Anda di halaman 1dari 11

Cerpen ini dibuat untuk meme-

nuhi tugas mata pelajaran


Bahasa Indonesia pada
Semester Genap

Disusun oleh :
Nama : Dwi Angelita
Kelas : XC
NIS : 7627

Sekolah Menengah Atas Negeri 1


Sungailiat Bangka
Tahun Ajaran 2012/2013
Unsur Instrinsik

1. Tema : Pengalaman Pribadi


Judul : Berawal Dari Kimia

2. Amanat : 1). Jangan pernah mudah putus asa


2). Tetaplah tersenyum walau menghadapi masalah
3). Janganlah mengharapkan sesuatu yang tidak pasti

3. Penokohan : 1). Aku (Dwi) = Ceria, Plin Plan, dan Pesimis


2). Kak Tria = Baik, Humoris, Ramah dan Sabar
3). Dewi = Percaya diri dan Ceria

4. Alur,
1). Pengenalan
Dalam cerpen ini penulis memperkenalkan tokoh utama, yaitu Aku
(Dwi), Kak Tria, dan Dewi. Penulis juga mendeskripsikan latar di
sekolah.
2). Penampilan Masalah
Setelah ia menjalani Ujian Nasional, aku tidak pernah lagi
melihatnya.
3). Puncak ketegangan atau Klimaks
Sosok bayangannya perlahan sirna dari hadapanku.
4). Ketegangan menurun atau Antiklimaks
Ku mohon padamu, jangan pergi. Tetaplah disisiku.
5). Penyelesaian
Akhirnya ku sadari, aku harus melepaskannya.

5. Latar, a). Tempat : Sekolah, Laboratorium Kimia, Laboratorium Fisika,


Teras kelas, Taman sekolah, Sebuah ruang
b). Waktu : Pagi, Siang, Sore, Malam
c). Suasana, Lahir : Ramai
Batin : Menegangkan

6. Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama, karena menggunakan


kata “Aku” dan merupakan pengalaman pribadi.
7. Gaya Bahasa,
a). Saat ia berhenti di depan mejaku, jantung ini mendadak lenyap.
(Hiperbola)
b). Seharian aku belajar mati-matian untuk test seleksi ini. (Hiperbola)
c). Inginku memohon agar Bumi menelanku saat itu juga.
(Personifikasi)
d). Matahari menyengat seakan ingin memakan seluruh lapisan ozon
yang ada di bumi. (Personifikasi)
e). Neraka seakan sudah bocor. (Hiperbola)
BERAWAL DARI KIMIA

Hari Senin yang panas. Matahari menyengat seakan ingin memakan


seluruh lapisan ozon yang ada di bumi. Aku berdiri di depan pintu sambil
menikmati suasana istirahat. Tak henti-hentinya tangan ini mengibaskan
kertas yang biasa aku sebut kipas keramat di hadapan wajah. Dengan cara ini
pun belum bisa menghilangkan rasa kepanasan yang ada dalam diriku.
Seandainya di depan ku ada sebuah kolam berisi batu es, aku tak segan-segan
mencemplungkan diri untuk berenang. Neraka seakan sudah bocor. Tak ada
satu tetes air pun di botol minum ku. Muncullah dehidrasi. Tak lama
kemudian, bel tanda istirahat berakhir dibunyikan. Dan, pelajaran Kimia pun
dimulai.
“Assalammu’alaikum, baiklah kita akan melanjutkan pelajaran minggu
lalu,” kata Bu Emiliya, guru mata pelajaran Kimia.
“Wa’alaikumsalam, baik bu...,” jawab kami serempak.
“Sebelumnya, Ibu ingin memberitahu bahwa akan ada Olimpiade
Kimia tahun ini. Jika ada yang berminat, kalian bisa mendaftarkan diri,” jelas
Bu Emiliya sambil mengancungkan selembar kertas putih polos di hadapan
kami semua.
“Dewi, kamu ikut nggak?” tanyaku pada Dewi.
“Hmm... Ikut. Cari pengalaman baru, siapa tahu terpilih,” balasnya
bangga.
“Aku sendiri ikut tidak ya?” gumamku.
Dewi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ikut atau tidak. Aku
bingung. Ini sebuah pilihan yang lumayan sulit aku tentukan. Tiba-tiba
terlintas muncul 2 jalan yang menentukan arah ikut atau tidak. Jika
dikatakan, aku memang suka Kimia. Awal bertemu pelajaran itu, aku
mendadak tertarik untuk mempelajarinya. Dapat dipungkiri, ada juga
segelintir orang kurang menyukai pelajaran itu. Yang pasti, aku tidak tahu
apa penyebabnya. Bagiku pribadi, Kimia itu suatu pelajaran baru. Ya,
sebelumnya aku sudah mengenal kimia pada SMP. Tapi, di SMA ini aku bisa
lebih tahu dasar-dasar dari itu. Kita bisa mengenal apa itu atom, senyawa, ion
dan lain-lain. Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut Olimpiade tersebut.
Keesokan harinya, aku dan Dewi sedang asyik bersantai di teras kelas.
Sehabis dari kantin, kami menikmati makanan yang tadi kami beli di
pinggiran taman sekolah. Dari kejauhan tampak seseorang berlari-larian ke
arah kami. Ia lari terseok-seok seperti ingin menyampaikan suatu hal. Aku
dan Dewi saling berpandangan aneh. Orang tadi segera memasuki kelas yang
kami tempati. Kelas itu adalah kelas XC.
“Pengumuman... yang telah mendaftarkan diri ikut Olimpiade Kimia,
besok pulang sekolah kumpul di Laboratorium Kimia. Akan ada test seleksi.
Jangan lupa...” kata orang itu.
“Secepat itukah test-nya? Aku belum siap...” jawabku sambil melongo.
“Ya iyalah, makanya belajar dong,” sahut Dewi yang berada
disampingku.

