Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia
PENDAHULUAN
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000
kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu
tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi
pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab
mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai
kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling
berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa
berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan
rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi
<37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi
yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat
dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus
neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian
besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang
pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki
penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru
lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di
atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85%
bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki
1
kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan
pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi
pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan
ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat
sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24%
kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus
pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan
sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%.
Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang
bulan 22,8%
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan
13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara
pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar
bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik
pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual (4)
2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi
kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir
dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi
yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya
akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan
saluran empedu, dan lain-lain.
ikterus fisiologis timbul pada hari ke-2 dan ke-3, dan tidak disebabkan oleh kelainan
apapun, kadar bilirubin darah tidak lebih dari kadar yang membahayakan, dan tidak
mempunyai potensi menimbulkan kecacatan pada bayi. Sedangkan pada ikterus yang
patologis, kadar bilirubin darahnya melebihi batas, dan disebut sebagai hiperbilirubinemia.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin
dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda
3
klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk
akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks
isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis
melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni.
Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun
pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial(4)
Bilirubin adalah zat yang terbentuk sebagai akibat dari proses pemecahan
Hemoglobin (zat merah darah) pada system RES dalam tubuh. Selanjutnya mengalami proses
konjugasi di liver, dan akhirnya diekskresi (dikeluarkan) oleh liver ke empedu, kemudian ke
usus.
Asal bilirubin :
Dari pemecahan sel darah merah ( eritrosit ). Menghasilkan bilirubin unkonjugated yang larut
dalam lemak kemudian diproses di hati untuk diubah menjadi bilirubin konjugated, dan akan
dibuang ke usus dan urine.
Pada bayi baru lahir, sering mengalami masalah dalam kematangan organ liver,
Fungsi hati yang belum matang ini mengakibatkan proses metabolisme bilirubin mengalami
hambatan. Sehingga mengakibatkan penumpukan bilirubin pada darah(3)
Metabolisme Bilirubin:
Dua sumber bilirubin pada neonatus berasal dari pemecahan sel darah merah yang
beredar (75%) dan eritropoiesis dan protein heme jaringan yang tidak efektif (25%). Heme
mengalami perubahan menjadi bilirubin tak terkonjugasi (larut lemak) di dalam sistem
retikuloendotelial dan dibawa ke hepar oleh albumin. Di hepar, dikonjugasi dengan asam
glukoronat dengan suatu reaksi yang dikatalisir oleh glukoronil transferase. Bilirubin
terkonjugasi (larut air) disekresi ke dalam saluran bilier untuk ekskresi melalui saluran
pencernaan. Enzim B-glukoronidase terdapat di dalam usus halus dan menghidrolisis
sejumlah bilirubin terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian dapat direabsobsi ke
dalam sirkulasi, menambah total bilirubin tak terkonjugasi (sirkulasi enterohepatik).
4
www.som.tulane.educlasswarepat...d010.htm
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam
lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah
konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat
ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan
Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai
tingkat patologis.(2)
Pada Dewasa adanya bakteri terutama Clostridium Perfringen dan E. Coli akan lebih banyak
bilirubin direduksi menjadi sterkobilin dan tidak diresorbsi. Pada bayi, Ususnya masih steril
maka reduksi tidak terjadi sedang usus bayi mengandung Beta Glukoronidase yang
menghidrolisis bilirubin glukoronide memproduksi bilirubin indirek yang diresorbsi sirkulasi
enterohepatik, berakibat kenaikan bilirubin indirek.(3)
Batasannya :
Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus
yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
· Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 13 mg% pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
2. Peningkatan konsentrasi bilirubin darah lebih dari 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
3. Konsentrasi bilirubin darah 10 mg% pada neonatus (bayi baru lahir) kurang bulan, dan
12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
6
4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (pemecahan darah yang berlebihan) pada
inkompatibilitas darah (darah ibu berlawanan rhesus dengan bayinya), kekurangan enzim
G-6-PD, dan sepsis)
§ Infeksi
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama
pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah ,
dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
Gejala kernicterus diantaranya, warna kulit yang sangat kuning, ngantuk yang berlebihan
sehingga bayi sulit dibangunkan, rewel dan sering menangis keras serta tubuh sangat
lemah. Kernicterus dapat diatasi dengan fototerapi, dengan meletakkan bayi di bawah
sinar atau lampu biru. Atau jika kondisi sudah sangat ekstrim, dokter akan melakukan
pertukaran tranfusi untuk mengeluarkan bilirubin dari darah.
