Askep Bartolinitis
IKLAN1
Askep Bartolinitis
ASUHAN KEPERAWATAN BARTOLINITIS
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Bartolinitis adalah Infeksi pada kelenjar bartolin atau bartolinitis juga dapat menimbulkan
pembengkakan pada alat kelamin luar wanita. Biasanya, pembengkakan disertai dengan
rasa nyeri hebat bahkan sampai tak bisa berjalan. Juga dapat disertai demam, seiring
pembengkakan pada kelamin yang memerah.
B. ETIOLOGI
Bartolinitis disebabkan oleh infeksi kuman pada kelenjar bartolin yang terletak di bagian
dalam vagina agak keluar. Mulai dari chlamydia, gonorrhea, dan sebagainya. Infeksi ini
kemudian menyumbat mulut kelenjar tempat diproduksinya cairan pelumas vagina
ETIOLOGI INFEKSI
a. Infeksi alat kelamin wanita bagian bawah biasanya disebabkan oleh :
Virus : kondiloma akuminata dan herpes simpleks.
Jamur : kandida albikan.
Protozoa : amobiasis dan trikomoniasis.
Bakteri : neiseria gonore.
b. Infeksi alat kelamin wanita bagian atas :
Virus : klamidia trakomatis dan parotitis epidemika.
Jamur : asinomises.
Bakteri : neiseria gonore, stafilokokus dan E.coli
C. PATOFISIOLOGI
Lama kelamaan cairan memenuhi kantong kelenjar sehingga disebut sebagai kista (kantong
berisi cairan). 'Kuman dalam vagina bisa menginfeksi salah satu kelenjar bartolin hingga
tersumbat dan membengkak. Jika tak ada infeksi, tak akan menimbulkan keluhan
E. PENGOBATAN
Pengobatan yang cukup efektif saat ini adalah dengan: antibiotika golongan cefadroxyl 500
mg, diminum 3x1 sesudah makan, selama sedikitnya 5-7 hari, dan asam mefenamat 500 mg
(misalnya: ponstelax, molasic, dll), diminum 3x1 untuk meredakan rasa nyeri dan
pembengkakan, hingga kelenjar tersebut mengempis.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Vullva
In speculo
G. PENATALAKSANAAN
TATALAKSANA INFEKSI ALAT KELAMIN WANITA
Berikut ini adalah beberapa infeksi alat kelamin wanita yang sering dijumpai di Puskesmas
dan tatalaksana yang disesuaikan dengan sarana diagnosis dan obat-obatan yang tersedia.
1. GONORE (GO)
Anamnese :
a. 99 kasus GO pada wanita menyerang servik uteri dan 50-75 % kasus pada wanita tidak
ada gejala atau keluhan.
b. Kalau ada keluhan biasanya disuria dan lekore, yang sering diabaikan oleh penderita.
c. Sering anamnese hanya didapatkan riwayat kontak dengan penderita.
Pemeriksaan :
Pemeriksaan dengan spekulum : ostium uteri eksternum bisa tampak normal, kemerahan
atau erosif. Tampak vaginal discharge dengan sifat mukoid keruh, mukopurulen atau
purulen. Mungkin didapatkan komplikasi seperti : bartolinitis, salpingitis, abses tubo ovarii
bahkan pelvik peritonitis. Ketiga komplikasi tersebut terahir disebut Pelvis Inflamatory
Disease (PID).
Laboratorium :
Asupan servik atau vaginal discharge : Diplokokus gram negatif intraseluler lekosit.
Kriteria Minimal :
1) Riwayat kontak (+).
2) Asupan servik atau vaginal discharge : Diplokokus intraseluler lekosit gram negatif.
Terapi :
1) Penisilin Prokain : 4,8 juta IU IM (skin test dulu), 2 hari berturut turut, atau
2) Kanamisin : 2 gram IM dosis tunggal, atau
3) Amoksisilin atau Ampisilin : 3,5 gram oral dosis tunggal (lebih poten bila ditambahkan
Probenesid 1 gram), atau
4) .Tetrasiklin cap: 4 X 500 mg selama 5 hari, atau
dosis awal 1.500 mg, dilanjutkan 4 X 500 mg selama 4 hari, atau
5) Kotrimoksasol tablet 480 : 1 X 4 tablet selama 5 hari
6) Bila ada komplikasi : Amoksisilin atau Ampisilin : 3,5 gram oral dosis tunggal diteruskan 4
X 500 mg selama 10 hari.
7) Pengamatan dan pemberian ulang dilakukan pada hari ke 3, 7 dan 14, sesudah itu setiap
bulan selama 3 bulan.
Catatan :
Terapi sebaiknya diberikan juga kepada patner sex penderita (suami) secara bersamaan.
Selama masa terapi sebaiknya kegiatan sex dihentikan.
Penatalaksanaan :
1) Tetrasiklin : 4 X 500 mg selama 5 – 7 hari atau
2) Erytromisin : 4 X 500 mg selama 5 – 7 hari.
3) Pada kasus persisten lama pengobatan 21 hari.
3. TRIKOMONIASIS
Anamnese :
Keluhan utama biasanya adalah adanya keputihan dengan jumlah banyak, berwarna kuning
atau putih kehijauan. Sakit pada saat berhubungan sex (dyspareunia) juga sering dikeluhkan.
