Anda di halaman 1dari 166

1 2

BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini


sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab,
mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak
segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-
sendiri. Penerapan hukum pidana berkaitan
dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri
dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit.
Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh
seseorang telah merugikan masyarakat dan
pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang
tersebut karena telah melanggar hukum. Selain itu,
tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan
pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya
represif yang kuat berupa tindakan-tindakan
pengamanan.

Perlunya pemahaman terhadap teori-teori


serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi
peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan
Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul
mengenai asas-asas hukum pidana dengan tujuan
agar peserta Pendidikan dan Pelatihan
3 4

pendahuluan mengerti dan memahami teori-teori B. Tujuan Instruksional Khusus


maupun asas-asas hukum pidana yang perlu Setelah mempelajari modul ini peserta diklat
diperhaitkan dalam melaksanakan tugas dan diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup
fungsinya sebagai jaksa nantinya. berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan
sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat
melawan hukum, kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana, kesengajaan,
II. DESKRIPSI SINGKAT
kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan,
percobaan, penyertaan, penggabungan tindak
Modul asas-asas hukum pidana pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya
memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
dan pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya,
tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat IV. POKOK BAHASAN
(causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum,
kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana.
kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, b. Tindak Pidana.
pemidanaan, percobaan, penyertaan, c. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat).
penggabungan tindak pidana, dasar penghapus
d. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht,
pidana, gugurnya wewenang menuntut dan
wederrechtelijk, onrechmatig).
menjalankan pidana.
e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
f. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz).
III. TUJUAN PEMBELAJARAN g. Kealpaan (culpa).
A. Tujuan Intruksional Umum h. Kesalahan dalam delik pelanggaran.
Setelah mempelajari modul ini peserta
diharapkan mengetahui tentang teori, asas, i. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier).
delik tindak pidana dan dapat menerapkannya j. Percobaan (poging, attempt).
dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik k. Penyertaan.
dan penuntut umum dalam penanganan
l. Penggabungan tindak pidana (samenloop /
perkara pidana. concursus).
5 6

m. Alasan / dasar penghapus pidana BAB II


(straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.)
n. Gugurnya kewenangan menuntut dan
menjalankan pidana. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA
HUKUM PIDANA
V. FASILITAS / MEDIA

Fasilitas dan media yang digunakan dalam


proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
pidana antara lain :
MENURUT WAKTU
a) Modul asas-asas hukum pidana; Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-
b) Internet;
c) Peraturan perundang-undangan; undangan pidana berkaitan dengan waktu dan
d) Literatur yang terkait. tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya
hukum pidana menurut waktu menyangkut
penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal
seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana
sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau
belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,
maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali
tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine
praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali
atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu
7 8

aturan perundang-undangan yang telah ada dimana adagium : nullum delictum nulla poena
terlebih dahulu. sine praevia lege poenali yang mengandung tiga
prinsip dasar :
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD - Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa
1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak undang-undang)
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku - Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa
surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun perbuatan pidana)
dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar - Nullum crimen sine poena legali (tiada
1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan perbuatan pidana tanpa undang-undang
kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pidana yang terlebih dulu ada)
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
Adagium ini menganjurkan supaya :
undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas
1) Dalam menentukan perbuatan-
hak dan kebebasan orang lain dan untuk
perbuatan yang dilarang di dalam
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
peraturan bukan saja tentang
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan
macamnya perbuatan yang
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
harusdirumuskan dengan jelas, tetapi
demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula
juga macamnya pidana yang
dinyatakan sebagai asas konstitusional.
diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh
yang akan melakukan perbuatanyang
Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom
dilarang itu telah mengetahui terlebih
psychologishen zwang (paksaan psikologis)”
9 10

dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan akan tetapi diperbolehkan penggunaan


kepadanya jika nanti betul-betul penafsiran ekstensif.
melakukan perbuatan; 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak
3) Dengan demikian dalam batin orang itu berlaku surut.
akan mendapat tekanan untuk tidak
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam
berbuat. Andaikata dia ternyata
pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
melakukan juga perbuatan yang
dilarang, maka dinpandang dia
a) Tidak dapat dipidana kecuali ada
menyetujui pidana yang akan
ketentuan pidana berdasar peraturan
dijatuhkan kepadanya.
perundang-undangan (formil).
b) Tidak diperkenankan Analogi
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang
(pengenaan suatu undang-undang
dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
terhadap perbuatan yang tidak diatur
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan oleh undang-undang tersebut).
diancam dengan pidana kalau hal itu c) Tidak dapat dipidana hanya
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak
suatu aturan undang-undang. Hal ini tertulis).
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) d) Tidak boleh ada perumusan delik yang
KUHP. kurang jelas (lex Certa).
2) Untuk menentukan adanya perbuatan e) Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
pidana tidak boleh digunakan analogi, f) Tidak boleh ada ketentuan pidana
diluar Undang-undang.
11 12

g) Penuntutan hanya dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini


berdasarkan atau dengan cara yang disebut menganut asas personal atau
ditentukan undang-undang. prinsip nasional aktif.

Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya


hukum pidana menurut ruang tempat dan
B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam
MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)
hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum
I. Asas Teritorial.
pidana nasional menurut tempat terjadinya.
II. Asas Personal (nasional aktif).
Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional),
III. Asas Perlindungan (nasional pasif)
apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua)
IV. Asas Universal.
pendapat yaitu :

a. Perundang-undangan hukum pidana


berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan
Ad. I. Asas Teritorial
oleh warga negaranya sendiri maupun oleh
orang lain (asas territorial).
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-
b. Perundang-undangan hukum pidana
Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam
berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
pasal 2 KUHP yang menyatakan :
dilakukan oleh warga Negara, dimana saja,
“Ketentuan pidana dalam perundang-
juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan
undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
13 14

orang yang melakukan suatu tindak pidana peraturan-peraturan hukum Negara


di Indonesia”. dimana yang bersangkutan berada.

Pasal ini dengan tegas menyatakan asas Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur
territorial, dan ketentuan ini sudah dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
sewajarnya berlaku bagi Negara yang “Ketentuan pidana perundang-undangan
berdaulat. Asas territorial lebih menitik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
beratkan pada terjadinya perbuatan di luar wilayah Indonesia melakukan
pidana di dalam wilayah Negara tidak tindak pidana didalan kendaraan air atau
mempermasalahkan siapa pelakunya, pesawat udara Indonesia”.
warga Negara atau orang asing. Sedang
Ketentuan ini memperluas berlakunya
dalam asas kedua (asas personal atau
pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa
asas nasional yang aktif) menitik
perahu (kendaraan air) dan pesawat
beratkan pada orang yang melakukan
terbang lalu dianggap bagian wilayah
perbuatan pidana, tidak
Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah
mempermasalahkan tempat terjadinya
supaya perbuatan pidana yang terjadi di
perbuatan pidana. Asas territorial yang
dalam kapal atau pesawat terbang yang
pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-
berada di perairan bebas atau berada di
negara di dunia termasuk Indonesia. Hal
wilayah udara bebas, tidak termasuk
ini adalah wajar karena tiap-tiap orang
wilayah territorial suatu Negara, sehingga
yang berada dalam wilayah suatu Negara
ada yang mengadili apabila terjadi suatu
harus tunduk dan patuh kepada
perbuatan pidana.
15 16

Setiap orang yang melakukan perbuatan  Pejabat-pejabat badan


pidana diatas alat pelayaran Indonesia Internasional.
diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran  Kapal-kapal perang dan pesawat
pengertian lebih luas dari kapal. Kapal udara militer / ABK diatas kapal
merupakan bentuk khusus dari alat maupun di luar kapal.
pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut
bebas dan laut wilayah Negara lain. Ad. II. Asas Personal

Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan Asas Personal atau Asas Nasional yang

dan hak-hak Istimewa (Immunity and aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya

Previlege). terhadap warga Negara yang sedang


berada dalam wilayah Negara lain yang
 Kepala Negara asing dan anggota kedudukannya sama-sama berdaulat.
keluarganya. Apabila ada warga Negara asing yang
 Pejabat-pejabat perwakilan asing berada dalam suatu wilayah Negara telah
dan keluarganya. melakukan tindak pidana dan tindak
 Pejabat-pejabat pemerintahan pidana dan tidak diadili menurut hukum
Negara asing yang berstatus Negara tersebut maka berarti
diplomatik yang dalam perjalanan bertentangan dengan kedaulatan Negara
melalui Negara-negara lain atau tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana
menuju Negara lain. Indonesia berlaku bagi warga Negara
 Suatu angkatan bersenjata yang Indonesa di luar Indonesia yang
terpimpin. melakukan perbuatan pidana tertentu
17 18

Kejahatan terhadap keamanan Negara, dilakukan juga jika terdakwa


martabat kepala Negara, penghasutan, dll. menjadi warga Negara sesudah
melakukan perbuatan”.
Pasal 5 KUHP menyatakan :
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat
“(1). Ketetentuan pidana dalam
perkataan “diterapkan bagi warga Negara
perundang-undangan Indonesia
Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’,
diterapkan bagi warga Negara
sehingga seolah-olah mengandung asas
yang di luar Indonesia melakukan :
personal, akan tetapi sesungguhnya pasal
salah satu kejahatan yang
5 KUHP memuat asas melindungi
tersebut dalam Bab I dan Bab II
kepentingan nasional (asas nasional pasif)
Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160,
karena :
161, 240, 279, 450 dan 451. Salah
satu perbuatan yang oleh suatu Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi
ketentuan pidana dalam warga Negara diluar wilayah territorial
perundang-undangan Indonesia wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-
dipandang sebagai kejahatan, pasal tertentu saja, yang dianggap penting
sedangkan menurut perundang- sebagai perlindungan terhadap
undangan Negara dimana kepentingan nasional. Sedangkan untuk
perbuatan itu dilakukan diancam asas personal, harus diberlakukan seluruh
dengan pidana. perundang-undangan hukum pidana bagi
warga Negara yang melakukan kejahatan
(2). Penuntutan perkara sebagaimana
di luar territorial wilayah Negara.
dimaksud dalam butir 2 dapat
19 20

Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk perundang-undangan Negara dimana


mencegah agar supaya warga Negara perbuatan dilakukan terhadapnya tidak
asing yang berbuat kejahatan di Negara diancamkan pidana mati”.
asing tersebut, dengan jalan menjadi
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat
warga Negara Indonesia (naturalisasi).
(1) butir 2 KUHP adalah untuk
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak melindungi kepentingan nasional timbal
Pidana yang dilakukan di negara asing balik (mutual legal assistance). Oleh
tersebut, apakah menurut undang-undang karena itu menurut Moeljatno, sudah
disana merupakan kejahatan atau sewajarnya pula diadakan imbangan
pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, pulu terhadap maksimum pidana yang
karena mungkin pembagian tindak mungkin dijatuhkan menurut KUHP
pidananya berbeda dengan di Indonesia, Negara asing tadi.
yang penting adalah bahwa tindak pidana
tersebut di Negara asing tempat perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana,
Ad. III. Asas Perlindungan
sedangkan menurut KUHP Indonesia
merupakan kejahatan, bukan pelanggaran. Sekalipun asas personal tidak lagi
digunakan sepenuhnya tetapi ada asas
Ketentuan pasal 6 KUHP :
lain yang memungkinkan diberlakukannya
hukum pidana nasional terhadap
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2
perbuatan pidana yang terjadi di luar
dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak
wilayah Negara
dijatuhkan pidana mati, jika menurut
21 22

Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan talon, tanda deviden atau tanda
ditambah berdasarkan Undang-undang bunga yang mengikuti surat atau
No. 4 Tahun 1976) sertifikat itu, dan tanda yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat
“Ketentuan pidana dalam perundang-
tersebut atau menggunakan surat-
undangan Indonesia diterapkan bagi
surat tersebut di atas, yang palsu
setiap orang yang melakukan di luar
atau dipalsukan, seolah-olah asli dan
Indonesia :
tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang disebut
1. Salah satu kejahatan berdasarkan
dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai
pasal-pasal 104, 106, 107,
dengan 446 tentang pembajakan laut
108 dan 131;
dan pasal 447 tentang penyerahan
2. Suatu kejahatan mengenai mata
kendaraan air kepada kekuasaan
uang atau uang kertas yang
bajak laut dan pasal 479 huruf j
dikeluarkan oleh Negara atau bank,
tentang penguasaan pesawat udara
ataupun mengenai materai yang
secara melawan hukum, pasal 479 l,
dikeluarkan dan merek yang
m, n dan o tentang kejahatan yang
digunakan oleh Pemerintah
mengancam keselamatan
Indonesia;
penerbangan sipil.
3. Pemalsuan surat hutang atau
sertifikat hutang atas tanggungan
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas
suatu daerah atau bagian daerah
melindungi kepentingan yaitu melindungi
Indonesia, termasuk pula pemalsuan
kepentingan nasional dan melindungi
23 24

kepentingan internasional (universal). Indonesia atau segel / materai dan


Pasal ini menentukan berlakunya hukum merek yang digunakan oleh
pidana nasional bagi setiap orang (baik pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
warga Negara Indonesia maupun warga 3) Kejahatan mengenai pemalsuan
negara asing) yang di luar Indonesia surat-surat hutang atau sertifkat-
melakukan kejahatan yang disebutkan sertifikat hutang yang dikeluarkan
dalam pasal tersebut. oleh Negara Indonesia atau bagian-
bagiannya (pasal 4 ke-3)
Dikatakan melindungi kepentingan 4) Kejahatan mengenai pembajakan
nasional karena pasal 4 KUHP ini kapal laut Indonesia dan pembajakan
memberlakukan perundang-undangan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-
pidana Indonesia bagi setiap orang yang di 4)
luar wilayah Negara Indonesia melakukan
Ad. IV. Asas Universal
perbuatan-perbuatan yang merugikan
kepentingan nasional, yaitu :
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi
1) Kejahatan terhadap keamanan
oleh pengecualian-pengecualian dalam
Negara dan kejahatan terhadap
hukum internasional. Bahwa asas
martabat / kehormatan Presiden
melindungi kepentingan internasional (asas
Republik Indonesia dan Wakil
universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa
Presiden Republik Indonesia (pasal 4
setiap Negara di dunia wajib turut
ke-1)
melaksanakan tata hukum sedunia (hukum
2) Kejahatan mengenai pemalsuan
internasional).
mata uang atau uang kertas
25 26

Dikatakan melindungi kepentingan Jika pemalsuan mata uang atau uang


internasional (kepentingan universal) karena kertas, pembajakan kapal, laut atau
rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai pesawat terbang adalah mengenai
kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kepemilikan Indonesia, maka asas yang
kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai berlaku diterapkan adalah asas melindungi
pembajakan kapal laut dan pembajakan kepentingan nasional (asas nasional pasif).
pesawat udara) tidak menyebutkan mata Jika pemalsuan mata uang atau uang
uang atau uang kertas Negara mana yang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan
terbang negara mana yan dibajak. Negara asing, maka asas yang berlaku
Pemalsuan mata uang atau uang kertas adalah asas melindungi kepentingan
yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP internasional (asas universal).
menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin
menyangkut mata uang atau uang kertas
Pasal 7 KUHP
Negara asing. Pembajakan kapal laut atau
pesawat terbang yang dimaksud dalam “Ketentuan pidana dalam perundang-
pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal undangan Indonesia berlaku bagi setiap
laut Indonesia atau pesawat terbang pejabat yang di luar Indonsia melakukan
Indonesia, dan mungkin juga menyangkut salah satu tindak pidana sebagaimana
kapal laut atau pesawat terbang Negara dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku
asing. Kedua”.
27 28

Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan
sebagian besar sudah diserap menjadi tindak pasal 14”
pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal
Pasal 8 KUHP
tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,
417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah
“Ketentuan pidana dalam perundang-
dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun
undangan Indonesia berlaku nahkoda dan
2001 tentang perubahan atas UU No. 31
penumpang perahu Indonesia, yang di luar
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Indonesia, sekalipun di luar perahu,
Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri
melakukan salah satu tindak pidana
sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang
sebagaimana dimaksudkan dalam Bab
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP
XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku
yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal
ketiga, begitu pula yang tersebut dalam
7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk
peraturan mengenai surat laut dan pas
masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16
kapal di Indonesia, maupun dalam
UU No. 31 Tahun 1999 tentang
ordonansi perkapalan”.
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara Dengan telah diundangkannya tindak
republik Indonesia yang memberikan bantuan, pidana tentang kejahatan penerbangan
kesempatan, sarana atau keterangan untuk dan kejahatan terhadap sarana /
terjadinya tindak pidana korupsi dipidana prasarana penerbangan berdasarkan UU
dengan pidana yang sama sebagai pelaku No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.
pertimbangan lain untuk memasukkan Bab
29 30

XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 3) Anak buah kapal perang asing yang
KUHP adalah juga menjadi kenyataan berkunjung di suatu Negara,
bahwa kejahatan penerbangan sudah sekalipun ada di luar kapal. Menurut
digunakan sebagai bagian dari kegiatan hukum internasional kapal peran
terorisme yang dilakukan oleh kelompok adalah teritoir Negara yang
terorganisir pasal 9 KUHP. mempunyainya
4) Tentara Negara asing yang ada di
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8
dalam wilayah Negara dengan
dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
persetujuan Negara itu.
yang diakui dalam hukum-hukum
internasional.

Menurut Moeljatno, pada umumnya


pengecualian yang diakui meliputi :

1) Kepala Negara beserta keluarga dari


Negara sahabat, dimana mereka
mempunyai hak eksteritorial. Hukum
nasional suatu Negara tidak berlaku
bagi mereka
2) Duta besar Negara asing beserta
keluarganya meeka juga mempunyai
hak eksteritorial.
31 32

BAB III  Antara larangan dan ancaman pidana ada


hubungan yang erat, oleh karena antara

TINDAK PIDANA kejadian dan orang yang menimbulkan


kejadian itu ada hubungan erat pula. “
a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
sarjana tentang pengertian Tindak pidana dapat diancam pidana jika tidak karena
(strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H., kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
van het feit) dan dapat dipidananya orang
bagi barang siapa yang melanggar aturan
(strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu
tersebut.
memisahkan pengertian perbuatan pidana
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana
 Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh
(criminal responsibility). Pandangan ini disebut
suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pandangan dualistis yang sering dihadapkan
pidana.
dengan pandangan monistis yang tidak
 Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu
membedakan keduanya.
suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang),
b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
sedangkan ancaman pidana ditujukan
Dalam suatu peraturan perundang-undangan
kepada orang yang menimbulkan kejadian
pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.
itu.
33 34

Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana  Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan verband staand)
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)  Oleh orang yang mampu bertanggung
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa jawab (toerekeningsvatoaar person).
yang melanggar larangan tersebut”. Untuk
mengetahui adanya tindak pidana, maka pada Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif

umumnya dirumuskan dalam peraturan dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar

perundang-undangan pidana tentang perbuatan- feit).

perbuatan yang dilarang dan disertai dengan


Unsur Obyektif :
sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan
beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau  Perbuatan orang
sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas  Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak  Mungkin ada keadaan tertentu yang
dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal
perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka
ancaman pidana kalau dilanggar. umum”.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana
(strafbaar feit) adalah : Unsur Subyektif :

 Perbuatan manusia (positif atau negative,


 Orang yang mampu bertanggung jawab
berbuat atau tidak berbuat atau
 Adanya kesalahan (dollus atau culpa).
membiarkan).
Perbuatan harus dilakukan dengan
 Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
kesalahan.
 Melawan hukum (onrechtmatig)
35 36

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31
akibat dari perbuatan atau dengan keadaan Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
mana perbuatan itu dilakukan. tentang pegawai negeri yang menerima
Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur hadiah. Kalau yang menerima hadiah
perbuatan pidana : bukan pegawai negeri maka tidak
 Perbuatan (manusia) mungkin diterapka pasal tersebut
 Yang memenuhi rumusan dalam undang- b. Unsur obyektif atau non pribadi
undang (syarat formil) Yaitu mengenai keadaan di luar si
 Bersifat melawan hukum (syarat materiil) pembuat, misalnya pasal 160 KUHP
tentang penghasutan di muka umum
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno
(supaya melakukan perbuatan pidana
terdiri dari :
atau melakukan kekerasan terhadap
penguasa umum). Apabila penghasutan
1) Kelakuan dan akibat
tidak dilakukan di muka umum maka
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang
tidak mungkin diterapkan pasal ini
menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang
Yaitu mengenai diri orang yang
menentukan, memperingan atau memperberat
melakukan perbuatan, misalnya unsur
pidana yang dijatuhkan.
pegawai negeri yang diperlukan dalam
(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya
delik jabatan seperti dalam perkara
dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
Pasal 164 KUHP : barang siapa
jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3
mengetahui permufakatan jahat untuk
37 38

melakukan kejahatan tersebut pasal 104, kepadanya tanpa selayaknya


106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 menimbulkan bahaya bagi dirinya atau
bis, dan pada saat kejahatan masih bisa orang lain, diancam, jika kemudian orang
dicegah dengan sengaja tidak itu meninggal, dengan pidana kurungan
memberitahukannya kepada pejabat paling lama tiga bulan atau denda paling
kehakiman atau kepolisian atau kepada banyak tiga ratus rupiah.
yang terancam, diancam, apabila Keharusan memberi pertolongan pada
kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana orang yang sedang menghadapi bahaya
penjara paling lama satu tahun empat maut jika tidak memberi pertolongan,
bulan atau denda paling banyak tiga ratus orang tadi baru melakukan perbuatan
rupiah. pidana, kalau orang yang dalam keadaan
Kewajiban untuk melapor kepada yang bahaya tadi kemudian lalu meninggal
berwenang, apabila mengetahui akan dunia. Syarat tambahan tersebut tidak
terjadinya suatu kejahatan. Orang yang dipandang sebagai unsur delik (perbuatan
tidak melapor baru dapat dikatakan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
melakukan perbuatan pidana, jika (2) Keadaan tambahan yang memberatkan
kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. pidana
Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu Misalnya penganiayaan biasa pasal 351
adalah merupakan unsur tambahan. ayat (1) KUHP diancam dengan pidana
Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
menyaksikan bahwa ada orang yang Apabila penganiayaan tersebut
sedang menghadapi maut, tidak memberi menimbulkan luka berat; ancaman pidana
pertolongan yang dapat diberikan diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat
39 40

2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila
ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal tidak dicantumkan maka apabila perbuatan
351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati yang didakwakan dapat dibuktikan maka
adalah merupakan keadaan tambahan secara diam-diam unsure itu dianggap
yang memberatkan pidana ada.
(3) Unsur melawan hukum Unsur melawan hukum yang dinyatakan
Dalam perumusan delik unsur ini tidak sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362
selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu
Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan pengambilan barang orang lain dengan
secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat maksud untuk memilikinya secara
melawan hukum atau sifat pantang melawan hukum.
dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah
Pentingnya pemahaman terhadap
atau rumusan kata yang disebut. Misalnya
pengertian unsur-unsur tindak pidana.
pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau
Sekalipun permasalahan tentang
ancaman kekerasan memaksa seorang
“pengertian” unsur-unsur tindak pidana
wanita bersetubuh di luar perkawinan”.
bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini
Tanpa ditambahkan kata melawan hukum
sangat penting dan menentukan bagi
setiap orang mengerti bahwa memaksa
keberhasilan pembuktian perkara pidana.
dengan kekerasan atau ancaman
Pengertian unsur-unsur tindak pidana
kekerasan adalah pantang dilakukan atau
dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli)
sudah mengandung sifat melawan hukum.
ataupun dari yurisprudensi yan
Apabila dicantumkan maka jaksa harus
memberikan penafsiran terhadap rumusan
mencantumkan dalam dakwaannya dan
41 42

undang-undang yang semula tidak jelas 4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk
atau terjadi perubahan makna karena membuktikan unsur tindak pidana. Biasa
perkembangan jaman, akan diberikan terjadi bahwa suatu alat bukti hanya
pengertian dan penjelasan sehingga berguna untuk menentukan pembuktian
memudahkan aparat penegak hukum satu unsur tindak pidana, tidak seluruh
menerapkan peraturan hukum. unsur tindak pidana;
5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian
pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan
unsur-unsur tindak pidana adalah :
secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan
dalam pembuktian akan dapat
1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar
dipertanggungjawabkan secara obyektif
dengan jelas;
karena berlandaskan teori dan bersifat
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa
ilmiah;
yang menggambarkan uraian unsur tindak
6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian
pidana yang didakwakan sesuai dengan
penerapan fakta perbuatan kepada unsur-
pengertian / penafsiran yang dianut oleh
unsur tindak pidana yang didakwakan, atau
doktrin maupun yurisprudensi;
biasa diulas dalam analisa hukum, maka
3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan
pengertian-pengertian unsur tindak pidana
kepada saksi atau ahli atau terdakwa
yang dianut dalam doktrin atau
untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya
didakwakan;
karena ini menjadi dasar atau dalil untuk
berargumentasi.
43 44