II.4 ETIOLOGI(7)
1. Peningkatan produksi
7
Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat
pada bayi hipoksia atau asidosis
Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta),
diol (steroid) bahan ini menghambat enzyme uridine diphosphoglucuronic acid
(UDPGA) glucuronyl transferase yang bertanggung jawab atas konjugasi dan
ekskresi dari bilirubin.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang
dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmasiss, syphilis.
II.5 PATOFISIOLOGI(5)
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar
yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin
8
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,
Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah
larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila
Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung
pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi
terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH,
Markum,1991)
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur
sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (Inkompatibilitas golongan
darah dan Rh, defek sel darah merah pada defisiensi G 6PD atau sferositosis, polisitemia,
sekuester darah, infeksi).
c. Peningkatan Reabsorpsi Bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI
yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
Pada bayi normal, kadar bilirubin umumnya akan meningkat mulai hari ke-2 dan
mencapai puncaknya pada hari ke-5 atau ke-7. Selanjutnya, bilirubin akan menurun kembali
kadarnya sampai hari ke-10.
9
Bila ikterus ini bersifat fisiologis, kadar birilubin tersebut akan berkisar antara 5-7
mg, dan tidak melebihi 12 mg. Namun, jika kadar bilirubin ini mencapai 15 mg, perlu
dilakukan penanganan khusus. Jika terlambat mendapat perawatan, bayi bisa mengalami
kejang, cacat otak, bahkan meninggal dunia.
Untuk memantau warna kuning pada bayi, perhatikan bagian mata bayi. Jika putih matanya
berubah kuning, berarti bayi mengarah ke kuning. Kuning menjalar dari sekitar wajah ke
seluruh tubuh. Perhatikan pula warna urin bayi, bila warnanya kuning tua atau cokelat,
kemungkinan kadar bilirubinnya sudah sangat tinggi. Orangtua harus segera membawa bayi
ke rumah sakit bila bayi tidak aktif, sering mengantuk, lemas, demam, dan tidak mau minum.
II.7 DIAGNOSIS
a. anamnesis : riwayat ikterus pada anak sebelumnya, riwayat keluarga anemi dan
pembesaran hati dan limpa, riwayat penggunaan obat selama ibu hamil, riwayat infeksi
maternal, riwayat trauma persalinan, asfiksia.
b. Pemeriksaan fisik :
Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan dilakukan pada
pencahayaan yang memadai(5)
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena
besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan,
namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan
bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut:
10
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru lahir
dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelanagn
tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin
dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata didalam gambar di bawah ini
c. Pemeriksaan laboratorium: kadar bilirubin, golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan
anak, darah rutin, hapusan darah, Coomb tes, kadar enzim G 6PD (pada riwayat
keluarga dengan defisiensi enzim G6PD).
2. Bilirubin Serum
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20
mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya
dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi
peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan
pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam
jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin(4)
II.8 PENATALAKSANAAN
Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah
ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk
keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.
Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar.
Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin
< 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes
Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin <
13 g/dL (hematokrit < 40%).
Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
Persiapkan transfer.
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.
Kirim contoh darah ibu dan bayi.
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu
dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
Nasihati ibu:
Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan
informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan
berikutnya.
Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-
zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat
antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
13
Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3
minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum
kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4
minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.
Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup
bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari
penyebab.
Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi
dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila
memungkinkan.
Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital(4)
Pedoman Penanganan Ikterus Neonatal menurut saat terjadinya dan konsentrasi bilirubin
indirek (3)
14
20-lebih (tidak ada Terapi sinar Terapi sinar Terapi Sinar
faktor resiko ** ** **
kerusakan sawar *** *** ***
darah otak
Keterangan:
* = 1. Bila gagal, Terapi dirubah menurut kadar bilirubin lebih tinggi
2. Bila berat lahir < 2000 g, atau ada asidosis, hipoksia, trauma serebral atau infeksi
sistemik, terapi dirubah menurut kadar bilirubin lebih tinggi
** = Perbaikan keadaan umum
*** = Pemberian albumin 1 g/kgBB secara intravena
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam
darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat
dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati.
Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat
sehinggamenimbulkan risiko yang lebih fatal.
Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak
terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari
jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin
berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu
dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses tanpa proses konjugasi
oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan
melalui urine(3)
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi
tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Noenatus
15
yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi dengan konsentrasi
bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksasi
pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan berat badan lahir rendah.
Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang
gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di
bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy glass yang berfungsi meningkatkan
energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh
pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain
kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari lampu-lampu tersebut. Seperti
diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak
bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ
reproduksi itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup
agar penyinaran berlangsung merata. Dokter akan terus mengontrol apakah kadar
bilirubinnya sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun dan berada di bawah
ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari si
bayi sudah boleh dibawa pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi
yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara,
proses pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluarkan cairan empedu ke organ
usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua
bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari
terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada si kecil(6)
16
Hari ke-3 18 310 16 270
a
faktor risiko meliputi: bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan berusia 37
minggu), hemolisis dan sepsis.
b
Bila kuning terlihat Pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan,
tungkai, tangan dan kaki Pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat parah dan
memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum
1500 – 2000 10 – 12
2000 – 2500 13 – 15
Mekanisme kerja
Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin
menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika
bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat
konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat
dibersihkan dari plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi
bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi
diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin
17
lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui
empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.
Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang biasa digunakan
adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah
bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru
khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian
karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum
tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus
pada bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap
bagian samping unit.
Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di
bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C.
Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.
o Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun
tabung masih bisa berfungsi.
Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar
daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin
kepada bayi.
Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup.
Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.
o Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang
setiap 3 jam:
o Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup
mata
o Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain
(contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
o Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah),
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari (tabel
3) selama bayi masih diterapi sinar .
o Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan
pindahkan bayi dari sinar terapi sinar .
o Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang
tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar .
o Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk
mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)
Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu
bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi
dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C - 37,5 0C.
19
Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
o Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila
memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode
klinis. tabel
o Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk
memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi
langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari
hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai
untuk memulai terapi sinar.
Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak
ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.
Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila
bayi bertambah kuning.
Bilirubin di kulit cepat menghilang selama terapi sinar. Warna kulit tidak bisa
dijadikan acuan untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi masih dalam
terapi sinar dan dalam 24 jam setelah penghentian terapi sinar .
Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel.
20
terjadi
Intensitas radiasi, kurva spektrum emisi dan luas tubuh bayi yang terpapar. Intensitas cahaya
yang diperlukan 6-12 nm. Terdapat hubungan antara dosis dengan degradasi bilirubin sampai
dosis saturasi tercapai. Hal ini bisa dicapai dengan memberikan paparan pada permukaan
kulit secara maksimum dari 40 mW/cm2 per nm cahaya yang sesuai. Di atas titik saturasi,
peningkatan intensitas tidak memberikan efek tambahan apa-apa.
Efikasi terapi sinar meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak
efektif untuk menurunkan konsentrasi bilirubin di bawah 100 mmol/l. Penurunan sebanyak
50% dapat dicapai dalam 24 jam dengan kadar bilirubin >15 mg/dL menggunakan cahaya
biru yang memiliki spektrum emisi yang sama dengan spektrum absorpsi bilirubin.
Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar
paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur
yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan
21
hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin
efektif.
Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat,
sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak),
lampu fluoresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi
spektrum dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi
memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif(9)
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus
meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah.
Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern
ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan
perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan motorik dan
bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah
teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.
Proses tukar darah akan dilakukan bertahap. Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin
sudah menunjukkan angka yang menggembirakan, maka terapi transfusi bisa berhenti. Tapi
bila masih tinggi maka perlu dilakukan proses tranfusi kembali. Efek samping yang bisa
muncul adalah masuknya kuman penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke
dalam tubuh bayi. Meski begitu, terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
yang tinggi.
22
Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor
3. Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
1. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap sel darah
23
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan
setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatchedterhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai
titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O
dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B
yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
24
1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan
dan pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta
terjaga sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
i. Selang pembuangan
k. Meja tindakan
Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar pada
Hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam
sebagai berikut
mg/dL mg/dL
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk
secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas,
sertakan contoh darah ibu dan bayi.