Riwayat suami kencing nanah perlu ditanyakan, karena > 50% penderita GO wanita disertai
dengan trikomoniasis.
Pemeriksaan :
Pemeriksaan in speculo : terasa sakit, fluor albus cair dengan jumlah banyak dan berwarna
kuning atau putih kehijauan, khas : didapat bintik-bintik merah (punctatae red spots atau
strawbery cervix) di dinding vagina.
Laboratorium :
Fluor albus : dengan mikroskup cahaya Trichomonas vaginalis (+).
Kriteria Minimal :
1) Fluor albus : cair, banyak, warna kuning atau putih kehijauan.
2) Punctatae red spots (+)
3) Laboratorium : Puskesmas ?
Penatalaksanaan :
1) Metronidasol : 1 X 2.000 mg, sebagai dosis tunggal.
4. KANDIDIASIS
Anamnese :
Keluhan utama biasanya adalah keputihan dan gatal di vagina.
Mungkin juga dikeluhkan adanya rasa sakit waktu melakukan aktivitas sexual. Faktor
predisposisi : diabetes militus, pemakaian Pil KB, dan pemakaian antibiotika yang tidak
terkontrol serta kegemukan.
Pemeriksaan : Vulva : tampak merah, udem, adanya plak putih, mungkin didapat juga fisura
atau erosi (Vulvovaginitis).
In speculo : Terasa sakit, Discharge kental, sedikit, putih seperti keju dan biasanya menutup
portio.
Laboratorium :
Sel ragi (yeast cells) atau tunas (budding body) dan pseudohypha
atau spora.
Kriteria Minimal :
1) Vuvovaginitis.
2) Discharge kental, sedikit, putih seperti keju dan biasanya menutup portio.
Penatalaksanaan :
1) Topikal : Nistatin vaginal tablet : 1 X 1, selama 7 hari, dan
2) Nistatin tablet : 4 X 1 tablet, selama 14 hari.
H. PENCEGAHAN
Untuk menghadang radang, berbagai cara bisa dilakukan. Salah satunya adalah gaya hidup
bersih dan sehat :
1. Konsumsi makanan sehat dan bergizi. Usahakan agar Anda terhindar dari kegemukan
yang menyebabkan paha bergesek. Kondisi ini dapat menimbulkan luka, sehingga keadaan
kulit di sekitar selangkangan menjadi panas dan lembap. Kuman dapat hidup subur di
daerah tersebut.
2. Hindari mengenakan celana ketat, karena dapat memicu kelembapan. Pilih pakaian dalam
dari bahan yang menyerap keringat agar daerah vital selalu kering.
3. Periksakan diri ke dokter jika mengalami keputihan cukup lama. Tak perlu malu
berkonsultasi dengan dokter kandungan sekalipun belum menikah. Karena keputihan dapat
dialami semua perempuan.
4. Berhati-hatilah saat menggunakan toilet umum. Siapa tahu, ada penderita radang yang
menggunakannya sebelum Anda.
5. Biasakan membersihkan diri, setelah buang air besar, dengan gerakan membasuh dari
depan ke belakang.
6. Biasakan membersihkan alat kelamin setelah berhubungan seksual.
7. Jika tidak dibutuhkan, jangan menggunakan pantyliner. Perempuan seringkali salah
kaprah. Mereka merasa nyaman jika pakaian dalamnya bersih. Padahal penggunaan
pantyliner dapat meningkatkan Kelembapan kulit di sekitar vagina.
8. Alat reproduksi memiliki sistem pembersihan diri untuk melawan kuman yang merugikan
kesehatan. Produk pembersih dan pengharum vagina yang banyak diperdagangkan
sebetulnya tidak diperlukan. Sebaliknya jika digunakan berlebihan bisa berbahaya.
9. Hindari melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan. Ingat, kuman juga bisa
berasal dari pasangan Anda. Jika Anda berganti-ganti pasangan, tak gampang mendeteksi
sumber penularan bakteri. Peradangan berhubungan erat dengan penyakit menular seksual
dan pola seksual bebas.
ASUHAN KEPERWATAN
A. PENGKAJIAN
- Perubahan warna kulit
- Udem
- Cairan pada kelenjar
- Nyeri
- Benjolan pada bibir vagina
- Bau cairan
- Kebersihan tubuh
- Jumlah dan warna urin
B. DIAGNOSA
- Defisit perawatan diri b.d keterbatasan gerak
- Kerusakkan integritas kulit b.d edem pada kulit
- Defisit pengetahuan b.d kurangnya pemahaman terhadap sumber sumber informasi nyeri
b.d keadaan luka cemas
- Disfungsi seksual b.d proses penyakit
C. INTERVENSI
- Membantu pasien untuk memenuhi higiene pribadi
- Memantau keadaan luka
- Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan diri (kebersihan alat genetal)
- Kaji tingkat nyeri
- Gunakan cara-cara interaktif yang berfokus pada kebutuhan untuk membuat penyesuaian
dalam peraktik seksual atau untuk meningkatkan koping terhadap masalah/gangguan
seksual
A. Definisi / pengertian
Bartolinitis adalah sumbatan duktus utama kalenjar bartolin menyebabkan retensi sekresi
dan dilatasi kistik.
Bartholinitis adalah infeksi pada glandula bartholin yang mana sering kali timbul pada
gonorea akan tetapi dapat pula mempunyai sebab lain, misalnya: streptoccus atau basil coli.
