Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Tetanus
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi akut yang diakibatkan
oleh tetanospamin, neurotoksin yang dihasilkan oleh kuman clostridium
tetani.
2.1.1 Etiologi
Clostridium tetani adalah obligat anaerob pembentuk spora, gram
positif, bergerak, yang habitatnya bisa di tanah, debu, saluran pencernaan
berbagai binatang. spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih
tapi tidak dalam autoclaf, tetapi sel vegetatif terbunuh oleh antibiotik,
panas dan desinfektan.Tidak seperti banyak klostridia, C. tetani bukan
orgenisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit
melalui pengaruh toksin tunggal, yaitu tetanospamin.
2.1.2 Epidemiologi
Tetanus terdapat di seluruh dunia dan di negara-negara
berkembang merupakan penyebab kematian neonatus yang utama.
Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak
sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora
kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-
mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui :
1.Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
2.Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3.OMP, caries gigi
4.Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
5.Penjahitan luka robek yang tidak steril.
Faktor-faktor yang turut menentukan di dalam penyebaran geografisnya
mencakup masalah iklim, prevalensi spora C. tetani di dalam tanah dan
derajat imunisasi pada kelompok populasi tertentu. Angka serangan rata-

1
rata di Amerikat Serikat misalnya, kira-kira sebesar 1 kasus / juta / tahun.
(Mccarney,2007)

2.1.3 Patofisiologi
Clostridium tetani dalam bentuk spora dapat memasuki tubuh
manusia
melalui luka yang terkontaminasi oleh tanah, debu, kotoran hewan dan manusia.
Spora dapat masuk ke tubuh manusia juga lewat luka tusuk yang dalam atau
goresan pisau. Spora tetanus juga dapat masuk melalui tubuh ketika kulit rusak
oleh luka bakar atau dengan injeksi obat yang terkontaminasi. Sekali spora
memasuki luka, mereka memproduksi racun syaraf yang sangat kuat yang
menyebar ke tubuh dan menyebabkan rasa nyeri. Spora yang masuk dapat tetap
bertahan dalam jaringan normal dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Dalam kondisi yang anaerob, spora yang rangkap menguraikan tetanospamin dan
tetanolysin.Tetanospamin lalu memasuki sistem syaraf perifer pada myoneural
juction dan ditransportasikan sentripetal ke neurons sistem syaraf pusat. Neuron
menjadi incapable untuk melepaskan neurotransmitter. Neurons yang melepaskan
GABA dan glisin yang merupakan neurotransmitter yang merupakan
neurotransmitter inhibisi terbesar terutama sensitive terhadap tetanospamin
menjadi gagal dalam menghambat respon refleks motorik terhadap stimulasi
sensory. Ini menyebabkan kontraksi menyeluruh.
Tetanospasmin itu sendiri dapat mencapai susunan syaraf pusat melalui
penyerapan pada sambungan mioneural (myoneural junctions), yang diikuti
migrasi melalui ruangan jaringan perineural (perineural tissue spaces) susunan
syaraf, atau melalui pemindahan limfosit ke dalam darah dan selanjutnya ke
susunan syaraf pusat.

2
Pathway
Terpapar kuman Clostridium tetani

Eksotoksin

Pengangkutan toksin melewati saraf


motorik

Ganglion Sumsum
Tulang Belakang Otak Saraf Otonom

Tonus otot  Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf


Simpatis
Gangliosides

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihan


pada tetanus -Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
Hilangnya keseimbangan tonus otot otot
-Takikardi

Kekakuan otot Hipoksia berat

Sistem Pencernaan Sistem Pernafasan  O2 di otak

Kesadaran 

-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia


-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan
-Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas
Verbal -Kurangnya
pengetahuan
Ortu
-Dx,Prognosa,
Perawatan

2.1.4 Gejala klinis

3
Masa tunas tetanus berkisar 2-21 hari, timbulnya gejala klinis biasanya
mendadak, didahului oleh ketegangan otot terutama di daerah rahang dan leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( Trismus) karena spasme otot
masseter. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk, dinding perut dan sepanjang
tulang belakang. Bila serangan kejang klonik sedang berlangsung sering tampak
risus sardonikus karena spasme otot muka. Gambaran umum yang khas pada
tetanus adalah beruapa badan kaku denagn opistotonus, tungkai dalam ekstensi,
lengan kaku dengan tangan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik. Serangan
timbul paroksismal, dapat dicetuskan oleh rangsang suara, cahaya maupun
sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul spontan. Karena kontraksi otot yang
sangat kuat, dapat terjadia asfiksia dan sianosis. kadang dijumpai demam yang
ringan dan biasanya pada stadium akhir.
Tetanus skor :
o Inkubasi Skore
7 hari 3
8-12 hari 2
> 12 hari 1
o Onset
3 hari 3
4-6 hari 27h
> 7 hari 1
o Disfagia 1
o Kejang spontan 2
o kejang langsung 1
o Trismus, rhisus, masing- masing
Sardonikus 1
Opistotonus 1
o Gejala aktivitas
Simpatis 1
KV 1
Spasme laring 1
Grade

