neo-fuindamentalisme ini yang mengesankan antara lain: kesungguhan, keikhlasan,
kesediaan berkorban, dedikasi, militan dan cenderung revolusioner.

Ketiga, fundamentalisme sebagai gerakan yang menentang Westernisasi di dunia Islam.


Keempat, fundamentalisme sebagai keyakinan kepada Islam sebagai ideologi alternatif. Mereka
kecewa dengan Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Pragmatisme dan isme-isme secular lainnya.
Dalam kaitan dengan fundamentalisme keempat ini Fazlur Rahman menyatakan sebagai “a
liberating force, freeing the mind both from centuries of tradition and from the intellectual and
spiritual domination of the west”.82

Dalam perspektif yang lebih kontemporer, ada baiknya dikutip pernyataan John L.
Esposito yang menyatakan bahwa isu fundamentalisme merupakan fenomena yang muncul di
awal abad 21 seiring dengan kebangkitan gerakan politik Islam di beberapa negeri Muslim.83

Istilah Islamic Fundamentalism merupakan istilah yang umum yang dikaitkan dengan
gerakan revivalisme Islam kontemporer, yang muncul sejak dari Afrika utara hungga Asia
tenggara lebih dari dua decade terakhir. Esposito menyebutkan munculnya tiga republik Islam
baru yakni Iran, Sudan dan Afganistan. Pada tahun 1980-an, lanjut Esposito, politik Islam yang
bersifat revolusioner ditampilkan oleh atau kelompok clandestine yang disebut “Jihad Islam”
atau “Tentara Tuhan”. Namun di sisi lain, pada era 1990-an kelompok politik Islam telah ikut
terlibat dalam proses pemilu. Dari proses pemilu ini tampil beberapa politisi Muslim baik
sebagai perdana mentri maupun sebagai mentri, jurubicara perlemen, anggota parlemen seperti
yang terlihat di Mesir, Sudan, Turki, Iran, Lebanon, Kuwait, Jordan, Pakistan, Bangladesh,
Malaysia, Indonsesia dan Israel/Palestina.84

82
Ibid, hlm. 21, 78-84: Fachry Ali,Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (BandungL Mizan, 1986),
hlm. 247-248. Terkait dengan isu fundamentalisme di sini,lihat juga Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka
1984) pada Bab XIII, juga hlm. 274-275 serta Membuka Pintu Ijtihad, hlm. 266-268; Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban(Jakarta: Paramedina, 19920, hlm. 584-586 Jurnal al-Jamiah, No,53/1993,IAIN (UIN)
Suka: Jurnal Islamika, No. 1 Juli-September 1993 (MISSI, Jakarta dan Mizan, Bandung; Jurnal Ulumul Qur’an,
No. 3 Vol.IV (Jakarta: LSAF, 1993).
83
John L. espositi, “Islamic Fundamentalism”dalam SIDIC, Vol.XXXII, No.3 1999, hlm.12.
84
Ibid, hlm. 12-13.

91
Lebih lanjut Esposito menyatakan bahwa penggunaan istilah Islamic Fundamentalis
sering disalahpahami. Menurut Esposito, konsep “Fundamentalism” bermula dan lebih
berkonotasi Kristiani dan stereotype Barat yang identik dengan kajian Bibel secara literalistik,
berorientasi ke masa lalu bersifat primitive serta cenderung anti-empiricism (science and
technology).85 Pada level kenegaraan, corak fundamentalisme Islam memiliki diversifikasi, dari
sistem monarkhi ala Saudi hingga revolusioner-populis model Lybia dan model clerical-state ala
Iran. Demikian pula halnya Pakistan dan Suddan. Kelima model Negara ini cenderung
dikategorikan sebagai negeri Muslim yang bercorak Islamic revivalism atau Islamic activism
yang cenderung anti Barat dan anti-Amerika. Belakangan kelima Negara ini dikategorikan ke
dalam political Islam atau Islamism. Menurut peneliti sendiri, kategori pertama cenderung dilihat
dalam perspektif teologis, sedangkan kategori kedua lebih bercorak politis.

Farhad Daftari (ed) dalam Intellectual Tradition in Islam menyatakan bahwa faham
fundamentalisme keislaman bukannya melahirkan persatuan umat, sebaliknya malsh semakin
melahirkan friksi dan sikap eksklusifisme, konflik bahkan pertumpahan darah semakin
berpeluang terjadi. Kaum fundamentalis Islam cenderung memvonis bahwa orang Islam yang
tidak memihak pada mereka dianggap sebagai “orang yang tidak serius dengan Islam” bahkan
dianggap murtad dan bukan menjadi bahagian dari jamaah Islam. Sikap eksklusifisme kaum
fundamentalis ini melahirkan apa yang ditengarai oleh seorang sosiolog Belanda, WF Warthein
dengan istilah majority with minority complex. Perasaan minoratitas atau tamu di rumah sendiri
atau siege mentality (mentalitas terkepung), lebih-lebih karena dampak hegemoni politik global
cenderung berdampak pada lahirnya radikalisme Islam dan sikap panik umat dalam melihat
realitas kontemporer.86

Sebagai pembanding lainnya, peneliti kemukakan pula pendapat Khaled Abou Ef Fadl
(komisioner United States Commision on International Religious Freedom yang dibentuk
Pemerintah Amerika Serikat) menyatakan bahwa kelompok Islam radikal merupakan produk
sampingan dari Kolonialisme dan Modernitas, bukan warisan paradigma Islam. Dalam bukunya
Speaking in God’s Name, Islamic Authority, and Women, 87 Aboud Fadl menyusun prinsip
metodologi dan moral, yaitu apa dasar yang dimiliki seseorang yang mengklaim dirinya
85
Ibid, hlm. 13.
86
Bandingkan dengan Kompas, edisi September 2005.
87
Khaled M. Abou Al-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, Oxford: One
World Publicatuons, 2001 (reprinted 2003), hlm.10.

92
berbicara atas nama Tuhan. Jadi yang dimaksud Fadl bukan seseorang tidak dapat berbicara
mengenai keinginan Tuhan, tetapi yang dimaksudkan adalah tak seorangpun dapat berbicara atas
nama Tuhan, jadi ada perbedaan mendasar di situ. Lebih lanjut Fadl menyatakan bahwa apa yang
diinginkan Allah kita ketahui melalui elemen kebenaran. Al-Quran adalah elemen kebenaran
dalam bentuk teks, dan elemen kebenaran yang lain adalah penggunaan akal. Apa yang diketahui
oleh akal harus disertai pengetahuan, karena Allah menciptakan akal manusia menurut aturan
tertentu.

Bila seseorang berbicara mengenai Tuhan, dia dapat saja otoritatif, yaitu seseorang yang
dapat dimintakan pendapat karena mereka jujur, rajin, memeriksa semua petunjuk dalam teks dan
alam secara fisiologis dan menyeluruh. Namun, bila orang tersebut mengatakan “patuhi saya”
atau “anda bukan Muslim”, itu merupakan sikap otoriter. Otoriter adalah tindakan merampas
wilayah milik Tuhan, dan wilayah Tuhan adalah otoritas absolute untuk mengatakan, menilai,
memutuskan dan memulai serta mengakhiri sesuatu.

Buku speaking in God’s Name seperti lapis-lapis filsafat, dan pembaca yang berbeda akan
sampai pada lapisan yang berbeda, karena saya (El-Fadl) juga mengajukan argumentasi bahwa
otoriter sesungguhnya adalah sekuler sejati. About Fadl menjelaskan sekuler sejati karena
tindakan otoriter membatalkan Tuhan dan menempatkan manusia di tempat Allah. Ketika saya
mengatakan “saya yang memutuskan” serta mengatakan saya memiliki kekuasaan eksklusif, saya
meniadakan Tuhan. Keputusan itu menjadi keputusan manusia, bukan keputusan Tuhan. Ketika
itu keputusan manusia, itu adalah sekuler sejati. Lebih lanjut Fadl menyatakan bahwa sikap
otoriter itu seperti monopoli di pasar gagasan, sedangkan otoritatif adalah seperti pasar bebas di
pasar gagasan. Semua gagasan dan argumentasi tersedia di sana dan memberi kebebasan kepada
manusia, kreasi Tuhan terbesar yaitu kreasi tentang pilihan yang membedakan kita dari makhluk
lain ciptaan Tuhan. Apa pun yang mencabut elemen kebebasan memilih itu, itu bukan saja
tindakan yang otoriter dan represif tetapi juga membatalkan tujuan penciptaan manusia,
membatalkan kemanusiaan kita.

Otoritarianisme-fundamentalisme menafikan sikap toleran, dan intoleransi terjadi ketika


sebuah agama menganggap agama lain, karena tidak mau mencari keselamatan menurut agama
yang pertama, maka pengikut agama lain itu menjadi tidak berharga sebagai manusia. Akibat

93
adanya dehumanisasi, lalu secara psikologis anda percaya anda bukan membunuh manusia
melainkan membunuh setan sebagai simbol segala kejahatan.88

Terkait dengan fenomena fundamentalisme ini, Mohammed Arkoun berpendapat bahwa


Fundamentalisme tidak hanya ada di dunia Islam, juga ada dalam Komunisme, Kristen, Yahudi,
Budha, dan agama lain. Fundamentalisme juga ada dalam partai politik. Menurut Arkoun,
fundamentalisme adalah pola pikir yang berpegang kepada satu konsep dan meyakini bahwa
konsep itulah yang paling benar. Pemikiran seperti ini tidak beralasan karena bertentangan
dengan kebebasan berpikir manusia yang lain. Jika sebuah doktrin secara politik menjadi
dominan, ia tergolong pada fundamentalisme. Sebagaimana Komunisme, fundamentalisme sulit
diterima secara luas, karena fundamentalisme sangat mengekang kebebasan individu. Selain itu,
semua rezim politik sekarang hanya memberikan dukungan kepada demokrasi liberal. Untuk
Indonesia, misalnya Arkoun berharap agar negeri ini dapat menjadi barometer bagi Negara Islam
lainnya dalam penegakan konsep demokrasi dan memahami Islam dengan lebih baik. 89 Dalam
pandangan Arkoun, demokrasi merupakan salah satu konsep modern yang di dalamnya
mengakui adanya proses swa-kritis untuk mengetahui apakah anda benar.

6. Nalar Fundamentalisme Politik dan

Fundamentalisme Autentik

88
Lihat Kompas, edisi September 2005.
89
Lihat wawancara Arkoun dalam majalah Tempo, 23 April 2000, “Negara Islam itu Utopia”, hlm. 70-71.

94
Pendahuluan

Muhammad Sa’id Al-‘Asymawy,seorang pemikir Mesir kontemporer yang banyak


berbicara di bidang etika politik maupun hukum Islam. Dalam pergulatan intelektualisme
Islamnya, Asymawy yang dikategorikan sebagai pemikir Muslim inklusif sering berhadapan
dengan kelompok yang melakukan politicizing Islam terutama yang sering menggunakan
kekerasan (violence) sebagai cara yang ditempuh karean mereka menganut ideology politik yang
sangat militant (Islamic extremism). Dapat dimaklumi bila Asymawy sendiri karena menganut
pandangan Islamnya yang inklusif, harus menerima resiko, di mana kini rumahnya harus dikawal
24 jam oleh aparat Negara.90 Dalam pencerahan intelektual yang dilakukannya, Asymawy
mengemukakan tentang teori fundamentalisme autentik dan fundamentalisme politik. Secara
metodologis, fundamental autentik ini berada dianatara kaum idealis-fundamentalisme politik
maupun kelompok Islam pragmatis/liberal atau rasionalisme-pragmatik. Fundamentalisme
autentik ini lebih menggunakan critical approach dan tetap berada dalam bingkai humanisme
ilahiah.91 Secara netral dan moderat Asymawy berpandangan tentang betapa pentingnya
penekanan pada aspek partisipatif aktif dan konstruktif manusia dalam politik, sekaligus menolak
adanya politisasi agama yang dinilainya cenderung manipulatif dan provokatif.92

Etika Politik Teo-Humanisme

Perbedaan pandangan politik Asymawy ini dapat pula dikategorikan antara pemikiran
politik Islam yang menganut pandangan Islam universal, dibedakan dengan Islam partikular, 93
dimana Islam universal lebih berpedoman pada nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan yang
hakiki dan permanen serta berdimensi jangka panjang, ketimbang Islam partikular yang
berdimensi kepentingan politik jangka pendek dan cenderung memperalat agama sebagai sarana
pemenuhan kepentingan individu maupun kelompok. Disinilah Asymawy memperkenalkan
perspektif Humanisme Islam,94 walaupun tak dapat dihindari bahwa Islamic Humanism ini

90
Carolyn Fluehr-Lobban (ed.), Againt Islamic Extremism (USA: University Press of Florida, 1998), hlm. ix.
91
Bandingkan dengan R.S. Khare, Perspectives on Islamic Law, Justice, and Society (New York-Oxford :
Rowman & Littlefield, Inc., 1999), hlm.7.
92
Carolyn Fluehr-Lobban (ed), Against, hkm. 5.
93
Ibid, hlm. ix.
94
Ibid, hlm. 4.

95
banyak yang beranggapan merupakan pengaruh dari renaisans Eropa, tetapi sebenarnya juga ada
dalam tradisi sufisme Islam, selain juga ada dalam tradisi Kristen dan Yahudi. 95 Bagi Asymawy,
Humanisme Islam yang diyakininya sudah tentu sangat berbeda dengan perspektif suculer
humanism yang cenderung anti-agama. Bagi Asymawy, Islamic Humanism mengkombinasikan
antara human power of reasoning dengan spiritualitas keagamaan yang universal, yang di
dalamnya terkandung konsep kesatuan tentang Tuhan maupun kesatuan kemanusiaan (Unlike
“secular humanisme”, which has been accused in West of being antireligious, Islamic humanism
combines the use of the human power of reasoning with universal religious spirit of the oneneass
of God and the oneness and unity of humanity).96

Berdasarkan visinya ini, Asymawy sangat berkeinginan untuk membangun visi baru
politik di Dunia Islam khususnya Timur Tengah yang berlandaskan pada perspektif humanisme
Islam. Bagi Asymawy, visi politik Islamic Humanism ini tidak hanya diperuntukkan untuk umat
Islam secara ekslusif namun juga dapat mengakomodasi berbagai kepentingan umat manusia
secara lintas agama.97 Di sini terlihat jelas bahwa Asymawy mendefinisikan suatu kode etik dan
moral yang diskriminasi. Hal ini elas sangat berbeda dengan apa yang dianut oleh kebanyakan
politisi Muslim ekstrimis yang beranggapan bahwa wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi
khusus untuk kaum muslim saja.98 Apa yang diemukakan Asymawy ini sangat mirip dengan apa
yang dikemukakan Arkoun tentang masyarakat kitab yang inklusif bukan konsep ahl kitab yang
eksklusif.99

Asymawy menolak semua bentuk ekstrimitas keagamaan, ia menyatakan bahwa amat


berbahaya bila suatu pemerintahan yang cenderung memihak kepada para ekstrimis yakni suatu
100
pemerintahan yang mengetahui cara kerja kaum ekstrimis namun kurang serius mengatasinya.
Dalam konteks ekstrimitas ini, dengan tegas dia membedakan dirinya dengan kelompok Muslim
lain yang cenderung bercorak ideologis dan politis dalam pemikiran Asymawy akhirnya dikenal
sebagai pemikir humanis Islam kontemporer.

95
Ibid, hlm. 4-5.
96
Ibid, hlm. 5.
97
Ibid, hlm. 5-6.
98
Ibid, dan hlm. 56-57.
99
M. Arkoun dan Louis Gardet, AL-Islam al-Amsu al-Islam al-Ghad (Beirut, Libanon: Darut Tanwir li al-
Thiba’ah al-Nasyr, 1983), hlm. 214.
100
Ibid, hlm. 2-3.

96
Secara epistemologis, universalitas Islamic Humanis yang dianut Asymawy ini sangat
berkesesuaian dengan konsep kesamaan wawasan kemanusiaan sebagaiman yang tertera dalam
kitab suci al-Qur’an, berdasarkan tafsir yang lebih terbuka, berbeda dengan kelompok tafsir
eksklusif kelompok fundamentalisme politik. Dari landasan epistemology humanisme Islam
inilah jelas terlihat dimana Asymawy mengemukakan teori-teori politik Islamnya secara lebih
universal dan lebih relevan dengan kondisi masyarakat dunia dewasa ini, seperti konsep atau
teori (nazhariyyah) tentang,kekuasaan (daulah), jihad, demokrasi, syira civil society, HAM, dan
pelaksanaan peradilan/hukum Islam. Sudah barang tentu teori-teori politik Islam versi Asymawy
di atas akan berimplikasi pula pada aplikasinya (tathbqiyyah) dalam masyarakat.

Dari segi wawasan politik pemerintahan, Asymawy lebih bertumpu pada pola
kepemimpinan etika yang bercorak daulah insaniyyah, bukan bertumpu pada model etika politik
yang bercorak daulah ilahiyyah (theocracy). Pola pemikiran politik daulah insaniyyah ini
tentunya lebih terbuka bagi pandangan semua umat manusia, sekaligus lebih akomodatif dengan
semua aspirasi kemanusiaan yang dewasa ini sangat mendesak untuk diwujudkan akibat dari
munculnya berbagai problem kemanusiaan yang bersifat dikotomis-fragmentaris antara satu
dengan lainnya. Selain itu, wawasan politik humanistik ini relevan dengan semakin mendekatnya
hubungan antar umat manusia sebagai akibat dari dampak globalisasi dunia.

Dekonstruksi terhadap Nalar Kaum Faundamentalisme Politik

Diantara sekian banyak kritik yang diajukan Asymawy mengenai teori-teori politik Islam,
misalnya teori tentang jihad yang dewasa ini cenderung dipahami secara eksklusif dan
berdampak pada lahirnya suatu gerakan Islam ekstrim. Pebelokan konsep jihad dari makna
asalnya yakni “bersungguh-sungguh dalam berbuat sesuatu kebaikan” dan “melawan hawa
nafsu”, dalam proses historis-sosiologisnya berubah menjadi makna jihad yang sempit, yakni
“berperang di jalan Allah”, yang dalam praktek politik lebih ditujukan pada kaum kafir. Dari pola
pemahaman seperti inilah lahirnya konsep dar al Islam dan dar al-harb yang bipolar dalam teori
politik Islam klasik.101

101
Ibid, hlm. 7 dan ix. Lihat juga Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam , terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 105.

97
Demikian pula tentang konsep demokrasi dan civil society hanya bisa diakomodasi dan
diterapkan melalui pendekatan yang humanistik. Berbeda dengan para muslim fundamentalisme
politik yang umumnya menolak demokrasi ala Barat, maka bagi Asymawy, konsep demokrasi
merupakan konsep yang universal dan lebih berorientasi pada kedaulatan rakyat yang memberi
102
penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam mengatur diri mereka sendiri. Namun secara
historis, sistem politik dan tradisi politik masyarakat di dunia Timur pada realisasinya lebih
berbasis pada sistem otokrasi yakni pada “hak para raja maupun pangeran (muluk)” dalam sistem
pengaturan masyarakat. Pola ketundukan pada lembaga-lembaga maupun para figur yang
memiliki otoritas lebih dinomorsatukan ketimbang hak rakyat. Asymawy tidak dapat menafikan
adanya konsep syira dalam Islam, namun dalam prakteknya, konsep syira ini lebih didominasi
oleh para atau pemuka agama. Tokoh semacam Hasan Turabi mengklaim bahwa semua gerakan
Islam modern berbasis pada sistem majlis syira dimana semua perwakilan rakyatnya ditetapkan
melalui sistem pemilihan terbuka. Demikian pula halnya tentang para pemimpin yang memang
dipilih secara accountable. Dengan demikian, menurut Hasan Turabi, model pemilihan para
wakil Muslim merupakan sesuatu yang sangat demokratis. 103 Lebih dari itu, lanjut Hasan Turabi,
bahwa umumnya gerakan-gerakan Islam juga berbasis pada akar rumput, populis dengan
demikian tentu bersifat demokratis.

Namun apa yang dikemukana oleh Turabi tersebut dikritik oleh Asymawy. Bagi Asymawy,
konsep syira yang ada pada hakikatnya lebih didominasi oleh tokoh-tokoh agama (ulama) yang
powerfull terhadap kehidupan masyarakat di mana kekuasaan juga mendukung kepemimpinan
ulama tersebut. Di lain pihak, minoritas non-muslim menjadi warga negara kelas dua. Di sini
terlihat adanya diskriminasi politik terhadap non-muslim, dan hal ini amenurut Asymawy,
sebenarnya menunjukkan wataknya yang anti-demokrasi dan sangat bertentangan dengan prinsip
kehidupan sistem politik modern. Mengingat bahwa dalam sistem politik modern, power sharing
yang terjadi di masyarakat bukanlah berdasarkan pada keistimewaan dimensi religiositas politik
maupun semata-mata berdasarkan pada kepentingan kaum mayoritas semata.104

Adapun isu tentang HAM (al-huqiq al-insaniyyah), sering pula dikaitkan dengan Barat
yang membuat para Islamis cenderung menolaknya, mengingat konsepsi HAM tersebut dianggap

102
Carolyn Fluehr-Lobban (ed.), Against Islamic Extremism, hlm. 7.
103
Ibid, hlm. 8.
104
Ibid

98
terlalu asing bagi Islam. Bagi para Islamis, justeru ajaran Islam itu sendiri telah memiliki
pemikiran yang orisinal tentang HAM (al-huqiq al-insaniyyah),105 Dalam pengamatan Asymawy
sendiri, umumnya politik pemerintah di banyak negara muslim, umat Islam maupun tokoh
sekuler, kurang begitu serius menangani masalah HAM. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa
perdebatan tentang HAM di Timur Tengah kurang ditekankan sebagai dialog tentang hubungan
kemanusiaan maupun antar bangsa, terutama yang terkait dengan hak minoritas maupun kaum
perempuan di kancah internasional, di mana para penguasa / pemerintah lokal akan menghadapi
sanksi politik dan ekonomi, akibat adanya pelanggaran HAM yang terjadi di negara
bersangkutan.106

Dalam pandangan Asymawy, dewasa ini ada dua perspektif tentang HAM di dunia Islam,
pertama, kelompok Islam militant yang berpendapat bahwa HAM dalam Islam justeru yang
paling sempurna dan lebih mendasar dibanding HAM versi Barat. Pandangan ini beranggapan
bahwa hukum Tuhan (syari’at) lebih mempertemukan semua dimensi kebutuhan manusia untuk
mengatur diri mereka sendiri. Kedua, kelompok yang tercerahkan berargumen bahwa tidak
semua aturan kehidupan disebutkan dalam al-Qur’an itu bersifat permanent (qaith’iy), beberapa
aturan ada yang bersifat temporer (zhanny). Asymawy mencontohkan tentang adanya kasus
perbudakan (slavery) yang termuat dalam al-Qur’an, hal itu bersifat temporer bukan permanent.
Dengan demikian menurut Asymawy, kondisi masyarakat maupun tafsir manusia cenderung
berubah, dengan demikian aplikasi ajaran Islam juga harus diubah sesuai dengan perubaan
situasi dan kondisi.107

Dalam pandangan kaum kontekstual, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama,
dan semua manusia mempunyai pilihan yang bebas di dalam agama tanpa harus takut dikucilkan.
Semua orang bebas berpendapat, dan di sana ada satu kode etik dan moral untuk semua umat
manusia di seluruh muka bumi. Tidak boleh ada satu pun manusia yang diperlakukan secara
deskriminatif di muka bumi ini. Tindakan diskriminasi merupakan perilaku yang tidak etis dan
melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Negara bukanlah institusi “pemberian hak”,
negara hanya ditakdirkan untuk sekedar “mengatur” hak-hak dasar kemanusiaan yang harus
dinikmati semua orang. Bagi Asymawy, peradilan yang ada harus dapat memberikan hukuman

105
Ibid, hlm. 9.
106
Ibid, hlm. 10.
107
Ibid, Hal ini sejalan denganteori Ushul fiqh yang popular, “al-hukum yadiru ‘ala illatih”.

99
berdasarkan spirit keagamaan, dimana unsur spirit atau ideal moral keagamaan lebih tinggi
dibanding teks-teks keagamaan lahiriah itu sendiri.108

Dalam telaah kritis politik Islam, Asymawy juga menyinggung tentang konsep Pan-
Islamisme, Menurut Asymawy, konsep Pan-Islamisme (al-qawmiyyah al-islamiyyah) yang mulai
dipopulerkan sejak tahun 1940-an ini yang pada awalnya ditujukan untuk memperkuat solidaritas
antara sesama Muslim, namun dinilai sebagai menggambarkan kekacauan istilah dan cenderung
mereduksi universalitas Islam itu sendiri. Asymawy berpendapat bahwa Islam tidak bisa dibatasi
pada komunitas atau bangsa tertentu, partai atau sistem politik tertentu, sebagaiman tercermin
dalam QS al-Hujarat (49): 13. Lebih lanjut Asymawy menyatakan bahwa mereduksi Islam
menjadi nasionalisme (qawmiyyah) berarti merusak watak Islam yang universal. Juga
mengandung kekeliruan di mana Islam menjadi gerakan politik yang bersifat eksklusif dan
tertutup bagi non-Muslim. Akibat pengaruh dari Pan-Islamisme ini, kebanyakan gerakan Islam
kontemporer menjadi gerakan nasionalis, bukan gerakan spiritual; bahkan dengan keras
Asymawy menyatakan “menjadi gerakan jahiliyyah, bukan Islam”.109

Dilihat dari segi historisitasnya, menurut Asymawy, istilah Pan-Islamisme ini sebenarnya
bersumber dari tradisi Yahudi (isra’aliyyat) yang masuk ke dalam pemikiran Islam, dimana
agama Tahudi memang lebih bercorak kebangsaan. Hal ini tercermin dalam fakta historis dan
sosiologis bahwa seseorang yang lahir dari non-etnik Yahudi akan sulit memeluk agama Yahudi,
sedangkan dalam Islam cukup dengan syahadat saja, seseorang sudah bisa diakui sebagai
Muslim. Dalam pengamatan Asymawy, era kepemimpinan Umar lebih dapat menampilkan wajah
Islam yang universal ketimbang era kepemimpinan Utsman yang cenderung bercorak etnik,
dimana khalifah Ustman lebih mengesankan adanya upaya perluasan etnik Arab yang
belakangan berdampak pada munculnya konflik Islam Arab versus Islam Persia, yang implikasi
politisnya masih bisa kita lihat sampai hari ini sebagaimana tercermin di Irak, Palestina, Iran.
Padahal Islam sangat menentang adanya nasionalisme sempit ini. Upaya pencampuradukkan
antara agama dan etnis ini membawa mapetaka bagi Islam. Kehadiran khalifah Umayyah di
panggung politik juga mengklaim bahwa legitimasi khilafah hanya bagi mereka semata,
sebagaimana tercermin dalam sebuah pernyataan yang dianggap sebagai hadits : “al-a’mmah

108
Ibid, hlm. 11.
109
Muhammad Sa’id al-Asymawy, Menentang Islam Politik (Bandung: Alifya, 2004), hlm. 131-132.

100
min quraisy”.110 Belakangan dekadensi politik umat Islam semakin menampakkan buktinya
dalam sejarah yang ditandai dengan adanya dendam politik dinasti Abbasiyyah terhadap dinasti
Umayyah.111

Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa Asymawy ingin meluruskan kembali


berbagai penyimpangan pemikiran etika politik yang telah berlangsung berabad-abad di mana
wajah atau wacana Islam politik (atau fundamentalisme politik) telah mewarnai sejarah
pemikiran politik Islam, yang berdampak pada adanya pengkaburan atau reduksi terhadap
orisinalitas dan universitas Islam. Di sini Asymawy ingin mengembalikan ke wacana politik
Islam yang lebih akademis, saatnya penalaran politik Islam akademis lebih dikedepankan
ketimbang wacana Islam politik yang eksklusif, di mana Asymawy menawarkannya melalui
paradigma fundamentalisme autentik. Dalam perspektif wacana politik Islam secara akademis
ini, Asymawy menyatakan pandangannya bahwa pada hakikatnya Tuhan menginginkan Islam
hadir sebagai agama, namun kebanyakan manusia membelokkan agama tersebut ke wilayah
politik yang dangkal dan sempit.112

Lebih lanjut Asymawy menyatakan bahwa Islam sudah mengalami overlapping politik
selama 14 abad yang lalu113 di mana selama periode yang panjang itu kelompok ulama tampil
sebagai tirani religius atau ulama penguasa yang lebih sering tampail sebagai legitimator
sebuah kekuasaan ketimbang mengkritik jalannya kekuasaan. Di sisi lain, tidak sekidit pula
danya fenomena para fuqaha yang bersikap acuh tak acuh terhadap kekuasaan yang
bagaimanapun juga sangat memiliki implikasi luas dalam wilayah publik. Sehingga jalannya
sebuah kekuasaan menjadi sepi dari pandangan kritis kaum cendekiawan dan ulama, dan
berdampak pada lahirnya sebuah kekuasaan yang tiranik pula. Fenomena ini, menurut Asymawy
berimplikasi pada penyempitan teori politik Islam di masa lalu. 114 Di sisi lain, sebagaimana yang
telah dikemukakan di atas, megingat begitu banyaknya ulama yang bergelut di bidang
politik praktis bahkan menjadi legitimator kekuasaan, menyebabkan tugas utama kaum
ulama dalam pengembangan keilmuan Islam termasuk dalam pengembangan teori politik
Islam menjadi terabaikan.

110
Ibid, hlm. 133-135; lihat juga hlm, 19-21. Lihat juga al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm 6.
111
Ibid, hlm. 21.
112
Ibid, hlm. 17.
113
Ibid, hlm. 22.
114
Ibid, hlm. 22-23.

101
Di sisi lain, muncul pula dalam sejarah politik Islam teori-teori politik Islam yang bersifat
fragmentaris-dikotomis, yakni teori-teori politik Islam yang sempit dan berbau ideologis-
partikular, tidak mengakomodasi pandangan humanisme universal-ilahiah, sebaliknya konsep
politik Islam klasik lebih menggambarkan warna nalar politik teokratik seperti teori-teori tentang
jihat, dar al-harb, penerapan syariah, khilafah, Negara Islam, dan sejenisnya, seperti yang telah
dikemukanan di atas.

Demikian beberapa gagasan inti politik Asymawy, berbagai produk pemikirannya itu
Asymawy mendapat berbagai pelabelan terhadap dirinya, yakni Asymawy dianggap sebagai :
modernis, sekularis, radikalis Islam, liberalis atau materialis, universalis; dan dalam konteks
tulisan di atas Asymawy digolongkan kepada Muslim humanis.115

Dari gambaran pemikiran Asymawy di atas terlihat bahwa pada hakekatnya Asymawy juga
bisa digolongkan sebagai fundamentalis Muslim – fundamentalisme autentik – karena dari
berbagai inti pemikirannya kelihatan sekali bagaimana Asymawy sebenarnya ingin menjaga
orisinalitas atau kemurnian Islam dari bahaya reduksi nasionalistik maupun sektarianistik. 116
Kritik-kritiknya terhadap kaum fundamentaliisme politik pada intinya ingin menyatakan bahwa
kebanyakan aktivis – terutama – politik Muslim lebih banyak memanfaatkan Islam sebagai
alat mobilisasi bagi pemenuhan keinginan untuk meraih kesuksesan, ketimbang
memperjuangkan nilai-nilai universalitas Islam itu sendiri bagi semua orang, di mana
seharusnya nilai-nilai ajaran Islam bisa diformulasikan sebagai pembawa angin kesejukan,
kedamaian universal atau rahmatan lil-‘alamin. Apa yang dikemukakan Asymawy berikut ini
menarik untuk dicermati : “The fundamental problem of this era extremism is that Islam has
been incorrectly transformed from a faith for all humanity into a political ideology. It has
become a source for nationalism and, ultimately, for divisiveness between peoples, religions, and
nations. This is contratary to the unibersalist spirit of Islamic faith. And, in locating that core
within Islam, the deeper, universal spiritual humanism that is part of Abrahamic faiths, and all
faiths, will be revealed”.117 Akhirnya, walaupun Asymawy tidak terlalu mendalam berbicara
tentang teori-teori politik Islam, karena memang background keahliannya di bidang hukum

115
Ibid, hlm. 31.
116
Asymawy menyebutkan ada tiga bentuk sektarianisme politik, yakni: tribalism, racism, and the religio-
political dimension (Ibid, hlm. 71).
117
Ibid, hlm. 65-66.

102
118
Islam, namun percikan pemikiran etika politiknya bisa dijadikan inspirasi bagi para peminat
studi politik Islam khususnya di wilayah etika politik.

BAB III

118
Ibid, hlm, 94-126.

103
PEMIKIRAN
ISLAM
DAN SOSIAL
KEMASYARAKATA
N

104
1. PEMIKIRAN ISLAM TENTANG

PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

Pendahuluan

Proses pembangunan merupakan suatu keharusan historis bagi kehidupan umat manusia.
Proses itu sendiri tentunya berdampak pula pada adanya perubahan sosial. Selanjutnya akibat
dari adanya perubahan maka akan membutuhkan adanya upaya pembangunan baru di
masyarakat, demikian seterusnya. Mengenai perubahan sosial, Soerjono Soekanto dalam
bukunya Sosiologi Suatu Pengantari menyatakan: “perubahan-perubahan sosial adalah suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-
perubahan kondisi geografis, kebudayaan materil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena
adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut.

Reinterpretasi Keagamaan untuk Perubahan Sosial

Proses suatu perubahan biasanya bisa bersifat struktural maupun kultural. Perubahan
yang bersifat struktural meliputi jalinan dan hubungan satu sama lain dari keseluruhan unsur
sosial. Unsur sosial yang pokok adalah berupa kaidah-kaidah, lembaga-lembaga, kelompok-
kelompok dan lapisan sosial. Adpaun perubahan secara kultural lebih bersifat ideologis atau
immaterial yakni perubahan nilai-nilai, pemikiran, dan sebagainya.

Dalam setiap proses perubahan, terutama di tengah komunitas Muslim, adalah


munculnya tuntutan perubahan pemikiran di bidang keagamaan (baca: Islam), baik secara
paradigmatik, teoritik maupun aplikatif. Dalam suatu rumusan seminar tentang “Agama dan
Perubahan Sosial” dikatakan bahwa “agama dalam pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak

105
akan berubah, tetapi pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan
penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat mungkin berubah”.2

Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan


sosial, secara umum ada dua macam. Ada yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri (faktor
intern) dan ada yang bersumber dan sebagai pengaruh dalam masyarakat lain, atau dari alam
sekitarnya (faktor ekstern). Faktor intern ialah: bertambah dan berkurangnya penduduk, adanya
penemuan-penemuan baru, terjadinya pertentangan (konflik) dalam masyarakat, timbulnya
pemberontakan atau revolusi di dalam masyarakat itu sendiri. Adapun faktor ekstern antara lain
karena sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia,
terjadinya peperangan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain.3 Dalam konteks penulisan
disertasi ini tentunya penulis lebih banyak mengemukakan faktor-faktor perubahan dan
pembangunan sosial yang bersifat pemikiran atau kebudayaan immaterial, bukan yang bersifat
fisik.

Pemikir lain seperti Fazlur Rahman mengingatkan pula bahwa masyarakat muslim perlu
terjun ke dalam zaman industri. Jika tidak demikian, maka umat Islam akan mengalami
ketertinggalan di berbagai bidang. Tetapi, untuk menghadapi benturan-benturan dahsyat ini
diperlukan respon kreatif dengan dimensi-dimensi yang sama, jika menginginkan masyarakat
mengalami kemajuan sesuai dengan ajaran Islam. Untuk tujuan ini dituntut pemikiran yang
serius, jelas, sistematis secara tak henti-hentinya.4

Lebih lanjut Rahman juga menyatakan bahwa untuk merspon berbagai perubahan sosial,
umat Islam tidak bisa hanya menerima sebuah penafsiran yang sekali jadi. Selalu ada ruang
maupun kebutuhan bagi munculnya penafsiran-penafsiran baru. Bagi Rahman, upaya
kontekstualisasi pemikiran Islam terkait dengan perubahan sosial merupakan proses yang terus
berlanjut.5 Berikut kita kutip pernyatan Rahman: “Bersama-sama dengan rancangan-rancangan
ekonomi dan rencana-rencana lima tahun, sekarang kaum muslimin di seluruh dunia sedang
mengalihkan perhatian mereka kepada penafsiran kembali Islam sesuai dengan konteks zaman
modern. … maka satu-satunya jalan yang dapat mereka tempuh adalah merumuskan kembali
garis-garis kebijaksanaan yang positif sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer dan
berdasarkan petunjuk-petunjuk sosial dan moral yang diberikan oleh Islam …. Karena kita
menyadari bahwa dalam beberapa abad ini ilmu pengetahuan Islam dapat dikatakan lebih bersifat

106
mekanis dan semantik daripada interpretatif atau ilmiah, maka betapa pun kecil dan bersahajanya
perjuangan kita adalah untuk mencairkan kebekuan di dalam dunia pemikiran Islam – baik di
dalam religius maupun moral” .6

Beberapa Perspektif tentang Isu Perubahan Sosial

Berbicara tentang Islam dan pembangunan, John L. Esposito dalam artikelnya “Islamic
Fundamentalism”7 mengemukakan bahwa dewasa ini muncul kembali upaya penegasan
keagamaan di kalangan masyarakat dan politik Muslim, menghadapi adanya bias sekuler dari
teori modernisasi dan pembangunan. Masyarakat-masyarakat yang lebih modern atau
terbaratkan seperti Libanon, Mesir, Iran,Tunisia, Aljazair, Turki dan Malaysia melakukan upaya
pembangunan ke kantong-kantong politik “Islam”. Langkah modernisasi menunjukkan hal yang
tidak sederhana dalam melakukan pilihan antara “Mecca atau mechanization”, pilihan antara
berpegang pada suatu tradisi yang statis atau memilih jalur yang lebih dinamis, bertumpu pada
sistem kepemimpinan yang sekuler atau religius. Berbagai negeri Muslim seperti Mesir, Turki,
Saudi Arabia, Negara-negara teluk, Pakistan, Afghanistan dan Malaysia menunjukkan adanya
kompleksitas dan pluralitas tentang berbagai pengalaman dan eksperimentasi kaum Muslim,
terkait dengan acuan-acuan serta langkah-langkah yang saling berbeda mengenai modernisasi
dan berbagai penafsiran maupun implementasi ajaran Islam yang juga saling beragam.

Lebih lanjut Esposito juga mengatakan bahwa para pelopor aktivitas sosial generasi awal
di beberapa kalangan masyarakat Muslim telah mewariskan dua langkah yang berbeda, yakni
membangun sistem pendidikan modern-sekuler dan sektor pendidikan keagamaan tradisional.
Upaya yang ditempuh ini untuk mengakomodasi sektor-sektor kemasyarakatan yang bersifat
perkotaan (urban) maupun pedesaan (rural), sektor kepemimpinan politik dan berbagai asosiasi
professional, para dokter, ahli hukum, saintis, insinyur, jurnalis, dan para guru. Partai politik
maupun organisasi-organisasi sosial Muslim mengakomodasi terma-terma modern dalam
menyebarkan pesan-pesan mereka melalui media, audio dan video, fax dan internet. Mereka
memfungsikan potensi masyarakat sipil sebagai aktivis sosial dan politik. Mereka membangun
berbagai sekolah, rumah sakit, klinik, dan bank; sebagai bentuk tawaran legal yang murah dan
pelayanan sosial.

107
Adapun Hasan Hanafi memiliki pandangan tersendiri yakni pentingnya umat Islam
mampu melandingkan ajaran Islam sebagai upaya perubahan masyarakat melalui perubahan pola
pemahaman akidah umat terlebih dahulu. Berdasarkan paradigma pemikiran Hanafi di masa
datang diperlukan adanya upaya - dengan ungkapan penulis – “pemutasian Tuhan ke bumi”.