***
Test pun dimulai. Aku dan teman-teman lainnya yang ikut Olimpiade
itu sempat datang terlambat. Untungnya, pengawasnya tidak memarahi kami.
Saat mengerjakan soal, aku kira mudah. Ternyata, sangat sulit bagi kami
kelas X. Seharian aku belajar mati-matian untuk test seleksi ini. Tak pernah
ku bayangkan bahwa sesulit ini seleksi Olimpiade. Bagaimana dengan soal di
tingkat Nasional? Aku tak ingin memikirkannya. Aku menoleh ke kiri dan ke
kanan. Semua peserta sibuk dengan jawaban mereka masing-masing. Aku
hampir frustasi mengerjakan semua soal itu. Bagaimana tidak, dari soal-soal
tersebut hanya satu atau dua soal saja yang aku ketahui. Gelisah datang
menghampiri. Ingin rasanya menghentikan waktu agar aku bisa melihat
semua jawaban dari semua peserta. Tapi, itu tidak mungkin.
Dua jam berlalu. Bunyi detakan jam tak kunjung berhenti. Oh,
bantulah diriku. Selain aku, ada juga peserta lain yang kewalahan menjawab
soal. Bisa terlihat dari pancaran wajah-wajah mereka. Dewi, temanku yang
juga ikut terlihat kebingungan. Ku mau waktu cepat berlalu agar bisa pergi
dari ruangan itu. Berapa pun nilai yang ku dapatkan dari test tersebut, aku
hanya bisa pasrah dengan keadaan. Jika aku terpilih, ya Alhamdulillah. Jika
tidak, mungkin aku bisa ikut tahun depan. Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong
ini pengalaman baru bagiku saat mengikuti seleksi Olimpiade.