4
 Ringan : 3-7
 Sedang : 8-12
 Berat : >12

2.2 Pencegahan
Hal ini paling baik dicapai dengan imunisasi secara aktif melalui
serangkaian suntikan tetanus toxoid (TT), difteri toxoid, dan vaksin pertusis
secara intramuscular sebanyak 3 kali. Idealnya, suntikan tersebut diberikan ketika
bayi berusia 2 bulan dilakukan terpisahdengan interval 8 minggu dan setahun
kemudian diberikan dosis ke-4. Dosis booster juga diberikan ketika memasuki
taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Setelah itu dosis toxoid tetanus dan difteri
tipe dewasa (DT) dianjurkan diberikan setiap 10 tahun. Pendekatan tersebut dapat
disesuaikan dengan situasi setempat. Imunisasi ibu hamil, yang belum
mendapatkan imunisasi, akan memberikan perlindungan kepada bayi segera
setelah dilahirkan. Tindakan demikian disarankan pada daerah-daerah yang
insiden tetanus neonatorum tinggi. Sebaiknya imunisasi tetanus dilakukan
sebelum kehamilan.
Dalam jurnal yang berjudul “Cakupan Imunisasi Tetanus Toxoid Ibu
Hamil di Daerah Terpencil “ menginformasikan data kesehatan dalam bentuk
gambaran masyarakat pada tingkat kabupaten. Jurnal ini pun memaparkan tentang
program pembangunan kesehatan seperti pemberian suntikan imunisasi
antitetanus atau Toxoid Tetanus (TT) pada ibu hamil. Sedangkan sampel
penelitiannya adalah ibu yang memiliki anak balita. Sampel tersebut sebanyak 217
responden.

Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa upaya pelayanan


kesehatan pada ibu hamil cenderung belum mencapai standar pelayanan minimal
80%. Namun bila dilihat dari cakupan pemeriksaan kehamilan atau K4
memperlihatkan bahwa pelayanan antenatal secara lengkap semakin terjangkau,
tingkat perlindungan terhadap ibu hamil semakin meningkat, dan kemampuan
manajemen program kesehatan ibu dan anak (KIA) semakin baik.

2.3 Pemeriksaan dignostik

5
o Laboratorium : biasanya tidak ada yang spesifik, hanya terdapat tanda
o leukositosi ringan dan kadang- kadang didapatkan peninggian tekanan
cairan otak.
o Diagnostik secara klinis ditemukan adananya trismus, spasme, opistotonus.
o Prosedural test ( dengan test spatula)
- Tes yang sederhana ini dengan menyentuhkan
spatula pada oropharing
- Pada test ini klien akan mencoba untuk memakssa
keluar spatula ( test negatif)
- Pada tetanus klien mengalami reflek spasme
dari otot masseter dan mengigit spatula.
2.4 Penatalaksanaan
 umum
 Merawat dan membersihkan luka sebaik- baiknya
 Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan.
 Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara
 Obat - obatan
o Antitoksin
o Tetanus imun globulin lebih dianjurkan pemakaiannya
dibandingkan dengan ATS.
2.5 Prognosis
Mortalitas rata-rata tetanus sebesar 45-55%. Sedangkan mortalitas tetanus
neonatorum sebesar 60% atau bahkan lebih tinggi lagi. Prognosis penyakit
dipengaruhi oleh berbagai factor. Angka kematian tertinggi didapatkan pada bayi
dan penderita usia lanjut. Mortalitas terendah dijumpai pada penderita usia antara
10-19 tahun (kurang dari 20%).
Hal - Hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Klien Tetanus :
1. Sistem pernafasan
Prioritas utama adalah pada manajemen jalan nafas dan respiratory care.
spasme otot laring, diafragma dan otot pernafasan dapat menyebabkan