B. Etiologi
Kuman stapilococcus
Kuman gonococcus
C. Manifestasi Klinis
Keluhan pasien pada umumnya adalah benjolan, nyeri dan dispareunia. Penyakit ini cukup
sering rekurens. Dapat terjadi berulang, akhirnya menahun dalam bentuk kista bartolin.
Kista tidak selalu menyebabkan keluhan, tapi dapat terasa berat dan mengganggu koitus.
D. Patofisiologi
Sumbatan duktus utama kalenjar bartolin menyebabkan retensi sekresi dan dilatasi kistik.
Kalenjar bartolin membesar. Merah, nyeri dan lebih panas dari daerah sekitarnya. Isi dalam
berupa nanah dapat keluar melalui duktus atau bila tersumbat (biasanya akibat infeksi),
mengumpul didalam menjadi abses.
E. Penatalaksanaan
Jika usia pasien sudah lanjut, adanya benjolan harus dicurigai sebagai keganasan meskipun
jarang, kemudian dilakukan pemeriksaan yang seharusnya. Yang tepat adalah biopsy.
Diberikan antibiotic yang sesuai (umumnya terhadap klamidia, gonococ, bakteroides
dan Escherichia Coli ). Bila belum terjadi abses. Jika sudah bernanah, harus dikeluarkan
dengan sayatan.
Jika terbentuk kista yang tidak besar dan tidak mengganggu, tidak perlu dilakukan apa-apa.
Pembedahan berupa ekstirpasi dapat dilakukan bila diperlukan. Yang dianjurkan adalah
marsupialisasi yaitu sayatan dan pengeluaran isi kista diikuti penjahitan dinding kista yang
terbuka pada kulit vulva yang terbuka pada sayatan. Tindakan ini terbukti tak beresiko dan
hasilnya memuaskan. Jika terdapat hubungan keluar yang permanen, infeksi rekurens dapat
dicegah.
a. Data focus
Pembesaran kalenjar bartolini, merah, nyeri dan lebih panas didaerah sekitarnya /
perineum, ada nanah, kadang dirasakan sebagai benda berat dan atau menimbulkan
kesulitan pada koitus, iritasi vulva, dapat terjadi abses yang kadang-kadang dapat sebesar
telur bebek.
3. PK : Infeksi
4. Perubahan pola seksual berhubungan dengan nyeri ditandai dengan kalenjar bartholin
membengkak, merah, nyeri pada daerah perineum, dan nanah.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bahan iritan dari lingkungan sekunder
terhadap kelembaban ditandai dengan merah, iritasi vulva, nanah.
Kriteria hasil :
Intervensi keperawatan :
- Menerima perubahan ke dalam konsep diri tanpa harga diri yang negative
3. Perubahan pola seksual berhubungan dengan nyeri ditandai dengan kalenjar bartholin
membengkak, merah, nyeri pada daerah perineum, dan nanah.
Tujuan : tidak terjadi perubahan pola respons seksual
Kriteria hasil :
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bahan iritan dari lingkungan sekunder
terhadap kelembaban ditandai dengan merah, iritasi vulva, nanah.
Kriteria hasil :
5. PK : infeksi
d. EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA
Prawiroharjo, Sarwono ( 2007) Ilmu Kandungan, Edisi kedua. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Mansjoer,A.(2001) Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Ed.3, Media Aesculapius FKUI: Jakarta.
Pengertian Bartholinitis
Glandula bartholini ini terletak pada orifisium vaginae,. Kelenjar bartholini merupakan kelenjar yang
mengalirkan pelumas.sekresi kelenjar ini normalnya alkali dan apabila fungsi untuk mempertahankan kelembaban
yang di perlukan untuk kesehatan membran mukosanya.bartholinitis adalah infeksi pada kelenjar bartholin ,juga dapat
menimbulkan pembengkakan pada alat kelamin luar wanita, biasanya pembengkakan disertai rasa nyeri hebat
bahkan penderitanya sampai tidak bisa berjalan dan disertai demam dan berwarna kemerahan.
II. Etiologi
Etiologi dari bartholinitis adalah infeksi kuman pada kelenjar bartholin yang terletak pada bagian dalam
vagina agak keluar mulai dari chlamidia,gonore dsb. Infeksi ini kemudian menyumbat mulut kelenjar tempat
diproduksinya cairan pelumas vagina.
Etiologi akibat infeksi di bagi 2 yaitu:
Infeksi alat kelamin bagian bawah
Virus: condiloma acuminata,herpes simplek
Jamur: candida
Protozoa: amubiasis,trichomoniasis
Bacteri: neisseria gonore
Infeksi alat kelamin wanita bagian atas
Clamidia trachomosisdan parotitis epidemika
Jamur: asinomises
Bakteri: neiseria gonore,staphilococus dan e colli
III. Patofisiologi
Cairan memenuhi kantong kelenjar sehingga di sebut sebagai kista kuman dalam vagina akhirnya
menginfeksi kelenjar bartolin sehingga kelenjar bartolin menjadi tersumbat terjadilah pembengkakan,jika tidak ada
infeksi maka tidak akan ada keluhan.
IV. Tanda dan gejala
Vulva : perubahan warna kulit timbunan nanah dalam kelenjar, nyeri tekan
Kelenjar membengkak, nyeri bila berjalan atau duduk, bisa disertai demam.