Karena tantangan di masa mendatang begitu kompleks, maka sudah saatnya bagi umat
Islam untuk "mengajak Tuhan untuk turun ke bumi" . Pola pemahaman Islam yang utopis-
metafisis selama ini harus segera di landingkan, agar makna keberagamaan menjadi lebih berarti.
Tuhan harus kita ajak secara bersama-sama untuk menegur hamba-Nya yang hina dan papa. Al-
Qur'an juga pernah "menegur" Nabi Muhammad s.a.w., yang sempat tergoda dengan paham
elitisme (“'abasa wa tawallã, an-jã-ahu al-a'mã…” (Q.S. ‘Abasa:1-2). Maka kinilah saatnya
Tuhan kita ajak untuk mau menyapa para kaum dlu'afã' (miskin kultural) maupun para
mustadl'afĩn (miskin struktural). Atau meminjam teori Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, from God
to land.8 Model pemahaman teologi Islam tradisional (predestination) harus diubah menjadi
sebuah ideologi politik, sebuah transformasi sistem akidah yang normatif-deduktif menjadi
sebuah kekuatan sosial yang kritis, oposisional dan revolutif. Sehingga dengan demikian, model
keberagamaan Islam mejadi lebih landed, humanis, socialized dan civilized.

Belajar dari pengalaman hidup Nietsche atau Karl Marx yang sampai pada ujung
perjalanan intelektual mereka hingga sanggup "mematikan Tuhan" serta "menganggap agama itu
candu", tidak lain adalah gambaran dari kritisisme mereka terhadap fenomena elitis para pendeta
dan gereja yang telah melakukan "perselingkuhan agama dengan negara" di zamannya, sehingga
agama - Tuhan - tidak ramah lagi pada orang miskin dan kaum tertindas.

Untuk dapat terwujudnya apa yang telah diuraikan di atas, kini saatnya dilakukan upaya
kontekstualisasi akidah, dari model pemahaman akidah yang idealistik-rasionalistik menjadi
lebih empirik-transformatif, sebagaimana yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi. Dari akidah yang
dikotomik-konfrontatif, menjadi lebih apresiatif, dialogis, kompromistik dan akomodatif, tanpa
harus terjebak pada sinkretisme. Terkadang dalam sebagian kehidupan umat, atas nama
pembelaan akidah Islamiah, prilaku kekerasan terkesan dibenarkan. Dari model pemahaman
akidah teoritik-metafisis ke operatif-praxis. Model pengajaran ilmu akidah yang terlalu global
dan normatif selama ini harus dirubah pula menjadi lebih spesifik.

108
Adapun menurut menurut Arkoun sendiri, diskursus tentang Islam dan pembangunan
adalah sebuah upaya untuk memerikan kaitan-kaitan yurisprudensial dan kaitan-kaitan realistik
antara Islam dengan pembangunan. Pembicaraan tentang pembangunan berarti sebuah upaya
pengungkapan berbagai problem yang membangkitkan semangat untuk memperbincangkannya
pada seluruh tataran masyarakat dan tataran sejarah internasional dan pada akhirnya kita akan
melihat bahwa melalui penerapan politis, sosial dan ekonomis, dalam situasi-situasi final,
agama-agama tradisional lah yang sejak lama mampu memberikan jawaban-jawaban yang bisa
dipahami oleh semua orang.
Secara riel historis dimensi “kekhasan” dan ketinggian” kedudukan Islam sering
ditawarkan sebagai alternatif dari model pembangunan yang bercorak Liberalisme-Kapitalisme
maupun Sosialisme.9 Kekhasan Islam ini sering ditampilkan, misalnya, melalui publikasi literal
“Keadilan dalam Islam” dengan juga mengutip ayat-ayat Al-Quran dan hadits. Hanya saja,
menurut Arkoun, langka sekali dilakukan perbandingan antara prinsip-prinsip yang mempesona
dari Islam dengan realitas ekonomi yang hidup di setiap negeri. Juga belum ada pendalaman
dalam kajian situasi dan kondisi yang terbatas – di dunia kita saat ini – bagi kemungkinan-
kemungkinan terwujudnya sistem yang bisa dijalankan, sistem yang di dalamnya terjadi
hubungan yang adil antara tiga hal: kepadatan penduduk, sarana yang ada atau yang mungkin,
serta distribusi. Bagi Arkoun, ketiga faktor tersebut merupakan tiga faktor yang berubah menjadi
gejala-gejala yang tak mungkin diatasi oleh pemikiran internasional masa kini yang dominan.
Jawaban-jawaban yang diajukan untuk mengatasi problema pembangunan yang ada, menurut
Arkoun, lebih bersifat tehnis-kuantitatif terhadap masalah-masalah ekonomi yang mendesak,
ketimbang jawaban yang strategis-kualitatif yang berdampak pada pengayaan kepribadian
manusia di semua lapangan. Solusi pembangunan yang ada selama ini lebih berpijak pada
filsafat materialisme sejarah yang cenderung mengabaikan nilai keabadian setiap tujuan akhir
individu.
Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa hingga kini agama-agama telah memonopoli hak
istimewa dalam mengawasi jalannya peristiwa-peristiwa historis. Agama-agama telah
membatasi dunia ini dan itu karena mereka telah membatasi kedudukan manusia serta
tanggungjawabnya. Adalah sebuah kesia-siaan bila terjadi benturan antara proses-proses legal
dan proses-proses produksi yang menjadi ciri peradaban industri, dengan nilai-nilai yang
dikemukakan oleh agama-agama.

109
Nilai-nilai keagamaan (baca: tradisional) ini cenderung dikemukakan oleh “para penyeru
ke masa lalu”. Di sini penting ditelaah kaitan pembangunan dengan dimensi hukum (Islam).
Bangsa-bangsa Muslim yang memperoleh kemerdekaan politik cenderung kembali kepada
praktek-praktek, sistem-sistem
serta pengorganisasian secara Islam. Kebanyakan pemerintah mengkhususkan suatu kementerian
yang mengurusi masalah keagamaan. Fenomena ini sebagai bentuk pengembalian jati diri umat
atas hak-hak kaum Muslim yang selama ini telah dihegemoni oleh “serbuan pemikiran Barat”.10
Hasil-hasil positif dari pemikiran Barat yang liberal tidaklah ditolak. Tetapi perhatian lebih
difokuskan pada aspek negatifnya. Di sini Arkoun memberikan contoh sebuah buku yang ditulis
oleh Anwar al-Jundi berjudul Islam dan Seruan-seruan yang Menghancurkan yang
memfokuskan bahasan pada: “seruan-seruan yang menghancurkan akidah dan nilai-nilai”
(materialisme kuno, theosofi, Bahaisme, spiritualisme) dan seruan-seruan yang menghancurkan
masyarakat dan umat (ideologi Talmudis yang berdasarkan riba, faksionisme, materialisme
modern, sekularisme, universalisme), seruan-seruan yang menghancurkan jiwa dan akhlak
(Freudianisme, Eksistensialisme dan pemikiran kaum hippies), seruan-seruan yang
menghancurkan pemikiran dan kebudayaan (faham keberhalaan, permusuhan terhadap Islam,
paham golongan, Fir’aunisme, Funisianisme, kisah-kisah Israiliyat lama, fanatisme Barat =
Kristenisasi, orientalisme, nasionalisme dan paham kedaerahan, seruan kepada kebudayaan
Helenisme, seruan kepada bahasa-bahasa daerah”.
Arkoun sengaja menyebutkan semua judul di atas karena bersesuaian dengan tesis-tesis
besar yang di seputarnya terjadi pergumulan antara mereka yang mendukung pemilikan dan
harta serta hak-hak Islami dengan para penyeru perubahan yang hak dan asli.
Dalam konteks bahasan di atas, sebenarnya Arkoun ingin mengemukakan betapa
intensnya perebutan wacana antara Muslim liberal-modern dengan Muslim fundamentalis-
tradisional. Menurut Arkoun, sebenarnya kaum Muslim liberal, merupakan kelompok yang aktif
walau dalam lingkup yang lebih sempit. Kaum liberal ini telah lama membangkitkan tradisi
munãzharah dalam Islam, walau memiliki resiko karena mereka dianggap sebagai pembaharu
yang berbahaya terutama dalam pandangan Muslim tradisional.
Para pembaharu liberal Muslim seperti: Thaha Husein, Husein Haikal, Zaki Mubarak,
Ahmad Amin, Salamah Musa merupakan beberapa eksponen liberalis Muslim yang “berjasa”
membangunkan kembali tradisi debat dalam Islam.

110
Namun di sisi lain Arkoun mengkritisi bahwa kaum pembaharu ini muncul tanpa
dilandasi orisinalitas yang besar, sebagai gerakan humanis dan sekular abstrak, yang diajarkan di
berbagai universitas borjuis di London, Paris, Roma, Berlin dan Harvard. Setelah lima atau
sepuluh tahun belajar mereka kembali ke tengah keluarga untuk membela metode-metode
Cartesian dan kritik sastra yang sesuai dengan metode George Lanson dan alur sejarah dongeng
serta kaidah-kaidah pembacaan filsafat. Sementara gerakan-gerakan kemerdekaan telah merekrut
para pejuangnya dari rakyat yang hanya mengenal pemikiran-pemikiran tradisional belaka.
Arkoun juga mengkritisi para pemikir dan aktivis Muslim yang bercorak idealistik-
fundamentalistik dalam memperjuangkan syariat Islam tetapi kurang bersifat empiris sesuai
dengan paradigma Islamologi Terapan a la Arkoun. Bukankah Arkoun sangat menganjurkan agar
umat Islam mempertimbangkan dimensi tãrikhiyyah,11 yakni dimensi historisitas dari pemikiran
Islam termasuk di dalamnya dimensi syariat Islam.

IV. Reinterpretasi Syariah untuk sebuah Perubahan


Dalam kaitan ini menarik pula untuk dikemukakan dimensi pemahaman tentang syariat
Islam antara yang idealistik dengan realistik. Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, istilah
syarĩat dan fiqh selalu dikacaukan pemaknaannya, padahal secara akademis keduanya memiliki
perbedaan yang cukup signifikan. Perspektif tentang perbedaan fiqh dan syarĩah paling tidak
ada tiga pandangan. Pertama, bahwa fiqh itu sama pengertiannya dengan syariah. Kedua, fiqh
dan syariah itu berbeda. Fiqh merupakan produk pemikiran manusia yang bersifat relatif
terhadap syariah Allah (yang mutlak dan universal). Ketiga, secara histories, fiqh tidak hanya
berkonotasi “hukum Islam”, namun juga mencakup disiplin ilmu lainnya. Menurut pendapat
terakhir ini, fiqh pada dasarnya bermakna faham. Dengan demikian, setiap upaya “memahami”
ajaran Islam, baik menyangkut hukum, bahkan aqidah (fiqh al-akbar), akhlaq, dan lainnya, itu
juga berarti fiqh. 12 Secara teori sosial, konsep Syarĩah digolongkan ke dalam great tradition,
sedangkan konsep Fiqh ke wilayah little tradition.13
Penting pula penulis kemukakan di sini bahwa signifikansi dari pembedaan antara fiqh
dan syariah itu, paling tidak didasari oleh tiga hal: pertama, pembedaan antara kedua konsep itu
lebih menjamin dari kemungkinan munculnya kekeliruan dalam upaya memahami ajaran Islam.
Jelas mana yang syariah (ajaran Islam yang tetap/minallãh), dan mana yang disebut fiqh (produk
pemikiran ulama) yang secara terus-menerus mengalami penafsiran, sesuai dengan

111
perkembangan zaman. Kedua, menyamaratakan pengertian syariah dengan fiqh akan
menyulitkan umat Islam sendiri dalam upaya penyesuaian Islam dengan perkembangan zaman.
Karena bila diadakan pembaharuan, akan menimbulkan image bahwa ajaran Islam bisa diubah-
ubah secara keseluruhan (syariah). Dengan demikian, akan menimbulkan keraguan tentang
otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Ketiga, harus dapat dibedakan antara aspek moralitas Islam
dan aspek legalitasnya. Kerancuan dalam memahami perbedaan tersebut juga akan menghambat
adanya proses pembaharuan hukum Islam, yang pada gilirannya berdampak pada irrelevansi
Islam dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan uraian dan argumentasi di atas, bila wacana pembangunan ingin dikaitkan
dengan hukum Islam, signifikansi perbedaan antara syarĩat dan fiqh di atas harus dicermati dulu
oleh para tokoh agama maupun unsur pemerintahan, agar pembangunan yang berdampak pada
perubahan sosial bisa bediri di atas landasan yuridis yang rasional dan kokoh.
Penting pula ditegaskan di sini, bahwa menurut Arkoun, respon Islam terhadap dinamika
perubahan sosial, Islam sebagai way out bukan sekedar agama dilihat dari segi proses penafsiran
belaka tetapi lebih dari itu Islam sebagai agama juga harus mampu diformulasikan sebagai
sistem pengubah dunia.14 Juga Q.S. al-Ra’du:13 “Allah tidak akan merubah nasib suatu
kaum/bangsa hingga kaum itu sendiri merubah diri mereka sendiri). Atau dalam bahasa Hassan
Hanafi, Islam sebagai suatu formula akidah-normatif (al-‘aqĩdah) harus ditransformasikan ke
akidah yang revolutif (al-tsaurah).15 Islam sebagai agama transformatif ini mengandaikan agar
umat Islam memusatkan dimensi kritis-analitis (fiqh liberatif) dalam konteks perubahan, tidak
semata-mata bertumpu pada wilayah normatifitas syariah. Sayangnya, menurut Arkoun, paham
agama (Islam) kini masih terjebak dengan orientasi – pemahaman atau epistemologi - ke masa
lalu, belum ke masa depan. Pemahaman (fiqh) Islam khususnya dalam bidang hukum (sebagai
pengejawantahan) sistem pengaturan harus selalu mempertimbangkan realitas kekinian dan
kedisinian (dimensi the sacred of Islam harus melihat wilayah space and time). Lembaga-
lembaga keagamaan – semacam Depag di Indonesia, misalnya – tidak hanya eksis sebagai wadah
tradisionalisasi Islam (pemapanan Islam) semata, hingga terjadinya sakralitas pemikiran (taqdĩs
al-afkãr al-dĩny). Perlu ada liberalisasi pemikiran Islam untuk merespon dinamika sosial politik
secara lebih realistik dan aposteriori. Wajah Islam masa depan harus lebih empiris dan
kontekstual dan ini terkait dengan dimensi change and continuity.

112
Terkait dengan liberalisasi pemikiran Islam ini, sayangnya mayoritas umat hanya melihat
dimensi negatifnya yang selalu dijadikan sasaran tembak bagi para kritikus yang bercorak
tradisional, seperti kasus kritikus fundamentalis asal Mesir, Anwar Jundi. Liberalisme Islam juga
harus dilihat dimensi positifnya. Bagi, Arkoun, sebagaimana telah disebutkan di atas, kelompok
liberalis Muslim umumnya bersifat komunitas kecil yang kreatif dan memiliki tradisi diskusi
maupun publikasi, namun cenderung dimusuhi oleh kaum tradisionalis Muslim.16

Di Indonesia, misalnya, kasus Paramadina, Jaringan Islam Liberal (JIL), maupun


Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), bisa dijadikan salah satu contoh berkaitan
dengan apa yang ditengarai Arkoun tersebut. Bagi pembaca yang ingin mendalami pro-kontra
tentang Islam Liberal secara agak mendalam, lihat Charles Kurzman, Liberal Islam, A
SourceBook (1998). Adapun tentang Paramadina: Tim editor Mujahidin, Kekafiran Berfikir Sekte
Paramadina (2004) dan JIMM, Imron Nasri (ed), Pluralisme dan Liberalisme, Pergolakan
Pemikiran anak Muda Muhammadiyah (2005). Nasr Hamid Abu Zaid di Mesir yang juga
dimusuhi al-Azhar menulis: Al-Tafkir fi Zamani al-Tafkir: Zidda al-Jahl wa al-zaif wa al-
Khurafat (Al-Qahirah,1995). Contoh kasus permusuhan terhadap kaum reformis-liberal ini juga
pernah terjadi dalam tradisi dunia Katolik seperti kasus Galileo yang dimusuhi oleh gereja
(Katolik) ortodoks.17 Adapun contoh “permusuhan” terhadap para “pembaharu” dari IAIN/UIN
(Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN (2005). Ulasan yang lebih lengkap tentang hal
ini juga bisa dilihat dalam topik “Workshop Pemikiran Islam di Kairo”, Media Dakwah
(Dsember, 2005); Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan
Tinggi (2006); Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (2005);
“Tentang rencana Muslim fundamentalis menyerang JIL”, (Syir’ah, No. 47/V/Oktober 2005);
Adian Husaini, Husin M. Al-Banjari, M. Syamsir Ali, Santi WE Soekono, Membedah Islam
Liberal (2005); Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA (2004); dan lain-lain.

Sebenarnya, Arkoun juga mengkritisi para liberalis Muslim yang performance


intelektualnya baru sebatas wacana keislaman konseptual, belum mengarah kepada kelompok
transformator di masyarakat. Menurut penulis, Arkoun sendiri sebenarnya juga baru sebagai
penganjur belum transformator sebagaimana yang ia harapkan kepada para liberalis Muslim di
atas, walaupun ada beberapa gugatan epistemologis dari pemikirannya yang laik kita cerna,

113
sebagai bahan untuk melakukan tarnsformasi sosial melalui upaya rekonstruksi pemikiran Islam
ke depan.18

Selain itu, Arkoun juga mengingatkan betapa pentingnya mencermati ketegangan yang
muncul antara harapan masyarakat dengan potensi-potensi kerja ekonomi dan budaya yang tidak
sesuai atau amat terbatas. Arkoun juga mengingatkan para kaum birokrat yang terjebak pada
iptek yang kurang memiliki sikap rendah hati serta sikap skeptisisme yang melanda para peneliti
ilmu humaniora. Arkoun juga mengingatkan bahwa masa depan pembangunan dan peradaban
bukan hanya harus didukung oleh para insinyur atau dokter dan ilmuwan eksak lainnya, tetapi
juga harus melibatkan partisipasi aktif potensi sejarawan Islam, ilmuwan sosial, filosof dan
teolog. Superioritas sosial dan politik kaum teknokrat harus dihindari. Lebih lanjut, Arkoun juga
mengingatkan tentang bahaya munculnya fenomena perpecahan antara pandangan kaum religius
tradisional dengan para pemilik ilmu-ilmu humaniora. Selain itu, industrialisasi telah mereduksi
wilayah dan jaringan tradisional masyarakat Muslim, baik lapangan budaya, ekonomi,
pendidikan, dan lain-lain. Kaum Muslim, lanjut Arkoun, kini hidup dalam kecenderungan asing,
dan tidak mampu mengekspresikan pengalaman historis mereka. Fenomena ini dibatasi oleh
berbagai kesulitan struktural yang telah diuraikan di atas, sayangnya, para peneliti dan penguasa
kurang memiliki minat dalam pengkajian ini. Akhirnya Arkoun mengharapkan agar budaya
pertukaran pendapat di kalangan masyarakat Muslim harus terus dikembangkan untuk
menghindari kesalahpahaman, khususnya terkait dengan dialektika Islam dan modernitas.19

Dapat pula ditambahkan di sini bahwa upaya pembaharuan pemikiran Islam menjadi
sesuatu yang mutlak diwujudkan bila upaya pembangunan masyarakat Muslim dapat berdampak
positif di masa depan. Maka, upaya pembangunan dan perubahan sosial ini tidak dapat
dilepaskan dari keterkaitannya dengan partisipasi politisi dan partai politik yang bersifat
progresif-reformatif, dukungan para pemikir Muslim maupun para kaum ulama yang liberatif.
Tentang performance politisi, almarhum Mohammad Hatta mengingatkan betapa pentingnya
peran politisi dan parpol dalam upaya perubahan kehidupan masyarakat ke arah kehidupan yang
lebih baik: “Berpolitik tidak lagi diartikan melaksanakan tanggungjawab tentang kebaikan
masyarakat, tetapi dipandang sebagai jalan untuk mencari keuntungan dan membagi-bagikan
rejeki dan jabatan kepada golongan dan kawan-kawan sendiri”.20

114
Dengan demikian, kecenderungan eksisnya para kaum teolog yang akomodasionistik
dengan kekuasaan serta kecenderungan politis-ideologis dari organisasi sosial kemasyarakatan
akan semakin menjauhkan cita-cita pembangunan masyarakat Muslim dari upaya pembebasan
untuk keluar dari ketertindasan kultural maupun struktural, di manapun mereka berada. 21

Penutup

Untuk konteks Indonesia sendiri, ada ungkapan yang optimistik dari Arkoun mengenai
potensi pembaharuan pemikiran Islam yang bisa diandalkan untuk dapat mengisi proses
pembangunan sekaligus merespon perubahan sosial yang ada. Kata Arkoun: “…betapa kayanya
dari segi budaya dan betapa aslinya Islam di Indonesia dibandingkan dengan Islam Arab. Islam
Arab sejak abad XIX telah menderita berbagai benturan keras yang banyak jumlahnya karena
terjadinya hegemoni politik, ekonomi, dan budaya oleh bangsa Eropa di kawasan Laut Tengah;
penjajahan, kemudian berbagai perang kemerdekaan bangsa telah memaksa kaum Muslim untuk
bertopang pada agama di dalam mengembangkan suatu ideologi perjuangan. Indonesia telah
banyak dilindungi oleh keadaan geografisnya, luas dan keanekaan pulau-pulaunya, bobot
manusia yang menjadi penduduknya, koeksistensi yang didasari tenggang rasa dari beberapa
kebudayaan agama. Berkat itulah, Islam Indonsia masa kini dapat memberikan berbagai
teladan yang baik mengenai tenggang rasa dan kedamaian kepada Islam(-Islam) yang lebih
militan, lebih aktivis yang memaksakan diri untuk hadir sejak tahun 60-an di beberapa Negara
Arab. Namun, Islam sebagai agama dan sebagai tradisi pemikiran, di mana-mana, jadi di
Indonesia juga, menghadapi sejumlah besar tantangan intelektual dan ilmiah yang tidak hanya
memerlukan tanggapan-tanggapan yang memadai, tetapi juga peningkatan menuju ruang-ruang
baru bagi pemahaman, penafsiran dari segala masalah yang ditimbulkan oleh apa yang kita
sebut kemodernan.22

Catatan Akhir

115
i1
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1982: 307.
2 Amiur Nurudin,1987:124.
3 Soerjono Soekanto, 1982:307.
4 Fazlur Rahman, 1983:267.

5 Idem, 1982:173

6 Idem, 1983: v-vii.

7 John L. Esposito dalam artikelnya “Islamic Fundamentalism”, SIDIC, Vol.XXXII, No.3-

1999:p.15-16.

8 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World,1995.

9 Arkoun, p.170

10 Arkoun, p.170-183

11 Arkoun, Al-Islam al-Akhlaq wa al-Siyasah,1986:172.

12 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, 1986:44; Nurcholish Madjid, “Fiqh di Zaman

para Sahabat Nabi”, makalah Kajian Agama Paramadina ke-34 tahun III/1989:14-15.

13 Jurnal Tarjih, edisi ke-6, Juli 2003:6-7.

14 Arkoun, Op.cit: 173.

15 Kasuo Shimogaki, 1994:130.

16 Arkoun, Op.cit:175. Lihat juga Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Araby al-Islamy, l986:186.

17 Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi, 2005: 27.

18 Bandingkan juga kritik penulis dengan kritik John Meuleman (ed.) terhadap Arkoun dalam:

Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed

Arkoun, l996:151-162.

19 Arkoun, Islam Kemaren dan Hari Esok,1983:177-183.

20 Mohammad Hatta, “Tanggungjawab Moral Kaum Inteligensia”, dalam Aswab Mahasin dan

Ismet Natsir, Cendekiawan dan Politik, 1984:12.

21 Farid Esack, Dekonstruksi Syariah (II), Kritik Konsep Penjelajahan Lain, 1996:225-227.

22 Arkoun, Nalar Islami, 1994:39.


2 . Pemahaman tentang Sekularisme

Sekuler, Sekularisasi dan Sekularisme


Istilah sekuler berasal dari kata saeculum (bahasa Latin) yang berarti masa (waktu) atau
generasi.189 Istilah Latin lainnya yang mengandung arti mirip dengan saeculum adalah mundus.
Saeculum lebih berorientasi pada dimensi waktu, sedangkan mundus bermakna ruang.190 Dalam al-
Qur’an dikenal istilah ad-dunyã dan al-ulã. Istilah ad-dunyã merupakan bentuk mu’annas dari kata
sifat al-adnã yang mengandung makna “yang terdekat”, jadi lebih berorientasi pada dimensi ruang.
Sedangkan kata al-ulã merupakan bentuk mu’annas dari kata sifat al-awwal yang mengandung
pengertian “yang pertama”, lebih berorientasi pada dimensi waktu. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia,191 istilah sekuler berarti sesuatu yang bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat
keagamaan atau kerohanian). Sedangkan sekularisasi mengandung arti hal-hal yang membawa ke arah
kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Sekularisasi juga bisa berarti upaya
pengambilalihan bangunan dan barang-barang milik yayasan keagamaan untuk dijadikan milik negara
dan digunakan untuk keperluan lain.

Berkaitan dengan istilah sekularisme dapat diartikan suatu paham atau pandangan filsafat yang
berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Namun istilah sekularisasi ini
bisa dipahami dari dua sudut pandang. Sudut pandang pertama (dalam konteks hubungan agama dan
negara), sekularisasi mengandung arti upaya pemisahan antara wilayah agama dan negara. Agama
lebih berada pada dataran individual, sedangkan negara pada wilayah sosial-kemasyarakatan. Dalam
konteks ini agama hanya dibatasi dalam wilayah person anggota masyarakat. Ajaran agama tidak
dibenarkan untuk ikut campur dalam soal-soal kemasyarakatan dan kenegaraan.
Dalam konteks sejarah gereja192 terjadi prinsip dualisme hubungan antara gereja sebagai
institusi agama yang individualistik dengan negara sebagai institusi sosial yang komunalistik.
Sedangkan sudut pandang kedua (secara teologis), sekularisasi berarti upaya memisahkan antara aspek
transenden (Tuhan) dengan yang profan (yang bukan Tuhan). Karena percampuran antara keduanya
akan melahirkan ketidaksucian dalam upaya memahami Tuhan itu sendiri (yang universal) serta
kaitannya dengan kehidupan dunia yang sangat dinamis (partikular). Dalam kaitan di atas istilah
sekularisme cenderung dihubungkan dengan pola pemahaman yang pertama.

Di dunia Islam, istilah “sekuler” pertama kali diperkenalkan oleh Zia Gokalp (1875-1924),
sosiolog terkemuka dan teoritikus nasionalisTurki. Istilah ini seringkali dipahami dalam pengertian
irreligius atau bahkan antireligius, dan tafsiran ini lebih jauh memunculkan kecurigaan yang juga
menyertai sikap terhadap gagasan itu.193

Bahasa Arab mengadopsi suatu istilah dari penggunaan orang-orang Kristen Arab yang
menggunakan istilah ini untuk mengekspresikan gagasan ini sebelum ia menarik perhatian kaum
muslimin. Kata yang mereka ciptakan adalah ‘alamani (dunia) yang maknanya adalah duniawi, yang
dilawankan dengan selain dunia atau spiritual. 194 Di masa modern istilah ‘alamani diucapkan lagi
dengan istilah ‘ilmãni yang mengandung arti ilmiah (dari ‘ilm), pengetahuan atau sains yang
dilawankan dengan religius. Kontradiksi antara sains dengan religius ini banyak dikritik oleh para
sarjana muslim, karena dalam Islam tidak dipertentangkan antara ilmu dan agama.

Dalam perkembangan lebih lanjut, secara terminologis, konsep sekularisme paling tidak
mengenal tiga konteks pemahaman, yakni: pertama, sekularisme objektif yakni secara struktural atau
institusional terdapat pemisahan antara agama dengan lembaga-lembaga lain. Misalnya dalam politik,
diwujudkan dalam pemisahan antara negara dan agama. Contoh, Turki dengan Kemalisme.
Sekularisme objektif ini dinamai juga dengan istilah ‘ilmãniyah. Kedua, sekularisme subjektif; yakni
bila pengalaman sehari-hari tidak dapat dipetakan dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman
hidup dengan pengalaman keagamaan. Orang sekular mengadakan subjektivikasi pada pengalamannya,
dan orang beriman mengadakan internalisasi. Ketiga, sekularisme ateis yang mengandung
pemahaman bahwa akal dapat menentukan nilai baik buruk, benar salah, sehingga tidak diperlukan lagi
adanya wahyu Tuhan. Model sekularisme ateis ini disebut lã diniyyah.
a. Awal Munculnya Sekularisasi di Barat

Secara historis, awal munculnya diskursus sekularisasi dalam politik bisa dikaitkan dengan
era renaisans. Masa renaisans (1350-1600 M) merupakan masa transisi dalam sejarah Barat antara abad
pertengahan dengan abad modern. Istilah renaissance merupakan bahasa Perancis yang dalam bahasa
Latin disebut re plus nasci yang berarti lahir (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarawan
untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih
khusus lagi di Itali, sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh sejarawan
terkenal, Michelet, lalu dikembangkan oleh J. Burchkhardt (1860) untuk konsep sejarah yang
menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan antik, penemuan
dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode abad pertengahan. Karya filsafat
pada abad ini sering disebut filsafat renaisans.195

Zaman renaisans sebagai titik balik zaman pertengahan di mana agama Kristen mengalami
kejatuhannya, setelah sekian abad memperoleh kejayaan selama abad pertengahan. Pada zaman ide-
ide dari dunia gereja (Katolik Roma) telah jatuh yang dibarengi dengan munculnya gereja-gereja
nasional. Dengan kejatuhan otoritas gereja ini muncul gerakan reformasi Kristen. Munculnya –
misalnya – individualisme Martin Luther merupakan akibat logis dari munculnya paham
individualisme dan humanisme secara umum pada abad renaisans.
Gerakan intelektual (humanisme) tidak mengusulkan untuk menempatkan kembali nilai-nilai
Kristen tradisional abad pertengahan. Orang semacam Pico dan Erasmus mengajukan perlunya
pengkayaan atau diadakannya purifikasi pada orang-orang Kristen Erasmus, khususnya sebagai
pemikir humanis yang paling representatif, dengan tegas menyerang Katolikisme. Krisis agama yang
terjadi pada masa-masa renaisans sifatnya lebih internal. Gereja tidak mampu lagi memenuhi harapan-
harapan banyak orang pada masa renaisans.196

Ciri utama renaisans ialah humanisme, individualisme, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh
agama - Kristen), empirisme, dan rasionalisme. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan
rasional berkembang. Pada era modern (pasca renaisans) filsafat menjadi berkembang. Sains pun
akhirnya mengalami kemajuan karena semangat empirisme tersebut. Agama (Kristen) semakin
ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Kelak zaman renaisans ini sebagai pintu pertama
terbukanya era modern nanti.
Ciri lain dari renaisans ini adanya sikap oposisi terhadap segala dominasi gereja yang
menghambat kreativitas individual masyarakatnya. Akibat gerakan renaisans, muncul berbagai upaya
untuk mengutamakan individu yang kreatif dan ingin kembali meraih kejayaan seperti pada era Yunani
Kuno di mana aspek pemikiran dihargai secara positif. Secara politis, era renaisans merupakan simbol
dari adanya sebuah revolusi individualisme dan humanisme menentang semangat dominasi dan
kolektivisme gereja di abad tengah. Walaupun abad ini lebih ditandai dengan kebangkitan kembali
aspek ilmu, seni kebudayaan, namun dapat diperkirakan hal ini juga melahirkan dimensi filsafat politik
yang lebih bersifat “liberal”, individualistik, humanistik serta semangat anti dikator oleh tokoh-tokoh
agama (gereja); pola pemikiran politik yang bercorak antroposentrik berhadapan dengan pola
teosentrik. Wibawa dan otoritas mereka (para agamawan gereja) sebagai “wakil” negara menjadi
luntur. Implikasi dari perubahan ini mengakibatkan eksisnya filsafat pemikiran politik yang substantif-
individualistik ketimbang institusionalistik.197 Inilah awal terjadinya sekularisasi dalam politik
kenegaraan.

b. Sekularisasi dalam Wacana Teologi

Untuk memperkaya khazanah pemikiran perlu pula dijelaskan konsep sekularisasi dalam
konteks teologi (dibedakan dengan konteks politik atau negara). Nurcholish Madjid, dalam Islam
Doktrin dan Peradaban198 menyatakan bahwa sekularisasi identik dengan upaya demitologisasi
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as yang hidup sekitar dua abad sebelum
Masehi. Menurut Nurcholish Madjid upaya sekularisasi (dalam artian demitologisasi) ini juga pernah
dilakukan oleh bangsa-bangsa Semit terhadap konsep tujuh hari dari bangsa-bangsa kuno di
Mesopotamia dan Yunani sebagai konsekwensi kesadaran monoteis mereka. Dengan konsep
demitologisasi (sekularisasi) itu, konsep hari yang tujuh juga mengalami desakralisasi, dalam artian
dilepaskan dari nilai sakralnya sebagai cara penentuan waktu memuja dewa-dewa langit yang tujuh.
Meminjam bahasa Robert N. Bellah, obyek-obyek mitologi itu dikenakan “devaluasi radikal”, yaitu
dengan tegas diturunkan nilainya dari ketinggian derajat yang mengandung kesucian menjadi obyek
yang hanya boleh jadi mengandung kegunaan praktis sehari-hari saja. Sedangkan Robert N. Bellah
dalam Beyond Belief199 menyebutnya dengan istilah sekularisasi. Lihat juga Harvey Cox 200
yang
menamakan dengan istilah desakralisasi.
c. Diskursus Sekularisasi dalam Konteks Islam dan Negara

1) Perspektif Kemal Ataturk (Kasus Turki)

Turki merupakan satu negara Islam yang banyak pengalaman modernisasi di banding negeri
Islam lainnya. Kesadaran modernisasi bagi Turki lebih didorong oleh munculnya revolusi industri di
Eropa abad 18. Tujuan modernisasi Turki adalah dalam rangka bersaing dengan Barat. Kemajuan Barat
yang “mempesona” sekaligus dianggap sebagai ancaman bagi Turki, turut memotivasi upaya
modernisasi tersebut, di samping kedekatan secara geografis antara Turki dan Barat. Pada mulanya,
upaya tersebut terutama di masa dinasti Usmani (Sultan dan Birokrat) mendapat dukungan ulama
tradisional, namun mendapat tantangan dari ulama pembaharu, seperti Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani. Di masa dinasti Usmani, Turki meliputi sebagian negara Eropa, Asia Tengah,
Afrika dan semenanjung Arab. Namun pada akhirnya mengalami kemunduran, belakangan hanya Turki
saja sebagai wilayah dinasti tersebut. Kemunduran tersebut lebih disebabkan adanya pertentangan
internal dinasti Usmani serta pemberontakan dan upaya pelepasan diri dari negeri-negeri jajahan.
Pada masa Sultan Salim III (1789-1807) diupayakan program pembaharuan terutama di bidang
militer dan birokrasi, namun mengalami kegagalan. Kegagalan Turki dalam upaya pembaharuan
tersebut dikecam oleh Eropa Barat sebagai “The Sick Man of Europe” (Orang sakit Eropa). Dalam
sejarah pembaharuan Turki pra-Ataturk, paling tidak mengalami empat kali kegagalan, yakni
kegagalan: Sultan Salim III (1789-1807), Sultan Mahmud II (1808-1839), Sultan Abdul Majid (1839-
1861) dan “Usmani Muda”.
Kelompok Usmani Muda dipimpin oleh beberapa tokohnya antara lain; Ziya Pasha, Namik
Kemal dan Ali Suavi. Mereka ini dikenal sebagai tokoh intelektual muda yang juga ingin melakukan
upaya pembaharuan. Pemikiran mereka bercorak liberal, menghargai kebebasan berpendapat, memiliki
kesadaran nasional yang tinggi, konstitusionalisme dan juga modernis Islam. Kelompok ini tidak
menginginkan adanya “westernisme”, namun ingin memodifikasi Barat dengan Islam terutama di
bidang politik.
Kelompok Usmani Muda ini juga dinilai gagal karena tidak didukung oleh kelas menengah
terpelajar maupun golongan ekonomi kuat, rakyat juga tidak begitu memahami ide-ide mereka yang
terlalu tinggi. Belakangan muncul kelompok Turki Muda yang dipelopori oleh Ahmad Riza, Mehmed
Murad dan pangeran Salahuddin. Kelompok ini berhasil menumbuhkan kebebasan intelektual. Dalam
sejarah Turki, paling tidak muncul tiga aliran pembaharuan; pertama, golongan yang berkiblat ke
Barat. Kedua, kelompok yang Islamic oriented. Ketiga, golongan nasionalis.
Golongan nasionalis ini dipelopori oleh Ziya Gokalp (1875-1924). Mereka berpendapat bahwa
kebudayaan tidak didasarkan kepada syariat atau budaya Turki pra-Islam maupun Barat ansich.
Dengan demikian, kebudayaan nasional Turki harus memiliki unsur budaya Barat, tetapi Islam tetap
menjiwai kebudayaan Turki modern. Maryam Jameelah menilai, Gokalp adalah “bapak” ideologis
Mustafa Kemal Ataturk.

Pasca Turki Muda muncul Kemal Ataturk, sebagai pendiri dan “bapak” Turki modern (1881-
1938). Berbeda dengan para pendahulunya, Kemal lebih bersifat institusional ketimbang akademis
dalam menjalankan pembaharuannya. Kemal lahir di Salonika (1881) dari keluarga yang taat agama.
Beliau pernah mengecap pendidikan pada madrasah Fatima Mollah Kadin yang tradisional. Karena
merasa kurang senang, ia melawan gurunya. Lalu ia dikirim ayahnya ke sekolah Imam Shemsi Effendi
dan sukses belajar di sana. Kemudian Kemal melanjutkan studinya ke Sekolah Militer Menengah di
kotanya, juga Sekolah Latihan Militer di Monastir. Lalu ke Sekolah Tinggi Militer di Istanbul hingga
mendapat pangkat Kapten.

Kemal sangat dikenal sebagai peminat matematika, juga politik, sejarah dan sastra. Napoleon
Bonaparte adalah tokoh yang ia kagumi. Di bidang filsafat ia juga membaca karya-karya John Stuart
Mill, Rosseuau, Voltare, Montesqiu, dan lain-lain. Dalam karir politiknya dia pernah menentang Sultan
Hamid, mengadakan rapat gelap, menyebarkan pamflet dan pernah dipenjarakan. Dalam perang
kemerdekaan (1919-1922) ia memimpin Turki yakni pasca Perang Dunia I, yang akhirnya melahirkan
kemerdekaan bagi Turki. Di masa itu ia menjabat sebagai panglima perang yang sangat dikagumi oleh
rakyat Turki. Karena kekaguman mereka, beliau digelar sebagai al-Ghãzi (sang pahlawan perang).

Tahun 1922 Kemal menghapuskan kesultanan Turki, dan pada 1923 lewat dukungan Majelis
Nasional Agung, Turki diproklamirkan sebagai negara yang merdeka dan Mustafa Kemal sebagai
presiden yang pertama. Pada saat itu Islam resmi sebagai agama negara. Tahun 1924 jabatan
kekhalifahan dihapuskan. Dan tahun 1937 Turki dinyatakan secara resmi sebagai negara sekuler
dengan pencantuman prinsip sekularisme ke dalam konstitusi.

