Penyelesaian Sengketa Pajak
Penyelesaian Sengketa Pajak
Oleh:
KELOMPOK I
ANGKATAN IV
KELOMPOK I:
Sistem self assessment yang kita anut memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada
Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan kewajiban
perpajakannya sendiri tanpa menunggu adanya surat ketetapan dari fiskus karena wajib pajak
dianggap paling tahu mengenai penghasilannya sendiri.
Dengan sistem self assessment, apa yang telah dihitung, disetor, dan dilaporkan oleh
Wajib Pajak dianggap benar oleh fiskus, kecuali fiskus mempunyai data/informasi yang
mengindikasikan bahwa laporan tersebut salah. Untuk memperoleh keyakinan yang memadai
bahwa apa yang dihitung, disetor, dan dilaporkan Wajib Pajak sudah benar, maka diperlukan
sarana untuk melakukan pengawasan.
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu sarana yang tujuannya adalah untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam melakukan pemeriksaan pajak, fiskus menghasilkan beberapa produk hukum
antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil
(SKPN), dan Surat Tagihan Pajak (STP). Atas produk hukum yang dihasilkan dari pemeriksaan
maupun yang bukan dari pemeriksaan, tidak semuanya disetujui oleh Wajib Pajak.
Ketidaksetujuan ini menimbulkan suatu perselisihan yang biasa disebut sengketa pajak.
Sengketa Pajak yang timbul antara fiskus dan Wajib Pajak dapat diselesaikan dengan cara
keberatan, banding, dan peninjauan kembali. Cara-cara tersebut tempuh agar hak Wajib Pajak
maupun negara dapat dijamin dengan adanya keadilan dan kepastian hukum.
Penyelesaian sengketa pajak pada hakekatnya harus didasarkan pada keadilan dan
kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi penerimaan negara. Terjaminnya hak
Wajib Pajak maupun pemerintah merupakan goal yang ingin dicapai dengan terbitnya UU KUP
dan UU Pengadilan Pajak.
i
Penyelesaian Sengketa Pajak Melalui
Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali
(Kelompok I MAKSI IV UMB)
A. Pendahuluan
Dalam rangka pemulihan ekonomi akibat dampak krisis global, pemerintah memerlukan
dukungan kebijakan fiskal yang sehat dan kredibel untuk menghindari ketergantungan dengan
pinjaman luar negeri. Kebijakan fiskal yang baik juga dapat mendukung bangkitnya sektor riil
yang akan memacu pertumbuhan ekonomi kita.
Prinsip dasar perpajakan yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan adalah sistem yang
berdasarkan azas keadilan, kepastian hukum dan kesederhanaan, sebagaimana diketahui
peranan penerimaan pajak merupakan tulang punggung bagi penerimaan negara yang akan
menjamin kesinambungan kehidupan negara.
Sistem self assessment yang kita anut memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada
Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan kewajiban
perpajakannya sendiri tanpa menunggu adanya surat ketetapan dari fiskus karena wajib pajak
dianggap paling tahu mengenai penghasilannya sendiri.
Dengan sistem self assessment, apa yang telah dihitung, disetor, dan dilaporkan oleh
Wajib Pajak dianggap benar oleh fiskus, kecuali fiskus mempunyai data/informasi yang
mengindikasikan bahwa laporan tersebut salah. Untuk memperoleh keyakinan yang memadai
bahwa apa yang dihitung, disetor, dan dilaporkan Wajib Pajak sudah benar, maka diperlukan
sarana untuk melakukan pengawasan.
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu sarana yang tujuannya adalah untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam melakukan pemeriksaan pajak, fiskus menghasilkan beberapa produk hukum
antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil
(SKPN), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
Atas produk hukum yang dihasilkan dari pemeriksaan maupun yang bukan dari
pemeriksaan, tidak semuanya disetujui oleh Wajib Pajak. Ketidaksetujuan ini menimbulkan
suatu perselisihan yang biasa disebut sengketa pajak.
Sengketa Pajak yang timbul antara fiskus dan Wajib Pajak dapat diselesaikan dengan cara
keberatan, banding, dan peninjauan kembali. Cara-cara tersebut tempuh agar hak Wajib Pajak
maupun negara dapat dijamin dengan adanya keadilan dan kepastian hukum.
b. Sengketa Material
Sengketa material atau lazim disebut materi sengketa terjadi apabila terdapat perbedaan
jumlah pajak yang terutang atau terdapat perbedaan jumlah pajak yang lebih dibayar (dalam
kasus restitusi) menurut perhitungan fiscus yang tercantum pada ketetapan pajak- dengan
jumlah menurut perhitungan Wajib Pajak.
Perbedaan tersebut bisa timbul karena adanya perbedaan pendapat mengenai :
· Dasar hukum yang seharusnya digunakan ;
· Persepsi atas ketentuan peraturan pajak ;
· Perselisihan atas suatu transaksi tertentu ; dll.
Kesemuanya itu dapat mengakibatkan jumlah pajak yang ditetapkan oleh fiscus menjadi
berbeda dibandingkan dengan jumlah pajak menurut perhitunan Wajib Pajak. Dan perbedaan
jumlah pajak menurut fiscus dengan WP itulah yang merupakan sengketa material.
Baik Sengketa formal maupun sengketa material sangat menentukan hasil akhir putusan
banding. Dalam proses banding, hakim akan melakukan pemeriksaan formal terlebih dahulu
sebelum mulai memeriksa materi sengketa.
Permohonan banding tidak akan diproses lebih lanjut oleh pengadilan pajak tanpa
pemeriksaan materi sengketa apabila banding WP tidak memenuhi ketentuan formal yang telah
ditetapkan.
