Anda di halaman 1dari 19

CARSINOMA SINONASAL

BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak
maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1
% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Hidung dan
sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang
wajah yang merupa¬kan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit
diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus
karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi
rongga hidung dan seluruh sinus. 1

Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat mereka sangat dekat dengan struktur
vital. Keganasan sinonasal dapat tumbuh dengan ukuran yang cukup dan terapi agresif mungkin
diperlukan di daerah dekat dasar tengkorak, orbit, saraf kranial, dan pembuluh darah
vital. Meskipun jarang, keganasan sinonasal merupakan masalah yang cukup penting. Masalah
ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal (misalnya, epistaksis sepihak, obstruksi
hidung) meniru tanda-tanda dan gejala kondisi umum tetapi kurang serius. Oleh karena itu,
pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan
mengobati tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Anatomi rongga hidung dan
sinus paranasal menyebabkan tumor untuk timbul dalam stadium lanjut dan mempersulit
pengobatan mereka.Mereka berada berdekatan dengan struktur penting seperti dasar tengkorak,
orbit, saraf kranial, dan struktur vaskular penting.Morbiditas jelas dan komplikasi yang terkait
dengan bedah reseksi dari tumor tersebut dapat parah. Pengobatan keganasan sinonasal paling
baik dilakukan melalui tim multidisiplin. Secara optimal, ini termasuk kepala dan leher bedah
oncologic, rekonstruksi bedah, maxillofacial prosthodontist, onkologi radiasi, ahli onkologi
medis, neuroradiologist, ahli patologi, ahli bedah saraf, dan pasien. 3

EPIDEMIOLOGI

Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika daripada di
Amerika Serikat.Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum
dan kanker leher karsinoma nasofaring belakang. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering
dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-
70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga
hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan
minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid. 3

1
Kejadian tahunan tumor hidung di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1 dalam 100.000
orang per tahun. Tumor ini paling sering terjadi dalam putih, dan insiden pada laki-laki adalah
dua kali dari perempuan. Tumor epitel yang paling sering hadir dalam dekade kelima dan
keenam usia 4

2
BAB II

ISI
ANATOMI

Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi
di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. 2,3

1. Septum Nasi
Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium pada
bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi
juga dengan mukosa nasal. 2,3

Bagian tulang terdiri dari :

 Lamina perpendikularis os etmoid


Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari
septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan krista
gali.
 Os vomer
Os vomer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer
merupakan ujung bebas dari septum nasi.
 Krista nasalis os maksila
Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan os palatina.
 Krista nasalis palatina.

Bagian tulang rawan terdiri dari :

 Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)


Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasal, lamina perpendikularis
os etmoid, os vomer dan krista nasalis os maksila oleh serat kolagen.
 Kolumela
Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh
sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela.
2. Pembuluh darah

Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang


merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari a,karotis eksterna). Septum nasi bagian
antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari a.maksilaris)
yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari a.fasialis)
memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk fleksus
Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini
disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis. Arteri
karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis
anterior dan superior. Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian
posterior septum ke fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena

3
fasialis. Pada superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika
yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior. 2,3

3. Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar
nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya. Terdapat
empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis, etmoidalis, dan
maksilaris. Sinus maksilaris dan etmoidalis mulai berkembang selama dalam masa
kehamilan. Sinus maksilaris berkembang secara cepat hingga usia tiga tahun dan
kemudian mulai lagi saat usia tujuh tahun hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell
ethmoid tumbuh dari tiga atau empat sel menjadi 10-15 sel per sisi hingga mencapai
usia 12 tahun. 2,3

http://trialx.com/curebyte/2011/06/15/paranasal-sinuses-photos/

 Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang


dalam janin manusia. Sinus ini mulai berkembang pada dinding lateral nasal
sekitar hari 65 kehamilan. Sinus ini perlahan membesar tetapi tidak tampak
pada foto polos sampai bayi berusia 4-5 bulan. Pertumbuhan dari sinus ini
bifasik dengan periode pertama di mulai pada usia tiga tahun dan tahap kedua
di mulai lagi pada usia tujuh hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini,
pneumatisasi meluas secara menyamping hingga dinding lateral mata dan
bagian inferior ke prosesus alveolaris bersamaan dengan pertumbuhan gigi
permanen. Perluasan lambat dari sinus maksilaris ini berlanjut hingga umur 18
tahun dengan kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus
maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media. 2,3