Antara tahun 1922-1937 langkah-langkah sekularisme dilaksanakan antara lain: pertama,


hukum syari’at diganti dengan hukum Swiss. Kedua, madrasah dan pendidikan agama dihapus dari
sistem pendidikan nasional Turki. Ketiga, zawiyah (asrama sufi) dihapus dan perkumpulan tarekat
dilarang. Keempat, alphabet Arab diganti dengan huruf latin serta diterapkannya penggunaan angka
internasional. Kelima, pakaian tradisional Turki (tutup kepala) diganti dengan pakaian Eropa.
Dalam menjalankan roda sekularisasinya, Kemal menjadikan Partai Rakyat Republik
(Republican Peoples Party) sebagai media reformasinya. Kala itu partai tersebut merupakan partai
tunggal, belum ada partai oposisi. Secara strategis partai tersebut mudah dikontrol oleh Kemal. Dengan
demikian sekularisasi dan westernisasi menggeser peranan Islam dalam sistem kemasyarakatan dan
kenegaraan Turki.
Namun, walaupun Turki bersifat sekuler, tetap mengurus soal agama melalui Direktorat Urusan
Agama, pengadaan sekolah pemerintah untuk imam dan khatib serta mengelola fakultas ilahiyat pada
universitas Istanbul. Sebenarnya, Mustafa Kemal percaya bahwa Turki modern dapat ditopang oleh
“agama rakyat”. Di sini agama hanya memainkan peranan sekunder atau sampingan dan diturunkan
peranannya menjadi nilai personal.
Mustafa Kemal dalam menjalankan upaya pembaharuannya sangat revolusioner. Belakangan
melahirkan apa yang disebut dengan Kemalisme. Di bawah pimpinannya Turki menjadi negara sekuler
pertama di dunia Islam. Pengaruh Kemalisme meliputi kelompok elite Turki, birokrasi dan militer.
Namun Islam sebagai “agama rakyat” tetap beliau pertahankan. Tidak heran bila pemerintah Turki
berusaha mempertahankan keislaman rakyat sambil tetap menjalankan sekularisasi kenegaraan.
Struktur politik negara tetap di tangan kaum Kemalis, namun Islam tetap diperhitungkan.201
Namun (pasca Kemal), Turki mengalami kembali dinamika keberagamaan, hal ini ditandai
dengan banyaknya upaya pembangunan masjid, pendidikan agama dalam berbagai lembaga
pendidikan, banyaknya peserta da’i dan qari, yang kesemuanya membawa arah perkembangan positif
keislaman Turki di masa depan. Fenomena di atas oleh Prof. Sherif Mardin dinyatakan sebagai adanya
“bentuk Islam yang dihidupkan kembali”.
Sejalan dengan realitas di atas terlihat betapa intens pergulatan antara Islam dan Kemalisme di
Turki, kutipan dari Prof. Sherif Mardin berikut ini memperkuat dugaan tersebut:
“Saya optimis Islam akan lebih semarak lagi di negeri ini. Sekularisme tidak akan mampu
menggusur keislaman rakyat Turki. Islam adalah agama rakyat dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam kehidupan mereka … Kemalisme sudah berakar di sini, terutama pada
lapisan elite dan birokrasi. Lagi pula, kaum Kemalis punya “penjaga gawang” yang tangguh:
militer”.202
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kasus Turki di atas? Nurcholish Madjid menyatakan,
upaya Turki melakukan sekularisasinya paling tidak ditandai oleh dua hal: pertama, Turki ingin
menjadi bangsa yang maju seperti Barat, tidak inferior seperti Timur. Kedua, Turki menafikan warisan
kulturalnya yakni Islam sebagai akar kebudayaannya. Dengan demikian Turki kurang berhasil karena
melupakan akar tradisional, hal ini berbeda dengan Jepang yang sukses dalam modernisasi karena tidak
melupakan jiwa keagamaan Tokugawa.
Sedikit berbeda dengan Nurcholish di atas, Prof. Dr. Harun Nasution menyatakan:
“Sekularisme Mustafa Kemal tidak menghilangkan agama Islam dari Turki, dan Mustafa Kemal
memang tidak bermaksud demikian. Adapun yang ia maksud ialah menghilangkan kekuasaan agama
dari bidang politik dan pemerintahan”.
Proses sekularisasi di Turki memang mengundang kontroversi antara yang setuju dengan yang
tidak setuju. Namun oleh Bernard Lewis dinyatakan bahwa di Turki pada hakikatnya bukan terjadi
westernisasi tetapi modernisasi. Dengan demikian, Turki bersama Indonesia akan dapat menampilkan
citra Islam yang positif di masa depan. 203
Secara filosofis dapat dikemukakan bahwa di Turki terjadi suatu keadaan di mana kelompok
agamawan yang kurang memahami wawasan “sekuler” berhadapan dengan para ilmuan yang agak jauh
dari principle guidance. Posisi antara keulamaan yang bersifat kolektif (cenderung statis) dengan figur
individual (seperti Kemal) yang dinamis. Posisi tersebut melahirkan missing link atau something lost.
Dengan demikian kajian terhadap proses sekularisasi di Turki harus melihat berbagai rentetan peristiwa
kesejarahan Turki pra dan pasca era 50-an, juga tentang latar belakang kehidupan Kemal sendiri.
Sekularisme muncul dengan mudah bila suatu tatanan masyarakat bersifat value vacuum akibat
(dalam kasus Turki) ulama tradisional kurang antisipatif dan kontributif dalam menangani
problematika modernitas. Hal tersebut berdampak kepada marjinalitas Islam sebagai tatanan nilai.
Sebenarnya peluang bagi tumbuhnya sekularisme di Turki telah ada sejak masa pra –Kemal.204
2) Perspektif Ali Abd. Ar-Raziq

Pemerintahan Nabi Muhammad saw menurut ar-Raziq, hanya mengandung suatu nilai yang
menyerupai pemerintahan politik dan kekuasaan secara alami, hal ini terwujud dalam kenyataannya
bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang ummi yang diutus untuk bangsa yang ummi pula. Tentu
saja segala langkah bahkan syariatnya didasarkan atas prinsip ummi ini, serta muncul dari kepolosan
insaniah yang sederhana dan muncul dari fitrah yang tiada tercela.
Lebih jauh, tugas-tugas Nabi dan mekanisme pemerintahan, Ali Abd. Ar-Raziq 205
berkesimpulan bahwa misi Nabi adalah misi agama ansich yang tak ada kaitannya dengan politik
keduniaan. Menurutnya, sebagaimana dikutip Munawir Syadzali, bahwa:

“Nabi Besar Muhammad saw adalah semata-mata seorang utusan (Allah) untuk mendakwahkan
agama murni tanpa maksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan
duniawi, negara ataupun pemerintahan. Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau
sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia adalah Nabi semata seperti halnya para Nabi
sebelumnya. Dia bukan raja, bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak umat untuk
mendirikan kerajaan duniawi”.206

Lebih lanjut, ar-Raziq mengatakan bahwa kalau ada kehidupan kemasyarakatan yang
dibebankan kepada dirinya maka itu bukan termasuk tugas risalah atau tugas nubuwwah. Karena itu
setelah beliau wafat, tidak seorang pun yang dapat menggantikan tugas risalah itu. Kalau pun Abu
Bakar muncul, maka itu kepemimpinan dalam bentuk baru yang bersifat duniawi (profane) atau
pemimpin politik yang bercorak kekuasaan dan pemerintahan.
Abu Bakar, sebagaimana ditulis ar-Raziq dalam karyanya Islãm wa Ushũl al-Hukm, disebut
sebagai khalifah rasul agar kaum muslimin taat kepadanya seperti taat kepada Rasulullah saw. Orang-
orang yang tidak menaati Abu Bakar dianggap keluar dari Islam (murtad). Memerangi mereka
dianggap sebagai perang agama. Menurut ar-Raziq, mereka belum tentu murtad dalam arti kufur
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka tetap Islam, hanya tidak mau bergabung dengan kepemimpinan
Abu Bakar. Di antara mereka yang dibunuh oleh tentara Abu Bakar (Khalid ibn al-Walid) adalah Malik
ibn Nuwairah. Ia mengaku terang-terangan bahwa dirinya adalah Islam, hanya tidak mau
membayarkan zakat kepada Abu Bakar. Keislaman dia pun disaksikan pula oleh Umar ibn al-
Khattab.207

Dengan demikian, kekhalifahan lepas dari Islam yang dikenal oleh kaum muslimin. Khilafah
tidak ada kaitan dengan agama, bahkan dengan peradilan dan semua mekanisme pemerintahan dan
lembaga-lembaga kenegaraan pun tidak berkaitan dengan agama. Agama tidak mengenal semua itu dan
tidak memerintahkan serta melarangnya. Semuanya dikembalikan kepada akal pengalaman manusia
dan kepada pendapat orang-orang yang tahu.208

3) Perspektif Thaha Husein


Berbeda dengan Ali Abd. Al-Raziq, menurut Thaha Husein (1889-1973), untuk memajukan
umat Islam membutuhkan dua tahapan. Tahapan pertama, gagasan sekularisasi perlu dikemukakan
yakni dengan melepaskan masalah-masalah duniawi, termasuk tradisi pemahaman agama. Khususnya
menyangkut nash yang zhanny al-dalãlah (ajaran agama yang bukan dasar) dari agama (ajaran dasar);
karena pemahaman manusia terhadap ajaran-ajaran yang bukan dasar itu sifatnya tidak absolut, akan
tetapi bersifat relatif, sehingga manusia tidak mesti terikat padanya. Gagasan sekularisasi ini
dilancarkannya dalam berbagai bidang, mencakup bidang budaya, pendidikan, politik, dan dalam
bidang agama. Perlu dicatat bahwa gagasan sekularisasi versi Thaha Husein ini sangat berbeda dengan
sekularisasi yang terjadi di Barat, baik dari titik tolaknya maupun hasilnya. Sekularisasi dalam
perspektif Thaha Husein bertitik tolak dari proses melepaskan umat dari ikatan-ikatan tradisi, termasuk
ajaran agama yang merupakan pemahaman para pendahulu terhadap nash-nash yang zhanny, dan
berakhir dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits (tidak terlepas dari keduanya). Adapun
sekularisasi di Barat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Denny JA dalam berbagai tulisannya, 209
bertitik tolak dari pemisahan dunia termasuk politik dan ilmu dari agama, dan berakhir dengan
terlepasnya ilmu dari gereja.

Setelah menegaskan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan, Thaha Husein


menawarkan tahapan berikutnya, yaitu berbagai usaha menyongsong masa depan yang modern bagi
umat Islam. Bahkan secara monumental, gagasan itu ia tuliskan dalam bukunya yang paling penting
dan sistematis, Mustaqbal al-Tsaqãfah fi Mishr (Masa Depan Kebudayaan Mesir). Dalam bidang
budaya, pendidikan, dan politik, ia menawarkan untuk mengadopsi peradaban Barat modern yang
terlepas dari ikatan agama Kristen, sebab menurutnya peradaban Barat adalah bentuk ideal dari
peradaban modern itu, dan hanya dengan mengadopsi peradaban tersebut masyarakat Islam baru bisa
meraih kemajuan. Hal itu, menurutnya, karena peradaban Barat itu merupakan kelanjutan wajar dari
perkembangan manusia secara keseluruhan dan Islam turut memilikinya, jika bukannya sumbangan
Islam paling besar. Sementara sistem politik dan pendidikan tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Tetapi
perlu diingat bahwa Thaha bukan a-historis, sebab menurutnya, Mesir modern harus dibangun di atas
Mesir yang lama. Dalam bidang agama, setelah menganjurkan sekularisasi, Thaha mengarahkan umat
agar melakukan ijtihad langsung pada al-Qur’an, jangan berhenti pada pemahaman ulama terdahulu,
sebab umat Islam zaman kini mempunyai hak yang sama dengan umat Islam terdahulu itu dalam
menggali al-Qur’an.210

4) Perspektif Mohammed Arkoun


Dalam karyanya Rethinking Islam211 Arkoun mengemukakan bahwa akomodasi terhadap
konsep sekularisme Barat oleh dunia Muslim - seperti yang dilakukan oleh Turki masa Kemal Attaturk
– tak lain sebagai wujud kesadaran naif akibat adanya culture shock melihat kemajuan peradaban
Barat yang secara diametral begitu berbeda dengan kondisi dunia Islam (Turki Usmani) yang
cenderung masih diselimuti oleh pelbagai tabu religius, khurafat dan tabu magik, yang memantulkan
ketidaksederajatan-ketidaksederajatan, pribumi yang sewenang-wenang, politik kolonial dan
keterbelakangan kultural yang memilukan.
Dalam karyanya Min Faishal Tafrîqah ilã Fashl al-Maqãl …Aina al-Fikr al-Islãmi al-
Mu’ãshir212 Arkoun menjelaskan pula tentang adanya pemikiran di Perancis dan di Barat pada
umumnya yang meyakini bahwa seorang Muslim pasti menentang sekularisme. Menurut mereka, Islam
dan sekularisme merupakan dua hal yang saling bertentangan dan tidak mungkin berkumpul.
Pemikiran seperti ini tertanam kuat di kalangan kaum orientalis atau ahli-ahli keislaman (Islamolog).
Namun Arkoun sendiri menentang keyakinan pemikiran Barat tersebut. Lebih lanjut Arkoun
menjelaskan pandangannya berkaitan dengan “sekularisasi”. Menurut Arkoun, kata tersebut dibuat -
untuk pertama kali - di dalam konteks pertentangan-pertentangan sengit yang terjadi antara gereja dan
negara Perancis, sehingga ia memiliki legitimasi pada masa itu. Tetapi, lanjut Arkoun, sekarang ia telah
menjadi tidak memadai dan menyesatkan, bahkan berbahaya dengan kriteria bahwa ia tetap melakukan
tindakan-tindakan eksklusivitas dan pembuangan, sementara pemikiran humanis moderen menuntut
adanya penilaian ulang, pembuktian-pembuktian baru, dan memperkokoh kemajuan, bahkan menuntut
untuk menghapuskan semua batasan dan dinding yang diwarisi dari masa lalu. Adapun yang dimaksud
Arkoun, dengan masa lalu tersebut adalah masa di mana penakwilan-penakwilan ideologis bagi agama
sangat dominan atas penetapan agama-agama “sekularisme”, menggantikan agama-agama tradisional
yang telah jauh menyeleweng dari yang seharusnya dengan bergantung kepada kekuasaan politis.
Dr. Hasyim Shalih, salah seorang murid Arkoun, menjelaskan bahwa yang dimaksud Arkoun
adalah filsafat-filsafat modern yang menggantikan tempat agama dalam masyarakat Eropa tidak
mampu mengajukan makna mutlak atau memuaskan yang pernah diberikan oleh agama pada zaman
pertengahan. Inilah faktor lahirnya perasaan kehilangan makna dan nihilisme pada peristiwa-peristiwa
masyarakat Eropa. Tetapi jalan keluarnya tidak terletak pada pengembalian tradisional kepada agama,
karena hal ini sesuatu yang tidak mungkin dan tidak masuk akal. Tetapi dalam pandangan Arkoun jalan
keluar tersebut terdapat pada pencarian bentuk baru bagi sekularisasi spiritual atau humanisme spiritual
melalui kajian perbandingan setiap pengalaman spiritual pada setiap masyarakat manusia, dan ini
merupakan pandangan antropologi yang luas dalam kajian agama-agama.213
Di lain kesempatan, Arkoun juga memberikan pemahamannya tentang sekularisasi sebagai
suatu “ketegangan terus-menerus untuk terlibat di dalam dunia realitas dan yang membantu kita
menyebarluaskan apa yang kita yakini sebagai benar di ranah sosial atau masyarakat”. 214 Arkoun juga
menekankan betapa pentingnya studi tentang sekularisasi dalam persepktif agama-agama, tidak hanya
satu agama tertentu, sebagaimana yang selama ini mendominasi studi keagamaan di kalangan
masyarakat Barat-Eropa.215

Untuk konteks Islam, lanjut Arkoun, telah pernah muncul kecenderungan humanis yang
bercorak sekuler yakni di awal abad pertengahan sebagaimana yang ditampilkan oleh al-Jahizh
(w.869). Menurut Arkoun, al-Jahizh telah melakukan sutau kritik historis tentang Islam. Namun saying,
banyak umat Islam tidak begitu mendalaminya. Tetapi pada abad 11 M, humanisme Islam ini
mengalami kemunduran karena faktor historis-sosiologis yang mengitarinya.216

Selanjutnya, bagi Arkoun, konsep sekularisasi identik dengan kebebasan yang telah ada sejak
era al-Makmun dan Mu’tazilah. Sayangnya, era kebebasan ini dikebiri oleh ortodoksi Muslim. Secara
defenitif, sekularisasi merupakan sikap terhadap pengetahuan yakni sikap yang terbuka dan bebas
sejauh mungkin, atau sampai batas yang memungkinkannya, tidak hanya syarat-syarat politis dan
sosial, tetapi juga kemajuan metodologi, pengetahuan, dan teknik yang mendominasi dalam suatu masa
dan tempat.

Namun, dalam kaitan ini tentunya Arkoun menolak pandangan “kaum sekularis militan”
(al-‘almâniyyûn al-shirrâ’iyyun/les laicistes militants) yang menolak mazhab agama apapun, baik
secara kultural, historis maupun ilmiah.217 Bagi Arkoun, agar umat Islam bisa mencapai pintu
sekularisasi, maka umat harus dibebaskan dari paksaan-paksaan dan kekangan-kekangan psikologis,
linguistik, dan ideologis yang membebani kaum muslimin, bukan hanya karena endapan sejarah
Muslim sendiri tetapi juga karena faktor-faktor eksternal dan suasana internasional. Maka pembacaan
ulang historisitas pemikiran Islam di empat abad pertama hijrah harus dilakukan.218

Dari uraian tentang sekuler, sekularisasi dan sekularisme di atas ada beberapa kesimpulan yang
dapat diungkapkan di sini antara lain bahwa sikap akomodatif yang dilakukan oleh negeri muslim
seperti Turki, misalnya, semata-mata dilandasi oleh fenomena cultural shock dari para elit Turki ketika
itu, bukan sesuatu yang genuine dari kedalaman dan kematangan terhadap basis ideologi kebangsaan
maupun penghayatan tradisi budaya dan keagamaan yang dimiliki. Konsep sekularisme sebagaimana
yang dipahami di Barat lebih bersifat dikotomis yakni dalam konteks pemisahan antara gereja (agama
Kristen) dan negara (Perancis). Dalam kaitan ini, cukup riskan bila dilakukan semacam generalisasi
antara sekularisasi konteks Kristen dengan konteks Islam sebagaimana yang dipahami oleh, misalnya,
Thaha Husein sebagaimana uraian terdahulu.

Sekularisme sebagaimana yang dipahami di kalangan masyarakat Barat lebih merupakan


“agama” (baca: filsafat) modern yang dianggap konsep yang canggih namun mengalami kekosongan
makna secara spiritual sebagaimana yang ditawarkan agama. Bagi konteks umat Islam, untuk
mengantisipasi nalar Etika politik sekular-humanistik, bukan berarti umat Islam harus kembali kepada
“agama tradisional”, tapi lebih dari itu amat dibutuhkannya formulasi baru tentang humanisme spiritual
yang sudah barang tentu harus diperbandingkan dengan berbagai faham humanisme dan kebebasan
yang telah ada, dan dalam perspektif agama-agama. Sekularisasi dalam perspektif yang baru ini
bukanlah menafikan agama, tetapi lebih pada upaya serius memperluas ruang kebebasan berfikir secara
kultural, historis dan ilmiah, tidak semata-mata ideologis dan teokratis.

Akhirnya, dari uraian di atas paling tidak dikenal dua konteks penggunaan istilah secular, yakni
konteks teologi dan politik. Terdapat pula tiga aliran sekuler yakni: objektif (’ilmãniyyah), subjektif,
dan ateis (lã dĩniyyah). Proses sekularisasi di sini lebih dimaknai adanya upaya liberasi pemikiran dari
kungkungan logosentrisme klasik atau devaluasi pemahaman tradisional menuju pemahaman baru
yang lebih kritis dan kontekstual. Dalam kaitan ini, humanisme spiritual Arkoun sejalan dengan teo-
humanistik yang penulis kemukakan untuk membedakannya dengan nalar etika politik sekuler yang
nir-spiritualitas.
3. Masyarakat Kitab dan Pluralisme

Dalam konteks pembahasan di sini Peneliti mulai dari pemahaman tentang ahl al-Kitãb, yang
oleh kebanyakan ulama dimaknai sebagai kelompok Yahudi dan Nasrani. 79

Namun pendapat di atas – seperti yang diwakili oleh Imam Syafi’i – berbeda pula dengan
pendapat Imam Hanafi yang menganggap komunitas yang percaya dengan Shuhuf Ibrahim maupun
Zabur (pengikut Nabi Daud a.s.) juga dapat digolongkan dengan ahl al-Kitãb. Bahkan beberapa
kalangan dari ulama salaf berpendapat lebih luas lagi, bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang
dapat di duga sebagai kitab suci (samawi), mereka juga ahl al-Kitãb, seperti penganut Majusi. Bahkan
al-Maududi menambahkan lagi bahwa para mujtahid kontemporer memasukkan juga Budha dan Hindu
kepada ahl al-Kitãb. Lebih lanjut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyimpulkan dalam fatwanya
bahwa:

Laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam
surat al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh
Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Ash-Shãbiĩn,
penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah ahl
al-Kitãb yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang.80

Apa yang dikemukakan oleh Imam Hanafi, minoritas Salaf, al-Maududi maupun Rasyid Ridla
sejalan pula dengan komentar Yusuf Ali dalam The Holy Qur’ãn, Translation and Commentary,
sebagaimana dikutip di bawah ini:

The Pseudo-Sabians of Harrãn, who attracted the attention of Khalifa Mamũn-al-Rashĩd in 830
A.s by their long hair and peculiar dress probably adopted the name as it was mentioned in the
Qur’ãn, in order to claim the privileges of the People of the Book. They were Syrian star-worshippers
with Hellenistic tendencies, like the Jews contemporary with Jesus. It is doubtful whether they had any
right to be called People of the Book in the technical sense of the term. But I think that in this matter
(though many authorities would dissent) the term can be extended by analogy to cover earnenst
followers of Zoroaster, the Vedas, Budha, Confucious and other Teachers of moral law.81
Bagi Arkoun sendiri, penggunaan konsep ahl al-Kitãb dianggap menimbulkan suasana polemis-
apologis yang berkepanjangan, mengingat konsep ahl al-Kitãb sering dikaitkan dengan kelompok
orang lain yang tersesat sembari memperkuat tentang adanya otentisitas wahyu yang baru.82 Menurut
Arkoun, konsep masyarakat kitab lebih bernuansa sosiologis-populis dan pluralistik ketimbang mitos
ahl al-Kitãb yang cenderung teologis-ideologis-elitis dan bersifat monolitik.

Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa konsep masyarakat kitab mencoba mereduksi adanya
manipulasi kelompok sosial tertentu terhadap wahyu agar tidak menjadi sebuah ideologi yang
eksklusif. Bagi Arkoun, sebuah pandangan teologis yang lama-kelamaan bermetamorfosa menjadi
ideologi harus segera didekonstruksi, agar teologi kewahyuan tetap terbuka bagi adanya pluralitas
penafsiran sekaligus dapat memenuhi kebutuhan orang banyak. Model pemahaman teologi kewahyuan
yang eksklusif-monolitik tersebut, bisa jadi disebabkan oleh para pengikut mufassir yang kurang kritis
atau mungkin mufassir itu sendiri sudah bersifat truth claim, dan mencoba melakukan sakralisasi
pemikiran keagamaan.

Seperti yang dinyatakan Arkoun di atas, aspirasi dan kebutuhan masyarakat harus lah dilihat
secara lebih plural, bukan sebagai sebuah pandangan yang monolitik. Di sinilah relevansi pernyataan
Arkoun yang menyatakan bahwa “masyarakat butuh sekularisasi kehidupan dunia kini dan dan di sini,
dimana antar waktu dan tempat kehidupan di dunia ini kebutuhan masyarakat pada hakikatnya saling
memiliki keberbedaan (pluralitas)”. Apa yang disinggung Arkoun tentang sekularisasi di sini tentu
berbeda dengan wacana sekularisasi dalam konteks agama dan Negara.
Menurut peneliti, tak dapat dipungkiri bahwa wacana Arkoun tentang “masyarakat kitab” ini
akan berdampak pada adanya perubahan terhadap model penafsiran teks keagamaan klasik, baik secara
internal kaum muslimin maupun eksternal hubungan antar umat Islam dengan non-Muslim. Dampak
pertama adalah “terancamnya” model pemahaman klasik yang monolitik dan truth claim, baik bagi
komunitas Muslim maupun non-Muslim yang secara fanatik telah lama memiliki pemahaman teks
keagamaan yang normatif dan monolitik, sekaligus telah disebarkan secara meluas melalui dakwah,
silabi pendidikan maupun literatur keagamaan. Dalam konteks ini akan menimbulkan kegoncangan
teologis bagi mayoritas penganut agama masing-masing tersebut. Kedua, secara ideologis dan politis
wacana Arkoun ini akan berdampak pada “terbukanya” kedok berbagai kepentingan politik, ekonomi
maupun sosial dari masing-masing komunitas yang ada, dan sudah barang tentu akan mengganggu
dimensi strategis dari masing-masing komunitas itu sendiri. Paling tidak, dua dampak ini secara jangka
panjang akan menjadi sebuah dilema, baik bagi masyarakat muslim maupun non-Muslim.

Tampaknya Arkoun sendiri belum pernah mengemukakan dampak pemikirannya ini sekaligus
memberikan solusi untuk mengatasinya. Namun bila direnungkan secara lebih jernih dan mendalam,
pada hakikatnya upaya Arkoun ini justeru akan mendorong terwujudnya proses kehidupan yang lebih
rasional dan demokratis, sekaligus mendorong munculnya komunitas Muslim maupun non Muslim
yang saling menghargai pluralitas dan keterbukaan karena diakui adanya penghargaan terhadap aneka
pemahaman teks keagamaan secara lebih terbuka, baik secara internal (hubungan antar komunitas umat
Islam) maupun eksternal (hubungan antar umat Islam dengan non Muslim). Hasil akhirnya sudah dapat
diprediksi akan terwujudnya masyarakat kitab yang toleran, terbuka dan saling menjunjung tinggi nilai
persaudaraan dan perdamaian, sebagai wujud konkrit dari tujuan akhir diturunkannya wahyu di muka
bumi ini.83

Memang yang paling penting dikemukakan di sini adalah adanya perbedaan mendasar
pandangan Arkoun dengan kebanyakan ulama dan pemikir Islam lainnya, mengenai pemahaman
tentang agama. Menurut Arkoun, bagi kaum muslimin tradisional, agama merupakan ajaran yang
diturunkan Allah dari langit sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an. Sedangkan menurut
sejarahwan dan sosiolog, dimana Arkoun termasuk di dalamnya, berpandangan bahwa agama
merupakan sistem keyakinan dan larangan yang bertemu dengan kondisi budaya, ekonomi dan politik
yang menciptakan masyarakat. Dengan kata lain, agama berada di dalam masyarakat dan sejarah,
bukan di atasnya. Agama sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor perkembangan sejarah masyarakat
84
secara keseluruhan, dalam ruang “sosiologis-historis”. Dalam kaitan dengan konsep masyarakat
Kitab ini, amat lah penting untuk menghubungkannya dengan konsep pluralisme (keagamaan).

Berbicara tentang pluralisme di sini, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu empat
pandangan berikut ini. Pertama, bahwa pluralisme tidak semata-mata tentang adanya paham
kemajemukan. Tetapi yang dimaksudkan adalah adanya keterlibatan aktif terhadap fenomena
kemajemukan itu sendiri. Dalam konteks ini, setiap orang dituntut untuk mampu berinteraksi dengan
pelbagai komunitas keagamaan agar dapat saling memahami berbagai unsur kesamaan maupun
perbedaan yang ada dalam agama-agama dimaksud.

Kedua, pluralisme di sini dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme memiliki


pandangan tentang adanya keanekaragaman agama, ras, dan bangsa yang hidup berdampingan dalam
suatu lokasi tertentu. Namun interaksi antar komponen tersebut sangat minim.
Ketiga, pluralisme yang dibedakan dengan paham relativisme. Paham relativisme cenderung
menganggap semua keyakinan agama dianggap benar yang pada gilirannya berdampak pada
pemahaman bahwa “semua agama sama”. Kebenaran agama-agama, baik yang memiliki kesamaan
maupun perbedaan harus dapat diterima. Dengan demikian, seorang relativis tidak mengenal atau tidak
menerima adanya kebenaran tunggal dan universal yang berlaku untuk semua tempat dan masa.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme yang menciptakan suatu agama baru dengan jalan
memadukan berbagai unsur dari agama-agama yang ada.85

Diskursus tentang pluralisme agama berikut ini akan dikemukakan pula pandangan Prof. Dr.
Fazlur Rahman, sebagaimana yang tertuang dalam karyanya, Major Themes of The Qur’an (Tema
Pokok al-Qur’an). Rahman mengemukakan bahwa kesadaran keanekaragaman agama-agama
walaupun semuanya terpancar dari sumber yang sama ini merupakan sebuah masalah teologis yang
amat penting bagi Muhammad s.a.w. Kenyataan ini sedemikian menghunjam dan sedemikian
mendukakan hatinya, sehingga sejak mendapatkan kesadaran ini hingga fase terakhir kehidupannya
masalah ini tetap disinggung al-Qur’an pada berbagai level.

Al-Qur’an berulangkali menyatakan bahwa agama-agama yang berbeda tidak hanya


bertentangan, tetapi setiap agama itu sendiri mengalami perpecahan di dalam tubuhnya. Di dalam al-
Qur’an terlihat pula sebuah pandangan yang agak berbeda mengenai masalah ini. Pada mulanya umat
manusia merupakan suatu kesatuan umat, namun kesatuan itu menjadi terpecah setelah turunnya
wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada para Nabi.86

Lebih lanjut Rahman menuturkan bahwa di dalam ayat-ayat yang diturunkan di Madinah,
istilah-istilah “sektarian” atau “partisan” tidak dipergunakan lagi. Orang-orang Yahudi dan Kristen
diakui sebagai “kaum-kaum” walaupun mereka masih diajak untuk masuk ke dalam Islam. Berbeda
dengan ketika perkembangan awal Islam di Mekah, al-Qur’an sama sekali tidak menggunakan istilah
kaum-kaum, apalagi kaum-kaum yang eksklusif.87

Lebih lanjut Rahman menyatakan bahwa al-Qur’an secara berulang kali mengakui adanya
manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut – Yahudi, Kristen, dan Shabi’in – seperti
pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman dalam Islam:
Orang-orang beriman (orang-orang Muslim), orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan
orang-orang Shabi’in – yang percaya kepada Allah dan Hari Kiamat serta melakukan amal kebajikan
akan memperoleh ganjaran dari Tuhan mereka, tidak ada sesuatu pun yang harus mereka kuatirkan, dan
mereka tidak akan berduka.88
Rahman juga memberikan komentar terhadap beberapa komentator Muslim yang menolak
adanya prinsip dalam kaitan tiga kelompok agama di atas. Para komentator tersebut menyatakan
bahwa, pertama, yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Shabi’in di dalam ayat-ayat
tersebut adalah mereka yang telah masuk Islam. Namun Rahman menolak ide ini, dengan menyatakan
bahwa penafsiran tersebut jelas sekali salah, karena seperti yang terlihat dalam ayat-ayat tersebut,
orang-orang Muslim adalah yang pertama di antara keempat kelompok “orang-orang yang percaya
kepada ….”. Kedua, para komentator mengatakan bahwa mungkin yang dimaksudkan dengan orang-
orang Yahudi, Kristen, Shabi’in yang saleh adalah mereka yang saleh sebelum kedatangan Nabi
Muhammad s.a.w. Namun Rahman menjawab bahwa penafsiran seperti itu lebih salah lagi. Terhadap
pernyataan orang-orang Yahudi dan Kristen bahwa di akhirat nanti mereka saja yang akan memperoleh
keselamatan, al-Qur’an berkata: “Sebaliknya! Yang berserah diri kepada Allah dan melakukan amal
kebajikan akan memperoleh pahala dari Tuhannya, tidak ada sesuatu pun yang harus mereka kuatirkan,
dan ia pun tidak akan berduka.”89

Lebih lanjut Rahman menyatakan bahwa logika dari pengakuan terhadap adanya kebajikan
universal dengan iman kepada Allah dan Hari Kiamat sebagai persyaratannya adalah agar kaum
Muslimin diakui sebagai salah satu di antara kaum-kaum lainnya. Di sini agaknya al-Qur’an
memberikan sebuah jawaban final sehubungan dengan masalah dunia yang multikaum ini:
Dan Kami telah menurunkan kepada engkau Kitab yang benar dan yang membenarkan serta
memelihara Kitab yang sebelumnya ….. Karena untuk masing-masing di antara kalian Kami telah
menetapkan sebuah Hukum dan Sebuah Peraturan (sedang esensi agama adalah identik). Jika Allah
menghendaki niscaya Dia membuat kalian semua menjadi suatu kaum, tetapi (Dia) tidak berbuat
demikian sehingga Dia dapat menguji kalian dengan apa-apa yang telah diberikan-Nya kepada kalian;
oleh karena itu berlomba-lombalah kalian di dalam kebajikan. Kepada Allah kalian semua akan
kembali dan Dia akan mengabarkan kepada kalian (Kebenaran) yang kalian perselisihkan.90

Dengan demikian, lanjut Rahman, manfaat dari pluralisme agama-agama dan kaum-kaum ini
adalah agar mereka saling berlomba di dalam kebajikan (bandingkan dengan 2:148; 2:177) dimana
setelah menyatakan perubahan kiblat dari Yerusalem ke Mekkah, al-Qur’an menandaskan bahwa kiblat
itu sendiri sebenarnya tidak penting, sedang yang terpenting adalah kesalehan dan berlomba-lomba di
dalam kebajikan.91
Dari uraian di atas terlihat bahwa pemahaman pluralisme ala Rahman lebih difokuskan pada
keharusan adanya toleransi keberagamaan dengan mengakui adanya dimensi iman (kesalehan) dan
kebajikan yang termuat dalam – untuk konteks ini – tiga agama besar dunia, Yahudi, Kristen dan Islam.
Adapun menurut Arkoun, pemahaman tentang pluralisme dapat dipahami dari argumennya
berikut ini. Dalam salahsatu ceramahnya dalam forum seminar internasional “Islam and the West:
Islamic and Modern Concept of Governance and Democracy” di Jakarta, Arkoun mengajak umat
untuk kembali mengingat-ingat kejayaan intelektual Islam masa lalu. Menurut Arkoun, Islam akan
meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa
awal Islam hingga abad pertengahan.
Pluralisme bisa dicapai apabila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan sehingga
umat Islam bisa bergaul dengan siapa saja. Menurut Arkoun, kolonialisme secara fisik memang telah
berakhir, namun pemikiran kita masih terjajah, tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan
berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh umat Islam. Dengan tetap mempertahankan pluralisme,
seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang
dalam Islam. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap Muslim untuk
berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di Negara-negara
Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.
Arkoun juga mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran,
pada saat itu muncul gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur
Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum,
ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam Majelis Ilmu (majlis al-‘ilmi), mereka saling bertukar-
pikiran dengan bebas dan terbuka.

Namun memasuki abad ke-13, menurut Arkoun, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun
debat teologi. Selama ini, kata Arkoun, umat Islam diajarkan bahwa Islam tidak memisahkan agama
dan politik. Islam adalah daulah (kerajaan). Namun menurut Arkoun, Ia menyatakan: “Sebagai seorang
ahli sejarah pemikiran Islam, bukan sebagai seorang politikus, saya katakan bahwa itu keliru.”

Dalam konteks ini umat Islam bisa membandingkan dengan agama Kristen Protestan secara
teologis dan dengan agama Katolik secara politik. Sampai revolusi Prancis, tidak ada legitimasi politik
yang tak dikontrol oleh gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi modern, karena setiap
orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci.
Sebenarnya, menurut Arkoun, umat Islam menemukan periode yang bisa memberikan harapan
besar akan munculnya kembali keragaman dalam berpikir pada saat munculnya Negara-negara baru
pascakolonialisme. Namun sayang kesempatan itu hilang. Islam kemudian digunakan sebagai alat
politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keragaman.

Untuk itulah, pada masa mendatang, Arkoun memberikan beberapa gagasan guna menjadikan
Islam sebagai jalan untuk berpikir dengan pendekatan humanis tanpa kehilangan semangat pluralisme.
Menurut Arkoun, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan
bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, ketika membangun demokrasi tidak hanya
dilandaskan pada Negara-bangsa, tapi pada manusia.

Munculnya Uni Eropa, menurut Arkoun, merupakan lompatan sejarah. Di sana ada ruang baru
kewarganegaraan, dengan membuka kesempatan manusia dari seluruh belahan bumi untuk
mendapatkan kewarganegaraan. Ada gaya baru pemerintahan yang berdiri di atas bangsa. Ini
merupakan revolusi dalam level politik. Model Uni Eropa ini bisa diadopsi oleh Negara-negara Muslim
dan bertemu dengan pengalaman Eropa dalam perspektif Humanisme.

Dalam level yang lebih teknis, Arkoun juga menekankan betapa pentingnya pendidikan yang
didasarkan pada Humanisme. Berkenaan dengan itu, di sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa
asing, sejarah, dan antropologi agama-agama. Dalam kaitan ini Arkoun menyebutkan hasil penelitian
Clifford Geertz dengan bukunya Religion of Java dan Islam Observed sebagai contoh terbaiknya. Maka
Arkoun mengajak umat Islam untuk bersikap terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua
pemikiran. Dalam konteks ini, lanjut Arkoun, umat Islam tidak perlu takut – misalnya - pada paham
Komunisme yang sudah bangkrut itu.92

Konsep masyarakat kitab lebih terbuka ketimbang ahl kitab yang bersifat teokratik-eksklusif.
Penggunaan konsepsi masyarakat kitab yang inklusif, terbuka dan demokratis ini akan berdampak pada
terwujudnya interaksi positif antara umat dengan non-Muslim, yang akhir-akhir ini semakin keras,
saling berbenturan dan tidak jarang melahirkan konflik horizontal. Islam yang menyejarah sebenrnya
terbuka untuk dialog kritis dan kemanusiaan. Kelanjutan dari konsep masyarakat kitab di atas
melahirkan pluraisme sosial yang ditandai adanya manusia saleh di semua komunitas, bahkan semua
agama. Pluralisme harus dilihat dalam perspektif “bukan berlomba-lomba membesarkan agama, tetapi
saling berlomba membesarkan nilai-nilai kebajikan yang ada dalam semua agama”. Inti dari ajaran
pluralisme adalah: kesalehan iman dan kebajikan amal. Paham kemanusiaan, kebebasan berpikir
sebagai peluang partisipasi ijtihad, dalam sejarah pemikiran politik Islam telah lama hilang, menjadi
nalar politik teokratik. Munculnya kemerdekaan negara pasca-kolonial tidak dimanfaatkan umat Islam
untuk mengembangkan humanisme dan pluralisme, malah lebih terjebak pada nalar politik teokratik.
Di sini sedikit terlihat kekaburan pemikiran Arkoun tentang paham humanisme ansich, di kesempatan
lain ia menggunakan istilah humanisme spiritual. Menurut peneliti, boleh jadi pemakaian istilah
“Humanisme” dalam konteks kebebasan wacana akademis yang sifatnya universal. Adapun istilah
“Humanisme spiritual” dalam konteks teologis, untuk membedakannya dengan humanisme sekuler.

4. Problematika Lingkungan Hidup

Filofosi Islam tentang Alam

Ajaran agama Islam sebenarnya memiliki banyak prinsip kehidupan yang universal, termasuk di
dalamnya tentang hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan alam. Secara
prinsipal, realisasi manusia dengan Allah lebih bersifat vertikal di mana manusia berada di posisi
“bawah” yang harus mengabdi (‘ibadah) sebagai hamba (‘abdun) terhadap Allah. Walaupun dalam
praktek kehidupan terkadang manusia menempatkan Tuhan pada posisi di “bawah” bahkan sebaliknya
manusia pada struktur “atas” yakni menafikan nilai-nilai ketuhanan sekaligus manusia menuhankan
atau menyembah dirinya sendiri, sebagaimana yang difirmankan Allah: a-fata-aita ittakhaza ilahahu
hawahu (al-Jatsiah:22).