Kebanyakan wanita penderita datang dengan keluhan keputihan,gatal, sakit saat buang air dan terdapat
benjolan di sekitar alat kelamin
Abses pada daerah kelamin
Pemeriksaan fisik di temukan cairan mukoid berbau dan bercampur darah.
V. Pengobatan
Biasanya penderita bartholinitis berobat karena nyeri. Bartholinitis juga dapat menjadi abcess karena saluran
kelenjar tertutup dan berlangsung proses penahanan di dalam kelenjar.
Abcess ini merupakan bahaya bagi terjadinya infeksi nifas. Oleh karena itu abcess harus di sembuhkan
terlebih dahulu sebelum tiba masa persalinan. Yang belum memasuki masa persalinan di obati dulu dengan obat obat
sulfa seperti sulfadiazin dan eklosin, yang sudah tenang di insisi atau kelenjar yang mengandung nanah di angkat
seluruhnya.(marsupialisasi)
Kista bartholin biasanya kecil antara ukuran ibu jari dan bola pingpong,tidak terasa nyeri dan tidak
menggangu koits, bahkan kadang tidak disadarioleh penderita.
Sebaiknya kista pada ibu hamil di biarkan saja dan baru di angkat kurang lebih 3 bulan setelah persalinan.
Apabila kista sering meradang walaupun sudah di obati berlang kali atau apabila kista sangat besar sehingga di
khawatirkan akan pecah sewaktu melahirkan ,maka sebaiknya kista tersebut di angkat dalam keadaan
tenang.sebelum lahir ada kalanya kista sangat besar dan baru di ketahui sewaktu wanita sudah dalam persalinan.
Dalam hal demikian di lakukan pungsi dan cairan di keluarkan walaupun ini bukan therapi tetap. Setelah
selesai marsupialisasi baru di lakukan.
BARTOLINITIS
BAB I
PENDAHULUAN
Bagi kebanyakan wanita, kehamilan adalah keadaan normal dan sehat. Tapi, kehamilan juga
bisa membuat wanita lebih rentan terhadap infeksi tertentu. Lebih lanjut lagi, kehamilan
dapat membuat infeksi yang lebih parah bahkan infeksi ringan dapat menyebabkan penyakit
yang serius. Kehamilan mempengaruhi setiap sistem fisiologis dalam tubuh. Perubahan
fungsi kekebalan dan keseimbangan hormon dapat membuat ibu hamil lebih rentan terhadap
infeksi dan komplikasi serius.
Organ kelamin wanita terdiri atas organ genitalia interna dan organ genitalia eksterna. Kedua
bagian besar organ ini sering mengalami gangguan, salah satunya adalah infeksi, infeksi
dapat mengenai organ genitalia interna maupun eksterna dengan berbagai macam manifestasi
dan akibatnya. Tidak terkecuali pada glandula vestibularis major atau dikenal dengan kelenjar
bartolini. Kelenjar bartolini merupakan kelenjar yang terdapat pada bagian bawah introitus
vagina. Bartolinitis adalah Infeksi pada kelenjar bartolin atau bartolinitis juga dapat
menimbulkan pembengkakan pada alat kelamin luar wanita. Bartolinitis disebabkan oleh
infeksi kuman pada kelenjar bartolin yang terletak di bagian dalam vagina agak keluar.
I.3 TUJUAN
I.4 MANFAAT
I.4.1 Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu kebidanan
dan kandungan pada khususnya
I.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan
klinik bagian ilmu kebidanan dan kandungan
BAB II
Identitas pribadi :
Pendidikan penderita : SD
Pendidikan suami : SD
Anamnesa :
Pemeriksaan fisik
1. Status present
Nadi : 80x/menit
Suhu: 36,5°C
1. Pemeriksaan umum
Kulit : normal
Kepala :
Wajah : simetris
Thorax :
Paru :
Abdomen :
Inspeksi : flat -/-, distensi -/-, gambaran pembuluh darah kolateral -/-
Perkusi : timpani
1. Status obstetri
Pemeriksaan luar
Pemeriksaan Dalam
Pengeluaran pervaginam :-
Vulva / vagina : pada labia kiri terdapat benjolan sebesar telur ayam, nyeri
tekan (+)
Penipisan portio :-
Ketuban :-
Bagian terdahulu :-
Bagian terendah :-
Hodge :-
Molase :-
Ringkasan :
Anamnesa : pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan pada kemaluan sebelah kiri
sejak kurang lebih 4 hari yang lalu. Sakit dan panas terutama dibuat jalan, duduk dan sehabis
mandi. Saat ini pasien hamil anak pertama dengan umur kehamilan 37-38 minggu.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum : kesadaran compos mentis, tekanan darah : 130/90 nadi :
80x/menit, suhu: 36,5°C, jumlah pernapasan : 20x/menit
Pemeriksaan obstetric dalam : Vulva / vagina : pada labia kiri terdapat benjolan sebesar telur
ayam, nyeri tekan (+)
Rencana tindakan :
1. Antibiotik
2. Analgesik
3. Marsupialiasi
4. SCTP
Laboratorium :
Hb 10,6
Leukosit 13.340
Trombosit 373.000
Hct 33
Masa perdarahan 2’00’’
GDS 57
SGOT 14
SGPT 7
Ureum 41
Kreatinin 0,71
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Istilah kehamilan lewat bulan mempunyai beberapa sinonim yaitu: post-term pregnancy,
kehamilan postdatisme, prolonged pregnancy, extended pregnancy, kehamilan postmatur,
kehamilan serotinus, late pregnancy, post maturity pregnancy.