***

“Dwi, katanya hasil dari Olimpiade sudah keluar. Ada ditempel di


Laboratorium Fisika. Ayo kita lihat!” ajak Dewi penuh semangat.
“Hah? Benarkah...?” jawabku setengah percaya.
“Iya. Yuk, kita lihat hasilnya,” sahutnya seraya menarik lenganku.
Hasil dari test kemarin akhirnya keluar. Apakah ini bertanda baik atau
buruk? Oh, tidak. Aku harus menahan rasa malu jika hasilnya tidak
memuaskan. Bayangkan saja, seluruh siswa sekolah ini pasti melihat
pengumuman itu. Aku takut, sangat takut. Malu, sedih, gelisah semuanya
bercampur aduk. Dengan langkah berat, aku mengikuti Dewi dari belakang.
Ia tampaknya bersemangat. Keringat dingin perlahan muncul dari keningku.
Aku tak bisa membayangkan betapa mengerikan hasil yang ku dapat.
Sesampai di depan Laboratorium Fisika, sudah banyak siswa
mengerumuni pengumuman tersebut. Jantungku berdegup kencang.
Tanganku mulai dingin, tak ada darah yang mengalir disekujur tubuh. Satu
per satu, para siswa yang melihat papan pengumuman pergi juga. Dari wajah-
wajahnya, ada yang senang dan sedih. Bagaimana dengan nasibku. Ku
perhatikan nama-nama peserta kemarin dari bawah. Pasti namaku berada
paling bawah, batinku. Aku tidak menemukan nama diriku. Ada apa ini. Oh
ya, aku lupa memeriksa nama-nama dirangking atas. Hmm, “3. Dwi Angelita”.
Aku rangking 3? gumamku. Aku tidak percaya akan hal ini. Mendadak muncul
sayap putih nan besar berada di punggung. Seperti Angel, bidadari. Aku
serasa melayang terbang dan tersenyum lebar. Tentunya, aku tidak boleh
bangga dulu. Masih banyak rintangan hidup yang akan ku hadapi.
Sepulang sekolah, semua peserta Olimpiade harus mengikuti
bimbingan pertama. Di hari itu, aku dan Dewi sempat terlambat juga. Ketika
akan mengucapkan salam, aku terkejut. Bukan Bapak atau Ibu Guru yang
berdiri di ruang itu, melainkan seorang siswa juga. Dengan tinggi badannya
yang bisa dibilang lumayan, ia menoleh ke arah kami.
“Oh, masuklah...” katanya.
“ Iya, terima kasih,” balas kami berdua.
Setelah duduk, aku dan Dewi saling berpandangan senang. Inikah
kakak kelas yang mengikuti Olimpiade Tingkat Nasional kemarin. Mukanya
imut, kulitnya berwarna putih, matanya juga agak sipit. Ya, namanya Tria.
Dan inilah awal dimana aku berkenalan dengannya. Kak Tria, kakak kelas
yang cukup terkenal di sekolah ini. Semua gerakan yang ia lakukan, pasti aku
perhatikan saat bimbingan itu. Cara dia menjelaskan soal-soal Olimpiade,
terlihat keren. Wajahnya yang imut, menampakkan wajah anak cerdas. Aku
kira selama bimbingan nanti adalah waktu yang membosankan, ternyata
tidak. Itu hari menyenangkan. Saat-saat seperti mulai bosan membahas soal,
ia selingi dengan cerita-cerita lucu pada masa-masa ikut Olimpiade. Mulai
muncul dibenakku bahwa ia adalah inspirasiku. Tetapi, julukan itu tak
berlangsung lama. Ketika ia mengatakan bahwa ini bimbingan pertama dan
terakhir untuknya, karena sebentar lagi ia akan mengikuti Ujian Nasional.
Sedih yang ku rasakan.
Selesai bimbingan, ia menawarkan file-file tentang Kimia. Untungnya,
aku membawa flashdisk agar bisa meng-copy file tersebut. Segera ku
lambaikan flashdisk, spontan Kak Tria menghampiriku. Saat ia berhenti di
samping mejaku, jantung ini mendadak lenyap. Darah seakan berhenti
berdesir. Oh, tidak. Setelah ia meng-copy file-file dari laptopnya, ia kembali
menemui ku.
“Ini flashdisk milikmu,” kata Kak Tria sambil tersenyum.
“Terima kasih, kak,” jawabku gugup.
Keesokan paginya, aku merasa tiba-tiba ingin mengobrol dengan Dewi
menyangkut bimbingan kemarin. Hari itu hatiku berbunga-bunga mengingat
kejadian yang lalu.
“Dewi, aku senang sekali,” sahutku malu-malu.
“Memangnya ada apa?” balasnya.
“Masa’ kamu nggak ingat? Yang kemarin itu...” balasku cemberut.
“Oh, Kak Tria ya?” kata Dewi sambil mengingat kejadian kemarin.
“Hehehe... imut ya?” balasku nyengir.
“Iya, iya. Imut kok” jawabnya.
“Pastinya..!” Jawabku teriak.
Hari-hari setelah bimbingan itu, aku jadi sering bertemu dengan Kak
Tria. Bahkan, hingga berkomunikasi melalui dunia maya juga. Di Facebook,
kami berdua sering mengobrol tentang Kimia. Ia juga memberiku saran saat
akan mengerjakan soal Olimpiade. Kami suka bercanda satu sama lain.
Memang, Kak Tria jika di sekolah lebih terlihat pendiam. Tetapi, saat di dunia
maya, ia bisa membuat lelucon yang bikin aku tertawa. Jika ia on di Facebook,
pasti aku akan mengganggunya dalam artian menyapanya. Anehnya, ia tidak
pernah bosan ataupun marah. Ia kakak kelas yang baik dan ramah,
menurutku.
“Kak... ” sapaku di Facebook.
“Iya, ada apa?” balasnya.
“Mau nanya nih, apa aja situs-situs populer tentang Kimia?” tanyaku.
“Hmm, chem-is-try.org. Itu situs Kimia pertama yang kakak ketahui,”
jawabnya.
“Oke,sip. Hehe.. Aku akan mencoba menjelajahinya. Terima kasih, kak”
kataku.
“Iya, sama-sama ” balasnya.
Moment pertama aku mengenal Kak Tria, ia sudah berada di kelas XII.
Pastinya, ia jurusan IPA. Sedangkan aku sendiri baru duduk di bangku kelas
X. Beda dua tahun antara aku dan dirinya. Jika ia kelas XII, itu berarti tidak
lama lagi ia lulus dan pergi meninggalkan sekolah ini. Hal-hal seperti itu
sering terpikirkan olehku. Selama ini aku sering bertemu dengannya dan
moment-moment saat itu akan musnah dalam sekejap di depan mata.