Selain itu, struktur relasi antara manusia dengan manusia lebih bersifat horizontal dan egaliter.
Dalam pengertian bahwa kedudukan manusia pada prinsipnya memiliki kesetaraan tanpa diskriminasi
relasi baik bersifat jenis kelamin, suku, bangsa bahkan agama. Prinsip saling menghormati dan
menghargai merupakan prinsip yang hakiki sebagai basis relasi antar manusia. Secara biologos,
psikologis, sosiologis, antropologis setiap manusia memiliki karakteristiknya masing-masing. Namun
secara kemanusiaan (humanisme) yang universal semua umat manusia memiliki kesamaan untuk
disayang, dihargai, dihormati dan sejenisnya. Dalam bahasa Islam dikenal dengan konsep hak-hak
kemanuisaan (al-huquq al-insaniyyah) diantaranya: hak kebebasan beragama (hifzh al-din), hak hidup
(hifz al-nafz), hak berketurunan (hifz al-nasl), hak berusaha dan memiliki harta (hifz al-mal), hak
kebebasan berpikir (hifz al-‘aql).
Maka pada segmen ketiga, hubungan antara manusia dengan alam lebih terkait dengan konsep
“ketundukan alam” (taskhir). Namun perlu dicatat bahwa walaupun alam bersifat tunduk pada manusia,
namun hubungan manusia terhadap alam lebih didasari oleh konsep yang lebih apresiatif (appreciation)
dan persahabatan (friendly). Manusia dilarang keras untuk melakukan upaya permusuhan dan
pemerkosaan terhadap alam (exploitation). Segala musibah yang terjadi belakangan ini salah satunya
tak lain disamping karena manusia sudah lupa berhubungan baik dengan Allah maupun manusia, tak
kalah pentingnya kerena manusia sudah enggan bersahabat dengan alam bahkan memusuhinya.

Konsep Islam tentang Konservasi Alam

Berikut ini ada beberapa prinsip konversi alam yang wajib diperhatikan oleh umat manusia.
Pertama, keseimbangan alam atau equilibrium (at-tawazun) di mana sejak awal kejadiannya, alam
telah diciptakan secara serasi. Kedua, alam juga harus dimaknai sebagai tanda kebesaran dan
kemahasucian Allah. Karena Allah Maha Suci, maka kewajiban umat manusia untuk selalu menjaga
kesucian semua ciptaan-Nya, baik kesucian akan martabat manusia maupun kesucian alam.
Sebagaimana manusia, maka alam juga harus dibela dan dipelihara dari berbagai upaya yang
mengotorinya. Ketiga, manusia sebagai co-creator of God (khalifatullah fi al-ardl) yang punya
kewajiban memakmurkan alam dan segala isinya. Allah sudah menciptakan bahan baku alam, maka
tugas manusialah mengolahnya secara konstruktif. Keempat, adanya larangan bersifat destruktif
terhadap alam, (wa la tufsidu fi al-ardl, innallahu la-yuhibbu al-mufsidin). Kelima, musibah dan
bencana umumnya karena ulah manusia sendiri (zhahara al-fasad fi al-barri wa al-bahri bima kasabat
aidin-nas). Keenam, jangan sembarangan membunuh hewan, buang air di lubang semut, membunuh
kodok serta binatang kecil lainnya sebagimana pernah diwasiatkan oleh Nabi Muhammad saw.
Ketujuh, memelihara alam dari penebangan hutan secara liar (illegal logging), eksplorasi tambang
secara berlebihan (illegal mining), pencurian ikan (illegal fishing), emisi udara-knalpot yang tidak
sesuai standar. Perlunya menjaga kelestarian hutan, gunung,lautan dan sebagainya.

Penyebab Kerusakan Alam


Bila kita perhatikan secara seksama maka terjadinya berbagai kerusakan lingkungan alam
secara mendasar disebabkan oleh sistem pendidikan yang skriptual. Dalam konteks pendidikan Islam,
misalnya, pengajaran konsep tentang thaharah lebih bersifat parsial, eksklusif; belum mengarah pada
upaya perluasan atau kontekstualisasi dari konsep thaharah dimaksud. Konsep thaharah yang
mengandung makna kebersihan, sudah saatnya diperluas maknanya kepada konsep kebersihan sistem
politik, sistem ekonomi, sistem kebudayaan dan lingkungan hidup. Bukanlah sistem kehidupan yang
penuh najis atau polusi akan membuat kehidupan menjadi tidak nyaman? Di sini perlu diformulasikan
konsep Tauhid lingkungn atau Fiqh al-bi’ah, Fiqh lautan, dan sebagainya.

Demikian pula halnya tentang masih lemahnya law inforcement di Indonesia. Sebagai
perbandingan, di Singapura, orang yang kedapatan membuang sampah termasuk puntung rokok
sembarangan, akan dikenakan denda. Selain itu, kesadaran umat Islam juga masih terlalu lemah untuk
menyadari adanya bahaya polusi maupun kerusakan lingkungan. Karena sistem pengajaran Islam
(buku-buku teks, kurikulum maupun para guru), majlis taklim, khutbah Jumat, belum banyak
menyinggung hal ini. Tak kalah pentingnya, kerusakan lingkungan hidup di Indonesia selama ini juga
banyak disebabkan oleh model kebijakan pembangunan yang bertumpu pada ideology
developmentalism, yang dikenal kurang peduli dengan konsep analisis dampak lingkungan maupun
masalah community development.

Maka dalam kaitan ini, patut diberi penghargaan bagi para pejuang lingkungan hidup seperti
kelompok Green Peace, WALHI, dan sejenisnya. Wadah mahasiswa pecinta alam semacam MAPALA
maupun Gerakan pramuka laik pula dikembangkan di berbagai daerah di tanah air secara lebih fokus
pada upaya melestarikan alam. Belakangan ini muncul pula model Sekolah Alam, Qaryah Thayyibah
dan lain-lain yang layak dijadikan rujukan bagi generasi muda agar kelak mereka lebih memiliki
kepekaan terhadap pelestarian lingkungan alam. Tidak salah pula kita belajar dari mendiang YB
Mangunwijoyo di Kali Code Yogyakarta yang mendapat pengharhaan internasional, karena sukses
dalam membina lingkungan perumahan di pinggir kali. Saat ini PT Unilever, misalnya, juga terus
berupaya melakukan penilaian terhadap lingkungan RT yang asri di tanah air.

Upaya Pelestarian Alam

Berikut ini ada beberapa tips untuk upaya pelestarian lingkungan hidup. Pertama, kurikulum
Islam yang kontekstual atau fiqh al-bia’ah dan fiqh al-bahriyyah saatnya dikembangkan di lembaga
pendidikan Islam. Kedua, perlu upaya penegakan hukum atau sanksi yang tegas bagi para perusak
lingkungan. Ketiga, melakukan upaya penanaman bibit poon di area hutan yang telah gundul
(rebosisasi). Keempat, di kota-kota besar maupun pedesaan yang padat penduduk perlu dilakukan
tamanisasi. Pembuatan konblok mati sedapat mungkin dihindari agar air tidak lari dari halaman rumah
yang akhirnya menjadi “air jalanan”. Kelima, menggali kearifan lokal tentang upaya pelestarian alam.
Sebagaimana contoh di Sumbar dibuat ikan tawar yang dilestarikan. Keenam, membersihkan sampah di
kali/sungai serta proyek kanalisasi. Ketujuh, menanam hutan-hutan bakau di pinggir pantai agar tidak
terjadi abrasi, sekaligus bisa dijadikan pemecah air bila ada tsunami. Kedelapan, pemeliharaan terumbu
karang sebagai tempat penyemaian aneka jenis ikan. Para nelayan perlu dididik untuk tidak
menggunakan bom molotov dalam menangkap ikan yang berdampak pada rusaknya rumah ikan
(terumbu karang). Kesembilan, pembuatan hutan-hutan kota atau ruang terbuka hijau (RTH). Kini
banyak kota-kota besar dunia yang mulai menyadari betapa pentingnya RTH ini. Bahkan tidak sedikit
kantor-kantor yang menjulang tinggi kini menanam pohon yang bisa menjalar di dinding, maupun
pembuatan taman-taman hijau di atas atap rumah atau kantor. Orang Jepang juga selalu memanfaatkan
tanahnya yang sempit sekiar 1-2 meter untuk menanam cabe, terong, tomat, dan lain-lain. Kesepuluh,
penggunaan pupuk organik dan pemisahan sampah plastik dan kertas serta pembuatan pupuk kompos.
Salah satu kota kecil di Amerika yang pada mulanya kelihatan asri dan indah, namun akhirnya walikota
kota tersebut suatu hari menginstruksikan agar semua penduduk kota itu hijrah, akibat air yang ada di
bawah tanah sudah tercemar karena bertahun-tahun rumput dan ranamannya disirami dengan zat atau
pupuk non-organik. Kesebelas, pembuatan sumur-sumur resapan di sekitar rumah. Keduabelas,
penebangan kayu ala Thailand di mana penebangan tersebut bukan dari batang dekat akar, tetapi cukup
diambil dua tiga batang bagian cabang yang sudah besar serta menyisakan bagian cabang yang lain,
sambil menunggu beberapa tahun tumbuhnya tunas dari batang yang telah ditebang. Dengan demikian
akar batang yang menyimpan air tidak rusak. Wapres Yusuf Kalla pernah menganalogikan, bila kita
mengambil seribu pohom tanamlah sekitar dua ribu pohon. Ketigabelas, bisa juga dicanangkan gerakan
bersih lingkungan, misalnya setiap minggu/bulan. Keempatbelas, perlu peraturan daerah (perda)
tentang larangan merokok di depan umum/ruang publik. Kelimabelas, perlu dibuatkan berbagai brosur,
buku dan sejenisnya sebagai media kampanye cinta lingkungan.

Demikianlah beberapa upaya pelestarian lingkungan yang dapat dilakukan, mudah-mudahan


bangsa Indonesia yang mayoritas penduduk muslim bisa menjadi penggerak cinta lingkungan melalui
program qaryah thayyibah dengan melibatkan segenap potensi masyarakat, instansi/LSM terkait.
5. Kepedulian Terhadap Anak Jalanan

Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah terus mengadakan kajian periodik tentang Fiqh al-
Ma’un, sebagai salah satu amanah Mukatamar. Luas dan cakupan fiqh al-Ma’un ini antara lain
mencakup wilayah kajian tentang anak jalanan (ANJAL), pelacuran, korban narkoba, korban
AIDS/HIV, kaum buruh/tani dan nelayan, korban miskin perkotaan, dan sejenisnya.
Dari hasil kajian ini nantinya akan diterbitkan dalam bentuk sebuah buku yang utuh agar dapat
menjadi panduan bagi warga Muhammadiyah se Indonesia dalam upaya kontekstualisasi tafsir suara al-
Ma’un sebagaimana yang telah dipelopori almarhum KH Ahmad Dahlan yang kala itu melahirkan
konsep perbaikan sosial melalui pendidikan, pendirian rumah sakit dan panti-panti asuhan. Namun
dewasa ini dirasakan perlunya perluasan cakupan wilayah kaum mustda’afin sebagaimana disebutkan
di atas. Pada kesempatan kali ini kami uraikan secara umum gambaran dari hasil kajian tentang nasib
anak jalanan (ANJAL) berdasarkan data-data dan informasi yang disampaikan oleh saudara Wiyadi
alumni IMM yang kini di Yogya dikenal sebagai “kiai anjal” yang sejak beberapa tahun yang lalu telah
mewakafkan dirinya untuk mendidik para anjal di rumah singgahnya di Yogyakarta.
Secara definitif yang dimaksud dengan ANJAL (anak jalanan) ini adalah: kelompok anak
rawan yang terpaksa hidup dengan kondisi lingkungan yang keras tanpa perlindungan sosial dan
hukum yang memadai, bahkan rentan untuk diperlakukan secara salah, dieksploitasi, menghadapi
kekerasan dan marginalisasi.
Dalam studi kasus tentang anak jalanan tahun 1996 di Yogyakarta, karakteristik dari anak jalan
ini secara umum dapat dibagi pada tiga golongan : pertama, children on the street, yakni kelompok
anak jalanan yang melakukan kegiatan ekonomi di jalanan umumnya sebagai pengemis dalam rangka
membantu orang tua mereka, dan secara rutin anak-anak ini masih bisa bertemu dengan kedua orang
tuanya. Kedua, children of the street, kelompok ini sudah tidak bisa lagi secara rutin bertemu dengan
orang tua mereka, umumnya mereka lari dari rumah dan sangat rawan mendapat perlakuan keras secara
fisik maupun kejahatan seksual. Ketiga, children and their families of the street, anak jalanan beserta
keluarganya sama-sama hidup di jalanan yakni di kolong-kolong jembatan (manusia jembatan), rumah-
rumah liar, di pinggiran rel kereta api, dan sejenisnya. Di lihat dari segi lamanya waktu bagi anak
berada di jalanan ini, terdapat pola sebagai berikut: pertama, sekitar 1-4 jam di mana orang tua tidak
dapat lagi memberi jajan kepada anak. Kedua, 4-12 jam di jalanan. Ketiga. Anak jalanan yang lahir
dari orang tua yang juga mantan anak jalanan, sampai saat ini diteliti sudah melahirkan 12 generasi
anak jalanan. Keempat, diantara anjal ini sudah ada yang memiliki skill namun umumnya masih sulit
diterima oleh masyarakat, akhirnya anjal tersebut turun lagi ke jalan seperti sediakala.
Dari kajian tentang anak jalanan ini terungkap pula bahwa dari 4 pelacur yang melahirkan bayi,
1 bayi diperjualbelikan seharga Rp. 500.000 s/d 1 juta rupiah. Bayi ini dijual karena umumnya sang ibu
tidak mampu menghidupi bayinya atau ketiadaan dana untuk biaya persalinan. Ada pula bayi yang
masih berumur 6 bulan disewakan untuk ngamen bahkan diberi obat tidur yang dalam jangka panjang
akan merusak ginjal si anak. Menurut Indonesian Street Children Community (ISCC), di Jakarta lebih
kurang 16.000 anak jalanan, di BATAM sekitar 600 anak. Diperkirakan se Indonesia 150 ribu anak
jalanan. Angka-angka ini terus bertambah setiap tahunnya sekitar 20-30% anak jalanan baru akibat
bencana alam, konflik sosial yang berdampak pada semakin menjamurnya para pengemis dan anak
jalanan ini. Sebagi contoh kasus peta persebaran anak jalanan ini di kota Yogyakarta, misalnya dapat
dilihat dari data berikut ini: kota Yogyakarta terdapat 769 anak jalanan, kab Sleman 615 anak, kab.
Bantul 462 anak, kab. Gunung Kidul 307 anak, dan kab Kulonprogo sekitar 157 anak. Tampaknya
semakin ramai sebuah kota semakin banyak pula fenomena anjal ini. Menurut para ahli, menjamurnya
anak jalanan ini juga didukung oleh faktor kultur masyarakat yang suka memberi terutama di
perempatan karena rasa empati yang mendalam terhadap anjal. Namun hal ini berdampak pada upaya
yang tanpa disadari justeru memanjakan anak jalanan itu sendiri. Di kab. Sleman sendiri dibuat perda
dan spanduk-spanduk yang melarang para warga untuk memberikan sumbangan kepada para anjal,
sebagai alternatifnya sebaiknya sumbangan itu diserahkan ke rumah-rumah singgah yang ada.
Di lihat dari segi profesi anak jalanan, ternyata mereka memiliki beragam pekerjaan antara lain
sebagai pengamen, pemulung, pengasong, pengemis, buruh pasar, kuli, penyemir sepatu, penjaga
parkir, kernet mobil/bus, calo, petugas ojek payung di mal-mal, bahkan yang sangat menyedihkan ada
pula yang terjun sebagai pekerja seks, maupun kurir narkoba serta pengompas atau pemalak, dan
sejenisnya.
Adapun tempat-tempat mangkal para anak jalanan ini banyak didapati di perempatan jalan,
terminal-terminal, stasiun, pasar, taman-taman hiburan, plaza/mal, taman-taman kota, tempat
pembuangan sampah, lokalisasi pelacuran, pom bensin, jembatan penyeberangan, pelabuhan, gerbong
kereta ekonomi, dan lain-lain. Adapun yang menjadi tempat tinggal mereka antara lain: rumah
permanen atau semi permanen, pinggiran sungai, kolong jembatan, rumah-rumah kardus, emperan
toko, pasar-pasar, stasiun, gerbong kereta, terminal, taman-taman kota, panti-panti atau rumah singgah.
Beberapa faktor penyebab munculnya fenomena anjal ini antara lain: pertama, faktor ekonomi
keluarga yang miskin, di antara anak jalanan ini ada yang sehari-harinya justeru disorong oleh orangtua
untuk menjadi pengemis dalam rangka mencari sesuap nasi. Kedua, faktor keluarga yang orang tuanya
memiliki disiplin yang kaku, keluarga yang selalu bertengkar, terjadinya perceraian orang tua, anak
yang diusir atau dianiaya orang tua, hingga mendorong sang anak turun ke jalan menjadi pengemis.
Ketiga, ada pula yang secara psikologis anak ingin hidup bebas dari orang tua, memiliki trauma dan lari
dari kenyataan hidup. Keempat, akibat pengaruh teman dan lingkungan, ikut-ikutan terhadap teman
yang sudah lebih dahulu terjun ke jalan. Kelima, adanya eksploitasi dari orang tau sendiri maupun
kelompok preman yang menginginkan input secara ekonomi. Kelima faktor ini bisa dijadikan renungan
dan bahan ceramah atau pendidikan keagamaan khususnya bagi para orang tua, guru dan mubaligh atau
ulama kita di seluruh tanah air.
Dalam berbagai kasus yang ditemukan di lapangan 3 gereja di Yogyakarta yang telah
melakukan pemberdayaan terhadap anak jalanan ini, sedangkan dua lainnya dari lembaga pendidikan
Islam. Secara umum perlembaga atau gereja baru bisa menampung per-50 anjal. Didapati pula fakta di
lapangan adanya ratusan anak yang dibina oleh kelompok-kelompok kiri, bahkan ada yang
diperlakukan melalui kejahatan seksual, seperti prilaku sodomi maupun lesbian.
Ditemukan pula satu kecamatan tertentu di Yogyakarta yang ternyata ikut terlibat sebagai
pensuplai anak jalanan ini. Jangan-jangan di daerah lain juga fenomena ini sudah meruyak pula
khususnya di daerah yang rawan konflik dan banyak bencana. Perlu riset tersendiri untuk meneliti ini
khususnya bagi para peneliti maupun aktivis LSM Muhammadiyah di berbagai ranting, cabang maupun
daerah. Sudah saatnya pula AUM mengembangkan sayapnya untuk ikut serta mengatasi problem anjal
ini di masa depan, agar tidak kalah cepat dengan pemeluk agama lain yang bahkan sudah memiliki
semacam “pesantren” anjal yang menyediakan tanah sekian hektar untuk pembinaan anjal.
Kelompok-kelompok preman juga banyak terlibat dalam upaya memperalat anjal ini untuk
kepentingan bisnis mereka. Biasanya para preman mencari anak-anak di bawah umur 10 tahun untuk
disuruh terjun mengemis di jalanan atau disewakan kepada pengemis yang lebih tua. Usia anak di
bawah umur ini mudah menimbulkan rasa kasihan bagi pengendara di jalan raya. Ditemukan faktor
bahwa rata-rata per anak ini dapat menghasilkan uang per harinya sekitar Rp. 30.000,-
Anehnya walau para anjal ini diperlakukan secara tidak manuasiawi, seolah-olah mereka
“menikmati” hidup sebagai anjal ketimbang dididik menjadi manusia normal. Menurut data yang ada,
sekitar 90% anjal ini tidak punya minat untuk dititipkan di rumah singgah bahkan cenderung memusuhi
lembaga-lembaga sosial yang ada, karena sebagian mereka beranggapan bahwa LSM yang akan
melindungi mereka hanya dijadikan proyek untuk para aktivis LSM itu sendiri.
Mengakhiri informasi ini ada beberapa masalah yang senantiasa mengancam kehidupan para
anak jalanan ini sehari-hari : pertama, sebagai korban operasi tertib sosial yang dilakukan para aparat.
Kedua, korban tindak kekerasan orang dewasa terutama para preman. Ketiga, kehilangan pengasuhan
yang normal. Keempat, terancam tertular penyakit paedofilia, homoseks, HIV/AIDS, dll. Kelima,
kehilangan kesempatan pendidikan yang memadai, keenam, terancam berhadapan dengan lembaga
hukum. Ketujuh, penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Kedelapan, korban eksploitasi seksual
komersial. Kesembilan, resiko mengalami kecelakaan tertabrak kendaraan. Kesepuluh, perkembangan
kepribadian yang buruk. Kesebelas, menjadi PSK. Keduabelas, perkelahian antar kelompok.
6. Kapabilitas dan Akseptabilitas
Kepemimpinan Kaum Perempuan

Gambaran Umum tentang Relasi Gender


Sebelumnya kita membahas kepepimpinan perempuan dalam Islam, maka akan dikemukakan
dulu gambaran umum tentang relasi gender sekaligus pandangan Islam sendiri tentang relasi
dimaksud. Secara umum, ada dua alur pemikiran yang berkaitan dengan analisis gender. Pertama, yang
berkeyakinan bahwa masalah relasi antara pria dan perempuan selama ini diyakini sudah seimbang,
jadi tidak perlu lagi ada gugatan akademis yang mempertanyakan soal relasi dimaksud. Kelompok
pertama ini cenderung memihak status quo. Kedua, meyakini bahwa relasi antara pria dan perempuan
dianggap masih belum begitu seimbang, masih ditemukannya pola-pola hubungan gender yang
diskriminatif. Untuk itu perlu diupayakan reinterpretasi gender dalam mengatasi fenomena
ketidakseimbangan dimaksud. Berbicara tentang analisis gender biasanya lebih banyak ditemukan
dalam perspektif ilmu sosial konflik. Namun tidak ada salahnya bila ditarik juga ke dalam wilayah atau
diskursus keagamaan, sebagaimana yang akan disinggung di bawah nanti.
Sebelumnya perlu kita ungkapkan bahwa menurut Oakley dalam karyanya Sex, Gender Society
(1972), yang dimaksud Gender itu sendiri adalah perbedaan antara kaum lelaki dan perempuan yang
bukan dilihat dari segi perbedaan biologis maupun aspek kodrat ilahi. Tentang aspek biologis dan
kodrat Tuhan ini lebih tepat digunakan konsep Sex, yakni konsep yang sudah taken for garanted dari
Tuhan, bukan hasil konstruksi sosial maupun budaya manusia. Dengan demikian konsep Sex
merupakan sesuatu yang sudah sononya, universal dan permanen. Sedangkan konsep gender itu sendiri
masih dimungkinkan adanya campur tangan manusia. Upaya intervensi manusia tersebut bisa
disebabkan oleh background ideology, politik, ekonomi, sosial, adat maupun budaya masyarakat
tertentu dalam konteks kurun waktu yang terbatas pula, atau menurut Foucoult, setiap zaman memiliki
epistemenya masing-masing. Lebih penting lagi bahwa intervensi manusia tersebut bahkan bisa berupa
interpretasi keagamaan yang eksis pada setiap zaman yang saling berbeda. Dengan perkataan lain,
bahwa world view tentang relasi antara pria dan perempuan (relasi gender) bisa jadi dipengaruhi oleh
bias penafsiran teks-teks keagamaan.
Penting pula dicatat di sini bahwa yang akan digugat bukanlah soal-soal natural dari posisi
kaum perempuan seperti kehamilan, melahirkan, menyusui, merawat, mengasuh dan mendidik anak.
Tetapi yang menjadi fokus di sini adalah masalah struktur ketidakadilan sebagaimana yang diyakini
aliran kedua sebagaimana tersebut di atas. Gugatan ketidakadilan ini sejalan dengan derasnya
gelombang tuntutan demokratisasi di segala bidang khususnya yang berkaitan dengan aspek relasi
gender antara kaum pria dan perempuan.
Mengenai fenomena ketidakadilan ini, menurut Mansour Fakih (lihat : jurnal Tarjih, edisi 1
Desember 1996: 26-28) ada dalam empat hal. Pertama, masalah marginalisasi kaum perempuan
disebabkan adanya revolusi hijau yang lebih mengutamakan petani lelaki, sementara para petani
perempuan semakin tersingkir dari area lahan pertanian. Dikembangkannya alat-alat pertanian yang
serba canggih maupun sistem penanaman bibit semakin menyusahkan kaum perempuan untuk
berpartisipasi. Kedua, disebabkan adanya subordinasi kaum perempuan atas kaum lelaki. Pelbagai
kebijakan negara yang berideologi developmentalism kurang kondusif bagi tumbuhnya partisipasi
kaum perempuan secara lebih mandiri. Keikutsertaan kaum perempuan hanya bersifat suplemen bagi
kaum lelaki. Ketiga, karena adanya pandangan yang keliru (stereotype) khususnya tentang kewajiban
mencari nafkah yang hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki. Kalaupun wanita mendapat pekerjaan,
sistem balas jasa masih sering diskriminatif antara pendapatan bagi lelaki dan perempuan, bahkan jerih
payah perempuan yang bekerja dari pagi sampai malam hari di tengah-tengah keluarga masih belum
masuk daftar finansial-kuantitaif dalam anggaran belanja negara. Padahal subsidi kaum perempuan
cukup banyak dalam menangani pelbagai jenis pekerjaan keluarga. Keempat, masih banyak didapati
unsur tindak kekerasan (violence) baik yang bersifat kekerasan fisik berupa pemukulan, pemerkosaan
dan sejenisnya, maupun kekerasan non-fisik atau halus berupa pelecehan (sexual barassment), lontaran
kata-kata ancaman terhadap perempuan maupun sifat ketergantungan perempuan terhadap lelaki.
Persoalan domestic violence misalnya lebih dianggap sebagai sesuatu yang sangat pribadi sebuah
keluarga yang masih jauh dari jangkauan hukum atau negara. Masalah nasib pembantu rumah tangga
juga banyak menggambarkan hal ini. Padahal ini mirip dengan eksploitasi kaum perempuan sebagai
ilustrasi dari sistem perbudakan modern yang sejak lama telah dikritisi oleh Islam.

Relasi Gender dalam Perspektif Pemikiran Islam


Bila kita lihat dalam sistem ajaran Islam, ada unsur-unsur ajarannya yang bersifat normatif
maupun interpretatif. Ajaran Islam yang normatif lebih bersifat universal, baku dan sangat tekstual.
Dalam khazanah pemikiran Islam, model Islam normatif ini sering dikaitkan dengan ajaran Islam yang
absolute (qotb’iy) dan tidak mungkin mengalami perubahan sepanjang masa. Sedangkan model kedua
adalah sistem ajaran Islam yang interpretatif lebih bersifat parsial-partikular, relatif dan kontekstual.
Model kedua ini sering juga disebut sebagai ajaran Islam yang zhanny.
Namun ada persoalan juga dalam memahami masalah normatif dan interpretatif di atas. Ulama
tradisional menyatakan bahwa Islam normatif bukan hanya menyangkut nilai-nilai umum atau dasar
dari ajaran Islam tetapi juga mencakup hal-hal yang sudah tertulis secara tekstual (lafzhiyyah) dalam
Qur’an dan Hadits. Sedangkang ulama Islam aliran rasional berpandangan bahwa ajaran Islam normatif
hanyalah yang berkaitan dengan nilai- nilai dasar dalam Islam seperti prinsip ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, persaudaraan, keadilan dan lain sebagainya. Sementara ayat atau hadits yang sifatnya
tekstual belum tentu bersifat permanen, tetapi masih bisa diberikan interpretasi baru sesuai dengan
perkembangan zaman.
Ulama tradisional – dan ini merupakan mayoritas (jumbur) – biasa berpegang pada kaedah
ushul fiqhi yang berbunyi : al-‘ibroh bi ‘umumi al-lafzh la bi khushushi al-sabab (sebuah perspektif
diambil berdasarkan umumnya lafzh / teks, bukan berdasarkan sebab-sebab khusus yang
melatarbelakangi munculnya lafzh/teks. Sedangkan ulama rasional berpedoman sebaliknya: al-ibroh bi
khushushi al sabab la bi ‘umumi al-lafzh (sebuah perspektif diambil berdasarkan pada hal-hal yang
melatarbelakangi munculnya lafzh/teks, bukan berdasarkan pada umumnya lafzh/ teks itu sendiri).
Berdasarkan keterangan di atas, pemahaman Islam yang sudah baku atau normatif di kalangan
ulama tradisional, bagi ulama rasional masih bisa dialihkan kepada pandangan uang interpretatif. Pola
pemahaman ini juga berlaku pada masalah relasi gender. Jadi ayat atau hadits yang sudah mutlak
(qoth’iy) bagi ulama tradisional, bagi ulama rasional masih bisa dianggap relatif-interpretatif (zhanny)
atau mutasyabihat. Bagi ulama tradisional lebih memihak pada masalah teknis hukum-hukum yang
tercantum dalam qur’an maupun hadits. Sedangkan bagi ulama rasional, bukan persoalan tehnisnya
yang jadi pegangan, tetapi lebih pada prinsip dasar etiknya. Dengan perkataan lain, bagi ulama rasional,
qur’an dan hadits lebih merupakan acuan moral belaka, sementara bagi ulama tradisional, di samping
acuan moral, qur’an dan hadits juga merupakan kumpulan dari berbagai petunjuk (juklak) tehnis yang
harus dan wajib dijalankan tanpa reserve.
Untuk kajian berikut ini penulis akan mengemukakan contoh bias gender dalam pola-pola
pemahaman doktrin ajaran Islam khususnya yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan kaum
perempuan, baik yang bersifat metodologis maupun praktis.

Problem Metodologis Kajian Politik Perempuan


Dalam mengantar karyanya al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi Ru’yah Islamiyyah (Wanita dan
Politik, Pandangan Islam), Hibbah Rauf Izzat menyatakan bahwa bidang-bidang kajian perempuan
dianggap sebagai bidang yang baru dalam dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Metodologi
pemecahan politik yang erat kaitannya dengan persoalan kaum perempuan sedang mengalami proses
kritik internal sekaligus sedang berupaya menemukan berbagai cara dan pendekatannya yang baru.
Wacana politik kaum perempuan di berbagai negara dunia ketiga – khususnya dunia Islam –
kini tengah memulai upaya penemuan theoretical conception yang sama sekali akan berbeda dengan
diskursus politik dan perempuan sebagaimana yang eksis di dunia Barat selama ini. Sebaliknya dalam
tradisi Islamic Studies, masalah eksistensi kaum perempuan sebagai salah satu potensi politik juga
belum begitu serius dikaji terutama bila dikaitkan dengan trend feminisme (Hibbah Rauf Izzat, 1997:
27-28).
Pada intinya Hibbah menginginkan adanya usaha untuk mengemukakan pendapat berbeda
tentang pemahaman kehidupan nyata kaum perempuan di dunia Islam yang sepenuhnya didasarkan
pada kerangka ilmu pengetahuan Islam – berbeda dengan western paradigma – yang membentuk
paradigma kehidupan nyata itu. Di samping itu, lanjut Hibbah, usaha ini dilakukan dalam membangun
ilmu politik Islam yang tetap memperhatikan keterlibatan kerangka ilmu-ilmu Barat berikut pemecahan
konsep-konsepnya dan cara-cara pendekatannya. (Ibid, 1997: 28).
Dalam bukungan tersebut dijelaskan bahwa Hibbah mencoba meneliti objek kiprah politik bagi
perempuan dalam dua wilayah, yakni wilayah humat dan keluarga. Selain itu kajian Hibbah dimaksud
bertujuan untuk membangun pandangan yang menyeluruh dan paradigma ilmu pengetahuan bagi
kegiatan politik perempuan menurut pandangan Islam. Paradigma yang digunakan Hibbah memiliki
dua karakteristik umum. Pertama, paradigma konstruktif (telaah kritis) mencakup bidang politik,
perempuan dan Islam. Kedua, paradigma pembaharuan yakni menambah wawasan baru dalam
mengkaji perempuan dan hubungannya dengan politik dalam perspektik Islam, yang selama ini ada hal-
hal yang belum disentuh, baik dalam studi Barat maupun Islam.
Hibbah juga mengkritisi beberapa hasil kajian Islam terdahulu yang hanya bersifat historis,
belum sampai melangkah kepada aspek pemecahan dan abstraksi pemikiran. Kajian Islam klasik juga
lebih bersifat shari’ah oriented atau fiqh oriented yakni sekedar mengumpul pendapat ulama terdahulu
dan mentarjih (mencari pendapat yang kuat), namun belum sampai pada upaya pembaharuan atau
tajdid dan ijtihad (Ibid, 1997: 29-30).
Dalam menggunakan metodologi penelitian, Hibbah mengajukan tiga karakteristik. Pertama,
karakteristik teologis (al-ushuliyyah) yakni metodologi dalam kajian politik yang mengaitkan antara
pemikiran (al’aql) dan wahyu (al-Qur’an dan Sunnah Nabi). Di sini terlihat bahwa ushuliyyah tidak
menafikan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman sosial Barat pada beberapa seginya
(misalnya, aspek sunnatullah) atau pola piker Rusydian (Averroisme). Kedua, karakteristik konsistensi
(istiqomah). Kajian ini tidak hanya diukur berdasarkan hitungan-hitungan rasional positivistik dan
materialistik sebagaimana terdapat dalam paradigma Barat. Tetapi ada kaitannya dengan sosialisasi
nilai dalam kehidupan nyata terutama yang berhubungan dengan konsep manusia sebagai khalifah
(istikhad) dan konsep amanah (responsibility). Konsistensi ini mencakup di dalamnya konsep keadilan
(al-‘adl), keimanan (al-iman), kejujuran (al-amanah) dan kesaksian (al-syahadah). Ketiga, karakteristik
kompehensif, di mana kajian ini tidak hanya berkaitan dengan tanggung jawab perempuan, tetapi juga
menyangkut terma-terma (al-musallamat) politik seperti bai’at, kekuasaan, syura dan jihad, dengan
formulasi konseptual yang baru (Ibid, 1977: 31-33).

Masalah Kepemimpinan Perempuan


Dalam tradisi Islam klasik, mayoritas (jumbur) ulama cenderung tidak membenarkan kaum
perempuan menjadi pemimpin, baik dalam wilayah domestik (keluarga) maupun publik (sosial
kemasyarakatan). Umumnya kalangan ulama (tradisional) berpedoman pada bunyi ayat : al-rijalu
qawwamuna ‘ala al-nisa’ (Q.S. al-Nisa’ : 34) yang dipahami secara tekstual (lafzhiyyah) bahwa kaum
lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.
Selain itu, para ulama tradisional juga berpedoman pada sebuah hadits Nabi yang berbunyi: lan
yufliha qaumun wallau amrohum imroatan; yang mengandung makna bahwa tidak akan pernah sukses
suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan – untuk memimpin – urusan mereka kepada kaum
perempuan (HR Bukhari, Turmudzi, Nasai, dari Abu Bakrah. Lihat Kitab Shahib Bukhari IV: 228;
Musnad Ahmad, V: 38 dan 47; Sunan Turmudzi, III: 360).
Argumentasi para ulama tradisional lainnya yang melarang perempuan jadi pemimpin karena
kaum perempuan termasuk kepada yang tidak boleh dipandang laki-laki (aurat), padahal seorang
pemimpin (presiden, misalnya) harus selalu tampil di muka umum, memberikan perintah, petunjuk,
konsultasi dan menghadapi siapa saja termasuk para lelaki. Kaum lelaki juga dianggap lebih jenius dan
berwawasan luas daripada kaum perempuan, juga dalam masalah kesaksian.
Tentang masalah aurat ini masih ada perbedaan faham, karena banyak ulama yang
membolehkan lelaki melihat perempuan – atau sebaliknya – seperti untuk kepentingan jual-beli, belajar
mengajar, konsultasi, berobat, dan urusan muamalah lainnya. Jadi hal ini tidak terlalu signifikan untuk
dijadikan argumentasi. Tentang soal kejeniusan, banyak penelitian yang mengatakan bahwa pada
dasarnya potensi intelektualitas pria dan perempuan tidak banyak perbedaan, jadi tergantung pada
tingkat pendidikan yang diikuti. Kecerdasan seseorang sangat tergantung kepada proses pendidikan
yang diikuti sejak kecil, bukan soal jenis kelamin (gender). Begitu pula soal kesaksian, perempuan
dibolehkan juga tampil sebagai saksi terutama yang berkaitan dengan kasus persengketaan. Ada juga
ulama mengqiyaskan bahwa perempuan tidak bisa menjadi imam shalat, dengan demikian perempuan
tidak demikian perempuan tidak boleh pula menjadi pemimpin. Qiyas ini mengandung kelemahan
juga, karena masalah shalat adalah murni ritual (bablun minallah) atau tergolong pada ibada mahdlah,
sedangkan soal politik dan kepemimpinan termasuk wilayah hablun minannas atau ibadah ghairu
mahdloh. Dalam shalat aturan rinciannya sudah jelas, sedangkan dalam soal keduniaan (muamalah)
wilayah ijtihadnya masih sangat luas, Islam hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum. Jadi ada
perbedaan prinsipil antara kepemimpinan dalam shalat dengan kepemimpinan di bidang politik.
Adapun yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan lainnya, sepanjang bacaan penulis,
ulama Islam semacam al-Farabi, membuat 12 kriteria kepemimpinan (kepala negara), namun tidak
menyinggung soal jenis kelamin (gender) (Lihat al-Farabi, Ara’u Ahl al-Madinah dalam karya Richard
Walzer, al-Farabi on the Perfect State, 1985: 247). Demikian pula al-Mawardi, al-Ahkam al-
Sulthaniyyah, 1973: 6). Demikian pula halnya Ibnu Tamiyah dan Ibnu Khaldun. Sedangkan Imam al-
Ghazali ada menyinggung soal gender dalam kriteria kepemimpinan (kepala negara). Lengkapnya al-
Ghazali mengemukakan 7 syarat menjadi seorang kepala negara yakni: 1) merdeka; 2) laki-laki (al-
dzukurah); 3) mujtahid; (4) berwawasan luas; (5) adil; (6) dewasa; dan (7) bukan perempuan, orang
buta, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan pembeo (Lihat al-Ghazali, al-Wajiz, II: 237; Abu Ishaq al-
Syairazi, al-Muhadz, II: 240).
Pemikir politik Islam modernis seperti al-Maududi juga senada dengan Imam al-Ghazali yang
tidak membenarkan kaum perempuan jadi pemimpin. Menurut al-Maududi ada 7 kriteria seorang
pemimpin dalam Islam: (1) beragama Islam; (2) laki-laki; (3) dewasa; (4) sehat jasmani dan rohani; (5)
warga Negara yang baik; (6) shaleh; (7) kuat komitmennya dengan Islam (Lihat Munawir Sadzali,
Islam dan Tatanegara, 168).
Untuk lebih memperluas pandangan kita tentang pelanggaran kaum perempuan menjadi
pemimpin terutama yang berkaitan dengan pemahaman terhadap ayat al-rijalu qawwamuna ‘ala al-
nisa’ sebagai tersebut di atas, ada ulama yang mengartikan bahwa ayat tersebut sebagai larangan total
bagi perempuan dalam hal kepemimpinan. Sedangkan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa
kata-kata al-rijjal di situ lebih dikaitkan dengan status seorang suami di rumah tangga (ruang domestik
belaka), sedangkan di ruang publik, perempuan bisa saja menjadi pemimpin (Bandingkan dengan
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 1996: 314). Secara ilmu gramatika bahasa Arab (Nahu-Shorof),
ayat tersebut didahului kata al, mengandung unsur pengecualian atau tidak mayoritas. Ini berarti bahwa
tidak semua laki-laki melebihi, lebih mampu atau lebih layak ketimbang kaum perempuan.
Beberapa contoh kasus perempuan yang terbukti dapat tampil sebagai pemimpin yang sukses
seperti Corazon Aquino (Philipina) dan Margareth Teacher (Inggris). Selain itu ada juga contoh figure
politisi perempuan seperti Benazir Bhutto (Pakistan), Mary Mc Aleese yang menggantikan Mary
Hasina Robinson (juga perempuan) sebagai Presiden di Irlandia; Sheikh Hasina Wajed menggantikan
Begum Khaleda Zia (PM Bangladesh); Jenny Shipley (PM Selandia Baru). Di Iran yang terkenal
fanatisme keislaman juga sudah ‘berani’ memberikan kepercayaan kepada seorang perempuan sebagai
salah seorang Wakil Presiden yakni Massoumeh Ebteker. Di Turki Tansu Ciller juga diangkat sebagai
PM. Anehnya, untuk kasus Amerika – yang sudah 20 tahun merdeka – masih kalah dengan Iran dan
Irlandia dalam soal kepemimpinan perempuan. Di Amerika saat ini baru ada pemimpin perempuan
setingat menteri (Menlu) yakni Medeleine Albright (Lihat Jawa Pos, 9 Nopember 1997: 2). Di
Indonesia, khususnya Aceh yang dikenal fanatik faham keislamannya, tetapi bisa menerima
kepemimpinan perempuan. Dalam buku Ratu-ratu Islam yang Terlupakan dituliskan pula bahwa dalam
sejarah Islam ada sebanyak 17 Ratu yang pernah memimpin rakyatnya di berbagai belahan dunia
Muslim. Sayangnya, fakta historis ini ternggelam dalam khazanah sejarah dan peradaban Islam.
Adapun tentang hadits larangan bagi perempuan sebagai pemimpin, kebanyakan ulama
memahami hadits tersebut secara tekstual. Berdasarkan hadits dimaksud, pengangkatan perempuan
menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan jabatan setara lainnya, dilarang. Menurut mereka,
perempuan hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya (Bandingkan, Fath al-Bari,
VIII: 128 dan Subul al-Salam, IV: 123). Tetapi menurut (alm) Prof. Dr. Syuhudi Ismail (pakar hadits
dari IAIN Ujung Pandang) menyatakan bahwa hadits tersebut harus dipahami secara kontekstual.
Hadits tersebut disabdakan tatkala Nabi mendengar penjelasan dari sahabat beliau tentang
pengangkatan seorang perempuan menjadi ratu di Persia. Persitiwa suksesi terjadi pada tahun 9 H.
Menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, yang diangkat sebagai kepala negara adalah
laki-laki. Namun apa yang terjadi pada tahun 9 H itu menyalahi tradisi tersebut, karena yang diangkat
sebagai kepala negara bukan seorang lelaki, melainkan seorang perempuan, yakni Buwaran binti
Syairawaih bin Kisra Barwaiz. Dia diangkat sebagai ratu (kisra) di Persia setelah terjadi pembunuhan-
pembunuhan dalam rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak laki-
lakinya, yakni saudara laki-laki Buwaran, telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan.
Karenanya, Buwaran lalu dinobatkan sebagai ratu (Lihat, Syuhudi Ismail, 1994: 65).
Kakek Buwaran adalah Kisra bin Barwaiz bin Anusyirwan. Dia pernah pernah dikirim surat
ajakan memeluk agama Islam oleh Nabi Muhammad SAW. Kisra menolak ajakan itu dan bahkan
merobek-robek surat Nabi. Ketika Nabi menerima laporan bahwa surat beliau telah dirobek-robek oleh
Kisra, maka Nabi lalu bersabda bahwa siapa yang telah merobek-robek surat beliau, dirobek-robek (diri
dan kerajaan) orang itu. Tidak berselang lama, kerajaan Persia lalu dilanda kekacauan dan berbagai
pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat kepala negara.
Pada waktu itu, derajat kaum perempuan dalam masyarakat berada di bawah derajat kaum
lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat
umum, terlebih-lebih dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-laki yang dianggap mampu mengurus
kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia, tetapi juga di
jazirah Arab.
Menurut Syhudi Ismail, dalam kondisi kerajaan Persia dan masyarakat seperti itu, maka Nabi
yang memiliki kearifan tinggi menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah
kenegaraan dan kemasyarakatan mereka kepada perempuan tidak akan sukses, kalau yang orang yang
memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Salah satu syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kewibawaan politik (acceptability),
sedangkan perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin
masyarakat (Ibid: 65-66). Bila kaum perempuan sudah memiliki kemampuan memimpin (capable)
dan dapat diterima oleh masyarakat banyak (acceptable), maka tidak ada salahnya perempuan
menjadi pemimpin. Bukankah al Qur’an sendiri memberi peluang yang sama kepada kaum
perempuan dan laki-laki untuk melakukan amal kebajikan (Q.S. al-Ahzab: 35). Hadits di atas
harus dipahami secara kontekstual dan kasuistis, tidak secara tekstual dan general atau universal. Di
samping itu harus dipahami pula bahwa hadits tersebut merupakan kalam khabari (skedar informasi),
bukan kalam amar (perintah) atau nahi (larangan).
Untuk kasus Indonesia, lahirnya UU No. 1/1974 tentang perkawinan, menghendaki adanya
hakim perempuan. Maka Menteri Agama saat itu mengadakan pertemuan ulama tingkat Nasional untuk
membicarakan boleh tidaknya perempuan menjadi hakim, ternyata dalam pertemuan itu, meskipun
cukup alot, dapat disetujui adanya hakim perempuan. Salah seorang tokoh ulama yang membolehkan
ketika itu adalah KH Ibrahim Hosen (Bandingkan, Ibrahim Hosen, 1990: 146). Dengan demikian, di
Indonesia, kaum perempuan sudah sejak lama diberi peluang untuk memimpin masyarakat. Kini sudah
banyak hakim perempuan, belum lagi para perempuan yang berkiprah sebagai pemimpin atau manajer
perusahaan, politisi (DPR/MPR) sampai Menteri Peranan Wanita.
Di zaman Rasulullah sendiri, Khadijah merupakan figur konglomerawati dimana Nabi sendiri
sebagai sales-nya. Aisyah ra, juga tampil sebagai cendekiawati muslim di saat itu serta banyak lagi
tokoh perempuan yang tampil sebagai leader dalam sejarah Islam. Dimana kaum peremuan tetap
mempunyai hak politik yang sama. Hanya saja, hak-hak tersebut sampai saat ini masih mengalami
kendala, baik secara psikologis (bias kesetaraan antara pria-perempuan), sosiologis dan kultural bahkan
kendala interpretasi keagamaan yang cenderung masih bersifat deduktif-rasionalistik (tradisi bayani),
belum begitu banyak khazanah metodologi pemikiran politik Islam – terutama yang berkaitan dengan
peranan perempuan – yang bercorak induktif-empirik (tradisi burhani), sebagaimana yang dikritisi oleh
Hibbah Rauf Izzat di atas.
Tulisan ini merupakan salah satu langkah awal yang bisa ditawarkan untuk memperkaya
diskursus pemikiran politik Islam dan perempuan di masa depan. Selama ini, diskursus pemikiran
Islam – termasuk dalam wilayah studi politik dan feminisme – masih didominasi oleh keterikatan
formal-legalistik pada teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits maupun khazanah klasik fiqh Islam,
sedangkan kamampuan untuk menangkap semangat universalitas al-Qur’an masih belum begitu
popular di dunia pemikiran keislaman.
BAB IV
PEMIKIRAN ISLAM
DAN
SOSIAL EKONOMI