Kehamilan lewat bulan (KLB) adalah kehamilan yang berlangsung 42 minggu (294 hari) atau
lebih, dihitung dari HPHT dengan lama siklus haid rata-rata 28 hari. Beberapa penulis juga
menyatakan KLB sebagai kehamilan melebihi 42 minggu. Jika ditinjau dari segi bayi yang
dilahirkan maka lebih dianjurkan menggunakan istilah postmatur, dimana istilah ini merujuk
pada fungsi. Jika ditinjau dari segi bayi, maka usia gestasi dilihat dengan memeriksa tanda-
tanda fisik dan laboratorium yang ditemukan pada bayi dan dengan melakukan penilaian
menurut score maturity rating.
Beberapa istilah yang perlu dimengerti antara lain: janin aterm adalah janin pada kehamilan
minggu ke 38-42 setelah HPHT, dengan asumsi ovulasi terjadi 2 minggu setelah HPHT.
Preterm dimaksudkan untuk kehamilan dan janin adalah saat sebelum minggu ke 38 dari
HPHT, sedangkan bayi prematur adalah bayi yang lahir pada minggu ke 37 atau kurang.
Prematuritas adalah bayi yang lahir hidup dengan berat badan 2.500 gram atau kurang. Istilah
postmature sering digunakan secara keliru sebagai kehamilan yang terus berlangsung
melewai taksiran persalinan. Sebenarnya istilah tersebut digunakan bagi bayi baru lahir dari
KLB yang terbukti terjadi gangguan nutrisi intra uterin dan bayi lahir dengan dismature yaitu
dengan adanya tanda-tanda sindroma postmaturitas.
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian KLB rata-rata 10%, bervariasi antara 3,5%-14% dan 4%-7,3% diantaranya
kehamilan berlangsung melebihi 43 minggu. Perbedaan yang lebar ini disebabkan perbedaan
dalam menentukan umur kehamilan berdasarkan definisi yang dianut, populasi dan kriteria
dalam penentuan umur kehamilan. Karena pada umumnya umur kehamilan diperhitungkan
dengan rumus Naegle, sehingga masih ada faktor kesalahan pada penentuan siklus haid dan
kesalahan dalam perhitungan.
Dengan adanya ultrasonografi maka angka kejadian KLB dari 7,5% berdasarkan HPHT turun
menjadi 2,6% berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi secara dini (pada umur kehamilan 12-
18 minggu) dan turun menjadi 1,1% bila diagnosis ditegakkan berdasarkan HPHT dan
ultrasonografi. Saito dkk dalam penelitian terhadap 110 pasien yang taksiran tanggal ovulasi
diketahui berdasarkan suhu basal, angka kejadian KLB adalah 11% berdasarkan HPHT
dibandingkan 9% berdasarkan tanggal ovulasi.
Menurut Shime et al makin lama janin berada dalam kandungan, maka makin besar resiko
gangguan berat atau asfiksia yang akan dialami janin dan bayi baru lahir demikian juga ibu.
Menurut Eastman, jika dipakai batasan umur kehamilan 43 minggu maka angka kejadian
KLB sebesar 4% saja, sedangkan jika dipakai batasan umur kehamilan 42 minggu maka
angka kejadian KLB sebesar 12%. Tapi mengingat resiko yang dihadapi oleh janin dan ibu,
maka batasan yang digunakan adalah umur kehamilan 42 minggu atau lebih. Untuk itu
penderita perlu dirawat karena termasuk kehamilan resiko tinggi.
ETIOLOGI
Terjadinya KLB sampai sekarang belum jelas diketahui, beberapa teori dicoba untuk
menjelaskan terjadinya KLB. Secara umum teori-teori tersebut menyatakan KLB terjadi
karena adanya gangguan terhadap timbulnya persalinan. Menjelang persalinan terjadi
penurunan hormon progesteron, peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin,
tetapi yang paling menentukan adalah terjadinya produksi prostaglandin yang menyebabkan
his adekuat.
Secara garis besar penyebab terjadinya KLB dari beberapa teori tersebut di atas dapat
dirangkum:
1. HPHT tidak jelas terutama pada ibu-ibu yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal
yang teratur dan berpendidikan rendah.
2. Ovulasi yang tidak teratur dan adanya variasi waktu ovulasi oleh karena sebab
apapun.
3. Kehamilan ekstrauterin.
4. Riwayat KLB sebelumnya, sebesar 15% beresiko untuk mengalami KLB.
5. Penurunan kadar estrogen janin, dapat disebabkan karena:
- Defisiensi sulfatase plasenta, yang merupakan x-linked inherited disease yang bersifat
resesif, sehingga pemecahan sulfat dari dehidroandrosteron sulfat tidak terjadi
1) Sindrom Postmatur
Deskripsi Clifford 1954 tentang bayi postmatur didasarkan pada 37 kelahiran secara tipikal
terjadi 300 hari atau lebih setelah menstruasi terakhir. Ia membagi postmatur menjadi tiga
tahapan: pada stadium 1 cairan amnion jernih, pada stadium 2 kulit berwarna hijau, dan
stadium 3 kulit menjadi berwarna kuning-hijau.