1. Rechtdelicten
c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA Ialah yang perbuatan yang bertentangan
Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian dengan keadilan, terlepas apakah
jenis delik. perbuatan itu diancam pidana dalam
1. Kejahatan dan Pelanggaran suatu undang-undang atau tidak, jadi
Pembagian delik atas kejahatan dan yang benar-benar dirasakan oleh
pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. masyarakat sebagai bertentangan
KUHP buku ke II memuat delik-delik yang dengan keadilan misal : pembunuhan,
disebut : pelanggaran criterium apakah yang pencurian. Delik-delik semacam ini
dipergunakan untuk membedakan kedua jenis disebut “kejahatan” (mala perse).
delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban 2. Wetsdelicten
tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau Ialah perbuatan yang oleh umum baru
memasukkan dalam kelompok pertama disadari sebagai tindak pidana karena
kejahatan dan dalam kelompok kedua undang-undang menyebutnya sebagai
pelanggaran. delik, jadi karena ada undang-undang
Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara mengancamnya dengan pidana. Misal :
intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan memarkir mobil di sebelah kanan jalan
kedua jenis delik itu. (mala quia prohibita). Delik-delik
Ada dua pendapat : semacam ini disebut “pelanggaran”.
a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua Perbedaan secara kwalitatif ini tidak
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat dapat diterima, sebab ada kejahatan
kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 yang baru disadari sebagai delik karena
jenis delik, ialah : tercantum dalam undang-undang
45 46

pidana, jadi sebenarnya tidak segera misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384,
dirasakan sebagai bertentangan dengan 352, 302 (1), 315, 407.
rasa keadilan. Dan sebaliknya ada
“pelanggaran”, yang benar-benar 2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan
dirasakan bertentangan dengan rasa perumusan secara formil dan delik dengan
keadilan. Oleh karena perbedaan secara perumusan secara materiil)
demikian itu tidak memuaskan maka a. Delik formil itu adalah delik yang
dicari ukuran lain. perumusannya dititikberatkan kepada
b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua perbuatan yang dilarang. Delik tersebut
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat telah selesai dengan dilakukannya
kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan perbuatan seperti tercantum dalam
kriterium pada perbedaan yang dilihat dari rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal
segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu 160 KUHP), di muka umum menyatakan
lebih ringan dari pada “kejahatan”. perasaan kebencian, permusuhan atau
Mengenai pembagian delik dalam kejahatan penghinaan kepada salah satu atau lebih
dan pelanggaran itu terdapat suara-suara golongan rakyat di Indonesia (pasal 156
yang menentang. Seminar Hukum Nasional KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP);
1963 tersebut di atas juga berpendapat, sumpah palsu (pasal 242 KUHP);
bahwa penggolongan-penggolongan dalam pemalsuan surat (pasal 263 KUHP);
dua macam delik itu harus ditiadakan. pencurian (pasal 362 KUHP).
Kejahatan ringan : b. Delik materiil adalah delik yang
Dalam KUHP juga terdapat delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat
digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini
47 48

baru selesai apabila akibat yang tidak c. Delik commisionis per ommisionen
dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum commissa : delik yang berupa pelanggaan
maka paling banyak hanya ada percobaan. larangan (dus delik commissionis), akan
Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak
penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan berbuat. Misal : seorang ibu yang
(pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil membunuh anaknya dengan tidak memberi
dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362. air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang
penjaga wissel yang menyebabkan
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
delik commisionis per ommisionen memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
commissa
a. Delik commisionis : delik yang berupa 4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en
pelanggaran terhadap larangan, ialah culpose delicten)
berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, a. Delik dolus : delik yang memuat unsur
penggelapan, penipuan. kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197,
b. Delik ommisionis : delik yang berupa 245, 263, 310, 338 KUHP
pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan
melakukan sesuatu yang diperintahkan / sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,
yang diharuskan, misal : tidak menghadap 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359,
sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 360 KUHP.
522 KUHP), tidak menolong orang yang 5. Delik tunggal dan delik berangkai
memerlukan pertolongan (pasal 531 (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
KUHP).
49 50

a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal
dengan perbuatan satu kali. 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut
b. Delik berangkai : delik yang baru sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan
merupakan delik, apabila dilakukan pengaduan.
beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal
(penadahan sebagai kebiasaan) 367, disebut relatif karena dalam delik-delik
6. Delik yang berlangsung terus dan delik ini ada hubungan istimewa antara si
selesai (voordurende en aflopende delicten) pembuat dan orang yang terkena.
Delik yang berlangsung terus : delik yang Catatan : perlu dibedakan antara aduan den
mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam
berlangsung terus, misal : merampas acara perdata, misal : A menggugat B di muka
kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP). pengadilan, karena B tidak membayar
7. Delik aduan dan delik laporan hutangnya kepada A. Laporan hanya
(klachtdelicten en niet klacht delicten) pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.
dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak 8. Delik sederhana dan delik yang ada
yang terkena (gelaedeerde partij) misal : pemberatannya / peringannya (eenvoudige
penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) dan gequalificeerde / geprevisilierde
perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage delicten)
(pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. Delik yang ada pemberatannya, misal :
335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan penganiayaan yang menyebabkan luka berat
dibedakan menurut sifatnya, sebagai : atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3
KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb.
51 52

(pasal 363). Ada delik yang ancaman …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat
pidananya diperingan karena dilakukan dalam diartikan lain dari pada “orang”.
keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak- b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis
kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
“geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : pidana, yaitu :
penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian 1. pidana pokok :
(pasal 362 KUHP). a. pidana mati
9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak b. pidana penjara
pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi c. pidana kurungan
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu d. pidana denda, yang dapat diganti
terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun dengan pidana kurungan
1955, UU darurat tentang tindak pidana 2. pidana tambahan :
ekonomi. a. pencabutan hak-hak tertentu
b. perampasan barang-barang tertentu
c. dimumkannya keputusan hakim
d. SUBYEK TINDAK PIDANA Sifat dari pidana tersebut adalah
Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya
pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, hanya dapat dikenakan pada manusia.
pada dasarnya yang dapat melakukan tindak c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari
pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya
disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk
a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu
dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang adalah manusia.
53 54

d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang
kesengajaan dan kealpaan itu merupakan terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai
sikap dalam batin manusia. pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan
Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan
tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak perseroannya.
pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana
terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan
soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke (M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi :
arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah
pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia,
melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang
korporasi. Seorang anggota pengurus dapat diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi
membebaskan diri, apabila dapat membuktikan pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat
bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut ketentuan yang mengatur apabila suatu badan
campurnya. (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut
Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat
“pembalikan beban pembuktian” (omkering van bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau
bewijslast). dalam UU Darurat tentang pengusutan,
Dalam KUHP juga ada pasal lain yang penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi
kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana
subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan
pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide
55 56

bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan
pidana. tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam
hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan)
Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan …………. sebaiknya pembentuk undang-undang
ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal
dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu
menemukan sendiri penyelesaian untuk problem korporasi.
dalam materi baru ini”.

Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk


menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak
lebih luas dari pada biasanya dalam buku
pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum
kiranya akan menduduki tempat yang penting
dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai
penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan
kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.

Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa


menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan
tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang
korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat,
bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan
57 58

BAB IV Keadaan yang menentukan di sini adalah


terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT si A.


Oleh karenanya untuk dapat menuntut
(CAUSALITEIT, CAUSALITAT)
seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan
suatu perbuatan yang menyebabkan matinya
seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa
A. Kausalitas karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya
Didalam delik-delik yang dirumuskan secara A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu
materiil (selanjutnya disebut delik materiil), keadaan” dimana dapat berupa suatu
terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang pembahayaan atau perkosaan terhadap
dilarang dan merupakan unsur yang menentukan kepentingan hukum.
(essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan Hubungan sebab akibat
dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik
merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada
sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door
dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-
paling banyak ada percobaan. pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333
Misalnya : ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3,
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja 355 ayat 2 dan 3 KUHP.
merampas nyawa orang lain dihukum karena Persoalan kausalias ini terjadi karena
pembunuhan. kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi
sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa
59 60

persoalan ini tidak hanya terdapat dalam B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga B.1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau
dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum Bedingungstheorie atau teori condition sine qua
perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam non dari von Buri
hukum dagang misalnya dalam persoalan Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah
asuransi. sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab
Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan
ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat. lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif
Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat
beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat
menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut
(manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat
undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht
ditelusuri sampai ke sebab. hiin weggedacht warden kann dan seterusnya)
Akan tetapi sebenarnya tidak boleh tanpa menyebabkan berubahnya akibat.
dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa
terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting,
terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga
disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non merupakan sebab dari matinya A.
propter hoc). Teori ekivalensi ini memakai pengertian
“sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai
dalam logika. Dalam hubungan ini baik
61 62

dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan
John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : begitu seterusnya. Berhubungan dengan
Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang
adalah “the whole of antecedents” (1843). hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang
Van Hamel, seorang penganut teori akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari
ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum sekian faktor yang menimbulkan akibat itu
pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang
dan diatur oleh teori kesalahan yang harus faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-
diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini faktor yang irrelevant (yang tidak perlu / penting).
dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara Kebaikan teori ini : mudah diterapkan,
hubungan kausal dan pertanggung jawaban sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan,
pidana. dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali
Kritik / keberatan terhadap teori ini : dalam membatasi lingkungan berlakunya
hubungan kausal membentang ke belakang tanpa pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini
akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori
merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi lain.
sebelumnya.
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. B.2. Teori-teori Individualisasi
Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, Teori-teori ini memilih secara post actum
tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit
penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif
pembuatan pisau. dipilih sebab yang paling menentukan dari
peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya
63 64

hanya merupakan syarat belaka. Penganut- B.3. Teori-teori generalisasi


penganutnya tidak banyak antara lain : Teori-teori ini melihat secara ante factum
1. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara
adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang
die wirksamste Bedingung) pada umumnya dapat menimbulkan akibat
2. Binding. Teorinya disebut semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup
“Ubergewichtstheorie)” biasa, atau menurut perhitungan yang layak,
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini
adalah identik dengan perubahan dalam dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat
keseimbangan antara faktor yang menahan yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat
(negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori
yang positif itu lebih unggul. Yang disebut adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie).
“sebab” adalah syarat-syarat positif dalam Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya
keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot hubungan sebab akibat yang adequat :
yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya
negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau dapat mengakibatkan hidung keluar darah.
syarat terakhir yang menghilangkan Akan tetapi apabila orang yang pukul itu
keseimbangan dan memenangkan faktor menjadi buta itu bukan akibat yang adequate.
positif itu. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak
biasa.
b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa
mengerem sekonyong-konyong, oleh karena
ada pengendara sepeda hendak menyebrang
65 66

jalan yang membelok, sedang ini tidak Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini
disangka-sangka oleh pengendara mobil. ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu
Pengendara mobil ini mendapat penyakit sebab itu pada umumnya cocok untuk
trauma karena menekan urat. Dianipun dapat menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini
dikatakan bahwa perbuatan pengendara ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
sepeda itu tidak merupakan penyebab yang 1. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche
adequate untuk timbulnya penyakit trauma Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah
tersebut. apa yang oleh sipembuat dapat diketahui /
c. Seorang petani membakar tumpukan rumput diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu
kering (hooi), dimana secara kebetulan pada umumnya dapat menimbulkan akibat
bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau
ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang pengetahuan si pembuatlah yang
adequate ? Jawabannya tergantung dari menentukan).
keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman 2. Penentuan obyektif.
sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu
maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau
Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan hal-hal yang secara obyektif kemudian
kebiasaan orang untuk bersembunyi atau diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi
menginap dalam tumpukan rumput, maka bukan yang diketahui atau yang dapat
perbuatan petani itu benar-benar mempunyai diketahui oleh sipembuat, melainkan
kadar untuk matinya seseorang. pengetahuan dari hakim.
67 68

Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini mati. Pada waktu hujan yang disertai
disebut “objektive nachtragliche Prognose” petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke
(Rumelin). suatu tempat dengan harapan agar
orang itu disambar petir. Harapan itu
Sebenarnya dalam teori kausal adequat terkabul dan pekerjanya itu mati
subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur disambar petir.
penentuan tentang kesalahan); oleh karena itu Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya
dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka
dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya
murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih
sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat memuaskan apabila dipakai teori adequate.
dapat mengira-ngirakan atau membayangkan Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke
(voor zien) akan terjadinya akibat atau kalau orang tempat lain pada umumnya tidak mempunyai
umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; kadar untuk kematian seseorang karena disambar
jadi sipembuat dapat membayangkan dan petir. Penyambaran petir adalah hal yang
seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan
dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan.
maka ia juga menentukan pertanggunganjawab Beberapa penganut teori adequat yang lain :
(pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti 1. Simons :
yang sesungguhnya. Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat
Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci disebut sebagai sebab dari suatu akibat,
pekerjanya, tetapi tidak berani apabila menuntut pengalaman manusia pada
melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu umumnya harus diperhitungkan kemungkinan,
69 70

bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada
akibat itu”. sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup
2. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47) memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu
berpendirian senada dengan Simons. Beliau merupakan sebab dari sesuatu akibat yang
katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan dimaksudkan dalam rumusan delik yang
hukum itu terdiri atas persangkaan, bersangkutan.
(presumptie), bahwa alur peristiwa di dunia ini Mengenai teori adequat dari von Kries, itu
ada biasa dan normal. Ini kesimpulan dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai
pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu
pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan
hal ikhwal yang berada dan menurut hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang
pengalaman kita, dengan kadarnya memadai membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut
sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap
suatu sebab”. perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan
3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan- kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat
perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan
mempunyai strekking untuk menimbulkan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam
akibat yang bersangkutan. kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak
terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman
Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas manusia pada umumnya dan sebagainya.
tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang
teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu,
suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat
71 72

dengan nyata teori mana yang dipakai. boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena
Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada
tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan hubungan kausal yang langsung.
pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember
bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari
hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk 1937.
en rechtsreeks) Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang
a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (. pengemudi mobil yang sembrono dari tempat
147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi
motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai
rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena
Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh antara perbuatan terdakwa dan terjadinya
kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang
akibat langsung dan segera dari penabrakan langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan
sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang
dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si sebagai suatu syarat dan bukan sebab.
terdakwa (pengendara mobil). d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei
b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas
berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya. tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh
Anak tersebut menabrak orang. Disini memang terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan
perbuatan si ayah dapat disebut syarat 7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa
(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-
73 74

barang angkutan dalam kapal in casu tidak a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa
mempedulikan peringatan-peringatan dari menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan
berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang
pada waktu kapal akan berangkat. berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak
Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini
perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat” tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan
dengan “kecelakaan itu”. alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu
pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana
C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat ini).
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang
dan dalam delik comisionis per ommisionem positif yang dilakukan oleh sipembuat pada
commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang
Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi
dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik susu, yang disebut sebagai sebab ialah
omissi persoalannya mudah, karena delik omissi “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia
itu adalah delik formil, sehingga tidak ada tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko.
persoalan tentang kausalitas. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori
Yang ada persoalan ialah pada delik inipun tidak dapat diterima, karena kepergian
commisionis per omission commissa. Pada delik ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan
ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak dengan akibat itu.
berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan
pendirian : yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini
disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal
75 76

seorang penjaga wesel yang menyebabkan Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober


kecelakaan kereta api karena tidak 1883): tidak, tetapi memang sikap
memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang semacam itu sangat tercela (laakbaar)
menjadi sebab ialah apa yang dilakukan dan tidak patut.
penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan, 2) Seorang penjaga gudang membiarkan
sebab sulit dilihat hubungannya antara pencuri melakukan aksinya, ia dapat
penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul. dipertanggungjawabkan, sebab sebagai
d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan penjaga ia berkewajiban untuk menjaga
sebab dari sesuatu akibat, apabila ia dan berbuat sesuatu.
mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal
Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi,
yang nyata-nyata tertulis dalam suatu bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari
peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga
yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis
berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di per omissionem commissa (delik omissi yang tidak
bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak
kewajiban berbuat atau tidak : berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat
1) Ada anak yang dibunuh; orang tuanya sesuatu”, yang diharapkan untuk
mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini
apa-apa. Apakah orang tua bertanggung hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan
jawab sebagai ikut berbuat dalam “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat
pembunuhan ? untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut
teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit,
77 78

dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya BAB IV


akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal SIFAT MELAWAN HUKUM
hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif
(yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan (Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk,
syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari
Onrechmatig)
persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab
pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah
yang menyangkut orangnya.
A. Istilah dan Pengertian

KUHP memakai istilah bermacam-macam :

a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”,


(wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1),
522;
b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai
hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa izin”
(zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan
melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa
mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh
peraturan umum” (pasal 429).
79 80

Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam
unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut
sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang- “tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti
undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana
dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand
berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male,
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu, ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.
mungkin dipidana pula.
Pengecualian atas tasbestand mer male,
Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi
pendirian: rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak
senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin
1. bertentangan dengan hukum (Simons)
ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya
2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang
perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan
lain (Noyon)
perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :
3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak
perlu bertentangan dengan hukum (H.R). 1) regu penembak, yang menembak mati seorang
terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati,
Salah satu unsur dari tindak pidana adalah
memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338
unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan
KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum.
suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan
2) Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah
bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu
melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan
perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang
melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP,
akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam
81 82

karena ia melaksanakan undang-undang (terdapat Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama


dalam peraturan hukum acara pidana) sehingga dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut
tidak ada unsur melawan hukum. hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan
pelanggaran adat ini, maka Mamak dari
Di dalam kedua contoh tersebut hal yang
perempuan ini bersama-sama dengan orang lain
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan
mendatangi orang tersebut untuk dimintai
terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam
pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki
kasus :
itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu
tidak mau membuka pintu rumahnya pintu
- seorang ayah memukul seorang pemuda yang
didobrak.
memperkosa anak-anaknya
- seorang menembak mati temannya atas
Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak
permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan
cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman
tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter,
rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara
karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan
dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan
- seorang bioloog membedah binatang-binatang
(vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah. - Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933

Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan
hukumnya perbuatan. Contoh lain yang sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke
mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah : dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah
sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan
- Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936
sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan
itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik
83 84

tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak, Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum
ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam
Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana
keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan.
membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua
Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan
sudut pandang yaitu :
pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan
untuk kepentingan peternakan. Putusan
1. menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil
Mahkamah Agung Belanda : Pasal 82 Undang-
undang ternak tidak dapat diterapkan kepada suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum,
dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain : apabila perbuatan diancam pidana dan
“tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-
melakukan perbuatan yang diancam pidana itu undang; sedang sifat melawan hukumnya
mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan
tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut
alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan
dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum atau bertentangan dengan undang-undang
tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan (hukum tertulis).
meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena
Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa
dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan
suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam
ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal
sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat
yang bersangkutan tidak berlaku terhadap
melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat
perbuatan yang secara letterlijk memenuhi
melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di
rumusan delik”.
dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu
85 86

pengecualian berlakunya ketentuan / larangan itu. menganut ajaran sifat melawan hukum yang
Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum meteriil ialah :
tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga
a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan
alasan yang disebut dalam undang-undang tidak
terhadap kepentingan hukum hanyalah
boleh diartikan lain daripada secara limitatief.
bersifat melawan hukum materiil (materiel
2. menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan
dengan tujuan ketertiban hukum (den
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak,
Zwecken der das Zusammenleben regelnden
tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang
Recht sordnung widerspricht); kalau tidak
(yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat
bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak
berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis.
bersifat melawan hukum.
Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-
b) Zu Dohna mengatakan :
nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus
berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber perbuatan itu merupakan upaya yang haq
gezetzlich). untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum
techten zwecke). Contohnya ialah seorang
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama
yang memukulpemuda yang memperkosa
dengan bertentangan dengan undang-undang
anak perempuannya. Di sini menurut Zu
(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan
Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat
hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan
melawan hukum.
sebagainya sebagaimana para sarjana yang
c) M.E. Mayer mengatakan :
87 88

Perbuatan itu melawan hukum materiil atau dengan itu menurut hemat saya (mer van
tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan
(kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan
bertentangan dengan kulturnorm yang diakui telah dipecahkan persoalan mer azas-azas
oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai yang boleh dikatakan benar dalam ajaran
dengan kulturnorm itu maka sifat melawan “penentuan hukum” dewasa ini (in de
hukumnya hapus. hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist).

d) Zevenbergen Persaksian terhadap sifat melawan hukum


yang materiil itu harus dilakukan secara hati-
Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum,
hati, dan istimewa hakim harus membuka diri
obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya
pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal
ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan
abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak
delik dalam undang-undang, tetapi mengenai
melanggar hukum berdasarkan petunjuk
hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian
eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah
yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh
ajaran yang mempelajari perbaikan ras /
ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan
keturunan).
mengenai sifat melawan hukum maka tidak
boleh ada penjatuhan pidana. Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya
perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi
e) Van Hattum
rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi
bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan
Dengan adanya keputusan Hoge Raad
tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya
tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :
89 90

alat pembenar (rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang dapat menghapuskan kekuatan berlakunya
formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan peraturan yang tertulis dsb.
hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan
melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang
dan luar hukum yang tertulis. tertulis, yang dibuat dengan sah.

Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-
perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari
mempertimbangkan : keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar
mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat
a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-
yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata,
betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat
dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang
menangkap apa yang sedang terjadi dalam
dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang
masyarakat, agar supaya putusannya tidak
adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa,
kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh
juga dipandang adil / benar oleh seluruh
kepribadiannya harus bertanggung jawab atas
masyarakat pada umumnya.
kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun
b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang
secara materiil.
tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-
91 92

Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas
itu perlu dibedakan : menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya
- dalam fungsinya yang negatif
yang negatif. Ini adalah konsekwensi dari
diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional
Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam
nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang
fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan
ini dimana juga masih tercantum azas seperti
adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang
tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang
melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi
mengakui azas nullum delictum dalam arti yang
rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai
sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat
alasan penghapus sifat melawan hukum.
melawan hukum yang materiil dalam fungsinya
- dalam fungsinya yang positif yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan
bahwa B telah membunuh C kakak dari A.
Pengertian sifat melawan hukum yang materiil
Memang di daerah yang bersangkutan ada
dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu
anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur
perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun
dengan nyawa.
tidak nyata diancam dengan pidana dalam
undang-undang, apabila bertentangan dengan B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum
hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar
Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan
undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak
delik :
tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

1. ada yang tercantum dengan tegas, maka dalam


hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan
93 94

2. ada pula yang tidak tercantum. Terhadap delik- dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang
delik semacam itu ada perbedaan paham : menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.

a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur
mempunyai fungsi yang positif untuk sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak
sesuatu delik (artinya ada delik kalau dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu
perbuatan itu bersifat melawan hukum), tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel (acara
maka harus dibuktikan. Sifat melawan pemeriksaan perkara) sifat itu harus dibebankan
hukum disini sebagai unsur konstitutif. pembuktiannya kepada penuntut umum. Beliau setuju,
b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap
mempunyai fungsi yang negatif (artinya : dengan diam-diam ada, kecuali jika dibuktikan
tidak ada unsur sifat melawan hukum pada sebaliknya oleh terdakwa, karena pada umumnya
perbuatan merupakan pengecualian untuk dengan mencocoki rumusan undang-undang sifat
adanya suatu delik), maka tidak perlu melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata pula.
dibuktikan. Hazewinkel-Suringa memandang sifat melawan
hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana.
Yang menganggap sifat melawan hukum itu
mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur C. Putatif Delik
konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang
Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini
menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi
ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini
yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons,
terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict,
“ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana
padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu
pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan
95 96

delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan BAB V


hukum.

KESALAHAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab

(Zurechnungsfahigkeit –
Toerekeningsvatbaarheid)

Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung-


jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu
bertanggung jawab.

Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-


jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya
kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak
memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana
Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan
bertanggung jawab”.
97 98

Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung-
diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan
yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya hidupnya dengan cara yang patut.
pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari
Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga
orangnya”.
kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah
Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu seseorang itu dikatakan “dapat mempertahankan
bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila : hidupnya dengan cara yang patut” ?