1. Korupsi Kebudayaan dan Budaya Korupsi


Korupsi sebagai Kebudayaan

Fenomena korupsi tampaknya sudah menjadi “kebiasaan kultural” masyarakat Indonesia. Kita
sebut sebagai kebiasaan kultural karena dewasa ini ada kecenderungan di mana dimensi kultural
mendominasi wilayah sosial, politik dan ekonomi. Memperbincangkan wacana kultural dalam
kehidupan budaya bangsa kita tampaknya semakin signifikan. Perspektif kebudayaan pada hakikatnya
melintasi suku, etnis, golongan bahkan agama. Indonesia sebagai sebuah entitas kebudayaan di
dalamnya tentu melingkupi berbagai pluralitas tersebut.

Bila patokan budaya ini dijadikan ukuran, maka fenomena korupsi jelas tidak pandang bulu,
dalam pengertian bahwa semua suku, bahkan penganut semua agama dan golongan lainnya tidak ada
yang terlepas dari “budaya” korupsi ini. Di sini bukan berarti kita ingin menggeneralisir bahwa semua
warga bangsa ini telah terlibat korupsi, namun karena kita melihatnya dari sudut pandang kebudayaan,
maka pernyataan di atas menjadi menarik untuk dikemukakan.

Di sini muncul pertanyaan, apakah kebudayaan bangsa kita memang sudah sedemikian
korupnya? Sudah sejauh manakah budaya korupsi itu menodai aura kebudayaan masyarakat kita?
Faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicu munculnya budaya korupsi tersebut? Bisakah budaya
korupsi dienyahkan dari bumi pertiwi tercinta? Cara dan sarana apa saja yang dapat kita gunakan untuk
melawan korupsi dimaksud? Mungkin masih banyak pertanyaan yang bisa kita daftarkan di sini.

Bila kita lihat sedikit sejarah kita ke belakang secara lebih kritis, bangsa ini pada hakekatnya
sudah terlalu lama “menikmati” overlapping kultural yang seolah-olah menjadi sebuah determinasi dari
keberadaan bangsa selama ini. Yang dimaksud dengan faktor determinasi kultural di sini yakni begiktu
lamanya bangsa ini mengalamia determinasi hisdtoris yang dimuaali dari dominasi budaya feodalisme
yang menekankan pada prinsip hirarki sosial, dam sudah barang tentu sangat tidak kondusif bagi
munculnya sistem sosial dan ruang kemanusiaan yang egaliter dan demokratik. Selain itu, bangsa kita
juga – beberapa abad – cukup “berpengalaman” dijajah oleh Belanda dan Jepang. Ditambah lagi
dengan adanya dominasi kultural yang represif dan hegemonik dari sistem politik Orde Lama maupun
Orde Baru. Jangan lupa, bahwa bangsa kita yang mayoritas Muslim ini juga umumnya dipengaruhi
oleh corak penghayatan keagamaan yang masih deterministik (jabariyyah), dimana perspektif teologis
ini lebih menampilkan wajah umat yang serba pasrah dan serba nrimo.

Perwujudan dari tumpang-tindih wajah kebudayaan di atas, yang memvirusi budaya bangsa
Indonesia dalam rentang waktu yang cukup panjang sekitar empat-lima abad; maka menjadi sebuah
kewajaran” kultural bila pada hari ini kebanyakan warga bangsa kita menjadi bermental korup (ingin
mendapatkan sesuatu / nrimo tanpa melalui kerja keras, mentalitas serba instan, dan sejenisnya).
Mentalitas korup ini tidak semata-mata dalam wilayahnya. Namun lebih dari itu virus mentalitas korup
ini benar-benar sudah menggerogoti di hampir semua lini kehidupan kita (social, politik dan budaya).

Lihatlah, misalnya, dalam wilayah politik. Kebudayaan politik kita tampaknya sudah cukup
akrab dengan fenomena atau kasus-kasus; politik dagang sapi, money politics maupun democracy
corruption (memakan uang rakyat melalui keputusan parlemen). Dengan democracy corruption ini di
setiap daerah sering terjadi “kerjasama” destruktif antara Pemda dan DPRD. Otonomi daerah yang
seharusnya memberi peluang bagi setiap daerah untuk menggali potensi yang dimiliki untuk
kemakmuran rakyat namun ujung-ujungnya hanya untuk kemakmuran segelintir elit lokal.

Di era reformasi ini, karena umumnya bangsa kita beluim memiliki pengalaman yang cukup
untuk berdemokrasi secara sehat dan benar, maka wacana dan aksi politik “atas nama rakyat” menjadi
pemandangan yang lumrah. Janji-janji politik untuk membela wong cilik, ternyata dalam kenyataannya
lebih berpihak pada wong licik. Di musim kampanye Pemili 2004 ini, kita lihat pula adanya gejala
ketidak percayaan mayoritas warga terhadap elit, sehingga melahirkan apa yang disebut dengan
political contract serta kewajiban untuk mengumumkan asset kekayaan yang dimiliki pejabat atau
calon pejabat. Demikian pula masalah negative compaign / black propaganda, curi start dalam
kampanye, sipil yang bergaya militer – atau sebaliknya – militer berlagak sipil, pemanfaatan fasilitas
Negara, fatwa keagamaan yang cenderung bersifat politis (seperti fatwa haramnya presiden perempuan)
lalu “dibalas” dengan aksi cap jempol darah sebagai wujud kebudayaan “pejah gesang nderek sang
pemimpin”; kesemuanya itu menjadi fenomena keseharian aura politikan kita.

Sedangkan dalam wilayah sosial lainnya, korupsi kebudayaan juga terjadi dalam fenomena
penggusuran rakyat kecil di satu sisi, dan memberi fasilitas kemudahan serta prosedur yang gampang
buat para elit yang berdasi. Terabaikannya budaya tertib dan budaya antri seperti terlihat dari
kesemrawutan lalu lintas jalan raya maupun kekacauan sistem transportasi publik, merupakan
pemandangan yang sudah biasa. Fenomena incest dalam keluarga, penjualan anak dan wanita, kultural
violence terhadap anak, kaum perempuan dan pembantu rumahtangga, semakin hari semakin
mengenaskan. Akhir-akhir ini semakin sering pula kita melihat kasus bunuh diri pada anak-anak.
Kasus-kasus pembunuhan, pemerkosaan, tawuran, mentalitas ingin cepat kaya, kasus illegal logging,
semakin memprihatinkan. Lebih menggemaskan lagi bila yang salah dielu-elukan dan diberi award,
sedangkan yang benar malah dimusuhi, munculah istilah maling teriak maling. Ini semua terjadi karena
logika dan nurani massa sudah tercemari oleh kebudayaan bangsa yang memang sudag lama tercemar
oleh fenomena overlapping kultural di atas.

Di sisi lain, dunia seni kita semakin hari lebih senang mengobral dan membisniskan aurat,
“mengidolakan pinggul” ketimbang tayangan yang informatif, edukatif dan bermutu. Pornografi telah
menjadi kebudayaan kita sehari-hari. Demikain pula budaya fitnah dan buka-bukaan rahasia
keluarga/rumahtangga – yang mestinya dijaga – telah menjadi kebiasaan artisik kita. Belum lagi soal
tayangan yang berbau mistik dan kekerasan. Kini ditambah lagi dengan tontonan uang kaget 10 juta,
atau AFI dan sejenisnya yang mengaharu biru – terkesan dibuat-buat – cenderung melegitimasi
lahirnya budaya pop instan, yang kesemuanya tidak lain hanya untuk perimbangan dan kepentingan
bisnis semata. Perangkap kebudayaan kita semakin jauh mencengkeram dan mereduksi nilai-nilai luhur
keaslian budaya bangsa maupun harkat dan martabat kita. Budaya instan haruslah mendorong orang
untuk secara sabar dan gradual dalam meraih cita dan cinta. Kebudayaan yang hedonis, konsumeristik
dan materialistik sekarang ini cenderung mengabaikan dimensi kesetiaan dan kasih sayang kepada
hakikat diri dan kemanusiaan kita sendiri. Korupsi informasi yang ditayangkan dan diberitakan melalui
media massa secara kontinu dan massif, juga semakin memperparah wajah kebudayaan bangsa.
Wajarlah bila Republik kita hari ini bagaikan sebuah rumah sakit atau taman margasatwa, dimana antar
kita hidup untuk saling menegaskan satu sama lain.

Inilah wajah kebudayaan kita hari ini, yakni budaya serba instan dan mendorong orang untuk
menerabas mencari jalan pintas bagi meraih kesuksesan dalam hidup, Tapi syukurlah, akhir-akhir ini
sudah mulai muncul kesadaran sosial budaya yang baru melalui jargon-jargonn – mudah-mudahan
tidak sebatas slogan belaka – “JUJUR, BIJAK, PEDULI, BERSIH, BERANI, dan sejenisnya”.
Generasi bangsa hari ini merupakan “korban” kesalahan rekayasa sosial, politik dan kultural dari
generasimasa lalu. Maka kembali saatnya bagi generasi yang masih hidup hari ini untuk kembali
memulai cara hidup yang jujur, sehat dan benar, agar kita tidak mewariskan kembali sejarah
kebudayaan bangsa kita yang gelap bagi generasi dikemudian hari. Budaya korupsi sebenarnya muncul
dari adanya kebudayaan yang koruptif. Inilah tema besar dari tulisan ini.

Terkait dengan fenomena di atas, paling tidak, ada tiga hal yang harus kita cermati, pertama,
meratanya faktor indeterminisme kultural di kalangan mayoritas warga bangsa. Kedua,masih
dominannya sistem “etika sosial lama: yang hegemonik, sementara nuansa sistem etika sosial baru
yang lebih rasional, egaliter dan demokratis baru tahap permulaan di begeri ini. Masih bervariasinya
subyektifitas teoritik keilmuan dalam wacana – yang berimplikasi pada formulasi politik, ekonomi,
hukum dan ketatanegaraan – merupakan indikasi dari belum mapannya sistem etika sosial dan
kebudayaan kita yang reformatik saat ini. Ketiga, pengalaman bangsa kita dalam berinteraksi sosial
secara sehat, masih dibilang seumur balita.

Pemahaman Spesifik tentang Korupsi

Dalam konteks kebudayaan ini pula kita memetik pelajaran dari sejarah perkembangan korupsi
di Indonesia. Pertama, korupsi – di Negara kita – pada dasarnya berkaitan dengan perilaku kekuasaan.
Kekuasaan – pada umumnya cenderung untuk korup (power tend to corrupt). Kedua, korupsi sangat
erat kaitannya dengan perkembangan sikap kritis masyarakat. Semakin berkembang sikap kritis
masyarakat maka korupsi akan cenderung dipandang sebagai fenomena yang semakin meluas.

Secara normatif, seseorang dianggap sebagai perilaku tindak pidana korupsi bila telah
memenuhi dua criteria: pertama, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lan atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara. Kedua, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyelahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
keudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 dan 3 UU
No.31 Tahun 1999).

Secara sosiologis, pengertian itu berkembang sesuai dengan persepsi masyarakat. Perilaku
korupsi – dwsasa inbi bias diindikasikan dari berbagai perspektif atau pendekatan hukum misalnya
dikatakan sebagai : tindakan mengambil bagian yang bukan menjadi haknya. Kemudian diderivasikan :
(1) korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang
diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri; (2)
korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugasa-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja
untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat
atau kelompok sendiri. Dalam perspektif atau pendekatan relativisme kultural, bisa saja korupsi
dikatakan sebagai tindakan pemaksaan untuk menyeragaman berbagai pemerintahan lokal, yang
menyebabkan budaya asli setempat tidak berkembang, melemahkan keberadaannya untuk diganti
dengan budaya yang dominan milik penguasa adalah tindakan korupsi struktural terhadap persoalan
kultural.
Berkaitan dengan pemahaman tentang korupsi ini MUI pada tahun 2001 pernah mengeluarkan
fatwa khusus yang berkaitan dengan al-ghulil (korupsi), ar-risywah (suap-menyuap), dan pemberian
hibah (hadiah) bagi pejabat. Dalam fatwa tersebut MUI menegaskan bahwa korupsi dan praktik suap
“sangat keras” larangannya dalam agama. Sementara pemberian hadiah bagi pejabat sebaiknya
dihindari karena pejabat telah menerima imbalan dan fasilitas dari negara atas tugas-tugasnya. Fatwa
MUI tersebut juga dukuatkan oleh pendapat para ulama NU pada Munas NU. Selain itu, Munas NU
(2002) juga merekomendasikan mengharamkan hibah (hadiah) kepada pejabat di luar batas kewajaran.
Diharamkannya hibah itu, karena disamping melanggar sumpah jabatan, juga bisa menimbulkan
kemungkinan sebagai arisywah (suap-menyuap) atau sebagai bentuk al-ghulul (korupsi). Menurut para
ulama NU, ar-risywah bisa mengubah yang benar menjadi salah atau sebaliknya, sedangkan al-ghulul
(korupsi) tidak sama dengan ar-risywah (suap-menyuap) – bukan menyogok – tetapi mengambil uang
yang seharusnya masuk ke kas Negara tetapi masukk ke ‘kantong’ sendiri. Alasan NU menyinggung
maslaah hibah, karena masalah tersebut menjadi aktual mengingat KPKPN (Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara) banyak menerima pengembalian isian formulir pejabat Negara yang
hartanya disebut sebagai hibah.

Beberapa Langkah Preventif

Maka untuk mengatasi budaya korup ini kita juga harus memulainya dari upaya perbaikan
terhadap wacana kebudayaan kita yang kelak akan berimbas pada wilayah sosial, politik dan ekonomi.
Seperti kata Nabi Muhammad SAW – yang kata-katanya sangat sederhana tetapi memiliki pesan
universal yang mendalam – “Mulailah dari dirimu sendiri” (ibda’ binafsik). Dalam hal ini ada beberapa
langkah preventif yang dapat dilakukan agar godaan korupsi tidak menjadi kenyataan, antara lain
dengan cara:

a. Membiasakan pola hidup sederhana (Q.S. 17:26-27). Pola hidup sederhana ini akan mencegah
orang dari jebakan gaya hidup materialistik, hedonis dan konsumeristik.
b. Selalu berupaya tidak melanggar hak orang lain (Q.S. 7:33). Kebiasaan hidup teratur, tidak
melanggar undang-undang/peraturan yang berlaku serta menghormati adat kebiasaan
masyarakat yang benar, sudah barang tentu akan terhidar dari perilaku pelanggaran terhadap
hak milik orang lain.
c. Menumbuhkan rasa tanggungjawab (Q.S. 3:67) pada diri sendiri dan anggota masyarakat.
d. Selalu berupaya menjauhkan diri dari godaan setan, yakni menjaga diri dari segala hal
perbuatan keji dan munkar.
e. Membiasakan diri dalam bekerja secara professional dan proporsional. Mengetahui wilayah
kerja yang diamanahkan pada diri kita sekaligus menyadari mana wilayah tanggungjawan yang
sudah diamanahkan pada orang lain yang bukan bagian dari tanggungjawab kita.
f. Selalu memotivasi diri untuk berprestasi, bukan sekedar meraih prestise.
g. Selalu memperkaya diri dengan penataan hati / spiritualitas (manajemen qolbu) dalam bekerja,
tidak sekedar mengandalkan aspek knowledge dan skill semata.
h. Setiap warga bangsa perlu ditanamkan – terutama sejak dini – tentang nilai-nilai religius yang
secara jangka kpanjang dapat menjadi benteng kultural dikemudian hari. Nilai-nilai tersebut
antara lain: taqwa, ‘adil, shidig, amanah, al-haya’ dan sitiqomah. Konsep taqwa mendorong
orang untuk bertindak hati-hati dan waspada (eling lan waspodo). Fazlur Rahman (1980:29)
cenderung pula mengartikan konsep taqwa ini sebagai “melindungi diri dari akibat perbuatan
sendiri yang buruk…….. Sedangkan konsep ‘adil bermakna “…………..keseluruhan dan
ukuran” (Munawwir, 1997 …..) secara terminologiis bermakna “sikap…..” keseimbangan dan
menengahi (fair dealing….) 1992: 113). Adapun shidiq berarti :benar …. (Munawwir,
1997:823).Seorang Muslim di….selalu dalam keadaan benar lahir-batin,yakni….(shidiq al-
qalb), benar perkataan (shidiq al-hadits) benar ….perbuatan (shidiq al-amal).Sifat amanah
berati …… (Munawwir, 1997:44). Sifat ini meliputi : pertama, …..”larangan, menyembunyikan
kesaksian atau ….memberikan kesaksian yang benar” (Q.S. 2:…) …”keadilan atau pelaksanaan
hukumsecara a….(Q.S. :32)

Perlunnya Kontekstual Ajaran Islam

Mengingat warga bangsa ini mayoritas memeluk agama Islam maka yang tak kalah pentingnya
seb…pemberantasan korupsi adalah soal kontekstual….nilai ajaran Islam itu sendiri.Merebaknya
fenomena….khususnya di tengah-tengah komunitas bangsa….mayoritas muslim di Indonesia ini
sedikit-banyak….. disebabkan oleh pola pemahaman agama yang ber…. Boleh jadi – akibat rumusan
paham keagamaan….tradional – dosa korupsi belum terlalu digolongkan pada dosa besar atau dosa /
syirik sosial. Pemahaman dosa besar selama ini lebih berperspektif vertical – personal seperti : syirik
kepada Allah SWT, durhaka pada dua orang tua, membunuh, berzina dan sejenisnya. Sedangkan
pemahaman dosa besar yang berpespektif horosontal-komunal seperti: korupsi, perusakan
lingkungan, pelanggaran HAM secara massif (pendindasan kaum perempuan, penjualan anak manusia,
dll), cultural and structurala violence, dan sejenisnya yang tergolong dosa social belum begitu
terelaborasi dalam khazanah pemikiran Islam. Dalam perspektif epistemology Islam, wacana dan
pemahaman keagamaan Islam selama ini masih bercorak terkstual – normatif (bayani), belum beranjak
pada pola pemahaman yang kontekstual – histories (burhani).

Secara fiqh, bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim, sampai saat ini belum memiliki fiqh
sosial ala Indonesia, khususnya yang terkait dengan dunia birokrasi. Saat ini, yang masih dominan
justru fiqh ritual / ibadah mahidloh yang serba abstrak, belum menuju pada horizon fiqh yang lebih
empiris, misalnya: fiqh multi kultural, fiqh gender, fiqh tentang wacana kekerasan, iptek, satelit, atau
lebih umum kita sebut saja fiqh virtual, juga fiqh birokrasi (termasuk di dalamnya soal korupsi). Tidak
perlu heran bila lembaga atau organisasi keagamaan terkadang juga disinyalir melakukan tindak pidana
korupsi. Fenomena tersebut tidak lain dari bukti adanya kemiskinan wawasan – yang berimplikasi pada
ruang kesadaran spiritual umat – tentang fiqh birokrasi.

Massa Islam secara umum, belum begitu memiliki sense tentang apa yang sekarang digaungkan
dengan istilah clean government maupun goog governace. Karena selama ini belum terakomodasi
secara konkrit dalam berabgai perguruan tinggi. Demikian pula wawasan dakwah maupun khutbah-
khutbah Jumat, umumnya lebih bernuansa tabligh yang bersifat ritual-eskatologis, belum banyak
mengupas soal al-dunya wa maa fija yang lebih menjawab tantangan sosial-empiris serta bercorak
futurologis”. Gambaran syurga dan neraka hanya terkait dengan alam “di sana dan nanti” (al-akhirat),
bukan “di sini dan saat ini” (al dunya). Akibat lebih jauh, menjadi lebih jelas bila wawasan para tokoh
umat – terutama para politisi dan memiliki kesadaran autentik tentang upaya pemberantasan KKN.
Ditambah lagi model dakwah amar ma’ruf lebih dominan dan sangat abstrak – jauh dari problema
keseharian warga bangsa – ketimbang nahi munkar secara sistemik yang didukung oleh basic
knowledge – fiqh birokrasi, misalnya – secara lebih memadai.
2. Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Pengalaman Negara Lain dalam Pemberantasan Korupsi

Untuk melihat pengalaman negara lain dalam hal pemberantasan kasus korupsi, berikut ini ada
beberapa negara yang bisa dijadikan contoh model atau sebagai bahan komparasi dalam soal
penanganan kasus korupsi dengan penekanan pada empat model upaya pemberantasan korupsi.

1. Pengalaman lembaga pemerintah


a. Hong Kong
Hong Kong pada tahun 1955 telah mengeluarkan Undang-undang tentang Praktik Korup
dan Illegal. Undang-undang ini bertujuan mencegah praktik korup dan illegal pada saat
pemilihan umum. Upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, diperluas dengan dikeluarkan
Ordonansi Komisi Independen Anti Korupsi (Independent Commision Againts Corruption)
pada tahun 1974. Tugas ICAC mencakup memeriksa pelanggaran di bawa Prevention of
Bribery Ordinance (Ordanansi Pencegahan Suap), mengubah praktik dan prosedur departemen
pemerintah dan lembaga non departemen yang dapat menimbulkan perilaku korupsi; memberi
nasihat kepada siapa saja mengenai cara memberantas korupsi mendidik publik tentang akibat-
akubat buruk korupsi; dan membangun dukungan publik untuk kegiatan anti korupsi.

Pada tahun 1970 Hong Kong menerbitkan Undang-undang tentang Pencegahan Suap.
Undang-Undang ini menetapkan sejumlah pelanggaran menyangkut suap dan hukuman yang
dijatuhkan. Pelanggaran mencakup memiliki tanah dan bangunan oleh pegawai negeri tanpa
diketahui asal-usulnya dan hukumannya, antara lain berupa penyitaan kekayaan. Undang-
Undang ini juga memberi wewenang untuk mendapat informasi, membatasi penjualan hak
milik, menggeledah bangunan, dan meminta penyerahan dokumen perjalanan. Dalm Undang-
undang ini juga terdapat pasal-pasal tentang pembuktian, dan memberi wewenang kepada
pengadilan untuk melarang memperkerjakan orang yang pernah dijatuhi hukuman.

b. Kenya
Pada tahun 1956 Pemerintah Kenya menetapkan Undang-Undang Pencegahan Korupsi.
Undang-undang ini menetapkan tindak korupsi di kantor sebagai tindak pidana, dan
menetapkan hukuman yang semakin berat bila pelanggaran menyangkut kontrak dengan
pemerintah. Atas praduga bersalah (kecuali “dapat dibuktikan” sebaliknya) diberlakukan bila
uang, hadiah, pinjaman, komisi, imbalan atau pemberian lain diterima oleh seseorang yang
bekerja untuk pemerintah atau badan pemerintahan. Juga ada ketentuan bagi pelaku pemberi
suap untuk mengembalikan sebagai hutang sipil, uang yang diberikan dan diterima oleh
seseorang pegawai. Undang-undang itu juga mencegah korupsi di sektor publik, semi publik,
dan swasta.

Dalam pada itu untuk anggota parlemen pada tahun 1964 juga dikeluarkan aturan, yang
disebut dengan Undang-undang Parlemen. Undang-undang ini menyatakan dan menetapkan
definisi hak istimewa dan kekebalan hukum anggota Parlemen, semuanya berkaitan langsung
dengan pelaksanaan tugas masing-masing dalam Parlemen. Undang-undang ini juga melarang
anggota menerima suap, komisi, imbalan, hadiah atau ganti rugi untuk atau dalam kaitan
mendukung persoalan yang diajukan atau dimaksudkan akan diajukan untuk dipertimbangkan
oleh Parlemen.

c. Amerika Serikat
Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1966 mengeluarkan Undang-undang Kebebasan
Informasi. Negara ini adalah pelopor dalam penggunaan asas kebebasan mendapat informasi.
Dalam Undang-Undang ini mewajibkan pemerintah federal mengizinkan warga masyarakat
memperoleh dokumen yang disimpannya. Pada tahun 1974 dikeluarkan The Freedom of Act,
yang menyederhanakan prosedur yang agak berbelit-belit dalam Undang-undang tahun 1966.
Di samping itu juga memberi wewenang kepada pengadilan untuk menilai apakah suatu
dokumen telah dimasukkan ke dalam kategori yang tepat sebagai dokumen yang dikecualikan.

Undang-undang pendukung lainnya, diantaranya yaitu: Government Sunshine act 1976,


yang mengizinkan warga Negara menghadiri rapat badan pemerintahan tertentu dan Whistle-
blowers (Civil Service Reform) Act 1978 yang memberikan perlindungan kepada pegawai
begeri dari balas dendam pihak pemerintah jika ia mengungkapkan kesalahan atau praktik
curang dari pihak pemerintah mengungkapkan informasi yang diyakininya menunjukkan
pelanggaran suatu aturan atau ketentuan, pengelolaan yang salah, penghamburan dana atau
penyalahgunaan wewenang.
Amerika Serikat pada tahun 1977 juga mengeluarkan Undang-Undang Praktik Korupsi
di negera Asing. Undang-Undang ini menetapkan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang
bila perusahaan (dan pegawai, direktur, pekerja atau agen-agen perusahaan atau pemegang
saham yang bertindak atas nama perusahaan) menyuap pejabat publik asing, partai politik asing,
atau pejabat partai politik asing, atau calon pejabat politik negeri asing dengan maksud
mendapat atau mempertahankan bisnis.

d. Australia
Pemerintah Australia pada tahun 1982 telah mengeluarkan Undang-undang Kebebasan
Informasi. Undang-undang ini memberi hak pada warga masyarakat Australia untiuk mendapat
informasi milik Pemerintah Australia, tentang tugas dan kegiatan departemen dan pejabat publik
bagi masyarakat serta informasi dalam bentuk dokumen menteri dan pejabat pemerintah.
Diterbitkan Undang-undang ini, tentunya akan memberikan peran yang cukup berarti bagi
warha masyarakat untuk mengontrol kegiatan dan kekayaan para pejabat pemerintah. Dengan
kontrol yang lebih kuat dari warga masyarakat dapat diharapkan lebih dapat menekan terjadi
penyimpangan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah termasuk di dalamnya
penyimpangan dalam bentuk perbuatan korupsi.

Pada tahun 1988, Australia, New South Wales, mengeluarkan Undang-undang Komisi
Independen Anti Korupsi (Independent Commision Against Corruption). Untuk tujuan
penyelidikan, Undang-undang menetapkan ICAC berwenang untuk mengadakan dengar
pendapat publik dan memanggil siapa saja untuk hadir dalam dengan pendapat publik itu untuk
memberikan kesaksian di atas sumpah atau mengenali atau menyerahkan dokumen atau
menyerahkan dokumen barang.

Di samping itu, di Australia Selatan dikeluarkan Edaran Komisioner Nomor 64, yaitu
aturan perilaku untuk pegawai negeri yang berisi prinsip-prinsip umum administrasi
pemerintahan (dalam kaitan dengan hal-hal seperti sikap tidak memihak, konflik kepentingan,
hadiah, berhemat, kesempatan yang sama); pelayanan bagi publik (termasuk tanggung jawab
ketaatan Menteri pada instruksi, pembenaran informasi, komentar di depan publik, kebebasan
memperoleh informasi, melapor, kegiatan politik ditempat kerja, dan kendaraan dinas); dan
hukum pidana (termasuk suap dan korupsi, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, mengancam
dan membalas dendam).
e. Gambia
Pemerintah Gambia pada tahun 1982 menetapkan Undang-undang Evaluasi Kekayaan
dan Hak Milik dan Pencegahan Praktik Korupsi. Undang-undang ini bertujuan membentuk
sebuah komisi untuk menguji kekayaan dan hak milik pejabat publik, memeriksa tuduhan
korupsi, dan memeriksa perilaku pejabat publik dalam melaksanakan tugas dan urusan pejabat
non pemerintahan dengan pejabat publik atau lembaga pemerintahan.

f. Trinidad dan Tobago


Bagian 138 Undang-undang dasar Trinidad danTobago berisi tentang pembentukan
Komisi Integritas. Komisi ini bertugas untuk menerima laportan kekayaan, hutang dan
penghasilan Anggota Parlemen, Menteri, Sekretaris Parlemen, Sekretaris Permanen dan pejabat
bagian teknik. Sebagai tindak lanjutnya pada tahun 1987, dikeluarkan Undang-undang
Integritas dalam Kehidupan Pemerintahan. Undang-undang ini mewajibkan setiap orang yang
bekerja dalam pemerintahan untuk melaporkan kepada Komisi Integritas mengenai pendapatan,
kekayaan, dan hutangnya, termasuk kekayaan dalam lembaga keuangan. Komisi berwenang
menguji laporan kekayaan dan mengambil tindakan yang diperlukan atau meminta Direktur
Kejaksaan Umum untuk mengambil tindakan.

Pada tahun itu Pemerintah Trinidad dan Tobago menerbitkan Undang-undang


Penecegahan Korupsi. Undang-undang ini menentukan bahwa korupsi yang dilakukan di kantor
adalah sebagai tindak pidana dan ditentukan pula hukuman yang dapat dijatuhkan. Penggunaan
informasi pemerintah untuk tujuan korupsi oleh pegawai negeri juga termasuk tindak pidana.

g. Singapura
Pada tahun 1989 Pemerintah Singapura mengeluarkan Undang-undang Korupsi.
Menurut Undang-undang ini memungkinkan penyitaan hasil korupsi. Bilamana seseorang
tertuduh terbukti bersalah melakukan tindak korupsi, pengadilan diwajibkan mengeluarkan
perintah penyitaan atas kekayaan yang diperoleh dari korupsi. Perintah sita kemudian turut
dipertimbangakan dalam menentukan denda yang akan dijatuhkan (tetapi tidak untuk hukuman
yang lain) yang akan dijatuhkan kepadanya. “Hasil korupsi” mencakup hak milik yang melebihi
pendapatan tertuduh dari sumber penghasilan yang sah.

h. Afrika Selatan
Pada tahun 1996 Afrika Selatan menerbitkan Undang-undang tantang Unit Pemeriksaan
Khusus dan Pengadilan Khusus. Unit Pemeriksaan Khusus bertugas untuk memeriksa
penyelewengan serius atau pelaksanaan administrasi yang buruk dalam kaitan dengan
administrasi Negara, kekayaan Negara dan dana masyarakat, dan perilaku yang dapat membawa
dampak merusak kepentingan publik; sedang Pengadilan Khusus bertugas untuk mengadili
perkara perdata yang muncul dari hasil pemeriksaan oleh Unit Pemeriksa Khusus.

Untuk selanjutnya Presiden Mandela pada bulan Maret 1997 meresmikan Unit Khusus
Heath untuk Pemeriksaan (Heath Special Investigating Unit) – sebuah unit pemeriksaan yang
dikepalai oleh Hakim William Heath. Unit ini menawarkan proses bagi tuduhan korupsi,
membawanya ke pengadilan sipil hingga menghasilkan keputusan sipil yang berkekuatan
hukum oleh sebuah Pengadilan Khusus.

Pada tahun 1994 Afrika Selatan menerbitkan Undang-undang tentang Pelindung


Masyarakat. Jabatan Pelindung Masyarakat dibentuk di bawah Undang-undang Dasar Afrika
Selatan untuk melindungi warga masyarakat dari administrasi yang buruk dalam kaitan urusan
pemerintahan, perilaku yang tidak layak oleh pegawai yang melaksanakan fungsi pemerintahan,
tindakan tidak pantas berkaitan dengan dana masyarakat, menghimpun kekayaan secara tidak
sah yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan fungsi pemerintahan, dan tindakan atau
kelalaian oleh pegawai yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang berakibat kerugian bagi
orang lain.

i. Jerman
Pemerintah Jerman pada tahun 1998 menerbitkan pedoman Pemerintah Federal tentang
Pencegahan Korupsi dalam Administrasi Federal. Pedoman ini berisi aturan-aturan bagi semua
kantor pemerintah mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk mencegah korupsi.
Langkah-langkah ini mencakup analisis risiko, pemeriksaan lebih serius dan tarnsparansi, rotasi
staf, pengangkatan petugas penghubung untuk pencegahan korupsi, tinjauan ulang – intern,
pemisahan perencanaan korupsi, penentuan pemegang kontrak dan biaya kontrak dalam
kaitannya dengan pemegang barang dan jasa publik, prinsip tender terbuka, memasukkan pasal
anti korupsi ke dalam kontrak, dan izin atasan sebelum menerima hadiah atau hiburan.

j. Filipina
Di Filipina aspek yang terpenting adalah pembaharuan mekanisme dan sistem
rekruitmen pegawai negeri. Rekruitmen menggunakan Prosedur Operasi Standar (SOP). Secara
sederhana proses rekruitmen didasarkan atas latar belakang pendidikan calon pegawai,
pengalaman latihan/training yang dimiliki dan beberapa persyaratan teknis lain yang telah
ditentukan berdasarkan undang-undang. Secara struktur kepegawaian, birokrasi kepemerintahan
Filipina mempunyai 3 komisi yang sangat berpengaruh di Filipina. Setiap ketua Komisi
ditunjuk oleh Presiden yang kemudian diusulkan ke dalam komite legislatif. Komite legislatif
lah yang memutuskan apakah calon tersebut bisa diterima atau tidak. Ketiga komisi masing-
masing memiliki tugas berbeda-beda, dengan masa jabatan selama 5 atau 7 tahun. Komisi
tersebut adalah Komisi Pengembangan Sumber Daya Manusia, Komisi Audit Keuangan dan
Komisi Pemilu. Semua komisi ini dibentuk berdasarkan Undang-undang, untuk menghindari
campur tangan dari berbagai pihak dan dominasi kekerabatan yang cukup tinggi.

k. Seoul Korea Selatan


Pemahaman masyarakat Seoul terhadap korupsi masih sangat sempit. Masyarakat
beranggapan korupsi hanya terbagi menjadi dua, yaitu korupsi kecil dan korupsi besar. Dalam
rangka memerangi korupsi, pemerintah Seoul melaksanakan dua jenis tindakan yaitu penerapan
Sistem Terbuka (OPEN Sistem) dan Sistem Pemerintahan Terbuka (OPEN Government).
Kedua sistem tersebut pada dasarnya merupakan perluasan konsep Pakta Integritas. Dalam
upaya penegakan Pakta Integritas, pemerintah Seoul berkonsentrasi pada pembenahan prosedur
Pengadaan Barang dan Jasa.