4
 Sel etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan
janin. Sinus etmoidalis anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral nasal
dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoidalis posterior dan
terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan sel ini diisi oleh
cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun sinus
etmoidalis baru bisa dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar
dengan cepat hingga usia 12 tahun. Sinus etmoidalis anterior dan posterior ini
dibatasi oleh lamina basalis. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-
masing dengan total volume rata-rata 14-15 ml. Sinus etmoidalis anterior
mengalirkan sekret ke dalam meatus media, sedangkan sinus etmoidalis
posterior mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior. Menurut Kennedy,
diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati
karena terdapat dua daerah rawan. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid
anterior yang merupakan cabang arteri oftalmika, terdapat di atap sinus
etmoidalis dan membentuk batas posterior resesus frontal. Arteri ini berada
pada dinding koronal yang sama dengan dinding anterior bula etmoid. Daerah
yang kedua adalah variasi anatomi yang disebut dengan sel onodi. Sel onodi
adalah sel udara etmoid posterior yang berpneumatisasi ke postero-lateral atau
postero-superior terhadap dinding depan sinus sfenoidalis dan melingkari
nervus optikus dan dapat dikira sebagai sinus sfenoidalis. 2,3
 Sinus frontalis mulai berkembang sepanjang bulan keempat kehamilan,
merupakan satu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus
frontalis jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau
enam tahun setelah itu perlahan tumbuh, total volume 6-7 ml. Pneumatisasi
sinus frontalis mengalami kegagalan pengembangan pada salah satu sisi
sekitar 4-15% populasi. Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam
resesus frontalis. 2,3
 Sinus sfenoidalis mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan
yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi.
Sinus ini berupa suara takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga
tahun ketika mulai pneumatisasi lebih lanjut, Pertumbuhan cepat untuk
mencapai tingkat sella tursika pada umur tujuh tahun dan menjadi ukuran
orang dewasa setelah umur 18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis
mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid
posterior. Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar
epithelial cell, sel Goblet, dan kelenjar submukosa menghasilkan suatu selaput
lendir bersifat melindungi. Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri
dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya
melalui ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang. 2,3

DEFINISI

5
Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana kanker (ganas) sel ditemukan dalam jaringan
sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. 8

www.ISPUB.com

ETIOLOGI

Eksposur kepada asap industri, debu kayu, penyulingan nikel, dan penyamakan kulit semua
telah terlibat dalam karsinogenesis berbagai jenis tumor ganas sinonasal. Eksposur khusus, kayu
debu dan penyamakan kulit baik berhubungan dengan peningkatan risiko adenokarsinoma lain.
Agen etiologi telah dilaporkan termasuk minyak mineral, dan senyawa kromium kromium,
minyak isopropil, cat pernis, solder dan las. 1,2,3,4

Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras, merupakan faktor
resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Peningkatan resiko (5-50 kali)
ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai
timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian
paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko
tambahan. 4

Tembakau dan penggunaan alkohol belum dibuktikan secara meyakinkan sebagai faktor
penyebab dalam pengembangan tumor sinus paranasal. Namun, agen virus, khususnya human
papilloma virus (HPV), juga mungkin memainkan peran penyebab. 3

PATOFISIOLOGI
6
KARSINOGEN

BAHAN NIKEL ROKOK MAKANAN YANG


INDUSTRI, DIASINKAN DAN
TEKSTIL ALKOHOL DIAWETKAN
( DEBU KAYU)

MEMICU
Human TIMBULNYA virus Epstein-
papillomavirus PERTUMBUHAN Barr (EBV)
(HPV) YANG ABNORMAL

CARSINOMA
SINONASAL

Klasifikasi Tumor :

1. Tumor Jinak

7
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan
polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama
eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted. Papiloma
inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat
cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak
laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi
media. 1
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang
mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong
bola mata ke anterior.1

2. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh
karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Sinus maksila adalah yang tersering
terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus
sphenoid dan frontal jarang terkena. 1

Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus
sangat miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak
hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik.Metastasis jauh juga jarang ditemukan
(kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru. 1

3. Invasi Sekunder
a. Pituitary adenomas
b. Chordomas
c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor odontogenik, neoplasma
skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita dan apparatus lakrimal) . 1

Klasifikasi histologi tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut WHO:

A. Karsinoma Sel Skuamosa

Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal dari
epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan non
keratinizing.Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus
maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus
sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%).Simtom berupa rasa penuh atau hidung
tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau
palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi,
pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi. Pemeriksaan
radiologis, CT scan atau MRI didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan
pada struktur-struktur yang bersebelahan seperti pada mata, pterygopalatine atau
ruang infratemporal. Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan
berupa exophytic, fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa
nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif. 3