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan)
bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum secara negative menyebutkan mengenai kemampuan
b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan bertanggung jawab itu, antara lain demikian :
kesadaran tersebut.
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku
Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah :
suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan
a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih
(kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :
antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa
a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-
perbuatannya sendiri undang.
b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang
menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan sedemikian rupa, sehingga tidak dapat
c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
perbuatannya-perbuatannya itu
99 100

dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat 2. Kesalahan


perbuatannya. 2.1. Pengertian Kesalahan

Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan
untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam membuktikan bahwa orang itu telah melakukan
praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya
mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan
jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk tidak dibenarkan (an objective breach of a penal
menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat
perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat
berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu. dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu
adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan
Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu
itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm-
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
adressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika
terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu
dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat
bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam
pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana).
hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA
KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen
straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa”
disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).
101 102

Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana
atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat
tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang
dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht,
pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6 artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya
ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 kesalahan pada si pelaku.
/ 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam
pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur
pembuktian yang sah menurut undang-undang,
kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di
mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap
Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
(asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau
yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu,
disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil
sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang,
will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt
dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing salah,
melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent
seleh” (yang bersalah pasti salah). Untuk adany
(kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan).
pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas
“tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di
2.2. Dasar Pemikiran
atas mempunyai sejarahnya sendiri.
Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan
Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat
sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat
pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan
dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada
kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht
pemikiran tentang hubungan antara perbuatan
atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang
dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan
103 104

antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun
adanya kesalahan ada 3 pendapat dari : diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu
tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak
a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan
pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
indeterminisme, yang pada dasarnya
perbuatannya.
berpendapat, bahwa manusia mempunyai
kehendak bebas (free will) dan ini merupakan Justru karena tidak adanya kebebasan
sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab
ada kebebasan kehendak maka tidak ada dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi
kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan, terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa
maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada tindakan (maatregel) untuk ketertiban
pemidanaan. masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti
b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh
determinisme mengatakan, bahwa manusia si pelaku.
tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan
c. Dalam pandangan ketiga melihat bahwa ada dan
kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak
tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk
(dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam
hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant).
hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-
Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan
motif ialah perangsang-perangsang yang datang
ada dan tidak adanya kehendak bebas
dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan
watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang,
1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
tidak dapat dicela atas perbuatannya atau
dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia
105 106

Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah dalam suatu delik merupakan pengertian
ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si
penulis. pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena
perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan
a. MEZGER mengatakan : kesalahan adalah
jawab dalam hukum (Schuld is de verant
keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk
woordelijkheid rechtens)”.
adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku
d. VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian
tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder
kesalahan yang paling luas memuat semua unsur
Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen
dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan
personlichen Verwurf gegen den Tater
menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang
begrunden).
melawan hukum, meliputi semua hal, yang
b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai
bersifat psychisch yang terdapat dapat
pengertian yang “sociaal ethisch” dan
keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk
mengatakan antara lain :
si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat
complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en
“Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab
deswege een strafbare dader).
dalam hukum pidana ia berupa keadaan
e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa”
psychisch dari si pelaku dan hubungannya
mengatakan : “Pengertian salah dosa
terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa
mengandung celaan. Celaan ini menjadi
berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu
dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum
perbuatannya dapat dicelakakan kepada si
pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa
pelaku”.
berada, jika perbuatan dapat dan patut
107 108

dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh Dari pengertian-pengertian kesalahan dari


dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan
mengandung perlawanan hak; perbuatan itu dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut :
harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun
- Pengertian kesalahan yang normatif
dengan salah”.
f. POMPE mengatakan antara lain : “Pada
Pandangan yang normatif tentang kesalahan
pelanggaran norma yang dilakukan karena
ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu
berdasar sikap batin atau hubungan batin antara
merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan
pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu
hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya,
harus ada unsur penilaian atau unsur normatif
yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah
terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya
kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch.
penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara
Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang
sipelaku dengan perbuatannya.
sebagai hubungan psychologis (batin) antara
pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin “Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan
tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan, dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat
pada kesengajaan hubungan batin itu berupa dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya
menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan
pada kealpaan tidak ada kehendak demikian. bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat
Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif) dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala
keadaan batin berupa kehendak terhadap orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka
perbuatan atau akibat perbuatan. yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang
109 110

memberi penilaian pada instansi terakhir adalah pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan
hakim. tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan
sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat
Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku
dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya
ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap
pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan
diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur
berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische
dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban
schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti
pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian
dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk
mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan
adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan
bertanggungjawab dan tidak adanya alasan
ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat,
penghapus kesalahan.
bahwa “das Recht ist das ethische Minimum”. Setidak-
tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati
1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut : hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup
bersama.
a. menurut akibatnya ia ada hal yang dapat
dicelakakan (verwijtbaarheid) 1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana
b. menurut hakekatnya ia adalah hal dapat
Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian
dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang
yaitu :
melawan hukum

a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang


Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah
dapat disamakan dengan pengertian
dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur
“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di
111 112

dalamnya terkandung makna dapat dicelanya 2. Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang
(verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi seluas-luasnya)
apabila dikatakan, bahwa orang bersalah
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan
melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti
dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi :
bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
b. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan
a. adanya kemampuan bertanggungjawab pada
(sculdvorm) yang berupa :
sipelaku (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa
1. kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau
sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah
intention) atau
orang tertentu menjadi “normadressat” yang
2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid,
mampu.
fahrlassigkeit atau negligence).
b. hubungan batin antara sipelaku dengan
c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus)
(culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas. atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk
Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin
sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah seseorang pelaku terhadap perbuatannya.
“kealpaan”. c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan
atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang
Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti
disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan
luas) sebagai dapat dicelanya si pelaku atas
bahwa ada keadaan yang mempengaruhi sipelaku
perbuatannya, maka berubahlah pengertian
sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan
kesalahan yang psychologis menjadi pengertian
kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).
113 114

adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa
(ps. 49 KUHP) menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat
pemidaan ialah adanya :
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang
bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau 1. dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van
mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga het feit)
bisa dipidana. 2. dapat dipidananya orangnya atau pelakunya
(strafbaarheid van de persoon).
Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungan jawab pidana) orang yang
bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu
bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.

Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak


melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk
menerapkan kesalahan sipelaku.

Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan


yang melawan hukum tidak dengan sendirinya
mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan
sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.
115 116

BAB VI mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan


itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu

KESENGAJAAN kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan


perbuatannya.

(DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)


1. Teori-teori Kesengajaan

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat


dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan
Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-
mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum
luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan
pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:
batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang
dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa
a. Teori kehendak (wilstheorie)
berupa kesengajaan atau kealpaan.
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan
tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui
undang-undang (Simons, Zevenbergen)
arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van
Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) b. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling-
sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en theorie)
wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa
Sengaja berarti membayangkan akan akibat
sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang
timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa
dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu
membayangkannya. Teori ini menitikberatkan
117 118

pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia eventualis atau voorwaardelijk-opzet)
akan berbuat. (Frank).
Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk
Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan
teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang
bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak
berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan
adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya beserta akibatnya.
saja.
Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B
2. Bentuk Kesengajaan agar B tidak membohong.

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan
dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang
batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel
kesengajaan sebagai berikut : dsb.

a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor
untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus kausa yang menghubungkan perbuatan dengan
directus akibat (kausalitas) dimana :
b. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met
1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat
zekerheidsbewustzijn atau
merupakan delik tersendiri atau tidak.
noodzakkelijkheidbewustzijn
119 120

2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan Contoh 2 :


suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no.
A hendak membalas dendam B yang bertempat
1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.
tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun
Contoh 1 : dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa
ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga
A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B
akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya,
duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan
meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap
terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik
mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan
restoran itu.
dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam
batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan
Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan
baginya.
tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406
KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan
Jadi dalam kasus ini :
kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya
tujuan. Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B
dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan
Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula
terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)
merupakan diperkirakan sipelaku sebagai
kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar Contoh 3 :
terjadi merupakan resiko yang harus diemban
Seorang yang melakukan penggelapan, merasa
sipelaku.
bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin
menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak
121 122

membunuh dirinya dengan merencanakan sustu 3. Dolus Eventualis


kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana
dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang.
sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki
Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi
suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana,
(1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya.
akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat
Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka. mengelak dari suatu keadaan tertentu.
Beberapa penumpang bis mengalami luka dan
Contoh:
seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa.
R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan
oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding
lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat
menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan
sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila
penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain
ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa
sebagai berikut:
menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil
tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya
Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang-
itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada
penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini
kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh,
ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan
meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia
perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang
mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki
mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers,
hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan
ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie)
kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia
pada R.v.J di Semarang.
mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima
123 124

apa boleh buat kemungkinan itu, dengan Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam
melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya. batin si – pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih
baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu
Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan
yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori
bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan
itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In
perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah
Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen
menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar
theorie”).
kemungkinan (dolus eventualis) ?
Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie
Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku
“atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan batin si
menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih
pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai
menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun
berikut:
nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari
pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia
juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan benci atau takut akan kemungkinan timbulnya
itu. akibat itu
b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya,
Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui /
namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa
membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat
boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia
yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak
berani memikul resiko.”
mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat
dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada
akibat yang mungkin terjadi itu.
125 126

Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu
Menteri Modderman mengatakan, bahwa benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat
“voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada, secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain,
apabila kehendak kita langsung ditujukan pada lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu
kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui orang ini berbuat.
bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun
Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan
kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan
batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran.
terjadinya hal yang telah kita ketahui itu.
Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam
tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya
dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan kesengajaan itu.
sadar kemungkinan.
Contoh Van Bemmelen:
Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang
A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2
kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat
meter.
bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat
perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan
Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai
dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap
kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap
perbuatannya.
akan menentukan adanya kesengajaan tersebut,
kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang
Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan
sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi
kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah
mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap
127 128

atau bahwa matinya B itu disebabkan karena dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen,
kekhilafan dari A. yang mengatakan (dalam bukunya leerboek van
het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman
Dalam hal ini diragukan adanya kesenjajaan,
169), bahwa: Kesengajaan senantiasa ada
sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat
hubungannya dengan dolus molus, dengan
berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan
perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul
tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini berhubungan
adanya kesadaran mengenai sifat melawan
dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan
hukumnya perbuatan.” Untuk adanya
itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu
kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada
dilarang (bersifat melawan hukum) ?
sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya
dilarang dan/atau dapat dipidana
Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang
b. Kesengajaan tidak berwarna
mengatakan bahwa:

Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak


a. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan
berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya
melakukan sesuatu perbuatan mencakup
kesengajaan cukuplah bahwa sipelaku itu
pengetahuan sipelaku bahwa perbuatanya
menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak
melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan
perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat
antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan
melawan hukum.
hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja
disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk
Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan
berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian
sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa
yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu
bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya
129 130

perbuatannya itu dilarang atau bertentangan kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi
dengan hukum. termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku
harus sadar bahwa perbuatan itu keliru.
Penganut-penganutnya antara lain : Simons,
Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu,
“boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian : meskipun pada kenyataannya ia melakukan
perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia
“Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu
tidak dapat dipidana.
apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia
melakukan suatu perbuatan yang menurut tata 4. Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP
susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid) ?
M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara
Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau
lain, bahwa “unsur-unsur delik yang terletak
perlukah adanya “kesengajaanj jahat” (boos opzet)
dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja)
?
dikuasai atau diliputi olehnya”.
Jawabnya tidak akan lain dari pada itu.
Oleh karena itu pembentuk undang-undang
Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan
itu berwarna ialah akan merupakan beban yan “opzettelijk” itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan
berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua
adanya kesengajaan, tiap kali ia harus pasal tersebut). Unsur yang terletak di muka
membuktikan bahwa pada terdakwa ada perkataan “opzettelijk” disebut “diobjektip-kan”
kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya (geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan
perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahwa kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa
131 132

kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut, perlu mengikuti KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks
seperti halnya ps. 152. Lihat ps. 303 KUHP. terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis
Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana
apa saja ? Pecahkanlah sendiri ! hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah
teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran
Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak
pada teks tersebut.
berlaku untuk semua delik. Ada pengecualiannya.
Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan, Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met
yang disebut di belakang perkataan sengaja, het oogmerk om ........ (dengan tujuan untuk),
diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa misalnya pada delik pencurian (ps. 362), pemalsuan
kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal tersebut surat (ps. 263), ialah yang disebut “Tendenz-delikte”
yang diobjektipkan, artinya yang tidak perlu atau Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur
ditanyakan apakah sipelaku mengetahui atau tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan
menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya unsur melawan hukum subjektif. Unsur ini
umum atau bahaya maut tersebut”. memberi.sifat atau arah dari perbuatan yang
dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Demikianlah teknik perundang-undangan yang
diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met
masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam het oogmerk om..............(dengan tujuan untuk.........),
teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks misalnya dalam delik pencurian (pasal 362),
resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang disebut
karena itu teknik perundang-undangan dalam “Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat
menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan,
133 134

melainkan unsur melawan hukum yang subjektif. pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan
Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat
dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan. dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te
goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam keadaan
4.1. Kata “dan”
tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang,
maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan
Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan
yang bisa membebaskan.
sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan:

Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig


- Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan
goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe
hukum (wederrechtelijk)
hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of
- Sengaja melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa
wegmaakt, wordt.....................
kata dan
- Meyisipkan kata “dan” diantara perkataan
Dalam rumusan (dalam bahasa Belanda) yang
“sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi
demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan
merumuskan sebagai “sengaja dan melawan
hukumnya perbuatan juga harus diliputi oleh
hukum” (opzettelijk en wederrechtelijk).
kesengajaan. Mengenai hal ini terdapat tiga
pandangan:
Contoh:

a. Perkataan “en” (dan) menunjukkan kedudukan


Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk
yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu
van devrijhiid berooft of berooft houdt..............
ditujukan kepada sifat melawan hukumnya
Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan
melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain
135 136

hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu melawan hukum “sebagai” sengaja melawan
bahwa perbuatannya melawan hukum. hukum. Jadi meskipun ada perkataan dan,
kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada
Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang
melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan
mendapat perintah dari pemilik rumah untuk
asas, bahwa semua unsur yang terletak di
membongkar rumahnya, tetapi sebelum
belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya.
melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui
Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut
olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja
di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia
membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan
sama sekali tidak mengetahui sifat melawan
dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana.
hukumya perbuatan yang ia lakukan.

b. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya.


Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat
yang pertama, sedang Vos, Zevenbergen,
Semua delik yang menurut unsur “sengaja
Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge
melawan hukum” dapat dibaca “sengaja dan
Raad mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl.
melawan hukum”, yang berarti dua hal yang
21 Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara
terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain,
unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada
meskipun tidak ada perkataan “en” (dan) tersebut :
perkataan “en”, maka unsur melawan hukum tidak
Dalam hukum, pendapat ini diragukan.
diliputi oleh kesengajaan.
c. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya
Bagi Prof. Muljatno perkataan “dan” diantara
Berbeda dengan pendapat ke 2 tersebut, perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”
pendapat ini justru mengartikan sengaja dan tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu
137 138

harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika
tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan melakukan tindak pidana tersebut, memikirkan
hukum. secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan
ia lakukan.
5. Kesengajaan Menurut Doktrin
b. dolus determinatus dan indeterminatus
Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam
kesengajaan : Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan
dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus
a. dolus premeditatus
determinatus, pelaku misalnya menghendaki
matinya orang tertentu, sedang pada dolus
Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang
indeterminatus pelaku misalnya menembak ke
mensyaratkan unsur “dengan rencana lebih
arah gerombolan orang atau menembak
dahulu” (met voorbedachte rade) sebagai unsur
penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak
yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam
mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air
delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340,
minum, dan sebagainya.
342 KUHP.

c. dolus alternativus
Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya
“kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau
Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau
tingkat kesengajaan. Menurut M.v.T. untuk
B, akibat yang satu atau yang lain
“voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan
dengan tenang” (een tijdstip van kalm overleg, van
bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan “ada
139 140

d. dolus indirectus, Versari in re illicita dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya.


Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana,
Ajaran tentang “dolus indirectus” mengatakan,
meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama
bahwa semua akibat dari perbuatan yang
sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di
disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau
Inggris dan Spanyol pengertian dolus indirectus
tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang
adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus
ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan
eventualis”.
tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang.
Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal e. dolus directus
Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu
Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak
perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan
hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan
sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan.
juga kepada akibat perbuatannya.
Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh
dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang
f. dolus generalis
sebagai “meutre”. Hazewinkel-Suringa
menganggap hal ini sebagai suatu pengertian Pada delik materiil harus ada hubungan kausal
yang tidak baik. antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak
dikehendaki undang-undang.
Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang
kepada ajaran kuno (hukum kanonik) tentang Misalkan seseorang yang bermaksud untuk
pertanggung-jawab, ialah versari in re membunuh orang lain, telah melakukan
illicita.menurut ajaran ini seseorang yang serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan
melakukan perbuatan terlarang juga kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut
141 142

otopsi (pemeriksaan mayat) matinya orang ini dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak
disebabkan karena tenggelam, jadi pada waktu tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku,
dilempar ke air ia belum mati. namun karena akibat yang dikenhendaki telah
terjadi, maka disini menurut von Hippel ada
Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis,
pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von
ialah harapan dari terdakwa secara umum agar
Hippel ada pembunuhan yang direncanakan.
orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah
Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat
tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini.
H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.
Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut
secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama
(mencekik) dikualifikasikan sebagai “percobaan
pembunuhan”, sedang perbuatan kedua
(melempar ke kali) merupakan perbuatan yang
terletak / di luar lapangan hukum pidana atau
“menyebabkan matinya orang karena
kealpaannya”.

Contoh :

Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari


bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan
harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan
tetapi air pasangnya tidak setinggi yang
diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan
143 144

BAB VII menyebabkan hilangnya dan


sebagainnya barang yang disita

KEALPAAN (CULPA) Pasal 359 : Karena kealpaannya menyebabkan


matinya orang
Pasal 360 : Karena kealpaannya menyebabkan
orang luka berat dsb.
(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID,
Pasal 409 : Karena kealpaannya menyebabkan
RECKLESSNESS,NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT,
alat-alat perlengkapan (jalan api dsb)
SEMBRONO, TELEDOR).
hancur dsb.

Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula


Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada
sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam
umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk
beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia
kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang
sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau
sedemikian membahayakan keamanan orang atau
kurang penduga-duga.
barang, atau mendatangkan kerugian terhadap
seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang
diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak
memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa
terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono
(culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam
(teledor), pendek kata “ schuld” (kealpaan yang
:
menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de
Pasal 188 : Karena kealpaannya menimbulkan algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in
peletusan, kebakaran dst gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel
Pasal 231 (4) : Karena kealpaannya sipenyimpan bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de
145 146

onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in


een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer
b. Van hamel
gaan”)

Kealpaan mengandung dua syarat:


1. Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)

1. tidak mengadakan penduga-duga


Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan
sebagaimana diharuskan oleh hukum.
benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan
2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana
hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan
diharuskan oleh hukum.
merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada
kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang
ringan.
c. Simons:
Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk
adanya kealpaan: Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua
unsur :
a. Hazenwinkel – Suringa
1. Tidak adanya penghati-hati, di samping
Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden
2. dapat diduganya akibat
mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:
d. Pompe.
1. kekurangan penduga – duga atau
Ada 3 macam yang masuk kealpaan
2. kekurangan penghati-hati.
(anachtzaamheid):
147 148

1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya a. “Orang pada umunya” ini berarti bahwa tidak
akibat boleh orang yang paling cermat, paling hati-
2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der hati, paling ahli dan sebagainya.
mogelijkheid) b. Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus
3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus
kennen van de mogelijkheid) memegang ukuran normatif dari kealpaan itu
adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan
seseorang untuk melakukan sesuatu atau
untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya,
Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui
dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan
atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga
bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya
kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya
bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri
(=untuk tidak melakukan perbuatan).
harus didahulukan”.
Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara
Apabila seorang pengendara dalam hal ini
normatif, dan tidak secara fisik atau psychis.
berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang
Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin
diatur itu, maka apabila perbuatannya itu
seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka
mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain
haruslah ditetapkan dari luar bagaimana
luka berat, maka ia dapat dikatakan karena
seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran
kealpaannya mengakibatkan orang lain
sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam
(Pasal. 360 (1) K.U.H.P)
situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
149 150

Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, 2. Bentuk kealpaan


bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan
Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara
hukum telah tersimpul di dalam culpa itu
sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak
sendiri.
berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat
Ia menyatakan antara lain “Memang culpa dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu
tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku,
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
namun culpa menunjukkan kepada tidak
patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang
tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah
dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia
mungkin perbuatan itu perbuatan yang
percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya
abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.
tidak akan terjadi

Dalam delik culpoos tidak mungkin


b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
diajukan alasan pembenar (rechtvaar
digingsgrond). Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang
tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya
c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya
sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat
kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi
menduga sebelumnya.
harus culpa lata dan bukanya culpa levis
(kealpaan yang sangat ringan). Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang
disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang
tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan
kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
151 152

sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan
“kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang penerbit).
mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada
Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”.
Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya.
Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah
Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan
“diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan
suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan
“sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga
feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus
bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau
dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi
kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada
tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
salah satu unsur dari delik itu.

3. Delik “pro parte dolus pro parte culpa”


- Pada delik penadahan ditujukan kepada hal
“bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari
Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188,
kejahatan”.
409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang
- Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal
sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di
288) ditujukan kepada “umur-wanita belum lima
dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan
belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata,
kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama.
bahwa belum mampu dikawin”.
Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik
- Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “
yang salah satu unsurnya diculpakan.
belum cukup umur dari orang yang sama kelamin
Misalnya: itu”.
- Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484
Pasal 480 (penadahan)
ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang
153 154

menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-
dituntut, atau menetap diluar Indonesia. betul mempunyai dugaan atau tidak.

Dalam surat dakwaan: Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan
dari terdakwa. Contoh :
a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti
apa yang dirumuskan dalam undang-undang, jadi a. terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana
misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda), karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa,
bahwa diperoleh dari kejahatan”. tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
b. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus b. Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00
dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di
ditetapkan oleh Hakim. tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh
c. Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus
dilihat apakah terdakwa mengetahui. ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada
pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan
Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang
kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan
membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang
mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini
membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan
merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila
“schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H)
lampunya normal, maka seharusnya ia dapat
menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya
mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak,
dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga
maka ini merupakan kealpaan.
bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama
155 156

BAB VIII Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” (de leer an
het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana

KESALAHAN DALAM DELIK menurut M.v.T. :

PELANGGARAN Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan


pemeriksaan secara khusus tentang adanya
kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi
pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut.
Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa
Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu
pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan
yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak.
diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam
undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas
Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 (arrest air
atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak
dan susu).
pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa
pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan Duduk perkara;
tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut
A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh melever susu
apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa.
kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D,
Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau
pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu
tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka
ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu
tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga
tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi
tidak perlu dibuktikan.
Umum mengancam dengan pidana Barang siapa melever
susu dengan nama susu murni, padahal dicampur
157 158

dengan sesuatu (tidak murni). Ini merupakan tindak Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan
pidana berupa pelanggaran. terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R.
memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut:
A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana.
a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A
A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih
B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever
kurang demikian:
susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur
dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D.
a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47
b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas
W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah
bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus
memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah
mempunyai kesalahan (“enige schuld”), akan tetapi ini
menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa
tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak
menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil
mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van
(ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu.
schuld) peraturan ini dapat diterapkan kepada.
b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D) c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat
dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal
tidaknya susu yang disuruh melevernya. unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan
delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk
c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam
Undang-undang menyetujui sistem, orang yang
dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak
berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang-
murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak.
undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama
sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).
159 160

d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c), yang BAB IX


bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada
pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM
hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata
PENITENSIER)
dalam rumusan delik.

Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum


pidana. Dengan arrest itu, maka:
Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita
memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan
a. ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan.
pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang
b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan
dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui
yang tertinggi (Belanda) berlaku asas ”tiada pidana
pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada
tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).
seseorang yang secara sah telah melanggar hukum
pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses
peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the
criminal) justice process) merupakan struktur, fungsi, dan
proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga
(kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga
pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan &
pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.

Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing


sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum
161 162

untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini
yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu
dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. bagian yang menentukan:
Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan
1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini
pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan
terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana
hukuman itu sendiri.
lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan UU non pidana yang memuat sanksi pidana);
pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi 2. Beratnya sanksi itu;
sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai 3. Lamanya sanksi itu dijalani;
bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran 4. Cara sanksi itu dijalankan;dan
terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang 5. Tempat sanksi itu dijalankan.
mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang
Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan
merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran
dipelajari oleh hukum penitensier.
terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk
ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya
ISTILAH
berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya
tidak menyenangkan. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al:
Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman,
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan
Punishment, dan Jinayah.
dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum
Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman,
sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk
163 164

menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh
demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana / Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:
hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang
1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya
dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang
untuk pelaku pembakar/pembunuh)
telah melanggar UU Hukum Pidana.
2. Dimatikan dengan suatu keris
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur 3. Dicap bakar.
atau ciri-ciri pidana meliputi: 4. Dipukul, dipukul dengan rantai (pidana
badan/corporal punishment)
1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-
5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara
akibat lain yang tidak menyenangkan;
6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki
kekuasaan (berwenang);
3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab
Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana
peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi
merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa:
rumusan delik/pasal).
terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan
SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda),
pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang
Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak
(pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap
Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun
nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana
1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No.
merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan
1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas konkordansi).
terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
165 166

Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan
berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh
1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para
Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang
penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak,
berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan
Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu
tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal
yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya
ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh
kejahatan dengan demikian orang yang salah harus
negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang
dihukum. Menurut Leo Polak (aliran retributif),
dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari
hukuman harus memenuhi 3 syarat:
sudut subyektif);

a. Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar


Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang
etika)
berhak melakukan hal tersebut, mengingat;
b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi
1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh (melanggar etika)
karena itu sangat logis jika negara diberi tugas c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya
mempertahankan tata tertib masyarakat; delik.
2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat 2. Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa
menjamin kepastian hukum. penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu,
bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman
pada umumnya bersifat menakutkan, sehingga
seyogyanya hukuman bersifat
memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan
167 168

adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus  Merehabilitasi Pelaku


diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada  Melindungi Masyarakat
treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan
model medis. Saat ini sedang berkembang apa yang disebut
sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas
Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang
prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat
yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi
pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan
kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga
ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok, memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini
tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain
adalah memberikan perlindungan agar orang Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP

lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak tahun 2005:

disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami


Pasal 54
kejahatan.
(1) Pemidanaan bertujuan:
3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori
a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan
sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan untuk:
menegakkan norma hukum demi pengayoman

 Pembalasan, membuat pelaku menderita masyarakat;

 Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak


pidana
169 170

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan tindak pidana;
berguna; g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh pembuat tindak pidana
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan h. Pengaruh pidana terhadap massa depan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; pembuat tindak pidana;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau
e. memaafkan terpidana. keluarga korban;
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan
dan merendahkan martabat manusia . /atau;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana
Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman
yang dilakukan.
pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita.
(2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau
keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang
Pasal 55;
terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
a. Kesalahan pembuat tindak pidana; tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; dan kemanusiaan.
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan
menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam
berencana;
tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin
e. Cara melakukan tindak pidana;
dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak
171 172

pidana dengan menegakkan norma hukum demi 1. Pencabutan beberapa hak tertentu
pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan 2. Perampasan barang tertentu
resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk 3. pengumuman keputusan hakim
memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan
Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP:
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan
Pasal 65
pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan (1) Pidana pokok terdiri atas:
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam a. pidana penjara;
damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah b. pidana tutupan
pada terpidana; dan memaafkan terpidana. c. pidana pengawasan
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10 KUHP
menentukan berat ringannya pidana
:

Pasal 66
a. Hukuman Pokok:
1. Hukuman mati
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat
2. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup)
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
3. Kurungan
4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15) Pasal 67
5. Tutupan (UU No.20/1946)
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
b. Hukuman Tambahan:
173 174

a. pencabutan hak tertentu; Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati :
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
A. Dalam KUHP :
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
 Pembunuhan berencana
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
 Kejahatan terhadap keamanan negara
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
 Pencurian dengan pemberatan
masyarakat.
 Pemerasan dengan pemberatan
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama
 Pembajakan di laut dengan pemberatan.
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri
sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan B. Diluar KUHP;
pidana tambahan lain.
(3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama  Terorisme
dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri  Narkoba
sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak  Korupsi
tercantum dalam perumusan tindak pidana.  Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara
adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan meluas dan sistematis.
pidananya.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan
Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP: (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 :
ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak
Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal
dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat
10 KUHP)
eksekusinya).
175 176

Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel,
mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah menurut Utrecht :
dihukum menjadi gila dan wanita hamil.
 Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus
Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar
dan wanita tersebut telah melahirkan. sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan
penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan peringatan:
Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam
terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan
KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)
tangan dan secara terbatas dapat menerima tamu,
tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain
Pasal 12 KUHP:
 Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai
Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau silent system, di mana para hukuman pada siang
sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh
tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat saling bicara, malam hari kembali ke sel.
dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20  Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal dr mark
thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di system, menggunakan penilaian. Para hukuman
indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus
(LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara menerus, dalam hal ini diterapkan hukum yang
narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung,
narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan menyesali perbuatannya dan diharapkan ia dapat
Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995). memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan
napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah
jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya
177 178

diperingan : mulai dimasyarakatkan dan dapat  Sistem Osborne (NY,US). Memilih ‘BOS’ – mandor
diberikan the rise of feformatory (pelepasan dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi :
bersyarat), publik work prison, dan ticket to leave. Tamping/building tender.
Kemudian diperkenankan kerja sama-sama, lalu
secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :

satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan


 Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau
jika telah menjalani dari ¾ hukumannya.
1 orang/1 sel. Minimum security/maximum
 Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi terhukum
security/Super Maximum Security (SMS)
yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai
 Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi
penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki
dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok
orang menjadi warga masyarakat yang berguna.
pagi. Ada jadwal kegiatannya.
Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih
 Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan
pada usaha-usaha untuk memperbaiki si pelaku, jadi
tidak baik ataupun melanggar aturan maka
terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan
dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga
pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan
dengan tutupan sunyi.
masyarakat.
 Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama =
 Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam
kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan
penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri
kolam, kerja di bengkel LP untuk buat
Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku
kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai
yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang
bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh
dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki
membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb.
di Tangerang, Banten.
179 180

Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan
dengan jam yang telah ditentukan. Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda
 Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB- dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr
Pidana Tutupan (UU No.20/1946)
hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat
juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti
Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan
yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.
mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan
 Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama- didasari oleh suatu motivasi yang patut
sama tapi tetap ada pemisahan mutlak : dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun
diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh
 Laki-laki dan perempuan
membawa dan menikmati buku bacaan dan radio/tape.
 Orang dewasa dan anak di bawah umur
Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.
 Orang yang dihukum/ditahan – orang yang
dihukum karena upaya preventif
 Orang militer dan orang sipil

Pidana kurungan

Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole


yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara.

Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No.


1/1960)
181 182

BAB X antara percobaan yang dapat dipidana dan


yang tidak dapat dipidana.
PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)
Percobaan yang dapat dipidana menurut
system KUHP bukanlah percobaan terhadap
I. PENGERTIAN semua jenis tindak pidana. Yang dapat
Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak
beberapa istilah yang dipakai dalam kitab pidana yang berupa “kejahatan” saja,
undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti sedangkan percobaan terhadap pelanggaran
atau definisi mengenai apa yang dimaksud tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam
dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP
merumuskan batasan mengenai kapan memperlihatkan adanya pemikiran dari para
dikatakan adanya percobaan untuk melakukan perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat
kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena
(1) yang menyatakan : itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP.
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan
niat untuk itu telah ternyata dari adanya umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya bahwa percobaan terhadap semua kejahatan
pelaksanaan itu, bukan semata-mata dapat dipidana. Pengecualian tersebut
disebabkan karena kehendaknya sendiri”. misalnya :
Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu  Percobaan duel / perkelahian tanding
definisi, tetapi hanya merumuskan syarat- (pasal 184 ayat 5);
syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas
183 184

 Percobaan penganiayaan ringan rumusan-rumusan delik. Dengan demikian


terhadap hewan (pasal 302 ayat 4); menurut pandangan ini, percobaan tidak
 Percobaan penganiayaan biasa (pasal dipandang sebagai jenis atau bentuk delik
351 ayat 5); yang tersendiri (delictum sui generis)
 Percobaan penganiayaan ringan (pasal tetapi dipandang sebagai bentuk delik
352 ayat 2); yang tidak sempurna (onvolkomen
II. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN dekictsvorm). Termasuk dalam
Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny.
delik khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya Hazewinkel-Suringa dan Porf. Oemar
merupakan suatu delik yang tidak sempurna? Seno Adji.
Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua
pandangan : (2). Percobaan dipandang sebagai
(1). Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan
Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan delik).
perluasan pertanggungjawaban pidana).
Menurut pandangan ini, seseorang yang Menurut pandangan ini, percobaan
melakukan percobaan untuk melakukan melakukan sesuatu tindak pidana
suatu tindak pidana meskipin tidak merupakan satu kesatuan yang bulat dan
memenuhi semua unsur delik, tetap dapat lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik
dipidana apabila telah memenuhi rumusan yang tidak sempurna, tetapi merupakan
pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan delik yang sempurna hanya dalam bentuk
adalah untuk memperluas dapat yang khusus/istimewa. Jadi merupakan
dipidananya orang, bukan memperluas delik tersendiri (delictum sui generis).
185 186

Termasuk dalam pandangan kedua ini sendiri dan merupakan delik


ialah Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno. selesai, walaupun pelaksanaan
dari perbuatan itu sebenarnya
Alasan Prof. Moelyatno memasukkan belum selesai, jadi baru
percobaan sebagai delik tersendiri, ialah : merupakan percobaan.
a. Pada dasarnya seseorang itu Misalnya delik-delik maker
dipidana karena melakukan (aanslagdelicten) dalam pasal
suatu delik; 104, 106, dan 107 KUHP.
b. Dalam konsep “perbuatan
pidana” (pandangan dualistis) Mengenai contoh yang dikemukakan Prof
ukuran suatu delik didasarkan Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya
pada pokok pikiran adanya sifat dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis.
berbahayanya perbuatan itu Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan
sendiri bagi keselamatan penganjuran (poging tot uitloking) atau yang
masyarakat; biasa juga disebut penganjuran yang gagal
c. Dalam hukum adat tidak dikenal (mislukte uit-lokking) tetap dapat dipidana, jadi
percobaan sebagai bentuk delik pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri.
yang tidak sempurna
(onvolkomen delictsvorm), yang Mengenai adanya dua pandangan tersebut
ada hanya delik selesai. diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa
d. Dalam KUHP ada beberapa pandangan pertama sesuai dengan alam atau
perbuatan yang dipandang masyarakat individual karena yang diutamakan
sebagai delik yang berdiri adalah strafbaarheid van de person (sifat
187 188

dipidananya orang); sedangkan pandangan Teori ini melihat dasar patut dipidananya
yang kedua sesuai dengan alam atau percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin
pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan
masyarakat kita sekarang karena yang
juga sifat berbahayanya perbuatan (segi
diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah
dilakukan. pendapat Langemeyer dan Jonkers.
Namun karena dalam kenyataanya,
pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka
III. DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif.
Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai
ini, terdapat beberapa teori sbb: penganut teori campuran. Menurut beliau
1. Teori Subyektif rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat
percobaan terletak pada sikap batin atau watak untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang
yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk obyektif (kejahatan tersebut telah mulai
penganut teori ini ialah Van Hamel. dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan
demikian menurut beliau, dalam percobaan
2. Teori Obyektif tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya obyektif dan teori subyektif karena jika demikian
percobaan terletak pada sifat berbahayanya berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan
perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. itu; ukurannya harus mencakup dua criteria
Teori ini terbagi dua, yaitu : tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu
2.a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif
beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu maupun obyektif, apabila dipakai secara murni
terhadap tata hukum. akan membawa kepada ketidak adilan.
2.b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik
beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu IV. UNSUR-UNSUR PERCOBAAN
terhadap kepentingan / benda hukum. Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas
Penganut teori ini antara lain Simons. terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah :
3. Teori Campuran. IV.1. Niat.
189 190

Kebanyakan para sarjana berpendapat 1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan


bahwa unsur niat sama dengan sengaja lengkap/voltoo-ide poging/completed
dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan attempt), niat sama dengan kesengajaan;
Prof. Moelyatno terhadap unsur niat : 2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan
a. Niat jangan disamakan dengan terhenti atau tidak lengkap/geschorste
kesenjangan, tetapi niat secara potensiil poging/incompleted attempt), niat hanya
dapat berubah menjadi kesenjangan merupakan unsur sifat melawan hukum
apabila sudah ditunaikan menjadi yang subyektif (subyektif
perbuatan yang dituju; dalam hal semua onrechtselement).
perbuatan yang diperlukan untuk
kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat Dikatakan ada “percobaan selesai” apabila
yang dilarang tidak timbul (percobaan terdakwa telah melakukan semua perbuatan
selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan,
menjadi kesengajaan, sama kalau tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi;
mengahadapi delik selesai. Misal : A bermaksud membunuh B dengan
b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi
menjadi perbuatan maka niat masih ada ternyata pistol tersebut tidak meletus atau
dan merupakan sikap batin yang membari tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal
arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah
onrechtselement. menjadi kesengajaan karena telah
c. Oleh karena itu niat tidak sama dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
tidak bisa disamakan dengan Tetapi apabila dalam contoh diatas,
kesengajaan, maka isinya niat jangan perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya
diambilkan dari isinya kesengajaan kejahatan belum dilakukan (misal : picu
apabila kejahatan timbul; untuk ini belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang
diperlukan pembuktian tersendiri bahwa juga belum ada maka dalam hal demikian
isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat dikatakan ada “percobaan tidak
belum ditunakan jadi perbuatan. selesai/tertunda”. Menurut Moelyatno, dalam
Dari delik percobaan dapat mempunyai dua hal ini maka niat yang belum diwujudkan
arti : sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar)
191 192

masih tetap menjadi niat yaitu baru pembuat. Ukuran demikian menurut VAN
merupakan sikap batin yang mengarah HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana
kepada suatu perbuatan yang melawan yang lebih baru yang bertujuan memberantas
hukum. kejahatan sampai ke akar-akarnya.
Dalam hal niat telah berubah menjadi Bertolak dari pandangan atau teori percobaan
kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat
pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi sbb :
juga kesenjangan sebagai keinsyafan a. Pada delik formil, perbuatan
kemungkinan. pelaksanaan ada apabila telah dimulai
perbuatan yang disebut dalam rumusan
IV.2. Ada permulaan pelaksanaan. delik;
Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok b. Pada delik materiil, perbuatan
dalam percobaan yang cukup sulit karena pelaksanaan ada pabila telah
baik secara teori maupun praktek selalu dimulai/dilakukan perbuatan yang
dipersoalkan batas antara perbuatan menurut sifatnya langsung dapat
persiapan (voorbereidingshandeling) dan menimbulkan akibat yang dilarang oleh
perbuatan pelaksanaan undang-undang tanpa mensyaratkan
(uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan adanya perbuatan lain.
masalah ini para sarjana menghubungkannya Contoh untuk delik formil :
dengan teori atau dasar-dasar patut A bermaksud melakukan pencurian dirumah
dipidananya percobaan. Bertolak dari B untuk melaksanakan aksinya, A telah
pandangan atau teori percobaan yang mempersipkan segala sesuatu peralatan
subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa untuk mencuri, kemudian pada malam hari
dikatakan ada perbuatan pelaksanaan ia mendatangi rumah B. Sesampainya di
apabila dilihat dari perbuatan yang telah rumah B, ia mematikan lampu teras,
dilakukan telah ternyata adanya kepastian melepas kaca jendela dan baru saja A
niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang masuk rumah lewat jendela itu ia
dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh tertangkap.
VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap Apabila digunakan ukuran Van Hamel,
batin yang jahat dan berbahaya dari si maka dalam hal ini dikatakan sudah ada
193 194

perbuatan pelaksanaan, tetapi menurut Dalam menentukan adanya


ukuran Simons baru merupakan perbuatan permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik
persiapan, karena belum mulai melakukan percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa
perbuatan seperti yang disebut dalam ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu :
rumusan delik (pencurian : pasal 362 1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan
KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila 2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya
A sudah mengambil barang dan pada saat Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut
itu ketahuan dan tertangkap, barulah beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3
dikatakan pada saat itu A telah melakukan syarat yaitu :
perbuatan pelaksanaan yang oleh i. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan
karenanya dapat dituntut telah melakukan terdakwa harus mendekatkan kepada
percobaan pencurian. delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata
Contoh untuk delik materiil : lain, harus mengandung potensi untuk
A bermaksud membunuh B dengan mewujudkan delik tersebut;
meledakkan mobil yang dikendarainya ii. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat,
dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang
B. A telah mempersiapkan dinamit dengan telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan
segala peralatan yang diperlukan dengan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang
rapid an menunggu di samping saklar tertentu tadi;
sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada iii. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh
saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai terdakwa itu merupakan perbuatan yang
dan akhirnya ditangkap, maka menurut bersifat melawan hukum.
ukuran Simons perbuatan A belum
merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi
baru perbuatan persiapan, karena untuk V. PERCOBAAN DALAM BEBERAPA
meledakkan dinamit itu masih diperlukan YURISPRUDENSI
perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan
saklarnya. Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun
1934 tentang Eindhoven.
195 196

Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H
R (dengan persetujuan R). baru merupakan perbuatan persiapan karena
Pada malam yang telah ditentukan H masuk belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk
kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang melakukan pembakaran.
yang mudah terbakar di tiap kamar, yang Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD
semuanya dihubungkan satu sama lain dengan berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan
sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor perbuatan persiapan, karena belum merupakan
gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan. perbuatan yang sangat diperlukan untuk
Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak
dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar dapat tidak menuju kearah dan langsung
rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian- berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan
pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju
di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si
mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan
dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. putusan Hof dan H dilepaskan dari segala
Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H tuntutan.
menyingkirkan benda-benda ke tempat lain.
Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas
orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah
mugkin menyelesaikan maksudnya. dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa :
- Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR,
Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop) lebih cocok dengan teori atau pendapat
di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan Simons (Teori Obyektif Materiil);
H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan - Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau
dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil)
pasal 53 jo 187 KUHP. Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE
H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya
telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan terdakwa H telah mulai dengan perbuatan
mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru pelaksanaan pembakaran. Alasan yang
merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung dikemukakannya ialah :
197 198

a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling oleh Hof’s Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa
berhubungan dan memenuhi rumusan telah melakukan delik percobaan pembakaran
delik; seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto
b. Jika HR menganggap perbuatan pasal 187 KUHP”.
pelaksanaan yaitu perbuatan yang
menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-
adanya perbuatan lain, berarti jika tiap mata karena kehendak pelaku sendiri.
perbuatan pelaksanaan akan
menimbulkan akibat terlarang, maka Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan
perbuatan pelaksanaan hanya ada yang dituju bukankarena kehendak sendiri,
percobaan lengkap saja, ini tidak tepat dapat terjadi dalam hal-hal sbb :
karena di dalam teori dikenal juga adanya a. Adanya penghalang fisik;
percobaan yang tidak lengkap. Misal : tidak matinya orang yang
ditembak, karena tangannya
Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno disentakkan orang sehingga tembakan
mengemukakan pendapatnya sbb : menyimpang atau pistol terlepas.
“Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau Termasuk dalam pengertian
dengan ukuran yang saya sarankan, maka penghalang fisik ini ialah apabila
mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya kerusakan pada alat yang
adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan digunakan (misal : pelurunya macet /
terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang tidak meletus, bom waktu yang jamnya
dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu rusak).
bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, b. Walaupun tidak ada penghalang fisik,
telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu tetapi tidak selesainya itu disebabkan
apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat karena akan adanya penghalang fisik.
melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu Misal : takut segera ditangkap karena
di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada, gerak geriknya untuk mencuri telah
hemat saya adalah perbuatan yang melanggar diketahui oleh orang lain.
hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah c. Adanya penghalang yang disebabkan
dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan oleh factor-faktor / keadaan-keadaan
199 200

khusus pada obyek yang menjadi Misal : Orang member racun pada
sasaran. minuman si korban, tetapi setelah
Misal : daya tahan orang yang diminumnya, ia segera memberikan
ditembak cukup kuat sehingga tidak obat penawar racun sehingga si
mati atau yang tertembak bagian yang korban tidak jadi meninggal.
tidak membahayakan, barang yang
kan dicuri terlalu berat walaupun si Sehubungan dengan masalah pengunduran
pencuri telah berusaha diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud
mengangkatnya sekuat tenaga. dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal
53 KUHP ialah :
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu  Untuk menjamin supaya orang yang
karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini dengan kehendaknya sendiri secara
dikatakan ada pengunduran diri sukarela, sukarela mengrungkan kejahatan yang
sering dirumuskan bahwa ada pengnduran telah dimulai tetapi belum terlaksana,
diri sukarela, apabila menurut pandangan tidak dipidana;
terdakwa, ia masih dapat meneruskannya,  Pertimbangan dari segi kemanfaatan
tetapi ia tidak mau meneruskannya. (utilitas), bahwa usaha yang paling
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak tepat (efektif) untuk mencegah
sendiri, secara teori dapat dibedakan antara : timbulnya kejahatan ialah menjamin
 Pengunduran diri secara sukarela tidak dipidananya orang yang telah
(Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan mulai melakukan kejahatan tetapi
perbuatan pelaksanaan yang kemudian dengan sukarela
diperlukan untuk delik yang mengurungkan pelaksanaannya.
bersangkutan; Dengan adanya penjelasan MvT tersebut,
 Tindakan penyesalan (Tatiger Reue) maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini
yaitu meskipun perbuatan merupakan :
pelaksanaan sudah diselesaikan,  Alasan pengahpus pidana yang
tetapi dengan sukarela menghalau diformulir sebagai unsur (Pompe).
timbulnya akibat mutlak delik tersebut.  Alasan pemaaf (van Hattum, Seno
Adji).
201 202

 Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, mengurngkan niatnya itu apabila telah


Moelyatno). menimbulkan kerugian, dan pidananya
dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.
Prof. Moelyatno tidak setuju dengan
pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam
sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-cuse) perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat :
maupun sebagai alasan pengahpus pidana, a. Mempunyai konsekuensi materiil
sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur
baik adalah tidak mencoba sama sekali) yang melekat pada percobaan, jadi bersifat
sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan
ataupun membenarkan. Menurut beliau perkataan lain, untuk adanya percobaan
dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan
stimulans bagi orang-orang lain yang perbuatan bukan karena kehendak sendiri)
mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk harus ada. Ini berarti apabila ada
ditengah-tengah mengundurkan diri secara pengunduran diri secara sukarela, maka tidak
sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas. ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat
Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni
penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait 1889 tentang kasus sumpah palsu.
d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa
maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas
dituntutnya itu karena dipandang lebuh sumpah telah meberikan keterangan yang
berguna bagi masyarakat, seprti halnya bertentangan dengan kenyataan (kesaksian
dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP palsu). Setelah Jaksa dan Hakim
(pencurian antara suami-istri). Pertimbangan memperingatkan bahwa ia akan dituntut
utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut
menghemat tenaga dan biaya. Walaupun kembali keterangan palsunya itu. Apakah
Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini saksi dapat dipidana karena percobaan
sebagai alasan penghapusan penuntutan, sumpah palsu?
namun beliau tidak berkeberatan untuk HR dalam putusannya berpendapat bahwa
menuntut orang yang secara sukarela telah saksi itu tidak dapat dipidana melakukan
203 204

percobaan sumpah palsu karena dalam hal menganjurkan suatu perbuatan yang
ini ada pengunduran diri secara sukarela. terlarang. Jadi pendapat kedua ini
Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana membedakan antara perbuatan yang dapat
karena adanya pengunduran diri itu dipidana (criminal act) dan pertanggung
perbuatannya (saksi) tidak merupakan jawaban pidana (criminal responsibility).
perbuatan terlarang.