Secara lebih luas dalam agenda anti korupsi, Pemerintah Seoul menerapkan Kebijakan
Anti Korupsi Kota Seoul, Kebijakan ini meliputi a) Perumusan langkah pencegahan praktek
korupsi (perubahan peraturan, pemutusan lingkaran setan korupsi), b) Pengenaan sanksi bagi
pelaku korupsi (penghukuman bagi yang melanggar ketentuan), c) Menjamin keterbukaan
informasi dan prosedur administrasi dan d) Meningkatkan kerja sama antara pemerintah dengan
swasta dalam agenda memerangi korupsi.

2. Pengalaman Lembaga Independen Anti Korupsi


Upaya institusi antikorupsi Malaysia dalam memerangi praktek korupsi lebih beruntung
karena mendapat dukungan penuh dan serius dari mantan PM Mahathir Muhammad yang memiliki
komitmen yang sangat tinggi untuk memberantas korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi
di Malaysia ini juga sangat ditentukan oleh tiga hal yakni adanya kesepakatan bersama seluruh
masyarakat untuk memerangi korupsi, adanya penegakan hukum dan perundang-undangan dan
kuatnya komitmen individu yang berada dalam lembaga tersebut.

Secara umum masyarakat Malaysia mengklasifikasikan kasus korupsi menjadi dua, yaitu
korupsi di atas meja dan korupsi di bawah meja. Jenis korupsi di bawah meja tergolong berat dan
sangat sulit memberantasnya. Badan Anti Korupsi Malaysia terdiri dari beberapa divisi. Proses
rekruitmen anggota Badan anti Korupsi ini dilakukan oleh masing-masing divisi. Di setiap divisi
dibentuk Komisi Pelayanan Publik (PSC) yang bertugas mencari tenaga kerja dari berbagai bidang
dan latar belakang. Sistem kerja diatur secara ketat dengan tenggat waktu yang juga sangat ketat. Di
setiap divisi, selalu ada badan yang terus mengawasi kinerja staf yang telah direkrut.

3. Pengalaman Organisasi Non Pemerintah


Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI), beberapa tahun yang lalu Pakistan adalah
Negara terkorup ke 2 di seluruh dunia. Korupsi telah menyebabkan menurunnya investasi di
Pakistan, karena banyak investor meninggalkan Negara itu. Penyebab praktek korupsi di
Indonesia dengan Pakistan adalah sama, yaitu karena tidak adanya iklim keterbukaan.
Pakistan menerapkan Pakta Integritas di lingkungan pemerintah dengan pemantauan secara efektif
oleh masyarakat. Pengalaman Negara Pakistan menunjukkan, kunci keberasilan penerapan Pakta
Integritas adanya ikrar anti korupsi oleh pemimpin politik dan pendeklarasian ikrar tersebut
kepada rakyat. Untuk menjaga konsistensi para politisi terhadap ikrar tersebut, maka mereka harus
menadatangani ikrar/perjanjian yang disaksikan oleh masyarakat. Pemantauan terhadap
pelaksanaan ikrar oleh para politisi (aparat Negara) harus terus menerus dilakukan oleh rakyat.
Penerapan Pakta Integritas di Negara Pakistan yang diikuti dengan pemantauan secara terus
menerus oleh masyarakat telah menghemat anggaran Negara Pakistan.

4. Pengalaman Aktivitas Jurnalisme Investigasi


Lembaga Jurnalis Independen Filipina memiliki pengalaman menarik dalam membongkar
kasus korupsi (oleh Lembaga Jurnalis Independen Filipina). Adapun makna umum dari Jurnalis
Investigasi adalah untuk memperkuat berita yang sudah ada dengan melalui peliputan investigatif.
Investigasi adalah pembuatan berita jurnalisme denga cara mengungkapkan fakta 5W + 1H (what,
why, when, where, who, how). Dengan pendekatan ini maka jurnalisme investigative rata-rata
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan peliputan biasa. Sebagai contoh, tentang
peliputan kasus Estrada (mantan Presiden Filipina). Dalam kasus tersebut, koordinasi bersama
antara LS, pers (jurnalis investigasi), dan aparat pemerintah telah berhasil membongkar skandal dan
kekayaan tidak sah yang dimiliki oleh Estrada. Salah satu asset yang berasil dibongkar adalah
perusahaan besar milik Estrada yang bernilai lebih dari 6 juta peso. Contoh lain dari keberhasilan
investigasi mereka adalah membongkar skandal di jawatan kantor pajak. Bentuk korupsi umum
yang terjadi adalah, sebagian besar aparat pajak yang kaya raya tidak dapat menjelaskan dari mana
sumber kekayaan mereka. Contoh keberhasilan lain adalah pada waktu menemukan skandal praktek
korupsi pada Departemen Pendidikan, yaitu dalam proses penyediaan buku pelajaran dan juga
keberhasilan membongkar skandal anggota legislative Filipina.

Jurnalise investigasi yang dilakukan di Filipina telah membuktikan beberapa hal


yaitu, a) mampu mengubah pemahaman masyarakat tentang korupsi, b) dapat memberikan
fakta yang lebih benar kepada masyarakat, c) memelopori penyelidikan atas pelanggaran
dan d) dapat mengubah kebijakan. Namun untuk menjaga keberhasilan itu, pembaharuan
database adalah kebutuhan mutlak demi untuk menjaga keakuratan setiap informasi. Selain
dari empat model di atas menarik pula kita bandingkan dengan pengalaman antisipasi korupsi di
Cina. Walaupun Negara Cina dikenal sebagai Negara anti tuhan, ternyata pemerintahan Cina
bersikap sangat tegas terhadap para pejabat/warganya yang terbukti terlibat dalam kasus tidnak
pidana korupsi. PM Cina di saat pelantikan dirinya sebagai PM ia menyatakan secara tegas
agar kepadanya disediakan 100 peti mati, 99 peti tersebut untuk para koruptor dan satu peti
lagi disediakan khusus untuk dirinya bila ternyata korup di kemudian hari. Selain itu, sistem
penggajian karyawan atau buruh di Cina juga lumayan ideal yakni 7:1 sebagai skala banding antara
gaji majikan dengan buruh. Sistem penggajian seperti ini akan mengeliminir kesenjangan antara
atasan dan bawahan dan lebih mencerminkan rasa keadilan. Di Cina, juga dibangun sebuah
museum/pameran yangs isinya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang pernah terjadi di Cina. Museum ini sengaja dibuat untuk mengingatkan
penduduk Cina tentang bahaya korupsi.

Langkah-langkah Memulai Pemberantasan Korupsi

Beberapa langkah strategis (umum) yang dapat dilakukan sebagai pencegahan dan perlawanan
bagi tindak pidana korupsi, antara lain sebagai berikut:

1.1 Dekonstruksi Budaya yang Melestarikan Korupsi


Dalam kaitan dengan marak dan suburnya praktek korupsi di Indonesia, tidak terlepas dari
kontribusi besar yang dianut oleh budaya masyarakatnya. Karena masyarakat sudah menganggap apa
yang dilakukan menjadi bagian dari budaya yang telah dilakukan selama ini, akhirnya masyarakat
bersikap permisif, dan bahkan dalam banyak hal menganggap lumrah. Hal itulah yang kemudian
terkadang melahirkan sikap pesismis terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Untuk itu, harus
dilakukan dekonsatruksi budaya yang telah beranak-pinak dalam kehidupan masyarakat, antara lain:

a. Memberantas budaya kultus dan paternalistik yang sudah berlangsung secara turun temurun
telah mendorong suburnya praktek korupsi. Budaya ini telah melahirkan sikap ewuh pakewuh
atau rikuh dalam upaya pemberantasan korupsi atau penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh
orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat. Bahkan tidak jarang
dijumpai, orang yang sudah “tercemari korupsi” pun masih dihormati dan disanjung-sanjung.
b. Memberantas budaya hadiah yang diberikan kepada orang yang memiliki kewenangan tertentu
dalam kaitannya dengan urusan publik. Sebab dalam prakteknya, makna hadiah telah
mengalami reduksi dan penyimpangan dari konteks yang dimaksudkan oleh konsep hadiah itu
sendiri. Hadiah semacam inilah yang semakin menyuburkan praktek korupsi di Indonesia.
c. Memberantas budaya komunalisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam konteks
ketergantungan akan kehidupan kolektif yang kemudian melahirkan sikap toleransi terhadap
praktek-praktek korupsi, karena hal itu dipandang merupakan bagian dari kehidupan
komunalnya. Konteks komunalisme semacam ini yang menyimpang dan harus dikikis.
d. Budaya instan telah mendorong praktek penyimpangan dan korupsi, karena sesuatu ingin diraih
dengan serba singkat dan tidak mau bekerja keras. Etos kerja pun telah dikesampingkan karena
dipandang memperlama proses pencapaian terhadap sesuatu yang diinginkan. Akibatnya aturan
atau prosedur yang sudah menjadi ketentuan dengan mudah dilanggarnya.
e. Mengikis budaya permisif, hedonis, dan materialis. Pola kehidupan seperti ini telah
menghilangkan idealisme dalam menegakkan nilai-nilai kebajikan. Akibatnya parameter yang
digunakan bersandar pada kenikmatan duniawi dan materi. Fenomena ini sudah menjadi wabah
endemic di masyarakat.
f. Perlunya membangun budaya kritis dan akuntabilitas pada masyarakat, sehingga tidak memberi
ruang terhadap lahirnya praktek dan tindak pidana korupsi. Orang akan berpikir panjang untuk
melakukan korupsi karena munculnya kesadaran kritis masyarakat terhadapnya dan sekaligus
menuntut adanya akuntabilitas terhadap setiap jabatan/kewenangan yang diembannya.

1.2 Pendekatan Keagamaan dan Pendidikan


a. Mendorong para tokoh dan lembaga agama mengeluarkan fatwa atau opini umum terhadap
para pelaku korupsi yang merugikan masyarakat. Hal ini sejalan dengan anjuran Nabi
Muhammad SAW: “Fa-idza ro-a minkum munkaran, fal-yughayyirhu biyadihi, fa illam tastathi’
fa-bilisanihi, fa-illam tastathi’ fa-biqolbihi, wa huwa adl’afu al iman”.
b. Merumuskan dan mensosialisasikan pelajaran/mata kuliah civic education / tentang KKN di
berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya penyadaran bagi peserta didik atau mahasiswa
yang kelak dapat melahirkan warga Negara yang memiliki komitmen kejujuran, keadilan dan
kebenaran.
c. Mendorong para akademisi untuk terus melakukan berbagai riset (kualitatif maupun kuantitatif)
tentang kasus KKN maupun yang terkait dengan budaya dan sosiologi korupsi.
d. Melakukan reformasi silabi pendidikan keagamaan dari yang bercorak personal sosial
morality menuju sosial morality, yakni dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan
secara lebih membumi khususnya yang terkait dengan isu KKN.
e. Melakukan pendidikan dan penyadaran bagi segenap warga masyarakat tentang bahaya KKN
melalui lembaga pengajian dan pengkajian agama maupun upacara keagamaan.
f. Meningkatkan fungsi pendidikan keluarga yang terkait dengan bahaya korupsi bagi segenap
anggota keluarga sejak usia dini. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT agar kaun muslimin
menjaga keluarga dari segala bentuk kejahatan moral dan sosial : “Qu anfusakum wa ahlikum
naara (At-Tahrim: 6)”.
g. Mendorong para orangtua, tokoh dan pimpinan masyarakat, politisi maupun pejabat untuk
menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat dan birokrasi Negara.
h. Mendorong setiap pemeluk agama untuk lebih menghayati ajaran agama, karena penghayatan
agama yang benar akan mencegah seseorang dari melakukan tindak pidana korupsi maupun
kejahatan lainnya. Upaya peningkatan sense of corruption melalui proses penajaman
hati/mata batin secara ‘irfani menjadi sebuah keniscayaan di masa mendatang. Hal ini sejalan
dengan sabda Nabi “Sal dlamiroka”, dan “istafti qolbaka”.
i. Para pejabat, pemimpin informal serta para hartawan hendaknya memberikan keteladanan bagi
masyarakat dalam sikap hidup sederhana dengan tidak memamerkan kekayaan yang
dimiliki.
j. Para keluarga hendaknya membiasakan budaya menabung dan hidup secara produktif – tidak
konsumtif – melalui pembudayaan sistem manajemen keuangan keluarga secara proporsional
dan professional.

1.3 Pendekatan Sosial-Budaya


a. Menciptakan dan memasyarakatkan budaya malu di kalangan warga bangsa khususnya yang
terkait dengan kasus penyalahgunaan kekuasaan/korupsi.
b. Masyarakat hendaknya mulai melakukan upaya pengucilan bagi setiap anggota masyarakat
yang terbuka melakukan korupsi yakni menolak kehadiran para koruptor untuk tampil di
berbagai forum resmi baik di masyarakat maupun media massa, kecuali bagi mereka yang
sudah bertobat dijalanNya. Pengucilan melalui medium hukum adat atau budaya lokal juga
sangat efektif untukk menimbulkan rasa jera bagi koruptor.
c. Melakukan sosialisasi secara intensif tentang bahaya korupsi di tengah masyarakat melalu
media massa.
d. Memberikan penghargaan (award) secara tulus dan selektif bagi para tokoh yang layak untuk
diteladani.
e. Menghimbau kepada segenap masyarakat untuk segera menghentikan kebiasaan suap-
menyuap, dari hal yang bersifat administratif sampai kasus money politics.
f. Mendorong segenap anggota masyarakat untuk segera melaporkan kepada aparat yang
berwenang tentang adanya indikasi penyalahgunaan wewenang/korupsi.
g. Menerbitkan dan mempublikasikan berbagai literatur, brosur/VCD keagamaan yang
mengkritisi tentang bahaya korupsi.

1.4 Pendekatan Hukum dan Politik


a. Mendorong pemerintah maupun anggota legislatif untuk segera merevisi undang-undang anti
korupsi yang mengedepankan asas pembuktian terbalik terhadap warga masyarakat yang
diduga melakukan tindakan pidana korupsi. Istilah menguatkan dalam pembuktian terbalik
dikembangkan menjadi alat bukti secara mandiri.
b. Setiap anggota masyarakat, baik secara individual maupun kelembagaan ormas dan LSM,
hendaknya melakukan pressure kepada para aparat penegak hukum / judikatif (khususnya
para jaksa dan polisi) untuk konsekwen dan memiliki keberanian dalam menindak para pelaku
tindak pidana korupsi.
c. Memperluas horizon tentang makna korupsi bahwa korupsi bukan hanya korupsi uang tetapi
juga termasuk korupsi waktu, kesetiaan, kasih sayang, informasi, martabat kemanusiaan, dan
lain-lain.
d. Mendorong aparat birokrasi untuk senantiasa mengembangkan sistem pemerintahan yang
trasnparan dan responsif terhadap berbagai aspirasi masyarakat yang berkembang, serta
selalu berupaya bagi terwujudnya sistem birokrasi yang memiliki akuntabilitas yang tinggi.
Seleksi kepegawaian juga harus mempertimbangkan terlibat/tidaknya calon pegawai yang
bersangkutan dalam korupsi.
e. Mendorong aparat pemerintahan (ekskutif – legislatif – judikatif) maupun pimpinan/anggota
parpol untuk tidak melakukan rangkap jabatan.
f. Menghimbau dan mendorong semua komponen masyarakat umum (melalui ormas/LSM)
maupun masyarakat pilitik (pimpinan parpol/untuk melakukan koalisi bersih yang bersifat
lintas agama, lintas ormas/LSM dan lintas parpol.
g. Mempublikasikan inisial para koruptor yang diduga terkait dengan isu KKN sebagaimana isu
“politik busuk”.
h. Mempublikasikan berbagai kasus-kasus korupsi dari yang peling rendah hingga tindak pidana
korupsi tingkat tinggi agar diketahui oleh khalayak umum sekaligus membuat jera para pelaku
korupsi.
i. Mendorong setiap proses sosial maupun politik yang dapat mewujudkan terciptanya
kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga dengan terwujudnya kesejahteraan tersebut akan
dapat mereduksi munculnya berbagai penyakit sosial semacam KKN maupun tindak
kriminalitas lainnya.
j. Pemerintah dan segenap anggota masyarakat untuk secara terus-menerus meningkatkan
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui berbagai sarana pengawasan yang sudah
tersedia, di samping media informal lainnya.
5. Peran Takmir Masjid
Salah satu upaya yang cukup strategis dalam proses pemberantasan korupsi adalah
maksimalisasi potensi institusi masjid yang cukup banyak bertebaran di tanah air. Semakin hari
makin banyak bangunan masjid yang didirikan. Ini berarti bahwa boleh jadi kesadaran umat Islam
tentang pentingnya masjid sebagai pusat pembinaan umat semakin menjadi kenyataan. Dengan
demikian, amatlah strategis bila upaya pemberantasan korupsi juga melibatkan takmir / jamaah
masjid yang hampir dimiliki setiap komunitas umat di Indonseia. Proses penyadaran melalui
media pengajian, pengkajian, khutbah Jumat serta medium dakwah lainnya yang terkait dengan
betapa bahayanya penyakit kronis yang bernama korupsi, menjadi sangat signifikan di masa
mendatang.

Para jamaah, khasusnya para khatib/da’i perlu diberi wawasan yang luas tentang tema
korupsi ditinjau dari segi ajaran Islam. Bagi para da’i, kini juga sudah tidak terlalu sulit untuk
mengupas masalah korupsi, mengingat banyaknya buku-buku rujukan tentang ini. Salah satu buku
yang relevan untuk dijadikan pegangan atau bahkan kajian bagi jamaah masjid khususnya para
da’i/khatib adalah buku Korupsi dalam Perspektif Agama-agama, Panduan untuk Pemuka
Umat.

Selain itu, kepada para jamaah masjid atau masyarakat yang ada di lingkungan masjid perlu
pula diberi pencerahan tentang lika-liku tindakan korupsi, baik yang berskala kecil maupun
berskala besar, melalui pelatihan antikorupsi maupun media iklanlainnya. Di samping itu, para
takmir masjid sudah saatnya untuk menerapkan sistem pengelolaan adminisrtrasi dan
manajemen modern yang kondusif bagi tereleminirnya kasus korupsi di tubuh umat Islam,
hal ini juga berlaku bagi amal usaha yang dimiliki umat/ormas Islam lainnya. Dengan demikian,
budaya audit serta sistem pengelolaan dana infak, zakat dan shadaqah, sudah saatnya dibenahi
secara accountable, tansparan dan amanah. Perintah agama Islam kepada umat Islam untuk selalu
memakmurkan masjid harus diperluas, dari sekedar meramaikan shalat jamaah belaka menjadi
memakmurkan dalam arti menjaga kemakmuran masjid dari bahaya tindak pidana korupsi.
Dengan menerapkan budaya audit serta sistem administrasi dan manajemen modern Islami maupun
upaya maksimalisasi penggalian dan pendistribusian dana umat ke sasaran yang tepat, ini berarti
umat sudah memperluas pemaknaan tentang memakmurkan masjid itu sendiri. Sistem manajemen
masjid – termasuk amal usaha umat Islam lainnya – yang menggunakan teori ikhlas
tradisional – yang cenderung bersifat pasif – konsumtif / jabariyyah / determinism – sudah
saatnya ditransformasikan ke sistem manajemen ikhlas professional yang aktif – produktif /
qodariyyah / indeterminism. Dengan demikian masjid telah turut serta dalam mereduksi adanya
peluang-peluang bagi tindak pidana korupsi sekaligus mendistribusikan hartanya ke masjid, yang
secara jangka panjang akan berdampak pula pada peningkatan kesejahteraan bagi kaum dlu’afa dan
mustad’afin di masyarakat sekitar masjid. Badan komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid
(BKPRM) serta Dewan Masjid Indonesia (DMI) bisa mempelopori potensi masjid yang ada dewasa
ini, bersama-sama dengan ormas Islam lainnya.

6. Memeperbaiki Sistem Upah


Tentang sistem upah bagi karyawan/pekerja kita dapat belajar dari Cina. Di Cina
perbandingan sistem penggajian antara buruh paling rendah dengan majikan rata-rata 1:7.
Sedangkan di Indonesia bisa sampai 1:100 seperti yang terlihat dalam kasus BUMN maupun
perusahaan swasta. Demikian pula halnya tentang standar UMR (Upah Minimum Regional)
haruslah selalu disesuaikan dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimun) hingga meningkat ke
standar KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Dalam kenyataan di lapangan, seringkali kenaikan gaji
pegawai/karyawan tidak sebanding dengan kenaikan harga BBM/barang kebutuhan hidup sehari-
hari.

Agama Islam pada hakikatnya sangat mengharhai jerih payah orang lain. Sebagaimanan
yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW: “U’thu al-ajira ajrahu qobla an yajiffa ‘araquhu”
(Berilah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya) (HR. Abu Ya’la). Pengabaian dalam
sistem penggajian yang ditetapkan secara tidak adil tentu sangat melanggar prinsip keadilan dalam
Islam. Salah satu dampak dari tidak tegaknya nilai keadilan di masyarakat adalah munculnya kasus
korupsi.

Dalam perspektif teologi Islam, sistem penetapan dan pemberian upah yang umumnya
berlaku di Indonesia termasuk di lembaga amal usaha umat Islam – cenderung berlandaskan pada
pola teologi jabariyyah/determinism. Hal ini boleh jadi sangat dipengaruhi oleh teologi asy’ariyah
dan pola Ghazalian. Para pegawai/pekerja sering kali dituintut oleh atasan/majikan untuk bekerja
secara maksimal/ikhlas dalam rangka tercapainya target produklsi sebuah lembaga amal
usaha/perusahaan. Sayangnya tuntutan atasan terhadap bawahan ini tidak diimbangi dengan
terpebuhinya tuntutan bawahan terhadap atasannya, agar pihak pimpinan / atasan / majikan juga
seharusnya bersikap ikhlas / berupaya secara maksimal untuk memenuhi standar kelayakan hidup /
kesejahteraan bawahannya. Teologi “kepasrahan” model determinism ini dibungkus pula dengan
konsep “Ikhlas Beramal”, “Guru sebagai pahlawan tanpa jasa”, dan semisalnya. Bahkan lebih parah
lagi, sudah gaji karyawan / guru / pekerja sangat minim malah disunat lagi dengan berbagai
potongan sana-sini. Kondisi birokrasi Negara / swasta seperti ini lah yang mendorong trerjadinya
tindak pidana korupsi, baik di kalangan pegawai rendah – karena harus memenuhi kekurangan gaji
yang diperoleh setiap bulan – maupun oleh atasan yang memanfaatkan “potongan sana-sini”
tersebut untuk memperkaya diri. Teologi determinism ini juga meredupkan sikap kritisme bawahan
terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan atasan, yang seringkali berlindung di balik aturan,
yang ternyata sengaja direkayasa / dibuat untuk melindungi kejahatan / korupsi yang
menguntungkan atasan / pimpinan. Kini saatnya prinsip keadilan / al-‘adalah (justice),
egalitarianisme (al-musawah), fairness, proporsionalitas dan profesionalitas dijadikan landasan
moral dan teologis bagi sistem penggajian dalam birokrasi di negeri ini. Bila prinsip-prinsip ini
terwujud, maka secara evolutif dan sistematis celah tindak pidana korupsi semakin tertutupi. Maka
wawasan teologis yang lebih rasional dan transformatif perlu menjadi rujukan baru di masa
mendatang.

Selain itu, penetapan gaji yang rasional dan proporsional, termasuk rasio
perbandingan antara atasan bawahan seperti yang berlaku di Cina (7:1), aspek perlindungan
hukum, masalah kesehatan dan pendidikan keluarga / karyawan bahkan jaminan hidup
pasca pensiun maupun pemilikan saham bagi semua karyawan terhadap perusahaan tempat
dia bekerja, perlu menjadi perhatian serius bagi semua perusahaan, birokrasi pemerintahan
maupun amal usaha swasta. Khusus di kalangan umat Islam, dimensi Islamic holding company,
Islamic foundation serta filantropi Islam, mendesak pula untuk segera diwujudkan di masa yang
akan datang. Bila ini terealisir, maka fenomena kefakiran yang berakibat pada kekufuran akan
dapat diatasi secara bertahap dan sistematis.

7. Debirokratisasi
Bila ditinjau dari ajaran Islam tentang birokrasi, maka yang paling pokok adalah
terelaisasirnya prinsip kemudahan (al-Yusr) dalam penyelenggaraan sistem administrasi dan
manajemen di birokrasi. Sabda Nabi: “yassiru wala tu’assiru / permudah lah orang lain, jangan
dipersulit”, sudah saatnya diberlakukan secara merata di semua lini birokrasi di Indonesia, adapun
selama ini yang menyatakan bahwa “kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah”, sudah saatnya
diakhiri. Sebagaimana dimaklumi, penyebab terbesar dari munculnya berbagai praktek korupsi di
Indonesia adalah karena sistem birokrasi pemeritahan yang rumit dan berbelit-belit. Sistim
pelayanan administrasi satu atap secara lebih efektif dan efisien sangat mendesak untuk diwujudkan
di semua level birokrasi pemerintahan. Demikian pula dari segi singkatnya waktu dan murahnya
biaya pengurusan surat-menyurat, perizinan maupun bentuk prosedur administratif lainya, akan
lebih memudahkan bagi terjadinya akselerasi pembangunan dan kemajuan bangsa di masa depan,
sekaligus dapat mengejar ketertinggalan dari Negara lain.

Penting disadari oleh segenap komponen bangsa bahwa sistem birokrasi yang tidak terbuka
/ transparan, membuat para investor asing menjadi enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Hal ini tentu berdampak pada semakin menyempitnya lapangan kerja yang secara otomatis semakin
memperbanyak jumlah pengangguran. Akumulasi pengangguran – terdidik maupun yang tidak
terdidik – akan berimplikasi pada semakin merebaknya kemiskinan, kebodohan, rendahnya tingkat
kesehatan rakyat dan semakin merajalelanya angka kriminalitas di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, korupsi menjadi pangkal segala maksiat di negeri ini, akibat lemahnya sistem
birokrasi pemerintahan selama ini. Maka proses de-birokratisasi menjadi sebuah keniscayaan.

Sebenarnya kebijakan otonomi daerah merupakan peluang emas bagi pemerintah,


khususnya di daerah, untuk memajukan wilayahnya masing-masing. Sistem birokrasi yang
sentralistik di masa Orde Baru ternyata hanya memperkaya para pejabat dan penguasa di pusat saja.
Sebagian besar kekayaan di daerah terserap ke pusat kekuasaan di Jakarta. Secara evolutif dan
sistematis daerah-daerah mengalami pemiskinan. Kini dengan adanya DPD (Dewan Perwakilan
Daerah), misalnya diharapkan pola dan sistem pengambilan keputusan – baik di pusat maupun di
daerah – menjadi lebih tepat sasaran. DPD berperan ganda, di satu sisi sebagai artikulator dari
daerah yang diwakili, di sisi lainnya menjadi pengontrol kebijakan pemerintah pusat terhadap
daerah. Upaya de-birokrasi juga akan berdampak pada otonomisasi, pendelegasian
wewenang, swastanisasi di segala bidang, Dengan demikian semakin banyak partisipasi
rakyat yang bisa ditumbuhkan dan digerakkan untuk memacu laju pembangunan bangsa di
masa yang akan datang. Namun penting pula disadari bahwa proses debirokratisasi ini juga harus
ditopang oleh komitmen paratur Negara untuk selalu mewujudkan clean government, disamping
telah tersedianya sistem hukum dan perundang-undangan yang ketat sekaligus kontrol masyarakat
secara terus menerus.

Bila ditinjau dari syariat Islam, model atau pola pengembang sistem birokrasi yang sehat,
transparan dan accountable pada dasarnya Islam bisa mengadopsi sistem dari mana pun sepanjang
memenuhi prinsip keadilan sebagai salah satu inti dari ajaran Islam. Dalam khazanah sejarah
peradaban Islam, kita ketahui bahwa ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai kepala Negara /
khalifah, dengan cerdas dan terbuka (open minded) Umar mengadopsi sistem penyelenggaraan
administrasi / birokrasi pemerintahan dari sistem yang pernah berlaku di Parsi. Apa yang dilakukan
Umar sesuai dengan prinsip keterbukaan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW: “al-Hikmah
dlallah al-Mu’mini fahaitsu wajadaha fahuwa ahaqqu biha” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dewasa ini untuk mewujudjan sistem birokrasi yang sehat (good governance), paling tidak ada 7
prinsip utama yang harus dikembangkan dalam sistem manajemen birokrasi modern yakni prinsip-
prinsip : Discipline, Transparency, Independence, Accountability, Responsibilitu, Fairness,
Sosial Awareness. Perlu pula dicatat di sini bahwa di masa mendatang, bukan birokrasi
pemerintahan saja yang mesti memiliki 7 prinsip di atas, namun semua organisasi non-pemerintah
(ormas berikut seluruh amal usaha yang dimiliki, orpol maupun LSM) harus pula menerapkan 7
prinsip yang sama. Maka budaya audit bagi organisasi swasta ini menjadi sebuah keniscayaan
historis dan sosiologis demi terwujudnya cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Penutup

Berdasarkan beberapa catatan di atas, pada hakikatnya,banyak cara atau metode yang dapat
digunakan oleh pemerintah bersama masyarakat Indonesia untuk mengatasi fenomena dan
dampak korupsi di negeri ini. Bila berbagai strategi di atas dijalankan secara konsisten dan simultan
dengan belajar dari berbagai pengalaman di negara lain, maka penulis merasa yakin bahwa sekitar 10-
15 tahun mendatang, penyakit korupsi ini akan bisa diatasi, paling tidak bisa ditekan sampai ke titik
yang paling rendah, Namun yang lebih penting lagi bukan sekedar menghukum para koruptor,
tetapi faktor-faktor penyebab munculnya korupsi harus lebih menjadi perhatian utama bangsa
ini seperti masalah dimensi budaya, pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama, perhatian secara
kritis terhadap materi atau substansi hukum ketimbang formalitas hukum dan perundang-undangan;
secara keseluruhan akan bermuara pada upaya penumbuhan sikap antikorupsi, jauh lebih penting.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi inspirasi bagi para pembaca dan bahan pengembangan riset
selanjutnya.

3. Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam

Awal tahun 90-an penulis berdebat secara diametral dengan salah seorang adik penulis tentang
prospek pengembangan sistem ekonomi Islami (al-Iqtishad al-Islami). Adapun munculnya pemicu
perdebatan antara kami berdua adalah akibat lahirnya BMI (Bank Muammalat Indonesia) di Jakarta
yang pada mula berdirinya masih butuh waktu dua tahun baru BMI dapat mengembangkan sayapnya
ke seluruh pelosok tanah air.
Salah satu yang menjadi pokok masalah perdebatan antara lain adalah kemampuan mandirinya
BMI tanpa mengandalkan bunga bank/rente. Bisakah BMI – atau lembaga keuangan lainnya yang
berdasarkan prinsip Syari’ah – kelak bertahan tanpa mengikuti sistem ekonomi kapitalisme yang penuh
spekulasi dan eksploitasi? Bukankah tanpa adanya suku bunga tinggi, berbagai lembaga keuangan
sangat sulit untuk bertahan lama? Demikian kira-kira argumentasi yang ditujukan kepada penulis
sembari meyakinkan bahwa lembaga keuangan yang bergerak tanpa suku bunga akan sulit menggaji
karyawan maupun mengakumulasi modal ke lembaga keuangan yang ada. Apakah mungkin BMI – dan
sejenisnya – dapat eksis di kemudian hari, jangan-jangan begitu muncul, tak lama gulung tikar kembali.
Kalau itu terjadi, bisa jadi dunia akan semakin menertawakan apa yang disebut dengan prinsip syari’ah
tersebut.
Menghadapi serangan tersebut penulis menjelaskan fakta eksisnya beberapa lembaga keuangan
Islam di negara-negara Timur Tengah maupun di belahan dunia lainnya. Eksisnya lembaga keuangan
Islam Internasional semacam IDB (Islamic Development Bank) dan sejenisnya, menjadi bukti
dimungkinkannya eksistensi lembaga keuangan syari’ah itu. Bahkan dengan sedikit provokatif, penulis
‘meramalkan’ bahwa bila eksperimen BMI – termasuk BPR, BMT, Asuransi Takaful, Reksadana
Syari’ah, dll – bisa terus mengembangkan sistem yang diyakini sekaligus melahirkan produk-produk
barunya. Insya Allah, kelak bank-bank dan lembaga keuangan konvensional kapitalistik mau tidak mau
akan menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga keuangan islami. Dalam beberapa kasus ‘ramalan’
penulis awal 90-an yang lalu kini secara evolutif mulai menjadi kenyataan.
Bila kita runtut sedikit ke belakang, secara historis sosiologis, ada beberapa pendapat yang
berkembang mengenai eksistensi lembaga keuangan terutama bila dikaitkan dengan suku bunga.
Pendapat pertama, diwakili jumhur ulama, menyatakan bunga bank hukumnya haram. Kelompok ini
mendasari argumen mereka pada firman Allah dalam Surat Al-Baqarah : 275, yang artinya “dan Allah
menghalalkan jual beli namun mengharamkan riba”. Mayoritas ulama fiqh – tradisional – berpendapat
bahwa sistem suku bunga yang lumrah didapati di bank-bank kovensional dewasa ini statusnya sama
dengan riba, maka hukumnya menjadi haram. Kelompok ini meyakini bahwa konsep riba berbeda
dengan zakat. Bila zakat bersifat apresiatif dengan kaum miskin, maka konsep riba malah bersifat
eksploratif dalam melakukan transaksi ekonomi. Keputusan Bahtsul Matsail ormas Islam, NU,
termasuk yang mengharamkan bunga bank, walaupun tidak sedikit ulama dan kyai NU yang
berhubungan dengan bank.
Adapun kelompok kedua adalah ulama seperti almarhum Prof. Dr. Fazlur Rahman (Pakistan)
yang berpendapat bahwa upaya umat Islam dalam berhubungan dengan bank-bank yang ada hukumnya
boleh. Karena bila diharamkan, itu sama artinya umat Islam melakukan bunuh diri. Karena dalam
mengerjakan proyrk-proyek amal shaleh di zaman modern ini mau tidak mau umat Islam harus
berhubungan dengan pihak bank. Di sini jelas bahwa pada dasarnya Rahman tetap menginginkan
hadirnya lembaga keuangan yang lebih Islami, tetapi karena umat Islam memilikinya untuk sementara
dibolehkan berhubungan dengan bank konvensional. Logika Rahman ini bisa disandarkan pada salah
satu kaidah ushul fiqh yang berbunyi : al-darurah tubih al-mahzhurah (dalam keadaan darurat, yang
terlarang menjadi boleh).
Adapu kelompok ketiga, menyatakan bahwa makruh hukumnya umat Islam berhubungan
dengan bank yang mengandalkan suku bunga. Pendapat ketiga ini masih membolehkan, walaupun
secara tersirat tidak usah berurusan dengan bunga bank.
Pendapat keempat, meyakini bahwa bunga bank syubhat hukumnya. Dalam kelompok ini
termasuk ormas Islam, Muhammadiyah. Secara akademis, konsep syubhat dalam Islam berarti
sebaiknya dihindari, tetapi dalam kenyataannya para tokoh dan badan-badan usaha milik
Muhammadiyah bahkan “memanfaatkan” fatwa syubhat itu dan rami-ramai berurusan dengan bank-
bank konvensional.
Pendapat kelima, meyakini bahwa yang diharamkan adalah suku bunga tinggi, sedangkan suku
bunga rendah dapat dibenarkan. Menurut kelompok ini yang diharamkan hanya suku bunga tinggi atau
riba yang berlipat ganda (“Wahai orang-orang yang beriman, janganlahh kau konsumsi suku bunga
yang berlipat ganda/tinggi”) (Ali-Imran: 130).
Pendapat keenam, menyatakan pula bahwa yang paling baik adalah memilih lembaga keuangan
tanpa bunga atau bank Islam yang berdasarkan pada prinsip mudharabah (bagi hasil/profit and lost
sharing). Lembaga keuangan seperti BMI, BMT, dan sejenisnya sudah berupaya ke arah ini walaupun
belum sepenuhnya, karena masih harus terikat atau ‘magang’ pada bank konvensional yang kapitalistik
(ketergantungan pada BI misalnya?)
Adapun kelompok terakhir sedikit berbau politis, yang menyatakan bahwa kita harus
mengambil bunga yang diberikan oleh bank, sebab bila tidak diambil akan digunakan oleh kekuatan
aliansi ekonomi zionisme internasional. Tentang yang terakhir ini penulis belum mengetahui duduk
soal yang sebenarnya.
Berbagai pendapat di atas bias dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama tergolong
kelompok praktis-pragmatis, yakni tidak mengharamkan bunga bank (suku bunga tinggi/rendah, sama
saja) maupun yang membolehkan suku bunga rendah. Sedangkan golongan kedua adalah kelompok
idealis yang lebih memilih lembaga keuangan tanpa bunga sedikit pun.

Beberapa Visi Pengembangan Ekonomi Islam Masa Mendatang


Untuk mengantisipasi kebangkitan ekonomi Islami – mengiringi ekonomi kapitalistik, maka ada
beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh angkatan muda Islam maupun pakar ekonomi Islami, antara
lain sebagai berikut:
1. Mendirikan berbagai pusat studi ekonomi Islam dengan memiliki program antara lain:
kajian intensif ekonomi Islam dengan berbagai cabangnya, menyiapkan kader-kader
ekonomi muslim lewat pelatihan/pendidikan tinggi dan sejenisnya.
2. Melahirkan asosiasi atau ikatan ekonomi muslim maupun lembaga etika bisnis Islami sesuai
dengan kebutuhan yang ada.
3. Menerbitkan jurnal ilmiah ekonomi Islam secara berkala.
4. Memanfaatkan harian Republika dan media massa lainnya dalam mengembangkan dan
mensosialisasikan nilai-nilai dan paket-paket program ekonomi Islam. Halaman khusus
Republika yang berisi sajian tentang konsultasi zakat, BMT, Dompet dhu’afa, dan lain-lain
amat bermanfaat untuk ditindak lanjuti.
5. Mewujudkan Metodologi Penelitian Islam (MPEI) dua arah; pertama, MPE bersifat teoritik
berupa kajian-kajian akademis tentang teori-teori ekonomi Islam serta bandingannya dengan
sistem non-Islam. Kedua, MPEI yang bersifat kasuistik, berupa program riset lapangan
tentang perilaku ekomi umat maupun studi potensi sumber daya ekonomi kerakyatan yang
ada.
6. Melahirkan jurusan/fakultas ekonomi dengan dua arah: pertama, jurusan ekonomi Islam
(ulama teoretik/ dewan syariah ). Kedua, jurusan/fakultas ekonomi yang melahirkan para
praktisi ekonomi Islam.
7. Beberapa paket program yang bisa dilakukan lainnya adalah mengadakan pelatihan AMT
(Achievement Motivation Training), seminar keuangan Islami, pelatihan tata administrasi
keuangan ekonomi Islam, akuntansi syari’ah dan manajeman Islami, dan lain-lain.