8
B. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi mukosa
lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk
keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel
diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang,
massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan
tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini dinilai
berupa diferensiansi baik, sedang atau buruk . 3

C. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma

Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang
dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat
menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini dinilai
dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai
skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma
neuroendokrin. 3

D. Undifferentiated Carcinoma

Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat


agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa
yang cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan
melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik berupa
proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk
trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran
sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik
dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan
sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan gambaran mitosis atipikal,
nekrosis tumor dan apoptosis. Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia,
mikroskop elektron dan biologi molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis
undifferentiated carcinoma dan dapat membedakan keganasan ini dari neoplasma
ganas lainnya. 3

E. Limfoma Maligna

Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural killer
(NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa limfoma
primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang ditemukan di
western countries, umumnya dijumpai di negara-negara Asia .Dikarakteristikkan
dengan infiltrat limfomatosa difus yang meluas ke mukosa nasal dan sinus paranasal,
dengan pemisahan yang luas dan destruksi mukosa kelenjar sehingga memperlihatkan
clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies selalu ditemukan.
Dinding pembuluh darah sering ditemukan angiosentrik, angiodestruksi dan deposit
fibrinoid. Sel-sel limfoma ukurannya bervariasi mulai dari kecil, medium hingga
9
berukuran besar. Sel-sel memiliki sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada
sitoplasmanya yang dapat dilihat dengan pewarnaan Giemsa. Beberapa kasus
berhubungan dengan infiltrat inflamatori yang mengandung limfosit kecil, histiosit,
sel-sel plasma dan eosinofil. Terkadang hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada pelapis
epitel skuamosa dapat ditemukan, menyerupai karsinoma sel skuamosa
berdiferensiasi baik. 3

F. Adenokarsinoma

Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak


menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari
keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan
neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga
70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus
aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.
Simtom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi
dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya. Adenokarsinoma
menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu sessile, papilari dan alveolar mucoid.
Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak jaringan lunak dan
tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis . Prognosis jelek dan biasanya penderita
meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis. 3

G. Melanoma Maligna

Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara makroskopik,
massa polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada 45% kasus. Di
dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna ini adalah daerah
posterior septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan inferior. Tumor
menyebar melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat
ditemukan pada pemeriksaan awal. 3

Pembagian sistem TNM menurut Simson sebagai berikut:


T : Tumor.
T—1 :
a. Tumor pada dinding anterior antrum.
b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.
c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.
T—2 :
a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.
b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.
T—3 :
a. Invasi ke m. pterigoid.
b. Invasi ke orbita
c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa.
d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya.
10
T—4 :
a. Invasi ke lamina kribrosa.
b. Invasi ke fosa pterigoid.
c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontra
lateral.
d. Invasi ke lamina pterigoid.
e. Invasi ke selule etmoid posterior.
f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.

N : Kelenjar getah bening regional.


N—1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan.
N—2 : Tidak dapat digerakkan.

M : Metastasis.
M—1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.
M—2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini (stadium 1 dan 2),
stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam stadium lanjut dan
sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal
sudah terkena tumor. 1,3

 Stadium :

Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IV a T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IV b Semua T N3 M0
Stadium IV c Semua T Semua N M1

MANIFESTASI KLINIK

Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam
sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak
atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau
intrakranial. 1
11
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.
Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor
ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. 1
2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia,
protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. 1
3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau
ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak
pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena
nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. 1
4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi.
Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus. 1
5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan
otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media
maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi
trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis. 1
Saat pasien datang ke dokter, biasanya tumor sudah dalam fase lanjut. Hal ini mungkin
disebabkan karena diagnosis yang terlambat yang dikarenakan gejala dini nya mirip dengan
rinitis atau sinusitis sehingga sering kali diabaikan oleh pasien atau kurang diperhatikan oleh
dokter. 1

www.ISPUB.com

PEMERIKSAAN FISIK

Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat


asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui
rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda
12
tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di
sinus maksila. 1

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada


stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang
bermetastasis ke kelenjar leher. 1

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Radiologic Imaging
Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film menunjukkan
destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa kasus dapat menunjukkan
keadaan normal. 1,3

2. Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film
untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film.
Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang
berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan
simtomp persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan
pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic
resonance imaging (MRI). CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk
menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan
kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan
arteri karotid. 1,3

3. MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue,


membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion,
menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada
sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI
image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen
ovale dan optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement
signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas
tinggi dari lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip
dengan otak. 1,3

4. Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala


dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah
dengan anatomic detail membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat
luasnya tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai keganasan
kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai keganasan pada
nasal dan sinus paranasal. 1,3

5. Angiography dengan carotid-flow study digunakan untuk penderita yang akan


menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon
exclusion digunakan dengan single-photon emission CT (SPECT), xenon CT
13
scan atau trnascranial Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark
otak iskemik jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat
memprediksi iskemik pada area marginal (watershed) atau fenomena embolik. 1,3
6. CT scan dada dan abdomen direkomendasikan untuk pasien dengan tumor yang
bermetastasis secara hematogen, seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma kistik
adenoid. Penilaian metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk
dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika
tumor telah menginvasi meningen atau otak. 1,3

DIAGNOSIS

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak


di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi
tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi
Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. 1,3,4,5,6,7
Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena
akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.

PENATALAKSANAAN

Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan multifaset. Setiap pasien menerima rencana pengobatan yang
disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan nya, khususnya konstitusi secara keseluruhan pasien,
kelas, dan stadium penyakit. Biasanya, bagaimanapun, tim pengobatan meliputi:
• sebuah otorhinolaryngologist (spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan)
• seorang ahli onkologi (spesialis kanker)
• sebuah radiotherapist (x-ray pengobatan spesialis)
Jika operasi yang luas diperlukan, ahli bedah plastik dan rekonstruksi juga dapat berfungsi
sebagai bagian dari tim perawatan. 8

Pilihan pengobatan utama untuk kanker sinus paranasal meliputi:

I. Bedah. Mungkin diperlukan untuk menghilangkan bagian dari rongga hidung atau
sinus paranasal pada setiap tahap penyakit ini. Juga, beberapa diseksi kelenjar getah
bening mungkin diperlukan di leher, tergantung pada pementasan dan grading.Dapat
dikombinasikan dengan radioterapi di setiap tahap, tergantung pada jenis kanker dan
lokasinya. 8
II. Radioterapi. Terapi radiasi juga disebut, radioterapi kadang-kadang digunakan
sendiri pada tahap I dan penyakit II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam
setiap tahap penyakit.Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap
sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan penggunaan
energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona
diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk paliatif (kontrol gejala) pada pasien
dengan kanker tingkat lanjut. Teleterapi (radiasi eksternal) diberikan melalui mesin

14
remote dari tubuh sementara radiasi internal (brachytherapy) diberikan dengan
menanamkan sumber radioaktif ke dalam jaringan kanker. Pasien mungkin atau
mungkin tidak memerlukan kedua jenis radiasi. Radioterapi biasanya memakan
waktu hanya lima sampai sepuluh menit per hari, lima hari seminggu selama sekitar
enam minggu, tergantung pada jenis radiasi yang digunakan. 8

III. Kemoterapi. Biasanya diperuntukkan untuk tahap III dan IV penyakit. Selain terapi
lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh adalah
dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh)
dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan, yang disebut kemoterapi,
diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan
setiap tiga sampai empat minggu). Kemoterapi juga dapat digunakan dalam
kombinasi dengan operasi, radioterapi, atau keduanya.
Pada garis depan penelitian kanker kepala dan leher, biologi molekuler dan terapi
gen menyediakan wawasan baru ke dalam mekanisme dasar kanker usul dan
pengobatan. Deteksi berbagai onkogen (gen yang dapat menyebabkan pembentukan
tumor) di kepala dan kanker leher juga maju dengan cepat.Percobaan terapi gen,
masih dalam tahap awal pada 2001, juga memperkenalkan bahan genetik untuk
membantu sistem kekebalan tubuh mengenali sel kanker. 8

PROGNOSIS

Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus maksilaris sekitar
40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka kesembuhan hingga 80%. Pasien
dengan tumor dioperasi diobati dengan radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang
dari 20%. Tingkat ketahanan hidup untuk tumor ethmoid telah sedikit meningkat karena
kemajuan di tengkorak-basis operasi. 3

KOMPLIKASI

Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan dan


rekonstruksi. Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan, kebocoran LCS,
infeksi, anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial lainnya. 3

1) Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan. Masalah ini
dapat terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan jika tidak ada perdarahan
aktif dicatat sampai setelah operasi. Arteri ethmoid dan sphenopalatina anterior dan
posterior dapat dibakar, dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan
perdarahan. Jika diperlukan, radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu
dengan intra-arteri melingkar untuk mengontrol perdarahan. 3
2) CSF kebocoran