6
kegagalan nafas atau mati lemas. Pengkajian pernafasan yang intensif
adalah perlu untuk mendeteksi berkembangnya komplikasi.
2. Sistem neurologis
Selama 24 - 48 jam pertama spasme otot terjadi cara menyeluruh, sehingga
rangsang taktil, suara dapat menyebabkan stimulasi kejang. karena itu
tempatkanlah klien dalam lingkungan yang redup dan tenang, Agen blok
neuromuscular digunakan untuk mengurangi spasme otot. Agen tersebut
dapat menyebabkan paralisis tapi klien tetap sadar. Karena klien masih
merasakan nyeri dan takut, narkotik analgesik menjadi alternatif.
3. Sistem kardiovaskuler
Toksin tetanus dapat menyebabkan instabilitas sistem saraf simpatik
seperti dimanifestasikan dengan disritmia jantung, tekanan darah tidak
stabil, monitoring sangat diperlukan.
4. Pertimbangan metabolik
Nutrisi enteral merupakan pilihan metode yang lebih disukai sebagai
support dan penggunaan lebih awal saluran cerna dan mencegah atrofi
saluran scerna. Enteral feeding dapat mempertahankan fungsi absorpsi
mukosa saluran cerna dan membantu mempertahankan barrier mukosa
usus dari kemungkinan masuknya kuman pathogen dari sirkulasi sistemik.
5. Manajemen luka
Manajemen luka tergantung dari jenis luka dan
status imunisasi klien. Setelah dilakukan
debrideman luka harus dipertahankan bersih dan
luka dirawat secara regular dengan aseptic saat
mengganti balutan.
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien tetanus
Asfiksia Dislokasi sendi
kematian jantung Pneumonia aspirasi
Fraktur Emboli paru
Retensi urine malnutrisi
Koma Kontraktur
Paralisis

7
1

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan
menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut.
(Santosa. NI, 1989, 154)
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan
sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan
menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang
meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data
didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien
dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui
observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara
(yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan
(berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur
(mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat kabar).
Pengumpulan data pada kasus tetenus ini meliputi :

a. Data subyektif
1. Biodata/Identitas
Biodata klien mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi
nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
alamat.
2. Keluhan utama kejang
3. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang,
maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam
terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan
demam..
Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu
berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui
kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola
serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran
seperti epilepsi mioklonik ?

1
2

Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan


kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi
sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile
?
Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang
terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun.
Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada
umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah rangsangan tertentu yang
dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala
dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya.
Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar,
tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, dan sebagainya ?

Riwayat penyakit sekarang yang menyertai


Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada
penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA,
Morbili dan lain-lain.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah
penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat
kejang terjadi untuk pertama kali ?
Apakah ada riwayat trauma kepala, luka tusuk, lukakotor, adanya
benda asing dalam luka yang menyembuh , otitis media, dan cairies
gigi, menunjang berkembang biaknya kuman yang menghasilkan
endotoksin.
5. Riwayat kesehatan keluarga.
Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang kurang
aseptik.
6. Riwayat sosial
Hubungan interaksi dengan keluarga dan pekrjaannya
7. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang
kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan
tindakan medis ?

2
3

Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan


kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang
sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi Ditanyakan bagaimana
kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh klien ?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera
makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
Pola Eliminasi :
BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis
ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah
? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat kencing.
BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana
konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
Pola aktivitas dan latihan
Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur
jam berapa ? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur
siang ?

b. Data Obyektif
1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran,
tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana
akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan
kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala
Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut.
Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang
jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa
menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Muka/ Wajah.
Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada
gangguan nervus cranial ?
Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan
ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
Telinga

3
4

Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya


infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga,
keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan
napas ? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana
keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh?
Apakah ada caries gigi ?
Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi
faring, cairan eksudat ?
Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ?
Adakah pembesaran vena jugulans ?
Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah
bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ?
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda
meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?
Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah
terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi
kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi ?

c. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi :
1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N
< 200 mq/dl)

4
5

BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan


merupakan indikasi nepro toksik akibat dari
pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak
ruang dan adanya lesi
3. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak
melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil
biasanya normal.

d. Analisa dan Sintesa Data


Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan
mentabulasi, menyeleksi, mengelompokkan, mengaitkan data,
menentukan kesenjangan informasi, melihat pola data, membandingakan
dengan standar, menginterpretasi dan akhirnya membuat kesimpulan.
Hasil analisa data adalah pernyataan masalah keperawatan atau yang
disebut diagnosa keperawatan.

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat, dan pasti


tentang masalah pasien/klien serta penyebabnya yang dapat dipecahkan
atau diubah melalui tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
1. Risiko terjadinya cedera fisik berhubungan dengan serangan kejang
berulang.
2. Risiko terjadinya ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan
sekunder dari depresi pernafasan
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan produksi
sekret yang berlebihan pad ajalan nafas atas.
4. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penanganan penyakitnya
berhubungan dengan keterbatasan informasi yang ditandai
5. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan reaksi eksotoksin

II. Perencanaan
Perencanaan merupakan keputusan awal tentang apa yang akan dilakukan,
bagaimana, kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan melakukan kegiatan
tersebut. Rencana keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan
keperawatan. (Santosa. NI, 1989;160)