Prospek Manajemen Masjid


Salah satu lembaga umat yang paling mudah ideal untuk dimanfaatkan sebagai forum magang
sekaligus forum pengembangan lembaga keuangan Islam tidak lain adalah masjid. Ada beberapa
argumentasi yang dapat dikemukakan di sini.
1. Sarana masjid semakin hari semakin tumbuh dan berkembang di tengah-tengah umat Islam.
Belum terdengar masjid yang gulung tikar karena kehabisan dana atau jama’ah, kecuali
pada daerah di mana ada penggusuran rumah penduduk. Ini pun sangat langka terjadi.
2. Masjid memiliki income jum’atan yang reltif kontinyu dan konsisten, tetapi penggunaan
masjid selama ini umumnya masih bersifat konsumtif, belum mengarah pada hal-hal yang
lebih produktif.
3. Isntitusi masjid lebih dipercaya oleh masyarakat ketimbang lembaga lain di luar masjid.
4. Di masa mendatang, berbagai produk ekonomi Islami: BMI, BPR, MBT, Asuransi Takaful,
pegadaian syari’ah, koperasi, (Syikah ta’awuniyah) dan lain-lain: semakin berkembang.
Masih bisa memanfaatkan fenomena yang ada secara lebih strategis dan antisipatif.
5. Masih bisa juga sebagai pusat bisnis umat, seperti pusat-pusat TPA, pengajian privat (Al-
Qur’an maupun ceramah keagamaan), pusat biro konsultasi kesehatan, atau psikologi atau
masalah rumah tangga. Pusat majelis ta’lim ibu-ibu dan anak-anak serta remaja. Pusat
lembaga pernikahan (misal: masjid Sunda Kelapa, Jakarta). Tempat bimbingan haji,
perpustakaan/penerbitan, koperasi masjid dan lain-lain. Masjid Salaman ITB Bandung. Al-
Azhar di Jakarta, maupun Syuhada di Yogyakarta, bisa dijadikan program riset lapangan
atau percontohan.
Mengakhiri tulisan ini, kita teringat mengapa Nabi Muhammad SAW sejak dini menyuruh umat
Islam belajar ke negeri Cina. Bukanlah beliau seorang businessman, di mana nabi bertindak sebagai
“salesman”-nya Siti Khadijah. Bukankah Al-Qur’an, diakhiri surat Jum’ah dengan tegas menyatakan
hubungan erat antar masjid dan pasar/bisnis….faiza qudhiyati sl-shalah fantasyhiru fi al-ardl wabtaghu
min fadhillah….

BAB V
PEMIKIRAN ISLAM
TENTANG
SAINS DAN
FUTUROLOGI

Wacana Agama dan Sains


dalam Epistemologi Islam Kontemporer

Historisitas Sains di Dunia Muslim

Berbicara tentang relasi antara agama dan sains khususnya dalam perspektif epistemologi
keilmuan Islam kontemporer, tampaknya merupakan sebuah kerumitan tersendiri. Agama Islam yang di
masa awalnya sangat concern dengan visi sains, belakangan justeru dikesankan menjadi sebuah agama
yang ‘menjauh’ dari hiruk-pikuk dunia sains.

Kalau kita perhatikan, berbagai prestasi temuan di bidang iptek tingkat dunia, khususnya sejak
abad renaissance, hampir semuanya didominasi oleh para ilmuwan Barat. Temuan sains di dunia
Muslim hampir-hampir dikatakan tidak ada. Penemu sains abad 20 ini yang muncul dari kalangan
dunia Muslim paling-paling baru Abdus Salam di bidang dunia fisika, atau Habibie yang menemukan
teori keretakan pesawat, sehingga Habibie digelar sebagai Mr. Crack. Adapun ribuan jenis temuan
lainnya masih didominasi oleh ilmuwan Barat. Menjadi sebuah pertanyaan besar di sini, mengapa
fenomena kemandekan temuan sains bisa terjadi di dunia Muslim. Tentunya beragam jawaban bisa
dikemukakan. Sekedar ilustrasi kecil, diantaranya akibat politik isolatif umat Islam terhadap dinamika
pengetahuan modern. Dalam kaitan ini menarik kita kutip pernyataan Nurcholish Madjid (1992: lvi)
Dalam lembaga-lembaga pendidikan itu terasa
sekali semangat pengucilan diri dari sistem kolonial pada umumnya. Secara simbolik semangat itu
dicerminkan dalam sikap para ulama yang mengharamkan apa saja yang datang dari Belanda, sejak
dari yang cukup prinsipil seperti ilmu pengetahuan modern (dan huruf Latin) sampai hal-hal sederhana
seperti celana dan dasi. Ajakan pemerintah kolonial kepada mereka untuk ikut serta dalam “peradaban
modern” disambut dengan sikap berdasarkan sebuah Hadits, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia
termasuk kaum itu” (Man tasyabbaha bi qawmin fa-huwa min-hum).
Disamping faktor politik isolatif di atas, faktor sosial, budaya, ekonomi dan lainnya juga
cukup berpengaruh. Namun dalam tulisan ini penulis hanya mengemukakan secara lebih spesifik dari
segi aspek mandeknya epistemologi keilmuan Islam yang secara implikatif berdampak pada
mandeknya temuan-temuan di bidang sains.
Sebelum kita temukan jawabannya, ada baiknya sekilas penulis kemukakan tentang prestasi
temuan sains yang pernah terjadi di dunia Muslim. Menurut Nurcholish Madjid (1992: xxxv-xxxvi)
bahwa peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600-800 tahun, dimana kaum
Muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu pengetahuan. Ini artinya bahwa prestasi
yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat
modern sekarang ini sejak masa renaissance. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam
tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi
sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal
dari para ilmuan Muslim. Secara historis, dunia Islamlah yang pertama kali melakukan
internationalization of knowledge. Sebelum munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini masih
bersifat lokalistik-nasionalistik. Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban Yunani,
ilmu yang terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lain-lain. Sebagai
tambahan, kita kutip pernyataan Hassan Hanafi (2001: 144-145) tentang fakta kemajuan sains dunia
Islam di masa lalu:
“Pada abad pertengahan Islam, penemuan perhitungan differensial dan integral, geometri analitik,
yaitu transformasi dari geometri menjadi aljabar di dalam matematika (Khauarasmi, Tusi), atau bahkan
arabesque di dalam seni, semua ini berhubungan dengan konsep ketakterbatasan yang berada pada
jantung kebudayaan, yang merupakan akibat dari Tauhid sebagai sistem keyakinan. Industri jam dan
astronomi disebabkan analisis waktu sebagai “tempat” untuk tindakan dan kejadian seperti yang
ditentukan dalam Al-Quran. Penemuan alat-alat optik berhubungan dengan konsep cahaya yang
disingkap oleh para mistik, yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sebagai pengalaman spiritual. Teori
atom merupakan perkembangan dari salah satu bukti keberadaan Tuhan, didasarkan atas pembagian
monad sampai monad yang tak terbagi. Contoh-contoh lain dapat diberikan oleh mekanik, dinamik atau
fisika.”
Namun sesuai dengan hukum rotasi sejarah, jatuh bangun sebuah peradaban menjadi sebuah
keniscayaan historis. Mengenai bangun dan jatuhnya peradaban ini menarik kita kutip pernyataan Prof.
Dr. Sutan Takdir Alisyahbana bahwa peradaban yang kecil selalu saja dapat mengalahkan peradaban
yang lebih besar. Ia ilustrasikan, dulu peradaban India Kuno itu besar, lalu dikalahkan oleh Mesir yang
kecil, Mesir pun menjadi besar. Demikian pula, Mesir yang besar akhirnya dikalahkan oleh peradaban
Yunani yang kecil, Yunani pun menjadi besar. Tapi kemudian Yunani dikalahkan oleh Arab (Islam),
Islam (Arab) menjadi besar. Kemudian Arab (Islam) dikalahkan oleh peradaban Eropa. Lalu muncul
Amerika, kini Amerika yang besar sudah dikalahkan oleh Jepang kecuali dalam bidang militer (ada
buku yang menarik berjudul Is the American Number One in the World?). Siapa tau kelak, lanjut STA,
Jepang akan dikalahkan oleh bangsa Indonesia yang peradabannya masih dianggap belum unggul
(harian Pelita, 4 Maret 1993: 4).

Berdasarkan fakta historis di atas, peradaban Islam pernah jaya, walaupun akhirnya mengalami
kemandekan ilmu secara meluas seperti yang juga dinyatakan Campbell – sebagaimana dikutip
Nurcholish Madjid (1992: xxxvi):
“….. Dan begitulah yang terjadi, justru pada saat ketika sinar ilmu pengetahuan Yunani mulai dibawa
dari Islam ke Eropa – dari sekitar tahun 1100 dan seterusnya – ilmu pengetahuan dan kedokteran Islam
mengalami kemandekan dan akhirnya mati; dan dengan begitu Islam sendiri pun mati. Tidak saja obor
ilmu pengetahuan, tetapi juga obor sejarah, sekarang pindah ke Barat Kristen.

Kemandekan Epistemologi Keilmuan di Dunia Islam


Seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa setelah dunia Islam menikmati kejayaan
peradaban sains, maka setelah itu muncul era kemandekan sains. Secara historis, sikap memusuhi sains
dari sementara umat Islam, seperti disebut Campbell, baru terjadi lima atau enam abad kemudian,
mengharuskan kita menilainya sebagai bukan “asli” Islam, dan tidak bersumber dari ilhamnya yang
murni, dan ini merupakan suatu anomali. Meminjam teori Thomas Kuhn, bahwa secara perlahan
dimensi keilmuan Islam menjadi normal science yang tentunya akan berujung pada situasi krisis
keilmuan itu sendiri. Apalagi dengan munculnya slogan “telah tertutupnya pintu ijtihad”, padahal Nabi
Muhammad Saw sendiri tidak pernah menutupnya. Bahkan Nabi sangat menghargai orang yang salah
dalam berijtihad dengan satu pahala, dan bila benar mendapatkan dua pahala. Fenomena kemandekan
berpikir ini membuat para ilmuan Muslim menjadi gamang untuk melakukan inovasi dan kreasi
keilmuan.

Menurut Dr. Muhammad Iqbal, kemandekan yang terjadi di dunia Muslim bahkan mencapai
sekitar 500-an tahun (1981: 148). Dunia keilmuan Muslim, pada akhirnya, lebih bersifat pengulangan
semata (the context of recovery) atau meminjam ungkapan Nasr Hamid Abu Zaid (1995: 123), umat
hanya mengulang warisan para ilmuan masa lalu (qira’ah al-mutakarrirah/reproduction of meaning),
belum mengarah pada pembacaan yang produktif (qira’ah muntijah/production of meaning). Padahal
dunia Islam pernah mempelopori wacana sains secara empiris, yakni melangkah maju ketimbang
warisan peradaban Yunani yang umumnya bersifat idealistik-rasionalistik semata. Sebagaimana yang
pernah diungkapkan oleh Sir Mohammad Iqbal bahwa Al-Quran lebih mengutamakan dimensi tindakan
– secara empiris – ketimbang semata-mata gagasan; “The Quran is a book which emphasizes ‘deed’
rather than ‘idea” (Iqbal, 1981: v).
Sesuai dengan fokus kajian di sini, secara epistemologis, wacana epistemologi keilmuan Islam
klasik yang berpola Ghazalian (mazhab Al-Ghazali) belakangan lebih dominan. Sementara pola
Rusydian (mazhab Ibnu Rusyd) yang pernah berjaya di dunia Muslim justru semakin bermetamorfosa
di dunia Barat. Epistemologi keilmuan model Ghazalian berpandangan bahwa segala sebab sesuatu di
alam ini tergantung dalam kehendak-Nya.

Melalui perspektif ini pandangan Al-Ghazali lebih bercorak teologis, bukan antropologis
maupun kosmologis. Akibat dari pandangan ini menyebabkan pandangan dunia umat menjadi lebih
pasif bila dibenturkan dengan wacana pengembangan sains yang lebih antroposentrik-kosmologik.
Inovasi dan kreativitas keilmuan menjadi macet. Pandangan epistemologi keilmuan model Ghazalian
ini cenderung menjadi anti “keteraturan” (sunnatullah), dimana hukum-hukum alam yang melahirkan
sains menjadi terabaikan. Pengembangan potensi rasio manusia menjadi sangat tereduksi, atau dengan
kata lain potensi akal manusia menjadi kurang fungsional. Model weltanschauung Ghazalian ini lebih
bersifat dialektis-hipotetis. Segala fenomena alam, moral dan sosial semuanya “terserah” pada Tuhan
(jabariyyah-determinism). Pandangan ini menjadi sangat teologik-atomistik bahkan cenderung
mengarah pada mysticism, yang sudah barang tentu berimplikasi pada pengabaian wilayah temuan
social sciences maupun natural-sciences.
Berbeda dengan Ghazalian, maka epistemologi keilmuan seperti yang digagas oleh Ibnu
Rusyd (Rusydian) cenderung menyatakan bahwa sebab segala sesuatu bukan di dalam kehendaknya,
tetapi berada di luar. Pandangan Rusydian ini mengandaikan adanya sistem ‘keteraturan alam’
(sunnatulllah) yang sudah didelegasikan oleh Tuhan kepada alam yang sering disebut sebagai hukum
alam. Berbeda dengan model Ghazalian, maka pola Rusydian mengindikasikan adanya pola
rasionalitas yang gradual, sistemik di alam ini yang secara teratur bisa dipelajari oleh manusia, karena
Allah sudah menciptakan “kepastian-kepastian” di dalamnya. Atau dengan kata lain, ada konsep taqdir
(keharusan universal), yang di dalam bingkai taqdir itu manusia didorong untuk melakukan ikhtiar
(mengoptimalkan segala potensi manusia) dalam memahami hukum-hukum alam. Maka pola Rusydian
ini cenderung mengaktifkan upaya manusia dalam melakukan eksplorasi hukum-hukum alam yang
berujung pada munculnya berbagai produk sains itu sendiri. Bila Ghazalian bertumpu pada logika yang
hipotetis, maka Rusydian bertumpu pada metode analisis-demonstratif yang mengakui adanya
regularitas dan kausalitas di balik setiap fenomena sosial dan alam (Bandingkan, Amin Abdullah, 2002:
209-220).
Jadi, fenomena kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya bukan orisinal
ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari ajaran Islam itu sendiri. Karena secara
esensial dan substansial, potensi ajaran Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan –
khususnya – di bidang sains, sebagaimana sudah terbukti lama dalam sejarah renaisans Islam. Hanya
karena model interpretasi epistemologi keilmuan ala Ghazalianlah yang menjadi salah satu penyebab
kemunduran dunia Muslim di bidang temuan sains.
Pola-pola Ghazalian ini pula yang belakangan menjadi dominan dan mengilhami berbagai
silabi, penulisan buku-buku teks keagamaan dan menghegemoni wawasan keagamaan atau keilmuan
para pendidik Muslim; sebagaimana yang umumnya terdapat di dunia pendidikan pesantren, madrasah
bahkan perguruan tinggi Muslim, yang sampai hari ini dampak historisnya masih dapat kita saksikan
dan rasakan.
Perlu dicatat bahwa upaya umat dalam mengelaborasi wawasan keilmuan di bidang sains,
pada hakikatnya juga sangat terkait dengan perspektif teologi yang dianutnya, apakah model Ghazalian
atau Rusydian. Dalam kaitan ini menarik pula kita kutip pernyataan Prof. Dr. Fazlur Rahman (1984:
390) tentang fenomena kemandekan kreativitas keilmuan di dunia Muslim, sebagai berikut:
”Sekarang ini, intelektualisme Islam praktis mati, dan dunia Islam menyuguhkan suatu pemandangan
gurun intelektualisme luas yang gersang dan sepi tanpa hembusan angin pemikiran sedikit pun, tapi
yang kesenyapannya kadang-kadang memberikan kesan adanya getaran. Inilah sosok umat yang
kepada generasi mudanya Iqbal menujukkan doanya yang penuh harap kira-kira empat puluh tahun
yang lalu: “Semoga Tuhan menyentuhkan ruhmu pada badai (yang baru), karena hampir tak ada riak
sedikit pun pada air lautanmu!”.

Perspektif Epistemologi Keilmuan Islam Kontemporer

Setelah dikemukakan sekilas mengenai fenomena kemandekan epistemologi keilmuan di dunia


Muslim, maka berikut ini dikemukakan pula beberapa model tawaran epistemologi keilmuan Muslim
kontemporer, yang saat ini cukup berpengaruh di kalangan dunia Islam. Sekedar untuk dimaklumi
bahwa wacana tokoh Muslim kontemporer berikut ini umumnya secara spesifik dikaji dalam perspektif
keilmuan agama Islam an-sich, namun dalam beberapa hal bisa juga dikaitkan ke dalam wilayah sains.

Wacana epistemologi keilmuan kontemporer ini kita mulai dari konsep Fazlur Rahman (asal
Pakistan) tentang sains. Rahman (1983: 19-20) mengemukakan bahwa di alam ini berlaku konsep
qadar/taqdir. Konsep taqdir di sini bukan bermakna “sebuah keyakinan yang persimis” – seperti yang
umum dipahami umat Islam, umumnya keyakinan ini akibat pengaruh logika Ghazalian – tapi lebih
bermakna bahwa Tuhan yang maha kuasa, melalui kreativitas-Nya yang penuh kasih, memberikan
“ukuran” (taqdir) kepada setiap sesuatu. Memberikan kepada setiap sesuatu itu potensi-potensi tertentu
beserta hukum-hukum tingkah-lakunya. Singkatnya, Tuhan memberikan sifat-sifat tertentu kepada
setiap sesuatu. Allah sajalah yang telah menciptakan hukum-hukum alam. Hal ini tidak berarti bahwa
manusia tidak dapat menemukan dan memanfaatkan hukum-hukum alam tersebut. Sesungguhnya para
petani dan ilmuwan telah berbuat demikian. Al-Quran menyerukan kepada kita untuk menemukan
hukum-hukum alam dan memanfaatkan penemuan tersebut untuk kesejahteraan umat manusia. Allah
telah menciptakan hukum-hukum tertentu sehingga sebuah sperma dapat menyuburkan telur dan yang
setelah beberapa lamanya berubah menjadi bayi dalam kandungan. Selanjutnya Rahman
mengungkapkan pula bahwa hukum-hukum alam mengekspresikan perintah Allah. Seperti yang juga
dikatakan oleh Prof. Dr. Teuku Jacob “Evolusi adalah cara Tuhan bekerja” (Jurnal Relief, vol.1 No.1
Januari 2003: 118). Bagi Rahman, alam tidak akan dan tidak dapat mengingkari perintah Allah.
Selanjutnya alam pun tidak dapat melanggar hukum-hukum alam. Itulah sebabnya, kata Rahman,
mengapa di dalam Al-Quran, keseluruhan alam dikatakan muslim atau menyerah dan mematuhi
perintah Allah (Q.S. Ali Imran: 83).

Dalam konteks ini, Fazlur Rahman lebih terbuka, bahwa semua hasil temuan (sains) yang
diproduksi manusia, halal untuk dipelajari, termasuk berbagai temuan sains di dunia Barat. Di sini
Rahman berbeda pandangan dengan Ismail Raji al-Faruqi (Faruqian) atau Naquib Al-Attas (Naquibian)
yang secara eksklusif lebih berorientasi pada Islamization of knowledge. Bahkan dengan keras Rahman
menolak ide Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut dengan menyatakan bahwa ide tersebut sangat
menyesatkan, karena akan membuat prinsip-prinsip Islam tetap sebagai subordinat dari ilmu-ilmu
modern. Sebaliknya kita harus melahirkan ilmu-ilmu dari kandungan Al-Quran (scientification of
Islam). Ilmu harus dimulai dari Al-Quran, bukan berakhir dengan al-Quran (Muhammad Azhar, 1996:
47).
Sedangkan Mohammed Arkoun (Aljazair), melalui teori Islamologi Terapan-nya ingin
mendorong umat Islam agar meninggalkan – meminjam teori Foucoult – episteme abad pertengahan
yang menurut Arkoun cenderung melupakan dimensi historisitas (taarikhiyyah). Bagi Arkoun,
epistemologi pemikiran Islam klasik cenderung bersifat tekstual-normatif yang sudah barang tentu
sangat sulit mengadopsi pelbagai perubahan sosial termasuk di dalamnya masalah perkembangan sains.
Menurut Arkoun, untuk memajukan wacana sains di dunia Muslim, kita harus memulai mengkaji nasib
filsafat di dunia Islam pasca Ibnu Rusyd. Kita harus melakukan penelitian historis ganda yang
membandingkan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan di pihak Muslim dengan orang-orang
yang mempromosikan keberhasilan di pihak Kristen Barat tentang apa yang disebut Averroisme Latin
(Arkoun, 1996: 128). Arkoun mendorong para peneliti untuk mempelajari faktor sosiologis, ideologis
dan faktor budaya yang sangat cepat menyebabkan kemenangan reproduksi ajaran-ajaran “ortodoks”
yang diwariskan oleh mazhab-mazhab yang bersaing. Sejarah pemikiran, kata Arkoun, tidak dapat
dipisahkan dari sejarah sosial. Sudut pandang filosofis sangat penting untuk menjangkau ideologi-
ideologi yang merusak yang sangat menghalangi semua usaha pembaharuan dan kreativitas keilmuan
(Arkoun, 1996: 128-129).
Tentang wacana sains, Arkoun mengungkapkan bahwa tradisi Islam klasik telah
memperlihatkan adanya hubungan yang harmonis antara agama, filsafat dan sains, sebagaimana yang
terlihat dalam karya-karya Ibnu Sina (Arkoun, 1996: 133). Penelitian ilmiah, lanjut Arkoun, tampaknya
tidak menghadapi halangan-halangan religius dalam ranah Islam. Al-Quran selalu mengundang orang
yang beriman untuk “melihat” dunia ciptaan agar dapat menghargai keagungan dan kekuasaan Tuhan.
Pengetahuan ilmiah tentang alam, bintang-gemintang, langit, bumi, flora dan fauna hanya akan
memperkuat iman dan memancarkan hidayah-hidayah simbolik Al-Quran.
Lebih lanjut Arkoun menyatakan (1996: 134-135):
Orang-orang Arab mengembangkan matematika (yang juga mencakup aljabar, geometri, trigonometri
dan aritmatika), astronomi, botani, farmakologi, zoology, geografi, psiognomi dan psikomatika, yang
dimanfaatkan oleh Barat sejak abad ke-12. Sebagaimana dalam kasus filsafat, gerakan ilmiah raksasa
ini berhenti sebagai akibat supervisi teologis yang dapat dibandingkan dengan yang dilakukan oleh
kemapanan Barat tetapi lebih dikarenakan oleh lingkungan sosial dan politik baru bagi pengetahuan
yang berkembang di keseluruhan dunia Muslim dimulai dari abad ke-11 dan abad ke-12……. Tetapi
kemudian, kira-kira pada tahun 1830, keterputusan sejarah dengan warisan saintifik dan kultural
periode produktif benar-benar memuncak. Itulah sebabnya mengapa pembaharu-pembaharu salaf akhir
abad-19 mengembangkan mitologi, romantisisme dan nostalgia bagi kejayaan yang sudah lama hilang
hanya memberikan ruang kecil bagi pendekatan saintifik, kritis dan konstruktif.

Adapun Hassan Hanafi (asal Mesir), melihat wacana sains didasari pada perspektif filosofis
yang berpandangan bahwa alam adalah bukan sebuah benda, tetapi merupakan sebuah persepsi
kebudayaan yang menentukan sikap manusia terhadap alam. Alam adalah ciptaan Tuhan dan
manifestasi dari sifat-sifat-Nya. Alam bersifat sementara dan merupakan lapangan tempat manusia
bertindak, sebuah ujian untuk kehidupannya. Kegembiraan, kesenangan dan keabadiannya
dikondisikan oleh keberhasilannya di dalam ujian ini. Kehancuran alam akan terhindarkan bila manusia
bertanggungjawab dan accountable dalam mengelola alam. Tanggungjawab terhadap alam ini
membentang ke seluruh dunia. Sayangnya dunia Muslim sekarang telah kehilangan perspektif
kebudayaan ini semenjak tujuh ratus tahun yang lalu (Hassan Hanafi, 2001: 97-98). Lebih lanjut
Hassan Hanafi menyatakan bahwa Tuhan, di dalam kesadaran Muslim sekarang ini, lebih menyerap
alam dengan sebuah visi teosentrik yang diwarisi dari ortodoksi tradisional.
Tokoh pemikir Muslim kontemporer lainnya, Mohammed Abed Al-Jabiri (asal Maroko),
mencoba mengemukakan tiga konsep pemikiran. Pertama, yang bercorak bayani (pemahaman secara
tekstual-normatif). Menurut Al-Jabiri (2000: xlv-xlvii), nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau
pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas) yang
dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah. Meski pada awalnya pandangan dunianya adalah
pandangan dunia rasional Al-Quran, tetapi bentuk bernalar semacam ini secara gradual beralih menjadi
pandangan dunia tersendiri yang khas bayani karena banyak didasarkan pada alam pikiran bahasa Arab,
dan bukan pada Al-Quran itu sendiri. Seperti ajaran tentang al-jauhar al-fard (atomisme), pengingkaran
hukum kausalitas (as-sababiyyah), dan juga prinsip al-tajwiz (keserbabolehan dalam hubungan antara
sebab dan akibat). Kedua, nalar irfani (spiritual-intuitif), secara epistemologis cenderung tidak rasional
dan menganggap kandungan lahiriah Al-Quran sebagai kebenaran yang dikandung tradisi
Hermetisisme.

Bagi Al-Jabiri, model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani sangat sulit untuk dijadikan
landasan pengembangan sains. Maka untuk upaya pengembangan wacana sains ke depan, umat Islam
perlu mengembangkan epistemologi keilmuan yang ketiga, bercorak burhani (rasional-demontsratif).
Al-Jabiri menuangkan perhatiannya pada tradisi pemikiran Islam di belahan barat dunia Islam
(Maghribi dan Andalusia), dimana lahir para tokoh burhani semacam Ibnu Hazm, Ibnu Bajjah, Ibnu
Thufail, Ibnu Rusyd, al-Syathibi, dan Ibnu Khaldun. Berdasarkan rujukan para pemikir di atas, Al-
Jabiri menyatakan:
“Yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi metode qiyas yang menjadikan
teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas, bukan lagi atomisme atau prinsip “keserba-bolehan” yang
mengingkari hukum kausalitas yang dinyatakan bertentangan dengan semangat rasionalisme dan
kepastian ilmiah. Di atas landasan epistemologi burhani yang menggunakan logika Aristoteles ini, yang
dimunculkan kemudian adalah metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep
universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historisitas, dan juga
al-maqashid (tujuan syariah).”
Sedangkan bagi pemikir Muslim asal Iran, Abdul Karim Soroush (2002: 18-19)
mengemukakan pula tentang teori “penyusutan dan pengembangan”. Bagi Soroush, religiusitas adalah
pemahaman manusia tentang agama, sebagaimana sains adalah pemahaman mereka tentang alam.
Soroush cenderung membedakan antara agama dan pengetahuan agama. Agama sebagai bentuk
pengetahuan manusia sangat bergantung pada kondisi kolektif dan kompetitif jiwa umat manusia.
Interpretasi keagamaan bisa saling berbeda antara para filosof, juru dakwah, sufi dan politisi. Dengan
mengutip pengetahuan dari filsafat agama, Soroush menyatakan bahwa seluruh fenomena, pada
hakikatnya, bermuatan teori, sehingga kita melihat dunia melalui lensa-lensa teori. Oleh karena itu,
lanjut Soroush, tidak ada hal yang tampil sebagai suatu kejadian yang polos atau suatu fakta yang
keras. Jika kita tidak menyukai suatu interpretasi atas kejadian tertentu, kita tentu menggantikannya
dengan interpretasi yang lain. Dengan demikian, ilmu agama adalah salah satu jenis ilmu manusia,
yang dapat berubah, berinteraksi, menyusut, dan mengembang. Itulah sebabnya, orang beriman
mempunyai beraneka ide. Lebih lanjut Soroush (2002: 28, 43-44) menjelaskan tentang teorinya:

“Tesis saya tentang penyusutan dan pengembangan ilmu agama memperlihatkan bahwa untuk
menafsirkan teks-teks agama, kita membutuhkan beragam jenis ilmu yang lain, jika kita tidak mau
pemahaman kita stagnan. … Syariat agama tidak pernah setara dengan opini manusia, sehingga
mustahil ada kesesuaian atau ketidaksesuaian antara keduanya; pemahaman seorang manusialah
yang bisa jadi sama atau tidak sama dengan pemahaman manusia yang lain…… Jadi, di mana pun
yang kita hadapi adalah ilmu agama yang mengamati dan memahami agama, tetapi itu bukan agama.
Ketentuan semacam ini mencakup semua cabang ilmu pengetahuan manusia ….Bagian yang tetap
adalah agama; bagian yang berubah adalah pemahaman agama.”

Demikianlah beberapa pandangan kritis-epistemologis dari beberapa pemikir Muslim


kontemporer di atas, yang ada korelasinya bagi upaya pengembangan pemikiran keagamaan serta
implikasinya bagi upaya pengembagan wilayah sains di dunia Muslim, pada masa-masa yang akan
datang.

Beberapa Gagasan bagi Pengembangan Wacana Agama dan Sains ke Depan

Berdasarkan analisis di atas, upaya pengembangan wacana agama dan sains ke depan, beberapa
langkah berikut ini layak dipertimbangkan, baik oleh ilmuwan agama maupun sains, antara lain:
1. Perlu adanya shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam yakni dari epistemologi
keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi
wawasan dan temuan baru di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang bercorak
intuitif-spiritual-irfani (secara aksiologis) yang banyak berkaitan dimensi etika bagi pengembangan
sains; maupun yang bercorak empiris-historis-burhani (secara epistemologis) yang berdampak pada
adanya temuan baru (the context of discovery/qira’ah muntijah/production of meaning) di bidang sains.
Pergeseran paradigma ini merupakan sintesa baru antara corak Ghazalian (mazhab keilmuan Al-
Ghazali/di Barat: al-Ghazl) dengan Rusydian (mazhab Ibnu Rusyd/di Barat: Averroes). Epistemologi
keilmuan Islam klasik yang menghambat kemajuan temuan dunia sains perlu segera direview ulang
sebagaimana yang telah penulis kemukakan secara umum di atas. Pemahaman tentang ijtihad
sebagaimana yang dikemukakan Dr. Sir Mohammad Iqbal (1981: 148) sebagai the principle of
movement dapat dijadikan acuan filosofis bagi upaya pergeseran paradigmatic ini. Karena pada
hakikatnya setiap hasil ijtihad telah terpenjara oleh historisitas yang mengitarinya yakni dimensi
palace, space and time, dan oleh karenanya setiap pemahaman keilmuan agama (termasuk Islam)
maupun wacana sains akan mengalami kemapanan, yang oleh Thomas Kuhn disebut normal science,
dan lambat laun mengalami krisis dan mendorong untuk lahirnya perspektif keilmuan yang baru
(revolutionary science).

2. Pergeseran paradigmatik di atas tentu berimplikasi pula pada adanya suatu keharusan redefenisi
konsep-konsep keilmuan Islam yang terkait dengan wacana sains. Sekedar ilustrasi, konsep sha’idan
thayyiban (Q.S. An-Nisa’: 42) yang dalam epistemologi Islam klasik bermakna debu yang bersih, maka
dengan perkembangan dunia sains kata-kata sha’idan thayyiban diredefenisi menjadi segala sesuatu
yang tumbuh dari bumi. Bila tidak ada air, orang bisa bertayamum di kursi atau dinding pesawat
sepanjang bersih dari najis, karena kedua benda – temuan sains – ini termasuk pada kategori segala
sesuatu yang tumbuh dari bumi. Di pesawat, dalam perjalanan yang jauh, orang tidak perlu lagi
menyediakan atau membawa debu untuk persiapan tayamum sebagai pengganti air wudlu’ karena
keterbatasan air di pesawat. Demikian pula pengertian sab’a samawaat (Q.S. Nuh: 15) yang secara
klasik diartikan dengan tujuh lapis langit. Namun karena perkembangan sains berubah maknanya
menjadi tujuh planet. Bahkan era berikutnya menjadi banyak planet (karena belakangan – hasil temuan
sains – jumlah planet sudah lebih dari tujuh). Dalam bahasa Arab, kata-kata sab’a tidak hanya berarti
berjumlah tujuh, tetapi juga bisa diartikan berjumlah banyak. Masih banyak ilustrasi yang bisa
dikemukakan, namun karena keterbatasan halaman, cukup dikemukakan di sini dua contoh saja. Dalam
kaitan ini, apa yang dikemukakan Abdul Karim Soroush (2002: 45) cukup tepat ketika ia mengatakan
bahwa “penafsiran agama bisa berubah dengan adanya perubahan konsep sains”. Penulis di sini ingin
juga mengemukakan bahwa di masa mendatang perlu pula diupayakan adanya redefenisi konsep Islam
mendahului perubahan wacana sains. Ini yang dimaksud dengan teori scientification of Islam (tawaran
konseptual dari Fazlur Rahman). Bila islamization of knowledge (tawaran konseptual model Ismail Raji
Al-Faruqi (1981) dan Naquib Al-Attas (1989) cenderung bersifat reaktif, maka scientification of Islam
lebih bersifat proaktif. Andaikata mau diintegrasikan, kedua isu tersebut dapat dikompromikan sebagai
berikut; bahwa teori islamization of knowledge lebih ditekankan pada dataran aksiologis atau etika
keilmuan, sedangkan scientification of Islam lebih pada dataran metodologis/epistemologisnya.
Sehingga dua pendekatan (Rahmanian/Fazlur Rahman dan Naquibian/Faruqian) bisa dikompromikan
bagi upaya pengembangan wacana keislaman dan sains di dunia Muslim, di masa mendatang.

3. Redefenisi atau rekonseptualisasi ini tidak hanya ditujukan pada wacana sains pada dataran global,
tetapi juga dapat ditujukan kepada wacana sains yang bercorak lokal (local genius atau local wisdom).
Globalisasi sebenarnya tidak semata-mata berorientasi pada satu pihak – katakanlah sains Barat –
namun lebih ideal bersifat dua belah pihak yakni disamping ada upaya untuk mengadopsi sains Barat
yang memang banyak hal positif buat kemajuan peradaban, namun juga di sisi lain harus diimbangi
dengan adanya upaya untuk memunculkan kreativitas lokal, terutama dunia Muslim – yang umumnya
masih sangat ketinggalan di bidang sains – untuk memperkaya wacana di bidang sains. Bukankah sains
global di Barat juga pada mulanya muncul dari produk lokal namun lama kelamaan mendapat
legitimasi di kalangan dunia akademis dan akhirnya berkembang menjadi produk sains global. Sebagai
contoh potensi kearifan lokal, apa yang berkembang saat ini yang umumnya masih dikenal dengan
konsep pengobatan alternatif (sebagai salah satu contoh saja), bila dikaji dan dikembangkan secara
lebih aposteriori serta memenuhi standar akademis, kelak bisa menjadi produk lokal di bidang medis
yang suatu saat akan menjadi produk global juga. Terkait dengan ini menarik apa yang diungkapkan
Hassan Hanafi (2001: 200-201):
“Jika kedokteran profetik atau skriptural tidak lagi dapat dipertahankan, kedokteran eksperimental
berhenti, kedokteran spiritual lebih mendekat ke magis atau takhayul, kedokteran fenomenologis
mungkin nampak simplistik dan religius. Dikatakan simplistik karena kedokteran ini tidak bergantung
pada kedokteran ilmiah modern eksperimental bahkan menolaknya mentah-mentah. Namun demikian,
di dalam masyarakat yang kedokteran ilmiahnya mencapai puncak penyakit abad, kedokteran
fenomenologis tidak pernah berhenti.”
Di sisi lain teori Ibnu Taimiyah (1949: 9-10) tentang al-haqiqatu fil a’yan laa fil adzhan (kebenaran
autentik itu pada hakikatnya lebih bersifat empiris atau bercorak Aristotelian-Humian, bukan normatif-
rasionalistik atau yang bercorak Platonik-Cartesian); bisa pula dijadikan filosofi pengembangan sains
lokal ini.
4. Untuk mendukung adanya upaya rekonstruksi keilmuan agama dan wacana sains di atas, maka aspek
eksperimentasi (yang di dalamnya pasti ada dimensi trial and error) – terkait dengan aspek tools dunia
sains – menjadi mutlak diperlukan seperti adanya proyek riset secara periodik, pengadaan perpustakaan
yang lengkap, laboratorium, dimana sangat membutuhkan budget yang tidak sedikit, disamping juga
penyiapan SDM umat dan bangsa secara sistematis dan profesional. Tradisi riset dan perlengkapannya
– termasuk SDM – di dunia Muslim masih jauh dari harapan. Bila hal ini dikelola secara gradual,
sistematis dan profesional, kelak dapat menelorkan produk-produk sains lokal yang secara potensial
cukup kaya di dunia Muslim, terutama Indonesia. Upaya produksi sains lokal ini juga harus disertai
dengan legitimasi yuridis hak paten dari setiap temuan yang ada.

5. Untuk pengembangan potensi local genius di atas, maka perlu adanya networking antar berbagai
lembaga ilmiah atau riset semacam IIFTIHAR (The International of Islamic Forum for Science,
Technology and Human Resources Development) yang berada di Jakarta; MIFTA (Muslim Information
and Technology Association) bermarkas di Bogor; CRCS di UGM Yogyakarta dan lembaga ormas
lainnya. Berbagai lembaga di atas bisa lebih diberdayakan dan disinergikan dengan LIPI, Menristek
dan perguruan tinggi. Madrasah, pesantren dan IAIN/UIN (Universitas Islam Negeri) bisa lebih
didorong untuk tidak hanya melahirkan ulama literal-skriptural, tapi juga ulama empiris/saintis
(sebagaimana telah terbukti secara historis di masa awal kejayaan Islam). Ibnu Sina di era Islam klasik
– dan semisalnya – disamping sebagai ulama literal-skriptural juga dikenal sebagai ahli filsafat dan
medical science.

6. Teori spider web-nya Amin Abdullah (lihat jurnal Tarjih edisi ke-6, Juli 2003: 12-18) dapat pula
dijadikan rujukan akademis bagi upaya pengembangan sains di masa depan yang juga mendapatkan
dukungan teologis dari agama (baca: Islam). Dalam teori ini digambarkan bahwa horizon jaring laba-
laba keilmuan agama Islam dalam era masyarakat berubah, mengandaikan bahwa pada periode pertama
(pra 1950) Islamic studies masih bersifat eksklusif (hanya mengedepankan pengajaran ulumuddin, fiqh,
kalam (teologi), tafsir dan hadits (lima bidang kajian). Maka periode kedua (1951-1975) disamping
Islamic studies sebagai core, namun sudah mulai berkenalan – walau masih jalan sendiri-sendiri atau
belum ada dialektika antar wilayah ilmu – dengan wilayah kajian humaniora, social sciences dan
natural sciences. Sedangkan periode ketiga (1976-1995) wilayah Islamic studies berkembang menjadi
delapan bidang – ulumuddin, fiqh, dan lain-lain – dimana periode ketiga ini juga disebut sebagai era
auxiliary sciences. Maka pada periode keempat (1996-sekarang) Inti dari Islamic studies yang delapan
bidang tersebut sudah mulai berdialektika dengan wilayah sains dan teknologi (al-‘ulum al-
kauniyyah/natural sciences) maupun wilayah kajian lainnya (humaniora dan social sciences).

7. Penambahan mata kuliah Agama dan Sains serta Futurologi di pelbagai perguruan tinggi – terutama
PT agama – menjadi mendesak untuk diprogramkan. Khusus tentang Futurologi, perlu disosialisasikan
kepada mahasiswa tentang tujuan jangka panjang dari pengajaran mata kuliah ini. Sekedar dimaklumi
bahwa Futurologi yang dimaksud di sini adalah tentang semua bentuk cara pandang terhadap masa
depan. Atau bisa juga dimaksudkan tentang suatu ramalan (forecast) yakni kemungkinan dan afirmasi
ilmiah yang relatif terhadap pilihan-pilihan terhadap problematika yang berkaitan dengan masa depan.
Ramalan yang berhubungan dengan prinsip ‘apakah’, ‘bila’ atau ‘apakah yang akan terjadi’. Terkait
dengan studi futuristik/futurologi ini seorang sosiolog dan futurolog asal India, Rajni Kothari
mengatakan:
“Terdapat suatu dilema yang dihadapi seorang futurolog. Sebagai seorang reformer dan sekaligus
seorang romantis, setiap futurolog pasti dipandu oleh sebuah visi yang mendasar tentang bagaimana
meninggalkan masa lalu dan membangun kembali masa sekarng menuju dunia baru. Serta sebagai
seorang skeptis dan sekaligus ilmuwan, ia memahami bahwa suatu pemutusan total dengan masa
lampau adalah hal yang mustahil dan suatu usulan yang berbahaya, sementara ia berharap mampu
menjadikan dunia lebih baik” (Eleonora B. Masini, 2004: 4).
Studi Futuristik ini memperkenalkan kepada para mahasiswa tentang karakteristik dari studi ini yakni:
pertama, aspek transdisipliner, yakni semua problematika yang muncul tidak lagi dapat dianalisis oleh
satu jenis disiplin ilmu, mengingat banyaknya aspek yang melingkupi tiap-tiap permasalahan dengan
segala kompleksitas yang ada. Kedua, aspek kompleksitas, yakni bila transdisipliner menyangkut soal
pendekatan, maka kompleksitas lebih pada persoalan muatan yang sangat kompleks. Ketiga, aspek
globalitas yang dalam hal ini meliputi seluruh permukaan bumi dimana dunia semakin menyempit
akibat perubahan-perubahan besar dan menakjubkan yang terjadi di bidang transportasi dan
komunikasi. Keempat, aspek normatif yakni tentang hubungan-hubungan dari studi futuristik dengan
nilai-nilai yang spesifik, hasrat, harapan dan kebutuhan di masa depan. Tentang aspek normatif di sini
dibedakan dengan norma-norma sebagai kode-kode perilaku yang terkait dengan nilai-nilai,
sebagaimana yang dikaji secara khusus dalam ilmu sosial. Kelima, aspek sains dimana studi futuristik
ini juga tidak terlepas dari adanya eksperimentasi, sesuatu yang diulang berkali-kali, dan kemudian
dapat diprediksi, maka studi ini termasuk wilayah sains. Untuk mengacu atau menguji masa depan, kita
harus melakukan tindakan tersebut terhadap sesuatu yang akan segera terjadi, dan oleh karenanya,
belum pernah diujicobakan, diverifikasi atau diulang. Keenam, aspek kedinamisan dimana studi ini
karena menyangkut konsep hidup dalam ketidakpastian bisa menggunakan berbagai macam metode,
karena terkait erat dengan pelbagai bentuk perubahan yang sangat dinamis. Ketujuh, aspek partisipasi
yakni tentang kebutuhan bagi setiap orang yang ingin berpartisipasi di masa depan untuk menjadi
bagian atau bahkan sebagai aktor dalam studi ini. Kaum muda khususnya sebagai aktor-aktor di masa-
masa mendatang harus berperan aktif dalam pilihan dan pembangunan masa depan mereka sendiri
(Eleonora B. Masini, 2004: 25-37). Demikianlah beberapa karakteristik dari studi futuristik ini yang
cukup penting untuk disoailissikan serta mendesak dan sangat relevan untuk diajarkan di perguruan
tinggi, yang sudah barang tentu akan sangat membantu bagi pengembangan wacana agama dan sains di
kemudian hari.
Adapun beberapa beberapa sub-tema penting dalam studi Futurologi antara lain tentang isu:
posmodernisme dimana aspek deconstruction terhadap paham modernisme, plurality dan spirituality
menjadi bahasan yang esensial di dalam tema ini. Kajian posmodernisme tergolong pada wilayah the
third way dari pola kebudayaan masyarakat dunia yang dominan saat ini. Sub-tema lainnya adalah
tentang masalah globalisasi yang ada hubungannya dengan fenomena menarik dari kecenderungan
masyarakat dunia untuk kembali melirik alam (back to nature). Dalam wilayah social sciences aspek
critical social theory juga layak diperkenalkan pada peserta didik, demikian pula tentang social
philosophy (etika sosial, teologi sosial, problema lingkungan hidup, human rights, studi hukum kritis).
Selain itu tema fisika quantum yang di dalamnya terkait dengan temuan baru di bidang sains semacam
cyberspace internet/sains virtual, black hole, teleportasi, teleconference, microchip. Science-fiction
semacam time tunnel, the X-file, robocop dan sejenisnya menarik untuk didiskusikan di kalangan
peserta didik. Temuan di bidang biologi-bioteknologi (seperti God spot, masalah aura tubuh,
biomagnetics, cloning) juga baik untuk diperkenalkan. Dimensi lainnya adalah yang termasuk dalam
wilayah hyper-reality (parapsikologi, Spiritual Quotion/MQ, cenayang, telestisic, hubungan antara
mistisisme dan fisika, spiritual finance, dan sejenisnya, dapat memperkaya studi agama dan sains
maupun futuristik/futurologi ini.

8. Kritik Posmodernisme terhadap Modernisme (yang sangat positivistik-rasionalistik serta berdampak


pada lahirnya etika sosial yang bercirikan hedonisme, konsumerisme dan materialisme) layak pula
diperhatikan oleh para ilmuwan agama maupun sains. Berbeda dengan watak modernisme yang
monolitik, unhuman dan kapitalistik; maka watak dasar posmodernisme mengandaikan adanya
pengakuan filosofis maupun sosiologis terhadap wacana pluralism, spiritualism dan deconstruction.
Upaya pengembangan epistemologi keagamaan maupun wacana sains tidak boleh tidak mestilah
mengakui adanya ketiga karakter tersebut. Bila ingin diterjemahkan, maka konsep pluralisme di bidang
pengembangan sains mengandaikan adanya produktivitas lokal yang beragam. Di Indonesia, konsep
otonomi daerah dapat dimanfaatkan bagi segenap warga masyarakat untuk menggali potensi sains di
masing-masing wilayah yang bisa diriset dan dikembangkan di kemudian hari. Jadi tidak semata-mata
mengimpor produk sains dari luar negeri atau sekedar memberi label nasional bagi produk luar negeri
seperti kasus mobil Timor yang disebut mobil nasional, padahal sejatinya adalah produk Korea Selatan.

9. Analisis Ian G. Barbour (2002) tentang upaya pengembangan dialog maupun integrasi antara agama
dan sains, dapat memperkaya dan menjadi bahan studi perbandingan terhadap teori Islamization of
knowledge ala Faruqian dan Naquibian, maupun teori scientification of Islam model Fazlur Rahman
(Rahmanian). Demikian pula dimensi spirituality of science sebagaimana yang ditawarkan Seyyed
Hossein Nasr (1988).

10. Review ulang epistemologi sains di Barat juga penting untuk terus dicermati sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Thomas Kuhn (teori normal science dan revolutionary science) yang
mengkritisi logical positivism (1980: 223-245). Demikian pula telaah sintesis terhadap rasionalisme
dan empirisisme dari mazhab Kantian; model deconstruction Derrida; telaah tentang episteme dari
Foucoult; wacana tentang adanya hegemoni kekuasaan (model Gramsci) terhadap perjalanan ilmu;
maupun aspek kritisisme dari Habermas. Kesemuanya itu dapat memperkaya wacana dialektis antara
agama dan sains di masa depan.

Untuk mengakhiri tulisan ini maka – sekedar perbandingan – tawaran riset yang baru di bidang
sains dan agama berikut ini penting menjadi perhatian bersama sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sir John Templeton (1998: 131):
a. A bibliographic survey of work by scientists on spiritual subjects.
b. A program to assess the extent of teaching of university and college courses on science and religion
and to stimulate courses emphasizing progress in religion.
c. A training module on religion and psychiatry which illustrates the extent to which spiritual factors
may influence clinical therapy.
d. A program to encourage scientist and theologians to publish papers on humility theology.
e. A program of lectures on relationship between science and theology presented at universities and
colleges in North America and Europe and, more recently, at large churches in the United States.

BIBLIOGRAFI

Al-Qur’an Kariem.

Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Bandung: Mizan, 2002.
Amiur Nurudin, Ijtihad Umar bin Khattab,1987.

Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis, 2005.

Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan, 2006.


Adian Husaini, Husin M. Al-Banjari, M. Syamsir Ali, Santi WE Soekono, Membedah Islam
Liberal, 2005.
Al-Farabi, Ãrã’ Ahl al-Madînah al-Fãdlilah, diterjemahkan dan diberi komentar oleh Richard
Walzer, al-Farabi on the Perfect State,Oxford: Clarendon Press, 1985.
Abu Ahmadi, dkk, Filsafat Islam,Semarang: Toha Putra, 1988.

Abd. Al-‘Athi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyãsi li al-Imãm Muhammad ‘Abduh, Mesir: al-
Maiat al-Mishriyyah al-‘Ammat li al-Kitab, 1978.

Al-Mawardi, al-Ahkãm al-Sulţãniyyah,Beirut: Dar el-Fikr, 1966.

Al-Ghazali, Al-Iqtishãd fi al-I’tiqãd, Kairo, 1320 H.


Abu al-A’la al-Maudûdî, Tafhîm al-Qur’ãn, vol.II,Lahore:, 1951.
Abu al-A’la al-Maudûdî, The Islamic Law and Constitutions, translated and edited by Charles
Adams, “Maududi and the Islamic State”, dalam John L. Esposito (ed), Voices of Resurgent Islam, New
York: Oxford University Press, 1993.
Ahmad Warsono Munawir, Kamus Al-Munawwir (Arab-Indonesia), Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.

Anonim, “Fatwa Buat Koruptor, Kejarlah Koruptor Sampai Liang Kubur”, GATRA
No.38,Senin, 5 Agustus 2002.

Anonim, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2001.

Anonim, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi.

Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987.
‘Ali ‘Abd. Rãziq, al-Islãm wa Ushûl al-Hukm,Kairo: Mathba’ah Misrã SyirkahMusãhamah
Mişriyyah, 1925.

Asghar Ali Engineer,Islam dan Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar-LKIS,1993.


Anonim, Belajar Civic Education dari Amerika, 1999.

Charles Kurzman, Liberal Islam, A SourceBook, New York – Oxford: Oxford University Press,
1998.

Eleonora B. Masini, Studi Futuristik, Kebutuhan, Perkembangan dan Metode Mengarahkan


Masa Depan, Yogyakarta: BKF Multimedia dan Kreasi Wacana, 2004.

Edy Suandi Hamid, Muhammad Sayuti, Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di
Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media, 1999.

Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’am.Chicago: Minneapolis, Bibliotheca Islamica,


1980.

Gary Gutting (Ed.), Paradigms and Revolutions: Appraisals and Aplication of Thomas Kuhn’s
Philosophy of Science, London: University of Notre Dame Press, 1980.
George Ritzer, Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, 2004.
Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, 2005.
Hassan Hanafi, Islam in the Modern World,1995.

Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, 1986.


Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman,UII Press, 2000.
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam,Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1985.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet.I, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Hibah Rauf Izzat, Wanita dan politik Pandangan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,1997.

Harian Pelita, Jakarta: 4 Maret 1993.


Hassan Hanafi, Islam Wahyu Sekuler, Jakarta: Inst@d, 2001.

Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Bandung: Mizan, 2002.

Ibnu Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, Bombay: Qayyimah Press, 1949.

Ismail Raji al-Faruqi dan Abdullah Omar Nasseef (Ed.), Social and Natural Sciences:The
Islamic Perspective, Jeddah: Hodder and Stoughon, King Abdulaziz University, 1981.
Islamika, Jakarta: N. 1 Juli-September, 1993.

Ibnu Taimiyyah, al-Siyãsah al-Syarî’ah,Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt.

Imron Nasri (ed), Pluralisme dan Liberalisme, Pergolakan Pemikiran anak Muda
Muhammadiyah, 2005.

Islamika, “Mempertimbangkan Fazlur Rahman”, No.2 Oktober-Desember 1993.

Ismã’il Rãji al-Fãruqî, Islamisasi Pengetahuan, (terj.) Bandung: Pustaka, 1984.

--------------------------, Tauhid, (terj.) Bandung: Pustaka, 1988.

Jurnal Relief, Vol.1 No.1, Januari 2003, CRCS-UGM Yogyakarta


John Meuleman (ed.) Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran
Mohammed Arkoun, l996.

John L. Esposito dalam artikelnya “Islamic Fundamentalism”, SIDIC, Vol.XXXII, No.3-1999.

Jurnal Tarjih, edisi ke-6, Juli 2003.

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.

Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah,
terj., Masrohin, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
LP3M UMY, Pernyataan Kegiatan Seminar Nasional “ Tauhid Sosial ” Memperingati Milad
UMY.

Media Dakwah No. 361, Dzulqo’dah/1426 H/Desember 2005 M (30 Tahun Orientalisme di
IAIN) Tinggi (2006).
Mohammad Hatta, “Tanggungjawab Moral Kaum Inteligensia”, dalam Aswab Mahasin dan
Ismet Natsir, Cendekiawan dan Politik, 1984.

Mohammed Arkoun, Islam Kemaren dan Hari Esok,1983.


Mohammed Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Araby al-Islamy, l986.
Mohammed Arkoun, Al-Islam al-Akhlaq wa al-Siyasah,1986.
Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, (terj.) Bandung: Mizan, 1993.
Muhammad Azhar, Posmodernisme Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Suara
Muhammadiyah, 2005.

Muhammad Azhar, Pemikiran Politik OKI dan Tata Dunia, Pascasarjana UIN Yogyakarta,
1994 (belum diterbitkan).
Muhammad Husain Haikal, al-Hukûmat al-Islãmiyyat, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1983.
Musdah Mulia, MA., Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal,Jakarta: Paramadina,
2001.
Munawir Syadzali,Islam dan Tatanegara, Jakarta : UI, Press, 1993.
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.

M. Amin Abdullah, “Pengembangan Metode Studi Islam dalam Perspektif Hermeneutika Sosial
dan Budaya” dalam jurnal Tarjih edisi ke-6, Juli 2003, LPPI-UMY dan Majelis Tarjih & PPI PP
Muhammadiyah.

Michel Talbot, Mistisime dan Fisika Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

———-, Taarikhiyyah al-Fikr al-‘Aroby al-Islamy, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1986.

Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKiS, 2000

Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1996.

Nashr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-Takfir: Dlid al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurafat,
Kairo: Sina li al-Nasyr, 1995.

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.

Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Tafkir fi Zamani al-Tafkir: Zidda al-Jahl wa al-zaif wa al-Khurafat,
Al-Qahirah,1995.

Nurcholish Madjid, “Fiqh di Zaman para Sahabat Nabi”, makalah Kajian Agama Paramadina
ke-34 tahun III/1989.
PP Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, 2001.
Qomaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah,Islamabad:, Islamic Research
Institute, 1973.
Rasyid Ridla, al-Khilãfah au al-Imãmah al-‘Uzhmã, Kairo: al-Manar, 1341 H.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1982.


Syir’ah, No. 47/V/Oktober 2005.

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka, 1981.

Seyyed Hossein Naşr, Menjelaskan Dunia Modern, (terj.) Bandung: Mizan, 1994.

------------------------, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (terj.) Bandung: Pustaka,
1994.

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Lahore: Suhail Acadeny, 1988.
Sir John Templeton, The Humble Approach, Scientist Discover God, USA: Templeton Foundation
Press, 1998.
Sir Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan,
1981.
Syarif Hidayatullah, Zulfikar S. Dharmawan, Islam Virtual, Jakarta: MIFTA, 2003.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and the Philosophy of Sciences, Kuala
Lumpur: ISTAC, 198Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam
Fazlur Rahman,Bandung: Mizan, 1987.
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas,Bandung: Mizan, 1989.
Tim editor Mujahidin, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, 2004.

Transparency International Indonesia, Praktek-praktek yang Baik dalam Memerangi Korupsi di


Asia, 16-17 Desember 2003, Jakarta Indonesia.

Transparency International Indonesia, Indonesian Corruption Perception Index 2004.

The World Bank, Menciptakan Peluang Keadilan, Laporan atas studi “Village Justice in
Indonesia “Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal”;
Februari, 2005.

Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, (terj.) ,Yogyakarta: Pustaka LSI, 1991.

Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi, 2005.
GLOSSARY

Akseptabilitas di sini adalah sejauhmana masyarakat atau rakyat suatu Negara dapat menerima
kehadiran figure perempuan sebagai pemimpin.

Epistemologi Islam Kontemporer dipahami sebagai suatu telaah keilmuan Islam yang dikaji
secara filosofis tentang sumber-sumber pengetahuan Islam kontemporer yang dibedakan dengan
sumber-sumber pengetahuan maupun kebenaran keilmuan Islam yang bercorak klasik.

Fundamentalisme Autentik merupakan ciri khas pemikiran al-‘Asymawi (pemikir muslim asal
Mesir) yang pada intinya ia mendorong umat untuk selalu berpikir secara inklusif-akademis, bukan
politis-ideologis-eksklusif. Lawan dari fundamentalisme autentik ini adalah fundamentalisme politik.

Fundamentalisme Islam adalah pola pikir yang umat yang berpegang kepada suatu konsep dan
meyakini bahwa hanya konsep itulah yang paling benar. Otoritarianisme-fundamentalisme cenderung
menafikan sikap toleran, dan intoleransi terjadi ketika sebuah agama menganggap agama lain, karena
tidak mau mencari keselamatan menurut agama yang pertama, maka pengikut agama lain itu menjadi
tidak berharga sebagai manusia.

Fundamentalisme Politik merupakan ciri khas pemikiran al-‘Asymawi (pemikir muslim asal
Mesir) yang pada intinya ia mengkritisi pemikiran umat atau aktivis muslim yang cenderung melihat
Islam secara ideologis-esklusif, ketimbang corak pemikiran keislaman yang inklusif-akademis.

Futurologi merupakan cakrawala baru dalam paradigma keilmuan yang mewacanakan tentang
pentingnya penggalian teori-teori akademis terkait dengan tentang kajian masa depan.

Gender merupakan kajian spesifik yang mendalami wawasan tentang relasi yang setara antara
kaum pria dan perempuan. Perspektif gender ini juga telah memasuki ranah kajian studi keislaman
kontemporer yang berimplikasi pada pentingnya rekonstruksi ulang berbagai penafsiran keislaman
yang bias gender.

Ideologisasi merupakan istilah tentang upaya umat atau aktivis muslim yang ingin
memperjuangkan nilai-nilai Islam secara lebih formalistik-politis.

Islamologi terapan, yang merupakan suatu praktek ilmiah pluridisipliner dan bertujuan untuk
menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan dalam membebaskan pemikiran Islam dari berbagai
tatanan usang dan mitologi-mitologi yang menyesatkan.

Kapabilitas merupakan dimensi kemampuan seorang pemimpin yang dalam kajian ini
kemampuan seorang perempuan dalam memimpin suatu orgnisasi, partai bahkan Negara.

Korupsi Kebudayaan adalah suatu istilah yang mengandung pemahaman tentang telah
terjadinya suatu reduksi kebudayaan bangsa yang dulunya terkenal anti pada tindakan korupsi namun
kini secara bertahap justeru semakin menggejalanya fenomena korupsi itu sendiri

Masyarakat Kitab merupakan suatu istilah yang dikemukakan oleh Mohammed Arkoun yang
memandang bahwa kelompok semua penganut agama harus dilihat secara setara dan dikaji secara
akademis, baik melalui pendekatan linguistik, historis, sosiologis dan antropologis. Istilah masyarakat
kitab ini lebih bersifat akademis, sedangkan istilah ahlul kitab cenderung teologis.

Mazhab Siyasah merupakan istilah yang mengnadung arti tentang adanya berbagai pandangan
(mazhab) tentang politik di kalangan pemikir muslim.

Mitologi merupakan istilah yang mengandung makna tentang adanya berbagai asumsi,
pandangan masyarakat yang sebenarnya sulit untuk dibuktikan sevcara akademis, namun berbagai
pandangan tersebut eksis, dan dalam banyak hal amat mempenagruhi pemikiran sebahagian
masyarakat.

Modernisme Klasik, yang muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal ke-20 di bawah
pengaruh ide-ide Barat. Yang baru pada gerakan ini adalah perluasannya terhadap ‘isi’ ijtihad, seperti
hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status
wanita serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif serta konstitusional
lantaran kontaknya dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Usaha modernisme klasik dalam
menciptakan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui sumber al-Qur’an dan
Nabi, menurut Rahman, merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artifisial atau terpaksa.
Hakikat penafsiran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ‘Sunnah Historis’ (yakni biografi
Nabi) sebagaimana dibedakan dengan ‘Sunnah teknis’ (yakni yang terdapat di dalam hadits-hadits).
Mereka umumnya skeptis terhadap hadits, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Neo Revivalisme atau Revivalisme Pasca Modernis, yang mendukung gagasan demokrasi
dan percaya serta mempraktekkan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah dimodernisir. Bahkan
gerakan ketiga ini telah mendasari dirinya pada basis pemikiran Modernisme Klasik bahwa Islam itu
mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun karena usahanya
untuk membedakan diri dari Barat, maka Neo Revivalisme merupakan reaksi terhadap Modernisme
Klasik. Mereka tidak menerima metode atau semangat Modernisme Klasik; tetapi sayangnya, mereka
tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya, selain berusaha
membedakan Islam dari Barat

Neomodernisme Islam dimunculkan oleh Fazlur yang mengklaim dirinya sebagai juru bicara
gerakan baru ini. Dengan tegas Rahman mengatakan bahwa Neomodernisme Islam harus
mengembangkan sikap kritis tentang Barat maupun warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum
muslimin harus mengkaji dunia Barat serta gagasan maupun ajaran-ajaran dalam sejarah keagamannya
sendiri. Bila hal ini tidak dikaji secara obyektif, maka keberhasilannya dalam menghadapi dunia
modern merupakan suatu hal yang mustahil, bahkan kelangsungan hidupnya sebagai Muslim-Muslim
akan sangat meragukan. Neomodernisme Islam ini, sebagaimana dinyatakan Rahman sendiri, ingin
merajut kembali kekayaan tradisi Muslim lalu dikemas secara metodologis untuk disesuaikan dengan
perkembangan zaman.

Objektivikasi merupakan gagasan Kuntowijoyo yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai ajaran


Islam dapat saja diformulasikan secara lebih universal (objektif) dan inklusif, bukan semata-mata
secara normatif-eksklusif. Dengan paparan nilai-nilai Islam yang sudah diobjektif-kan tersebut,
masyarakat umum, terutama non muslim, akan lebih mudah menerimanya.

Posmodernisme Islam merupakan refleksi pemikiran keislaman yang mencoba


mengintegrasikan antara wawasan Islam (Islamic studies/IS) dengan pendekatan social sciences (SS),
natural sciences (NS) dan humanities (H). Posmodernisme Islam ini dibedakan dengan corak
pemikiran Islam tradisional yang normatif-tekstual-teologis maupun tipologi pemikiran Islam modern
positivistik.
Pluralisme merupakan suatu paham tentang adanya pengakuan suatu kelompok terhadap
kelompok lainnya secara adil dan setara, tanpa membedakan adanya perbedaan suku, jenis kelamin,
profesi bahkan status agama yang dianut.

Revivalisme Pra Modernis adalah tipologi pemikiran Islam yang muncul pada abad ke-18 dan
19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan yang tidak terkena sentuhan Barat ini memperlihatkan ciri-ciri
umum: a) Keprihatinan yang mendalam tentang degradasi sosio moral ummat Islam dan usaha untuk
mengubahnya; b) Imbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan tahyul-tahyul yang
ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan
finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha untuk melaksanakan ijtihad; c) Imbauan untuk
mengenyahkan corak predeterministik; d) Imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat kekuatan
bersenjata (jihad) jika perlu.

Sekularisme merupakan paham tentang adanya upaya pemisahan antara wilayah keagamaan
dan kenegaraan atau kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam prakteknya, ada bebrapa varian yang
terkait dengan sekularisme dan Islam.

Substansiasi merupakan pandangan tentang pentingnya memperjuangkan nilai-nilai keislaman


dalam wilayah kehidupan umat secara lebih substantif, bukan formalistik. Penekanan pada etika
keagamaan lebih dikedepankan ketimbang pengamalan Islam secara legal-formal semata.

Transformasi adalah sutau pemikiran politik Islam yang lebih menekankan pentingnya bentuk-
bentuk edukasi, advokasi dan transformasi nilai-nilai Islam yang lebih praktis dan relevan dengan
kebutuhan umat sehari-hari.

CURRICULUM VITAE

A. Identitas Diri
Nama : Drs. Muhammad Azhar, MA.
Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 8 Agustus l96l

Pekerjaan : Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMY

Pangkat/Gol : Lektor Kepala/IV-A

Alamat Rumah : Perumahan Sonosewu Baru RT 11, No. 474-A, Ngestiharjo,

Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

No. HP/e-mail : 081 328 205 273 / muazar@yahoo.com/blog: wordpress.muazar

Alamat Kantor : Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta (UMY), Jl. Lingkar Selatan, Kec. Kasihan

Kab. Bantul, Yogyakarta. Phone: 387656, Fax. 387646

Nama Ayah : H. Rahmat Naris (alm.)

Nama Ibu : Rasyiah

Nama Istri : Atikah

Nama Anak : 1. Desy Paradina (15 th/Gontor Putri kls 4)

2. Shafira Annisa (12 th/Gontor Putri kls 1)

Karya Ilmiah

1. Buku/Jurnal Ilmiah

1995:

-”Dunia Islam dan Tata Dunia Baru: Suatu Analisis Kritis” (jurnal ilmiah Al-Jami’ah, No.58/1995,
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

l996:

-Buku: Filsafat Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Rajawali Pers). Hasil
proyek penulisan buku Depag RI.
-Buku : Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar). Hasil riset skripsi.

l997:

-Buku: Di Tengah Hentakan Gelombang, Agama dan Keluarga dalam Tantangan Masa
Depan /kontributor(Yogyakarta: sponsor Interfidei).

- “Keluarga Muslim: Identitas dan Tantangan” (jurnal Ilmiah Nabila, No.1/Th.I, Juli 1997, PSW
UMY)

-“New Islamic World and New World Order” (jurnal ilmiah Mukaddimah, No. 3 Th.III, Juli 1997,
Kopertais Wilayah III di Yogyakarta)

- Reorientasi Filsafat Politik OKI (jurnal Ilmiah Orientasi, No.1 Th.I, Desember 1997, FAI-UMY)

l998:

-Buku: “Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah” dalam buku Al-Islam dan Iptek/kontributor UMJ
(Jakarta: Rajawali Pers).

-“Pemikiran Politik Islam di Indonesia: dari Ideologisasi, Substansiasi, Objektivikasi Menuju


Transformasi” (jurnal ilmiah Milenium, No.1/Th.I Januari-April 1998)

-“Kajian Terhadap Berbagai Konsepsi Pemikiran Islam di Indonesia” (jurnal ilmiah Mukaddimah,
No.5 Th.IV 1998, Kopertais Wilayah III di Yogyakarta)

1999:

-Buku: Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an /editor bersama Yunahar Ilyas (Yogyakarta: LPPI
UMY).

-Buku: “Kritik Fazlur Rahman terhadap Orientalis” dan “ Teologi Sosial Pemikiran Islam ” dalam
buku Studi Islam dalam Percakapan Episte- mologis/kontributor (Yogyakarta: Si-Press).

-Buku: “Orientasi Pemikiran Keislaman Muhammadiyah” dalam buku Muhammadiyah Menuju


Milenium III/kontributor(Yogyakarta: Pustaka SM).

-“Filsafat Plato: Tentang Idea, Hermeneutika dan Internet” (jurnal ilmiah Idea, No.5/l999, LP3
UMY)

-“Masalah Kapabilitas dan Akseptabilitas Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”, jurnal ilmiah
Mukaddimah, No. 8/Th.V/1999
2000:

-Buku: “Wacana Baru Pemikiran Keislaman di Muhammadiyah” dalam buku Pemikiran


Keislaman di Muhammadiyah: antara Purifikasi dan Dinamisasi/editor bersama Hamim Ilyas
(Yogyakarta: Aditya Media).

-Buku: “Beberapa Peluang Pengembangan Ekonomi Islam”, dalam buku Meretas Jalan
Baru Ekonomi Muhammadiyah/kontributor (Yogyakarta: Tiara Wacana).

-"Negara dan Civil Society: Perspektif Neo-Muhammadiyah", jurnal ilmiah Inovasi No.2
Th.X/2000

2001:

-Buku: Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Bigraf).

-"Otonomi Keberagamaan di Era Multikultural", jurnal ilmiah Inovasi UMY, Agustus


2001

-"Islam dan Sekularisasi Politik", jurnal ilmiah Mukaddimah, No.11 th.VII/2001

-"Dimensi Epistemologis Perbankan Islam, Problem Filosofis-Metodologis", jurnal


ilmiah FAI Orientasi,No.3 / Th.III/April 2001

-"Negara dan Civil Society dalam Perspektif Neo Muhammadiyah", jurnal ilmiah
Dinamika, Isipol UMY, Vol.I th.I/Agt. 2001

- Menguak Mitos Fundamentalisme (sudah terbit dalam buku Fiqh Peradaban, 2001)

2002:

-Buku: Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), kontributor/ LP3 UMY & Asia
Foundation (Bab II).

-"Mengenal dari Dekat Organisasi Konperensi Islam", jurnal ilmiah Tarjih, No. 3/Januari
2002

2003:
-Buku : Epistemologi dan Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta:
Transmedia).

-Buku: 2003: Islam dan Pengembangan Disiplin Ilmu/kontributor (Yogyakarta: LPPI


UMY).

2004:

-Buku: UMY Go Internasional: Pengalaman Studi dan Kunjungan Dosen UMY ke Luar
Negeri (editor/LPPI UMY).

-Buku: Pendidikan Antikorupsi/kontributor (LP3-Patnership for Governance Reform in


Indonesia).

-“Pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang Bahasa dan Makna serta Implikasinya dalam
Studi Al-Quran” jurnal ilmiah Mukaddimah, no. 16/2004

-“Reformulasi Fiqh dan Teologi Birokrasi, Sebuah Keniscayaan”, jurnal ilmiah Inovasi,
No.2/Th.XIII/2004

- “Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, jurnal ilmiah Afkaruna, FAI UMY,


Vol.2, No.2 Juli-Desember 2004“

2005:

-Buku: Posmodernisme Muhammadiyah (Yogya: Suara Muhammadiyah).

-Buku: Wawasan Sosial Politik Islam Kontekstual (Yogya: UP-FE UMY).

-Buku: Reinvensi Islam Multikultural (kontributor/PSB UMS).

-Membongkar Nalar Fundamentalisme Politik Melalui Fundamentalisme Autentik


Al-‘Asymawy”, jurnal ilmiah Afkaruna, vol.III, No.2, Juli-Desember 2005.

2006:

-Buku: Fikih Antikorupsi, Perspektif Ulama Muhammadiyah/kontributor (MTT PP


Muhammadiyah dan Governance Reform in Indonesia).

-Sebagai narasumber riset dalam buku: Suciati, S. Sos.M.Si, Mempertemukan Jaringan


Islam Liberal (JIL)dengan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran,
2006).
2007 :

-“Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Mohammed Arkoun”, jurnal ilmiah
Hermeneia, Pascasarjana UIN Yogyakarta, vol. 6, no.1, Januari-Juni 2007.

-“Dialektika Din-Daulah-Dunya dalam Politik Islam”, Perspektif, Vol.3, No.1, Oktober


2007

2008:

-“Pluralitas Mazhab Siyasah Sejak al-Farabi Hingga Mohammed Arkoun”, Mukaddimah,


Kopertasi Wilayah III DIY, No. 24, 2008

2009:

-“Metode Islamic Studies: Studi Komparatif antara Islamization of Knowledge dan


Scientification of Islam, jurnal ilmiah Mukaddimah, Vol. XV, No. 26, Januari-Juli 2009.

-“”Dialogue of Din-Daulah-Dunya in Islmic Political Thought”, Proceeding 2nd UMY-IIUM,


Intrnational Joint Seminar, 2009

2010 :

-Buku : Kontroversi Pemikiran Islam in Facebook

2011 :

-Buku : Pengalaman Dosen UMY dalam Menulis Disertasi, Program Doktor UMY
(editor dan kontributor)

-’Kritik Terhadap Pemikiran Politik Mohammed Arkoun’, Proceeding Forum Ilmiah


Nasional (FIN) Pascasarjana antar PTM, 24 Desember 2011

2012 :

-Buku : Index Penelusuran Fatwa Tarjih Muhammadiyah (akan terbit)

-Buku : Studi Tentang Etika Politik Mohammed Arkoun (akan terbit)


- Buku : Pemikiran Islam Kontemporer (Hibah buku teks, LP3M UMY)

Naskah Buku yang Belum Diterbitkan :

-Rekonstruksi Epistemologis Pemikiran Politik Islam Kontemporer di Indonesia (riset


LP3M UMY)

-Organisasi Konperensi Islam (OKI) dan Tata Dunia Baru (tesis S2 UIN Suka)

Artikel Jurnal Ilmiah yang Belum Dipublikasikan :

- “Telaah Kritis Pemikiran Islam tentang Pembangunan dan Perubahan Sosial”, (akan terbit
jurnal Afkaruna FAI UMY).

-“Dekonstruksi Epistemologis Pemikiran Politik Islam”, (naskah belum terbit).

- Jalaludin Rumi Menari di Depan Tuhan (makalah S2 UIN Yogyakarta)

-Perspektif Al-Qur’an tentang Nasionalisme (makalah S2 UIN Yogyakarta)

- Hadits Imam Turmudzi (makalah S3 UIN Yogyakarta)

-Al-Ushul al-Khamsah: Pancasila-nya Mu’tazilah (makalah S3 UIN Yogyakarta)

- Konfigurasi Pemerintahan RI Pascapemilu 2004

-“Capability and Acceptability of Women Leadership in Islam” (2005)

- Masyarakat Kitab dan Pluralisme (akan terbit di jurnal Tarjih)

2. Makalah ilmiah lainnya:

a. 2002: Transformasi Nilai-nilai Demokrasi dalam Keluarga dan Masyarakat

(sudah terbit dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan).

b. 2003: Epistemologi Ibnu Khaldun (makalah S2 UIN Yogyakarta/sudah terbit dalam buku
Epistemologi dan Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer)
e. 2003: Ikhwanusshafa (makalah S2 UIN Yogyakarta/sudah terbit dalam

buku Epistemologi dan Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer)

f. 2003: Aspek Epistemologi Filsafat Imanuel Kant (makalah S3 UIN Yogyakarta/sudah terbit
dalam buku Epistemologi dan Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer)
g. 2003 :Perspektif Islam tentang Bela Negara, Kemiliteran dan Politik (sudah terbit dalam buku
Islam dan Pengembangan Disiplin Ilmu
h. 2003 :Dasar-dasar Epistemologis Pemikiran Mohammed Arkoun dan Implikasinya di Indonesia
(sudah terbit dalam buku Epistemologi dan Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer)
i. 2005 :Sekularisme di Turki (makalah S2 UIN Yogyakarta/sudah terbit dalam buku Wawasan
Sosial Politik Islam Kontekstual)
j. 2005 : Liberasi dan Ortodoksi dalam Muhammadiyah: Perspektif Politik (diskusi ilmiah dosen-
dosen FAI/sudah terbit dalam buku Posmodernisme Muhammadiyah)
k. 2005: Wacana Agama dan Sains dalam Perspektif Epistemologi Keilmuan Islam Kontemporer
(diskusi ilmiah dosen-dosen FAI dan FK UMY/sudah terbit – 4 seri -dalam Suara
Muhammadiyah, April-Mei 2005)
l. 2006: Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Mohammed Arkoun, diskusi dosen FAI UMY,
5 Oktober 2006 (dimuat dalam jurnal Hermeneuia)
m. 2007: Telah Kritis Manhaj Tarjih Muhammadiyah, diskui ilmiah dosen FAI UMY (dimuat dalam
majalah Suara Muhammadiyah)
n. 2009: Rekonstruksi Epistemologi Politik Islam Kontemporer, diskusi ilmiah dosen FAI UMY.
o. 2010: Implikasi Pemikiran Politik Arkoun dalam Islamic Studies, diskusi ilmiah dosen FAI UMY
p. 2011: -’Kritik Terhadap Pemikiran Politik Mohammed Arkoun’, Procee-
ding Forum Ilmiah Nasional (FIN) Pascasarjana antar PTM, 24 Desem ber 2011

3. Penelitian dan sponsor

a. 1990: Mensucikan Jilatan Anjing Menurut Hukum Islam (Risalah peneli

tian untuk meraih gelar Sarjana Muda Syariah di STIS – kini STAIN - Universitas

Malikussaleh Lhokseumawe).

b. 1992: Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Penelitian Skripsi S1


Syariah di STIS – kini STAIN – Lhokseumawe).
c. 1994: Pemikiran Politik Organisasi Konperensi Islam (OKI) dan Tata Dunia Baru (Penelitian Tesis
Pascasarjana IAIN – kini UIN – Yogyakarta).
d. 1995: Mendapatkan grant dari Japan-Indonesia Foundation (JIF) di Jakarta.
e. 1996: Penulisan buku proyek Depag RI, telah diterbitkan: Filsafat Politik, Perbandingan Antara
Islam dan Barat, Jakarta: Rajawali Pers.
f. 1997: “Keluarga Muslim: Identitas dan Tantangan” kontributor dalam buku Di Tengah Hentakan
Gelombang, Agama dan Keluarga dalam Tantangan Masa Depan, sponsor proyek:
Dian/Interfidei, Yogyakarta.
g. 2002: Proyek penulisan buku Civic Education (kerjasama LP3 UMY dan Asia Foundation),
sebagai kontributor bab II, sudah diterbitkan dengan judul: Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education), LP3 UMY & Asia Foundation.
h. 2004: Proyek penulisan materi kuliah untuk PTM tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN),
kerjasama LP3 UMY dan Asia Foundation, bagian bab III (Strategi Pencegahan KKN), sudah
diterbitkan menjadi buku, Pendidikan Antrikorupsi.
i. 2005: Tim penulisan Tafsir Tematik dan Fiqh Antikorupsi Muhammadiyah-NU bekerjasama
dengan Indonesian Governance Reform.
j. 2006: Hibah penulisan buku dari UMY.
k. 2007: Mendapatkan hibah penulisan buku Wawasan Sosial Politik Islam Kontekstual dari
Kopertais Wilayah III Yogyakarta.
l. 2007: Hibah Penelitian disertasi Doktor, Pemikiran Politik, Studi tentang Etika Politik
Mohammed Arkoun, Kopertais Wil. Kopertais Wil. III DIY.
m. 2008: Kompetisi Penelitian Dosen UMY, Rekonstruksi Epistemologis Pemikiran Politik Islam
Kontemporer di Indonesia (LP3M UMY).
n. 2009: anggota tim riset Suku Pedalaman di Jambi (Kemendiknas RI)
o. 2010: anggota tim riset Kewirausahaan di PTAI (Kemenag RI)
p. 2011: Hibah penulisan buku teks Pemikiran Islam Kontemporer (LP3M UMY)
q. 2012: Hibah Workshop PAI (Kemenag RI)

4. Forum internasional yang diikuti:

1990: International Conference on Islam and Population Policy

(Lhokseumawe, North Aceh).

1992: An International Seminar on Religion and Contemporary

Development, in Comparative Perspective (Yogyakarta).

1996: International Islamic Forum for Science, Technology and Human

Resources Development/IIFTIHAR (Jakarta).

2000: 2nd International Conference on Islamic Education and Economics

Institution (Yogyakarta).

2002: International Conference on Law and Commerce (IIUM,

Malaysia).

2002: International Conference on Religion and Science in The Post-

Colonial World (Yogyakarta).

2004: International Conference on “The Idea(l) of an Indonesian Islamic

University: Contemporary Perspectives” (Yogyakarta).

2005: International Seminar on Multicultural Education: Cross-Cultural

Understanding for Democracy and Justice (Yogyakarta).

2007: International Conference on “The Problems and Promise of Inter-

Religious Studies in Indonesia” (Yogyakarta).

2008: International Seminar on Building Mutual Understanding with

Intercultural Communication, Religious Life and Religious Studies

in America and Indonesia (Yogyakarta).

2008: The Political Role of Ulama in Iran (Yogyakarta).

2008: Joint International Seminar II on: Muslim World in the Face of


Globalization: Challenges & Prospects (multi-issues)

(Malaysia)/Proceeding.

2009: The 9th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) IX di Solo.

2011: The 11th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) XI di

Pangkal Pinang, Bangka Belitung

2012: International Conference on Sustainability and Innovation

(ICOSI), IIU of Malaysia -UMY

Anda mungkin juga menyukai