***

Seteleh ia menjalani Ujian Nasional, aku tidak pernah lagi melihatnya.


Ia jarang datang ke sekolah. Walaupun datang, belum tentu aku melihatnya.
Di Facebook, tak pernah berhenti kami saling berkomunikasi. Kalaupun
begitu, rasanya ada yang kurang jika aku tidak melihatnya sehari. Wajah
imutnya selalu terbesit di pikiranku.
Detik-detik akhir dari perpisahan dengannya. Ia selalu mengeluarkan
senyuman manis pada moment itu. Aku tak sanggup memandangnya. Aku
tidak ingin jika membayangkan hari esok tanpa kehadirannya. Senyum dan
wajah imut yang merupakan ciri khasnya, mungkin tidak akan pernah
muncul lagi. Sosok bayangan perlahan sirna dari hadapanku. Tak berdaya
diriku menyaksikan perpisahan itu. Aku tak mau... Aku tak ingin moment itu
cepat berakhir. Sangat mustahil bila aku memutarkan waktu agar lebih lama
bersama dengannya. Inginku memohon agar bumi menelanku saat itu juga.
Ku mohon padamu, jangan pergi.
Tetaplah disisiku... Jangan pergi.
Aku ingin meneriakkan kata-kata itu, memohon ia untuk tidak
meninggalkanku, tapi suaraku tidak bisa keluar. Aku hanya bisa memohon
dalam hati sementara Kak Tria membalikkan tubuh dan berjalan pergi.
Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja...
Ku mohon... Jangan pergi...
Akhirnya ku sadari, aku harus melepaskannya. Membiarkan ia
mengejar impian bersama sayap-sayap kecil di punggungnya. Satu-satunya
yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan
melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya
walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba
melakukannya. Aku memang suka padanya. Suka sebagai kakak yang telah
memperhatikanku selama ini. Aku hanyalah gadis kecil yang rapuh, selalu
ingin bersamanya walau itu mustahil. Terima kasih untuk segalanya. Dan,
terima kasih telah menjadi inspirasiku. Mungkin suatu hari nanti, rasa sakit
ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.

~Selesai~
BIODATA

Nama : Dwi Angelita


Tempat, Tanggal Lahir : Sungailiat, 01 Agustus 1997
Alamat Rumah : Jl. Aster Blok III E No. 30
RSS Pemda Sungailiat
Alamat Sekolah : Jl. Pemuda Kompleks Pemda
Sungailiat
Riwayat Pendidikan :
1. TK Pertiwi Sungailiat
2. SDN 10 Sungailiat
3. SMPN 2 Sungailiat
No. Telp : 08979294179
E-mail : angelita_dwi@yahoo.com
Akun Aktif : Angelitha_Dwi (Facebook)
@Angelitha_Dwie (Twitter)
Hobi : Membaca dan Menjelajah Internet
Cita-cita :
Motto : Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik
untuk di hari tua.
A

Anda mungkin juga menyukai