5
6

a. Diagnosa Keperawatan : Risiko terjadinya cedera fisik berhubungan dengan


kejang berulang
Tujuan : Klien tidak mengalami cedera selama perawatan
Kriteria hasil :
1. Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang
2. klien tidur dengan tempat tidur pengaman
3. Tidak terjadi serangan kejang ulang.
4. Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit (bayi), Respirasi 16-20 x/menit
5. Kesadaran composmentis
Rencana Tindakan :
INTERVENSI RASIONAL
1. 1. Penemuan faktor pencetus untuk
Identifikasi dan hindari faktor memutuskan rantai penyebaran toksin
pencetus tetanus.
2. 2. Tempat yang nyaman dan tenang
tempatkan klien pada tempat dapat mengurangi stimuli atau
tidur yang memakai rangsangan yang dapat menimbulkan
pengaman di ruang yang kejang
tenang dan nyaman 4. efektivitas energi yang dibutuhkan
3. untuk metabolisme.
anjurkan klien istirahat 5. lidah jatung dapat menimbulkan
4. obstruksi jalan nafas.
sediakan disamping tempat tidur
tongue spatel dan gudel 5. tindakan untuk mengurangi atau
untuk mencegah lidah jatuh mencegah terjadinya cedera fisik.
ke belakng apabila klien
kejang
5.
lindungi klien pada saat kejang
dengan :
- longgarakn pakaian
- posisi miring ke satu sisi
- jauhkan klien dari alat yang
dapat melukainya 6. dokumentasi untuk pedoman dalam
- kencangkan pengaman penaganan berikutnya.
tempat tidur
- lakukan suction bila banyak
sekret
6.
catat penyebab mulainya kejang, 7. tanda-tanda vital indikator terhadap
proses berapa lama, adanya perkembangan penyakitnya dan
sianosis dan inkontinesia, gambaran status umum klien.

6
7

deviasi dari mata dan gejala-


hgejala lainnya yang timbul.
7. 8. efek samping dan efektifnya obat
sesudah kejang observasi TTV diperlukan motitoring untuk tindakan
setiap 15-30 menit dan lanjut.
obseervasi keadaan klien 9 dan 10 kompliksi kejang dapat terjadi
sampai benar-benar pulih depresi pernafasan dan kelainan irama
dari kejang jantung.
8.
observasi efek samping dan 11. untuk mengantisipasi kejang,
keefektifan obat kejang berulang dengan menggunakan
9. obat antikonvulsan baik berupa bolus,
observasi adanya depresi syringe pump.
pernafasan dan gangguan
irama jantung
10.
lakukan pemeriksaan neurologis
setelah kejang
11.
kerja sama dengan tim :
- pemberian obat
antikonvulsan dosis tinggi
- pemeberian antikonvulsan
(valium, dilantin,
phenobarbital)
- pemberian oksigen tambahan
- pemberian cairan parenteral
- pembuatan CT scan

b. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan klien dan keluarga tentang


penanganan penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pengetahuan klien dan keluarga tentang penanganan
penyakitnya dapat meningkat.
Kriteria Hasil :
1. Klien dan keluarga dapat mengerti proses penyakit dan
penanganannya
2. klien dapat diajak kerja sama dalam program terapi
3. klien dan keluarga dapat menyatakan melaksanakan penejlasan dna
pendidikan kesehatan yang diberikan.

INTERVENSI RASIONAL

7
8

1. Identifikasi tingkat 1. Tingkat pengetahuan penting untuk


pengetahuan klien dan keluarga modifikasi proses pembelajaran orang
2. Hindari proteksi yang dewasa.
berlebihan terhadap klien , 2. tidak memanipulasi klien sehingga
biarkan klien melakukan ada proses kemandirian yang terbatas.
aktivitas sesuai dengan
kemampuannya. 3. kerja sama yang baik akanmembantu
3. ajarkan pada klein dan dalam proses penyembuhannnya
keluarga tentang peraawatan
yang harus dilakukan sema 4. status kesehatan yang baik membawa
kejang damapak pertahanan tubuh baik
4. jelaskan pentingnya sehingga tidak timbul penyakit
mempertahankan status penyerta/penyulit.
kesehatan yang optimal dengan
diit, istirahat, dan aktivitas yang 5. efek samping yang ditemukan secara
dapat menimbulkan kelelahan. dini lebih aman dalam penaganannya.
5. jelasakan tentang efek
samping obat (gangguan 6. Kebersihan mulut dan gigi yang baik
penglihatan, nausea, vomiting, merupakan dasar salah satu pencegahan
kemerahan pada kulit, synkope terjadinya infeksi berulang.
dan konvusion)
6. jaga kebersihan mulut dan gigi
secara teratur

2.3.4 Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan
dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan
perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien ( Santosa. NI,
1989;162 )

2.3.5 Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut
pengumpulan data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah
tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu
langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa
masalah selanjutnya ( Santosa.NI, 1989;162).

DAFTAR PUSTAKA

8
9

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,


Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I
Made, EGC, Jakarta
Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.
Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas
Airlangga, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai