Askep Tetanus
Askep Tetanus
2.1 Tetanus
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi akut yang diakibatkan
oleh tetanospamin, neurotoksin yang dihasilkan oleh kuman clostridium
tetani.
2.1.1 Etiologi
Clostridium tetani adalah obligat anaerob pembentuk spora, gram
positif, bergerak, yang habitatnya bisa di tanah, debu, saluran pencernaan
berbagai binatang. spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih
tapi tidak dalam autoclaf, tetapi sel vegetatif terbunuh oleh antibiotik,
panas dan desinfektan.Tidak seperti banyak klostridia, C. tetani bukan
orgenisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit
melalui pengaruh toksin tunggal, yaitu tetanospamin.
2.1.2 Epidemiologi
Tetanus terdapat di seluruh dunia dan di negara-negara
berkembang merupakan penyebab kematian neonatus yang utama.
Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak
sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat tinggi. Spora
kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-
mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui :
1.Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
2.Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3.OMP, caries gigi
4.Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
5.Penjahitan luka robek yang tidak steril.
Faktor-faktor yang turut menentukan di dalam penyebaran geografisnya
mencakup masalah iklim, prevalensi spora C. tetani di dalam tanah dan
derajat imunisasi pada kelompok populasi tertentu. Angka serangan rata-
1
rata di Amerikat Serikat misalnya, kira-kira sebesar 1 kasus / juta / tahun.
(Mccarney,2007)
2.1.3 Patofisiologi
Clostridium tetani dalam bentuk spora dapat memasuki tubuh
manusia
melalui luka yang terkontaminasi oleh tanah, debu, kotoran hewan dan manusia.
Spora dapat masuk ke tubuh manusia juga lewat luka tusuk yang dalam atau
goresan pisau. Spora tetanus juga dapat masuk melalui tubuh ketika kulit rusak
oleh luka bakar atau dengan injeksi obat yang terkontaminasi. Sekali spora
memasuki luka, mereka memproduksi racun syaraf yang sangat kuat yang
menyebar ke tubuh dan menyebabkan rasa nyeri. Spora yang masuk dapat tetap
bertahan dalam jaringan normal dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Dalam kondisi yang anaerob, spora yang rangkap menguraikan tetanospamin dan
tetanolysin.Tetanospamin lalu memasuki sistem syaraf perifer pada myoneural
juction dan ditransportasikan sentripetal ke neurons sistem syaraf pusat. Neuron
menjadi incapable untuk melepaskan neurotransmitter. Neurons yang melepaskan
GABA dan glisin yang merupakan neurotransmitter yang merupakan
neurotransmitter inhibisi terbesar terutama sensitive terhadap tetanospamin
menjadi gagal dalam menghambat respon refleks motorik terhadap stimulasi
sensory. Ini menyebabkan kontraksi menyeluruh.
Tetanospasmin itu sendiri dapat mencapai susunan syaraf pusat melalui
penyerapan pada sambungan mioneural (myoneural junctions), yang diikuti
migrasi melalui ruangan jaringan perineural (perineural tissue spaces) susunan
syaraf, atau melalui pemindahan limfosit ke dalam darah dan selanjutnya ke
susunan syaraf pusat.
2
Pathway
Terpapar kuman Clostridium tetani
Eksotoksin
Ganglion Sumsum
Tulang Belakang Otak Saraf Otonom
Kesadaran
3
Masa tunas tetanus berkisar 2-21 hari, timbulnya gejala klinis biasanya
mendadak, didahului oleh ketegangan otot terutama di daerah rahang dan leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( Trismus) karena spasme otot
masseter. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk, dinding perut dan sepanjang
tulang belakang. Bila serangan kejang klonik sedang berlangsung sering tampak
risus sardonikus karena spasme otot muka. Gambaran umum yang khas pada
tetanus adalah beruapa badan kaku denagn opistotonus, tungkai dalam ekstensi,
lengan kaku dengan tangan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik. Serangan
timbul paroksismal, dapat dicetuskan oleh rangsang suara, cahaya maupun
sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul spontan. Karena kontraksi otot yang
sangat kuat, dapat terjadia asfiksia dan sianosis. kadang dijumpai demam yang
ringan dan biasanya pada stadium akhir.
Tetanus skor :
o Inkubasi Skore
7 hari 3
8-12 hari 2
> 12 hari 1
o Onset
3 hari 3
4-6 hari 27h
> 7 hari 1
o Disfagia 1
o Kejang spontan 2
o kejang langsung 1
o Trismus, rhisus, masing- masing
Sardonikus 1
Opistotonus 1
o Gejala aktivitas
Simpatis 1
KV 1
Spasme laring 1
Grade
4
Ringan : 3-7
Sedang : 8-12
Berat : >12
2.2 Pencegahan
Hal ini paling baik dicapai dengan imunisasi secara aktif melalui
serangkaian suntikan tetanus toxoid (TT), difteri toxoid, dan vaksin pertusis
secara intramuscular sebanyak 3 kali. Idealnya, suntikan tersebut diberikan ketika
bayi berusia 2 bulan dilakukan terpisahdengan interval 8 minggu dan setahun
kemudian diberikan dosis ke-4. Dosis booster juga diberikan ketika memasuki
taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Setelah itu dosis toxoid tetanus dan difteri
tipe dewasa (DT) dianjurkan diberikan setiap 10 tahun. Pendekatan tersebut dapat
disesuaikan dengan situasi setempat. Imunisasi ibu hamil, yang belum
mendapatkan imunisasi, akan memberikan perlindungan kepada bayi segera
setelah dilahirkan. Tindakan demikian disarankan pada daerah-daerah yang
insiden tetanus neonatorum tinggi. Sebaiknya imunisasi tetanus dilakukan
sebelum kehamilan.