b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang VI. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU
processuil)
Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini
pasal 153 maka unsur tersebut harus timbul sehubungan dengan telah dilakukannya
disebutkan didalam surat tuduhan dan perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju
dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3 tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut
ini tidak merupakan unsur yang melekat pada undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya
percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia delik atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat
merupakan unsur yang berdiri sendiri. disebabkan karena tidak mempunyai obyek (misal
Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini : mencoba menggugurkan bayi yang ternyata tidak
tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran hamil, mencoba membunuh orang yang sudah
diri secara sukarela) maka percobaan tetap mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang
dipandang ada. Jadi dalam kasus yang ternyata kosong, dsb) atau karena tidak
dikemukakan diatas, meskipun ada mempunyai alat yang digunakan ( misal : mencoba
pengunduran diri secara sukarela, membunuh orang dengan gula yang dikiranya
perbuatannya tetap dipandang sebagai racun).
perbuatan terlarang dan soal dipidana
tidaknya si pembuat maupun si penganjur Pembeda antara percobaan mampu dan tidak
adalah masalah pertanggunganjawab. mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang
Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak menganut teori percobaan yang obyektif, karena
dipidana karena (menurut HR) disitu ada hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya
pengunduran diri secara sukarela, sedangkan perbuatan. Para penganut teori yang subyektif
sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih
205 206

menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini
batin atau watak si pembuat. mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat dari
obyeknya, M.v.T mengemukakan : dua segi :
“Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 - Keadaan tertentu dari alat pada waktu si
KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk pembuat melakukan perbuatan
melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku II - Keadaan tertentu dari orang yang dituju.
KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak
tersebut diperlukan adanya obyek, maka mudah :
percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri
obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya :
tidak ada percobaan”. - Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri,
maka gula adalah alat yang tidak mampu
Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan digunakan untuk membunuh, sedangkan
pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya warangan (arsenicum) adalah mampu;
percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja. - Apabila dilihat dari keadaan konkritnya,
maka alat yang pada umumnya mampu
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena untuk membunuh (misal warangan) dapat
alatnya, M.v.T membedakan antara : menjadi alat yang tidak mampu apabila
 Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat jumlahnya tidak memenuhi dosis yang
itu tidak pernah mungkin timbul delik cukup mematikan (untuk arsenicum 5
selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada mg).
delik percobaan. b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat
 Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat
itu tidak ditimbulkan delik selesai karena dilihat dari keadaan konkrit tertentu.
justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana - Gula adalah alat yang tidak mampu
si pembuat melakukan perbuatan atau digunakan untuk membunuh orang pada
justru karena keadaan tertentu dalam mana umunya, tetapi dapat menjadi alat yang
207 208

mampu mematikan untuk orang yang Karena pada hakekatnya masalah percobaan
berpenyakit diabetes; mampu dan tidak mampu ini dalah masalah
- Warangan yang memenuhi dosis 5 mg, hubungan kausal yang ada dalam lapangan
merupakan alat yang mampu untuk obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons,
membunuh, tetapi untuk orang yang Pompe, Van Hattum) yang berusaha menentukan
sudah biasa warangan sejumlah itu tidak garis pembatas tersebut dengan menggunakan
merupakan alat yang mematikan. ukuran-ukuran dalam hubungan kausal.
Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah
Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana teori generalisasi (adekuat) yang melihat secara
yang menyatakan bahwa batas antara absolute ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena
dan relative itu tergantung dari kehendak orang memang dalam hal percobaan, akibat yang
yang menggunakan (willekeurig), tergantung dari merupakan delik yang dituju justru belum terjadi,
cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal. jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang
melihat sesudah terjadinya akibat (post factum).
Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak
yang tidak berpeluru. mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu
adalah sbb :
Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang
demikian adalah alat yang absolut tidak mampu, 1. SIMONS
tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah Ada percobaan yang mampu, apabila
alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam perbuatan yang menggunakan alat yang
hal tertentu bersifat relative karena tidak ada tertentu itu dapat membahayakan benda
pelurunya. hukum.
Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak
mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu, Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyata-
maka para sarjana berusaha memberikan batas nyata ada dalam keadaan khusus dimana
atau ukuran antara percobaan yang mampu dan perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan
tidak mampu. normal, dengan alat tersebut tidaklah akan
ditimbulkan delik maka dalam hal demikian
tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya
209 210

jika alat yang pada umumnya tidak berbahaya, absolute, tetapi penting dilihat dari
tetapi dalam keadaan tertentu dapat keseluruhan perbuatan yaitu
membahayakan dan dengan sengaja pula alat mencampurkan gula (yang diberikan
itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat oleh apotik) yang dikiranya warangan,
itu tidak berbahaya akan lenyap dengan kedalam makanan orang lain.
diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan
demikian lalu dapat dipidana. 3. VAN HATTUM
Dalam menentukan percobaan mampu dan
tidakmampu, van Hattum seperti halnya
2. POMPE Simons dan Pompe jelas-jelas menggunakan
Ada percobaan mampu, jika perbuatan atau hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada
alat yang digunakan mempunyai kecendrungan percobaan yang mampu, apabila perbuatan
(strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat
menimbulkan delik selesai. dengan akibat yang dilarang oleh undang-
Misal : - Mencoba membunuh orang dengan undang.
mendoakan terus menerus supaya Dalam menggunakan hubungankausal yang
mati, bukanlah percobaan yang adekuat itu, menurut van Hattum yang penting
mampu sebaliknya pemberian adalah bagaimana merumuskan (memformulir)
warangan pada orang yang normal perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam
adalah mampu jika jumlahnya memformulir perbuatan terdakwa secara
memang dapat mematikan orang yang adekuat kausal itu, van Hattum memberikan
normal. ukuran/pedoman sbb :
- Ada orang membeli warangan di apotik a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan
untuk melakukan pembunuhan, tetapi jangan dimasukan, karena rasa keadilan
karena kekeliruan apotik, bukan tidak membenarkan hal demikian member
warangan yang diberikan tetapi gula keuntungan kepada si pembuat;
sehingga tidak menimbulkan kematian. b. Hal-hal yang merintangi selesainya
Dalam hal demikian, tetap dikatakan kejahatan yang dituju jangan dimasukkan,
ada percobaan karena meskipun sifat apabila pada hakekatnya perbuatan
gula adalah tidak mampu secara
211 212

terdakwa membahayakan kebetulan dan mengisi senapandengan peluru


benda/kepentingan hukum (rechtsgoed). dan menembakkannya” merupakan perbuatan
Misal : Dengan maksud menembak musuhnya, yang membahayakan benda hukum orang lain
seseorang telah mengisi senapanya dengan (berupa nyawa). Van Hattum menyatakan
peluru dan kemudian meletakkannya di suatu bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang
tempat untuk menunggu saat yang baik. dimasukkan dalam merumuskan perbuatan
Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada terdakwa, maka ketidakmampuan yang relative
orang lain mengososngkan senapanya itu, akan menjadi ketidakmampuan yang absolut.
sehingga pada saat ditembakkan tidak
menimbulkan akibat amtinya orang lain 4. MOELYATNO
(musuhnya itu). Dalam memecahkan masalah percobaan
mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno
Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum tidak mendasarkan pada teori adekuat kausal
janganlah perbuatan terdakwa diformulir karena kenyataanya dalam percobaan tidak
sebagai percobaan yang tidak mampu karena sampai menimbulkan kejahatan yang dituju
kenyataannya ia membunuh dengan alat yang (tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang
relative tidak mampu yaitu senapan yang dugunakan beliau dikembalikan pada ukuran
kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb : patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya
“mengarahkan senapan yang semula sudah perbuatan yang bersifat melawan hukum. Jadi
diisi dengan peluru dan kemudian ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif,
menembakkannya”. Perbuatan demikian tetapi secara normatif.
merupakan yang pada umumnya dapat Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila
menimbulkan akibat matinya orang lain (jadi perbuatan terdakwa mendekatkan pada
mempunyai hubungan kausal yang adekuat terjadinya delik selesai sedemikian rupa
untuk adanya pembunuhan). Dengan demikian sehingga merupakan perbuatan yang melawan
perbuatan terdakwa merupakan percobaan hukum. Perlu dicatat bahwa karena beliau
yang mampu. Tidak berbeda dengan menganut ajaran sifat melawan hukum yang
menembakkan senapan yang pelurunya macet. materiil, maka perbuatan itu harus
Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas
bahwa “kosongnya pistol” merupakan hal yang dilakukan.
213 214

masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu


Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu telah mengganggu/ melukai tata hukum.
didasarkan pada Eindrucks theorie (teori Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai
kesan) yang berasal dari Von Bar, yang ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam
dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund menentukan mampu tidaknya suatu percobaan
Mezger (1952). berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat
Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari
percobaan, yang mampu apabila dalam sudut hubungan kausal tidak perlu
keadaan tertentu ada perbuatan yang diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini
menimbulkan kesan keluar bahwa ada tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan
permulaan perbuatan yang dapat dipidana. mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan
Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut untuk menentukan berat ringannya pidana
masyarakat telah menimbulkan kesan yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini
mengganggu atau melukai tata-hukum, dan beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP
oleh karena itu telah menggincangkan Swiss yang menentukan. “Jika alat yang
kesadaran umum mengenai kepastian dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan,
berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan atau obyek/terhadap mana dilakukan
demikian sudah mengandung bahaya. Dengan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga
demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di perbuatan memang tidak mungkin
dalam teori kesan terdapat azas general dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek
preventive. Misal : perbuatan orang yang yang demikian itu, maka hakim boleh
hendak membunuh dengan senjata yang mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya
ternyata kosong atau macet pelurunya, atau sendiri. Jika si pembuat berbuat karena
pencuri yang merogoh kantong orang lain yang kebodohan (unverstand) hakim boleh tidak
ternyata kosong. menjatuhkan pidana”.
Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori
kesan sudah merupakan percobaan yang 5. MANGEL AM TATBESTAND
mampu dan oleh karenanya dapat dipidana, Telah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis
karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut percobaan mampu dan tidak mampu dapat
dibedakan mengenai obyeknya maupun
215 216

mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan


antara tidak mampu yang absolute dan relative. Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons
dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua
Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin
mampu absolute danrelatif, tergantung dari lagi dikatakan ada percobaan karena
kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai.
Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan
yang tidak memasukkan kedalam lapangan mereka yang memandang tidak ada percobaan
percobaan tidak mampu apabila objek tidak apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau
mampu. Menurut pendapat aliran ini, memang benar bahwa membunuh bayi yang
percobaan tidak mampu karena obyeknya sudah mati atau menggugurkan kandungan
bukanlah delik percobaan karena tidak orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin,
cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak
delik. Misal dalam hal membunuh orang yang berbeda dengan membunuh bayi yang lahir
sudah mati atau menggugurkan kandungan hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka
orang yang tidak hamil, disitu tidak terpenuhi atau mencuri uang dari sebuah kantong yang
unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus ternyata kosong.
adanya nyawa orang (hidup) yang dihilangkan
dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa
(menggugurkan/mematikan kandungan) yaitu dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak
harus adanya seorang wanita yang benar- ada percobaan, karena sifat khusu dari
benar mengandung. percobaan ialah :
a. Delik tidak selesai karena hal
Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak ikhwal yang tidak tergantung dari
adanya atau tidak lengkapnya/ tidak kehendak terdakwa;
terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut b. Oleh karena dalam pikiran
Mangel am Tatbestand (Mangel =kekurangan; terdakwa (dalam kasus-kasus
Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna diatas) adalah mungkin sekali
atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini akan melaksanakan delik yang
dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910). dituju.
217 218

Dari alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat anasir delik” yang harus dibedakan dengan
pandangan yang subyektif tentang percobaan. salah sangka tentang adanya undang-undang
Sehubungan dengan masalah ini KARNI (putatief delict).
membedakan antara Mangel am Tatbestand
dengan percobaan tidak mampu (istilah beliau Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat
“percobaan tak terkenan”). Dalam hal Utrecht, delik putatief merupakan
menggugurkan kandungan orang yang tidak “rechtsdwaling” sedangkan Mangel am
hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”.
karena tujuan si pembuat tidak tercapai (jadi
berbeda dengan pendapat Pompe), jadi ini VII. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN
bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan
untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb: Telah dikemukakan di muka bahwa menurut
- Orang yang melarikan perempuan yang system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah
ternyata sudah cukup umur; percobaan terhadap kejahatan, sedangkan
- Orang yang mencuri barang yang terhadap pelanggaran tidak dipidana.
ternyata sudah menjadi miliknya.
Dalam hal percobaan terhadap kejahatan,
Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum
sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum
bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP) pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan
tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk
sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338
yang menurut Karni merupakan hakekat atau KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara.
watak hukum dari Mangel am Tatbestand. Bagaimanakah apabila kejahatan
Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat yangbersangkutan diancam pidana mati atau
dipidana karena memang tidak ada pasal yang penajara seumur hidup, seperti halnya dalam
dilanggar dan kepastian hukum terancam (jadi pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)?
berlainan dengan van Hamel). Selanjutnya Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang
ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. Dengan
Tatbestand ini merupakan “kekhilafan tentang demikian dapat disimpulkan bahwa menurut
219 220

KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan BAB XI


adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu
telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana
PENYERTAAN
tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama
dengan kejahatan selesai. A. BEBERAPA ISTILAH

1. Turut campur dalam peristiwa pidana


(Tresna).
2. Turut berbuat delik (Karni).
3. Turut serta (Utrecht).
4. Delneming (Belanda); Complicity (Inggris);
Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman);
Participation (Perancis).

B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG SIFAT


PENYERTAAN

Filosofi dasar keberadaan lembaga penyertaan


terdapat dua pandangan :
1. Sebagai Strafa sdehnungsgrund (dasar
memperluas dapat dipidananya orang) :
- Penyertaan dipandang sebagai persoalan
pertanggung jawaban pidana
- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya
bentuknya tidak sempurna.
- Penganut a.l : Simons, van Hattum,
Hazewinkel Suringa.
2. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund
(dasar memperluas dapat dipidananya
perbuatan) :
221 222

- Penyertaan dipandang bentuk khusus dari b.2. Medeplichtige / pembantu (pasal 48


tindak pidana. KUHP Belanda / pasal 56 KUHP
- Penyertaan merupakan suatu delik, hanya Indonesia).
bentuknya istimewa. c. Code Penal Perancis dan Belgia :
- Penganut a.l : Pompe, Moelyatno, Roeslsn c.1. Autores.
Saleh. c.2. Complices.
d. Di Inggris :
Menurut Prof. Moelyatno pandangan yang d.1. Principals (peserta baku).
pertama sesuai dengan alam/pandangan d.2. Accessories (peserta pembantu).
individual karena yang diprimairkan adalah 2. Pembagian tiga :
“strafbaarheid van de person” (hal dapat 2.a. Di Jerman :
dipidananya orang), pandangan yang kedua 2.a.1. Tater (pembuat)
sesuai dengan alam Indonesia karena yang 2.a.2. Anstifter (penganjur)
diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh 2.a.3. Gehile (pembantu)
dilakukan, jadi lebih ditekankan pada 2.b. Di Jepang :
strafbaarheid van het feit” (hal dapat 2.b.1. Co principals (pembuat)
dipidananya perbuatan). Menurut Moelyatno, 2.b.2. Instigator (penganjur)
pandangan pertama tidak dikenal dalam 2.c.3. Accessories (pembantu)
hukum adat. 3. Pembagian empat :
Di Uni Sovyet :
C. PEMBAGIAN PENYERTAAN 3.1. Executive of crime
1. Terbagi dua : 3.2. Organizer
a. Von Feuerbach membagi penyertaan 3.3. Instigator
dalam dua bentuk : 3.4. Accessory
a.1. Urherber (pembuat)
a.2. Gehilfe (pembantu) D. PENYERTAAN MENURUT KUHP INDONESIA
b. KUHP Belanda dan Indonesia : 1. Pembagian penyertaan menurut KUHP
b.1. Dader / Pembuat (pasal 47 Belanda Indonesia adalah :
/ pasal 55 KUHP Indonesia). a. Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri
dari :
223 224

a.1. Pelaku (pleger) materiil saja (yaitu pada no.1


a.2. yang menyuruh lakukan pada pasal 55 di atas).
(doenpleger) - Menurut pandangan ini,
a.3. yang turut serta (medepleger) mereka yang tersebut dalam
a.4. penganjur (uitlokker) pasal 55 hanya dipandang
sebagai pembuat, jadi hanya
b. Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) disamakan saja dengan dader.
yang terdiri dari : - Penganut : HR, Simons, van
b.1. pembantu pada saat kejahatan Hamel, Jonkers.
dilakukan
b.2. pembantu pada saat kejahatan
belum dilakukan.

Mengenai pengertian pembuat (dader), ada


dua pandangan : 2. Pleger (pelaku)
a. Pandangan yang luas (extensief) a. Pelaku (pleger) ialah orang yang
: melakukan sendiri perbuatan yang
- Dengan demikian mereka yang memenuhi rumusan delik.
disebut dalam pasal 55 diatas b. Dalam praktek sukar menentukannya,
adalah pembuat. terutama dalam hal pembuat undang-
- Penganut : M.v.T, Pompe, undang tidak menentukan secara pasti
Hazewinkel-Suringa, van siapa yang menjadi pembuat.
Hattum, Moelyatno. Mengenai hal ini ada beberapa
pedoman :
b. Pandangan yang sempit 1). Peradilan Indonesia
(restrictief) : Pembuat (dalam arti sempit yaitu
- Pembuat hanyalah orang yang pelaku) ialah orang yang menurut
melakukan sendiri perbuatan maksud pembuat undang-undang
yang sesuai dengan rumusan harus dipandang yang bertanggung
delik, jadi hanya pembuat jawab.
225 226

2). Peradilan Belanda juga termasuk didalamnya


Dader (dalam arti sempit) ialah orang (Hazewinkel-Suringa).
yang mempunyai
kekuasaan/kemampuan untuk 3. Doenpleger (yang menyuruh lakukan)
mengakhiri keadaan terlarang, tetapi a). Doenpleger ialah orang yang melakukan
tetap memberikan keadaan terlarang perbuatan dengan perantaraan orang
itu berlangsung terus. lain, sedang perantara ini hanya
3). Pompe diumpamakan sebagai alat.
Dader (dalam arti sempit) ialah orang Dengan demikian :
yang mempunyai kewajiban untuk - Pembuat langsung (onmiddelijke
mengakhiri keadaan terlarang itu. dader, auctor physicus, manus
c. Kedudukan “pleger” dalam pasal 55 ministra)
sering dipermasalahkan. Mengenai hal - Pembuat tidaklangsung (middelijke
ini ada dua pendapat : dader, doenpleger, auctor
1). Janggal dan tidak pada tempatnya intellectuals, manus domina).
Alasan : Karena pasal 55 berada
dibawah bab V yang berjudul b). Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur
“Penyertaan tersangkut beberapa sbb :
pidana”, pada penyertaan apabila - Alat yang dipakai adalah manusia;
“mereka yang melakukan” (para - Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan
pelaku) itu diartikan pembuat alat yang mati)
tunggal. - Alat yang dipakai itu “tidak dapat
2). Dapat dipahami dipertanggungjawabkan” unsur ketiga
Alasan : Karena pasal 55 menyebut inilah yang merupakan tanda ciri dari
“mereka yang dipidana” sebagai doenpleger .
pembuat”, jadi plegers termasuk
didalamnya “Pompe”. Karena pasal Hal yang menyebabkan alat (pembuat
55 menyebut “ siapa-siapa yang materiil) tidak dapat
dinamakan pembuat”, jadi plegers dipertanggungjawabkan ialah :
227 228

 Bila ia tidak sempuna pertumbuhan menganggap orang yang belum cukup


jiwanya atau rusak jiwanya (pasal unur itu tetap mampu bertanggungjawab
44); (lihat pasal 45 jo 47). Namun demikian,
 Bila ia berbuat karena daya paksa apabila yang disuruh itu anak yang
(pasal 48) masih sangat muda sekali, yang belum
 Bila ia melakukannya atas perintah begitu sadar akan perbuatannya, maka
jabatan yang tidak sah seperti dalam hal ini dimungkinkan ada
dimaksudkan dalam pasal 51 ayat menyuruh lakukan.
(2);
 Bila ia keliru (sesat) mengenai d). Apakah orang yang menyuruh lakukan
salah satu unsur delik, misalnya A (doenpleger) harus mempunyai kualitas
menyuruh B untuk menguangkan sebagai pelaku ? ada dua pendapat :
pos wesel yang tanda tangannya d.1. Pendapat pertama : “harus”.
dipalsu oleh A, sedangkan B tidak Alasan, karena tidakmungkin
mengetahui pemalsuan tersebut; seorang A menyuruh oarng lain B
 Bila ia tidak mempunyai maksud melakukan sesuatu yang A sendiri
seperti yang diisyaratkan untuk tidak dapat melakukannya. Misalnya
kejahatan ybs. (dalam undang- : A bukan pegawai negeri, maka ia
undang) misal A menyuruh B tidak dapat melakukan “delik
(seorang kuli) untuk mengambil jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi
barang dari suatu tempat. B pembuat langsung (onmiddelijke
mengambilnya untuk diserahkan dader) oleh karena itu ia juga tidak
kepada A dan ia sama sekali tidak bisa menjadi pembuat tidak
mempunyai maksud untuk memiliki langsung, maka A tidak bisa
bagi dirinya sendiri. menjadi doenpleger. Jadi walaupun
B (yang disuruh) adalah “ pegawai
c). Dalam hal pembuat materiil (alat) negeri, tetap dikatakan tidak ada
seseorang yang belum cukup umur, doenpleger.
maka tidak ada menuruh lakukan, d.2. Pendapat kedua : “tidak harus”.
karena pada dasarnya KUHP
229 230

“Menyuruh-lakukan sesuatu delik ada kualitas pribadi seperti pembuat


jabatan tidak hanya terdapat apabila materiil”.
pembuat materiilnya adalah seorang
pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, e). Mungkinkah ada menyuruh lakukan
ialah apabila pelaksanaanya bukan, terhadap delik-colpoos?
sedang yang menyuruh-lakukan itu Mungkin, dalam halo rang yang
adlah pejabat”. menyuruh-lakukan dapat menduga
sebelumnya bahwa ka nada sesuatu
akibat yang tidak diharapkan. Misal :
Hazewinkel-Suringa : A menyuruh seseorang pekerja B untuk
“Seorang peserta itu bukannya dipidana melemparkan benda yang berat dari
karena ia melakukan perbuatan atap rumah ke bawah, tanpa
(pidana), akan tetapi ia justru dipidana menghiraukan apakah benda itu akan
walaupun ia tidak melakukan menimpa orang yang kebetulan ada /
perbuatan”. Misal : A membius B lewat di bawah atap rumah itu. B
seorang penjaga keamanan kereta api, mengira bahwa A telah mengadakan
sehingga lalai menjalankan tugasnya pengamanan seperlunya. Jika karena
dan timbul kecelakaan. lemparan itu ada yang tertimpa dan
Walaupun A tidak berkualitas seperti B mati, maka A dapat dituntu karena
(yaitu tidak mempunyai kewajiban menyuruh-lakukan tindak pidana yang
seperti B), A tetap dikatakan sebagai tersebut dalam pasal 359 KUHP.
doenpleger dalam delik omissi yang
dilakukan oleh B. 4. Medepleger (orang yang turut serta)
Arrest HR tgl. 21 April 1913 (kasus a. Pengertian :
Walikota Zaan-dam) menyatakan : 1). Undang-undang tidak memberikan
“Pasal 55 tidak menyatakan bahwa definisi
mereka yang menyuruh lakukan adalah 2). Menurut M.v.T : Orang yang turut
dader, tetapi bahwa mereka dipidana serta melakukan (medepleger) ialah
sebagai dader, sehingga untuk menjadi orang yang dengan sengaja turut
middelijke dader (doenpleger) tidak perlu
231 232

berbuat atau turut mengerjakan kawannya yang menggangsir


terjadinya sesuatu. tadi.
3). Menurut Pompe, “turut mengerjakan
terjadinya sesuatu tindak pidana itu b. Syarat adanya medepleger :
ada dua kemungkinan :  Ada kerjasama secara sadar
- Mereka masing-masing (bewuste samenwerking).
memenuhi semua unsur dalam Adanya kesadaran bersama tidak
rumusan delik. berarti ada permufakatan lebih
Misal : dua orang dengan dulu, cukup apabila ada
bekerja sama melakukan pengertian antara peserta pada
pencurian disebuah gudang saat perbuatan dilakukan dengan
beras, salah seorang memenuhi tujuan menacpai hasil yang sama.
semua unsur delik, sedang yang Yang penting aialah harus ada
lainnya tidak. kesenjangan secara sadar.
Misal : dua orang pencopet (A Tidak ada turut serta, bila orang
dan B) saling bekerja sama, A yang satu hanya menghendaki
yang menabrak orang yang untuk menganiaya, sedang
menjadi sasaran, sedang B yang kawannya menghendaki matinya
mengambil dompet orang itu. si korban. Penentuan kehendak
- Tidak seorangpun memenuhi atau kesenjangan masing-masing
unsur-unsur delik seluruhnya peserta itu dilakukan secara
tetapi mereka bersama-sama normatif.
mewujudkan delik itu misalnya :  Ada pelaksanaan bersama
dalam pencurian dengan secara fisik (gezamenlijke
merusak (pasal 363 ayat (1) ke- ultvoering/physieke
5) salah seorang melakukan samenwerking).
penggangsiran, sedang Persoalan kapan dikatakan ada
kawannya masuk rumah dan perbuatan pelaksanaan
mengambil barang-barang yang merupakan persoalan yang sulit
kemudian diterimakan kepada (ingat/lihat Bab VI tentang
233 234