Sebaliknya apabila ketetapan pajak atau keputusan keberatan tidak memenuhi
ketentuan formal, maka pengadilan pajak dapat menyatakan ketetapan pajak ataupun
keputusan keberatan harus batal demi hukum. Dalam hal ini, permohonan banding WP dapat
diterima seluruhnya atau diterima sebagian, tergantung hasil pemeriksaan keseluruhan oleh
hakim pengadilan pajak.
Hak wajib pajak untuk meminta keadilan atas materi yang menjadi sengketa pajak
dijamin dalam Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007. Dalam Undang-undang KUP
mengatur mengenai tata cara pengajuan keberatan dan banding, serta hak dan kewajiban wajib
pajak apabila keberatan dan banding diterima atau ditolak.
Dalam mengajukan pemohonan keberatan dan banding ada resiko ditolak oleh pihak
yang berwenang baik karena tidak memenuhi syarat formal maupun material. Dalam hal
terjadinya keberatan dan banding yang ditolak berdasarkan perubahan Undang-undang KUP No.
28 Tahun 2007 maka Wajib Pajak akan dikenakan denda.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (9) UU KUP, “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau
dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen)
dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan”. Apabila Wajib Pajak mengajukan banding maka denda sebesar
50% tersebut tidak dikenakan.
Dalam Pasal 27 ayat (5d) UU KUP, “Dalam hal permohonan banding ditolak atau
dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi berupa denda sebesar 100% (seratus persen)
dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang
telah dibayar sebelum mengajukan keberatan”.
Dalam hal keberatan dan Banding diterima sebagian atau seluruhnya yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak , maka kelebihan pembayaran pajak tersebut akan dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan.
Tata cara dalam proses keberatan dan banding adalah sebagai berikut:
1.) Keberatan
Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU KUP, “Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.”
Jika lewat tiga bulan, surat keberatan tidak diproses karena tidak memenuhi syarat
formal. Tetapi UU KUP juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam
keadaan diluar kekuasaannya.” Dalam hal terjadinya hal-hal diluar kekuasaan Wajib Pajak yang
menyebabkan terjadinya keterlambatan permohonan keberatan masih bisa diterima oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam hal mengajukan keberatan Wajib Pajak harus melunasi pajak yang masih harus
dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. Direktorat Jenderal Pajak wajib
memberikan keputusan keberatan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat
keberatan diterima.
Syarat pengajuan keberatan bisa diringkas sebagai berikut:
a. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPN, dan Pemotongan dan Pemungutan
oleh pihak ketiga.
b. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasan-alasan yang
jelas.
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan pajak,
kecuali Wajib Pajak menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di
luar kekuasaannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyratan di atas tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
2.) Banding
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan dengan keputusan keberatan yang
diajukannya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding dengan gugatan ke Badan Peradilan
Pajak. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”
Badan Peradilan Pajak adalah lembaga yang tidak memiliki hirarki dengan DJP sehingga
lebih independen dan kredibel dalam memutuskan suatu sengketa pajak daripada pejabat
penelaah keberatan di kanwil DJP.
Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
keputusan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut. Dalam mengajukan
permohonan banding maka satu keputusan keberatan harus diajukan satu permohonan
banding. Jadi tidak diperbolehkan merangkap beberapa materi sengketa dalam satu
permohonan banding. Wajib Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
Dalam undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa jangka waktu
pelunasan pajak terutang yang belum dibayar pada saat mengajukan keberatan tertangguh
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Proses banding dapat diringkas sebagai berikut:
Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia;
Ditujukan kepada Badan Peradilan Pajak dengan melampirkan : salinan keputusan yang
disbanding, bukti pelunasan pajak yang terutang yang dibanding, data dan bukti-bukti
pendukung (SKP, Surat Permohonan Keberatan, SPT, Laporan Keuangan dll) dan Surat
Kuasa bermeterai bila diwakili oleh kuasanya;
Paling lambat 14 hari sejak Banding disampaikan Pemohon Banding akan mendapat
permintaan kelengkapan apabila banding yang disampaikan ternyata tidak/kurang
lengkap;
Paling lambat 3 bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding, Pemohon
Banding harus melengkapi permohonan bandingnya yang kurang lengkap/belum
memenuhi persyaratan;
Paling lambat 14 hari sebelum persidangan dimulai, Pemohon Banding akan mendapat
pemberitahuan sidang.
Banding diajukan sendiri oleh pembayar pajak, ahli waris, seorang pengurus atau kuasa
hukumnya. Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia, banding dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya atau pengampunya dalam hal
pemohon banding pailit.
Apabila selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat
dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban, karena penggabungan, peleburan,
pemecahan atau pemekaran usaha atau karena likuidasi dimaksud.
Gambar 2. Skema Banding
3. Dalam waktu 14 hari sejak kontra memori peninjauan kembali diterima di Sekretariat
Pengadilan Pajak, pihak Sekretariat Pengadilan Pajak mengirimkan surat pemberitahuan dan
penyerahan kontra memori peninjauan kembali;
4. Biaya perkara peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak adalah Rp 2.500.000,00
untuk satu putusan yang diajukan peninjauan kembali sesuai dengan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor : KMA/042/SK/VIII/2001 dan Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor :
KEP-003/PP/2006.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bersifat khusus yang
menyangkut acara penyelenggaraan persidanggan sengketa perpajakan yaitu :
1. Sidang peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal
tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat, sidang
dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan Pajak
dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Lain halnya dengan Badan
Penyelesaian Sengketa yang persidangannya dinyatakan tertutup untuk umum ( Pasal 49
ayat 1 UU No. 17 tahun 1997 ).
2. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang
mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana
lain.
3. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa
perpajakan.
4. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib Pajak,
berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh
kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai
akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, disamping jenis-jenis putusan yang umum
diterapkan pada Peradilan Umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan
seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.
E. Penutup