Kel. 4 Penatalaksanaan Asma Menurut GINA 2017 Plus Watermark PDF
Kel. 4 Penatalaksanaan Asma Menurut GINA 2017 Plus Watermark PDF
Oleh:
Melati Sari
HET 17-XXVIII-407
M. Furqon
HET 17-XXVIII-408
HET 17-XXVIII-413
Universitas Andalas
I. DEFINISI
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan
inflamasi kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala
saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa
berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan disertai
dengan hambatan jalan napas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang
terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan alergen
atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran napas.1
Gejala terbatasnya jalan napas dapat sembuh spontan atau dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau beberapa
bulan. Di sisi lain pasien juga dapat mengalami beberapa periode
serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam jiwa dan memberikan
beban yang signifikan bagi pasien dan keluarga. Asma biasanya dikaitkan
dengan hiporesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak
langsung, dan dengan inflamasi jalan napas kronik. Karakteristik tersebut
biasanya selalu ada, walaupun tidak ada gejala dan fungsi paru normal,
dan akan membaik dengan terapi.1,2
III. PATOFISIOLOGI
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan
bahwa infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tidak higienis dapat
melindungi perkembangan alergi. Hipotesis tersebut berdasarkan bahwa
sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th2) dan setelah
lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan
terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
insidens asma menurun akibat infeksi tertentu (M tuberkulosis, campak,
atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotika. Ketiadaan
kejadian tersebut menyebabkan keberadaaan Th2 menetap sehingga
keseimbangan akan bergeser ke arah Th2, merangsang produksi antibodi
Ig E untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu
kucing.5,6
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.
Produksi Ig E pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi
keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL4.
Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan
imunologis janin. Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan
perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor
utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30-40 tahun terakhir.
Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara
alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi
akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan
kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th2.
Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya
akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan
interferon gamma (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan Ig
E.3,4
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi
adalah mast sel, limfosit T dan eosinophil. Setelah seseorang mengalami
sensitisasi, Ig E disintesis dan kemudian melekat ke target sel. Pajanan
alergen menyebabkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas.
Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan , recruitment
dan aktivasi eosinophil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin dan
regulation on activation normal T cell expressed and secreted
(RANTES).3
4. Hipersekresi mukus
Produksi mukus yang berlebihan merupakan gejala utama pada
penyakit bronchitis kronis, namun gejala tersebut juga merupakan salah
satu karakteristik pasien asma yang tidak pernah memiliki riwayat
merokok ataupun bekerja pada lingkungan berdebu. Hiperplasia kelenjar
submucosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran napas pasien
asma dan remodeling saluran napas merupakan karakteristik asma kronis.
Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran napas hampir
selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab obstruksi
saluran napas yang persisten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator.3,4
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial,
eosinophil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang lisis.4
IV. DIAGNOSIS
4.1. Anamnesis
Tabel 4.1. Kriteria Diagnosis Asma untuk Dewasa, Remaja, Anak 6-11
tahun.1
Tabel 5.1. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma.1
A.Kontrol Gejala Asma Level kontrol gejala asma
Apakah dalam 4 minggu Terkontrol Terkontrol Tidak
terakhir pasien memiliki : penuh sebagian terkontrol
Gejala asma Ya
harian ˃2x Tidak
dalam 1
minggu
Terbangun Ya
di malam Tidak Tidak Terdapat Terdapat
hari karena terdapat 1-2 kriteria 3-4
asma satupun kriteria
Penggunaan Ya kriteria
obat pelega Tidak
untuk
mengatasi
gejala ˃ 2x
dalam 1
minggu
Keterbatasan Ya
aktifitas Tidak
fisik karena
asma
B. Risiko untuk Prognosis Buruk
Nilai faktor risiko saat menegakkan diagnosis dan secara berkala
Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat , setelah 3-6 bulan,
kemudian secara berkala untuk menilai faktor risiko yang dimiliki pasien
Faktor risiko munculnya eksaserbasi :
Gejala asma yang tidak terkontrol
Penggunaan SABA dosis tinggi (mortalitas
meningkat bila ˃ 1x200 dosis
kanister/bulan)
ICS tidak adekuat: tidak ada ICS, kepatuhan
yang kurang, tekhnik inhalasi yang salah Bila terdapat 1
VI. TATALAKSANA
Tujuan jangka panjang tata laksana asma adalah mengontrol
timbulnya gejala dan mengurangi risiko berulangnya serangan. Hal ini
akan mengurangi beban pada pasien, mencegah kerusakan saluran napas,
dan mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada pasien asma
sangat bersifat individual dan diperlukan kerjasama yang baik antara
dokter dan pasien. 1,2
Mengobati asma dengan mengontrol timbulnya gejala dan
mengurangi risiko berulangnya serangan meliputi : 1,2
Pengobatan. Setiap pasien asma harus mempunyai obat pereda
serangan (reliever medication), dan pada sebagian besar pasien
dewasa dan remaja harus mempunyai obat kontroler (controller
medication) untuk mengontrol timbulnya serangan.
Mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
Terapi non farmakologis
Setiap pasien asma harus mempunyai keterampilan dan dapat
mengelola sendiri penyakitnya, yang meliputi :
Informasi mengenai penyakit asma
Ketrampilan menggunakan inhaler
Kepatuhan
Membuat rencana pengendalian asma
Monitoring
Kontrol rutin
Tatalaksana asma merupakan suatu siklus yang kontinu yang terdiri dari
penilaian, penyesuaian terapi, dan melihat respons pasien seperti yang
tergambar di bawah ini : 1
VII. KOMPLIKASI
VIII. RUJUKAN
Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah menunjukkan tanda
ancaman henti napas langsung dirujuk dan di rawat di ruang rawat
intensif (ICU). Kriteria pasien yang memerlukan perawatan ICU adalah
sebagai berikut: 3,4
Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di
IGD dan/atau perburukan serangan asma yang cepat.
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman
henti napas, atau hilangnya kesadaran.
Tidak adanya perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang
rawat inap.
Ancaman henti napas, hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah
diberi oksigen (kadar PO2 < 60% mmHg dan/atau PaCO2 > 45
mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi pada
kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).
Pasien dengan serangan berat yang terindikasi menggunakan ventilasi
mekanis dan harus dirujuk ke ICU adalah sebagai berikut :
- Pulsus paradoksus yang cepat meningkat
- Penurunan pulsus paradoksus pada pasien yang kelelahan (exhausted)
- Perburukan status mental (letargi/agitasi)
- Aritmia jantung atau henti jantung
- Henti napas
- Tidak bisa bicara
- Asidosis laktat yang tidak bisa membaik
- Diaphoresis pada posisi berbaring
- Silent chest walaupun sudah terjadi usaha napas yang hebat
Sedangkan indikasi relatif :
- Hipoksemia (kadar PO2 < 60% mmHg tidak membaik dengan
pemberian oksigen 100%)
- PaCO2 > 60 mmHg dan meningkat lebih dari 5 mmHg/jam
IX. ALGORITMA PENATALAKSANAAN
Klinis:
*Gejala (Batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
*Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) < 80% nilai prediksi
Pengobatan awal
-inhalasiagoni beta-2 kerja singkat nebulasi setiap 20 menit dalam satu jam atau agonis beta-2 injeksi
(terbutalin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 0,3ml subkutan)
Dirawat di RS
Dirawat di ICU
- Inhalasi agonis beta-2
kolinergik - Inhalasi agonis beta-2
antikolinergik
- Kortikosteroid sistemik
- Kortikosteroid IV
- Aminofilin drip
- Terapi oksigen
- Terapi oksigen menggunakan masker
venturi
- Pantauan APE
- Aminofiin drip
Tidak perbaikan
Perbaikan
X. DO & DON’T
Hal-hal yang harus dilakukan pada penderita asma :
- Pemberian edukasi pada pasien dan keluarga tentang asma
- Penilaian dan pemantauan derajat asma
- Identifikasi dan penghindaran terhadap faktor risiko / faktor
pencetus
- Membuat rencana tatalaksana jangka panjang
- Menatalaksana eksaserbasi atau seranagan
- Follow-up secara teratur
- Pola hidup sehat
Faktor
Pencetus Kontrol Lingkungan
Asma
Debu rumah Cuci sarung bantal, guling, sprei, selimut dengan air
(Domestik panas (55-60°C) paling lama 1 minggu sekali
mite) Ganti karpet dengan linoleum atau lantai kayu
Ganti furnitur berlapis kain dengan berlapis kulit
Bila gunakan pembersih vakum, pakailah filter HEPA
dan kantung debu 2 rangkap
Cuci dengan air panas segala mainan kain
1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma and prevention
Updated 2017. Diunduh dari
file:///C:/Users/LenE440/Documents/wmsGINA-2017-main-report-
final_V2.pdf. Diakses tanggal 14 April 2017.
2. Global Initiative for Asthma, 2017. Pocket guide for asthma management and
prevention Updated 2017. Diunduh dari
file:///C:/Users/LenE440/Documents/wms-Main-pocket-guide_2017.pdf.
Diakses tanggal 14 April 2017.
3. Makmuri MS. Patofisiologi asma. Dalam: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto
BD, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan pertama. Jakarta.
Badan Penerbit IDAI, 2008.h.98-104.
4. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi VI. Jakarta. Internal Publishing, 2014.h.478-88.
5. Sohn SW. Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from patients
with allergic rhinitis : relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy
2008; 63: 268-73.
6. Alfven T. Allergic diseases and atopic sensitization in children related to
farming and anthroposophilic lifestyle the PARSIPAL Study. Allergy 2006;
61: 414-21.