< 1000 10 – 12
1000 – 1500 12 – 15
1500 – 2000 15 – 18
2000 – 2500 18 – 20
Keterangan:
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb < 11 gr/dL
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi
sinar
26
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar
a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis
dari orang tua penderita
b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera
dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
27
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres
dengan NaCl fisiologis
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar
albumin < 2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin -bilirubin di dalam darah
meningkat sebelum tranfusi tukar sehingga resiko kernikterus menurun, kecuali ada
kontra indikasi atau tranfusi tukar harus segera dilakukan
e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik,
Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan
darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya
serta kultur darah
f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label
darah)
Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50 mL/kgBB, 100 mL/kgBB, 150 mL/kgBB
dan 200 mL/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-turut adalah sebagai berikut: 45%,
70%, 85-85% dan 90%.
a. Bayi diletakkan dalam posisi terlentang. Fiksasi lengan dan tungkai, dijaga
agar tidak banyak bergerak (diikat longgar)
b. Pasang alat monitor yang dibutuhkan (neonatal monitoring). Suhu bayi
dipertahankan pada suhu optimal atau jika ada meja resusitasi bayi diletakkan
di bawah lampu pemanas/sorot dengan jarak 2 meter
d. Bersihkan daerah sekitar tali pusat atau tempat lain yang akan dipasang
abbocath dengan cairan antiseptik, tutup dengan kain steril yang berlubang
28
ditengahnya sehingga tampak tali pusat/ daerah yang akan dipasangkan
abbocath
e. Jika dilakukan melalui vena umbilikalis, bersihkan dengan betadine 10%, tali
pusat dipotong kurang lebih 1 cm di atas dasar/kulit abdomen dengan
skalpel/pisau steril
f. Jika tali pusat kering, lunakkan dengan kompres NaCl fisiologis selama ½ - 1
jam
g. Vena umbilikalis dicari dan masukkan kateter vena sesuai ukuran bayi, diisi
NaCl fisiologis. Kateter dimasukkan sampai (1) tampak ada darah mengalir
dari tubuh bayi atau (2) pada posisi aman, yaitu ujung kateter sedikit di atas
diafragma dan di dalam vena cava inferior (ukuran sekitar panjang dari bahu
kiri/kanan ke tali pusat kemudian diukur ke diagram khusus ukuran kateter tali
pusat). Kateter harus diisi cairan untuk mencegah emboli udara
j. Kateter atau abbocath dihubungkan dengan three way stopcock, bagian depan
dengan selang infus donor dan bagian belakang dengan selang infus
pembuangan yang telah dihubungkan dengan botol kosong di bawah botol
tindakan
a. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20 mL atau tergantung berat badan bayi,
jangan melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi
b. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way
stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena
belum bercampur dengan darah donor
c. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan
menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 mL/kgBB/menit
29
d. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar dalam sirkulasi
e. Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai target
transfusi tukar selesai
f. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada lembaran observasi
transfusi tukar
g. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACD/PCD)
setiap tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena perlahan-
lahan. Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium sebelum tranfusi < 7,5 mg/dL.
Bila kadarnya di atas normal maka kalsium glukonas tidak perlu diberikan. Pemberian
larutan kalsium glukonas harus dilakukan secara perlahan-lahan karena bila terlalu
cepat dapat mengakibatkan timbulnya bradikardi/ cardiac arest. Beberapa peneliti
menganjurkan untuk tidak memberikan kalsium kecuali pada pemeriksaan fisik dan
elektrokardiografi menunjukkan adanya tanda-tanda hipokalsemia
h. Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus diawasi dengan neonatal monitoring
i. Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan pasca transfusi
tukar
j. Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang, lakukan jahitan silk purse string atau
ikatan kantung melingkari vena umbilikalis. Ketika kateter dicabut jahitan yang
mengelilingi tali pusat dikencangkan
Efek Hiperbilirubinemia
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi
bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh
konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
30
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan
komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas
dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang
menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan
kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin
plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan
kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi
yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan
hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat
kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin
serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel
otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa
yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang
sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena
ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan
otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan
mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.
Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO
sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer
31
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup
bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya
sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses
menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui
dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus.
Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada
neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus
neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi
ikterus neonatorum.
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta
menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan
darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah
dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan
pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi
terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus.
Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-
tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga
memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang
cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya
32
hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada
awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas(9)
BAB 111
PENUTUP
33
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya
produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal
ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi
<37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi
yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat
dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi
kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir
dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi
yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya
akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan
saluran empedu, dan lain-lain. ikterus fisiologis timbul pada hari ke-2 dan ke-3, dan tidak
disebabkan oleh kelainan apapun, kadar bilirubin darah tidak lebih dari kadar yang
membahayakan, dan tidak mempunyai potensi menimbulkan kecacatan pada bayi. Sedangkan
pada ikterus yang patologis, kadar bilirubin darahnya melebihi batas, dan disebut sebagai
hiperbilirubinemia.
34