Bayi postmatur menunjukkan gambaran yang unik dan khas. Gambaran ini berupa kulit
keriput, mengelupas lebar-lebar, badan kurus yang menunjukkan pengurasan energy, dan
maturitas lanjut karena bayi tersebut bermata terbuka, tampak luar biasa siaga, tua dan cemas.
Kulit keriput dapat amat mencolok di telapak tangan dan telapak kaki. Kuku biasanya cukup
panjang. Kebanyakan bayi postmatur seperti itu tidak mengalami hambatan pertumbuhan
karena berat lahirnya jarang turun di bawah persentil ke-10 untuk usia gestasinya. Namun,
dapat terjadi hambatan pertumbuhan berat, yang logisnya harus sudah lebih dahulu terjadi
sebelum minggu 42 minggu lengkap.banyak bayi postmatur Clifford mati dan banyak yang
sakit berat akibat asfiksia lahir dan aspirasi mekonium. Beberapa bayi yang bertahan hidup
mengalami kerusakan otak.
Insiden sindrom postmaturitas pada bayi berusia 41, 42, 43 minggu masing-masing belum
dapat ditentukan dengan pasti. Shime dkk (1984), dalam satu diantara segelintir laporan
kontemporer tentang kronik postmatur, menemukan bahwa sindrom ini terjadi pada sekitar
10% kehamilan antara 41 dan 43 minggu serta meningkat menjadi 33% pada 44 minggu.
Oligohidramnion yang menyertainya secara nyata meningkatkan kemungkinan postmaturitas.
Trimmer dkk (1990) mendiagnosis oligohidramnion bila kantung cairan amnion vertical
maksimum pada USG berukuran 1 cm atau kurang pada gestasi 42 minggu dan 88% bayi
adalah postmatur.
2) Disfungsi Plasenta
Clifford (1954) mengajukan bahwa perubahan kulit pada postmatur disebabkan oleh
hilangnya efek protektif verniks kaseosa. Hipotesis keduanya yang terus mempengaruhi
konsep-konsep kontemporer menghubungkan sindrom postmaturitas dengan penuaan
plasenta. Namun Clifford tidak dapat mendemonstrasikan degenerasi plasenta secara
histologis. Memang, dalam 40 tahun berikutnya tidak ditemukan perubahan morfologis dan
kuantitatif yang signifikan. Smith and Barker (1999) baru-baru ini melaporkan bahwa
apoptosis plasenta meningkat secara signifikan pada gestasi 41 sampai 42 minggu lengkap
dibanding dengan 36 sampai 39 minggu. Makna klinis apoptosis tersebut tidak jelas sampai
sekarang.
Jazayeri dkk (1998) meneliti kadar eritropoetin plasma tali pusat pada 124 neonatus tumbuh
normal yang dialhirkan dari usia gestasi 37 sampai 43 minggu. Mereka ingin menilai apakah
oksigenasi janin terganggu, yang mungkin disebabkan oleh penuaan plasenta, pada kehamilan
yang berlanjut melampaui waktu seharusnya. Penurunan tekanan parsial oksigen adalah satu-
satunya stimulator eritropoetin yang diketahui. Setiap wanita yang diteliti mempunyai
perjalanan persalinan dan perlahiran nonkomplikata tanpa tanda-tanda gawat janin atau
pengeluaran mekonium. Kadar eritropoetin plasma tali pusat menindkat secara signifikan
pada kehamilan yang mencapai 41 minggu atau lebih dan meskipun tidak ada skor apgar dan
gas tali darah pusat yang abnormal pada bayi-bayi ini, penulis menyimpulkan bahwa ada
penurunan oksigenasi janin pada sejumlah kehamilan postterm.
Janin postterm mungkin terus bertambah berat badannya sehingga bayi tersebut luar biasa
besar pada saat lahir. Janin yang terus tumbuh menunjukkan bahwa fungsi plasenta tidak
terganggu. Memang, pertumbuhan janin yang berlanjut, meskipun kecepatannya lebih lambat
adalah ciri khas gestasi antara 38 dan 42 minggu. Nahum dkk (1995) baru-baru ini
memastikan bahwa pertumbuhan janin terus berlangsung sekurang-kurangnya sampai 42
minggu.
Alasan-alasan utama meningkatnya resiko pada janin postterm dijelaskan oleh Leveno dkk.
Mereka melaporkan bahwa bahaya pada janin intrapartum merupakan konsekuensi kompresi
tali pusat yang menyertai oligohidramnion.
Penurunan volume cairan amnion biasanya terjadi ketika kehamilan telah melewati 42
minggu. Mungkin juga pengeluaran mekonium oleh janin ke dalam volume cairan amnion
yang sudah berkurang merupakan penyebab terbentuknya mekonium kental yang terjadi pada
sindrom aspirasi mekonium.
Trimmer dkk (1990) mengukur produksi urin janin tiap jam dengan menggunakan
pengukuran volume kandung kemih ultrasonic serial pada 38 kehamilan dengan usia gestasi
42 minggu atau lebih. Produksi urin yang berkurang ditemukan menyertai oligohidramnion.