15
Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak. Manajemen yang
tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin termasuk Rhinorrhea jelas, rasa asin
di mulut, tanda halo, atau tanda reservoir. Setelah mencatat, identifikasi kebocoran
dapat dibuat endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin. Tes, seperti tes
untuk tau atau beta transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi mungkin butuh
beberapa hari untuk hasil untuk diproses.
Manajemen konservatif dengan istirahat dan menguras lumbal dapat digunakan untuk
5 hari pertama di samping penempatan pada antibiotik. Jika resolusi tidak terjadi,
intervensi bedah harus digunakan, termasuk menambal dengan allograft kulit, tulang
turbinate, dan mukosa hidung. Flaps mukosa dapat dinaikkan dan digunakan untuk
menutup kebocoran dengan tulang atau tulang rawan interpositioned. Untuk
kebocoran besar, menguras tulang belakang mungkin diperlukan untuk
memungkinkan cangkok dan teknik penyegelan untuk memperkuat dan
mengintegrasikan. 3
3) Epiphora
Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh obstruksi pada
saluran keluar lacrimalis. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan pada puncta
lacrimalis, karung, atau saluran.Perawatan harus diambil untuk marsupialize duktus
lakrimal jika terkoyak atau rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi.Tindak
lanjut dacryocystorhinostomy endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan. 3
4) Diplopia
Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang melibatkan
kerucut orbital. Perbaikan yang tepat dari lantai orbital adalah kunci untuk mencegah
komplikasi ini, tetapi dalam beberapa kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan
teliti rekonstruksi. Dalam kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling
sederhana untuk koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit oleh
jaringan parut dari operasi sebelumnya dan pengobatan radiasi. Konsultasi
Oftalmologi adalah standar perawatan. 3
5) Rekonstruksi
Dalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan fungsi. Sebuah
flap rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin diperlukan untuk melindungi
struktur vital, atau prostetik wajah dapat digunakan. Prostesis wajah dapat ditawarkan
untuk meningkatkan hasil kosmetik, tetapi pemeliharaan teliti dari prostesis oleh tim
dan pasien adalah keharusan.
Pengrusakan wajah adalah salah satu keprihatinan pasien yang paling penting dan
dapat menyebabkan stres sosial dan psikologis yang cukup besar. Hasil ini harus
ditangani pada awalnya dan secara berkelanjutan. 3

16
BAB III

PENUTUP
RANGKUMAN

Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana kanker (ganas) sel ditemukan dalam
jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering
dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-
70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga
hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan
minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.
17
Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras,
merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Peningkatan
resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus.
Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan
menetap setelah penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga
menjadi faktor resiko tambahan.

Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan multifaset. Setiap pasien menerima rencana pengobatan yang
disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan nya, khususnya konstitusi secara keseluruhan pasien,
kelas, dan stadium penyakit. Biasanya, bagaimanapun, tim pengobatan meliputi:
• sebuah otorhinolaryngologist (spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan)
• seorang ahli onkologi (spesialis kanker)
• sebuah radiotherapist (x-ray pengobatan spesialis)

Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus maksilaris sekitar
40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka kesembuhan hingga 80%. Pasien
dengan tumor dioperasi diobati dengan radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari
20%. Tingkat ketahanan hidup untuk tumor ethmoid telah sedikit meningkat karena kemajuan di
tengkorak-basis operasi.

REFERENSI

1. Arsyad efiaty dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala & Leher: edisi 6, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

2. L . Adams, George, MD et all. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran

3. Tumor Sinonasal , diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/847189-


overview#showall

18
4. Malignant Tumor of the Nasal Cavity, diunduh
http://emedicine.medscape.com/article/846995-overview#showall

5. L Smith, Stacey et all, Sinonasal Teratocarcinosarcoma of the Head and Neck arch
Otolaringol Head Neck Surg,2008 ; 134 (6):592-595, diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

6. Vivanco blanca et all, Benign Lesions in Mucosa Adjacent to Intestinal-Type


Sinonasal Adenocarcinoma, diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

7. Kazi Shameemus et all, Clinicopathological study of sinonasal malignancy,


Bangladesh J Otorhinolaryngol 2009; 15(2): 55-59. Diunduh dari :
http://www.banglajol.info/index.php/BJO/article/view/5058

8. Paranasal Sinus Cancer


Gale Encyclopedia of Cancer | 2002 | Slomski, Genevieve | 700+ word
diunduh dari : http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3405200357.html

19

Anda mungkin juga menyukai