“percobaan”), namun secara daderschap. Barang siapa tidak


singkat dapat dikatakan bahwa dapat menjadi pembuatan tunggal
perbuatan pelaksanaan berarti (alleendader) juga tidak dapat
perbuatan yang langsung dinamakan pembuat peserta
menimbulkan selesainya delik (mededader). Sifat-sifat atau
ybs. Yang penting disini harus keadaan pribadi yang menentukan
ada kerjasama yang erat dan dapat dipidananya perbuatan, hanya
langsung. Batas antara perbuatan berlaku pada pembuat peserta yang
pelaksanaan dan perbuatan mempunyai sifat-sifat tersebut.
pembantuan sangatlah sulit dan
hal ini akan dibicarakan dalam 2). Pendapat kedua : “tidak harus”.
masalah pembantuan. Yurisprudensi putusan pengadilan
Negeri Tulunganggung tanggal 5
c. Apakah medepleger harus mempunyai Januari 1932 yang kasusnya sbb :
kualitas sebagai pelaku ? A memegang gelang milik orang lain
Mengenai hal ini ada dua penadapat : untuk dijualkan. Suami A
menggadaikan gelang tersebut untuk
1). Pendapat pertama : “harus”. kepentingannya sendiri, dengan
Medepleger adalah suatu bentuk persetujuan A. Dalam kasus A
daderschap (keadaan / sifat pelaku dinyatakan salah melakukan
pembuat), orang turut serta penggelapan, sedang suaminya
melakukan adalah pembuat (dader) “turut serta melakukan penggelapan”
apabila ada beberapa orang meskipun suaminya tidak memenuhi
bersama-sama melakukan delik, semua unsur yang terdapat dalam
maka mereka timbal balik terhadap pasal 372.
satu sama lain disebut pembuat Status A terhadap barang ialah
peserta (mededader). Pembuat “memiliki dengan melawan hukum
peserta sebagai pembuat harus barang yang ada padanya bukan
mempunyai sifat yang oleh rumusan karena kejahatan “, sedang status
undang-undang diisyaratkan untuk suaminya terhadap barang itu ialah
235 236

menggadaikan barang milik orang menghendaki sampi matinya orang


lain yang ada dalam kekuasaannya tersebut, akan tetapi mereka bersama-
karena kejahatan”. Yaitu ia dapat dari sama secara sadar melakukan
A dan tahu bahwa barang itu bukan pelemparan barang dan merekapun
milik A. kurang berhati-hati serta patut menduga
akibat yang timbul. Oleh karena itu
d. Mungkinkah ada turut serta terhadap mereka dapat dituntut bersama-sama
delik culpoos ? pada turut serta, melakukan perbuatan yang tersebut
kesengajaannya ditujukan kepada : dalam pasal 55 jo pasal 359 KUHP.
1. Kerjasama dengan orang lain
(ditujukan pada perbuatan). 5. Uitlokker (penganjur)
2. Tercapainya hasil yangmerupakan
delik (ditujukan pada akibat). a. Pengertian :
Pengajur ialah orang yang
Dalam delik culpa orang tidak menggerakkan orang lain untuk
menghendaki terjadinya akibat. Kalau melakukan suatu tindak pidana
kesenjangan orang turut serta juga denganmenggunakan sarana-sarana
harus ditujukan untuk timbulnya delik yang ditentukan oleh undang-undang
culpa tersebut, maka jelas tidak mungkin untuk melakukan kejahatan.
ada turut serta melakukan secara culpa. Jadi hamper sama dengan menyuruh-
Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya lakukan (doen-pleger), pada
ditujukan kepada adanya kerjasama, penganjuran (uitlokking) ini ada usaha
ialah kepada perbuatan yang dilakukan untuk menggerakkan orang lain sebagai
bersama, maka mungkin ada turut serta pembuat materiil / auctor physicus.
melakukan secara culpa. Misal : Adapun perbedaannya sbb :

A dan B bersama-sama melemparkan Penganjuran Menyuruh-lakukan


barang berat dari gedung bertingkat dan Menggerakkannya Sarana
menimpa orang yang ada di bawah dengan sarana- menggerakkannya
sampai mati. Keduanya tidak
237 238

sarana tertentu tidak ditentukan  Si pembuat materiil tersebut


(limitatif) (tidak limitatif) melakukan tindak pidana yang
Pembuat materiil Pembuat materiil dianjurkan atau percobaan
dapat tidak dapat melakukan tindak pidana.
dipertanggungjawa dipertanggungjawa  Pembuat materiil tersebut harus
bkan bkan (merupakan dipertanggungjawabkan dalam
(tidakmerupakan manus ministra) hukum pidana.
manus ministra) Dari lima syarat yang disebutkan diatas,
jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan
syarat yang harus ada pada si
b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana penganjur, sedangkan syarat 3, 4 dan 5
: merupakan syarat yang melekat pada
Berdasarkan pengertian diatas, maka orang yang dianjurkan (pembuat
syarat pengajuran yang dapat dipidana materiil).
ialah :
 Ada kesenjangan untuk c. Mungkinkah ada penganjuran untuk
menggerakkan orang lain melakukan delik culpa ?
melakukan perbuatan yang Mengenai hal ini ada beberapa
terlarang. pendapat :
 Menggerakkannya dengan 1. Tidak mungkin.
menggunakan upaya-upaya d. Mungkinkah ada percobaan pengajuran
(sarana-sarana) seperti tersebut atau pengajuran yang gagal ?
dalam undang-undang (bersifat e. Pertanggungjawaban si penganjur.
limitatif).
 Putusan kehendak dari si
pembuat materiil ditimbulkan c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan
karena hal-hal tersebut pada a delik culpa ?
dan b (jadi ada psychise
causaliteit). Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :
239 240

(a). Tidak mungkin. mengetahui bahwa dengan pemberian pinjaman


itu, orang lain tersebut akan mengendarainya.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang
Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa ditujukanuntuk menggerakkan orang lain untuk
sifat khas dari uitlokking ialah membujuk menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat
terjadinya perbuatan dengan sengaja. menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk,
maka jika pengendara tersebut melanggar
(b). Mungkin. seseorang yang mengakibatkan mati, ia dapat
dikatakan melakukan tindak pidana dalam pasal
Simons menganggap bukannya mustahil dalam 359, sedang pemilik mobil dapat dikatakan
bentuk demikian seseorang dapat membujuk melakukan pembujukan untuk terjadinya
terjadinya sesuatu perbuatan dengan pelanggaran pasal 359 itu.
pengetahuan bahwa orang yang akan
melakukan perbuatan itu dapat mengira-ngira d. Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau
kemungkinan terjadinya akibat yang tidak penganjuran yang gagal ?
dikehendaki atau dapat mengirakan
kemungkinan terjadinya akibat tersebut. Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam
Menurut Pompe orang nyata-nyata dapat hal seseorang telah dengan sengaja
sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan menggerakkan orang lain untuk melakukan
delik culpa, dalam arti orang itu sebagai sesuatu tindak pidana dengan menggunakan
pembujuk mempunyai kesengajaan untuk salah satu sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan
menggerakkan agar orang lain melakukan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau
perbuatan yang ternyata suatu delik culpa dan mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat
inklusif didalam perbuatan sengaja itu termasuk melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana.
kealpaan, dan pula dalam arti bahwa yang di
bujuk dan pembujuk mempunyai kealpaan yang (catatan : Dengan kata lain, baru terpenuhi syarat 1
diisyaratkan oleh undang-undang. Misal : dan 2 atau syarat 1 s/d 3) seperti
dikemukakan pada no. b diatas.
Seorang pemilik mobil sengaja meminjamkan
mobilnya untuk dipakai orang lain dengan
241 242

Timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe,
membujuk atau penganjuran yang gagal dapat van Hattum.
dipidana ? mengenai hal ini sebelum adanya pasal 163
bis, ada dua pandangan : Catatan :

1). Pendapat pertama : Penganjuran dipandang  Dari uraian diatas jelas, bahwa menurut
sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir pendapat pertama (accessoir), strafbaarheid
(tidak berdiri sendiri = onzelfstandig). (sifat dapat dipidananya si penganjur
digantungkan dari apa yang dilakukan oleh
orang lain). Jadi sudut pandangnya tidak
Menurut pandangan ini, pengajuran itu ada apabila
membedakan antara sifat dapat dipidananya
ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat perbuatan (tindak pidana) dan sifat dapat
materiil. D.p.l si penganjur dipidana apabila orang dipidananya orang (pertanggungjawaban
yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat pidana). Jadi lebih mendekati pandangan
dipidana. Karena dalam “percobaan untuk monistis.
penganjuran” ini, tindak pidana itu tidak terjadi  Sehubungan dengan pandangan yang pertama
maka si pengajur juga tidak dapat dipidana. diatas, dalam KUHP Jerman (sebelum
perubahan tahun 1943), dikenal apa yang
dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa
Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van
untuk adanya bentuk-bentuk penyertaan harus
Heml, vos. ada yang bertanggung jawab sebagai Tater
(pelaku).
2). Pendapat kedua : Penganjuran dipandang sebagai
bentuk penyertaan yang tidak accessoir (berdiri Menururt KUHP Jerman itu, untuk dapat
sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang memidana seseorang peserta sebagai Mittater
lain). Menurut pendapat ini, ada / tidaknya (si turut-serta melakukan / medepleger, anstifter
penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya / pengajur uitlokker, atau gehilfe / pembantu /
atau terjadi / tidaknya tindak pidana. D.p.l medeplichtige), maka si pembuat materiil harus
sipenganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak melakukan strafbare handlung, yang diartikan
pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak bukan saja melakukan perbuatan yang dilarang
terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini, / diancam pidana, tetapi juga dapat dijatuhi
“percobaan untuk penganjuran” tetap dapat pidana. Dengan demikian apabila si pembuat
243 244

materiil tidak dapat dijatuhi pidana (karena tidak 273) ditambahkan pasal 163 bis kedalam KUHP pasal
ada kesalahan), tidak mungkin ada penyertaan. ini berbunyi :

 Pertanggungjawaban peserta tidak lagi 1). Barang siapa dengan menggunakan salah satu
digantungkan pada pertanggungjawaban si sarana tersebut dalam pasal 55 ke-2, mencoba
pelaku atau peserta lainnya, tetapi dipandang menggerakkan orang lain supaya melakukan
berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6
lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan
(enam) tahun atau denda paling banyak tiga ratus
yang dilarang.
rupiah (sekarang menjadi Rp. 4.500,-), jika tidak
Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai mengakibatkan kejahatan atau percobaan
dengan pandangan dualistis (a.l Prof. Ruslan saleh) kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan,
yang melihatnya dari dua sudut pandang : bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana
yang lebih berat dari pada yang ditentukan
1). Dari sudut perbuatan, pada umumnya tiap-tiap terhadap percobaan kejahatan, atau jika percobaan
peserta tidak berdiri sendiri-sendiri, sifat itu tidak dipidana, tidak dapat dijatuhkan pidana
melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap
atau si pembantu baru timbul jika perbuatan kejahatan itu sendiri.
dari si pembuat atau si pembantu baru timbul
jika perbuatannya di hubungkan dengan 2). Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak
pelaku atau peserta lainnya. mengakibatkannya kejahatan atau percobaan
kejahatan yang dipidana itu disebabakan
2). Dari sudut pertanggungjawaban, tiap-tiap karenakehendaknya sendiri.
peserta dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri
menurut sikap batinya masing-masing Pasal diatas mengancam pidana terhadap pembujukan
berhubung dengan apa yang diperbuatnya. yang gagal dan juga yang tidak menimbulkan akibat.
Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan “
Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran pembujukan yang gagal” sebagai delik yang berdiri
yang gagal ini sekarang sudah tidak menjadi persolan sendiri (delictum suigeneris). Delik ini merupakan delik
lagi, setelah pada tahun 1925 (S. 1925 No. 197 / jo formil, artinya perumusannya dititikberatkan pada
perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan
245 246

salah satu sarana yang tersebut dalam pasal 55 ke-2 Bagaimanakah apabila B yang dianjuri langsung
itu berusaha menggerakkan orang lain untuk membunuh C. dalam hal ini matinya C tidak dapat
melakukan kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana. dipertanggungjawabkan pada A (Jadi tidak dapat
Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat dituduh berdasar pasal 55 jo 338), karena
(2). Menurut Prof. Moelyatno, pasal 163 biss (2) pembunuhan itu bukan dimaksud (disengaja) oleh A.
merupakan alasan penghapus penuntutan. Namun demikian, A masih dapat
dipertanggungjawabkan berdasrkan pasal 163 bis,
Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 163 bis itu yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan.
digunakan kata-kata “mencoba / berusaha Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah
menggerakkan orang lain untuk…”. Jadi dapat juga maksimum pidana untuk penganiayaan yang terbukti
dikenakan kepada “menyuruh lakukan / doenplegen sengaja dianjurkan oleh A, yaitu kalau penganiayaan
yang gagal”, asal saja sarana yang dipakai oleh si biasa pasal 351 (1), maksimumnya 2 tahun 7 bulan,
pembuat termasuk salah satu sarana untuk kalau penganiayaan ringan pasal 352 maksimumnya 3
pembujukan yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) ke- bulan, kalau penganiayaan yang direncanakan pasal
2. 351 (1) maksimumnya 4 tahun penjara dst. Jadi
maksimumnya bukan 6 tahun (perhatikan redaksi
e. Pertanggungjawaban si penganjur. pasal 163 bis).

Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa penganjur Ketentuan pasal 163 bis juga dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dipertanggungjawabkan pada A dalam hal B (yang
sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. Misal : dianjuri) tidak mau melaksanakan anjuran dari A
walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu
A menganjurkan B untuk menganiaya C dan akibat pemberian / hadiah dari A. jadi gagalnya pengajuran A
penganiayaan itu C mati, Dalam hal ini karena kehendak orang yang ditujuk (B). Apabila tidak
pertanggungjawaban A bukan terhadap perbuatan terjadi atau gagalnya pengajuran A itu karena
“menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan” kehendak A sendiri, maka pasal 163 bis tidak dapat
(pasal 55 jo 351) tetapi “menganjurkan orang lain dikenakan pada A.
melakukan penganiayaan yang berakibat mati” (pasal
55 jo 351 ayat (3)). Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran
A untuk menganiaya C itu, B baru melaksankannya
247 248

sampai taraf percobaan penganiayaan tidak dipidana


dan ini berarti “tidak terjadi percobaan kejahatan
yanmg dipidana” seperti disebutkan dalam pasal 163 Apabila pengertian “sengaja yang dianjurkan” dalam
bis. pasal 55 (2) meliputi juga dolus eventualis yang
dilakukan oleh pembuat materiil, maka dlam kasus
Kalau A membujuk B untuk membunuh C dengan diatas A juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap
menggunakan pistol, tetapi karena “penyimpangan matinya D apabila terbukti bahwa pada saat B
sasaran” (aberretio ictus / afdwalirgsgevallen) (pembuat materiil) menembak C dapat dibayangkan
tembakan B mengenai D, maka perbuatan A tetap kemungkinan tertembaknya orang lain (b) yang berada
dapat disebut “membujuk untuk percobaan di dekat C. Penetuan hal ini dilakukan secara
pembunuhan terhadap C” (pasal 55 jo 53 jo 338). normative oleh Hakim.
Bagaimanakah terhadap matinya D, apakah A dapat
dipertanggungjawabkan ? 6. PEMBANTUAN (medeplichtige)

Ada pendapat bahwa dalam hal ini A tidak dapat a. Sifat : Dilihat dari perbuatannya.
dipertanggungjawabkan karena matinya D bukan yang
dikenhendaki (disengaja dianjurkan) oleh A, jadi Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk
karena tidak ada identitas (kesamaan) antara adanya pembantuan harus ada orang yang
perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang
benar–benar dilakukan. Pendapat ini menghendaki dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban
adanya hubungan langsung antara kesengajaan si tidak accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak
pembujuk dengan terjadinya delik yang dilakukan oleh tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut
orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar pidana.
pada sampai seberapa jauh “kesengajaan” menurut
pasal 55 (2) itu dapat dipertanggungjawabkan kepada b. Jenis : Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis
di pembujuk, apakah hanya bertanggung jawab pembantu :
terhadap “kesengajaan dengan maksud (yang
Jenis pertama :
langsung dituju)” atau meliputi juga seluruh corak
kesengajaan.
 Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan;
249 250

 Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif kepentingan / tujuan sendiri.


dalam undang-undang sendiri.

Jenis kedua : Terhadap pelanggaran Terhadap kejahatan


tidak dipidana (pasal 60 maupun pelanggaran dapat
 Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan; KUHP). dipidana.
 Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam Maksimum pidananya Maksimum pidananya sam
undang-undang (yaitu dengan cara : memberi dikurangi sepertiga (pasal dengan si pembuat.
kesempatan, sarana atau keterangan).
57-1).
Pembantuan jenis pertama ini mirip dengan turut serta
Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran
(medeplegen) perbedaannya sbb :
(uitlokking). Perbedaannya adalah sebagai berikut :
Pembantuan Turut Serta
Penganjuran Pembantuan
Menurut ajaran penyertaan Menurut ajaran obyektif :
Kehendak untuk melakukan Kehendak jahat pada
obyektif : perbuatannya perbuatan merupakan
kejahatan pada pembuat pembuat materiil sudah ada
hanya membantu / perbuatan pelaksanaan
materiil ditimbulkan oleh si sejak semula (tidak
menunjang (ondersteuning (uitvoering shandelling)
pengajur (ada kausalitas ditimbulkan oleh si
shanling)
psikhis) pembantu).
Menurut ajaran subyektif : Menurut ajaran subyektif :

 Kesenjangan  Kesenjangan
merupakan animus merupakan animus
socii (hanya untuk coauctores Adanya ajaran / teori penyertaan yang obyektif dan
memberi bantuan (diarahkan untuk subyektif, ditimbulkan oleh adanya konsepsi yang saling
saja pada orang terwujudnya delik); bertentangan menganai batas-batas
lain);  Harus ada kerja pertanggungjawaban para peserta, yaitu :
 Tidak harus ada sama yang disadari
kerja sama yang (bewuste A. Sistem yang berasal dari hukm Romawi,
disadari (beweste samenworking)
samenwerking)  Mempunyai Menurut system ini tiap-tiap peserta sama nilainya
 Tidak mempunyai kepentingan / tujuan
(sama jahatnya) dengan orang yang melakukan,
251 252

tindak pidana itu sendiri, sehingga mereka tegas. Adapun yang dijadikan batas antara
masingt-masing juga dipertanggungjawabkan masing-masing bentuk penyertaan dititik beratkan
sama dengan pelaku. pada sikap batin masing-masing peserta.
Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau
Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan ajaran penyertaan yang subyektif.
sama, maka batas antara bentuk-bentuk
penyertaan sama, maka batas antara bentuk- Sistem, kedua ini dianut dalam KUHP Jerman dan
bentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan Swiss. Seperti telah dikemukakan, di Jerman
titik berat untuk menentukan batas antara pelaku dibedakan antara Tater (pembuat), anstifter
dengan para peserta diletakkan pada (penganjur) dan Gehilfe (pembantu). Berdasar
perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing teori subyektif, maka jarang termasuk tater harus
(jadi bersifat obyektif). Pendirian inilah yang mempunyai tater-willen (niat untuk menganjurkan)
kemudian dikenal dengan teori atau jaran dan yang termasuk Gehilfe harus mempunyai
penyertaan obyektif. Gehilfewiller (niat untuk membantu orang lain).

Sistem yang pertama ini terdapat dalam Code Menurut Prof Moelyatno, KUHP kita dapat
Penal Prancis dan dianut juga di Inggris. digolongkan kedalam kelompok teori campuran
karena :
B. Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam
abad pertengahan. - Dalam pasal 55 disebutkan “dipidana sebagai
pembuat” dan dalam pasal 56 disebutkan “
Menurut system ini tiap-tiap peserta tidak dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya
dipandang sama nilainya (tidak sama jahatnya), dua bentuk penyertaan ini (yang dapat
tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh disamakan dengan pembagian autors dan
karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda, complices di Prancis atau principals dan
accessoir di Inggris, berarti menganut system
ada kalanya sama berat dan ada kalanya lebih
yang pertama.
ringan dari pelaku. Karena pertanggungjawaban - Akan tetapi apabila dilhat perbedaan
para peserta itu berbeda, maka batas antara pertanggungjawabannya yaitu pembantu
masing-masing bentuk penyertaan itu adalah dipidana lebih ringan (dikurangi sepertiga) dari
prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua.
253 254

Selanjutnya dikemukakan oleh beliau, bahwa B). Perbedaan antara pembuat (dader) dan
apabila pada dasarnya KUHP kita menganut pembantu (megeplichtige)) adalah prinsipil,
system Code Penal (system pertama) dengan sehingga batas antara keduanya ditentukan
pengecualian untuk pembantuan dianut system menurut sikap batinnya.
KUHP Jerman (system kedua), maka
konsekuensinya ialah : c. Pertanggungjawaban pembantu.

A). Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku 1). Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa
orang yang menyuruh lakukan, yang turut serta pidana poko untuk pembantu lebih ringan dari
dan yang menganjurkan, dalah tidak prinsipil. pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1)
Ini berarti batas antara mereka yang tergolong dan (2) yaitu : - Maksimum pidana poko untuk
dalam “daders” itu tidak perlu ditentukan secara pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1);
subyetif menurut niatnya masing-masing
peserta, tetapi cukup secara obyektif menurut - Apabila kejahatan diancam pidana mati atau
bunyinya peraturan saja. penjara seumur hidup, maka maksimum pidana
untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat 2).
Dalam hubungan ini yang penting adalah
perbedaan antara orang yang menyuruh Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam :
lakukan dan penganjur. Perbedaan antara
keduanya jangan dicari dalam sikap batin a). Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat
masing-masing, tetapi cukup bahwa : dengan pembuat, (lihat juga pasal 415 dan 417).

- Untuk menjadi orang yang menyuruh lakuka, b). Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat
apabila orang yang disuruh tidak dapat dari si pembuat, (lihat juga pasal 349).
dipidana sebagai pembuat karena dipandang
tidak mempunyai kesalahan, dan 2). Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan
- Untuk menjadi pengajur sudah cukup, apabila ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama
cara-cara yang digunakan untuk dengan si pembuat (pasal 57 : 3).
menganjurkan tersebut dalam pasal 55 (1)
ke-2 dan si pembuat materiil dapat 3). Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu,
dipertanggungjawabkan.
KUHP mengamut system bahwa
255 256

pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada
accessoir), artinya tidak digantungkan pada unsur sengaja. Unsur ini harus juga dipenuhi untuk :
pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 (4)
dan 58. - Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan
dengan “membujuk”)
4). Ada pendapat dari Prof Moelyatno dan Prof. Oemar
sadji, bahwa system pemidanaan untuk pembantuan - Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan
hendaknya dipakai system “facultative Minderbes “membantu”).
Taftung / strafmilderung yaitu terserah pada hakim
apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi Terhadap kasus serupa itu Karni juga berpendapat A
atau tidak. tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja”
didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari
E. PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN (CULPOSE pembantuan, artinya kesengajaan si pembantu harus
DEELNEMING) diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan.