Namun, ada hipotesis bahwa aliran urin janin yang berkurang mungkin merupakan akibat
oligohiramnion yang sudah ada dan membatasi penelanan cairan amnion oleh janin. Velle
dkk (1993) dengan menggunakan bentuk-bentuk gelombang Doppler berdenyut, melaporkan
bahwa aliran darah ginjal janin berkurang pada kehamilan postterm dengan oligohidramnion.
Hingga kini makna klinis pertumbuhan janin terhambat pada kehamilan yang seharusnya
tanpa komplikasi tidak begitu diperhatikan. Morbiditas dan mortalitas meningkat secara
signifikan pada bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan . seperempat kasus lahir mati
yang terjadi pada kehamilan memanjang merupakan bayi-bayi dengan hambatan
pertumbuhan yang jumlahnya relative kecil.
DIAGNOSA
Dalam menegakkan diagnosis KLB sering kita mengalami kesulitan, terutama jika
dihadapkan pada penderita yang tidak mengetahui/memperhatikan siklus haidnnya. Karena
itu banyak diagnosis KLB yang terjadi hanya 10% menunjukkan bayi yang sesuai.
Diagnosis yang tepat bagi KLB memerlukan penentuan HPHT secara hati-hati dan
pemeriksaan klinis awal serta pemeriksaan ultrasonografi untuk mencocokan tanggal haid
terakhir. Penentuan saat terjadi konsepsi adalah sangat penting dalam mengurangi kesalahan
diagnosis KLB dan membantu menentukan kapan resiko kehamilan meningkat. Taksiran
persalinan dianggap dapat lebih diyakini bila umur kehamilan dapat ditentukan secara akurat
pada awal kehamilan.
Untuk menegakkan diagnosis KLB, perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang teliti,
dapat dilakukan saat antenatal maupun postnatal. Anamnesis dan pemeriksaan yang perlu
dilakukan dalam menegakkan diagnosis KLB antara lain:
1. Riwayat haid
2. Denyut jantung janin
3. Gerakan janin
4. Pemeriksaan ultrasonografi
5. Pemeriksaan radiologi
6. Pemeriksaan sitologi
Menurut pernoll, digunakan beberapa parameter, dianggap KLB jika 3 dari 4 kriteria hasil
pemeriksaan ditemukan, yaitu:
Parameter yang dapat membantu penentuan umur kehamilan adalah tanggal saat pertama kali
tes kehamilan positif (+_ UK 6 minggu) persepsi ibu akan adanya gerakan janin (quickening)
pada UK 16-18 minggu, waktu saat detk jantung janin pertama kali terdengar (10-12 minggu
dengan fetal phone/Doppler dan 19-20 minggu dengan fetoskop)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan pengukuran CRL, 90% dengan interval kepercayaaan ± 3 hari. BPD sampai UK
20 minggu memeiliki ketepatan 90% interval kepercayaan ± 8 hari, tetapi antara UK 18-24
minggu ketepatan 90% dengan interval kepercayaan ± 12 hari. Pengukuran BPD dan FL pada
trimester ketiga masing-masing ketepatannya ± 21 hari dan ± 16 hari. Panjang femur pada
umumnya dipakai sebagai pedoman pada UK 14 minggu, dan bila digunakan sebelum UK 20
minggu ketepatannya ± 7 hari. Waktu yang paling baik untuk konfirmasi UK dengan
ultrasonografi adalah antara 16-20 minggu. Bila perkiraan UK dengan perhitungan
berdasarkan HPHT berbeda lebih dari 10-12 hari dibandingkan pemeriksaan ultrasonografi
tersebut.
Talus 26-28
Femur distal 36
Tibia proksimal 38
Kuboid 38-40
Korpus kapitatum ≥ 40
Korpus hamitatum ≥ 40
Kuneiformis ke-3 ≥ 40
Femur proksimal ≥ 40
Gambaran sitologi hormonal kehamilan mendekati genap bulan, genap bulan dan KLB
Sel radang + + ++
Simak
PENATALAKSANAAN
1. Pengelolaan ekspektatif/konservatif/pasif
2. Pengelolaan aktif
a) Usia gestasi tidak selalu diketahui dengan benar, sehingga janin mungkin kurang matur.
b) Sulit untuk mengidentifikasi dengan jelas apakah janin akan meninggal atau akan
mengalami morbiditas serius jika tetap dipertahankan.
Tapi mengingat resiko untuk terjadinya kegawatan pada janin cukup besar, dimana resiko
kematian janin dapat terjadi setiap saat antepartum, intrapartum maupun pasca persalinan,
maka dianjurkan pengelolaan secara aktif dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:
a) Terjadinya oligohidramnion tidak dapat diramalkan, bahkan dapat terjadi dalam 24 jam
setelah dilakukan pemeriksaan, dimana ditemukan indeks cairan amnion cukup.
c) Resiko morbiditas dan mortalitas yang dihadapi janin cukup besar, dengan makin
lamanya kehamilan berlangsung.
1. 1. Pengelolaan ekspektatif
Kehamilan dibiarkan berlangsung sampai 42 minggu dan seterusnya sampai terjadi persalinan
spontan sepanjang hasil uji kesejahteraan janin masih baik. Induksi dilakukan bila terjadi:
skor Bishop >5 (matang) atau terdapat indikasi obstetri untuk mengakhiri kehamilan antara
lain bila tes tanpa tekanan hasilnya abnormal.