Dalam jurnal yang berjudul “Cakupan Imunisasi Tetanus Toxoid Ibu
Hamil di Daerah Terpencil “ menginformasikan data kesehatan dalam bentuk
gambaran masyarakat pada tingkat kabupaten. Jurnal ini pun memaparkan tentang
program pembangunan kesehatan seperti pemberian suntikan imunisasi
antitetanus atau Toxoid Tetanus (TT) pada ibu hamil. Sedangkan sampel
penelitiannya adalah ibu yang memiliki anak balita. Sampel tersebut sebanyak 217
responden.
5
o Laboratorium : biasanya tidak ada yang spesifik, hanya terdapat tanda
o leukositosi ringan dan kadang- kadang didapatkan peninggian tekanan
cairan otak.
o Diagnostik secara klinis ditemukan adananya trismus, spasme, opistotonus.
o Prosedural test ( dengan test spatula)
- Tes yang sederhana ini dengan menyentuhkan
spatula pada oropharing
- Pada test ini klien akan mencoba untuk memakssa
keluar spatula ( test negatif)
- Pada tetanus klien mengalami reflek spasme
dari otot masseter dan mengigit spatula.
2.4 Penatalaksanaan
umum
Merawat dan membersihkan luka sebaik- baiknya
Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan.
Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara
Obat - obatan
o Antitoksin
o Tetanus imun globulin lebih dianjurkan pemakaiannya
dibandingkan dengan ATS.
2.5 Prognosis
Mortalitas rata-rata tetanus sebesar 45-55%. Sedangkan mortalitas tetanus
neonatorum sebesar 60% atau bahkan lebih tinggi lagi. Prognosis penyakit
dipengaruhi oleh berbagai factor. Angka kematian tertinggi didapatkan pada bayi
dan penderita usia lanjut. Mortalitas terendah dijumpai pada penderita usia antara
10-19 tahun (kurang dari 20%).
Hal - Hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Klien Tetanus :
1. Sistem pernafasan
Prioritas utama adalah pada manajemen jalan nafas dan respiratory care.
spasme otot laring, diafragma dan otot pernafasan dapat menyebabkan
6
kegagalan nafas atau mati lemas. Pengkajian pernafasan yang intensif
adalah perlu untuk mendeteksi berkembangnya komplikasi.
2. Sistem neurologis
Selama 24 - 48 jam pertama spasme otot terjadi cara menyeluruh, sehingga
rangsang taktil, suara dapat menyebabkan stimulasi kejang. karena itu
tempatkanlah klien dalam lingkungan yang redup dan tenang, Agen blok
neuromuscular digunakan untuk mengurangi spasme otot. Agen tersebut
dapat menyebabkan paralisis tapi klien tetap sadar. Karena klien masih
merasakan nyeri dan takut, narkotik analgesik menjadi alternatif.
3. Sistem kardiovaskuler
Toksin tetanus dapat menyebabkan instabilitas sistem saraf simpatik
seperti dimanifestasikan dengan disritmia jantung, tekanan darah tidak
stabil, monitoring sangat diperlukan.
4. Pertimbangan metabolik
Nutrisi enteral merupakan pilihan metode yang lebih disukai sebagai
support dan penggunaan lebih awal saluran cerna dan mencegah atrofi
saluran scerna. Enteral feeding dapat mempertahankan fungsi absorpsi
mukosa saluran cerna dan membantu mempertahankan barrier mukosa
usus dari kemungkinan masuknya kuman pathogen dari sirkulasi sistemik.
5. Manajemen luka
Manajemen luka tergantung dari jenis luka dan
status imunisasi klien. Setelah dilakukan
debrideman luka harus dipertahankan bersih dan
luka dirawat secara regular dengan aseptic saat
mengganti balutan.
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien tetanus
Asfiksia Dislokasi sendi
kematian jantung Pneumonia aspirasi
Fraktur Emboli paru
Retensi urine malnutrisi
Koma Kontraktur
Paralisis
7
1
I. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan
menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut.
(Santosa. NI, 1989, 154)
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan
sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan
menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang
meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data
didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien
dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui
observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara
(yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan
(berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur
(mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat kabar).
Pengumpulan data pada kasus tetenus ini meliputi :
a. Data subyektif
1. Biodata/Identitas
Biodata klien mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi
nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
alamat.
2. Keluhan utama kejang
3. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang,
maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam
terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan
demam..
Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu
berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui
kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola
serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran
seperti epilepsi mioklonik ?
1
2
2
3
b. Data Obyektif
1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran,
tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana
akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan
kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala
Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut.
Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang
jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa
menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Muka/ Wajah.
Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada
gangguan nervus cranial ?
Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan
ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
Telinga
3
4
c. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi :
1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N
< 200 mq/dl)
4
5
II. Perencanaan
Perencanaan merupakan keputusan awal tentang apa yang akan dilakukan,
bagaimana, kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan melakukan kegiatan
tersebut. Rencana keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan
keperawatan. (Santosa. NI, 1989;160)
5
6
6
7
INTERVENSI RASIONAL
7
8
2.3.4 Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan
dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan
perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien ( Santosa. NI,
1989;162 )
2.3.5 Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut
pengumpulan data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah
tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu
langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa
masalah selanjutnya ( Santosa.NI, 1989;162).
DAFTAR PUSTAKA
8
9