Misal : F. PENYERTAAN MUTLAK PERLU (NOODZAKELIJKE


DEELNEMING / NECESSARY COMPLICITY).
1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk
menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh Misal :
B untuk mencuri atau untuk membunuh.
2. Pada waktu B akan memasuki rumah C dengan 1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk
maksud mencuri, ia berkelakuan seolah-olah tidak menjalankan haknya untuk memilih;
(pura-pura) kehilangan kunci rumah A yang pada 2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas
waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa militer Negara asing;
B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah 3. pasal 297 : bigamy
merencanakan untuk mencuri, menolong B 4. pasal 284 : perzinahan;
membuka kaca jendela sehingga B dapat masuk 5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan
ke rumah C. anak perempuan di bawah umur 15 tahun;
6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.
Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak
dapat dipidana karena adanya untuk “membujuk” atau Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau
ada orang lain (kawan berbuat) yang mau harus ada,
257 258

apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu 2. pasal 223 : menolong orang melepaskan diri
tidak dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan dari tahanan;
penyertaan yang tidak dapat dihindarkan atau 3. Pasal 480, 481, 482 : delik penadahan;
4. pasal 483 : menerbitkan tulisan / gambar yang
penyertaan yang harus dilakukan.
dapat dipidana karena sifatnya.
Mr. Karni menyebutnya dengan “istilah” bekerja Dalam contoh-contoh diatas sebeanrnya juga
bersama-sama yang diharuskan oleh penegasan delik merupakan bentuk penyertaan, tetapi yang dilakukan
. jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian setelah terjadinya tindak pidana lain. Dalam il;mu
“noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah
diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah “Nachtaterschaft” atau “Begunstigung” (bentuk-bentuk
“bekerja / berbuat bersama-sama” oleh beliau adalah “pemudahan”).
sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen).
H. PERBUATAN PENYERTAAN DALAM
Dalam pasal-pasal diatas ada yang menetapkan PENYERTAAN (DEELNEMING AAN
bahwa dipidana hanya si pelaku, tetapi ada juga yang DEELNEMINGSHANSELINGEN)
menetapkan bahwa kawan pelakunya dapat dipidana.
Mengenai pasal 287, Kami mempersoalkan Misal :
bagaimana apabila justru yang membujuk terjadinya
delik itu adalah anak perempuan yang belum berumur 1. Membujuk untuk membujuk (pasal 55 jo 56);
15 tahun itu ? terhadap hal ini, kami menyatakan tidak
keberatan untuk memidana anak gadis tersebut. - putusan Landraad Batavia 18-21936
- putusan Rv j Batavia 20-3-1936
G. TINDAKAN-TINDAKAN SESUDAH TERJADINYA - putusan Rv j Senmarang 20-12-1937
TINDAK PIDANA SEBAGAI DELIK YANG BERDIRI
2. membujuk untuk membantu (pasal 55 jo 56);
SENDIRI.
- putusan Rv j Batavia 8-5-1930
Misal :
3. membantu untuk menganjurkan (pasal 56 jo 55)
1. pasal 221 : menyembunyikan penjahat;
– putusan Hoge Raad 25-1-1950
259 260

Catatan : BAB XII


bagi mereka yang memandang “deelneming” sebagai
“Tatbescandausdeh-nungsgrund”, contoh-contoh
GABUNGAN TINDAK PIDANA
diatas dapat dimaklumi karena penyertaan dipandang (SAMENLOOP / CONCURSUS)
sebagai “delichtum sui generic”. Namun bagi mereka
yang memandangnya sebagi “strafaus-
dehnungsgrund”, contoh-contoh diatas dipandang
tidak mungkin atau janggal. Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi
suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang,
melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana pada orang
tersebut, di mana untuk tindak pidana itu belumada
putusan hakim diantaranya dan terhadap perkara-
perkara pidana itu akan diperiksa serta diputus
sekaligus.

I. BEBERAPA PANDANGAN.

Ada dua kelompok pandangan mengenai


persoalan concursus :

1. Yang memandang sebagai masalah


pemberian pidana a.l Hazewinkel-
Suringa
2. Yang memandang sebagai bentuk
khusus dari tindak pidana a.l : Pompe,
Mezger, Moelyatno.
261 262

II. PENGATURAN DIDALAM KUHP perbuatan-perbuatan itu ada


hubungan sedemikian rupa
Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 sehingga harus dipandang
yang terdiri dari : sebagai satu perbuatan berlanjut.

1. Perbarengan peraturan (concursus Catatan : Diantara perbuatan-


Idealis) pasal 63.
perbuatan yang dilakukan pada
2. Perbuatan berlanjut (Delictum
Continuatum /Voortgezettehandeling) (concursus realis dan perbuatan
pasal 64. berlanjut) narus belum ada
3. Perbarengan perbuatan (Concursus keputusan hakim.
Realis) pasal 65 s/d 71.
2. Menurut pendapat sarjana :
III. PENGERTIAN
Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam
1. Menurut rumusan KUHP : pasal-pasal di atas menimbulkan
masalah yang cukup sulit, khususnya
Sebenarnya didalam KUHP tidak ada
dalam hal terdakwa hanya melakukan
definisi mengenai Concursus, namun
perbuatan. Kesulitan ini timbul karena
demikian dari rumusan pasal-pasal
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana,
diperoleh pengertian sbb :
“perbuatan” (feit) itu ada meninjaunya
secara materiil, secara fisik jasmaniah,
 Concursus Idealis, pasal 63
(suatu perbuatan masuk dalam yaitu dipikikan terlepas dari akibatnya,
lebih dari satu aturan pidana. terlepas dari unsur-unsur tanbahan
 Ada perbuatan berlanjut, apabila (dikenal dengan jaran feit materiil), dan
pasal 64 ada pula yang melihatnya dari sudut
hukum yaitu yang dihubungkan dengan
Seseorang melakukan beberapa, danya akibat / keadaan yang terlarang.
perbuatan tersebut masing-
masing merupakan kejahatan
atau pelanggaran antara
263 264

Sehubungan dengan kesulitan itu, maka sendiri yang belum cukup umur)
para sarjana mengemukakan beberapa dan pasal 287 (bersetubuh
pendapat : dengan wanita yang belim
berusia 15 tahun diluar
HAZEWINKEL-SURINGA perkawinan).

Ada concursus Idealis apabila TAVERNE


suatu perbuatan yang sudah
memenuhi suatu rumusan delik, Ada concursus Idealis , apabila
mau tidak mau (eoipso) masuk :
pula dalam peraturan pidana
lain. - Dipandang dai sudut
hukumpidana ada dua
Misal : perkosaan dijalan umum, perbuatan atau lebih;
- Antara perbuatan-
disamping masuk 281
perbuatan itu tidak dapat
(melanggar kesusilaan di muka dipikirkan terlepas satu
umum). sama lain.

POMPE Contoh : Oranga dalam


keadaan mabuk mengendarai
Ada concursus Idealis, apabila mobil diwaktu malam tanpa
orang melakukan sesuatu lampu. Dalam hal ini
perbuatan konkrit yang perbuatan hanya satu yaitu
diarahkan kepada satu tujuan “mengendarai mobil”, tetapi
merupakan benda / obyek dilihat dari sudut hukumada
aturan hukum. Misalnya dua perbuatan yang masing-
bersetubuh dengan anak sendiri masing dapat dipikirkan
yang belum berusia 15 th, terlepas satu sama lain, yaitu:
perbuatan ini masuk pasal 294
(perbuatan cabul dengan anak
265 266

Pertama, “mengendarai mobil mengartikannya secara umum


dalam keadaan mabul” dan lebih luas yaitu “tidak
(menggambarkan keadaan berarti harus ada kehendak
orang / pelakunya) dan kedua untuk tiap-tiap kejahatan”.
“mengendarai mobil tanpa Berdasar pengertian yang luas
lampu diwaktu malam” ini, maka tidak perlu perbuatan-
(menggambarkan keadaan perbuatan itu sejenis, asal
mobilnya). Jadi dalam hal ini perbuatan itu dilakukan dalam
ada Concursus Realis. rangka pelaksanaan tujuan.
Misalnya untuk melampiaskan
VAN BEMMELEN balas dendamnya kepada B, A
melakukan serangkaian
Ada Concursus Idealis, apabila : perbuatan-perbuatan berupa
meludahi, merobek bajunya,
- Dengan melanggar
memukul dan akhirnya
satu kepentingan
hukum. membunuh.
- Dengan sendirinya
melakukan perbuatan IV. SISTEM PEMBERIAN PIDANA / STELSEL
(feit) yang lain pula. PEMIDANAAN
1. Concursus Idealis (pasal 63).
Contoh : Perkosaan dijalan
umum (melanggar pasal 285 & a). Menurut ayat 1 digunakan system
281 KUHP). Khusus mengenai absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu
penjelasan M.v.T mengenai pidana pokok yang terberat.
criteria untuk adanya
“perbuatan berlanjut” seperti Misal : perkosaan dijalan umum,
dikemukakan diatas, Simons melanggar pasal 285 (12 th penjara)
tidak sependapat. Mengenai dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).
syarat “ ada satu keputusan
kehendak”, Simons
267 268

Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah yang terdapat dalam
dikenakan ialah 12 tahun. pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun
penjara.
b). Apabila Hakim menghadapi pilihan
antara dua pidana poko sejenis yang 2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
maksimumnya sama, maka menurut
VOS ditetapkan pidana pokok dengan a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada
tambahan yang paling berat. prinsipnya berlaku system absorbsi
yaitu hanya dikenakan satu aturan
c). Apabila menghadapi dua pilihan antara pidana, dan jika berbeda-beda
dua pidana pokok yang tidak sejenis, dikenakan satu aturan pidana, dan jika
maka penetuan pidana yang terberat berbeda-beda dikenakan ketentuan
didasarkan pada urut-urutan jenis yang memuat ancaman pidana pokok
pidana seperti tersebut dalam pasal 10 yang terberat.
(lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi
misalnya memilih antara 1 minggu b). Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan
penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 khusus dalam hal pemalsuan dan
juta rupiah, maka pidana yang terberat perusakan mata uang. Misal A setelah
adalah 1 minggu penjara. memalsu mata uang (pasal 244 dengan
ancaman pidana penjara 15 tahun)
d). Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan kemudian menggunakan /
khusus yang menyimpang dari prinsip mengedarkan mata uang yang palsu itu
umum dalam ayat (1), dalam hal ini (pasal 245 dengan ancaman pidana
berlaku adagium “lex specialis derogate penjara 15 tahun). Dalam hal ini
legi generali” Contoh : seorang ibu perbuatan A tidak dipandang sebagai
membunuh anaknya sendiri pada saat concursus Realis, tetapi tetap
anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dipandang sebagai perbuatan berlanjut
dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun sehingga ancaman maksimum
penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). pidananya dapat dikenakan 15 tahun
Maksimum pidana penjara yang penjara
269 270

c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan  A melakukan 3 jenis kejahatan


khusus dalam hal kejahatan-kejahatn yang masing-masing diancam
ringan yang terdapat dalam pasal 364 pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9
tahun. Dalam hal ini yang dapat
(pencurian ringan), 373 (penggelapan
digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9)
ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 tahun = 12 tahun penjara. Jadi
(1) (perusakan barang ringan) yang disini berlaku system absorbsi yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. dipertajam.
 A melakukan 2 jenis kejahatan
Apabila nilai kerugian yang timbul dari yang masing- masing diancam
kejahatan-kejahatn ringan yang pidana penjara 1 tahun dan 9
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut tahun. Dalam hal ini, maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan ialah
itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut
jumlah ancaman pidananya yaitu
pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan 10 tahun penjara, karena melebihi
pidana yang berlaku untuk kejahatan jumlah maksimum pidana untuk
biasa. Berarti yang dikenakan adalah masing-masing kejahatan tersebut.
pasal 362 (pencurian), 372 b. Untuk concursus realis berupa kejahatan
(penggelapan), 378 (penipuan) atau yang diancam pidana pokok tidak
406 (perusakan barang). sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua
jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap
kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71). tidak boleh melebihi maksimum piudana
a. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang terberat ditambah sepertiga,
yang diancam pidana pokok sejenis, system ini disebut system Kumulasi
berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan yang diperlunak.
satu pidana dengan ketentuan bahwa
jumlah maksimum pidana tidak boleh
Misal :
lebih dari maksimum terberat ditambah
sepertiga.
1). A melakukan 2 jenis kejahatan yang
Misal : masing-masing diancam pidana 9
bulan kurungan dan dua tahun
penjara.
271 272

Dalam hal ini semua jenis pidana (atau dibulatkan menjadi Rp.
(penjara dan kurungan) harus 334,-_
dijatuhkan. Adapun maksimumnya - Perhitungan blok mengenai
jumlah pidana kurungan
adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2)
pengganti di atas masih
tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 didasarkan pada perhitungan
bulan. Dengan demikian pidana yang lama sebelum adanya
dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 perubahan pidana denda 15 kali
tahun penjara dan 8 bulan kurungan. menurut UU No. 18 tahun 1960.
- Menurut perhitungan lama, tiap
2). Bagaimanakah dalam hal A denda 50 sen atau kurang
melakukan 2 jenis kejahatan yang dihitung sama dengan satu hari
kurungan pengganti, tetapi
masing-masing diancam 6 bulan
karena menurut pasal 30 (3)
penjara dan denda Rp. 1.000,- ? maksimum kurungan pengganti
mengenai hal ini ada dua pendapat : 6 bulan, maka untuk denda Rp.
1.000,- maksimumnya kurungan
- Menurut Noyon semuanya penggantinya 6 bulan.
harus dijatuhkan yaitu 6 bulan - Dengan telah adanya
penjara dan denda Rp. 1.000,-; perubahan pidana denda, maka
- Menurut blok perhitungannya 1 hari kurungan pengganti
sbb : pidana denda dijadikan dihitung sama dengan Rp.
dulu pidana kurungan pengganti 7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan
yaitu maksimum 6 bulan (lihat 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,-
pasal 30 KUHP). Dengan kurungan penggantinya sama
demikian maksimumnya ialah 6 dengan 134 hari (dibulatkan).
+ (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. - Dengan demikian apabila diikuti
Karena semua jenis pidana perhitungan menurut Blok di
harus dijatuhkan maka 6 bulan atas maka jumlah maksimum 8
ini dipecah menjadi 6 bulan bulan dapat dipecah misalnya
penjara dan 2 bulan kurungan menjadi 6 bulan penjara dan 2
pengganti atau sama dengan bulan kurungan pengganti atau
1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- sama dengan denda 60/134 x
Rp. 1.000,- = Rp.447,76.
273 274

3). Bagaimanakah dalam hal A d. Untuk Concursus Realis berupa


melakukan dua jenis kejahatan yang kejahatan ringan, khusus untuk pasal
terdapat dalam pasal 351 (diancam 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482
berlaku pasal 70 bis yang menggunakan
pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau
system kumulasi tetapi dengan
denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360 pembatan maksimum untuk penjara 8
(diancam pidana 5 tahun penjara bulan.
atau 1 tahun kurungan ?
Misal :
Dalam hal ini hakim harus
mengadakan “pilihan hukum” terlebih  A melakukan pencurian ringan (pasal
dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana 364) dan penggelapan ringan (pasal
yang sejenis, maka digunakan 373) yang masing-masing diancam
pidana 3 bulan penjara. Maksimum
system absornsi yang dipertajam /
pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6
diperberat (pasal 65). bulan penjara (system kumulasi).
 Tetapi apabila A misalnya melakukan
c. Untuk Concursus Realis berupa 3 kejahatan ringan yang masing-
pelanggaran, berlaku pasal 70 yang masing diancam pidana penjara 3
menggunakan system kumulasi. Misal A bulan, maka maksimumnya bukan 9
melakukan dua pelanggaran yang bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan
masing-masing diancam piadan penjara.
kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan
maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 maupun pelanggaran untuk diadili pada
bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2, saat berlainan, berlaku pasal 71 yang
system kumulasi itu dibatasi sampai berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah
maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. dijatuhi pidana kemudian dinyatakan
Jadi misal A melakukan dua salah lagi karena melakukan kejahatan
pelanggaran yang masing-masing atau pelanggaran lain sebelum ada
diancam pidana kurungan 9 bulan, maka putusan pidana itu, maka pidana yang
maksimum pidana kurungan yang dapat dahulu diperhitungkan pada pidana yang
dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 akan dijatuhkan dengan menggunakan
bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 aturan-aturan dalam bab ini mengenai
tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
275 276

hal perkara-perkara diadili pada saat sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI)


yang sama”. yaitu 8 bulan penjara.

Misal : Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi


pasal 71 diatas dirumuskan secara
A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
singkat sbb :
 Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362,
Putusan ke II = (putusan sekaligus) –
ancaman pidana 5 tahun
penjara); (putusan ke-I).
 Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa
(pasal 351 diancam 2 tahun 8
bulan);
 Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480,
diancam 4 tahun penjara);
 Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378,
diancam 4 tahun penjara).

Kemudian A ditangkap dan diadili dalam


satu keputusan. Maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5
tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata
untuk keempat tindak pidana itu, hakim
menjatuhkan pidana 6 tahun penjara,
maka jika kemudian ternyata bahwa A
pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada
keputusan) melakukan penggelapan
(pasal 372 yang diancam pidana penjara
4 tahun), maka keputusan yang kedua
kalinya ini untuk penggelapan itu paling
banyak hanya dijatuhi pidana penjara
selama 6 tahun 8 bulan (putusan
277 278

BAB XIII perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam


dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak
dihukum, karena :
ALASAN / DASAR PENGHAPUS
PIDANA 1) Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
2) Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan
yang melawan hukum.
(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of
Impunity) Bab I dan Bab II KUHP memuat : “ Alasan-alasan
yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan
pidana”. Pembicaraan selanjutnya akan mengenai
alasan penghapus pidana, aialah alasan-alasan yang
Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang
tentang alasan-alasan yang mengecualikan memenuhi rumusan delik, tidak dapat dipidana. M.v.T
dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai
pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal yang umum alasan mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang
dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, disebut “alasan-alasan tidak dapat
masih menurut Utrecht, UU pidana mengatur hal-hal yang dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-
bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini alasan tidak dapat dipidananya seseorang”.
maka UU pidana mengandung kemungkinan akan
dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun
orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan  Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya
lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan seseorang yang terletak pada diri orang itu
demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh (inwendig), yakni :
a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna
kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu
atau terganggu karena sakit (pasal 44
perkara pidana. KUHP)
b. Umur yang masih muda (mengenai umur
Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana yang masih muda ini di Indonesia dan juga
merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak
mengakibatkan seseorang yang telah melakukan lagi merupakan lasan penghapus pidana
279 280

melainkan menjadi dasar untuk Negara dan Kepala Negara, maka orang
memperingan hukuman). tersebut harus melaporkan.
 Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya II. Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang
seseorang yang terletak di luar orang itu melakukan kejahatan dan sebagainya”.
(uitwendig), yaitu: Disini ia tidak dituntut jika ia hendak
menghindarkan penuntut dari istri, suami
a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48); dan sebagainya (orang-orang yang masih
b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal ada hubungan darah).
249);
c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50); Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan
d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51); pembedaan lain, sejalan dengan pembedaan antara
dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya
Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut
pengetahuan hukm Pidana juga mengadakan perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis
pembedaan sendiri, ialah : alasan penghapus pidana :

1. Alasan penghapus pidana yang umum a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait


(starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar
berlaku umum untuk tiap-tiap delik dan disebut menghapuskan sifat melawan hukumnya
dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP; perbuatan, meskipun perbuatan ini telah
2. Alasan penghapus pidana yang khusus memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.
(starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka
hanya berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar
: yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48
I. Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan
pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-
pada orang yang karena pemberitahuan itu undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).
mendapat bahaya untuk dituntut sendiri b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan
dst………………………………………” Pasal (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse,
164 dan 165 memuat ketentuan : bila entschuldigungsdrund,
seseorang mengetahui ada makar terhadap schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf
suatu kejahatan yang membahayakan menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa
orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum)
281 282

dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu
perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan
ada alasan yang menghapuskan kesalahan si
sebagai tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab
pembuat, sehingga tidak mungkin pemidanaan.
yang terletak didalam si pembuat sendiri.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP
ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab
pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat mengahpuskan kesalahan mekipun perbuatannya tetap
(2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan
jabatan yang tidak sah). suatu alasan penghapus kesalahan. Untuk membuktikan
apakah seseorang yang melakukan tindakpidana ternyata
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44 KUHP, maka
kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar kita memerlukan ilmu pengetahuan lain yang dapat
dan dapat pula merupakan alasan pemaaf. membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku akan diperiksa
oleh seorang ahli (yang akan menyampaikan catatan
medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan
di muka persidangan. (Mengenai pasal 44 KUHP ini
hendaknya dilihat lagi Bab Kemampuan Bertanggung
jawab yang membahas tentang kesalahan dan
ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM pertanggung jawaban pidana).
KUHP.

Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus


pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP).
KUHP.
Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana
TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) : seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong
oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak ini dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa
dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan
283 284

dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena
pemerintah ketika undang-undang (Belanda) itu dibuat. penagruh daya paksa”).

Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap kekuatan, Contoh :


setiap paksaan atau tekanan yang dapat ditahan”. Hal
yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di
memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B,
dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan
mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada
pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk
ditahan” menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya
dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan
perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak
dibedakan dalam du hal : menyerahkan dan ditembak mati. Perlawanan terhadap
paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi
1. vis absoluta (paksaan yang absolut). sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya,
2. vis compulsive (paksaan yang relatif). melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang
secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan.
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan
disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus
ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. ada keseiombangan.
Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan
dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan
yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada ditengah-tengah dua
perusakan benda (pasal 406 KUHP). hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini
harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah
Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48
bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat
ialah daya paksa relative (vis complusiva). Istilah dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang
“gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam kata
tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
285 286

Paksaan Dario dalam : (pasa; 52 SGB) dan keadaan darurat disebut notstand,
yang diatur dalam pasal 54 SGB.
Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26 Juni
1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam Arrest ini, Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat :
orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara
hati atau hati nuraninya keberatan tetap dihukum. Mereka I. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :
tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti
pandanganya sendiri mengenai keadilan dan kesusilaan Contoh klasik : “papan dari carneades”.
yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal
Ada dua orang yang karena kapalnya karam
ini tidak bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima
hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan
puluhan ada perubahan pandangan.
pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat
 Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-
keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka
kemungkinannya masuk kedalam alasan kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk
penghapusan pidana yang umum. menyelamatkan diri, seorang diantaranya
 Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas mendorong temannya sehingga yang di dorong
tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat mati tenggelam dan yang mendorong terhindar
sampai di mana si pembuat dapat di cela atas
dari maut (cerita ini berasal dari CICERO).
perbuatannya.

KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 Orang yang mendorong tersebut tidak dapat


KUHP). dipidana, karena ada dalam keadaan darurat.
Mungkin ada orang yang memandang perbuatan
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita itu bertentangan dengan norma kesusilaan, namun
dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan menurut hukum perbuatan ini karena dapat
psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti difahami bahwa merupakan naluri setiap orang
sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan
orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. II. Pertentangan antara kepentingan hukum dan
kewajiban hukum. Misal :
Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand
287 288

1. Orang yang sedang menghadapi bahaya (kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin.
kebakaran rumahnya, lalu masuk atau Dokter tersebut tak mau melaporkan pada
melewati rumah orang lain guna atasan, sebab dengan memberi laporan pada
menyelamatkan barang-barangnya. atasannya ia berarti melanggar sumpah
2. Seorang pemilik toko kacamata kepada jabatan sebagai dokter yang harus
seorang yang kehilangan kacamatanya. merahasiakan semua penyakit dari para
Padahal pada saat itu menurut peraturan pasiennya.
penutupan took sudah jam tutup took,
sehingga pemilik took dilarang melakukan Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :
penjualan. Namun karena si pembeli itu
ternyata tanpa kacamata tak dapat melihat,  Melaksanakan perintah dari atasannya
sehingga betul-betul dalam keadaan sangat (sebagai tentara)
memerlukan pertolongan, maka penjual  Memegang teguh rahasia jabatan
kacamata dapat dikatakan bertindak dalam sebagai dokter.
keadaan memaksa dan khususnya dalam
keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih
jaksa terhadap putusan hakim yang
tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi ia
menyatakan bahwa, terdakwa (opticien) tak
dapat dipidana dan melepas terdakwa dari tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh
segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1
(putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan
ada dalam keadaan darurat. Ia merasa mahkamah tentara tinggi membebaskannya
dalam keadaan seperti itu mempunyai karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan
kewajiban untuk menolong sesame (Arrest tgl. 26 November 1916).
ini disebut Arrest optician).
b) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu
yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di
dua tempat, VAN HATTUM dalam hal 351
III. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan
membandingkan daya memaksa dengan
kewajiban hukum :
noodtoestand sebagai berikut :
a) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan
laut) diperintahkan atasannya untuk
Pada daya memaksa dalam arti sempit si
melaporkan apakah ada para perwira-perwira
laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat pembuat berbuat atau tidak berbuat
289 290

dikarenakan satu tekanan psikis oleh orang lain untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para
atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada ahli hukum pidana .
penentuan kehendak secara bebas. Ia dororng
oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok :
kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan
yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada 1. adanya serangan,
keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu
Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan
keadaan yang berbahaya yang memaksa atau
pembelaan, melainkan pada serangan yang
mendorong dia untuk melakukan suatu
memenuhi syarat sebagai berikut :
pelanggaran terhadap undang-undang.
a. melawan hukum
BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER b. seketika dan langsung
(PASAL 49 AYAT (1)). c. ditujukan pada diri sendiri / orang lain
d. terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seksual, dan harta benda
seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa 2. ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap
dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, serangan itu. Syarat pembelaan :
membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap
a. seketika dan langsung
serangan yang melwan hukum yang mengancam
b. memenuhi asas subsidiaritas &
langsung atau seketika itu juga”. Perbuatan orang yang proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak
membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya ada cara lain selain membela diri dan
sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga proporsionalitas artinya seimbang antara
Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan serangan dan pembelaan.
hukum yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara
dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat pada
waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang
Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi
diserang itu : maka pembelaan diri ini bersifat
hal ini tidak perlu asal saja memenuhi syarat-syarat
menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer
seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak
atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP sehingga
merupakan tindak pidana, misalnya dengan tinju
291 292

menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di 1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya
fotocopy guna kepentingan majikannya tapi tidak untuk perbenturan antara kepentingan hukum,
dimiliki sendiri. kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta
kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam
pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan
Persoalan yang timbul pada serangan ialah :
oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa
kapankah ada serangan dan kapankah serangan itu dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam
berakhir ? keadaan darurat hak berhadapan dengan hak,
sedang dalam pembelaan darurat, hak
Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka berhadapan dengan bukan hak.
perbuatan A tersebut, yakni menunggu belum dapat 2. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya
dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada dan kapan serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus
serangan itu berlangsung menurut Hazewinkel-Suringa, ada serangan.
3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak
ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah
berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan
mengancam seketika dan langsung berarti bahwa sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu
serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative
serangannya. Sebagai contoh : pembunuh dengan pisau (pasal 49 ayat (1)).
terhunus menyerbu korbannya. 4. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman
pendapat dari pada penulis yakni ada yang
Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada
sebagai alasan pembenar, sedang dalam
menunjukkan akan menembak lagi, tetapi B lalu
pembelaan darurat para penulis memandang
membalas, maka perbuatan b itu bukanlah perbuatan sebagai alasan pembenar ialah sebagai
pembelaan karena terpaksa, karena disini terjadi penghapus sifat melawan hukum.
serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus
dilihat dalam keadaan yang menyertai perbuatan itu. Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu
Terhadap serangan yang tidak melawan hukum tidak perbuatan orang yang disebut putatief noodweer,
mungkin ada pembelaan darurat. disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira
bahwa dia berada dalam keadaan di mana harus
Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus
pembelaan darurat ? di lihat peristiwa dari peristiwa oleh karena itu maka
harus diterangkan dalam proses verbal.
293 294

BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus
49 AYAT 2 KUHP) ada hubungan kausal. Yang menyebabkan
kegoncangan jiwa yang hebat itu harus
(pelampauan batas pembelaan darurat atau bela penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat
mudah tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat
paksa lampau batas)
apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat
kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat pada umumnya.
kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut
bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan
batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi
merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya
yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”. tetap bersifat melawan hukum.

Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini MENJALANKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG
harus ada syarat-syarat sebagai berikut : (PASAL 50 KUHP).

1. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak
melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk
seperti yang diisyaratkan dalam pasala 49 ayat (1) melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mula-
KUHP, pasal 49 ayat (2) dan ayat (1) itu
mula Hoge Raad (HR) menafsirkan secara sempit, yang
mempunyai hubungan yang erat, maka syarat
pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat (1) dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti
disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2). formil, hasil perundang-undangan dari DPR dan/atau raja.
Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan
tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh
tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan. alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang
hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa
langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu
perasaan hati yang sangat panas). Termasuk peraturan perundang-undangan itu menentukan
disini adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap. kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai
3. kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan pelaksanaan. Dalam hala ini umumnya cukup, apabila
karena adanya serangan, dengan kata lain : antara peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban
295 296

tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini


diberikan suatu kewajiban.
MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51
Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu AYAT (1) DAN (2)).
diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam
hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak
dijumpai adannya kewajiban dan tugas-tugas/wewenang dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk
yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang
dapat membebaskan diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi
dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya.
dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka
tindakan ini seperti dalam daya memaksa dan dalam ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara
tujuan yang hendak dicapai dengan cara Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh
pelaksanaannya. Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku tindak pidana.
Colonel polisi tersebut berwenang untuk
Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan polisi
pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah.
karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat Bilamanakah perintah itu dikatakan sah ? apabila
berlindung dibawah pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau
pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.
Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang- Anatar orang yang diperintah dan orang yang
undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada
tersebut merupakan alasan pembenar. Kadang-kadang hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan),
dalam melaksanakan peraturan undang-undang dapat meskipun sifatnya sementara, misalnya seperti
bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan
dipakai pedoman : “lex specialis derogate legi generaki” bersenjata (sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51
atau “lex posterior derogate legi priori”. Yang inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan
diperbolehkan adalah tindakan eksekutor yang wajar, pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui
melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.
297 298

batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan tersebut,
pembenar. sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah
ditentukan pos-pos tertentu. Disini bendaharawan itu
Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa perintah
perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat itu tidak sah.
dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan
orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi Catatan :
pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :
Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya
1. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah Hazewinkel-Suringa mengatakan, bahwa ketaatan yang
itu sah. membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya
2. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang perbuatan).
dari orang yang diperintah.
Contoh lainnya :
Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah
dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator
Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya
dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang
untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan.
dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata
Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah
perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi
maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang
tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa
tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota
perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam
polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan
batas wewenangnya.
perbuatan karena perintah jabatan yang tidak sah ialah :
perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum,
Contoh lainnya :
tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia
Seorang kepala kantor memerintahkan kepada tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah
bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna merupakan alasan pemaaf.
sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk
dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu
melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ?
perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu
299 300

ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU. penghapus pidana yang putatief. Dapatkah orang
tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van
Dimuka telah dibicarakan tentang alasan Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana,
penghapus pidana yang berupa alasan pembenar dan apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh
pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi”
terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan
alasan penghapus pidana, misalnya : singkatan dari afwezigheid van alle schuld, jika ada
kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa
a. hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anak- tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat
anak atau anak didiknya (tuchtrecht); menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi
b. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht)
seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi
ilmiah (misalnya untuk vivisectie); factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan
c. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan dengan situasi yuridis). Alasan penghapus pidana putatief
kepada orang lain mengnai suatu perbuatan yang merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan
dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau pemaaf.
persetujuan (consent of the victim);
d. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
e. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang
materiil (arrest dikter hewan);
f. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada
arrest susu dan air).

ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN


AVAS.

Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah


berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan
pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-
undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang
sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan
penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan
301 302

BAB XIV Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :

a. Abolisi
GUGURNYA KEWENANGAN b. Amnesti
MENUNTUT DAN MENJALANKAN
Delik Aduan.
PIDANA
Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya
tidak berhubungan dengan kehendak perorangan
kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya
A. GUGURNYA KEWENAGAN MENUNTUT.
perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap
Pada prinsipnya kewenangan melakukan anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk
penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama
tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan baik (319) dan lain-lain.
umum dianggap langsung terkena sehingga pihak
I.1. Bentuk Delik Aduan
yang terkena tindak pidana itu harus menerima
adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan
menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa dibagi dalam dua bentuk :
hal yang menjadi dasar atas gugurnya kewenangan
jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP a. Delik Aduan Absolut
adalah :
Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang
a. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik yang terkena tindak pidana itu melebihi
aduan (pasal 72-75 KUHP) kerugian yang diderita oleh umum, maka
b. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP) hukum memberikan pilihan kepadanya untuk
c. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)
mencegah atau memulai suatu proses
d. Daluwarsa (pasal 78 KUHP)
e. Telah ada pembayaran denda maksimum penuntutan.
kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran
yang hanya diancam dengan denda saja Misal :
(pasal 82 KUHP).
303 304

Seorang perempuan muda yang telah 1) Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur /
disetubuhi boleh memilih untuk menikahi laki- dibawah pengampunan (pasal 72) :
laki yang menyetubuhinya daripada pelaku  Oleh wakil yang sah dalam perkara
dijatuhi pidana. perdata;
 Wali pengawas / pengampu
 Istrinya
Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara
 Keluarga sedaraj garis lurus
lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan
 Keluarga sedarah garis menyimpang
cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322 sampai derajat ke-3
(pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia),
pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak
menyenangkan) atau pasal 369
(pengancaman). 2) Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :

b. Delik Aduan relative  Orang tuanya


 Anaknya, atau
Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat  Suami / istri (kecuali ybs tidak
kejahatan yang dilakukan melainkan pada menghendaki).
hubungan antara pelaku / pembantu dan
Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada
korban. Baik hubungan karena keturunan /
pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya :
darah atau dalam hal hubungan perkawinan.
Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang
 Untuk perzinahan (pasal 284).
lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi
alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan. Yang berhak mengadu hanya suami / istri
Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73
dibidang harta benda (pasal 367 KUHP). diatas tidak berlaku).

II.2. Yang berhak mengadu (subyek). Penarikan kembali pengaduan dapat


dilakukan, sewaktu-waktu, selama
Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP pemeriksaan dalam siding pengadilan
menentukan :
305 306

belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal jaksa penuntut umum tak perlu menunggu
75 KUHP tidak berlaku. lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun
undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan
 Untuk melarikan wanita (pasal 332) (pasal 75). Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik
kembali, maka kewenangan menuntut menjadi
Yang berhak mengadu : hapus.
 Jika belum cukup umur oleh : wanita B. NE BIS IN IDEM (PASAL 76)
ybs, atau orang yang harus memberi
ijin bila wanita itu kawin
Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau
 Jika sudah cukup umur, oleh : wanita
ybs, atau suaminya. jangan dua kali yang sama”. Sering juga digunakan
istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas
perbuatnya dapat diganggu / dibahayakan untuk
kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon
II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in
74) jeopardy for tha same offerice”.

a. Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
sejak mengetahui
b. Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan a) Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk
sejak mengetahui adanya kejahatan. tidak memerosotkan kewibawaan Negara);
b) Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah
II.4. Penarikan kembali aduan. mendapat keputusan.

Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam
merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub
penuntutan dilakukan secara final. Memang 1) sbb :
selayakanya pengaduan mencakup pelaporan
(aangifte) dengan permohonan dilakukannya “Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin
penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua
pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia
307 308

terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang


berkekuatan hukum tetap”.
B.1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum
Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang tetap;
dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi
syarat-syarat sbb : Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap)
yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap
 Ada putusan yang berkekuatan hukum perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :
tetap;
 Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan I. Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
adalah sama; (dulu 313 RIB).
 Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah II. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag
sama dengan yang pernah diputus van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2)
terdahulu itu. KUHAP (dulu 314 RIB);
III. Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP
(dulu 315 RIB).

Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan


tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya
hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah
merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak
peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem
satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum
tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya
merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in disebut “penetapan-penetapan” (beschikking),
idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat misalnya :
ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu
memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum a. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk
yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum memeriksa perkara yang bersangkutan;
b. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa
yang kedua kali. karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
309 310

c. Tetang tidak diterimanya perkara karena asing). Hal ini disebut dalam pasal 76 (2) dengan
penuntutan sudah daluwarsa. syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :

a) Putusan yang berupa pembebasan;

Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila
merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi keputusan hakim asing yang berupa
pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapan- pemidanaan baru sebagian dijalani, maka
penetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusan- orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi.
putusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah Dalam pengertian “telah dijalani seluruhnya”
putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi putusan hakim asing itu, menurut Pompe
keputusan mengenai hukum pidana. termasuk pidana bersyarat (V.V. =
voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan
Apabila misalnya seorang pengendara motor bersyarat (V.I. = voorwaardelijke
menabrak penjual soto dan dia dituntut secara invrijheidstelling).
perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan
hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan
dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. hukum;
Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
Orang yang dituntut harus sama. Ini
Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah merupakan segi subyektif dari persyaratan neb
perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini tidak is in idem. Apabila misalnya A dan B
merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara melakukan tindak pidana bersama-sama, akan
gugatan perdata. Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru
berlaku untuk perkara-perkara pidana. A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia
tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya
Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is A dibebaskan.
in idem ini tidak hanya keputusan hakim Indonesia,
tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim c) Putusan berupa pemidanaan :
- Yang sekuruhnya telah dijalani, atau
- Yang telah diberi ampun (grasi), atau;
311 312

- Yang wewenang untuk menjalankannya penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang
telah hapus karena kadaluwarsa. sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang
ada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan
adanya satu kali penuntutan saja.
B.2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama
Catatan :
dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
- Apabila dipandang sebagai concursus
Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi realis, maka tidak ada neb is in idem;
obyektif dari neb is in idem (objective identiteit). - Apabila dipandang sebagai concursus
Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, idealis, maka ada neb is in idem;
seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan
tindak pidana.

Misal : Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is


in idem telah ditinggalkan pada tahuan 1932, yaitu
A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dengan Arrest HR 27 Juni 1932.
dan 281). Seandainya Jaksa hanya menuntut
berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat
tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas dari segala umum mengganggu ketentraman umum, telah
tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut memukul dada dan menendang kaki seorang anggota
yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar polisi yang sedang menjalankan tugasnya.
kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah putusan yang
Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena
pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is
menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2), kemudian oleh
in idem)?
jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman
Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau umu dalam keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan
berkisar pada apa yang dimaksud dengan “feit”. Kalau kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa
kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan
sehingga dapat dikatakan terdakwa melakukan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa
beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan
313 314

mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul.
merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini
hukum pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat
sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat mengajukan permintaan unutk “merubah surat
disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya
yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat tetap.
diterima.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping
berlkaitan erat de4ngan masalah concursus, juga Misal semula terdakwa dituduh mencuri di
berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam taman Diponegoro, kemudian dibebaskan.
tuduhan dapat meliputi masalah : Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi.
Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya
a. Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar : dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro.
Disinipun ada neb is in idem.
Misal : perbuatan A sebenarnya dapat
dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu : Kesukaran dan ketidakpastian yang
ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah
1) Dengan sengaja menghilangkan nyawa menjadi “strafbaar feit”. Dengan perubahan ini
orang lain (pasal 338), menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih
2) Karena kealpaannya menyebabkan
mudah. Namun diakui bahwa itu berarti
matinya orang lain (pasal 359),
3) Dengan sengaja menganiaya yang menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya
berakibat mati (pasal 351 ayat (3)). kemungkinana penuntutan kembali menjadi
b. Waktu terjadinya tindak pidana longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan
dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan
Misal seorang dituntut telah melakukan kepentingan umum dari pada mengulangi
pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam percobaan untuk penerapan undang-undang
surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. pidana dengan setepat-tepatnya.
apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan
pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak
315 316

C. MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA terhukum dengan kehidupan yang tidak
TERPIDANA (PASAL 83). tenang dan penuh kecemasan.

Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu
dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan
pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu
tidak ada suatu tanggungjawab pidana diwariskan. adagium punier non (simper) necesse est
Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa (menghukum tidak selamanya perlu) menajdi
kematian seorang tersangka atau terdakwa dasar dari keberadaan lembaga ini.
menyebabkan kewenangan seorang Jaksa penuntut
menjadi gugur. Sementara kematian seseorang D.1.1. Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan.
terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan
pidana menjadi terhapuskan. Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam
pasal 78 (1), yaitu :
D. DALUWARSA (VERJARING).
 Untuk semua pelanggaran dan kejahatan
D.1 Daluwarsa Penuntutan. percetakan : sesudah 1 tahun;
 Untuk kejahatan yang diancam denda,
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan kurungan atau penjara maksimum 3 tahun :
dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh daluwarsanya sesudah 6 tahun;
beberapa pemikiran yaitu :  Untuk kejahatan yang diancam pidana
penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12
tahun;
 Dalam kenyataannya perputaran waktu
 Untuk kejahatan yang diancam pidana mati
tidak hanya secara perlahan
atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah
menghapuskan akibat tindak pidana yang
18 tahun.
terjadi akan tetapi juga mengahpuskan
keinginan untuk melakukan pembalasan.
Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai
 Berjalannya waktu sekaligus
menghapuskan jejak-jejak tindak pidana berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan,
yang menyebabkan kesulitan pembuktian. kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam
 Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun pasal tersebut yang menyangkut vorduurende
menyembunyikan diri sudah cukup delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan
317 318

dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan
dalam pasal 79 adalah : pengusutan tidak lagi dianggap termasuk
tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2)
- Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting)
perhitungan daluwarsa didasarkan pada mulai berjalan tenggang daluwarsa yang
waktu setelah uang dipakai atau diedarkan;
baru, jadi selama terhentinya selama ada
- Kejahatan terhadap kemerdekaan
seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), tindakan penuntutan tenggang waktunya
daluwarsa dihitung keesokan hari setelah tidak dihitung.
orang tersebut dibebaskan atau ditemukan
meninggal dunia; b. Penangguhan (scorsing).
- Kejahatan terhadap register kependudukan
(pasal 556-558 a), sehari setelah data Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa
tersebut dimasukkan dalam catatan penuntutan tertunda/tertangguhkan
register. (geschorst) apabila ada perselisihan
praejudisiil, yaitu perselisihan menurut
D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.
hukum perdata yang terlebih dulu harus
diselesaikan sebelum acara pidana dapat
a. Pencegahan (stuiting).
diteruskan. Dalam hal ada
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa penundaan/pertangguhan (schorsing) maka
terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum
tindakan penuntutan (daad van vervolging). diadakannya penundaan, tetap
Pada mulanya tindakan penuntutan diperhitungkan terus. Hanya saja selama
diartikan secara luas yaitu mencakup juga acara hukum perdata berlangsung dan
tindakan-tindakan pengusutan (daad van belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan
opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian pidana, dipertangguhkan. Hal ini
menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi
hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum kesempatan untuk menunda-nunda
yang langsung menyangkutkan hakimdalam penyelesaian perkara perdatanya dengan
acara pidana (misal menyerahkan perkara perhitungan dapat dipenuhinya tenggang
ke siding, mendakwa / mengajukan daluwarsa penuntutan pidana.
319 320

D.2. Daluwarsa Pemidanaan. “tidak ada daluwarsa untuk kewenangan


mejalankan hukuman mati”.
Sama dengan daluarsa penuntutan maka
landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa
didasarkan kepada dua hal yaitu : dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah
putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama
1. dalam kenyataannya perputaran waktu tidak dengan putusan hakim yang inkracht van
hanya secara perlahan menghapuskan gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap).
akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi
Pada umumnya memang putusan hakim yang
juga menghapuskan keinginan unutk
melakukan pembalasan berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan
2. bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum
menyembunyikan diri sudah cukup keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstek-
terhukum dengan kehidupan yang tidak vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa).
tenang dan penuh kecemasan.
D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa
Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan Pemidanaan.
pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.
a. pencegahan (stuiting)
D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.
pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam hak untuk menjalankan / mengeksekusi
pasal 84 (2), yaitu : pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85
ayat (2)) yaitu :
 untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2
tahun. 1) Jika terpidana melarikan diri selama
 Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya menjalani pidana.
5 tahun.
 Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya Dalam hal ini, tenggang daluwarsa
sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat
baru dihitung pada keesokan harinya
pasal 78 ) ditambah sepertiga.
setelah melarikan diri.
Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :
321 322

2) Jika pelepasan bersyarat dicabut diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat
berupa :
Dalam hal ini, maka pada esok
harinya setelah pencabutan, mulai  Tidak mengeksekusi seluruhnya,
berlaku tenggang daluwarsa baru.  Hanya mengeksekusi sebagian saja
 Mengadakan komutasi yaitu jenis
Dengan demikian selama ada pencegahan, pidananya diganti, misal penjara diganti
maka jangka lewat waktu yang telah dilalui kurungan, kurungan diganti dengan denda,
hilang sama sekali (tidak dihitung). pidana mati diganti penjara seumur hidup.

Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink


b. penagguhan (schorsing).
adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa putusan tidak atau kurang diperhatikan atau
hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi mungkin pertimbangan dan yang bila (secara
dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu : memadai sebelumnya ia keathui, akan
mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan
 selama perjalanan pidana ditunda lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi
menurut peraturan perundang-undangan sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala
yang berlaku; hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan
 selama terpidana dirampas
mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu
kemerdekaannya (ada calon tahanan),
walaupun perampasan kemerdekaan itu sendiri.
berhubung dengan pemidanaan lain.
Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-
A. Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal
Menjalankan Pidana di luar KUHP. 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi
terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara
E.1. Grasi. seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun.
Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs.
dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
Keputusan hakim tetap ada, tetapi
pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi /
323 324

I. Terpidana yang pernah ditolak (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana
permohonan grasinya dan telah lewat melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan
waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala
penolakan permohonan grasi tersebut;
Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan
II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari
pidana mati menjadi pidana penjara permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan
seumur hidup dan telah lewat waktu 2 salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang
(dua) tahun sejak tanggal keputusan memutus perkara pada tingkat pertama paling
pemberian grasi diterima. lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya
permohonan grasi dan salinannya.
Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak
menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh)
terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan
permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa pasal 8, penagdilan tingkat pertama mengirimkan
hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan salinan permohonan dan berkas perkara
persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam
dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati, jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan
permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terhitung sejak tanggal diterimanya salinan
terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6 permohonan dan berkas perkara sebagaimana
ayat (3)). dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung
mengirimkan pertimbangan tertulis kepada
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam
Preisden. Presiden memberikan keputusan atas
pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh
permohonan grasi setelah memperhatikan
terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya
pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu
kepada Presiden. Salinan permohonan grasi
pemberian atau penolakan grasi sebagaimana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga)
disampaikan kepada pengadilan yang memutus
bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan
perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan
Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat
kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi
berupa pemberian atau penolakan grasi.
dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat
325 326

E.2. Amnesti. dengan dilepaskannya kewenangan melakukan


penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan sudah dimulai.
umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan
perundang-undangan) yang memuat pencabutan
senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu
atau satu kelompok delik tertentu, demi
kepentingan semua terpidana maupun bukan,
terdakwa ataupun bukan, mereka yang
identitasnya diketahui ataupun tidak namun
bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh
karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase
ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan)
maupun post sentantiam (pasca proses
ajudikasi).

Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan


politik.

E.3. Abolisi.

Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi


merupakan hak prerogative presiden yang
ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Abolisi mengandung pengertian penghapusan
yang diberikan kepada perseorangan yang
mencakup penghapusan seluruh akibat
penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan,
termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan
demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan
327 328

BAB XV Menurut sistem ini, setiap pengulangan


terhadap jenis tindak pidana apapun dan
RESIDIVE dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan
alasan untuk memperberat pidana yang akan
( PENGULANGAN TINDAK PIDANA) dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak
pidana dan tidak ada daluwarsa dalam
residivenya.

1. PENGERTIAN
Residive atau pengulangan terjadi apabila
seseorang yang melakukan suatu tindak pidana 2. Sistem Residive Khusus
dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim Menurut sistem ini tidak semua jenis
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( pengulangan merupakan alasan pemberatan
MKHT) atau “in kracht van gewijsde”, kemudian pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap
melakukan tindak pidana lagi. pengulangan yang dilakukan terhadap jenis
tindak pidana tertentu dan yang dilakukan
Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
pada Residive sudah ada putusan Pengadilan
berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan
pada Concursus Realis terdakwa melakukan 2. MENURUT KUHP
beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak
sang satu dengan yang lain belum ada putrusan diatur secara umum tetapi diatur secara khusus
Pengadilan yang MKHT. untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa
kejahatan maupun pelanggaran.
Residive merupakan alasan untuk
memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan
ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu.
ini, yaitu : Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam
sistem Residive Khusus.

1. Sistim Residive Umum


329 330

a. Residive Kejahatan. Syarat-syarat Recidive pelanggaran


Residive terhadap kejahatan dalam pasal : disebutkan dalam masing-masing pasal
137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), yang bersangkutan.
208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis
(2).

Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila 3. RECIDIVE DI LUAR KUHP


ada pengulangan menjadi alasan pemberat.
Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam
Perlu diingat bahwa mengenai tenggang
Undang-Undang:
waktu dalam residive tersebut tidak sama,
misalnya : i. Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997),
Pasal 78 s/d 85, dan pasal 87;Tenggang
i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 waktu lima tahun. Ancaman pidana
bis dan 321 tenggang waktunya ditambah sepertiga
dua tahun ; ii. Tindak Pidana Psikotropika (UU
ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana
tenggang waktunya lima tahun. ditambah sepertiga.
iii. Sedangkan untuk residive yang
diatur dalam Pasal 486, 477 dan
488 KUHP mensyaratkan bahwa
tindak pidana yang diulangi
termasuk dalam kelompok jenis
tindak pidana tersebut.

b. Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis
tindak pidana, yaitu :

Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517,


530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
331

SOAL UJIAN
DAFTAR PERTANYAAN
MATERI DIKLAT
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

1. Ruang berlakunya hukum pidana dapat


dibedakan menurut waktu dan menurut tempat.
Jelaskan dimana diatur ruang berlakunya
hukum pidana di dalam KUHP dan di luar
KUHP ?
2. Menurut Prof. Moeljatno apa saja yang menjadi
unsur dari suatu perbuatan pidana ?.
3. Apa pentingnya bagai Jaksa memahami
pengertian unsur-unsur tindak pidana ?.
4. Siapa yang dimaksud sebagai Pelaku (dader)
menurut pasal 55 KUHP ?.
5. Apa yang dimaksud dengan Recidive ?

Anda mungkin juga menyukai