Sejak UK 42 minggu dilakukan uji kesejahteraan janin. Uji kesejahteraan janin dapat
menggunakan metode tes tekanan darah oksitosin CST (contraction stress test) atau tes tanpa
tekanan NST (non stress test), profil biofisik, rasio estrogen-kretinin ibu.
Rapid biophysic profile memiliki kelebihan: sederhana, murah, interpretasi hasil lebih
mudah, waktu yang diperlukanb lebih pendek, dan apabila dibandingkan dengan profile
biofisik yang lengkap (NST dan AFI) serta 3 komponen gerakan spontan janin yaitu gerak
nafas, gerak janin dan tonus janin) maupun profil biofisik yang telah dimodifikasi (hanya
NST dan AFI) memiliki ketepatan yang hampir sama.
1. 2. Pengelolaan aktif
2.
Pengobatan Medikamentosa
Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular seksual biasanya
digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia. Idealnya, antibiotik harus
segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase. Beberapa antibiotik yang digunakan
dalam pengobatan abses bartholin:
1. Ceftriaxone
1. Ciprofloxacin
Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan antibiotik tipe bakterisida yang
menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan menghambat pertumbuhan
bakteri dengan menginhibisi DNA-gyrase pada bakteri. Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1
kali sehari
1. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara berikatan dengan 30S dan 50S
subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk C trachomatis. Dosis yang dianjurkan: 100
mg PO 2 kali sehari selama 7 hari
1. Azitromisin
Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan oleh beberapa
strain organisme. Alternatif monoterapi untuk C trachomatis. Dosis yang dianjurkan: 1 g PO
1x
KOMPLIKASI
PENCEGAHAN
Jika abses dengan didrainase dengan baik dan kekambuhan dicegah, prognosisnya baik.
Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan kurang dari 20%.
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Kista Bartholin dan abses Bartholin merupakan masalah umum pada wanita usia reproduksi.
Incidensnya adalah sekitar 2% dari wanita usia reproduksi. Usia yang paling sering terserang
penyakit kelenjar Bartholin adalah wanita antara usia 20 dan 30 tahun. Pembesaran kelenjar
Bartholin pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun jarang ditemukan, dan perlu
dikonsultasikan pada gynecologist untuk dilakukan biopsi. Penyakit ini seringkali recurrence,
sehingga diperlukan suatu penanganan yang adekuat.
Penyebab dari kelainan kelenjar Bartholin adalah tersumbatnya bagian distal dari duktus
kelenjar yang menyebabkan retensi dari sekresi, sehingga terjadi pelebaran duktus dan
pembentukan kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan selanjutnya berkembang
menjadi abses. Abses Bartholin selain merupakan akibat dari kista terinfeksi, dapat pula
disebabkan karena infeksi langsung pada kelenjar Bartholin.
Kista bartholin bila berukuran kecil sering tidak menimbulkan gejala. Dan bila bertambah
besar maka dapat menimbulkan dispareunia. Pasien dengan abses Bartholin umumnya
mengeluhkan nyeri vulva yang akut dan bertambah secara cepat dan progresif.
Dalam penanganan kista dan abses bartholin, ada beberapa pengobatan yang dapat dilakukan.
Dapat berupa intervensi bedah, dan medikamentosa. Intervensi bedah yang dapat dilakukan
antara lain berupa incisi dan drainase, pemasangan Word catheter, marsupialisasi, dan eksisi.
Pemilihan terapi ini disesuaikan dengan ukuran dan keadaan kista. Jika Kista Bartholin atau
abses terlalu dalam, pemasangan Word catheter tidak praktis, dan pilihan lain harus
dipertimbangkan. Prosedur seperti marsupialisasi tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda
– tanda abses akut. Oleh sebab itu, abses perlu diobati dengan pemberian antibiotik broad
spectrum. Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak
berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada infeksi aktif.
III.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Andhi Juanda, 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. FKUI
2. Centers for Disease Control and Prevention (CDC); Update to CDC’s sexually
transmitted diseases treatment guidelines, 2006: fluoroquinolones no longer
recommended for treatment of gonococcal infections.; MMWR Morb Mortal Wkly
Rep; 2007; Vol. 56; pp. 332-6
3. Centers for Disease Control and Prevention, Workowski KA, Berman SM; Sexually
transmitted diseases treatment guidelines, 2006.; MMWR Recomm Rep; 2006; Vol.
55; pp. 1-94
4. Landay Melanie, Satmary Wendy A, Memarzadeh Sanaz, Smith Donna M, Barclay
David L, “Chapter 49. Premalignant & Malignant Disorders of the Vulva & Vagina”
(Chapter). DeCherney AH, Nathan L: CURRENT Diagnosis & Treatment Obstetrics
& Gynecology, 10e. USA: McGraw-Hill
5. MacKay H. Trent, “Chapter 18. Gynecologic Disorders” (Chapter). McPhee SJ,
Papadakis MA, Tierney LM, Jr.: CURRENT Medical Diagnosis & Treatment 2010.
USA: McGraw-Hill
6. 8. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3 hal. 386. 2005. FK UI
7. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham
FG, “Chapter 41. Surgeries for Benign Gynecologic Conditions” (Chapter). Schorge
JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG:
Williams Gynecology. USA: McGraw-Hill
8. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham
FG, “Chapter 4. Benign Disorders of the Lower Reproductive Tract” (Chapter).
Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham
FG: Williams Gynecology. USA: McGraw-Hill